PEMIKIRAN ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI TENTANG ASMA’ DAN SIFAT ALLAH NASKAH PUBLIKASI DiajukanKepada: Program Studi Magister Pemikiran Islam UniversitasMuhammadiyah Surakarta untukMemenuhi Salah SatuSyaratGunaMemperoleh Gelar Magister Pemikiran Islam
Oleh:
IKMAL FAHAD NIM : O 000080013 PROGRAM STUDI MAGISTER PEMIKIRAN ISLAM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013
ABSTRAK Penelitian ini mengangkat judul “Pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ tentang AsmÉ’ dan ØifÉt Allah ”. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran deskriptif yang lebih jelas tentang pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan Asy‟ariyah tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah serta apa yang melatarbelakangi dan membedakan pemikiran keduanya. Proses penelitian ini bersifat kualitatif yang dikembangkan dalam sebuah metode penelitian ilmiah. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif, analitis kritis, dan perbandingan. Data-data yang diperoleh kemudian dideskripsikan serta dianalisa dengan pendekatan kategorisasi dan perbandingan. Pendekatan sosiologis dan historis digunakan untuk mengungkap hal-hal yang melatarbelakangi pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dengan melihat sejarahnya. Hasil penelitian yang dapat disimpulkan dari “Pemikiran Abu al-×asan alAsy‟arÊ tentang AsmÉ’ dan ØifÉt Allah ” adalah sebagai berikut: 1) Abu al×asan al-Asy‟arÊ mengimani dan menetapkan semua asmÉ’ Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah. Ia juga menolak pertentangan dalam polemik tentang al-ismu (nama) dan musammÉ (yang dinamai), baginya alismu adalah untuk musammÉ, sedangkan keyakinan bahwa al-ismu adalah selain musammÉ adalah kesesatan dalam beragama, sehingga perdebatan dalam masalah ini adalah kebidahan. 2) Ia menetapkan semua ÎifÉt Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah serta memperlakukannya sesuai makna lahirnya dengan tanpa melakukan takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, dan ta’wÊl. Sehingga ia menetapkan semua ÎifÉt żÉtiyah bagi Allah seperti ÎifÉt ilmu, wajah, dua mata, dua tangan, dan jari-jari. Ia juga menetapkan semua ÎifÉt fi’liyah bagi Allah seperti ÎifÉt al-qabÌah, al-istiwÉ’, al-ityÉn, al-majÊ’, dan al-nuzËl. Dalam penetapannya terhadap ÎifÉt tersebut, ia menegaskan keharusan menetapkannya dengan tanpa melakukan tamtsÊl dan takyÊf. 3) Asy‟ariyah berpendapat bahwa asmÉ’ Allah adalah qadÊm sebagaimana ÎifÉt-Nya, ia bukanlah makhluk dan ia adalah zat-Nya sendiri, hanya saja penamaan (al-tasmiyyah) maka itu adalah makhluk. 4) Asy‟ariyah berpendapat bahwa kewajiban pertama bagi setiap mukalaf adalah pengenalan atas Allah terkait dengan apa yang wajib ditetapkan atas-Nya, apa yang mustahil, dan apa yang boleh dari ÎifÉt-Nya yang berjumlah 20. 5) Asy‟ariyah menetapkan seluruh ÎifÉt Allah melalui akal sehingga mereka menafikan semua ÎifÉt khabariyah bagi Allah , baik yang berupa ÎifÉt żÉtiyah maupun ÎifÉt fi’liyah, melainkan hanya tujuh ÎifÉt yang mereka sebut dengan ÎifÉt ma’ÉnÊ. Selain dari tujuh ÎifÉt ma’ÉnÊ di atas, maka harus ditakwilkan atau diserahkan kepada Allah (tafwÊÌ). Kesimpulan yang dihasilkan adalah adanya perbedaan antara pemikiran akidah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan Asy‟ariyah, yang membawa implikasi pada adanya perbedaan pemikiran dalam mengimani asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Ini merupakan fakta yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian (diskrepansi) dalam penisbatan Asy‟ariyah kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ. Kata Kunci: Pemikiran, AsmÉ’ dan ØifÉt Allah , dan Asy‟ariyah
ABSTRACT In this study the title "Thinking Abu al-×asan al-Asy'arÊ about asmÉ’ and ÎifÉt Allah " is raised. The purpose of this research is to get a clearer of the descriptive in thinking Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite about asmÉ’ and ÎifÉt Allah . It can get distinguishes the background and thinking both in terms of faith in general and specifically in asmÉ’ thing and Allah‟s ÎifÉt. This is a qualitative research process is the research library (library research) that developed in a scientific research method. The comparative approach was used to compare the views of Abu al-×asan al-Asy'arÊ with other views associated with the specified theme. The sociological and historical approach also used to state the reasoning behind the Abu al-×asan al-Asy'arÊ by looking at its history. The results of this research can be inferred from the "Thought Abu al×asan al-Asy'arÊ" are as follows: 1) Abu al-×asan al-Asy'arÊ’s about asmÉ’ and ÎifÉt Allah faith and determine all asmÉ’ Allah as established by the Qur'an and the Sunnah. He also rejected the contention in the debate about al-ismu (name) and musammÉ (named), her al-ismu (name) is to musammÉ (named), while the belief that al-ismu (name) is besides musammÉ (named) is heresy in religion, so that the debate on this issue is heresy. 2) He sets all ÎifÉt Allah as established by the Qur'an and Sunnah and also treat it in suitable with the original meaning without doing takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, and ta’wÊl. So he determine all ÎifÉt żÉtiyah for Allah like ÎifÉt science, face, two eyes, two hands, and fingers. He also set the all ÎifÉt fi'liyah for Allah like ÎifÉt al-qabÌah (grasping), al-istiwÉ', al-ityÉn, almajÊ', and al-nuzËl. In his decision about ÎifÉt, he asked the necessity to define without tamtsÊl and takyÊf. 3) AsmÉ’ Ash'arite give an opinion that 'Allah is qadÊm ÎifÉt as his character, he is not a creature, and he is his own agent, only naming (al-tasmiyyah) then it is a creature.it meant of the naming is asmÉ’ Allah itself. 4) Ash'arite opinion is the first obligation of every mukalaf is recognition of Allah (ma'rifatullah) related to what is required to set upon him, Allah what is impossible, and what is allowed of his ÎifÉt totaling 20. 5) So they determine all set the whole ÎifÉt Ash'arite God through reason, thinking or logical , either in the form ÎifÉt żÉtiyah and ÎifÉt khabariyah for Allah and ÎifÉt fi'liyah, but only seven ÎifÉt they called by ÎifÉt ma'ÉnÊ. Beside from the seven ÎifÉt ma'ÉnÊ above, it should be deciphered (ditakwilkan) or submitted to Allah . The conclude is there are a lot of difference between thinking creed Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite thinking in directly the implications for differences in faith asmÉ’ thinking 'and ÎifÉt Allah . In fact that indicates the discrepancy in Ash'arite attribution to Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite‟s. Keywords: Thought, AsmÉ’ and ØifÉt Allah
ِب ِب ِب ا َّرال ْس َم ِب َّرالِب ْس ِب ْس Sudah menjadi sunnatullÉh al-kauniyah terjadinya perselisihan (ikhtilÉf) dan perpecahan (iftirÉq) ditengah kaum muslim sebagaimana terjadi di tengah Bani Israil. Nabi menegaskan hal ini dalam banyak sabdanya, di antaranya: “Yahudi terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, NaÎrani terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan”. Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Dan sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 akan masuk Neraka dan yang satu akan masuk Surga yaitu al-jamÉ’ah ”. Dalam riwayat TurmużÊ, disebutkan dengan lafal: “Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yaitu yang berjalan di atas jalan yang aku bersama para sahabatku berada diatasnya”. Hanya saja tercerai berainya umat Islam belumlah terjadi di masa Nabi karena semua perselisihan yang terjadi mendapatkan penyelesaian melalui wahyu yang ketika itu masih turun. Di masa ke-khilÉfah-an Abu bakar, „Umar, dan „UtsmÉn , kaum muslim masih dalam satu persatuan dan pemahaman keislaman. Hingga di masa akhir khalifah „UtsmÉn dan awal ke-khilÉfah-an „AlÊ mulai bermunculanlah kebidahan dalam hal ibadah dan perselisihan dalam masalah uÎËlu al-dÊn dan keimanan yang mengakibatkan mulai bermunculannya firqah dalam Islam. Adalah firqah KhawÉrij kemudian firqah SyÊ‟ah dan diikuti oleh firqah-firqah yang lain seperti Murji‟ah, Mu‟tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Asy‟ariyah, MÉturÊdiyah, al-Nusuk (Tasawuf) dan lain-lain. Sehingga dari sini semakin tajamlah perpecahan dan perselisihan di tengah umat Islam, mengingat
setiap firqah memiliki uÎËl yang mereka pertahankan. Hal ini merupakan bukti kebenaran apa yang disabdakan oleh Nabi di atas. Secara lebih khusus, Nabi telah menjelaskan jalan keluar dari perselisihan yang terjadi di tengah umat sepeninggalnya. Beliau bersabda: “Sesungguhnya siapa saja yang hidup setelahku ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para al-KhulafÉ' al-RÉsyidÊn yang mendapatkan petunjuk setelahku dan gigitlah ia dengan gigi geraham”. Ibnu Abbas juga meriwayatkan sabda Nabi : “Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua hal yang kalian tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: kitab Allah dan sunnahku”. Dua hadis diatas menjelaskan bahwa perselisihan di tengah umat Islam merupakan suatu keniscayaan dan jalan keluar darinya adalah dengan berpegang teguh dengan sunah beliau dan para sahabatnya. Syaikh „Abdullah al-GhunaimÉn menjelaskan bahwa sebab perselisihan dan perpecahan ditengah umat Islam disebabkan oleh dua sebab utama, yaitu: Pertama, Sebab-sebab dari dalam umat Islam, di antaranya; 1) memperturutkan hawa nafsu yang mendorong manusia untuk menyimpang dari kebenaran dan menolaknya, 2) kebodohan hal ini penyebab utama seseorang jatuh pada kebidahan dan perselisihan, 3) sikap melampaui batas (al-ghuluw dan al-ifrÉÏ), hal ini adalah sebab yang mendorong terjadinya iftirÉq dalam Islam, 4) ta’wÊl terhadap nas-nas syariat dengan tanpa dalil, 5) menjadikan akal sebagai tolok ukur dalam menerima nas-nas syariat.
Kedua, Sebab-sebab dan pengaruh dari luar umat Islam, di antaranya; 1) futËÍÉt islÉmiyah, hal ini menyebabkan infiltrasi budaya dan pemikiran dari luar Islam, 2) banyaknya umat lain yang masuk Islam dalam keadaan belum bersih akidah, sehingga menimbulkan pengaruh dalam pemahaman keislaman, 3) penerjemahan kitab-kitab filsafat dan mantik (logika) Yunani (ilmu kalÉm), serta usaha untuk mempelajari dan mendalaminya, 4) masuk islamnya sebagian misionaris Yahudi, NaÎrani, atau agama lain dengan tujuan untuk merusak Islam. Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn menambahkan, bahwa perpecahan di tengah umat Islam disebabkan pula oleh beberapa hal, di antaranya; 1) makar dan tipu daya dari musuh-musuh Islam untuk memecah-belah mereka, 2) fenomena fanatisme (ta’aÎÎub) kepada mazhab atau golongan tertentu, 3) tidak diindahkannya kebidahan dan kesesatan hingga tersebar luas di masyarakat, 4) peremehan terhadap Ïalabu al-’ilmi syar’i berdasarkan manhaj salaf, 5) penerimaan atas semua pemikiran yang masuk dalam Islam tanpa menimbang kebenarannya dengan Alquran dan sunah, dan 6) tidak optimalnya amar ma’ruf nahi munkar. Dua pendapat di atas diakui pula oleh Harun Nasution. Ia menuturkan, bahwa diantara yang menimbulkan perpecahan umat islam adalah banyaknya terjadi kontak kaum muslim
dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-
pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sehingga dari sinilah mulai bermunculan paham-paham yang berseberangan dengan Islam seperti Qadariyah, Jabariyah atau yang dikenal dengan Fatalis, dan Mu‟tazilah. Kontak dengan filsafat Yunani ini membawa kepada pemujaan terhadap akal ke dalam Islam. Kaum Mu‟tazilah dalam hal ini adalah yang banyak terpengaruhi
sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam pemikiran teologi mereka banyak dipengaruhi oleh daya akal atau ratio dan teologi mereka memiliki corak liberal. Pada perkembangannya, penggunaan akal telah dipergunakan oleh Mu‟tazilah untuk memahami tentang keimanan (IlÉhiyyÉt) dan mereka tidak lagi menggunakan nas (dalil) sebagai pijakan dalam memahaminya. Di antara pendapat yang mereka sebarkan sejak masa pendahulu mereka, WÉÎil bin „AÏÉ‟, yaitu penafian terhadap sifat-sifat Allah dan mereka berkeyakinan bahwa Allah tidak mempunyai sifat. Hal itu tidaklah mengherankan karena menurut mereka pemberian sifat kepada Allah membawa kepada kesyirikan atau politeisme. Menurut mereka, hal tersebut membawa pengertian bahwa yang bersifat qadÊm (permulaan) akan banyak, maka untuk memelihara tauhid atau kemahaesaan Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan memiki sifat. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi Tuhan itu sendiri. Pemikiran-pemikiran rasional Mu‟tazilah dalam masalah teologi ini terus dibawa dan disebarkan oleh para penerusnya seperti; Abu Hużail al-„AllÉf, alNaÐÐÉm, al-Murdar, al-JÉÍiÌ, al-JubÉ‟i, al-KhayyÉÏ, Abu HÉsyim, dan lain-lain. Di antara pembesar Mu‟tazilah ketika itu adalah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ yang merupakan murid besar dari al-JubÉ‟Ê. Abu al-×asan al-Asy‟arÊ pada perkembangan pemikiran dan pemahaman teologinya ia berbalik menyerang ideologinya yang dahulu ia pegangi yaitu Mu‟tazilah. Di antara yang ia tolak dari teologi Mu‟tazilah adalah penafian terhadap sifat Allah . Ia mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat dan tidak
mungkin ia mengetahui dengan esensi-Nya, maka Tuhan harus mengetahui dengan sifat-Nya. Hanya
saja
para
ulama
menjelaskan
bahwa
pada
masa
awal
penentangannya terhadap Mu‟tazilah, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ sebenarnya masih dalam kegoncangan antara pemikiran teologinya yang lama yaitu Mu‟tazilah yang mana telah terwariskan pada dirinya ilmu mantik (logika) dan kecondongannya kepada Ahlusunah waljamaah atau AÎÍÉb al-×adÊts dan iapun jatuh pada pemahaman KullÉbiyah. Sehingga dalam penetapan sifat-sifat bagi Allah , ia hanya menetapkan tujuh sifat bagi Allah yang ia anggap sesuai dengan akal manusia. Adapun Îifat khabariyah tentang Allah iapun menakwilkannya. Apa yang dicetuskan oleh al-Asy‟arÊ ketika itu tersebar ditengah masyarakat dan menjadi titik awal berkembangnya teologi Asy‟ariyah. Sikap sejalan dengan Abu al-×asan al-Asy‟arÊ juga dilakukan oleh Abu ManÎËr alMÉtËridÊ (w. 333 H) dimana dalam banyak hal ia sepaham dengan al-Asy‟arÊ terutama dalam masalah penetapan Îifat bagi Allah dan iapun menentang Mu‟tazilah. Dalam penetapan Îifat Allah ia sejalan dengan al-Asy‟arÊ yaitu menggunakan akal sebagai tolok ukur, dan ia menambahkan 13 sifat tambahan bagi Allah selain apa yang diprakarsai oleh al-Asy‟arÊ sehingga genaplah menjadi 20 sifat bagi Allah . Inilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi Allah yang wajib diyakini menurut AsyÉ'irah. Dalam perkembangannya, mazhab ini berkembang ditengah masyarakat dan diterima oleh mayoritas kaum muslim di kala itu. Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dalam perjalanan pemikirannya tidaklah berhenti sampai disitu, namun ia
kemudian menyadari bahwa apa yang ia yakini dan ia tetapkan sebelumnya adalah keliru dan iapun mengakui bahwa akidah yang ia yakini sebelumnya adalah keliru dan ia menyatakan bahwa akidah yang benar adalah apa yang Imam AÍmad bin Hanbal berada diatasnya, terutama dalam masalah asmÉ’ dan ÎifÉt karena pada sisi itulah terjadi perpecahan dan perdebatan dalam dunia ilmu kalÉm. Ibnu KatsÊr (w. 774 H) berkata, „Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abu al-×asan al-Asy‟arÊ memiliki tiga fase pemikiran: Pertama, mengikuti pemikiran Mu‟tazilah yang kemudian beliau keluar darinya, Kedua, menetapkan tujuh ÎifÉt aqliyyah, yaitu; HayÉt, ’Ilmu, Qudrah, IrÉdah, Sama’, BaÎar, dan KalÉm, dan beliau menakwil ÎifÉt khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak kaki, betis, dan yang semisalnya. Ketiga, menetapkan semua Îifat Allah tanpa takyÊf dan tasybÊh sesuai manhaj para salaf, inilah jalan yang ia pilih dalam kitabnya yang berjudul al-IbÉnah yang merupakan akhir karangannya‟. Abu al-×asan al-Asy‟arÊ berkata bahwa, “Pendapat yang kami pegang dan agama yang kami yakini adalah berpegang kepada kitab Rabb kami dan sunah Nabi kami dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi‟in, dan para imam hadis. Kami berpegang kepada semua itu dan kami mengatakan apa yang diucapkan oleh Abu „Abdillah AÍmad bin MuÍammad bin ×anbal -semoga Allah mengangkat derajatnya dan mengagungkan pahalanya-. Kami menyelisihi pendapat yang menyelisihi ucapannya, karena ia adalah imam yang agung, pemimpin yang mulia, yang dengannya Allah menjelaskan kebenaran dan menepis kesesatan orang-orang yang ragu. Semoga Allah melimpahkan rahmat atasnya”. Ucapan al-Asy‟arÊ di atas menunjukkan pertaubatannya dari akidah
yang sebelumnya ia yakini dan pernyataannya atas kebenaran mazhab Ahlusunah waljamaah atau AÎhÉb al-HadÊts, yang mana sosok Imam AÍmad bin ×anbal di kala itu diakui sebagai salah seorang pembawa benderanya. Meski demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh al-Asy‟arÊ sebelum ia kembali kepada manhaj yang Íaq, hingga kini masih bergulir dan digeluti oleh banyak kaum muslim. Hal yang paling menonjol adalah penetapan 7 sifat wajib bagi Allah yang kemudian dikembangkan oleh mutaakhirÊn Asy‟ariyah sehingga menjadi 20 sifat dan penakwilan ÎifÉt khabariyah. Inilah yang kemudian menjadi akidah Asy'ariyah dalam penetapan ÎifÉt Allah . Dalam perkembangannya, pemikiran kalÉm Asy'ariyah telah melewati masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan Ahlusunah waljamaah, terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir memasukkan prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantik (logika) dan ilmu kalÉm. Pergeseran inilah yang menyebabkan rentannya mazhab Asy‟ariyah untuk tersusupi pemikiran-pemikiran batil. Dan secara umum mereka sejalan dengan Ahlusunah waljamaah dalam beberapa masalah akidah, dan berbeda dalam beberapa perkara akidah lainnya. Perberkembang pesat mazhab Asy'ariyah menjadikannya sebagai mazhab kalÉm tersendiri yang tersebar ke banyak negeri Islam dan menjadi mazhab kebanyakan dari kaum muslim. Dari sinilah awal munculnya klaim bahwa mereka adalah golongan yang berada di atas kebenaran (Íaq) dan mereka adalah representasi dari Ahlusunah waljamaah.
Di Indonesia, pemikiran kalÉm Asy'ariyah diajarkan secara mendalam di kebanyakan pesantren tradisionalis yang pada umumnya mengajarkan fikih mazhab SyÉfi‟Ê dan akidah Asy‟ariyah. Lebih dari itu akidah Asy‟ariyah juga telah merambah ke kurikulum pendidikan Agama Islam Departemen Agama. Tidak hanya sampai di sini, setelah penulis memperhatikan penerjemahan Alquran di Indonesia, yang pada umumnya mengacu kepada terjemah Departemen Agama Republik Indonesia, di dalamnya terdapat penakwilan ÎifÉt khabariyah bagi Allah . Ini menunjukkan kekuatan pengaruh mazhab AsyÉ‟irah di bumi Indonesia. Apa yang telah dipaparkan dengan singkat diatas adalah pendorong utama bagi penulis untuk mencoba meneliti dan mendalami pemikiran asmÉ’ dan ÎifÉt Allah menurut Abu al-×asan al-Asy‟arÊ di akhir perjalanan keagamaannya, serta berusaha mendudukkannya dengan pemikiran Asy‟ariyah, mengingat pemikiran mereka tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah telah tersebar di tengah umat Islam dan terkesan bahwa pemikiran tersebut adalah akhir dari pemikiran Abu al×asan al-Asy‟arÊ. Penulis meyakini diperlukannya suatu penelitian untuk menjelaskan kepada kaum muslim pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah ? Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut; 1) Bagaimanakah pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah ?, 2) Bagaimanakah pemikiran Asy‟ariyah tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah ? Nama lengkap beliau adalah Abu al-×asan „AlÊ bin IsmÉ‟Êl bin Abi Bisyr IsÍÉq bin SÉlim bin IsmÉ‟Êl bin „Abdullah bin MËsÉ bin BilÉl bin Abi Burdah bin
Abi MËsÉ „Abdullah bin Qais bin ×aÌar al-Asy‟arÊ al-YamanÊ . Ia dilahirkan di kota BaÎrah, Iraq pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang mencintai ilmu dan sederhana sehingga zuhud dan warÉ‟ adalah dua sifat yang menonjol darinya. Aktifitas ilmiah mengitari kehidupan al-Asy‟arÊ, di mana ia menyibukkan diri dengan mencari ilmu. Di antara gurunya yang terpenting adalah ayah tirinya, Abu „AlÊ MuÍammad bin „Abd al-Wahhab al-JubÉ‟Ê al-Mu‟tazÊlÊ dan Zakariya bin YaÍyÉ al-SÉjÊ al-SyÉfi‟Ê yang darinyalah ia mengambil ilmu uÎËl al-ÍadÊts dan mempelajari mazhab Salaf khususnya dalam masalah Îifat Allah . Dan di antara murid-murid beliau adalah: Ibnu MujÉhid MuÍammad bin AÍmad
bin
MuÍammad bin Ya‟qËb dan Abu al-×asan al-BÉhilÊ (keduanya adalah guru alBÉqilÉnÊ dan Ibnu al-Faurak) Abu al-×asan al-Asy‟arÊ adalah seorang ulama yang produktif, ia menyibukkan diri dengan menulis banyak karya ilmiah pada setiap disiplin ilmu yang ia kuasai. Karya beliau mencapai 98 judul, yang tercetak dan tersebar di tengah kaum muslim tidak lebih dari empat buah judul yaitu; 1) Al-Luma’ fÊ alRaddi ’ala Ahli al-Zaighi wa al-Bida’, 2) RisÉlatun ilÉ Ahli al-Tsaghr, 3) MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-MuÎallÊn, dan 4) Al-IbÉnah ’an UÎËli aDiyÉnah, kitab ini adalah kitab yang penting yang di dalamnya ia menerangkan apa yang menjadi akidah yang ia pegangi di akhir perjalanan hidup beliau. Perkembangan iktikad Abu al-×asan al-Asy‟arÊ melalui tiga marÍalah (fase) sebagaimana yang diterangkan oleh ulama, yaitu:
Fase Awal iktikad al-Asy‟arÊ, ia mengikuti pemikiran Mu‟tazilah. Hal ini dikarenakan sejak kecil sampai usia beliau empat puluh tahun berada dalam didikan bapak tirinya, Abu „AlÊ MuÍammad bin „Abd al-WahhÉb al-JubÉ‟Ê alMu'tazilÊ. Ketika genap umur beliau 40 tahun, ia meninggalkan pemikiran i’tizÉlnya. Adapun sebab keluarnya Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dari Mu‟tazilah ada dua sebab asasi sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu „AsÉkir; Pertama, Beliau bermimpi bertemu Nabi , yang memerintahkannya untuk mengikuti Alquran dan sunah. Kedua, Pertanyaan-pertanyaan dan munÉqasyah (diskusi) antara alAsy‟arÊ dengan para gurunya dari kalangan Mu‟tazilah, akan tetapi ia tidak mendapatkan jawaban yang menentramkan hatinya. Fase Kedua iktikad al-Asy‟arÊ berada di atas pemikiran KullÉbiyah. Ia mulai membantah Mu‟tazilah dengan berpijak kepada pemikiran KullÉbiyah dibawa oleh Abu MuÍammad „Abdullah bin Sa‟Êd bin KullÉb al-BaÎrÊ. Pada fase kedua ini, ia hanya menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah/ lÉzimah yang bersifat azali bagi Allah , yaitu: al-ÍayÉh (hidup), al-‘ilmu (ilmu), al-qudrah (kemampuan), al-irÉdah (kehendak), al-kalÉm (berfirman), al-sama’ (mendengar), dan al-baÎar (melihat). Pendapat ini berasal dari pendapat Ibnu KullÉb, hal ini sebagaimana diakui sendiri oleh al-Asy‟arÊ dalam MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, Jilid II, h. 546. Adapun sikapnya terhadap Îifat ikhtiyÉriyah dan ÎifÉt khabariyah bagi Allah adalah dengan menakwilkannya. Fase Ketiga yaitu kembalinya Abu al-×asan al-Asy‟arÊ kepada mazhab Salaf Ahlusunah waljamaah dan meninggalkan pendapat KullÉbiyah. Setidaknya ada lima fakta yang membuktikannya, yaitu; 1) persaksian ulama ahlu taÍqÊq
terdahulu sampai sekarang atasnya, 2) perjumpaan Beliau Dengan al-HÉfiÐ Zakaria al-SÉjÊ yang mana ia mengambil uÎËl Ahlusunah dan Hadis darinya demikian pula Abu MuÍammad al-BarbahÉri al-×anbalÊ yang merupakan ahli hadis dan fikih yang merupakan sahabat imam AÍmad bin ×anbal, 3) penulisan kitab al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah yang merupakan karya terakhir al-Asy‟arÊ dan di dalamnya berisi persaksian atas iktikad akhir yang ia yakini yaitu iktikad Ahlusunah waljamaah salaf saleh aÎÍÉbu al-ÍadÊts sebagaimana ia ber-intisÉb kepada imam AÍmad bin ×anbal, 4) perbedaan yang sangat jelas dalam hal metode bayÉnÊ dan burhÉnÊ pada fase kedua dan fase ketiga iktikad al-Asy‟arÊ. Perbedaan yang paling menonjol adalah dalam metode istidlÉl, pada kitab alLuma’ dan IstihsÉnu al-×auÌi fÊ ‘Ilmi al-KalÉm, ia mengikuti pemikiran Ibnu KullÉb dan menetapkan sifat lÉzimah bagi Allah serta mengingkari ÎifÉt ikhtiyÉriah-Nya. Hal serupa tidak terjadi pada kitab RisÉlatun ilÉ Ahli Tsaghr, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-MuÎallÊn, dan al-IbÉnah ’an UÎËli alDiyÉnah yang merupakan buah karyanya di fase akhir perkembangan iktikadnya. Dalam ketiganya ia ber-istidlÉl dengan nas-nas Alquran, sunah, perkataan para salaf saleh, dan terkadang memberikan diskusi-diskusi logis untuk menjatuhkan syubuhÉt firqah-firqah di luar Ahlusunah waljamaah, 5) pernyataan al-Asy‟arÊ bahwa dia mengikuti mazhab Ahlu al-×adÊts Ahlusunah waljamaah sebagaimana iktikad imam AÍmad bin ×anbal sebagaimana termaktub dalam dua karyanya; MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-MuÎallÊn, dan al-IbÉnah fÊ UÎËli alDiyÉnah.
Penisbatan al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah kepada al-Asy‟arÊ adalah suatu hal yang jelas berdasarkan argumentasi-argumentasi yang tidak terbantahkan. Mengenai pengingkaran atas penisbatan kitab al-IbÉnah kepada al-Asy‟arÊ, maka persaksian ulama yang mengetahui kehidupan al-Asy‟arÊ adalah cukup sebagai sanggahan atas pengingkaran tersebut. Di antara mereka adalah Ibnu NÉdim (w. 385 H), seorang muarrikh yang paling dekat masa hidupnya dengan al-Asy‟arÊ. Ketika ia menuliskan biografi al-Asy‟arÊ dan menyebutkan karya–karyanya, di antaranya kitab al–TabyÊn ‘an UÎËl al-DÊn (judul ini semakna dengan al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah). Hal serupa juga dipersaksikan oleh Ibnu „AsÉkir, ia menegaskan bahwa kitab al-IbÉnah adalah karya al-Asy‟arÊ dalam kitabnya TabyÊn Każibi al-MuftarÊ. Ibnu Darbas (w. 659 H) mengarang kitab yang ia beri judul al-Żabbu ‘an Abi al-×asan al-Asy’arÊ wa KitÉbihi al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah, ia berkata: “Ketahuilah bahwa kitab al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah adalah karya imam alAsy‟arÊ, dan ia merupakan tolok ukur bagi kebenaran penyandaran pendapat kepadanya, sehingga semua penisbatan pendapat kepada al-Asy‟arÊ yang tidak sesuai dengan isi kitab tersebut maka beliau berlepas diri darinya”. Kemudian Ibnu Darbas menyebutkan nama–nama ulama yang menegaskan keabsahan kitab al-IbÉnah sebagai karya akhir al-Asy‟arÊ. Sebagaimana pula keabsahan penisbatan kitab tersebut kepadanya ditetapkan oleh mayoritas ulama ahli taÍqÊq terdahulu maupun sekarang. Di antara mereka adalah: Ibnu Taimiyah, al-ŻahabÊ, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu KatsÊr, Ibnu FarÍun al-MÉliki, JalÉlu al-DÊn al-SuyËÏÊ, Ibnu al-„ImÉd, Sayyid al-MurtaÌÉ
al-ZabÊdÊ, al-HÉfiÐ al-×akamÊ, ×ammÉd al-AnÎÉrÊ, Dr. Fauqiyah ×usain, Dr. „AbdurraÍman al-BadawÊ, „AbdurraÍman bin ØÉliÍ bin ØÉliÍ al-MaÍmËd, Dr. NÉÎir bin „Abd al-KarÊm al-„Aql, dan Dr. ØÉlih Muqbil al-„UÎaimÊ. Kiranya uraian di atas cukup untuk menegaskan atas kebenaran penisbatan kitab
al-IbÉnah
kepada al-Asy‟arÊ dan semua pendapat yang disandarkan kepadanya yang tidak sesuai dengan isi kitab al-IbÉnah, maka beliau berlepas diri darinya. Kesungguhan ulama Ahlusunah dalam membahas dan menerangkan asmÉ’ dan ÎifÉt Allah dibangun di atas pengagungan terhadap nas-nas Alquran dan sunah, sehingga mereka mengimaninya sebagaimana datangnya dengan tanpa melakukan ta’ÏÊl, taÍrÊf, tamtsÊl, takyÊf, tafwÊÌ, atau ilÍÉd. Mereka meyakini bahwa nas-nas ÎifÉt merupakan wahyu dari Allah yang tidak dapat diketahui kaifiyat-nya dengan akal yang lemah serta boleh jadi tersisipi dalam batin-batin mereka suatu keburukan sehingga menyeret mereka untuk berbicara atas Allah pada apa yang tidak mereka ilmui. Mereka mendahulukan sikap ta'ÐÊm dan taslÊm terhadap semua berita yang datang dari Allah dan Rasul-Nya , termasuk dalam memahami asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Secara ringkas, mereka menetapkan asmÉ’ dan ÎifÉt berdasarkan Alquran dan sunah, dengan tidak melakukan ta’ÏÊl, taÍrÊf, ta’wÊl, tamtsÊl, takyÊf, atau ilÍÉd, menafikan semua asmÉ’ dan ÎifÉt yang Allah nafikan dari Diri-Nya dalam Alquran dan sunah, dan menyikapi asmÉ’ dan ÎifÉt Allah yang diperselisihkan oleh umat Islam karena tidak ada nas yang bersifat itsbÉt ataupun nafyu dengan tawaqquf, tidak menetapkan dan tidak menolaknya.
Pemikiran seorang tokoh dapat diketahui di antaranya melalui karyakaryanya, pemikirannya yang diriwayatkan oleh orang-orang semasanya, baik dari kawan atau lawannya, demikian pula penelitian-penelitian sejarah terkait dengan kehidupan
tokoh
tersebut.
Pemikiran
Abu
al-×asan
al-Asy‟arÊ
yang
mencerminkan akidah beliau yang terakhir ia tuangkan dalam tiga karyanya, yaitu: RisÉlatun ilÉ Ahli
al-Tsaghr, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfi al-
MuÎallÊn, dan al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah. Dalam menjelaskan akidah dan di antaranya kajian tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah , al-Asy‟arÊ berjalan di atas manhaj yang dapat diketahui dengan meneliti tiga karyanya di atas. Secara ringkas, manhaj yang beliau pegang dalam mengambil akidah adalah sebagai berikut: 1) berpegang teguh terhadap Alquran dan sunah, 2) wajibnya meninggalkan perbuatan bidah dan para pelakunya, 3) meninggalkan aljadal (debat), al-mirÉ’ (pertentangan), dan al-khuÎËmatu fÊ al-dÊn (bertengkar dalam masalah agama), 4) berpegang pada hadis-hadis yang sahih, 5) berpegang dengan manhaj salaf Ahlusunah waljamaah, dan 6) Al-Asy‟arÊ menjelaskan akidah dengan metode bayÉnÊ dan burhÉnÊ yang tepat. Asy‟ariyah adalah kelompok dari Ahlu al-KalÉm yang menisbatkan diri kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dalam masalah akidah, hanya saja penisbatan mereka tidaklah secara adil karena penisbatan mereka kepada al-Asy‟arÊ tidaklah tercermin melainkan pada fase kedua dari pemikiran al-Asy‟arÊ yaitu ketika ia memegang pemikiran KullÉbiyah, sehingga sebagian ulama menyebut Asy‟ariyah dengan KullÉbiyah. Sedangkan mereka yang menisbatkan diri kepada Abu al×asan al-Asy‟arÊ sebagaimana fase akhir pemikiran beliau yang tertuang dalam
karyanya yang akhir yaitu al-IbÉnah, maka tidaklah disebut dengan Asy‟ariyah namun Ahlusunah waljamaah karena kesesuaian manhaj mereka dengan Ahlusunah waljamaah. Dalam perkembangan mazhabnya, Asy‟ariyah semakin jauh dari penisbatannya kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, hal tersebut disebabkan karena para tokoh mereka banyak memasukkan hal-hal baru dalam akidah yang mereka ambil dari uÎËl Mu‟tazilah, sehingga terjadi banyak pergeseran antara qudamÉ’ dan mutaakhirÊn Asy‟ariyah. Asy‟ariyah dalam menetapkan akidah berpegang pada manhaj berikut: 1) mengambil akidah hanya dari dalil-dalil yang mutawÉtir, 2) mendahulukan akal atas naqal, 3) mengingkari ÐÉhir dari nas dan meyakini makna majas darinya, bahkan mereka beranggapan bahwa mengambil makna lahir dari suatu nas adalah salah satu sumber kekafiran. 4) pokok (uÎËl) akidah menurut Asy‟ariyah ada tiga, yaitu sebagai berikut; pertama, yang hanya ditetapkan oleh akal saja dengan tanpa melihat kepada naqal, seperti sebagian besar ÎifÉt Allah ; oleh sebab itu mereka menyebut sifat tujuh yang mereka tetapkan dengan ÎifÉt ‘aqliyyah, kedua, yang hanya ditetapkan oleh naqal saja yaitu yang terkait dengan perkara gaib (alsam’iyyÉt), al-taÍsÊn wa al-taqbÊÍ (penilaian baik dan buruk), dan al-tasyrÊ’. ketiga, yang sumber penetapannya adalah akal dan naqal secara bersamaan –hal ini masih diperselisihkan oleh mereka- seperti melihat Allah di surga, hal ini ditetapkan akal sedangkan naqal adalah menguatkannya. Empat hal ini adalah pijakan Asy‟ariyah dalam membangun akidah mereka.
Perlu kiranya disebutkan akidah Asy‟ariyah secara ringkas sehingga dapat diketahui lebih jauh sisi distorsi antara akidah mereka dengan akidah al-Asy‟arÊ. Secara garis besar Asy’ariyah menetapkan akidah sebagai berikut: 1) keimanan adalah sekedar pembenaran (al-taÎdÊq) dan mereka tidaklah menetapkan perbuatan anggota tubuh (amalan) termasuk dari cabang keimanan, sehingga kekufuran tidaklah terjadi disebabkan karenanya, 2) Asy‟ariyah berakidah Jabariyah dalam permasalahan takdir, mereka tidak menetapkan al-irÉdah alsyar’iyyah, menurut mereka takdir datangnya dari Allah dan usaha (al-kasbu) dari manusia, dan al-kasbu ini tidak ada pengaruhnya sama sekali. Oleh sebab itu, menurut al-RÉzÊ, bahwa manusia adalah majbËr (dipaksa) dan mukhtÉr (diberi pilihan), 3) mengingkari sebab dan hikmah dalam perbuatan allah , menurut mereka, jika ditetapkan adanya sebab di balik perbuatan Allah berarti Allah tidaklah
berbuat
sekehendak-Nya.
Dengan
dasar
inilah
mereka
tidak
mencantumkan hikmah ke dalam tujuh sifat ma’ÉnÊ, dan mencukupkan dengan sifat irÉdah. Padahal hikmah mengharuskan adanya irÉdah dan ilmu serta lebih dari itu, 4) membatasi makna kalimat tauhid hanya pada tauhid rubËbiyyah, 5) nubuwwÉt (kenabian) adalah kembali kepada masyÊ’ah murni, dan tidak ada yang menjadi bukti kebenarannya melainkan hanya mukjizat, 6) wilÉyah (Kewalian) adalah karunia dari Allah (wahbiyyah), bukan sesuatu yang dapat diupayakan (muktasabah), dan dibuktikan dengan karÉmah, 7) penilaian baik dan buruk dengan menggunakan akal dan fitrah manusia, 8) kewajiban pertama seorang mukalaf adalah melihat (naÐar) kepada ayat-ayat yang tegas dan bukti-bukti logis (barÉhin ‘aqliyyah) yang jelas, sampai ia mengetahui dengan benar bahwa alam
semesta adalah baru (ÍudËts) demikian pula dirinya. Menurut mereka apabila seseorang berkata bahwa ia mengimani Allah melalui jalan ma’rifah fiÏriyyah dengan jalan selain naÐar, maka hakikatnya ia adalah seorang muqallid, bahkan sebagian mereka menguatkan pendapat atas kekafirannya. Sebagian yang lain menyatakan bahwa hal yang pertama yang wajib dikehui oleh seorang hamba adalah pengenalan terhadap Allah (ma’rifatullah) terkait apa yang wajib, apa yang boleh, dan apa yang mustahil bagi-Nya. Pengenalan yang mereka maksudkan adalah pengenalan dengan jalan akal (naÐar ’aqlÊ) atas Allah . Al-Asy‟arÊ mengimani dan menetapkan semua asmÉ’ Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah. Ia juga menolak pertentangan dalam polemik tentang al-ismu (nama) dan musammÉ (yang dinamai), baginya al-ismu adalah untuk musammÉ, sedangkan keyakinan bahwa al-ismu adalah selain musammÉ adalah kesesatan dalam beragama, sehingga perdebatan dalam masalah ini adalah kebidahan. Ia menetapkan semua ÎifÉt Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah serta memperlakukannya sesuai makna lahirnya dengan tanpa melakukan takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, dan ta’wÊl. Sehingga ia menetapkan semua ÎifÉt żÉtiyah bagi Allah seperti ÎifÉt ilmu, wajah, dua mata, dua tangan, dan jari-jari. Ia juga menetapkan semua ÎifÉt fi’liyah bagi Allah seperti ÎifÉt alqabÌah, al-istiwÉ’, al-ityÉn, al-majÊ’, dan al-nuzËl. Dalam penetapannya terhadap ÎifÉt tersebut, ia menegaskan keharusan menetapkannya dengan tanpa melakukan tamtsÊl dan takyÊf.
Pembelaannya terhadap akidah dan manhaj Ahlusunah waljamaah salaf saleh aÎÍÉbu al-ÍadÊts ia buktikan dengan memberikan bantahan (rudËd) atas argumentasi aÎÍÉbu al-firaq seperti Mu‟tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, KhawÉrij, RÉfiÌah, Murji‟ah dan selainnya yang menyimpang dalam hal akidah secara umum dan lebih khusus terkait dengan pemikiran asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . AlAsy‟arÊ mematahkan argumentasi mereka dengan dalil-dalil naqli dan akli dengan metode bayÉnÊ serta burhÉnÊ yang telah ia pelajari sebelumnya. Bahkan al-Asy‟arÊ menegaskan bahwa siapa saja yang menyimpang dari al-Íaq maka termasuk pelaku kebidahan (ahlu al-bida’), pengikut hawa nafsu (ahlu al-ahwÉ’), dan orang-orang yang menyimpang (ahlu al-zaighi). Dalam menetapkan asmÉ’ Allah , Asy‟ariyah berpendapat bahwa ia adalah qadÊm sebagaimana ÎifÉt-Nya. Pendapat ini pada dasarnya sama dengan pendapat Mu‟tazilah dari sisi kesamaan anggapan bahwa asmÉ’ Allah adalah makhluk (diciptakan). Mereka menyatakan bahwa asmÉ’ Allah bukanlah makhluk dan asmÉ’ Allah adalah zat-Nya sendiri, hanya saja penamaan (altasmiyyah) maka itu adalah makhluk. Tidak lain yang mereka maksudkan dari penamaan (al-tasmiyyah) adalah asmÉ’ Allah itu sendiri. Maka tampaklah kesesuaian mereka dengan Ahlusunah secara lahir namun dari sisi makna mereka sesuai dengan Mu‟tazilah. Asy‟ariyah berpendapat bahwa kewajiban pertama bagi setiap mukalaf adalah pengenalan atas Allah (ma’rifatullah) terkait dengan apa yang wajib ditetapkan atas-Nya, serta apa yang mustahil dan apa yang boleh dari ÎifÉt-Nya dengan mengenali dan mengimani ÎifÉt wajib yang berjumlah 20, mengenali 20
ÎifÉt yang mustahil bagi Allah yang merupakan kebalikannya, dan mengenali semua hal yang boleh bagi Allah . Øifat wajib berjumlah 20, mereka membagi menjadi empat; Pertama, Øifat Nafsiah yaitu WujËd (Ada). Kedua, ØifÉt Salbiyyah yaitu al-Qidam (Terdahulu), al-BaqÉ’ (Kekal), al-MukhÉlafatu li al-×awÉdÊtsi (Berbeda dengan Makhluk), QiyÉmuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri), dan al-WahdÉniyyah (Esa). Ketiga, ØifÉt Ma’ÉnÊ
yaitu
al-Qudrah (Berkuasa), al-IrÉdah
(Berkehendak),
al-‘Ilmu
(Mengetahui), al-HayÉh (Hidup), al-Sam’u (Mendengar), al-BaÎaru (Melihat), dan al-KalÉm (Berbicara). Keempat, ØifÉt Ma’nawiyyah yaitu Kaunuhu Qadiran (Senantiasa Berkuasa), Kaunuhu MurÊdan (Senantiasa Berkehendak), Kaunuhu „AlÊman (Senantiasa Mengetahui), Kaunuhu Hayyan (Senantiasa Hidup), Kaunuhu SamÊ’an (Senantiasa Mendengar), Kaunuhu BaÎÊran (Senantiasa Melihat), dan Kaunuhu Mutakalliman (Senantiasa Berbicara). Sedangkan ÎifÉt mustahil adalah ÎifÉt yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya. Sifat ini merupakan kebalikan dari ÎifÉt wajib yang juga berjumlah 20, yaitu al-‘Adam (Tidak Ada), al-HudËts (Baru), al-FanÉ’ (Binasa), al-MumÉtsalah li al-×awÉdÊtsi (serupa dengan makhluk), QiyÉmuhu bi Ghairihi (Berdiri Dengan yang Lain), al-Ta’addud (Berbilang), al-‘Ajzu (Lemah), al-KarÉhah (Terpaksa), al-Jahlu (Bodoh), al-Maut (Kematian), al-Øammu (Tuli), al-‘Umyu (Buta), al-Bukm (Bisu), Kaunuhu ‘AjÊzan (Senantiasa Lemah), Kaunuhu KarÊhan (Senantiasa Terpaksa), Kaunuhu JÉhilan (Senantiasa Bodoh), Kaunuhu Mayyitan (Senantiasa Mati), Kaunuhu AÎam (Senantiasa Tuli), Kaunuhu A’mÉ (Senantiasa Buta), Kaunuhu Abkamu (Senantiasa Bisu).
Asy‟ariyah menetapkan seluruh ÎifÉt Allah melalui akal tidak melalui naqal sehingga mereka menafikan semua ÎifÉt khabariyah bagi Allah yang terdapat dalam Alquran dan sunah, baik yang berupa ÎifÉt żÉtiyah maupun ÎifÉt fi’liyah, melainkan hanya tujuh ÎifÉt yang mereka sebut dengan ÎifÉt ma’ÉnÊ. Sedangkan selain dari tujuh ÎifÉt ma’ÉnÊ di atas, maka harus ditakwilkan atau diserahkan kepada Allah (tafwÊÌ). Hal ini adalah uÎËl yang disepakati oleh mutaÉkhirÊn Asy‟ariyah, adapun qudamÉ’ Asy‟ariyah sebelum Abu al-Ma„ÉlÊ alJuwainÊ, mereka menetapkannya. Di antara bentuk penakwilan Asy‟ariyah terhadap ÎifÉt żÉtiyah Allah adalah dengan menakwilkan ÎifÉt wajah dengan zat, dua tangan dengan kekuatan dan kenikmatan, dua mata Allah dengan penglihatan dan pengawasan. Sedangkan penakwilan mereka terhadap ÎifÉt fi’liyah Allah , maka di antaranya mereka menakwilakn istiwÉ’ dengan istÊlÉ’, kedatangan Allah pada hari Kiamat dengan datangnya ketetapan atau perintah atau azab-Nya, turunnya Allah dengan turunnya rahmat-Nya atau para malaikat, dan lain-lain. Penakwilan ini pada asalnya adalah penakwilan yang mereka ambil dari Mu‟tazilah. Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa secara umum terdapat banyak perbedaan secara jelas antara pemikiran akidah Abu al-×asan alAsy‟arÊ dan Asy‟ariyah, yang secara tidak langsung membawa implikasi pada perbedaan pemikiran dalam mengimani asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Ini merupakan fakta yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian (diskrepansi) dalam penisbatan Asy‟ariyah kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ.