Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 4B (27–32), 2011
Perbandingan Karakteristik Marka Genetik Cytochrome B Berdasarkan Keragaman Genetik Basa Nukleotida dan Asam Amino pada Harimau Sumatera Ulfi Faizah1, Dedy Duryadi Solihin2,dan Ligaya Ita Tumbelaka3 1 FMIPA Universitas Negeri Surabaya E-mail:
[email protected]) 2 FMIPA Institut Pertanian Bogor 3 FKH Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT Indonesia is known as a country with extremely high biodiversity (megabiodiversity). Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae), one of Indonesia’s biological wealth is declining in number and its existence is threatened with extinction. Therefore, conservation efforts must be done, including genetics conservation. The Cytochrome b (Cyt b) region of mitochondrial DNA (mtDNA) has been used a lot to learn genetic diversity and phylogenetic relationship. The aims of this research were to compare the genetic markers characteristic of Cyt. b based on the genetic diversity of nucleotide bases and amino acids in the Sumatran tiger. Materials of research were four Sumatran Tiger’s blood from the Bogor Safari Park. DNA amplification with Polymerase Chain Reaction (PCR) method in partial Cyt. b used primer UF-06 and UF-07 (675 base pair). Next, all PCR products were sequenced. The data were analyzed by Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. using multiple alignments with other tigers sequence from NCBI GenBank. Phylogeny reconstruction analyzed by Neighbor-Joining method with 1000 bootstrapped. The results of this research were there were two specific nucleotide sites on Sumatran tiger (sites 118 (Guanin) and 369 (Adenin)) and the resulting phylogeny tree can clearly distinguish between subspecies of tiger. Whereas if, one specific amino acid site (site 40 (Valin)) and the phylogeny trees produced less clearly distinguish between subspecies of tiger. The conclusion of this research was Cyt. b partially genetic markers based on nucleotide bases was more accurately used to distinguish between subspecies of tigers compared with amino acid one. Key words: genetic marker, cytochrome B, nucleotide bases, amino acid, Sumatran tiger
PENDAHULUAN Indonesia terkenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) adalah salah satu kekayaan hayati Indonesia yang saat ini jumlahnya semakin menurun dan keberadaannya terancam punah. Dikarenakan jumlahnya yang semakin menurun, IUCN (2006) mengategorikan Harimau Sumatera dalam status “critically endangered” atau satwa langka yang kritis yaitu kategori tertinggi dari ancaman kepunahan. Sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan Harimau Sumatera ke dalam Appendix 1, artinya kategori hewan yang sangat dilarang untuk diperdagangkan baik pada tingkat nasional maupun internasional (Inskipp dan Gillet, 2005). Menyikapi hal tersebut perlu dilakukan usaha konservasi termasuk juga konservasi genetiknya. Dengan mengetahui status genetik suatu populasi, dapat dirancang suatu program konservasi untuk menghindari kepunahan dan membantu pengembangan rencana pengelolaan kelangsungan hidupnya (Damayanti, 2007).
Cytochrome b (Cyt. b) adalah salah satu bagian yang banyak digunakan dalam penelitian mengenai hubungan spesies dari genus atau famili yang sama. Hal tersebut dikarenakan daerah penyandi proteinnya tidak begitu variatif/conserve sehingga menguntungkan dijadikan barcoding/marka genetik untuk identifikasi kemurnian spesies (Widayanti, 2006). Penelitian genetik tentang Cyt.b pada berbagai subspesies harimau telah dilakukan oleh Cracraft et al. (1998) dan Lou (2004) tetapi informasi genetik mengenai Harimau Sumatera terutama tentang bagian Cyt. b masih kurang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan karakteristik marka genetik Cyt. b berdasarkan keragaman genetik basa nukleotida dan asam amino pada Harimau Sumatera. BAHAN DAN CARA KERJA Bahan penelitian berupa DNA Harimau Sumatera yang berasal dari darah empat ekor Harimau Sumatera dari Taman Safari Indonesia, Cisarua-Bogor. Ke empat ekor Harimau Sumatera tersebut merupakan hasil tangkapan langsung
28
Perbandingan Karakteristik Marka Genetik Cytochrome B
dari habitatnya yang berasal dari empat daerah berbeda di Sumatera yaitu Medan, Riau, Jambi, dan Bengkulu (HS1c, HS2c, HS3c, dan HS4c). Isolasi DNA menggunakan metode ekstraksi fenol (Duryadi 1997, 2005). Amplifikasi dengan Metode PCR pada daerah Cyt. b parsial menggunakan primer UF-06 ((F) 5′ AGCAGCAGTCCACCTC CTATTCCTT 3′) dan primer UF-07 ((R) 5′ GCTTTGGGTGCTGATGGTGGGGC TA 3′). Larutan pereaksi pada penelitian ini menggunakan Go Tag® PCR Core Systems dari Promega. Total campuran untuk tiap reaksi PCR adalah 50 μl dengan komposisi PCR untuk mengamplifikasi daerah Cyt. b parsial seperti pada Tabel 1. Proses PCR pada penelitian ini menggunakan mesin GeneAmp(R) PCR system 2400 (Perkin-Elmer). Kondisi PCR untuk mengamplifikasi daerah target penelitian terdapat pada Tabel 2.
Tabel 1. Komposisi PCR untuk meng-amplifikasi daerah Cyt. b parsial Komposis DNA template Primer Forward (20pmol/� μl) ��� Primer Reverse (20 pmol/� ��� μl) dNTP (10mM) 5x buffer MgCl2 (25 mM) 5 unit Taq (5u/� μl) ��� ddH2O
Cyt. b parsial 4 μ� ��l 1,5 μ� ��l 1,5 μ� ��l 1 μ� ��l 5 μ� ��l 3 μ� ��l 0,25 μ� ��l 33,75 μ� ��l
Proses sekuensing dilakukan di First BASE Laboratories Sdn Bhn– Malaysia. Data hasil pembacaan sekuen dianalisis dengan menggunakan program MEGA 4.0 (Tamura, 2007). Hasil analisis basa nukleotida dan
Tabel 3. Data Sekuen Subspesies Harimau Pembanding untuk Daerah Cyt. B Parsial No
No Gen Bank
Kode
Nama Spesies
Asal
1
EF551003
Pt. x
Panthera tigris
-
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
AF053040 AF053041 AF053042 AF053043 AF053044 AF053045 AF053046 AF053047 AF053048 AF053049 AF053050 AF053021 AF053022 AF053023 AF053024 AF053025 AF053026 AF053027 AF053028 AF053029 AF053030 AF053031 AF053032 AF053033 AF053034 AF053035 AF053036 AF053037 AF053038 AF053039
Pt. sum su1 Pt. sum su2 Pt. sum su3 Pt. sum su4 Pt. sum su5 Pt. sum su6 Pt. sum su7 Pt. sum su9 Pt. sum su10 Pt. cor c1 Pt. cor c2 Pt. tig b5 Pt. tig b6 Pt. tig b7 Pt. tig b8 Pt. tig b9 Pt. alt s1 Pt. alt s2 Pt. alt s3 Pt. alt s4 Pt. alt s5 Pt. alt s6 Pt. alt s7 Pt. alt s8 Pt. alt s10 Pt. alt s11 Pt. alt s12 Pt. alt s13 Pt. alt s14 Pt. alt s15
P. t. sumatrae P. t. sumatrae P. t. sumatrae P. t. sumatrae P. t. sumatrae P. t. sumatrae P. t. sumatrae P. t. sumatrae P. t. sumatrae P. t. corbetti P. t. corbetti P. t. tigris P. t. tigris P. t. tigris P. t. tigris P. t. tigris P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica P. t. altaica
Sumatera Sumatera Sumatera Sumatera Sumatera Sumatera Sumatera Sumatera Sumatera Indo China Indo China India India India India India Siberia Siberia Siberia Siberia Siberia Siberia Siberia Siberia Siberia Siberia Siberia Siberia Siberia Siberia
Panjang sekuen (pb) 16990 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140 1140
Pustaka/keterangan Genbank (www.ncbi.nml.nih.gov) Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998 Cracraft et al. 1998
Faizah, Solihin, dan Tumbelaka Tabel 2. ���������������������������������������������� �� Kondisi PCR untuk mengamplifikasi daerah ����� Cyt. b�������� parsial Kondisi Predenaturasi Denaturasi Annealing Extension Final ekstension Siklus Volume
Cyt. b parsial 94° C / 5 menit 94° C / 45 detik 52° C / 1 menit 72° C / 1 menit 72° C / 7 menit 35 × 50 μ� ��l
asam amino berupa matriks perbandingan perbedaan jumlah (number of differences). Analisis filogeni menggunakan metode bootstrapped Neighbor-Joining dengan 1000 kali pengulangan. Multiple alignment digunakan ������ untuk
29
membandingkan daerah Cyt. b parsial menggunakan data sekuen harimau dari GenBank (www.ncbi.nml.nih.gov) yaitu sebuah sekuen lengkap dari GenBank (EF551003)� dan ���������������������������������������������������� 30 sampel sekuen Cyt. b parsial berbagai subspesies harimau dari penelitian Cracraft (1998). ������������������ Data lengkap dari sekuen subspesies harimau pembanding untuk daerah Cyt. b parsial terdapat pada Tabel 3. HASIL Hasil amplifikasi daerah Cyt. b parsial mtDNA dengan menggunakan primer UF-06 dan UF-07 pada ke empat sampel Harimau Sumatera menghasilkan produk PCR berukuran 675 pb (Gambar 1).
Tabel 4. �� Sembilan situs basa nukleotida yang beragam di daerah Cyt. b parsial (549 pb) pada beberapa subspesies harimau (Sekuen acuan Panthera tigris [Pt. x], EF551003)
Keterangan: Nomor dalam kurung adalah nomor situs nukleotida pada Cyt. b utuh
Ti (Transisi), Tv (Transversi)
30
Perbandingan Karakteristik Marka Genetik Cytochrome B
Gambar 1. Hasil amplifikasi daerah Cyt. b parsial
Tabel 5. Tiga situs asam amino yang beragam di daerah Cyt. b parsial (183 asam amino) pada beberapa subspesies harimau (Sekuen acuan Panthera tigris [Pt. x], EF551003)
Keterangan: Nomor dalam kurung adalah nomor situs asam amino pada Cyt. b utuh
Analisis keragaman basa-basa nukleotida di daerah Cyt. b parsial dilakukan dengan menambahkan data dari GenBank untuk multiple alignment, basa nukleotida yang dibandingkan sepanjang 549 pb. Hasil multiple alignment menunjukkan sembilan buah situs basa nukleotida yang beragam dari berbagai subspesies harimau (Tabel 4), dengan dua situs yang spesifik pada Harimau Sumatera yaitu situs basa nukleotida ke-118 (Guanin) dan ke-369 (Adenin). Dari 549 pb nukleotida pada daerah Cyt. b parsial tersebut selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk asam amino dan didapatkan 183 asam amino. Hasil multiple alignment asam amino menunjukkan tiga buah situs yang beragam dari berbagai subspesies harimau (Tabel ���� 5). Harimau Sumatera mempunyai sebuah situs asam amino yang spesifik yaitu pada situs ke-40 dengan asam amino V (Valin) sedangkan subspesies harimau lainnya pada situs tersebut mempunyai asam amino I (Isoleusin).
Gambar 2. Filogeni berdasarkan “jarak genetik p” (p-distance) dari basa-basa nukleotida di daerah Cyt. b parsial (549 pb) beberapa subspesies harimau
Faizah, Solihin, dan Tumbelaka
Rekonstruksi pohon filogeni untuk mengetahui pengelompokan dan hubungan kekerabatan antara berbagai subspesies harimau berdasarkan “jarak genetik p” (pdistance) dari basa-basa nukleotida Cyt. b parsial terdapat pada Gambar 2. Dari Gambar 2 terlihat bahwa pohon filogeni yang terbentuk terbagi menjadi dua kluster besar. Tiap kluster besar terbagi menjadi beberapa sub kluster. Kelompok harimau Sumatera terpisah jelas dengan kelompok subspesies harimau yang lain. Ke empat sampel Harimau Sumatera yang digunakan pada penelitian ini (HS1c, HS2c, HS3c, dan HS4c) tergabung menjadi satu kelompok tersendiri dengan sembilan sampel Harimau Sumatera dari GenBank berdasarkan Cracraft et al. (1998). Sedangkan rekonstruksi pohon filogeni berdasarkan “jarak genetik p” (p-distance) dari asam amino Cyt. b parsial terdapat pada Gambar 3.
Gambar 3. Filogeni berdasarkan “jarak genetik p” (p-distance) dari asam amino di daerah Cyt. b parsial (183 asam amino) beberapa subspesies harimau
Hasil pohon filogeni pada Gambar 3. percabangan yang terbentuk relatif lebih sederhana yaitu terbentuk dua kluster
31
besar, namun dari masing-masing klusternya pembentukan sub kluster relatif kurang terjadi. Pada kluster pertama P. t. tigris dan P. t. corbetti masuk dalam satu sub kluster sedangkan P. t. sumatrae masuk dalam sub kluster yang lain walaupun berasal dari kelompok awal yang sama. PEMBAHASAN Mempertahankan keragaman genetik suatu populasi sangat penting dalam konservasi karena keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu beradaptasi terhadap perubahan habitat karena proses global warming dan munculnya penyakit-penyakit yang ada di alam. Halhal tersebut dapat mempengaruhi dinamika populasi. Suatu populasi dengan keragaman genetik yang rendah merupakan hasil dari berbagai proses yang panjang. Proses tersebut menurut Frankham et al. (2002) disebabkan oleh beberapa hal yaitu berkurangnya jumlah populasi karena adanya bottle neck, terjadinya fragmentasi suatu habitat akibat isolasi geografi (adanya lautan, hutan, pegunungan dan gurun pasir) yang mendorong putusnya aliran gen (gen flow) dan meningkatnya genetic drift. Selain itu dapat pula berasal dari populasi kecil yang diduga masih saling berkerabat dekat satu sama lainnya sehingga dalam jangka panjang, perkawinan yang terjadi di dalam kelompok tersebut akan merupakan perkawinan antar kerabat (inbreeding). Kejadian inbreeding ini akan menyebabkan deficit heterozigot dan penurunan kualitas reproduksi. Selanjutnya akan menyebabkan suatu individu menjadi sensitif terhadap penyakit tertentu. Dengan mengetahui status genetik suatu populasi, maka dapat dirancang suatu program konservasi untuk menghindari kepunahan yang cepat dari suatu spesies (Rhymer, 1999; Damayanti, 2007). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, daerah Cyt. b parsial (549 basa nukleotida dan 183 asam amino) pada berbagai subspesies harimau didapatkan keragaman genetik yang kurang variatif, hanya ada sembilan situs basa nukleotida dan tiga situs asam amino yang beragam. Dari sembilan nukleotida ini, enam nukleotida menyandi enam asam amino, namun perubahannya hanya merupakan substitusi sinonim, sedangkan tiga nukleotida yang lain menyandi tiga asam amino dengan tipe perubahannya adalah non sinonim. Karena kebanyakan substitusinya sinonim maka hanya tiga asam amino saja yang berbeda. Ketiga asam amino yang berbeda tersebut menunjukkan separasi antarsubspesies yaitu membedakan Harimau Sumatera dengan subspesies lainnya (Tabel 5).
32
Perbandingan Karakteristik Marka Genetik Cytochrome B
Menurut literatur dari Cracraft et al. (1998) dan Lou (2004), daerah Cyt. b adalah daerah yang tidak begitu variatif karena merupakan daerah yang conserve pada berbagai individu makhluk hidup. Namun demikian sekuensekuen yang bersifat conserve ini bersifat menguntungkan juga karena dapat dijadikan sebagai barcoding/marka genetik untuk mengidentifikasi kemurnian suatu spesies misalnya pada P. t. corbetti (situs basa nukleotida ke-66 (Timin)), P. t. sumatrae (situs basa nukleotida ke-118 (Guanin) dan ke-369 (Adenin), dan dengan situs asam amino ke-40 (Valin)), Sedangkan pada P. t. altaica (situs basa nukleotida ke-131 dan 320 (Citosin), situs asam amino ke-44 dan 107 (Treonin)). Pada P. t. amoyensis dan P. t. jacksoni belum diketahui situs spesifiknya dari fragmen Cyt b, karena belum ada data sekuen yang dapat dibandingkan, sedang P. t. tigris tidak memiliki sekuen nukleotida maupun asam amino yang spesifik dari data yang ada. Selama ini pemilahan subspesies ini hanya didasarkan pada daerah penyebaran dan morfologi saja, sehingga kalau ada jenis harimau yang dikonservasi dengan asal-usul yang tidak jelas masih sulit untuk dilacak keasliannya. Dengan hasil penelitian ini, permasalahan tersebut dapat di atasi dengan mudah yaitu dengan cara barcoding/marka genetik memakai marka Cyt. b parsial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada daerah Cyt. b parsial Harimau Sumatera mempunyai situs-situs basa nukleotida spesifik yang terdiri dari situs nukleotida No. 130 (Guanin) dan No. 369 (Adenin) dan sebuah situs asam amino yang spesifik yaitu Valin. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cracraft et al. (1998) pada Harimau Sumatera yang ada di berbagai kebun binatang (asal usul dari daerah Sumatera mana tidak jelas). Oleh karena itu situs-situs spesifik tersebut dapat digunakan sebagai marka genetik dalam mengidentifikasi kemurnian genetik dari Harimau Sumatera apabila akan dilakukan usaha konservasi genetiknya. Dari rekonstruksi filogeni berdasarkan “jarak genetik p” (p-distance) basa nukleotida dan asam amino di daerah Cyt. b parsial untuk berbagai subspesies harimau menunjukkan bahwa rekonstruksi berdasarkan basa nukleotida lebih dapat mengelompokkan berbagai subspesies harimau yang ada ke dalam kelompok-kelompok yang lebih spesifik dibandingkan pengelompokan berdasarkan asam amino. Hasil rekonstruksi filogeni Harimau Sumatera berdasarkan basa nukleotida maupun asam aminonya secara
konsisten menunjukkan Harimau Sumatera mengelompok tersendiri terpisah dari subspesies harimau yang lain. Hal ini membuktikan bahwa gen Cyt. b parsial dapat digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan yang spesifik pada Harimau Sumatera jika dibandingkan dengan subspesies harimau lainnya.
KEPUSTAKAAN Cracraft J, Feinstein J, Vaughn J, dan Helm-Bychowski K. 1998. Sorting Out Tigers (Panthera tigris): Mitochondrial Sequences, Nuclear Inserts, Systematics, and Conservation Genetics. Anim Conser 1: 139–150. Damayanti CS, 2007. Peranan Studi Genetik dalam Kegiatan Konservasi. http://vetopia.wordpress.com/2007/11/02/ peranan-studi-genetik-dalam-kegiatan-konservasi. Diakses pada 14 Agustus 2008. Duryadi D, 1997. Isolasi dan Purifikasi Mitochondrian (mtDNA). Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi (PPSH) Institut Pertanian Bogor, Bogor. Duryadi D, 2005. Prinsip-prinsip dalam Teknologi Molekuler. Pelatihan Singkat Teknik Biologi Molekuler kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikknas, Bogor. Frankham R, Ballou JD, dan Briscoe DA. 2002. Introduction to Conservation Genetics. Cambridge University Press. Inskipp T dan Gillett H J. 2005. Checklist of CITES Species and Annotated CITES Appendices and Reservations. http:// www.cites.org/eng/resources/species.html. Diakses pada 30 Maret 2007. IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), 2006. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucn.org/themes/ssc/redlist2006/ redlist2006.htm. Diakses pada 30 Maret 2007. Lou SJ, 2004. Phylogeography and Genetic Ancestry of Tiger (Panthera tigris). PloS Biology 2 (12): 0442. Rhymer J, 1999. Series 2: Impacts of Genetic Engineering on Society Biotechnology. White Paper Series. University of Maine. Tamura K, 2007. On the Estimation of The Rate of Nucleotide for The Control Region of Human Mitochondrial DNA. Gene 259: 189–197. Widayanti R, 2006. Kajian Penanda Genetik Gen Cytochrome B dan Daerah D-loop pada Tarsius sp. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.