Nama: I Putu Agung Wira Sudewa No KTP: 5103050305930004
PENDIDIKAN ADALAH PEMBEBASAN Education as an act of love, as a critical dialogical process, ultimately foster conscientizacao and is born in culture circle (Paulo Freire, 1999)
Putu adalah seorang murid kelas 6 di SD Negeri 2 Mundeh, Selemadeg Barat, Tabanan. Setiap hari ia harus berjalan kaki bersama teman-temanya sejauh 8 Km dari rumahnya untuk dapat bersekolah. Kondisi sekolah Putu layaknya sekolah kecil di pedesaan—miskin guru, miskin sarana, dan miskin prestasi. Dia menceritakan bahwa di sekolahnya hanya ada 6 guru yang mengajar, padahal murid di sekolah ini mencapai jumlah ratusan orang. Tapi semangat Putu untuk bersekolah tetaplah tinggi, ia mengatakan kepada saya, “Sekolah adalah jalan saya untuk meraih cita-cita”. Dialog singkat saya dengan Putu menyadarkan saya bahwa, “Pemerintah dan Kita” masih belum bekerja cukup keras untuk membangun pendidikan yang mampu mencerdaskan bangsa ini. Pencerdasan bangsa, mungkin menjadi agenda besar bangsa ini yang paling sulit diwujudkan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, pada 21 Maret 2011 mengungkapkan bahwa 88,8 persen sekolah di Indonesia, dari SD hingga SMA/SMK belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Implikasi dari semua ini adalah rendahnya daya saing pelajar Indonesia. Riset yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2009, menunjukkan kemampuan membaca, matematika, dan sains pelajar Indonesia berada di bawah standar internasional. Indonesia menempati posisi 60 dari 65 negara. Fakta tentang kondisi pendidikan di tanah air yang masih terpuruk, membuat kita bertanya, apakah kita ingin menjadi bangsa besar? Sepanjang sejarah dunia tidak pernah ada satu bangsa yang berhasil meraih kejayaan tanpa berinvestasi pada sektor pendidikan. Jika para pemimpin kita masih tetap membiarkan kondisi ini, nasib bangsa ini hanya tinggal menghitung umur jagung. Bangsa ini pernah mengalamainya, kita diperdaya (bukan dijajah) selama 350 1
Nama: I Putu Agung Wira Sudewa No KTP: 5103050305930004
tahun oleh bangsa asing. Bangsa asing yang jauh lebih unggul dari sisi ilmu dan teknologi, yang hanya membawa 17 kapal untuk menjajah kerajaan di Jawa, tapi berkat kecerdikan dan ilmu yang dimiliki seluruh kerajaan di Jawa jatuh ketangan mereka. Proses sejarah kemudian berbalik, ketika segelintir elit di Indonesia mampu mengakses pendidikan barat berkat Politik Etis. Waktu itu, muncul namanama seperti Hatta, Soekarno, Soetomo, Iskaq Tjokrohadisurjo dan Tan Malaka yang merupakan cendekiawan awal Indonesia. Tokoh-tokoh itu berhasil merumuskan gagasan keindonesiaan yang bebas dan merdeka dari bangsa lain. Pendidikan pada pada masa itu benar-benar menjadi pengantar bangsa ini kedepan pintu gerbang kemerdekaan. Pendidikan yang Membebaskan Paulo Freire adalah tokoh pendidikan kritis asal Brazil yang membuat sebuah karya monumental bagi dunia pendidikan. Bukunya Education as the Practice of Freedom, menjadi bahan rujukan di banyak negara dunia. Pembebasan bagi Freire, bermakna ketika manusia benar-benar sadar (conscientizacao) akan kondisi ketertindasan yang mereka alami (Freire, 1999). Menurut Freire, selama ini kaum tertindas tidak pernah menyadari dirinya ditindas secara struktur dan sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Bagi Freire cara satu-satunya untuk lepas dari belenggu ketertindasan ini adalah lewat pendidikan. Ki Hajar Dewantara memiliki pandangan yang hampir sama dengan Freire, ketika Dewantara mendirikan Taman Siswa, tujuan awalnya adalah untuk menampung para bumiputera yang tidak diterima di sekolah-sekolah Belanda. Lewat sekolah ini muncul Pemikiran-pemikiran pembebasan yang sadar akan kondisi bangsa yang diperdaya oleh bangsa lain. Pertanyaan besar yang muncul sekarang adalah, apakah sekolah sekarang bisa memunculkan kembali pemikiran pembebasan itu? ataukah sekolah sekarang bukan lagi menjadi tempat penyadaran? Matinya Nilai-Nilai Pendidikan dan Penindasan Diluar angka statistik rendahnya sarana, daya saing, dan inovasi pendidikan di tanah air. Terdapat masalah yang jauh lebih fundamental terkait
2
Nama: I Putu Agung Wira Sudewa No KTP: 5103050305930004
pendidikan di Indonesia. Tiga persoalan pokok itu meliputi, ketidakjelasan orientasi pendidikan, materi pendidikan yang hanya mencetak manusia kerja, dan matinya dialog kritis antara guru dengan murid. Muara akhir dari semua ini adalah bentuk penindasan yang tidak disadari. Orientasi pendidikan sekarang adalah bagaimana menciptakan anak-anak super (super kids) yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi, prestasi yang gemilang, dan mampu mendapatkan pekerjaann dengan gaji besar. “Pokoknya asal sudah pintar, nakal gak apa-apa”. Model pendidikan seperti ini meminggirkan peran akhlak dan karakter, sehingga jangan pernah menyalahkan ketika para pelaku korupsi adalah seorang sarjana yang memiliki segudang ijazah perguruan tinggi. Jangan pernah, pula menyalahkan tingginya tingkat plagiarisme dikalangan mahasiswa, karena yang dituntut hanyalah nilai. Orientasi pendidikan yang tanpa arah melahirkan sebuah mekanisme penilaian yang sifatnya instan yang disebuat Ujian Nasional (UN). UN dijadikan tolak ukur sebagai alat untuk mengukur seberapa jauh tingkat hafalan siswa terhadap pelajaran yang mereka tempuh selama enam/tiga tahun bersekolah. Jika kita melihat apa yang diterapkan di Indonesia dengan negara-negara lain seperti, Norwegia dan Amerika Serikat sangat jauh perbedaannya. Di negaranegara tersebut siswa bukan diajarkan untuk melingkari sebuah jawaban, tapi membuktikan secara langsung, bahkan membantah suatu jawaban yang sudah ada. Anak-anak sekolah menengah di Norwegia akan diminta untuk membuat esai/karya tulis tentang pemikiran mereka sendiri. Anak-anak diluar negeri itu diajari untuk mencipta bukan menjadi followers dari suatu teori. Materi pendidikan juga cenderung bersifat mengikuti tuntutan pasar, muncul sekolah-sekolah yang menawarkan kurikulum internasional dengan beragam keunggulan dan jaminan diterima di dunia kerja. Apakah kita belajar untuk bekerja? Memang tidak ada yang menampik bahwa pendidikan yang baik akan mengantarkan seseorang pada pekerjaan yang baik pula. Haruslah dipahami bahwa sekolah bukanlah lembaga pencetak manusia kerja, tapi manusia yang sadar, yang mampu menjadi pendorong bagi orang lain untuk maju kedepan (Tut
3
Nama: I Putu Agung Wira Sudewa No KTP: 5103050305930004
Wuri Handayani). Pandangan yang memang terkesan sangat idealis, tapi begitulah harapan para pendiri bangsa. Materi pendidikan yang mengikuti tuntutan pasar mengakibatkan pemerintah harus menciptakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Hanya orang-orang berpunya dan memiliki tingkat intelektualitas tinggi saja yang bisa masuk ke sekolah ini. Memang tujuan awal dari berdirinya SBI adalah baik yaitu untuk meningkatkan daya saing Indonesia dengan bangsa lain yang telah menerapkan model kurikulum standar internasional. Namun, hal ini memicu diskriminasi dalam dunia pendidikan, karena si kurang mampu tidak akan bisa masuk SBI. Beruntung, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa SBI inkonstitusional dan akhirnya harus dibubarkan. Hal terakhir yang cukup menyedihkan tentang pendidikan di tanah air adalah hubungan antara guru dengan murid. Hubungan yang terbangun layaknya model banking sytem. Guru layaknya seorang pemberi kredit dan siswa layaknya seorang penerima kredit. Dialog kritis yang seharusnya terbangun antara guru dengan peserta didik tidak pernah terjadi, lantaran murid terlalu takut dengan gurunya. Seorang teman di kelas saya bahkan pernah menuturkan bahwa, “Sebaiknya jangan menentang apa yang dikatakan dosen jika tidak ingin IPK turun”. Fakta ini menunjukkan satu hal, bahwa kejujuran untuk saling mengoreksi satu sama lain telah hilang. Masih adakah keberanian kita untuk bertanya layaknya tokoh Minke dalam novel Bumi Manusia, yang berani mempertanyakan gurunya karena dianggapnya keliru. Model Pendidikan bagi Indonesia Sudah saatnya bagi bangsa ini untuk merubah format pendidikan yang selama ini cenderung meminggirkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan yang dibangun haruslah pendidikan yang mengarahkan kepada pembebasan manusia seutuhnya. Lalu seperti apa pendidikan pembebasan itu? Pendidikan itu haruslah dimulai dari cinta/kasmaran akan ilmu dan prestasi. David Mcleland (2000), menjelaskan bahwa seorang hanya akan bisa maju manakala ia terinfeksi oleh virus N-Ach (need for achievements). Virus itu
4
Nama: I Putu Agung Wira Sudewa No KTP: 5103050305930004
menggerakkan orang untuk menggapai apa yang menjadi tujuannya. Seorang peserta didik haruslah kasmaran dengan ilmu yang ditekuni, tanpa membedakan antara ilmu alam atau ilmu sosial. Ketidakcintaan biasanya muncul karena ilmu itu dianggap susah. Tugas seorang guru adalah meyakinkan peserta didiknya bahwa proses menuntut ilmu harus dimulai dengan penuh ketekunan, pada proses inilah akan terbangun dialog kritis antara guru dengan peserta didik. Penekanan utama disini ialah model pendidikan yang berbasis dialog. Terbukanya ruang dialog membawa implikasi bagi hubungan guru dengan murid sebagai sebuah partner. Guru adalah juga seorang murid, dan murid adalah juga seorang guru. Proses demokratis yang terjalin pada akhirnya yang akan memacu penelitian, kreativitas, dan kekritisan yang akan mendorong kesadaran. Seorang guru yang professional dan mampu membuka ruang dialog memang sedikit jumlahnya di Indonesia. Lebih banyak guru-guru killer yang tidak suka mendapat kritikan dari siswanya. Haruslah diingat bahwa proses menuju student-centered learning hanya bisa terjadi ketika siswa mendapat kenyaman dalam bertanya dengan gurunya. Untuk itu lulusan pendidikan keguruan dan mereka yang ingin menjadi guru/dosen haruslah seorang yang mampu membangun ruang dialog yang jujur. Saya pun mulai bisa memahami mengapa Raden Mas Soewardi Soerjaningrat mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara—gelar kebangsawanan dianggapnya akan membatasi komunikasinya dengan muridnya—semata-mata supaya ia bisa lebih dekat dengan murid-muridnya. Sebagai penutup, model pendidikan ini tidak dapat tercipta dengan satu kata ajaib, “perombakan kurikulum”, model pendidikan ini adalah model pendidikan yang tak dapat dihadirkan, tapi dicari lewat dialog di tengah masyarakat. Kesadaran yang dimiliki oleh Putu dari Desa Mundeh untuk belajar haruslah dibarengi dengan kesadaran dari gurunya dan masyarakat tentang pentingnya arti pendidikan.
5