BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Maluku adalah masyarakat yang memiliki khazanah budaya. Khazanah budaya itu terkonfigurasi sejak lama dan sering dimaknai sebagai suatu keberlanjutan (continuity) tapi sekaligus suatu keterputusan (discontinuity). Dalam khazanah budaya itu, persaudaraan merupakan sebuah nilai berharga yang dijunjung tinggi di samping nilai-nilai budaya lain seperti nilai kerja sama, tolong menolong, keberanian, kebersamaan dll.
W
Sebagai sebuah nilai, persaudaraan merupakan bagian dari kebudayaan yang lahir dari
KD
kesadaran manusia terkait hubungan atau relasi antarindividu atau antarkomunitas. Nilai persaudaraan tidak dapat diamati secara langsung, juga tidak dapat diraba. Namun, bisa dicermati dan dirasakan melalui berbagai bentuk simbolisasi dan representasi. Dalam realitas
U
kehidupan bersama di Maluku, nilai ini mudah ditemukan dalam medium manifestasinya seperti ikatan fam atau klan, matarumah,1 soa,2 negeri atau kampung, agama, tapi juga dalam
IK
pranata adatis seperti ikatan pela dan gandong.3 Nilai persaudaraan menjadi kekuatan besar
M IL
yang mengikat individu-individu sebagai sebuah masyarakat. Nilai persaudaraan yang bagi masyarakat Maluku memiliki daya rekat yang kuat
biasanya didasarkan pada ikatan genealogis-biologis, kesamaan identitas agama tapi juga ikatan 1
Matarumah adalah istilah yang dipakai oleh masyarakat Maluku untuk menyebutkan sebuah ikatan kekerabatan yang bersifat genealogis dan mencakup beberapa klan atau marga yang diyakini memiliki hubungan darah atau diyakini berasal dari satu sumber (leluhur). Ikatan ini lebih cenderung bersifat patrilinear, tapi ada juga yang matrilinear. 2 Soa adalah ikatan kekerabatan yang terdiri dari beberapa klan atau beberapa matarumah. Ikatan sosial ini merupakan ikatan sosial berdasarkan teritori komunal. Satu soa ada yang hanya terdiri dari satu klan, tetapi juga ada yang terdiri dari beberapa klan. Soa yang terdiri dari satu klan memiliki ikatan ganda yaitu berdasarkan teritori sekaligus klan. Sedangkan yang terdiri dari beberapa klan diikat oleh teritori yang menyatukan mereka. 3 Pela adalah hubungan karena moment tertentu seperti perang atau bencana alam dimana terjadi saling membantu diantara para leluhur dari negri atau sub suku lain yang awalnya belum saling kenal secara baik. Untuk mengikat relasi mereka maka umumnya diadakan sumpah dengan beberapa ketentuan yang diikuti turun temurun. Sedangkan gandong adalah sebutan terhadap negeri-negeri yang secara genealogis memiliki hubungan darah sejak leluhur mereka. Keterpisahan mereka umumnya disebabkan oleh pilihan leluhur mereka untuk memilih memeluk satu agama (Islam, Kristen atau tetap pada agama Suku). Relasi gandong juga dapat tercipta karena kesepakatan antar dua pihak untuk saling menerima satu dengan yang lain, layaknya mereka yang serahim. Lihat Lokollo dkk, Seri Budaya Pela dan Gandong dari Pulau Ambon. Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1997. Hlm. 5-7.
Page | 1
teritorial komunitas. Dalam dirinya nilai ini bersifat ambigu. Pada satu sisi ia bersifat mengikat atau mempersatukan suatu komunitas tapi pada saat yang bersamaan melakukan pemisahan dari orang atau komunitas dengan identitas berbeda. Dalam kenyataan, nilai persaudaraan ini sering mengalami penyempitan makna. Ia sering dimaknai secara eksklusif, terbatas pada keluarga, etnis, sub-etnis, kelompok sosial dan agama tertentu tergantung pada konteks dan waktu penggunaannya. Akibatnya orang membedakan dan memisahkan diri dengan orang lain yang memiliki identitas berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai persaudaraan merupakan sesuatu yang lentur, yang berada pada titik labil. Akibat kelenturannya itu maka tidak mudah
W
nilai persaudaraan ini menjadi patron bersama bagi masyarakat Maluku.
KD
Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, nilai persaudaraan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis. Proses pemaknaannya dalam masyarakat Maluku senantiasa berada dalam proses menjadi. Dengan demikian nilai persaudaraan itu selalu terbuka untuk
U
mendapatkan pemaknaan yang baru yang lebih kontekstual dan fungsional. Pemaknaan
IK
persaudaraan yang cenderung eksklusif dibatasi pada ikatan genealogis-biologis atau teritorial tertentu, mulai mengalami pergeseran dan menjadi semakin terbuka karena mendapat
M IL
pemaknaan baru. Itulah proses transformasi budaya. Transformasi itu terjadi seiring dengan makin berkembangnya dinamika masyarakat Maluku. Dengan kata lain, nilai persaudaraan mengalami transformasi sehingga menjadi lebih terbuka bersamaan dengan tuntutan hidup bersama (living together) secara terbuka dan adil dalam masyarakat. Nilai persaudaraan juga dapat dicermati melalui bahasa, yaitu bahasa persaudaraan. Bahasa persaudaraan yang sangat sering terdengar dalam kehidupan masyarakat Maluku adalah Katong Samua Basudara4 yang artinya kita semua bersaudara. Sebuah ungkapan yang mengandung kesadaran dan pengakuan kolektif sebuah masyarakat terhadap sebuah ikatan persaudaraan. Di belakang UKSB sesungguhnya ada sebuah asumsi mendasar yaitu pluralisme. 4
Ungkapan Katong Samua Basudara sebagai objek material studi ini selanjutnya disingkat UKSB atau KSB
Page | 2
UKSB tidak berarti yang ada hanyalah sebuah kesamaan, melainkan kebedaan yang beragam dan kebedaan itulah yang direkatkan oleh nilai persaudaraan tanpa mereduksi yang beda itu menjadi sama. Secara sosio-kultural, UKSB mengandung makna yang sangat dalam bagi orang Maluku. Ungkapan ini merupakan ungkapan perasaan dan kesadaran tentang sebuah ikatan persaudaraan atau sebuah ikatan emosional. Layaknya sebuah keluarga yang memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan. Dalam konsep ini sesungguhnya terkandung kesadaran dan pengakuan tentang apa yang dipahami sebagai “common feeling”. Pengakuan bahwa KSB
W
kemudian melahirkan kesadaran dan kesediaan untuk saling berbagi rasa baik suka maupun
KD
duka (solidaritas). Istilah-istilah budaya yang mengandung kesadaran dan kesediaan berbagai rasa itu misalnya “ale rasa beta rasa”, “sagu salempeng patah dua, potong di kuku rasa di daging. Dari ungkapan-ungkapan budaya ini terlihat secara jelas ada hubungan dialektika
U
antara nilai persaudaraan dengan nilai solidaritas. Orang bersaudara mestinya memiliki rasa
IK
solidaritas dan sebaliknya rasa solidaritas menunjukkan adanya ikatan persaudaraan. UKSB sekaligus juga memberikan inspirasi bagi orang Maluku tentang sebuah model
M IL
kehidupan bersama dalam ruang publik. Model kehidupan dimana terjalin sebuah relasi sosial antar satu individu dengan individu lain, dan antar satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain tanpa dibatasi oleh perbedaan identitas etnis, sub-etnis, kelompok sosial dan agama. Nilai persaudaraan yang dimiliki masyarakat Maluku dapat dimaknai sebagai sebuah moralitas minimal.5 Dikatakan merupakan moralitas minimal karena pada dirinya, UKSB
5
Dalam bukunya yang berjudul Thick and Thin; Moral argument at Home and Abroad, Michael Walzer menggunakan istilah Moralitas minimal atau moralitas tipis (thin) untuk menyebutkan sebuah prinsip moral yang bersifat universal dalam sebuah public sphere. Moralitas minimal berasal dari tradisi moral yang bersifat partikular dalam masyarakat tetapi memiliki spirit yang sama atau bersifat universal. Michael Walzer membedakan moralitas minimal atau moralitas tipis (thin) dengan moralitas tebal (thick). Moralitas tebal oleh
Page | 3
memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh kearifan lokal lainnya dalam masyarakat Maluku. Ia memiliki nilai universal, netral dan dinamis atau terbuka. Dikatakan universal sebab nilai “persaudaraan” adalah sebuah nilai yang dikenal oleh semua orang atau kelompok, meskipun nilai ini berakar dan dimaknai secara partikular baik dalam pengertian komunitas tapi juga dalam kesejarahannya. Dikatakan netral karena UKSB merupakan bahasa Melayu Ambon yang biasa dipakai dan dipahami oleh semua sub-etnis di Maluku. Berbeda dengan istilah-istilah lokal dari sub-etnis tertentu yang juga mengandung nilai persaudaraan, UKSB lebih netral karena tidak hanya merepresentasikan aspirasi, perasaan dan budaya dari sub-etnis tertentu.
W
Bersifat terbuka karena konsep persaudaraan dalam ungkapan ini memiliki cakupan makna yang lebih luas dan lebih terbuka. Berbeda dengan ikatan pela dan gandong yang selama ini
KD
dikenal dan diidealkan sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Maluku. Dimana pela dan gandong pada dasarnya bersifat eksklusif, hanya berlaku bagi mereka yang memiliki ikatan
U
perjanjian dan hubungan genealogis. Selain itu ikatan pela dan gandong antar dua atau tiga negri (kampung), tidak dikenal oleh masyarakat Maluku Tenggara Barat dan Maluku Barata
IK
Daya, juga mereka yang datang dari luar Maluku. Sementara, UKSB dapat dimaknai sebagai
M IL
penerimaan terhadap entitas lain dari dan di luar etnis, sub-etnis, kelompok sosial dan juga agama tertentu.
Untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan dalam ruang publik di Maluku yang
bersifat multikultural dan multireligius maka dibutuhkan sebuah moralitas minimal yang menghujam keinsafan batin masyarakat Maluku yang dalam istilah Walter Lippmann disebut sebagai “Filsafat Publik”.6 Moralitas minimal itu menjadi semacam common ground yang memayungi berbagai standar moral, adat dan tradisi yang partikular yang bisa saja berbeda bahkan saling bersinggungan. Moralitas minimal itu tidak kita ciptakan ataupun kita temukan Walzer merupakan nilai atau standar-standar moral yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang yang bersifat partikular yang berbeda dari orang atau kelompok lain. 6 Lihat Walter Lippmann dalam bukunya : Filsafat publik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1999.
Page | 4
di luar masyarakat Maluku melainkan dimaknai dan dihidupi dari dalam masyarakat Maluku sendiri. Dalam konteks Indonesia, pancasila dapat dimaknai sebagai moralitas minimal masyarakat Indonesia. Menurut Michael Walzer, moralitas merupakan sesuatu yang ada dan yang telah kita hidupi dalam masyarakat. Oleh karena itu ia menolak dua jalan filsafat moral yang selama ini ada yaitu discovery7 dan invention8 dan lebih menyetujui jalan interpretasi. Bagi Walzer, moralitas itu sudah ada dalam masyarakat dan untuk itu tidak perlu untuk ditemukan di luar
W
atau diciptakan melainkan harus diinterpretasikan.9 Membangun kehidupan publik yang harmonis di Maluku adalah sesuatu yang tidak
KD
mudah. Benturan atau konflik merupakan gejolak yang mudah terjadi dalam sebuah masyarakat apalagi masyarakat Maluku yang secara historis bersifat plural. Kesadaran untuk menciptakan
U
ruang publik yang kuat dan teratur di Maluku membuat orang sadar untuk membuka ruang bagi pengakuan dan penerimaan terhadap pihak lain sebagai bagian yang inheren dari kehidupannya.
IK
Bukti pengakuan dan penerimaan antarmasyarakat Maluku itu terrepresentasi dalam kedinamisan UKSB. Sebuah pengakuan yang mengandung pemaknaan bahwa apapun
M IL
perbedaan yang ada namun persaudaraan tetap menyatukan “kita” dengan segala kebedaan yang ada.
UKSB merupakan salah satu sumber moralitas masyarakat Maluku yang telah ada dan
dihidupi dalam masyarakat. Sebagai moralitas minimal, dalam UKSB terrepresentasi spirit persaudaraan dari moralitas-moralitas yang maksimal (thick)10 yang ada dan dihidupi secara partikular dalam tiap-tiap komunitas. Ia merupakan luberan dari nilai-nilai kepartikularan dan 7
Jalan discovery memahami bahwa moralitas berasal dari pewahyuan Allah maupun pencarian filosofis tertentu. Jalan invention memahami bahwa moralitas bisa diciptakan dari posisi di luar masyarakat. 9 Michael Walzer, Interpretation And social Criticism, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, and London, England, 1985, lihat Bab I. 10 Moralitas maksimal (thick) dipakai oleh Michael Walzer dalam bukunya Thick and Thin; Moral Argument at Home and Abroad untuk menyebutkan prinsip atau standar-standar moral yang bersifat partikular yang biasanya dihidupi oleh komunitas-komunitas tertentu. 8
Page | 5
berada secara terus-menerus dalam sebuah hubungan dialektika dengan narasi dan nilai-nilai partikular itu. Sebagai moralitas minimal, ia bersifat universal.11 Ia mengikatkan masyarakat Maluku sebagai satu kesatuan dan membuat mereka memiliki satu kesadaran moral yang sama. Namun ia tidak mengabaikan atau mereduksi narasi-narasi partikular karena justru itulah yang memberi makna dan pemahaman tentang nilai dalam komunitas itu. Moralitas minimal (thin) itu ada dalam ruang publik sebagai bentuk keterbukaan dan penerimaan terhadap berbagai entitas dan sekaligus menjadi common ground yang mengupayakan persatuan dan meminimalisir benturan-benturan dalam masyarakat. Berdasarkan sifat
W
universal, netral dan terbuka yang ada pada dirinya, maka UKSB berada pada posisi sebagai sebuah sentrum bersama. Ungkapan ini memang benar-benar merupakan sebuah moralitas
KD
minimal (thin) yang sudah ada dan dihidupi serta terus diwarisi dari generasi ke generasi. Secara faktual, UKSB sangat sering terucapkan oleh masyarakat baik di ruang-ruang
U
privat tapi juga di ruang publik. Namun, nilai persaudaraan dan solidaritas dalam ungkapan itu
IK
kemudian dipertanyakan ketika konflik sering mewarnai kehidupan bersama masyarakat Maluku. Sebuah realitas yang kontras dengan nilai persaudaraan itu sendiri. Konflik
M IL
mengindikasikan bahwa apa yang ada pada aras normatif tidak sepenuhnya bisa mewujud pada aras praksis. Pada satu sisi, orang mendengungkan nilai persaudaraan namun pada sisi yang lain mereka berkonflik. Kehidupan bersama dalam ruang publik di Maluku, sering diwarnai oleh stereotip-stereotip yang diciptakan oleh suatu etnis atau sub-etnis yang kemudian melahirkan perlakuan yang diskriminatif terhadap etnis atau sub etnis tertentu yang dipandang inferior. Misalnya ada stereotip bahwa masyarakat Maluku Tenggara dan Maluku Tengah (Seram) adalah “orang-orang belakang tanah” atau yang “tertinggal/terbelakang”, “badaki” atau tidak bisa menjaga kebersihan, makan banyak, kampungan, dll. Stereotip-stereotip ini 11
Yang bersifat universal ini pun merupakan sesuatu yang bersifat partikular ketika dibawa ke dalam sebuah sphere yang lebih luas. Misalnya dalam konteks bangsa Indonesia, “yang universal” bagi Maluku ini tentu menjadi sesuatu yang partikular yang berada di antara partikularitas lainnya.
Page | 6
kemudian melahirkan tindakan-tindakan diskriminatif dari kebanyakan orang-orang AmbonLease terhadap masyarakat Maluku Tenggara dan Seram di kota Ambon. Tindakan diskriminatif itu nampak misalnya pada larangan orang tua terhadap anak-anaknya untuk tidak memacari atau menikahi orang Tenggara atau Seram.12 Bagi orang-orang yang berasal dari luar Maluku seperti dari Buton, Bugis, Makasar (yang biasanya disebut dengan istilah BBM), dan Jawa, juga sering menerima perlakuan yang diskriminatif dari penduduk asli Maluku. Sering sebutan “binongku” digunakan oleh orang asli Maluku untuk menyebut orang-orang Buton.13 Istilah ini sangat merendahkan. Selain itu, meski kaum migran ini sudah sekian puluh bahkan
W
ratus tahun tinggal di Ambon, oleh hukum adat dan konvensi sosial setempat mereka tetap diperlakukan sebagai anak dagang bukan sebagai anak negeri dengan segenap hak istimewa
KD
yang melekat seperti yang dimiliki “penduduk asli” di Ambon.14
Fenomena-fenomena masyarakat seperti tersebut di atas secara tegas mengindikasikan
U
adanya konflik dalam hubungan sosial dan konflik itu telah menyentuh sampai ke psikis
IK
masyarakat. Perlakuan-perlakuan yang diskriminatif ini menimbulkan rasa ketidakpuasan dan frustasi sosial yang terus terakumulasi dari waktu ke waktu. Hal ini menjadi potensi konflik
M IL
laten, yang bisa meledak kapan saja. Meskipun demikian, potensi konflik itu masih bisa diredam oleh nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat, termasuk di dalamnya nilai persaudaraan yang meskipun mulai goyah tapi masih bisa memberikan kontribusi bagi kehidupan bersama di Maluku. UKSB menjadi sebuah bahasa penerimaan antarpenduduk “asli” dengan kaum migran sebagai saudara karena perasaan telah “menjadi satu” yang diikat oleh teritorial yang sama yaitu tanah Maluku.
12
Tidak semua orang Ambon-Lease memandang orang Tenggara dan Seram sebagai yang inferior dan bersikap introvert terhadap mereka. Perkawinan lintas sub-etnis ini sudah banyak terjadi namun belum bisa menghapus stereotip-stereotip yang sudah mengalami proses internalisasi cukup dalam. 13 Sebutan “Binongku” diambil dari nama daerah asal dari separuh masyarakat Buton di Maluku yang rata-rata memiliki latar belakang pendidikan yang sangat minim. Sebutan Binongku berarti buta huruf, terbelakang dan kampungan. 14 Lambang Trijono, Keluar dari Kemelut Maluku, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Hlm. 20-21
Page | 7
UKSB sebagai moralitas minimal masyarakat Maluku kembali dipertanyakan ketika merebaknya konflik sosial tahun 1999. Konflik sosial yang berlangsung di bumi Maluku selama kurang lebih empat tahun (terhitung dari tahun 1999 sampai tahun 2003) secara lebih tegas menyatakan bahwa nilai persaudaraan yang selama ini dijunjung tinggi dan menjadi perekat yang bisa menyatukan masyarakat Maluku dalam kebedaannya telah kehilangan sifatnya yang terbuka dan sekaligus hilang daya rekatnya. Konflik terbuka yang melibatkan komunitas salam-sarane15 sebagai rival sosial atau dua kubuh yang terlibat dalam sejumlah pertempuran untuk usaha saling menghancurkan, manandakan bahwa telah terjadinya krisis
W
moral atau krisis peradaban yang mendalam dalam kehidupan masyarakat Maluku.
KD
Selain memakan banyak korban jiwa dan materi konflik juga telah memporakporandakan struktur peradaban dan tatanan hidup bersama masyarakat Maluku. Konflik Maluku tahun 1999 mengindikasikan begitu melemahnya ikatan-ikatan sosial budaya yang
U
selama ini memupuk rasa persaudaraan antarumat di Maluku. Sistem nilai dan tradisi
IK
masyarakat yang dulu dipandang sakral dan hampir merupakan mitos, telah mengalami desakralisasi dan demitologisasi yang menyedihkan. Hal ini membuat begitu lemahnya
M IL
ketahanan masyarakat dalam membangun sebuah kehidupan bersama dalam ruang publik. Konflik benar-benar telah melemahkan peran dan fungsi pranata-pranata sosial atau lembagalembaga adat yang pada masa lampau merupakan pilar penyangga bagi sebuah kehidupan bersama. Konflik juga mengikis rasa saling percaya dan rasa persaudaraan di kalangan anggota masyarakat. Hak asasi manusia pun mengalami degradasi yang serius. Selama konflik, nilai persaudaraan kehilangan sifatnya yang dinamis dan terbuka, dan terkerangkeng dalam ikatan primordialisme keagamaan yang sempit dan kaku. Persaudaraan dimaknai sebagai kesamaan identitas agama. Yang menjadi saudara adalah mereka yang 15
Salam-Sarane adalah istilah lokal masyarakat Maluku untuk menyebut komunitas beragama Islam dan Nasrani di Maluku (Salam = Islam dan Sarane = Nasrani).
Page | 8
memiliki identitas agama yang sama. Sedangkan mereka yang memiliki identitas berbeda adalah musuh yang harus disingkirkan. Pada titik ini, sebagai moralitas minimal masyarakat Maluku, UKSB terbukti gagal karena tidak lagi memiliki kekuatan untuk mencegah konflik horizontal dalam masyarakat. Kondisi ini tidak bisa dipahami dan diterima begitu saja. Dengan demikian UKSB sangat penting dijadikan objek material sebuah studi demi menemukan faktorfaktor sosial-budaya yang menekan sehingga terjadinya gap antara yang normatif dan yang menjadi realitas.
W
1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah Studi ini berupaya melakukan analisis sosio-budaya dan juga teologi terhadap nilai
KD
persaudaraan dalam UKSB. Analisis sosio-budaya terhadap UKSB merupakan analisis emik dan juga etik. Analisis secara emik dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografi untuk
U
melihat bagaimana konsep persaudaraan itu dimaknai, dirasakan dan dipraktekan secara budaya oleh masyarakat Maluku sendiri.16 Analisis ini mencoba untuk menyelami dan menganalisis
IK
secara komprehensif tiga domain penting terkait UKSB sebagai moralitas minimal masyarakat Maluku, masing-masing: domain kognitif (pemahaman), psikomotorik (praktek), dan afektif
M IL
(emosi). Analisis ini dilakukan untuk menjawab kegelisahan “mengapa UKSB sebagai moralitas minimal gagal mencegah konflik di Maluku”. Dan secara etik yaitu melakukan peneropongan dan interpretasi terhadap realitas masyarakat Maluku secara komprehensif untuk menunjukkan “lubang hitam” atau krisis etika bersama antarumat di Maluku. Sedangkan analisis teologi dilakukan berdasarkan pemahaman emik dan etik serta hubungannya dengan nilai kasih dan persaudaraan terhadap sesama manusia dari kisah “Orang Samaria yang murah hati” dalam Lukas 10: 25-37. Teks ini dipilih karena kekayaan nilai teologis yang dikandungnya sinkron dengan kandungan nilai teologis dalam UKSB. Meskipun 16
Hal ini memiliki keterhubungan dengan tujuan etnografi, yang bagi Malinowski adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya. Lih. Metode etnografi Jemes P. Spradley. Jogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997. Hlm. 3
Page | 9
merupakan sebuah perumpamaan tapi teks ini sangat menarik karena menciptakan sebuah dunia cerita yang bisa “menarik masuk” para pembaca atau pendengarnya ke dunia yang ada dalam cerita tersebut. Sehingga bukan hanya mendengar tapi juga seakan-akan turut mengalami peristiwa dalam cerita itu secara langsung. Dengan begitu pesan yang mau disampaikan bisa lebih mudah ditangkap. Secara eksplisit teks Lukas 10: 25-37 melalui tindakan seorang Samaria yang murah hati menampilkan sebuah pandangan sekaligus sebuah praktek hidup yang berpihak pada nilai kasih yang universal yang meruntuhkan tembok-tembok eksklusifisme identitas. Hal ini sama dengan nilai kasih yang terrepresentasi dalam kedinamisan dan
W
keterbukaan UKSB. Ada titik-titik yang sama antara Injil dengan budaya karena itu Injil dan budaya diterima dalam suatu kesatuan yang saling isi-mengisi. Sebagaimana konteks historis
KD
dan kultural memainkan peran penting dalam membangun realitas masyarakat Maluku, demikian konteks itu mempengaruhi pemahaman mereka akan Allah serta ungkapan iman
U
mereka yang konkrit. Artinya nilai kasih dalam perumpamaan tentang “seorang Samaria yang murah hati”, akan dipahami secara dialektis dengan budaya KSB melalui sebuah model
IK
berteologi yang kontekstual.
M IL
Meskipun berangkat dari narasi partikular yang berbeda (narasi budaya orang Maluku dan narasi kekristenan) namun tawaran nilai yang sama ini merupakan sesuatu yang sangat teologis yang akan disintesiskan untuk menjadi bahan dasar dalam mengkonstruksi sebuah bangunan teologi identitas. Analisis teologi dilakukan untuk membangun sebuah teologi identitas bagi masyarakat Maluku yang multikultural dan multireligius. Namun mengingat luasnya permasalahan, maka studi ini akan dibatasi pada kawasan kota Ambon yang merupakan “barometer” Maluku. Kota Ambon merupakan pusat aktivitas pemerintahan, pusat perjumpaan dan kontak sosial antarmasyarakat yang lintas etnis, sub-etnis, kelompok sosial dan agama. Studi ini dilakukan untuk melihat beberapa persoalan antara lain:
Page | 10
1) Bagaimana masyarakat Maluku memahami dan menghidupi nilai persaudaraan dalam UKSB sebagai moralitas minimalnya? 2) Apa faktor-faktor penyebab gagalnya UKSB sebagai moralitas minimal dalam mencegah terjadinya konflik horizontal dalam masyarakat Maluku? 3) Apa nilai-nilai teologis yang terkandung dalam UKSB? 1.3 Tujuan Penelitian
W
Secara substansial studi ini dilakukan dengan tujuan antara lain:
KD
1) Mengetahui makna, praktek dan rasa dari Masyarakat Maluku terkait UKSB. 2) Mengetahui faktor-faktor penyebab gagalnya UKSB sebagai moralitas minimal
U
dalam mencegah konflik horizontal dalam masyarakat Maluku. 3) Membangun sebuah teologi identitas yang partikularis inklusif.
IK
1.4 Hipotesis
M IL
Gagalnya UKSB sebagai moralitas minimal dalam mencegah konflik horizontal di Maluku, disebabkan karena ungkapan tersebut telah mengalami pergeseran ruang sejarah, konteks dan pemaknaan serta proses penghilangan spirit oleh pengaruh modernisasi dan sistem birokrasi pemerintahan ORBA sehingga membuatnya menjadi semakin lemah. 1.5 Metode Penelitian dan Analisis Data Penelitian pustaka dilakukan dengan menarik benang merah kesejarahan konflik untuk menemukan causa prima dari konflik Maluku melalui catatan-catatan sejarah mulai dari zaman pra-kolonial sampai meledaknya konflik tahun 1999. Dari catatan-catatan sejarah tersebut kemudian dilakukan analisis terhadap krisis etika bersama antarumat di Maluku. Page | 11
Penelitian lapangan diarahkan untuk melihat dan menganalisis tiga domain yaitu: pemahaman atau pemaknaan, praktek dan afektif masyarakat terkait dengan nilai persaudaraan dalam UKSB. Untuk mendapatkan gambaran yang objektif, mendalam dan holistik tentang ketiga domain tersebut, maka penelitian dan analisis dilakukan secara emic atau berdasarkan pada perspektif budaya masyarakat Maluku itu sendiri dan berdasarkan fakta empirik. Untuk itu digunakan metode etnografi. Dengan berpedoman pada metode etnogarafi dari James P. Spradley.
W
Data diperoleh dengan beberapa cara antara lain: 1) Mencari dan memanfaatkan data-data yang menyajikan realitas konflik Maluku dan juga
KD
data-data etnografi Maluku yang menyajikan realitas kebudayaan masyarakat Maluku terkait konsep dan nilai persaudaraan.
U
2) Menggunakan angket atau kuesioner yang terdiri dari beberapa pertanyaan yang bersifat tertutup; dengan pilihan jawaban tertentu dan juga beberapa pertanyaan yang bersifat
IK
lebih terbuka guna diisi oleh informan
M IL
3) Melakukan wawancara etnografis atau serangkaian percakapan persahabatan yang di dalamnya peneliti secara perlahan memasukan beberapa unsur baru untuk membantu informan memberikan jawaban sebagai seorang informan tanpa membuat wawancara itu seperti interogasi formal. Tiga unsur etnogarfis yang paling penting menurut James P. Spradley, yang akan tetap menjadi perhatian selama berlangsungnya proses wawancara ini adalah: pertama; Tujuan yang eksplisit. Ketika peneliti bertemu dengan informan untuk melakukan suatu wawancara, maka keduanya menyadari bahwa pembicaraan itu selayaknya mempunyai arah. Setiap kali melakukan wawancara, peneliti berupaya untuk mengarahkan pembicaraan pada tujuan penelitian. Kedua; Penjelasan etnografi. Sejak bertemu sampai akhir wawancara dengan informan, peneliti secara berulang-ulang harus Page | 12
memberikan penjelasan kepada informan untuk mempermudah pengumpulan data. Ketiga; Penjelasan proyek. Peneliti menerjemahkan tujuan melakukan etnografi itu dan menggali pengetahuan budaya informan dengan menggunakan istilah yang dapat dimengerti oleh informan.17 Selanjutnya, studi ini diarahkan pada sebuah analisis untuk membangun sebuah teologi identitas yang partikularis inklusif. Analisis teologi ini bertumpu pada dua hal yakni Injil lebih khusus teks Lukas 10: 25-37 dan pemaknaan secara emik dan juga etik terhadap warisan nilai persaudaraan dalam UKSB. Akan digunakan “model sintesis”18 sebagai model berteologi yang
W
menghubungkan secara dialektis kedua hal tersebut di atas. Bagi Stephen Bevans, model ini
KD
merupakan sebuah jalan tengah antara penekanan pada pengalaman masa kini (yakni: konteks pengalaman, kebudayaan, lokasi sosial, perubahan sosial) dan pengalaman masa lampau (kitab suci dan tradisi). Model ini tidak sekedar menerjemahkan iman ke dalam kebudayaan tapi
U
memberikan ruang untuk interaksi yang timbal balik antara iman dengan kebudayaan.19
IK
Interaksi itu dibutuhkan agar teologi Kristen tidak menjadi teologi palsu20 karena tidak bisa memantulkan konteks zaman, kebudayaan dan keprihatinan manusia di mana injil itu dibawa.
M IL
Injil membawa hal yang adikodrati untuk melengkapi dan menyempurnakan yang kodrati. Tetapi yang kodrati ini juga melengkapi yang adi kodrati, dalam arti iman tidak pernah bisa 17
James P. Spradley, Metode etnografi (terj), ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997) hlm. 76-77. Model Sintesis merupakan sebuah model berteologi yang melihat budaya secara positif. Injil dan kebudayaan atau konteks dimana injil itu dibawah, sama-sama dilihat sebagai sesuatu yang unik, dan mengandung kebenaran dan oleh karena itu sama-sama menjadi lahan atau sumber berteologi. Baik injil maupun kebudayaan diterima dalam kesatuan yang saling bersintesis atau saling isi-mengisi. Model ini dikembangkan dari model sintetik dalam polarisasi sikap Gereja terhadap kebudayaan yang dilakukan oleh Richard Niebuhr dalam bukunya “Christ and Culture, Harper & Row, New York 1956. Lihat Bab IV. Hlm. 116-141. Tipologi sintesis ini melihat budaya manusia itu baik tepi belum sempurna, karena itu iman mengatasi budaya tetapi iman tidak menghapus budaya, melainkan budaya diintegrasikan ke dalam iman. Model sintesis ini kemudian sangat mempengaruhi Kosuke Koyama, seorang teolog ternama dari Asia dalam usaha membangun teologinya. Dalam pengantar bukunya “Waterbuffalo Theology”, Koyama menyebutkan teologinya itu sebagai “Theology of below atau Teologi dari bawah”, sebuah teologi kontekstual yang mensintesiskan Injil dengan budaya dan konteks serta keprihatinan masyarakat di beberapa negara di Asia. Lihat bukunya Kosuke Koyama, Waterbuffalo Theology, SCM Press, New York, 1976. Model berteologi ini kemudian menjadi salah satu dari enam model berteologi yang dirampung dan ditawarkan oleh Stephen B. Bevans dalam bukunya “Model-Model Teologi Kontekstual”, Ledalero Maumere-Flores, 2002. Hlm. 161-174. 19 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual. Hlm. 162-163. 20 Istilah ini digunakan oleh Henri Bouillard seperti yang dikutip oleh Stephen Bevans dalam Model-Model Teologi Kontekstual. Hlm. 4 18
Page | 13
tanpa wujud yang konkret, baik berupa lembaga Gereja yang kuat maupun dalam bentuk tatanan masyarakat yang tetap mantap.21 Agar saling mengisi dan melengkapi maka akan dilakukan usaha mensintesiskan secara kreatif nilai-nilai kasih dan persaudaraan yang konstruktif yang ada di dalam teks Lukas 10: 25-37 dan UKSB, untuk mendapatkan sebuah bangunan teologi identitas yang konstruktif, yang bisa membantu mengisi krisis etika bersama atau krisis peradaban yang sudah dan masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat Maluku kontemporer.
W
1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan dua manfaat. Pertama, pada tataran akademik
KD
yaitu menyediakan reference tentang faktor-faktor yang memungkinkan gagalnya moralitas minimal dalam sebuah masyarakat lebih khusus di Maluku. Sekaligus melakukan penarasian
U
dan analisis terkait realitas masyarakat Maluku yang sedang mengalami krisis etika bersama. Selain itu juga diharapakan bisa memberikan jawaban atas panggilan teologis dalam
IK
masyarakat Maluku kontemporer, dengan menghadirkan sebuah konstruksi teologi identitas yang partikularis-inklusif sebagai hasil sintesis antara budaya dan Injil. Kedua, secara praksis
M IL
bermanfaat bagi masyarakat Maluku pasca konflik, yaitu semakin terbangunnya kehidupan bersama dalam ruang publik yang didasarkan pada nilai persaudaraan yang lebih dinamis dan terbuka dimana ada penerimaan yang autentik yang lahir dari keinsafan batin terhadap entitas lain dari dan di luar Maluku. 1.7 Judul Judul yang dirancang bagi penulisan tesis ini adalah : Ungkapan Katong Samua Basudara Sebagai Moralitas Minimal Masyarakat Maluku
21
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2000. Hlm. 38.
Page | 14
1.8 Sistematika Penulisan Bab I.
Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penulisan, hipotesis, metode penelitian dan analisis data, manfaat penelitian, judul dan sistematika penulisan.
Bab II.
Menelaah sejarah konflik dan krisis etika bersama antarumat di Maluku.
Bab III.
Melakukan penafsiran dan analisis terhadap hasil penelitian lapangan.
Bab IV.
Membangun teologi identitas yang partikularis-inklusif dari UKSB dan Kisah “Orang Samaria yang murah hati” (Lukas 10: 25-37) dengan melakukan sebuah
Berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan pikiran-pikiran rekomendatif.
M IL
IK
U
KD
Bab V.
W
proses sintesis.
Page | 15