Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 No. 2, Agustus 2014
Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) dan Suhu Pengeringan Terhadap Karakteristik Tepung Ampas Tahu The Influence of Sodium Metabisulphite (Na2S2O5) and Temperature Drying on Characteristics of Tofu Pulp Flour Maita Atmi Nastiti*, Yusuf Hendrawan, Rini Yulianingsih Jurusan Keteknikan Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145 *Penulis Korespondensi, Email:
[email protected] ABSTRAK Ampas tahu merupakan hasil samping dari proses pembuatan tahu. Ampas tahu memiliki daya tahan yang singkat. Jika tanpa proses pengolahan ampas tahu akan bertahan selama 3 hari. Salah satu alternatif pemanfaatan ampas tahu tersebut dengan pengolahan menjadi tepung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap sifat tepung ampas tahu yang dihasilkan. Rancangan percobaan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor dan 3 kali ulangan. Faktor pertama konsentrasi Natrium metabisulfit (200, 400 and 600) dan faktor kedua adalah suhu pengeringan (40, 50 and 60 °C). Analisa data menggunakan ANOVA (Analyiss of Variance) yang diikuti dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 0.05 dan 0.01. Pemilihan perlakuan terbaik menggunakan metode De Garmo. Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan, memberikan pengaruh terhadap tepung ampas tahu yang dihasilkan. Hasil paling optimal diperoleh pada perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit 600 ppm dan suhu 60°C. Pada perlakuan ini diperoleh nilai kadar air 3.85%, kadar abu 2.40% dan derajat putih 60.09%, Escherichia coli 0 CFU/g dan Salmonella sp 0 CFU/g. Kata kunci : Ampas tahu, sodium metabisulfite, Derajat Putih, Tepung ABSTRACT Tofu pulp is a by-product of tofu production and it has a short shelf life. Without treatment, tofu pulp has a shelf life of 3 days The alternative utilization of tofu pulp is processing into flour. The aim of this research is to determine the effect of the concentration of sodium metabisulfite and drying temperature on the properties of the flour. The experimental design of this study use a Completely Randomized Design (CRD) with two factors and three replications. The first factor is the concentration of sodium metabisulfite (200, 400, and 600 ppm) and the second one is the drying temperature (40, 50, and 60 °C). Data analysis use ANOVA (Analysis of Variance) that followed by the Least Significant Difference test (LSD). The result show that tofu pulp flour was affected by the concentration of sodium metabisulfite and the drying temperature. The optimal result obtained at the 200 ppm concentration of metabisulfite and 60°C of drying temperature. The result of this treatment consist of 3.85% of moisture content, 2.40% of ash content, 60.09 % of whiteness index, and 0 CFU/g of Escherichia coli and Salmonella sp. Keywords:Tofu pulp, sodium metabisulfite, White Degrees, Flour
PENDAHULUAN Tahu merupakan sumber makanan yang banyak mengandung protein yang sangat baik sebagai bahan substitusi bagi protein susu, daging dan telur karena jumlah protein yang 100
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 dikandungnya serta daya cernanya yang tinggi (Berta et al., 2011). Menurut Shartleff and Aoyagi (1984) dalam Sukardi dan Lestari (1995) menyebutkan bahwa dalam tahu terdapat 1% bahan padat, 59% diantaranya berasal dari protein susu kedelai yang tidak tergumpalkan, 9% protein kedelai terikat dalam whey tersebut, asam amino, vitamin B dan sejumlah glukosa. Hasil samping dari proses pengolahan tahu yaitu limbah tahu yang berbentuk padat dan cair. Ampas tahu merupakan salah satu hasil sampingan yang diperoleh dari proses pembuatan tahu kedelai. Ampas tahu biasanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan diolah kembali sebagai bahan makanan seperti tempe gembus. Industri tahu di indonesia berkembang pesat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Jumlah industri tahu di indonesia mencapai 84 ribu unit usaha dengan kapasitas produksi 2,56 juta ton pertahun (Sulistyo dan Adila 2004).Malang merupakan salah satu kota yang memiliki banyak pabrik tahu yang tersebar hampir diseluruh wilayah meliputi Malang Selatan, Malang Barat, Malang Timur, Malang Utara dan Malang pusat. Pabrik tersebut memiliki skala produksi yang berbeda–beda dari mulai skala produksi rumahan (kecil) sampai skala produksi besar. Pada penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel ampas tahu di wilayah Malang Sanan Jalan Sukarno Hatta Malang. Pemanfaatan ampas tahu yang ada selama ini kurang bernilai ekonomis tinggi maka ampas tahu akan diolah menjadi tepung. Bentuk tepung dipilih, karena sebagian besar komponen zat gizi masih bisa dipertahankan, awet, mudah diformulasi dan diolah menjadi aneka produk pangan. Tepung ampas adalah yang diperoleh dari hasil pengeringan dengan alat pengering (tipe rak). Pembuatan tepung ampas tahu dilakukan dengan meneliti kandungan tingkat keputihan, kadar abu, kadar air serta kandungan mikroba patogen pada ampas. Oleh karena itu, diharapkan dengan memanfaatkan ampas tahu yang tidak memiliki nilai ekonomi menjadi produk makanan bernilai ekonomi tinggi selain menjadi solusi penanggulangan pencemaran lingkungan di sekitar pabrik. Penelitian yang berjudul pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit (Na 2S2O5) dan suhu pengeringan terhadap karakteristik tepung ampas tahu ini akan dilakukan dengan cara pengambilan sampel ampas tahu dari pabrik, kemudian dilakukan penelitian untuk meneliti kandungan ampas seperti protein, lemak, karbohidrat, kadar abu, tingkat keputihan, kadar air dan kandungan mikroba. Akan dilakukan pemanasan menggunakan pengering tipe rak pada suhu 40˚C, 50˚C, dan 60˚C dan waktu selama 4 jam karena pada waktu 4 jam ampas tahu kering (telah dilakukan penelitian pendahuluan) dan agar mikroba yang terkandung didalamnya dapat dikurangi dan penambahan natrium metabisulfit (Na2S2O5) sebesar 200, 400 dan 600 ppm agar warna lebih baik dan lebih tahan lama. Pembuatan tepung dimulai dengan pengeringan. Tujuan pengeringan agar mengurangi kadar air pada ampas tahu. Pengeringan dilakukan dengan pengering tipe rak sampai ampas mencapai kadar air sebesar ±14,5%. Penggunaan pengering tipe rak akan dilakukan dengan suhu di atas 40˚C karena pada suhu tersebut mikroba akan mati. Setelah ampas tahu kering, dilakukan penghalusan dengan metode blender atau dihaluskan menggunakan selep. Tepung ampas tahu lebih tahan lama dan bernilai ekonomis tinggi. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain, wadah ember plastik, saringan plastik, kain saring, plastik, neraca analitik, desikator, blender, pengering tipe rak, erlenmeyer, colour reader, tanur dan gelas ukur. Bahan yang digunakan adalah ampas tahu, aquades dan natrium metabisulfit. Metode Penelitian Rancangan percobaan dilakukan dengan perbandingan pengaruh faktor suhu dan konsentrasi larutan natrium metabisulfit. Penelitian ini melibatkan 2 faktor yang terdiri dari: Faktor suhu (T) dengan taraf faktor 40˚C, 50˚C dan 60˚C. Faktor Perlakuan (R) dengan taraf 200 ppm, 400 ppm dan 600 ppm. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor. Proses Pembuatan Tepung Ampas Tahu Prosedur penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan sebagaimana terdapat pada Gambar 1. Tahapan pertama yaitu proses penimbangan ampas tahu seberat 400 gr dan 101
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 penimbangan natrium metabisulfit 200 ppm, 400 ppm dan 600 ppm. Setelah ditimbang di siapkan aquades 1000 ml, kemudian direndam selama 15 menit. Proses selanjutnya adalah proses pengeringan dengan menggunakan alat pengering tipe rak. Suhu perlakuan yang digunakan adalah 40 °C, 50°C dan 60°C selama 4 jam. Ampas tahu yang telah dikeringkan kemudian ditimbang dan dilakukan proses pengecilan ukuran menggunakan blender selama 10 menit. Hasil dari proses penggilingan ini menghasilkan tepung ampas tahu. Pengujian dan Analisis Data Karakteristik tepung ampas tahu yang diamati meleputi kadar air, kadar abu, derajat putih, Escherichia coli dan Salmonella sp. Metode analisa untuk kadar air dan kadar abu menggunakan metode oven 3751-2009, untuk derajat putih tepung (Whiteness index) menggunakan colour reader dengan target pembacaan L*, a*, b* dan metode analisa untuk bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp menggunakan metode MPN (Most Probable Number). Data hasil pengamatan yang didapat kemudian dianalisa menggunakan analisa sidik ragam (ANNOVA). Sedangkan untuk penentuan tepung ampas tahu terbaik digunakan metode Indeks Efektivitas (De Garmo). Mulai
Ampas
Tahu
Perendaman natrium metabisulfit Na2S2O5 sebesar 200 ppm, 400 ppm dan 600 ppm, t= 4 jam
Pengeringan Dengan Pengering Tipe Rak dengan Suhu 40˚C, 50˚C dan 60˚C
Pengecilan Ukuran / Penghalusan
kadar air kadar abu
Tepung Ampas Tahu
tingkat keputihan
Analisis mikroba patogen
Data
SELESAI Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Ampas Tahu 102
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 No. 2, Agustus 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Kadar air merupakan parameter penting untuk produk berbek tepung, karena keberadaan air yang terlalu tinggi akan menyebabkan rendahnya daya simpan. Kadar air yang di hasilkan dari asil penelitian terdapat pada Gambar 1.
Gambar 2. Grafik Total Kadar Air Dari grafik dapat dilihat bahwa, kadar air yang dihasilkan dari proses pengeringan pada suhu 60 ºC dan konsentrasi natrium metabisulfit 600 ppm sebesar 3.85% atau sesuai dengan standar SNI yang diterapkan yaitu sebesar 14.5%. Suhu pengeringan dan penambahan larutan natrium metabisulfit berpengaruh pada proses penepungan ampas tahu. Semakin besar suhu dan konsentrasi larutan metabisulfit yang digunakan maka kadar air yang dihasilkan semakin kecil. Nilai kadar air yang tinggi disebabkan oleh suhu pengeringan yang rendah karena proses penguapan yang relatife rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Desrosier (1988), bahwa semakin tinggi suhu udara pengeringan, semakin besar panas yang dibawa udara sehingga semakin banyak jumlah air yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Kadar Abu Kadar abu tepung ampas tahu memberikan hasil seperti pada Gambar 3. Nilai kadar abu yang dihasilkan tepung ampas tahu masih terlalu tinggi karena tidak memenuhi menurut SNI 3751–2009 batas maksimal kadar abu yang diperbolehkan yaitu sebesar 0.70%. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit maka kadar abu tepung ampas tahu semakin tinggi. Hal ini terjadi karena pada natrium metabisulfit terdapat mineral Na dan S. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat yang terdapat pada suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Garam organik misalnya garam-garam asam malat, oksilat, asetat pekat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfor, karbonat, klorida, sulfur, nitrat (Sudarmadji, et al., 1989). Sedangkan menurut (Berta et, al., 2011) menyatakan bahwa tepung ampas tahu yang tidak melalui proses pencucian sama sekali mengandung rata-rata 1.62% abu dan tepung ampas tahu yang melalui proses pencucian mengandung rata-rata kadar abu sebesar 3,25%. Sehingga berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perendaman menggunakan natrium metabisulfit dan aquades dapat menambah kadar abu pada tepung ampas tahu.
103
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 No. 2, Agustus 2014
Gambar 3. Grafik Total Kadar Abu Derajat Putih Penambahan natrium metabisulfit bertujuan untuk memutihkan tepung ampas tahu. Penambahan natrium metabisulfit harus sesuai standar yang diterapkan BPOM No 36 2013 yaitu tidak melebihi 200mg-1gr/kg untuk produk pangan. Jika melebihi batas maksimum menyebabkan reaksi alergi. Gambar 4 menampilkan derajat putih tepung ampas tahu.
Gambar 4. Grafik Total Derajat Putih Warna coklat pada tepung akan teratasi dengan penambahan larutan natrium metabisulfit yang dianjurkan untuk produk pangan. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit maka nilai derajat putih semakin tinggi. Menurut Syarief dan Irawati, (1998), selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi ini akan mengikat melanoida sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Hasil penelitian yang di tunjukkan pada Gambar 4 menunjukkan bahwa pengeringan pada suhu 60 oC memberikan nilai derajat putih yang tinggi, sedangkan pada perlakuan suhu 40 oC pada perendaman sulfit 600 ppm dan kontrol memberikan hasil derajat putih yang rendah. Hal ini dapat disebabkan karena reaksi pencokalatn dapat diakibatkan oleh suhu maupun reaksi oksidasi. Pengeringan pada suhu rendah memelrukan waktu yang semakin lama, sehingga reaksi oksidasi berlangsung lebih lama, sehingga hal ini dapat menyebabkan rendahnya derajat putih pada pengeringan suhu 40 oC. Escherichia coli dan Salmonella sp 104
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 Escherichia coli adalah organism yang paling umum digunakan sebagai indikator adanya pencemaran. Escherichia coli merupakan flora normal yang paling banyak terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Pada tepung ampas tahu yang diteliti tidak ditemukan bakteri Escherichia coli atau sebesar 0 CFU/g. Hal ini sesuai dengan pendapat (Adawyah, 2007) menyatakan bahwa pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim. Pernyataan Adwayah juga didukung oleh (Susanto dan Saneto, 1994) yang menyatakan bahwa pengaruh pengeringan makin tinggi suhu pengeringan dan lama perlakuan pengeringan maka makin banyak pigmen dari bahan yang berubah. Natrium metabisulfit selain mengawetkan dan memutihkan produk pangan pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah total Escherichia coli sebesar 0 CFU/g karena pengaruh suhu yang tinggi dan konsentrasi natrium metabisulfit yang tinggi. Dari penelitian ini total salmonella pada tepung ampas tahu sebesar 0 CFU/g, hasil ini dapat dibandingkan dengan penelitian (Hiramatsu et al, 2005) yang menyatakan pada suhu 25ºC dan 35ºC menyebabkan penurunan jumlah Salmonella yang bertahan hidup. Salmonella didalam suhu 35ºC sampai 70ºC tidak terdeteksi.Selain faktor suhu pengeringan tidak ditemukannya salmonella pada tepung ampas tahu yaitu karena natrium metabisulfit selain mengawetkan dan memutihkan produk pangan pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Hasil Escherichia coli dan Salmonella sp yang dihasilkan sesuai dengan standart BSN SNI-7388:2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba yang terapkan. Pemilihan Perlakuan Terbaik Indeks Efektivitas Perlakuan terbaik untuk menentukan uji lanjut mikroba dilakukan dengan menggunakan metode De Garmo. Penentuan perlakuan yang paling baik dilakukan dengan menggunakan metode indeks efektivitas (effectiveness index) (De Garmo, et al., 1984). Alternatife yang didapatkan dari perhitungan dengan metode De Garmo memberikan hasil nilai rata hubungan yang dengan nilai bobot dan nilai perlakuan terbesar yang merupakan perlakuan terbaik. Hasil analisis dengan metode De Garmo perlakuan terbaik dipilih berdasarkan nilai NP yang paling tinggi. Pada perlakuan konsentrasi 600 ppm dan suhu pengeringan 60ºC, menunjukkan bahwa pada perlakuan ini mendapatkan nilai terbaik dari 3 parameter kadar air, kadar abu dan derajat putih. Karakteristik ampas tahu hasl perlakuan terbaik terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Ampas Tahu Komposisi Kadar Air Kadar Abu Derajat Putih Escherichia coli Salmonella sp (Sumber: BSN-SNI 2009)
Hasil Analisa 3.85 % 2.30 % 60.09 % 0 CFU/gr 0 CFU/gr
Batas Max. SNI 2009 14.45 % 0.70 % 10 CFU/gr 25 CFU/gr
Tabel 1 menunjukkan bahwa tepung ampas tahu yang dihasilkan tidak sesuai standar SNI hanya pada kadar abu, meskipun hasil ini lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian (Berta , et al., 2011) yaitu kadar abu 3.25 %. Tingginya kadar abu disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit maka kadar abu tepung ampas tahu semakin tinggi. Hal ini terjadi karena pada natrium metabisulfit terdapat mineral Na dan S. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat yang terdapat pada suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Garam organik misalnya garam-garam asam malat, oksilat, asetat pekat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfor, karbonat, khlorida, sulfur, nitrat (Sudarmadji, et al., 1989). Sedangkan menurut (Berta et, al., 2011) menyatakan bahwa tepung ampas tahu yang tidak melalui proses pencucian sama sekali mengandung rata-rata 1,62% abu dan tepung ampas tahu yang melalui proses pencucian mengandung rata-rata kadar abu sebesar 3,25%. Dapat disimpulkan bahwa perendaman menggunakan natrium metabisulfit dan aquades dapat menambah kadar abu pada tepung ampas tahu.
105
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 No. 2, Agustus 2014
KESIMPULAN Perlakuan variasi suhu pengeringan berpengaruh terhadap karakteristik tepung ampas tahu yang dihasilkan. Rerataan kadar air antara 4.34 – 10.70 %, kadar abu 2.06 – 2.29 %, derajat putih 63.58 – 64.23%, E.coli sebesar 0 CFU/g, Salmonella sp sebesar 0 CFU/g atau dengan kata lain tidak ditemukan sama sekali bakteri pada tepung ampas tahu. Perlakuan penambahan natrium metabisulfit berpengaruh terhadap karakteristik tepung ampas tahu yang dihasilkan. Rerataan kadar air 7.2 – 8.36 %, kadar abu 2.13 – 2.19, derajat putih 63.41 – 64.45%, E.coli sebesar 0 CFU/g, Salmonella sp sebesar 0 CFU/g atau mutlak tidak ditemukan mikroba pada tepung ini yang berarti tepung ampas tahu yang dihasilkan baik. Perlakuan terbaik dari hasil analisis 3 parameter dan selanjutnya digunakan sebagai pengujian mikroba menggunakan metode de garmo diperoleh pada perlakuan suhu 60 °C dan konsentrasi natrium metabisulfit 600 ppm. Pada perlakuan ini diperoleh nilai rerata kadar air 3.85%, kadar abu 2.30%, derajat putih tepung sebesar 60.09%, E.coli 0 CFU/g dan Salmonella sp 0 CFU/g. Untuk menyempurnakan hasil penelitian disarankan perlu adanya uji lanjut dalam aplikasi tepung ampas tahu sebagai produk makanan dan perlu dilakukan penelitian lanjut tentang umur simpan tepung ampas tahu.
DAFTAR PUSTAKA Adawyah. 2007. Pengeringan dan Pengawetan. PT Bumi Aksara. Jakarta Berta, R. Indra, T. M dan Reza, A. K. 2011. Analisis Kualitas Tepung Ampas Tahu. Universitas Islam Bandung. Bandung. Vol 1. Hal 133 BPOM-No 36. 2013. Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet. Jakarta pp. 9 BSN-SNI. 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Jakarta. Pp. 2-6 BSN-SNI-3751. 2009. Kategori Tepung sebagai Bahan Makanan. Jakarta. Pp. 43 De Garmo, E. D., W. G. Sullivan and J. R. Canada. 1984. Engineering Economics. Mc. Millan Publishing Company. New York. Desrosier, N. W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M. Muljohardjo. UI-Press, Jakarta. Hiramatsu, R., M. Matsumoto, K. Sakae and Y. Miyazaki. 2005. Ability of shiga toxin-producing Escherichia coli and Salmonella spp. to survive in a desiccation model system and in dry food. Applied and Environmental Microbiologi, Vol 71, No 11 (6657-6663) Shurtleff, W dan Aoyagi. 1979. The Book of Tempeh. New York : Haper and Row Publ. Sudarmadji, S., B. Haryanto dan Suhardi, 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta Sukardi, H. dan E.R. Lestari. 1995. Studi Pemanfaatan Kelapa Menjadi Beberapa Produk Hasil Olahan (Kepala Parut dan Pasta). Laporan Penelitian. Lembaga Peneliti Universitas Brawijaya Malang Sulistyo, T. dan Adillah. 2004. Pembuatan Nata Dari Limbah Cair Tahu Dengan Menggunakan Molases sebagai Sumber Karbon Acetobacter Xylinum. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Ekuilibrium vol. 6 No. 1 Januari 2007 : 1 – 5 Susanto, dan Saneto. 1994. Pengantar Pengolahan Hasil Pertanian. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Syarief, R. dan A. Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Medytama Sarana Perkasa, Jakarta
106