Penciptaan Seni Film Eksperimental “Sweet Rahwana” Hery Sasongko Jurusan Televisi dan Film, FSRD, ISI Padangpanjang Jln. Bundo Kanduang No. 35 Padangpanjang, Sumatera Barat Telp. 08179412180, E-mail:
[email protected] Volume 13 Nomor 1, April 2013: 25-33
ABSTRAK Akhir-akhir ini bioskop di Indonesia memutar film-film horor. Genre film yang muncul di Indonesia sejak tahun 1941 melalui Film Tengkorak Hidoep ini juga diminati banyak penikmat film tanah air. Sebut saja film Sundel Bolong dan Nyi Blorong yang menggondol Piala Antemas FFI (Festival Film Indonesia) untuk Film Terlaris 1982-1983. Film-film horor juga terus mampu meraup jumlah penonton yang besar dikarenakan bumbu adegan seks yang banyak ada di film-film horor Indonesia. Jika kembali mengaca pada sejarah termasuk sejarah perfilman Indonesia, penulis percaya akan ada titik jenuh. Penonton akan bosan dan kembali menjauhi bioskop dengan film Indonesia. Kondisi ini pernah terjadi hanya sesaat sebelum dunia film Indonesia mati suri. Wayang bisa menjadi sumber inspirasi untuk mengatasi kejenuhan tema film di Indonesia. Wayang adalah legenda yang tidak bisa dipisahkan dari cerita para tokoh tokohnya, salah satunya adalah karakter tokoh Rahwana yang selalu berwatak jahat. Unsur-unsur yang terdapat dalam karakter Rahwana menjadi inspirasi untuk membuat karya film eksperimental agar menjadi karya dan tontonan alternatif bagi generasi muda Indonesia sehingga bisa menambah wawasan yang lebih luas. Dengan cara mengeksplorasi visual serta metode editing dengan teknik yang baru dan bermutu dapat menjadikan film eksperimental yang berkualitas untuk ditonton. Kata kunci: film, film eksperimental, wayang, Rahwana
ABSTRACT “Sweet Ravana” an Experimental Film Art. Recently, cinemas in Indonesia play scary movies. Scary movies have appeared in Indonesia since 1941 through a film entitled “Tengkorak Hidoep”. Many people got attracted with it. “Sundel Bolong” and “Nyi Blorong” movies got achievement on Anthemas Cup FFI (Indonesian Film Festival) award for a best-selling movies category in 1982-1983. Scary movies have been succsesfull to get a lot of audiences because of many sex scenes in the Indonesian scary movies. The writer believes there will be a saturation point against its. The audience will be bored and keep away from Indonesian movie theaters. These conditions had occurred before the Indonesian cinemas collapsed. Puppet will be inspiration to heal the boredom in Indonesian movie themes. Puppet is a legend that cannot be separated from the characters of the story. One of the puppet characters is Rahwana. He is always symbolized as a bad character. The elements contained in the character of Rahwana were the inspiration to make an experimental film which can be the alternative movies for the Indonesian young people, so they can have greater insight. Exploring visual and editing methods by using a new and good technique can make a good quality of experimental film. Keywords: film, experimental film, puppet, Rahwana
25
Hery Sasongko, Penciptaan Seni Film Eksperimental “Sweet Rahwana”
Pendahuluan Setiap kali mendengar kata film yang terbersit dalam benak kita adalah sosok hantu yang berbadan seksi atau film esek-esek. Entah mengapa hal itu seolah sudah menjadi stigma bagi perfilman Indonesia bahwa setiap ada film yang sedang rilis di bioskop adalah film hantu. Sangat jelas sekali bahwa hasil karya ini hanya mau mencari uang dan mengejar keuntungan yang dibuat dengan sangat gampangan, murahan, dan menginjak injak estetika sinema. Tanpa sadar sebenarnya itu merupakan sebuah tamparan bagi para pelaku dunia perfilman, karena sebagai generasi muda seharusnya bisa merubah stigma tersebut dengan mencoba membuat sebuah karya film yang berbeda dan jauh lebih bagus dari film-film nasional tidak bermutu yang beredar saat ini. Film merupakan alat komunikasi massa yang paling dinamis karena dalam sebuah film terdapat sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Selain itu, sebuah film juga memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik penonton, menjaga kesadaran masyarakat, dan dapat digunakan untuk mengkritisi keadaan yang terjadi di masyarakat. Menurut Marshal McLuhan (1994) dalam tesisnya, film sarat mengandung pesan, dan mudah diingat oleh khalayak. Hal ini dikarenakan sesuatu yang terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga, masih lebih cepat dan lebih mudah masuk ke dalam otak daripada yang hanya dapat dibaca atau hanya didengar. Kristanto (2013) dalam Jurnal Footage menyebutkan bahwa Usmar Ismail adalah sutradara Indonesia pertama yang memperlakukan film bukan sebagai hiburan semata, tetapi sudah menjadi pernyataan pribadi dia tentang situasi yang ada pada saat ia membuat film. Era dunia modern menjadikan manusia memiliki ketergantungan pada media yang begitu besar. Prakoso (1997:18) dalam bukunya Film Pinggiran Antologi Film Pendek, Film Eksperimental & Dokumenter menjelaskan bahwa saat ini media menjadi bagian yang penting dalam kehidupan
26
manusia. Film menjadi salah satu media untuk menyampaikan pesan yang mampu memberikan kenyamanan. Penyampaian pesan melalui media film dapat dilakukan melalui beberapa cara salah satu yang dapat digunakan adalah melalui film eksperimental. Pratista (2008:7) dalam bukunya Memahami Film mengatakan bahwa sebuah film eksperimental tidak memiliki plot, namun tetap memiliki struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi oleh insting subjektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, dan pengalaman batin mereka. Film eksperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami. Hal ini disebabkan mereka menggunakan simbol-simbol personal yang mereka ciptakan sendiri. Berdasarkan pengalaman penulis bahwa untuk mewujudkan sebuah karya film diperlukan banyak elemen yang satu sama lain saling melengkapi, salah satu elemen itu adalah proses penggabungan gambar atau editing. Editing adalah pekerjaan memilih gambar, kemudian menyusunnya menjadi suatu adegan yang memiliki kesinambungan gambar dan akhirnya bisa dimengerti khalayak. Hal inilah yang menyebabkan mengapa editing merupakan proses penyutradaraan kedua setelah proses produksi, dan berhasil tidaknya sebuah program ikut ditentukan pula dalam proses pascaproduksi. Hal ini seperti yang dikatakan Bronlow (1968) dalam “The Parades’s Gone By”, adalah penyutradaraan film untuk kedua kalinya. Sebuah film pada hakikatnya dibuat di ruang editing. Materi syuting hanyalah merupakan bagian kecil dari proses tersebut. Pudovkin (1949), menulis dalam bukunya “Filmregie en Filmscenario”, bahwa seni film berpangkal pada editing. Gagasan estetis bagi seorang editor merupakan wilayah yang mengharuskan editor memberi sentuhan khusus, menutup segala kesalahan dan menjadi penyelamat dari proses produksi sebelumnya. Editor adalah apresiator pertama hasil karya seni setelah berlangsungnya proses produksi. Sebagai orang yang pertama kali memberi nilai, editor berhak memberikan koreksi langsung agar menjadi sempurna, sebelum khalayak memberikan
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
apresiasi terhadap karya itu. Wayang merupakan salah satu kesenian Jawa yang mencerminkan berbagai karya seni dari mulai seni lukis, seni musik, seni pahat, seni sastra, seni peran, seni tutur, dan seni perlambangan. Budaya wayang yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat serta sebagai bentuk dari karakter manusia. Wayang dalam bahasa jawa berarti “bayangan”. Ditinjau dari perspektif filosofi wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau cerminan seluruh sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, seperti sifat dur angkara murka, dan segala macam sifat kebaikan (positif ). Wayang digunakan sebagai instrumen untuk memperagakan suatu cerita kehidupan manusia di jagad raya, serta gambaran khayangan, atau alam gaib. Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh tim yang terdiri penyumping atau asisten dalang, niyaga atau orang-orang penabuh gamelan, dan beberapa waranggana sebagai pelantun tembang. Sebagai lambang budaya bangsa cerita-cerita wayang tersebut diambil dari kitab Mahabarata dan Ramayana dari zaman Majapahit. Dari situlah masyarakat Jawa diperkenalkan dari cerita Rama dan Shinta, Damarwulan, dan lain-lain. Dari ceritacerita wayang tersebut masyarakat mulai mengerti tentang berbagai tokoh dan watak pewayangan dalam cerita. Tokoh-tokoh wayang dalam cerita tersebut melambangkan watak dan karakter manusia di dunia. Karakter-karakter tersebut meliputi karakter pemberani yang diperankan oleh Gatotkaca, Anoman, atau karakter yang jahat yang biasanya diperankan oleh Rahwana dalam cerita Rama dan Sinta. Itu semua dapat ditemukan dalam jiwa setiap insan manusia dalam kehidupan nyata. Wayang, yang diartikan sebagai bayang, mengandung dua makna yang tersirat, yaitu bayangan yang ditonton (dari belakang layar), menggambarkan bahwa setiap perilaku manusia, baik atau buruk, dapat dilihat dan dinilai oleh orang lain tanpa memandang fisik, jabatan, atau kekayaannya dan bentuk fisik wayang, yang menggambarkan sifat dan perilaku setiap tokoh wayang tersebut. Filsafat dunia wayang dijabarkan dalam tiga macam cara, yaitu sosok (bentuk),
karakter/sifat, dan ucapan/pandangan/ajarannya. Dalam wayang seolah-olah orang Jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, tetapi model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkret. Pada hakikatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu. Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilainilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakikat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya, dan hubungan manusia Jawa dengan manusia lain. Rahwana adalah tokoh Ramayana berwujud Raksasa yang mempunyai 10 kepala dan 20 tangan. Hal tersebut menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tidak terbatas. Rahwana digambarkan sebagai nafsu merah manusia, yaitu nafsu untuk menguasai segala sesuatu. Merujuk pada penjelasan tentang hakikat wayang menjadikan sebuah hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam dan dituangkan menjadi sebuah karya audiovisual. Manusia yang di dalam dirinya mempunyai sifat baik dan buruk dapat disimbolkan melalui karakter-karakter wayang seperti sudah dijelaskan. Dalam kenyataan sehari-hari manusia memang dihadapkan pada sebuah keadaan yang dilematis. Manusia cenderung mengutamakan nafsu daripada akal dan perasaan. Fenomena inilah yang menjadi hal menarik untuk membuat sebuah karya yang menampilkan sosok manusia dengan sifat-sifat karakter wayang di dalamnya. Berangkat dari apa yang sudah diuraikan tersebut, penulis ingin menciptakan film eksperimental “Sweet Rahwana” ini dengan maksud membuat perlawanan, harapannya film-film yang diproduksi oleh industri film utama (mainstream) di Indonesia secara sangat sadar mau mengubah baik dari segi cerita, kualitas maupun estetikanya. Film Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Pertama, film
27
Hery Sasongko, Penciptaan Seni Film Eksperimental “Sweet Rahwana”
merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Kedua, film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup. Dalam konteks khusus, film diartikan sebagai lakon hidup atau gambar gerak yang biasanya juga disimpan dalam media seluloid tipis dalam bentuk gambar negatif. Kini film bukan hanya dapat disimpan dalam media selaput seluloid saja, film dapat juga disimpan dan diputar kembali dalam media digital. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah bagaimana film eksperimental ini menjadi karya dan tontonan alternatif bagi generasi muda Indonesia sehingga bisa menambah wawasan yang lebih luas. Film adalah media komunikasi yang bersifat audiovisual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu (Effendy, 1986:134). Pesan film pada komunikasi massa dapat berbentuk apa saja tergantung dari misi film tersebut. Akan tetapi, umumnya sebuah film dapat mencakup berbagai pesan, baik itu pesan pendidikan, hiburan, dan informasi. Pesan dalam film adalah menggunakan mekanisme lambang-lambang yang ada pada pikiran manusia berupa isi pesan, suara, perkataan, percakapan, dan sebagainya. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah cinemathographie yang berasal dari cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = graph (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera. Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang (developer). Menurut UU 8/1992, film adalah karya cipta
28
seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya. Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut seluloid. Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa. Pada generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar. Sebuah film, juga disebut gambar bergerak, adalah serangkaian gambar diam atau bergerak. Hal ini dihasilkan oleh rekaman gambar fotografi dengan kamera, atau dengan membuat ambar menggunakan teknik animasi atau efek visual. Film Eksperimental Secara umum film dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni dokumenter, fiksi, dan eksperimental. Film eksperimental merupakan jenis film yang sangat berbeda dengan dua jenis film lain. Para sineas ekperimental umumnya bekerja di luar industri film utama (mainstream) dan bekerja pada studio independen atau perorangan. Mereka umumnya terlibat penuh dalam seluruh produksi fimnya sejak awal hingga akhir. Film ekperimental tidak memiliki plot, namun tetap memiliki struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi oleh insting subjektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, dan pengalaman batin mereka. Film eksperimental juga umumnya tidak bercerita tentang apa pun bahkan kadang menentang kausalitas, seperti yang dilakukan para sineas surealis dan dada. Film-film ekperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami. Hal ini disebabkan mereka menggunakan simbol-simbol personal yang mereka ciptakan sendiri (Pratista, 2008).
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
Seni film eksperimental kadang mengeksplorasi berbagai kemungkinan dari medium film, seperti yang dilakukan oleh para seniman beraliran surealis dan dada yang mulai tertarik pada medium film era 1920-an yang membawa ideologinya masingmasing ke dalam film-film mereka. Secara otomatis dalam penggarapan sebuah karya film tentu tidak akan terlepas dari pascaproduksi. Proses penyambungan gambar (editing) inilah sebenarnya yang nanti akan digarap sehingga diharapkan akan menghadirkan makna baru setelah melalui tahapan ini. Proses pencarian ide ini secara tidak sadar keluar setelah beberapa kali penulis melakukan observasi di beberapa pasar. Ide itu muncul pada saat melihat foto-foto hasil hunting yang ternyata
setelah diamati menjadi hal yang berbeda dan menghasilkan makna baru. Sebagai contohnya adalah sebagai berikut: Dari contoh foto bisa dijelaskan bahwa karya seni film eksperimental ini adalah penggabungan dari beberapa adegan yang tidak saling berhubungan kemudian setelah melalui proses editing akan menghadirkan makna baru. Sebagai bahan acuan yang relevan dapat dilihat dalam adegan pembantaian rakyat oleh tentara Tsar dalam film Strike, yaitu dengan sadar di-cross-cutting-nya adegan pembantaian rakyat dengan penjagalan sapi. Logikanya ini adalah salah satu cara betapa sangat berpengaruhnya wilayah kerja seorang editor di meja editing sehingga editing bukan hanya sekadar metode kreatif, melainkan merupakan fondasi dari seni film (the foundation of film art is editing).
Foto 1. MakŶĂŶLJĂ͗λ͘DĞůŝŚĂƚŬĂƐĞƚ
μ͘/ŶŐŝŶũĂĚŝƉĞŶLJĂŶLJŝ
Foto 2. MakŶĂŶLJĂ͗λ͘>ŝŚĂƚůĂŵƉƵƚĞƉůŽŬ
μ͘ĂŚĂLJĂŚĂƟ
Sumber Penciptaan
29
Hery Sasongko, Penciptaan Seni Film Eksperimental “Sweet Rahwana”
Editing adalah pemilihan gambar dari beberapa gambar yang tersedia dan selanjutnya disusun dalam suatu scene / sequence sehingga mampu menunjukkan suatu kontinuitas gambar yang baik dalam arti wajar dan logis serta dapat dinikmati oleh khalayak (Subroto, 1994). Editor berusaha memberikan keanekaragaman visual pada film melalui pemilihan shot, aransemen, dan timing secara ahli. Editor yang baik adalah mengetahui kapan memotong, menyambung, memberi musik, dan memberi efek pada gambar sesuai dengan porsinya. Monaco (1984) mendefinisikan bahwa editing adalah pekerjaan memilih gambar (selection) dari beberapa pengambilan gambar (take) yang tersedia, penentuan durasi shot (timing) pada setiap scene, menyusun kontinuitas visual dalam cerita lewat transisional, baik secara piktorial maupun suara dengan serasi, yaitu tindakan dengan memperpanjang atau memperpendek shot dalam suatu adegan sehingga dapat menghasilkan efek tertentu. Saat diterapkan di dalam film, menurut Eisenstein sebuah shot seharusnya tidak sekadar disambung dengan shot lain, namun harus dibenturkan/dikonflikkan (montage attraction) yang akan menghasilkan makna yang sama sekali baru. Teori ini dikenal dengan istilah Intelectual Montage (Karel Reisz & Gavin Millar Cit). Dasar pemikiran Eisenstein sesuai dengan ideologi yang dianut oleh negaranya, yaitu Marxisme, terutama Dialektika Materialisme. Dari pemikiran tersebut muncullah Teori Konflik, yaitu sebuah pemikiran (tesis) harus dibenturkan dengan pemikiran lain (antitesis) akan memunculkan pemikiran baru (sintesis). Sebagai contoh dasar pemikiran Eisenstein dengan menggunakan huruf Hieroglif dalam bahasa
Mesir Kuno, yaitu bila satu gambar disandingkan dengan gambar lain, akan menghasilkan makna lain. Contoh lain adalah huruf kanji China, 1 tanda mewakili 1 kata atau 1 suku kata sehingga misalnya bila disandingkan tanda A dengan tanda B akan berarti X, sedangkan bila tanda C disandingkan dengan tanda B akan berarti Z. Proses perwujudan karya seni film ini adalah melakukan kegiatan yang sudah terjadwalkan. Hal ini sesuai menurut Wurtzel(1995), Standard Operation Procedure (SOP) dibagi menjadi empat tahap yang disebut Four Stage of Television, namun dalam penggarapan film ini hanya menerapkan tiga tahap saja karena acaranya bukan bersifat live sehingga prosesnya tidak melalui tahap geladi bersih, tahapan yang dilalui adalah praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Karena film adalah sebuah karya berdasarkan hasil kerja kolaborasi, untuk mempermudah jalannya proses produksi akan dibagi ke dalam tiga tim, yakni tim praproduksi, tim produksi, dan tim pascaproduksi. Dikepalai oleh seorang produser pelaksana yang bertugas untuk mengawasi dan mengontrol jalannya proses produksi hingga selesai. Saat proses produksi akan menggunakan peralatan yang standar broadcast. Hal ini dimaksudkan supaya setelah film selesai diproduksi kualitas yang dihasilkan bagus. Pembahasan Berdasarkan metode yang digunakan dengan mengacu pada konsep yang sudah dipresentasikan sebelumnya, secara keseluruhan berjalan lancar walaupun tidak sesuai dengan jadwal. Hal ini bisa dijabarkan lebih detail sebagai berikut. Scene 1 menceritakan keberadaan Rahwana yang mulai mencemaskan sifat jahatnya dengan gerak tarian yang mencoba ingin melepaskan
Foto 3. Scene 1
30
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
sifat aslinya. Pergerakan tarian melepaskan lilitan kain yang berada di wajahnya. Dalam scene ini digunakan dua komposisi gambar, yaitu FS dan MS. Hal ini bertujuan untuk menggambarkan secara detail keberadaan tokoh yang berada dalam sebuah ruangan dan mencoba ingin melepaskan diri dari belenggu kejahatan. Penggunaan komposisi gambar MS yang dinamis tanpa menggunakan tripod bertujuan menggiring penonton untuk ikut merasakan emosi dari penari. Teknik editing yang digunakan adalah continuity cutting. Hal ini bertujuan untuk mengalirkan cerita dari adegan sebelumnya. Selain itu, juga untuk mengenalkan tokoh pada adegan selanjutnya karena gerakan yang dilakukan adalah kesinambungan, namun berbeda lokasi sehingga diperlukan bridging untuk menuju scene berikutnya. Pengerjaan scene satu mengalami beberapa kesulitan di luar rencana di antaranya adalah masalah teknis pencahayaan dikarenakan daya yang tersedia tidak mencukupi untuk menggunakan lighting yang sudah diset sehingga terpaksa harus mencari jalan keluar yakni mengganti lampu. Walaupun pada akhirnya bisa teratasi namun secara teknis hasil perekaman tidak sesuai dengan konsep awal. Dari segi pengadeganan juga kurang berhasil karena ekspresi dari penari terasa datar.
Scene 2 menceritakan kebingungan akan keberadaan dirinya karena secara tiba-tiba berada pada tempat yang berbeda meskipun lilitan kain di wajahnya sudah berhasil dilepaskan, namun justru semakin terkejut ketika mendapati raut wajahnya dalam cermin. Pengerjaan dalam scene ini cukup detail dengan menggunakan berbagai komposisi gambar yang tujuannya adalah sebagai penegasan karakter sang tokoh. Juga merupakan penanda dari adegan klimaks. Penggabungan gambar pada scene inilah yang dieksplorasi, yakni pada bagian adegan tangan berdarah yang secara langsung tidak ada kaitannya dengan adegan adegan sebelumnya. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai konstruksi editing sehingga diharapkan dengan pemunculan adegan tersebut penonton akan mendapatkan unsur dramatis sesuai dengan kaidah konstruksi editing. Yang perlu diperhatikan pada pengerjaan scene ini adalah masalah waktu yang menjadi sangat berharga ketika shooting mengandalkan available light, masalah yang muncul adalah kedisiplinan waktu yang sangat penting sehingga tidak kehilangan momen, tetapi justru sebaliknya pada saat jadwal sudah ditentukan dan cuaca juga sangat mendukung. Namun, kendala yang terjadi adalah keterlambatan pemain datang ke lokasi sehingga pada akhirnya
Foto 4. Scene 2
Foto 5. Scene 3
31
Hery Sasongko, Penciptaan Seni Film Eksperimental “Sweet Rahwana”
Foto 6. Scene 4
proses pengambilan gambar menjadi mundur dan sudah tidak ada cahaya matahari. Scene 3 menceritakan Rahwana mengalami puncak emosi sehingga pada akhirnya dia pun harus rela menerima keadaan yang terjadi. Komposisi gambar yang digunakan dalam scene ini adalah lebih menekankan pada konsep eksplorasi pengambilan gambar sehingga banyak menampilkan shot-shot yang dirasa cukup mengandung unsur dramatis. Salah satunya adalah komposisi gambar camera shake. Dari segi penyambungan gambar masih menggunakan konsep konstruksi editing, gambar yang disambungkan adalah cairan berwarna merah yang disimbolkan sebagai amarah. Selanjutnya gambar sehelai kain berwarna merah yang melilit tangannya juga disimbolkan bahwa amarah masih membelenggu dirinya. Pion catur yang menjadi foreground adalah simbol dari kekuasaan yang tidak bisa dilepaskan begitu juga dengan kursi yang letaknya paling tinggi. Pada scene 4 diceritakan bahwa Rahwana mengalami kejenuhan dari sifat-sifat jahatnya, yang secara manusiawi sejahat apa pun manusia pada suatu ketika akan mengalami titik balik meskipun sifatnya sementara, begitu juga dengan Rahwana. Dari segi pengambilan gambar masih dalam konsep yang sama, yakni Full Shot (FS) dan Medium Shot (MS) begitu juga dengan penyambungan gambarnya. Hanya saja pada akhir adegan dimunculkan gambar api secara bergantian dengan Rahwana dengan tempo yang cepat sebelum akhirnya kobaran api muncul secara utuh hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa sifat jahat Rahwana dimunculkan kembali dengan simbol kobaran api yang menyala.
32
Simpulan Wayang merupakan kesenian yang merefleksikan kehidupan manusia dan sifat-sifat manusia pada setiap tokohnya. Berbagai jenis wayang berkembang di Indonesia, di antaranya wayang kulit, wayang golek, dan wayang orang. Epos Ramayana merupakan salah satu cerita yang ada dalam dunia pewayangan. Dalam epos Ramayana, tokoh antagonis adalah Rahwana yang mempunyai sifat jahat. Film eksperimental sebagai salah satu genre film yang berkembang merupakan media yang bisa digunakan untuk menuangkan ide ke dalam bentuk audiovisual. Selain itu, film eksperimental juga bisa digunakan sebagai bentuk ekspresi dari rasa emosional pembuatnya. Karya film eksperimental ini merupakan karya seni di bidang audiovisual yang dibuat dengan tujuan melawan mainstream karya-karya film komersial yang semakin lama semakin tidak bermutu dan hanya berorientasi pada keuntungan materi semata dan tidak memedulikan identitas dan budaya yang kita miliki. Diharapkan dengan adanya film eksperimental ini dapat menjadi stimulan dan referensi baru bagi pecinta seni film pada khususnya dan generasi muda pada umumnya. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Drs. Alexandri Luthfi R., M.S. selaku dosen pengampu mata kuliah Penciptaan Videografi 3 di Program Pascasarjana ISI Yogyakarta yang telah memberi kritik pada karya ini.
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
Kepustakaan Allen, Ioan. Screen Size - The Impact on Picture & Sound, www.dolby.com Ayers, Rowan. 1992. Guide to Video Production. Sydney: AFTRS. BP SDM CITRA PPHUI.1997. Kamus Kecil Istilah Film. Jakarta: Yayasan Citra. Brownlow, Kevin. 1968. The Parade’s Gone By. London: Secker & Warburg. Daniel Chandler. The ‘Grammar’ of Television and Film, www.aber.ac.uk/media/Documents/ short/gramtv.html Effendy, Onong Uchjana. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remadja Karya. Griffith, D.W. 1993-2002. Microsoft® Encarta® Reference Library 2003. Microsoft Corporation. http://www.filmreference.com/Directors-Pe-Ri/ Pudovkin-Vsevolod.html#ixzz31BKibcRv Karel Reisz & Gavin Millar. 1968. The Technique of Film Editing. London: Focal Press Kristanto, JB . 2004a. “Nonton Film Nonton Indonesia”, Kompas Media Nusantara, Jakarta, http:// www.jurnal footage.com. Linndgent, Ernest. 1963. The Art of the Film. New York. Mascelli, Joseph V., A.S.C (Penerj.). 1987. AngleKontiniti-Editing-Close Up- Komposisi dalam Sinematografi. Jakarta: Yayasan Citra. Mc Luhan, Marshall. 1994. Understanding Media. UK: The Mit Press. Monaco, James (Penerj.). 1984. Cara Menghayati Sebuah Film 1. Jakarta: Yayasan Citra. Patricia, Holland. 1997. The Television Handbook. London: Routledge. Peters, J.M. Montage - Bij Film en Television. Harleem: Focus NV. Prakosa, Gatot. 1997. Film Pinggiran Antologi
Film Pendek, Film Eksperimental & Film Dokumenter. Jakarta: FFTV- IKJ & YLP. Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka. Pudovkin, Vseovolod I. 1949. New York: Film Technique and Film Acting. Rawung, Lidya Ivana. 2013. “Analisis Semiotika pada Film Laskar Pelangi” dalam Acta Diurna, Vol.1, No. 1 Universitas Sam Ratulangi:03-04. Reisz, Karel & Millar, Gavin. 1968. The Technique of Film Editing. London & New York: Focal Press. Sasongko, Hery. 2007. “Eksplorasi Teknik Editing pada Film Pendek Hanung Ing Larung”. [Skripsi]. Jurusan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam, ISI Yogyakarta Subroto, Darwanto Sastro. 1994. Produksi Acara Televisi. Yogyakarta: Duta Wacana Press. Thompson, Roy. 1993. Grammar Of the Edit. Oxford: Focal Press. Twentieth Century Fox articles on Cinemascope, SMPTE Journal, www.dolby.com Ungurait. Editing Device, FSU College of Communication, www.comm2.fsu.edu/ programs/comm/film/editing2.htm Vineyard, Jeremy. 2000. Setting Up Your Shots. California: Weise Production. Wibowo, Fred. 1993. Dasar-Dasar Produksi Program Televisi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Wright, Steve. 2001. Digital Compositing for Film and Video. USA: Butterworth-Heinemann. Wurtzel, Alan. 1994. Television Production. Boston and London: Focal Press. Zettl, Hebert. 1991. Television Production Handbook. California: Wadsworth Publishing Company Belmont.
33