PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan salah satu DAS yang penting untuk mendapat perhatian, karena DAS ini mempunyai topografi yang cukup beragam dengan daerah hulu yang berbukit – bukit dan daerah hilir yang relatif datar, sehingga pengamanan DAS ini perlu mendapat perhatian. Hal ini juga ditunjang dengan Perda No. 2 Tahun 2003 tentang RTRW Propinsi Jawa Barat 2010, telah ditetapkan kebijakan untuk “meningkatkan fungsi dan kualitas kawasan lindung di Jawa Barat,” termasuk kawasan lindung di Kawasan Bodebek dan Bopunjur. Berdasarkan kebijakan tersebut di atas, upaya pengelolaan sumber daya air di DAS Ciliwung Cisadane untuk mengatasi krisis air Jakarta adalah melalui penataan situ, waduk, dan sungai sebagai sarana dan prasarana konservasi, penyedia air baku, dan pengendali banjir, serta melalui konservasi lahan yang diprioritaskan pada kawasan lindung baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan melalui rehabilitasi lahan kritis, pengendalian pemanfaatan lahan dan pengendalian kualitas air. Pengelolaan DAS seringkali dihubungkan dengan tingkat penutupan lahan oleh hutan, dengan asumsi bahwa ‘reforestasi’ atau ‘reboisasi’ dapat mengembalikan dampak negative dari terjadinya deforestasi (penggundulan hutan). Pada saat ini telah tersedia model simulasi yang dapat dipakai untuk mempelajari dinamika pori makro tanah yang berhubungan dengan sifat hujan menurut skala waktu dan ruang. Model tersebut disusun berdasarkan hasil pengukuran yang intensif dari berbagai sub DAS dan dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh alih guna lahan terhadap indikator fungsi hidrologi DAS. Dengan demikian, model tersebut dapat digunakan untuk ekstrapolasi berbagai skenario sistem penggunaan lahan di masa yang akan datang. Untuk mengkaji fungsi hidrologi suatu DAS dari waktu ke waktu dibutuhkan data histori yang relatif panjang agar kesimpulan yang diperoleh dapat mewakili. DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS dengan pengelolaan yang terpadu dan intensif sehingga data – data daerah ini
cukup tersedia. Alasan tersebut yang mendasari pengkajian fungsi hidrologi di DAS Ciliwung hulu. 1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh alih guna lahan terhadap fungsi hidrologi tahun 1993 sampai dengan 2005 melalui pendekatan kuantitatif dan memprediksi debit apabila terjadi alih guna lahan.
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA Definisi DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut Manan (1978) didefinisikan sebagai suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya, ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografi adalah punggung bukit. Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun. Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Konsep daur hidrologi DAS menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air limpasan, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran. Selama berlangsungnya siklus hidrologi, yakni sepanjang air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang terus menerus bersirkulasi, penguapan, presipitasi dan pengaliran ke luar.
Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut, sungai, atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi, tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh – tumbuhan dimana sebagian akan menguap (intersepsi) dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan – dahan menuju ke permukaan tanah (troughfall dan steamflow). Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekukan – lekukan permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah – daerah rendah, masuk ke sungai, dan akhirnya ke laut.dalam perjalanannya ke laut sebagian akan menguap kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah sebelum menjadi air bawah tanah keluar kembali segera ke sungai sebagai aliran bawah permukaan (interflow), tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air bawah tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke sungai sebagai aliran bawah tanah (groundwater flow).
Gambar 1. Daur Hidrologi DAS (Pawitan, 2004) 2.2
Definisi Penggunaan Lahan dan Tutupan Lahan
Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Penggunaan lahan menurut Sitorus (2001) secara luas dapat dikelompokkan kedalam 2 kategori, yaitu: 1.
Penggunaan lahan pedesaan (rural land use) yang secara luas meliputi kegiatan pertanian, kehutanan, konservasi satwa liar serta
pengembangan tempat rekreasi. 2.
dan
pengelolaan
Penggunaan lahan perkotaan dan industri (urban and industrial land use) termasuk kota, komplek industri, jalan raya, serta fasilitas pertambangan.
Adapun pembagian lainnya dikelompokkan kedalam dua kelompok besar, yaitu pertanian dan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian meliputi berbagai macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan. Sedangkan penggunaan lahan non pertanian meliputi pemukiman desa dan kota, industri, rekreasi, dan pertambangan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang tertulis: pemanfaatan ruang meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, kawasan lindung serta kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Pemanfaatan kawasan budidaya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia diusahakan tanpa mengganggu dan merusak ekosistem kawasan lindung. Namun sebaliknya, seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan pangan dan perumahan seringkali terjadi konversi lahan. Banyak kawasan lindung beralih fungsi menjadi kawasan budidaya, akibatnya fungsi kawasan lindung menjadi terganggu. Sebagaimana yang terjadi pada tragedi “Banjir bandang di Bukit Lawang Bohorok”, Sumatera Utara, yang dipicu oleh kerusakan ekosistem hutan lindung. Diperkirakan tingkat kerusakan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) saat ini adalah 170.000 Ha (22 %) dari total luas TNGL yang 788.000 Ha akibat penebangan liar dan perambahan hutan (Walhi, 2003). Tutupan lahan oleh pohon (tutupan pohon) dengan segala bentuknya dapat mempengaruhi aliran air. Tutupan pohon tersebut dapat berupa hutan alami, atau sebagai permudaan alam (natural regeneration), pohon yang dibudidayakan,
pohon sebagai tanaman pagar, atau pohon monokultur (misalnya hutan)
Gambar 2. Lima faktor yang mempengaruhi partisi air hujan menjadi komponen debit sungai dan evapotranspirasi (Van Noordwijk et al., 2004).
permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan organik (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar, dan akar-akar yang mati). Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah), penting untuk mengantisipasi adanya proses peluruhan dan penyumbatan pori makro tanah. •
Faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia. Serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan berikutnya, sehingga selanjutnya akan mempengaruhi proses infiltrasi dan aliran permukaan. Serapan air pada musim kemarau, khususnya dari lapisan tanah bawah akan mempengaruhi jumlah air tersedia untuk ‘aliran lambat’ (slow flow).
Pengaruh tutupan pohon terhadap aliran air berdasarkan Van Noordwijk et al., (2004) adalah dalam bentuk berikut: •
Intersepsi air hujan Banyaknya air yang diintersepsi dan dievaporasi tergantung pada indeks luas daun (LAI), karakteristik permukaan daun, dan karakteristik hujan. Intersepsi merupakan komponen penting jika jumlah curah hujan rendah, tetapi dapat diabaikan jika curah hujan tinggi. Apabila curah hujan tinggi, peran intersepsi pohon penting dalam kaitannya dengan pengurangan banjir.
•
Daya pukul air hujan Vegetasi melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah yang akan menyumbat pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi air tanah, akibatnya limpasan permukaan akan meningkat.
•
Infiltrasi air
Serapan air
•
Drainase lansekap Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya ‘aliran cepat air tanah’ (quick flow). Menurut Kibler (1982) dalam Rogers (1998) akibat yang terjadi karena proses urbanisasi terhadap hidrologi adalah seperti tertera pada Tabel 1.
Proses infiltrasi tergantung pada struktur tanah pada lapisan Tabel 1. Akibat yang terjadi dari proses urbanisasi terhadap respon hidrologis Pengaruh urbanisasi Respon hidrologis Perubahan vegetasi
Penurunan evapotranspirasi dan intersepsi dan peningkatan sedimentasi sungai
Konstruksi dasar perumahan dan inftrastruktur
Pengembangan pembangunan dan perdagangan Konstruksi drainase dan pengembangan saluran air
Penurunan infiltrasi dan penurunan muka air tanah; pernurunan aliran debit dan penurunan aliran dasar selama musim kemarau Meningkatkan volume aliran permukaan Memicu peluapan banjir di aliran sungai
Sumber: Kibler (1992) dalam Rogers (1998) 2.3
Jenis Penggunaan Lahan
Harimurti (1999) memberikan definisi dan batasan yang jelas mengenai tipe – tipe penggunaan lahan yang ada di No 1 2
3 4 5
6
7 8
2.4
kawasan DAS Ciliwung hulu seperti yang dijelaskan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Jenis Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Hulu Nama Lahan Definisi Hutan Lebat wilayah yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan, baik alami maupun yang dikelola, dengan tajuk yang rimbun dan besar/lebat. Hutan Semak/belukar hutan yang telah dirambah/dibuka, merupakan area transisi dari hutan lebat menjadi kebun atau lahan pertanian, bisa berupa hutan dengan semak/belukar dengan tajuk yang relatif kurang rimbun. Kebun Campuran daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campuran baik dengan pola acak, maupun teratur sebagai pembatas tegalan Pemukiman kombinasi antara jalan, bangunan, pekarangan, dan bangunan itu sendiri. Sawah daerah pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu yang biasanya diairi sejak saat penanaman hingga beberapa hari sebelum panen. Tegalan daerah yang umumnya ditanami tanaman semusim, namun pada sebagian lahan tidak ditanami, dengan vegetasi yang umum dijumpai seperti padi gogo, singkong, jagung, kentang, kedelai, dan kacang tanah. Lahan Terbuka daerah yang tidak ditemukan vegetasi berkayu, umumnya hanya jenis rerumputan maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia. Kebun Teh daerah yang digunakan sebagai perkebunan the baik yang diusahakan pemerintah maupun swasta.
Alih guna lahan
Alih guna lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto et al., 2001). Penelitian Janudianto (2004) menjelaskan alih guna lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh kecenderungan perubahan lahan pertanian (sawah) menjadi lahan pemukiman dan
perubahan hutan menjadi lahan perkebunan (kebun teh). 2.5
Kriteria dan Indikator Fungsi Hidrologi
Kriteria dan indikator kuantitatif diperlukan dalam mempelajari fungsi hidrologi DAS. Kriteria dan indikator yang ditetapkan berdasarkan pemahaman kuantitatif hujan yang terbagi menjadi evapotranspirasi, aliran sungai dan perubahan penutupan serta pola penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik lokal. Fluktuasi debit sungai dan curah hujan dijadikan parameter utama untuk menilai indikator
penyangga (buffering indicator) akibat alih guna lahan. Indikator penyangga (buffering indicator) cenderung berkorelasi negatif dengan total debit sungai sehingga peningkatan debit akan menurunkan kapasitas menyangga dari sungai (Farida et al., 2004). Indikator penyangga menunjukkan tingkat penurunan yang relatif rendah pada kondisi puncak kejadian hujan (buffering peak events). Peningkatan total debit tidak selalu diikuti dengan peningkatan debit terendah (bulanan) akibat adanya variabilitas hujan antar tahun (inter-annual). 2.6
Kejadian Banjir di Jakarta
Berdasarkan dokumentasi yang tersedia (Bappenas, 2007), Kota Jakarta dilanda banjir pada tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1996, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi pada tahun 1996 selain menggenangi hampir seluruh penjuru kota juga menjadi tragedi nasional yang menjadi perhatian dunia. Banjir besar ini dipercaya sebagai banjir lima tahunan yang akan berulang setiap lima tahun. Pada awal 2002 banjir melanda Jakarta dan sekitarnya dan pada awal 2007 banjir kembali melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan cakupan wilayah genangan yang lebih luas. Namun menurut BMG (dikutip dari Tempointeraktif.com, Maret 2007), banjir 2007 bukanlah yang terbesar karena bukan hanya dihitung dari curah hujan sesaat, namun dari jumlah curah hujan 29 hari terakhir Data curah hujan kumulatif 5, 10, 20 dan 29 hari terakhir di DKI Jakarta pada tahun – tahun banjir menunjukkan Februari 2006 berturut – turut 221,4mm, 285, 7mm, 341,7mm, 442,1mm. Januari 2002 berturut – turut 232,9mm, 361,7mm, 572,7mm, 668mm. Bulan Februari 2007 berturut – turut 327mm, 401,5mm, 427mm, 427mm. Sebelum banjir besar 2007, banjir terbesar yang pernah melanda DKI Jakarta adalah kejadian banjir Januari 2002 dan awal Februari 2002, dan merupakan banjir terburuk yang pernah melanda DKI Jakarta pada kurun waktu ke belakang (www.tumoutou.net/pps702_9145/nana_mul yana.pdf/diakses April, 2006). Berdasarkan pengamatan data curah hujan yang terekam di beberapa stasiun pada saat terjadi banjir tahun 2002 terlihat bahwa curah hujan harian yang turun di Halim PK dan Ciledug merupakan periode ulang 2 tahunan, di daerah Depok,
Citeko, Tanjung Priok, dan Darmaga periode ulang 5 tahun, dan di kantor pusat BMG merupakan priode ulang 10 tahun, dengan demikian waktu frekuensi terjadinya banjir seperti tahun 2002 kisaran waktunya 2 – 5 tahun, sehingga perlu mendapat perhatian yang sangat serius. Akan tetapi apabila dilihat dari curah hujan kumulatif 2 hari (Duration Dept frekuensi /DDF) curah hujan yang tergolong tinggi dengan kisaran 130 – 295 mm. Akibat curah hujan yang turun selama awal Januari, menyebabkan kondisi tanah jenuh air, sehingga sangat sedikit air yang diinfiltrasikan. Pada tanggal 30 Januari terjadi pengaruh pasang air laut yang tertinggi di pantai utara Jakarta, sehingga curah hujan yang tinggi di bagian hulu DAS Ciliwung bersamaan dengan terjadinya pasang tertinggi sehingga banjir pada akhir Januari merupakan gabungan antara kondisi pasang surut dan pola curah hujan tinggi yang terjadi di bagian hulu dan hilir DAS Ciliwung serta Jakarta dan sekitarnya. Berdasarkan pola induk yang telah dibuat tahun 1973 dan kemudian disempurnakan tahun 1997 setelah ada banjir besar yang melanda tahun 1996, nampak telah terjadi kenaikan debit rencana pada semua badan sungai yang ada di DKI Jakarta. Master plan Cengkareng Drain telah dinaikkan dari 370 m3/det menjadi 620 m3/det, sementara sungai Ciliwung telah dinaikkan dari 370 m3/det menjadi 570 m3/det. Perubahan pola induk ini untuk mengantisipasi kenaikan debit sungai akibat perubahan tata guna lahan, khususnya kurangnya daerah resapan dan terlalu dominannya pemukiman akibatnya pesatnya pertumbuhan di kawasan Jabodetabek. 2.7
Deskripsi singkat model GenRiver
Model Aliran Sungai Generik merupakan model yang (GenRiver) dikembangkan berdasarkan proses hidrologi (process based model). Simulasi model GenRiver menggunakan Stella sebagai software yang dihubungkan dengan file microsoft excel. Input utama dari model ini adalah curah hujan, tingkat penutupan lahan dan sifat fisik tanah dengan keluaran utama berupa aliran sungai dan neraca air untuk skala DAS Bagian utama dari GenRiver meliputi neraca air pada skala plot (patch level water balance) berdasarkan curah hujan dan modifikasi sifat fisik tanah dan
penutupan lahan. Plot – plot ini memiliki kontribusi terhadap aliran sungai melalui aliran permukaan pada saat terjadinya hujan (surface quick flow), aliran air dalam tanah yang terjadi setelah hujan (soil quick flow) dan aliran dasar (base flow) yang berasal dari pelepasan air tanah secara bertahap menuju sungai (gradual release of groundwater).
menghasilkan aliran permukaan yang dibatasi oleh infiltrasi (infiltration limited runoff’), sedangkan pada kondisi kedua aliran permukaan yang terjadi merupakan aliran jenuh permukaan (saturation overland flow).
Curah hujan harian. Curah hujan untuk skala sub-DAS dapat diambil dari data empiris atau menggunakan data bangkitan dari pembangkit data acak (random generator) yang mempertimbangkan pola temporal (seperti model rantai Markov) atau model yang mempertimbangkan korelasi ruang (spatial correlation) dari hujan pada waktu tertentu.
Evapotranspirasi Total evapotranspirasi yang digunakan model ini mengikuti pada evapotranspirasi potensial Penman – Monteith dengan faktor koreksi yang dipengaruhi oleh: (a) air yang terintersepsi oleh kanopi, (b) kondisi tutupan lahan yang terkait dengan sensitivitas setiap jenis penutupan lahan terhadap kekeringan, (c) faktor pembobot pada evapotranspirasi potensial harian yang mengikuti fenologi dan pola tanam, (d) relatif potensial evapotranspirasi (bulanan) untuk setiap tipe penutupan lahan.
Intensitas hujan dan waktu untuk infiltrasi. Intensitas hujan dihitung dari rata - rata data empiris intensitas hujan (mm/jam) dengan mempertimbangkan koefisien variasi dari kumpulan data tersebut. Lamanya hujan menentukan waktu yang tersedia untuk proses infiltrasi. Namun parameter ini dapat dimodifikasi dengan mempertimbangkan intersepsi oleh kanopi dan lamanya penetesan air dari kanopi (dripping phase) dengan penetapan awal (default) 30 menit.
Redistribusi air tanah. Selama kejadian hujan, tanah dapat mencapai kondisijenuh air, namun sehari setelah hujan kondisi akan kembali pada kapasitas lapang (kondisi air tanah setelah 24 jam dari kejadian hujan lebat). Perbedaan antara kondisi jenuh dan kapasitas lapang dipengaruhi oleh: (a) transpirasi, (b) adanya aliran air ke zona bawah, (c) adanya aliran air ke sungai sebagai aliran cepat air tanah (soil quick flow) apabila air yang ada melebihi kapasitas lapang
Pelepasan air tanah menuju sungai (melalui aliran dasar) Jarak (routing distance). Jarak titik pengamatan atau outlet DAS ditentukan dari titik pusat masing – masing subDAS. Waktu tempuh (routing time) dari masing–masing sub-DAS dapat diturunkan dari data jarak dan asumsi rata-rata kecepatan aliran air.
Komponen utama model GenRiver dan proses-proses yang terlibat sebagai berikut:
Intersepsi. Kapasitas penyimpanan air terintersepsi merupakan fungsi linier dari luas area daun dan ranting dari berbagai tipe penutupan lahan. Evaporasi dari air yang terintersepsi (interceptionevaporation) mempunyai prioritas sesuai dengan kebutuhan transpirasi tanaman.
Infiltrasi dan aliran permukaan. Proses infiltrasi dihitung berdasarkan nilai minimum dari : (a) kapasitas infiltrasi harian dan waktu yang tersedia untuk infiltrasi (ditentukan oleh intensitas hujan dan kapasitas penyimpanan lapisan permukaan tanah), (b) jumlah air yang dapat disimpan oleh tanah pada kondisi jenuh dan jumlah air yang dapat memasuki zona air tanah pada rentang waktu satu hari. Apabila kondisi pertama yang terjadi maka model akan
Keluaran dari model ini berupa debit sungai harian dan kumulatif neraca air tahunan. Pengolahan lebih lanjut dari output model ini dapat digunakan sebagai indikator dalam mempelajari fungsi DAS. 2.8
Aplikasi Model
Model GenRiver telah digunakan untuk dua lokasi yaitu DAS Sumbarjaya Lampung dan Mae Chaem Thailand Utara. Pada kedua DAS ini telah disimulasikan untuk debit prediksi yang diperoleh dari input curah hujan dan penutupan lahan. Namun
tidak dicantumkan nilai koefisien determinasinya hanya dari pola grafik yang teratur. Di DAS Sumberjaya dengan total luas 404 km2 menggunakan tiga skenario, yaitu seluruh DAS merupakan lahan hutan, seluruh DAS berupa lahan alang – alang, dan kondisi penutupan lahan sebenarnya. Sedangkan untuk DAS Mae Chaem dengan luas 40.000 km2 menggunakan tiga skenario, yaitu kondisi penutupan lahan sebenarnya, seluruhnya berupa hutan hijau sepanjang tahun, dan hutan yang berganti daun sepanjang tahun. Berikut beberapa gambar hasil simulasi GenRiver di DAS Sumberjaya Lampung dan Mae Chaem Thailand (Van Noordwijk et al., 2004).
2.
3. 4. 5.
Dan data penggunaan lahan tahun 2004 dari citra Ikonos yang dipetakan oleh Prasatya (2006) Data debit harian tahun 1993 2005 Bendung Katulampa, Ciliwung Hulu dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Ciliwung – Cisadane Bogor. Data curah hujan harian dari stasiun Katulampa, Citeko, dan Gunung Mas tahun 1993 - 2005. Data jenis tanah Ciliwung Hulu Data morfometri sungai (subDAS, panjang sungai utama).
Alat yang digunakan meliputi: Seperangkat komputer dengan software Arcview 3.3, dan MS Office 2003(Excel dan Word), Minitab 14, Stella Vr. 511. 3.3
Metodologi Penelitian ini meliputi kegiatan:
3.3.1
Gambar 3. Hasil simulasi debit Sumberjaya Lampung
Tahap persiapan diawali dengan studi literatur dan pengumpulan data-data berupa Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Ciliwung Hulu tahun 1994 dan 2004, data debit, data tanah, dan data penunjang lainnya. Langkah berikutnya adalah menyeragamkan atau kalibrasi data, khususnya untuk data penggunaan lahan sehingga memungkinkan proses analisis spasial. 3.3.2
Gambar 4. Hasil simulasi debit di Mae Chaem Thailand
III. 3.1
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan September sampai dengan Desember 2006 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi. 3.2
Bahan dan Alat Bahan yang diguanakan penelitian ini meliputi: 1.
dalam
Peta penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 1994 dan 2004, skala 1:150.000 hasil penelitian Janudianto (2004).
Studi Literatur
Analisis Alih guna lahan
Operasi tumpang susun (overlay) dilakukan menggunakan data digital peta penggunaan/penutupan lahan dengan bantuan ArcView 3.3. Operasi tumpang susun dilakukan antara peta penggunaan/penutupan lahan tahun 1994 dan 2004 yang bertujuan untuk melihat arah dan pola perubahan penggunaan/penutupan lahan. Ekstraksi data atribut hasil dari operasi tumpang susun ini digunakan sebagai data dalam teknik analisis selanjutnya. 3.3.3
Menentukan kriteria indikator fungsi hidrologi
dan
Kriteria dan indikator kuantitatif diperlukan dalam mempelajari fungsi hidrologi DAS. Fluktuasi debit sungai dan curah hujan dijadikan parameter utama untuk menilai indikator penyangga (buffering indicator) akibat alih guna lahan. Kriteria ini dapat dihubungkan langsung dengan