1
PENDAHULUAN Radikal bebas merupakan unsur atau senyawa yang sangat reaktif dan memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (Kartikawati 1999). Sifat reaktif radikal bebas dapat merusak jaringan tubuh sehingga dapat menimbulkan berbagai macam penyakit metabolis, seperti kanker, penyakit pembuluh darah, disfungsi otak dan sistem saraf. Unsur atau senyawa radikal bebas secara alami sudah terbentuk di dalam tubuh melalui berbagai proses kimiawi yang kompleks. Unsur atau senyawa ini merupakan hasil sampingan dari proses oksidasi atau pembakaran sel dalam yang berlangsung pada waktu seseorang bernafas, melakukan kegiatan olah raga yang berlebihan, mengkonsumsi alkohol, mengalami peradangan atau ketika tubuh berhadapan dengan polusi lingkungan seperti asap kendaraan bermotor, asap rokok, radiasi matahari dan sebagainya. Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi (Tejasari 2000), dan berfungsi untuk menghentikan kerusakan sel akibat radikal bebas (Saleh 2001). Untuk mengatasi bahaya yang timbul akibat radikal bebas, tubuh mengembangkan mekanisme perlindungan, yaitu antioksidan endogen yang terdiri atas enzim-enzim dan berbagai senyawa yang disintesis tubuh (Asikin 2001). Enzim-enzim seperti katalase, glutation peroksidase, dan superoksida dismutase (SOD) merupakan antioksidan endogen yang dapat ditemukan pada berbagai jaringan tubuh (Gitawati 1995). Superoksida dismutase adalah enzim yang mengakatalisis dismutasi ion superoksida radikal (O2-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan molekul oksigen O2. Berdasarkan kofaktor logam dan distribusinya di dalam tubuh, SOD terbagi atas 3 macam, yaitu copper, zinc superoxide dismutase (Cu, Zn-SOD) yang umumnya terdapat dalam sitoplasma eukariot, manganase superoxide dismutase (Mn-SOD) yang biasanya terdapat pada mitokondria organisme aerobik, iron superoxide dismutase (Fe-SOD) yang biasanya terdapat pada prokariot (Mates et al. 1999; Nurwati 2002), dan extra-cellular superoxide dismutase (ec-SOD) yang banyak ditemukan pada cairan ekstraselular pada mamalia (West dan Prohaska 2004).
SOD tergolong enzim yang sangat stabil karena tiap subunit tergabung oleh ikatan non-kovalen dan terangkai oleh rantai disulfida (Fridovich 1986). Enzim ini memainkan peranan yang sangat penting pada garis depan sistem pertahanan antioksidan (Mates et al. 1999). Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ tikus, terdapat dalam jumlah tertinggi di dalam hati, kemudian berturut-turut dalam kelenjar adrenal, ginjal, limpa, pankreas, otak, paruparu, lambung, usus, ovarium, timus, dan lemak (Nurwati 2002) Antioksidan dalam tubuh mempunyai batas tertentu untuk menangkal radikal bebas. Untuk meningkatkan efektivitas antioksidan, beberapa nutrien penting sangat diperlukan oleh tubuh. Efektivitas enzim SOD dapat ditingkatkan dengan adanya nutrien mineral seperti tembaga (Cu) dan Seng (Zn) dan mangan (Mn) (Kartikawati 1999; Tuminah 2000; West dan Prohaska 2004). Kandungan nutrisi yang tinggi pada kelapa kopyor dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber dan mineral yang penting untuk tubuh, salah satunya adalah sebagai kofaktor antioksidan alami SOD yang terdapat dalam tubuh. Air kelapa kopyor mengandung mineral Mn, K, P, S, dan Mg dalam jumlah yang cukup tinggi, sedangkan pada daging buah kelapa kopyor, kandungan mineral terbanyak adalah Fe, Zn, dan Al (Santoso et al. 1996). Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan bahwa suplemen gizi dalam buah kelapa kopyor yang dapat meningkatkan kerja antioksidan SOD pada tubuh tikus yang diinduksi parasetamol. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa kandungan nutrisi dalam daging buah kelapa kopyor dapat menaikkan kerja antioksidan alami SOD pada tikus yang mengalami stres parasetamol. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai potensi kelapa kopyor sebagai sumber mineral untuk kofaktor antioksidan, yang dapat mencegah kerusakan oksidatif akibat induksi parasetamol, dan meningkatkan nilai tambah kelapa kopyor.
TINJAUAN PUSTAKA Hati Hati (hepar) merupakan kelenjar tubuh yang paling besar dan khas karena memiliki fungsi yang kompleks. Hati terletak di sebelah kanan ruang abdomen, tepat dibawah
2
diafragma, berwarna coklat kemerahan (Macfarlene 2000). Menurut Ressang (1984) hati memiliki beberapa fungsi, yaitu sekresi empedu, metabolisme protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral, fungsi detoksifikasi, dan pembentukan sel darah merah. Selain fungsifungsi tersebut, hati juga memiliki peranan dalam pengaturan kadar glukosa darah. Glikogen sebagai bentuk simpanan gula dalam hati cukup tersedia untuk mempertahankan kadar glukosa darah selama beberapa jam. Bila fungsi hati terganggu, maka akan mudah terjadi hipoglikemia. Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan sebagian besar toksik memasuki tubuh melalui gastrointestinal, dan setelah diserap toksikan dibawa oleh vena porta ke hati (Lu 1995). Beberapa kerusakan yang terdapat di hati antara lain pelemakan hati, nekrosis, degenerasi, dan sirosis. Pelemakan hati terjadi bila hati mengandung berat lipid lebih dari 5% (Lu 1995). Pelemakan hati dapat dijumpai di tepi, pusat dan di daerah pertengahan atau diseluruh lobuli akibat pelemakan sentral atau perifer yang meluas. Pelemakan patologis disebabkan oleh hipoksemia, yaitu hati tidak dapat membakar lemak. Selain itu dapat juga disebabkan oleh toksin-toksin yang mengurangi atau menghilangkan fungsi lipotik hati. Secara makroskopis hati mengalami piknosis, karioreksis dan kariolisis (Ressang 1984). Nekrosis hati adalah kematian hepatosit yang dapat bersifat lokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif. Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas tumbuh kembali (regenerasi) yang luar biasa (Lu 1995). Degenerasi suram, berbutir, albuminoid atau parenkim sering terlihat pada prosesproses sepsis ataupun toksik. Secara makroskopik hati terlihat membesar, pinggirnya membundar dan konsistensi rapuh. Bidang sayatan hati berwarna belang atau terlihat seperti telah dimasak (Ressang 1984). Sirosis merupakan bentuk peradangan hati kronis, ditandai dengan fibrosis yakni pembentukan jaringan ikat (Nabib 1987). Sirosis ditandai dengan pengerasan hati yang disebabkan oleh bermacam-macam sebab, antara lain bahanbahan toksik dan parasit yang merusak hati dalam jangka waktu yang lama. Pengerasan terjadi karena hati kehilangan parenkim yang
diikuti dengan pembentukan jaringan ikat secara luas (Ressang 1984). Ressang (1984) mengungkapkan bahwa daya regenerasi sel-sel hati sangat tinggi. Pada hati normal diketahui bahwa lobektomi sebanyak 70% pada hati mengakibatkan proliferasi sel-sel hati yang sangat tinggi, sehingga dalam 2-3 minggu bagian hati yang mengalami kerusakan dapat pulih kembali. Radikal Bebas Dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, makhuk hidup sangat membutuhkan oksigen untuk proses-proses metabolisme dan fisiologis yang terjadi di dalam tubuh. Senyawa oksigen reaktif dalam konsentrasi rendah sangat diperlukan dalam berbagai proses seperti pertahanan terhadap mikroorganisme, namun senyawa oksigen reaktif dalam jumlah besar dapat berbahaya bagi sel dan organisme (Mates dan Jimenez 1999). Sebagai konsekuensi logis dari proses tersebut, dihasilkan produk berupa radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai produk antara. Radikal bebas dalam jumlah berlebihan, pada kondisi patofisiologis tertentu, sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan terjadinya beberapa kerusakan atau kelainan, baik proses biokimia maupun fisiologi dalam sel. Hal ini dapat menyebabkan penyimpangan metabolisme yang dapat berakhir dengan kerusakan dan kematian sel (Halliwell dan Gutteridge 1990). Tingkat radikal bebas yang sangat tinggi pada kondisi tertentu dapat merusak DNA, protein, maupun lemak, yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya beberapa penyakit dan proses degenerasi seperti ketuaan (ageing) dan karsinogenesis pada manusia dan hewan (Wresdiyati 2003). Radikal bebas (free radical), oksidan (oxidant) atau sering disebut senyawa oksigen reaktif (reactive oxygen species) adalah molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (unpaired electron) pada orbital luarnya (Kartikawati 1999). Termasuk didalamnya adalah radikal superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (.OH), nitrit oksida (.NO), peroksinitrit (.ONOO), peroksil (ROO.), dan alkoksil (RO.). Secara teoritis, radikal bebas dapat terbentuk bila terjadi pemisahan ikatan kovalen (Prangdimurti 1999). Adanya elektron yang tidak berpasangan akan menyebabkan radikal bebas sanget reaktif
3
secara kimiawi (Gitawati 1995). Elektron yang tidak berpasangan ini cenderung untuk membentuk pasangan yang menarik elektron dari senyawa lain, sehingga terbentuk radikal baru (Kartikawati 1999). Dalam upaya penstabilan diri atau pemenuhan keganjilan elektronnya, elektron yang tidak berpasangan pada radikal bebas tersebut secara cepat ditransfer atau menarik makromolekul biologis sekitarnya, seperti asam lemak tak jenuh, protein, polisakarida, asam nukleat, dan asam deoksiribonukleat. Makromolekul tersebut merupakan bagian dari sel atau organelnya, maka berakibat kerusakan sel (Tejasari 2000). Radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh (endogenous), maupun luar tubuh (eksogenous). Di dalam tubuh, radikal bebas dapat terbentuk dari reaksi reduksi normal dalam mitokondria, peroksisom, detoksifikasi senyawa senobiotik, metabolisme obat-obatan, dan fagositasi. Sementara itu, dari luar tubuh, radikal bebas dapat berasal dari asap rokok, radiasi, inflamasi, latihan olahraga yang berlebihan, reperfusi, dan karsinogen (Tejasari 2000). Salah satu sumber radikal bebas endogenus adalah proses transport elektron di dalam mitokondria yang dapat menghasilkan superoksida (Gambar 1), respiratory bursts oleh sel fagosit mampu menghasilkan 70%90% superoksida dari total penggunaan oksigen, dan proses oksidasi enzimatik yang melibatkan senyawa organik maupun anorganik, seperti oksidasi Cu2+ dan Fe3+ memfasilitasi produksi radikal hidroksil (.OH) melalui reaksi Haber-Weiss:
H2O2 + Cu+
Cu2+ + OH. + OH-
H2O2 + Fe2+
Fe3+ + OH. + OH-
Salah satu radikal bebas yang banyak dipelajari dan bersifat toksik bagi sel hidup adalah radikal bebas oksigen (superoksida) dan derivatnya, yaitu radikal hidroksil (Gitawati 1995). Radikal bebas superoksida terbentuk apabila satu molekul O2 menerima satu elektron. Superoksida bersifat oksidan dan reduktan, dan dapat bereaksi dengan substrat biologis. Reaktifitas O2- sangat terbatas karena adanya dismutasi spontan yang dapat terjadi pada pH fisiologis membentuk H2O dan O2. Tetapi, dengan terbatasnya reaktifitas O2, radikal ini dapat berdifusi dengan substratnya dalam jarak yang relatif lebih jauh dari tempat asalnya. Sementara itu, radikal hidroksil adalah
O 2-
2O 2 + eO 2- + e - + 2H+
H 2O2
H2O 2 + e-
OH . + OH -
OH . + e- + H-
H2O
OH - + H+
H2O
O 2-
+
4e-
+
4H+
2 H2O
Gambar 1 Pembentukan H2O2 pada reduksi O2 menjadi H2O (Siregar 1992) oksidan yang sangat reaktif, tidak stabil, dan dapat berarksi engan semua substat biologis. Karena sangat tidak reaktif, efek radikal ini berlangsung di daerah yang dekat dengan terbentuknya (Gitawati 1995). Radikal bebas lain yang dapat ditemukan sebagai derivat oksigen adalah hidrogen peroksida. Radikal ini tidak sebahaya radikal superoksida dan bereaksi lambat dengan substrat organik (Gitawati 1995). Ruxton (1994) yang dikutip oleh Subekti (1997) mengemukakan teori bahwa kondisi kronis seperti penyakit kardiovaskuler, kanker, bahkan penuaan (ageing) mungkin dimulai dan diperbanyak oleh aksi oksigen tereksitasi (superoksida radikal, hidroksil radikal, hidrogen peroksida atau oksigen tunggal) yang menyerang lipid membran sel, menyebabkan kerusakan oksidatif, dan menyebabkan sel menjadi lebih peka terhadap racun dan agen karsinogenik. Apabila diproduksi di dalam nukleus sel, dapat menyebabkan kerusakan yang cepat pada DNA yang menyebabkan mutasi sel, yang dapat menimbulkan kanker. Parasetamol sebagai Stimulan Radikal Bebas Parasetamol (asetaminofen, N-acetyl-paminophenol) merupakan turunan dari paraamino-fenol. Parasetamol tergolong obat yang relatif aman dan digunakan secara luas sebagai senyawa antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi (Gan 1980). Parasetamol cepat diserap secara sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat oleh protein plasma. Parasetamol dalam dosis normal mengalami biotransformasi oleh enzim-enzim mikrosom hati. Biotransformasi ini terjadi secara cepat menjadi senyawa yang stabil melalui mekanisme konjugasi dengan glukuronat sebanyak 60%, dengan sulfonat sebanyak 35%, dan sistein sebanyak 3%, serta
4
sejumlah kecil metabolit dalam bentuk terhidroksilasi dan terdeasetilasi menjadi senyawa yang larut air dan tidak beracun sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh melalui urin (Gambar 3) (Gan 1980; Moore et al. 1985). Apabila parasetamol dalam jumlah tinggi dikonsumsi, maka sisa parasetamol akan mengalami biotransformasi dengan sistem sitokrom P450. P450 yaitu suatu sistem enzim di retikulum endoplasma yang segera melakukan biotransformasi oksidatif pada 5-10% parasetamol yang masuk ke dalam tubuh. Parasetamol yang teroksidasi akan berubah menjadi N-asetiliminbenzokuninon (NAPQI) (Gambar 2), suatu senyawa yang toksik dan reaktif. Senyawa radikal ini dapat bereaksi dengan molekul penyusun sel hatim seperti fosfolipid, khususnya pada protein yang memiliki gugus -SH. Jalur lain yang digunakan oleh sitokrom P450 adalah mengkonversi parasetamol menjadi semikuinon. Semikuinon ini dapat bereaksi dengan gugus –SH atau mereduksi oksigen menjadi O2. Oksidasi senyawa ini akan menghasilkan suatu radikal bebas lagi yag dapat mengoksidasi molekul fosfolipid lainnya, sehingga terjadi reaksi oksidasi berantai. Reaksi ini dapat menyebabkan berubahnya komposisi membran sel hati dan kemudian menyebabkan nekrosis (Murugesh et al. 2005). Jumlah radikal bebas yang melebihi ketersediaan senyawa-senyawa penetralisir dalam hati memungkinkan terjadinya reaksi antara radikal bebas dengan membran sel hati. Salah satu tanda kerusakan hati yang diakibatkan oleh parasetamol adalah menurunnya jumlah protein total maupun glikogen. Penurunan tersebut menandakan berkurangnya jumlah sel hepatosit yang memproduksi protein dan glikogen sehingga bobot organ hati secara keseluruhan lebih kecil daripada bobot normalnya.
Gambar 2 Senyawa yang dihasilkan dari oksidasi parasetamol (Mason & Fischer 1986)
Gambar 3 Mekanisme biotransformasi parasetamol (Lee 1995) Antioksidan Tuminah (2000) menyatakan bahwa antioksidan adalah suatu substansi yang menghentikan atau menghambat kerusakan oksidatif terhadap molekul target. Tubuh mengembangkan mekanisme perlindungan, baik untuk mencegah pembentukan oksidan dan peroksidasi lipid maupun memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat bahaya yang timbul dalam kehidupan aerobik. Antioksidan sebagai sistem perlindungan dapat dibedakan atas antioksidan endogen yang terdiri atas enzim-enzim dan berbagai senyawa yang disintesis tubuh, dan antioksidan eksogen yang diperoleh dari bahan makanan (Asikin 2001, Wresdiyati 2004). Halliwell dan Gutteridge (1990) membagi antioksidan biologis berdasarkan proses enzimatik dan non-enzimatik. Termasuk kedalam antioksidan proses enzimatik adalah superoksida dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan fosfolipid hidroperoksidase. Sedangkan yang termasuk antioksidan proses non-enzimatik adalah antioksidan larut lemak (α-tokoferol, karetinoid, quinon, dan bilirubin) dan antioksidan larut air (asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat heme). Mekanisme kerja antioksidan pada senyawa radikal ada tiga macam, yaitu (1) antioksidan primer yang berperan untuk mengurangi pembentukan radikal bebas baru dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan primer ini terdiri atas superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Ketiga antioksidan
5
tersebut dapat mengubah radikal superoksida menjadi air. (2) antioksidan sekunder yang berperan untuk mengikat radikal bebas dan mencegah amplifikasi radikal. Antioksidan sekunder terdapat pada vitamin C, vitamin B, vitamin E, betakaroten, dan senyawa-senyawa fitokimia. (3) antioksidan tersier yang berperan dalam mekanisme biomolekuler. Antioksidan tersier terdiri atas enzim perbaikan DNA dan metionin sulfoksida reduktase (Kartikawati 1999). Antioksidan mampu memerangi radikal bebas baik dengan cara mencegah, menghentikan ataupun memperlambat proses oksidasi (Schuler 1990 dalam Wresdiyati 2004). Antioksidan melindungi sel dan jaringan sasaran dengan cara memusnahkan Spesies Oksigen Reaktif (SOR) secara enzimatik atau dengan reaksi kimia langsung, mengurangi pembentukan SOR, mengikat ion logam yang terlibat dalam pembentukan spesies yang reaktif (tranferin, seruplasmin, albumin), memperbaiki kerusakan sasaran serta menghancurkan molekul yang rusak dan menggantinya dengan yang baru (Asikin 2001). Antioksidan bereaksi melalui pembersihan senyawa oksigen reaktif atau penurunan konsentrasinya secara lokal (eliminating oxygen), pembersihan ion logam katalitik (immobilizing catalysts or metal ion), pembersihan radikal bebas yang berfungsi sebagai inisiator seperti hidroksil, peroksil, dan alkalosil (terminating chain reaction), pemutus rantai dari rangkaian reaksi yang diinisiasi oleh radikal bebas (inhibiting radical-generating enzymes), dan peredam reaksi, serta pembersih singlet oksigen (Kartikawati 1999). Superoksida dismutase (SOD) adalah antioksidan yang berperan dalam memerangi radikal superoksida (Gitawati 1995). Menurut Fridovich (1976), superoksida dismutase ditemukan pada organisme yang menggunakan oksigen untuk metabolismenya, tetapi tidak ditemukan pada organisme anaerob obligat.
Cu,Zn-SOD (Gambar 4), mangan (Mn) pada Mn-SOD, dan besi (Fe) pada Fe-SOD. Pada manusia, ditemukan tiga bentuk SOD, yaitu cytocolic Cu,Zn-SOD, mitochondrial Mn-SOD, dan extracellular SOD (Mates et al. 1999; Nurwati 2002), sedangkan Fe-SOD umumnya ditemukan pada organisme prokariot (West dan Prohaska 2004). Enzim SOD tidak selalu bekerja bersama-sama, terkadang satu jenis enzim SOD berperan lebih dominan dibandingkan yang lainnya. Cu,Zn-SOD terdapat di dalam sitosol berperan sebagai faktor pertahanan utama yang bertugas melindungi sel dari radikal superoksida. Mn-SOD lebih berperan dalam pertahanan sel dalam menghadapi stress etanol (Costa et al. 1997). Cu,Zn-SOD merupakan homodimer dan terdapat pada sitoplasma eukariot, peroksisom, kloroplas, dan periplasma prokariot (Asikin 2001). Menurut Mates dan Jimenez (1999), enzim Cu,Zn-SOD adalah kelas lain dari SOD yang biasanya tersusun atas dua subunit identik dengan berat molekul sekitar 32kDa, masing-masing unit mengandung sekelompok logam, sisi aktif dan tersusun dari tembaga (Cu) dan seng (Zn) (Alscher 2002). Enzim ini tergolong enzim yang sangat stabil karena setiap subunit tergabung oleh ikatan nonkovalen dan terangkai oleh rantai disulfida (Fridovich 1986). Cu,Zn-SOD dipercaya memainkan peranan yang sangat penting pada garis depan pertahanan antioksidan (Mates et al. 1999). Dalam melawan radikal bebas, kerja enzim SOD dibantu oleh dua enzim lain, yaitu katalase dan glutation (GSH) peroksidase. Enzim SOD secara spontan merubah radikal O2- menjadi H2O2 dan oksigen dengan kecepatan reaksi sekitar 105 M-1 s-1 pada pH 7, reaksinya sebagai berikut: O2- + 2H+ O2 + H2O2. Reaksi tersebut berlangsung sangat cepat dan hanya dibatasi oleh frekuensi tumbukan SOD dengan superoksida. Hidrogen peroksida yang dihasilkan masih cukup berbahaya sehingga perlu pengubahan lebih lanjut oleh katalase menjadi air dan oksigen.
Enzim Superoksida Dismutase (SOD) Superoksida dismutase (SOD) merupakan metaloenzim yang mengkatalisis dismutasi anion superoksida yang sangat reaktif menjadi oksigen (O2) dan senyawa yang tidak terlalu reaktif seperti hidrogen peroksida (H2O2). Sedikitnya terdapat empat jenis logam yang umumnya menjadi atom pusat pada enzim ini, yaitu tembaga (Cu) dan seng (Zn) pada
Gambar 4 Sisi katalitik enzim Cu,Zn-SOD
6
Glutation peroksidase merupakan golongan enzim antioksidan yang mengandung selenium yang penting dalam memerangi hidroperoksida dan senyawa xenobiotik menjadi air dan alkohol (Gambar 5). Dengan cara tersebut kerusakan molekul-molekul penyusun sel akibat serangan radikal bebas dapat dihindari. Enzim SOD memegang peranan penting sebagai antioksidan endogen. Berdasarkan mekanismenya, enzim ini digolongkan sebagai antioksidan primer yang berperan mengurangi pembentukan radikal bebas baru dengan memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Aktivitas SOD bervarasi pada beberapa organ tikus, terdapat dalam jumlah tertinggi dalam hati, kemudian berturut-turut dalam kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus, ovarium, timus, dan lemak (Nurwati 2002).
Gambar 5 Cara kerja enzim-enzim pertahanan tubuh terhadap radikal bebas Kelapa Kopyor Buah kelapa kopyor berasal dari tanaman kelapa yang mengalami mutasi genetik alamiah. Kelapa kopyor adalah mutan kelapa yang ditemukan diantara populasi kelapa normal (Samonthe et al. 1989; Novarianto 2000). Sebagai hasil mutasi alamiah, jumlah tanaman kelapa kopyor sangat sedikit dibandingkan dengan tanaman yang berbuah normal. Peluang terjadinya mutasi alamiah secara umum sangat rendah, yaitu sebesar 10-5 hingga 10-6 per generasi. Hal ini berarti hanya 1 diantara 100.000 hingga 1.000.000 peluang terjadinya mutasi alamiah di alam. Kelapa kopyor (Gambar 6) merupakan buah kelapa abnormal yang memiliki gen resesif kk atau Kk pada endosperm. Karakteristik fenotip kelapa kopyor tidak terlalu berbeda dengan kelapa biasa yang bukan kopyor. Menurut Mujer et al. 1984 dalam Maskromo (2005), hasil penelitian biokimia menunjukkan bahwa pada
endosperma buah kelapa kopyor terjadi defisiensi α-D-galaktosidase. Hal ini akan mengakibatkan pembentukan endosperma tidak normal dan tidak mampu mendukung perkecambahan embrio. Gen letal pada buah kelapa kopyor menyebabkan daging buah mudah terlepas dari tempurung, sehingga hubungan jaringan endosperma dengan embrio putus, akibatnya buah kelapa ini tidak mampu berkecambah (Maskromo 2005). Ciri-ciri kelapa kopyor antara lain: daging buah yang empuk dan mudah terlepas dari tempurungnya, ada daging buah yang terapung pada air kelapa (Santoso et al. 1996). Kelapa kopyor termasuk kelapa yang sudah tua yang umurnya mencapai 10 hingga 11 bulan. Oleh karena itu, dibandingkan dengan kelapa tua biasa, komposisi kimia kelapa kopyor hampir sama, kecuali kadar proteinnya yang relatif rendah yaitu 1.2%, sedangkan pada kelapa tua biasa yaitu 3 hingga 4%. Dibandingkan dengan kelapa muda, kelapa kopyor mempunyai kadar lemak yang sangat tinggi, yaitu 12%. Kadar lemak tinggi akan menyebabkan kelapa kopyor mudah teroksidasi hingga menjadi tengik (Winarno 1982). Selain rasa yang lezat serta aroma yang khas, ternyata kelapa kopyor memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Pada dasarnya, kandungan nutrisi air kelapa kopyor dan daging kelapa kopyor akan tergantung pada varietas kelapa, tingkat kematangan buah, dan kandungan hara tanah tempat kelapa tersebut tumbuh. Kandungan paling banyak yang terdapat pada air dan daging kelapa kopyor adalah karbohidrat,. Selain karbohidrat yang tinggi, air buah kelapa juga diketahui mengandung α-tokoferol seperti thiamin, riboflavin, dan vitamin C (Santoso et al. 1996). Komposisi asam amino dari protein kelapa kopyor didominasi oleh asam glutamat, arginin, dan asam aspartat. Kandungan sukrosa (92% dari total gula yang dihasilkan), glukosa, fruktosa, asam sitrat, dan asam malat yang relatif lebih tinggi diperkirakan berkontribusi terhadap rasa kelapa kopyor sehingga lebih enak.
Gambar 6 Buah kelapa kopyor
7
Selain itu, daging kelapa kopyor lebih sedikit mengandung lemak ketimbang kelapa biasa tetapi dengan komposisi asam lemak yang mirip dengan kelapa biasa yang didominasi oleh asam laurat. Santoso et al. (1996) menyatakan bahwa buah kelapa kopyor juga kaya akan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada air kelapa kopyor, mineral yang terkandung dalam jumlah banyak adalah Mg, K, P, S, dan Mn. Sedangkan pada daging buah kelapa kopyor, kandungan mineral terbanyak adalah Fe, Zn, dan Mn (Tabel 1 dan Tabel 2). Tabel 1 Kandungan vitamin dalam daging buah kelapa kopyor dan kelapa bukan kopyor (mg/100 g bobot kering) Vitamin KK KBK B1 0.17 0.10 B2 0.04 0.02 B6 0.15 0.14 Niasin 1.83 1.49 C 12.3 5.27 α-tokoferol 2.34 0.94 Tabel 2 Komposisi mineral dalam daging buah kelapa kopyor dan kelapa bukan kopyor Mineral (ppm) KK KBK Kalsium (Ca)* 0.11 0.03 Magnesium (Mg)* 0.14 0.12 Kalium (K)* 1.73 0.68 Natrium (Na)* 0.02 0.02 Fosfor (P)* 0.18 0.19 Belerang (S)* 0.09 0.11 Mangan (Mn) 35.2 16.4 Besi (Fe) 25.6 35.9 Seng (Zn) 17.5 17.8 Tembaga (Cu) 8.83 36.2 Almunium (Al) 10.3 5.06 Keterangan: KK: kelapa kopyor; KBK: kelapa bukan kopyor; *: jumlah dalam % bobot kering. Sumber: Santoso et al. 1996
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran HewanInstitut Pertanian Bogor (IPB), berumur 2 bulan, dan mempunyai bobot 150-200 g. Kelapa kopyor yang digunakan diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI).
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini secara umum adalah kelapa kopyor, temulawak, akuades, homogenat hati 10%, kloroform, alkohol 70%, riboflavin 0.12mM, nitrobluetetrazolium (NBT), bovine serum albumine (BSA), NaCl 0.9% (b/v), EDTA 0.1 M, KCN 0.3 mM, dan bufer fosfat 0.0067 M pH 7.8. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, mortar, timbangan analitik, gunting, vial, sonde oral, mikropipet, sentrifus klinis, pHmeter, microfuge, homogenizer, ultrasonikator, kertas saring, spektrofotometer UV, neraca analitik, lampu fluoroscent 20watt, vortex, pengaduk magnetik, dan alatalat gelas lainnya. Metode Hewan Coba dan Rancangan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih galur Sprague-Dawley sebanyak 18 ekor dengan jenis kelamin jantan, sehat, dan mempunyai aktivitas normal, berusia 2 bulan dengan berat badan 150-200 gram. Tikus dipelihara dalam kandang individual berukuran 30x50x50 cm dan diadaptasikan terlebih dahulu selama 2 minggu kemudian diberi perlakuan. Sebelum dan selama perlakuan, tikus diberi pakan standar dan minum secara ad libitum. Bobot badan tikus dan jumlah pakan yang digunakan diamati setiap hari. Induksi parasetamol dilakukan menurut metode Gupta et al. (2004) yang dimodifikasi. Induksi kerusakan hati dilakukan dengan memberikan parasetamol secara oral dengan dosis 500 mg/kg BB/hari selama 7 hari yang dilanjutkan dengan penambahan dosis menjadi 600 mg/kg BB selama 7 hari berikutnya sebagai modifikasi metode. Tikus dibagi menjadi 6 kelompok dengan 3 ekor tikus dalam setiap kelompok. Kelompok I hanya diberikan pakan standar. Kelompok II (kontrol positif) diberikan pakan standar, diinduksi dengan parasetamol selama 14 hari, dan diberi suplemen temulawak dengan dosis 3 g/kg BB selama 21 hari. Kelompok III (kontrol negatif) diberikan pakan standar dan parasetamol selama 14 hari. Kelompok IV, V, dan VI merupakan kelompok perlakuan dan masing-masing diberi pakan standar, diinduksi dengan parasetamol selama 14 hari, dan diberi suplemen daging kelapa kopyor yang dihaluskan. Setelah induksi parasetamol, kelompok perlakuan diberi suplemen kelapa kopyor selama 21 hari masing-masing dengan dosis 4, 12, dan 20 g/kg BB melalui sonde