Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
ISSN: 2089-9815
PEMODELAN SPATIAL AUTOCORRELATION KONDISI KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN DI KABUPATEN KLATEN Wiwin Sulistyo1, Edi Winarko2 Program Studi Teknik Informatika, FTI, Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga, Jawa Tengah 50711, Telp. (0298) 321212 ext. 274 2 Jurusan Ilmu Komputer dan Elektronika, FMIPA, UGM Sekip Utara, Yogyakarta 55281, Telp. (0274) 552243, fax. (0274) 55131 E-mail:
[email protected],
[email protected] 1
ABSTRAKS Pemerintah telah menetapkan dalam FSVA 2010 bahwa indikator ketahanan pangan meliputi ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagi aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan. Dalam penentuan peta ketahanan pangan dilakukan dengan menghitung nilai indeks ketahanan pangan komposit (IFI) berdasarkan indikator-indikator ketahanan pangan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Hal yang menarik pada permasalahan ini adalah sejauh mana secara spasial kondisi ketahanan pangan suatu daerah tertentu memiliki konektivitas dengan daerah yang lain. Metode Getis-Ord’s merupakan salah satu pendekatan statistik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi korelasi spasial berdasarkan atribut-atributnya suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan analisis spatial autocorrelation antar kecamatan di daerah Kabupaten Klaten berdasarkan indeks ketahanan pangan komposit (IFI) dengan menggunakan Metode Getis and Ord’s. Kata Kunci: fsva, getis and ord’s, spatial autocorrelation di Kecamatan Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan (Suhartono, 2010). Beberapa penelitian lain juga dilakukan untuk menetapkan kondisi ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dan wilayah dengan studi kasus Desa Srimartani, Piyungan Bantul, Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut dibangun sistem pendukung keputusan (SPK) yang dapat melakukan pemetaan kondisi ketahanan pangan di wilayah tersebut (Erniati dkk, 2013). Selain itu, terdapat penelitian yang mengkaji pengaruh ketersediaan pangan pada daerah surplus pangan dengan pendekatan Partial Least Square Path Modeling (Mun’im, 2012). Pada penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor akses serta penyerapan pangan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pengan di kabupaten surplus pangan pada tahun 2007. Ketersediaan beras di Provinsi Sulawesi Tengah juga disebutkan memiliki kemampuan untuk memenuhi sekitar 65 persen kebutuhan beras kedepan, sehingga kondisi ketersediaan pangan di provinsi tersebut sangan aman (Lelono, 2011). Pada saat ini kondisi pangan di Indonesia menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Tengah, menyebutkan bahwa terjadi peningkatan produksi pangan dari tahun ketahun. Seperti yang terlihat pada Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (A Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia (FSVA)) Provinsi Jawa Tengah tahun 2010, terlihat kondisi masing-masing daerah (berdasarkan kabupaten) sesuai dengan warna yang diberikan, dimana pada peta tersebut
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara garis besar ditegaskan bahwa kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan faktor lingkungan pertanian (agro-environmental), sosial ekonomi, biologi dan politik (Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah, 2011)( Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI, WFP, 2009). Selanjutnya kerangka konsep kerentanan/kerawanan pangan dibagi dalam dua sifat, yakni kerentanan kronis dan kerentanan sementara/transien. Kerentanan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum, yang biasanya diakibatkan oleh faktor iklim, jenis tanah, sistem pemerintahan, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Sedangkan kerentanan sementara/transien merupakan kondisi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan minimum dalam jangka pendek, yang biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti, penyakit, bencana alam, migrasi, pengungsian, dan lain-lain. Selanjutnya, setiap komponen ketahananan pangan diatas dirumuskan dalam 13 indikator yakni 9 indikator kerentanan kronis dan 4 indikator kerentanan transien. Meskipun demikian, pada kenyataannya tidak semua wilayah Indonesia dapat secara tepat menggunakan indikator yang telah ditentukan pemerintah tersebut, seperti yang terjadi 35
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
menggambarkan bahwa seluruh kabupaten di Jawa Tengah yang berwarna hijau tua yang menunjukkan kondisi sangat tahan pangan, kecuali satu kabupaten yaitu Brebes yang berwarna hijau muda yang menunjukkan kondisi tahan pangan pada daerah tersebut (Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah, 2011). Tetapi pada kenyataannya bahwa Provinsi Jawa Tengah, masih mendatangkan beras (impor) dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan daerah tersebut. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Kepala Bulog Drive Jawa Tengah Hari Susetyo yang dimuat pada Bisnis Indonesia (yang diterbitkan 6 Januari 2012), bahwa pada Bulan September 2011 terjadi impor beras dari Vietnam masuk ke Kabupaten Kudus sebanyak 2.750 ton. Pada kesempatan yang sama juga diungkapkan bahwa impor beras juga diperlukan untuk memperkuat stok beras di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, dengan memperhatikan beberapa kondisi wilayah Kabupaten Klaten yang sebagian wilayahnya masuk dalam zona rawan bencana alam yakni letusan Gunung Merapi dan gempa bumi, maupun serangan hama penyakit tanaman pangan (Wereng Batang Coklat (WBC), tikus, hingga virus male) serta adanya alih fungsi lahan, maka sangat mengancam jumlah produksi pertanian di Kabupaten Klaten. Sehingga hal ini dapat mempengaruhi ketersediaan pangan yang akan berpotensi menjadi kerawanan pangan kronis. Provinsi Jawa Tengah pada musim tanam tahun 2010/2011, merupakan daerah tertinggi terjadi serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang berjenis Wereng Batang Coklat (WBC). Di Jawa Tengah terdapat 28 Kabupaten/kota dengan wilayah serangan tertinggi meliputi Kabupaten Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, Karanganyar dan Wonogiri. Hal ini juga diakibatkan karena adanya faktor konektivitas spasial antara daerah yang satu dengan daerah yang lain yang saling mempengaruhi (Prasetyo dkk, 2012). Sehingga dapat dilihat bahwa kondisi suatu daerah dapat mempengaruhi daerah yang lain yang memberikan dampak pada kondisi ketahanan pangan suatu daerah. Undang-Undang nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, disebutkan pada pasal 1 ayat 2, Geospasial atau ruang kebumian adalah “aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu”. Oleh sebab itu, perlu adanya metode yang dapat digunakan untuk melakukan pengolahan secara geospasial pada kondisi ketahanan dan kerentanan pangan sehingga dapat diketahui keterhubungan secara spasial antara satu daerah dengan daerah lain. Getis dan Ord (1996) mengembangkan penggunaan statistik lokal untuk mengukur pola dan intensitas penyebaran penyakit jauh dari inti hotspot dengan memperkirakan serangkaian statistik lokal pada periode waktu yang
ISSN: 2089-9815
berbeda (Getis dkk, 1996). Statistik lokal dapat digunakan untuk memperkirakan intensitas penyakit pada variabel jarak dari lokasi inti, dan kemudian dimensi waktu dapat digunakan untuk memperkirakan laju penyebarannya. Getis dan Ord (1998) menggunakan Gi(d) statistik untuk melacak penyebaran AIDS jauh dari San Francisco (Getis dkk, 1998). Gi* statistik juga pernah digunakan untuk membandingkan dan memvalidasi hasil analisis menggunakan morans pada kasus serangan WBC di provinsi Jawa Tengah (Prasetyo dkk, 2012). Dari analisis Getis-Ord ini diharapkan akan mendapatkan hasil berupa identifikasi neighbour yang menyatakan hubungan antar komponen/variable yang ada, sehingga dapat menjelaskan kondisi keterhubungan antar kecamatan di wilayah Kabupaten Klaten. Oleh sebab itu, menjadi hal yang sangat penting untuk menganalisis keterhubungan kondisi ketahanan dan kerentanan pangan suatu daerah dengan daerah yang lain di wilayah Kabupaten Klaten. Sehingga pada paper ini membahas terkait spatial autocorrelation atau konektivitas spasial antar wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten berdasarkan nilai indeks ketahanan pangan komposit (IFI) menggunakan Metode Getis-Ord. 1.2 Tinjauan Pustaka 1.2.1 Konsep Ketahanan Pangan Ketahanan pangan adalah kondisi dimana semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat (Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah, 2011). Menurut Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang termasuk pangan meliputi produk serealia, kacangkacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buahbuahan, rempah, gula, dan produk hewani. Selanjutnya yang dimaksud dengan pangan disini adalah kebutuhan utama dari kebutuhan kalori harian yang berasal dari sumber kalori karbohidrat yaitu sekitar separuh dari kebutuhan energi per orang per hari. Sehingga analisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serelia yaitu padi, jagung dan umbiumbian (umbi kayu dan jalar). Inilah yang digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten. Oleh sebab itu dalam analisis ini, memakai 300 gram sebagai nilai konsumsi normatif (konsumsi yang direkomendasikan). Rasio Konsumsi Normatif Beras terhadap Produksi Bersih Per Kapita adalah salah satu indikator penentu tingkat kerawanan pangan. Perhitungan nilai rasio ini didasarkan pada total konsumsi beras normatif (100 kg/tahun/kapita) di suatu kabupaten dengan total produksi beras di kabupaten tersebut. 36
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) disusun beradasarkan 3 komponen utama yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk mencapai kondisi katahanan pangan, yakni Kecukupan ketersediaan pangan, Asesibilitas terhadap pangan dan Pemanfaatan pangan seperti pada Tabel 1.
ISSN: 2089-9815
Tabel 2. Variabel Indeks Variabel Keterangan indeks rasio ketersediaan IAV pangan indeks Persentase penduduk IBPL hidup di bawah garis kemiskinan indeks Persentase desa yang IROAD tidak memiliki akses penghubung yang memadai Indeks Persentase rumah IELEC tangga tanpa akses listrik indeks presentase Perempuan ILIT buta huruf indeks angka harapan hidup ILEX pada bayi saat lahir indeks presentase Berat badan INUT balita di bawah standar indeks presentase rumah IWATER tangga tanpa kases ke air bersih indeks presentase rumah IHEALTH tangga yang tinggal lebih dari 5 KM dari fasilitas kesehatan
Tabel 1. Indikator Ketahanan dan Kerentanan Pangan Jawa Tengah (Sumber: BKP, 2011) Indikator 1. Rasio konsumsi normatif Ketersediaan per kapita terhadap Pangan ketersediaan bersih ‘padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar Akses Pangan 2. Persentase penduduk hidup di bawah garis dan kemiskinan Penghidupan 3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai 4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 5. Angka harapan hidup Pemanfaatan pada bayi saat lahir Pangan 6. Berat badan balita di bawah standar (Underweight) 7. Perempuan buta huruf 8. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih 9. Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan
Nilai IFI dihitung berdasarkan rata-rata nilai jumlah dari 9 indeks indikator ketahanan pangan tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan nilai IFI tersebut, maka selanjutnya dilakukan pemetaan pola spasial pada setiap kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Klaten. 1.2.2 Metode Statistik Getis-Ord Getis-Ord menggunakan pendekatan statistik untuk mengukur hubungan spasial dengan menggunakan matriks berdasarkan jarak wilayah. Metode Statistik Getis-Ord digunakan untuk mengukur seberapa tinggi atau rendah nilai pemusatan data pada suatu wilayah tertentu. Statistik Gi* merupakan indikator pengelompokan lokal yang mengukur 'konsentrasi' dari variabel atribut X di seluruh wilayah i yang terdistribusi secara spasial (Getis dkk, 1996)(Getis dkk, 1992). Statistik tersebut mengukur tingkat pengelompokan (pemusatan) yang merupakan hasil dari poin bobot konsentrasi (atau area yang direperentasikan sebagai suatu bobot) dan seluruh poin bobot yang lain yang termasuk dalam radius jarak d dari point bobot asal (Getis dkk, 1992). Secara umum Gi*statistic dari asosiasi spasial keseluruhan dinyatakan sebagai berikut:
Indeks ketahanan pangan komposit (IFI) merupakan nilai yang digunakan untuk menentukan kondisi tingkat ketahanan dan kerawanan pangan suatu daerah serta faktor-faktor penyebabnya yang disusun dalm tingkat prioritas. Berdasarkan nilai IFI tersebut maka dapat ditentukan suatu daerah termasuk dalam prioritas tertentu, dimana terdapat 6 prioritas (prioritas 1 sampai dengan prioritas 6), semakin tinggi priotitasnya maka suatu daerah memiliki ketahanan pangan yang lebih baik. Selain itu, priritas ini juga digunakan untuk membantu dalam menentukan kebijakan ketahanan pangan, karena pada setiap prioritas terdapat faktor-faktor yang menjelaskan penyebab kerawanan pangan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung Indeks ketahanan pangan komposit (IFI) adalah sebagai berikut:
𝐺𝑖∗
=
𝑛 𝑗 =1 𝑤𝑖𝑗 𝑑 𝑛 𝑗 =1 𝑥𝑗
𝑥𝑗
(2)
Berdasarkan persamaan (2), wij adalah elemen spatial weight matrix dan (d) adalah elemen jarak antar objek spasial, sedangkan xj merupakan nilai atribut untuk fitur j dalam jarak d. Untuk nilai ekspektasi dari Gi* dihitung dengan membagi nilai
(1) Dimana penjelasan pada masing-masing variabel seperti pada tabel 2 (Pinem dkk, 2012): 37
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
wij dengan variabel n (jumlah data), dengan persamaan sebagai berikut:
𝐸 𝐺𝑖∗ =
𝑤𝑖𝑗 𝑛
ISSN: 2089-9815
diketahui pola spasial antar kecamata berdasarkan pada nilai IFI masing-masing kecamatan. 2.
METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat beberapa tahapan penelitian seperti pada Gambar 1, dimana pada tahap pertama dilakukan penghitungan nilai indek ketahanan pangan komposit (IFI) dari 9 indikator ketahanan pangan menggunakan persamaan 1. Selanjutnya berdasarkan nilai IFI yang dimiliki masing-masing kecamatan, pada tahap kedua dilakukan analisis spatial autocorrelation (neighbours) antar wilayah dengan menggunakan Metode Getis-Ord, sehingga akan menghasilkan klasifikasi status wilayah kecamatan dengan status Low Value (Cold Spot) dan High Value (Hot Spot). Berdasarkan persamaan 2, maka ditentukan bahwa variable wij dilakukan dengan mengidentifikasi jarak antar kecamatan di Wilayah Kabupaten Klaten, dimana Wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan kecamatan lain (neigbour) maka akan diberikan nilai “1”, sedangkan yang tidak berbatasan langsung akan diberikan nilai “0” dan atribut (xj) ditentukan berdasarkan nilai IFI setiap kecamatan (terdapat 26 kecamatan). Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai ekspektasi Gi* yang dinyatakan dalam (E(Gi*)) yang hasilnya akan dibandingkan dengan nilai Gi* untuk setiap kecamatan. Hasilnya akan menentukan status setiap kecamatan pada posisi Low Value (Cold Spot) atau High Value (Hot Spot). Kecamatan yang termasuk dalam status Cold Spot berarti daerah tersebut tidak memiliki hubungan dengan daerah lainnya atau tidak memiliki tendensi konsentrasi spasial dengan daerah lain, sedangkan kecamatan yang termasuk dalam status High Value (Hot Spot) berarti daerah tersebut memiliki tendensi konsentrasi spasial dengan daerah lain. Selain itu, pada pewarnaan menunjukkan intesitas warna yang berbeda pada masing-masing warna. Semakin tinggi intensitas warnanya, menandakan bahwa daerah tersebut memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding daerah yang memiliki warna intensitas yang rendah.
(3)
Selanjutnya dilakukan penentuan tendensi konsentrasi spasial suatu daerah dilakukan dengan membandingkan nilai dengan nilai , dimana: jika , suatu daerah termasuk dalam kondisi high values (hot spots) jika , suatu daerah termasuk dalam kondisi low values (cold spots) jika , suatu daerah tidak memiliki tendensi konsentrasi spasial 1.2.3 Spatial Autocorrelation (SA) Spatial Autocorrelation (SA) merupakan anlisis korelasi antar wilayah (ruang) observasi dalam bentuk pola spasial (pola jarak, waktu dan wilayah) (Prasetyo dkk, 2012). Kriteria terjadinya fenomena SA adalah apabila distribusi nilai suatu variabel observasi mengikuti pola tertentu secara sistematis. Berdasarkan hukum pertama Tobler tentang geografi “Everything is related to everything else, but near things are more related than distant things”. Analisis Spatial Autocorrelation digunakan untuk mengukur adanya karakteristik pola spasial antara dua atau lebih obyek spasial dalam jarak tertentu. Dalam implementasinya Spatial Autocorrelation pernah digunakan untuk mengetahui faktor resiko wabah Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) di Bangladesh (Loth dkk, 2010). Metode SA juga telah digunakan untuk pemetaan daerah endemis wereng batang coklat pada komoditi tanaman pangan dan hortikultura dengan metode spatial autocorrelation, dimana kejadian distribusi serangan WBC ditentukan oleh pola konektivitas objek spasial populasi wbc, curah hujan dan posisi wilayah (Prasetyo dkk, 2012). Selain itu, Metode SA juga telah digunakan dengan mengkombinasikan dengan metode exponential smoothing untuk mengetahui indikasi terjadinya gelombang migrasi lokal dari satu wilayah kabupaten ke wilayah sekelilingnya berdasarkan data luas serangan WBC, dimana geombang migrasi lokal yang menunjukkan adanya konektivitas spasial meliputi Kabupaten Boyolali, Klaten, Karanganyar dan Sragen (Prasetyo dkk, 2014) (Prasetyo dkk, 2012). Pada kasus ketahanan dan kerentanan pangan, Spatial Autocorrelation akan digunakan untuk mengetahui pola spasial berdasarkan nilai indeks ketahanan pangan komposit (IFI) pada masingmasing kecamatan di wilayah kabupaten klaten. Dengan menggunakan metode Statistik Getis-Ord akan ditentukan area-area yang termasuk dalam kategori hotspot atau coldspot, sehingga akan 38
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
digunakan dalam proses pengolahan antara laian: data indeks ketahanan pangan komposit Kabupaten Klaten (BKP Provinsi Jawa Tengah TA. 2011) dengan format spreadsheet dan Peta Kabupaten Klaten dengan format jpg. Selanjutnya digunakan bahasa pemrograman PHP dengan melibatkan database MySQL dan diintegrasikan dengan aplikasi ArView sebagai pengolah data spasial. Integrasi dari ketiga apliaksi tersebut menghasilkan peta spatial autocorrelation ketahanan pangan Kabupaten Klaten berdasarkan data indeks ketahanan pangan komposit setiap kecamatan.
Indikator Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nasional (FSVA)
IAV
IBPL
IROAD
IELEC
ILIT
ILEX
INUT
IWATER
IEALTH
Indeks Ketahanan Pangan Komposit (IFI)
Analisis Spatial Autocorrelation (Neighboring Network Analysis)
Low Values
Metode Getis-Ord
High Values
Klasifikasi Spatial Autocorrelation Indeks Ketahanan Pangan Komposit Kab. Klaten
ISSN: 2089-9815
Klasifikasi Sturges
Data Spreadsheet Indeks Ketahanan Komposit Kab. Klaten
Peta Spatial Autocorrelation Indeks Ketahanan Pangan Komposit Kab. Klaten
Peta .jpeg Kab.Klaten
Gambar 1. Bagan Alir Tahapan Penelitian
k=1+3,322 log n
MySQL -Data Indeks Ketahanan Pangan Komposit (IFI)
PHP: -Penentuan Neighbour -Klaifikasi Hot Spot atau Low Spot
Low Value (Cold Spot) dan High Value (Hot Spot) yang dihasilkan masing-masing kecamatan memiliki nilai yang beragram. Oleh sebab itu, untuk menentukan banyaknya kelas interval pada setiap status, dilakukan klasifikasi pada masing-masing status dengan menggunakan distribusi kelas menurut Sturges yang dikenal sebagai "Kriterium Sturges", dengan persamaan sebagai berikut (Sturges, 1926):
ARCView -Peta Kab. Klaten -Klasifikasi Sturges
PETA SAPTIAL AUTOCORELATION KETAHANAN PANGAN KABUPATEN KLATEN
Gambar 2. Pemodelan Perangkat Lunak Berdasarkan pemodelan perangkat lunak yang dibangun, maka dilakukan penghitungan berdasarkan nilai indeks ketahanan pangan komposit (IFI) yang terdapat di 26 kecamatan di Kabupaten Klaten, sehingga menghasilkan status “high values” dan “low values” seperti pada Tabel 3.
(5)
dimana k merupakan jumlah kelas distribusi yang terbentuk berdasarkan nilai yang terdapat pada masing-masing status yakni Low Value (Cold Spot) dan High Value (Hot Spot) dan n merupakan banyaknya data hasil konservasi. Dengan demikian pada masing-masing status akan memiliki distribusi kelas sendiri-sendiri. Selanjutnya berdasarkan range nilai yang terbentuk pada masing-masing kelas, maka ditentukan posisi setiap nilai Gi* masingmasing kecamatan sesuai dengan range nilai pada kelas tersebut. Selanjutnya berdasarkan klasifikasi serta tingkatannya, dilakukan pemetaan yang digambarkan dalam gradasi warna yang bertingkat. Semakin gelap warnanya menandakan bahwa daerah tersebut memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi, begitu juga sebaliknya. Sehingga dari tahapan proses yang telah dilakukan, maka akan menghasilkan peta yang menggambarkan konektivitas spasial (spatial Autocorrelation) kondisi kerentanan dan ketahanan pangan setiap kecamatan di Wilayah Kabupaten Klaten.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Nilai Gi* dan E(Gi*) Kecamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan metodologi penelitian, maka selanjutnya dilakukan pembangunan model perangkat lunak (aplikasi) dengan menggunakan beberapa tool yang sesuai (Gambar 2). Data yang 39
G i*
E(Gi*)
Status
Ceper
0.11
0.41
0.35
HIGH
Klaten Selatan
0.08
0.35
0.31
HIGH
Klaten Utara
0.14
0.34
0.27
HIGH
Ngawen
0.11
0.33
0.31
HIGH
Trucuk
0.08
0.31
0.27
HIGH
Kalikotes
0.09
0.31
0.27
HIGH
Jogonalan
0.07
0.27
0.31
LOW
Juwiring
0.09
0.25
0.23
HIGH
0.1
0.24
0.23
HIGH
Polanharjo
0.08
0.24
0.23
HIGH
Karanganom
0.08
0.24
0.23
HIGH
Karangnongko
0.06
0.23
0.27
LOW
Wedi
0.08
0.22
0.23
LOW
Delanggu
0.09
0.21
0.19
HIGH
Klaten Tengah
0.11
0.20
0.15
HIGH
Cawas
0.07
0.18
0.19
LOW
Pedan
3.
IFI
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
Bayat
0.07
0.18
0.19
LOW
Kebonarum
0.07
0.18
0.19
LOW
Jatinom
0.06
0.18
0.19
LOW
Wonosari
0.08
0.16
0.15
HIGH
Karangdowo
0.07
0.15
0.15
HIGH
Manisrenggo
0.06
0.15
0.19
LOW
Gantiwarno
0.08
0.14
0.15
LOW
Tulung
0.07
0.14
0.15
LOW
Prambanan
0.07
0.13
0.15
LOW
Kemalang
0.06
0.08
0.12
LOW
Klaten Utara Klaten Selatan 5
3
0.38
0.15
0.19
Kebonarum Manisrenggo
4
0.2
0.24
5
0.25
0.29
Karangnongko Wedi
Jumlah
Jogonalan 12
Berdasarkan klasifikasi pada tabel 4a, maka terlihat pada Gambar 3 menunjukkan bahwa kelompok-kelompok daerah yang berada pada klasifikasi yang sama (ditunjukkan dengan intensitas warna yang sama), secara spasial terlihat bahwa deerah tersebut saling berbatasan secara langsung (neighbour), kecuali Kecamatan Klaten Tengah, Wonosari dan Karangdowo yang meskipun berada pada klasifikasi yang sama tetapi secara spasial tidak saling berbatasan langsung. Ketiga kecamatan tersebut berada pada klasifikasi dengan nilai derajat konsentrasi (Gi*) terendah dibandingkan kelompok lain. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya derajat konsentrasi dapat menunjukkan jarak antar wilayah yang saling berhubungan. Selain itu, pada Gambar 2 terlihat bahwa pusat konsentrasi spasial (Gi*) terletak di Kecamatan Ceper, yang secara geografis berada ditengah-tengah daerah yang memiliki status Hot Spot, sedangkan wilayah kecamatan yang semakin menjauh letaknya dari pusat konsentrasi memiliki nilai konsentrasi spasial (Gi*) semakin rendah. Hal ini membuktikan bahwa terdapat pola hubungan secara spasial antar kecamatan dalam hal ketahanan dan kerentanan pangan. Sedangkan untuk kecamatan-kecamatan yang berada pada status low value (cold spot), dimana daerah-daerah tersebut tidak memiliki tendensi konsentrasi spasial dengan derah lainnya. Hal ini terlihat dari kecamatan-kecamatan yang
Juwiring
KaliKotes Trucuk
0.33
Tulung
Jatinom
Pedan
4
0.14
Bayat
Delanggu
0.32
0.1
Cawas
Polanharjo
0.27
14
Prambanan
Karanganom
3
Ceper
Gantiwarno 2
Karangdowo
0.26
0.44
Tabel 4b. Distribusi kelas untuk status daerah Low Value Kelas (Low Value) No Kecamatan Batas Batas Bawah Atas 1 0.05 0.09 Kemalang
Tabel 4a. Distribusi kelas untuk status daerah High Value Kelas (High Value) No Kecamatan Batas Batas Bawah Atas Klaten Tengah 1 0.15 0.2 Wonosari
0.21
0.39
Jumlah
Berdasarkan hasil pada Tabel 3, selanjutnya dilakukan ditribusi kelas dengan menggunakan persamaan Sturges. Proses distribusi dilakukan pada masing-masing kelompok daerah dengan status High Values (14 kecamatan) dan Low Values (12 Kecamatan), sehingga hasilnya seperti pada Tabel 4a dan 4b. Terdapat 5 kelompok kelas interval pada masing-masing status yang akan digunakan untuk menggambarkan tingkatan intensitas warna yang berbeda pada setiap warna, yakni warna Merah (High Values) dan Biru (Low Values). Pada masingmasing kelompok warna dapat dilihat terdapat tingkat 5 intensitas yang berbeda yang menunjukkan tingkat hubungan antara satu derah dengan daerah lain. Semakin tinggi intensitas warnanya menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki konsentasi spasial yang tinggi pula dengan daerah sekitarnya (untuk daerah dengan status Hot Spot), tetapi sebaliknya untuk daerah yang memiliki status Cold Spot (warna biru). Sesuai dengan hasil distribusi kelas yang telah dilakukan, maka selanjutnya dilakukan pemetaan seperti yang terlihat pada Tabel 4a dan 4b.
2
ISSN: 2089-9815
Ngawen 40
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
berada pada klasifikasi yang sama tetapi secara spasial tidak menunjukkan pola hubungan, seperti yang terlihat pada tabel 4b dan gambar 3.
ISSN: 2089-9815
ini membuktikan bahwa terdapat pola hubungan secara spasial antar kecamatan dalam hal ketahanan dan kerentanan pangan. 5. DAFTAR PUSTAKA Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah. 2011. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Jawa Tengah 2010. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah TA.2011. Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI, WFP, 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009. Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI, WFP. Erniati, Lilik Sutiarso, Putu Sudira. 2013. Penyusunan Sistem Pendukung Keputusan Untukpenetapan Indeks Ketahanan Pangan Di Tingkat Rumah Tangga Dan Wilayah (Studi Kasus Di Desa Srimartani, Piyungan, Bantul, Yogyakarta). AGRITECH, Vol. 33, No. 4, November 2013. Getis, A., Ord, J.K., 1998. The use of a local statistic to study the diffusion of AIDS from San Francisco. In: Griffith, D.A., Amrhein, C.G., Huriót, J.-M. (Eds.), Econometric Advances in Spatial Modelling and Methodology: Essays in Honour of Jean Paelinck. pp. 143–158, Kluwer, Dordrecht. Getis, A., Ord, J.K., 1992. The analysis of spatial association by use of distance statistics. Geographical Analysis 24, 189–206. Getis, A., Ord, J.K.. 1996. Local spatial statistics: An overview. In: Longley, P., Batty, M. (Eds.). Spatial Analysis: Modelling in a GIS Environment, pp. 261-277. Geoinformation International, Cambridge. Lelono, E.. 2011. Pangan Dan Ketersediaan Pangan. Media Litbang Sulteng IV (2) : 88 – 96, ISSN : 1979 - 5971 Desember 2011. Loth, L., Gilberth M., Osmani M.G., Kalam A.M., & Xiao X.. 2010. Risk Factor and Clusters of Highly Pathogenic Avian Influenza H5N1 Outbreaks in Bangladesh. Preventive Veterinary Medicine, 96:104-113. Mun’im, A. 2012. Analisis Pengaruh Faktor Ketersediaan, Akses, Dan Penyerapan Pangan Terhadap Ketahanan Pangan Di Kabupaten Surplus Pangan: Pendekatan Partial Least Square Path Modeling. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 30 No. 1, Mei 2012 : 41-58. Pinem, A.P.R, Prasetyo, S.Y.D. 2012. Optimalisasi Failover Instance Pada Aplikasi (Studi Kasus Aplikasi Fsva Berbasis Spasial Kabupaten Brebes). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Teknik Informatika UKSW.
Gambar 3. kondisi konektivitas geospasial ketahanan pangan Kabupaten Klaten Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kecamatan yang terdapat pada area Hot Spots memiliki rata-rata angka indek ketahanan pangan komposit (IFI) sebesar 0,094 dan kecamatan yang terletak pada area Cold Spots memiliki rata-rata angka IFI sebesar 0,068. 4.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka secara spasial terlihat bahwa kondisi ketahanan dan kerentanan pangan kecamatan-kecamatan di Wilayah Kabupaten Klaten terdapat pola keterhubungan spasial. Terdapat 14 kecamatan yang memiliki pola keterhubungan (Hot Spot) dan 12 kecamatan yang tidak memiliki pola keterhubungan (cold spot) dengan kecamatan lain. Pada setiap jenis warna dapat terdapat tingkat 5 intensitas yang berbeda yang menunjukkan tingkat hubungan (relasi) dan tingkat tidak adanya hubungan antara satu kecamatan dengan kecamatan lain. Terdapat beberapa kecamatan yang memiliki tingkat intensitas warna sama yang berarti bahwa daerah tersebut memiliki tingkat konsentrasi spasial yang sama serta secara spasial saling berbatasan langsung (neighbour), kecuali Kecamatan Klaten Tengah, Wonosari dan Karangdowo. Berdasarkan tingkat konsentrasi spasialnya (nilai Gi*), ketiga kecamatan tersebut memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan daerah yang lain. Selain itu, terdapat pusat konsentrasi spasial yang memiliki nilai Gi* paling tinggi, terletak di Kecamatan Ceper, yang secara geografis berada ditengah-tengah daerah yang memiliki status Hot Spot, sedangkan wilayah kecamatan yang semakin menjauh letaknya dari pusat konsentrasi memiliki nilai konsentrasi spasial yang semakin rendah. Hal 41
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2015 (SENTIKA 2015) Yogyakarta, 28 Maret 2015
Prasetyo, S. Y. J, Subanar, Nugraheni W., Bistok H. S. 2014. Geographic Information System for Detecting Spatial Connectivity Brown Planthopper Endemic Areas Using a Combination of Triple Exponential Smoothing - Getis Ord. Computer and Information Science; Vol. 7, No. 4, ISSN 1913-8989, E-ISSN 1913-8997. Prasetyo, S. Y. J., Subanar, Edi W., Budi S. D. 2012. Endemic Outbreaks of Brown Planthopper (Nilaparvata lugens Stal. ) in Indonesia using Exploratory Spatial Data Analysis. IJCSI International Journal of Computer Science Issues, Vol. 9, Issue 5, No 1, September 2012. Prasetyo, S. Y. J., Subanar, Edi W., Budi S. D. 2012. The Prediction of Population Dynamics Based on the Spatial Distribution Pattern of Brown Planthopper (Nilaparvata lugen Stal.) Using Exponential Smoothing – Local Spatial Statistics. Journal of Agricultural Science; Vol. 5, No. 5, ISSN 1916-9752, EISSN 1916-9760. Sturges, H. 1926. The choice of a class-interval. J. Amer. Statist. Assoc., 21, 65–66. Suhartono. 2010. Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan Dalam Mendeteksi Kerawanan Pangan di Kecamatan Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan. EMBRIYO Vol. 7, No.2, ISSN 0216-0188, Desember 2010.
42
ISSN: 2089-9815