PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan tumbuhan industri penting penghasil minyak goreng, minyak industri, maupun bahan bakar. Komoditas kelapa sawit menduduki peringkat ketiga penyumbang devisa nonmigas setelah karet dan kopi bagi Indonesia (Lubis 1992). Usaha peningkatan produksi perkebunan kelapa sawit tersebut secara terus menerus ternyata tidak terlepas dari masalah hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang sering menyerang kelapa sawit umumnya disebabkan oleh cendawan patogen Ganoderma spp (Santoso et al. 2001). Penyakit yang disebabkan oleh Ganoderma spp menyerang bagian akar dan gejala penyakit yang ditimbulkannya tersebut hanya terlihat pada akhir infeksi sehingga tanaman tidak dapat diselamatkan. Penyakit tersebut dikenal dengan nama busuk akar (Singh 1991). Pengendalian Ganoderma spp. sulit dilakukan karena ketika gejala dan tanda serangannya dapat diamati, tingkat serangannya sudah parah dan tanaman sudah tidak mungkin diselamatkan lagi sehingga perlu dilakukan pendekatan untuk menanggulangi masalah tersebut. Pengendalian penyakit busuk akar dapat dilakukan dengan pendekatan umum yaitu cara pendekatan kimia maupun cara hayati menggunakan biofungisida Trichoderma dan Penicilium, akan tetapi ini kurang efektif karena daya bunuh relatif lebih lama serta menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti pencemaran tanah (Lubis 1992). Program pemuliaan tanaman dengan menemukan gen yang tahan terhadap Ganoderma spp. menjadi alternatif bagi pengendalian penyakit busuk akar, namun hingga saat ini tanaman yang dimaksud belum pernah ada sehingga untuk memecahkan masalah ini diperlukan pendekatan baru yaitu mendapatkan tanaman kelapa sawit yang tahan terhadap Ganoderma spp. dengan cara menyisipkan gen yang menghasilkan zat yang berfungsi sebagai antijamur, seperti enzim kitinase, glukanase maupun stilbena sintase yang dapat melisis dinding sel hifa jamur patogen. Gen yang yang akan disisipkan dalam rekayasa genetika kelapa sawit diharapkan dapat diekspresikan secara terus-menerus sepanjang hidup tanaman kelapa sawit khususnya pada bagian perakaran, maka dari itu pemilihan promotor yang bersifat konstitutif serta cocok pada kelapa sawit memiliki peran yang sangat penting terhadap
pengendalian penyakit Ganoderma spp. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menyisipkan gen penghasil zat yang berfungsi sebagai antijamur salah satunya adalah gen penyandi kitinase. Gen penyandi kitinase dapat diisolasi dari jamur Trichoderma harzianum yang telah terbukti memiliki agen pengendali biologis terhadap jamur patogen tanaman (Schirmbock et al. 1994; Lorito et al. 1996). Penyisipan gen penyandi kitinase lengkap ke dalam vektor ekspresi dengan metode Gateway dilakukan untuk menguji apakah tanaman kelapa sawit dapat tahan terhadap Ganoderma spp. Gen penyandi kitinase yang telah tersisipkan dalam vektor ekspresi selanjutnya ditransformasikan ke dalam Agrobacterium tumefaciens. Metode Gateway karena digunakan untuk pengklonan merupakan metode yang masih baru, cepat dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk membuat konstruksi gen penyandi kitinase dalam vektor ekspresi dengan metode Gateway yang cepat dan terarah. Hipotesis penelitian ini adalah gen penyandi kitinase dapat dikonstruksikan ke dalam vektor ekspresi menggunakan metode Gateway dan ditransformasikan pada Agrobacterium tumefaciens. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkam bibit transgenik kelapa sawit yang mengekspresikan gen penyandi kitinase sehingga resisten terhadap Ganoderma dan memberikan informasi mengenai metode Gateway sebagai salah satu metode pengklonan.
TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) (Gambar 1) berasal dari Afrika. Tanaman ini sejak tahun 1848 dikenal di Indonesia, namun baru ditanam secara komersial pada tahun 1911. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) berasal dari kata Elaeis (Elaion, bahasa Yunani) yang berarti minyak, sedangkan guineensis berasal dari Guinea yaitu nama pantai barat Afrika yaitu Jacquis (Lubis 1992). Kelapa sawit termasuk ke dalam tanaman monokotil dengan tingkatan taksonomi yaitu kingdom Plantae, divisi Tranceophyta, kelas Monocotyledoneae, ordo Cocoideae, family Palmae, dan spesies Elaeis guineensis Jacq. Varietas kelapa sawit digolongkan menjadi dua macam, yaitu berdasarkan tebal tipisnya cangkang dan
2
warna buah. Tiga tipe dikenal berdasarkan varietas tebal tipisnya cangkang, yaitu: Dura, Pisifera, dan Tenera. Varietas berdasarkan warna buahnya juga terdapat tiga tipe, yaitu: Nigrescens, Virescens, dan Albescens (Setyamidjaja 2006). Upaya peningkatan produksi kelapa sawit memiliki hambatan, salah satu hambatan tersebut adalah adanya gangguan penyakit yang disebabkan oleh hama dan penyakit. Terdapat pelbagai cara untuk mengklasifikasikan hama dan penyakit pada tananam kelapa sawit. Klasifikasi tersebut berdasarkan bagian tanaman yang diserang dan jenis hama yang menyerang. Klasifikasi berdasarkan bagian tanaman yang diserang dikenal dengan hama perusak (pemakan) daun, perusak bunga dan buah, perusak akar dan batang. Ditinjau dari jenis hama yang menyerang maka hama yang menyerang dapat dibedakan yaitu hama serangga, nematoda, mamalia dan lain-lain (Lubis 1992). Penyebab penyakit busuk pangkal batang atau akar pada kelapa sawit adalah Ganoderma spp. Gejala awal penyakit ini adalah pelepah daun yang berada di pucuk berwarna merah pucat seperti kekurangan hara selanjutnya daun mengalami nekrosis yang dimulai dari daun yang lebih tua sampai ke daun yang lebih muda. Pelepah daun tersebut akan patah dan menggantung pada tanaman kelapa sawit. Umumnya tanaman akan mati setelah 6-12 bulan sejak gejala terakhir, hal ini disebabkan infeksi yang terjadi karena kontak akar yang sakit (Lubis 1992).
kali dideskripsikan Karsten pada 1881 dengan nama Ganoderma P Karsten. Ganoderma spp. sendiri berasal dari bahasa latin yaitu gan yang berarti berkilauan dan derm yang berarti kulit. Arti tersebut menggambarkan bahwa tubuh buah Ganoderma agak keras dan mengkilap (Widyastuti 2009). Adapun klasifikasi lengkap dari Ganoderma spp. menurut Alexopoulos (1996) adalah filum Fungi, kelas Basidiomycetes, subkelas Holobasidiomycetes, seri Hymenomycetes, ordo Agaricales, family Polyporaceae, genus Ganoderma, dan species Ganoderma spp. Widyastuti (2009) menyatakan bahwa Ganoderma spp. merupakan fungi penyebab penyakit busuk akar yang dapat membentuk tubuh buah yang merupakan hasil pembuahan seksual. Permukaan tubuh buahnya berpori, berwarna cokelat kemerahan seperti terlihat pada Gambar 2. Posisi tubuh buahnya ada yang duduk (sessile) dan bertangkai (stipitate). Ganoderma spp. memiliki ciri-ciri diantaranya yaitu adanya struktur yang disebut basidium (suatu sel berbentuk tabung atau seperti pemukul bola yang mempunyai empat buah basidiospora di bagian luarnya). Himenium yang dimiliki dapat menutupi permukaan berpori, tubuh buah berkayu, keras dan ulet, serta mempunyai lapisan-lapisan membran, permukaan atas tubuh buah (konus) rata dan halus, dan spora pipih di bagian bawahnya. Ganoderma tumbuh pada daerah dengan ketinggian 300 meter di atas permukaan laut sampai dataran tinggi dengan suhu rata-rata 26-32oC. Di Indonesia Ganoderma tersebar di hutan-hutan Sumatera, Kalimantan dan beberapa hutan tropis lainnya. Ganoderma dapat tumbuh pada kayu yang masih hidup dan kayu yang sudah mati (Martawijaya 1986). Serangan Ganoderma pada tanaman keras sulit dideteksi karena gejalanya mirip dengan gejala serangan penyakit perakaran lainnya termasuk juga mirip gejala kekeringan. Tanaman meskipun sudah menunjukkan gejala sakit, namun tubuh buah Ganoderma kadang-kadang belum terbentuk.
Gambar 1 Tanaman kelapa sawit. Ganoderma spp. Menurut Alexopoulos (1996), Ganoderma spp. diklasifikasikan ke dalam dunia fungi yang merupakan anggota Basidiomycetes penyebab penyakit pada tanaman keras dengan kemampuan mendekomposisi lignin, selulosa, dan polisakarida. Jamur ini pertama
Gambar 2 Ganoderma spp.
3
Di lain pihak, pada tanaman yang tampak sehat dapat ditemukan tubuh buah Ganoderma di pangkal batangnya (Bassett & Peters 2003). Gen Penyandi Kitinase sebagai Gen Ketahanan Kitinase merupakan enzim yang mempunyai kemampuan mendegradasi kitin, sebagai komponen utama dinding sel jamur (Datta et al. 2000). Kitinase selain memiliki kemampuan tersebut juga melepaskan oligoN-asetil-glukosamin yang berfungsi sebagai substansi yang telah terbukti berperan penting dalam mengaktifkan respon ketahanan (Ren & West 1992). Faath (1994) menyatakan bahwa kitinase juga dapat diproduksi oleh bakteri untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya dengan mendegradasi kitin karena kitin merupakan sumber utama karbon dan nitrogen untuk beberapa bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa kitinase merupakan enzim ekstrasel. Beberapa bakteri yang diketahui dapat menghasilkan kitinase diantaranya adalah Bacillus circulans, Pseudomonas Serratia marcescens, aeruginosa, Streptomyces sp., Aeromonas hydrophyla, Vibrio furnissi (Kupiec & Ilan 1998) dan bakteri lain yang mampu menghasilkan kitinase adalah Aeromonas cavae, Bacillus licheneformis, Enterobacter agglomerans, dan Xanthomonas sp. (Patil et al. 2000). Beberapa publikasi hasil penelitian melaporkan bahwa tanaman yang mengekspresikan gen penyandi kitinase terbukti mempunyai ketahanan terhadap cendawan tertentu, seperti tanaman padi yang tahan terhadap Rhizoctonia solani (Lin et al. 1995; Datta et al. 2000), tanaman mentimun yang tahan terhadap serangan Botrytis cinerea (Tabei et al. 1998) dan tanaman tembakau yang tahan terhadap cendawan Sclerotinia sclerotiorum (Terekawa et al. 1997). Kitinase diduga dapat digunakan sebagai perlindungan terhadap jamur patogen. Pendugaan tersebut didukung oleh pengamatan tumbuhan tingkat tinggi yang tidak mepunyai kitinase, ternyata setelah diberikan kitinase tumbuhan tersebut menunjukkan aktivitas antijamur secara in vitro (Lin et al. 1995). Metode Pengklonan Gateway Metode pengklonan Gateway dikembangkan oleh peneliti dari perusahaan Life Technologies (Hartley et al. 2000). Metode Gateway merupakan metode biologi molekular yang memungkinkan peneliti untuk memindahkan fragmen DNA dari suatu
plasmid ke plasmid lain secara efisien dengan menggunakan suatu set urutan rekombinasi yang disebut situs”att Gateway”. Metode pengklonan Gateway pada dasarnya bergantung pada dua reaksi yakni, reaksi Bacteriophage (BP) dan Left Right (LR). Reaksi BP (Gambar 3) pada metode pengklonan Gateway terjadi penggabungan situs attP yang berukuran 242 pb dari faga lamda dan situs attB yang berukuran 25 pb dari rekombinasi E. coli dan genom faga lamda disambungkan ke genom E. coli. Hasilnya genom faga diikat oleh attL yang berukuran 100 pb dan attR yang berukuran 168 pb sedangkan kebalikanya faga lamda dipotong dari genom E. coli dengan rekombinasi di antara situs attL dan attR dalam reaksi LR seperti terlihat pada Gambar 4. Reaksi ini merekombinasikan gen sisipan yang diikat oleh situs attL dengan vektor destinasi yang membawa situs attR. Hasilnya gen sisipan diikat oleh dua situs yakni situs attB1 dan attB2 yang selanjutnya disebut klon ekspresi. Reaksi BP terjadi ketika gen yang akan dikloning di desain dengan menggunakan situs att lalu direaksikan dengan vektor donor yang mengandung ccdB. Reaksi tersebut menggunakan bantuan BP clonase sehingga menghasilkan klon entri dimana gen yang akan dikloning bertukar tempat dengan ccdB pada vektor donor seperti yang terlihat pada Lampiran 5. Klon entri yang sudah mengandung gen yang akan di klon kemudian direaksikan dengan vektor donor pada reaksi LR menggunakan LR klonase sehingga gen yang terdapat pada klon entri bertukar tempat
Gambar 3 Reaksi BP dalam metode Gateway.
4
Gambar 4 Reaksi LR dalam metode Gateway. dengan ccdB pada vektor destinasi menghasilkan vektor ekspresi yang telah mengandung gen yang ingin di klon (Lampiran 6) Tujuan utama dari modifikasi pengklonan Gateway adalah untuk memperkirakan Open Reading Frame (ORF) yang menyandi protein dalam vektor entri untuk mencegah keberadaan atau penambahan muatan sekuens yang sering kali tinggi setelah rekombinasi yang dapat mempengaruhi fungsi protein (Dubin et al. 2008). Polymerase Chain Reaction (PCR) Teknik PCR merupakan teknik yang berguna dalam amplifikasi suatu sekuen DNA spesifik dengan bantuan enzim, dan dilakukan secara in vitro. Sampai sekarang telah terdapat beberapa pengembangan dari teknik PCR dan telah banyak digunakan untuk pelbagai macam manipulasi dan analisis genetik (Yuwono 2006). Instrumen PCR dapat digunakan untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan mensintesis molekul (Muladno 2002) DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu termocycler. Primer yang berada sebelum daerah target disebut sebagai primer forward sedangkan primer yang berada setelah daerah target disebut primer reverse. Enzim polimerase merupakan enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian molekul DNA baru. Menurut Yuwono (2006) komponen yang dibutuhkan dalam reaksi PCR adalah (1) DNA target (template), yaitu fragmen DNA yang
akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer. Reaksi PCR merupakan tiruan dari proses replikasi DNA, yaitu dengan adanya pembukaan rantai DNA utas ganda, penempatan primer dan perpanjangan dari arah 5’ ke 3’, hanya saja pada teknik PCR tidak menggunakan enzim ligase dan primer RNA. Secara ringkas, teknik PCR dilakukan dengan cara mencampurkan sampel DNA dengan primer oligonukleotida, deoksiribonukleotida trifosfat, enzim termostabil Taq DNA polimerase dalam larutan yang sesuai, kemudian menaikkan dan menurunkan suhu campuran secara berulang selama beberapa jam sampai diperoleh jumlah sekuen DNA yang diinginkan (Saiki et al. 1989). Menurut Saiki et al. (1989) satu siklus yang terjadi pada teknik PCR terdiri atas tiga tahap (Gambar 5), yaitu denaturasi, annealing dan ekstensi. Denaturasi dilakukan pada suhu 90-95oC sehingga terjadi pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi cetakan (template) tempat penempelan primer dan tempat kerja DNA polimerase. Suhu kemudian diturunkan pada tahap annealing untuk penempelan primer
Gambar 5 Proses Polymerase Chain Reaction (PCR).
5
oligonukleotida pada sekuens yang komplementer dengan molekul DNA cetakan. Suhu annealing tiap sekuens DNA bersifat spesifik dan merupakan faktor penentu keberhasilan suatu reaksi PCR. Tahap terakhir adalah ekstensi, pada tahap ekstensi dilakukan pada suhu 72oC. Suhu ini merupakan suhu optimum untuk kerja enzim Taq DNA polimerase. Pada tahap ini terjadi sintesis DNA komplemen dengan DNA cetakan. Ketiga tahap PCR dilakukan berulang kali dalam mesin PCR, pada umumnya antara 2530 kali (siklus) bergantung dari jumlah DNA yang diinginkan sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan (Yuwono 2006). Elektroforesis Elektroforesis merupakan teknik yang memisahkan dan digunakan untuk memurnikan fragmen-fragmen DNA ataupun RNA yang memiliki muatan listrik di bawah pengaruh medan listrik (Clark & Christopher 2008). Mobilitas fragmen DNA pada gel elektroforesis sangat dipengaruhi oleh komposisi dan kelarutan ion bufer elektroforesis. Konsentrasi ion-ion sangat sedikit dapat menyebabkan migrasi DNA menjadi lambat sedangkan konsentrasi ion yang berlebih akan mengakibatkan gel mencair dan DNA terdenaturasi (Sambrook & Russell 2001). Prinsip elektroforesis adalah memisahkan molekul berdasarkan muatannya (Gambar 6). DNA yang bermuatan negatif akan bergerak ke arah kutub positif selama elektroforesis karena adanya gugus fosfat. Fragmen DNA mempunyai muatan negatif yang sama untuk tiap-tiap ukuran panjang, sehingga pergerakan DNA ini akan memiliki kecepatan yang sama untuk mencapai kutub positif (Clark & Christopher 2008). Gel yang digunakan biasanya berupa polimer bertaut silang (crosslinked) dengan porositas yang diatur sesuai kebutuhan. Gel yang umum digunakan untuk memisahkan protein atau asam nukleat berukuran kecil adalah poliakrilamida. Pemisahan molekul yang lebih besar (lebih dari beberapa ratus basa) menggunakan gel agarosa yang dibuat dari ekstrak rumput laut yang sudah dimurnikan (Khopkar 1990). Konsentrasi agarosa yang sering dipakai yaitu berkisar antara 0.8-1.5%. Konsentrasi gel yang sangat encer (0.1-0.2%) dapat meningkatkan daya pisah elektroforesis tetapi
hal tersebut sulit dilakukan karena gel yang encer sangat mudah pecah. Larutan bufer yang digunakan dalam elektroforesis sama dengan yang digunakan untuk membuat gel. Bufer tersebut dapat dibuat seperti tris-asetatEDTA (TAE) atau tris-borat-EDTA (TBE). Gel agarosa dicampur dengan etidium bromida (EtBr) dan dicetak dengan sisir yang dibuat sumur-sumur tempat memasukkan sampel DNA (Yuwono 2005). Menurut Sambrook & Russell (2001) teknik elektroforesis DNA juga memerlukan loading buffer selain bufer elektroforesis. Bufer tersebut berfungsi untuk meningkakan densitas sampel sehingga fragmen tersebut berada di dasar sumur gel (well) dan tidak menyebar. Hasil elektroforesis dapat teramati secara visual dengan menambahkan etidium bromide (EtBr) pada gel sebelum dicetak. Etidium bromida akan menyisip ke dalam DNA sehingga apabila dilihat di bawah sinar UV pita-pita DNA menjadi terlihat karena etidium bromida akan memendarkan sinar UV (Yuwono 2005).
Gambar 6 Prinsip elektroforesis. Agrobacterium tumefaciens Agrobacterium tumefaciens merupakan bakteri gram negatif yang hidup di tanah. Bakteri ini dapat memindahkan sel secara genetik pada beberapa tumbuhan dikotil serta beberapa tumbuhan monokotil dan gymnosperma. Di alam, A. tumefaciens menginfeksi tumbuhan dan menyebabkan tumor yang disebut empedu mahkota. Tumor ini dimasukkan oleh plasmid yang disebut plasmid Ti (tumor inducing). Plasmid Ti ini mengintegrasikan segmen DNA yang dikenal DNA T ke dalam DNA kromosom sel tumbuhan inangnya (Hwang & Gelvin 2004).
Transformasi ke tanaman dengan Agrobacterium tumefaciens memerlukan keberadaan dua komponen genetik yang terdapat pada plasmid Ti yaitu DNA T, bahan genetik yang dipindahkan ke genom tanaman dan virulen (vir), daerah yang tersusun atas beberapa tempat yang menyandikan protein DNA T dan pemindahan DNA T ke tanaman (Tzafira & Citovsky 2002).
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam proses amplifikasi menggunakan kit platinum dari Invitrogen dan memerlukan bahan-bahan seperti gen penyandi kitinase, primer spesifik Gateway KTN-F, primer spesifik Gateway KTN-R, M13-R, M13-F, larutan bufer, MgCl2, dNTPs, Taq polimerase, dan molecular water (aquabides). Bahan yang digunakan untuk elektroforesis yaitu gel agarosa (Sigma), bufer Tris-Borate-EDTA (TBE) 0.5x, Etidium bromida (EtBr) 5 µg/100ml, loading buffer (Bromfenol biru 2.5%, sukrosa 40%), dan marker 1 kb plus DNA Ladder (Invitrogen). Ekstraksi dan Pemurnian menggunakan kit platinum dari Invitrogen (PureLinkTM Quick Gel Extraction). Isolasi DNA plasmid menggunakan kit dari Fermentas (GeneJETTM Plasmid MiniPrep Kit). Bahan lainnya yang digunakan yaitu Gateway® Technology, Invitrogen (vektor pDONR TM, enzim BP clonaseTM, proteinase K, enzim LR clonaseTM), sel kompeten Escherichia coli galur XL-1 Blue, sel kompeten Agrobacterium tumefaciens galur AGL-0, media Luria Bertani (LB), media Luria Agar (LA), nitrogen cair, media YEP (Yeast Extract Pepton), larutan bufer 10x dream Taq, larutan bufer TE, kanamisin 100.000 ppm, dan rifampisin 25.000 ppm. Alat yang digunakan untuk elektroforesis adalah sisir dan cetakan agar, bak elektroforesis, mikropipet, microwave, tabung mikro, adaptor 100 Volt, transluminator ultraviolet (UV) T2201 (Sigma). Alat lain yang digunakan adalah mesin PCR (ESCO Swift max), DNA speed vacum 110 savant, inkubator bergoyang, laminar air flow cabinet, segitiga penyebar, pinset, pisau potong (scalpel), autoklaf, Eppendorf sentrifus 5417R, neraca analitik, dan peralatan-peralatan gelas seperti cawan petri, gelas piala, labu Erlenmeyer, labu takar, dan gelas ukur.
Metode Penelitian sebelumnya oleh Novianthy (2009) telah dilakukan sampai kemudian didapatkan pengurutan basa nukleotida gen penyandi kitinase. Penelitian ini dimulai dari amplifikasi gen penyandi kitinase dengan primer Gateway sampai transformasi ke Agrobacterium sp. Amplifikasi Gen Penyandi Kitinase dengan Primer Gateway (Invitrogen 2010) Amplifikasi gen penyandi kitinase menggunakan kit dari Invitrogen (Platinum® Taq DNA Polimerase). Amplifikasi ini menggunakan sepasang primer spesifik Gateway yakni, Gateway KTN-Forward (KTN-F) dan Gateway KTN-Reverse (KTNR). Proses amplifikasi dimulai dengan menyiapkan campuran reaksi yang terdiri atas 2.5 µL bufer, 1 µL MgCl2, 1 µL dNTPs, 0.2 µL Taq polimerase, dan 14.3 µL aquabides. Siapkan tabung mikro kemudian tambahkan 3 µL aquabides. DNA cetakan (template) dimasukkan ke dalam tabung mikro sebanyak 1 µL. Primer Forward (KTN-F) ditambahkan sebanyak 1 µL ke dalam tabung mikro kemudian ditambahkan pula sebanyak 1 µL Primer Reverse (KTN-R) ke dalam tabung. Campuran reaksi yang telah dipersiapkan sebelumnya ditambahkan sebanyak 19 µL ke dalam larutan DNA. Gen penyandi kitinase diamplifikasi dengan mesin PCR sebanyak 35 siklus dengan program PCR diantaranya adalah predenaturasi pada suhu 94oC selama 7 menit, denaturasi pada suhu 94oC selama 45 detik, penempelan primer (annealing) pada suhu 55oC selama 45 detik, pemanjangan primer (extension) pada suhu 72oC selama 2 menit, dan pascapemanjangan pada suhu 72oC selama 5 menit. Verifikasi produk PCR pada gel agarosa 1%. Elektroforesis Hasil Amplifikasi Membuat Gel Agarosa Konsentrasi 1%. Larutkan serbuk agarosa sebanyak 0.3 gram dalam 30 ml larutan TBE 0.5x. Larutan agarosa kemudian dipanaskan dalam microwave sampai larut ± 1 menit. Diamkan larutan sampai terasa hangat, lalu tambahkan larutan EtBr sebanyak 1.5 µL. Larutan yang telah ditambahkan EtBr dituang ke dalam cetakan dan dibiarkan hingga mengeras membentuk gel. Gel agarosa yang telah mengeras digunakan untuk elektroforesis gen hasil amplifikasi. Elektroforesis Hasil Amplifikasi. Gen yang telah diamplifikasi dengan PCR