Pendidikan dan Dakwah Kultural Kaum Muda NU: Gairah Baru Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia Ahmad Ali Riyadi1 Abstrak Kajian ini menyajikan fenomena baru anak muda NU yang tinggal diperkotaan yang memberikan kajian Islam yang agak berbeda dengan kalangan nahdliyyin. Model kajian yang ditawarkan adalah melakukan pembacaan ulang tradisi (rekonstruksi tradisi) secara kritis untuk membuka lembaran baru pemikiran Islam tanpa harus menafikan tradisi lama. Tradisi merupakan problematika yang signifikan yang harus dibaca ula ng untuk melahirkan pemikiran transformatife dengan merekonstruksi tradisi, yakni metode perlunya pembacaan tradisi dengan meminjam metodologi berpikir dari para pemikir Islam maupun non-Islam yang berkembang di Barat, Eropa, jazirah Arab maupun pemikiran liberal di Indonesia. Kata Kunci: Pendidikan, Dakwah kultural kaum muda NU, dan pemikiran Islam Kontemporer Indonesia.
A. Pendahuluan Setiap kali “cerita” dibaca tentang Nahdlatul Ulama/NU maka yang ada dibenak pembaca langsung teropini adanya cap NU tradisional, dengan stereotype negative; kelompok konservatif, berpegang teguh pada madzhab tertentu, kentalnya tradisi lokal, kaum bersarung, kaum ndeso, dan seabrek pandangan negatif lainnya. Munculnya kabar miring ini tentunya tidak lepas dari berbagai karya terdahulu tentang NU yang telah turun temurun dan terlanjur didokumentasikan baik berupa karya ilmiah maupun non-ilmiah atau karena sikap mental yang tidak mengedepankan aspek profesionalisme.2 Walaupun demikian, munculnya sejumlah opini tersebut perlu kita apresiasi fenomena sosial sebagai model dan hasil karya yang sudah barang tentu harus dibaca sesuai dalam konteks zaman munculnya karya-karya tersebut. Secara historis, munculnya cap Islam tradisional tersebut merupakan fakta sejarah yang tidak bisa kita pungkiri. Masalahnya adalah kategorisasi yang dilakukan selama ini sering terkesan menyederhanakan persoalan sehingga berdampak pada munculnya kesalahan cara memandang terhadap proses perkembangan pemikiran Islam itu sendiri, yakni adanya pengabaian dari beberapa kalangan terhadap kemungkinan terjadinya proses perkembangan intelektualitas di kalangan NU. Terlebih dalam perkembangannya ternyata telah terjadi pergeseran terhadap corak bepikir selama dua dasa warsa terakhir, dengan munculnya fenomena gerakan pembaharuan studi Islam era 1990-an di kalangan muda NU yang mungkin hampir tidak terjadi dalam sejarahnya, sebuah gerakan pembaharuan yang dilakukan anak-anak muda NU. 1
.Adalah dosen Universitas Darul Ulum Jombang Jatim. Contoh karya imiah yang menjadi tujukan kajian Islam di Indonesia adalah karya Delier Noer, Gerakan Modern Isla m di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982). Juga karya yang lain seperti karya Clifford Geertz, the Religion of Java (Chicago: the University of Chicago Press, 1976). Kedua karya ini amat sangat tidak simpatik terhadap kaum na hdliyyin dan cenderung memberikan informasi yang mendiskriditkan Islam tradisi. 2
Munculnya gerakan pemaharuan Islam di era 1990-an yang menawarkan pemikiran baru sebagai respon terhadap wacana lama sehingga terjadi perubahan paradigma berpikir merupakan hal yang menarik untuk diamati dan dikaji. Fenomena baru tersebut memang belum banyak mendapat perhatian di kalangan pemerhati Islam di Indonesia. Untuk itulah, kajian ini diharapkan bisa menghasilkan pemahaman terhadap wacana baru, pola perubahan dan bentuk respon yang dilakukan kalangan NU gaya baru terhadap wacana yang berkembang saat ini, lebih-lebih dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dalam bidang kajian Islam gaya baru di kalangan “Islam tradisionalis”. B. Pembahasan 1. Siapa Generasi Baru Kaum Muda NU itu? Basis intelektual kaum muda NU kebanyakan mempunyai latar belakang pesantren yang tumbuh subur di daerah pedesaan, daerah urban dan sedikit perkotaan. Sebagai komunitas pesantren tentunya mereka berkutat dengan tradisi khas pesantren. Antara mereka dan pesantren mempunyai ikatan yang kuat dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Berkat kemajuan pembangunan, khususnya dalam bidang pendidikan, telah mendorong perkembangan dan perubahan yang massif dalam dunia pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dan menyerap secara besar-besaran para pelajar dan mahasiswa dari masyarakat khususnya kalangan santri generasi muda NU. Meningkatnya para santri memasuki lembaga pendidikan sekuler yang memberikan tanda ijazah secara formal menjadikan para santri mengalihkan perhatiannya ke lembaga sekuler dari pada lembaga pendidikan pesantren. Walaupun mereka juga masih ngugemi pendidikan pesantren sebagai basis pendidikan agama mereka. Pada akhirnya, makin banyak kelas terpelajar di kalangan muda NU hijrah di berbagai kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan kota-kota lainnya, bahkan manca negara seperti negara-negara Timur Tengah, Eropa, Amerika dan lainnya, untuk mencari pendidikan formal yang tidak diajarkan di pesantren.3 Tentu pada akhirnya, persoalan tersebut membawa dampak pada penambahan cakrawala pengetahuan mereka terhadap ilmu-ilmu sekuler di samping ilmu-ilmu agama. Secara sosiologis, dari pengembaraan pencarian ilmu kaum muda NU tentu membawa dampak pada membanjirnya kelas santri yang dapat dikategorikan dalam beberapa model santri, sebagai generasi muda nahdliyyin. Pertama, generasi yang sangat kental pengetahuan agama dengan latar belakang pendidikan pesantren dan perguruan tinggi, akan tetapi pada diri mereka terjadi transformasi pemikiran, bahkan tidak jarang gagasan mereka dianggap liberal dan revolusioner di kalangan NU konservatif. Kecenderungan kelompok generasi ini mempunyai keinginan yang kuat terhadap perubahan di tubuh NU. Kedua, generasi dengan latar belakang pesantren dan pendidikan perguruan tinggi, akan tetapi generasi kelompok ini ada kecenderungan tidak terjadi transformasi pemikiran dan tetap konsisten pada pola-pola pemikiran dan hubungan sosial masyarakat pesantren. Ketiga, generasi yang hanya mencukupkan diri pada pendidikan dan bergelut dengan tradisi pesantren. Fenomena gerakan pembaharuan kaum muda NU itu dimulai oleh kalangan aktivis dan intelektual yang tergolong berusia muda. Mereka ada yang berkiprah pada basis organisasi NU dan ada juga yang bergerak di luar struktur kelembagaan NU, namun tetap membangun 3
Lihat karya Mohammad Sodik, Gejolak Santr i Kota: Aktivita s Muda NU Mera mbah Jalan Lain (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hal. 28. Baca Juga Ahmad Ali Riyadi,”Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama,” dalam Her meneia , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2005.
komunikasi dengan habitatnya. Pada umumnya, mereka mampu mengekspresikan gagasannya dalam bentuk karya tulis yang tersebar diberbagai media. Gagasan mereka tidak hanya dituangkan dalam bentuk gagasan dan tulisan-tulisan mereka yang kontroversial menurut layaknya tradisi NU, akan tetapi juga dalam bentuk kajian-kajian Islam yang tergabung dalam kelompok studi atau lembaga penelitian. Ada kelompok kajian kaum muda NU yang dibentuk secara organisasi berada di bawah payung organisasi NU, semisal Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU Jakarta, LKPSM (Lembaga Kajian Pesantren dan Sumber Daya Manusia) Yogyakarta dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), ada lembaga yang dibangun berada dalam kultur NU, semisal P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) Jakarta, namun ada lembaga yang merupakan tempat berkumpulnya kaum muda NU dalam menyalurkan aspirasi intelektual yang terlepas secara organisasi dengan NU, bahkan organisasi ini tidak mengatasnamakan NU dan aktivis intelektual tidak hanya terdiri dari kelompoknya, semisal LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) Yogyakarta dan JIL (Jaringan Islam Liberal) Jakarta. Kelompok-kelompok ini adalah komunitas ilmiah yang secara intens melakukan kajian-kajian dan penelitian. Persoalan yang paling menarik untuk dicermati, adalah komunitas ini dalam mengimplementasikan gagasannya masing-masing memiliki caranya sendiri-sendiri dalam mengemas pergumulan intelektualnya. 4 Pada saat yang sama mereka melakukan gerakan kritik (critical movement) sebagai bentuk perlawanan wacana terhadap isu-isu yang berkembang, khususnya wacana yang menyangkut ideologi NU. Dalam hal ini mereka berani keluar dari wacana pemikiran yang selama ini berkisar pada tradisi mereka, kemudian meloncat ke dunia pemikiran baru yang didasarkan atas bacaan mereka terhadap para pemikir modern maupun kontemporer. Keinginan mereka dalam merekonstruksi tradisi didasarkan pada problematika mandulnya tradisi pemikiran dan keagamaan yang digeluti dalam menghadapi arus perubahan dan modernisasi. Langkah strategis yang dilakukan adalah dengan melakukan pembacaan ulang tradisi (rekonstruksi tradisi). Pembacaan tradisi secara kritis merupakan pijakan awal untuk membuka lembaran baru pemikiran Islam tanpa harus menafikan tradisi lama. Tradisi merupakan problematika yang signifikan yang harus dibaca ulang untuk melahirkan pemikiran transformatif. Berkaitan dengan upaya merekonstruksi tradisi, kaum muda NU lebih menitikberatkan pada metode perlunya pembacaan tradisi dengan meminjam metodologi berpikir dari para pemikir Islam maupun nonIslam yang berkembang di Barat, Eropa, jazirah Arab maupun pemikiran liberal di Indonesia. 2. Kritik Atas Tradisi Mereka Salah satu faktor yang mendorong langkah pembaharuan Islam kaum muda di kalangan NU adalah adanya kebekuan ortodoksi tradisional Ahlusunnah waljama’ah (Aswaja) yang selama ini dianut kebenarannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa basis kultural dan keagamaan kaum muda NU adalah masyarakat NU dan pesantren. Term tradisionalis dalam pengertian yang lazim dalam pengertian sosial keagamaan adalah tetap bertahan pada khasanah intelektual dan tradisi peninggalan karya-karya para pendahulu mereka, tidak hanya imam mazhab yang muktabar dalam bidang fiqh akan tetapi juga peninggalan para pendakwah Islam awal di Jawa, utamanya yang tergabung dalam Islam Jawa. Para ulama terdahulu dianggap mempunyai otoritas yang lebih dari pada umat yang sekarang dalam hal pemikiran dan praktek keagamaan. 4
Beberapa karya yang menyoroti hal tersebut silakan baca karya Badrun Alaena, NU, Kr itisisme dan Pergeseran Makna Aswaja (Yogayakarta: Tiara Wacana, 2000), Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekula risme Baru (Jakarta: Erlangga, 2004), Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi: Kaum Muda NU Merobek Tradisi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).
Termasuk juga dalam hal warisan tradisi, yaitu tradisi masyarakat lokal dalam praktek-prakter keagamaan. Para kelompok tradisionlis menyebut dirinya sebagai penganut Islam Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja). Prakteknya dalam bidang fiqh dan doktrin, kelompok ini lebih memilih mengikuti produk pemikiran ulama-ulama besar di masa lalu ketimbang melakukan derivasi kesimpulan-kesimpulan dari al-Qur’an dan al-Hadits secara langsung. Dengan kata lain, mereka lebih berpangkal pada tiga pilar panutan inti, yaitu; mengikuti faham al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam berteologi, mengikuti salah satu mazhab fiqh empat (Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’i) dan mengikuti cara yang ditetapkan al-Junaid al-Bagdadi dalam bertarekat atau bertasawuf. Semua doktrin ini dianggap sebagai acuan yang baku dan standar. 5 Secara tradisionalis, masyarakat NU juga tidak hanya didasarkan kepada aspek pemahaman keagamaan melainkan juga aspek sosial dan budaya lokal. Karakter masyarakat NU yang mempunyai resistensi terhadap arus modernisasi untuk mempertahankan norma sosial dan unsur modernisasi pembangunan untuk mempertahankan norma sosial dan budayanya, juga merupakan bagian dari corak tradisionalis. Begitu juga dengan komunitas masyarakatnya yang masih kental dengan warna Jam’iyyah/paguyuban, tentang penghayatan terhadap budaya dan tradisi lokal mereka. Secara sosio-politik, yang merupakan ciri khas tradisi kalangan NU, adalah adanya bagian dari formulasi terbentuknya kelas-kelas dalam sebuah masyarakat. Karena seseorang yang menekuni dan menguasai tradisi diangap sebagai tokoh yang patut dijadikan panutan dalam menyelesaikan persoalan keduniaan dan keukhrawiaan, sehingga menduduki papan atas dan masyarakat awam sebagai kelas bawah. Hal ini dalam realitas kehidupan berdampak pada sikap dan perilaku yang menghambat kesetaraan, keadilan dan demokrasi.6 Akan tetapi sebagaimana layaknya kaum muda yang kritis dan dinamis kelompok ini mencoba keluar dari ring keterkungkungan doktrin NU, baik bergerak secara individu maupun membangun organisasi. Kaum muda NU memainkan peranannya sendiri tanpa terikat kepada penafsiran tekstual. Kaum muda NU mulai gelisah dengan realitas diri dalam masyarakatnya, keadaan NU, pesantren dan ulama yang menuntunnya tidak beranjak dari “keterbelakangan”. Kalangan muda NU merasa sudah cukup dengan pengetahuan keislaman klasik dan kesalehan internal yang pernah mereka pelajari di pesantren. Yang lebih diinginkan adalah mengentas keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Maka pilihannya adalah menempa diri dengan bergulat dengan pemikir-pemikir lain yang lebih mempunyai etos kerja transformatif dan revolusioner
5
Mujamil Qomar, NU Libera l: Da r i Tradisionalisme Ahlussunnah Ke Univer salisme Islam (Bandung: Mizan, 2002), hal. 61. Kitab yang dianggap sebagai acuan yang baku dan standar dalam tradisi NU disebut a l-Kutub al-Mu’tabarah. 6 Setidaknya ada tiga konsekuensi yanglahir dari tradisionalisme. Perta ma , hipokritas. Tradisionalisme membentuk baongkahan pemikiran ekslusif yang hanya dimiliki segelintir orangdalam rangka memapankan posisi tertentu, serta memberikan amunisi terhadap lambannya kesetaraan dalam masyarakat, dan sebaliknya memberikan angin segar bagi eksklusifisme dan ketidakadilan. Kedua , ketertindasan dan keterpurukan. Tradisionalisme akan menciptakan sikap nrima terhadap kondisi moratmarit, ketidak adilan dan ketidakjelasan. Ketiga , narsisme. Tradisionalisme akan menciptakan ketidakberdayaan dan membentuk subyektivitas, keberpihakan pada diri sendiri. Lihat Zuhairini dan Novriantoni, Doktr in Isla m Progresif: Memaha mi Isla m sebagai Ajaran Rahmat (Ciputat; LSIP, 2004), hal. 150-151.
serta mematangkan dirinya lewat gerakan-gerakan kerakyatan bersama kelompok-kelompok lain.7 Walaupun demikian, para gererasi muda NU dalam melakukan pembaharuan Islam tetap menyatakan dirinya dengan bangga komunitas NU. Mereka tidak lantas meninggalkan organisasi NU sebagai basis induk keorganisasian, baik secara organisasi maupun secara kultural.8 Mereka kebanyakan aktif di lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bervisikan sosial kemasyarakatan. Yang mereka lakukan adalah pembacaan ulang atas tradisi dengan model pemikiran intelektual Islam Arab kontemporer sebagai hasil dari pembacaan mereka atas karya-karya mereka. Pertanyaannya adalah kenapa mereka melakukan peminjaman model pembaharuan pemikiran intelektual Islam Arab kontemporer sebagai landasan pembaharuan? Ahmad Baso, salah seorang penggagas pembaharu, mensinyalir adanya pengisian metodologis terutama menyangkut aspek berpikir.9 Hal yang lebih penting untuk digaris bawahi dalam konteks kebekuan Aswaja adalah relevansi metodologis kalangan intelektual Islam Arab Kontemporer dalam kaitannya dengan tradisi NU secara keseluruhan. Dihadapkan dengan keterkaitannya secara kultural NU dengan aspek metodologis intelektual Islam Arab Kontemporer, kalangan kaum muda NU menyaksikan masih kentalnya dogmatisme Aswaja NU sebagai suatu yang final, afsah dalam paradigma berpikir. Aswaja menjadi bahan pelatihan dan kaderisasi mulai dari tingkat bahwa sampai tigkat elit NU, tanpa adanya kritik dengan sikap cerdas dan tanpa gugatan menyangkut soal relevansinya. NU mewarisi tradisi yang begitu melimpah akan tetapi yang menonjol justru proses pemiskinan intelektual atas warisan tersebut. Sehingga hanya tampak sebagai barang musium yang layak dipajang bagi para pengunjung. Bahan model tradisionalisme Aswaja ini direproduksi secara berulang-ulang hingga kini di kalangan tokoh-tokoh NU dan dibaca dengan bacaan yang menjemukan. Dengan demikian, menurut Ashmad Baso perlu dilakukan kritik terhadap tradisi. 10 3. Post Tradisionalisme Islam: Gerak Lompat Tradisi Secara leksikal istilah Post-Tradisionalisme Islam tidak ditemukan pengertian yang memadai. Dalam diskursus keislaman di Indonesia tema dan gagasan ini juga kurang mendapatkan apresiasi yang memadai sebagai sebuah gagasan besar, mungkin karena gagasan tersebut diusung oleh kalangan pinggiran yang tidak mempunyai landasan menjadikan gagasan itu tenggelam. Secara literatur, ada beberapa informasi yang memberikan pemahaman tentang istilah post-tradisionalisme Islam di Indonesia yang diusung kaum muda NU sebagai rujukan untuk mengenal gagasan tersebut, yaitu adanya beberapa karya yang diterbitkan dan hasil kajiankajian yang muncul dari kelompok pemikir Islam proletar (pinggiran) kalangan kaum muda NU. Di Jakarta, gagasan tersebut muncul berawal dari kelompok kajian ilmiah yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat, Lakpesdam NU. Dalam lembaga ini anak-anak muda yang kritis itu bergabung dalam struktur organisasi NU. Mereka menuangkan gagasannya dalam kajian 7
Shonhadji Sholeh, Arus Baru NU: P erubaha n Pemikiran Kaum Muda da ri Tra disionalisme ke Post-Tradisionalisme (Surabaya; JB BOOKS, 2004), hal. 50. 8 Machasin,“ Dlahirah Harakah al-Syubban al-Nahdliyyin al-Fikriyyah: Dirasah an Majma’ alDirasah al-Islamiyah wa al-Ijtima’iyah (LKiS) bi Jogjakarta,” dalam a l-Ja mi’ah. No., 60/1997, hal. 166181. 9 Ahmad Baso,”Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam,” dalam Jurnal Tasywirul Afkar , Edisi No. 10, Tahun 2001, hal. 33. 10 Ibid. hal. 34.
ilmiah bekerjasama dengan The Asia Foundation (TAF) dengan menerbitkan jurnal Tashwirul Afkar Edisi Khusus No. 9 tahun 2000 dengan tema “Post-Tradisionalisme Islam: Ideologi dan Metodologi”. Kalangan muda itu rata-rata gemblengan dari pesantren-pesantren tradisional beraliran salaf yang bertempat tinggal di kota pinggiran atau pesantren ndeso, yang kemudian hijrah ke kota besar. Semisal Ahmad Baso, Ulil Absar Abdalla, Khamami Zada, Marzuki Wahid, Zuhairi Misrawi dan lainnya merupakan indikasi tokoh yang mengusung tema besar tersebut. Di Yogyakarta, istilah tersebut muncul dari lembaga swadaya masyarakat berbasiskan kaum muda NU, yaitu LKiS sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang kajian-kajian Islam dan Sosial, dapat memberikan informasi tentang label post-tradisionalisme Islam ketika menerbitkan terjemahan dari beberapa artikel Muhammad Abed al-Jabiri berjudul PostTradisionalisme Islam yang di terjemahkan oleh Ahmad Baso (Muhammad Abed al-Jabiri, 2000).11 Walaupun secara detail terjemahan buku itu tidak mencerminkan isi dari judul buku terjemahan tersebut, karena memang pengarangnya sendiri tidak menyebutkan secara jelas bahkan memberikan definisi apa itu post-tradisionalisme Islam. Label dari buku itu muncul justru atas inisiatif penerjemahnya yang kemungkinan supaya mendapat respons dari khalayak pembaca, tentunya hal ini juga didorong atas dasar bisnis penerbitan buku. Akan tetapi dalam aspek teoritis pemikiran-pemikiran yang ada dalam buku tersebut seringkali banyak dikutip sebagai landasan berpikir gerakan pembaharuan Islam kaum muda NU. Ada kajian serius dari sebuah penelitian yang memperkenalkan istilah posttradisionalisme Islam, yakni dilakukan oleh Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rachman. Mereka melakukan kajian secara historis kemunculan gagasan tersebut dikaitkan dengan corak pemikiran dan gerakan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).12 Menurut mereka, bahwa gerakan intelektual muda NU yang tergabung dalam wadah organisasi PMII, sejak 1980-an mengalami perkembangan wacana sampai menyentuh pada persoalan-persoalan yang tidak lazim di kalangan NU karena telah melampaui batas tradisionalismenya yang sebelumnya merupakan stereotype komunitas NU. Bahkan, menurut mereka, kalangan muda tradisional boleh dibilang mempunyai gagasan yang lebih modernis dan liberal dibandingkan dengan kelompok modernis sekalipun. Namun dari beberapa uraian tersebut memunculkan beberapa keraguan apakah memang benar dari kalangan muda nahdliyyin gagasan post-tradisionalisme Islam itu muncul. Begitu pula dalam kancah khasanah ilmu-ilmu sosial istilah post-tradisionalisme Islam memang belum ada referensinya. Yang ada selama ini adalah post-modernisme, neo-modernisme dan neo-sufisme. Paham ini di satu sisi dipahami sebagai kelanjutan dari modernisme, akan tetapi pada sisi yang lain juga merupakan antitesis terhadap modernisme itu sendiri. Dalam berbagai pengertian post-modernisme dimengerti dari berbagai campuran pengertian yakni bisa merupakan hasil dari modernisme, akibat dari modernisme, perkembangan dari modernisme atau bahkan penyangkalan dan penolakan terhadap modernisme itu sendiri. Kata kunci yang dapat dipakai patokan adalah bahwa post-tradisionalisme berangkat dari tradisi yang ditransformasikan secara meloncat melampaui batas tradisi itu sendiri. Dalam hal ini, kalaupun ada sikap penolakan dan kritik terhadap tradisionalisme, lebih merupakan proses peramuan tradisi yang dianggap
11
Muhammad Abed al-Jabiri, Post- Tradisionalisme Isla m, penerj. Ahmad Baso (Muhammad Abed al-Jabiri, 2000). 12 Lihat Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rachman, Post-Tradisiona lisme Isla m: Menyingkap Corak P emikiran dan Gera kan PMII (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000).
stagnan dengan pemikiran yang lebih progresif sehingga menjadi pemikiran yang berakar kepada tradisi secara kuat tetapi mempunyai jangkuan pemahaman yang luas. 13 Marzuki Wahid, salah seorang aktivis muda NU penggerak gagasan post-tradisionalisme Islam, menyebutkan bahwa istilah ini memang digunakan untuk menamai suatu gerakan yang memiliki ciri-ciri khusus, yang secara kategorial tidak bisa disebut modernis, neo-modernis dan tidak bisa dikatakan tradisionalisme atau neo-tradisionalisme. Istilah ini memang masih diperdebatkan dan belum mempunyai epistemologis yang jelas. Akan tetapi secara simplistis, gerakan post-tradisionalisme dapat dipahami sebagai suatu gerakan lompat tradisi. Gerakan ini, sebagaimana neo-tradisionalisme berangkat dari suatu tradisi yang secara terus menerus berusaha memperbaharui tradisi tersebut dengan cara mendialogkan dengan modernitas. Karena intensifnya berdialog dengan kenyataan modernitas, maka terjadilah loncatan tradisi dalam kerangka pembentukan tradisi baru yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya. Di satu sisi memang terdapat kontinuitas, tetapi dalam banyak bidang terdapat diskontinuitas dari bangunan tradisi lamanya. Umumnya, bersamaan dengan pengembangan pemikiran-pemikiran post-tradisionalisme terjadi nuansa liberalisasi pemikiran.14 Ahmad Baso, salah seorang penggagas post-tradisionalisme Islam, memberikan penjelasan epistemologis post- tradisionalisme Islam. Menurutnya, secara historis posttradisionalisme Islam adalah sebuah konstruk intelektualisme yang berpijak pada dinamika budaya lokal Indonesia dan bukan merupakan tekanan dari luar, yang berinteraksi secara terbuka bukan hanya dengan berbagai jenis kelompok masyarakat, akan tetapi kemudian mengkondisikan mereka berkenalan dengan pemikiran-pemikiran luar yang bukan berasal dari dalam kultur tradisional NU. Post-tradisionalisme Islam juga mengapresiasi dan mengakomodasi bukan hanya pemikiran-pemikiran liberal dan radikal yang dilontarkan oleh Hasan Hanafi, Mahmud Thaha, al-Na’im, Arkoun, Abu Zayd, Syahrur dan Khalil Abd Karim, tapi juga tradisi pemikiran sosialis Marxis, Post-Strukturalis, Post-Modernisme, gerakan feminisme dan civil society.15 Dari pemaparan ini memberi gambaran pengambilan metodologi berpikir sebagai kritik epistemologis atas tradisi, pada sisi lain juga menjelaskan peminjaman metodologi dengan kerangka teori para pemikir kontemporer untuk membedah tradisi. Ungkapan Baso tersebut menunjukkan bahwa post-tradisionalisme Islam melewati fasefase awal hingga perumusan metodologis dan praksis. Fase pertama merupakan fase pembentukan dan pengkayaan ide baik dalam pemikiran maupun praksis. Pada fase ini muncul berbagai wacana keislaman kontemporer sebagai respon atas problematika yang dihadapi umat, muncul berbagai gagasan seperti pribumisasi, hak asasi manusia, civil society, pemberdayaan kaum lemah dan buruh, gender dan lain sebagainya. Hassan Hanafi, Abdurrahman Wahid, dan Fatima Mernissi adalah beberapa tokoh yang banyak memberikan sumbangan dalam pengkayaan ide dan gagasan ini. Sedangkan perumusan metodologi post- tradisionalisme Islam 13
Ahmad Ali Riyadi,“Menelusuri Gerakan Post-Tradisionalisme Islam di Indonesia,” dalam Profetika: Jurnal Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta , Vol. 6, No. 1. Januari 2004, hal. 73. 14
Marzuki Wahid, Marzuki Wahid,“Post-Tradisionalisme Islam: Gairah Baru Pemikiran Islam di Indonesia,” dalam Jurnal Tashwirul Afkar , Edisi No. 10 Tahun 2001, hal. 20. 15
Ahmad Baso,“Posmodernisme Sebagai Kritik Islam: Kontribusi Metodologis Kritik Nalar Muhammad Abed Al-Jabiri,” dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Isla m, penerj. Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000, hal. 33.
menghasilkan paradigma baru pemikiran Islam yang dirumuskan sebagai kritik nalar ataupun telaah kontemporer terhadap tradisi. Muhammad Abed al-Jabiri, Muhammad Arkoun, Ali Harb dan Nashr Hamid Abu Zaid merupakan sederetan nama yang berusaha melakukan rekonstruksi metodologis bagi post-tradisionalisme Islam. Selanjutnya bagaimanakah paradigma posttradisionalisme Islam yang dibangun? Paradigma yang dimaksud dalam kajian ini adalah sebuah bangunan yang menjadi landasan pemikiran dan gerakan yang merupakan totalitas konstalasi pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi dan gerakan yang menjadi pijakan dalam menyelesaikan persoalan sesuai dengan konsensus komunitas yang menjalaninya sesuai dengan latar belakang sosial dalam ruang dan waktu. Dalam konteks gerakan pembaharuan kaum muda NU yang dimaksud adalah paradigma teologi, norma dan tradisi yang dianutnya serta realitas sosial keindonesiaan yang dikenal agraris dan tradisional dengan tuntutan yang dihadapinya dalam upaya membangun wacana dan pola gerakan. Wacana dan pola gerakan yang dikembangkan kaum muda NU lebih mengembangkan pemikiran yang bersifat liberal, yaitu mencoba membebaskan masyarakat Indonesia dari keterkungkungan oleh doktrin teologis, tradisi dan bahkan sejarahnya sendiri yang dipandang tidak transformatif. Strategi yang dipakai adalah mencoba menggeser otoritas dari struktural ke kultural, dari otoritas kelompok ke penguatan otonomi individu serta mencoba menghilangkan sikap dan mental elitis dan menggantikannya dengan sikap yang populis dalam upaya membangun paradigma kritis terhadap masyarakat dan tradisinya sendiri. Jika dilakukan pembacaan aktivitas gerakan kaum muda NU dalam membangun budaya kritisisme pemikiran yang bercorak liberal, ada beberapa indikator yang dapat dijadikan landasan. Pertama, sebagai kelompok yang dikenal Islam tradisional berlatar belakang pendidikan pesantren, kaum muda NU justru ingin melepaskan diri dari kungkungan tradisi. Ketaatan kepada ulama mupun bentuk feodalisme lainnya berusaha mulai dihilangkan, walaupun dalam beberapa kasus mereka harus menerima perlakuan yang tidak adil berupa cap yang tidak berakhlak, santri murtad dan sebagainya. Doktrin teologi sunni yang selama ini tidak tersentuh bahkan diharamkan untuk diusik kembai dipertanyakan. Kaum muda NU lebih memilih wacana teologi pembebasan atau teologi transformatif yang membawa aswaja ke tataran yang lebih rasional dan empirik, yakni pergeseran pemahaman aswaja dari madzhabi ke aswaja aswaja sebagai model berpikir. Kedua, munculnya kesadaran untuk melepaskan beban sejarah. Dalam konteks ini Islam dipahami sebagai yang berdimensi historis di mana produk pemahaman masyarakat Islam terhadap ajarannya selalu berdialektika dengan dimensi ruang dan waktu. Produk ulama terdahulu tidak lagi menjadi beban untuk diterima dan dilaksanakan apa adanya oleh umat Islam saat ini. Ketiga, keharusan munculnya pola pikir keislaman yang bisa melepaskan dari ikatan harfiyah teks. Cara berpikir ini lebih menekankan pada substansi teks dari pada yang bersifat simbolik dan formal teks.16 Corak liberal tersebut bukan berarti termasuk yang dikategorisasikan Fazlur Rahman, intelektual muslim kebangsaan Pakistan, yang berpandngan bahwa sejarah gerakan pembaharuan Islam selama dua abad terakhir terbagi dalam empat gerakan. Pertama, gerakan revivalis di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, yakni gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat. Kedua, gerakan modernisme yang dipelopori oleh Jamaluddin alAfghani dan Muhammad Abduh di Timur Tengah serta Ahmad Sayyid Khan di India. Ketiga, neo-revivalis yang dipelopori oleh Abu al-A’la al-Maududi dengan kelompoknya Jama’at al16
Muh. Hanif Dhakiri, Op.Cit., hal. 9.
Islamiyah di Pakistan. Keempat, neo-modernisme yang dipelopori oleh Fazlur Rahman yang merupakan gerakan pembaharuan yang merupakan sintesis progresif dan rasionalitas modernis dengan ijtihad dan klasik.17 Dari uraian Rahman ini perbedaan yang mendasar antar empat kelompok itu terletak pada perhatian para pembaharu terhadap tradisi. Tradisi menjadi moment paling penting sebagai landasan berijtihad. Dari sini timbul analisis bahwa di manakah posisi post-tradisionalisme Islam yang digagas kaum muda NU, apakah merupakan kelanjutan dari tesis Fazlur Rahman atau merupakan kelanjutan dari tradisionalisme itu sendiri. Jika kelompok revivalisme melakukan pembaharuan dengan menghidupkan kembali tradisi di masa lampau secara totalitas dengan memahami teks wahyu dipahami secara tekstual, modernisme menekankan pada pola pemikiran yang menekankan aspek rasional dan tradisi masa lampau merupakan hasil interpretasi ulama lampau yang dianggap tidak sesuai dengan modernisme dan tidak perlu dipertahankan, neo-modernisme memahami Islam dengan jalan tengah antara modernisme dan revivalisme, maka post-tradisionalisme Islam dipahami sebagai gerakan melompat tradisi. Pola pemikiran gerakan ini berasumsi bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernisme tanpa harus menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Dari segi lainnya, kelompok ini cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup rasional. Kelompok ini percaya bahwa betapa pun Islam bersifat universal namun kondisi-kondisi suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap pemahaman Islam itu sendiri. Gagasan baru yang bergulir ini adalah suatu pemikiran yang tidak termasuk dalam corak kajian pemikiran dari gagasan sebelumnya secara berurutan. Jikalau gagasan pemikiran sebelumnya rata-rata muncul karena tidak puasnya mereka terhadap munculnya gagasan sebelumnya, yang nota bene merupakan gagasan impor dan tentunya tidak sepaham dengan tradisi keindonesiaan, maka model kajian studi Islam gaya baru kaum muda NU tidaklah berasal dari evolusi pemikiran secara berurutan dari gagasan tersebut. Memang betul bahwa gagasan kaum muda NU muncul dari gagasan senior elit NU dan para pemikir Arab Kontemporer serta pergilatannya dengan pemikiran Barat kontemporer, namun mereka tidaklah pernah menyebut dirinya menjiplak dari pemikir-pemikir sebelumnya, bahkan mereka enggan disebut dengan tradisionalis. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa gagasan ini tidak mempunyai ranah pemetaan pemikiran Islam secara terkotak-kotak bahkan dikotomis. Meminjam teori yang disampaikan Prof. Dr. Amien Abdullah, guru besar Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Yogyakarta, model pemikiran Islam yang harus dikembangkan dalam mengkaji Islam dengan model pemikiran sirkuler. Dengan pendekatan model ini akan menggunakan dan mempertimbangkan semua model pendekatan secara multidimensi dalam mempelajari ilmu keislaman sebagai entitas yang utuh. Memadukan model pendekatan ini akan menjadikan seorang lebih tanggap terhadap dimensi sosial antropologis, pada saat yang sama memperhatikan pula aspek filosofis dan fenomenologis serta problem linguistik filologis dalam membedah tradisi Islam.18 17
Tentang karya komprehensif tentang persoalan tersebut baca karya Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid 1969-1980, (Jakarta: Paramadina, 1999). 18
M. Amin Abdullah,”Al-Ta’wil al-‘Ilmi: Ke arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” dalam al-Jami’ah, Vol 39 No. 2 July-Desember 2001, hal 45.
Sebagaimana disebutkan bahwa kata kunci dalam memahami geliat pemikiran model gaya baru kaum muda NU adalah turâts (tradisi) itu sendiri sebagai rujukan. Sebagaimana dijelaskan, tradisi dapat merupakan turâts jadîd dan turââts qadîm. Pola gerak berpikirnya menggunakan metodologi pembacaan terhadap teks-teks baklasik maupun teks modern yang tentunya tidak mengenal aliran pemikiran dan klaim gerakan tertentu. Sehingga dari sini, tampaknya tidak relevan kalau gagasan kaum muda NU digolongkan dalam satu gerakan dan corak pemikiran tertentu dalam artian varian Islam tertentu.19 Pada dataran ini, nampaknya pola pikir yang dikembangkan oleh kalangan muda NU mengajarkan kepada pemikiran yang bercorak talfiq dalam artian tidak terkungkung pada madzhab tertentu. Ironis memang, satu sisi kalangan nahdliyyin memegang madzhab tertentu yang terdoktrinkan ke dalam doktrin ahlusunnah waljama’ah, namun di sisi lain mereka mencoba mengembangkan pemikiran yang bercorak liberal. Sebagai dampak diterapkan metodologi ini, kemungkinan berimplikasi pada tidak diterapkannya fatwa-fatwa baku yang tertera dalam kitabkitab klasik (baca:fiqh) karena perkembangan sosio-kultural yang kian terus berubah. Seperti diketahui, bahwa perubahan-perubahan tersebut, membutuhkan jawaban-jawaban baru dengan wacana intelektual yang baru pula. Satu cacatan penting yang perlu digaris bawahi bahwa corak berpikir yang digagas kaum muda NU adalah mencoba menghilangkan pola kofrontatif antara berbagai golongan pemikiran yang digantungkan dengan pola partnership. Gejala ini akan menjadikan pertanda munculnya perubahan wawasan akibat tantangan zaman yang berubah. Meskipun pola-pola interaksi positif belum sampai pada tingkat dialog doktrinal, namun gagasan ini sudah membentuk suatu kesadaran baru, bahwa gagasan-gagasan yang berbeda bukan untuk saling dikonfrontasikan melainkan dipahami sebagai kekuatan-kekuatan umat yang bisa saling mengisi dalam rangka mengembangkan ukhuwwah Islamiyyah (persatuan masyarakat Islam). C. Kesimpulan Islam Indonesia merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Sebab baik secara kultur, sosial, suku bangsa maupun tata bahasa berbeda dengan tradisi negara-negara muslim yang lain, terutama dengan negara-negara timur tengah yang nota bene dianggap sebagai basisnya Islam. Islam Indonesia adalah Islam yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan dan pengaruh tradisi-tradisi lokal. Para intelektual, ulama dan pemikir Islam di negeri ini selalu berusaha mendominasikan Islam agar bisa diterapkan dalam konteks keindonesiaan. Langkah-langkah yang ditempuh untuk memasyarakatkan ajaran Islam dalam konteks keindonesiaan dimulai para tokoh dakwah Islam sejak Islam masuk dalam negeri ini. Mereka selalu respek terhadap tata cara, adat istiadat dan budaya msyarakat lokal. Mereka berusaha menyebarkan Islam dengan tidak mengabaikan tradisi-tradisi yang mengakar sebab jika mengkonfrontasikannya mereka pasti mengalami kegagalan. Ada upaya-upaya menyesuaian jika memang tidak dapat mengubah dengan adat dan tradisi setempat. Kenyataan tersebut menunjukkan adanya kedinamisan dalam memahami Islam. Secara faktual bukankah Islam itu diturunkan dalam dunia Arab. Di lokasi inilah Islam pada mulanya diturunkan dengan bahasa Arab sebagai medianya. Maka, tidak mengherankan kalau nuansa Arab sangat nampak dalam ajaran-ajaran Islam. Akan tetapi, Islam bukanlah untuk dunia Arab saja, namun Islam turun untuk memberikan pencerahan bagi masyarakat dunia. Dari sini tentu 19
Ahmad Ali Riyadi,”Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama,” dalam Hermeneia, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2005, hal. 194.
akan ntimbul permasalahan karena setting masyarakat selalu berbeda-beda dari satu periode ke periode lainnya, bahkan dari satu tempat ke tempat lainnya meskipun dalam periode yang sama, Islam dibutuhkan untuk selalu up to date dengan masyarakat yang ada. Dengan demikian, diperlukan keberadaan piranti tertentu sebagai upaya memproduk ajaran-ajaran Islam sehingga selalu memberikan solusi-solusi aktual masyarakat. Dalam studi Islam piranti tersebut dinamakan ijtihad (pembaharuan). Ijtihad atau pembahatuan Islam sangatlah diperlukan untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam selalu up to date. Kenyataan inilah yang melatarbelakangi munculnya para mujtahid Islam di Indonesia, sebagai akibat dari wilayah yang begitu jauh dari pusat dan tumbuh kembangnya Islam yang nota bene memiliki setting sosio kultur yang berbeda dengan wilayah-wilayah Islam lainnya.
Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin,”Al-Ta’wil al-‘Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” dalam al-Jami’ah, Vol 39 No. 2 July-Desember 2001. al-Jabiri, Muhammad Abed, at-Turâts wa al-Hadâtsâh: Dirasah wa Munâqasâh, Beirût: al-Markaz al-Tsiqafî al-‘Arabî, 1991. ---------, Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, penerj. Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCISoD, 2003. ---------, Post-Tradisionalisme Islam, penerj. Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000.. Arkoun, Mohammad, al-Fikr al-Islami: Qira’at al-Islamiyah, Beirut: Markaz al‘Arabi, 1987. Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid 1969-1980, Jakarta: Paramadina, 1999. Baso, Ahmad,“Posmodernisme Sebagai Kritik Islam: Kontribusi Metodologis Kritik Nalar Muhammad Abed Al-Jabiri,” dalam Muhammad Abed al-Jabiri, PostTradisionalisme Islam, penerj. Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000. Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London: Routledge & Kegan Paul, 1980. Chandler, Maj. Jennifer,”The Explanatory Values of Social Movement Theory,” dalam Strategic Insights, Volume IV, Issue 5, May 2005. Dhakiri, Muh. Hanif dan Zaini Rachman, Post-Tradisionalisme Islam: Menyingkap Corak Pemikiran Dan Gerakan PMII, Jakarta: ISISINDO MEDIATAMA, 2000. Diani, Mario,”The Concept of Social Movement,” dalam Kate Nash (edt.), Readings in Contemporary Political Sociology, Oxford: Blackwell Publishers Ltd., 1999. htt://www.casbs.org/files/McAdam Ida, Laode,”NU Era Reformasi dan Pasca Gus Dur: Problem Khittah dan Nasib Gerakan Sosial,” dalam Tashwirul Afkar , Edisi No. 6 tahun 1996. McAdam, Doug, Political Process and Development of Black Insurgency 19301970, Chicago: University of Chicago Press, 1982. Mirsel, Robert, Teori Pergerakan Sosial: Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis, Yogyakarta: Resist Book, 2004. Riyadi, Ahmad Ali, Dekonstruksi Tradisi: Kaum Muda NU Merobek Tradisi, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2006.
----------,“Menelusuri Gerakan Post-Tradisionalisme Islam di Indonesia,” dalam Profetika: Jurnal Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta , Vol. 6, No. 1. Januari 2004. ------------,”Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama,” dalam Hermeneia , Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2005. Wahid, Marzuki,“Post-Tradisionalisme Islam: Gairah Baru Pemikiran Islam di Indonesia,” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 10 Tahun 2001.