PENDAHULUAN Buah nanas (Ananas comosus) merupakan salah satu tanaman yang banyak diusahakan petani di Indonesia, terutama di daerah Sumatera dan Jawa. Tiap tahun produksinya terus meningkat. Pada tahun 2005 produksi nanas di Indonesia mencapai 925.082 ton dan 1.427,781 ton pada tahun 2006 (Biro Pusat Statistik 2007). Satu buah nanas hanya 53% bagian saja yang dapat dikonsumsi, sedangkan sisanya dibuang sebagai limbah, sehingga limbah kulit nanas makin lama makin menumpuk dan umumnya hanya dibuang sebagai sampah (Rulianah 2002). Hal tersebut membuka peluang dalam pemanfaatan limbah kulit nanas menjadi produk yang lebih bermanfaat melalui fermentasi dengan bakteri Acetobacter xylinum menjadi produk nata (nata de pina) yang mempunyai dapat digunakan sebagai bahan makanan. Studi mendalam terhadap nata untuk berbagai bidang aplikasi sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah bagi produk nata dan tidak terbatas pada pemanfaatannya sebagai produk makanan. Kandungan utama nata de pina adalah selulosa. Selulosa bakterial mempunyai kekhasan sifat struktural dan fisikokimiawi dibandingkan selulosa kayu (Yoshinaga et al. 1997). Apalagi selulosa bakterial dihasilkan dalam keadaan murni, seperti bebas lignin, hemiselulosa, dan produk-produk biogenik lainnya (Geyer et al. 1994). Penelitian yang mengarah pada pengembangan selulosa bakterial sebagai material yang bernilai tambah sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya adalah penggunaan selulosa bakterial sebagai bahan diafragma tranduser, bahan pencampur dalam industri kertas, karakterisasi sifat listrik dan magnetnya, sebagai support untuk sensor glukosa dan sebagai lembaran dialisis (Ighuci et al. 2000). Studi pemanfaatan kulit nanas sebagai nata telah banyak dilakukan. Andriansyah (2006) telah melakukan penelitian mengenai sifat-sifat membran yang terbuat dari sari kulit nanas yang meliputi optimasi waktu inkubasi, ketebalan, dan komposisi bahan (sari kulit nanas, air, dan gula). Putri (2006) meneliti ciri membran selulosa berpori dari sari kulit nanas. Pasla (2006) melakukan pencirian membran selulosa asetat berbahan dasar selulosa bakteri dari limbah nanas. Pisesidharta et al. (2003) telah melakukan penelitian mengenai pengikatan membran
nata de coco yang telah dimodifikasi dengan etilendiamin terhadap ion Cu2+. Penelitian ini membuktikan bahwa bahan biologi (biomassa) dapat digunakan untuk mengikat logam berat. Penelitian bahwa selulosa (non bakterial) dapat mengikat logam berat telah banyak dilakukan, diantaranya oleh oleh Rajawane (2008) yang menyatakan kulit buah kakao yang mengandung pektin dan selulosa berpotensi sebagai adsorben logam Pb(II) dari limbah industri aki dengan kapasitas adsorpsi 724.90 µg/g adsorben. Sulistyawati (2008) memodifikasi selulosa pada tongkol jagung dan memanfaatkannya sebagai adsorben logam Pb(II) dari limbah industri aki dengan kapasitas adsorpsi sebesar 121.71 µg/g adsorben, lebih basar dari adsorben tanpa modifikasi. Nata termodifikasi kimia diduga dapat digunakan sebagai adsorben yang lebih unggul dalam menjerap logam berat dibandingkan nata tanpa modifikasi. Karboksimetil selulosa (CMC) merupakan turunan dari selulosa yang dikarboksimetilasi. CMC dibuat dengan menggunakan bahan baku selulosa. Penggunaan selulosa bakterial sebagai bahan baku pembuatan CMC mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya selulosa yang dihasilkan mempunyai kemurnian yang relatif tinggi dibandingkan dengan selulosa yang berasal dari tanaman (Awalludin 2004). CMC berpotensi sebagai adsorben yang dapat menjerap logam berat dilihat dari struktur senyawanya. Tujuan penelitian ini adalah memodifikasi nata menggunakan asam sulfat, NaOH, dan asam monokloroasetat (konversi menjadi CMC). Selain itu dipelajari pula kemampuan nata termodifikasi dalam mengikat logam Kobalt(II) dan penciriannya dengan Fourier transfom infrared (FTIR). Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan material polimer alam dan meningkatkan nilai tambah nata sebagai material yang bermanfaat.
TINJAUAN PUSTAKA Nanas Tanaman nanas telah ada sejak lama di Indonesia. Menurut Morton (1987), tanaman nanas berasal dari Amerika Selatan. Nanas merupakan tanaman buah yang selalu tersedia sepanjang tahun. Bulan-bulan panen besar adalah Desember, Januari, dan Juli.
2
Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia daging buah nanas masak. Komponen utama yang mendukung peran nanas sebagai bahan dasar media bagi pembentukan nata adalah gula. Kandungan gula yang terlalu tinggi justru bisa menghambat proses fermentasi. Kandungan gula yang terbaik untuk proses fermentasi adalah 12-18% (Muljohardjo 1984). Tabel 1 Komposisi kimia daging buah nanas masak Kandungan Makanan % Air 85.0 Protein 0.4 Lemak 0.2 Abu 0.4 Gula 12.0 Asam sulfat Sitrat 1.0 Sumber: Muljohardjo (1984)
Selulosa Bakterial Selulosa bakterial merupakan salah satu produk metabolit dari mikroorganisme genus Acetobacter, Agrobacterium, Rhizobium, Sarcina, dan Valonia. Penghasil selulosa bakterial yang paling efisien ialah Acetobacter xylinum, yang diklasifikasi ulang sebagai Gluconacetobacter xylinus. Acetobacter xylinum merupakan bakteri gram negatif, aerobik, berbentuk batang, tidak membentuk spora, dan non motil. Acetobacter xylinum memiliki sifat sensitif terhadap perubahan sifat fisik dan kimia lingkungannya dan ini akan berpengaruh terhadap nata yang dihasilkan (Lapuz et al. 1967). Bila mikrob ini ditumbuhkan pada media yang mengandung gula, organisme ini dapat mengubah 19 persen gula menjadi selulosa. Selulosa yang dikeluarkan ke dalam media itu berupa benang-benang yang membentuk jalinan yang terus menebal menjadi lapisan nata. Menurut Lapuz et al. (1967) tanda awal pertumbuhan bakteri nata pada media cair yang mengandung gula berupa timbulnya kekeruhan setelah 24 jam inkubasi pada suhu kamar. Setelah 36-48 jam suatu lapisan tembus cahaya mulai terbentuk di permukaan media, dan secara bertahap akan menebal membentuk lapisan yang kompleks. Jika diganggu lapisan ini akan tenggelam, dan lapisan baru akan terbentuk di permukaan selama kondisinya masih memungkinkan. Pada kondisi yang mendukung, nata yang
terbentuk dapat mencapai ketebalan lebih dari 5 cm dalam waktu satu bulan. Produk ini mudah untuk dimodifikasi, mempunyai kemurnian yang tinggi, dapat didegradasi secara biologi (biodegradabel), tidak beracun dan tidak menimbulkan alergi. Densitasnya sekitar 300-900 kg/m3 dan derajat polimerisasi rerata bobotnya (DPW) cukup tinggi (biasanya sekitar 3000-6000) (Krystynowicz dan Bielecki 2001). Kapasitas serap airnya mencapai 100-120 kali bobot keringnya (Geyer et al. 1994), lebih banyak daripada yang mampu diserap oleh pulp kayu. Selulosa bakterial juga memiliki kekuatan mekanik yang baik, seperti kekuatan tarik yang tinggi yaitu 200-300 MPa dan modulus young yang besar yaitu 15-35 GPa (Tabel 2). Tabel 2 Jenis Material Selulosa Bakterial Propilena PEteraftalat Selofan
Sifat fisik selulosa bakterial dan beberapa material organik Modulus Kekuatan Elongasi Young Tarik (%) (GPa) (Mpa) 15-35 200-300 1.5-2.0 1-1.5 3-4
30-40 50-70
100-600 50-300
2-3
20-100
15-40
Sumber: Yamanaka et al. (1989)
Menurut Yamanaka et al. (1989) kekuatan mekanik yang baik dari selulosa bakterial dihasilkan dari hubungan ikatan hidrogen intermolekuler. Pelikel yang terbentuk mempunyai sifat mekanis yang lebih unggul dari kebanyakan serat sintetik. Yamanaka et al. (1989) juga meneliti bahwa perlakuan dengan pemanasan dan tekanan pada selulosa bakterial, menujukkan nilai modulus Young sebesar 30 GPa (kurang lebih 4 kali lebih besar dari serat organik lain. Kekuatan tarik selulosa bakterial kurang lebih lima kali lebih besar dari polietilen atau film vinil klorida. Pertumbuhan Acetobacter xylinum dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain pH, suhu, sumber nitrogen dan sumber karbon (Lapuz et al. 1967). Faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil nata adalah wadah fermentasi. Untuk efisiensi dan efektifitas hasil nata serta mempertinggi rendemen lebih baik digunakan wadah dengan luas permukaan yang relatif besar. Hal ini disebabkan karena pada kondisi yang demikian ini pertukaran oksigen dapat berlangsung dengan baik (Rosario 1982 dalam Devi 2008). Gambar 1 menunjukkan struktur selulosa yang
3
Gambar 1 Struktur selulosa
(sulfonasi), sehingga dapat meningkatkan muatan negatif total pada adsorben dan dapat mengikat logam kobalt lebih banyak dari adsorben modifikasi NaOH. Modifikasi menggunakan NaOH diharapkan atom H pada gugus OH selulosa akan terlepas sehingga hanya ada atom O yang bermuatan negatif yang akan berikatan dengan logam kobalt. Modifikasi dengan asam monokloroasetat diharapkan terjadi eterifikasi antara selulosa dengan asetat. CMC mempunyai atom O dari gugus asetat yang bermuatan negatif yang dapat berikatan dengan logam kobalt.
Adsorpsi
Karboksimetil Selulosa (CMC)
Akumulasi partikel pada permukaan zat padat disebut adsorpsi atau penjerapan. Zat yang mengadsorpsi disebut adsorben dan material yang dijerap disebut adsorbat atau substrat (Atkins 1999). Proses adsorpsi terdiri atas dua jenis, yaitu adsorpsi kimia (kemisorpsi) dan fisika (fisisorpsi). Pada adsorpsi kimia, suatu molekul menempel ke permukaan melalui pembentukan ikatan kimia. Sementara itu dalam adsorpsi fisika, adsorbat menempel pada permukaan melalui interaksi antarmolekul yang lemah (ikatan van der waals). Faktor-faktor yang memengaruhi proses adsorpsi antara lain sifat fisik dan kimia adsorben seperti luas permukaan, ukuran partikel, dan komposisi kimia. Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin besar luas permukaan padatan per satuan volume tertentu, sehingga akan semakin banyak zat yang diadsorpsi. Faktor lainnya adalah sifat fisis dan kimia adsorbat, seperti ukuran molekul dan komposisi kimia, serta konsentrasi adsorbat dalam fase cairan (Atkins 1999).
Karboksimetil selulosa merupakan merupakan eter polimer selulosa linear dan berupa senyawa anion (Gambar 2), yang dapat terurai secara biologi (biodegradabel), tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun, butiran atau bubuk yang larut dalam air namun tidak larut dalam larutan organik, memiliki rentang pH sebesar 6.5 sampai 8.0, stabil pada rentang pH 2 – 10, bereaksi dengan garam logam berat membentuk film yang tidak larut dalam air, transparan, serta tidak bereaksi dengan senyawa organik. Karboksimetil selulosa merupakan senyawa serbaguna yang memiliki sifat penting seperti kelarutan, reologi, dan adsorpsi di permukaan. Selain sifat-sifat itu, viskositas dan derajat substitusi merupakan dua faktor terpenting dari karboksimetil selulosa. Meningkatnya kekuatan ionik dan menurunnya pH dapat menurunkan viskositas karboksimetil selulosa akibat polimernya yang bergulung (Devi 2008).
merupakan polimer tak bercabang dari unit anhidroglukosa yang dihubungkan oleh ikatan glukosidik β-1,4.
n
Modifikasi Adsorben Kapasitas adsorpsi adsorben dapat ditingkatkan dengan modifikasi bahan oleh larutan asam atau basa, atau dapat juga oleh perlakuan fisik seperti pemanasan (Marshall & Mitchell 1996). Modifikasi dengan larutan asam paling umum digunakan dan terbukti efektif dalam meningkatkan kapasitas adsorpsi (Gufta 1998). Modifikasi pada penelitian ini menggunakan asam sulfat, NaOH, dan asam monokloroasetat (konversi menjadi karboksimetil selulosa). Modifikasi dengan asam sulfat diharapkan gugus OH pada selulosa dapat tergantikan oleh atom S yang mengikat tiga atom O
Gambar 2 Struktur karboksimetil selulosa. Struktur CMC mempunyai kerangka dasar 1,4-β-D-glukopiranosa dari polimer selulosa. Perbedaan cara membuat CMC mempengaruhi derajat substitusi, tetapi secara umum derajat substitusi sekitar 0,4-1,4 per unit monomer. Setiap unit anhidroglukosa (C6H10O5) pada struktur selulosa memiliki tiga gugus hidroksi
4
(OH) yang siap diganti oleh senyawa lain. Akibat dari masuknya senyawa pengganti tersebut dalam rantai selulosa, maka susunan berubah dan terpencar sehingga molekul air atau senyawa pelarut lain dapat masuk dan melarutkan polimer selulosa. Secara teoritis tiga gugus hidroksil pada setiap unit anhidroglukosa dapat diganti oleh tiga gugus karboksimetil sehingga diperoleh derajat substitusi bernilai 3. Produk dengan derajat substitusi 0,3 atau kurang, dapat larut dalam NaOH 6% tetapi tidak larut dalam air. CMC dengan derajat substitusi 0,4 atau lebih besar akan larut dalam air (Klug 1964 dalam Awalludin 2004).). Posisi substitusi yang sering terjadi ialah 2-O- dan 6-O-, diikuti oleh 2,6-di-O-, lalu 3-O-, 3,6-di-O-, 2,3-di-O-, terakhir 2,3,6-tri-O- (Chaplin 2002). Selama karboksimetilasi gugus hidroksil pada C6 menunjukkan reaktivitas yang paling tinggi, diikuti oleh C2 dan C3. Reaksi umum pembentukan eter berlangsung mirip dengan esterifikasi, yaitu dengan pembentukan senyawa antara ion oksonium dengan adanya katalis asam sulfat (H+). Gugus hidroksil pada selulosa tidak dapat dengan mudah dimasuki senyawa lain sehingga harus menggunakan alkohol yang dapat melarutkan selulosa. Dengan reaksi ini, maka senyawa eter selulosa dapat dibuat. Mekanisme reaksi berlangsung sebagai berikut: H
+ OH + H
Cell
Cell
O+ H
R
H O + Cell
R
O+
H
O
Cell
O
CH2COO- + Cl-
Cl
Menurut sintesis eter Wiliamson yang lazim (RO- + RX → ROR + X-), RO- merupakan alkoksi yang harus dibuat dengan NaOH yang lebih kuat untuk menghasilkan ion alkoksida. Efek induktif dari oksigen-oksigen yang elektronegatif pada karbon-karbon yang berdekatan membuat setiap gugus hidroksil lebih asam daripada suatu gugus hidroksil dalam alkohol biasa. Konfigurasi pada karbon anomerik dari suatu glikosida tidak berubah dalam reaksi karboksimetilasi ini (Fessenden dan Fessenden 1986). Gaya tarik-menarik antara sesama rantai selulosa pada daerah kristalin disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen pada gugus hidroksilnya, gaya ini cukup kuat untuk dapat mencegah selulosa larut dalam air. Struktur selulosa tersusun atas daerah kristalin yang dihubungkan oleh daerah nirbentuk. Perubahan struktur kristalin menjadi nirbentuk dapat dimungkinkan. Presentasi gugus hidroksil yang dapat menerima gugus pereaksi lainnya bergantung pada ukuran molekul pereaksi dan derajat kristalinitas selulosa. Secara umum daerah kristalin pada selulosa mencapai 60-70% dan 30-40% merupakan bagian nirbentuk.
H -H2O
R
O- + CH2COO
Analisis Kobalt
O+
H
-H+
Cell
H O + Cell
H
dibuat dari selulosa alkali dengan natrium kloroasetat sebagai pereaksi.
R + O
Cell
Cell
H
Pembuatan eter selulosa seperti ini tidak dapat memberikan produk yang memuaskan. Oleh sebab itu bahan baku harus diubah menjadi selulosa alkali (sintesis eter menurut Williamson) atau paling tidak selulosa harus dapat dibengkakkan (Fengel dan Wegener 1984). Glicksman dan Robert (1972) mengemukakan bahwa pada dasarnya pembuatan CMC dapat dilakukan dengan reaksi yang sederhana dan konvensional, selulosa murni direaksikan dengan natrium monokloroasetat. Reaksi ini menghasilkan produk NaCMC dan NaCl. Hal yang serupa dikemukakan Sjostrom (1981) bahwa CMC
Metode yang digunakan untuk pengukuran kadar kobalt adalah spektroskopi sinar tampak. Metode ini didasarkan pada pengukuran serapan larutan berwarna merah yang menunjukkan terjadinya kompleks antara garam Nitroso-R [C10H5NNa2O8S2] dan kobalt (Gambar 3) (Jeffery et al. 1978). Kompleks kobalt-garam nitroso-R diukur pada panjang gelombang maksimum, yaitu 422 nm (Lampiran 3). Kompleks kobalt terbentuk dalam medium asam asetat panas setelah pembentukan warna. Asam klorida ditambahkan untuk mendekomposisi logam berat pengganggu yang ada. Besi, tembaga, serium(IV), kromium(III dan VI), nikel, dan vanadil vanadium menjadi pengganggu jika terdapat dalam jumlah cukup besar (Jeffery et al. 1978).
5
H O
O
Co + 3
O
S
O H
S
O
O
O H
N O
H O
O
O S
O S
O
H O
O
Co
H
3
N O
(Kompleks warna merah) Gambar 3 Reaksi antara Nitroso-R-Salt dan kobalt.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan ialah kulit nanas (pedagang rujak Babakan Raya), gula pasir, inokulum Acetobacter xylinum (toko kimia Setiaguna, Bogor), amonium sulfat, asam asetat glasial, natrium hidroksida, asam sulfat, aquades, air deion, CoCl2.6H2O, Nitroso-R-Salt, asam klorida, natrium asetat anhidrat, isopropanol, etanol, metanol, dan asam monokloroasetat . Alat-alat yang digunakan adalah Spectronic 20D+, blender Miyako BL-101 PL, wadah plastik, hot plate stirrer, neraca analitik, stirrer magnetik, pH meter Eutech Instruments 510, termometer, Fourier transfom infrared (FTIR) Perkin Elmer Precisely Spectrum One No. 700667 dan TENSOR 27, kondensor, labu leher tiga, dan beberapa peralatan gelas. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri atas empat tahap. Tahap pertama adalah pembuatan nata, tahap kedua preparasi produk nata, tahap ketiga aplikasi pengikatan produk nata terhadap larutan Co(II), dan tahap keempat pencirian produk nata. Pencirian produk nata menggunakan Fourier transfom infrared (FTIR). Pembuatan Nata Kulit buah nanas dibersihkan terlebih dahulu dengan air mengalir, kemudian
dihancurkan dengan blender, dan disaring hingga didapatkan ekstrak sari kulit buah nanas. Filtrat yang dihasilkan berwarna kuning jernih lalu diencerkan menggunakan akuades dengan perbandingan 1:4 (filtrat : akuades) dengan total larutan 600 ml (Susanto et al. 2000). Filtrat kulit nanas yang telah diencerkan, ditambahkan sukrosa sebanyak 7.5% (w/v) dan amonium sulfat sebanyak 0.5% (w/v), kemudian larutan tersebut direbus selama ± 15-20 menit hingga mendidih (100˚C). Kemudian dituangkan ke wadah fermentasi yang telah disiapkan. pH media diatur menjadi 4.5 dengan penambahan asam asetat 2% (v/v). Lalu media ditutup dengan kertas steril dan diikat dengan karet. Larutan media dibiarkan semalam. Keesokan harinya, kertas steril dibuka sebagian, sebanyak 10% inokulum dimasukkan ke dalam media. Media ditutup kembali dengan rapat dan diinkubasi selama 5 hari pada suhu kamar (Andriansyah 2006). Pemurnian Nata Nata direndam dalam larutan natrium hidroksida 1% (w/v) pada suhu kamar selama 24 jam. Kemudian dinetralkan dengan perendaman dengan asam asetat 1% (v/v) selama 24 jam. Volume natrium hidroksida dan asam asetat yang digunakan ± 1L untuk memurnikan nata. Selanjutnya produk dicuci beberapa kali dengan air (Yarni 2000). Preparasi Produk Nata Nata basah dihaluskan secara mekanik menggunakan blender. Kemudian dikeringkan pada suhu kamar hingga berbentuk lembaran. Lembaran nata dapat dilihat pada Gambar 4. Pada modifikasi NaOH, lembaran yang sudah kering dipotong dengan ukuran seragam 2x2 cm, ditimbang, lalu direndam dalam larutan basa (NaOH) konsentrasi 1 N dan 2 N dengan waktu 30 dan 60 menit dalam suhu 45 dan 75°C, kemudian dicuci dengan air deion dan dikeringkan. Pada modifikasi asam sulfat, lembaran dengan ukuran seragam 2x2 cm direndam dalam larutan H2SO4 konsentrasi 0.1 N dengan waktu 30 dan 60 menit dalam suhu 45 dan 75°C kemudian dicuci dengan air deion dan dikeringkan. Pemilihan variasi konsentrasi, suhu, dan waktu berdasarkan pada pengamatan fisik lembaran nata kering (Lampiran 2). Pada pembuatan karboksimetil selulosa (modifikasi menggunakan asam monokloro asetat), Selulosa bakteri yang sudah dihaluskan direndam dalam isopropanol. Sampel selulosa basah (5,5 g selulosa terdapat