____________________________________________________________________________________________________________________
PENAMPILAN SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF S. PRAYUGO , E. PURBOWATI dan S. DARTOSUKARNO Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
ABSTRACT Performance of Ongole Crossbreed and Limousin Crossbreed Cattle Raised on Intensive System The study was conducted to obtain performance of Ongole crossbreed (OC) and Limousin crossbreed (LC) cattle, raised on intensive system. Four males of OC cattle with initial weight 74 + 4,69 kg and four males of LC cattle with initial weight 91,25 + 12,62 kg, aged around 5-8 months, were used in this study. They were fed concentrate amount as 50% of dry matter (DM) requirement, and Napier grass ad libitum. The experiment was designed on Independent Sample Comparison, and the data were analyzed by the use t-test. The results showed that DM, crude protein (CP), total digestible nutrients (TDN) intake, average daily gain (ADG) and feed conversion were not signifficantly different (P>0,05) between the breeds. In OC cattle, the intake of DM, OM, CP and TDN were 2.77 kg; 2.31 kg; 0.33 kg; and 1.35 kg, respectively. In LC cattle, the intake of DM, OM, CP and TDN were 3.44 kg; 2.87 kg; 0.42 kg; and 1.60 kg, respectively. The digestibility of DM and OM on OC cattle were 52,57% and 61.15%, while in LC were 50.72% and 57.47%, respectively. ADG between OC cattle and LC cattle were 0.33 kg and 0.44 kg, respectively, while feed conversion were 8.53 and 7.77, respectively. It was concluded that the performance of OC and LC cattle raised on intensive system were not different. Key words: Ongole crossbreed, Limousin crossbreed, performance
PENDAHULUAN
disilangkan. Diharapkan hasil persilangannya akan menghasilkan sapi-sapi yang mempunyai penampilan produksi yang cukup baik dan tahan terhadap pakan dan lingkungan setempat. Indonesia adalah negara yang beriklim tropis basah, dimana suhu dan kelembaban relatif tinggi. Bangsabangsa sapi dari keturunan Bos indicus dan Bos taurus mempunyai tingkat perbedaan dalam beradaptasi terhadap lingkungan. Sapi-sapi yang mampu beradaptasi dengan lingkungan akan mempunyai penampilan produksi yang baik, sehingga potensial untuk dijadikan bakalan yang kemudian digemukkan untuk menghasilkan daging yang berkualitas. Perbedaan tingkat adaptasi terhadap lingkungan pada kedua bangsa sapi tersebut perlu dikaji lebih mendalam melalui suatu penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan produksi sapi Peranakan Ongole (PO) dan Peranakan Limousin (PL) jantan muda yang dipelihara secara intensif. Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah memberikan informasi tentang penampilan produksi sapi PO dan sapi PL jantan muda yang dipelihara secara intensif, khususnya kepada peternak dan umumnya kepada berbagai pihak yang berkecimpung di dunia peternakan.
Peningkatan produktivitas sapi perlu dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat yang terus meningkat. Pada umumnya usaha peningkatan produktivitas ternak dilakukan dengan pengadaan bibit yang bagus, pakan yang berkualitas dan manajemen pemeliharaan yang baik. Bibit yang baik adalah sapi yang mempunyai penampilan produksi dan reproduksi yang baik. Perbaikan mutu bibit sapi dapat dilakukan dengan mendatangkan pejantan unggul atau semen beku yang kemudian diinseminasikan kepada sapi betina lokal. Menurut SASIMOW (1987), faktor genetik dari tetua akan diturunkan kepada anaknya dengan proporsi sekitar 30% dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Bangsa sapi potong yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah sapi Peranakan Ongole (PO) yang merupakan keturunan Bos indicus. Sapi PO yang ada di Indonesia mempunyai karakteristik sebagai ternak kerja yang baik, bertenaga kuat, ukuran badannya besar, dan tahan panas. Bangsa sapi lain yang mulai diminati sebagai sapi potong adalah sapi-sapi Eropa (Bos taurus) dan peranakannya, salah satu diantaranya adalah sapi Limousin. Keunggulan sapi Limousin adalah cepat dewasa tubuh, pertumbuhannya cepat dan kualitas MATERI DAN METODE karkasnya baik. Namun demikian sapi tersebut kurang dapat berkembang dan beradaptasi dengan baik di daerah Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu tropik basah. Oleh karena itu untuk mendapatkan tipe bangsa yang baik dan dapat beradaptasi dengan Ternak Potong dan Kerja, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang selama 16 minggu. lingkungan, di Indonesia sapi-sapi tersebut sebaiknya _____________________________________________________________________________________________ 240
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian Kandungan nutrisi dalam 100% BK Bahan pakan Rumput gajah
BK PK Abu SK LK BETN NaCl ---------------------------------------------- (%) --------------------------------------------61,59 10.15 9,08 23,51 1,04 56,22 -
Konsentrat
90,10
14,15
Materi yang digunakan adalah 4 (empat) ekor sapi PO dengan bobot hidup awal 78,50 ± 4,69 kg dan 4 (empat) ekor sapi PL dengan bobot hidup awal 91,25 ± 12,62 kg, masing-masing berjenis kelamin jantan dan berumur 5-8 bulan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah “independent sample comparison”, yaitu membanding-kan 2 kelompok dengan data yang beragam (STEEL dan TORRIE, 1991). Kelompok yang dibandingkan adalah sapi PO dan PL dengan 4 (empat) pasang materi. Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput gajah kering (Pennisetum purpureum) dengan kadar air 48,41% dan konsentrat yang terdiri dari 75% konsentrat BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) dan 25% ampas kecap. Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian pada Tabel 1. Bahan pakan yang diberikan disusun sesuai dengan kebutuhan sapi menurut KEARL (1982). Konsentrat diberikan sebanyak 50% dari kebutuhan BK, sedangkan rumput gajah dan air minum diberikan secara ad libitum. Jumlah BK yang diberikan sebanyak 3% bobot hidup pada masing-masing bangsa sapi. Penelitian dibagi dalam 4 (empat) tahap, yaitu tahap persiapan (1 minggu), adaptasi (3 minggu), pendahuluan (2 minggu) dan pengamatan (10 minggu). Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan adalah persiapan kandang, alat-alat penelitian, pemberian obat cacing merk “Vermiprazol” dengan dosis 15 ml/ekor dan analisis bahan pakan penelitian. Pada tahap adaptasi, ternak diberikan pakan yang akan dicobakan secara bertahap untuk membiasakan sapi mengkonsumsi bahan pakan tersebut. Tahap pendahuluan dimulai dengan pengacakan sapi terhadap penempatan dalam kandang dan pakan yang diberikan agar sesuai dengan kebutuhannya. Pada akhir tahap pendahuluan dilakukan penimbangan bobot hidup untuk mengetahui bobot hidup awal sapi penelitian. Kegiatan yang dilakukan pada tahap pengamatan adalah pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan ternak dan penimbangan sapi setiap 1 (satu) minggu sekali, serta koleksi feses menurut TERADA et al. (1982) selama 4 (empat) hari pada minggu ke-1 dan minggu ke-2. Penimbangan sapi bertujuan untuk menyesuaikan kebutuhan pakannya dan mengetahui pertambahan bobot hidup. Konsentrat diberikan 2 (dua) kali sehari, yaitu pada pukul 07.00
24,51
28,50
5,05
27,79
10,93
dan 15.30 WIB, sedangkan rumput gajah diberikan mulai pukul 09.00 secara ad libitum. Penimbangan sisa pakan dilakukan sehari sekali pada pagi hari. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi pakan (BK, BO, protein kasar dan TDN), kecernaan pakan (BK dan BO), pertambahan bobot hidup harian (PBHH), dan konversi pakan. Konsumsi bahan kering (BK) dihitung atas dasar selisih antara jumlah pakan yang diberikan dengan jumlah pakan yang tersisa dikalikan kadar BK pakan tersebut. Konsumsi protein diketahui dengan mengalikan kadar protein kasar pakan tersebut dengan konsumsi BK, begitu juga dengan konsumsi TDN. “Total Digestible Nutrients” (TDN) dihitung berdasarkan petunjuk A NGGORODI (1994). Daya cerna pakan dihitung berdasarkan petunjuk W ILKINSON (1985). Pertambahan bobot hidup dihitung dengan menyelisih-kan bobot hidup awal dengan bobot hidup akhir dibagi lama waktu pengamatan. Konversi pakan dihitung berdasarkan jumlah BK yang dikonsumsi dibagi pertambahan bobot hidup selama waktu pengamatan. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan diuji dengan uji t-student menurut petunjuk SUDJANA (1989). Pada minggu ke-4 tahap pengamatan, sapi PL ulangan ke-3 mengalami sakit pernafasan, sehingga data konsumsi pakan, PBHH dan konversi pakan tidak diikutkan dalam perhitungan uji t-student, sedangkan untuk data daya cerna tetap diikutkan karena koleksi feses dilakukan pada minggu ke-1 dan ke-2 tahap pengamatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi pakan
Rata-rata konsumsi pakan (BK, BO, PK dan TDN) hasil penelitian ditampilkan pada Tabel 2. Konsumsi BK pakan (total, rumput dan konsentrat) pada kedua bangsa sapi tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal ini berarti kedua bangsa sapi mempunyai kemampuan yang sama dalam mengkonsumsi pakan yamg diberikan, berupa rumput gajah dan konsentrat. Kemampuan yang sama dalam mengkonsumsi BK pakan ini diduga disebabkan oleh kualitas dan bentuk fisik pakan yang diberikan pada kedua bangsa sapi _____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
241
____________________________________________________________________________________________________________________
sama. Dugaan ini berdasarkan pendapat PARAKKASI (1999), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan pada ternak ruminansia adalah sifat fisik dan kimia pakan. Konsumsi BK total pada sapi PO sebanyak 2,77 kg/hari atau setara dengan 3,21% BH, hampir sesuai dengan kebutuhan BK pakan yang direkomendasikan KEARL (1982) untuk sapi dengan BH yang sama dan target PBHH 0,5 kg, yaitu sebanyak 2,78 kg/hari. Pada sapi PL, konsumsi BK total sebanyak 3,44 kg/hari atau setara dengan 3,43% BH-nya, sudah melebihi kebutuhan BK pakan yang direkomendasikan oleh KEARL (1982) untuk sapi dengan BH yang sama dan target PBHH 0,5 kg, yaitu sebanyak 2,97 kg/hari. Tabel 2. Rata-rata konsumsi BK, BO, PK dan TDN harian Parameter
Konsumsi BK total Konsumsi BK rumput Konsumsi BK konsentrat Konsumsi BO Konsumsi PK Konsumsi TDN
Bangsa sapi PO PL ---------------- (kg) -------------2,77 3,44 1,56 1,76 1,21 1,68 2,31 2,87 0,33 0,42 1,35 1,60
Tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05)
Perbandingan konsumsi rumput dan konsentrat berdasarkan BK pada sapi PO adalah 56,32% : 43,68% dan pada sapi PL 51,07% : 49,27%. Persentase BK konsentrat yang dikonsumsi oleh sapi PL lebih mendekati jumlah pemberian sebesar 50% dari kebutuhan BK total. Hal ini menunjukkan, bahwa sapi PL lebih menyukai konsentrat daripada sapi PO. Menurut PARAKKASI (1999), konsumsi pakan juga dipengaruhi oleh tingkat palatabilitas ternak terhadap pakan yang diberikan. Oleh karena sapi PL mampu mengkonsumsi konsentrat sekitar 50% dari kebutuhan BK-nya, maka kekurangannya dipenuhi dari rumput, sedangkan pada sapi PO, konsentrat yang dikonsumsi kurang dari 50% kebutuhan BK, sehingga untuk memenuhi kebutuhan BK, sapi PO mengkonsumsi rumput lebih banyak. Hal ini dapat dilakukan, karena rumput diberikan secara ad libitum. Konsumsi BO, PK dan TDN pada kedua bangsa sapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Tidak berbeda nyatanya konsumsi BO, PK dan TDN pada kedua bangsa sapi erat kaitannya dengan konsumsi BK yang tidak berbeda nyata pula. Menurut TILLMAN et al. (1998), konsumsi BK pakan memegang peranan penting, karena dari BK pakan tersebut, ternak memperoleh zat-zat nutrisi penting, seperti energi, protein, vitamin dan mineral.
Konsumsi PK pada sapi PO belum mencapai kebutuhan yang direkomendasikan KEARL (1982) sebanyak 0,36 kg/hari untuk target PBHH 0,5 kg pada rata-rata bobot hidup yang sama, namun pada sapi PL konsumsi PK sudah memenuhi kebutuhan sebanyak 0,38 kg/hari untuk target PBHH 0,5 kg pada rata-rata bobot hidup yang sama. Demikian pula halnya dengan konsumsi TDN. Konsumsi TDN pada sapi PO belum memenuhi kebutuhan yang direkomendasikan oleh KEARL (1982) sebanyak 1,48 kg/hari, sedangkan konsumsi TDN pada sapi PL sudah memenuhi kebutuhan yang direkomendasikan oleh KEARL (1982) sebanyak 1,59 kg/hari pada PBHH 0,5 kg dan bobot hidup rata-rata yang sama. Hal ini dikarenakan bahan pakan konsentrat yang merupakan bahan pakan sumber protein dan energi yang mudah dicerna dikonsumsi oleh sapi PO lebih sedikit daripada sapi PL. Konsumsi garam dapur (NaCl) pada kedua bangsa sapi sekitar 0,125% dari total ransum. Menurut NEUMANN dan LUSBY (1986), batas aman konsumsi garam dapur bagi sapi adalah 0,3% dari total ransum. Menurut CAMPBELL dan LASLEY (1985), garam dapur berfungsi untuk menstimulasi sekresi saliva dan membantu berfungsinya enzim diastatik , sehingga konsumsi pakan meningkat. Lebih lanjut dijelaskan, bila konsumsi garam dapur terlalu tinggi akan menimbulkan sekresi sodium chlorida meningkat, sehingga konsumsi air minumnya meningkat dan retensi air meningkat, sehingga terjadi oedema. Kecernaan pakan Kecernaan pakan, pertambahan bobot hidup harian dan konversi pakan pada kedua bangsa sapi disajikan pada Tabel 3. Kecernaan pakan, baik BK ataupun BO, pada kedua bangsa sapi tidak berbeda nyata (P>0,05). Kecernaan BK dan BO pada sapi PO adalah 52,57% dan 61,15%, sedangkan pada sapi PL adalah 50,72% dan 57,47%. Persamaan kecernaan pakan pada kedua bangsa sapi disebabkan oleh komposisi, bentuk fisik dan konsumsi pakan yang tidak berbeda. Menurut CAMPBELL dan LASLEY (1985), kecernaan pakan dipengaruhi oleh lingkungan, derajat pakan, laju pakan dalam saluran pencernaan dan pemanasan bahan pakan. Menurut PARAKKASI (1999), daya cerna sapi terhadap pakan hijauan adalah 65-85%, sedangkan bila konsentrat ditingkatkan, kecernaannya menjadi 70%. Rendahnya nilai kecernaan pakan pada penelitian ini disebabkan rumput yang diberikan dipanen pada musim kemarau, sehingga kadar serat kasarnya relatif tinggi (23,51%). Menurut BAWONO (1991), kandungan serat kasar rumput gajah yang dipanen pada musim penghujan adalah 13,47%. A NGGORODI (1994) menyatakan, bahwa semakin tinggi kandungan serat kasar bahan pakan, maka akan semakin rendah pula daya cerna ternak terhadap bahan pakan tersebut. Serat
_____________________________________________________________________________________________ 242
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ kasar mengandung lignin, sehingga semakin tinggi kandungan serat kasar bahan pakan, dimungkinkan kandungan ligninnya juga meningkat. Menurut A RORA (1995), lignin tidak dapat dicerna oleh ternak ruminansia. Lignin juga dapat mengurangi kecernaan karbohidrat melalui pembentukan ikatan hidrogen pada sisikritis, sehingga memb atasi aktivitas mikrobia selulase. Tabel 3. Pertambahan bobot hidup harian dan konversi pakan Bangsa sapi
Parameter PO
PL
Kecernaan BK (%)
52,57
50,72
Kecernaan BO (%)
61,15
57,47
PBHH (kg)
0,33
0,43
Konversi Pakan
8,53
7,77
Tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05)
Rendahnya kecernaan BK dan BO pada kedua bangsa sapi pada penelitian ini juga disebabkan oleh rumput gajah yang disajikan dalam bentuk kering. Menurut A NGGORODI (1994), kecernaan rumput kering lebih rendah bila dibandingkan rumput segar. Rumput kering membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan rumput segar dalam pengunyahan dan pencernaan, karena rumput kering lebih keras.
dilaksanakan pada musim kemarau, sehingga suhu dan kelembaban relatif tinggi. Suhu dan kelembaban lingkungan rata-rata saat penelitian yaitu 29,68o C (2236,5o C) dan 81,71% (63-97%). Menurut PARAKKASI (1999), efisiensi pakan akan menurun pada suhu di atas optimum. Menurut KUSNADI et al. (1992), suhu lingkungan untuk pemeliharaan sapi di Indonesia adalah 18-28o C. Kisaran suhu dan kelembaban yang nyaman bagi Bos indicus adalah 10-26,67o C dan 95%, sedangkan bagi Bos taurus di bawah 15o C dan 80% (CAMPBELL dan LASLEY, 1985). Lebih lanjut dijelaskan, bahwa pada kisaran suhu di atas normal akan berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap produktivitas ternak. Pengaruh langsung adalah perubahan tingkah laku, penurunan konsumsi pakan, dan peningkatkan konsumsi minum serta terjadi penurunan efisiensi pakan. Pengaruh tidak langsung adalah menurunnya kualitas hijauan, serta meningkatnya penyakit dan parasit pada ternak. Tingginya suhu lingkungan juga ditandai dengan tingginya konsumsi air minum pada kedua bangsa sapi, yaitu 12,87 l/ekor/hari pada sapi PO dan 24,56 l/ekor/hari pada sapi PL. Menurut M CDOWELL (1972), konsumsi air minum pada sapi dengan bobot badan 100 kg yang dipelihara pada suhu lingkungan 30o C adalah 9,1 l/ekor/hari. Sapi PL lebih banyak mengkonsumsi air minum dibandingkan dengan sapi PO, karena daya adaptasi terhadap panas pada sapi PL lebih rendah dibandingkan sapi PO. Menurut W ILLIAMSON dan PAYNE (1993), air minum membantu pelepasan panas tubuh melalui konduksi dan konveksi.
Pertambahan bobot hidup harian Hasil PBHH pada sapi PO (0,33 kg) dan sapi PL (0,43 kg) tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) pula dalam konsumsi dan kecernaan pakan pada kedua bangsa sapi tersebut. Menurut TILLMAN et al. (1998), faktor pakan sangat menentukan pertumbuhan, bila kualitasnya baik dan diberikan dalam jumlah yang cukup, maka pertumbuhannya akan menjadi cepat, demikian pula sebaliknya. Pertambahan bobot hidup harian sapi PL pada penelitian ini lebih baik dari yang dilaporkan oleh THALIB (1991), bahwa PBHH pada sapi PO dan sapi PL yang dipelihara secara ekstensif pada umur 205 sampai 365 hari adalah 0,34 dan 0,22 kg. Hal ini disebabkan karena perbedaan sistem pemeliharaan, sehingga pemenuhan kebutuhan nutrisi pada sapi penelitian yang dipelihara secara intensif lebih tercukupi dibandingkan dengan sistem ekstensif. Pertambahan bobot hidup harian kedua bangsa sapi penelitian masih di bawah target yang diinginkan, yaitu 0,5 kg. Pertambahan bobot hidup harian pada sapi PO baru mencapai 66% dan sapi PL 88% dari target yang ditetapkan. Hal ini diduga dikarenakan penelitian
Konversi pakan Konversi pakan pada kedua bangsa sapi tidak berbeda nyata (P>0,05). Angka konversi pakan pada sapi PO dan sapi PL masing-masing adalah 8,53 dan 7,77. Konversi pakan sapi PO pada penelitian ini masih lebih baik dari hasil penelitian KUSNADI et al. (1992), bahwa konversi pakan pada sapi PO umur 5-7 bulan dengan bobot hidup rata-rata 170 kg yang mendapat 100% hijauan adalah 15,89. Pemberian konsentrat sebanyak 50% dari kebutuhan BK pada penelitian ini ternyata dapat memperbaiki nilai konversi pakan. Konversi pakan sapi PL pada penelitian ini juga masih lebih baik dengan yang dilaporkan JUERGENSON (1980), bahwa konversi pakan pada sapi Persilangan Limousin adalah 7,90. Konversi pakan pada kedua bangsa sapi secara umum masih dalam kisaran yang normal, sesuai pendapat PARAKKASI (1999), bahwa konversi pakan pada sapi potong adalah 6,38-8,02. Konversi pakan pada sapi potong menurut W ILKINSON (1985) adalah 7,66-7,98. Konversi pakan yang sama pada kedua bangsa sapi disebabkan oleh karena jenis dan kualitas bahan pakan
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
243
____________________________________________________________________________________________________________________
yang diberikan sama. Penyebab lain adalah tidak terdapat adanya perbedaan yang nyata (P>0,05) pada kecernaan pakan untuk kedua bangsa sapi. Menurut CAMPBELL dan LASLEY (1985), konversi pakan dipengaruhi oleh kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, kecukupan zat pakan untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh lain serta jenis pakan yang dikonsumsi. KESIMPULAN Penampilan produksi sapi PO dan sapi PL jantan muda yang dipelihara secara intensif adalah sama. Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah mengamati penampilan produksi sapi PO dan PL di musim penghujan dengan pemberian pakan yang berbeda bentuk fisiknya maupun kualitasnya. DAFTAR PUSTAKA ANGGORODI , R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta ARORA , S.P. 1995. Pencernaan Mikrobia pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh: R. M URWANI) BAWONO , N.A. 1991. Hubungan antara Umur, Bobot Badan dan Konsumsi Bahan Kering Pakan dengan Berat Jenis Susu Sapi Perah Peranakan Friesian holstein (Kasus pada Perusahaan Sapi Perah PT Perperin Salib Putih Salatiga). Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang (Skripsi Sarjana Peternakan). CAMPBELL , J.R. and J.F. LASLEY . 1985. The Science of Animal that Serve Humanity. 2nd Ed., T ATA M CGRAWHill Publishing Co. Ltd., New Delhi. JUERGENSON , E.M. 1980. Approxed Practices in Beef Cattle Production. The Interstate Printer and Publisher Ltd., Danville, Illinois. KEARL , L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing Countries. International Feedstuff Institute
Utah Agriculture Experimants Station. Utah State University, Logan. KUSNADI, U., M. SABRANI, M. WINUGROHO , S. ISKANDAR, U. NUSCHATI dan D. SUGANDI . 1992. Usaha Penggemukan Sapi Potong di Dataran Tinggi Wonosobo. Dalam: Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Ruminansia Besar. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Hlm: 24-28. M CDOWELL , R.E. 1972. Improvement of Livestock Productions in Warm Climates. W.H. Freeman and Company, San Francisco. NEUMANN , A.L. dan K.S. LUSBY . 1986. Beef Cattle. 8th Ed., John Wiley and Sons Inc., Canada. PARAKKASI, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. SASIMOW, E. 1987. Animal Breeding and Production an Outline. Polish Scientific Publishers, Warszawa, Poland. STEEL, R.G.D. and J.H. T ORRIE. 1991. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. 2nd Ed., McGraw-Hill International Book Company, Tokyo. SUDJANA. 1989. Metoda Statistika. Ed. ke-5. Tarsito, Bandung. T ERADA , F., R. TANO , K. IWASAKI and T. HARYU . 1982. The Influence of The Length of Preliminary and Collection Periods on The Variation of Digestibilities in Goats. Jap. J. Zootech. Sci. 53 (1): 29-32 T HALIB, C. 1991. Produktivitas Pedet Peranakan Ongole dan Silangannya dengan Brahman, Limousin Pertumbuhan pada Umur 205 Hari sampai 365 Hari. Ilmu dan Peternakan 4 (4): 384-388. T ILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO , S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO . 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. WILKINSON, J.M. 1985. Beef Production on Silage and Other Conserved Forages. Longman Group Ltd., London. WILLIAMSON, G. dan W.J.A. PAYNE . 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogy akarta (Diterjemahkan oleh: S.G.N.D. DARMADJA ).
DISKUSI Pertanyaan: Pertambahan bobot hidup harian PO=0,33, PL=0,43 tidak nyata perbedaannya, apakah berat awalnya berbeda? Jumlah yang terlalu sedikit menyebabkan potensi genetik tidak muncul, bagaimana pendapat Saudara? Jawaban: Bobot hidup awal pada sapi PO dan PL pada kegiatan ini, tidak berbeda nyata, demikian juga tidak ada perbedaan umur 5-8 bulan. Pada umur yang sama, bisa menghasilkan bobot hidup yang berbeda. Materi hanya 4 ekor dan ini hanya sebagai penelitian awal. Sapi PO darah Ongolenya minimal 50%, tidak diuji secara laboratorium dan penelitian ini hanya mengamati performansnya ternyata setelah diuji secara statistik tidak ada perbedaan pertumbuhannya. _____________________________________________________________________________________________ 244
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003