Eksplorasi Mikoriza pada Lahan Bekas Tambang Emas Masyarakat di Mandailing Natal. (The mycorrhizal on Land Explore Former Gold Mine Community in Mandailing Natal) Sahat A. Sihombing1, Delvian2, Deni Elfiati2 1Mahasiswa Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tridarma Ujung No. 1 Kampus USU Medan 20155 (Penulis Korespondensi, Email:
[email protected]) 2Staf Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara ABSTRACT The mycorrhizal is affected by biotic and abiotic factor. The purpose of this research is to explore the mycorrhizal on the soil of former gold mine community in Mandailing Natal so that we know the types of native mycorrhizal of the area. The data got from this research used to helps land reclamation efforts by the application of mycorrhizal on land mine. This activity will improve the condition of the damaged environment or increase productivity of the land. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization. Result from this research is 2 genus spores are found they are genus Acaulospora 5 types of spores / 10 g soil and genus Glomus 11 types of spores / 10 g soil. The percentage of mycorrhizal colonization on former gold mine community in Mandailing Natal is revolve between 8,12% - 28,55% . Key words: Mycorrhizal, genus Acaulospora and genus Glomus, former gold mine land community.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertambangan merupakan suatu kegiatan yang mengeksploitasi sumberdaya alam.Kegiatan penambangan menyebabkan kerusakan lingkungan sekitar ataupun keberagaman (biodiversity) akan berkurang. Salah satunya adalah menurunnya produktivitas tanah dan pertumbuhan tumbuhan. Pencegahan dan pengurangan kerusakan harus segera dilakukan untuk daerah bekas tambang dengan melakukan reklamasi lahan. Pemerintah telah membuat peraturan dalam menjaga kelestarian ekosistem dengan peraturan pemerintah tentang reklamasi dan pasca tambang yang sudah diatur dalam PP No.78 Tahun 2010. Adanya peraturan tersebut sehingga para pemilik izin tidak menyalahgunakan hak tersebut dan memiliki tanggung jawab yang besar. Pada umumnya lahan tambang emas rusak akibat dari aktivitas tambang. Sifat kimia, fisik dan biologi tanah akan rusak dan menjadi masalah pada ekosistem yang ada. Menurut Suharno dan Sancayaningsih (2013) dalam Suharno dkk (2014) pada lahan tambang terjadi kerusakan tanah baik secara kimia dengan ditemukannya logam berat yang berlebihan dan pH tanah yang terlalu rendah padahal tanaman memerlukan unsur hara yang optimal, secara fisik dengan kondisi struktur tanah yang berpasir dan suhu permukaan yang terlalu tinggi dan secara biologi dengan rendahnya keberadaan mikroba tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Untuk memperbaiki kondisi tersebut perlu dilakukan upaya reklamasi lahan dengan menggunakan agen-agen hayati dengan mikoriza untuk memperbaiki ekosistem setempat. Mikoriza merupakan fungi yang mampu bersimbiotik mutualisme dengan akar tumbuhan yang
disebut inang. Hubungan simbiosis antara fungi dengan inangnya meliputi pemberiaan unsur hara dan mineral tanah sehingga tumbuhan dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, sedangkan fungi memperoleh fotosintat berupa karbohidrat dari inangnya (Musnamar, 2003). Inang dalam pertumbuhannya mendapat sumber makanan lebih banyak dari dalam tanah dengan bantuan penyerapan lebih luas dari organ-organ mikoriza pada sistem perakaran dibandingkan yang diserap oleh rambut akar biasa. Makanan utama yang diserap adalah fosfat (P), nitrogen (N), kalium (K) dan unsur mikro lain seperti Zn, Cu dan B. Melalui proses enzimatik, makanan yang terikat kuat dalam ikatan senyawa kimia seperti aluminium (Al) dan besi (Fe) dapat diuraikan dan dipecahkan dalam bentuk tersedia bagi tumbuhan. Tumbuhan melakukan fotosintesis, hasil fotosintat berupa karbohidrat cair didistribusikan ke bagian akar inang dan tentunya mikoriza di jaringan korteks akar inang mendapatkan aliran energi untuk hidup dan berkembangbiak di dalam tanah. Kegiatan antara mikoriza dan inang berlangsung terus menerus dan saling menguntungkan seumur hidup inang ( Santoso dkk, 2007). Pada umumnya tanaman yang bermikoriza mempunyai pertumbuhan yang baik. Hubungan antara fungi mikoriza dengan tanaman inang yang bersimbiosis mutualisme memberikan manfaat positif bagi keduanya. Hal ini terjadi karena inokulasi fungi mikoriza bersifat biofertilization baik untuk tanaman pangan, perkebunan, kehutanan maupun tanaman penghijauan (Widada, 1994 dalam Nurhayati, 2012). Penelitian dilakukan untuk mengeksplorasi mikoriza asli (indigenous) yang bersifat adaptif dari lahan tambang emas yang ada di Mandailing Natal. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai kajian dasar untuk
penelitian lebih lanjut dengan mengembangkan dan mengaplikasikan mikoriza yang asli (indigenous) pada lahan tambang untuk upaya reklamasi lahan. Mikoriza mampu mengurangi toksisitas logam berat dan meningkatkan toleransi tanaman pada tanah-tanah yang terkontaminasi. Menurut Bradley, dkk (1982) mikoriza mendukung pertumbuhan tanaman pada lahan tambang dengan kondisi tanahnya yang mengandung logam-logam beracun dengan mengurangi toksisitas, logam beracun dan meningkatkan toleransi tanaman pada tanah-tanah yang terkontaminasi. Hal ini diharapkan memberi pengaruh positif pada kondisi ekosistem yang ada di lahan tambang sehingga sifat kimia, fisik dan biologi tanah dapat diperbaiki. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitan Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Oktober 2015. Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan 2 tahapan yaitu kegiatan di lapangan dan di laboratorium. Pengambilan contoh tanah dan akar dilakukan di lahan bekas tambang emas masyarakat Desa Humbang, Kecamatan Naga Juang, Kabupaten Mandailing Natal yang ditinggalkan selama 1-2 tahun dan telah mengalami suksesi. Pengamatan kolonisasi mikoriza, kepadatan spora mikoriza, dan identifikasi spora mikoriza dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dan analisis tanah dilakukan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System (GPS), tali plastik, cangkul, kantong plastic, spidol, kertas label, saringan (2 mm, 710 µm, 250 µm, 106 µm, 53 µm), pinset, Erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes, spatula, tabung sentrifuge, cawan petri, cover glass, mikroskop stereo, mikroskop binokuler, batang pengaduk, preparat, timbangan, kalkulator dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastik, kertas label, tanah, larutan glukosa 60%, pewarna Melzer’s, larutan trypan blue, larutan KOH 10%, larutan HCl 2%, tisu, terrabuster 0,4%, Hyponex merah, air dan buku panduan mikoriza. C. Prosedur Penelitian C.1 Pengambilan Contoh Tanah Pengambilan contoh tanah dalam penelitian ini sesuai dengan metode dari ICRAF (Ervayenri dkk, 1999). Petak ukur pengamatan yang digunakan adalah 20 m x 20 m. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada lima titik yang diambil dari daerah rizosfir atau pada kedalaman 20 cm. Berat tanah yang diambil dari setiap titik sebanyak 500 gram secara komposit dan diidentifikasi mikoriza yang
ada pada contoh akar tumbuhan yang didominasi oleh tumbuhan rumput manis (Paspalum congjugatum). Jumlah plot dalam penelitian ada 8 plot dan dikelompokkan kedalam 4 blok. Blok I ( Plot 1,2 dan 3), blok II (Plot 4), blok III (Plot 5,6 dan 7) dan blok IV (Plot 8). Pada penelitiaan ini juga dilakukan analisa tanah meliputi pH tanah, C-Organik, P-tersedia dan KTK untuk mengetahui sifat tanah. C.2 Pembuatan Kultur Pemerangkapan (trapping) Teknik trapping yang digunakan mengikuti metoda Brundrett, dkk (1996) dengan menggunakan pot kultur terbuka. Media tanam yang digunakan berupa campuran contoh tanah dan pasir. Teknik pengisian media tanam dalam pot kultur adalah pot kultur diisi dengan pasir 1/3 pot kemudian dimasukkan contoh tanah 1/3 pot dan ditutup pasir 1/3 pot sehingga media tanam tersusun atas pasir-contoh tanah-pasir. Selanjutnya bibit jagung (Zea mays) ditanam pada pot yang sudah diisi dengan pasir, tanah kemudian ditutupi lagi dengan pasir. C.3 Pengamatan Contoh Tanah dan Akar C.3.1 Ekstraksi dan Identifikasi Mikoriza Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora adalah teknik tuang-saring dari Pacioni (1992) dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugase dari Brundrett, dkk (1996). Pada ekstraksi spora teknik tuangsaring ini kemudian diikuti dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett, dkk (1996). C.3.2 Kolonisasi Mikoriza Pada Akar Tanaman Sampel Kolonisasi mikoriza diamati pada akar tanaman contoh dengan teknik pewarnaan akar (staining). Metode yang digunakan untuk pembersihan dan pewarnaan akar sampel adalah metode dari Kormanik dan Mc Graw (1982). Persentase kolonisasi mikoriza dapat dihitung dengan menggunakan metode panjang akar terkolonisasi (Giovannetti dan Mosse, 1980). Derajat atau persentase kolonisasi akar dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: % Kolonisasi mikoriza =
x 100%
C.4 Variabel Pengamatan Dalam penelitian ini variabel pengamatan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu variabel lingkungan dan variabel mikoriza. Variabel lingkungan meliputi analisa tanah (C-Organik, pH, P-tersedia dan KTK) dan variabel mikoriza yang diamati meliputi yaitu persentase kolonisasi akar pada tanaman inang, kepadatan spora atau jumlah spora mikoriza tiap 10 gram tanah dan jenis spora mikoriza yang ditemukan. Hasil data-data yang diperoleh dari variabel pengamatan akan dilakukan analisis untuk melihat hubungan antara variabel lingkungan dengan variabel mikoriza. Analisis ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara eksplorasi mikoriza dengan kondisi lingkungannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Analisa Tanah Penambangan emas masyarakat Desa Humbang, Kecamatan Naga Juang, Kabupaten Mandailing Natal terdapat pada kawasan hutan dan lahan masyarakat setempat. Lahan bekas tambang emas sudah berumur kisaran 1-2 tahun dan sudah mengalami suksesi. Pada lahan bekas tambang emas sudah mengalami suksesi dan tumbuhan yang mendominasi yaitu tumbuhan rumput manis (Paspalum congjugatum). Penambangan yang terus menerus semakin meluas dan kurangnya pengawasan dari pemerintah dapat membuat kerusakan lingkungan. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan membuat lingkungan rusak. Semua pihak bertanggung jawab untuk semua ini baik pemerintah dan masyarakat untuk menjaga kelestarian alam supaya terjaga dan berkelanjutan. Upaya reklamasi lahan perlu dilakukan salah satunya yaitu dengan mikoriza. Sifat kimia tanah sangat mempengaruhi kemampuan mikoriza untuk berasosiasi dengan tanaman. Menurut Widada (1994) dalam Nurhayati (2012) tanaman yang bermikoriza mempunyai pertumbuhan yang yang baik. Hubungan antara fungi mikoriza dengan tanaman inang yang bersimbiosis mutualisme sehingga mendatangkan manfaat positif bagi keduanya. Hal ini terjadi karena inokulasi fungi mikoriza bersifat biofertilization baik untuk tanaman pangan, perkebunan, kehutanan maupun tanaman penghijauan. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari suatu tumbuhan bahkan mempengaruhi keberadaan spora mikoriza di dalam tanah, seperti kondisi fisik, kimia dan biologi tanah. Berikut hasil analisa tanah di lahan bekas tambang emas masyarakat Desa Humbang, Kecamatan Naga Juang, Kabupaten Mandailing Natal (Tabel 1). Tabel 1. Hasil analisa tanah di lahan bekas tambang emas masyarakat Desa Humbang, Kecamatan Naga Juang, Kabupaten Mandailing Natal Blok Parameter
I
II
III
IV
pH (H2O)
4,49 m
7,49 n
6,14 n
5,48 m
C-Organik (%)
1,01 r
1,34 r
2,70 s
2,06 s
P-tersedia (ppm)
3,80 sr
14,98 r
18,49 s
6,51 sr
KTK (me/100g)
40,91 st
10,85 r
15,06 r
17,56 s
Keterangan: am = agak masam r = rendah s = sedang m = masam sr = sangat rendah n = netral st= sangat tinggi Sumber Kriteria: Staf Penelitian Tanah (1983) dan BPP Medan (1982) dalam Muklis (2007)
Tanah yang diambil berasal dari kedalaman 0- 20 cm. Hasil analisa tanah yang dilakukan pada tanah lahan bekas tambang emas diperoleh perbedaan sifat kimia tanah diantara keempat blok tersebut dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan analisis pH tanah yang dilakukan diperoleh pH tanah yang berbeda-beda dari setiap blok mulai dari kriteria masam sampai netral. Tanah pada blok I dan IV memiliki pH masam yaitu bernilai 4,49 dan 5,48. pH tanah pada blok II dan III memiliki pH netral yaitu bernilai 7,49 dan 6,49. Menurut Mass dan Nieman (1978) fungi mikoriza pada umumnya tahan terhadap kemasaman tanah. Adaptasi mikoriza terhadap pH tanah berbeda-beda serta pH tanah mempengaruhi penyebaran dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. pH tanah mempengaruhi jumlah spora dengan semakin masam tanah maka akan semakin meningkat jumlah spora. Bahkan mikoriza mampu hidup pada kondisi tanah yang tercemar oleh logam-logam berat. Menurut Bradley, dkk (1982) pada lahan tambang dengan kondisi tanahnya yang mengandung logam-logam beracun dengan konsentrasi yang tinggi. Mikoriza mampu mengurangi toksisitas dan meningkatkan toleransi tanaman pada tanah-tanah yang terkontaminasi. Analisa C-Organik tanah yang diperoleh dalam penelitian ini berbeda-beada pada setiap blok. C-Organik yang terendah yaitu pada blok I 1,01% yang tergolong dalam kriteria rendah dan yang tertinggi adalah pada blok III 2,70% yang tergolong pada kriteria sedang. Menurut Pujianto (2011) bahan organik 1-2%, mikoriza memiliki jumlah spora yang maksimum sedangkan yang berbahan C-organik kurang dari 0,5% jumlah spora sangat rendah. Kandungan P-tersedia tanah yang diperoleh dalam penelitian ini dari yang terendah yaitu pada blok I 3,89 ppm yang termasuk dalam kriteria sangat rendah dan yang tertinggi pada blok III 18,49 ppm. P-tersedia yang rendah meningkatkan kolonisasi mikoriza dan sebaliknya jika P-tersedia yang tinggi dapat menurunkan kolonisasi mikoriza. Hasil penelitian ini menunjukkan kondisi Ptersedia yang ada pada tanah berkisar antara sangat rendah sampai sedang. Mikoriza bekerja secara efektif pada tanah-tanah yang miskin akan unsur hara dan kekurangan ketersediaan air. Hal ini pastinya mendukung pertumbuhan tanaman dan dengan terjadinya kolonisasi mikoriza pada akar tanaman sehingga ketersediaan air dan unsur hara khususnya fosfor (P) tersedia. Menurut Tuheteru, dkk (2012) mikoriza mampu meningkatkan serapan hara khususnya fosfor (P), magnesium (Mg) serta meningkatkan keseimbangan K+/Na+ dan efisiensi penggunaan air sehingga mendukung pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian yang terdapat pada Tabel 1 diperoleh data analisis tanah yang kurang P-tersedia berbanding lurus dengan persentase kolonisasi mikoriza dan kepadatan spora pada tanah. Penelitian Puspitasari (2012) korelasi antara P-tersedia dengan jumlah spora memberikan pengaruh dimana dengan
adanya peningkatan kandungan P-tersedia tanah menyebabkan jumlah spora Acaulospora dan Gigaspora mengalami penurunan dan yang sangat mengalami penurunan yang sangat signifikan yaitu jumlah spora Glomus. Hasil penelitian Muzakkir (2011) hasil korelasi antara pH, P-tersedia dan C-Organik tanah memberi pengaruh yang positif terhadap perkembangan Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) dimana dengan rendahnya nilai pH, P-tersedia dan C-Organik maka perkembangan mikoriza akan meningkat. Hubungan P-tersedia tanah yang rendah terhadap perkembangan mikoriza mendukung penyebaran dan infektivitas mikoriza. Kapasitas Tukar Kation (KTK) juga mempengaruhi infektivitas kolonisasi mikoriza pada akar dan jumlah spora mikoriza. KTK tanah terendah diperoleh dalam penelitian ini adalah pada blok II 10,85 me/100g yang termasuk dalam kriteria rendah dan KTK tanah tertinggi pada blok I 40,91 me/100g yang termasuk dalam kriteria sangat tinggi. Secara umum semakin rendah KTK tanah maka semakin tinggi kolonisasi mikoriza dan jika semakin tinggi KTK tanah maka semakin rendah kolonisasi mikoriza. Penelitian Puspitasari (2012) peningkatan KTK tanah akan berbanding terbalik dengan jumlah spora mikoriza yaitu mengalami penurunan. Tetapi, pada hasil penelitian ini menunjukkan kolonisasi infeksi mikoriza pada akar dan jumlah spora tetap berkembang tanpa ada pengaruh nilai KTK tanah. Diperoleh data pada blok I (Tabel 1.) dengan KTK tanah yang tertinggi memiliki persentase kolonisasi mikoriza dan jumlah spora yang tinggi dibandingkan pada blok III dengan KTK tanah yang terendah memiliki persentase kolonisasi mikoriza dan jumlah mikoriza yang terendah. Hasil analisa tanah yang terdapat pada lahan tambang baik dengan pH, C-Organik, P-tersedia dan KTK tanah termasuk dalam kondisi tanah yang kurang subur. Menurut Suharno dan Sancayaningsih (2013) dalam Suharno, dkk (2014) pada umumnya tanah pada lahan tambang memliki kondisi tanah yang kurang subur. Dalam hal ini, perlu dilakukan upaya reklamasi lahan salah satunya dengan pengaplikasian mikoriza untuk mengembalikan fungsi awal lahan dan diharapkan sifat tanah (kimia, fisik dan biologi tanah) dapat diperbaiki. B. Keberadaan Mikoriza Mikoriza memiliki beberapa struktur untuk dapat bertahan hidup di tanah dan tanaman. Struktur tersebut yaitu arbuskula, hifa dan vesikula. Arbuskula berfungsi sebagai tempat pertukaran simbiosis antara spora dan tanaman, hifa berfungsi sebagai alat menginfeksi tanaman, menyerap unsur hara dan mineral, dan vesikula berfungsi sebagai cadangan makanan bagi spora sendiri. Pada penelitian ini ditemukan hifa dan vesikula, sedangkan struktur arbuskula tidak ditemukan. Struktur arbuskula tidak ditemukan karena memiliki umur yang pendek, sehingga saat pengamatan organ tersebut sudah rusak.
Struktur mikoriza yang ditemui adalah hifa dan vesikula. Bentuk struktur hifa pada akar, vesikula pada akar dan akar tanpa kolonisasi mikoriza dapat dilihat pada Gambar 1, 2 dan 3.
Hifa
Gambar 1. Hifa pada akar
Vesikula
Gambar 2. Vesikula pada akar Tidak ada kolonisasi mikoriza
Gambar 3. Akar tanpa kolonisasi mikoriza C. Persentase Kolonisasi Akar Pemerangkapan (trapping) dilakukan di rumah kaca dengan menggunakan tanaman jagung (Zea mays) sebagai inang. Menurut Hardjowigeno (2010) dalam Chairiyah, dkk (2013) menyatakan tanaman jagung (Zea mays) merupakan tanaman yang dimanfaatkan sebagai inang bagi mikoriza karena dapat bersimbiosis dengan mikoriza di akar tanaman. Tanaman jagung (Zea mays) mempunyai endomikoriza atau arbuskula mikoriza. Adanya mikoriza pada akar tanaman jagung (Zea mays) sehingga mendukung pertumbuhan tanaman dan pengamatan lebih mudah dilakukan. Setelah pemerangkapan (trapping) selesai kemudian dilakukan penghitungan kolonisasi mikoriza pada akar tanaman jagung (Zea mays). Hasil tersebut dapat dikategorikan rendah sesuai dengan klasifikasi tingkat infeksi FMA pada akar menurut Setiadi (1992) (Lampiran 1). Persentase kolonisasi fungi mikoriza pada akar tanaman dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase kolonisasi mikoriza pada akar tanaman Blok
Hasil pengamatan Trapping Kriteria (%) Sedang 52,53
Kriteria
I
Lapangan (%) 28,55
II
15,56
Rendah
19,15
Rendah
Tinggi
III
8,12
Rendah
11,17
Rendah
IV
20,70
Rendah
29,55
Sedang
Rata-rata
18,23
Rendah
28,10
Sedang
Sumber Klasifikasi: Klasifikasi tingkat infeksi mikoriza pada akar menurut Setiadi (1992) Data persentase kolonisasi mikoriza pada akar tanaman diperoleh berbanding lurus dengan kondisi sifat kimia sampel tanah yang digunakan parameter yaitu kondisi pH tanah yang agak masam dan ketersediaan Ptersedia yang rendah sehingga mendukung kolonisasi mikoriza pada akar tanaman. Hasil persentase kolonisasi mikoriza pada akar tanaman yang dilakukan di laboratorium memperoleh persentase kolonisasi mikoriza pada tiap blok berbedabeda dan menunjukkan pada kempat blok tersebut mampu berasosiasi dengan mikoriza. Persentase kolonisasi mikoriza pada keempat blok memiliki keberagaman dan dapat dibagi dalam beberapa kriteria berdasarkan Setiadi (1992) dalam Mukhlis (2007) (Lampiran 1). Pengamatan persentase kolonisasi mikoriza di lapangan tersebut menghasilkan data persentase yang terendah pada blok III 8,12% yang termasuk dalam kriteria rendah dan yang tertinggi pada blok I 28,55% yang termasuk dalam kriteria sedang. Seteleh dilakukan pemerangkapan (trapping) terjadi peningkatan persentase kolonisasi mikoriza pada akar tanaman. Hasil persentase kolonisasi mikoriza pada akar tanaman yang terendah yaitu pada blok III 11,17% yang termasuk dalam kriteria rendah dan yang tertinggi pada blok I 52,53% yang termasuk dalam kriteria tinggi. Mikoriza yang bersimbiosis mutualisme dengan tanaman akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Sieverding (1991) simbiosis antara mikoriza dengan tanaman akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal tersebut akan saling menguntungkan, mikoriza akan memperoleh karbohidrat dan unsur pertumbuhan lainnya dari tanaman inang, sebaliknya mikoriza akan memberikan keuntungan kepada tanaman inang dengan cara membantu tanaman untuk menyerap unsur hara terutama unsur fosfor (P). Penelitian Kartika, dkk (2014) menunjukkan pertumbuhan dan serapan fosfor (P) tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada media tanah bekas tambang batu bara yang diinokulasi FMA lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) tanpa FMA. Mikoriza mampu menyediakan air dan hara bagi tanaman baik dalam kondisi kering dan miskin unsur hara.
Mikoriza melindungi tanaman dari patogen dan unsur toksik dan secara tidak langsung melalui perbaikan strutur tanah. Hal ini disebabkan karena mikoriza memiliki hifa eksternal yang luas dan diameter yang lebih kecil dari bulu akar , enzim fosfatase dan sekresi hifa lainnya serta terbentuknya mantel yang melindungi akar tanaman secara fisik. Hasil persentase kolonisasi akar pada masingmasing blok berbeda-beda tergantung pada infektivitas dari masing-masing mikoriza. Infektivitas mikoriza merupakan kemampuan mikoriza untuk menginfeksi dan mengkoloni akar tanaman yang mendukung pertumbuhan tanaman. Infektivitas dipengaruhi oleh spesies fungi, tanaman inang, interaksi mikrobial, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi fungi mikoriza yang disebut sebagai faktor biotik, dan faktor lingkungan tanah yang disebut faktor abiotik (Solaiman dan Hirata, 1995 dalam Nurhayati, 2012). D. Kepadatan Spora di Lapangan dan Hasil Pemerangkapan (trapping) Kepadatan spora dari sampel tanah di lapangan dan pemerangkapan (trapping) (Tabel 3) menunjukkan jumlah spora yang diperoleh berbeda-beda pada setiap blok. Data kepadatan spora yang diperoleh dari sampel tanah di lapangan dan hasil pemerangkapan (trapping) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kepadatan spora dari sampel tanah dari lapangan dan hasil pemerangkapan (trapping) Blok I
Hasil pengamatan (Spora/10 gram tanah) Lapangan Trapping 5 23
II
3
15
III
2
7
IV Ratarata
1
18
6
16
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah spora dari hasil pemerangkapan (trapping) dibandingkan dengan jumlah spora yang ditemukan dilapangan. Hal ini didasarkan pada proses pemerangkapan (trapping) bertujuan untuk meningkatkan jumlah propagul spora yang ada di dalam tanah yang diambil dari lapangan dan juga tidak semua mikoriza aktif pada waktu yang sama. Di dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi sampel tanah dari lapangan dan hasil pemerangkapan (trapping) di lahan bekas tambang emas masyarakat Mandailing Natal. Hasil ekstraksi yang dilakukan pada keempat blok ditemukan tipe genus Acaulospora dan genus Glomus pada sampel tanah yang ada di lapangan dan hasil pemerangkapan (trapping). Jumlah spora terendah yang terdapat pada lapangan yaitu pada blok IV 1 spora/10 gram tanah dan yang tertinggi pada blok I 5 spora/10 gram tanah.
Spora mikoriza yang diambil dari lapangan tidak sepenuhnya dapat diidentifikasi karena tidak semua mikoriza aktif pada waktu yang sama. Pemerangkapan (trapping) dilakukan untuk meningkatkan jumlah spora mikoriza. Setelah dilakukan pemerangkapan (trapping) jumlah spora dan tipe genus spora bertambah. Jumlah spora yang terendah yaitu pada blok III 7 spora/10 gram tanah dan yang tertinggi pada blok I 23 spora/10 gram tanah. Peningkatan spora terjadi setelah dilakukan pemerangkapan (trapping) dibandingkan dengan sebelumnya. Pada pemerangkapan (trapping) dilakukan stressing atau tidak ada dilakukan perlakuan pada sampel baik itu memberi air atau larutan unsur hara. Adanya stressing memberi pengaruh positif pada perkembangan mikoriza. Kondisi yang kering dan tidak ada pemberian unsur hara memacu respon fisiologisya sehingga spora mokoriza meningkat dan bahkan bertambah tipe genus sporanya. Hasil penelitian Hartoyo, dkk (2011) menunjukkan di dalam penelitiannya setelah dilakukan pemerangkapan (trapping) terjadi peningkatan jumlah spora dan tipe genus sporanya. Adanya peningkatan yang terjadi setelah pemerangkapan (trapping) bisa saja dipengaruhi oleh lingkungannya. Menurut Delvian (2003) dalam Hartoyo, dkk (2011) FMA memiliki faktor intrinsik yang akan memberikan respon yang berbeda-beda terhadap lingkungan atau musim. Meskipun ada tipe spora yang tidak dipengaruhi musim atau lingkungan akan tetapi terdapat tipe spora yang dipengaruhi oleh musim atau lingkungan. Hal ini menunjukkan pengaruh musim atau lingkungan tergantung pada tipe spora mikoriza yang ada pada tanah. Jumlah kepadatan spora yang tertinggi dalam penelitian ini yaitu 23 spora/10 gram tanah. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian beberapa orang yang mengeksplorasi mikoriza pada lahan tambang. Berdasarkan penelitian Suharno dkk (2014) menunjukkan jumlah kepadatan spora yang tertinggi yaitu 17 spora/10 gram tanah. Penelitian Setiadi dan Arif (2011) menunjukkan jumlah kepadatan spora tertinggi yaitu 477 spora/50 gram tanah (10 spora/10 gram tanah) dan penelitian Setyaningsih (2008) menunjukkan jumlah kepadatan spora tertinggi yaitu 23 spora/10 gram tanah. E. Tipe Spora dan Karakteristik Spora Tipe spora pada setiap genus dari lapangan dan hasil pemerangkapan (trapping) diidentifikasi spora mikorizanya sehingga diperoleh data jumlah tipe dari setiap genus spora yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah tipe spora setiap genus dari lapangan dan hasil pemerangkapan (trapping) No
Tipe spora
Jumlah tipe spora Lapangan
Trapping
1
Acaulospora
2
5
2
Glomus
8
11
Data jumlah tipe spora setiap genus dari lapangan dan hasil pemerangkapan (trapping), genus Glomus memiliki jumlah tipe spora yang lebih banyak dibandingkan dengan genus Acaulospora. Data menunjukkan terjadi peningkatan jumlah spora dari hasil lapangan dengan hasil pemerangkapan (trapping). Dalam penelitian eksplorasi mikoriza pada lahan bekas tambang emas masyarakat di Mandailing Natal ditemukan 2 tipe genus spora yaitu genus Acaulospora dan genus Glomus. Tipe spora pada setiap genus yang ada dari lapangan dan hasil pemerangkapan (trapping) berbeda-beda jumlah dan tipenya. Jumlah dan tipe spora yang ada pada lapangan terdapat 2 genus Acaulospora dan 8 genus Glomus. Setelah dilakukan pemerangkapan (trapping) terjadi peningkatan jumlah dan pertambahan tipe spora. Jumlah dan tipe spora yang ada pada hasil pemerangkapan (trapping) terdapat 5 genus Acaulospora dan 11 genus Glomus. Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa genus Glomus lebih dominan dibandingkan dengan genus Acaulospora. Genus Glomus lebih dominan dikarenakan oleh genus Glomus lebih adaptif di tanah tersebut. Penelitian Yulianitha, dkk (2011) menyatakan tipe genus Glomus yang merupakan jenis mikoriza yang lebih dominan karena 23 dari 26 spesies yang telah diidentifikasi spesies yang ditemukan adalah genus Glomus sp. Penelitian tersebut menjelaskan tingkat penyebaran genus Glomus yang tinggi dengan kemampuan simbiosis dan adaptasinya lebih tinggi dibandingkan dengan genus Acaulospora dan genus Gigaspora. Tipe spora genus Glomus sp yang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi dalam penelitian ini dengan 11 tipe spora. Proses perkembangan spora genus adalah dari ujung hifa yang membesar dan terbentuk spora. Spora dari genus Glomus sp berasal dari perkembangan hifa maka disebut dengan chlamydospora. Spora genus Glomus sp ada yang memiliki hifa bercabang-cabang dan tiap cabang terbentuk chlamydospora serta membentuk sporocarp. Setelah dewasa spora dipisahkan dari hifa pelekat oleh sebuah sekat, spora berbentuk globos, subglobos, ovoid ataupun obovoid dengan dinding spora terdiri dari lebih satu lapis (Patriyasari, 2007 dalam Puspitasari 2012). Menurut Smith dan Read (1997) dalam Puspitasari (2012) spora genus Glomus dapat ditemukan dalam bentuk tunggal atau agregat lepas, sporokarp tidak seperti pada Sclerocystis dan sporokarp terdiri dari spora dengan dinding lateral yang tidak bisa pisah satu sama lainnya.
Spora genus Glomus yang ditemukan dalam penelitian ini rata-rata memiliki bentuk bulat sampai bulat lonjong. Warna dari spora Glomus ada kuning, kuning gelap, merah kecoklatan, merah gelap, coklat, coklat kekuningan. Sedangkan dinding spora Glomus ada tebal dan tipis. Setiap spora memiliki ciri-ciri tersendiri yang lebih spesifik yang membedakan antara spora yang satu dengan yang lainnya. Dalam penelitian ini juga ditemukan 5 tipe spora genus Acaulospora. Menurut Smith dan Read (1997) dalam Puspitasari (2012) menyatakan Genus Acaulospora perkembangannya berawal dari ujung hifa (subtending hyphae) yang membesar seperti spora yang disebut Hypal terminus. Bulatan kecil akan muncul diantara Hypal terminus dan subtending hyphae yang akan berkembang semakin besar dan akan terbentuk spora. Di dalam perkembangannya hifa terminus akan rusak dan isinya akan masuk ke spora. Hifa terminus yang rusak akan meninggalkan bekas lubang yang kecil yang disebut Cycatric. Menurut Nusantara, dkk (2012) genus Acaulospora memiliki karakteristik yang yang membedakannnya dengan tipe genus spora lainnya. Karakteristik tersebut yaitu: 1. Genus Acaulospora memilik hifa pada titik masuk (entry point) yang bercabang. Hifa pada korteks terluar biasanya memiliki percabangan lebih tidak teratur, lebih ikal, atau keriting dibanding dengan hifa genus Glomus. 2. Hifa internalnya berdinding tipis dan pada umumnya berwarna lebih pucat (pewarnaan lebih lemah), sehingga sulit untuk dilihat dan dipersulit dengan adanya jejeran tetes lemak. 3. Genus Acaulospora memiliki vesikel yang awalnya berbentuk empat persegi panjang, tetapi sering kali berubah menjadi agak lonjong (lobed) karena berkembang kearah sel-sel yang berdekatan dan vesikel tersebut berdinding tipis dan tidak bertahan lama di akar. Dalam penelitian ini jenis spora yang ditemukan yaitu genus Acaulospora dan genus Glomus. Penelitian Suharno, dkk (2014) menyatakan di dalam penelitiannya bahwa jenis-jenis spora yang ada pada lahan tambang emas yang ditemukan pada daerah Timika yaitu genus Acaulospora, genus Archaeospora, genus Gigaspora, genus Glomus, genus Scutellospora. Pada penelitian Setiadi dan Arif (2011) jenis spora yang ditemukan pada lahan tambang di daerah Sulawesi Selatan yaitu genus Acaulospora, genus Gigaspora dan genus Glomus. Penelitian Setyaningsih (2008) jenis mikoriza yang ditemukan yaitu genus Acaulospora, genus Gigaspora dan genus Glomus. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa genus Acaulospora dan genus Glomus merupakan mikoriza yang keberadaannya bersifat adaptif pada lahan tambang.
Hasil ekstraksi tanah dan identifikasi terhadap spora mikoriza yang dilakukan pada lahan bekas tambang ditemukan 2 genus spora mikoriza yaitu genus Acaulospora sebanyak 5 tipe spora dan genus Glomus sebanyak 11 tipe spora. Tipe dan karakteristik spora dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Tipe dan karakteristrik spora pada tanah dari lapangan dan pemerangkapan (trapping) Tipe spora
Acaulospora sp 2 (H : 40x)
Acaulospora sp 4 (H : 40x)
Acaulospora sp 5 (H : 40x)
Acaulospora sp 8 (H : 40x)
Acaulospora sp 9 (H : 40x)
Karakteristik
L
T
Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna cokelat kekuningan, dinding spora tebal dengan permukaan mirip kulit jeruk
√
√
Spora berentuk bulat, berwarna cokelat kemerahan, dinding spora tipis dengan permukaan seperti kulit jeruk
-
√
Spora berbentuk bulat, berwarna merah bata,dinding spora tipis, permukaan bercorak mirip kulit jeruk
-
√
Spora berbentuk bulat, berwarna kuning, dinding spora tipis dengan permukaan bercorak kulit jeruk
√
√
Spora berbentuk bulat, berwarna kuning, dinding spora tipis dengan permukaan bercorak kulit jeruk
-
√
Spora berbentuk bulat, berwarna coklat kekuningan, dinding spora tebal dengan permukaan halus
√
√
Spora berbentuk bulat, berwarna merah kecokelatan, dinding spora tipis
-
√
Glomus sp 2 (H : 40x)
Glomus sp 8 (H : 40x)
Glomus sp 9 (H : 40x)
Spora berbentuk bulat lonjong, warna cokelat, dinding spora tipis dengan permukaan halus
√
√
√
Glomus sp 29 (H : 40x)
Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna hitam, dinding spora tebal dengan permukaan halus
√
√
Spora berbentuk bulat, berwarna kuning gelap, dinding spora tebal dengan permukaa berbintik
√
-
Spora berbentuk bulat, berwarna merah gelap, dinding spora tebal dengan permukaan kasar
-
√
Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat, dinding spora tidak tebal dengan permukaan berbintik
√
√
Glomus sp 15 (H : 40x)
Glomus sp 16 (H : 40x)
Spora berbentuk bulat, berwarna ccoklat kekuningan, dinding spora tidak tebal dengan permukaan halus dan memiliki Hyfal attchment
Berdasarkan data tipe dan karakteristik spora pada tanah di lapangan dan pemerangkapan (trapping) diperoleh tipe spora yang baru. Penyebaran spora mikoriza dipengaruhi oleh sifat kimia tanah (pH tanah, C-Organik, Ptersedia dan KTK tanah). Penyebaran spora dipengaruhi adanya dilakukan proses stressing yang dilakukan selama 14 hari yang membuat ditemukannya tipe spora yang baru. Proses stressing meningkatkan respon fisiologis dari mikoriza untuk membentuk spora-spora yang baru. Penyebaran genus Acaulospora dan genus Glomus dalam penelitian ini belum dapat diidentifikasi lebih akurat tentang penyebaran dan nama spesiesnya, karena dari seluruh jumlah spora yang ditemukan hanya sedikit yang dapat diidentifikasi. Kondisi ini juga dikarenakan banyak ditemukan spora-spora yang kotor belum terpisah dari tanah dan keadaan spora yang rusak. Identifikasi spora juga terkendala oleh terbatasnya peralatan di laboratorium sehingga penamaan spora belum dapat mencapai penamaan spesies.
KESIMPULAN
Glomus sp 18 (H : 40x)
√
√
Hasil eksplorasi mikoriza pada lahan bekas tambang emas masyarakat di Mandailing Natal ditemukan 2 genus spora mikoriza yaitu genus Acaulospora sebanyak 5 tipe spora dan genus Glomus sebanyak 11 tipe spora. Persentase kolonisasi mikoriza berkisar antara 8,12% 28,55%.
DAFTAR PUSTAKA
Spora berbentuk bulat, berwarna hitam, dinding spora tebal dengan permukaan kasar.
√
√
Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat kekuningan, dinding spora tidak tebal dengan permukaan halus
-
√
Glomus sp 21 (H : 40x)
Glomus sp 25 (H : 40x)
√
Keterangan: L= Lapangan T= Trapping
Glomus sp 12 (H : 40x)
Glomus sp 19 (H : 40x)
Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat muda, dinding spora tebal dengan permukaan halus
Bradley, R., A.J. Burt dan D.J. Read. 1982. The Biology of michorhiza in the Ericaceae. VIII. The role of micorhizal infection in heavy metal resistance. New Phytol. 91 : 197-209. Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grave dan N. Malajezuk. 1996. Working with Mycorrhizae in Forestry and Agriculture. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Carbera. Chairiyah, R.R., Hardy G. dan Abdul R. 2013. Bioremediasi Tanah Tercemar Logam Berat Cd, Cu, Dan Pb Dengan Menggunakan Endomikoriza. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol 2. Hlm 348-361.
Ervayenri, Y., Setiadi , N. Sukarno dan C. Kusmana. 1999. Arbuskular Mycorrhizae Fungi (AMF) Diversity in Peat Soil influenced by land Vegetation Types. Proceedings on International Conference Mycorrhiza in Suitanable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. In Commenoration of 100 Years the World Pioneering Studies on Tropical Mycorrhizas in Indonesian by Professor JM Janse. 27-30 Oktober 1997. Bogor.pp.85-92. Giovanneti, M. dan Mosse B. 1980. An Evaluation of Technique for Measuring Vesicular-Arbuscular Mycorrhizae Infection in Roots. New Phytol. 84:317321. Hartoyo, B., M. Ghulamahdi, L.K. Darusman, S.A. Aziz, dan I. Mansur. 2011. Keanekaragaman Fungi Arbuskula (FMA) Pada Rizosfer Tanaman Pegagan (Contella asiatica (L) Urban). Jurnal Littri Vol 17. Hlm 32-40. Kartika, E., Lizawati dan Hamzah. 2014. Efektifitas Fungi Mikoriza Arbuskular Terhadap Bibit Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada Media Tanah Bekas Tambang Batu Bara. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014. 26-27 September 2014. Palembang. Kormanik, P.P. dan Mc Graw A.C. 1982. Quantification of VA Mycorrhizae in Plant Root. Di dalam: N.C. Schenk (Ed). Methods and Principles of Mycorrhizae Research. The American Phytop. Soc. 46:37-45. Mass, E.V. dan R.H. Nieman. 1978. Physiology of Plant Tolerance to Salinity. Dalam G.A. Jung (Ed). Crop Tolerance to Suboptimal Land Conditions. ASA Spec.Pub. Hlm 277-299. Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan. Musnamar, E.I. 2003. Pupuk Organik, Cair dan Padat, Pembuatan, Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Muzakkir. 2011. Hubungan Antara Cendawan Mikoriza Arbuskular Indegenous dan Sifat Kimia Tanah di Lahan Kritis Tanjung Alai, Sumatera Barat. Jurnal Solum Vol 8. Hlm 53-57. Nurhayati. 2012. Infektivitas Mikoriza Pada Berbagai Jenis Tanaman Inang Dan Beberapa Jenis Sumber Inokulum. Jurnal Floratek Vol 7. Hlm 25-30. Nusantara, A.D., Rr. Yudy H.B. dan H.Irdika M. 2012. Bekerja Dengan Fungi Mikoriza Arbuskula. SEAMEO BIOTROP. IPB. Bogor. Pacioni, G.1992. Wet Sieving and Decanting Techniques for the Extraction of Spores of VA Mycorrhyzae Fungi. Di dalam: Norris JR, Read DJ, Varma AK, editor. Methods in Microbiology. San Diego (GB): Academic Pr. Hlm 317-322. Pujianto. 2011. Pemanfaatan Jasad Mikro, Jamur Mikoriza dan Bakteri Dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Puspitasari, D., Kristanti I.P., dan Anton M. 2012. Eksplorasi Vesicular Arbuscular Mycorrhizae (VAM) Indigenous Pada Lahan Jagung di Desa Torjun, Sampang Madura. Jurnal Sain dan Seni ITS Vol 1. Hlm 20-22. Santoso, E.,Maman T., Ragil S.B. dan Irianto. 2007. Aplikasi Mikoriza Untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Prosiding Expose Hasil-hasil Penelitian. Setiadi, Y. dan Arif S. 2011. Studi Status Fungi Mikoriza Arbuskula di Areal Rehabilitasi Pasca Penambangan Nikel (Studi Kasus PT INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan). Jurnal Silvikultur Tropika Vol 3. Hlm 88-95. Setyaningsih, L. 2008. Stimulasi Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Pada Semai Mindi (Melia azedarach LINN) Melalui Pemberian Kompos Aktif Pada Media Tailing Tambang Emas Pongkor. Jurnal Nusa Sylva Vol 18. Hlm 40-48. Sieverding, E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhizal Management in Tropical Ecosystem. Technical Cooperation, Federal Republic of Germany. Escborn. Suharno, Retno P.S., Endang S.S. dan Rina S.K. 2014. Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula di Kawasan Tailing Tambang Emas Timika Sebagai Upaya Rehabilitasi lahan Ramah Lingkungan. Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol 21. Hlm 295-303. Tuheteru, F.D., Husna, Asrianti A. dan Irdika M. 2012. Pupuk Hayati Mikoriza Untuk Budidaya dan Rehabilitasi Wilayah Pantai. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Yulianitha, A., T. Nurhidayati dan I. Trisnawati D.T. 2011. Komposisi Jenis Mikoriza Dari Perakaran Tembakau (Nicotiana Tabaccum) di Desa Bajur dan Orai Pamekasan Madura. FMIPA-ITS. Surabaya.