PENDAHULUAN Xilitol (disebut juga sebagai gula alkohol atau polialkohol) merupakan pemanis alami yang terdapat pada sayuran dan buahbuahan seperti wortel, kembang kol selada, bawang, pisang, strowberi, raspberry, plum kuning, dan apel. Xilitol juga diproduksi dalam tubuh manusia sebanyak 15 g/hari sebagai senyawa antara (intermediate) dalam metabolisme glukosa (Jaffe 1978; Saha 1997; Kiet et al. 2006). Xilitol mempunyai tingkat kemanisan yang setara dengan sukrosa namun nilai kalorinya (40%) lebih rendah dari kelompok karbohidrat lainnya. Xilitol merupakan gula berkarbon 5 yang tidak dapat difermentasi oleh bakteri Streptococcus mutans penyebab kerusakan gigi, sehingga bersifat nonkariogenik yang aman untuk kesehatan gigi (Uhari et al. 1996; Sampaio et al. 2003). Secara ekonomi xilitol mempunyai harga tinggi yaitu: 5-7$ US per pon, dengan pangsa pasar yang luas yaitu dapat diaplikasikan di bidang kesehatan dan industri bahan makanan, akan tetapi ketersediaan xilitol dalam perdagangan masih rendah. Xilitol tersebar sangat luas di alam dan dapat diperoleh dengan cara ekstraksi langsung melalui sumber yang mengandung xilitol seperti buah-buahan dan sayuran. Namun kandungan xilitolnya rendah, yaitu kurang dari 1% sehingga tidak praktis dan ekonomis untuk memproduksi xilitol melalui metode tersebut (Vandeska et al. 1996; Sampaio et al. 2003). Produksi xilitol secara komersial dilakukan melalui proses hidrogenasi xilosa (C5H10O5) pada suhu dan tekanan yang tinggi (suhu 80-140oC, tekanan 50 atmosfer) dengan bantuan katalis. Pembuatan xilitol melalui proses ini memerlukan biaya yang cukup tinggi karena selain diperlukan energi yang tinggi juga bahan baku utamanya adalah xilosa murni, serta xilitol yang dihasilkan pun masih memerlukan pemurnian yang ekstensif untuk memenuhi standar pemakaian pada industri makanan dan obat-obatan yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi (Rao et al. 2006). Biaya produksi xilitol yang mahal melalui proses hidrogenasi xilosa, serta kebutuhan energi yang tinggi, menyebabkan diperlukannya proses bioteknologi dengan memanfaatkan mikroorganisme sebagai alternatif untuk mengganti proses produksi kimia yang diharapkan lebih ekonomis, dan
lebih singkat agar dapat mengurangi biaya produksi dan mengurangi pemakaian energi. Berdasarkan laporan berbagai hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa mikroorganisme yang terbaik dalam memproduksi xilitol adalah khamir terutama genus Candida. Hasil penelitian Tom Granstrom (2002) menunjukkan bahwa Candida tropicalis adalah penghasil xilitol terbaik dengan produktivitas 5,7 gram xilitol per liter. Produksi xilitol optimum secara fermentasi dapat ditentukan oleh biokonversi xilosa menjadi xilitol melalui metabolisme yang dilakukan oleh khamir, serta parameter optimum yang digunakan, seperti pH, temperatur, konsentrasi substrat, konsentrasi ko-substrat, dan aerasi. Di dalam penelitian ini akan dikaji faktor konsentrasi xilosa sebagai substrat dan glukosa sebagai kosubstrat, dengan menggunakan khamir golongan Candida, yaitu Candida tropicalis. Penelitian ini bertujuan menentukan waktu inkubasi optimum untuk panen sel Candida tropicalis dan produksi xilitol, serta kondisi lingkungan optimum untuk memproduksi xilitol, meliputi konsentrasi substrat dan ko-substrat. Hipotesis dari penelitian ini adalah diperoleh kondisi optimum untuk memproduksi xilitol, dan diharapkan dengan penambahan ko-substrat berupa glukosa pada media xilosa dapat meningkatkan produksi xilitol. Semakin tinggi konsentrasi xilosa, maka semakin banyak biomasa sel Candida tropicalis yang dihasilkan, dan semakin tinggi xilitol yang dihasilkan. Manfaat dari penelitian ini, dapat digunakan sebagai acuan untuk memproduksi xilitol dengan menggunakan hidrolisat ampas tebu, sebagai substrat utama pada media fermentasi.
TINJAUAN PUSTAKA Xilitol Xilitol merupakan gula berkarbon 5 (Gambar 1) yang tidak dapat difermentasi oleh bakteri S. mutans penyebab kerusakan gigi, sehingga bersifat nonkariogenik yang aman untuk kesehatan gigi (Uhari et al. 1996; Sampaio et al. 2003). Xilitol mempunyai tingkat kemanisan yang setara dengan sukrosa namun nilai kalorinya (40%) lebih rendah dari kelompok karbohidrat lainnya. Xilitol memiliki sifat-sifat antara lain: mudah larut dalam air, tahan terhadap panas sehingga tidak mudah mengalami karamelisasi, memberikan sensasi dingin seperti mentol (Ahmed 2001).
2
Gambar 1 Struktur kimia xilitol. Sifat-sifat tersebut sangat baik untuk pengembangan produk pangan maupun produk farmasi. Salah satu produk makanan yang menggunakan xilitol adalah permen karet. Hampir sebagian besar sekitar 80%, produk permen karet di Negara Finlandia menggunakan bahan pemanis xilitol, begitu juga di Negara Jepang, xilitol termasuk salah satu dari 12 komponen bahan pangan yang dapat memberikan efek menyehatkan tubuh (Foods for Specified Health Use) atau kini lebih dikenal dengan istilah pangan fungsional. Xilitol dapat diaplikasikan pada industri farmasi, produk perawatan kesehatan, dan industri bahan makanan (Gurgel et al. 1995). Secara famakologi, xilitol mempunyai peran untuk mencegah kerusakan gigi, infeksi telinga pada anakanak, dan sebagai pengganti gula untuk pasien diabetes (Kiet et al. 2006; Rao et al. 2006). Xilitol merupakan sumber karbohidrat yang dapat dimetabolisme oleh tubuh tanpa melibatkan insulin serta secara lambat diserap oleh tubuh, sehingga ideal digunakan untuk pasien penderita diabetes yang sangat tergantung pada ketersediaan insulin (Emodi 1978; Tochampa et al. 2005). Selain itu xilitol juga banyak digunakan pada berbagai produk kesehatan gigi, seperti pasta gigi (Kiet et al. 2006). Produksi Xilitol oleh Mikrob Produksi xilitol yang pernah dilakukan selama ini masih belum efisien dan efektif untuk menghasilkan xilitol dalam skala besar dengan harga yang relatif murah. Salah satu cara yang sering dilakukan yaitu secara komersial melalui proses hidrogenasi xilosa (C5H10O5), pada suhu dan tekanan yang tinggi (suhu 80-140oC, tekanan 50 atmosfer) seperti yang disajikan pada Gambar 2, dengan bantuan katalis. Pembuatan xilitol melalui proses ini memerlukan biaya yang cukup tinggi karena selain diperlukan energi yang tinggi, bahan baku utamanya adalah xilosa murni, serta xilitol yang dihasilkan pun
masih memerlukan pemurnian yang ekstensif untuk memenuhi standar pemakaian pada industri makanan dan obat-obatan yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi (Rao et al. 2006). Prosedur bioteknologi dengan menggunakan mikroorganisme merupakan salah satu alternatif untuk menghasilkan xilitol dan diharapkan dapat lebih ekonomis dari segi biaya produksi dan pemakaian energi. Proses ini dilakukan untuk mengganti proses produksi xilitol secara kimia yang terbilang relatif mahal. Selain itu, xilitol dapat diproduksi dengan memanfaatkan hidrolisat hemiselulosa (xilan) sebagai pengganti xilosa murni yang dapat mengurangi biaya untuk pemisahan dan pemurnian (Sampaio et al. 2003). Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber xilan adalah padi, gandum, jerami, tongkol jagung, dan ampas tebu (Vandeska et al. 1996). Mikroorganisme yang digunakan untuk memproduksi xilitol, diantaranya: bakteri, jamur, dan khamir. Khamir adalah salah satu mikrob yang bertanggung jawab dalam biokonversi xilosa menjadi xilitol terutama dari genus Candida (Candida guilliermondi, C. tropicalis, C pelliculosa, C. parapsilosis), dan spesies lainnya yaitu Debaryomyces hansenii, Saccharomyces sp, dan Pennicillium sp (Vandeska et al. 1995; Carvalho et al. 2000; Ko et al. 2006; Diz et al. 2002; Onishi dan Suzuki 1969; Sampaio et al. 2003). Beberapa spesies khamir yang digunakan untuk memproduksi xilitol disajikan pada Tabel 1.
Gambar 2 Hidrolisis dan hidrogenasi xilosa menjadi xilitol, xilan (C5H8O4)n, n~200 (a); D. xilosa (C5H10O5) (b); xilitol (C5H12O5)(c).
3
Tabel 1 Produksi xilitol oleh mikroorganisme dalam media xilosa atau campuran gula komersial (Parajo et al. 1998). Microorganism
Candida tropicalis HPX2
24
So (g l1 ) 51
Pachysolen tannophilus ATCC32691; P.tannophilus PT15; S.cerevisiae SC138; Candida sp.; Candida sp. B-22
2472
65100
0.902.71
53.8100
3286
0.632.17
0.880.60
--
168
250
1.49
100
210
1.25
0.84
--
C.guillermondii FTI-20037
78
104
1.33
100
77.2
0.99
0.74
Debaryomyces hansenii DTIA 77 C.parapsilosis ATCC 28474 D.hansenii DTIA-77
28
90
--
--
62.6
2.24
0.70
0.04 8 --
--
10
0.28
44.2
1.37
0.087
0.31
0.32
48
90
1.56
81
40.3
0.84
0.54
0.13
C.guillermondii NRC 5578
406
300
0.74
100
221
0.54
0.75
0.02
C.guillermondii NRC 5578;
300100
1.780.19
100
20774
1.230.14
0.690.74
--
155300 43
0.340.5 0.66
91.5100 74
95220 23.5
0.281.35 0.49
0.500.74 0.74
--
C.guillermondii FTI 20037
168. 7528. 6 70800 48
C.mogii ATCC 18364
--
53
--
--
--
0.70
0.12
C.parapsilosis ATCC 28474; C.guillermondii NRC 5578 C.boidinii NRRL-Y17213
--
100300
0.230.67
--
--
0.170.44
0.750.66
0.050.03
--
100
--
--
--
--
0.2
--
D.hansenii NRRL Y-7426
48
279
5.81
100
221
4.60
0.79
--
C.tropicalis DSM 7524
Time (h)
Qs (g l-1 h-1) 2.08
%S cons.
P (g l-1)
Y p/s (g/g)
Y x/s (g/g)
40
Qp (g l-1 h-1) 1.67
100
0.80
--
--
Reference
Gong et al. (1981) Gong et al. (1983)
Chen & Gong (1985) Barbosa et al. (1988) Girio et al. (1990) Furlan et al. (1991) Roseiro et al. (1991) Meyrial et al. (1991) Nolleau et al. (1993)
da Silva & Afscar (1994) Silva et al. (1994) Sirisansaneeyaku l et al. (1995) Nolleau at al. (1995)
Winkelhausen et al. (1996) Dominguez et al. (1997)
Keterangan : So, konsentrasi substrat awal; Qs, kecepatan konsumsi substrat volumetrik; S% cons, persentase konsumsi substrat; P, konsentrasi xilitol maksimum; Qp, produktivitas xilitol volumetrik; Y p/s, product yield; Y x/s, biomass yield; µmax, kecepatan pertumbuhan maksimum. Pemilihan spesies khamir sebagai penghasil xilitol terbaik telah banyak dilakukan dalam berbagai penelitian. Gong et al. (1983) membandingkan kemampuan dari Candida, Saccharomyces dan Schizosaccharomyces dengan spesies yang berbeda untuk mengikat gula pentosa dan menghasilkan xilitol sebagai produk fermentasi, bahkan dalam spesies yang tidak dapat menggunakan xilosa untuk pertumbuhannya. Amaral-Collaco et al. (1989); Vandeska et al. (1995) memilih Debaryomyces hansenii dan Candida boidinii sebagai penghasil xilitol. Sirisansaneeyakul et al. (1995) membandingkan 11 spesies khamir dan memilih Candida mogii sebagai penghasil xilitol yang paling menjanjikan. Dominguez et al. (1996) menggunakan 6 spesies khamir (Candida, Pachysolen dan
Debaryomyces), dan D.hansenii menghasilkan 106 g/L xilitol dengan produktivitas volumetrik 2.21 g xilitol l-1 h-1 dan product yield (Y produk/substrat) sebesar 0.71 g/g. Konsentrasi xilitol tertinggi yang dilaporkan dalam literatur dihasilkan oleh khamir Candida. Chen dan Gong (1985) mencapai 210 g/L xilitol dari 250 g/L xilosa dengan menggunakan spesies mutan Candida sp., dengan product yield (Y p/s = 0.82 g/g). Meyrial et al. (1991) menghasilkan 221 g/L xilitol dari 300 g/L xilosa (Y p/s = 0.75 g/g) dengan menggunakan Candida guillermondii. Dominguez et al. (1997) menghasilkan 221 g/L xilitol (produktivitas volumetrik Qp = 4.6 g l-1 h-1; Y p/s = 0.79 g/g) dengan menggunakan Debaryomyces hansenii.
4
Produksi xilitol dengan menggunakan bakteri juga dilakukan oleh Yoshitake et al. (1973) yaitu Enterobacter dan menghasilkan xilitol sebesar 33.3 g/L di dalam media fermentasi yang berisi 100 g/L xilosa. Selain itu produksi dengan menggunakan jamur, juga pernah dilakukan oleh Chiang dan Knight (1961), yaitu Penicillium, Aspergillus, Rhizopus, Gliocladium, Byssochamys, Myrothecium, dan Neurospora spp. Dahiya (1991) melakukan penelitian dengan menggunakan kultur Petromyces albertensis, dan menghasilkan xilitol sebesar 39.8 g/L dalam 100 g/L xilosa. Walaupun xilitol juga dapat dihasilkan oleh jamur, tetapi khamir merupakan penghasil xilitol terbaik. Menurut Sampaio et al. (2003) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa xilitol yang dihasilkan oleh jamur sebesar 0.14-0.52 g/L pada konsentrasi xilosa 11.50 g/L dengan waktu inkubasi 96 jam, dan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan khamir, yaitu sebesar 16-17 g/L pada 30 g/L konsentrasi xilosa dengan waktu inkubasi 48 jam. Produksi Xilitol oleh Sel Khamir Candida Produksi xilitol dengan menggunakan mikroorganisme merupakan metode alternatif yang dapat menghemat biaya serta pemakaian energi. Mikrob yang berperan dalam biokonversi xilosa menjadi xilitol yaitu khamir, terutama dari genus Candida. Candida merupakan kelompok makhluk hidup eukariot bersel tunggal (uniseluler) yang umumnya melakukan reproduksi vegetatif dengan tunas dan mempunyai fase
pertumbuhan yang sama dengan khamir. Penyebaran Candida sangat berlimpah di alam, namun umumnya Candida diisolasi dari tanah, air laut, produk fermentasi, dan hewan berdarah dingin. Sedikit sekali Candida yang diisolasi dari manusia dan hewan berdarah panas. Beberapa jenis Candida digolongkan sebagai khamir yang patogen termasuk C.tropicalis dan C.albicans (Hurley 1979). C.tropicalis memiliki taksonomi dengan Kingdom: Fungi, Filum: Deuteromycotina, Famili: Tarulopsidaceae, Genus: Candida, Spesies: C.tropicalis. Hasil penelitian Gong et al. (1981) yang membandingkan 10 spesies khamir menemukan bahwa C.tropicalis adalah penghasil xilitol terbaik, hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Barbosa et al. (1988), yang menggunakan 44 spesies khamir yang berperan dalam biokonversi xilosa menjadi xilitol, dan menyatakan bahwa C.guilliermondii dan C.tropicalis sebagai penghasil xilitol terbaik. Sel khamir Candida mengalami metabolisme seperti yang disajikan pada Gambar 3. Candida memiliki kemampuan untuk mengkonversi xilosa menjadi Dxilulosa melalui reaksi oksidoreduktif yang terdiri atas dua rangkaian reaksi. Xilosa adalah gula pentosa utama yang terdapat di dalam lignoselulosa. Tidak seperti mikroorganisme prokariotik, yang mempunyai isomerase xilosa, tapi sebagian besar Candida melakukan proses asimilasi xilosa, seperti C. tropicalis, yang menggunakan D- xilosa melalui dua reaksi oksidoreduktif enzimatik dengan xylose
Gambar 3 Metabolisme xilosa dan glukosa oleh sel khamir Candida.
5
reductase (XR) dan xylitol dehydrogenase (XDH). Xilosa reduktase (XR) dengan koenzim NADH atau NADPH mengkatalisis reduksi D- xilosa menjadi xilitol. Xilitol yang dihasilkan sebagian diekskresi keluar sel sebagai produk utama, dan sebagian lagi dimetabolisme lebih lanjut oleh XDH dengan koenzim NAD yang mengkatalisis oksidasi xilitol menjadi D-xilulosa. D-Xilulosa diubah menjadi D-xilulosa 5-fosfat oleh enzim xilulosa kinase, dan kemudian masuk ke dalam siklus heksosa monofosfat yang kemudian digunakan untuk pertumbuhan sel dan regenerasi NADH/NADPH. Secara keseluruhan efisiensi asimilasi xilosa terjadi karena adanya aktivitas dari XR dan XDH (Ko et al. 2006). Siklus ini juga menunjukkan asimilasi glukosa oleh Candida sebagai ko-substrat. Glukosa merupakan sumber karbon yang lebih mudah dimetabolisme oleh sel. Sehingga keberadaan glukosa dapat berperan untuk regenerasi koenzim NADPH/NADH dan peningkatan biomasa sel melalui glukosa-6-fosfat (Glu-6P); akibatnya siklus heksosa monofosfat (HMP) yang menghasilkan Glu-6P dari xilulosa melalui xilulosa-5-fosfat menurun (Tochampa et al. 2005). Sehingga konsumsi xilitol oleh sel berkurang dan lebih banyak yang diekskresikan sebagai produk. Idealnya, akumulasi xilitol di dalam sel dan ekskresi sebagai produk ekstraseluler dapat meningkatkan xilitol, karena tidak ada xilitol yang diubah menjadi xilulosa. Menurut Hallborn et al. (1994) penambahan glukosa sebagai ko-substrat dalam media fermentasi dapat menaikkan produk xilitol. Akan tetapi semakin tinggi konsentrasi ko-substrat (glukosa) maka dapat menghambat transport xilosa ke dalam sel, akibatnya dapat menurunkan produksi xilitol (Tochampa et al. 2005). Produksi xilitol yang diperoleh melalui metabolisme khamir dalam hal ini adalah Candida tropicalis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pH, temperatur, konsentrasi substrat, konsentrasi ko-substrat, dan aerasi. Menurut Yulianto (2001) derajat keasaman (pH) medium telah diketahui mempengaruhi pertumbuhan sel dan pengaruhnya bervariasi diantara spesies khamir. Membran sel yang tidak sepenuhnya permeabel terhadap ion hidrogen menyebabkan pH intraseluler berbeda dengan pH medium. Disamping itu pH juga menentukan kelarutan beberapa komponen di dalam medium sehingga
modifikasi pH dapat mengakibatkan pengendapan nutrien dan menjadi tidak dapat diasimilasi oleh khamir. Penurunan kerja khamir dalam fermentasi juga dapat terjadi ketika dalam mediumnya tidak ada kontrol pH (Girio et al. 1990, Silva et al. 1996). Kemampuan khamir untuk memproduksi xilitol terjadi pada temperatur antara 24-45oC dan temperatur optimum biasanya pada batas 28-30oC (Parajo et al. 1998). Barbosa et al. (1988), di dalam eksperimennya dengan C. guilliermondii melaporkan bahwa pertumbuhan maksimum terjadi pada temperatur 35oC dan konsentrasi xilitol maksimum yang dihasilkan pada batas 30-35oC. Konsentrasi substrat (xilosa) juga sangat berpengaruh dalam produksi xilitol. Konsentrasi substrat yang rendah dapat menurunkan hasil produksinya, karena substrat (xilosa) digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan sel. Semakin besar konsentrasi substrat (xilosa) maka semakin besar produksi xilitolnya. Konsentrasi tertinggi xilitol dengan menggunakan galur mutan Candida sp diperoleh 205 g xilitol per liter dari 249 g/L xilosa dengan product yield-nya (Y p/s) sebesar 0.82 g/g (Chen dan Gong 1985). Sedangkan dengan Candida guilliermondii dihasilkan 221 g xilitol per liter dari 300 g/L xilosa menghasilkan Y p/s sebesar 0.79 g/g (Meyrial et al. 1991). Candida tropicalis menghasilkan 84.5 g xilitol per liter dari 150 g/L xilosa menghasilkan Y p/s sebesar 0.56 g/g (Yahashi et al. 1996). Konsentrasi xilosa yang tinggi, tidak selalu menghasilkan xilitol yang tinggi. Rendahnya produksi xilitol selain disebabkan pengaruh inhibitor (hasil samping hidrolisis hemiselulosa) juga disebabkan karena xilitol dapat dimetabolisme oleh khamir untuk pertumbuhan sel (Sanchez et al. 2004). Hambatan tersebut dapat diatasi dengan menambahkan ko-substrat yaitu glukosa, sehingga sebagian besar atau seluruh xilosa dikonversi menjadi xilitol (Yulianto et al. 2006). Besarnya konsentrasi ko-substrat yang ditambahkan dalam media fermentasi juga mempengaruhi produksi xilitol. Penelitian yang dilakukan oleh Yahashi et al. (1995) penambahan glukosa 5-10 g/L meningkatkan produksi xilitol 1.2-1.3 kali (3.26 g/L.h) dibandingkan penelitian sebelumnya sebesar 2.71g/L.h. Sedangkan penambahan glukosa 15-20 g/L tidak meningkatkan produksi xilitol.
6
Faktor yang terakhir yaitu aerasi. Aerasi merupakan faktor yang penting karena ketersediaan oksigen di dalam media dapat mempengaruhi pertumbuhan khamir, kecepatan pengambilan substrat, dan kecepatan pembentukan produk (Wahyuni et al. 2004). Menurut Horitsu et al. (1992); Nolleau et al. (1993), kondisi aerasi untuk produktivitas optimum tergantung pada konsentrasi substrat. Pembentukan xilitol biasanya terjadi di bawah kondisi oksigen yang terbatas dengan tujuan mengakumulasi NADH karena keberadaan oksigen yang berlebihan akan menurunkan aktivitas NADH yang berakibat pada menurunnya akumulasi produksi xilitol (Winkelhausen dan Kuzmanova 1998). Kurva Pertumbuhan Mikrob Pertumbuhan adalah penambahan secara teratur semua komponen sel suatu jasad. Pertumbuhan juga diartikan pertambahan jumlah sel, yang berarti juga pertambahan jumlah organisme, misalnya pertumbuhan yang terjadi pada suatu kultur mikrob. Pembelahan atau perbanyakan sel pada jasad bersel tunggal (uniseluler) merupakan pertambahan jumlah individu, misalnya pembelahan sel pada bakteri akan menghasilkan pertambahan jumlah sel bakteri itu sendiri. Pembelahan sel pada jasad bersel banyak (multiseluler) tidak menghasilkan pertambahan jumlah individunya, tetapi hanya merupakan pembentukan jaringan atau bertambah besar jasadnya. Dalam membahas pertumbuhan mikrob harus dibedakan antara pertumbuhan masing-masing individu sel dan pertumbuhan kelompok sel atau pertumbuhan populasi. Suatu bakteri yang dimasukkan ke dalam medium baru yang sesuai akan tumbuh memperbanyak diri. Jika pada waktu-waktu tertentu jumlah bakteri dihitung dan dibuat grafik hubungan antara jumlah bakteri dengan waktu maka akan diperoleh suatu grafik atau kurva pertumbuhan (Gambar 4). Pola pertumbuhan yang disajikan pada Gambar 4 menunjukkan pertumbuhan mikrob yang terbagi menjadi beberapa fase, yaitu fase permulaan (adaptasi), fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritma (eksponensial), fase pertumbuhan akhir, fase stationer maksimum, fase kematian dipercepat, dan fase kematian logaritma. Fase adaptasi (permulaan) yaitu bakteri baru menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, sehingga sel belum membelah diri. Lama fase adaptasi ini
dipengaruhi oleh media dan lingkungan pertumbuhan, serta jumlah inokulum. Fase adaptasi mungkin berjalan lambat karena beberapa sebab, misalnya kultur dipindahkan dari media yang kaya nutrisi ke media yang kandungan nutrisinya terbatas. Sel mikrob mulai membelah diri pada fase pertumbuhan yang dipercepat, tetapi waktu generasinya masih panjang. Fase permulaan sampai fase pertumbuhan dipercepat sering disebut lag phase. Kecepatan sel membelah diri paling cepat terdapat pada fase pertumbuhan logaritma atau pertumbuhan eksponensial dengan waktu generasi pendek dan konstan. Selama fase logaritma, metabolisme sel paling aktif, sintesis bahan sel sangat cepat dengan jumlah konstan sampai nutrien habis atau terjadinya penimbunan hasil metabolisme yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Selanjutnya pada fase pertumbuhan yang mulai terhambat, kecepatan pembelahan sel berkurang dan jumlah sel yang mati mulai bertambah. Fase stasioner maksimum, jumlah sel yang mati semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel hidup hasil pembelahan sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel hidup konstan, seolah-olah tidak terjadi pertumbuhan (pertumbuhan nol). Kecepatan kematian sel pada fase kematian yang dipercepat terus meningkat sedang kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian logaritma maka kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel hidup menurun dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan jumlah sel hidup tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel mikrob akan tetap bertahan sangat lama dalam medium tersebut.
Fase stationer Fase pertumbuhan akhir
Fase menuju kematian Fase kematian
Fase logaritmik
Fase pertumbuhan awal
Fase adaptasi
Gambar 4 Pola pertumbuhan mikrob.