PEMIKIRAN DAN KESEDERHANAAN: BIOGRAFI KH. BAIDLOWI BIN ABDUL AZIZ 1)
M. Nilzam Aly 2) Gayung Kasuma Abstract This research focuses about the life and cogitation concept (fatwa) of a religious figure from Islamic Organization NU (Nahdlatul Ulama), KH. Baidlowi bin Abdul Aziz. Figure who was born in 1880 gives an influence of his cogitation in history of NU in Indonesia. Because came of Islamic boarding house family, KH. Baidlowi spend his education in religion sector in Indonesia and abroad, Saudi Arabian. More than twenty years having education process, KH. Baidlowi continues dedication of his father in managing Al-Wahdah Islamic boarding school. His capability in religion sector, especially in Fiqh makes him as Syuriah chief of Nahdlatul Ulama and Thoriqoh Mu'tabaroh association until his death in 1970, in Lasem. In this research, the researcher finds that KH. Baidlowi as NU figure has national rule. His religious advice about Waliyyul Amri Addhoruri Bissyaukah in 1952 gives strong legitimation to Ir. Soekarno as a legal President when rebellion of DI/TII Kartosoewirjo head is run. This religious advice be the social agreement for all of the Islamic expert from the Islamic classes variety in national Islamic expert conference, in 1954. Although his capability has been recognized nationally, KH.Baidlowi stays to choose managing Al Wahdah Islamic boarding school in Lasem. Keywords: Ideas, KH. Baidlowi, Nahdlatul Ulama. Abstraksi Penelitian ini mengkaji tentang kehidupan dan konsep pemikiran (fatwa) tentang seorang tokoh ulama dari organisasi keislaman NU (Nahdlatul Ulama), KH. Baidlowi bin Abdul Aziz. KH. Baidlowi yang lahir pada 1880 memberikan pengaruh pemikirannya dalam perjalanan sejarah NU di Indonesia. Lahir dari keluarga pesantren, KH. Baidlowi menjalani proses pendidikannya dalam bidang keagamaan baik di Indonesia maupun di luar negeri, Arab Saudi. Selama lebih dari dua puluh tahun menjalani proses pendidikan, KH. Baidlowi akhirnya melanjutkan pengabdian ayahnya dalam mengurus pesantren Al-Wahdah. Kemampuannya di bidang keagamaan khususnya fiqih , menjadikannya sebagai Rais Syuriah Nahdlatul Ulama dan Ketua perkumpulan Thoriqoh Mu'tabaroh sampai meninggalnya pada tahun 1970 di Lasem. Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa KH. Baidlowi Sebagai tokoh NU memiliki peran nasional. Fatwanya tentang Waliyyul Amri Addhoruri Bis-syaukah di tahun 1952, memberikan legitimasi kuat kepada Ir. Soekarno sebagai presiden yang sah di saat terjadi pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo. Fatwanya ini menjadi kesepakatan bersama seluruh ulama dari berbagai golongan Islam dalam konferensi nasional ulama di Cipanas pada tahun 1954. Meskipun kemampuannya telah diakui secara nasional, KH. Baidlowi tetap memilih mengurus pesantren Al-Wahdah miliknya di Lasem. Kata Kunci: Pemikiran, KH. Baidlowi, Nahdlatul Ulama.
*) 2)
Mahasiswa Jurusan Ilmu SejarahAngkatan 2008, Email
[email protected] Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UniversitasAirlangga Surabaya
189
Pemikiran Dan Kesederhanaan: Biografi Kh. Baidlowi Bin Abdul Aziz
Pendahuluan KH. Baidlowi bin Abdul Aziz. KH. Baidlowi memberikan pengaruh pemikirannya dalam perjalanan sejarah NU di Indonesia. Lahir dari keluarga pesantren, KH. Baidlowi menjalani proses pendidikannya dalam bidang keagamaan baik di Indonesia maupun di luar negeri, Arab Saudi. Selama lebih dari dua puluh tahun menjalani proses pendidikan, KH. Baidlowi akhirnya melanjutkan pengabdian ayahnya dalam mengurus pesantren Al-Wahdah . Kemampuannya di bidang keagamaan khususnya fiqih , menjadikannya sebagai Rais Syuriah Nahdlatul Ulama dan Ketua perkumpulan Thoriqoh Mu'tabaroh sampai meninggalnya di Lasem. KH. Baidlowi Sebagai tokoh NU memiliki peran nasional. Fatwa nya tentang Waliyyul Amri Addhoruri Bis-syaukah di tahun 1952, memberikan legitimasi kuat kepada Ir. Soekarno sebagai presiden yang sah di saat terjadi pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo. Fatwanya ini menjadi kesepakatan bersama seluruh ulama dari berbagai golongan Islam dalam konferensi nasional ulama di Cipanas pada tahun 1954 Salah satu daya tarik dari kota Lasem selain sisi sejarah geografisnya adalah keberadaan pondok Pesantren yang cukup banyak. Keberadaan Pesantren bermula dari surau-surau kecil (gothakan) yang digunakan untuk belajar mengaji seiring berkembangnya agama Islam di tanah Jawa. Kondisi ini hampir sama dalam sejarah adanya Pesantren di wilayah Lasem dan sekitarnya. Setelah sang pengajar mulai menetap dan perkembangan zaman yang mulai berubah
190
maka dibentuklah lembaga-lembaga tradisional yang mengajarkan kitab-kitab agama Islam. Tidak sebatas pada kitab suci Al-Quran saja namun juga kitab-kitab penunjang lainnya (Hanun Asrahah, 2002: 5). Lebih jauh lagi dalam konteks historisnya, p esantren tidak hanya mengandung makna islamisasi atau bersifat keislaman, tetapi menjadi bagian dari produk lokal (local genius) metode pendidikan asli masyarakat Indonesia zaman Hindu-Budha. Padepokan pada masa Hindu- Budha menjadi sarana pendidikan secara tradisional dan pada masa itu pula murid-murid dari berbagai daerah yang hendak berguru di padepokan tersebut diharuskan untuk “mondok” atau tinggal sementara di padepokan tersebut dalam jangka waktu tertentu sebelum akhirnya menyelasaikan pendidikan mereka. Ketika Islam datang, tradisi yang erat ini lantas kemudian disesuaikan untuk diolah sedemikian rupa menjadi “Pesantren” yang memiliki ciri khas Islam namun tidak meninggalkan kekhasan sebelumnya. Dengan kata lain telah terjadi akulturasi sistem pada transformasi dari “padepokan” atau “dharma” menjadi “Pesantren” (HanunAsrahah, 2002: 6). Teori ini setidaknya bersumber dari dua fakta yang telah ada. Fakta pertama dilihat dari dari hubungan identitas antara guru dengan murid yang hampir sama dengan identitas hubungan kiai dengan santri. Identitas tersebut adalah berupa hubungan “kebapakan” yang sudah ada sebagai ikatan pokok pada zaman kerajaan Hindu Budha. Kedua, antara Pesantren dengan lembaga keagamaan pra Islam terdapat kebisaan lama yang masih terjaga yaitu berkelana. Berkelana dalam hal ini
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 2, No.2 Juni 2013 adalah melakukan pencarian ilmu ruhani dari satu tempat ke tempat lainnya (Hanun Asrahah, 2002: 3). Di sepanjang desa-desa yang dekat dengan jalan Daendles (jalan raya pos) bisa dipastikan terdapat lebih dari satu pesantren.Desa Ngemplak terdapat Pesantren Al-Aziz, Wahdatut Thollab, dan sebagainya. Desa Soditan terdapat Pesantren Al Hidayat, An Nur, dan Al Hamidiyah. Sedangkan di desa Sumbergirang terdapat Pesantren Nailun Najah, Al-Fakhriyyah, Al Wahdah, dan sebagainya. Sebagai pusat pendidikan agama Islam, Pesantren-Pesantren di Lasem pun memiliki sejarah dalam menghasilkan ulama-ulama di Indonesia. Pesantren tidak hanya mengandung makna islamisasi atau bersifat keislaman, tetapi menjadi bagian dari produk lokal (local genius) masyarakat setempat. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat pendapat yang cukup menarik dari Frans Magnis Suseno mengenai identitas orang Jawa yang pada perkembangan selanjutnya memberikan sentuhan identitas kultural pada Pesantren. Menurut Magnis setidaknya terdapat dua kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Pertama, prinsip kerukunan yang bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Kedua, prinsip hormat yang mengatur pola interaksi antar masyarakat (Frans Magnis Suseno, 1984: 38 – 61) Penghormatan orang Jawa bukan hanya kepada penggunaan bahasa untuk berkomunikasi (Krama dan Ngoko) tetapi juga penggunaan kata sapaan. Apabila dua orang Jawa bertemu, bahasa, pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan suatu pengakuan terhadap pengakuan
terhadap kedudukan mereka masingmasing dalam suatu tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci. Mengikuti aturan-aturan tata krama yang sesuai, dengan mengambil sikap hormat atau kebapakan yang tepat merupakan hal yang sangat penting. Lebih spesifik lagi di dunia Pesantren penghormatan kepada orang yang berilmu dan lebih dituakan, dipanggil dengan kata sapaan Mbah. Sapaan Mbah cenderung populer digunakan di wilayah Jawa Tengah. Sedangkan di wilayah Banten dan Jawa Barat cenderung menggunakan istilah Abuya dan Eyang (Murtadho Hadi, 2009: 9-10). Jawa Timur lebih cenderung menggunakan istilah Yai, yang berasal dari kata Kyai. Beberapa daerah lainnya seperti Madura lebih cenderung menggunakan istilah Syaikhona. Lebih umum lagi di beberapa daerah menggunakan istilah Syekh atau Syaikh. Masing-masing istilah tersebut meskipun memiliki arti bahasa yang berbeda namun hakekat penggunaannya adalah sama. Sama-sama memiliki tujuan untuk memberikan penghormatan kepada orang yang lebih tua dan dituakan, memiliki ilmu lebih (khususnya di bidang agama), dan sejenisnya. Kondisi seperti ini juga berlaku pada Pesantren yang ada di Lasem. Para santri dan masyarakat lebih terbiasa menyapa seorang kiyai dengan sapaan Mbah . Selanjutnya dalam menjalankan aktifitas pendidikannya, pesantren tradisional cenderung lebih menggunakan kitab kuning dari pada kitab terjemahan latin. Pemaknaan dari itab tersebut mayoritas menggunakan terjemahan bahasa Jawa dan bentuk tulisan Arab pegon. Identitas kultural Jawa
191
Pemikiran Dan Kesederhanaan: Biografi Kh. Baidlowi Bin Abdul Aziz
bisa jadi sangat melekat erat pada kultural Pesantren ditarik berdasarkan faktor historis kedua kebudayaan tersebut.3) Riwayat Pendidikan KH. Baidlowi Lahir pada tanggal 12 Syawal 1297 Hijriyah atau dalam kalender Masehi adalah 17 September 1880, Baidlowi menghabiskan masa kecil di Lasem sampai umurnya beranjak remaja. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, Baidlowi muda mencari banyak pengetahuan kepada berbagai kiai, baik di Lasem maupun luar Lasem seperti Sarang, Solo, Bojonegoro, hingga ke Makkah. Perjalanan ilmiah Baidlowi muda kepada banyak ulama kemudian memunculkan pertanyaan “Mengapa dan untuk apa dia belajar sedemikian banyak kepada para ulama?”. Terdapat berbagai argumen yang bisa disampaikan terkait hal tersebut. Pada masa-masa ini tradisi masyarakat yang ingin belajar ilmu agama kepada ulama dilakukan secara berpindah-pindah (nomaden). Istilah lain yang digunakan adalah santri kelana (Gerg Barton, 2010:32). Berbeda dengan sistem pembelajaran klasikal yang telah diterapkan oleh banyak pondok pesantren pada zaman setelahnya. Tradisi ini dilakukan karena seorang kiai memiliki spesialisasi ilmu sendiri-sendiri sesuai bidangnya. Sekedar menyebut, dahulu ketika seseorang ingin mendalami ilmu fiqih, ia tentu akan berkunjung ke Mbah Umar bin Harun Sarang. Jika ingin belajar hadist maka ia akan belajar kepada KH. 3)
Hasyim Asy'ari Jombang, dan jika ingin belajar ilmu nahwu dan ilmu-ilmu alat mampirlah ia kepada Mbah Manaf Lirboyo atau Syaikhona Kholil Bangkalan. Perlu menjadi catatan adalah meskipun kiai-kiai tersebut ahli dalam bidang tertentu, tidak menutup kemungkinan mereka memiliki kemampuan di cabang keilmuan lainnya (Murtadlo Hadi, 2009: 38) Sebagai permulaan, Baidlowi tidak perlu berpergian jauh untuk belajar agama karena dia lahir di lingkungan yang terdapata pengajian-pengajian kecil. Ayahnya adalah seorang guru dari pengajian itu. Melalui sang Ayah, Mbah Baidlowi belajar membaca dan menulis Arab, termasuk membaca Al-Qur'an. Selama kurang lebih 7 tahun berada dibawah didikan KH. Abdul Aziz, Baidlowi kecil kemudian melanjutkan pendidikan agama di bawah asuhan KH. Umar bin Harun Sarang (Abu Hizqil, tanpa tahun: 2). Jiwa kepemimpinan Mbah Baidlowi dibentuk dalam pendidikan pesantren ini sehingga sempat diangkat menjadi lurah pondok. Baidlowi yang beranjak muda ini nyantri kepada KH. Umar selama 10 tahun. Jika melihat kenyataan bahwa Mbah Baidlowi mengaji di Sarang selama 10 tahun maka hal itu bukan waktu yang pendek. Masa-masa ini menjadi masa yang sangat penting terhadap pemikiran keagamaan Baidlowi muda. KH. Umar merupakan orang penting kedua setelah KH. Abdul Aziz yang memiliki saham besar dalam
Secara garis besar lembaga pondok pesantren dibagi dalam dua kelompok besar. Pertama, Pesantren Modern (Khalafy) yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah atau sekolah yang dikembangkan secara klasikal. Kedua, Pesantren Tradisional (Salafy) yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai inti pendidikan pesantren. Sedangkan Kitab kuning adalah sebutan untuk buku-buku berhuruf arab yang biasa dipakai dilingkungan pondok pesantren. Dinamakan kitab kuning karena kebanyakan kertas yang dipakai berwarna kuning atau mungkin juga karena sudah usang.
192
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 2, No.2 Juni 2013 pendidikan keagamaan Mbah Baidlowi. Hal ini juga terbukti dalam jenjang pendidikan selanjutnya. Baidlowi muda kemudian melanjutkan pendidikan keagamaannya di pesantren Jamsaren Solo, yang diasuh oleh Kiai Idris selama lima tahun. Selain sebagai santri, Baidlowi juga diberikan kesempatan untuk mengajar kitab-kitab tertentu. Selesai dari Solo, Baidlowi muda ini melanjutkan pendidikan keagamaannya di Makkah. Selain berguru kepada ulama-ulama Makkah, Mbah Baidlowi juga belajar kepada KH. Mahfudz At-Turmusi seorang kiai yang berasal dari Indonesia. Kepada KH. Mahfudz At-Turmusi Baidlowi muda mendalami kajian ilmu hadist. Di masa itu, sulit rasanya belajar ke negeri orang jika tidak memiliki akses ekonomi yang cukup kuat (wawancara dengan Luthfi Thomafi, 26 Maret 2012). Hal ini terjadi karena kondisi Indonesia saat itu yang masih dalam masa penjajahan, sehingga cukup sulit jika ada beberapa masyarakat yang hendak melanjutkan pendidikan di luar Indonesia. Masa-masa remaja Baidlowi dihabiskan di negara dimana terdapat kiblat umat muslim ini. Awal tahun 1900-an terjadi pertikaian antara Arab Saudi dengan Turki Ottoman. Syarif Husain yang memimpin orang-orang Arab berhasil mengusir pasukan Turki dari tanah suci dan ingin keluar dari kekuasaan kekhalifahan Turki Ottoman. Kebencian Arab Saudi terhadap Turki melebar kepada orang-orang yang berasal dari Turki yang tinggal di sekitar Ka'bah dan mereka juga ikut diusir. Pertikaian ini menyebabkan penduduk Makkah dilanda kelaparan. Untuk mencukupi kebutuhannya, Baidlowi
muda menjual beberapa kitab yang telah dimilikinya (Abu Hizqil, tanpa tahun: 2) Kitab terakhir yang dimilikinya adalah kitab Ihya' 'ulumuddin. Perubahanperubahan politik dan identitas keagamaan yang terjadi di Makkah dan kesulitan ekonomi yang melanda wilayah itu menyebabkan banyak orang-orang yang berasal dari luar Makkah kembali ke negaranya masing-masing. Begitu pula dengan Baidlowi yang pulang ke Indonesia. Baidlowi pulang dengan menggunakan kapal laut transit di India kemudian melanjutkan perjalanan darat serta laut melewati Thailand, Malaysia, Singapura, kemudian tiba di Jawa (Abu Hizqil, tanpa tahun: 3). Selesai menjalani proses pendidikan dari Makkah, dua tahun kemudian Baidlowi muda meninggalkan masa lajangnya dengan menikahi Halimah, putri dari KH. Shiddiq Rembang pada usia sekitar 27 tahun. Termasuk juga menjadi pengasuh di pesantren yang dulu menjadi tempat pengajian Ayahnya, KH. AbdulAziz. Kontribusi Sosial Kemasyarakatan KH. Baidlowi Secara khusus kontribusi Mbah Baidlowi terbagi dalam empat tipe. Pertama, kontribusi intelektual (ilmiyah) seperti sebagai kiai yang memiliki pesantren dan mengajar di sana. Kedua, kontribusi spiritual (rohaniyah) berkaitan dengan kedudukan kiai yang seringkali bertindak sebagai pemimpin doa, menjadi imam sholat, juga sebagai pimpinan thoriqot . K etiga , kontribusi sosial (ijtima'iyah) berkaitan dengan kepercayaan yang diemban kiai dari masyarakat sebagai seorang pimpinan atau dalam aktivitas lain seperi menjadi ketua organisasi, tokoh politik dan
193
Pemikiran Dan Kesederhanaan: Biografi Kh. Baidlowi Bin Abdul Aziz
sebaganya. Keempat, kontribusi administratif (idariyah) berkaitan dengan jabatan kiai sebagai pengasuh pesantren, maka mau tidak mau kiai akan menangani masalah administrasi, memimpin, mengawasi, dan sebagainya. Kesemuanya ini mengacu pada peran kepemimpinan ulama yang diutarakan oleh Prof. Dr. Muhammad Tholhah Hasan (Muhammad hasyim dkk, 2009: xv). Sebagai seorang yang memiliki pondok pesantren serta pengembaraan ilmiah dalam bidang ilmu agama khususnya, Mbah Baidlowi memiliki kontribusi intelektual dalam mengajarkan ilmunya di pesantren atau melalui ceramah di luar pesantren. Khusus kepada santri, Mbah Baidlowi lebih menekankan pada penguasaan ilmu-ilmu agama secara sempurna. Ada klasifikasi kitab kuning yang dibedakan dalam hal pengajarannya oleh Mbah Baidlowi. Pertama, kitab yang diajarkan oleh Mbah Baidlowi secara terus menerus. Jika selesai pembahasan dalam kitab tersebut maka akan diulang kembali proses pengajarannya. Kedua, kitab yang pengajarannya tidak dilakukan secara berulang-ulang. Beberapa bidang keilmuan yang diajarkan Mbah Baidlowi kepada santrinya adalah perihal hukumhukum agama (fiqih), tata bahasa Arab (nahwu, shorof), aturan perilaku manusia (adab, tauhid, tasawuf). Selain mengajar di pesantrennya sendiri, Mbah Baidlowi juga sempat menjadi nadhir (ketua pembina) Masjid Jami' Lasem. Inilah yang menjadi salah satu kontribusi spiritual Mbah Baidlowi. Pengelolaan masjid selain sebagai tempat
4)
ibadah juga menjadi media pendidikan bagi masyarakat Lasem. Mbah Baidlowi dan kiai-kiai Lasem lainnya mendirikan sebuah sekolah diniyyah (keagamaan) di Masjid Jami' Lasem. Meskipun sekolah tersebut berlatar belakang sekolah keagamaan, tetapi pelajaran yang diajarkan tidak kalah dengan sekolahsekolah lain pada zamannya, antara lain dengan memuat pelajaran bahasa Inggris dan Arab. Kenyataan ini tidak banyak diterapkan pada pesantren-pesantren NU. Sekolah tersebut bernama Madrasah AlJailiniyah dan gedungnya berada di area Masjid Jami' Lasem. Sayangnya sekolah ini berhenti beroperasi 15 tahun setelah meninggalnya Mbah Baidlowi, tepatnya tahun 1985 (Luthfi Thomafi, 2007: 144). Pada tanggal 10 Oktober 1957 di pondok pesantren Tegal Rejo Magelang para kiai NU mendirikan suatu badan otonom bernama Jam'iyah Ahli Thoriqoh Muktabarah (Soelaiman Fadeli, 2007: 34). Badan otonom ini merupakan sebuah bentuk pengajian dari kalangan kaum Nahdliyin (orang-orang yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama). Alasan utama didirikannya Banom ini adalah untuk membimbing organisasi-organisasi thoriqoh yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan yang sesuai dengan AlQur'an dan Al-Hadist. Selain itu Banom ini juga berfungsi untuk mengawasi organisasi-organisasi thoriqoh agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama Islam (Soelaiman Fadeli, 2007: 104 – 105).4) Selama dua belas tahun, KH.
Thoriqoh adalah metode untuk mengetahui sebuah sifat mana yang tercela yang kemudian dijauhi dan mana yang terpuji yang kemudian diamalkan.
194
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 2, No.2 Juni 2013 Baidlowi menjabat sebagai Rois Akbar Ifaddhiyah Thoriqoh Muktabaroh . Sebuah jabatan tertinggi dalam majelis dzikir atau istighozah, yang dijabat sampai akhir hidupnya baru kemudian Mbah Baidlowi lepas dari jabatan tersebut. Sebagai “petinggi” organisasi para ahli thoriqoh, Mbah Baidlowi memiliki kewibaan tinggi dalam komunitas thoriqoh. Mbah Baidlowi aktif menghadiri acara-acara perkumpulan thoriqoh seperti muktamar. Tidak banyak yang mengetahui bahwa kedudukan Mbah Baidlowi ternyata adalah sebagai Mursyid (guru) thoriqoh (Abu Hizqil, tanpa tahun: 6). Nahdlatul Ulama merupakan sebuah organisasi massa berbasis agama terbesar yang ada di Indonesia. Pengabdiannya sebagai seorang ulama, menjadikan dia masuk dalam organisasi ini bersama dengan Mbah Ma'shum yang juga sebagai suami dari adik Mbah Hamid, Nyai Masfuriyati. Bahkan Mbah Ma'shum pernah berkata sebagai bentuk rasa cintanya kepada NU: …Engkau jangan sekali-kali membenci NU, sebab membenci NU sama dengan membenci aku karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain. Meski demikian, kaupun jangan membenci Muhammadiyah. Jangan pula membenci PNI dan partai-partai lain… (Luthfi Thomafi, 2007: 131)
Ucapan yang disampaikan oleh Mbah Ma'shum tersebut mengandung arti bahwa meskipun memiliki latar belakang organisasi dan pemahaman politik yang berbeda, sesama muslim tidak seharusnya saling terpecah belah. Asalkan tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Sikap
toleransi dan saling menghormati adalah hal sangat diperhatikan oleh Mbah Ma'shum. Begitu juga dengan Mbah Baidlowi. Pada Muktamar kedua NU di Surabaya tahun 1927 Mbah Baidlowi sempat menjadi anggota dewan pertimbangan bersama dengan KH. Hasyim Asy'ari, Ridwan Abdullah (pembuat lambang NU), Zuhdi, dan sebagainya. Termasuk juga Mbah Baidlowi menjabat sebagai Rois Syuriah NU cabang Lasem, meskipun tidak ada penjelasan pasti kapan ia menjabatnya (wawancara dengan KH. Abdul Hamid Baidlowi). Periode tahun 1952-1952, merupakan masa-masa perpecahan di tubuh Masyumi dengan keluarnya NU dari partai tersebut. Secara fulgar, Mbah Baidlowi meyakinkan masyarakat Lasem bahwa ia tetap mendukung NU sebagai partai dan organisasi dakwahnya. Hal ini setidaknya mampu mempengaruhi masyarakat untuk lebih memilih NU dari pada Masyumi atau partai lainnya di masa-masa selanjutnya. Mbah Baidlowi mempersepsikan NU sebagai organisasi Islam berbasis pedesaan sedangkan Masyumi sebagai organisasi Islam berbasis perkotaan. Setidaknya ini menjadi jalan tengah yang diambil Mbah Baidlowi untuk meredakan konflik masyarakat terkait perpecahan dalam partai Islam. Ketika Islam dan politik Islam menjadi bulan-bulanan kaki tangan kekuasaan, yang membela Islam dan kepentingan umatnya melalui lidah yang fasih adalah Mbah Baidlowi. Tidak peduli berhadapan dengan kekuasaan yang punya senjata, semua dilawannya (Murtadho Hadi, 2009: 38). Sebuah peristiwa penting pada
195
Pemikiran Dan Kesederhanaan: Biografi Kh. Baidlowi Bin Abdul Aziz
perjalanan organisasi Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan eksisitensinya sebagai organisasi yang cukup disegani adalah ketika para ulama dari NU mengeluarkan fatwa atas kepemimpinan Soekarno sebagai pemimpin negara Indonesia. Pada Mei tahun 1953 di Mega Mendung, Bogor, digelar sebuah Koferensi Alim Ulama se-Indonesia. Latar belakang peristiwa tersebut adalah terjadinya pemberontakan yang diakukan oleh DI/TII pimpinan Kartoesowirjo dengan mengatasnamakan Islam. Pemberontakan itu bertujuan untuk mewujudkan Indonesia menjadi sebuah negara berlandaskan syariat Islam. Presiden Soekarno meminta fatwa alim ulama tentang keabsahannya sebagai presiden Republik Indonesia dari pandangan syari'at Islam. Para Ulama, khususnya dari kalangan NU, melakukan sidang untuk membahas persoalan tersebut di Denanyar, Jombang. Diantara peserta yang hadir adalah Mbah Baidlowi (Wawancara dengan KH. Abdul Hamid Baidlowi). Terjadi sebuah perdebatan antar peserta yang saling berbeda pendapat mengenai permasalahan tersebut. Musyawarah mengalami deadlock . Akhirnya diputuskan untuk diadakan istirahat. Sewaktu terjadi perdebatan itu, Mbah Baidlowi yang duduk di emperan tempat musyawarah lebih memilih diam dan belum menyampaikan pendapat apapun. KH. Wahab Hasbullah, salah seorang pencetus berdirinya NU, meminta pendapat Mbah Baidlowi. Setelah sidang dibuka kembali, Mbah Baidlowi menyampaikan pandangannya mengenai masalah ini. Inti pendapatnya adalah “Soekarno, Huwa Waliyyul Amri Adloruri
196
Bil Syaukati” (Abu Hizqil, tanpa tahun: 9) Makna dari kalimat tersebut adalah “Soekarno, dia adalah Presdien RI yang syah dalam keadaan darurat”. Akhirnya, keputusan itu dibawa pada konferensi Alim Ulama di Mega Mendung, Bogor pada awal Mei 1953. Hasil tersebut tertuang pada bagian II ayat 2 (Gema Muslimin Th.1, 1954: 76). Melalui landasan fikih ini, NU mengakui Presiden Soekarno sebagai Waliyyul amri al-dlaruri bi al-syaukah- suatu pengakuan yang biasa dilihat dengan sinisme oleh kalangan Masyumi (Irsjad Zamjani, 2010: xxxi). Sebagai seorang ulama yang memiliki spesifikasi ilmu hadist dan fiqih, menjadikan Mbah Baidlowi sebagai “penentu hukum” yang menjadi rujukan beberapa ulama lainnya termasuk juga masyarakat. Mbah Baidlowi merupakan sosok yang memiliki tingkat kearifan yang tinggi. Perlu ada pembedaan antara kealiman dengan kearifan. Jika kealiman berkaitan dengan seberapa banyak ilmu yang didapat, kearifan cenderung kepada proses bagaimana seseorang setelah mendapatkan ilmu tersebut. Dalam berdialog dengan fenomena-fenomena yang terjadi pada masyarakat, Mbah Baidlowi mempunyai pandangan (pemikiran) yang cukup realistis. Artinya adalah cukup kontekstual dalam menterjemahkan nilai-nilai keislaman ke dalam pergaulan masyarakat. Ketika Lasem mengalami masa paceklik pertanian, ada seorang kyai yang juga seorang petani yang bertanya kepada Mbah Baidlowi mengenai zakat fitrah dengan menggunakan jagung. Jawaban Mbah Baidlowi dengan tenang mengiyakan atau memperbolehkan zakat
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 2, No.2 Juni 2013 dengan menggunakan jagung, meskipun sempat ditentang oleh ulama lainnya. Banyak ulama dari kalangan NU pada masa Mbah Baidlowi menjadi politikus dan menjadi bagian dari dewan konstituante, salah satunya adalah Mbah Ma'shum. Pilihan Mbah Baidlowi cenderung lebih cenderung mengurus pesantren Al-Wahdah miliknya. Hidupnya didedikasikan untuk mengurus dan mengasuh pesantren serta madrasah di Masjid Jami' Lasem. Sampai kemudian ia meninggal pada tahun 1970 di Lasem. Kesimpulan Sejak dalam periode kanak-kanak sampai remaja, KH. Baidlowi , atau yang lebih akrab disapa dengan Mbah Baidlowi mengikuti alur pendidikan keagamaan yang lumrah bagi kalangan keluarga kiai. Mulai dari pendidian langsung dari sang ayah, KH. Abdul Aziz sampai kepada pendidikan ala Makkah di bawah asuhan KH. Mahfudz At-Turmusi, kiai kelahiran Hindia Belanda. Pengalaman pendidikan yang sedemikian matang itu, membawa kepada corak pemikiran Mbah Baidlowi sebagai kiai spesialis fiqih atau ahli dalam menentukan hukum-hukum agama. Di Lasem sekitar tahun 1920, ia melanjutkan pengabdian ayahnya untuk mengelola sebuah pesantren yang pada zaman ayahnya hanya sebuah surau kecil untuk pengajian musiman. Disinilah peran ilmiah dalam mengajarkan keilmuannyadan peran administratif dalam mengelola dan mengasuh pesantren diterapkan oleh Mbah Baidlowi. Sejak didirikannya UN Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926, sebagian besar pesantren menjadi bagian dari jaringan kuat NU. Begitu juga Mbah Baidlowi dengan komunitas pesantren miliknya. Pada Muktamar kedua NU di Surabaya tahun 1927 Mbah Baidlowi sempat menjadi anggota dewan pertimbangan bersama dengan KH. Hasyim Asy'ari, Ridwan Abdullah
(pembuat lambang NU), Zuhdi, dan sebagainya. Sampai akhir hidupnya, Mbah Baidlowi secara de facto masih menjabat sebagai rois syuriah NU cabang Lasem dan mursyid (guru) thoriqoh atau tarekat Jam'iyah Ahli Thoriqoh Muktabarah, sebuah badan otonom dari NU yang didirikan tahun 1957. Salah satu yang menjadi peran sentral Mbah Baidlowi dalam sejarah Indonesia adalah ketika fatwanya di tahun 1953 memberikan legitimasi kuat kepada Soekarno sebagai presiden atau pemimpin yang sah di Indonesia. Bidang politik tampaknya menjadi hal yang sangat biasa bagi kiai tradisional ini. Tahun 1952 ketika NU secara resmi keluar dari partai Masyumi, Mbah Baidlowi termasuk dalam kelompok yang setuju pengunduran NU dari partai yang dibentuk zaman penjajahan Jepang ini. Bahkan pemikiran Mbah Baidlowi yang cenderung terbuka dan apa adanya, menyatakan secara jelas di depan masyarakat Lasem bahwa ia tetap konsisten berada di organisasi NU. Fakta ini telah menunjukka peran spiritual dan sosial yang dibawa oleh Mbah Baidlowi semasa hidupnya. Terlepas dari itu ia masih tetap konsisten menjalankan peran ilmiahnya sebagai pengasuh pesantren di Lasem. Daftar Pustaka Sumber Buku: Barton, Gerg. (2008) Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKis. Fadeli, H. Soeleiman dan Subhan, Muhammad. (2007) Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah. Surabaya: Khalista. Fattah, M. Munawwir Abdul. (2006) Tr a d i s i O r a n g - O r a n g N U .
197
Pemikiran Dan Kesederhanaan: Biografi Kh. Baidlowi Bin Abdul Aziz
Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Feally, Gerg. (2007) Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952 – 1967. Yogyakarta: LKis. Hadi, Murtadho. (2009) Jejak Spiritual Abuya Dimyati. Jogjakarta: Pustaka Pesantren. Hanun, Asrahah dkk. (2002) Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan, dan Pelembagaan. Jakarta: DepartemenAgama RI-INCIS. Hasan, Abdul Halim, et.al. (1994) Menapak Jejak Mengenal Tokoh. Jakarta: Yayasan Saifudin Zuhri. Hasyim, Muhammad dan Athoillah, Ahmad. (2009) Khazanah Khatulistiwa, Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-Kiai Nusantara. Babat: Kakilangit. R.M. Panji Khamzah, Carita Lasem. Tanpa Kota: Tanpa Penerbit. Tanpa Tahun. Suseno, Magnis. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. PT. Gramedia: Jakarta.
SumberArsip: Arsip pribadi Al-Haj Mudloffar Fathurrohman. Mengenal Thoriqoh: Panduan Pemula Mengenal Jalan Menuju Allah Ta'ala Arsip pribadi Al-Haj Mudloffar Fathurrohman. Silsilah Bani Shiddiq Jember Arsip pribadi Al-Haj Mudloffar Fathurrohman. Silsilah Al Lasimiyah
Sumber Koran atau Majalah: Soera Moeslimin Indonesia, No. 3 ( 1 Pebroeari 2604 / 6 Safar 1363). Gema Muslimin, Th.1 (April 1954). Chalid, Idam. “Soal Walijjul Amri:”, dalam Gema Muslimin , Th.1 (April 1954). Noeh, Ahmad Zaini. “Waliyul Amri Dharuri bis Syaukati; Antara Fakta, Historis, dan Politik”, dalam Panji Mas, No. 456 Th. 1985.
Thomafi, M. Luhfi. (2007) MBAH MA'SHUM LASEM; The Authorized Biography of KH. Ma'shum Ahmad. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Kompas, 31 Maret 2012.
Zamjani, Irsyad.. (2009) Sekularisasi Setengah Hati: Politik Islam Indonesia dalam Periode Formatif. Jakarta: Dian Rakyat.
1.
198
Sumber Wawancara: KH. Abdul Hamid Baidlowi, Pengasuh pesantrenAl-Wahdah. Putera bungsu KH. Baidlowi. Usia : 74 Tahun Alamat : Desa Sumber Girang Kec. Lasem Kab. Rembang
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 2, No.2 Juni 2013 2.
KH. Maimun Zubair, Pengasuh PesantrenAl-Anwar. Santri dan menantu KH. Baidlowi. Usia : 84 Tahun Alamat : S a r a n g , Rembang.
Gus Novi (Abu Hizqil) Cucu KH. Baidlowi Usia : 45 Tahun Alamat : Desa Sumber Girang Kec. Lasem Kab. Rembang
3.
4.
Tolibin Rembang. Usia : 68 Tahun Alamat : Pondok Pesantren Roudhotut Tholibin, Rembang 5.
M. Luthfi Thomafi, pengasuh pesantrenAl-Hamidiyah. Penulis buku “Biografi Mbah Ma'shum Lasem”. Usia : 45 Tahun Alamat : Desa Soditan Kec. Lasem Kab. Rembang
KH. Mustofa Bisri Pengasuh Pesantren Roudlotut
199