PEMODELAN HUTAN KOTA UNTUK AMELIORASI IKLIM MIKRO DI KOTA PALU
FATIMAH AHMAD
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemodelan Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro di Kota Palu, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Fatimah Ahmad NRP: P062070211
FATIMAH AHMAD, Modeling of Urban Forest for the Amelioration of Micro Climate in Palu City. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN, ENDES N. DAHLAN, SOBRI EFFENDY and RACHMAN KURNIAWAN. ABSTRACT Climate characteristic of Palu city is very specific, which is indicated by high air temperature and low precipitation. The objectives of research are : (1) to analyze the dynamics of changes in area and distribution of land cover types in Palu, (2) to analyze the relationships between dynamics of greenery open space area, temperature distribution, and the role and needs of urban forest to improve microclimate in Palu, (3) to develope dynamics model system of urban forest for micro climate amelioration, (4) to formulate policies that can be recommended for the development of urban forest in Palu. The research was carried out based on field survey, questionnaire, and expert judgement. GIS and Arcview approaches for spatial dynamic analysis, to develop dynamics model system of urban forest using program powersim studio expert 2005 version, to formulate policies that can be recommended for the development of the urban forest using policy analysis with AHP. The results obtained are: (1) for 13 years from 1997 up to 2010 was found that greenery open spaces have decreased from 80.4 % to 78.8 %, (2) the increasing greenery open spaces will decrease the maximum of air temperatur, significantly. The regression is Y = -0.1203 X + 39.51 with R2 = 0.503, (3) Based on the model simulation, it is predicted that the urban forest will be decreased in the future, (4) Base on results of AHP, it’s known that needs of settlement is the priority factor, government is the priority actor, environmental sustainability is the priority purpose and to improvement of regulation and the provision of green open spaces and plants were the priority strategy of development of the urban forest in Palu. Keywords : Air temperature, greenery open space, land cover, microclimate amelioration, urban forest.
RINGKASAN FATIMAH AHMAD. Pemodelan Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro di Kota Palu. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, ENDES N. DAHLAN, SOBRI EFFENDY, dan RACHMAN KURNIAWAN.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang bahwa rencana penyediaan dan pemanfaatan wilayah kota dalam bentuk ruang terbuka hijau dalam rencana tata ruang wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah. Kondisi geografis Kota Palu mempunyai suhu udara yang tinggi berkisar 28-360C dengan curah hujan rendah 400-800 mm per tahun (BMKG, 2010). Di sisi lain, kecenderungan pertumbuhan penduduk Kota Palu yang relatif tinggi menuntut ketersedian lahan pemukiman. Dengan kondisi klimatologi dan kependudukan, maka perlu adanya usaha untuk menurunkan suhu udara perkotaan melalui pembangunan hutan kota. Selain itu dari Rencana Tata ruang Ruang Wilayah Kota Palu (RTRWK) diketahui bahwa luas RTH yang ada saat ini baru berkisar 3.25% atau kurang lebih 1280.5 ha. Sedangkan rencana pengembangan RTH Kota Palu untuk mencapai sekurangkurangnya 30% dari luas wilayah kota untuk pengembangan hutan kota pemerintah baru mengalokasikan lahan seluas 100 ha dan kebun raya seluas 200 ha. Jika hanya dilakukan penambahan sebesar 300 ha maka luas hutan kota baru mencapai 0.81% dari luas total wilayah sedangkan UU No.63 tahun 2002 mensyaratkan bahwa suatu kota minimal memiliki hutan kota 10% dari luas total wilayah, berarti masih perlu penambahan kurang lebih 9% . Upaya ameliorasi iklim mikro dengan penataan hutan kota merupakan salah satu bagian dari peningkatan kualitas lingkungan perkotaan. Dalam kajian tersebut upaya ameliorasi iklim dikaji dengan sistem dinamis dengan mempertimbangkan aspek biofosik, aspek sosial dan aspek kebijakan. Dengan interaksi ketiga aspek tersebut, maka dapat disusun model hutan kota beserta rumusan kebijakannya. Tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis perubahan luasan dan sebaran jenis tutupan lahan di Kota Palu; (2) menganalisis hubungan dinamika perubahan luas RTH dan distribusi suhu, serta peran dan kebutuhan hutan kota dalam perbaikan iklim mikro di Kota Palu; (3) membangun model sistem dinamik hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu; (4) merumuskan kebijakan yang dapat direkomendasikan untuk pembangunan hutan kota di Kota Palu. Penelitian dilaksanakan dengan metode survey, pengukuran secara langsung di lapangan, melakukan wawancara mendalam dengan pakar. Metode
yang digunakan untuk menganalisis perubahan luasan dan jenis tutupan lahan di Kota Palu adalah pengolahan citra Landsat TM dan ETM menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine. Pengolahan citra Landsat TM dan ETM meliputi layer stack, koreksi geometrik, pemotongan citra, klasifikasi penutupan lahan, uji akurasi untuk hasil klasifikasi penutupan lahan. Langkah-langkah dalam melakukan interpretasi citra, metode yang digunakan untuk mengetahui hubungan dinamika perubahan luas RTH dan distribusi suhu serta peran dan kebutuhan hutan kota dalam perbaikan iklim mikro dilakukan dengan tabulasi dan analisis statistik yang dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak MS. Excel dan Minitab 14. Metode yang digunakan untuk membangun model dinamik hutan kota adalah analisis sistem dinamik dan AME yang dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Powesim 2005E, model pengembangan hutan kota terdiri atas tiga sub-model, yaitu (1) sub model suhu udara; 2) sub-model luasan hutan kota; dan (3) sub model populasi penduduk. Sedangkan dalam merumuskan kebijakan digunakan dengan analisis kebijakan AHP dengan menggunakan perangkat lunak CDP 3.04. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan alih fungsi lahan dari lahan RTH menjadi lahan terbangun yang berdampak pada penurunan presentase luas RTH, dimana dari tahun 1997 hingga 2010 terjadi penurunan dari 80.4% menjadi 78.8%. Sedangkan berdasarkan analisis citra secara spasial dalam bentuk peta diperoleh sebaran distribusi penutupan RTH tahun1997 menyebar di seluruh wilayah kecamatan yang ada di Kota Palu, sedang pada tahun berikutnya hingga 2010 di pusat kota hanya didominasi oleh lahan terbangun. Hubungan dinamik perubahan luasan RTH dan distribusi suhu dapat dilihat pada persamaan linier berikut Y= 39.511 – 0.1203X dengan R2 sebesar 0.503. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan berbanding terbalik antara prosentase RTH hutan dengan suhu udara maksimum yaitu semakin rendah prosentase RTH hutan menyebabkan suhu udara maksimum meningkat. Nilai suhu maksimum senilai 35.7oC berada pada tutupan lahan berbentuk pemukiman. Secara umum pada wilayah pemukiman mayoritas adalah tutupan lahan non vegetasi. Sedangkan, nilai suhu minimum terdapat pada wilayah hamparan terbuka senilai 28.3oC. Hamparan terbuka merupakan kawasan yang terdiri dari vegetasi rendah atau rerumputan yang luas. Hasil pengukuran kelembaban nisbi udara (RH) maksimum pada semua titik pengamatan tertinggi pada tutupan lahan terbuka yaitu sebesar 61 % dan terendah pada tutupan lahan pemukiman sebesar 49%. Ruang terbuka hijau dalam hal ini hutan kota dalam mengameliorasi iklim selain menurunkan suhu udara juga berperan meningkatkan kelembaban udara. Hasil pemodelan dinamik menunjukkan bahwa model skenario optimis dari hasil analisis model, merupakan model yang dapat diimplementasikan untuk melakukan upaya ameliorasi suhu udara dengan melakukan intervensi variabel
terhadap jumlah penduduk dengan menurunkan laju pertumbuhan sebesar 1% pertahun, luas Hutan dilakukan penambahan 2% pertahun yang hasilnya akan mempertahankan suhu udara maksimum pada akhir tahun simulasi Tahun 2040 yaitu 36.5oC (Suhu aktual 35.7oC penambahan suhu berkisar 0.8oC selama 30 tahun). Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa faktor utama yang menentukan keberhasilan kebijakan pembangunan hutan Kota Palu adalah kebutuhan pemukiman dengan bobot 0.30 dengan aktor utamanya adalah pemerintah sebagai penyusun kebijakan bobot 0.33, dimana tujuan kebijakan utamanya adalah kelestarian lingkungan dengan bobot sebesar 0.3, sedangkan untuk alternatif utama dalam pengembangan hutan kota di Kota Palu adalah penyempurnaan peraturan dan penyediaan ruang terbuka hijau dan pemilihan jenis tanaman.
Kata Kunci: Penggunaan lahan, penutupan lahan, ruang terbuka hijau, suhu udara.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PEMODELAN HUTAN KOTA UNTUK AMELIORASI IKLIM MIKRO DI KOTA PALU
FATIMAH AHMAD
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada ujian tertutup :
Prof. Dr.Ir. Bambang Pramudya N, M.Eng Dr.Ir. Bambang Sulistyantara,M.Agr
Penguji pada ujian terbuka :
Dr. Ir. H. Sofjan Bakar, M.Sc Prof. Dr. Ir. Marimin , M.Sc
Judul Disertasi
: Pemodelan Hutan Kota Untuk Ameliorasi Iklim Mikro di Kota Palu
Nama
: Fatimah Ahmad
NRP
: P062070211
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Ketua
Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si. Anggota
Dr. Ir. Endes N. Dahlan M.S. Anggota
Dr. Rachman Kurniawan, M.Si. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 17 Juli 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, disertasi dengan judul Pemodelan Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro di Kota Palu dapat diselesaikan. Disertasi ini bertujuan merumuskan arahan kebijakan pembangunan hutan kota di Kota Palu terkait dengan upaya ameliorasi iklim mikro. Dengan segala rasa hormat dan trima kasih yang setinggi-tingginya kepada YM Ayahanda Sayyidi Syekh Kiyai Haji Amiruddin KY Bin Khoir Hasyim Alkholidi, yang senantiasa membimbing kalbu kami agar menjadi manusia yang berpribudi luhur serta selalu sabar dan rendah hati dalam menjalani hidup dan kehidupan. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis ucapkan dengan tulus kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S., sebagai ketua Komisi Pembimbing; Dr. Ir. Endes N. Dahlan, M.S.; Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si.; dan Dr. Rachman Kurniawan, M.Si., selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, dan dorongan moral sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini; Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan beserta staf yang telah memberikan dukungan, serta pelayanan akademik; Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di IPB. Demikian pula para dosen dan staf akademik yang telah memberikan bantuan akademik bagi penulis dalam menempuh pendidikan Doktor; Para narasumber dari akademisi, tokoh masyarakat , yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk berdiskusi dengan penulis sebagai pakar dalam analisis data kebijakan. dan ikut serta memberikan saran atas kesempurnaan penulisan disertasi. Kepada Suami tercinta,anakanakku,mertua,adik,ipar, serta seluruh keluarga dan kerabat , rekan-rekan mahasiswa ,yang selalu memberi dukungan, doa dan semangat sampai hari ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, sehingga penulis mengharapkan saran, dan kritik dalam rangka perbaikan disertasi ini. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2012 Fatimah Ahmad
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung pandang pada tanggal 21 Februari 1962 sebagai anak kedua dari sembilan bersaudara dari ayah H. Andi Ahmad Rahman (almarhum) dan ibu Hj. Siti Andi Djuhrah (almarhumah). Penulis menikah dengan DR. H. Mahrus Aryadi, M.Sc. saat ini kami dikaruniai tiga orang anak yaitu Andi Nugrah Maulid, Andi Ismi Maulani dan Andi Muhammad Ramadhani Arafat. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1988 di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Pendidikan Strata dua (S2) diselesaikan pada tahun 1995 di Program Studi Agronomi Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahun 2007 penulis diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB, dengan beasiswa BPPS. Sejak tahun 1990 penulis diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu hingga tahun 2009, kemudian mengundurkan diri sebagai PNS dan menggeluti profesi di bidang politik sampai saat ini.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................... DAFTAR GAMBAR................................................................. ....... . DAFTAR LAMPIRAN...................................................................... I. PENDAHULUAN............................................................... ........... 1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1.2 Perumusan Masalah................................................................. 1.3 Kerangka Pemikiran ................................................................ 1.4.Tujuan Penelitian..................................................................... 1.5.Manfaat Penelitian................................................................... 1.6.Kebaharuan Penelitian............................................................. II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 2.1 Ruang Terbuka Hijau (RTH)................................................... 2.2 Hutan Kota .............................................................................. 2.3 Iklim Mikro ............................................................................. 2.4 Ameliorasi Iklim Mikro........................................................... 2.5 Model Pengembangan dan Analisis Sistem ............................ 2.6 Simulasi ................................................................................... 2.7 Pemodelan Sistem Dinamik .................................................... III. METODOLOGI PENELITIAN................................................... 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 3.2 Jenis Data dan Alat.................................................................. 3.3 Metode Penelitian.................................................................... 3.3.1 Analisis Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan ................................................................. 3.3.2 Analisis Hubungan Perubahan Luas RTH dan Distribusi Suhu, Hubungan Jumlah Penduduk Dan Penggunaan Listrik, serta Peran dan Kebutuhan RTH di Kota Palu.......................................... 3.3.3 Membangun Model Hutan Kota di Kota Palu ................. 3.3.4 Merumuskan Kebijakan yang Dapat Direkomendasikan untuk Pembangunan Hutan Kota di Kota Palu ............................................................. IV. ANALISIS SITUASIONAL........................................................ 4.1 Gambaran Umum Kota Palu ................................................. 4.2 Kondisi Penduduk Kota Palu ................................................ 4.3 Perekonomian Kota Palu....................................................... 4.4 Kondisi Iklim Kota Palu ....................................................... 4.5 Kondisi Penggunaan Lahan di Kota Palu ............................. 4.6 Jenis Tanaman....................................................................... V. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................... 5.1 Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan Di Kota Palu.......................................................................... 5.2 Hubungan Luas RTH dan Distribusi Suhu di Kota Palu ...... 5.3 Peran dan Kebutuhan Hutan Kota dalam Perbaikan Iklim
v vi ix 1 1 3 4 7 7 7 10 10 12 15 18 19 23 25 27 27 28 29 29
31 35
40 48 48 50 51 51 54 56 59 59 65
Mikro di Kota Palu................................................................ 5.4 Hubungan Jumlah Penduduk dan Penggunaan Listrik Di Kota Palu.......................................................................... 5.5 Model Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro ............... 5.1.1 Analisis Trend Sistem ................................................. 5.1.2 Hasil Analisis Validasi................................................ 5.1.3 Model Baseline Kota Palu .......................................... 5.1.4 Penyusunan Skenario Model Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro .............................................. 5.5.4.1 Skenario Pesimis...................................................... 5.5.4.2 Skenario Moderat..................................................... 5.5.4.3 Skenario Optimis ..................................................... 5.5.4.4 Rekomendasi Berdasarkan Hasil Simulasi Model ....................................................................... 5.6 Rumusan Arahan Kebijakan Pembangunan Hutan Kota Di Kota Palu.......................................................................... 5.7 Analisis Kebijakan ................................................................ VI. SIMPULAN DAN SARAN......................................................... 6.1 Simpulan ............................................................................... 6.2 Saran .....................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... LAMPIRAN .........................................................................................
98 103
72 74 75 78 79 80 83 85 86 87 87 92 96 96 97
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Penelitian berkaitan hutan kota dan pemodelannya ..........
8
Tabel 2. Luas RTH di Kota Palu menurut kecamatan tahun 2009 ...................................................................................
11
Tabel 3. Luas RTH kota berdasarkan jumlah penduduk .................
11
Tabel 4. Jenis, sumber dan kegunaan analisis data..........................
28
Tabel 5. Lokasi pengambilan sampel iklim mikro ..........................
33
Tabel 6. Skala komparasi.................................................................
42
Tabel 7. Hasil transformasi matriks pendapat .................................
43
Tabel 8. Kondisi angin di Kota Palu................................................
53
Tabel 9. Jenis-jenis tanaman di lokasi titik pengambilan sampel....
56
Tabel 10. Luas jenis penutupan lahan tahun 1997 – 2010.................
59
Tabel 11. Luasan dan prosentase RTH di Kota Palu tahun 1997 – 2010 ...................................................................................
60
Tabel 12. Luasan RTH Kota Palu ......................................................
61
Tabel 13. Skenario intervensi parameter model ................................
81
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Kerangka pikir model hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro ..........................................................................
6
Gambar 2.
Fungsi RTH perkotaan.........................................................
12
Gambar 3.
Perbandingan metode pemecahan masalah (Grant et al., 1997) ....................................................................................
22
Tahap-tahap simulasi model (Siswosudarmo et al., 2001) ....................................................................................
24
Gambar 5.
Peta lokasi penelitian ...........................................................
27
Gambar 6.
Rancang bangun penelitian ..................................................
30
Gambar 7.
Lokasi pengambilan contoh sampling .................................
34
Gambar 8.
Tahapan pendekatan sistem dalam penelitian......................
36
Gambar 9.
Diagram sebab akibat (causal loop diagram) pemodelan hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu ........
38
Gambar 10. Diagram input-output (Black Box) Pemodelan Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro di Kota Palu ...............
39
Gambar 11. Struktur analisis hierark proses pengembangan model hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro.............................
47
Gambar 12. Rata-rata curah hujan bulanan di Kota Palu antara tahun 2000-2010 ..................................................................
52
Gambar 13. Jumlah hari hujan rata-rata di Kota Palu antara tahun 2000-2010 ............................................................................
52
Gambar 4.
Gambar 14. Suhu maksimum, rata-rata, dan minimum bulanan Kota Palu antara tahun 2005 –2010...................................................... 53 Gambar 15. Distribusi penggunaan lahan di Kota Palu...........................
55
Gambar 16. Ruang terbuka hijau di lokasi penelitian..............................
58
Gambar 17. Peta penggunaan lahan eksisting Kota Palu ........................
62
Gambar 18. Peta penutupan lahan Kota Palu berdasarkan citra landsat band 5.4.2 ................................................................
64
Gambar 19. Data suhu udara Kota Palu tahun 1997 – 2010....................
65
Gambar 20. Hubungan antara prosentase RTH hutan dengan suhu udara maksimum dan suhu udara minimum ........................
66
Gambar 21. Peta rencana ruang terbuka hijau Kota Palu ........................
68
Gambar 22. Peta rencana luasan dan sebaran hutan kota di setiap Kecamatan di Kota Palu ......................................................
69
Gambar 23. Suhu maksimum ..................................................................
70
Gambar 24 Kelembaban maksimum rata-rata ........................................
72
Gambar 25. Hubungan antara jumlah penduduk dan penggunaan listrik ....................................................................................
73
Gambar 26. Hubungan antara penggunaan listrik dengan suhu ..............
73
Gambar 27. Flow diagram hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro....................................................................................
74
Gambar 28. Hasil simulasi untuk trend luas tutupan lahan .....................
75
Gambar 29. Hasil simulasi untuk trend suhu maksimum ........................
76
Gambar 30. Hasil simulasi untuk trend jumlah penduduk ......................
77
Gambar 31. Hasil simulasi untuk trend lahan terbangun.........................
77
Gambar 32. Hasil simulasi untuk trend pemakaian listrik.......................
78
Gambar 33. Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk hasil simulasi dengan kondisi aktual ...................................
79
Gambar 34. AME dari hasil validasi jumlah penduduk aktual dan Simulasi ...............................................................................
79
Gambar 35. Grafik model baseline Kota Palu.........................................
80
Gambar 36. Prediksi jumlah penduduk hasil simulasi skenario sampai tahun 2040 ...............................................................
82
Gambar 37. Prediksi suhu maksimum hasil simulasi skenario sampai tahun 2040............................................................................
82
Gambar 38. Prediksi penggunaan listrik hasil simulasi skenario sampai tahun 2040 ...............................................................
83
Gambar 39. Prediksi luas hutan kota hasil simulasi skenario sampai tahun 2040............................................................................
83
Gambar 40. Prediksi luas RTH hasil simulasi skenario sampai tahun 2040 .....................................................................................
84
Gambar 41. Grafik skenario pesimis suhu, luas RTH, jumlah penduduk, penggunaan listrik, luas hutan dan luas lahan terbangun..... 84 Gambar 42. Grafik skenario moderat suhu, luas RTH, jumlah penduduk, penggunaan listrik, luas hutan dan luas lahan terbangun.....
85
Gambar 43. Grafik skenario optimis suhu, luas RTH, jumlah penduduk, penggunaan listrik, luas hutan dan luas lahan terbangun........... 86 Gambar 44. Nilai bobot prioritas pada level faktor ........................................ 88 Gambar 45. Nilai bobot prioritas pada level aktor ......................................... 89 Gambar 46. Nilai bobot prioritas pada level tujuan........................................ 90 Gambar 47. Nilai bobot pada level alternatif.................................................. 91
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Data pengamatan iklim mikro..............................................
104
Lampiran 2.
Equation...............................................................................
105
Lampiran 3.
Hasil simulasi model skenario pesimis hutan kota untuk Ameliorasi iklim mikro........................................................ Hasil simulasi model skenario moderat hutan kota untuk Ameliorasi iklim mikro........................................................
Lampiran 4. Lampiran 5.
108 109
Hasil simulasi model skenario optimis hutan kota untuk Ameliorasi iklim mikro........................................................
110
Hasil Analisis Regresi..........................................................
111
Lampiran 7. Data suhu minimum harian Kota Palu tahun 2005 - 2010....
112
Lampiran 8. Data suhu maksimum harian Kota Palu tahun 2005 – 2010.
118
Lampiran 9. Data suhu rata-rata Kota Palu tahun 2005 – 2010 ................
124
Lampiran 6.
Lampiran 10. Daftar jenis tanaman lokal dan tanaman terpilih untuk hutan Kota di Kota Palu....................................................... ...................................................................................... 130
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah lingkungan perkotaan di Indonesia saat ini merupakan masalah yang belum terselesaikan, bahkan semakin sulit dalam mengidentifikasi skala prioritas dalam mengatasinya. Salah satu permasalahan lingkungan di perkotaan hampir di seluruh kota di dunia adalah issue pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim. Dalam dekade terakhir kualitas lingkungan yang semakin memburuk terutama yang diakibatkan oleh terjadinya pencemaran lingkungan yang diperburuk oleh makin berkurangnya luasan ruang terbuka hijau (RTH). Beragam aktivitas kota akan mempengaruhi perkembangan kota dan juga lingkungan perkotaan. Kebutuhan ruang di perkotaan merupakan masalah yang cukup penting, karena ruang kota terbatas, sementara kebutuhan terus meningkat (Susilo, 2006). Kegiatan perkotaan termasuk pembangunan pemukiman dalam skala besar menyebabkan terjadinya banyak perubahan mengenai pemanfaatan lahan. Kota Palu sebagai ibukota provinsi Sulawesi Tengah, secara geografis berada dekat dengan garis khatulistiwa, merupakan kota tropis yang memiliki bentang alam dengan kondisi biofisik dan panorama alam yang khas, membentang pada bagian utara Lembah Palu dan Pesisir Teluk Palu. Letak geografis dan kondisi lanskap yang sedemikian ini menyebabkan Kota Palu sebagai daerah bayang-bayang hujan dengan curah hujan terendah di Indonesia. Di sisi lain, adanya kawasan terbuka berupa lahan kering yang ada pada sebagian pesisir teluk juga telah berkontribusi menghasilkan emisi radiasi permukaan yang secara simultan dengan pergerakan udara dari permukaan air laut di Teluk Palu berperan menghasilkan suhu udara yang tinggi utamanya di kawasan perkotaan pada siang hari. Hal ini akan ditambah dengan permasalahan trend percepatan pertumbuhan penduduk perkotaan, peningkatan mobilisasi penduduk dan pembangunan industri yang tentunya akan berimbas pula terhadap kenaikan suhu udara di perkotaan (Bappeda Kota Palu, 2010).
Laju pertumbuhan penduduk Kota Palu relatif tinggi yaitu dari tahun 2000 sampai tahun 2010 mencapai 1,7% pertahun, sehingga kebutuhan akan pemukiman semakin tinggi pula. Dengan kondisi iklim dan kependudukan, maka perlu adanya usaha untuk menurunkan suhu udara perkotaan melalui ketersediaan RTH. Menurut Arifin (2006) kenyamanan, keamanan dan keindahan lingkungan kota salah satu unsur pembentuknya adalah tersedianya RTH. Sementara dari hari ke hari RTH kota tampaknya kian menyusut, karena itu kota yang memiliki konsep kota hijau seharusnya mempertahankan keberadaan RTH-nya tidak hanya untuk taman-taman kota, lapangan olah raga, pemakaman, jalur hijau, tetapi juga bagi lahan pertanian dalam bentuk sawah, kebun buah, kebun campuran hingga pekarangan yang dapat didesain sebagai RTH (Arifin, 2011). Dengan kondisi geografis yang telah diuraikan di atas, Kota Palu pada siang hari mempunyai suhu udara yang tinggi berkisar 28-360C dengan curah hujan rendah 400-800 mm per tahun (BMKG, 2010). Di sisi lain, kecenderungan pertumbuhan penduduk Kota Palu yang relatif tinggi menuntut ketersedian lahan pemukiman. Dengan kondisi klimatologi dan kependudukan, maka perlu adanya usaha untuk menurunkan suhu udara perkotaan melalui pembangunan hutan kota. Terdapat beberapa alasan pemilihan pembangunan hutan kota di Kota Palu antara lain adalah: hutan kota sebagai komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk), strukturnya meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar dan menimbulkan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk dan estetis (Irwan, 2005). Selain itu berfungsi untuk ameliorasi iklim mikro (Dahlan, 2004) atau dapat pula berfungsi untuk menurunkan suhu dan meningkatkan kelembaban (Irwan, 2005). Kebijakan pemerintah berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 26 tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.15 tahun 2010 (Pasal 36) tentang Penataan Ruang dan Penyelenggaraan Penataan Ruang, pada pasal 29 ayat (2): Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota; dan ayat (3): Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota
dalam upaya mewujudkan Program pengembangan kota hijau (green city). Pentingnya peran RTH membuat kebijakan pembangunan daerah Pemerintah Kota Palu yang mengharapkan proporsi ruang terbuka hijau minimal 20% dari luas wilayah. Hutan kota merupakan satu dari sekian jenis RTH. Untuk mendukung upaya penurunan suhu dan peningkatan kelembaban udara (ameliorasi iklim mikro) dan mengoptimalkan perencanaan dan pembangunan hutan kota di Kota Palu, maka dipandang penting membuat suatu model hutan kota yang dapat berperan sebagai pengameliorasi iklim yang berfungsi maksimal. Karakter umum lanskap kota adalah adanya penggunaan lahan yang sangat intensif karena lahan merupakan sumberdaya yang sangat mahal (Arifin, 2006). Selama ini dalam perancangan dan perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah dipertimbangkan bahwa perubahan tata guna lahan yang direncanakan akan memberikan implikasi yang sangat besar terhadap sistem iklim (Susanti dan Teguh, 2006). Myrup (1969) yang disitasi oleh Effendy (2007) mengemukakan salah satu faktor terpenting yang mudah mengurangi panas dalam kota adalah bertambahnya permukaan dalam kota yang memungkinkan berlakunya proses penguapan (evaporasi). Penambahan luas permukaan bagi proses penguapan sampai 0,5 hektar dapat menurunkan suhu maksimum udara dari 34,60C menjadi 26,20C.
1.2. Perumusan Masalah Kota Palu yang berjuluk Bumi Tadulako, secara geografis berada dekat dengan garis katulistiwa dan terletak membentang di lembah Palu yang bersambung dengan pesisir Teluk Palu. Kondisi fisik ini telah menyebabkan suhu di kota ini tinggi, kelembaban rendah, curah hujan rendah dan hanya sebagian vegetasi yang bisa tumbuh baik. Suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah telah menyebabkan aktivitas masyarakat kota Palu menjadi kurang optimal, terutama di luar ruangan atau rumah, penggunaan air conditioner (AC) dalam ruangan atau rumah, penggunaan AC bagi kendaraan roda empat selain
memberikan dampak terhadap makin meningkatnya suhu di luar ruangan, juga mengakibatkan meningkatnya penggunaan listrik serta bahan bakar. Menurut Irwan (2005), keberadaan hutan kota yang merupakan unsur dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat berfungsi untuk menyerap panas, meningkatkan kelembaban. Agar fungsi hutan kota dapat dimaksimalkan, khususnya untuk menyerap panas dan meningkatkan kelembaban di Kota Palu, perlu dicari dan dikembangkan vegetasi yang sesuai dengan kondisi lingkungan Kota Palu serta efektif dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban sehingga kesejukan dan kenyamanan dalam melakukan berbagai aktivitas dapat tercapai. Berdasarkan pada informasi rencana tata ruang Kota Palu dan permasalahan lingkungan yang ada, maka terdapat empat permasalahan yang dikaji pada penelitian ini, sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan luasan dan sebaran jenis tutupan lahan di Kota Palu? 2. Bagaimana hubungan dinamika perubahan luas RTH dan distribusi suhu serta peran dan kebutuhan hutan kota dalam perbaikan iklim mikro di Kota Palu? 3. Bagaimana model sistem dinamik hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu? 4. Bagaimana
rumusan
kebijakan
yang dapat
direkomendasikan untuk
pembangunan hutan kota di Kota Palu?
1.3. Kerangka Pemikiran Ketersediaan sarana dan prasarana di kawasan perkotaan diperlukan sebagai tuntutan dalam mendukung aktivitas kehidupan kota sebagai bagian dari kegiatan pembangunan yang terus dilancarkan. Kegiatan pembangunan selain menimbulkan dampak strategis dari aspek ekonomi juga berimplikasi negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah penyusutan lahan bervegetasi karena terjadi alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman, industri dan kepentingan ekonomi lainnya. Kenyataan ini akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga
diperlukan suatu pengelolaan kawasan bervegetasi di perkotaan guna menjamin kelestarian lingkungan. Penerapan konsep hutan kota dapat diterapkan untuk menjawab tantangan tersebut, namun perlu disesuaikan dengan karakteristik kota bersangkutan. Dalam Peraturan menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2007 bahwa ruang terbuka hijau kawasan perkotaan (RTHKP) adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Salah satu jenis dari RTHKP adalah hutan kota. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Dalam Bab I Pasal 3 disebutkan bahwa fungsi Hutan Kota adalah memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Kondisi geografis yang telah diuraikan di atas, Kota Palu pada siang hari mempunyai suhu udara yang tinggi berkisar 28-360C dengan curah hujan rendah 400-800 mm per tahun (BMKG, 2010). Di sisi lain, kecenderungan pertumbuhan penduduk Kota Palu yang relatif tinggi menuntut ketersedian lahan pemukiman. Dengan kondisi klimatologi dan kependudukan, maka perlu adanya usaha untuk menurunkan suhu udara perkotaan melalui pembangunan hutan kota. Selain itu dari Rencana Tata ruang Ruang Wilayah Kota Palu (RTRWK) diketahui bahwa luas RTH yang ada saat ini baru berkisar 3,25% atau kurang lebih 1 280,5 ha. Sedangkan rencana pengembangan RTH Kota Palu untuk mencapai sekurang-kurangnya 30% dari luas wilayah kota untuk pengembangan hutan kota pemerintah mengalokasikan lahan seluas 100 ha dan kebun raya seluas 200 ha.
Upaya ameliorasi iklim mikro dengan penataan hutan kota merupakan salah satu bagian dari peningkatan kualitas lingkungan perkotaan, karena tajuk hutan kota dapat menahan radiasi gelombang panjang dari matahari dalam bentuk radiasi infra merah yang memiliki energi termis yang tinggi. Suhu udara pada lingkungan dalam hutan kota lebih rendah 3 – 50C daripada suhu udara di sekitar gedung bertingkat. Dalam kajian ini upaya ameliorasi iklim dikaji dengan sistem dinamis dengan mempertimbangkan aspek biofisik, aspek sosial dan aspek kebijakan. Dengan interaksi ketiga aspek tersebut, maka dapat disusun model hutan kota beserta rumusan kebijakannya. Diagram alir kerangka pemikiran yang dilakukan dalam menyusun model hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu disajikan pada Gambar 1.
RTRWK Palu
UU No. 26 Tahun 2007 PP No. 15 Tahun 2010 Penyelenggaraan Penataan Ruang
Peraturan Mendagri No. 1 Tahun 2007
RTH
Kondisi Iklim dan Kependudukan Kota Palu
PP No. 63 Tahun 2002
Pembangunan
Analisis Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan
Analisis Perubahan Distribusi
Analisis Penggunaan
Analisis Jumlah Penduduk
Suhu
Analisis Hubungan
Analisis Hubungan
Luas RTH dan
Jumlah Penduduk
Model Sistem
Hutan Kota untuk Ameliorasi
Faktor Aktor Tujuan
Alternatif Strategi Hutan Kota untuk Ameliorasi
Gambar 1. Kerangka pikir model hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut: 1.
Menganalisis perubahan luasan dan sebaran jenis tutupan lahan di Kota Palu.
2.
Menganalisis hubungan dinamika perubahan luas RTH dan distribusi suhu serta peran dan kebutuhan hutan kota dalam perbaikan iklim mikro di Kota Palu.
3.
Membangun model sistem dinamik hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu.
4.
Merumuskan kebijakan yang dapat direkomendasikan untuk pembangunan hutan kota di Kota Palu.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain sebagai berikut: 1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah Kota Palu, dalam merumuskan kebijakan dan merancang perencanaan pembangunan hutan kota di Kota Palu. 2. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan dan pengkajian lebih lanjut bagi peneliti selanjutnya berkaitan dengan pemodelan hutan kota. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini merupakan model pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan iklim dan lingkungan yang sehat, nyaman serta dapat memberikan keuntungan secara ekonomis sehingga potensi sosial dan ekonomi masyarakat dapat dikembangkan.
1.6. Kebaharuan Penelitian Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan hutan kota dan ameliorasi iklim mikro sepanjang penelusuran pustaka antara lain dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Penelitian berkaitan hutan kota dan pemodelannya No.
Peneliti
Judul
Tujuan
Novelty
1.
Sobri Effendy (2007)
Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah Jabotabek
1. Menentukan bentuk hubungan RTH dan suhu udara dengan menggunakan data Landsat 2. Mengkaji kontribusi RTH, kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI 3. Mengkaji dampak UHI terhadap THI dan neraca energi
Ditemukan keterkaitan RTH dengan suhu dalam bentuk persamaan kuantitatif; RTH, kepadatan populasi, dan kendaraan berperan cukup besar dan nyata terhadap fenomena UHI perkotaan
2.
Endes N. Dahlan (2007)
Analisis Kebutuhan Luasan Hutan Kota sebagai Sink Gas CO2 Antropogenik dari Bahan Bakar Minyak dan Gas di Kota Bogor dengan Pendekatan Sistem Dinamik
1. Menganalisi s emisi gas CO2 2. Menganalisi s daya sink gas CO2 oleh pohon dan RTH
Penentuan kebutuhan luasan hutan kota dengan model sistem dinamik berdasarkan peubah daya sink gas CO2
3.
Tauhid (2008)
Kajian Jarak jangkau Efek Vegetasi Pohon terhadap Suhu
1. Mengidentif ikasi dan menganalisis jarak jangkau
Menemukan jarak jangkau efektif vegetasi pohon terhadap
No.
Peneliti
Judul
Tujuan
Novelty
Udara pada efek vegetasi suhu udara Siang Hari di pohon terhadap perkotaan . Perkotaan (Studi suhu udara siang Kasus Kawasan hari di perkotaan Simpang Lima 2. Menganalisi s vegetasi pohon Kota Semarang) agar efektif mengendalikan kenaikan suhu udara. 4.
5.
RD. Guti Gratimah (2009)
Siti Badriyah Rushayati (2011)
Analisis Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Penyerap Gas CO2 Antropogenik di Pusat Kota Medan
Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung Jawa Barat
Menentukan jumlah kebutuhan luasan hutan sebagai penyerap gas CO2 antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas berdasarkan emisi dan serapan gas CO2
Menemukan jenis pohon yang tepat dalam membangun hutan kota untuk mengatasi peningkatan kadar CO2
1. Mengkaji potensi emisi gas CO2, RTH, dan distribusi suhu permukaan 2. Membuat model kota hijau
Merumuskan parameter jenis penutupan lahan, sumber emisi CO2
Antropogenik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu dalam Tabel 1 yang berkaitan dengan hutan kota dan pemodelannya, maka kebaharuan (novelty) dari penelitian ini adalah ditemukannya model hutan kota yang didasarkan ameliorasi iklim mikro untuk pengaturan suhu perkotaan dengan pendekatan sistem dinamik, khususnya untuk hutan kota di Kota Palu. Upaya pengaturan suhu perkotaan melalui ameliorasi iklim mikro pada model hutan kota yang ditemukan secara nyata dapat meningkatkan kondisi kenyamanan kota dan penghuninya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota, berupa kawasan, memanjang berupa jalur, bersifat terbuka tanpa bangunan. Ruang terbuka merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka memiliki elemen-elemen yaitu elemen keras dan elemen lunak. Elemen keras seperti perkerasan jalan dan bangunan, sedangkan elemen lunak berupa berbagai jenis tanaman. Ruang terbuka yang sebagian besar terdiri dari elemen lunak disebut Ruang Terbuka Hijau (Chusnan, 2011). Menteri dalam negeri dalam instruksinya No 1 tahun 2007, menyatakan Ruang Terbuka adalah ruang-ruang dalam kota/wilayah yang lebih luas dimana di dalam penggunaannya bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang Terbuka Hijau ditekankan pada pemanfaatannya lebih bersifat hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman. Sedangkan menurut UU No. 26 tahun 2007, RTH adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang Terbuka Hijau (RTH) di manapun keberadaannya memberikan fungsi yang kompleks. Secara fungsional RTH dapat dicirikan : (1) sebagai area perlindungan untuk ekosistem dan penyangga, (2) sebagai sarana menciptakan kesehatan dan kehidupan lingkungan, (3) sebagai sarana rekreasi masyarakat, (4) sebagai pengendali iklim mikro, (5) sebagai pengaman pencemaran, (6) sebagai pengendali tata air/pencegah erosi, (7) sebagai perlindungan plasma nutfah, dan (8) sebagai sarana kesadaran berlingkungan (Fadjar, 2006). Berdasarkan revisi rencana tata ruang Kota Palu 2006-2025 alokasi ruang terbuka hijau (RTH) alami di kota Palu secara umum didominasi oleh keberadaan areal hutan pada kawasan lindung. Luas RTH alami pada kawasan lindung di Kota Palu adalah seluas 12 930 ha, yaitu terdiri dari Hutan Lindung seluas 7 141 ha,
danTaman Raya seluas 5 789 ha. Sementara RTH alami pada kawasan budidaya adalah berupa Hutan Produksi Terbatas seluas 4 376 ha. Sebaran jenis RTH alami di Kota Palu dibuat berdasarkan per kecamatan pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas RTH di Kota Palu menurut kecamatan tahun 2009 Taman Hutan Raya (Ha)
Hutan Produksi Terbatas (Ha)
Jumlah Total (Ha)
2 512,91
-
-
2 512,91
Palu Selatan
899,88
1 535,24
-
2 435,12
Palu Timur
3 728,19
4 235,76
2 358,22
10 322,17
Palu Utara
-
-
2 017,77
2 017,77
7 141,00
5 789,00
4 376,00
17 306,00
Kecamatan
Hutan Lindung (Ha)
Palu Barat
Jumlah
Sumber : BPS Kota Palu, 2010 Kebutuhan RTH di suatu wilayah bila didasarkan pada jumlah penduduknya, maka dapat diketahui rasionya (Tabel 3).
Tabel 3. Luas RTH kota Palu berdasarkan jumlah penduduk
No
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Luas RTH (Ha)
1
10 000
0,7
2
50 000
0,85
3
100 000
0,90
4
250 000
1,00
5
500 000
1,10
6
1 000 000
1,15
Sumber: BPS Kota Palu, 2010
Nurisjah et al (2005), menggunakan istilah urban green space atau Ruang Terbuka Hijau Perkotaan, yang diartikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan. Fungsi RTH perkotaan adalah: fungsi ekologis, fungsi arsitektural, fungsi sosial dan fungsi ekonomi (Gambar 2).
Wilayah Perkotaan
Ruang Terbuka
Ruang Terbangun
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Fungsi Intrinsik
Fungsi Ekologis
Ruang Terbuka Non-Hijau
Fungsi Ekstrinsik
Fungsi Arsitektura
Fungsi Sosial
Fungsi Ekonomi
Sumber: Nurisjah et al (2005) Gambar 2. Fungsi RTH perkotaan
RTH berkaitan dengan kenyamanan di mana pengaruh langsung RTH dalam meredam radiasi matahari melalui efek penaungan. Secara bersamaan meredam penggunaan radiasi netto untuk memanaskan udara akibat proses transpirasi, sehingga dengan adanya RTH membawa rasa nyaman dari segi suhu udara yang lebih rendah, juga suplai oksigen bagi makhluk hidup di sekitar RTH (Effendy, 2007).
2.2 Hutan Kota Definisi hutan kota menurut hasil rumusan Rapat Teknis Hutan Kota di Jakarta pada bulan Februari 1991 bahwa hutan kota adalah suatu lahan yang bertumbuhan pepohonan di wilayah perkotaan, baik di tanah negara maupun di tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau (RTH) pepohonan serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai hutan kota (Dahlan, 2004). Menurut Fakuara (1987) hutan kota diartikan sebagai suatu tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya seperti proteksi, rekreasi, estetika dan kegunaan khusus lainnya. Hutan kota merupakan bentuk persekutuan vegetasi pohon yang mampu menciptakan iklim mikro dan lokasinya di perkotaan atau dekat kota. Hutan di perkotaan ini tidak memungkinkan berada dalam areal yang luas. Bentuknya juga tidak harus dalam bentuk blok, akan tetapi hutan kota dapat dibangun pada berbagai penggunaan lahan. Oleh karena itu diperlukan kriteria untuk menetapkan bentuk dan luasan hutan kota. Kriteria penting yang dapat dipergunakan adalah kriteria lingkungan. Hal ini berkaitan dengan manfaat penting hutan kota berupa manfaat lingkungan yang terdiri atas konservasi mikroklimat, keindahan, serta konservasi flora dan kehidupan liar (Fandeli, 2004). Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Pasal 1 ayat (2) hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Departemen Kehutanan (2002), mengungkapkan ada dua pendekatan yang dipakai dalam menerapkan luas hutan kota yaitu : 4.
Pendekatan Pertama yaitu hutan kota dibangun pada lokasi-lokasi tertentu saja. Pada pendekatan ini hutan kota merupakan bagian dari suatu kota. Penentuan luasannya pun dapat berdasarkan: 1) prosentase dari luasan kota;
2) perhitungan per kapita (berdasarkan jumlah penduduk); atau 3) berdasarkan isu utama yang muncul. 5.
Pendekatan kedua yaitu semua area yang ada di suatu kota pada dasarnya adalah area untuk hutan kota. Pada pendekatan ini komponen yang ada di kota seperti pemukiman, perkantoran dan industri dipandang sebagai suatu enklave (bagian) yang ada dalam suatu hutan kota. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi
lingkungan perkotaan yang rusak adalah dengan pembangunan hutan kota yang memiliki beraneka ragam manfaat diantaranya adalah sebagai ameliorasi iklim mikro yang diharapkan dapat menurunkan suhu pada waktu siang hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi. Kehadiran pohon dalam lingkungan kehidupan manusia, khususnya di perkotaan memberikan nuansa kelembutan tersendiri. Perkembangan kota yang lazimnya diwarnai dengan aneka rona kekerasan, dalam arti harfiah ataupun kiasan, sedikit banyak dapat dilunakkan dengan elemen alamiah seperti air (baik yang diam-tenang maupun yang bergerak-mengalir) dan aneka tanaman (mulai dari rumput, semak hingga pohon) (Budihardjo, 1993). Berdasarkan letaknya, hutan kota dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu hutan kota permukiman, hutan kota industri, hutan kota wisata/ rekreasi, hutan kota konservasi dan hutan kota pusat kegiatan (Irwan, 2005). Menurut bentuknya, Dahlan (2004) membagi dalam lima bentuk, yaitu: jalur hijau, taman kota, kebun dan halaman, kebun raya/ hutan raya/ kebun binatang dan hutan lindung. Sedangkan fungsi dari hutan kota, menurut Fandeli (2004) antara lain adalah: a) identitas kota; b) nilai estetika; c) penyerap karbondioksida (CO2); d) pelestarian air tanah; e) penahan angin; f) ameliorasi iklim; g) habitat hidupan liar; dan h) produksi terbatas (manfaat ekonomi). Sedangkankan Departemen Kehutanan (2002), mengemukakan tipe hutan kota, yaitu: 1) Tipe Pemukiman, yaitu hutan kota yang berupa taman dengan komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan semak dan rerumputan. Sedangkan taman sendiri didefinisikan sebagai sebidang tanah terbuka dengan luasan tertentu di dalamnya ditanam pepohonan, perdu, semak, dan rerumputan yang dapat dikombinasikan dengan kreasi dari bahan lainnya; 2) Tipe kawasan Industri, dimana suatu
perkotaan yang memiliki satu atau dua kawasan industri yang menghasilkan limbah sehingga diperlukan beberapa jenis tanaman yang mampu menyerap polusi dari limbah tersebut; 3) Tipe rekreasi dan keindahan, maksudnya adalah rekreasi di alam terbuka, yang bertujuan untuk menyegarkan kembali kondisi badan yang sudah penat dan jenuh dengan kegiatan rutin, agar siap menghadapi tugas baru; 4) Tipe pelestarian Plasma Nutfah, yaitu hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan dan melakukan perlindungan serta pelestarian terhadap sumberdaya alam. Bentuk hutan kota yang memenuhi kriteria ini antara lain : kebun raya, hutan raya dan kebun binatang. Sasaran pembangunan hutan kota untuk pelestarian plasma nutfah adalah (a) sebagai tempat koleksi plasma nutfah, khususnya vegetasi secara ex-situ dan (b) sebagai habitat, khususnya untuk satwa yang akan dilindungi atau dikembangkan; 5) Tipe perlindungan, yaitu hutan kota yang berada di daerah pesisir dapat berguna untuk mengamankan daerah dari gempuran ombak laut yang dapat menghancurkan pantai. Hutan kota juga dibangun didaerah dengan kemiringan yang cukup tinggi yang ditandai dengan tebing-tebing yang curam ataupun daerah tepian sungai; 6) Tipe pengaman yaitu jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan. Liu dan Li (2011), mengungkapkan bahwa hutan kota memainkan peran penting dalam mengurangi pengaruh perubahan iklim dengan mengurangi karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Hal tersebut merupakan hasil dari penelitian Liu dan kawan-kawan pada hutan kota di Shenyang kota industri berat di timur laut China. Sedangkan hasil penelitian Yang etal (2009), ditemukan bahwa hutan kota memiliki kemampuan potensial untuk menghilangkan polusi udara dari atmosfer.
2.3 Iklim Mikro
Iklim mikro menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007, adalah keberadaan ekosistem setempat yang mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat sehingga temperatur menjadi terkendali, termasuk radiasi matahari dan kecepatan angin.
Iklim perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor alami dan antropogenik. Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas antropogenik, bersama-sama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim antara kota dan area non kota. Iklim suatu kota dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro (seperti garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktorfaktor baru dapat mengubah iklim lokal kota. Tata guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktorfaktor yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan. Data iklim lebih sering dipergunakan sebagai data yang mendukung pernyataan kesesuian lahan dan lokasi bagi pengembangan fungsi sebuah kawasan, terutama untuk pengembangan kawasan pertanian. Namun dalam perancangan dan perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah dipertimbangkan bahwa perubahan guna lahan yang direncanakan akan memberikan implikasi yang sangat besar terhadap sistem iklim (Susanti dan Harjana, 2006). Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan iklim kota dengan
menggunakan model simulasi, salah satu faktor terpenting yang mudah mengurangi panas dalam kota adalah bertambahnya permukaan air dalam kota yang memungkinkan berlakunya proses penguapan atau evaporasi (Myrup, 1969). Berdasarkan hasil simulasi, penambahan luas permukaan bagi proses penguapan dari 0.0 sampai 0,5 ha dapat menurunkan suhu maksimum udara dari 34,60C ke 26,20C. Implikasi kesimpulan ini adalah bahwa taman, air mancur, jalur hijau dan pohon di tepi jalan mempunyai kesan yang lebih baik daripada hanya sebagai penghias kota belaka, karena turut memberikan kesan sejuk dalam kota. Setiap material permukaan (baik vegetasi maupun bangunan) mempunyai albedo berbeda yang mengubah fraksi dari radiasi matahari yang terpantul dan terserap di permukaan (Susanti dan Harjana, 2006). Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa albedo kawasan perkotaan hanya sekitar 10-15% (albedo untuk salju adalah lebih besar dari 80%) yang berarti banyak energi matahari yang datang diserap oleh suatu kota. Selain itu, bahan bangunan yang digunakan untuk
konstruksi bangunan kota pada umumnya dicirikan oleh kapasitas dan keterhantaran panas tinggi. Kombinasi albedo yang rendah dan kapasitas panas yang tinggi ini adalah faktor antropogenik yang menciptakan karakter khusus pada kondisi atmosfer di atas kawasan perkotaan. Dampak faktor antropogenik pada iklim perkotaan tergantung pada ukuran kota, struktur spasial, jumlah penduduk, dan konsentrasi industri. Kota kecil dengan bangunan-bangunan yang relatif rendah dan menyebar di antara area hijau, tanpa pabrik-pabrik atau industri, akan cenderung memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap perubahan iklim perkotaan dibandingkan dengan kota-kota besar dengan bangunan-bangunan yang tinggi. Kondisi bentang alam dimana suatu kota berada, akan memiliki implikasi yang besar terhadap sistem interaksi faktor antropogenik dan iklim lokal. Contohnya, kota yang terletak di daerah bergunung sering berkabut dan aliran udara lemah. Hal tersebut menyebabkan kualitas udara jelek, ditambah lagi oleh inversi temperatur yang sering terjadi. Kota yang berada di lembah, formasi inversi terjadi karena adanya shading di bagian dasar dari landform oleh karena adanya kemiringan, sehingga bagian yang lebih rendah sebagai area yang mendapat shade tetap lebih dingin dari area yang terletak di atasnya, dan dengan begitu udara yang berada di dekat permukaan tanah, membentuk inversi temperatur. Ditambah lagi, udara dingin (dan lebih berat) dari area miring sekitar kota turun secara gravitasi dan berkumpul di lembah atau basin, yang memperkuat inversi. Jumlah pantulan radiasi surya suatu hutan sangat dipengaruhi oleh: panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang (Robinette, 1983). Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Suhu adalah tingkat energi kinetik gerakan molekul benda, makin cepat gerakan molekul, makin tinggi suhunya. Berdasarkan hasil penelitian oleh Wenda (1991), yang telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari hutan kota di Bogor
yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa: 1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-31,0°C dengan kelembaban 66-92%. 2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-33,1°C dengan kelembaban 62-78%. 3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3 – 32,1°C dengan kelembaban 62 78%. Kehadiran tumbuhan atau vegetasi sangat diperlukan diperkotaan mengingat tumbuhan hijau akan menjaring CO2 dan melepas O2 kembali ke udara melalui proses fotosintesis tumbuhan yang terjadi apabila ada sinar matahari dan dibantu oleh enzim, yaitu suatu proses dimana zat-zat anorganik H2O dan CO2 oleh klorofil diubah menjadi zat organik, karbohidrat serta O2 (Irwan, 2005). Setiap tahun tumbuh-tumbuhan di bumi ini mempersenyawakan sekitar 150 000 juta ton CO2 dan 25 000 juta ton hydrogen dengan membebaskan 400 000 juta ton oksigen ke atmosfer, serta menghasilkan 450 000 juta ton zat-zatorganik. Setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan CO2 yang dihembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Diuraikan pula berdasarkan penelitian Kramer & Kozlowski (1970); Federer (1970) yang dikutip dari Grey dan Deneke (1976) bahwa tumbuhan juga disebut air conditioning (AC) alami karena sebatang pohon dapat menguapkan 400 liter sehari dalam proses evapotranspirasi, setara dengan 5 AC yang berkapasitas 2500 kcal/jam yang beroperasi selama 20 jam/hari. Pepohonan, semak-belukar dan rerumputan dapat memperbaiki suhu kota melalui evapotranspirasi. Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antena pemancar radio, televisi dan lain-lain. Sebaliknya pada malam hari dapat lebihh hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (re-radiasi) dari bumi (Grey dan Deneke, 1978 dan Robinette, 1983). Lingkungan perkotaan sangat perlu untuk
disejuk-nyamankan, karena suhu dan kelembaban mempengaruhi kekuatan fisik, aktivitas dan mental seseorang (Dahlan, 2004).
2.4 Ameliorasi Iklim Mikro
Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan suhu pada waktu siang hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik. Jumlah pantulan radiasi matahari suatu hutan kota sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari, keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada daerah yang tidak ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh hutan kota adalah kelembaban. Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal dan baja. Daerah ini akan menghasilkan suhu udara 3 – 100C lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Penanaman pohon pada suatu areal akan mengurangi temperatur atmosfer pada wilayah tersebut (Forest Service Publications, 2003). Elemen-elemen pokok iklim adalah penyinaran matahari, suhu udara, aliran udara, dan kelembaban, semuanya mempengaruhi kenyamanan hidup manusia dan penghuni lainnya di bumi (Grey dan Deneke, 1978). Berkat kemajuan teknologi, manusia dapat mengatur suhu, cahaya, kelembaban dan aliran udara dalam ruangan tertutup tetapi belum mampu mengatur iklim di ruang terbuka. Pepohonan dan vegetasi lainnya dapat menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi manusia melalui pengaturan suhu, cahaya, kelembaban dan aliran udara. Pohon-pohon dapat menahan dan menyaring sinar matahari, menjinakkan arus angin, menguapkan air dan mengurangi penguapan air tanah. Dengan demikian di bawah tajuk hutan kelembaban tinggi dan evaporasi lebih rendah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan yang memiliki berbagai tipe vegetasi menghasilkan suhu udara paling rendah jika dibandingkan
dengan suhu udara di taman parkir, padang rumput dan beton (Koto, 1991). Yoyo (1987) mendapatkan bahwa daerah penghijauan di Jakarta dengan sistem jalur suhu rata-rata siang hari hanya menurun 0,3-1,40C, sedangkan penghijauan dengan sistem populasi dapat menurunkan suhu udara siang hari dari 0,8-1,70C. Ameliorasi iklim merupakan proses perbaikan iklim, sehingga diharapkan saat siang hari suhu tidak terlalu tinggi dan saat malam hari suhu tidak terlalu rendah di beberapa daerah tertentu. Sedangkan ameliorasi iklim mikro, berkaitan dengan perbaikan suhu pada tempat atau lokasi terbatas. Sebagai contoh, ameliorasi iklim mikro di hutan kota, berarti perbaikan suhu di sekitar hutan kota.
2.5 Model Pengembangan dan Analisis Sistem Analisis sistem adalah sebagai metode penelitian dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam merupakan penyajian suatu sistem dengan menggunakan metode ilmiah, sehingga dapat dibentuk sebuah konsepsi dan model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk mengadakan perubahanperubahan serta menentukan strategi dan teknik pengambilan kebijakan. Analisis sistem dapat juga didefinisikan sebagai aplikasi metode ilmiah untuk masalahmasalah yang berhubungan dengan suatu sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan teknik-teknik untuk mempelajari, menggunakan dan membuat prediksi tentang sesuatu yang komplek, yang biasanya dicirikan dengan penggunaan prosedur-prosedur matematik dan statistik dengan komputer (Grant et al., 1997). Analisis sistem merupakan metode analisis yang unit analisisnya berbasis sistem yang biasanya dilakukan dalam penelitian yang bersifat multi atau interdisiplin dan terintergrasi yang sering kali tidak mungkin dilakukan dalam keadaan yang sebenarnya (Zubair, 1994). Analisis sistem dalam arti luas mencakup dua teknik analisis, (1) meneliti keadaan dan proses dalam suatu sistem serta akibat-akibat yang timbul dari perubahan atau manipulasi; aspek ini merupakan
penelitian
gerak
laku
sistem,
dan
(2)
mengoptimalkan,
memaksimalkan atau meminimumkan fungsi perlakuan terhadap sistem; aspek ini
termasuk dalam operation research, suatu metode yang sangat berguna dalam pengambilan keputusan. Sistem sebagai seperangkat elemen yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan (Zubair, 1994). Sistem merupakan suatu proses yang sangat rumit yang ditandai oleh sejumlah lintasan sebab akibat. Dalam analisis seringkali hubungan ini dirancang menjadi lebih sederhana dalam bentuk model yang diartikan sebagai gambaran abstrak suatu sistem dunia nyata di mana hubungan antar elemen dinyatakan dalam bentuk hubungan sebab akibat. Ide dasar permodelan dalam analisis sistem adalah menghubungkan fenomena dunia nyata dalam bentuk operasi matematik. Dengan demikian, model dapat merupakan suatu simbol yang merepresentasikan secara matematis suatu situasi yang diidealisasikan yang mempunyai ciri struktur penting dari dunia nyata. Dengan model, akan dapat lebih dipahami dan menjelaskan fenomena alam, dan dibawah kondisi yang sama dapat dipakai untuk menduga perilaku sistem. Pendekatan sistem keras merupakan metode yang diawali dengan penerimaan dasar tujuan dengan pendefinisian yang benar dan spesifikasi masalah (Clayton dan Radcliffe, 1996). Metode sistem lunak (Methodology Soft System/MSS) adalah sistem pelatihan yang dipolakan untuk suatu sistem komplek yang didominasi manusia Checkland (1989). Analisis sistem mengandung pengertian tentang cara pengorganisasian data dan teori secara logika berkenaan dengan perilaku sistem ke dalam model, menguji model untuk tujuan validasi dan pengembangan model, dan menggunakan model untuk menduga perilaku sistem di masa mendatang (Hartisari, 2005). Analisis sistem berguna mendekati masalah yang secara intuitif digolongkan ke dalam organized complexitas atau kompleksitas terorganisasi (Purnomo, 2005). Artinya sistem tersebut kompleks tapi kita ada sebuah pola yang ada pada sistem tersebut. Analisis sistem akan dibentuk suatu konsepsi dan model sebagai dasar dalam pengelolaan
dapat yang yakin dapat untuk
melakukan perubahan-perubahan struktur dan metode serta menentukan kebijakan, strategi dan teknik (Zubair 1994). Tahapan pendekatan sistem meliputi: (1) Evaluasi kelayakan; (2) Pemodelan abstrak; (3) Rancangan implimentasi; (4) Implimentasi; dan (5) Operasi sistem. Evaluasi kelayakan menyangkut penurunan seperangkat alternatif sistem yang layak, yang mampu memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan. Dari alternatif sistem terpilih dirancang suatu model guna menemukan peubah-peubah penting dan tepat. Penemuan peubah-peubah erat kaitannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah. Pencirian secara detail sistem dan atau strategi pengelolaan yang didesain dalam fase pemodelan dilakukan dalam rancangan implimentasi. Pada tahap implimentasi diberikan eksistensi fisik bagi sistem yang diinginkan. Operasi sistem merupakan sarana uji bagi kecukupan sistem.
Tahap
ini
seringkali
menunjukkan
kelemahan-kelemahan
yang
memerlukan pengkajian kembali melalui modifikasi. Esensi dari analisis sistem tidak hanya terletak pada kumpulan teknik kuantitatifnya, tetapi lebih pada strategi pemecahan masalah-masalah yang sulit atau tidak dapat dipecahkan secara matematis ataupun statistik (Gambar 3).
Banyak Banyak data
Banyak data
Pemahaman rendah
Pemahaman tinggi
Sedikit data
Sedikit data
Pemahaman rendah
Pemahaman tinggi
Data
Sedikit Analisis sistem dan simulasi
Rendah
Tingkat pemahaman proses relatif
Tinggi
Gambar 3. Perbandingan metode pemecahan masalah (Grant et al., 1997).
Pemodelan sistem adalah sebuah pengetahuan dan seni. Sebuah pengetahuan karena ada logika yang jelas ingin dibangunnya dengan urutan yang sesuai. Sebuah seni karena pemodelan mencakup bagaimana menuangkan persepsi manusia atau dunia nyata dengan segala keunikannya. Tahapan pemodelan yang berbasis komputer (Purnomo, 2005), masih terbatas pada hard system dan berbasis komputer, dengan fase-fase sebagai berikut: 5.
Identifikasi isu, tujuan dan batasan;
6.
Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metode seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab akibat, diagram stok (stock) dan aliran (flow), diagram case, diagram klas dan diagram sekuens;
7.
Spesifikasi model, yaitu merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen model jika perlu;
8.
Evaluasi model, yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa jika ada dan perlu;
9.
Penggunaan model, yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau kebijakan, mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan tersebut dan pengembangan perencanaan dan agenda ke depan.
2.6 Simulasi Simulasi merupakan proses penggunaan model untuk meniru perilaku secara bertahap dari sistem yang dipelajari (Grant et al., 1997). Simulasi merupakan eksperimentasi yang menggunakan model suatu sistem dengan analisis sistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perilaku terhadap sistem yang diteliti dan kegagalan seperti yang terjadi pada eksperimen biasa. Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan
peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan (Siswosudarmo et. al.,2000). Simulasi dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: a.
Penyusunan konsep: gejala atau proses yang akan ditirukan perlu dipahami, antara lain dengan jalan menentukan unsur-unsur yang berperan dalam gejala atau proses tersebut. Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi, berhubungan dan saling berketergantungan.
b.
Pembuatan model: model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan menjadi model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik
c.
Simulasi: simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Dalam model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan mengadakan analisis hubungan sebab akibat antar unsur dengan memasukan data atau informasi untuk mengetahui perilaku gejala atau proses.
d.
Validasi hasil simulasi: hal ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil. Hasil simulasi tersebut selanjutnya digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya di masa mendatang. Struktur internal masalah dapat dipahami
secara
lebih
rinci
dengan
memahami
perilaku
dan
kecenderungannya. Pemahaman ini berguna untuk memperoleh solusi yang terbaik
mengenai
masalah
yang
dihadapi
dalam
manajemen
dan
memperkirakan kecenderungan keadaan di masa mendatang. Tahapan simulasi tersebut secara sederhana tersaji pada Gambar 4. Namun jika model yang dibuat tidak dapat memprediksi kompleksitas dunia nyata, bukan berarti model yang dibangun tidak baik. Lee (1993) dalam Purnomo et al., (2004) menyatakan bahwa perilaku dari sistem alam tidak dapat dipahami dengan lengkap sehingga prediksi atas perilakunya sering salah dan sulit dilakukan. Purnomo et al., (2004) menyatakan model-model sistem alam jarang teliti dan andal. Kegunaan model tersebut terletak pada kemampuannya untuk memenuhi asumsi-asumsi yang dibuat oleh manusia dalam memahami sistem alam atau dengan kata lain ketepatan prediksi adalah penting, tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana model tersebut bisa dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemodelan yang dilakukan. Penelitian ini akan mengikuti tahapan-tahapan simulasi model seperti pada Gambar 4. dan tentunya disesuaikan dengan kondisi aktual yang ada pada saat penelitian, baik kondisi lapangan maupun teknologi yang tersedia, sehingga diharapkan dapat memaksimalkan hasil penelitian yang dilaksanakan.
Gejala Proses Validasi Hasil Simulasi Penyusunan Konsep
Simulasi
Pembuatan Model Model
Gambar 4. Tahap-tahap simulasi model (Siswosudarmoet al.,2001)
2.7 Pemodelan Sistem Dinamik Menurut Hartrisasi (2007), sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu. Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem. Sistem dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan-balik terhadap input. Sebaliknya pada sistem tertuutp, output memberikan umpan balik terhadap input. Sistem terbuka tidak menyediakan sarana koreksi dalam sistem, sehingga perlakuan koreksi
membutuhkan faktor dari luar (ekternal), sedangkan pada sistem tertutup sarana koreksi berada dalam sistem, sehingga perlakuan koreksi dapat dilakukan secara internal. Model merupakan penyederhanaan sistem, hal ini disebabkan sistem sangatlah kompleks, sehingga tidak mungkin membuat model yang dapat menggambarkan seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya (Hartrisari, 2007). Lebih lanjut dijelaskan bahwa model disusun untuk beberapa tujuan, antara lain: pemahaman proses yang terjadi dalam sistem, prediksi dan menunjang pengambilan keputusan. Menurut Kakiay (2004) penggunaan model dan simulasi mempunyai keuntungan: 1) Menghemat waktu; 2) Dapat merentang-luaskan waktu; 3) Dapat mengawasi sumber-sumber yang bervariasi; 4) Mengoreksi kesalahan-kesalahan perhitungan; 5) Dapat dihentikan dan dijalankan kembali; 6) Besaran konstanta sistem dapat diubah-ubah untuk melihat pengaruhnya. Sedangkan kelebihan penggunaan model dan simulasi
menurut Levin, et. al., (2002) adalah satu-
satunya metode uji-coba yang tersedia karena pada lingkungan yang sesungguhnya sulit dilakukan uji-coba dan sulit diamati. Model yang dibangun harus mirip sistem nyata. Oleh sebab itu, perlu dilakukan uji verifikasi dan validasi model. Uji verifikasi adalah proses pemeriksaan apakah logika operasional model sudah sesuai dengan logika. Melalui uji verifikasi dapat dilakukan pemeriksaan apakah program komputer yang sudah disusun menghasilkan simulasi data yang sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan uji validasi merupakan uji dari model yang telah dibuat yang bersifat konseptual, sebagai sebuah representasi dari dunia nyata. Analisis model dinamik dilakukan terhadap variabel – variabel yang telah teridentifikasi melalui metode softsystem, yang meliputi aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Analisis model dinamik yang merupakan metode hardsystem dilakukan melalui 2 tahap, yaitu pembuatan diagram simpal kausal dan diagram alir. Diagram simpal kausal menunjukkan hubungan antar variabel dalam proses
sistem yang dikaji. Prinsip dasar pembuatannya adalah suatu proses sebagai sebab yang akan menghasilkan keadaan, atau sebaliknya suatu keadaan sebagai sebab akan menghasilkan proses. Sedangkan diagram alir dibuat berdasarkan persamaan model dinamik yang mencakup variabel keadaan (level), aliran (rate), auxiliary, dan konstanta (constant). Variabel tersebut berupa lambang - lambang yang digunakan dalam pembuatan model dengan menggunakan piranti lunak Powersim. Model yang dikembangkan selanjutnya digunakan sebagai alat simulasi. Simulasi ini dilakukan setelah uji validitas dan hasil pengujian menunjukkan adanya kesesuaian atau keabsahan antara hasil simulasi dengan data empiris (Sushil1993; Muhammad et.al., 2001). Analisis dan simulasi sistem dinamik dilakukan dengan bantuan program Powersim Constructor untuk memproyeksikan kecenderungan kondisi pengelolaan taman nasional saat ini dan analisis prospekif dampak pengelolaan setelah adanya kebijakan.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah administrasi Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah yang terletak di 1190 52’ 21,3” – 1200 57’ 24,2” Bujur Timur dan 00 35’ 13” – 00 53’ 24” Lintang Selatan (Gambar 5). Sumber : Bappeda Kota Palu, 2010
Gambar 5. Peta lokasi penelitian Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama 6 (enam) bulan yaitu mulai bulan Maret 2011 sampai dengan Agustus 2011 dengan rincian dua bulan pengambilan data lapangan dan empat bulan analisis data serta penyusunan disertasi hasil penelitian.
3.2. Jenis Data dan Alat
Jenis data yang telah diambil dan sumber data penelitian ditampilkan dalam Tabel 4. Tabel 4. Jenis, sumber dan kegunaan analisis data Jenis Data Citra Landsat-7 ETM+ Kota Palu path 114 row 61 tahun 2005-2010
Sumber
Kegunaan Analisis
USGS (melalui BIOTROP)
Mengetahui dinamika penutupan lahan
1. Pengukuran langsung 2. Dinas tata ruang kota Palu 3. BMKG Kota Palu
Mengetahui dinamika suhu udara
3. BPS 4. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja 5. Dll
Membangun pemodelan dan merumuskan kebijakan
3. Pengukuran langsung 4. Dinas Kehutanan Kota Palu 5. Dinas Tata Ruang Kota Palu
Mengetahui sebaran RTH
Data Biofisik 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Topografi Arah angin Curah hujan Suhu Kecepatan angin Kelembaban
Data Sosial dan Ekonomi 1. Jumlah penduduk 2. Kepadatan penduduk 3. Pola pemanfaatan sumberdaya Lahan Data Kebutuhan Peta Tematik 1. 2. 3. 4. 5.
Peta Tanah Peta Geologi Peta Pembangunan Lahan Peta Fungsi lahan Peta administrasi
Dalam penelitian ini alat dan bahan yang digunakan antara lain: 1.
Thermo-Hygrometer,
2.
Meteran dan anemometer,
3.
Global Positioning System (GPS),
4.
Kamera digital, dan voice recording,
5.
Kuestioner
6.
Peta Beberapa perangkat lunak yang digunakan untuk kebutuhan analisis data
yaitu: ArcView 3.3, ERDAS imagin 8.5, CDP 3.04, perangkat lunak sistem dinamik yaitu Powersim Studio 2005,Minitab 14,Excel.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian dibagi dalam beberapa tahap kegiatan sesuai dengan tujuan Penelitian. Tahapan kegiatan, tujuan penelitian, metode penelitian dan analisis data, serta output penelitian secara ringkas disajikan pada Gambar 6 berikut:
3.3.1 Analisis Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan. a. Metode Pengumpulan Data Data primer yang didapatkan dalam penelitian ini adalah peta sebaran fungsi lahan, perubahan suhu, kecepatan arah angin dan kelembaban. Sedangkan data sekunder adalah data sosial seperti jumlah penduduk, dan data konsumsi listrik di Kota Palu. b. Metode Analisis Data Data dianalisis secara deskriptif kuantitaif yaitu dengan menguraikan luas sebaran, fungsi dan sistem pengelolaan ruang terbuka hijau yang ada saat ini. Analisis data dilengkapi dengan hasil tabulasi dan penggambaran grafik.
30
3.3.1 Analisis Hubungan Perubahan Luas RTH dan Distribusi Suhu, Hubungan Jumlah Penduduk dan Penggunaan Listrik, serta Peran dan Kebutuhan RTH di Kota Palu.
a. Metode Pengumpulan Data Pengukuran Suhu dan kelembaban udara di sembilan titik pengambilan sampling. Pengukuran dilakukan secara serentak, pada pukul 10.00 WITA dan masing-masing titik dilakukan pengukuran ulangan sebanyak 6 kali. Selain melakukan pengamatan langsung, dilakukan juga proses pengumpulan data citra dengan cara mengunduh di website USGS melalui BIOTROP , analisis citra time series 1997-2010. Jenis penutupan lahan dan lokasi pengambilan contoh sampling disajikan dalam Tabel 5 dan Gambar 7.
b. Metode Analisis Data Analisis
perubahan
penutupan
lahan
dilakukan
dengan
kegiatan
pengolahan citra Landsat TM dan ETM menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine. Pengolahan citra Landsat TM dan ETM meliputi layer stack, koreksi geometrik, pemotongan citra, klasifikasi penutupan lahan, uji akurasi untuk hasil klasifikasi penutupan lahan. Untuk analisis distribusi suhu tidak dilakukan karena citra lansat yang ada rusak sehingga analisis suhu tidak valid untuk itu digunakan data BMKG series thn 1997-2010. Langkah-langkah dalam melakukan interpretasi citra dilakukan berdasarkan langkah-langkah berikut: b.1. Koreksi Geometrik Citra Landsat Data citra yang telah di layerstack kemudian dikoreksi berdasarkan koordinat geografisnya yang disebut dengan koreksi geometrik. Proses koreksi geometrik dilakukan dengan dua cara yaitu koreksi citra ke peta acuan atau koreksi citra ke citra acuan yang telah terkoreksi (Jaya, 1997 dalam Haris, 2006). Pada penelitian kali ini koordinat yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sebagai acuan adalah citra series tahun 1997-2010 yang telah terkoreksi. Penggunaan koordinat UTM dimaksudkan untuk mempermudah
proses analisis. Adapun langkah-langkah pengkoreksian citra adalah sebagai berikut: o
Koreksi geometrik citra menggunakan titik ikat medan (GCP) pada citra Landsat yang akan dikoreksi dengan peta atau citra acuan. Pada penelitian ini yang digunakan adalah citra tahun series 1997-2010 yang telah terkoreksi (proses georeferensi dari citra ke citra). Dari citra yang akan dikoreksi diambil koordinat filenya, dan citra acuan diambil koordinat lintang dan bujur pada lokasi yang sama.
o
Pencarian harga error dari titik kontrol agar dapat diketahui tingkat kesalahan pengolahan, dengan harga error maksimum 0,1.
o
Jika error mendekati 0,5 maka dapat dilakukan koreksi dengan interpolasi nearest neighbours.
b.2 Pemotongan Citra (Cropping) Pemotongan citra dilakukan sesuai dengan daerah penelitian. Pada penelitian ini citra yang telah terkoreksi dipotong dengan peta Batas Administratif Kota Palu yang diperoleh dari BAPPEDA Kota Palu. b.3. Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi terbimbing yang menggunakan training sample. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan Band 5, 4, dan 2. Adapun langkah yang dilakukan adalah: o
Pengambilan Sampel Sebelum dilakukan proses klasifikasi peta diambil daerah latihan (training sample areas) dengan menggunakan peta rupa bumi sebagai acuan. Pengambilan sampel berdasarkan pada kenampakan warna yang terdapat pada citra atau pengamatan visual. Sampel dibagi dalam kelas lahan bervegetasi pohon, ladang, sawah, semak dan rumput, lahan terbangun, lahan terbuka dan badan air.
o
Proses Klasifikasi Klasifikasi dilakukan terhadap hasil sampling dengan menggunakan metode
pengkelas
kemiripan
maksimum
(maximum
like
hood
classification). Metode klasifikasi pengkelas kemiripan maksimum yaitu metode mempertimbangkan kemiripan spektral dengan spektral maksimum suatu objek yang dominan akan dimasukkan menjadi satu kelas dan jika nilai spektralnya jauh dari maksimum akan dimasukkan ke dalam kelas lain. Pada proses klasifikasi ini akan diperoleh citra kelas penutupan lahan dan presentase penutupan lahan dari masing-masing kelas. o
Uji Akurasi Proses uji akurasi hanya dilakukan pada pengolahan penutupan lahan. Kegiatan uji akurasi digunakan untuk menilai seberapa besar kesesuaian antara hasil klasifikasi dengan kondisi tutupan lahan di lapangan.
Tabel 5. Lokasi pengambilan sampel iklim mikro
Lokasi
Waktu
Jenis Penutupan Lahan
Posisi Geografis LS
BT
Elevasi Dpl (m)
1
Ngata Baru
10.00
Hutan Rakyat
00° 55’ 16,5”
119° 57’ 16,5"
317
2
Palupi
10.00
Permukiman
00° 55’ 39,6”
119° 51’ 43,6"
70
3
Bayoge
10.51
Kebun Campuran
00° 55’ 00,1”
119° 57’ 17,0"
49
10.40
Pertokoan
00° 53’ 55,5”
119° 52’ 21,3
38
10.37
Taman Kota
00° 53’ 47,2”
119° 52’ 06”
37
10.33
Jalan Raya
00° 53’ 36,9”
119° 52’ 11,3"
28
00° 52’ 07,9”
119° 53’ 16,5"
90
4
5
6
Hasanudin Pertokoan
Hasanudin Taman Kota
Jl. Sudirman
Hamparan Tumbuhan
7
S.T.Q
10.05
8
Tondo
10.13
Industri
00° 49’ 12,5”
119° 52’ 55,6"
22
9
Taman Ria
10.27
Tepi Pantai
00° 53’ 05,1”
119° 57’ 24,2"
22
34
3.3.3 Membangun Model Hutan Kota di Kota Palu Sistem dinamik digunakan untuk mensimulasikan perilaku interaksi antar sistem yang menentukan tingkat keberlanjutan kota-kota yang ada yang ditentukan oleh variabel biofisik sosial ekonomi dan lingkungan. Metode ini digunakan
untuk
menganalisis
kompleksitas
permasalahan
pembangunan
infrastruktur terpadu melibatkan banyak pihak (stakeholders) dan komponenkomponen dalam sistem tersebut sangat kompleks meliputi aspek lingkungan, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan cara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem secara operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut Eriyatno (2003), permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya (limited of resource). Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan beberapa tahapan secara sistematis dan terintegrasi, secara diagramatik disajikan pada Gambar 8. Lebih lanjut Eriyatno (2003) menjelaskan, prosedur analisis sistem meliputi beberapa tahapan diantaranya analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi. a. Analisis Kebutuhan Pada tahap ini dinyatakan kebutuhan-kebutuhan yang ada, meliputi stakeholders yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten, Pengusaha, Masyarakat Pelaku Ekonomi Lokal, LSM, Masyarakat Perkotaan dan Lembaga Keuangan/Badan/Negara Donor. Kemudian dideskripsikan daftar kebutuhannya. Analisis kebutuhan dilakukan terhadap
semua pelaku yang terlibat dalam sistem tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui gambaran awal terhadap perilaku sistem yang akan terjadi.
Mulai
A
Analisis Kebutuhan
Pemodelan Sistem
Formulasi Permasalahan
Identifikasi Sistem
A
B
Memuaska
Implementasi
Memuaskan
Selesai
Gambar 8. Tahapan pendekatan sistem dalam penelitian
b. Formulasi Masalah Terjadinya konflik kepentingan antara para pemangku kebijakan, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan dengan mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada dari masing-masing pemangku kebijakan dengan adanya pengaruh dari pemangku kebijakan yang lain. Kota Palu sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, secara geografis terletak diantara 0,360-0’,560” LS dan 119,450-121’,10” BT, merupakan kota tropis yang memiliki bentang alam dengan kondisi biofisik dan panorama alam yang khas, membentang pada bagian Utara Lembah Palu dan Pesisir Teluk Palu.
Letak geografis dan kondisi lansekap yang sedemikian ini menyebabkan Kota Palu sebagai daerah bayang-bayang hujan dengan curah hujan terendah di Indonesia. Di sisi lain, adanya kawasan terbuka berupa lahan kering yang ada pada sebagian pesisir teluk juga telah berkontribusi menghasilkan emisi radiasi permukaan yang secara simultan dengan pergerakan udara dari permukaan air laut di Teluk Palu berperan menghasilkan suhu udara yang tinggi utamanya di kawasan perkotaan pada siang hari. Hal ini akan ditambah dengan permasalahan trend percepatan pertumbuhan penduduk perkotaan, peningkatan mobilisasi penduduk dan pembangunan industri yang tentunya akan berimbas pula terhadap kenaikan suhu udara di perkotaan Kondisi Kota Palu telah mengalami tekanan dan ancaman yang disebabkan oleh aktivitas industri dan kendaraan bermotor serta aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ekologis terutama iklim mikro sebagai penyeimbang dan penyerap polusi. c. Identifikasi Sistem Parameter
rancang
sistem
adalah
parameter-parameter
yang
mempengaruhi input sampai menjadi (transformasi) output. Tiap-tiap sistem memiliki parameter rancangan tersendiri, yang dapat berupa lokasi fisik, ukuran dari sistem dan komponennya, ukuran fisik dari sistem, serta jumlah dan tipe komponen dari sistem. Parameter rancang sistem cenderung konstan karena hal ini tidak dapat diubah tanpa penggantian sumberdaya. Dalam beberapa hal mungkin diharapkan untuk mengubahnya selama sistem berjalan untuk memperbaiki kemampuan sistem agar tetap berjalan baik apabila ada perubahan kondisi lingkungan. Pembangunan perkotaan akan menyebabkan penurunan fungsi ekologis terutama dari fungsi RTH. Pembangunan perkotaan akan menambah ruang kawasan terbangun baik berasal dari kawasan hunian maupun non kawasan hunian sehingga akan menyebabkan pengurangan luas ruang terbuka hijau selanjutnya akan menyebabkan perubahan iklim mikro. Secara garis besar Causal Loop Diagram tersaji pada Gambar 9 . Diagram Blackbox disajikan pada Gambar 10.
Luasan
-
Lahan Pengembangan
Hutan Kota
-
-
Penduduk/
+
Manusia
+ +
+
Lahan Terbangun Penggunaan Listrik
-
Pembanguna n Hutan Kota
+ + Kebutuhan Hutan Kota
+
SUHU
+
RTH
-
Lahan Terbuka
Gambar 9. Diagram sebab akibat (causal loop diagram) pemodelan hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu.
INPUT LINGKUNGAN Letak Geografis Iklim: Suhu Tinggi, Kelembaban Rendah INPUT TAK TERKENDALI
OUTPUT DIKEHENDAKI Suhu rendah, kelembaban tinggi Luasan hutan kota dan RTH cukup Lingkungan kota yang sejuk, sehat dan indah Vegetasi jenis terpilih
Jumlah Penduduk Luasan RTH RTRWK Palu Kebijakan
PEMODELAN HUTAN KOTA UNTUK AMELIORASI IKLIM MIKRO
INPUT TERKENDALI
OUTPUT TAK DIKEHENDAKI
Vegetasi/ Jenis Terpilih Alokasi lahan (Letak) Luasan Hutan Kota Dana Pembangunan dan Pengembangan Hutan Kota
1. Vegetasi/Jenis Eksotik Tidak Terkendali 2. Alokasi Lahan Hutan Kota untuk Peruntukan Lainnya 3. Biaya Pembangunan dan Pemeliharaan Tidak Terkendali PARAMETER
Pengukuran Suhu , kecepatan angin, kelembaban, arah angin, curah hujan, menentukan elevasi dari permukaan laut. PENGELOLAAN HUTAN KOTA
Gambar 10. Diagram input-output (Black Box) pemodelan hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu.
3.3.4 Merumuskan Kebijakan yang Dapat Direkomendasikan untuk Pembangunan Hutan Kota di Kota Palu Untuk merumuskan arahan kebijakan model hutan kota di Kota Palu digunakan pendekatan Analisis Hierarkhi Proses (AHP). AHP digunakan dalam pengambilan keputusan atas permasalahan yang dilakukan secara kelompok dan permasalahan yang belum. AHP yang dikembangkan oleh Saaty (1993), merupakan suatu metode dalam memecahkan situasi kompleks dan tidak berstruktur ke dalam bagian komponen yang tersusun secara hierarki baik struktural maupun fungsional. Proses sistemik dalam AHP memungkinkan pengambil keputusan mempelajari interaksi secara simultan dari komponen dalam hirarki yang telah disusun. Keharusan nilai numerik pada setiap variabel masalah membantu pengambil keputusan mempertahankan pola pikiran yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan. Penyusunan secara hirarki dalam AHP mencerminkan pemikiran untuk memilahkan
elemen
sistem
dalam
berbagai
tingkat
berlainan
dan
mengelompokkan unsur yang serupa pada tiap tingkat. Tingkat puncak yang disebut fokus hanya satu elemen yaitu sasaran keseluruhan yang sifatnya luas. Tingkat berikutnya masing–masing dapat memiliki beberapa elemen. Dikarenakan elemen dalam suatu tingkat akan dibandingkan satu dengan yang lainnya terhadap suatu kriteria yang berada di tingkat atas, maka elemen dalam setiap tingkat harus dari derajat besaran yang sama (Gambar 11). Metode AHP dimulai dengan menstrukturkan suatu situasi yang kompleks tak struktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata komponen atau variabel ke dalam suatu hirarki, memberi nilai relatif tingkat kepentingan yang ada setiap variabel dengan pertimbangan subyektif dan mensintesis berbagai pertimbangan tersebut untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dalam mempengaruhi hasil.
a. Prinsip dasar AHP Prinsip dasar penyelesaian persoalan dengan metode AHP adalah decomposition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency. 1) Decomposition Decomposition adalah proses pemecahan persoalan menjadi unsurunsurnya. Pemecahan dilanjutkan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak dapat dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tersebut untuk mendapatkan hasil yang akurat 2) Comparative judgement Comparative judgement adalah membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian dapat disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparition. 3) Synthesis of Priority Synthesis of priority adalah menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya. Penentuan peringkat dilakukan dengan cara mencari eigenvector pada setiap matrik pairwise comparison untuk mendapatkan local priority. Karena matrik pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis diantara local priority. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa dinamakan priority setting. 4) Logical Consistency Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyekobyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Konsistensi logis menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
5)
Komparasi berpasangan Penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan pada setiap tingkat hirarki dilakukan dengan judgement melalui pembandingan. Nilai tingkat kepentingan ini dinyatakan dalam bentuk kualititif dengan
membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasikan digunakan skala penilaian. Menurut Saaty (1993), skala penilaian 1 sampai 9 merupakan yang terbaik berdasarkan nilai Root Mean Square Deviation (RMS) dan Median Absolute Deviation atau MAD (Tabel 6).
Tabel 6. Skala komparasi dalam AHP Tingkat
Definisi
Kepentingan 1
Sama pentingnya
3
Sedikit lebih penting
5
Jelas lebih penting
7
Sangat jelas lebih penting
9
Mutlak lebih penting
2, 4, 6, 8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
1/ (1- 9)
Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 – 9.
Sumber: Saaty (1993)
b. Langkah-langkah Penyelesaian 6.
Matriks pendapat individu Pada penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan di setiap tingkat hirarki keputusan dilakukan dengan judgement melalui komparasi berpasangan. Nilai yang didapat disusun dalam bentuk matrik individu dan gabungan yang kemudian diolah untuk mendapatkan peringkat.
Jika C1, C2, …….. Cn merupakan set elemen suatu tingkat keputusan dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan setiap elemen terhadap elemen lainnya akan membentuk matrik A yang berukuran n x n. Apabila Ci dibandingkan dengan Cj, maka aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci terhadap Cj. Nilai matriks aij = 1/ aij, yaitu nilai kebalikan dari nilai matriks aij. Untuk i = j , maka nilai matriks aij = aji = 1, karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri adalah 1. Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1, C2, …….. Cn untuk ij = 1, 2, 3, ……n dan ij adalah sebagai berikut : Tabel 7. Hasil Transformasi Matriks Pendapat C1
C2
C3
..
Cn
C1
1
a12
a13
..
a1n
C2
1 / a12
1
a23
..
a2n
C3
1 / a13
1 / a23
1
..
a3n
..
..
..
..
..
..
Cn
1 / a1n
1 / a2n
1 / a3n
..
1
7. Matriks pendapat gabungan Matriks pendapat gabungan (G), merupakan susunan matriks baru yang elemen-elemen matriksnya (gij) berasal dari rata-rata geometrik pada elemen matriks pendapat individu (aij) yang resiko konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan. Formulasi nilai rata-rata geometrik adalah sebagai berikut: g ij
m
m
k 1
a ij k
Keterangan : gij = Elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i dan kolom ke-j
aij
= Elemen matrik pendapat individu pada baris ke-i dan kolom kej untuk matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi (CR) yang memenuhi persyaratan ke-k.
ij
= 1, 2, …..…………. n
k
= 1, 2, …………….. m
m
= Jumlah matriks pendapat individu dengan CR memenuhi persyaratan
8.
Pengolahan horizontal Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas elemenelemen keputusan pada tingkat hirarki keputusan. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal ditunjukkan pada persamaanpersamaan berikut: Perkalian baris (Zi) dengan rumus: Zi
m
m
a
ij ( k )
k 1
Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen (VPi) dengan rumus: m
n
VP i
a ij(k )
k 1 m n a ij(k) i1 k 1 n
Perhitungan nilai eigen maksimum (mak) dengan rumus:
VA a ij VP , dengan VA va i
VB
VA , dengan VB vb i VP i
max
1 n
n
i1
vb i
, untuk i = 1, 2, 3, …. n
Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus:
CI
max n n 1
Perhitungan rasio konsistensi (CR) dengan rumus:
CR
CI RI
Dengan RI : Indeks Acak (Random Index) Nilai Indeks Acak (RI) bervariasi sesuai dengan orde matriksnya. Untuk lebih jelasnya, indeks acak untuk orde tertentu dapat dilihat dihalaman berikutnya. Orde (n) RI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
Nilai rasio konsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0.1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian nilai CR merupakan tolok ukur bagi konsistensi hasil komparasi berpasangan dalam suatu matrik pendapat. 9.
Pengolahan Vertikal Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama (ultimate goal). Jika didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama, maka: s
CVij CHijti1 VWt i1 t 1
Untuk : i = 1, 2, 3, ……………. p j = 1, 2, 3, ……………. r t = 1, 2, 3, ……………. s
Keterangan : s
CH
ijt ( i 1)
= Nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i
t 1
terhadap elemen ke-t pada tingkat di atasnya (i –1), yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal.
VWt (i 1)
= Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke-(i-1) terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil pengolahan vertikal.
p
= Jumlah tingkat hirarki keputusan
r
= Jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i
s
= Jumlah elemen yang ada pada tingkat ke- (i - 1).
Jika di dalam hirarki keputusan terdapat dua faktor yang tidak berhubungan, maka nilai prioritas sama dengan nol. Vektor prioritas untuk tingkat ke-i (CV) didefinisikan sebagai berikut:
CV i CV ij
, untuk j = 1, 2, 3, ………. s
Menurut Saaty (1980), teknik komparasi berpasangan yang digunakan dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden. Responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik permasalahan tersebut. Jika responden merupakan kelompok, maka seluruh anggota diusahakan memberikan pendapat (judgement) (Gambar 11).
Pemodelan Hutan Kota Untuk Ameliorasi Iklim Mikro
Fokus
Faktor
Kebutuhan Permukiman
Desain
Lahan
Tata Ruang
Hutan Kota
LSM
Masyarakat
0.33
0.10
0.24
Kelestarian Lingkungan
Alternatif
Kebijakan
Pemerintah
Aktor
Tujuan
Ketersediaan
Penyempurnaan Peraturan Pengembangan dan Pembangunan
Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau
Perguruan tinggi
Swasta 0.12
Ameliorasi Iklim Mikro
Kebutuhan Masyarakat
0.24
Kota Palu
Penyediaan Areal Ruang Terbuka Hijau dan Jenis Tanaman Terpilih
Kebijakan Insentif dan disinsentif
Hutan Kota
Gambar 11. Struktur analisis hirarki proses pengembangan model hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro
IV ANALISIS SITUASIONAL
4.1. Gambaran Umum Kota Palu Kota Palu secara geografis berada di tengah wilayah Kabupaten Donggala. Tepatnya sepanjang bibir pantai Teluk Palu atau memanjang dari timur ke barat, terletak di sebelah selatan garis katulistiwa pada koordinat 1190 52’ 21,3” – 1200 57’ 24,2” Bujur Timur dan 00 35’ 13” – 00 53’ 24” Lintang Selatan. Batas administratif Kota Palu: Sebelah Utara
: Teluk Palu dan Kabupaten Donggala
Sebelah Timur
: Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong
Sebelah Selatan
: Kabupaten Sigi
Sebelah Barat
: Kabupaten Donggala
Luas wilayah Kota Palu sebesar 39.506 ha terdiri dari dataran rendah, dataran bergelombang dan dataran tinggi. Secara geografis dataran Kota Palu terbentuk karena adanya proses pengangkatan (graben). Proses graben ada yang membuat beberapa permukaan tanah terangkat cukup tinggi (membentuk bukit sampai pegunungan) seperti yang terlihat di sepanjang pantai Teluk Palu bagian barat. Wilayah Kota Palu dicirikan oleh bentuk utama berupa lembah (graben) dimana pusat Kota terletak di bagian tengah dari lembah tersebut. Orientasi lembah ini mengikuti arah utama jalur pegunungan di kedua sisinya, yaitu berarah relatif utara-selatan. Secara geologis, orientasi fisiografi ini berhubungan dengan proses struktur yang terjadi serta jenis batuan yang menyusun Kota Palu, dimana sisi kiri dan kanan Kota Palu merupakan jalur patahan utama, yaitu patahan Palu-Koro serta wilayahnya disusun oleh batuan yang lebih keras dibanding material penyusun bagian lembah. Berdasarkan hubungan geologi tersebut, geomorfologi Kota Palu dapat dibagi kedalam tiga satuan geomogfologi, yaitu :
3 Satuan Geomorfologi Dataran, dengan kenampakan morfologi berupa topografi tidak teratur, lemah, merupakan wilayah dengan banjir musiman, dasar sungai umumnya meninggi akibat sedimentasi fluvial. Morfologi ini disusun oleh material utama berupa aluvial sungai dan pantai. Wilayah tengah Kota Palu didominasi oleh satuan geomorfologi ini. 4 Satuan Geomorfologi Denudasi dan Perbukitan, dengan kenampakan berupa morfologi bergelombang lemah sampai bergelombang kuat. Wilayah kipas aluvial (aluvial fan) termasuk dalam satuan morfologi. Di wilayah Palu morfologi ini meluas di wilayah Palu Timur, Palu Utara, membatasi antara wilayah morfologi dataran dengan morfologi pegunungan. 5 Satuan Geomorfologi Pegunungan Tebing Patahan,
merupakan wilayah
dengan elevasi yang lebih tinggi. Kenampakan umum berupa tebing-tebing terjal dan pelurusan morfologi akibat proses patahan. Arah pegunungan ini hampir utara-selatan, baik di timur maupun di barat dan menunjukkan pengaruh struktur/tektonik terhadap bentuk kini morfologi kota berupa lembah. Umumnya wilayah ini bukan merupakan wilayah hunian. Kota Palu yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Donggala secara geologis juga termasuk wilayah yang sangat dipengaruhi oleh kegiatan tektonik yang menghasilkan struktur-struktur yang diantaranya mengontrol bentukanbentukan ataupun timbulan permukaan bumi. Struktur-struktur baik lokal maupun regional dapat dijumpai, baik dengan mengamati peta topografi, kenampakan bentang alam, pengaruhnya pada singkapan dan gejala alam seperti mata air panas. Jalur patahan utama yang terbentuk dan masih aktif berlangsung adalah Sesar Palu – Koro. Di samping struktur-struktur regional, juga terbentuk struktur geologi lokal berupa lipatan-lipatan kecil serta kekar-kekar yang terbentuk secara sporadis pada hampir seluruh jenis satuan batuan yang menyusun wilayah. Struktur-struktur geologi meskipun bersifat lokal namun menunjukkan adanya hubungan dengan struktur regional di bagian tengah Pulau Sulawesi, dimana wilayah ini dilalui oleh jalur patahan berupa patahan Palu-Koro (Palu-Koro Fault). Struktur patahan merupakan gejala alam
normal yang dapat terjadi di mana saja yang erat
kaitannya dengan kegiatan tektonik.
Sejarah gempa bumi di bagian tengah Sulawesi telah tercatat sejak abad ke19, dimana beberapa diantaranya mempunyai magnitude yang besar, di antaranya tahun 1968 (6,7 SR), 1993 (5,8 SR) dan 2005 (6,2 SR). Kegempaan di Sulawesi ini juga ditandai dengan frekuensi tsunami yang tinggi di bagian Selat Makassar, sebagaimana yang terjadi pada tahun 1927 di Teluk Palu dengan ketinggian gelombang mencapai 15 m, tahun 1968 di Mapaga (10 m) dan tahun 1996 di Simuntu-Pangalaseang (1 – 3,4 m)1.
4.2. Kondisi Penduduk Kota Palu Jumlah penduduk Kota Palu mencapai 313 179 jiwa (BPS Kota Palu 2011). Kepadatan penduduk Kota Palu keadaan akhir tahun 2009 tercatat 793 jiwa/km², dengan luas wilayah Kota Palu 395,06 km². Bila dilihat penyebaran penduduk pada tingkat kecamatan, ternyata Kecamatan Palu Selatan merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi yaitu 1 797 jiwa/km², sedangkan Kecamatan Palu Timur merupakan wilayah yang terjarang penduduknya yaitu sebanyak 392 jiwa/km². Komposisi atau struktur umur penduduk Kota Palu selama tahun 2009 hampir 66,30% berada pada kelompok umur 0-34 tahun, hal ini menunjukkan bahwa penduduk Kota Palu berada pada kelompok penduduk usia muda. Dengan melihat perbandingan jumlah penduduk yang berusia non produktif dengan penduduk usia produktif dapat diketahui besarnya angka ketergantungan pada tahun 2009 yaitu sebesar 0,49 artinya bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung sebanyak kurang lebih 49 orang penduduk usia tidak produktif (0-14) tahun dan 65 tahun keatas. Sebagai
konsekuensi
dari
pertambahan
jumlah
penduduk
adalah
bertambahnya jumlah penduduk yang masuk ke dalam angkatan kerja. Pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan pertambahan penyediaan lapangan kerja berakibat pada timbulnya pengangguran. Data yang diperoleh dari 1
Sumber : Bappeda Kota Palu, Laporan Rencana Tata Ruang Kota Palu Tahun 2006-2025.
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Palu tahun 2009 menunjukkan bahwa sebagian besar pencari kerja yang terdaftar belum dapat ditempatkan karena kurangnya lowongan/kesempatan kerja yang tersedia (Badan Pusat Statistik Kota Palu, 2011). 4.3. Perekonomian Kota Palu Pembangunan perekonomian Kota Palu menunjukkan kemajuan yang berarti, kondisi ini ditunjang dengan perbaikan iklim makro ekonomi Kota Palu yang semakin membaik. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir (periode 20062009) dengan penilaian terbaru tahun dasar 2000, menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan ditandai dengan tingginya angka pertumbuhan ekonomi yaitu 7,59 persen dengan total PDRB atas dasar harga berlaku saat ini sebesar 5 332 677 juta rupiah. Indikator ini memperlihatkan bahwa serangkaian kebijakan mendasar yang telah digariskan oleh pemerintah untuk meningkatkan kinerja sektor-sektor ekonomi telah menunjukkan hasil yang signifikan dalam pembangunan di Kota Palu. Pertumbuhan ekonomi Kota Palu terus mengalami peningkatan hingga mencapai 7,23% pada tahun 2008 dan pada tahun 2009 yaitu menjadi 7,59%. (Badan Pusat Statistik Kota Palu, 2011). Berdasarkan harga berlaku, diketahui bahwa sektor ekonomi yang paling berperan adalah sektor jasa-jasa dengan kontribusi sebesar 28,87%, kemudian disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 13,85%, sektor industri pengolahan sebesar 12,61%, sektor angkutan dan komunikasi 12,95%, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 11,76%, sektor bangunan, sektor penggalian, dan sektor listrik dan air bersih, sektor pertanian dengan kontribusi masing-masing sebesar 10,24, 4,33, 3,03, dan 2,37%. 4.4. Kondisi Iklim Kota Palu Curah hujan harian di Kota Palu antara tahun 2000 hingga 2010 yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Mutiara Palu menunjukkan bahwa tidak terdapat bulan basah dan terdapat tujuh bulan kering. Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm sedang
bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 60. Uraian tentang gambaran curah hujan rata-rata dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Rata-rata curah hujan bulanan di Kota Palu antara tahun 2000–2010 Jumlah hari hujan rata-rata dalam setahun antara tahun 2000 hingga 2010 menunjukkan nilai rata-rata antara 12 hari hingga 18 hari. Uraian tentang jumlah hari hujan rata-rata untuk setiap bulannya dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Jumlah hari hujan rata-rata di Kota Palu antara tahun 2000-2010
Keringnya Kota Palu nampak juga pada kondisi angin yang mendatangkan hujan sepanjang tahun bertiup dari arah Utara dengan kecepatan rendah 3-5 knot. Hal ini membuat hujan yang datang merupakan hujan ringan hingga sedang, jarang sekali hujan deras. Tipe angin yang bertiup dari utara ini seperti angin bayangan hujan, di mana angin yang membawa hujan telah jatuh di sisi gunung yang lain berlawanan sisi dengan kota Palu. Hal inilah yang menyebabkan Palu seperti kota tropis kering (semi gurun).
Kota seperti ini hanya cocok bagi
pengembangan tanaman keras (hutan) yang juga tahan kondisi sedikit air dan bersuhu panas. Kondisi kecepatan angin dan arah angin dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kondisi Angin di Kota Palu Bulan
Kecepatan angin (Knot)
Arah Angin
Januari
4
Utara
Februari
4
Utara
Maret
5
Utara
April
4
Utara
Mei
4
Utara
Juni
3
Utara
Juli
3
Utara
Agustus
4
Utara
September
4
Utara
Oktober
4
Utara
November
4
Utara
Desember
4
Utara
Sumber : BMKG, Stasiun Mutiara Palu 2011
Suhu maksimum bulanan yang terjadi bervariasi antara 35,1oC dan 36,2oC. sedang suhu minimum yang terjadi pada setiap bulannya adalah antara 20,5oC dan 21,8oC. Suhu rata-rata bulanan Kota Palu juga bervariasi antara 26,8oC dan 27,8oC. Suhu rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan Desember. Sedang suhu rata-rata minimum terjadi pada bulan Juli.
Keadaan suhu
maksimum, rata-rata, dan minimum bulanan dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Suhu maksimum, rata-rata, dan minimum bulanan Kota Palu antara tahun 2005 – 2010
Data pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kelembaban udara yang terjadi di Kota Palu tertinggi terjadi pada bulan Agustus dengan kelembaban 83% kemudian bulan Juli dengan kelembaban 82%, bulan April kelembaban udara 81%, dan kelembaban udara terendah terjadi pada bulan Februari yaitu 75% kemudian disusul bulan Mei dengan kelembaban udara 77%. Rata-rata kelembaban udara untuk Kota Palu pada tahun 2009 adalah 79%. Radiasi matahari atau penyinaran matahari tertinggi terjadi pada bulan November yaitu sebesar 67%, kemudian pada bulan Oktober dan Mei masingmasing 62% dan 61%. Radiasi matahari terendah untuk Kota Palu terjadi pada bulan Februari yaitu sebanyak 39%. Rata-rata penyinaran matahari atau radiasi matahari untuk Kota Palu pada tahun 2009 adalah 54,25%.
Tekanan udara
tertinggi terjadi Kota Palu pada tahun 2009 yaitu sebesar 1 011 mb terjadi pada
bulan Januari, dan tekanan udara terendah terjadi pada bulan April dan November yaitu 1 009,6 mb. 4.5. Kondisi Penggunaan Lahan di Kota Palu Penggunaan lahan di Kota Palu pada umumnya terbagi atas enam jenis yaitu pemukiman, lahan basah, hutan produksi terbatas, hutan lindung, suaka alam dan sarana prasarana. Penggunaan lahan didominasi oleh suaka alam sebesar 30% dan terkecil adalah lahan untuk sarana-prasarana sebesar 5%. Distribusi penggunaan lahan di Kota Palu di sajikan pada Gambar 15.
Sumber: BPS Kota Palu, 2010 Gambar 15. Distribusi penggunaan lahan di Kota Palu
Penggunaan Penggunaan lahan untuk permukiman yang ada di Kota Palu berpola linier yaitu mengikuti jaringan jalan yang ada. Luas lahan untuk permukiman mencapai 2 505,05 ha. Apabila diperinci per kecamatan diketahui luas lahan untuk permukiman terluas di Kecamatan Palu Selatan yakni 854,32 ha, diikuti oleh Kecamatan Palu Barat seluas 593.50 ha, Kecamatan Palu Utara seluas 538,76 ha dan terakhir Kecamatan Palu Timur dengan luas 518,47 ha. Penyediaan sarana prasarana di Kota Palu berupa sarana pendidikan, pariwisata, industri, olahraga, dan lain-lain. Penggunaan lahan untuk kawasan perdagangan yang ada di Kota Palu luasnya 63,13 ha. Pola penggunaan lahan untuk perdagangan terluas pada beberapa kelurahan yang merupakan pusat kegiatan perdagangan skala kota seperti di Kelurahan; Ujuna, Baru, Lolu Utara, Lolu Selatan, Besusu, Tatura Utara, Siranindi. Penggunaan lahan untuk pariwisata terdiri dari penggunaan lahan untuk kegiatan/obyek wisata dan pengunaan untuk sarana akomodasi wisata. Luas penggunaan lahan untuk obyek dan kegiatan wisata di Kota Palu seluas 64.81 ha sedangkan luas penggunaan akomodasi wisata 22,36 ha. Pola penggunaan lahan untuk kegiatan dan obyek wisata dominan tersebar disepanjang pesisir teluk Palu memanfaatkan obyek pantai teluk Palu dengan fokus utama di bagian selatan teluk. Lahan untuk kegiatan industri di Kota Palu saat ini luasnya 94,56 ha, terluas terdapat di kecamatan Palu Utara seluas 69,15 ha. Kawasan perkantoran yang ada di Kota Palu terdiri dari perkantoran pemerintah seluas 96,75 ha, perkantoran militer / polisi dengan luas 27,04 ha dan perkantoran niaga luasnya 11.88 ha yang tersebar di tiap kecamatan. Penyediaan sarana olahraga di Kota Palu seluas 15,66 ha. Lapangan olahraga ini tersebar di dua kecamatan yaitu Kecamatan Palu Timur dan Kecamatan Palu Utara. Luas kawasan lahan basah yang terdapat di Kota Palu saat ini yang di delineasi dari citra ikonos serta dikoreksi di lapangan adalah 1 314,84 ha, dengan perincian per kecamatan adalah Kecamatan Palu Utara seluas 537,01 ha, Kecamatan Palu Selatan seluas 524,38 ha, Kecamatan Palu Barat seluas 171.88 ha danKecamatan Palu Timur seluas 81,58 ha.
Kawasan hutan produksi terbatas yang ada di Kota Palu luasnya 4 189,42 ha. Hutan produksi terbatas hanya terdapat di Kecamatan Palu Timur dan Palu Utara. Sarana pendidikan di Kota Palu tersebar hampir di semua wilayah kecamatan. Sarana pendidikan yang ada terdiri dari sarana pendidikan dasar, menengah, atas dan perguruan tinggi dengan luas total 280,60 ha (RTRWK,2010). Dari perencanaan Pemda Kota Palu telah mengalokasikan lahan seluas 300 ha untuk peruntukan ruang terbuka hijau untuk memenuhi minimal 20% ruang publik dan 10% ruang privat, rencana tersebut dapat dilihat pada Peta Rencana RTH pada Lampiran 2. 4.6 Jenis Tanaman Dari hasil survei lapangan, pada titik lokasi pengambilan sampel berdasarkan hasil inventarisasi dijumpai jenis vegetasi seperti pada Tabel 9: Tabel 9. Jenis-jenis tanaman di lokasi titik pengambilan sampel No.
Lokasi
a.
TAHURA Ngatabaru
Jenis Tanaman 1. Johar 2. Gamal 3. Asam 4. Angsana 5. Akasia 6. Kayu putih 7. Lamtoro 8. Karui 9. Eboni 10. Palaquium obovatum
Nama Latin Cassia seamea Gliricidae maculata Tamarindus indica Pterocarpus indicus Acacia auriculiformis Melaleuca leucadendron Leucaena glauca Acacia nilotica Diospyros celebica Griff. Engl. Sapotaceae
No.
Lokasi
b.
Taman Kota Hasanuddin
Jenis Tanaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Beringin Palm Pinang Boguenvil Soka Pangkas Kuning Kayu Jawa Palm Raja
Nama Latin Ficus benjamina Pinanga insignis Boguenvilia spectabilis Ixora coccinea Duranta sp. Lannea coromandelica Roystonea regia
c.
d.
e.
Semak Belukar
Tegalan
Industri
1. Jarak merah
Jatropha gossypifolia
2. Roviga
Calotropis gigantea
3. Kaktus
Ferocactus pilosus
4. Alang-alang
Imperata cylindrica
1. Kacang Tanah
Arachis hypogaea
2. Jagung
Zea mays
3. Cabe
Capsicum frutescens
1. Angsana 2. Kayu jawa 3. Kaktus
Pterocarpus indicus Lannea coromandelica Ferocactus pilosus
1. Kelapa 2. Palm raja f.
Pesisir
Cocos nucifera Roystonea regia
1.
g.
h.
i.
Pemukiman
Tanaman Hortikultura/ tanaman hias
Jalan raya
-
1. Flamboyan
Delonix regia
2. Kayu jawa
Lannea coromandelica
3. Angsana
Pterocarpus indicus
Pusat Pertokoan
Non vegetasi
-
Pola pertumbuhannya alami umumnya berkelompok dan menyebar , juga yang dibudidayakan dijumpai di lokasi TAHURA Ngatabaru yang dapat dilihat pada Gambar 16 di bawah. Berdasarkan hasil inventarisasi dan beberapa hasil penelitian bahwa jenis tanaman tingkat pohon yang tumbuh secara alami dan juga dibudidayakan. Kondisi jenis tanaman yang terdapat dalam areal di Tahura Ngatabaru disusun oleh
jenis
sbb:
Palaquium
oboratum,
Chionanthus
nitens
Koor.Veleton.(Oleaceae), Disoxylum sp. (Meliacea) , Turpinia spaerocarpa Hassk
(Staphyllaceae),
Chionanthus
ramiflorus
Roxb.(Oleaceae),
Celtis
phyliphynensis Blonco (Lauraceae), Nuclea sp. (Rubiaceae), Ptospermum celebicum (Sterculiaceae), Aglaia sp. (Meliaceae) dan lain- lain. Jenis yang mempunyai nilai INP= 33,706%
adalah Palaquium obovatum
dan disusul
dengan Disoxylum sp. dengan nilai INP=27,437% dan Chionanthus nitens nilai INP=23,805%. Sedangkan jenis tanaman tingkat pohon yang rendah INPnya adalah Caryota mitis dengan INP=1,31% (Dinas Kehutanan, 2011) .
(a)
(c)
(b)
(d)
(e)
(g)
(h)
(f)
(f) (i)
Gambar 16. Ruang terbuka hijau di lokasi penelitian : (a) Taman hutan rakyat (TAHURA), (b) Taman kota, (c) Semak belukar, (d) Tegalan, (e) Industri, (f) Pesisir, (g) Pemukiman, (h) Jalan raya, (i) Pusat pertokoan.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perubahan Luasan dan Sebaran Jenis Tutupan Lahan di Kota Palu
Berdasarkan analisis penginderaan jauh Kota Palu tahun 1997 – 2010 diketahui distribusi tutupan lahan
terbagi atas lima jenis, yaitu hutan,
semak/belukar, pertanian lahan kering, ruang terbangun dan lahan terbuka (Tabel 10). Dari data tersebut terlihat bahwa tutupan lahan dari tahun ke tahun mengalami perubahan baik dari segi fungsinya maupun luasannya. Berdasarkan prosentasi berdasarkan sebaran luasan RTH yang berupa hutan dari tahun 1997 hingga 2010 terjadi penurunan sebesar 7 653,9 ha (19,4%), dan terjadi peningkatan luasan lahan semak/belukar 6 400,99 ha dan lahan terbangun sebesar 2 658,8 ha (6,73%). Begitu pula pada luas lahan terbuka, terjadi penurunan sebesar 2 019,32 ha (5,1%) (Tabel 10). Secara umum di Kota Palu mengalami penurunan ruang terbuka hijau sebesar 1,6%, sedangkan lahan non RTH meningkat pula sebesar 1,6% (Tabel 10).
Tabel 10. Luas jenis penutupan lahan pada tahun 1997-2010 Luas (hektar)
Hutan
Belukar
Pertanian Lahan Kering
1997
19 300,15
5 468,45
7 007,01
4 786,09
2 937,59
39 503,55
2005
18 243,82
6 286,02
7 899,29
2 316,21
4 753,93
39 503,55
2006
17 937,71
5 802,61
9 060,99
1 922,83
4 783,46
39 503,55
2007
14 548,25
10 998,97
5 663,86
3 496,24
4 791,88
39 503,55
2008
14 394,29
10 379,03
7 663,32
2 190,89
4 876,87
39 503,55
2009
12 649,92
12 825,17
5 219,73
3 596,68
5 216,09
39 503,55
2010
11 646,25
11 869,44
7 628,67
2 766,77
5 596,42
39 503,55
Tahun
Semak /
Lahan Terbuka
Ruang Terbangun
Total
Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan telah terjadi pembabatan hutan dan perubahan alih fungsi lahan dari lahan RTH menjadi lahan terbangun yang berdampak pada penurunan presentase luas RTH hutan di Kota Palu. Keberadaaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan (Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap, 2005). Menurut Canadarma dan Kristanto (2006), pengembangan tata guna lahan di kota besar dapat berdampak pada kualitas udara di perkotaan, di mana dengan pengembangan area terbuka hijau akan berdampak positif bagi kualitas udara di perkotaan, karena sedikitnya area terbuka hijau dan kapasitas resapan tanah meningkatkan emisi serta suhu udara. Mather (1974) serta Weng dan Yang (2004), menjelaskan bahwa pengendalian laju pertumbuhan lahan terbangun di perkotaan harus menjadi perhatian agar tidak terjadi perluasan pulau bahang kota serta peningkatan suhu udara.
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa efek termal dari
pembangunan perkotaan yang dilakukan sejak tahun 1960 sampai tahun 1997, menyebabkan luas pulau bahang kota meningkat sebesar enam kali lipat. Oleh karenanya upaya untuk membangun hutan kota menjadi salah satu solusi dalam mengameliorasi kondisi iklim mikro. Jenis tutupan lahan hutan, semak/belukar dan pertanian lahan kering digolongkan dalam kelompok RTH. Sedangkan jenis ruang terbangun dan lahan terbuka dikategorikan kedalam non-RTH (Tabel 11).
Tabel 11. Luasan dan prosentase RTH di Kota Palu tahun 1997 – 2010
RTH
Non RTH
Luas Total
Tahun Luas (Ha)
%
1997
31 775,61
80,4
2005
32 429,13
2006
Luas (Ha)
%
(Ha)
7 723,68
19,6
39 503,55
82,1
7 070,14
17,9
39 503,55
32 801,31
83,0
6 706,29
17,0
39 503,55
2007
31 321,08
79,3
8 178,12
20,7
39 503,55
2008
32 436,64
78,1
7 067,76
17,9
39 503,55
2009
30 694,82
77,7
8 812,77
22,3
39 503,55
2010
31 144,36
78,8
8 363,19
21,2
39 503,55
Dalam Tabel 11 di atas, dapat dilihat bahwa antara tahun 1997 hingga 2005 terjadi peningkatan luas RTH yaitu dari 80,4% menjadi 82,1%. Fenomena ini juga terjadi antara tahun 2005 – 2006. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan luasan pada pertanian lahan kering yang sebelumnya merupakan lahan terbuka. Pada tahun 2007 terjadi penurunan prosentase RTH yang disebabkan oleh penurunan luas lahan pertanian lahan kering sedang luas lahan terbuka meningkat. Sedang pada tahun 2009 dan 2010 terjadi penurunan prosentase RTH akibat peningkatan luas lahan terbangun untuk peruntukan pemukiman dan sarana infrastruktur. Hal ini sejalan dengan pendapat Arifin (2006) bahwa pengembangan wilayah kota seringkali tidak sejalan dengan perluasan ruang terbuka. Bahkan dijumpai di mana-mana dengan semakin besarnya kota seringkali RTH jalan, taman-taman, pekarangan, kebun-campuran, lahan pertanian dan bantaran sungai justru menjadi korban. Luasannya menjadi berkurang karena telah beralih fungsi. Sedangkan menurut data laporan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu (RTRWK) tahun 2010 – 2030 bahwa luas kawasan RTH di Kota Palu saat ini baru
mencapai kurang lebih 1 280,5 ha atau kurang lebih 3,25% dari luas total kota Palu yang luasnya 39 503,55 ha (Tabel 12. dan Gambar 17).
Tabel 12. Luasan RTH di Kota Palu No.
Jenis RTH
Wilayah
Luas (Ha)
Persentase (%)
1.
Taman Kota
Kec. Palu Timur, Palu Selatan dan Palu Barat
6
0,47
2.
Hutan Kota
Kec. Palu Timur, Palu Selatan dan Palu Barat
122.53
9,57
3.
Pemakaman Umum dan Taman Makam Pahlawan
Kec. Palu Timur, Palu Selatan dan Palu Barat
76
5,94
4.
Arboretum
Kelurahan talise
95
7,42
5.
Daerah Penyangga Tahura
Kelurahan Poboya
22
1,72
6.
Daerah Penyangga Hutan
Kec. Palu Barat
208
16,24
7.
Daerah Penyangga Hutan
Kec. Palu Timur
135
10,54
8.
Daerah Penyangga Hutan
Kec. Palu Utara
327
25,54
9.
Daerah Penyangga Kawasan Industri Hilir
Kec. Palu Timur
79
6,17
10.
Daerah Penyangga Kawasan Industri Hilir
Kec. Palu Selatan
58
4,53
11.
Daerah Penyangga Kawasan Perkandangan Ternak
Kec. Palu Selatan
95
7,42
12.
Lapangan Terbuka Hijau
Kec. Palu Utara, Kec. Palu Timur, Kec. Palu Barat, dan Kec. Palu Selatan
60
4,69
Total
1 280,5
100.00
Sumber: RTRWK Kota Palu, 2010.
Sumber: RTRWK Kota Palu, 2010 Gambar 17. Peta penggunaan lahan eksisting Kota Palu
Data tersebut menggambarkan kondisi RTH kota Palu cenderung belum terdistribusi merata menyebar di pusat perkotaan, terutama dari hasil penelitian bahwa wilayah pemukiman, pusat pertokoan dan perkantoran yang kondisi suhu udaranya yang paling tinggi yaitu 35,1 – 35,70C, hal tersebut disebabkan adanya indikasi terjadinya alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan di seluruh pelosok Indonesia tidak lepas dari dari pengaruh kapitalisme global. Tuntutan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi telah mengorbankan keseimbangan alam yang pada akhirnya menimbulkan bencana ekologis (Kompas, 2007). Lingkungan perkotaan sudah menjadi hal yang penting dan mendesak untuk dikelola secara baik karena pada saat ini hampir 50% populasi terkonversi di wilayah perkotaan, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 60% pada tahun 2030. Kondisi itu akan menimbulkan dampak besar terhadap tidak hanya pada aspek sosial dan ekonomi, namun tentu saja juga terhadap lingkungan (Barja, 2007). Dalam penjelasan Arifin (2011) bahwa sejak akhir tahun delapan puluhan telah muncul kota-kota baru. Kota baru merupakan “satelite city” yang dibangun di wilayah sub-urban dan mengelilingi kota utama. Di dalamnya terdapat berbagai fasilitas khususnya yang berkaitan dengan pemukiman atau properti. Hadirnya kota baru memberi beragam dampak salah satunya perubahan tata guna lahan dan penutupan lahan yang sangat cepat, hal tersebut menyebabkan munculnya kota baru sedikit banyak akan memberi efek dalam mewujudkan kota hijau. Kota hijau sendiri berusaha untuk menyediakan ragam ekosistem yang bisa dipertahakan dengan rasio yang lebih baik. Keterhubungan ekologis yang diharapkan kota hijau menuntut tingkat pemahaman komunitas masyarakat tentang keberlanjutan yang baik serta partisipasinya dalam gerakan hijau. Berdasarkan analisis citra secara spasial dalam bentuk peta
diperoleh
sebaran distribusi penutupan RTH pada tahun 1997 yang disajikan pada Gambar 20 (a dan b) bahwa persentase RTH sebesar 80,4% menyebar di semua wilayah kecamatan yang ada di kota Palu hingga tahun 2006 sebesar 83% terlihat warna Hijau tua untuk RTH hutan, warna hijau muda untuk lahan pertanian dan warna kuning untuk lahan semak belukar , sedang pada tahun-tahun berikutnya Gambar
18 (c,d,e,f dan g ) di pusat kota hanya didominasi oleh lahan terbangun dan lahan terbuka terlihat pada gambar peta berwarna merah dan coklat. Dengan kata lain
Hutan Lahan Terbuka Pertanian Lahan Kering Ruang Terbangun Semak Belukar
Gambar 18. Peta penutupan lahan Kota Palu berdasarkan citra landsat band 5,4,2
5.2. Hubungan Luas RTH dan Distribusi Suhu di Kota Palu Berdasarkan data suhu maksimum di Kota Palu antara tahun 1997 hingga tahun 2010 diketahui terjadi peningkatan suhu maksimum dari 34,5oC menjadi 36oC (Gambar
19). Bahwa dalam hubungannya dengan peningkatan suhu
terhadap luasan RTH terlihat hanya terhadap suhu maksimum, hal ini karena pada siang hari sekitar pukul 14.00 suhu udara akan mencapai paling tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemanasan
udara berasal dari pemanasan
permukaan. RTH hutan mempunyai peran besar dalam meredam suhu maksimum agar menjadi lebih rendah melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama kanopi hutan mampu meredam radiasi matahari yang datang ke permukaan lantai hutan, sehingga suhu permukaan lantai hutan menjadi rendah, begitu pula dengan suhu udara di atas permukaan di bawah kanopi hutan. Mekanisme kedua melalui penggunaan energi netto di siang hari biasanya digunakan untuk evapotranspirasi sehingga untuk memanaskan udara lebih sedikit (Effendy, 2011).
Gambar 19. Data suhu udara Kota Palu tahun 1997 – 2010. RTH lewat proses transpirasi secara efektif menggunakan energi netto sebagai panas laten (latent heat) sehingga meminimalkan penggunaan energi untuk memanaskan udara (sensible heat). Karena itu, Mool
(1997)
merekomendasikan kota harus memilki RTH dengan luasan sekitar 40% dari luas totalnya atau setara dengan 20 pohon besar setiap 4 000 m2. Dalam penelitian Weng dan Yang (2004) di Kota Guangzhou, Cina Selatan mengungkapkan bahwa tumbuhan mempunyai peran penting dalam menurunkan radiasi termal yang
dipancarkan ke atmosfer sehingga suhu udara menjadi rendah. Tumbuhan berupa pohon dapat menurunkan suhu udara sebesar 2,1oC dan penanaman pohon di kiri kanan jalan dapat menurunkan suhu sebesar 0,9oC (Gambar 20).
Gambar 20. Hubungan antara prosentase RTH hutan dengan suhu udara maksimum dan suhu udara minimum.
Berdasarkan Gambar 20 diperoleh bentuk persamaan linier antara RTH hutan dengan suhu maksimum udara (oC) adalah Y= 39,511 – 0,1203X dengan R2 sebesar 0,503 (hubungan yang sangat kuat). Jika nilai Y = 33,8oC (suhu maksimum RTH dari rata-rata pengamatan di titik sampel) maka diperoleh nilai X= 47%, atau membutuhkan luasan hutan kota 18 648 ha. nilai tersebut mengartikan bahwa hasil analisis spasial pada penentuan luasan hutan kota ditekankan pada analisis suhu, maka hal tersebut sesuai dengan analisis sistem dinamik yang terlihat pada Gambar 21. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan berbanding terbalik antara prosentase RTH hutan dengan suhu maksimum rata-rata yaitu semakin rendah prosentase RTH hutan menyebabkan suhu udara maksimum meningkat.
Menurut Colton, kekuatan hubungan dua
variabel secara kualitatif dapat dibagi dalam empat area yaitu (r = 0 – 0,25), berarti tidak ada hubungan atau hubungan rendah/lemah; (r = 0,26 -0,5), berarti hubungan sedang; (r = 0,51 – 0,75) berarti hubungan kuat; sedangkan (r = 0,76 – 1) berarti hubungan sangat kuat/sempurna. Dari hasil analisis citra secara spasial RTH hutan yang paling mampu menurunkan suhu maksimum yang diperoleh dari persamaan Y= a x + b.
RTRWK Kota Palu tentang rencana ruang terbuka hijau, yang terlihat pada Gambar 21. Pemerintah merencanakan alokasi hutan kota ±100 ha, ±200 ha untuk kebun raya, rencana tersebut dialokasikan di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Palu Utara dan Kecamatan Palu Selatan. Dari hasil analisis distribusi suhu maksimum yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan diperoleh suhu maksimum tertinggi pada titik pengamatan di lokasi pemukiman sebesar 35,7oC. Hal tersebut dalam kaitannya dengan rencana sebaran hutan kota berdasarkan kondisi suhu maka dapat di sajikan pada Gambar 22. Jika dibandingkan dengan rencana pemerintah daerah Kota Palu berdasarkan RTRWK maka hanya ada dua kecamatan yang difokuskan oleh pemerintah, sedangkan sebaran hutan kota seharusnya terdistribusi di empat kecamatan yang ada. Adapun luasan hutan kota yang diharapkan berdasarkan hasil penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan, maka luasan untuk setiap kecamatan berdasrkan luas wilayah sebagai berikut, (1) Kecamatan Palu Barat memiliki luas wilayah 57,47 Km2, maka luas hutan kota sebesar 5,74 Km2, (2) Kecamatan Palu Selatan memiliki luas wilayah 61,35 Km, maka luas hutan kota sebesar 6,13Km2, (3) Kecamatan Palu Timur memiliki luas wilayah 186,55Km2, maka luas hutan kota 18,65 ha, (4) Kecamatan Palu Utara memiliki luas wilayah 89,69Km2, maka luas hutan kota sebesar 8,96 Km2.
Gambar 21. Peta rencana ruang terbuka hijau Kota Palu (RTRWK,2010)
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 22. Peta rencana luasan dan sebaran hutan kota di setiap kecamatan di Kota Palu: (a) Kec. Palu Utara, (b) Kec. Palu Timur, (c) Kec. Palu Selatan, (d) Kec. Palu Bara
5.3. Peran dan Kebutuhan Hutan Kota dalam Perbaikan Iklim Mikro di Kota Palu Pesatnya kegiatan pembangunan sarana dan prasarana fisik di wilayah perkotaan, telah berdampak pada berkurangnya populasi tegakan pohon, baik yang berada di ruang terbuka publik, maupun yang berada di ruang milik privat. Disisi lain kegiatan industri, transportasi, konstruksi, perdagangan, pusat perkantoran, dan aktifitas rumah tangga berkembang demikian pesat, dengan salah satu dampaknya ialah akumulasi aneka jenis polutan di lingkungan kota, termasuk di udara. Kedua fenomena ini pada akhirnya mengakibatkan penurunan kualitas udara di wilayah perkotaan. Dari hasil laporan RTRWK (2010) menunjukkan bahwa keberadaan luas hutan kota Palu saat ini belum memenuhi aturan jika mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang mengharuskan luas hutan kota di Wilayah perkotaan sekurangkurangnya 10% dari luas kota. Luas hutan kota di Kota Palu yaitu 122.53 ha (0,31%) . Sedangkan luas RTH kota palu saat ini baru 1 280.5 ha (3,25%). Dari hasil analisis data observasi ruang terbuka hijau, suhu serta kelembaban maksimum rata-rata dapat ditunjukkan pada Gambar 23 dan Gambar 24. Hasil yang dianalisis dengan data Citra landsat menunjukkan kesesuaian dengan hasil analisis data observasi.
Gambar 23. Suhu maksimum
Gambar 23 menunjukkan hubungan antara jenis penutupan lahan dan suhu udara yang diukur melalui pengamatan di lapangan. Pengamatan di lapangan
dilakukan pada tanggal 17 - 22 Maret 2011 di berbagai titik Kota Palu seperti yang terlihat pada Lampiran 1. Pengamatan ini sebagian besar dilakukan pada pukul 10 wita. Suhu udara diukur pada ketinggian 1,2 m di atas permukaan tanah. Suhu udara yang terukur berkisar antara 33,2oC – 35,7oC pada berbagai kondisi penutupan lahan. Tampak penurunan suhu ±2,5 oC pada suhu di dalam hutan kota dibanding pemukiman.
Hutan mampu menurunkan suhu disebabkan karena
pohon dan vegetasi menyerap air melalui akar dan mengeluarkan melalui gerakan daun yang disebut transpirasi. Transpirasi pohon besar, dapat mengeluarkan 40 000 galon air per tahun. Proses transpirasi dan evaporasi disebut sebagai evapotranspirasi. Evapotranspirasi mendinginkan udara dengan menggunakan panas dari udara untuk menguapkan air. Evapotranspirasi dalam kombinasi dengan naungan, dapat membantu mengurangi suhu udara maximal pada puncak musim panas. Berbagai studi, menunjukkan, suhu udara tertinggi dalam rumpun pohon itu adalah 5ºC lebih dingin dibandingkan di tempat terbuka dan suhu udara di lahan pertanian beririgasi 3ºC lebih dingin daripada di lahan terbuka (EPA, 2010). Peran vegetasi dapat dilihat pada areal lahan kering dan taman kota yang masih lebih rendah dibanding daerah pemukinan, daerah industri, pertokoan dll. Suhu dan kelembaban ideal untuk manusia beraktivitas menurut Carpenter et al, 1975) antara 22 - 27ºC dengan kelembaban 20 – 70%. Nilai suhu maksimum senilai 35,78oC berada pada tutupan lahan berbentuk pemukiman. Secara umum pada wilayah pemukiman mayoritas adalah tutupan lahan non vegetasi. Permukaan non vegetasi merupakan permukaan yang mudah memantulkan energi yang berasal dari matahari, sehingga energi yang terpantulkan yang dikonversi dalam bentuk suhu menjadi lebih besar. Selain itu wilayah pemukiman adalah identik dengan wilayah padat sehingga ruang gerak udara di wilayah tersebut menjadi sempit yang juga menyebabkan peningkatan suhu udara. Nilai suhu minimum terdapat pada wilayah hamparan terbuka senilai 28,3oC hamparan terbuka. Hamparan terbuka merupakan kawasan yang terdiri dari vegetasi rendah atau rerumputan yang luas. Ruang gerak udara pada wilayah ini lebih luas dibanding wilayah pemukiman. Sifat vegetasi yang berupa
rerumputan adalah lebih baik menyerap energi matahari. Sehingga suhu udara yang terjadi cenderung lebih rendah. Hasil pengukuran kelembaban nisbi udara (RH) maksimum pada semua titik pengamatan, menunjukkan bahwa kelembaban tertinggi pada tutupan lahan terbuka yaitu sebesar 61% dan terendah pada tutupan lahan pemukiman sebesar 48,5% (Gambar 24).
Gambar 24. Kelembaban maksimum rata-rata
Ruang terbuka hijau dalam hal ini hutan kota dalam mengameliorasi iklim selain menurunkan suhu udara juga berperan meningkatkan kelembaban udara. Keberadaan tumbuhan dalam bentuk hutan kota bergerombol dan berbentuk jalur meperlihatkan hasil pengukuran kelembaban tinggi yang dapat berfungsi memperbaiki kondisi iklim mikro (Rushayati, 2011). Peran hutan kota dalam upaya perbaikan iklim sebaiknya penyebarannya sangat penting terutama pembangunannya ditempatkan sebaiknya diarea perkotaan yang menjadi pusat sumber emisi tertinggi dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dengan suhu udara maksimum tertinggi.
5.4.Hubungan Jumlah Penduduk dan Penggunaan Listrik di Kota Palu Berdasarkan hubungan antara jumlah penduduk dan penggunaan listrik diperoleh bentuk persamaan linier antara jumlah penduduk dengan penggunaan listrik adalah Y = 2,4252X – 564720 dengan R2 sebesar 0.9874 (Gambar 25). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara jumlah penduduk dengan penggunaan listrik yaitu semakin tinggi jumlah penduduk menyebabkan penggunaan listrik semakin meningkat. Dari data jumlah penduduk kota Palu pada tahun 2005-2010 dengan laju pertambahan penduduk rata-rata sebesar 1,7% pertahun dan berdasarkan data pemakaian pemakaian listrik maka diperoleh jumlah komsumsi listrik yang cukup besar pertumbuhannya yaitu sebesar 19,82%, hal ini disebabkan oleh karena semakin banyaknya peralatan rumah tangga yang relatif harganya murah yang menggunakan daya listrik yang besar seperti pemakaian air conditioner (AC) (http/www.bi.go.id, 2011).
Penggunaan Listrik (MWh)
Gambar 25. Hubungan antara jumlah penduduk dan penggunaan listrik 250.000,0 y = 33760x - 1E+06 r= 0,7745
200.000,0 150.000,0 100.000,0
Series1
50.000,0
Linear (Series1)
32,0 33,0 34,0 35,0 36,0 37,0 Suhu Maksimum (oC)
Gambar 26. Hubungan antara penggunaan listrik dengan suhu
Gambaran penggunaan listrik hubungannya dengan suhu disajikan pada Gambar
26. Pemakaian AC yang cukup besar mengindikasikan ketidak
nyamanan suhu udara dilingkungan perkotaan yang mendesak masyarakat untuk mencari solusi dengan menggunakan pendingin ruangan. Peningkatan komsumsi listrik akan berdampak pada peningkatan emisi CO2 yang dihasilkan sebagai salah satu sumber emisi yang ikut berkontribusi dalam peningkatan suhu udara, maka hal tersebut dapat dibuktikan keterkaitan yang sangat erat dari hasil analisis regresi antara penggunaan listrik dan peningkatan suhu. Hubungan antara penggunaan listrik dengan suhu diperoleh bentuk persamaan linier antara penggunaan listrik dengan suhu adalah Y = 33760X – 1 x 106 dengan r sebesar 0.7745 (Gambar 26). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara penggunaan listrik dengan suhu yaitu semakin besar penggunaan listrik menyebabkan suhu semakin meningkat. 5.5 Model Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro Model Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro yang merupakan tujuan utama dari penelitian ini disusun berdasarkan tiga sub model yaitu: 1) Sub model suhu udara; 2) sub model luasan hutan kota; dan 3) sub model populasi penduduk. Disain dan simulasi model hutan kota disusun dengan keterkaitan antar variabel yang terdiri dari luas tutupan lahan (hutan kota, semak, lahan pertanian), suhu, populasi penduduk, dan pemakaian listrik (Gambar 27).
Penduduk
Listrik
L_Penduduk
Suhu Maksimun
Batas AME F_Penduduk
AME Penduduk Penduduk Aktual Hutan Kota
Persen RTH Hutan Kebutuhan Hutan Kota
LHutan L_Hutan
Lahan Terbangun Luas Lahan Total
F_Hutan
LSemak
Alokasi Lahan PHK
L_Semak Lahan Terbuka
Semak
F_Semak
RTH Lahan Pertanian L_LPertanian F_LPertanian
Gambar 27. Flow diagram model hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro.
Model ini dibangun dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan luas ruang terbangun, dan sebaliknya menurunkan luas RTH. Hal ini berdampak pada penurunan luas hutan kota, dan menyebabkan meningkatnya suhu maksimum Kota Palu. Pada tahap analisis kecenderungan sistem dilakukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang ke depan (2010-2040) melalui simulasi model. Perilaku sistem ditetapkan selama 30 tahun, dalam kurun waktu simulasi yang disajikan dengan melihat perkembangan yang mungkin terjadi pada variabel-variabel yang akan dikaji.
5.5.1 Analisis Trend Sistem
Tahap analisis kecenderungan sistem dilakukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang ke depan (2010-2040) melalui simulasi model. Perilaku simulasi ditetapkan selama 30 tahun, dalam kurun waktu simulasi yang disajikan perkembangan yang mungkin terjadi pada variabel-variabel yang akan dikaji, variabel-variabel yang akan disimulasikan adalah trend penutupan lahan. Dari variabel trend luas tutupan lahan pada hasil simulasi model menunjukkan bahwa luas hutan menurun dari tahun ke tahun dan bahkan pada tahun 2040,
luas hutan kota diprediksi akan sangat sedikit (Gambar 28).
Berdasarkan data dari tahun 1997 luas lahan terbangun adalah sebesar 2937,59 ha dan luas lahan RTH 31 775,61 ha hingga tahun 2010 meningkat menjadi 5 596,42 ha dan RTH turun menjadi 31 144,36 ha yang berarti lahan RTH semakin berkurang.
Gambar 28. Hasil simulasi untuk trend luas tutupan lahan
Berdasarkan hasil simulasi model atas prediksi suhu maksimum, maka penurunan luas hutan kota akan berdampak pada peningkatan suhu maksimum. (Gambar 29).
Gambar 29. Hasil simulasi untuk trend suhu maksimum
Jika tidak dilakukan penataan hutan kota di Kota Palu, maka akan terjadi peningkatan suhu maksimum. Adapun prosentase luas ideal hutan kota dapat diprediksi dengan menggunakan persamaan hubungan antara prosentase luas hutan dengan suhu udara maksimum. Prosentase luas ideal hutan kota adalah prosentase yang bersesuaian dengan suhu maksimum terendah antara tahun 19972010 yaitu sebesar 33,8oC. Dengan menggunakan persamaan linier hubungan antara dua variabel, maka diperoleh luas ideal RTH hutan kota sebesar 47%. Sebagai upaya untuk ameliorasi iklim mikro, maka perlu adanya kajian kebijakan pengendalian alih fungsi lahan dalam penataan ruang, dan penambahan RTH hutan kota. Berdasarkan hasil simulasi model atas prediksi jumlah penduduk ditunjukkan pada gambar dibawah ini (Gambar 30). Variabel trend populasi penduduk yang dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk secara alami diantaranya karena adanya kelahiran. Pada Gambar 30 menunjukkan kurva trend pertumbuhan penduduk yang positif naik mengikuti kurva sigmoid pada tahun simulasi 20102040. Hal tersebut disebabkan meningkatnya laju kelahiran dibanding laju tingkat kematian. Akan tetapi laju pertambahan peduduk dapat diimbangi oleh adanya kematian dan migrasi yang dapat menurunkan pertumbuhan yang negatif.
Pertumbuhan jumlah penduduk
akan berimplikasi pada kebutuhan
penggunaan lahan yang dapat kita lihat pada trend penutupan lahan terutama meningkatnya luas lahan terbangun. Akan tetapi dengan keterbatasan luas lahan maka menyebabkan ketersediaan lahan untuk kebutuhan penduduk suatu waktu tertentu tidak dapat
lagi mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, maka
berdampak pada terjadinya alih fungsi lahan.
Hasil simulasi trend lahan
terbangun yang menggambarkan meningkatnya kebutuhan lahan terbangun seiring meningkatnya laju pertumbuhan penduduk yang tentunya berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan dan makin maraknya alih fungsi lahan yang
PendudukPenduduk (jiwa)
sulit dikendalikan (Gambar 31).
500.000
400.000
300.000
200.000
100.000
0 01 Ja n 2010
01 Ja n 2015
01 Ja n 2020
01 Ja n 2025
01 Ja n 2030
01 Ja n 2035
01 Ja n 2040
Tahun
Lahan TerbangunLahan Terbangun (ha)
Gambar 30. Hasil simulasi untuk trend jumlah penduduk
6.000
3.000
0 01 Ja n 2010
01 Ja n 2015
01 Ja n 2020
01 Ja n 2025
01 Ja n 2030
01 Ja n 2035
01 Ja n 2040
Tahun
Gambar 31. Hasil simulasi untuk trend lahan terbangun Hasil simulasi trend penggunaan listrik juga menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun seiring meningkatnya pertambahan penduduk (Gambar 32). Peningkatan penggunaan listrik memberikan dampak
tekanan terhadap lingkungan yaitu secara tidak langsung berkontribusi terhadap emisi CO2, karena berperan dalam menghasilkan emisi dari pembakaran untuk pembangkit tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar fosil.
Gambar 32. Hasil simulasi untuk trend pemakaian listrik
5.5.2 Hasil Analisis Validasi Ada dua jenis validitas struktur, yaitu validitas konstruksi dan kestabilan struktur (Muhammadi et al, 2001). Validitas konstruksi yaitu keyakinan terhadap konstruksi model valid secara ilmiah atau didukung/diterima secara akademis. Kestabilan struktur yaitu keberlakuan atau kekuatan struktur dalam dimensi waktu. Pengujian ini bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Dari hasil analisis yang telah dilakukan terhadap variabel jumlah penduduk dapat dilihat pada Gambar 34 perbandingan perkembangan jumlah penduduk kondisi aktual dan hasil simulasi , untuk mengetahui bahwa total jumlah penduduk sebagi sumber utama penyebab terjadinyanya peningkatan pemakaian listrik dan penggunaan lahan terbangun yang mengakibatkan penurunan lahan RTH hutan sehingga terjadi peningkatan suhu udara. Simulasi perbandingan jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi periode tahun 2005 hingga tahun 2009 menunjukkan perilaku kurva yang sama antara nilai faktual dan nilai simulasi (Gambar 33). Hasil validasi kinerja output model Hutan Kota untuk variabel jumlah penduduk dengan menggunakan rumus AME,
AVE, masing-masing adalah 0,658%, 0.1% dengan demikian nilai –nilai tersebut berada pada batas kriteria pengujian <10 nilai AME dan AVE (Gambar 34). Hal tersebut menggambarkan bahwa dinamika pertumbuhan penduduk di kondisi nyata dan model berdasarkan validasi kinerja dikatakan valid.
Gambar 33. Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk hasil simulasi dengan kondisi aktual.
Gambar 34. AME dari hasil validasi jumlah penduduk aktual dan simulasi.
5.5.3 Model Baseline Kota Palu
Kondisi riil saat ini di Kota Palu dengan masing-masing nilai variabel model sistem dinamik dalam kondisi seperti yang ada sekarang ini tanpa ada pengelolaan, maka diperkirakan luas ruang terbuka hijau akan mengalami penurunan terus menerus. Penurunan yang terjadi selama 13 tahun sejak tahun
1997 sampai tahun 2010 bahwa RTH hutan mengalami penurunan dari 48,9% menjadi 29,5%. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan telah terjadi alih fungsi lahan dari RTH menjadi lahan terbangun yang berdampak pada penurunan prosentase luas RTH hutan di kota palu. Pada tahun 2040 RTH kota Palu yang tersisa hanya pada kawasan Lindung saja dan kemungkinan pula ini akan habis karena telah bealih fungsi. Sebaliknya lahan terbangun akan terus bertambah hingga tahun akhir simulasi thn 2040. Penduduk akan terus bertambah dan seiring meningkatnya sarana transportasi dan terutama peningkatan komsumsi listrik yang memacu meningkatnya suhu udara. Jika semua variabel-variabel ini tidak dikendalikan dengan baik maka diperkirakan suhu kota Palu akan mencapai ≥36oC (Gambar 35). Berdasarkan rencana RTRWK Palu bahwa pengembangan hutan kota akan diarahkan ke dua Kecamatan yaitu Kecamatan Palu Selatan seluas ± 100 ha dan Kecamatan Palu Utara seluas 200 ha untuk kebun raya. Jika hanya dilakukan penambahan 300 ha sementara saat ini Hutan Kota baru mencapai seluas 122,53 ha, artinya total luas hutan kota baru mencapai 322,53 ha (0,81%) dari luas kota palu belum cukup 1%. Undang-undang No. 63 tahun 2002 mensyaratkan bahwa luas hutan kota minimal 10% dari luas total suatu wilayah kota. Oleh karena itu masih perlu penambahan ±9% dari luas kota untuk mencapai 3 950,55 ha luas hutan kota (Gambar 21). 700.000
400.000 350.000 01 Jan 2010 01 Jan 2020 01 Jan 2030 01 Jan 2040
37
33.000 32.000
01 Jan 2020
01 Jan 2030
400.000
5.000
0 01 Jan 2010
200.000 01 Jan 2010 01 Jan 2020 01 Jan 2030 01 Jan 2040
01 Jan 2040
31.000 01 Jan 2010 01 Jan 2020 01 Jan 2030 01 Jan 2040
500.000
300.000
36
10.000
LHutan
RTH
38
01 Jan 2010
34.000
600.000
Listrik
450.000
39
Lahan Terbangun
Suhu Maksimun
Penduduk
500.000
01 Jan 2020 01 Jan 2030
01 Jan 2040
8.000 7.000 6.000 5.000 01 Jan 2010
Gambar 35. Grafik model base line Kota Palu
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
5.5.4 Penyusunan Skenario Model Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro
Dalam
hubungannya penyusunan konsep model hutan kota untuk
ameliorasi iklim mikro perlu dilakukan
analisa untuk mengetahui
alternatif
langkah
yang
prakiraan
strategis
dalam
pemodelan
kecenderungan lingkungan sistem ke depan.
dibangun
dengan
Untuk itu diperlukan beberapa
skenario yang diterapkan pada model sebagai dampak adanya intervensi terhadap parameter model untuk merumuskan arahan kebijakan tentang besaran luas hutan kota dan sebarannya yang berfungsi sebagai pengameliorasi iklim mikro di Kota Palu. Skenario yang disusun dihubungkan dengan model, dilakukan interpretasi kondisi faktor kedalam variabel model.
Dalam hal ini dilakukan beberapa
perubahan pada variabel tertentu dalam model sehingga skenario dapat disimulasikan. Skenario pesimis, skenario moderat dan skenario optimis dapat dibangun pada model atas dasar pertimbangan kondisi dan intervensi yang akan kita lakukan terhadap variabel-variabel yang akan menghasilkan suatu rumusan kebijakan (Tabel 13).
Tabel 13. Skenario Intervensi Parameter Model
Kondisi
Skenario
Skenario
Skenario
Eksisting
Pesimis
Moderat
Optimis
1,5%
Laju Pertumbuhan Penduduk
1,7%
2,0%
Pertumbuhan Hutan
-9,6%
-10,0%
Tidak ada penambahan
+2,0%
Suhu Udara - Tahun 2010 - Tahun 2015 - Tahun 2020 - Tahun 2025 - Tahun 2030 - Tahun 2035 - Tahun 2040
35,78oC
35,78oC
35,78oC
35,78oC
37,09oC
37,33oC
36,59oC
36,11oC
38,36oC
38,83oC
37,48oC
36,41oC
39,51oC
39,51oC
38,43oC
36,66oC
39,51oC
39,51oC
39,46oC
36,84oC
39,51oC
39,51oC
39,51oC
36,92oC
39,51oC
39,51oC
39,51oC
36,86oC
1,0%
Simulasi model dilakukan terhadap skenario di atas (Tabel 13), untuk mengetahui perilakunya masing-masing. Kajian dilakukan terhadap peubah yang dianggap menentukan arah kebijakan dalam pembangunan hutan kota pada masa yang akan datang yaitu hasil simulasi jumlah penduduk dari tiga skenario. Ke tiga skenario memberikan hasil yang berbeda terhadap peubah yang dikaji, secara umum
perbedaan antar skenario terlihat sejak awal sampai akhir simulasi
(Gambar 36). Berdasarkan hasil simulasi model untuk variabel suhu maksimum di kota palu pada setiap skenario bahwa terjadi perbedaan dari ketiga skenario yang digunakan. Jika dibandingkan dengan kondisi suhu maksimum eksisting dengan
kondisi skenario pesimis maka
tingkat suhu yang lebih tinggi pada kondisi
pesimis. Sedangkan jika dibandingkan antara skenario moderat dan skenario
Jumlah Penduduk (jiwa)
optimis proyeksi suhu berada lebih rendah dari kondisi eksisting (Gambar 37).
500.000
400.000
O pt_P e nduduk
300.000
Mod_P e nduduk P e nduduk
200.000
P e s_P e nduduk
100.000
0 01 Ja n 2010
01 Ja n 2020
01 Ja n 2030
01 Ja n 2040
Tahun
Gambar 36. Prediksi jumlah penduduk hasil simulasi skenario sampai tahun 2040.
Suhu Maksimum (oC)
40
30 O pt_Suhu Ma k sim un Mod_Suhu Ma k sim un
20
Suhu Ma k sim un P e s_Suhu Ma k sim un
10
0 01 Ja n 2010
01 Ja n 2020
01 Ja n 2030
01 Ja n 2040
Tahun
Gambar 37. Prediksi suhu maksimum hasil simulasi skenario sampai tahun 2040.
Berdasarkan hasil simulasi model tingkat penggunaan listrik di Kota Palu untuk setiap skenario bahwa terjadi perbedaan yang sangat jelas dari ketiga skenario yang digunakan, skenario pesimis dan skenario moderat tingkat penggunaan listrik cukup besar dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat penggunaan listrik sangat rendah dan berada dibawah tingkat penggunaan listrik pada kondisi eksisting (Gambar 38). Dari hasil simulasi model luas Hutan kota dari skenario yang digunakan terlihat perbedaan yang sangat jelas antara masing masing skenario dari ketiga
skenario. Pada kondisi skenario optimis menunjukkan luas hutan kota paling tinggi, kemudian skenario moderat berada dibawah kondisi skenario optimis.
Penggunaan Listrik (MW)
Proyeksi luas hutan kota terendah pada kondisi skenario pesimis (Gambar 39).
600.000
O pt_Listrik Mod_Listrik Listrik
300.000
P e s_Listrik
0 01 Ja n 2010 01 Ja n 2015 01 Ja n 2020 01 Ja n 2025 01 Ja n 2030 01 Ja n 2035 01 Ja n 2040
Tahun
Gambar 38. Prediksi penggunaan listrik hasil simulasi skenario sampai tahun 2040.
Luas Hutan Kota (ha)
30.000
20.000 O pt_Huta n Mod_Huta n Huta n P e s_Huta n
10.000
0 01 Ja n 2010 01 Ja n 2015 01 Ja n 2020 01 Ja n 2025 01 Ja n 2030 01 Ja n 2035 01 Ja n 2040
Tahun
Gambar 39. Prediksi luas hutan kota hasil simulasi skenario sampai tahun 2040.
Hasil simulasi prediksi luas RTH dari beberapa skenario sampai tahun 2040 memperlihatkan kecenderungan penurunan luas RTH yang sangat tajam pada skenario pesimis dan selanjutnya pada skenario moderat dan optimis (Gambar 40).
5.5.4.1 Skenario Pesimis
Skenario pesimis merupakan skenario pilihan kebijakan yang tidak banyak melakukan pengelolaan lingkungan bahkan beberapa variabel penyebab terjadinya peningkatan suhu udara dibiarkan tanpa pengelolaan sehingga terjadi laju peningkatan pada variabel jumlah penduduk, lahan terbangun, pemakaian listrik (Gambar 41). Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kota Palu yaitu 318 555,00 jiwa hingga tahun 2040 mencapai 528 217,78 jiwa, dengan prosentase pertumbuhan sebesar 2% pertahun, terjadi peningkatan penggunaan listrik yang cukup besar dari tahun 2010 hingga tahun 2040 yaitu 207 775,88 – 834 549,35 MWh. Luas lahan hutan kota terjadi penurunan yang sangat signifikan sebesar 994,62 ha pada tahun 2040.
34.000
RTH (Ha)
33.000
32.000
P e s_R TH Mo d_R TH
31.000
O pt_R TH R TH
30.000
Gambar 40. Tahun Prediksi luas RTH hasil simulasi skenario sampai tahun 2040.
29.000
500.000 450.000 400.000 350.000
37
01 Jan 2010 01 Jan 2025 01 Jan 2040
32.000 31.000 30.000 29.000 01 Jan 2025
01 Jan 2040
10.000
5.000
0 01 Jan 2010 01 Jan 2025
700.000 600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 01 Jan 2010 01 Jan 2025 01 Jan 2040
Pes_Lahan Terbangun
Pes_LHutan
33.000
Pes_RTH
38
36
01 Jan 2010 01 Jan 2025 01 Jan 2040
01 Jan 2010
800.000
39
Pes_Listrik
550.000
Pes_Suhu Maksimun
Pes_Penduduk
01 Ja n 2010 01 Ja n 2015 01 Ja n 2020 01 Ja n 2025 01 Ja n 2030 01 Ja n 2035 01 Ja n 2040
9.000 8.000 7.000 6.000 5.000
01 Jan 2040
01 Jan 2010 01 Jan 2025 01 Jan 2040
Gambar 41. Grafik skenario pesimis suhu, luas RTH, jumlah penduduk, penggunaan listrik, luas hutan dan luas lahan terbangun.
Lahan terbangun dari tahun 2010 hingga akhir tahun simulasi mengalami peningkatan demikian sebaliknya pada lahan RTH terus mengalami penurunan hingga akhir tahun simulasi (Gambar 41). Hasil simulasi skenario pesimis menunjukkan bahwa luas lahan terbangun pada tahun 2010 yaitu 4 896,55 ha hingga akhir simulasi meningkat menjadi 9 807,35 ha. Lahan RTH pada tahun 2010 seluas 30 694,82 ha mengalami penurunan hingga akhir simulasi tahun 2040 menjadi 29 700,20 ha. Total luas lahan RTH yang paling rendah berdasarkan skenario model jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. Pada skenario pesimis terhadap variabel suhu maksimum pada awal simulasi tahun 2010 hingga akhir simulasi tahun 2040 terjadi peningkatan. Hasil simulasi skenario pesimis menunjukkan bahwa suhu maksimum terus mengalami peningkatan dari tahun 2010 sebesar 35,70oC menjadi 45,65oC di tahun 2040, telah terjadi peningkatan suhu sebesar 9,85oC selama kurun waktu 30 tahun.
5.5.4.2 Skenario Moderat Skenario moderat merupakan alternatif kebijakan dengan skala yang cukup baik dalam pengertian bahwa lebih fleksibel dalam mengintervensi pada variabel yang sangat berpengaruh sehingga skenario ini dapat dipakai untuk merumuskan alternatif kebijakan dalam upaya menentukan luasan hutan kota untuk memperbaiki iklim mikro. Jika dibandingkan dengan skenario pesimis pada lahan terbangun dan lahan RTH maka peningkatan lahan terbangun masih lebih tinggi pada skenario pesimis demikian pula pada lahan RTH
terjadi
peningkatan. Untuk menunjukkan perbedaan yang jelas antara peningkatan luas RTH jika skenario moderat dalam model dengan mengurangi persentase laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,5% maka penurunan terjadi pada Lahan terbangun dan terjadi peningkatan Luas RTH (Gambar 42).
600.000
450.000
400.000
Mod_Listrik
39
Mod_Suhu Maksimun
Mod_Penduduk
500.000
38 37
350.000
36 01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
32.000 31.000
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
200.000 01 Jan 2010 01 Jan 2020 01 Jan 2030 01 Jan 2040
7.000
14.000 13.000
01 Jan 2010
300.000
8.000
15.000
6.000
12.000
30.000
400.000
Mod_Lahan Terbangun
33.000
Mod_Hutan
Mod_RTH
34.000
500.000
5.000 01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
Gambar 42. Grafik skenario moderat suhu, luas RTH, jumlah penduduk, penggunaan listrik, luas hutan dan luas lahan terbangun.
Pada skenario moderat pada variabel suhu makimum terjadi peningkatan dari awal simulasi tahun 2010 hingga akhir simulasi tahun 2040. Hasil simulasi skenario moderat menunjukkan bahwa pada awal simulasi suhu berada pada kisaran 35,70oC sampai akhir simulasi sebesar 41,76oC (Gambar 42).
5.5.4.3. Skenario Optimis
Skenario optimis merupakan keadaan yang mungkin baik dan terjadi pada masa depan yang perlu diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan keadaan dan sumberdaya yang ada, serta didukung dengan keyakinan, komitmen, dukungan dari semua pihak dalam mengimplementasikan kebijakan yang akan direkomendasikan berdasarkan hasil analisis dari model yang dibangun. Hasil analisis skenario model (Gambar 43), bahwa dengan laju pertumbuhan penduduk dikurangi menjadi 1% saja, penambahan laju pertumbuhan luas hutan 2% pertahun maka luas hutan dari 12 649,92 hektar pada tahun 2010 akan bertambah menjadi 54 672,23 ha pada akhir simulasi Tahun 2040. Dari intervensi yang dilakukan pada skenario ini maka Suhu maksimum dari tahun 2010 pada kisaran 35,70oC hingga pada Tahun 2040 menjadi 36,54oC sedangkan pada kondisi skenario moderat Tahun 2010 suhu udara 35,70oC dan pada Tahun 2040 menjadi
41,76oC. Ada perbedaan kenaikan suhu 0,12oC pertahun antara yang moderat dan skenario Optimis. Jika dibandingkan dengan skenario pesimis maka kenaikan suhu pertahun sebesar 0,24oC (Tahun 2010 suhu 35,70oC - Tahun 2040 suhu pada 45,65oC).
Opt_Listrik
36,5
350.000
36,0
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2010
01 Jan 2040
Opt_LHutan
34.000 33.000 32.000 31.000
400.000 350.000 300.000 250.000
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
200.000 01 Jan 2010
50.000
7.000
40.000
6.500
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
Opt_Lahan Terbangun
01 Jan 2010
Opt_RTH
450.000
Opt_Suhu Maksimun
Opt_Penduduk
37,0
400.000
6.000
30.000
5.500
20.000 5.000
30.000 01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
01 Jan 2010
01 Jan 2020
01 Jan 2030
01 Jan 2040
Gambar 43. Grafik skenario optimis suhu, luas RTH, jumlah penduduk, penggunaan listrik, luas hutan dan luas lahan terbangun.
Hasil simulasi skenario optimis menunjukkan bahwa luas lahan terbangun dan luas lahan RTH terjadi peningkatan (Gambar 43). Jika dilihat pada peningkatan yang terjadi pada RTH dari awal simulasi sampai akhir simulasi kenaikan yang cukup berarti dari luas 30 694,82 ha menjadi 32 505,63 ha. Lahan terbangun mengalami peningkatan tetapi tidak terlalu tajam sebagaimana pada skenario pesimis dan moderat. Skenario optimis pada variabel suhu maksimum terjadi peningkatan dari awal simulasi tahun 2010 hingga akhir simulasi tahun 2040.
5.5.4.4.Rekomendasi Berdasarkan Hasil Simulasi Model Berdasarkan hasil simulasi beberapa skenario model, maka untuk mendapatkan model Hutan Kota sebagai pengameliorasi iklim mikro di kota palu agar kenyamanan dapat dirasakan masyarakat Kota Palu direkomendasikan memilih dan menerapkan skenario optimis. Skenario optimis telah dimasukkan
variabel-variabel yang banyak mempengaruhi peningkatan suhu udara di perkotaan. Perlu dilakukan pengendalian pada beberapa variabel yang sangat berpengaruh dan sangat besar berkontribusi dalam peningkatan suhu udara maksimum pada siang hari. Pada variabel laju peningkatan lahan terbangun yang perlu dilakukan yaitu adanya keseimbangan proporsi ruang terbuka hijau yang mengikuti peraturan Penataan Ruang yang seharusnya menjadi acuan dalam pengembangan pola ruang di setiap wilayah perkotaan.
5.6. Rumusan Arahan Kebijakan Pembangunan Hutan Kota di Kota Palu Hirarki model pengambilan keputusan ini disusun berdasarkan studi pustaka, wawancara dengan masyarakat. Hasil dari penyusunan hirarki diperoleh lima level yaitu fokus, faktor, aktor, tujuan dan alternatif. Pada tingkat hirarki pertama atau level 1 dibuat tujuan model pembangunan hutan kota.di Kota Palu Selanjutnya pada level 2 dianalisis faktor pendukung yang dapat menentukan keberhasilan suatu program. Dalam kajian ini diperoleh empat faktor pendukung yaitu kebutuhan pemukiman, ketersediaan lahan, kebijakan tata ruang dan disain hutan kota. Adapun aktor dalam kebijakan pembangunan hutan kota adalah pemerintah, LSM, masyarakat, perguruan tinggi dan swasta. Tujuan yang merupakan hirarki keempat terdiri atas kelestarian lingkungan, ketersediaan ruang terbuka, ameliorasi iklim mikro dan kesehatan masyarakat. Pada alternatif sebagai level kelima terdapat tiga pilihan yaitu Penyempurnaan peraturan PPK, Penyediaan RTH dan tanaman serta kebijakan insentif dan disinsentif. Hasil analisis AHP memberikan hasil faktor prioritas berdasarkan bobot (Gambar 44). Hasil analisis pada level faktor menunjukkan bahwa kebutuhan pemukiman merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan kebijakan pembangunan hutan kota Palu dengan bobot 0,30.
Prioritas kedua dalam
pengembangan hutan kota adalah kebijakan tata ruang dengan bobot 0,25. Faktor ini memiliki bobot yang hampir sama dengan prioritas ketiga yaitu ketersediaan
lahan dengan bobot 0,24. Adapun desain hutan kota merupakan prioritas terakhir dalam kebijakan ini.
Gambar 44. Nilai bobot prioritas pada level faktor
Faktor kebutuhan pemukiman di Kota Palu sangat mempengaruhi kebijakan pembangunan hutan Kota Palu. Kebutuhan pemukiman meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Dengan demikian, peningkatan jumlah penduduk maka menyebabkan terjadinya
peningkatan kebutuhan
pemukiman. Disisi lain, pola sebaran pemukiman yang cenderung terpusat pada pusat pelayanan publik juga merupakan ancaman penurunan luas hutan kota. Olehnya itu, maka pengembangan pemukiman di pusat Kota Palu hendaknya memperhitungkan syarat luas lahan terbuka hijau atau dengan kata lain luas lahan yang dimanfaatkan untuk pemukiman harus dibatasi. Kebijakan tata ruang yang merupakan faktor penentu kedua dalam kebijakan pembangunan hutan Kota Palu merujuk pada kebijakan tata ruang nasional yaitu Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kebijakan ini merupakan alat pengendalian alih fungsi lahan pada suatu kota. Namun demikian implementasi kebijakan ini masih minim terbukti dengan adanya
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang.
Berdasarkan data Peta Penggunaan Lahan 2006 Kota Palu terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan yang cukup besar yaitu melebihi 50% (Rahmawaty, 2008). Hal ini juga mengindikasikan penurunan luas hutan kota di Kota Palu dan memerlukan pengendalian akan pemanfaatan lahan.
Hasil analisis AHP pada level ketiga atau aktor memberikan gambaran prioritas (Gambar 45). Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa aktor utama dalam kebijakan pembangunan hutan kota di Kota Palu adalah pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah. Bobot terbesar ditunjukkan oleh aktor ini dengan jumlah 0,33. Masyarakat merupakan aktor dengan prioritas kedua dengan bobot 0,24 dan perguruan tinggi merupakan prioritas ketiga dengan bobot 0,21. Pihak swasta dan LSM memiliki bobot yang relatif kecil masing-masing sebesar 0,12 dan 0,10.
Gambar 45. Nilai bobot prioritas pada level aktor Pemerintah Kota Palu memiliki peran terbesar dalam kebijakan pembangunan hutan Kota Palu. Regulasi yang mendukung peran tersebut adalah Undang Undang No 27 tahun 2006 tentang Penataan Ruang. Olehnya itu, maka Pemerintah Kota Palu menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu tahun 2010 – 2030 yang bertujuan untuk mewujudkan ruang Kota Palu sebagai kota teluk berwawasan lingkungan yang berbasis pada
jasa, perdagangan, dan
industri, yang didasari kearifan dan keunggulan lokal bagi pembangunan berkelanjutan. Faktor kedua dalam kebijakan pembangunan hutan Kota Palu adalah masyarakat. Masyarakat merupakan elemen yang sangat penting untuk turut dilibatkan dalam kegiatan pembangunan karena masyarakat sendirilah yang merasakan langsung dampak dari pembangunan. Ditambah pula dengan bergesernya paradigma pembangunan dari top-down planning menjadi bottom-up
planning yang turut melibatkan masyarakat dalam setiap pembangunan termasuk dalam pengembangan hutan Kota Palu. Pada level tujuan kebijakan pembangunan hutan kota di Kota Palu diperoleh kelestarian lingkungan merupakan prioritas utama dengan bobot sebesar 0,3 (Gambar 46). Tujuan kebutuhan masyarakat dan ameliorasi iklim mikro menunjukkan bobot yang sama besar sehingga dapat diungkapkan memiliki peran yang sama dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan hutan kota. Sedang ketersediaan ruang terbuka memiliki bobot terkecil sebesar 0,21.
Gambar 46. Nilai bobot pada level tujuan
Tujuan kelestarian lingkungan dalam pengembangan hutan Kota Palu terkait dengan ameliorasi iklim. Hutan kota yang telah dibuktikan dapat menurunkan suhu kota dan akan memperbaiki ekosistem kota. Dalam Undang Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diuraikan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Olehnya itu, dalam pengembangan hutan Kota Palu perlunya dibuat kebijakan yang merupakan hasil upaya sistematis dan terpadu.
Ameliorasi iklim merupakan tujuan kedua dalam pengembangan hutan Kota Palu. Iklim Kota Palu yang terbukti semakin panas dapat direduksi dengan perluasan hutan kota. Dengan upaya tersebu, maka Kota Palu akan menjadi lebih nyaman bagi kehidupan manusia dan tentunya akan mendukung pertumbuhan ekonomi kota. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengembangan hutan kota di Kota Palu merupakan kebutuhan masyarakat. Hasil analisis pada level alternatif memberikan distribusi bobot (Gambar 47). Tampak bahwa alternatif utama dalam pengembangan hutan kota di Kota Palu adalah penyempurnaan peraturan dan penyediaan ruang terbuka hijau dan tanaman. Kedua alternatif ini memiliki bobot sebesar 0,4. Kedua alternatif utama menunjukkan bahwa dalam menerapkan kebijakan pengembangan hutan kota diperlukan
adanya
kegiatan
penyediaan
lahan
untuk
hutan
kota
dan
penyempurnaan regulasi.
Gambar 47. Nilai bobot pada level alternatif
Penyediaan lahan untuk hutan kota hendaknya dilakukan dengan memperhatikan penyebaran ruang terbuka hijau. Kawasan padat penduduk merupakan kawasan prioritas yang sering mengabaikan kebutuhan ruang terbuka hijau. Selanjutnya penyediaan bibit tanaman yang sesuai dengan karakteristik biofisik juga merupakan kegiatan awal dalam kebijakan pengembangan ruang terbuka hijau. Penyempurnaan peraturan diawali dengan pembuatan draft RTRW
yang selanjuntya ditetapkan oleh lembaga legislatif sebagai peraturan daerah. Selanjutnya kebijakan tersebut hendaknya didukung dengan implementasi yang dapat dicapai dengan adanya institusi pemerintah sebagai pengelola dan pelibatan masyarakat. Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, pasal 29 ayat 2 mengatur bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Batasan 30% memberi harapan yang lebih besar bagi upaya memperoleh ameliorasi iklim mikro perkotaan. Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janero, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johanessburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002, Rio + 10), telah disepakati bersama bahwa sebuah kota memliki luas RTH ideal minimal 30% dari total luas kota. Penggunaan lahan di Kota Palu pada umumnya terbagi atas enam jenis yaitu pemukiman, lahan basah, hutan produksi terbatas,
hutan lindung, suaka alam dan sarana prasarana. Ruang
Terbuka Hijau Kota Palu 2010 masih tersedia 78%. Kuantitas yang masih di atas batas limit sebuah RTH Kota masih terpenuhi tetapi belum mampu menurunkan suhu kota. Sebuah RTH tidak hanya terpenuhi dari luasan (kuantitas) tetapi harus diikuti oleh kualitas (bentuk dan struktur) yang tepat. Bentuk dan Struktur Hutan Kota mampu menurunkan suhu antara 2 - 5°C. Potensi luasan RTH dan angin yang tinggi diharapkan dapat menurunkan suhu kota. Diperlukan penataan RTH Pemukiman, Jalan Raya, Perindustrian dengan penataan bentuk dan struktur yang tepat.
5.7. Analisis Kebijakan
Berdasarkan hasil analisis spasial menunjukkan bahwa selama periode 13 tahun (1997-2003) telah terjadi penurunan luas RTH sebesar 1,6 %. Penurunan luas RTH akan meningkatkan suhu udara di Kota Palu. Hasil analisis menunjukkan bahwa penurunan luas RTH akan meningkatkan suhu udara secara signifikan dengan persamaan Y = -0,1203 X + 39,51 ( R2 = 0,503). Jika nilai
Y=33,8oC (Suhu maksimum RTH hutan dari rata-rata pengamatan pada titik pengambilan sampel) , maka diperoleh nilai X=47% atau membutuhkan luasan hutan sebanyak 18 648 ha. Berdasarkan analisis persamaan linear antara jumlah penduduk dengan penggunaan listrik adalah Y = 2,4252X – 564720 dengan R2 sebesar 0.9874. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara jumlah penduduk dengan penggunaan listrik yaitu semakin tinggi jumlah penduduk menyebabkan penggunaan listrik semakin meningkat. Selama periode 5 tahun (2005-2010) laju pertambahan penduduk rata-rata sebesar 1,7 % pertahun dan berdasarkan data pemakaian pemakaian listrik maka diperoleh jumlah komsumsi listrik yang cukup besar pertumbuhannya yaitu sebesar 19,82 %. Peningkatan jumlah penduduk akan berbanding lurus dengan semakin meningkatnya penggunaan energi untuk kebutuhan rumah tangga dan lain-lain. Persamaan linier antara penggunaan listrik dengan suhu adalah Y = 33760X – 1 x 106 dengan r sebesar 0,7745. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara penggunaan listrik dengan suhu yaitu semakin besar penggunaan listrik menyebabkan
suhu
semakin
meningkat.
Peningkatan
konsumsi
listrik
memberikan dampak pada peningkatan suhu maksimum disebabkan hasil emisi dari penggunaan listrik terutama karbon dioksida
berkontribusi dalam
peningkatan suhu udara. Implikasi kebijakan terhadap persamaan model tersebut adalah peran pemerintah dalam mengatur keberadaan RTH, melalui penegakan pemanfaatan ruang harus sesuai dengan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang sebagai upaya menekan laju penurunan RTH. Model persamaan tersebut setelah disimulasikan bahwa selama periode 10 tahun terakhir (2000-2010) penurunan luas RTH telah menyebabkan terjadinya peningkatan suhu udara sebesar 2,4 oC. RTH dalam mengameliorasi iklim selain menurunkan suhu udara juga berperan meningkatkan kelembaban udara. Keberadaan tumbuhan dalam bentuk hutan kota bergerombol dan berbentuk jalur meperlihatkan hasil pengukuran kelembaban tinggi yang dapat berfungsi memperbaiki kondisi iklim mikro. Implikasi kebijakan dari model persamaan
tersebut adalah apabila tidak dilakukan upaya untuk menekan laju penurunan luas RTH dan meningkatkan luas RTH melalui instrument kebijakan pemerintah daerah maka peningkatan suhu udara di Kota Palu akan semakin meningkat. Oleh karena ini merujuk pada model tersebut, maka sangat diperlukan kebijakan pemerintah dalam upaya mengurangi penigkatan suhu udara melalui peningaktan luas RTH di Kota Palu. Kebijakan ruang terbuka hijau di Kota Palu diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu pasal 36 tentang Pengembangan Kawasan Lindung . Adapun Rencana pengembangan diatur dalam pasal 39 yaitu: Rencana Pengembangan RTH Kota Palu untuk mencapai sekurang-kurangnya 30 persen dari luas wilayah kota, yaitu sekurang-kurangnya 20% RTH Publik dan sekurang-kurangnya 10% RTH Privat, meliputi : (a) Pengembangan taman RT dan RW yang akan didistribusikan pada pusat unit-unit pengembangan perumahan; (b) Pengembangan taman kota yang akan didistribusikan di setiap Kelurahan dan Kecamatan pada wilayah Kota Palu; (c) Pengembangan hutan kota di Kelurahan Kawatuna Kecamatan Palu selatan seluas kurang lebih 100 Ha dan kebun raya di Kecamatan Palu Utara seluas kurang lebih 200 Ha; dan (d) Pengembangan fungsi-fungsi kawasan lindung lainnya menjadi ruang terbuka hijau. Namun demikian, luasan RTH sebesar 30% dari luas wilayah Kota Palu belum meberikan manfaat pada tercapainya suhu terendah yang
dapat
memberikan kenyamanan. Terkait dengan kajian penelitian ini dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 tahun 2002 disyaratkan bahwa Hutan kota minimal 10% dari luas Total suatu wilayah, sedangkan luas hutan kota saat ini belum mencapai satu persen . Untuk itu maka kebijakan RTRW Kota Palu belum dianggap mendukung upaya ameliorasi iklim mikro. Olehnya itu perlu adanya instrumen subsidi bagi pengembangan partisipasi masyarakat dalam peningkatan baik pembangunan hutan kota maupun peningkatan luas RTH privat. Berdasarkan hasil analisis skenario optimis dari hasil analisis model, merupakan
model yang dapat diimplementasikan
untuk melakukan upaya
ameliorasi suhu udara dengan melakukan intervensi variabel terhadap jumlah penduduk dengan menurunkan laju pertumbuhan sebesar 1% pertahun,
luas
Hutan dilakukan penambahan 2% pertahun yang hasilnya akan mempertahankan suhu udara maksimum pada akhir tahun simulasi Tahun 2040 yaitu 36,54oC. Seiring dengan kondisi tersebut menunjukkan bahwa aktor utama dalam kebijakan pembangunan
hutan
kota di Kota Palu adalah pemerintah dalam hal ini
pemerintah daerah. Sebagai aktor utama dalam pengembangan kebijakan pembangunan Hutan kota di Kota Palu, maka diperlukan kerja sama institusi terkait. Institusi yang berperan dalam pengembangan hutan kota adalah Dinas Pertamanan, Bapedalda, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Tata Ruang. Kerjasama ini akan menghasilkan manfaat optimal jika disertai dengan kebijakan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tentang pemodelan hutan kota untuk ameliorasi iklim mikro di Kota Palu untuk penyempurnaan RTRWK Kota Palu mengenai rencana pengembangan hutan kota, maka direkomendasikan bahwa pengembangan hutan kota ditekankan berdasarkan distribusi suhu dan sebarannya pada setiap wilayah kecamatan. Kebijakan pengembangan Hutan Kota juga harus didukung oleh sumber daya manusia yang handal baik dalam hal perencanaan, pengelolaan maupun pengawasan dalam suatu kelembagaan yg jelas dan manajemen yang baik. Dalam upaya perencanaan, pemerintah daerah hendaknya mampu untuk memetakan kawasan potensial pengembangan RTH dan sistem pengembangannya. Dalam rangka pengelolaan, diperlukan adanya sumber daya manusia yang mampu memotivasi dan mendorong masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pengembangan Ruang Terbuka Hijau. Dalam kaitannya sebagai pengawas, maka sumber daya manusia harus mampu untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya dapat mengancam kualitas RTH di Kota Palu.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 SIMPULAN 1. Berdasarkan analisis penutupan lahan kota Palu selama 13 tahun dari tahun 1997 sampai dengan 2010 telah ditemukan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) telah mengalami penurunan dari 80,4% menjadi 78,8% atau 48,9% menjadi 29,5% RTH Hutan. 2. Hubungan dinamik perubahan luasan RTH dan distribusi suhu mengikuti persamaan linier Y= 39,511 – 0,1203X dengan R2 sebesar 0,503. Jika nilai Y=33,8oC (Suhu maksimum RTH hutan dari rata-rata pengamatan pada titik pengambilan sampel), maka diperoleh nilai X=47% atau membutuhkan luasan hutan kota sebanyak 18 648 ha. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan berbanding terbalik antara prosentase RTH hutan dengan suhu udara maksimum yaitu semakin rendah prosentase RTH hutan menyebabkan suhu udara maksimum meningkat. 3. Berdasarkan hasil simulasi model menunjukkan bahwa luas hutan menurun dari tahun ke tahun sebagai penyebab meningkatnya suhu udara, peningkatan suhu sebesar 2,4 oC selama 10 tahun terakhir dari tahun 2000-2010. Model Skenario Optimis dari hasil analisis model, merupakan model yang dapat diimplementasikan
untuk melakukan upaya ameliorasi suhu udara dengan
melakukan intervensi variabel terhadap jumlah penduduk dengan menurunkan laju pertumbuhan sebesar 1% pertahun, luas Hutan dilakukan penambahan 2% pertahun yang hasilnya akan mempertahankan suhu udara maksimum pada akhir tahun simulasi Tahun 2040 yaiti 36,54oC (Suhu aktual 35,7
o
C
penambahan suhu berkisar 0,8 oC selama 30 tahun). 4. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa faktor utama yang menentukan keberhasilan kebijakan pembangunan hutan Kota Palu adalah kebutuhan pemukiman dengan bobot 0,30 dengan aktor utamanya adalah pemerintah sebagai penyusun kebijakan bobot 0,33, dimana tujuan kebijakan utamanya adalah kelestarian lingkungan dengan bobot sebesar 0,3, sedangkan untuk alternatif utama dalam pengembangan hutan kota di Kota Palu adalah
penyempurnaan peraturan serta penyediaan ruang terbuka hijau dan tanaman dengan bobot 0,4.
6.2 SARAN Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian, maka upaya yang perlu dilakukan antara lain: 1. Model Hutan Kota untuk ameliorasi iklim mikro perlu disusun sebagai kebijakan pemerintah daerah dalam penataan ruang yang mencakup tentang batasan luas ruang terbuka hijau dan sebarannya, 2. Kebijakan pengembangan Hutan Kota juga harus didukung oleh sumber daya manusia yang handal baik dalam hal perencanaan, pengelolaan maupun pengawasan dalam suatu kelembagaan yang jelas dan manajemen yang baik. Dalam upaya perencanaan, pemerintah daerah hendaknya mampu untuk memetakan
kawasan
potensial
pengembangan
RTH
dan
sistem
pengembangannya. Dalam rangka pengelolaan, diperlukan adanya sumber daya manusia yang mampu memotivasi dan mendorong masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pengembangan Ruang Terbuka Hijau. Dalam kaitannya sebagai pengawas, maka sumber daya manusia harus mampu untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya dapat mengancam kualitas RTH di Kota Palu. 3. Perlu peninjauan kembali tentang rencana ruang terbuka hijau dalam penyusunan RTRW Kota Palu, terutama alokasi untuk hutan kota. 4. Perlu dilakukan kajian lanjutan
mengenai pemodelan hutan kota dengan
indikator-indikator yang belum diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H.S., 2006. Evaluasi Lanskap Perkotaan Untuk Merevitalisasi Ruang Terbuka Hujau Kota Dalam Mewujudkan Konsep Green City. Prosiding Seminar Lanskap Perkotaan-Green City. UPN Veteran Jatim. --------, 2011. Konsep Kota Hijau-Kota Ekologis-Kota yang Berkelanjutan dan Implementasinya di Indonesia. Workshop Green City 2011. IPB International Convention Center, Bogor. 12 Desember 2011 --------, and Nakagoshi N., 2011. Lanscape Ecology and Urban Biodiversity in Tropical Indonesian Cities. Accepted19 Juni 2010, Published online: 5 December 2010. International Consortium of Lanscape and Ecologycal Engeneering and Springer 2011. [Bappeda Kota Palu], 2006. Laporan Rencana Tata Ruang Kota Palu Tahun 20062025 Hasil Revisi. Pemerintah Kota Palu. Palu. [Bappeda Kota Palu], 2010. Rancangan Peraturan Daerah Kota Palu 2010-2030 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu. Barja, 2007. Pengelolaan Lingkungan Perkotaan. Http://www.w3.org/1999/html. [Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika Palu], 2010. Data Iklim Kota Palu. Palu. [BPS Kota Palu], 2011. Palu Dalam Angka 2010. Kerja Sama Badan Pusat Statistik Kota Palu dan Badan Perencanaan Daerah Kota Palu. Budihardjo, E. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni Bandung. Canadarma, W dan Kristanto, L. 2006. Gagasan Pemanfaatan Bibir Saluran Air Hujan Kota sebagai Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus Saluran Air Hujan Kota di Jalan Raya Jemursari, Surabaya). Prosiding Seminar Lanskap Perkotaan-Green City 2006. p.137-146 Checkland, P., 1989. Soft System: Methodology. In Rosenhead, J. (Ed). Rational Analysis for a Problematic World: Structuring Methods for Complexity, Uncertainty and Conflic. John Wiley & sons Ltd., Chichester, England. Chusnan. Penghijauan Kota. Diakses http://chusnan/netii.net/penghijauan.htm, Tanggal 1 Mei 2011.
dari
Clayton, A.M.H. & Radcliffe, N.J., 1996. Sustainability: A System Approach Earthscan Publication Ltd., London
Dahlan, E, N., 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan Kota. ISBN 979-493-097-0. Bogor. -------, 2007. Analisis Kebutuhan Luasan Hutan Kota sebagai Sink Gas CO2 Antropogenik dari Bahan Bakar Minyak dan Gas di Kota Bogor dengan Pendekatan Sistem Dinamik. (Disertasi). Tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana IPB. -------, 2011. Analisis Kebutuhan Luasan RTH dan Hutan Kota Menuju Kota Hijau. Workshop Green City 2011. IPB International Convention Center, Bogor. 12 Desember 2011 Dargay J, Gately D and Sommer M., 2007. Vehicle Ownership and Income Growth, Worldwide: 1960-2030. Institute for Transport Studies, University of Leeds. England [Departemen Kehutanan], 1999. Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. ------------, 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota. -----------, 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. [Departemen Pekerjaan Umum], 2007. Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. [Departemen Dalam Negeri]. 1998. Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1998 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Perkotaan. -----------, 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Jakarta: Depatemen Dalam Negeri Pemerintah Rebuplik Indonesia. [Dinas Kehutanan, 2011]. Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Palu: Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Effendy, S., 2007. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau Dengan Urban Heat Island Wilayah Jabotabek. Bogor. (Disertasi). Tidak dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. ----------, 2001. Urgensi Prediksi Cuaca dan Iklim di Bursa Komoditas Unggulan Pertanian, Program Pascasarjana / S-3, Institute Pertanian Bogor. [Environmental Protection Agency], 2010. Climate Chang. United States: Environmental Protection Agency.
Eriyatno, 2003. Ilmu Sistem.Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Management. Jilid. I. IPB Press. Bogor. Fakuara, Y., 1987. Hutan Kota Ditinjau dari Aspek Nasional. Makalah pada Seminar Hutan Kota DKI Jakarta, 15 Desember 1987, Jakarta. Fandeli, C. 2004. Perhutanan Kota. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. [Forest Service Publication], 2003. Trees Modify Local Climate, 2003. http://www.dnr. State.md.us/forest/publications/urban6.html. Grant WE, Pedersen EK, Marin SL., 1997. Ecology and Natural Resource Management: System Analysis and Simulation. John wiley @Sons.inc. New York Guti, G. R. D., 2009. Analisis Kebutuhan Hutan Kota sebagai Penyerap Gas CO2 Antropogenik di Pusat Kota Medan. [Thesis] Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan Grey,G.W., dan F.I.Deneke, 1978. Urban Forestry. John Wiley and Sons. Haris, V.I., 2006. Analisis Distribusi dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Pengindraan jauh (Studi Kasus di Kota Bogor). Skripsi. Tidak dipublikasikan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartrisasi, 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP, Bogor. Irwan, Z. Dj, 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Penerbit PT. Bumi Aksara. Jakarta. Kakiay, T.J., 2004. Pengantar Sistem Simulasi. Andi, Yogyakarta Khusaini, N.I., 2008. Pengaruh Perubahan Penutupan Lahan Terhadap Distribusi Suhu Permukaan Di Kota Bogor Dengan Menggunakan Citra Satelit Dan Sistem Informasi Geografis.Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Koto, E. 1991. Studi Iklim Mikro di Hutan Kota Manggala Wanabakti Jakarta. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kurniawan, R., 2010. Sistem Pengelolaan Kawasan Karts Maros-Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan Secara Berkelanjutan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultasi Pertanian IPB. 2005. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. Makalah Lokakarya, Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan. p.1-10, Bogor Levin, R.I., Rubin, D.S., Stinson, J.P., dan Gardner Jr. E.R., 2002. Pengambilan Keputusan Secara Kuantitatif. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mool, G. 1997. America’s Urban Forest: Growing Concerns. American Forests 103 (3) : 15-18. Muhammadi, 2001. Analisis Sistem Dinamik Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Nurisjah, S., Setia, H., Zain, A.M., dan Qodarian, P., 2005. Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan. Makalah Diskusi Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan. Bappeda Bogor. 8pp. Nugroho, 2006. Dalam Prosiding Seminar Lanskap Perkotaan-Green City, Dengan Judul Ruang Terbuka Hijau (RTH) Di Citaraya Surabaga Sebagai Bagian Dari Lansekap Kota Surabaya Dalam Mewujudkan Kota Yang Hijau (Green City). UPN Veteran Jatim. Nursalam, 2011. Analisis Kapasitas Ruang Terbuka Hijau Kota Palu Sebagai Penyerap Emisi CO2 Anthropogenik dengan Sistem Dinamik. (Tesis). Tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana IPB. Bogor Purnomo, H., 2005. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan dan Simulasi Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purnomo, H, Mendoza, G.A. Prabu R, 2004. Model for Collaborative Planning of Community-Managed Resources Based on Qualitative Soft Systems Approach Journal of Tropical forest science 16(1) : 106-131. Powersim, Software. 2003. Powersim Studio 2003 user’s Guide. Norway. Rachmawaty, S., 2008. Analisis Konsistensi Pola Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang (Studi Kasus Kota Palu). Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor Robinette, J. 1983. Landscape Planning for Energy Conservation. Van Nostrand Reinholsd Co. New York. Rushayati, S.B., 2011. Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Program Studi konservasi Biodiversitas Tropika, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rusman, H.S., Alikodra, Purnomo, H., 2008. Analisis Senstivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Ramah Lingkungan: Studi Kasus IUPHHK/HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah [Tesis] Tidak diterbitkan. Saaty, T.L., 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks (terjemahan Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World). Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. 270 hal. Schipper L, Fabian H and Leather J., 2009. Transport and Carbon Dioxide Emissions: Forecast, Option Analysis and Evalution. ADB Sustainable Development Working Paper. Series. Manila Simond JO., 2007. Landscape Architecture. New York: McGraw-Hill Book.332p Siswosudarmo M., Aminullah, E. Soesilo T.B., 2000. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Susanti, I. dan Teguh, H., 2006. Aspek Iklim dalam Perencanaan Tata Ruang. Inovasi Online, ISSN : 0917-8376 | Edisi Vol.8/XVIII/November 2006. Internet: http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=197 [April 2008]. Susilo, S., 2006. Evaluasi Alih Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada Kawasan Padat Penduduk Kota Malang. Prosiding Seminar Lanskap Perkotaan-Green City 2006. p.95-101 Stanley, R.S., 1999. Urban Sprawl and the Michigan Landscape: A Market Oriented Approach. Mackinac Center for Public Policy. USA. p. 151. Tauhid, 2008. Kajian Jarak Jangkau Efek Vegetasi Pohon Terhadap Suhu Udara Pada Siang Hari Di Perkotaan, Studi Kasus Kawasan Simpang Lima Kota Semarang. Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan, Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. Walpole, R.E., Utama
1982.
Pengantar Statistika.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Weng, Q.H., and Yang, S.H., 2004. Managing the Adverse Thermal Effects of Urban Development in a Densely Populated Chinese City. Journal of Environmental Management. Zubair, H., 1994. Pola Pengelolaan Kawasan Hutan Berdasarkan Karakteristik Hidrologi di Daerah Aliran Sungai Konto Hulu Malang Jawa Timur. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Pengamatan Iklim Mikro
Posisi Geografis No.
Lokasi
Waktu
Jenis Penutupan Lahan
LS
BT
Elevasi Dpl (m)
1
Ngata Baru
10.00
Hutan Rakyat
00° 55’ 16,5”
119° 57’ 16,5"
317
2
Palupi
10.00
Permukiman
00° 55’ 39,6”
119° 51’ 43,6"
70
3
Bayoge
10.51
Kebun Campuran
00° 55’ 00,1”
119° 57’ 17,0"
49
4
Hasanudin Pertokoan
10.40
Pertokoan
00° 53’ 55,5”
119° 52’ 21,3
38
5
Hasanudin Taman Kota
10.37
Taman Kota
00° 53’ 47,2”
119° 52’ 06”
37
6
Jl. Sudirman
10.33
Jalan Raya
00° 53’ 36,9”
119° 52’ 11,3"
28
7
S.T.Q
10.05
Hamparan Tumbuhan
00° 52’ 07,9”
119° 53’ 16,5"
90
8
Tondo
10.13
Industri
00° 49’ 12,5”
119° 52’ 55,6"
22
9
Taman Ria
10.27
Tepi Pantai
00° 53’ 05,1”
119° 57’ 24,2"
22
Lampiran 2. Equation level LHutan { init 11646,25 inflow { autodef L_Hutan } aux Listrik {2,425*Penduduk-564720} level LSemak { init 12825,17 inflow { autodef L_Semak } aux Luas Lahan Total { 39507,55} const Mod_ F_Hutan { init 0,01} const Mod_F_LPertanian { init -0,073} const Mod_F_Penduduk { init 0,015} const Mod_F_Semak { init 0,087} aux Mod_Hutan { MIN(Mod_LHutan;'Mod_Luas Lahan Total'-'Mod_Lahan Pertanian'-'Mod_Lahan Terbangun')} aux Mod_L_Hutan {'Mod_ F_Hutan'*Mod_LHutan} aux Mod_L_LPertanian { Mod_F_LPertanian*'Mod_Lahan Pertanian'} aux Mod_L_Penduduk { Mod_F_Penduduk*Mod_Penduduk} aux Mod_L_Semak { Mod_F_Semak*Mod_LSemak} level Mod_Lahan Pertanian { init 5219,73 inflow { autodef Mod_L_LPertanian } aux Mod_Lahan Terbangun {(0,019*Mod_Penduduk)-1156} aux Mod_Lahan Terbuka
Lampiran 2. (Lanjutan) MAX('Mod_Luas Lahan Total'-('Mod_Lahan Terbangun'+Mod_RTH);0)2} level Mod_LHutan { init 11646,25 inflow { autodef Mod_L_Hutan }} aux Mod_Listrik {2,425*Mod_Penduduk-564720} level Mod_LSemak { init 12825,17 inflow { autodef Mod_L_Semak }} aux Mod_Luas Lahan Total { 39507,55} level Mod_Penduduk { init 318555 inflow { autodef Mod_L_Penduduk }} aux Mod_Persen RTH Hutan {(Mod_Hutan/'Mod_Luas Lahan Total')*100} aux Mod_RTH {Mod_LHutan+'Mod_Lahan Pertanian'+Mod_Semak} aux Mod_Semak { MIN(Mod_LSemak;('Mod_Luas Lahan Total'-(Mod_LHutan+'Mod_Lahan Pertanian'+'Mod_Lahan Terbangun')))} aux Mod_Suhu Maksimun {33,617-0,0000723*Mod_LHutan+0,00001444*Mod_Listrik} const Opt_F_Hutan { init 0,05} const Opt_F_LPertanian { init -0,073} const Opt_F_Penduduk { init 0,01} const Opt_F_Semak { init 0,087} aux Opt_Hutan { MIN(Opt_LHutan;'Opt_Luas Lahan Total'-'Opt_Lahan Pertanian'-'Opt_Lahan Terbangun')
Lampiran 2. (Lanjutan) aux Opt_L_Hutan {Opt_F_Hutan*Opt_LHutan} aux Opt_L_LPertanian {3 Opt_F_LPertanian*'Opt_Lahan Pertanian'} aux Opt_L_Penduduk {Opt_F_Penduduk*Opt_Penduduk} aux Opt_L_Semak {Opt_F_Semak*Opt_LSemak} level Opt_Lahan Pertanian { init 5219,73 inflow { autodef Opt_L_LPertanian } aux Opt_Lahan Terbangun {(0,019*Opt_Penduduk)-1156} aux Opt_Lahan Terbuka { MAX('Opt_Luas Lahan Total'-('Opt_Lahan Terbangun'+Opt_RTH);0)} level Opt_LHutan { init 11646,25 inflow { autodef Opt_L_Hutan }} aux Opt_Listrik {2,425*Opt_Penduduk-564720} level Opt_LSemak { init 12825,17 inflow { autodef Opt_L_Semak } aux Opt_Luas Lahan Total {39507,55} level Opt_Penduduk { init 318555 inflow { autodef Opt_L_Penduduk } aux Opt_Persen RTH Hutan {(Opt_Hutan/'Opt_Luas Lahan Total')*100} aux Opt_RTH { Opt_LHutan+'Opt_Lahan Pertanian'+Opt_Semak} aux Opt_Semak {MIN(Opt_LSemak;('Opt_Luas Lahan Total'-(Opt_LHutan+'Opt_Lahan Pertanian'+'Opt_Lahan Terbangun))) aux Opt_Suhu Maksimun {33,617-0,0000723*Opt_LHutan+0,00001444*Opt_Listrik}
Lampiran 3.
Time
Hasil Simulasi Model Skenario Pesimis Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro
Pes_Listrik
Pes_Suhu Maksimun
Pes_RTH
Pes_Hutan Pes_Lahan PertanianPes_LHutan
Penduduk
01 Jan 2010
207.775,88
35,78
29.691,15
11.646,25
5.219,73
11.646,25 318.555,00
01 Jan 2011
223.225,79
36,10
29.589,37
10.248,70
4.890,41
10.546,22 323.970,44
01 Jan 2012 01 Jan 2013
238.984,71 255.058,80
36,42 36,73
29.487,59 29.385,82
9.018,86 7.936,59
4.561,08 4.231,76
9.446,19 329.477,93 8.346,16 335.079,06
01 Jan 2014
271.454,38
37,03
29.284,04
6.984,20
3.902,44
7.246,13 340.775,40
01 Jan 2015
288.177,87
37,33
29.182,26
6.146,10
3.573,11
6.146,10 346.568,58
01 Jan 2016
305.235,82
37,63
30.002,91
5.408,57
3.347,68
5.565,58 352.460,25
01 Jan 2017
322.634,94
37,93
30.823,57
4.759,54
3.122,24
4.985,06 358.452,07
01 Jan 2018
340.382,04
38,23
31.644,22
4.188,39
2.896,81
4.404,53 364.545,76
01 Jan 2019
358.484,08
38,53
32.464,88
3.685,79
2.671,37
3.824,01 370.743,04
01 Jan 2020
376.948,16
38,83
33.285,53
3.243,49
2.445,94
3.243,49 377.045,67
01 Jan 2021
395.781,52
39,13
33.131,95
2.854,27
2.291,62
2.937,13 383.455,44
01 Jan 2022
414.991,55
39,43
32.978,37
2.511,76
2.137,30
2.630,77 389.974,19
01 Jan 2023
434.585,79
39,51
32.824,79
2.210,35
1.982,98
2.324,41 396.603,75
01 Jan 2024
454.571,90
39,51
32.671,20
1.945,11
1.828,66
2.018,05 403.346,01
01 Jan 2025
474.957,74
39,51
32.517,62
1.711,69
1.674,34
1.711,69 410.202,89
01 Jan 2026
495.751,29
39,51
32.348,05
1.506,29
1.568,70
1.550,02 417.176,34
01 Jan 2027
516.960,72
39,51
32.178,49
1.325,54
1.463,07
1.388,34 424.268,34
01 Jan 2028
538.594,33
39,51
32.008,92
1.166,47
1.357,43
1.226,67 431.480,90
01 Jan 2029
560.660,62
39,51
31.839,35
1.026,50
1.251,79
1.064,99 438.816,08
01 Jan 2030
583.168,23
39,51
31.669,79
903,32
1.146,15
903,32 446.275,95
01 Jan 2031
606.126,00
39,51
31.482,57
794,92
1.073,84
817,99 453.862,64
01 Jan 2032
629.542,92
39,51
31.295,36
699,53
1.001,53
732,67 461.578,31
01 Jan 2033
653.428,18
39,51
31.108,14
615,58
929,21
647,35 469.425,14
01 Jan 2034
677.791,14
39,51
30.920,92
541,71
856,90
562,03 477.405,37
01 Jan 2035
702.641,36
39,51
30.733,71
476,71
784,59
476,71 485.521,26
01 Jan 2036
727.988,59
39,51
30.527,01
419,50
735,09
431,68 493.775,12
01 Jan 2037
753.842,76
39,51
30.320,31
369,16
685,59
386,65 502.169,30
01 Jan 2038
780.214,02
39,51
30.113,60
324,86
636,08
341,63 510.706,17
01 Jan 2039
807.112,70 834.549,35
39,51 39,51
29.906,90 29.700,20
285,88 251,57
586,58 537,08
296,60 519.388,18 251,57 528.217,78
01 Jan 2040
Lampiran 4. Hasil Simulasi Model Skenario Moderat Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro
Time
Opt_Listrik
Opt_Suhu Maksimun
Opt_RTH
Opt_LHutanOpt_Lahan Pertanian Opt_Lahan Terbangun Opt_Penduduk
01 Jan 2010
207.775,88
35,78
29.691,15
11.646,25
5.219,73
4.896,55 318.555,00
01 Jan 2011
215.500,83
35,84
30.613,37
12.289,78
4.890,41
4.958,29 321.740,55
01 Jan 2012
223.303,04
35,91
31.535,60
12.933,31
4.561,08
5.020,04 324.957,96
01 Jan 2013
231.183,27
35,98
32.457,82
13.576,84
4.231,76
5.081,79 328.207,54
01 Jan 2014
239.142,31
36,05
33.380,04
14.220,37
3.902,44
5.143,54 331.489,61
01 Jan 2015
247.180,93
36,11
34.302,26
14.863,89
3.573,11
5.205,29 334.804,51
01 Jan 2016
255.299,94
36,18
34.237,37
15.685,22
3.347,68
5.270,18 338.152,55
01 Jan 2017
263.500,14
36,24
34.172,47
16.506,54
3.122,24
5.335,08 341.534,08
01 Jan 2018
271.782,34
36,30
34.107,57
17.327,87
2.896,81
5.399,98 344.949,42
01 Jan 2019
280.147,36
36,36
34.042,67
18.149,19
2.671,37
5.464,88 348.398,91
01 Jan 2020
288.596,04
36,41
33.977,77
18.970,51
2.445,94
5.529,78 351.882,90
01 Jan 2021
297.129,20
36,47
33.909,57
20.018,75
2.291,62
5.597,98 355.401,73
01 Jan 2022
305.747,69
36,52
33.841,36
21.067,00
2.137,30
5.666,19 358.955,75
01 Jan 2023
314.452,36
36,57
33.773,15
22.115,24
1.982,98
5.734,40 362.545,30
01 Jan 2024
323.244,09
36,62
33.704,94
23.163,48
1.828,66
5.802,61 366.170,76
01 Jan 2025
332.123,73
36,66
33.636,73
24.211,72
1.674,34
5.870,82 369.832,47
01 Jan 2026
341.092,17
36,70
33.565,05
25.549,57
1.568,70
5.942,50 373.530,79
01 Jan 2027
350.150,29
36,74
33.493,36
26.887,42
1.463,07
6.014,19 377.266,10
01 Jan 2028
359.298,99
36,78
33.421,67
28.225,27
1.357,43
6.085,88 381.038,76
01 Jan 2029
368.539,18
36,81
33.349,98
29.563,12
1.251,79
6.157,57 384.849,15
01 Jan 2030
377.871,77
36,84
33.278,29
30.900,97
1.146,15
6.229,26 388.697,64
01 Jan 2031
387.297,69
36,86
33.202,95
32.608,44
1.073,84
6.304,60 392.584,61
01 Jan 2032
396.817,87
36,88
33.127,61
34.315,92
1.001,53
6.379,94 396.510,46
01 Jan 2033
406.433,25
36,90
33.052,26
36.023,39
929,21
6.455,29 400.475,57
01 Jan 2034
416.144,78
36,91
32.976,92
37.730,86
856,90
6.530,63 404.480,32
01 Jan 2035
425.953,43
36,92
32.901,57
39.438,34
784,59
6.605,98 408.525,12
01 Jan 2036
435.860,16
36,92
32.822,38
41.617,55
735,09
6.685,17 412.610,38
01 Jan 2037
445.865,96
36,91
32.743,20
43.796,77
685,59
6.764,35 416.736,48
01 Jan 2038
455.971,82
36,90
32.664,01
45.975,99
636,08
6.843,54 420.903,84
01 Jan 2039
466.178,74
36,88
32.584,82
48.155,20
586,58
6.922,73 425.112,88
01 Jan 2040
476.487,73
36,86
32.505,63
50.334,42
537,08
7.001,92 429.364,01
Lampiran5. Hasil Simulasi Model Skenario Optimis Hutan Kota untuk Ameliorasi Iklim Mikro
Time
Mod_ListrikMod_Suhu MaksimunMod_RTH
Mod_Hutan Mod_Penduduk Mod_Lahan Pertanian Mod_Lahan Terbangun
01 Jan 2010
207.775,88
35,78
29.691,15
11.646,25 318.555,00
5.219,73
4.896,55
01 Jan 2011
219.363,31
35,93
30.581,57
11.762,71 323.333,33
4.890,41
4.990,10
01 Jan 2012 01 Jan 2013
231.124,56 243.062,23
36,10 36,26
31.471,99 32.362,40
11.880,34 328.183,32 11.999,14 333.106,07
4.561,08 4.231,76
5.083,65 5.177,20
01 Jan 2014
255.178,96
36,43
33.252,82
12.119,13 338.102,67
3.902,44
5.270,76
01 Jan 2015
267.477,45
36,59
34.143,24
12.240,33 343.174,21
3.573,11
5.364,31
01 Jan 2016 01 Jan 2017
279.960,41 292.630,62
36,77 36,94
34.042,46 33.941,67
12.362,73 348.321,82 12.486,36 353.546,65
3.347,68 3.122,24
5.465,09 5.565,88
01 Jan 2018
305.490,88
37,12
33.840,89
12.611,22 358.849,85
2.896,81
5.666,66
01 Jan 2019
318.544,04
37,30
33.740,11
12.737,33 364.232,59
2.671,37
5.767,44
01 Jan 2020 01 Jan 2021
331.793,00 345.240,70
37,48 37,66
33.639,32 33.530,75
12.864,71 369.696,08 12.993,35 375.241,52
2.445,94 2.291,62
5.868,23 5.976,80
01 Jan 2022
358.890,11
37,85
33.422,18
13.123,29 380.870,15
2.137,30
6.085,37
01 Jan 2023
372.744,26
38,04
33.313,61
13.254,52 386.583,20
1.982,98
6.193,94
01 Jan 2024 01 Jan 2025
386.806,22 401.079,11
38,23 38,43
33.205,04 33.096,46
13.387,06 392.381,95 13.520,93 398.267,68
1.828,66 1.674,34
6.302,51 6.411,09
01 Jan 2026
415.566,10
38,63
32.979,50
13.656,14 404.241,69
1.568,70
6.528,05
01 Jan 2027
430.270,39
38,83
32.862,54
13.792,71 410.305,32
1.463,07
6.645,01
01 Jan 2028 01 Jan 2029
445.195,25 460.343,98
39,04 39,25
32.745,58 32.628,61
13.930,63 416.459,90 14.069,94 422.706,79
1.357,43 1.251,79
6.761,97 6.878,94
01 Jan 2030
475.719,94
39,46
32.511,65
14.210,64 429.047,40
1.146,15
6.995,90
01 Jan 2031
491.326,54
39,51
32.385,65
14.352,74 435.483,11
1.073,84
7.121,90
01 Jan 2032 01 Jan 2033
507.167,23 523.245,54
39,51 39,51
32.259,64 32.133,64
14.496,27 442.015,35 14.641,23 448.645,58
1.001,53 929,21
7.247,91 7.373,91
01 Jan 2034
539.565,03
39,51
32.007,64
14.787,65 455.375,27
856,90
7.499,91
01 Jan 2035
556.129,30
39,51
31.881,64
14.935,52 462.205,90
784,59
7.625,91
01 Jan 2036 01 Jan 2037
572.942,04 590.006,97
39,51 39,51
31.745,90 31.610,16
15.084,88 469.138,99 15.235,73 476.176,07
735,09 685,59
7.761,65 7.897,39
01 Jan 2038
607.327,88
39,51
31.474,42
15.388,08 483.318,71
636,08
8.033,13
01 Jan 2039
624.908,59
39,51
31.338,68
15.541,97 490.568,49
586,58
8.168,87
01 Jan 2040
642.753,02
39,51
31.202,94
15.697,39 497.927,02
537,08
8.304,61
Lampiran 6. Hasil Analisis Regresi 1.
Regression Analysis: Suhu Maks versus RTH; Listrik (MW)
The regression equation is Suhu Maks = 33,6 - 0,000072 RTH + 0,000014 Listrik (MW)
Predictor Constant RTH Listrik (MW)
Coef 33,617 -0,0000723 0,00001444
S = 0,771436
SE Coef 3,703 0,0001570 0,00000843
R-Sq = 60,7%
PRESS = 11,8331
T 9,08 -0,46 1,71
P 0,000 0,654 0,115
VIF 3,783 3,783
R-Sq(adj) = 53,6%
R-Sq(pred) = 29,05%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 2 11 13
SS 10,1309 6,5463 16,6771
MS 5,0654 0,5951
F 8,51
P 0,006
2. Regression Analysis: Suhu Maks(C) versus Jumlah pendu; RTH; Listrik(MW) The regression equation is Suhu Maks(C) = 54,5 - 0,000086 Jumlah penduduk (jiwa) - 0,000105 RTH + 0,000048 Listrik(MW) Predictor Constant Jumlah penduduk (jiwa) RTH Listrik(MW)
S = 0,779330
Coef 54,55 -0,00008637 -0,0001049 0,00004810
R-Sq = 63,6%
PRESS = 11,5282
SE Coef 24,02 0,00009790 0,0001629 0,00003910
R-Sq(adj) = 52,7%
R-Sq(pred) = 30,87%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 10 13
SS 10,6036 6,0736 16,6771
MS 3,5345 0,6074
F 5,82
P 0,014
T 2,27 -0,88 -0,64 1,23
P 0,046 0,398 0,534 0,247
VIF 83,954 3,989 79,754
Lampiran 7. Data Suhu Minimum Harian Kota Palu Tahun 2005 - 2010
1.
Suhu Minimum Harian Kota Palu Tahun 2005
BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MINIMUM HARIAN TAHUN 2005
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGT
SEP
OKT
NOV
DES
1
24,2
21,4
23,6
25,2
23,0
23,0
22,0
22,1
22,8
23,7
22,8
22,6
2
22,4
23,0
21,8
22,8
21,0
21,8
22,0
22,2
22,9
23,2
22,4
23,0
3
23,8
23,0
22,8
23,0
24,2
23,8
22,0
23,0
22,6
22,8
23,8
22,3
4
22,6
24,1
22,5
23,4
23,2
23,4
21,2
23,2
22,2
23,2
23,2
21,4
5
23,2
22,0
20,4
24,0
23,2
22,4
21,2
23,4
23,4
22,2
23,2
22,0
6
21,2
23,6
20,2
21,2
23,8
22,0
22,2
23,4
23,0
22,2
22,2
23,6
7
23,8
23,0
21,0
21,6
25,0
22,6
22,2
22,6
24,2
24,2
22,3
22,2
8
21,2
23,6
21,8
21,6
23,6
23,0
22,3
22,2
22,4
23,0
21,8
22,4
9
21,2
22,4
20,4
21,7
23,2
22,0
21,2
21,8
22,0
23,4
22,8
22,2
10
22,8
21,8
22,8
21,0
22,8
22,4
22,0
21,7
21,0
23,3
22,2
22,0
11
24,4
22,6
23,0
21,2
23,6
22,8
22,6
22,6
23,6
23,2
23,6
23,0
12
22,6
23,8
24,0
22,8
22,2
23,4
22,0
23,2
24,0
23,4
22,4
22,8
13
22,8
22,8
22,6
23,8
21,8
22,4
21,6
21,0
23,2
24,0
23,4
23,0
14
22,8
23,2
22,2
22,2
22,0
21,8
22,8
21,4
23,2
23,6
22,4
23,4
15
23,8
22,2
22,0
22,0
24,6
22,0
23,2
23,0
21,7
23,2
22,6
23,5
16
22,4
24,0
21,8
22,5
22,6
24,4
22,8
23,6
23,8
22,2
22,2
23,4
17
23,0
22,2
20,8
23,8
22,4
21,8
20,8
21,6
23,2
23,6
22,8
23,0
18
23,2
21,8
23,1
21,4
21,8
23,0
21,2
20,4
22,8
22,8
22,0
22,9
19
23,8
21,4
21,2
22,8
24,4
22,4
20,2
21,9
21,4
22,6
23,2
23,1
20
22,0
23,6
25,4
22,2
22,4
23,8
22,6
23,0
21,5
22,2
21,2
22,4
21
21,0
21,4
21,8
25,3
22,2
23,5
21,6
23,4
23,2
22,2
21,8
22,4
22
20,0
23,0
23,8
22,2
22,4
23,0
22,4
22,8
23,4
22,2
23,0
23,4
23
23,4
24,6
22,2
23,0
23,4
23,8
22,4
23,0
23,3
22,8
22,8
23,4
24
19,8
23,6
14,8
23,0
22,6
22,2
22,3
21,1
22,7
24,0
23,2
22,8
25
21,6
22,6
22,6
24,8
22,8
21,8
21,8
22,6
22,3
21,9
22,8
22,6
26
22,8
24,0
23,3
23,8
22,0
21,2
21,9
22,2
22,2
22,0
22,2
22,4
27
24,4
23,8
22,4
24,2
23,2
21,2
21,8
22,2
21,8
22,6
22,6
22,0
28
22,8
25,0
24,2
25,0
22,2
23,7
22,3
23,2
22,1
24,0
23,2
22,5
29
22,6
21,8
24,3
23,2
21,2
23,4
22,2
22,2
22,8
22,6
23,4
30
22,6
22,4
23,0
22,0
23,0
22,0
21,4
23,7
22,4
22,6
22,6
31
22,6
23,0
22,0
22,4
MIN
19,8
21,4
14,8
21,0
21,0
21,2
20,2
20,4
21,0
21,9
21,2
21,4
MEAN
22,6
23,0
22,1
23,0
22,9
22,6
22,0
22,4
22,7
23,0
22,6
22,7
24,6
22,8
22,2
Lampiran 7. (Lanjutan)
2. Suhu Minimum Harian Kota Palu Tahun 2006 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MINIMUM HARIAN TAHUN 2006
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGT
SEP
OKT
NOV
DES
1
22,2
22,2
22,7
21,3
23,3
22,4
22,6
23,1
21,0
22,6
24,4
24,4
2
23,1
22,0
22,2
21,9
22,0
22,8
23,2
23,1
21,8
22,8
23,6
22,2
3
21,6
22,3
22,8
22,6
23,0
22,4
23,3
22,0
23,3
22,7
24,2
23,4
4
22,8
22,7
22,8
22,8
22,7
22,6
24,4
22,3
24,0
22,8
24,1
23,8
5
22,0
22,7
22,7
22,2
23,0
22,8
23,5
21,4
22,9
21,1
24,6
23,0
6
22,4
23,6
21,4
22,2
23,3
21,8
20,0
21,9
21,2
21,4
24,2
25,0
7
21,8
23,0
22,0
23,4
20,8
22,8
23,1
22,2
21,8
22,4
23,7
24,0
8
22,2
23,2
21,9
22,4
21,2
21,2
24,2
21,2
22,8
22,6
22,4
24,5
9
22,4
22,7
22,1
22,5
23,2
21,7
22,8
21,8
21,5
22,3
23,0
25,4
10
22,8
22,8
22,4
22,2
22,4
21,8
23,0
22,0
22,6
22,4
23,1
25,0
11
22,8
23,2
22,4
22,2
24,5
22,6
24,1
22,8
23,4
21,5
23,2
22,8
12
23,2
24,0
23,5
22,2
24,8
22,8
24,0
22,4
24,2
21,5
24,0
23,5
13
21,6
22,8
23,9
23,0
22,8
22,1
24,2
22,6
23,6
23,0
23,4
24,6
14
22,0
22,8
22,2
22,7
23,2
22,6
22,6
22,5
22,8
24,8
24,1
25,2
15
22,8
22,4
22,2
23,0
24,6
22,6
23,3
22,4
22,0
23,4
23,8
25,0
16
22,8
22,4
23,0
23,0
23,7
21,4
23,0
23,9
21,2
23,4
23,8
23,8
17
22,9
22,1
23,5
22,4
22,6
21,7
22,8
23,4
21,3
24,4
22,8
24,2
18
21,6
22,2
23,8
23,4
22,8
23,2
23,6
22,4
22,2
23,8
23,1
24,0
19
21,9
22,2
23,1
24,4
23,4
22,8
23,3
23,9
23,0
23,8
23,0
23,8
20
23,8
23,4
22,2
25,0
23,5
22,8
23,0
22,6
22,8
23,7
23,0
24,2
21
22,8
22,4
22,5
22,4
23,0
23,3
22,8
22,6
21,3
25,1
23,8
25,0
22
22,8
22,6
23,4
23,4
22,8
23,2
22,4
22,4
22,0
22,8
23,1
24,8
23
22,4
22,6
23,6
22,4
21,0
22,8
22,9
24,2
22,1
23,7
23,2
24,4
24
23,8
21,8
23,4
22,5
21,6
22,8
23,2
23,8
22,2
24,4
23,6
25,4
25
22,4
22,3
22,9
22,8
22,8
22,3
23,1
23,8
22,7
24,2
23,0
25,2
26
22,0
22,8
23,0
23,2
22,5
23,2
23,2
23,8
23,2
22,9
23,4
24,9
27
22,0
22,8
23,4
24,2
22,6
22,2
22,8
23,0
23,6
23,6
24,4
24,8
28
22,2
22,7
23,4
18,2
23,6
22,8
21,2
24,0
23,0
24,2
21,4
24,1
29
22,2
23,1
23,2
22,8
22,2
23,0
22,4
22,9
25,1
23,6
24,8
30
21,7
22,6
23,3
22,6
22,6
22,4
22,0
22,6
24,2
24,4
24,2
31
22,2
22,2
22,6
21,0
MIN
21,6
21,8
21,4
18,2
20,8
21,2
20,0
21,0
21,0
21,1
21,4
22,2
MEAN
22,4
22,7
22,8
22,7
22,9
22,5
23,0
22,7
22,5
23,3
23,5
24,3
22,4
24,4
23,9
Lampiran 7. (Lanjutan)
3. Suhu Minimum Harian Kota Palu Tahun 2007
BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MINIMUM HARIAN TAHUN 2007
TGL
JAN
APR
MEI
JUN
JUL
AGT
SEP
NOV
DES
1
23,9
FEB
MAR
23,4
24,2
23,2
22,0
23,6
23,2
23,0
22,4
2
23,8
21,8
24,2
23,2
21,7
22,8
22,8
23,4
22,3
3
24,0
22,8
23,2
23,4
23,0
23,0
23,1
24,2
23,2
4
23,2
23,6
23,6
24,0
23,4
23,8
23,3
22,8
24,0
5
23,7
23,2
24,0
24,2
23,1
23,2
23,5
22,8
23,2
6
24,8
22,8
22,8
24,0
22,2
23,1
23,7
23,8
23,2
7
22,8
23,2
22,9
23,4
22,4
23,0
22,0
23,5
23,5
8
23,8
23,6
23,6
22,6
23,1
23,4
22,3
23,8
24,2
9
24,0
22,8
23,2
23,9
22,5
23,4
22,8
23,8
23,0
10
23,9
23,2
24,2
23,6
22,6
23,4
23,4
23,8
23,2
11
24,0
23,4
23,0
23,8
22,0
22,4
23,3
23,2
24,4
12
23,0
24,2
23,3
23,8
22,4
22,8
23,5
23,2
23,4
13
23,2
23,6
23,0
23,8
22,3
23,0
22,2
23,2
24,4
14
23,2
23,0
23,8
23,8
22,4
22,3
22,2
23,6
24,0
15
22,0
23,0
24,0
23,6
22,6
22,4
23,6
23,2
23,6
16
22,4
23,0
24,0
22,8
23,0
22,3
23,6
23,6
24,0
17
22,0
24,0
24,0
23,2
23,4
24,5
23,6
21,6
23,9
18
24,4
23,6
24,0
23,4
23,4
22,2
23,4
23,0
23,4
19
24,0
23,6
24,0
22,9
23,4
22,2
22,9
24,2
23,4
20
23,6
23,6
23,2
22,8
22,6
22,4
21,8
22,2
23,0
21
23,8
23,2
23,4
21,4
22,6
23,3
22,0
21,8
23,5
22
23,4
22,8
24,6
23,6
23,4
23,6
24,4
21,7
23,0
23
23,6
24,2
24,4
23,4
23,4
23,4
24,5
23,0
23,0
24
24,0
24,0
24,0
23,6
23,6
23,8
23,6
23,0
23,4
25
23,8
23,8
24,2
23,4
23,6
23,2
23,8
23,0
22,2
26
22,6
23,2
23,6
23,6
22,4
22,3
22,0
24,8
23,2
27
22,8
23,1
23,8
23,5
22,1
22,6
22,1
21,8
23,2
28
23,2
23,2
23,2
23,8
22,6
22,2
23,0
22,2
23,8
29
23,6
23,6
23,4
21,8
23,1
23,0
22,4
22,8
24,0
30
23,2
23,8
23,2
22,0
23,2
23,2
22,0
22,0
24,4
31
23,0
23,6
23,2
MIN
22,0
0,0
0,0
21,8
22,8
21,4
21,7
22,2
21,8
0,0
21,6
22,2
MEAN
23,4
#DIV/0!
#DIV/0!
23,3
23,7
23,3
22,8
23,0
23,0
#DIV/0!
23,1
23,5
23,2
OKT
24,0
Lampiran 7. (Lanjutan)
4. Suhu Minimum Harian Kota Palu Tahun 2008 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MINIMUM HARIAN TAHUN 2008
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGT
SEP
OKT
NOV
DES
1
24,0
22,4
23,2
22,6
23,9
23,0
22,3
21,8
22,4
22,8
22,7
22,1
2
23,3
22,4
23,0
23,2
23,0
23,0
22,6
22,4
22,4
22,6
22,8
24,2
3
24,0
22,4
23,2
23,2
23,1
23,0
22,4
22,4
23,1
23,4
23,6
23,6
4
24,2
23,4
23,0
23,6
22,6
22,8
23,0
22,4
23,6
23,4
23,4
24,2
5
20,8
22,4
23,3
23,4
22,8
23,0
22,4
22,4
24,6
24,2
23,3
24,2
6
21,2
22,9
23,8
22,2
22,2
23,0
22,6
22,4
21,9
21,6
24,2
24,1
7
23,0
22,8
22,8
22,6
23,3
23,0
23,2
22,4
22,8
21,8
23,2
23,0
8
22,4
23,2
22,6
22,6
22,6
23,4
23,5
23,2
22,8
24,0
23,0
24,0
9
22,4
21,0
22,1
23,1
22,5
23,6
23,0
22,2
22,5
23,8
23,0
24,6
10
22,6
21,4
22,6
23,2
22,6
22,8
22,6
22,2
23,0
22,8
22,9
22,8
11
22,4
23,8
24,2
22,6
22,6
22,8
22,4
20,6
23,8
23,4
24,2
22,7
12
23,0
23,4
23,2
22,6
22,6
22,8
22,4
22,8
22,5
24,6
23,8
23,8
13
23,2
23,2
23,6
23,1
22,4
23,4
22,2
22,6
22,9
23,0
23,0
24,0
14
22,8
23,6
23,2
22,8
23,0
23,0
22,4
22,4
22,1
22,4
23,3
22,2
15
22,8
23,4
23,4
23,4
23,2
23,0
22,8
22,6
24,4
24,0
24,2
22,4
16
23,0
23,0
23,4
23,0
22,6
23,0
22,4
22,6
24,4
22,9
24,6
22,3
17
24,0
21,6
23,1
22,3
21,4
22,8
22,4
23,1
24,4
23,4
23,6
24,4
18
23,0
22,4
22,4
22,8
21,6
22,4
22,6
22,5
23,4
23,3
23,5
24,6
19
23,2
24,0
22,8
23,2
21,6
23,0
22,4
22,4
22,6
23,2
24,0
24,2
20
23,0
22,8
24,2
24,2
22,8
22,0
23,4
23,2
22,6
24,2
23,2
23,2
21
23,4
22,8
22,2
23,8
23,0
21,8
23,4
22,6
23,2
24,2
23,8
24,2
22
25,6
23,2
22,6
24,0
23,0
21,6
23,1
23,0
23,6
23,8
24,1
24,8
23
23,0
24,2
23,0
23,4
23,8
23,6
22,4
23,0
24,1
23,7
23,2
23,6
24
23,0
24,8
22,6
23,8
23,4
22,9
21,8
23,0
22,2
23,2
23,4
23,6
25
23,2
24,4
22,6
23,5
23,2
23,0
21,7
23,0
22,6
23,2
24,0
23,6
26
23,4
23,2
23,0
22,2
22,4
23,6
23,4
22,4
23,0
23,3
23,4
23,6
27
23,2
23,6
23,2
22,6
22,4
22,8
22,6
22,6
21,4
22,9
23,8
21,8
28
23,4
23,6
22,8
23,2
22,4
22,8
22,4
23,5
23,2
23,0
23,6
22,4
29
23,0
23,6
23,0
24,1
22,4
22,8
22,2
23,5
22,6
22,8
22,1
22,4
30
23,4
24,0
23,9
22,2
23,8
22,4
22,6
22,4
23,2
22,2
22,8
31
22,4
22,2
22,5
22,4
MIN
20,8
21,0
22,1
22,2
21,4
21,6
21,7
20,6
21,4
21,6
22,1
21,8
MEAN
23,1
23,1
23,0
23,1
22,7
22,9
22,6
22,6
23,0
23,3
23,4
23,4
22,2
23,2
23,4
Lampiran 7. (Lanjutan)
5. Suhu Minimum Harian Kota Palu Tahun 2009 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MINIMUM HARIAN TAHUN 2009
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGT
SEP
OKT
NOV
DES
1
24,0
22,7
22,5
24,6
22,9
23,8
23,6
22,4
24,2
22,9
23,6
24,4
2
23,6
24,6
22,6
23,8
22,8
23,2
22,6
22,8
25,0
23,8
24,4
23,2
3
24,2
22,8
22,4
23,4
23,4
23,4
22,4
23,0
23,0
24,4
24,6
24,2
4
24,2
23,0
22,3
23,8
24,2
24,8
23,4
24,3
23,2
25,2
24,2
24,6
5
22,8
23,1
22,2
23,5
23,0
23,7
2,2
24,4
22,7
25,2
25,4
24,4
6
23,4
23,0
23,6
22,8
24,2
23,4
23,4
24,4
22,6
23,4
25,0
24,2
7
24,4
23,6
23,4
23,0
22,4
24,0
22,6
25,6
26,0
24,4
25,8
22,4
8
24,3
23,6
23,6
23,4
23,4
24,4
22,8
25,4
24,0
24,4
24,8
23,2
9
23,8
24,5
23,2
23,0
23,8
24,4
23,9
24,8
24,8
24,6
24,6
23,8
10
24,0
24,0
23,2
24,6
23,6
23,6
21,6
25,0
22,0
22,7
26,0
24,4
11
24,4
23,2
23,8
24,4
24,2
23,2
22,6
24,0
24,4
22,8
25,0
22,6
12
22,8
22,6
24,0
23,8
24,2
23,0
22,8
22,8
25,4
23,0
24,8
23,0
13
25,4
22,6
23,8
22,2
23,6
23,2
23,6
23,2
24,0
23,2
25,0
23,0
14
22,6
22,4
23,2
23,0
24,2
23,2
23,6
24,4
24,6
22,8
24,4
22,8
15
25,2
22,6
22,8
22,8
24,2
23,0
22,6
24,3
24,6
23,0
24,2
23,6
16
24,4
22,6
23,0
22,8
25,2
22,2
23,2
23,4
23,0
23,4
24,8
23,8
17
24,1
23,0
23,0
22,8
24,2
22,6
23,6
24,8
24,0
24,2
24,4
22,0
18
23,6
22,8
23,0
22,6
24,6
23,0
23,6
23,6
24,0
24,3
23,6
22,6
19
24,8
23,5
23,6
22,4
23,8
24,8
21,8
24,2
23,4
24,4
22,8
24,8
20
24,2
23,2
22,4
22,9
23,6
23,6
21,8
24,2
23,5
25,0
24,2
23,4
21
23,2
23,0
22,4
22,8
23,6
23,4
23,6
23,6
24,0
25,0
24,8
23,8
22
24,3
23,0
23,8
23,2
23,4
24,0
24,0
23,6
25,0
24,0
24,4
24,0
23
25,4
23,8
23,8
22,4
22,0
23,6
23,2
24,6
25,6
23,2
24,2
24,6
24
23,4
22,6
23,2
22,4
23,0
24,2
23,2
24,8
25,6
23,8
24,4
24,6
25
24,0
22,6
23,6
22,4
23,6
22,5
22,8
24,0
26,0
25,0
25,0
24,0
26
24,8
23,0
23,0
23,0
23,8
22,2
21,8
23,8
24,4
23,0
22,8
24,8
27
25,0
22,8
23,6
23,0
23,4
23,4
21,4
23,6
25,4
24,2
23,2
24,4
28
24,3
22,6
22,8
22,8
23,8
24,0
21,0
23,6
23,6
25,3
25,0
25,0
29
23,8
22,6
22,4
24,4
24,4
21,2
23,8
24,0
25,0
24,4
24,4
30
24,6
23,2
23,2
24,7
23,8
20,0
24,0
24,8
24,4
24,4
24,4
31
24,7
24,6
20,4
24,0
MIN
22,6
22,4
22,2
22,2
22,0
22,2
2,2
22,4
22,0
22,7
22,8
22,0
MEAN
24,1
23,1
23,2
23,1
23,7
23,5
21,9
24,0
24,2
24,0
24,5
23,8
24,0
25,4
24,6
Lampiran 7. (Lanjutan)
6. Suhu Minimum Harian Kota Palu Tahun 2010 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MINIMUM HARIAN TAHUN 2010
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGT
SEP
OKT
1
24,4
22,9
23,0
23,6
25,4
23,4
23,8
22,9
22,8
23,4
2
23,6
23,6
23,2
23,4
25,0
24,4
24,0
22,0
23,6
23,8
3
24,4
23,2
23,8
24,2
23,8
23,8
24,2
23,8
23,6
23,2
4
24,6
22,8
24,0
24,2
25,4
24,6
24,0
22,6
23,8
24,0
5
23,6
23,4
24,2
24,8
24,8
24,2
24,4
24,0
22,6
24,0
6
24,0
24,2
24,0
25,2
24,2
24,0
23,0
22,8
23,8
23,8
7
23,0
23,4
23,2
24,4
24,8
24,2
23,2
22,6
23,2
23,8
8
24,6
23,2
22,4
24,0
25,2
24,6
24,2
23,2
21,6
23,2
9
24,6
22,2
23,8
23,8
24,1
24,1
23,0
22,8
22,4
22,4
10
24,6
23,2
25,2
24,0
25,0
23,2
22,8
22,8
22,4
21,0
11
25,0
22,4
24,4
25,2
24,2
23,2
23,6
23,2
24,2
22,6
12
23,2
21,4
25,6
25,2
25,0
23,8
23,8
24,0
23,2
23,4
13
22,4
23,2
24,4
24,6
24,6
24,2
23,2
22,8
23,4
22,8
14
22,8
23,6
24,8
24,2
25,4
24,6
23,8
22,8
22,8
24,4
15
23,4
24,3
25,2
24,0
25,4
23,4
23,4
23,2
23,6
22,8
16
24,0
23,8
24,5
24,4
25,4
22,6
23,0
23,8
22,8
22,6
17
23,3
23,2
24,5
24,4
24,0
23,0
24,2
23,8
22,8
23,4
18
23,8
23,2
24,0
24,6
24,2
24,2
24,0
24,4
22,4
22,8
19
22,2
24,0
24,8
24,0
24,2
23,6
24,2
24,0
23,2
22,2
20
23,6
23,0
23,6
23,6
24,2
22,6
23,8
24,2
24,2
24,0
21
23,2
23,4
23,8
24,4
24,8
22,2
22,0
23,8
23,6
23,2
22
22,2
24,8
24,2
25,4
23,6
23,2
24,0
21,6
23,8
22,2
23
22,8
23,2
25,2
26,0
23,8
23,4
23,2
22,6
23,2
23,0
24
23,6
23,6
24,8
23,8
23,8
23,6
23,4
21,4
23,2
23,4
25
23,6
24,4
25,0
23,8
24,4
23,2
24,0
20,8
23,4
23,6
26
24,0
24,0
25,0
25,0
24,6
23,0
22,6
22,4
23,4
23,6
27
23,0
23,6
23,6
25,0
24,8
23,2
23,0
24,0
23,8
24,0
28
23,4
23,4
23,4
23,4
23,4
23,4
23,4
22,2
24,0
23,4
29
23,6
24,0
25,1
24,4
23,8
23,2
22,2
22,6
22,6
30
22,8
24,6
24,4
24,4
23,4
22,6
23,4
22,6
23,4
31
23,8
23,8
23,6
23,6
MIN
22,2
21,4
22,4
23,4
23,4
22,2
22,0
20,8
21,6
21,0
0,0
0,0
MEAN
23,6
23,4
24,2
24,4
24,5
23,6
23,5
23,0
23,2
23,2
#DIV/0!
#DIV/0!
23,4
NOV
DES
24,2
Lampiran 8. Suhu Maksimum Harian Kota Palu Tahun 2005 - 2010
1. Suhu Maksimum Harian Kota Palu Tahun 2005 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MAKSIMUM HARIAN TAHUN 2005
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
1
33,9
30,4
35,2
33,6
35,4
33,6
31,2
34,2
35,5
35,2
34,7
33,0
2
33,2
33,0
33,4
33,2
31,2
32,4
33,2
35,2
34,4
34,8
32,8
33,6
3
33,7
32,8
35,2
31,2
33,2
33,0
32,2
34,5
34,4
35,8
31,2
32,7
4
34,8
31,0
35,0
31,8
32,4
34,0
32,8
34,4
34,4
33,8
31,3
32,0
5
33,6
34,0
34,4
34,0
31,9
33,0
31,4
34,2
35,2
34,8
31,6
35,2
6
31,8
33,9
33,8
32,6
32,4
34,2
31,8
32,4
35,0
34,8
29,8
32,5
7
32,8
32,2
35,4
33,5
30,4
34,4
32,8
34,0
35,8
35,8
31,6
31,6
8
32,6
35,0
36,0
31,6
36,8
34,4
31,8
33,8
34,0
35,8
30,0
31,4
9
27,9
35,2
36,6
32,2
30,8
33,4
30,6
34,4
33,2
36,6
32,0
32,2
10
31,6
34,7
35,2
31,2
32,2
33,0
31,8
34,6
34,2
34,8
31,4
32,2
11
30,4
34,8
35,8
30,6
31,0
32,6
33,2
35,4
33,8
35,2
31,8
33,4
12
33,4
34,2
35,0
33,0
31,6
33,0
33,2
35,6
34,2
35,1
31,6
31,2
13
33,7
33,8
34,9
32,2
30,0
33,8
30,6
35,9
35,0
35,4
32,4
32,8
14
31,0
34,4
32,5
32,4
32,4
32,6
33,2
35,8
34,8
34,6
30,0
32,0
15
29,2
33,6
34,2
31,0
32,4
30,4
33,6
35,2
35,6
30,6
29,4
33,1
16
31,2
35,8
35,8
30,6
35,0
30,4
31,8
35,8
35,6
33,4
33,8
31,4
17
31,4
33,4
34,8
32,0
32,8
33,4
33,2
36,6
35,8
32,9
33,4
32,0
18
32,4
34,5
35,7
32,2
32,8
32,3
33,5
35,8
34,8
32,8
32,6
32,0
19
31,8
35,4
34,8
33,4
34,4
31,4
32,4
35,6
35,4
33,2
33,2
32,9
20
32,0
34,6
35,0
34,4
36,0
31,6
32,4
33,8
35,8
32,4
32,4
33,6
21
33,6
35,2
35,4
34,4
34,1
32,4
33,4
33,8
33,0
32,4
32,8
31,4
22
34,6
35,4
35,5
36,2
34,8
30,6
33,4
34,5
35,4
33,5
34,2
32,6
23
32,5
35,4
34,8
34,7
33,0
30,0
33,2
33,2
33,5
33,6
33,2
31,6
24
32,0
34,8
33,5
35,0
31,4
31,0
31,2
31,2
33,2
33,8
32,5
32,0
25
33,2
34,2
32,0
35,9
31,4
30,2
32,6
33,2
35,2
31,0
31,6
29,8
26
33,6
36,4
33,6
36,2
31,2
32,4
33,0
35,2
35,0
32,1
31,2
32,8
27
34,0
34,2
34,8
36,3
29,6
32,6
34,2
35,0
34,7
34,1
32,4
28,4
28
34,7
35,1
32,8
36,2
33,1
32,6
34,2
34,0
35,8
33,2
33,0
30,8
29
34,1
33,6
35,6
31,4
31,2
33,6
30,6
34,8
32,2
32,6
31,0
30
34,2
32,6
36,6
32,5
31,6
33,2
36,6
34,9
32,4
34,2
31,0
31
31,8
33,4
33,8
35,0
MAX
34,8
36,4
36,6
36,6
36,8
34,4
34,2
36,6
35,8
36,6
34,7
35,2
MEAN
32,6
34,2
34,5
33,5
32,6
32,4
32,7
34,5
34,7
33,8
32,2
32,0
33,0
31,8
31,2
Lampiran 8. (Lanjutan)
2. Suhu Maksimum Harian Kota Palu Tahun 2006 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MAKSIMUM HARIAN TAHUN 2006
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
1
32,4
31,4
31,7
28,8
32,6
31,9
34,5
34,4
34,4
32,6
34,2
34,4
2
32,2
34,2
30,4
31,2
32,4
32,2
34,4
33,8
34,8
33,3
35,4
32,6
3
33,4
33,4
31,4
30,5
33,2
31,0
34,7
32,8
34,8
34,6
34,2
35,4
4
31,1
33,2
32,8
31,7
33,8
29,6
35,2
34,5
34,7
33,7
35,5
33,9
5
31,8
33,6
32,9
30,8
33,0
32,7
34,6
35,4
34,9
33,5
34,6
34,2
6
31,0
33,4
33,8
32,3
32,1
31,0
35,0
32,4
34,4
35,1
35,0
7
32,5
32,8
34,8
32,4
28,2
31,7
34,5
33,6
34,0
32,0
34,6
8
32,2
31,4
32,7
31,7
32,5
30,6
35,0
31,8
32,2
34,6
35,1
9
32,5
33,5
31,8
32,4
33,4
31,9
35,4
35,1
32,4
35,2
34,4
10
33,3
34,0
34,6
33,2
33,4
31,4
35,6
34,2
32,2
33,8
33,0
11
33,0
33,4
35,0
31,8
32,5
32,5
33,7
34,6
34,2
34,6
34,0
12
33,7
32,6
33,8
32,8
32,8
31,4
33,5
35,3
34,6
36,2
36,3
13
29,4
32,9
34,8
31,4
33,0
31,1
34,5
34,4
34,1
34,5
36,2
14
32,3
34,6
33,2
31,7
33,7
32,4
34,1
35,0
33,3
35,7
34,7
15
33,6
31,6
31,3
30,6
33,8
32,2
34,8
36,6
33,6
34,2
35,0
16
33,4
33,9
34,0
31,3
33,0
32,0
33,2
35,2
34,3
35,0
35,7
17
33,9
32,9
32,8
32,4
31,8
32,8
33,9
36,3
34,2
34,4
36,2
18
32,8
32,0
31,8
32,0
33,1
32,0
34,8
35,8
34,0
35,9
36,5
19
35,2
33,0
32,5
32,6
34,4
33,1
32,2
34,5
35,1
36,0
36,2
20
34,8
30,4
32,4
32,9
32,3
32,0
34,2
35,3
33,8
34,6
36,2
21
30,6
32,5
33,5
32,6
33,0
33,5
35,4
35,0
34,8
35,0
36,2
22
32,2
35,6
32,8
32,8
32,4
30,7
34,5
35,4
35,0
32,9
35,8
23
32,2
34,3
33,3
31,0
29,0
31,0
34,7
35,8
35,5
33,6
35,6
24
33,2
34,8
32,2
30,8
30,9
32,9
33,5
35,0
34,2
33,4
34,4
25
33,0
34,3
33,1
30,0
30,4
32,4
36,2
34,9
34,2
34,7
34,0
26
32,0
35,2
31,0
30,7
32,9
28,8
32,6
33,2
35,7
33,4
34,3
27
32,2
35,0
32,6
30,8
32,4
32,5
34,8
31,0
34,8
34,0
34,6
28
32,6
33,0
32,2
28,5
32,6
33,4
34,4
33,4
35,4
32,6
33,0
29
33,2
31,2
32,6
31,8
34,4
34,2
34,8
34,9
34,0
32,6
30
33,0
31,8
33,6
31,6
34,0
34,4
34,0
33,0
34,7
31,6
31
33,0
29,8
33,2
34,4
34,9
MAX
35,2
35,6
35,0
33,6
34,4
34,4
36,2
36,6
34,9
35,7
36,2
36,5
MEAN
32,6
33,3
32,6
31,6
32,4
32,0
34,4
34,4
34,7
34,1
34,5
34,6
32,6
31,1
Lampiran 8. (Lanjutan)
3. Suhu Maksimum Harian Kota Palu Tahun 2007 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MAKSIMUM HARIAN TAHUN 2007
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
1
28,6
29,2
33,7
33,0
33,0
34,3
33,3
32,0
30,2
34,8
34,0
32,0
2
32,6
34,8
33,2
31,2
34,2
34,8
32,0
30,3
31,2
34,0
34,5
34,1
3
29,8
31,6
33,0
34,0
32,0
35,6
30,4
30,4
31,4
34,6
35,2
34,0
4
33,0
31,4
34,0
33,8
34,2
35,8
34,0
30,2
30,6
34,2
31,6
34,4
5
32,1
31,6
32,6
34,0
31,6
33,4
33,5
33,0
29,0
35,1
34,6
34,4
6
33,6
31,0
32,4
33,8
28,9
33,8
32,4
33,2
30,6
32,4
33,2
33,8
7
30,8
31,4
33,6
34,3
32,7
34,0
33,5
32,8
32,0
34,6
34,3
33,6
8
32,0
30,0
34,2
32,0
34,0
33,6
33,0
32,2
32,0
34,6
31,6
33,6
9
32,0
31,4
33,8
32,6
32,8
34,1
33,1
31,4
31,4
34,2
32,4
33,8
10
31,9
32,2
33,4
33,8
33,2
33,0
34,2
32,6
31,1
32,6
34,1
34,0
11
32,8
32,2
31,6
34,2
32,2
34,0
34,1
33,3
32,0
34,4
30,6
32,8
12
30,4
31,6
32,5
34,8
32,4
32,4
33,5
32,4
32,2
34,8
30,1
31,7
13
33,0
32,0
33,4
34,5
33,8
31,9
33,4
32,8
32,0
34,6
30,0
33,6
14
33,2
30,6
33,5
36,0
33,8
31,6
32,8
33,0
32,9
34,2
32,6
34,0
15
30,8
31,6
33,6
34,6
33,2
31,8
35,0
32,8
33,2
33,7
31,4
34,0
16
32,8
32,8
34,2
34,4
33,2
31,4
34,8
33,3
33,8
33,6
32,6
34,2
17
34,7
31,8
33,1
35,2
33,3
33,2
35,0
32,8
32,8
32,5
31,2
30,9
18
34,8
30,4
29,4
33,8
34,6
33,0
35,0
32,0
33,4
32,6
31,8
31,4
19
34,2
31,8
31,0
34,8
33,4
31,5
32,4
32,0
32,5
33,4
33,4
31,4
20
34,0
31,6
33,2
33,0
34,8
34,2
32,4
31,2
33,4
34,0
29,2
29,0
21
36,0
31,2
31,8
33,2
34,0
34,8
31,4
32,0
33,4
33,8
33,0
30,7
22
34,6
31,2
32,0
32,4
35,2
34,4
30,6
32,2
33,1
34,8
32,0
30,8
23
33,0
32,6
32,0
33,5
34,8
34,8
30,8
31,0
33,8
35,2
32,8
30,4
24
28,6
32,0
28,4
34,0
35,2
34,6
31,2
31,2
34,6
33,0
32,2
25
30,6
31,7
30,0
35,2
35,2
33,4
31,2
30,2
34,0
35,0
34,2
33,3
26
31,0
30,4
32,4
32,4
33,6
33,7
32,0
29,6
34,4
33,6
33,0
33,2
27
30,6
32,2
34,4
32,6
34,0
33,4
30,8
33,4
32,0
35,2
28,6
33,8
28
30,8
32,8
34,0
32,7
33,2
31,4
32,0
32,0
35,2
35,0
30,0
37,2
29
32,0
34,4
32,6
34,2
31,6
30,2
32,6
33,0
34,2
32,4
33,5
30
27,8
32,4
33,0
34,2
32,0
30,2
31,2
34,0
33,2
34,8
31
29,2
33,6
31,4
32,2
MAX
36,0
34,8
34,4
36,0
35,2
35,8
35,0
33,4
35,2
35,2
35,2
37,2
MEAN
32,0
31,6
32,7
33,6
33,5
33,4
32,6
32,0
32,5
34,1
32,4
33,1
32,6
34,8
Lampiran 8. (Lanjutan)
4. Suhu Maksimum Harian Kota Palu Tahun 2008 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MAKSIMUM HARIAN TAHUN 2008
TGL
JAN
APR
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
33,4
28,8
MAY 31,0
JUN
32,6
FEB 34,7
MAR
1
31,4
33,3
32,0
31,6
33,2
32,8
33,2
2
33,3
32,6
33,4
30,3
32,0
33,8
33,4
31,2
31,7
33,4
32,8
32,6
3
32,0
30,8
34,8
31,6
31,4
32,2
34,6
31,8
31,9
33,4
32,8
31,7
4
33,6
33,2
32,3
32,2
32,0
32,2
34,4
32,0
30,6
32,8
32,2
31,8
5
31,4
33,0
32,4
32,2
30,3
32,0
25,4
31,6
29,5
32,4
31,8
32,9
6
34,2
34,2
31,8
32,1
32,6
32,4
29,8
32,2
31,9
29,4
32,9
31,6
7
32,5
34,6
32,2
32,8
33,0
32,0
33,6
32,8
31,2
33,0
32,0
33,4
8
34,0
31,4
31,1
33,0
32,0
31,4
32,6
33,0
28,3
32,8
33,6
33,4
9
34,0
30,6
32,0
33,3
32,0
32,2
30,2
28,0
30,8
31,6
31,4
34,3
10
28,6
30,2
34,0
32,2
30,4
32,0
31,0
30,0
31,2
33,6
31,9
29,4
11
34,2
30,2
31,6
31,6
30,6
29,0
32,1
27,2
27,3
35,0
31,3
29,6
12
31,4
32,0
34,6
29,8
33,0
30,6
31,2
31,2
32,0
33,0
32,7
33,2
13
33,2
31,2
32,0
31,2
32,5
34,8
32,6
32,4
32,0
31,6
32,6
33,4
14
33,6
32,2
33,4
32,7
33,2
32,0
32,0
30,2
32,0
30,8
33,6
33,6
15
32,6
31,2
33,6
32,4
33,8
33,6
30,5
31,4
31,4
33,0
32,8
33,8
16
32,4
36,2
33,8
31,4
33,6
31,6
32,4
31,2
32,0
33,3
33,8
32,2
17
32,9
37,6
34,6
34,6
34,2
33,6
32,4
28,6
32,2
33,4
31,6
32,4
18
32,6
32,2
35,0
33,6
34,4
33,6
34,0
32,8
32,0
33,6
31,8
34,2
19
34,0
32,4
34,0
33,8
35,4
33,8
31,4
31,6
32,8
33,0
33,0
30,0
20
31,0
36,0
30,6
32,4
33,4
28,6
32,0
29,8
31,6
34,0
32,4
33,2
21
33,6
33,4
32,2
32,0
35,2
35,2
30,4
32,2
33,2
34,9
33,0
33,2
22
34,8
35,0
31,4
31,5
33,2
34,6
31,8
30,3
33,0
32,6
31,6
33,8
23
35,2
34,8
32,8
31,4
34,8
35,2
28,4
30,7
32,6
31,5
32,6
34,3
24
33,6
34,2
34,0
32,4
34,8
34,8
29,4
31,2
33,4
31,0
33,2
34,2
25
35,8
32,6
30,2
32,8
33,4
33,4
32,0
29,0
33,8
31,2
32,1
33,0
26
34,8
33,0
31,8
28,7
34,0
32,2
31,2
28,8
33,6
28,7
32,0
29,4
27
31,2
33,8
31,6
32,4
35,0
33,0
31,4
32,0
33,2
27,9
27,2
26,4
28
30,8
33,6
33,0
33,2
31,0
32,6
29,0
32,0
32,6
31,8
32,0
33,2
29
34,6
34,1
32,6
32,4
34,8
33,4
29,0
30,6
33,6
31,8
32,7
34,3
30,6
34,8
33,6
29,0
29,6
33,6
32,6
33,3
29,6
32,0
28,4
30
35,0
32,8
31
29,2
31,2
MAX
35,8
37,6
35,0
34,6
35,4
35,2
34,6
33,0
33,8
35,0
33,8
34,3
MEAN
33,0
33,1
32,7
32,0
33,1
32,7
31,4
30,8
31,9
32,3
32,3
32,4
33,8
31,8
31,8
Lampiran 8. (Lanjutan)
5. Suhu Maksimum Harian Kota Palu Tahun 2009 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MAKSIMUM HARIAN TAHUN 2009
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
1
27,8
33,3
33,4
34,6
31,2
34,8
28,4
34,0
35,0
29,2
35,6
31,2
2
31,6
33,0
31,6
36,4
33,2
33,6
32,8
34,8
35,2
32,8
37,1
29,0
3
33,0
31,3
32,5
35,4
33,0
35,6
32,8
35,4
34,8
35,0
36,2
34,4
4
31,0
33,6
34,0
34,2
33,6
34,8
31,2
35,6
35,2
35,8
36,4
33,8
5
33,0
31,2
33,8
33,9
33,7
28,4
31,7
35,4
35,0
32,8
37,0
33,4
6
32,6
32,4
33,4
32,4
34,5
34,4
33,4
35,4
36,2
33,6
35,6
33,0
7
32,6
33,8
32,6
31,6
33,2
36,0
32,4
35,2
35,0
33,2
35,4
34,6
8
33,6
34,8
34,0
33,0
33,4
34,4
32,0
35,2
36,0
29,0
35,0
32,0
9
31,5
33,7
28,4
32,2
33,8
31,6
31,8
35,2
36,4
35,0
35,2
31,0
10
33,0
33,6
31,0
33,0
34,2
31,2
33,6
36,2
35,8
33,6
36,0
33,0
11
31,7
35,9
30,6
33,2
34,4
35,0
33,2
37,2
36,0
34,8
36,8
32,8
12
33,4
29,6
31,0
32,6
32,4
35,0
30,4
32,2
36,0
34,0
33,8
33,4
13
27,2
31,0
32,5
29,2
34,0
35,0
31,2
35,8
37,6
34,6
34,4
33,4
14
32,6
32,5
31,4
31,6
33,6
31,0
33,4
34,6
37,2
31,5
33,2
33,8
15
30,0
32,5
32,0
32,4
34,3
34,3
34,0
34,8
36,0
34,8
30,2
34,0
16
28,7
35,0
33,4
32,0
34,0
35,4
34,6
34,8
36,0
35,4
33,8
32,4
17
30,8
32,6
29,8
30,2
31,6
34,4
33,8
35,4
35,4
35,0
33,2
32,4
18
28,4
33,0
34,4
31,0
33,2
36,0
35,0
35,6
36,2
36,0
27,8
34,4
19
30,7
32,4
34,6
32,0
33,6
35,4
34,0
35,8
35,6
36,5
33,2
34,0
20
29,7
34,6
33,6
28,0
33,2
35,0
32,8
34,2
35,4
35,8
33,8
32,8
21
34,4
33,8
32,8
32,4
28,8
32,8
33,6
34,2
35,2
35,7
33,8
29,8
22
32,6
32,2
31,8
31,0
34,0
34,2
33,0
32,8
35,0
35,4
31,2
31,6
23
33,0
33,2
32,2
32,7
34,0
34,2
31,6
34,4
34,8
35,2
32,8
34,2
24
32,8
31,6
32,4
32,4
34,8
34,2
33,6
34,2
35,8
36,1
32,2
35,0
25
33,4
34,2
29,8
33,0
34,9
27,1
33,4
33,2
36,7
35,0
32,8
32,6
26
34,2
32,0
33,6
32,0
34,0
33,8
34,0
33,2
35,4
35,4
32,4
33,6
27
32,0
34,0
34,4
32,8
35,0
33,6
35,6
33,4
34,2
36,0
32,2
33,6
28
31,8
33,2
34,2
33,4
34,4
34,0
35,2
34,0
35,4
35,4
33,4
32,4
29
32,6
35,2
33,4
35,6
33,9
34,4
34,8
36,8
36,0
32,2
33,4
30
29,4
35,2
33,0
33,4
31,5
33,4
35,2
36,2
35,0
33,6
34,6
31
31,1
35,4
34,2
35,4
MAX
34,4
35,9
35,4
36,4
35,6
36,0
35,6
37,2
37,6
36,5
37,1
35,0
MEAN
31,6
33,0
32,7
32,5
33,6
33,7
33,0
34,8
35,7
34,5
33,9
33,0
35,4
36,2
34,0
Lampiran 8. (Lanjutan)
6. Suhu Maksimum Harian Kota Palu Tahun 2010 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU MAKSIMUM HARIAN TAHUN 2010
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGT
SEP
OKT
1
24,4
22,9
23,0
23,6
25,4
23,4
23,8
22,9
22,8
23,4
2
23,6
23,6
23,2
23,4
25,0
24,4
24,0
22,0
23,6
23,8
3
24,4
23,2
23,8
24,2
23,8
23,8
24,2
23,8
23,6
23,2
4
24,6
22,8
24,0
24,2
25,4
24,6
24,0
22,6
23,8
24,0
5
23,6
23,4
24,2
24,8
24,8
24,2
24,4
24,0
22,6
24,0
6
24,0
24,2
24,0
25,2
24,2
24,0
23,0
22,8
23,8
23,8
7
23,0
23,4
23,2
24,4
24,8
24,2
23,2
22,6
23,2
23,8
8
24,6
23,2
22,4
24,0
25,2
24,6
24,2
23,2
21,6
23,2
NOV
DES
9
24,6
22,2
23,8
23,8
24,1
24,1
23,0
22,8
22,4
22,4
10
24,6
23,2
25,2
24,0
25,0
23,2
22,8
22,8
22,4
21,0
11
25,0
22,4
24,4
25,2
24,2
23,2
23,6
23,2
24,2
22,6
12
23,2
21,4
25,6
25,2
25,0
23,8
23,8
24,0
23,2
23,4
13
22,4
23,2
24,4
24,6
24,6
24,2
23,2
22,8
23,4
22,8
14
22,8
23,6
24,8
24,2
25,4
24,6
23,8
22,8
22,8
24,4
15
23,4
24,3
25,2
24,0
25,4
23,4
23,4
23,2
23,6
22,8
16
24,0
23,8
24,5
24,4
25,4
22,6
23,0
23,8
22,8
22,6
17
23,3
23,2
24,5
24,4
24,0
23,0
24,2
23,8
22,8
23,4
18
23,8
23,2
24,0
24,6
24,2
24,2
24,0
24,4
22,4
22,8
19
22,2
24,0
24,8
24,0
24,2
23,6
24,2
24,0
23,2
22,2
20
23,6
23,0
23,6
23,6
24,2
22,6
23,8
24,2
24,2
24,0
21
23,2
23,4
23,8
24,4
24,8
22,2
22,0
23,8
23,6
23,2
22
22,2
24,8
24,2
25,4
23,6
23,2
24,0
21,6
23,8
22,2
23
22,8
23,2
25,2
26,0
23,8
23,4
23,2
22,6
23,2
23,0
24
23,6
23,6
24,8
23,8
23,8
23,6
23,4
21,4
23,2
23,4
25
23,6
24,4
25,0
23,8
24,4
23,2
24,0
20,8
23,4
23,6
26
24,0
24,0
25,0
25,0
24,6
23,0
22,6
22,4
23,4
23,6
27
23,0
23,6
23,6
25,0
24,8
23,2
23,0
24,0
23,8
24,0
28
23,4
23,4
23,4
23,4
23,4
23,4
23,4
22,2
24,0
23,4
29
23,6
24,0
25,1
24,4
23,8
23,2
22,2
22,6
22,6
30
22,8
24,6
24,4
24,4
23,4
22,6
23,4
22,6
23,4
31
23,8
23,8
23,6
23,6
MIN
22,2
21,4
22,4
23,4
23,4
22,2
22,0
20,8
21,6
21,0
0,0
0,0
MEAN
23,6
23,4
24,2
24,4
24,5
23,6
23,5
23,0
23,2
23,2
#DIV/0!
#DIV/0!
23,4
24,2
Lampiran 9. Suhu Rata-Rata Kota Palu Tahun 2005 - 2010
1. Suhu Rata-Rata Kota Palu Tahun 2005 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU RATA-RATA TAHUN 2005
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
1
29,1
25,4
28,9
28,2
29,3
28,7
26,8
27,6
28,6
28,9
28,0
28,6
2
28,6
27,2
28,3
25,8
26,8
26,6
27,2
28,1
28,8
29,4
26,5
27,7
3
28,8
27,0
29,0
26,7
28,3
27,9
27,5
28,6
28,1
29,9
26,5
28,2
4
28,0
26,9
28,7
27,6
28,6
27,9
26,0
28,6
27,8
27,8
28,0
26,7
5
28,3
27,8
27,8
27,6
27,6
27,5
26,0
28,8
28,6
27,8
27,6
26,9
6
26,3
27,2
27,6
25,8
28,2
28,0
27,1
28,4
28,6
28,4
26,3
27,6
7
27,1
28,0
27,6
27,4
27,0
28,2
26,9
27,6
29,2
28,5
27,0
26,1
8
26,6
28,5
28,5
25,3
27,1
27,0
26,8
27,3
29,1
29,1
25,9
27,0
9
25,6
28,8
28,7
27,1
26,9
27,7
25,9
28,2
27,6
30,0
27,8
26,5
10
26,9
29,0
27,9
25,5
27,3
27,7
26,4
28,5
27,0
29,2
26,9
27,8
11
27,1
28,3
29,3
25,6
25,8
27,5
28,1
28,6
27,6
29,3
27,4
28,2
12
28,7
29,2
28,3
27,4
26,9
27,6
27,3
28,7
28,0
29,5
27,5
26,5
13
28,1
28,2
28,8
27,2
25,4
27,4
25,9
29,0
28,3
29,5
27,6
27,6
14
26,9
28,1
26,5
28,0
26,4
27,9
27,1
28,6
28,9
29,2
27,1
27,7
15
26,6
28,0
27,5
26,0
27,6
25,8
27,8
28,7
28,8
26,9
26,3
27,4
16
26,7
28,3
27,8
26,1
27,9
26,4
26,9
28,7
28,2
26,3
28,1
27,8
17
27,5
28,2
28,1
26,6
27,8
27,3
27,1
30,1
29,2
27,2
27,7
27,7
18
27,3
29,2
28,9
27,1
27,3
27,1
27,4
27,8
29,0
26,7
27,8
28,4
19
27,2
28,9
27,9
27,3
27,8
27,1
27,2
27,1
28,7
27,8
28,5
28,2
20
27,1
28,8
28,6
28,8
28,0
27,6
26,8
26,5
28,3
27,8
27,4
28,4
21
27,6
29,0
28,8
28,8
28,7
27,2
26,6
27,3
27,8
26,8
27,3
26,2
22
27,4
29,0
28,9
29,0
28,4
26,3
27,2
26,5
29,6
27,3
28,6
28,4
23
26,7
29,1
28,7
28,9
27,6
25,6
27,1
27,6
27,6
28,4
28,1
27,5
24
27,2
28,0
27,6
29,0
26,6
26,8
26,9
25,3
27,9
29,2
26,8
27,8
25
27,0
27,8
27,4
29,3
27,1
25,8
26,7
27,0
27,7
26,4
27,4
26,0
26
27,8
28,7
27,7
29,4
26,4
26,8
27,8
28,2
26,3
26,4
26,1
25,4
27
28,7
28,0
27,8
29,5
26,2
27,3
27,1
27,6
27,8
28,2
27,0
25,5
28
28,7
28,1
26,8
29,6
27,1
26,9
27,7
27,1
29,2
28,6
28,3
26,8
29
28,3
27,5
30,2
26,9
26,4
27,8
25,5
29,1
26,9
27,4
26,7
30
28,3
27,3
29,4
27,1
27,1
28,2
27,7
28,5
26,5
28,5
27,2
31
26,6
28,3
27,3
28,3
MAX
29,1
29,2
29,3
30,2
29,3
28,7
28,2
30,1
29,6
30,0
28,6
28,6
MEAN
27,5
28,2
28,1
27,7
27,3
27,2
27,0
27,8
28,3
28,1
27,4
27,3
27,7
27,3
27,5
Lampiran 9. (Lanjutan)
2. Suhu Rata-Rata Kota Palu Tahun 2006 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU RATA-RATA TAHUN 2006
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
1
27,5
26,7
27,1
24,4
27,8
26,4
28,6
28,3
27,9
27,7
30,1
29,2
2
26,4
28,6
25,7
26,4
27,4
26,6
28,8
26,1
28,4
28,1
29,7
28,4
3
27,7
27,7
27,5
26,8
28,4
25,8
28,8
27,0
28,6
28,0
28,6
28,7
4
27,1
27,4
27,4
27,2
28,3
25,9
29,1
28,6
28,7
27,9
29,7
28,8
5
26,9
27,5
27,5
25,9
27,9
27,1
29,0
27,4
28,6
28,5
29,6
28,6
6
26,3
27,9
28,2
25,9
27,1
25,9
29,1
27,5
28,6
27,8
30,2
28,5
7
27,4
28,1
28,1
27,8
26,3
26,5
28,5
27,1
28,1
27,9
27,5
28,3
8
27,0
26,5
27,1
27,2
27,5
26,5
29,0
27,2
29,2
27,5
27,6
29,4
9
27,8
28,2
27,9
27,0
27,9
26,5
28,6
27,0
28,8
27,7
28,8
28,9
10
28,5
28,2
28,6
27,1
27,8
27,5
28,4
27,9
28,7
27,4
29,2
29,2
11
27,7
27,5
28,3
27,1
28,3
27,0
27,9
28,1
29,4
27,8
29,3
28,3
12
28,0
26,9
28,2
27,3
28,7
25,8
27,8
28,5
29,9
27,8
29,6
29,6
13
26,8
27,8
28,1
26,6
28,1
25,8
28,9
28,6
26,5
28,6
28,9
28,9
14
27,3
28,7
27,6
26,3
28,1
26,8
28,1
28,0
25,7
28,4
28,2
28,5
15
27,5
27,9
26,0
26,9
28,4
26,0
28,4
29,0
25,6
28,2
28,5
29,5
16
26,6
27,1
27,7
27,3
27,9
26,4
27,3
29,3
28,3
28,9
29,0
29,1
17
26,7
25,4
27,3
27,6
26,9
27,0
27,7
29,2
27,8
28,3
28,0
29,7
18
27,2
26,8
27,3
27,2
27,1
27,3
28,8
29,1
28,5
28,8
30,7
30,5
19
27,5
27,9
27,8
27,8
28,5
27,4
27,6
29,5
28,2
30,0
28,6
29,8
20
28,1
27,2
27,2
27,5
27,8
27,7
28,3
28,9
27,2
28,7
28,1
30,2
21
26,5
27,9
27,8
27,6
26,8
27,3
28,4
28,8
25,3
29,7
27,2
30,3
22
27,1
28,9
27,8
28,1
27,7
26,6
28,6
29,1
26,4
29,7
27,5
29,9
23
27,3
28,9
28,2
26,8
25,8
26,5
28,1
28,9
27,5
29,1
27,8
29,2
24
26,8
28,0
28,7
26,6
25,6
27,7
27,5
29,2
27,7
29,3
28,6
29,1
25
28,1
28,0
27,5
26,7
26,3
27,4
29,3
28,5
28,1
29,3
27,8
28,8
26
27,6
29,4
27,4
26,9
28,0
25,5
28,0
27,7
27,5
30,2
29,1
28,6
27
26,9
28,5
27,4
27,3
27,8
26,7
27,1
27,5
27,5
29,8
28,0
28,4
28
26,6
27,3
27,9
26,2
27,7
28,1
26,8
27,1
28,3
29,6
26,4
27,2
29
27,4
26,7
26,9
26,1
28,3
27,2
28,4
26,9
29,1
28,3
27,6
30
27,6
27,6
28,3
26,1
27,9
27,9
27,8
28,1
28,3
29,3
27,5
31
27,0
26,5
27,5
27,4
MAX
28,5
29,4
28,7
28,3
28,7
28,3
29,3
29,5
29,9
30,2
30,7
30,5
MEAN
27,3
27,7
27,6
26,9
27,5
26,8
28,2
28,1
27,8
28,6
28,6
28,9
27,2
28,4
27,0
Lampiran 9. (Lanjutan)
3. Suhu Rata-Rata Kota Palu Tahun 2007 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU RATA-RATA TAHUN 2007
TGL
JAN
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
1
26,0
FEB
27,1
27,7
28,4
28,6
28,0
27,1
25,8
27,7
27,7
27,6
2
28,4
26,7
27,0
28,5
28,3
27,1
26,4
26,3
27,8
28,6
28,1
3
26,1
26,8
28,3
28,3
28,2
26,2
25,8
26,2
28,1
26,5
28,5
4
28,2
26,4
27,3
28,0
27,9
28,2
26,4
26,3
28,5
27,7
28,7
5
27,7
26,3
27,9
27,5
27,3
27,7
27,8
26,0
27,9
27,4
28,0
6
28,1
27,2
27,8
24,5
28,4
27,5
26,8
25,1
26,2
26,8
28,3
7
25,5
27,0
28,6
26,6
27,9
27,6
27,2
26,8
27,8
28,1
28,3
8
27,6
26,4
27,4
28,7
28,1
27,3
28,4
26,9
28,0
26,8
27,4
9
29,3
26,4
28,4
27,7
28,0
27,2
25,6
27,0
27,3
26,4
28,4
10
28,0
25,9
29,0
28,3
27,7
28,0
27,1
26,6
26,2
28,5
27,4
11
27,9
26,8
28,4
27,2
27,9
28,0
27,8
27,2
28,0
26,9
27,9
12
26,7
27,2
28,3
27,3
27,7
27,4
26,3
26,7
27,9
26,0
28,0
13
27,5
27,7
28,8
27,9
27,1
27,3
27,6
26,9
26,7
27,4
28,4
14
27,9
27,4
30,1
28,7
27,1
27,0
26,7
27,7
27,5
27,5
28,6
15
26,2
26,5
28,2
27,6
26,4
27,2
26,4
27,8
27,9
27,1
28,7
16
26,8
27,6
28,6
28,5
27,1
28,3
26,3
28,0
26,5
28,0
29,3
17
28,3
27,0
29,2
28,5
27,8
28,6
27,2
27,5
26,3
25,4
26,5
18
28,5
25,4
28,4
29,2
26,7
28,1
27,1
28,3
27,5
27,1
27,2
19
28,5
26,3
28,0
28,2
26,6
27,4
24,9
27,7
27,5
28,3
26,5
20
27,4
26,5
27,3
29,4
28,6
25,9
25,1
27,6
28,2
26,2
26,5
21
28,5
25,9
27,0
28,0
26,8
27,1
26,6
28,5
25,5
28,0
27,4
22
28,6
26,6
27,1
29,5
28,3
26,3
27,0
28,5
26,5
26,9
26,6
23
27,7
26,8
28,0
29,2
28,1
26,0
25,5
28,8
27,5
27,5
27,0
24
25,9
25,2
27,9
29,1
28,5
26,0
26,3
28,1
28,4
28,3
27,7
25
27,1
26,2
27,7
29,0
27,7
25,1
26,0
27,9
29,0
29,0
28,0
26
26,0
26,7
27,3
28,1
27,2
24,6
25,8
27,3
27,1
28,9
28,0
27
26,0
27,2
26,1
27,9
26,7
26,4
26,6
26,7
28,1
25,6
28,3
28
27,1
27,3
26,9
28,0
26,9
26,5
26,5
27,6
28,1
26,0
30,6
29
26,8
27,0
27,0
28,6
25,3
25,6
26,2
26,9
27,7
27,1
28,5
30
24,9
27,3
27,5
27,9
26,2
25,3
26,0
28,1
27,6
28,8
31
25,9
27,2
27,7
27,0
MAX
29,3
0,0
27,7
30,1
29,5
28,6
28,6
28,4
28,8
29,0
29,0
30,6
MEAN
27,2
#DIV/0!
26,7
27,9
28,1
27,5
27,0
26,5
27,2
27,5
27,3
28,0
27,1
28,1
Lampiran 9. (Lanjutan)
4. Suhu Rata-Rata Kota Palu Tahun 2008 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU RATA-RATA TAHUN 2008
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
1
27,6
27,8
25,6
24,7
26,8
25,9
27,1
26,4
25,7
26,7
27,0
26,7
2
27,1
26,6
27,3
25,8
26,5
28,0
26,8
25,7
26,7
25,9
27,1
27,3
3
25,1
26,1
27,1
26,3
26,8
26,4
27,1
26,0
26,7
27,2
26,8
26,8
4
27,6
27,2
26,9
26,6
26,2
25,4
26,6
26,2
26,3
27,7
26,6
27,0
5
24,9
26,2
25,4
27,0
26,4
26,6
24,3
26,2
24,9
26,6
26,8
27,1
6
27,2
27,4
25,1
26,2
26,7
26,7
25,3
26,2
26,0
25,9
27,1
27,0
7
27,1
27,5
27,0
25,4
27,0
27,1
26,9
26,9
25,9
26,3
26,9
27,9
8
26,7
24,9
25,3
26,5
23,9
26,8
26,8
26,8
25,1
27,4
26,6
28,0
9
26,9
26,7
26,4
26,4
26,1
26,8
26,4
24,8
26,0
26,5
26,3
27,9
10
25,0
26,0
27,9
26,2
26,7
25,1
25,6
24,5
26,3
27,3
26,5
26,0
11
26,9
25,9
26,7
25,9
25,8
25,4
26,2
24,1
24,8
27,6
26,4
26,0
12
26,2
26,7
28,0
24,9
26,6
25,9
25,5
24,7
26,1
27,5
27,0
27,2
13
27,6
26,3
26,3
26,4
26,8
27,3
2,7
25,5
26,1
26,9
26,9
27,8
14
25,7
27,1
27,5
26,8
27,1
26,1
26,1
24,9
26,1
25,7
27,5
27,3
15
26,7
26,4
27,3
26,2
27,0
26,2
26,7
25,3
27,3
27,1
27,3
26,7
16
26,7
28,0
26,8
25,7
27,3
27,0
26,0
25,5
27,1
27,6
28,0
27,5
17
27,6
29,6
26,8
27,0
27,1
27,3
25,9
25,5
26,7
27,0
27,2
26,7
18
26,6
26,9
27,8
27,5
26,6
26,9
27,3
27,2
25,3
27,5
27,0
28,1
19
24,8
26,6
27,0
27,3
27,6
27,4
26,4
26,0
26,3
27,6
27,1
26,1
20
26,6
28,4
25,2
27,6
27,4
23,5
26,4
25,1
27,0
28,3
27,0
27,1
21
26,9
27,9
26,5
25,6
28,0
26,8
26,2
26,0
27,1
29,1
27,0
27,6
22
29,0
28,4
26,4
26,0
27,5
28,0
24,5
25,4
26,9
27,4
27,0
28,1
23
27,2
28,2
26,4
26,5
27,6
28,0
24,5
26,2
27,3
25,7
27,5
28,1
24
27,7
27,5
26,0
26,8
27,2
26,9
24,6
26,2
26,7
26,1
27,1
27,3
25
27,7
26,8
25,6
27,2
25,4
27,1
25,9
25,1
28,8
25,9
26,4
27,2
26
28,2
27,7
26,3
25,4
27,0
26,7
26,6
25,3
26,4
24,6
26,9
25,5
27
26,1
26,9
25,5
26,3
27,1
26,3
26,0
26,4
26,5
25,4
25,5
25..0
28
26,3
27,5
27,0
27,0
26,6
26,8
24,3
26,6
27,3
26,4
26,8
26,5
29
27,1
27,3
27,7
27,6
27,2
26,7
24,7
26,1
27,4
26,1
26,7
25,8
30
27,6
25,3
26,8
27,0
26,2
25,2
25,9
27,4
27,0
26,8
25,5
31
25,3
26,8
26,1
24,2
MAX
29,0
29,6
28,0
27,6
28,0
28,0
27,3
27,2
28,8
29,1
28,0
28,1
MEAN
26,7
27,1
26,5
26,4
26,8
26,6
25,2
25,7
26,5
26,8
26,9
27,0
27,9
26,1
26,9
Lampiran 9. (Lanjutan)
5. Suhu Rata-Rata Kota Palu Tahun 2009 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU RATA-RATA TAHUN 2009
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
1
25,6
27,3
25,9
27,9
27,1
26,9
25,7
27,3
28,6
26,4
29,8
27,4
2
27,1
27,5
26,1
29,1
27,3
28,1
26,4
27,5
28,7
27,0
30,3
26,7
3
28,0
26,4
27,5
28,6
27,3
27,8
26,3
27,6
28,3
28,9
30,2
29,0
4
27,2
27,1
26,8
27,8
27,7
28,3
25,6
28,9
27,6
29,1
30,4
28,0
5
26,8
26,7
26,7
27,8
27,7
26,5
26,7
28,6
28,1
28,4
29,8
27,8
6
27,0
26,9
27,3
26,8
28,1
27,7
26,8
28,7
27,6
28,3
30,2
28,1
7
27,4
27,3
27,4
26,2
27,4
28,7
26,9
28,4
28,5
27,3
29,4
28,6
8
27,9
28,0
27,3
27,1
27,7
28,0
27,0
29,0
29,2
26,2
29,2
26,6
9
27,6
27,9
25,5
27,4
27,5
27,3
27,1
29,3
29,1
28,0
29,6
27,4
10
28,3
26,1
26,0
27,7
27,8
27,0
27,9
28,9
29,0
27,3
30,3
28,7
11
28,0
28,7
26,0
28,1
28,1
28,1
26,3
29,6
28,5
27,1
30,9
27,9
12
27,8
25,3
26,8
27,2
27,5
27,8
25,7
27,1
28,7
27,0
28,9
28,5
13
26,2
26,1
26,9
26,1
28,0
27,5
25,4
27,5
29,7
27,4
27,3
28,1
14
26,4
26,0
25,4
26,2
27,2
25,8
27,3
28,7
29,3
26,7
27,6
28,9
15
26,9
25,1
26,5
26,4
28,0
27,8
28,1
28,2
29,4
27,9
26,6
27,8
16
26,2
27,0
26,6
27,2
27,3
27,5
27,4
28,2
28,6
28,6
28,1
27,6
17
26,7
25,8
26,2
25,6
27,1
27,3
27,6
28,1
28,0
28,1
28,0
28,0
18
25,8
26,5
27,1
26,7
27,3
27,6
28,0
28,8
28,8
29,6
25,2
28,8
19
26,9
27,1
27,7
26,6
26,9
28,8
24,8
27,8
28,0
29,3
26,7
28,7
20
26,5
27,6
26,9
25,0
27,0
28,2
26,3
27,5
27,8
29,0
28,3
25,5
21
27,3
26,9
26,3
27,0
25,7
27,1
27,7
27,6
28,3
29,0
28,9
25,5
22
27,4
26,6
27,3
24,7
27,2
27,4
26,9
26,6
29,0
29,2
27,4
27,2
23
27,9
27,4
26,8
26,8
27,8
27,5
26,8
27,7
28,5
27,6
27,8
28,8
24
27,0
27,0
27,6
26,5
27,6
27,4
27,3
28,0
29,7
28,5
28,0
28,2
25
27,6
26,6
26,7
27,2
27,9
25,1
26,8
27,6
29,5
28,5
29,1
26,7
26
28,1
26,5
27,5
26,7
27,2
27,2
26,9
27,2
28,8
29,3
26,1
28,8
27
27,6
27,5
27,4
27,6
28,0
27,0
26,9
27,1
28,5
27,8
27,4
28,5
28
27,2
26,5
27,5
26,9
27,7
27,7
27,0
27,4
29,5
28,9
28,4
27,2
29
27,5
27,7
27,6
28,5
27,8
26,7
28,2
28,4
29,3
28,4
27,8
30
26,3
27,4
26,9
26,5
26,6
26,3
28,7
31,3
29,0
27,3
29,2
31
27,3
28,6
25,7
28,3
MAX
28,3
28,7
28,6
29,1
28,5
28,8
28,1
29,6
31,3
29,6
30,9
29,2
MEAN
27,1
26,8
26,9
27,0
27,5
27,4
26,7
28,1
28,7
28,2
28,5
27,9
28,4
29,0
28,9
Lampiran 9. (Lanjutan)
6. Suhu Rata-Rata Kota Palu Tahun 2010 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUTIARA PALU SUHU RATA-RATA TAHUN 2010
TGL
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
1
29,0
26,6
29,8
28,8
28,3
27,9
28,3
26,7
26,3
26,6
2
27,5
27,9
29,1
29,4
29,3
28,9
28,7
26,7
28,0
28,0
3
28,5
27,9
28,8
29,8
27,8
27,9
28,5
26,9
29,0
29,0
4
28,6
28,4
29,2
29,6
29,2
27,8
27,5
24,7
26,2
28,3
5
29,2
29,0
28,6
29,2
29,2
28,7
27,8
26,3
25,8
28,3
6
26,9
26,9
28,8
28,4
28,1
26,8
27,5
25,6
25,3
28,7
7
28,1
28,5
29,5
29,0
29,5
26,8
27,4
25,1
27,5
26,8
8
27,8
24,9
28,6
29,1
29,5
27,6
27,3
26,0
25,3
27,0
9
28,1
29,2
28,9
27,8
28,0
28,6
27,5
26,4
27,5
25,4
10
27,8
28,2
28,7
29,1
26,0
27,3
27,3
27,7
26,8
25,8
11
27,5
28,9
28,1
29,6
27,0
27,0
27,3
26,6
26,2
27,1
12
27,9
28,1
29,1
28,8
29,3
27,9
28,2
27,5
26,6
27,6
13
26,0
26,2
28,9
29,2
28,6
26,8
28,5
27,7
26,0
28,1
14
25,0
28,8
29,5
29,0
27,7
26,6
26,7
28,1
27,6
29,3
15
25,8
28,9
29,3
27,3
29,5
25,7
26,4
27,4
27,9
28,2
16
26,7
28,7
29,1
29,0
28,4
26,1
28,1
27,4
26,8
27,6
17
27,5
27,4
27,6
29,5
29,8
26,2
28,4
27,6
27,4
28,4
18
28,6
29,0
28,7
28,5
27,1
26,5
27,7
27,5
26,9
27,0
19
24,5
27,8
28,7
27,0
27,9
25,8
28,3
26,7
26,5
28,4
20
26,3
28,3
29,3
27,3
27,7
24,7
25,9
27,6
27,4
27,7
21
26,8
26,8
29,6
28,9
28,0
26,6
24,4
26,5
27,7
28,2
22
27,6
28,0
29,0
28,8
26,8
26,5
26,7
24,8
28,2
27,1
23
27,7
27,4
29,0
30,6
27,6
27,4
26,2
26,8
28,4
27,5
24
27,4
28,4
28,6
27,7
28,1
27,7
26,5
25,0
27,3
29,1
25
27,7
28,5
28,3
28,2
28,0
27,1
27,0
25,3
27,9
28,8
26
27,8
29,5
27,7
28,8
28,0
27,6
26,5
27,1
26,6
27,6
27
27,9
29,4
26,8
27,9
28,7
27,0
27,3
28,1
26,8
28,2
28
27,3
29,7
26,7
28,9
28,0
27,5
27,2
26,5
27,9
27,8
29
28,3
28,6
28,5
26,9
27,6
24,5
27,6
26,7
25,6
30
26,3
29,3
29,2
27,6
27,5
25,2
27,0
27,3
28,4
31
27,3
27,4
27,5
26,8
MAX
29,2
29,7
29,8
30,6
29,8
28,9
28,7
28,1
29,0
29,3
0,0
0,0
MEAN
27,4
28,1
28,7
28,8
28,2
27,1
27,1
26,7
27,0
27,7
#DIV/0!
#DIV/0!
28,1
NOV
DEC
27,7
Lampiran 10. Daftar Jenis Tanaman Lokal dan Tanaman Terpilih untuk Hutan Kota di Kota Palu No.
Jenis Tanaman
Nama Latin
1.
Angsana
Pterocarpus indicus
2.
Asam
Tamarindus indica
3.
Beringin
Ficus benjamina
4.
Cassia
Cassia mangium
5.
Dadap merah
Erithrina crystagali
6.
Eboni
Diospyros celebica
7.
Ficos
Ficus sp.
8.
Flamboyan
Delonix regia
9.
Gamal
Glyricidia sepium
10.
Johar
Cassia seamea
11.
Kayu Jawa
Lannea coromandelica
12.
Kayu manis
Laurus cinnamomun L.
13.
Kayu putih
Melaleuca leucadendroni
14.
Karui
Acacia nilotica
15.
Kelapa
Cocos nucifera
16.
Ketepal
Alstonia sp.
17.
Lamtoro
Leucaena glauca
18.
Mahoni
Sweitenia macrophylla
19.
Mangga
Mangifera sp.
20.
Nangka
Arthocarpus heterophyllus
21.
Palaquium obovatum
Sapotaceae
22.
Palm Pinang
Pinanga insignis
23.
Palm Raja
Roystonea regia
24.
Pecing-pecing
Quercus sp.
25.
Saga
Ormosia Sp.
26.
Sengon
Paraserianthes falcataria
27.
Sirsak
Annona muricata, Linn.
28.
Trembesi
Samanea saman