Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh Zelfeni Wimra Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang
Abstract: The discourse on the existence and the Ulama’s acceptance of the theory of Nasakh has been debatable. Some of them are positive but some are negative. In this context, al-Naim introduces the theory of reformulating Naskh: the Meccan over the Medinese. Based on this problem, it is necessasry to conduct a research to formulate an academic point of view concerning the questions accelerated by the conception of al-Naim (a professor at the Emory University School of Law, Atlanta, USA. Born in Sudan, September 16, 1946), about the formulation of Naskh. The discussion is limited to the theory of Naskh by al-Naim, which includes: (1) His conception of al-Naskh, (2) His Criticism on the formulation of Naskh, (3) Reformulation of Naskh as a basic mechanism of exercising istinbath for a new law, (4) The body of Islamic law which were abrogated by the theory of reformulating Naskh. Sources of data are primary and secondary. Primary source is his own masterpiece ((Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law), while secondary sources are collected data of library researches embodied in the early studies yet in the same object. The result of this study is explorated by a content analysis, so that an important point is deducted from all ramifications of his views. Keywords: Abdullah Ahmad An-Na’im, Reformulation of Naskh.
I. Pendahuluan Pertanyaan pokok yang sering mengemuka dalam studi ke-Islaman, seperti ulumu al-Qur’an dan ushul fiqh terkait konsep naskh adalah bagaimana sesungguhnya keberadaan nasikh-mansukh dalam Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
213
Zelfeni Wimra
al-Qur’an? Ketika merumuskan kedudukan naskh sebagai sebuah konsep dalam menggali hukum baru, pertanyaan ini menggiring sejumlah besar ulama, terutama ulama ushul fiqh ke dalam perbedaan pendapat1 Sebagian ulama menolak konsep naskh, namun sebagian mendukung konsep naskh, bahkan apa pendapat yang menyatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat hukum yang tidak berlaku lagi, sebab ayat-ayat tersebut sudah di-naskh. Penelusuran ilmiah mengenai pengertian dan eksistensi naskh dalam epistemologi ushul fiqh mengukuhkannya sebagai objek penelitian yang terus digali. Ditinjau dari segi etimologi, misalnya, kata naskh ( ) ﻧﺴﺦini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan, dan pengubahan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus dan memindahkan disebut nasikh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dipindahkan, atau dihapus disebut mansukh.2 Namun, yang dimaksud dengan naskh yang masyhur dalam terminologi hukum Islam ialah menghapus suatu hukum syara yang lama (tertunda) dengan dalil syara yang datang kemudian.3 1 Farid Esack, Samudra Al-Qur’an, diterjemahkan dari judul asli: The Quran: a Short Introduction oleh Nuril Hidayah (Jogyakarta: Diva Press, 2007) hlm. 230. Esack menjelaskan bahwa dalam studi al-Qur’an tidak ada genre lain yang dapat menandingi kerumitan teori nasikh mansukh dalam hal validitas, makna, dan penerapannya. Demikian pula Syaikh Waliyullah al-Dihlawi berkata bahwa masalah yang rumit dalam tafsir dan mengandung banyak perbedaan pendapat di dalamnya adalah masalah nasikh dan mansukhlm. Lihat Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hlm. 83. 2 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 143. Di antara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis. Perbedaan term yang ada pada sudut pandang masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu pada akhirnya melahirkan nuansa ikhtilaf antara ulama mutaqaddim dan mutaakhir. Subhi Shalih berpendapat bahwa perdebatan ulama telah cukup panjang dalam menarik arti naskh secara terminologi. Sebagian mengartikan dengan istilah al-izalah berdasarkan pada Q.S. Al-Hajj: 52, sebagian mengartikan al-tabdil berdasarkan Q.S. Al-Nahl: 101, yang lain mengartikan al-tahwil berdasarkan pada ungkapan tanasukh mawarits, dan ada juga yang mengartikannya al-naql pada kalimat ﻧﺴﺦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ. 3 Adanya perbedaan pendapat dalam mengartikan naskh ini disebabkan arti secara lugah (bahasa) dan istilah terdapat ikatan yang sulit
214
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
Ditinjau dari kekuatan dalil, teori naskh pada awalnya merupakan pembahasan ushul fiqh sebagai salah satu cara menyelesaian beberapa dalil yang dianggap bertentangan oleh para mujtahid. Sesuai dengan teori daf’ al-ta’arrud al-adillah, apabila ada dua dalil yang sederajat bertentangan secara lahir maka diupayakan pemaduan atau pengintegrasiannya oleh ulama mutaqaddim.4 Persoalan inilah antara lain yang menjadi sebab timbulnya pembahasan tentang nasikh mansukh. Sebagian ulama berpandangan nasikh mansukh itu memang terdapat dan dinyatakan eksplisit oleh Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam ayat yang menjadi basis doktrin naskh yaitu Q.S. AlBaqarah: 106, yaitu: Ayat mana saja yang Kami naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Sementara kelompok penentang konsep naskh, seperti Abu Muslim al-Ashfihani dan Muhammad Abduh, berargumen, tidak diberikan batasanya. Sedangkan Zaid menjelaskan bahwa naskh memiliki arti memindahkan (an-naql), membatalkan (al-ibthal), dan menghapus (al-izalah). Lihat dalam Mushthafa Zaid, An-Naskh fi Al-Quran al-Karim Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951), hlm. 86; Lihat juga definisi nasikh mansukh Al-Syatibi dalam Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at, Jilid III, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1975), hlm. 108. 4 Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah misalnya mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan. tersebut dengan cara: 1) naskh, yaitu membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang pertama; 2) tarjih, yaitu menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan indikasi yang dapat mendukungnya; 3) al-Jam’u wal-al Taufik, yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian mengkrompomikannya; dan 4) Tasaqut al-Dalilain, yaitu mengugurkan kedua dalil yang bertentangan. Ulama Syafi’iyah, Malikiyyah dan Dzahiriyah dalam metode penyelesaian taarrudh ‘adillah juga menggunakan konsep serupa tetapi dengan urutan metode yang berbeda, dimulai dari al-jam’u wal-al taufik, tarjih , naskh dan tasaqut al-dalilain. Lihat keterangan lengkap masaah ini misalnya dalam Nasrun Haroen, Ushul Fiqh cet. 2, (Jakarta: Logos Wacana Imu, 1997), hlm. 173-180; Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 200-210. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
215
Zelfeni Wimra
ada pertentangan dalam al-Qur’an dan karenanya tidak dibutuhkan teori nasikh mansukh untuk al-Qur’an. Pertentangan itu hanya ada dalam nalar fiqh manusia yang gagal mengkompromikan ayat-ayat Al-Qur’an yang seolah-olah bertentangan. Selain itu konsep nasikh mansukh itu menghantam kesucian al-Qur’an dan lebih jauh lagi bertentangan dengan doktrin keabadian al-Qur’an yang telah diterima secara kolektif oleh umat Islam. Perbedaan perspektif tersebut mengundang pertanyaan, mana di antara pendapat itu yang lebih kuat dan relevan dalam konteks kekinian? Untuk itulah tema ini menarik untuk dijadikan fokus penelitian ilmiah yang diupayakan mampu memberikan jawaban akademis yang lebih komprehensif. Oleh karenanya, dipandang penting mengemukakan keragaman pandangan tentang doktrin nasikh-mansukh, yaitu dari kalangan ulama yang menerima konsep nasikh mansukh dan ulama yang menolak nasikh mansukh. Selanjutnya, sebagai pembanding, perlu pula mengetengahkan pandangan kaum orientalis terhadap konsep naskh yang ada dalam rumusan ushul fiqh. Sebagai focus pembahasan, penulis tertarik memilih salah satu tokoh yang menggunakan pendekatan naskh ini dalam rumusan pendapatnya. Tokoh yang terkenal menggunakan teori naskh adalah Abdullah Ahmad an-Na’im yang mengembangkan teori reformulasi syari’ah gurunya, Mahmud Muhammad Taha. Seterusnya, tentu perlu dikaji, apa uniknya pemikiran an-Na’im, apa yang mendorongnya menggunakan konsep naskh? An-Na’im adalah seorang pemikir muslim terkemuka dari Sudan. Ia dikenal luas sebagai pakar Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dalam perspektif lintas budaya. Ia lahir di Sudan, belajar hukum di Khartoum, Cambridge (Inggris) dan Eidenberg (PhD 1976). Saat ini ia bekerja sebagai Profesor Charles Howard Candler di bidang hukum di Emory Law Atlanta, Amerika Serikat.5 An-Na’im banyak sekali melakukan penelitian dan menulis berbagai topik yang berkaitan dengan status, aplikasi dan pembaharuan internal hukum Islam. Dari sekian banyak karyanya yang paling 5 Lihat Tholhatur Choir, Anwar Fanani (ed), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemperer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 330. 216
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
monumental adalah bukunya yang berjudul Toward an Islamic Reformation. Karya tersebut banyak mendapatkan respon dari berbagai kalangan, baik yang setuju, menolak dan mengkajinya secara kritis. Diangkatnya pemikiran An-Naim karena representatif mewakili wacana pemikiran kontemporer. Selain itu teori naskh yang ia kembangkan sebagai model paradigma pemikiran hukum Islam berkaitan erat dengan tema tesis ini. Sebelum memasuki pembahasan lebih jauh tentang teori naskh An-Na’im terlebih dahulu perlu dilihat perspektif an-Na’im tentang kebutuhan reformasi syari’ah, hal ini menjadi penting karena aspek inilah yang melatarbelakangi gagasannya untuk melakukan reformasi syari’ah dengan menggunakan metode naskh kontemporer. Abdullahi Ahmad An-Na’im melihat tantangan modernitas yang muncul saat dunia Islam meraih kemerdekaan politik dari cengkeraman imperialisme pada abad ke-20. Salah satu persoalan yang muncul adalah bagaimana memposisikan syari’ah agar mampu mengakomodir seluruh warga negara dengan latar belakang suku dan agama yang heterogen. Selain itu bagaimana memformulasikan syari’ah agar senantiasa relevan dan mendukung prinsip-prinsip modern dan hak asasi manusia (HAM) yang sudah menjadi kesepakatan internasional. Dalam kerangka ini diperlukan suatu basis teoritik agar legislasi Islam yang dibangun dapat bersifat logis dan konsisten. Dengan demikian mutlak diperlukan rumusan metodologi sistematis yang memiliki akar Islami yang kukuh. Kebutuhan akan reformasi syariah dan perangkat metodologinya didasarkan pada anggapan bahwa posisi dan formulasi syariah yang ada dianggap sudah tidak memadai lagi dan bahkan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum modern dan hak-hak asasi manusia (HAM) yang menjadi isu aktual belakangan ini.6 Ru6 Yang dimaksud HAM di sini adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam piagam PBB pada tahun 1945, yang telah dielaborasi dalam melalui Universal Declaration of Human Right tahun 1948 dan instrumentinstrumen HAM yang datang belakangan. Di dalamnya terdapat hakhak yang harus diikuti oleh setiap orang berdasarkan kenyataan bahwa ia adalah manusia dan tanpa diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan lain-lain. Lihat reproduksi Universal Declaration of Human Right dalam Baharuddin Lopa. Al-Qur’an dan HakInnovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
217
Zelfeni Wimra
musan-rumusan syari’ah yang membolehkan penggunaan kekuatan refresif dan agresif dalam penyebaran Islam, pengakuan terhadap legalitas perbudakan, dan perlakuan deskriminatif terhadap non muslim dan perempuan, merupakan beberapa contoh kasus dari kontradisksi tersebut.7 Dari sini muncul tuntutan untuk membangun model syariah yang sesuai dengan standar hukum publik modern, khususnya berkenaan dengan HAM. Bersamaan dengan itu, kaum muslimin dihadapkan pada pilihan dilematis antara keharusan melaksanakan syariah sebagai kewajiban keagamaan, dengan mentaati HAM sebagai tuntutan masyarakat internasional; antara keinginan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam yang sudah teraktualisasi dalam tradisi kehidupan mereka, dengan kebutuhan mengikuti gagasan-gagasan modern. Berpegang teguh pada pada warisan tradisi masa lalu berarti mengabadikan keterbelakangan, sementara meninggalkannya samasekali mungkin akan menghancurkan identitas Islam dan seluruh bangunan emosional dan intelektual yang telah diwarisi dan dianut selama ini. Menurut an-Na’im, umat Islam sedunia boleh saja (berhak) menerapkan hukum Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam maupun di luar komunitas Islam. Artinya, dalam mengklaim dan menggunakan hak-hak perorangan dan kolektif untuk menentukan nasib sendiri, kaum muslimin juga harus mengakui dan menjamin hak-hak yang sama bagi orang lain. Persoalannya, menurut an-Na’im, jika syari’at historis (an-Na’im menggunakan istilah historical shari’ah untuk menamakan syari’at Islam) diterapkan sekarang, akan menimbulkan masalah serius menyangkut masalah-masalah konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia. Menurutnya, yang paling merasakan akibatnya adalah masyarakat non-muslim dan kaum wanita. Bagi masyarakat non-muslim mereka akan menjadi masyHak Asasi Manusia (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima, Yasa 1996), hlm. 8-10. 7 Abdullah Ahmad An-Na’im Toward an Islamic Reformation: civil liberties, Human Right, and International Law, (Syracuse, New York: Syracuse Univercity Press, 1996), hlm. 8-10. 218
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
arakat kelas dua dengan status dzimmi, dan bagi wanita, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan minimnya akses ke dalam kehidupan publik. Bahkan kaum laki-laki pun, katanya, juga akan merasakan dampaknya, yaitu mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat berbagai undang-undang. Kalaupun ada kalangan umat Islam yang mencoba mengembangkan pemahamannya terhadap hukum, selalu dikenakan tuduhan bid’ah bahkan murtad yang bisa dijerat dengan hukum pidana. An-Na’im menyatakan, kasus ini banyak terjadi di negara kelahirannya, Sudan. An-Na’im menulis:8 To atribut inadequacy to any part of Shari’a is regarded as heresy by the majority of Muslims, who believe that the whole of shari’a is devine. This widespread view create sa formidabble pcycological barrier, which is reinforced by the thread of criminal prosecution for the capital offense of apostasy (ridda), a real thread today in countries such us Sudan.(menganggap ada bagian Syari’ah yang tidak memadai, akan dituduh bid’ah oleh mayoritas umat Islam yang meyakini bahwa keseluruhan syari’ah itu bersifat Ilahiyah. Pandangan yang menjadi keyakinan umum ini akan menjadi hambatan psikologis utama dalam upaya merekonstruksi syari’ah, apalagi diperkuat dengan ancaman tuntutan hukum pidana dengan dakwaan murtad (apostasy). Ini adalah ancaman nyata di negara-negara Islam seperti Sudan dewasa ini.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, an-Na’im mengajukan konsep perubahan dalam hukum publik di Negara-negara Islam dengan membangun suatu versi hukum publik Islam yang sesuai dengan standar konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional dan hak-hak asasi manusia modern. Untuk tujuan itu, anNa’im menafikan kesakralan syari’at, karena syari’at bukanlah bersifat ilahiyyah (wahyu yang langsung datang dari Allah). Syari’at, menurutnya, adalah hasil dari proses penafsiran, derivasi melalui qiyas terhadap teks al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi yang lain.9 Formulasi syari’at, sebagaimana sistem perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan umat. Katanya, teknik-teknik penjabaran syari’at dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamentalnya, jelas merupakan produk pro-
8 Ibid., hlm. 11. 9 An-Na’im menulis: “The product of process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur’an and Sunna and other tradition”, Ibid. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
219
Zelfeni Wimra
ses sejarah intelektual, sosial, dan politik umat Islam.10
II. Permasalahan Pemahaman atas syari’at seperti apapun selalu merupakan produk ijtihad pemikiran dan perenungan umat manusia sebagai cara untuk memahami makna al-Qur’an dan Sunnah Nabi.11 Dengan mengutip pandangan John L. Esposito, An-Na’im menyatakan kekurangsetujuannya atas perbedaan yang dibuat oleh muslim modernis antara syari’at dan fiqh, karena dalam prakteknya perbedaan ini kurang signifikan.12 Perombakan atau dekonstruksi yang ditawarkan An-Naim mencapai wilayah elementer dari hukum Islam ini. Agar pembahasan tidak meluas, penulis merumuskannya ke dalam pertanyaan pokok: Bagaimanakah pemikiran Abdullah Ahmad an-Naim tentang teori naskh? Adapun batasannya mengerucut kepada pandangan anNaim tentang teori naskh, meliputi: 1. Konsep an-Na’im tentang Naskh 2. Kritik an-Na’im terhadap formulasi naskh 3. Reformulasi naskh sebagai mekanisme dasar istinbath hukum baru 4. Materi hukum Islam yang di-naskh teori reformulasi naskh Pandangan An-Na’im (menafikan kesakralan syari’ah) ternyata ingin menjadikan syari’ah itu bersifat relatif. Ini tentu berbahaya, sebab dengan menghilangkan nilai kesakralan syari’at dan menjadikannya relatif akan mengakibatkan berkurangnya kepatuhan umat Islam terhadap pelaksanaan syari’at itu, karena dianggap produk manusia dan tidak memiliki nilai kebenaran yang pasti. Setelah syari’at sudah dianggap tidak sakral lagi, kemudian langkah selanjutnya, An-Na’im menyerukan untuk mereformasi syari’ah. Tapi ia menolak reformasi ini dilakukan dengan framework syari’at yang ada. 10 An-Na’im menulis: “The techniques throught which Shari’a was derivied from the devine sources and the ways in wich in fundamental concepts and principles were formulated are clearly the product of the intellectual, social, and political processes of Muslim history,”, Ibid., hlm.14. 11 Ibid., hlm.12. 12 Ibid., hlm. 50 dan xiv. 220
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
Sebab dalam framework ini, menurutnya, ijtihad tidak berlaku pada hukum yang sudah disentuh al-Qur’an secara definitif. Sementara hukum yang perlu direformasi itu adalah hukum-hukum yang masuk kategori ini seperti hukum hudud dan qishas, status wanita dan non-muslim, hukum waris dan seterusnya.13 Bagi an-Na’im, inilah dilematis yang dihadapi para pembaharu hukum Islam. Di satu sisi mereka disuruh berijtihad, tapi pada sisi lain mereka dihalang oleh ketentuan ushul fiqh klasik “la ijtihad fi mawrid al-nass.” Oleh sebab itu, apa yang diperlukan bukanlah reformasi tapi dekonstruksi. An-Na’im sepertinya ingin mendobrak pintu reformasi dengan menempuh jalan yang menggunakan metode hermeneutika14 untuk membaca tujuan serta kandungan normatif ayatayat al-Qur’an. 15 Di tengah percaturan pemikiran tersebut an-Na’im mengemu13 Ibid., hlm. 49-50. 14 Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang
berarti menafsirkan. Sebuah spekulasi Historis menyebutkan kata hermeuneutik merujuk kepada nama Dewa Yunani Kuno, Hermes. yang tugasnya menyampaikan berita dari sang dewa yang dialamatkannya kepada manusia. Menurut Hossein Nasr: Hermes tak lain adalah nabi Idris yang disebutkan dalam al-Quran. Pengertian hermeuneutik menurut para ahli: 1) Richard E. Palmer, Hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi tidak tahu menjadi mengerti. Pengertian ini sangat umum dan kurang aplikatif. 2) Josef Bleicher mendefenisikannya sebagai, ”The theory of or philosophy of interpretation of meaning (teori atau penafsiran makna). Hermeneutik berarti memahami makna teks karena adanya perbedaan jarak dan waktu, tempat, dan atau sosial budaya, dengan mengkaji gramatika bahasa dan korelasi konteks kemunculannya secara sosio-historis-psikologis. Lewis Mulford Adams (et.al), Webster’s World University Dictionary, (Washington,D.C.: Publisher Company INC, 1965), hlm. 437; lihat juga: K. Bertens, Filsafat Bahasa Abad XX: Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1990), cet IV, hlm. 224; bandingkan dengan Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), cet.1, hlm. 126 15 Abdullah Ahmad An-Na’im, “Islamic Foundation of Islamic Human Rights,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), “Relgious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective” (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996) hal 70. Dikutip dari Nirwan Syafrin,”Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syari’at Islam” (Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2007), hlm. 44. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
221
Zelfeni Wimra
kakan pendapat, bahwa reformasi syariah untuk merespon tuntutan modernitas bisa dilakukan dengan tetap disandarkan pada sumber fundamental syari’ah yakni al-Qur’an dan as-Sunnah disertai upaya reinterpretasi terhadapnya melalui cara yang tetap sesuai dengan totalitas isi dan misinya.16 Dalam konteks ini ia menawarkan gagasan reformasi syariah yang memungkinkan syariah dapat menyahuti isu-isu penting bagi masa depan kemanusiaan, seperti demokratisasi, perdamaian dunia, termasuk penghormatan terhadap HAM.17
III. Kajian Kepustakaan Sebagai pelengkap informasi terhadap objek penelitan ini, sudah ditemukan beberapa penelitian yang terkait dan relevan, antara lain: Adang Djumhur Salikin, Rekonstruksi Syari’at dalam Gagasan Ahmed An-Na’im, tesis Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara 1997; Iin Solihin, Dekonstruksi Syari’ah, Pembaharuan Hukum Menurut Abdullah Ahmed -An-Na’im, Padang: Tesis IAIN Imam Bonjol Padang, 2001. Shohibul Anwar, Analisis Kritis Konsep Reformasi Syari’at Abdullah Ahmed An-Na’im dalam Hukum Publik, Tesis Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007. Penulis sendiri pernah melakukan penelitian kepustakaan mengenai pemikiran Abdullah Ahmad an-Naim ketika menulis skripsi berjudul: Dekonstruksi Hukum Islam Menurut Abdullah Ahmad an-Naim (IAIN Imam Bonjol Padang, 28 April 2004). Akan tetapi, pembahasan pada penelitian terdahulu tersebut belum mengerucut kepada satu objek kajian yang diuraikan secara mendalam. Penelitian terdahulu masih mengungkapkan konsepsi pemikiran An-Naim secara umum. Pada penelitian ini dikerucutkan kepada komponen teori dalam ushul fiqh yang menjadi fokus metode pemikiran An-Naim, yakni teori Naskh. IV. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library 16 Ibid., hlm. 28-29. 17 Konsep ini dimaksudkan An-Na’im sebagai upaya membangun
kembali dasar formulasi syariah agar menjadi syariah modern, bahkan postmodern. 222
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
research. Semua unsur metodis dalam pemikiran tokoh diuraikan sebagai jaminan terhadap bentuk-bentuk dan interpretasi baru yang dilahirkan. Di samping itu, analisa yang dikembangkan tetap mengacu kepada bagaimana melahirkan kesimpulan secara induktif-deduktif yang meliputi kohorensi internal tokoh, holistika, kesinambungan histories, idealisasi.18 Penelitian ini akan ditempuh dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis). Analisa isi pada mulanya digunakan dalam ilmu sosial sebagai sarana untuk studi komunikasi, yakni tentang hakikatnya, makna dan tujuan yang melandasinya, proses dinamikanya dan masyarakat yang terlibat dalam pembicaraan, penulisan serta pengertian makna segala sesuatu.19 Pendekatan dasar yang digunakan dalam analisis isi ini adalah: (1) memilih contoh (sample) atau keseluruhan isi; (2) menetapkan kerangka kategori acuan eksternal yang relevan dengan tujuan kajian; (3) memilih satuan ’analisis’ isi; (4) menyesuaikan isi dengan kerangka kategori, persatuan unit yang terpilih; (5) mengungkapkan hasil sebagai distribusi menyeluruh dari semua satuan atau percontoh dalam hubungannya dengan frekuensi keterjadian hal-hal yang
18 Induksi pada penelitian ini merupakan cara merumuskan kesimpulan yang diselidiki dari konsep atau pandangan kedua tokoh yang meliputi semua unsur secara seimbang. Deduksi, mengetahui detail pemikiran kedua tokoh dari sintesis yang sudah diperolehlm. Koherensi internal digunakan untuk menemukan aspek ide atau visi pemikiran yang paling cocok dari kedua tokoh, baik segi penggunaan istilah atau simbol yang sama, sebb bisa saja mengandung pemahaman yang berbeda. Holistika mengandung upaya mencari cakrawala terakhir yang menentukan arti persis bagi salah satu ide atau tema yang ditemukan untuk kemudian diperbandingkan, sehingga menemukan sisi persamaan. Kesinambungan historis kedua tokoh menyorot latar belakang dan tradisi yang berbeda juga menghasilkan konsepsi yang berbeda. Idealisai diperlukan dalam penelitian komparasi ini untuk memahami masing-masing pandangan atau pendapat kedua tokoh menurut dinamika dan inti semurni mungkin sesuai denga visi dan orientasi berpikir kedua tokoh tersebut. Lihat Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1992) cet. II, hlm. 86--87 19 A.Khozin Afandi dkk, Buku Penunjang Berpikir Teoritis Merancang Proposal, (Surabaya, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006), hlm. 154 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
223
Zelfeni Wimra
dicari untuk acuan.20 Oleh karena penelitian ini berbentuk studi kepustakaan (Library Research), yakni bahan perpustakaan dijadikan sebagai sumber utama, maka sumber primer adalah karya-karya AnNaim berupa buku-buku serta kumpulan tulisan. Sedangkan data sekunder, penelitian ini melacak karya yang mengkaji tokoh tersebut dan merupakan data pendukung. Lazimnya, pada penelitian tokoh, ada beberapa metode yang fundamental untuk memperoleh pengetahuan tentang tokoh tersebut; dan digunakan secara bersamaan. Pertama, melakukan penelitian latar belakang internal dan eksternal. Dari sudut internal yang dikaji adalah; latar belakang kehidupan, pendidikan, pengaruh yang diterimanya, segala macam pengalaman yang membentuk pemikirannya serta perkembangan pemikirannya. Sedangkan dari sudut eksternal adalah; apakah latar belakang itu dalam jiwa zamannya (zeitgeist), wacana apa yang berkembang saat itu dan menjadi sebab munculnya gagasan tersebut. Kedua, metode berfikir dan perkembangan pemikiran. Seorang tokoh biasanya menggunakan metode tertentu dalam metode pendekatannya dan dapat dilihat dari tiga sisi; pendekatan yang digunakan, sisi pemungsian rasio (akal) dan aksesnya terhadap nash-nash (al-Qur’an dan Sunnah), tradisi dan modernitas. Ketiga, pengaruh dan keterpengaruhan.21 Sementara itu, kajian ini jika ditinjau dari sifatnya, yaitu deskriptif-inferensial. Yang dimaksud dengan deskriptif inferensial adalah meneliti gambaran tentang sifat-sifat atau karakteristik dari suatu peristiwa. Dengan lain kata, sifat yang dikaji adalah sifat tokoh yang dijadikan objek material dan peristiwa di sekelilingnya yang mempengaruhi pemikirannya. Inferensial adalah beberapa hipotesa yang dimaksudkan untuk menerima atau memperkuat. Maksudnya, penelitian ini menelaah teori naskh dalam perkembangan pemikiran ilmu ushul fiqh yang terus berdialektika dari zaman ke zaman. Se20 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 4. Lihat juga Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), hlm. 68 21 Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, (Jakarta: Istiqamah Mulya Press, 2006), hlm. 36-40 224
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
lanjutnya, berdasarkan kriteria dari formulasi teori naskh tersebut dihadapkan dengan tokoh yang diteliti, yakni Abdullah Ahmad AnNa’im.
V. Pembahasan Membahas pemikiran hukum Islam berarti mengkaji corak pemikiran hukum Islam yang dikemukakan oleh seorang tokoh dalam bidang hukum Islam. Setidaknya terdapat lima corak pemikiran hukum Islam, yakni fundamentalistik; tradisionalistik, reformistik, postradisionalistik, dan modernistik hingga postmodernistik.22 Abdullah Ahmad an-An-Na’im salah satu tokoh pembaharu dan guru besar bidang hukum Islam. Lahir tanggal 19 September 1946 di Sudan, Afrika. Terkenal dengan pencetus istilah reformulasi naskh sebagai teori dasar dalam merespon masalah kontemporer di dunia Islam internasional.23 Adapun landasan teori penelitian ini mengangkat naskh sebagai objek penelitian. Naskh secara bahasa, naskh ( ) ﻧﺴﺦdipergunakan untuk arti menghilangkan ()ﺍﺯﺍﻟﺔ. Makna lain, ada juga dipergunakan untuk arti pembatalan ()ﺍﺑﻄﺎﻝ. Secara terminologis, naskh dirumuskan ke dalam kaidah: ﺍﺑﻄﺎﻝ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﺎﳊﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻰ ﻣﺜﻠﻪ ﻣﺘﺄﺧﺮ, yakni “pembatalan amal dengan hukum syar’i dengan dali-dalil (syar’i) yang kedmudian daripadanya”24 Dalam mengemukakan pendapatnya, an-Na’im cenderung mengungkap gagasan alternatif reformasi syariah untuk menjembatani ketegangan antara syari’ah dengan norma-norma kehidupan 22 Semangat pencetusan pemikiran dalam hukum Islam mengemuka dan berkembang sejalan denga perkembangan zaman. Perubahan zaman dan tempat dijadikan sebagai salah satu di antara alasan perubahan hukum. Lihat A. Khudori Soleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), hlm. xv-xxi 23 Istilah lain terhadap teori yang diformulasi an-Na’im disebut juga dengan dekonstuksi syari’ah. Lihat: Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme, (Yogyakarta: RAKE SARASIN, 2001) , hlm. 211 24 Rumusan definisi naskh secara terminologis ini dikutip menurut pendapat ‘Abdu al-Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 222. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
225
Zelfeni Wimra
modern, berangkat dari empat tesis, yaitu:
Syari’ah Sebagai Produk Sejarah Menurut pendapat an-Na’im, syari’ah tidaklah bersifat ilahiyah, dalam arti semua prinsip khusus dan aturan rincinya langsung diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad. Syari’ah adalah produk sejarah, yakni hasil interpretasi nash al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan konteks sejarah abad ke tujuh sampai sembilan. Dalam kurun waktu itulah para ahli hukum Islam menginterpretasikan al-Qur’an dan sumber-sumber lain dalam rangka mengembangkan sistem syariah yang komprehensif sebagai petunjuk praktis bagi kaum muslimin saat itu. Sebagai produk sejarah maka formulasi syariah dapat direformasi ketika dirasakan sudah tidak memadai lagi bagi kehidupan kontemporer. Itulah sebabnya an-Naim menggunakan kata-kata formulasi historis, untuk menjadikannya sebagai legitimasi bagi dimungkinkannya reformasi terhadap sistem syariah tersebut agar senantiasa modern, sebagaimana yang ingin dibangunnya.25 Pandangan an-Na’im tentang Syariah, fiqh dan hukum Islam masih terasa sulit dibedakan satu sama lain, karena tampak disamakan satu sama lain, yaitu sama-sama merupakan hasil interpretasi historis terhadap sumber fundamental Islam, al-Qur’an dan sunnah. Selain itu juga karena mengacu pada terminologi yang tidak umum dipakai oleh ulama kebanyakan. Tetapi itulah syariah yang dimaksudkan an-Na’im ketika ia membangun kerangka gagasannya.
25 Hal yang perlu dijelaskan di sini adalah, bahwa an-Na’im tidak mau menyebut gagasannya itu berada dalam kawasan fiqh. Ia menempatkan pendapatnya dalam wilayah syariah. Alasannya adalah karena prinsip dan aturan-aturan hukum yang didiskusikannya didasarkan pada teks Al-Qur’an dan as-sunnah yang jelas dan rinci sehingga ia merupakan bagian dari syariah, bukan semata-mata fiqh. Lebih jauh An-Na’im menganggap tidak relevan lagi membedakan syariah dengan fiqh, ketika topik yang dibicarakannya mengenai prinsip-prinsip dan tujuan syariah. Ibid. 226
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
Syariah Historis (Madaniyah) Bagi an-Naim syariah yang ada sekarang sudah tidak memadai lagi bagi kebutuhan kontemporer, sehingga ia harus diganti dengan syari’ah yang baru. Tesis ini secara jelas menggugat pandangan kaum muslimin yang meyakini bahwa syariah merupakan sistem hukum yang utuh dan final. Bahkan dipandang kesempurnaan itu terletak pada syariah pada periode Madinah. Pada masa inilah syariah memperoleh bentuk rincian yang lebih detail, dan pada masa ini pula turun ayat al-Maidah: 3 yang menyebut kesempurnaan dinul Islam, yakni: ...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menurut an-Naim, syariah yang rinci dan detail itu mengindikasikan sifatnya yang temporal dan kontekstual. Rincian tersebut merupakan bukti adanya hubungan dialogis antara syariah dan realitas konkrit yang dihadapinya. Al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber syari’ah merupakan respon Islam terhadap realitas konkrit masa lalu, karenanya harus pula merupakan sumber syariah modern sebagai respon Islam terhadap realitas konkrit masa kini. Keharusan menjadikan al-Qur’an dan as-sunnah sebagai sumber syariah modern mensyaratkan dilakukannya upaya kreatif untuk memilih ayat ayat al-Qur’an dan sunnah mana yang relevan dengan kebutuhan. Di sinilah an-Na’im melihat syariah Madaniyah yang bersumber dari ayat-ayat periode Madinah tidak relevan dan tidak memadai untuk menjawab tantangan masyarakat kontemporer. Sebab, formulasi syariah Madaniyah masih mendiskriminasikan laki-laki dan perempuan, muslim dan non-muslim. Padahal masyarakat dunia saat ini cenderung menganut dan menjunjung tinggi persamaan hak di antara mereka. Pada konteks ini, an-Na’im menulis:26 “In addition to explicit sources of the Shari’a on the use of force against non- Muslim and renegade to be reviewed below. Many verse of the Qur’an which where revealed after migration to Medina in 622. A.D emphasized the internal cohesion
26 Ibid., hlm. 144 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
227
Zelfeni Wimra of the Muslim community and sought to distinguish it from other communities in hostile and antagonistic terms. During the Medina stage, the Qur’an repeatedly instructed the Muslim to support each other and disassosiate themselves from non-Muslim and warned against taking non_ muslim as friend or allies. Thus, verses 3:28, 4:144, 8: 72-73, 9:23 and 71, and 60: 1 prohibited the Muslim from taking unbeliever as awliya (friends, helpers, and supporters) and instructed them to look for friendly relation and mutual support among themselves. Similarly, verse 5: 51 instruct to Muslim not to take Jews or Cristians as awliya, as they are awliya for each other, and any Muslim to turn to them ( for friendship) become ones of them.”(Sebagai tambahan terhadap sumber-sumber syari’ah yang ekspilisit mengenai penggunaan kekerasan melawan non-musluim dan umat Islam sempalan akan ditinjau di bawah nanti. Banyak ayat al-Qur’an yang diwahyukan setelah hijrah ke Madinah pada tahun 622 Menekankan kohesi internal komunitas muslim dan berusaha membedakannya dari komunitas-komunitas lain dalam term-term permusuhan dan antagonisktik. Selama masa Madinah, al-Qur’an berulang-ulang memerintahkan umat Islam untuk saling menolong antara satu dengan yang laindan untuk tidak tolong-menolong dengan non-muslim, serta memerangi mereka yang berkawan dan bersekutu dengan non-muslim. Sehingga ayat-ayat al-Qur’an, 3: 28, 4: 144, 8: 72-73, 9: 23 dan 71, dan 60: 1 mewajibkan umat Islam menghindari kaum kafir sebagai awliya (kawan, pembantu, dan pendukung) serta memerintahkan pertemanan dan mendorong kerja sama di antara umat Islam sendiri. Demikian pula, QS. 5: 51 menginstruksikan kaum muslim untuk tidak mengambbil kaum Yahudi dan Kristen sebagai pelindung (awliya), seperti mereka memperlakukan umat Islam yang lain, dan barang siapa—orang muslim—yang bekerja sama dengan mereka (untuk berkawan), maka ia menjadi salah satu dari golongan mereka).
Konteks Madinah yang dipahami an-Na’im adalah realitas sosial yang dialami kaum Muhajirin yang berinteraksi dengan kaum Anshar, dimana di antara kaum Anshar terdapat orang sudah beriman dan yang tidak beriman. Pola interaksi yang dianjurkan alQur’an ketika itu dipandang kondisional. An-Na’im membandingkan dengan pola-pola interaksi antarumat beragama kontemporer yang semakin plural.
Syari’ah Modern (Makkiyah) Setelah syari’ah Madaniyah dianggap An-Na’im tidak memadai, maka an-Naim mengajak untuk meninggalkan syariah tersebut. Kemudian ia menawarkan syariah Makkiyah yang dianggapnya relevan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. Syariah inilah yang ia sebut kemudian sebagai syariah modern. An-Na’im menegaskan bahwa ayat-ayat Mekkah adalah ayat-ayat yang menekank228
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
an pada nilai-nilai keadilan dan persamaan yang fundamental dan martabat yang melekat pada seluruh umat manusia. Sebagai contoh ia mengemukakan bahwa Al-Qur’an selama periode Mekkah selalu menyapa seluruh manusia dengan menggunakan kata-kata “wahai anak Adam”, atau “wahai manusia”. Selain itu ayat-ayat Makkiyah juga menyebut seluruh manusia dengan nada terhormat dan bermartabat tanpa membedakan ras, warna kulit, agama dan gender.27 Beberapa indikator ayat Makiyyah adalah: 1. Bernuansa keimanan dan tuntunan moral, belum berisi tuntunan hukum dan implikasinya. Berbeda dengan syariah Madaniyah yang memberi kesan diskriminatif dan tidak toleran, syariah Makkiyah lebih egaliter dan toleran. 2. Menekankan pada nilai-nilai keadilan dan persatuan berdasarkan martabat yang melekat pada seluruh umat manusia. 3. Sangat peduli pada kaum lemah. Menurut kajian Johan Effendi bahwa pada surat-surat yang diwahyukan di Makkah, atau pada masa-masa awal kenabian Muhammad (610-615 M) terdapat kecaman pedas terhadap keserakahan dan ketidakpedulian sosial.28 Syari’ah Makkiyah dengan karakteristik yang demikianlah yang ditawarkan An-Naim sebagai alternatif untuk menggantikan syariah historis yang ada sekarang.
Reformulasi Naskh Sebagai Metodologi Pembaruan Syariah Modern An-Na’im setuju dengan ulama yang menerima naskh sebagai teori yang digunakan unutuk membentuk hukum baru. Cara yang dipilih an-Naim, sebagaimana juga sudah disinggung sebelumnya, adalah dengan menggunakan naskh sebagai metode untuk mengkompromikan ayat-ayat yang dipandang bertentangan satu sama lain. Namun, apa yang dilakukan An-Naim berbeda dengan para ulama da27 Ibid., hlm. 54. 28 Djohan Effendi, “Konsep-Konsep Teologis”. Dalam Budhy Mu-
nawar Rahman (ed) Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 52-58. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
229
Zelfeni Wimra
lam menetapkan proses naskh tersebut. Para ulama melakukan naskh dengan penghapusan atau penangguhan ayat yang dahulu oleh ayat yang belakangan diwahyukan (nasikh), dan ayat yang dihapus (mansukh) tidak dipakai lagi. Menurut An-Na’im proses naskh adalah bersifat tentatif sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi, yakni ayat mana yang dibutuhkan pada masa tertentu, maka ayat tersebutlah yang diberlakukan. Adapun ayat yang tidak diperlukan, karena tidak relevan dengan perkembangan kontemporer, diposisikan sebagai ayat yang mansukh dan boleh diganti dengan ayat lain. An-Na’im mengemukakan pernyataan mengenai konsidi “publik syari’ah pada saat ini” yang seiring perjalanan waktu telah menyebar ke segenap penjuru bumi, tentunya dengan latar sosial-budaya yang kaya akan perbedaan. Terkait itu, rumusan naskh yang sudah dikemukakan ulama klasik menjadi perhatian an-Na’im. Ia punya keinginan meliht kembali rumusan naskh tersebut secara kritis. Perose kelahiran (genelogi) pemikiran an-Na’im dalam mengkritisi formulasi naskh ini ia akui sendiri tersemangati oleh pandangan gurunya, Mahmoud Muhammad Taha yang mengeluarkan konsep evolusi syari’ah. Uraian ini memperjelas bahwa menurut an-Na’im, kepentingan khusus pada konteks masa sekarang ini adalah mempertimbangkan kembali prinsip naskh (pembatalan atau pencabutan berlakunya hukum ayat-ayat al-Qur’an tertentu, digantikan dengan ayat-ayat yang lain.29 Dengan demikian, menurut an-Na’im naskh dapat saja berarti penghapusan atau penangguhan ayat yang datang belakangan oleh ayat yang turun lebih dahulu, bila memang kondisi-kondisi kontemporer membutuhkanya. Selanjutnya ayat yang mansukh tersebut bila diperlukan dapat kembali diaktifkan dalam kesempatan lain sesuai dengan kebutuhannya. Inilah yang dimaksudkannya dengan “intiqal min nash ila nash” peralihan dari teks yang telah berfungsi ses29 Pengertian naskh yang dipakai an-An-Na’im ini juga dapat dilihat pada teks terjemahan Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany dari buku karangan an-Na’im: Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Right, and International Law, menjadi buku berjudul: Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 42 230
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
uai dengan tujuannya ke teks lain yang tertunda menunggu waktu yang tepat. Dengan demikian, evolusi syari’ah bukan sesuatu yang tidak realistik, bukan pula merupakan pandangan yang naif dan mentah. la semata-mata merupakan peralihan dari satu teks ke teks yang lain. An-Na’im sendiri menyadari bahwa pengelompokan ayat Makkiyah dan Madaniyah ini terdapat tumpang tindih. Pengelompokan berdasarkan tempat pewahyuan itu tidak signifikan. Penggunaan pengelompokan Makkiyah dan Madaniyah merupakan istilah mudahnya, untuk menunjukkah perbedaan dalam konteks dan audiens wahyu. Oleh karena itu terdapat sebagian ayat Makkiyah yang substansinya merupakan ayat Madaniyah, dan sebaliknya. Dengan demikian, ayat-ayat yang toleran dan demokratis dipandang sebagai ayat Makkiyah, dan ayat yang tidak sejalan dengan semangat itu dikelompokkan sebagai ayat Madaniyah. Kalau cara kerja naskh ulama terdahulu untuk memproduksi syari’ah historis dengan menggunakan ayat Madaniyah sebagai nasikh dan ayat Makkiyah sebagai mansukh, maka an-Na’im tetap menggunakan naskh sebagai metodologi untuk melahirkan syari’ah modern (modem Islamic shari’a law) dengan membalikkan cara kerjanya yang telah lazim dilakukan tersebut. Karena menurut beliau ayat Makkiyah yang bersifat universal dan tidak diskriminatif lebih relevan bagi kehidupan manusia moderen.30 Bagi an-Na’im pesan Mekkah merupakan pesan abadi dan fundamental yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh ummat manusia tanpa membedakan gender, agama, keyakinan, ras dan lain-lain. Namun demikian antara menentukan pesan Mekkah dan Madinah tidak ada penjelasan kriterianya. Karena pada waktu itu masyarakat belum siap melaksanakannya, maka pesan yang lebih realistik pada masa Madinah dilaksanakan artinya pesan Madinah merupakan pengganti, sementara pesan Mekkah ditunda dan aspekaspek pesan Mekkah tidak pernah akan hilang sebagai sumber hukum. Dengan metode yang digagas an-Na’im dan gurunya ini pada gilirannya membawa dampak kepada syari’ah yang ada sekarang, 30 Abdullah Ahmed An-An-Na’im., Op.Cit., hlm. 49. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
231
Zelfeni Wimra
khususnya pada beberapa aspek hukum seperti ijtihad dan isu hak asasi manusia; toleransi beragama, hukum perdata dan pidana Islam, dan konstitusionalisme dan hubungan internasional.31 Kosep naskh yang menjadi landasan berpikirnya menampakkan bentuk baru yang unik bahkan kontroversial di tengah konsep naskh ulama ushul fiqh kebanyakan. Tampak jelas bahwa, an-Na’im tidak menggunakan pendekatan sekuler dalam membangun metodologi hukum Islam, seperti yang sering dituduhkan kepadanya, melainkan tetap menjadikan alQur’an dan as-Sunnah sebagai sumber primer dalam penggalian hukum Islam. Ini kelihatan dari konsep ijtihad yang beliau bangun dengan metode naskh. Perbedaannya adalah ulama tradisional memaknai naskh dengan penghapusan kandungan hukum ayat al-Quran selamanya, dan ayat yang belakangan turun membatalkan ayat yang turun terlebih dahulu dengan istilah ayat Madaniyyah menghapus ayat Makkiyyah. Berbeda dengan itu, An-Na’im memaknai naskh adalah dengan penundaan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak relevan dengan konteks sosial tertentu, dan akan dapat kembali berlaku pada masa dan konteks sosial lainnya ketika ayat tersebut dibutuhkan. Dengan demikian jelas bahwa kriteria nasikh mansukh adalah ayat mana yang lebih baik, bukan ayat mana yang terlebih dahulu turun.
VI. Kesimpulan 1. Konsep an-Na’im tentang Naskh Menurut an-Na’im, prinsip naskh berupa pembatalan atau pencabutan berlakunya hukum ayat-ayat al-Qur’an tertentu, digantikan dengan ayat-ayat yang datang kemudian harus kembali dipertimbangkan. Baginya, naskh dapat saja berarti penghapusan atau penangguhan ayat yang datang belakangan oleh ayat yang turun lebih dahulu, bila memang kondisi-kondisi kontemporer membutuhkanya. Selanjutnya ayat yang mansukh tersebut bila diperlukan dapat kembali diaktifkan dalam kesempatan 31 Adang Djumhur Salikin, Rekonstruksi Syari’at dalam Gagasan Ahmed An-An-Na’im (Medan: Program Pascasarjana IAIN SU, 1997), hlm. 153-162. 232
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
2.
lain sesuai dengan kebutuhannya. Inilah yang dimaksudkannya dengan “intiqal min nash ila nash” peralihan dari teks yang telah berfungsi sesuai dengan tujuannya ke teks lain yang tertunda menunggu waktu yang tepat. Dengan demikian, evolusi syari’ah bukan sesuatu yang tidak realistik, bukan pula merupakan pandangan yang naif dan mentah. Pandangan ini semata-mata merupakan peralihan dari satu teks ke teks yang lain. An-Na’im menyatakan pengelompokan ayat Makkiyah dan Madaniyah ini terdapat tumpang tindih. Pengelompokan berdasarkan tempat pewahyuan itu tidak signifikan. Penggunaan pengelompokan Makkiyah dan Madaniyah merupakan istilah mudahnya, untuk menunjukkan perbedaan dalam konteks dan audiens wahyu. Oleh karenanya terdapat sebagian ayat Makkiyah yang substansinya merupakan ayat Madaniyah, dan sebaliknya. Dengan demikian, ayat-ayat yang toleran dan demokratis dipandang sebagai ayat Makkiyah, dan ayat yang tidak sejalan dengan semangat itu dikelompokkan sebagai ayat Madaniyah. Kalau cara kerja naskh ulama terdahulu untuk memproduksi syari’ah historis dengan menggunakan ayat terakhir sebagai nasikh dan ayat terdahulu sebagai mansukh, tetapi an-Na’im membalikkan cara kerjanya yang telah lazim dilakukan tersebut. Karena menurutnya, ayat Makkiyah yang bersifat universal dan tidak diskriminatif lebih relevan bagi kehidupan manusia modern. Konsep yang digagas an-Na’im dari gurunya Mamhud Muhammad Taha ini membawa dampak kepada beberapa aspek hukum seperti isu hak asasi manusia; pidana Islam, dan konstitusionalisme dan hubungan internasional. Lebih khusus berdampak kepada pemahaman kolektif umat Islam terhadap formulasi naskh dalam keilmuan ushul fiqh. Kosep naskh yang menjadi landasan berpikirnya menampakkan bentuk baru yang unik bahkan kontroversial di tengah konsep naskh ulama ushul fiqh kebanyakan. Kritik an-Na’im terhadap Formulasi Naskh Menurut Abdullah Ahmad An-Na’im, selama produk suatu hukum masih berupa hasil cipta dan karsa manusia, maka pelu-
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
233
Zelfeni Wimra
3.
234
ang untuk melakukan pembaruan tetap terbuka lebar. Formulasi teknik tambahan Syari’ah seperti rumusan naskh adalah hasil pemahaman manusia yang dirujuk kepada sumber utama, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, serta didukung oleh ijma’ dan qiyas. Karenanya, umat Islam hari ini, di manapun di belahan dunia, berhak menentukan tafsir hukumnya sendiri sebagaimana ulama terdahulu, terhitung sejak Imam Syafi’i mengemukakan sejumlah teori dalam ushul fiqh. Inilah dasar kritik an-Na’im sehingga menurutnya sangat mungkin dan sudah saatnya muncul konsep reformulasi naskh. Reformulasi Naskh sebagai Mekanisme Dasar Istinbath Hukum Baru Reformulasi naskh yang dimaksud an-Naim adalah menaskh ayat Madaniyah dengan ayat Makiyah. Konsep ini merupakan kelanjutan dari pendapat gurunya, Mahmoud Muhammad Taha yang mengemukakan teori evolusi syari’ah. Keseluruhan perangkat hukum yang lahir dari Madinah abad ke-tujuh, tidak relevan untuk sejumlah wilayah-wilayah berpenduduk muslim di dunia hari ini. Inilah alasan utama dibutuhkannya metode reformulasi naskh tersebut. Melalui reformulasi naskh, tujuan yang hendak dicapai Abdullah Ahmad an-Na’im adalah mengangkat eksistensi hukum Islam di dunia internasional tanpa meninggalkan esensinya. Hukum Islam yang bersifat universal, harus benar-benar berlaku umum serta dapat diterima oleh masyarakat internasional, apalagi oleh masyarakat Islam itu sendiri. Pada bagian kesimpulan penulisan tesis ini, penulis menemukan beberapa poin yang menjadi catatan penting dalam pembahasan ini, yaitu: pertama, sebelum mengemukakan rumusan metode pembaruan mengenai materi kajiannya, seperti ijtihad, naskh, ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, Abdullah Ahmad anNa’im tidak sistematis mengurutkan sebab-akibat (kausalitas; mengapa metode itu harus diterima atau ditolak serta tidak pula menganalisa secara mendalam definisi yang telah dikemukakan para mujtahid terdahulu. Abdullah Ahmad an-Na’im cendrung Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
4.
1.
terpengaruh pola-pola pemikiran Barat terutama dalam bidang linguistik (gramatologi), antropologi, dan psikologi. Mekanisme ini kurang tepat, sebab tidak merujuk secara total ke hal-hal yang sejenis. Dengan kata lain, pembahasan mengenai hukum Islam secara konseptual mesti dikupas dengan perangkat Islam pula. Jika harus merujuk ke Barat, hanya berupa upaya membandingkan bukan menyerap sepenuhnya. Kedua, karena kurang berhasil dalam memenuhi poin pertama, berarti Abdullah Ahmad An-Na’im terlihat belum menguasai dengan baik materi berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan metode pembaruannya dalam hal ini formulasi naskh yang sudah ada dalam kajian ulama terdahulu. Ketiga, penguasaan yang kurang baik tersebut juga terlihat dalam cara Abdullah Ahmad An-Na’im memahami dan menggunakan dalil. Dalil yang dikemukakannya secara umum telah dikupas oleh mujtahid terdahulu, terutama oleh Umar ibn alKhathab, Imam asy-Syafi’i dan gurunya sendiri, Mahmoud Muhammad Taha serta beberapa mujtahid lain yang sealur dengan pemikiran tersebut. Materi Hukum Islam yang Di-naskh Teori Reformulasi Naskh Adapun materi-materi hukum Islam yang menurut anNa’im patut direformulasi tersebut ada empat, yaitu konstitusionalisme Islam, hukum pidana Islam, hubungan internasional modern, perspektif hak asasi manusia dalam hukum Islam. Akibat semua itu, metode pengambilan kesimpulan yang dipilih Abdullah Ahmad An-Na’im pun tampak hanya sebagai tawaran-tawaran berupa postulat-postulat yang oleh sebagian kritikus dinamakan dengan qaul al-nadir; qaul al-syazz. Kedudukan hukum pendapat seperti itu masih diragukan validitas dan legalitasnya. Beberapa hal yang penulis kritisi dari pandangan an-Naim terkait materi hukum yang direformulsi melaui konsep naskh tersebut, yaitu: Kekeliruan Abdulah Ahmad An-Na’im terlihat jelas ketika menyatakan bahwa ayat-ayat Madaniyyah yang bersifat dis-
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
235
Zelfeni Wimra
kriminatif harus di-naskh (dengan makna tabdil) oleh ayat-ayat Makkiyyah yang lebih egaliter dan universal. Ia tidak merinci secara keseluruhan ayat Madaniyyah mana yang diskriminatif dan mesti di-naskh itu dan ayat Makkiyyah mana pula yang berfungsi sebagai nasikh (yang membatalkan). 2. Satu hal penting dalam studi perbandingan yang juga luput dari kajian an-Na’im, yakni membandingkan teori naskh dengan teori takhis. Pada beberapa penjelasan mengenai naskh, anNa’im sesungguhnya sedang menjabarkan pengertian takhsis. 3. Sulit mencari peluang untuk mengaktualkan metode pembaharuan Abdullah Ahmad An-Na’im ke konteks sosial umat Islam lain, terutama di Indonesia. Sebab, metode tersebut merupakan studi antarbudaya yang melintasi berbagai kajian, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu Hadis, ushul fiqh, sosiologi hukum, psikologi sosial, dan sebagainya.Sejumlah hal di atas, menurut hemat penulis, kurang diperhitungkan oleh Abdullah Ahmad An-Na’im, sehingga pendapatnya “terkesan” frontal: memunculkan protes atas ketidakmungkinan mengaplikasikannya. Ia kurang hati-hati menafsir pemikiran-pemikiran Barat, termasuk pemikiran gurunya, Mahmud Muhammad Taha. Namun, terlepas dari semua itu, Abdullah Ahmad An-Na’im telah menampakkan kesungguhannya memperjuangkan hal-hal yang menurutnya terisolasi dari kompleksitas permasalahan hukum Islam di zamannya. Atas kesungguhannya melakukan upaya mengintegrasikan pemahaman hukum yang bersifat lokal dengan pemikiran hukum transedental, universal. serta sesuai kebutuhan zaman tersebut, ia sudah dapat dikatakan seorang pemikir hukum Islam. Akan tetapi, sebagai rekomendasi dari penelitian ini, validitas dan legalitas metode yang ditawarkan Abdullah Ahamd An-Na’im dalam kerangka fikih dan ushul fikih tetap menjadi materi kajian atau masalah penelitian yang memerlukan studi lebih lanjut. Pada penelitian ini, disimpulkan, pendapat an-Na’im terkategori kepada teori yang syaz; ganjil; jarang; dan diragukan. 236
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
VII. Saran-Saran Di akhir pembahasan ini, penulis bermaksud menyampaikan beberapa saran kepada: 1. Abdullah Ahmad An-Na’im. Kiranya keseluruhan poin kesimpulan di atas dapat menjadi bahan pertimbangan untuk membaca kembali teori reformulasi naskh. Dengan begitu, umat Islam seluruh dunia dapat memahami dengan jelas bahwa, pertama, teori naskh beserta perangkat kajiannya yang sudah dibentuk oleh ulama terdahulu tidak bisa diabaikan. Dengan kata lain, menawarkan reformulasi naskh semata dengan cara langsung merujuk al-Qur’an dan tidak intens merujuk al-Hadits belum memadai sebagai sebuah teori yang mapan. Kedua, pada semua studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, terdapat ayat Madaniyyah yang telah di-naskh oleh ayat Makkiyyah. Kedua jenis ayat tersebut telah terinci dengan baik sehingga tidak muncul lagi pertanyaan: mana ayat Madaniyyah yang di-naskh dan ayat Makkiyyah me-nasikh itu? 2. Akademisi, pakar, praktisi, pemerhati, dan masyarakat hukum Islam, hendaknya, dalam melakukan upaya pembaruan, tidak mudah melahirkan atau menerima sebuah teori pembaruan sebelum benar-benar menguasai dan memahami metode tersebut. Islam ditinjau dari perspektif sejarah sangat menghormati upaya sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukun yang terkait dengan pergeseran waktu dan tempat berlakunya, seperti salah satu hikmah ayat yang turun seeara beragsur-angsur. Akan tetapi, sangat ditekankan arti penting “kehati-hatian”. Sebab, merumuskan hukum baru berarti merumuskan kebutuhan umat, jasmani dan rohani. Kiranya. “kehati-hatian” tetap menjadi bahan pokok dalam setiap proses pembaruan hukum Islam, terutama di Indonesia.
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
237
Zelfeni Wimra
BIBLIOGRAFI Adams, Lewis Mulford (et.al), Webster’s World University Dictionary, Washington,D.C.: Publisher Company INC, 1965 Alex, Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006 Aliboron dalam Nasikh Mansukh dalam al-Qur’an, Berbagai Perspektif (http://www.aliboron.wordpress.com, 25 Oktober 2010) Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1989 _____, Taufik Adnan, Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, cet. III, Bandung: Mizan, 1992 Amidi, al-Ahkam fi Ushuli al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 2003 Athaillah, “Sifat Operatif Ayat Al-Qur’an: Tanggapan terhadap Teori Nasakh dalam Al-Qur’an)” dalam Al-Banjary jurnal Ilmiah Imu-Ilmu Keislaman, Volume 3 nomor 5 Januari-Juni 2004, Banjarmasin: Pascasarjana IAIN Antasari, 2004 Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami,(Beirut: Muassah ar-Risalah 1996, cet. ke-11 Azim, Al-Zarqani, Abdul, Manahil al-’Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, AlHalabiy, Mesir, 1980 Bahreisy, H. Salim dan Bahreisy, H. Said, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya: PT. Bina Ilmu 1993 Baidowi, Ahmad, dalam Pengantar, Teori Naskh dalam Studi al-Qur’an Gagasan Rekonstruktif M.H. Al-Tabataba>i, Yogyakarta, Nun Pustaka, 2003 Bakker, Anton dan Zubair, Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1992 Bell, Richard, Introduction to The Qur’an, Edinburgh: Edinburgh at the University Press, 1958 Bertens, K., Filsafat Bahasa Abad XX: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1990, cet IV Boullata, Issa J., Dekonstruksi Tradisi, alih bahasa: Imam Khoiri, judul asli: Trends and Issues in Contemporary Arab Tought, Yogyakarta: LkiS, 2001 Camus, Albert, Pemberontak, judul asli: The Rebel, alih bahasa: Max 238
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
Arifin, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000 Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta, PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1998 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra,1989 Donohue, John dan Esposito, John L. (ed.), Islam dan Pembaruan: Ensiklopedi Masalah-masalah, alih bahasa: Machnun Husein, judul asli: Islam in Transition, Muslim Perspektive, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995 Effendi, Djohan, “Konsep-Konsep Teologis”. Dalam Budhy Munawar Rahman (ed) Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995 Esack, Farid, Samudra Al-Qur’an, diterjemahkan dari judul asli: The Quran: a Short Introduction oleh Nuril Hidayah, Jogyakarta: Diva Press, 2007 Fanani, Anwar dan Choir, Tholhatur (ed), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 Fanani, Muhyar Ahdullah Ahmad An-Na’im: Paradigma Baru Hukum Publik Islam, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, A. Khudori Soleh (ed.), Yogyakarta: Jendela, 2003 _____, Muhyar, Konsep Qath’i-Zhanni dan Pemtingnya bagi Metode Istinbath Hukum di Era Modern: Studi Perbandingan antara Jumhur Ulama dan asy-Syatibi, Yogyakarta: Skripsi di IA1N Sunan Kalijaga, 1996 _____, Muhyar Satu Lagi Ide Pembaharuan Hukum Islam: Telaah Kritis atas Metodologi Ahmad Na’im (Sudan), dalam Mukaddimah No. 7 Th. V / 1999 Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: al-Resalah Publishing House, 1997 Ghorbal, Shafik, Cita-cita dan Pergerakan-pergerakan dalam Sejarah Islam, dalam Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Mutlak, judul asli: Islam Straight Ruth, Jakarta: Pembangunan Jakarta, 1963 Haikal, Muhammad Khair, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah asySyar’iyah, Beirut: Daru al-Bayariq, 1996), cet ke-2 Hakim, Abdul Hamid al-Bayan, Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1983 Haourani, Albert, A History of the Arab People, (Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 1991 Harahap, Syahrin, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, Jakarta: IsInnovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
239
Zelfeni Wimra
tiqamah Mulya Press, 2006 Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh cet. 2, Jakarta: Logos Wacana Imu, 1997 Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan A. Garnadi, Bandung: Pustaka, 1994 Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Sebuah kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996, cet.1 Huges, Thomas Patrick, Dictionary of Islam, India: Cosmo Publication, 1982 Izzan, Ahmad, Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an, Ed. Revisi, Bandung: Tafakur, 2009 Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, t.tt.: Dar Mushda li atThaba’ah, t.th, j. 3 Khalaf, ‘Abdu al-Wahhab ‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam, 1978 Khalifa, Mohammad, The Sublime Qur’an and Orientalism, Karachi, Pakistan: International Islamic Publishers, 1989 Khan, Ahmad, Life of Mohammed and Subjects Subsidiary Thereto, Lahore: S.HLM. Mubarak Ali, 1970 ____, Ahmad dalam E. Hahn, “Sir Ahmad Khan’s The Controversy over Abrogation (in the Qur’an): An Annotated Translation”, The Muslim World, (LXIV) 1974 Khozin, Afandi A. dkk, Buku Penunjang Berpikir Teoritis Merancang Proposal, Surabaya, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006 Ladipus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, judul asli: A History of Islamic Societes, Jakarta: Rajawali Press, 1999 Lindholm, Tore dan Vogt, Karl (ed.), Dekosntruksi Syari’ah (II) Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, alih bahasa: Farid Wajidi, judul asli: Islamic Law Reform and Human Rights Challenges and Rejoindes, Yogyakarta: LKiS, 1996 Lopa, Baharuddin, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia Yogyakarta: Dana Bhakti Prima, Yasa 1996 Maliki, Abdurrahman, Nizham al-Uqubat, Beirut: Daru alUmmah,1990, cet ke-2 Mannheim, Karl, Ideology dan Utopia, Menyingkap Pikiran dan politik, alih bahasa: F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1991 Mansfield, Peter (ed.), The Middle East A Political and Economic Survey, 240
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
London: Oxford University Press, 1973 Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy, jilid I, Mesir: Al-Halabiy, 1946 Mayer, Ann Elizzabeth, Islam and Human Rights, Colorado: West View Press, 1995 Muchtar, Kamal (et. al.), Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995 Muhadjir, Noeng Filsafat Ilmu, Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme, Yogyakarta: RAKE SARASIN, 2001 _______, Noeng Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000 Nasution, Harun, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Natis, Muhammad Wahyuni dkk.(ed.), Kontekstualisasi Ajaram Islam: 70 Tahun Prof. Dr. K Munawir Sjadzali, MA., Jakarta: IPHI bekerja sama dengan Paramida, 1995 Na’im, Abdullah Ahmad, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law Syracuse: Syracuse Univercity Press, 1990 _________, Abdullah Ahmad, Mahmud Muhammad Thaha and The Crisisin Islamic law Reform: Implications for Interreligious Relations, dimuat Journal of Ecumencial Studies, Temple University, Volume 25, Winter, 1988 _________, Abdulah Ahmad, Al-Qur’an, Syari’ah, dan HAM: Kini dan di Masa Depan, Jurnal Islamika, No. 2, Oktober-Desember 1993 _________, Abdullah Ahmad, “Translator Introduction”, dalam Mahmoud Muhammad Thaha, The Second Message of Islam, Syracuse: Syracuse University Press, 1987 _________, Abdullah Ahmad, Sekali Lagi, Reformasi Islam; dalam Lindholm, Tore dan Vogt, Kari (Eds.) Dekonstruksi Syari’ah (II), Kritik Konsep, Penjelahan Lain, judul asli: Islamic Law Reform and Human Rights Challenges and Rejoinders, alih bahasa: Farid Wajidi Yogyakarta: LKiS, 1993 _________, Abdullah Ahmad, “Islamic Foundation of Islamic Human Rights,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), “Relgious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective” The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996 _________, Abdullah Ahmad, Interview with Abdullah Ahmad anInnovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
241
Zelfeni Wimra
Na’im, situs http://www.law.emory.edu/IFl./ _________, Abdullah Ahmad, Dekonstruksi Syai’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, Dan hubungan Internasinal dalam Islam, alih bahasa: Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, judul asli: Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Rights and International Law, Yogyakarta: LkiS, 2001 _________, Abdullah Ahmad, Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, Bandung: Mizan, 2007 Noor, Farish A. (ed.), New Voices of Islam, Leiden: Internasional lnstitut for Study of Islam in Modern World, [ISIM], 2002 Nuruddin, Amiur, Ijtihad Umar ibn al-Khaththab, Studi tentang Perubahan Hukun dalam Islam, Jakata: CV. Rajawal, 1991 Proposal Konstitusi Islam yang dihasilkan Universitasal-Azhar Cairo pada 1978, Al-azhar, Majma’ al-Buhuts al-Islamiya, Idarat a-Saktariya al-Faniyah Cairo: Council for Islamic Research, 5 Oktober 1978 Qardhawi, Yusuf, Ijtihad dalam Syari’at Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1987 Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi Ulumi al-Qur’an, (t.tp. Mansyurat al-Atsr al-Hadits, 1973. Edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul: Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Alih Bahasa: Mudzakir, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1996 Razi, Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, Mesir: Mathba’at al-Khairiyah, 1307 H Razi, Muhammad Ibnu Umar ibn Husain, al- Mahsul fi ‘Ilm Ushul alFiqh, Beirut: Dar al-Kutub al-Amaliyah, t.t Rahman, Fazlur, Mayor Themes of The Qur’an, Minneapolis, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980 Redaksi, Sekilas tentang Sudan, Jakarta: Republika, edisi 2 Maret1997 Rippin, Andrew (ed), Approaches to the History of the Interpretation of The Qur’an, New York: Oxford University Press, 1988 Rosyada, Dede dan Ubaidillah, A. dkk., Pendidikan Kewargaan (Civil Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan The Asia Foundation dan PRENADA MEDIA, 2000 Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th. Safwat, Safia Islamic Law, in the Sudan, dalam Aziz al-Azrneh (ed.), 242
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im tentang Teori Naskh
Islamic Iaw: Social and Hisrotical Context, New York: Routledge, 1989 Salikin, Adang Djumhur, Rekonstruksi Syari’at dalam Gagasan Ahmed An-Na’im, Medan: Program Pascasarjana IAIN SU, 1997 Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, judul asli: Mabahits fi Ulumi al-Qur’an, alih bahasa: Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Ilrnu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972 Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999 Soleh, A. Khudori (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003 Solihin, Iin, Dekonstruksi Syari’ah, Pembaharuan Hukum Menurut Abdullah Ahmad an-Na’im, Tesis IAIN Imam Bonjol Padang, 2001 Subki, Tajuddin ‘Abdu al-Wahhab Jam’u al-Jawami’, Beirut: Dar alFikr, 1974 Sulaiman, Mustafa Muhammad al-Nasakh fi al-Qur’an al-Karim waalRaddu ‘ala Munkirihi, Mesir: Mathba’ah al-Amanah, 1991 Supena, Ilyas dan Fauzi, M., Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002 Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 2 vol. Beirut: Maktab al-Thaqafiyyah, 1973 Syafe’i, Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006 Syafi’i, al-Umm, Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1961 Syafrin, Nirwan”Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syari’at Islam” Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2007 Syahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Judul Asli: Nahw Ushul Jadidah li al-Fiqih al-Islami, Alih bahasa: Sahiron Syamsuddin, MA dan Burhanuddin, Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press, 2004 ______, Muhammad Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, Judul asli: al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, alih bahasa: Sahiron Syamsuddin, MA dan Burhanuddin Dzikri, S.Th.I, Yogyakarta: aLSAQ Press, 2008 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh I cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
243
Zelfeni Wimra
1997 Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at, Jilid I, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 2003 Syaukani, Ima S.Ag., MH, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006 Taha, Mahmud Muhammad, Arus Balik Syari’ah, diterjemahkan oleh Khairan Nahdiyyin, Yogyakarta: LKiS, 2003 ____, Mahmoud Muhammad The Second Message of Islam, Syracuse: NY Syracuse University Press, 1987 Wafa, Muhammad, Ta’arudh al-Adillah asy-Syar’iyyah min alKitab wa as-Sunnah wu at-Tajih Bainaha, Kairo: al-Mutanabbi, 1992/1412 Wansbrough, John, Quranic Studies, Oxford: Oxford University Press, 1977 Watt, W. Montgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh at the University Press, 1958 Zaid, Mushthafa, An-Naskh fi Al-Quran al-Karim Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, 1951 Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, alih bahasa: Khoirin Nahdiyyin, judul asli: Mafhum an Nash Dirasah fi Ulum A-Quran, Yogyakarta: LkiS, 2005 Zarqany, Muhammad Abd al-Azim, Manahil al-Irfan , Isa al-Rabi alHalabi, tt.
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986 Zuhdi, Masyfuk Pengantar Ilmu Qur’an, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1990
244
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012