PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK
MOCHAMAD ISKANDARSYAH
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN MOCHAMAD ISKANDARSYAH. Pemetaan Shadow Zone Akustik dengan Menggunakan Metode Parabolic Equation di Wilayah Perairan Selat Lombok. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI dan INDRA JAYA. Dalam melakukan perambatan di dalam air, gelombang suara dipengaruhi oleh karakteristik oseanografi seperti salinitas, suhu, dan tekanan dimana ketiga hal ini mempengaruhi kecepatan gelombang suara dalam air. Saat melakukan perambatan, gelombang suara membentuk suatu pola tertentu yang dapat dipengaruhi oleh frekuensi, posisi sumber suara dan posisi penerima. Dalam melakukan penyusupan, kapal selam kerap kali menggunakan shadow zone yang merupakan zona dimana hampir tidak terjadi perambatan gelombang suara, sehingga kapal selam tersebut dapat terhindar dari SONAR (Sound Navigation and Ranging) pihak lawan. Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan shadow zone akustik berdasarkan kondisi oseanografi pada perairan Selat Lombok dengan memanfaatkan data hasil rekaman mooring buoy dari program INSTANT. Data yang digunakan berupa data suhu, salinitas, dan kedalaman selama bulan Juli 2005 di Utara Perairan Selat Lombok, pada koordinat 080 26’ 2322” LS dan 1150 45’ 331” BT. Salah satu cara untuk memetakan shadow zone adalah dengan melakukan simulasi komputer tentang perambatan gelombang suara di laut. Penelitian ini menggunakan empat buah frekuensi yang berbeda (100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz) dengan menggunakan tiga kedalaman sumber suara yang berbeda ( 30 m, 110 m, dan 300 m). Secara umum pada kedalaman sumber suara 30 m, 110 m, dan 300 m frekuensi 100 Hz mengalami kehilangan suara yang paling besar sehingga banyak terbentuk shadow zone di kolom perairan karena pada frekuensi 100 Hz, gelombang suara memiliki panjang gelombang yang paling panjang sehingga mampu melakukan penetrasi kedalam sedimen yang menyebabkan nilai TL bertambah dan memunculkan lebih banyak shadow zone. Frekuensi 50.000 Hz shadow zone lebih sedikit jika dibandingkan dengan frekuensi 1.000 Hz dan 10.000 Hz. Nilai Transmission Loss dipengaruhi oleh kedalaman sumber suara.
PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK
MOCHAMAD ISKANDARSYAH C54061833
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SKRIPSI
Judul Penelitian : PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN MENGGUNAKAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK Nama : Mochamad Iskandarsyah NRP : C54061833 Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir.Sri Pujiyati, M.Si NIP : 19671021 199203 2 002
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP : 1961041 198601 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Sidang : 27 Juli 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN MENGGUNAKAN METODE PARABOLiC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Mochamad Iskandarsyah C54061833
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
70
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 26 Januari 1989 dari ayah yang bernama Drs. Mochamad Chandra Widjaja, MM dan ibu bernama Hermiati, Bsc. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2006 penulis menamatkan pendidikan menengah di SMA Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan , Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan di kampus dan organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai anggota Departemen Penelitian dan Kebijakan (LITJAK) periode 2007/2008, sebagai Kepala Departemen LITJAK periode 2008/2009 dan sebagai Dewan Penasehat HIMITEKA periode 2009/2010. Di tingkat Fakultas, penulis pernah aktif di Badan Esekutif Mahasiswa (BEM) FPIK sebagai anggota Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) periode 2007/2008. Penulis pernah menjadi delegasi HIMITEKA IPB dalam rangka MUKERNAS Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Nasional (HIMITEKINDO) di Surabaya tahun 2008 dan MUNAS HIMITEKINDO di Pekanbaru tahun 2010. Pengalaman kerja penulis antara lain sebagai asisten mata kuliah Dasar-dasar Instrumentasi Kelautan tahun 2008/2009, asisten mata kuliah Ekologi Laut Tropis periode 2009/2010 sampai 2010/2011, asisten lapang mata kuliah Biologi Laut periode 2010/2011, dan magang di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo selama 1 bulan pada tahun 2009. Penulis berkesempatan mengikuti pelayaran Kapal Riset Baruna Jaya III BPPT ke Ambon dalam rangka kegiatan Sail Banda 2010. Dalam rangka menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Pemetaan Shadow Zone Akustik dengan Menggunakan Metode Persamaan Parabolik di Selat Lombok”
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan karunia yang telah diberikanNya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Orang tua, Adik, dan keluarga besar yang selalu mendukung doa dan materi, 2. Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku dosen pembimbing, 3. Dr.Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc dan Dr. Ir. Nyoman M. Natih, M.Sc selaku dosen penguji dan perwakilan komisi pendidikan sarjana 4. Dr.Ir.Djisman Manurung, M.Sc selaku pembimbing akademik 5. Staf pengajar dan para pegawai di lingkungan Departemen ITK 6. Apriliana Utami Hapsari, SE atas dorongan dan semangatnya selama ini 7. Muhammad Iqbal, S.Pi , Hendri Dayu, S.Pi, Arief Wicaksana, S.Pi, Asep Ma’mun, S.Pi, Asmadin, S.Pi, M.Si, Cristiadi Triyatna, S.IK, Rizki Rizaldi Hidayat, S.IK, Hengky Wibowo, Githa Prima Putra, S.IK, Masagus Zulhafiz, Herbeth Marpaung, S.IK, Erik Munandar dan segenap keluarga besar Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis. 8. Steven Syahrinaldi, S.IK sebagai kakak asuh 9. Olivier Yonathan dan Risnie Fitriani, S.IK atas diskusi di bidang oseanografi
10. Warga ITK khususnya ITK 43 atas semangat dan dorongannya, 11. Penghuni Perwira 88 (Saul Limbong, S.Kom, M.Rizki Sulistiono, S.Pi, Maria Putri, Hawara Sebastian Sitompul, SE, dan Christina Ratih), Wisma Galih (Ahmad Rifai, Dori Irianto, S.IK, Enda, S.IK, Erlan Nurcahya Putra, dan Moh. Zainul Rijal) dan Asrama TPB C3 Lorong 5 tahun 2006/2007 12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis membutuhkan saran dan kritik untuk perbaikan di masa depan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, Amin.
Bogor, Juli 2011
Mochamad Iskandarsyah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................. i DAFTAR GAMBAR ................................................................................. ii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. iii 1. PENDAHULUAN................................................................................. 1 1.1. Latar belakang .................................................................................. 1 1.2. Tujuan ............................................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3 2.1. Perambatan Gelombang Suara Dalam Air........................................ 3 2.2. Profil Kolom Perairan ....................................................................... 6 2.2.1. Suhu........................................................................................... 6 2.2.2. Salinitas ..................................................................................... 7 2.2.3. Lapisan Termoklin .................................................................... 8 2.2.4. Kedalaman dan Dasar Perairan ................................................. 9 2.3. Shadow Zone Akustik ....................................................................... 10 2.4. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) ................................................. 11 2.5. Kondisi Umum dan Geografis Selat Lombok .................................. 12 2.6. INSTANT ......................................................................................... 14 2.7. Model Persamaan Parabolik ............................................................. 14
3. BAHAN DAN METODE .................................................................... 18 3.1. Lokasi dan Waktu penelitian ............................................................. 18 3.2. Perangkat dan Peralatan .................................................................... 19 3.3. Pengambilan Data ............................................................................. 20 3.4. Simulasi Data .................................................................................... 21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 24 4.1. Profil Vertikal Kecepatan Suara, Suhu, dan Salinitas ...................... 24 i
4.1.1 Profil Vertikal Kecepatan Suara ................................................. 24 4.1.2 Profil Vertikal Salinitas .............................................................. 25 4.1.2 Profil Vertikal Suhu .................................................................... 27 4.2. Simulasi Nilai Kehilangan Transmisi terhadap Kedalaman dan Jarak ........................................................................................... 28 4.2.1. Kedalaman Sumber 25 m dan Kedalaman Penerima 30 m ....... 29 4.2.2. Kedalaman Sumber 110 m dan Kedalaman Penerima 115 m ... 34 4.2.3. Kedalaman Sumber 300 m dan Kedalaman Penerima 310 m ... 42
5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 53 5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 53 5.2. Saran ................................................................................................. 54 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 55 LAMPIRAN ............................................................................................... 57
ii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Shadow Zone Akustik ....................................................................... 10 2. Peta Arlindo ...................................................................................... 12 3. Peta Lokasi Penelitian ...................................................................... 18 4. Diagram Alir Pengolahan Data......................................................... 23 5. Hubungan Kecepatan Suara dan Kedalaman Secara Vertikal .......... 25 6. Hubungan Salinitas dan Kedalaman Secara Vertikal ....................... 26 7. Hubungan Suhu dan Kedalaman Secara Vertikal............................. 28 8. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 25 m, Kedalaman Penerima 30 m, dan Frekuensi Yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz....................... 35 9. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz ................................................... 36 10. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz Setelah Running Average ......... 37 11. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 110 m, Kedalaman Penerima 115 m, dan Frekuensi Yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz....................... 43 12. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz ................................................... 44 13. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz Setelah Running Average ......... 45 14. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 300 m, Kedalaman Penerima 310 m, dan Frekuensi Yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz....................... 50 15. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz ................................................... 51 16. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz Setelah Running Average ......... 52
iii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Tutorial Pengolahan ............................................................................. 57
2.
Contoh Definisi Parameter .................................................................. 66
iv
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dewasa ini banyak terjadi ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI) baik dari darat maupun dari laut. Di laut sendiri banyak terjadi pelanggaran kedaulatan oleh kapal asing dengan berbagai macam cara mulai dari pencurian ikan tanpa izin, klaim suatu wilayah NKRI secara sepihak oleh negara tetangga sampai melakukan operasi militer seperti kapal selam asing melakukan penyusupan di wilayah laut teritorial NKRI. Menurut Konvensi Hukum Laut Internasional / United Nations Convention on the Law of the Sea ( UNCLOS ) PBB tahun 1982 yang diratifikasi oleh Indonesia yaitu pada artikel 49 dengan tegas menyatakan status legal negara kepulauan ( Indonesia ) berkedaulatan penuh atas perairan dan landas kontinen di bawah serta udara di atasnya. Dalam menjaga kedaulatan NKRI terutama dari ancaman yang berada di laut perlu dilakukan pembangunan pertahanan secara terpadu. Selain pengadaaan Alat Utama Sistem Pertahanan (ALUTSISTA) juga diperlukan penguasaan teknologi pemantauan anti kapal selam, yang dapat dipergunakan untuk melacak kapal selam yang menyusup ke wilayah teritorial Indonesia. Penyusupan kapal selam kerap menggunakan “daerah kedap” gelombang suara (shadow zone). Daerah ini merupakan zona aman dimana suhu dan salinitas air laut pada zona tersebut membelokkan gelombang suara yang datang sehingga kapal selam tersebut terhindar dari ( Sound Navigation and Ranging) SONAR pihak lawan.
1
2
Salah satu cara untuk mengantisipasi yang dilakukan adalah melalui simulasi komputer mengenai pola perambatan gelombang suara di laut untuk mengetahui pola perambatan gelombang suara tersebut sehingga dapat di tentukan Shadow Zone akustik. Cara lainnya adalah dengan memasang receiver di wilayah perairan yang rawan untuk dilalui oleh kapal selam seperti Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan shadow zone berdasarkan kondisi oseanografi pada Perairan Selat Lombok.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perambatan Gelombang Suara Dalam Air Kecepatan suara dalam air laut merupakan variabel oseanografik yang menentukan pola pemancaran suara di dalam medium (Kadarwati, 1999). Kecepatan suara bervariasi terhadap kedalaman, musim, posisi geografis dan waktu pada lokasi tertentu. Di perairan dangkal dekat pantai, profil kecepatan suara cenderung tidak teratur dan sulit di prediksi. Faktor fisik air laut yang paling menentukan dalam mempengaruhi kecepatan suara di dalam air laut adalah suhu, salinitas, dan tekanan (Urick, 1983). Di dalam air laut, kecepatan gelombang suara mendekati 1.500 m/ detik (umumnya berkisar 1.450 m/detik sampai dengan 1.550 m/detik, tergantung suhu, salinitas, dan tekanan) (Lurton, 2002). Beberapa peneliti merumuskan persamaan kecepatan gelombang suara dalam air laut yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, dan tekanan, diantaranya Medwin dan Clarence (1998) c 1.449, 2 4, 67T 0, 055T 2 0, 00029T 3 (1,34 0, 01T )( S 35) 0, 016 z ...(1) dimana:
c kecepatan suara (m/s) T suhu (derajat celcius) S salinitas (psu) z kedalaman (m) Menurut Lurton (2002) secara sederhana pola perambatan gelombang suara di dalam laut yang dibagi secara vertikal adalah sebagai berikut: a. Lapisan tercampur, dimana kecepatan suara relatif konstan, biasanya ditemukan sampai kedalaman beberapa meter dari permukaan.
3
4
b. Surface channel, kecepatan suara meningkat jika dibandingkan pada saat berada di lapisan tercampur. c. Termoklin, pada lapisan ini kecepatan suara akan menurun dengan bertambahnya kedalaman, karena biasanya suhu menurun secara drastis dalam kedalaman yang relatif dangkal pada lapisan ini. Termoklin dapat muncul secara musiman (jika dekat dengan permukaan) atau permanen. d. Deep channel, kecepatan suara pada lapisan ini mendekati minimum. Rata-rata kedalaman lapisan ini mulai dari beberapa ratus meter sampai 2000 m e. Lapisan isothermal, pada lapisan ini suhu relatif konstan, kecepatan suara bertambah secara linear seiring bertambahnya kedalaman karena pengaruh tekanan hidrostatis. Namun secara nyata di alam, kecepatan suara di dalam laut masih dipengaruhi oleh beberapa hal seperti arus, pertukaran massa air, masukan air tawar dari sungai (dekat dengan daerah estuari, posisi lintang, pasang surut dan internal wave).
Dalam melakukan perambatan di dalam air, gelombang suara mengalami kehilangan energi transmisi yang merupakan akumulasi penurunan energi intensitas akustik ketika tekanan akustik berpropagasi. Kehilangan energi ini dapat terjadi karena penyebaran gelombang akustik, penyerapan energi, dan pemantulan yang terjadi di dasar atau permukaan perairan. Intensitas gelombang akustik akan semakin berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi. Pada perairan dangkal, transmisi suara memiliki karateristik suara yang tergantung pada frekuensi. Ada frekuensi optimum untuk pertambahan jarak jauh,
5
frekuensi tersebut akibat kompetisi perambatan dan mekanisme atenuasi pada frekuensi tinggi dan rendah. Pada frekuensi tinggi, kehilangan akibat penghamburan dan volume semakin meningkat dengan meningkatnya frekuensi (Jensen et al, 1994). Sebuah sumber akustik di air yang memancarkan gelombang akustik dengan intensitas energi tertentu akan mengalami penurunan intensitas bunyi bersamaan dengan bertambahnya jarak propagasi dari sumbernya. Hal ini terjadi karena sumber akustik memiliki intensitas yang tetap, sedangkan luas permukaan bidang yang dilingkupi akan semakin besar dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi. Penyebaran gelombang akustik dibatasi oleh permukaan laut dan dasar suatu perairan. Gelombang suara yang sedang berpropagasi akan mengalami penyerapan energi akustik oleh medium sekitar daerah propagasi. Secara umum, penyerapan suara merupakan salah satu bentuk kehilangan energi yang melibatkan proses konversi energi akustik menjadi energi panas, sehingga energi gelombang suara yang merambat mengalami penurunan intensitas (atenuasi) (Pongoet, 2008). Secara umum, formula untuk mencari koefisien atenuasi menurut Jensen et all, (1994) adalah
0, 033
0,11 f 2 44 f 2 0, 0003 f 2 …………………………………(2) 1 f 2 4100 f 2
dimana:
= koefisien atenuasi (dB/km) f =frekuensi (Hz)
6
Kehilangan energi akibat pemantulan terjadi pada saat gelombang akustik berpropagasi melewati dua medium yang memiliki perbedaan indeks bias cukup besar. Perbedaan yang cukup besar ini mengakibatkan gelombang suara dipantulkan oleh perbatasan antar kedua medium tersebut (Pongoet, 2008).
2.2. Profil Kolom Perairan 2.2.1. Suhu
Suhu merupakan salah satu karakter fisik dari air laut yang penting. Di wilayah lintang sedang dan rendah (dekat dengan wilayah tropis), suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi densitas dan kecepatan suara di dalam air. Suhu di daerah tropis pada wilayah permukaan laut berkisar 26-29 oC yang dipengaruhi oleh musim (Pickard dan Emery, 1990). Distribusi suhu permukaan dibagi menjadi beberapa zona yang dipengaruhi oleh posisi lintang. Suhu tinggi di dapat di zona ekuator dimana cahaya matahari cenderung banyak berada pada zona ini, sedangkan daerah suhu rendah berada di dekat wilayah kutub (Stewart, 2008). Pada daerah non kutub, sifat-sifat air pada lapisan isotermal yang dipengaruhi oleh angin sehingga menyebabkan adanya pengadukan menyebabkan lapisan ini memiliki temperatur yang cenderung konstan. Oleh karena itu, pada lapisan isothermal memiliki bentuk profil suara yang bertambah sejalan dengan kedalaman laut yang disebabkan pengaruh gradien tekanan (Jensen et al, 1994). Pada kondisi perairan laut yang mempunyai suhu berbeda-beda menimbulkan variasi kecepatan suara yang menyebabkan refraksi atau pembelokan perambatan gelombang suara. Perubahan suhu yang sangat cepat
7
pada lapisan termoklin menyebabkan pembelokan gelombang suara yang tajam dan pada lapisan ini bertindak sebagai bidang pantul.
2.2.2. Salinitas
Menurut Sanusi (2006) salinitas adalah jumlah zat-zat terlarut dalam 1 kg air laut, dimana semua karbonat telah diubah menjadi oksida, bromide dan iodide diganti oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi sempurna. Pada umumnya perairan laut lepas memiliki kadar salinitas 35 psu; yang berarti dalam 1 kg air laut mengandung elemen-elemen kimia terlarut seberat 35 gram. Dimana komposisi air laut tersebut terdiri atas 3,5% elemen-elemen kimia terlarut dan 96,5% kandungan airnya. Di perairan estuari dimana aliran sungai bermuara, kadar salinitasnya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan perairan laut lepas. Hal ini disebabkan oleh adanya percampuran massa air laut dengan massa air sungai yang memliki salinitas rendah (Sanusi, 2006). Salinitas dapat mempengaruhi kecepatan suara di dalam air, teutama di wilayah lintang tinggi (dekat kutub) dimana suhu mendekati titik beku, salinitas merupakan salah satu paling faktor penting yang mempengaruhi kecepatan gelombang suara di dalam air. Distribusi vertikal salinitas pada wilayah tropis, ekuator, dan sub tropis mengalami nilai yang paling kecil pada kedalaman 6001000 m (34-35 pratical salinity unit/psu). Di wilayah tropis nilai salinitas pada permukaan berkisar 36-37 psu. Salinitas maksimun pada wilayah perairan tropis terjadi pada kedalaman 100-200 m dekat dengan lapisan termoklin dimana kadar salinitas dapat mencapai lebih dari 37 psu. Di daerah laut dalam, kadar salinitas
8
relatif seragam dengan nilai 34,6-34,9 psu (Pickard dan Emery, 1990). Salinitas di samudera seperti Atlantik, Pasifik, dan Hindia rata-rata 35 psu, di wilayah laut yang tertutup, nilai salitas rata-rata tidak jauh dari kisaran 35 psu tergantung dari penguapan yang terjadi (Lurton, 2002).
2.2.3. Lapisan Termoklin
Lapisan termoklin merupakan lapisan yang berada dalam kolom perairan di laut yang dimana pada lapisan ini mengalami perubahan suhu yang drastis dengan lapisan yang berada dan di bawah lapisan termoklin. Di laut, termoklin seperti lapisan yang membagi antara lapisan pencampuran (mixing layer) dan lapisan dalam (deep layer). Tergantung musim, garis lintang dan pengadukan oleh angin, lapisan ini bersifat semi permanen. Faktor yang menentukan ketebalan lapisan ini di dalam suatu perairan seperti variasi cuaca musiman, lintang, kondisi lingkungan suatu tempat ( pasang surut dan arus). Secara umum terbentuknya lapisan termoklin dikarenakan penyerapan sinar matahari pada siang hari oleh permukaan laut ( karena energi panas diradiasikan ke atmosfer). Panas yang berada di permukaan air laut ini di distribusikan ke bagian dalam sampai kedalaman 100-200 m (yang disebut lapisan tercampur) sehingga suhu pada zona ini relatif homogen. Di bawah zona pencampuran dimana tidak ada peristiwa pengadukan maka suhunya menjadi turun dengan cepat mendekati suhu pada lapisan dalam. Penurunan suhu berbanding lurus dengan penambahan kedalaman dan salinitas. Pada daerah dimana terjadi penurunan suhu secara cepat inilah dinamakan lapisan termoklin. Di laut terbuka, lapisan ini berkarakter sebagai gradient kecepatan suara negatif
9
dimana dapat memantulkan gelombang suara. Secara teknik lapisan ini membendung dari impendansi akustik yang terputus-putus (diskontinu) yang tercipta dari perubahan densitas secara mendadak. Karateristik yang unik inilah yang membuat pentingnya lapisan termoklin untuk diketahui, terutama dibidang pertahanan dan keamanan (kapal selam). Pada wilayah tropis, rata-rata lapisan termoklin berada pada kedalaman 200-400 m (Pickard dan Emery, 1990).
2.2.4. Kedalaman dan Dasar Perairan
Kedalaman mempengaruhi cepat rambat suara di dalam air laut. Bertambahnya kedalaman, maka kecepatan suara akan bertambah karena adanya tekanan hidrostatis yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Ratarata terjadi peningkatan kecepatan suara sebesar 0, 017 m/detik setiap kedalaman bertambah 1 meter. (Lurton, 2002). Permukaan laut merupakan pemantul dan penghambur suara yang mempunyai efek yang sangat besar dalam perambatan suara ketika sumber atau penerima berada di perairan dangkal. Jika permukaan halus sempurna, maka ia akan menjadi pemantul suara yang nyaris sempurna. Sebaliknya jika permukaan laut kasar kehilangan akibat pantulan mendekati nol (Kadarwati, 1999). Perairan Indonesia memiliki gambaran relief dasar laut yang unik, semua tipe relief dasar laut bisa diketemukan seperti paparan yang dangkal, depresi dalam dengan berbagai bentuk, berbagai bentuk elevasi berbentuk gunung bawah air, terumbu karang, dan sebagainya. Dasar laut memiliki karateristik yang dapat memantulkan dan menghamburkan suara serta dapat membentuk shadow zone. Dasar laut memiliki
10
lapisan yang berlapis-lapis dengan densitas dan kecepatan suara yang berubah secara bertahap atau acak terhadap kedalaman. Selain itu komposisi di dasar laut bervariatif mulai dari batuan yang keras sampai lumpur yang lunak ( Kadarwati, 1999).
2.3. Shadow Zone Akustik Shadow Zone adalah suatu wilayah dimana gelombang suara tidak dapat
merambat atau lemah sehingga hampir tidak dapat merambat dalam suatu medium. Menurut Urick (1983) di kolom perairan terjadi pembelokan gelombang suara (refraksi) yang terjadi karena perbedaan kedalaman, salinitas dan suhu ait laut. Pengaruh yang paling nyata terlihat jika terjadi kenaikan suhu air laut sebesar 1 C0 akan menyebabkan meningkatnya kecepatan suara sebesar 1m/detik. Akibatnya jika suhu meningkat menurut kedalaman maka gelombang suara yang dipancarkan akan cenderung dibelokan ke arah permukaan air.
Sumber: http://www.dosits.org Gambar 1. Shadow Zone Akustik
11
Sebaliknya jika suhu menurun karena kedalaman maka gelombang suara akan cenderung dibelokan ke dasar perairan. Karena terjadi pembelokan gelombang suara ke permukaan dan ke dasar perairan, maka terdapat wilayah yang tidak terjadi perambatan gelombang suara yang disebut shadow zone. Jarak dari sumber suara ke shadow zone ditentukan oleh laju perubahan suhu terhadap kedalaman, kedalaman sumber suara, dan kedalaman penerima suara.
2.4. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)
Wilayah perairan Indonesia dialiri oleh dua sistem arus, yaitu Arus Monsun Indonesia (ARMONDO) dan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). ARMONDO mengalir secara rata-rata dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut Jawa lewat Laut Natuna dan Selat Karimata. Kemudian dari Laut Jawa, ARMONDO meneruskan alirann
ya ke laut-laut jeluk, yaitu Laut Flores dan
Laut Banda. ARLINDO adalah aliran massa air yang berbentuk arus laut dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia dan mengalir di bagian laut jeluk di kawasan timur kepulauan Indonesia. ARLINDO ini melewati hamparan pulau besar dan kecil di wilayah perairan Indonesia Timur yang memiliki struktur batimetri yang menunjukan adanya palung yang jeluk, basin laut, dan kepulauan karang, sehingga ARLINDO memiliki dinamika dan pergerakan massa air yang kompleks di kawasan tersebut (Pranowo et al, 2006 dalam Kharishma, 2009). ARLINDO merupakan bagian tak terpisahkan dari system termohaline circulation dunia dan berpengaruh besar pada dinamika yang terjadi baik di Samudera Pasifik maupun Samudera Hindia (Sprintall et all, 2003 dalam Abdul Rauf , 2007) .
12
ARLINDO sendiri memasuki perairan Indonesia dari Samudera Pasifik melalui lapisan termoklin (Hautala, 1996 dalam Abdul Rauf, 2007). Berikut adalah gambaran sistematik mengenai ARLINDO di Indonesia (Gambar 1).
. Sumber:http://www.ldeo.columbia.edu
Gambar 2. Peta Arlindo
2.5. Kondisi Umum dan Kondisi Geografis Selat Lombok
Selat Lombok terletak diantara Pulau Bali dan Pulau Lombok, menghubungkan Laut Flores dengan Samudera Hindia. Selat Lombok memiliki panjang sekitar 60 km dengan lebar 30 km di sebelah utara dan 18 km di sebelah selatan. Kedalaman Selat Lombok bagian utara lebih dari 1000 m dan menjadi 250 m di daerah ambang dibagian selatan (Arief, 1997 dalam Kharishma, 2009). Menurut Arief (1997) dalam Kharishma (2009), Selat Lombok dibagi menjadi tiga zona berdasarkan profil rata-rata suhu dan salinitas, yaitu : a. Lapisan permukaan
13
Lapisan permukaan memiliki kisaran suhu musiman hingga 2,00 C. Ketebalannya bervariasi dengan waktu dan lokasi. Ketebalan lapisan isothermal permukaan mempunyai kisaran antara 2 m di bagian selatan
Selat Lombok hingga 70 m di bagian utara. b. Lapisan termoklin Lapisan ini terletak di antara lapisan permukaan hingga kedalaman 300-400 m dengan gradien suhu 0,020 C/m. Suhu air laut berkisar 280C di bagian atas dan 70 C di bagian bawah. c. Lapisan di bawah lapisan termoklin Suhu air laut menurun secara lambat dengan bertambahnya kedalaman air pada lapisan ini. Pada kedalaman 500 m suhu air laut mencapai 7-80 C. Terdapat 4 zona salinitas di Selat Lombok (Arief 1997 dalam Kharishma 2009), yaitu : a. Lapisan permukaan Lapisan permukaan merupakan lapisan yang berada di permukaan hingga kedalaman 50-100 m dengan nilai salinitas yang relatif rendah di bawah 33,5 psu. Lapisan ini mempunyai variabilitas musiman yang tinggi karena terkait dengan asal sumber massa air. b. Lapisan salinitas maksimum Lapisan salinitas maksimum berada pada kedalaman 75-175 m. Umumnya nilai salinitas di atas 34,6 psu. c. Lapisan salinitas minimum Lapisan ini berada pada kedalaman 250-350 m dengan nilai salinitas kurang dari 34,52 psu.
14
d. Lapisan di lebih dalam dari 400 m Lapisan ini ditandai dengan salinitas yang bertambah secara perlahan hingga 34,54-34,58 psu pada kedalaman 500 m. Di selatan ambang Selat Lombok, di bagian Samudera Hindia ditemukan massa air dengan salinitas maksimum dengan nilai mencapai 34,8 psu pada kedalaman 550 m. Massa air ini menyebabkan terjadinya suhu maksimum relatif. Selat Lombok dihubungkan dengan Selat Makassar oleh alur berkedalaman 600-1000 m sepanjang timur Paparan Sunda. Kondisi topografi ini memungkinkan Selat Lombok berfungsi sebagai saluran langsung massa air Pasifik bagian barat ke Lautan Hindia (Arief, 1997 dalam Kharishma, 2009).
2.6. INSTANT
Ekspedisi INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport) merupakan program kerjasama antara Indonesia, Amerika Serikat,
Austaralia, Belanda, dan Perancis dengan tujuan untuk menguak ARLINDO (Arus Lintas Indonesia). Ekspedisi ini dilaksanakan pada tahun 2003 hingga 2005 dengan wilayah penelitian meliputi Selat Makassar, Selat Lifamatola, Selat Lombok, Selat Ombai, dan Selat Timor (Sprintall et al, 2004 dalam Kharishma, 2009).
2.7. Model Persamaan Parabolik
Metode Persamaan Parabolik merupakan merupakan metode yang efektif dalam mengatasi masalah ketergantungan jarak dalam akustik kelautan. Metode ini mulai diperkenalkan oleh Hardi dan Tappert pada tahun 1970-an yang
15
menemukan solusi numerik pada transformasi fourrier. Sejak saat itu metode ini menjadi populer dalam menyelesaikan masalah perambatan suara dalam akustik kelautan (Jensen et al, 1994). Secara matematis, model perambatan suara dengan menggunakan teori persamaan parabolik dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut. Pertamatama, persamaan gelombang suara ditransformasikan dari domain waktu ke domain frekuensi. Dari Transformasi ini dihasilkan persamaan Helmholtz sebagai berikut: 1 p 1 p 2 2 k0 n p 0 ....................................................(3) r z r r r z z z
dimana p r , z adalah tekanan akustik, z adalah densitas air laut, k0 adalah bilangan gelombang acuan, k0 / c0 , n(r , z ) adalah indeks refraksi (n c0 / c) , adalah frekuensi sudut, c adalah kecepatan suara dalam air dan r adalah jarak sumber ke penerima. Bentuk penyelesaian persamaan (4) adalah berupa fungsi Hankel: p (r , z ) ( r , z ) H 0 (1) ( k0 r ) .....................................................................................(4)
Dengan mensubsitusikan penyelesaian ini kedalam persamaan Helmholtz akan dihasilkan persamaan berikut : 2 2 2 ik 2 k02 (n 2 1) ......................................................................(5) 0 2 r r z Bila didefinisikan suatu operator : P
r
dan
Q n2
1 2 k02 z 2
Maka persamaan (6) di atas dapat ditulis lebih ringkas sebagai :
……... ..….(6)
16
P 2 2ik0 P k02 (Q 2 1) 0 ............................................................................(7)
Selanjutnya, persamaan yang berbentuk parabolik ini dapat diurai menjadi dua komponen, yakni untuk gelombang yang menjauhi sumber (outgoing wave) dan yang mendekati sumber (incoming wave)
P ik0 ik0Q ( P ik0 ik0Q) ik0 P, Q 0 ...............................................(8) Bila diasumsikan energi dari gelombang yang mendekati sumber sangat kecil dibanding dengan gelombang yang menjauhi sumber sehingga hanya gelombang yang menjauhi sumber saja yang dominan maka akan diperoleh bentuk persamaan berikut:
P ik0 (Q 1) ................................................................................................(9) Atau
1 2 ik0 n 2 2 2 1 ............................................................................(10) r k0 z Kemudian, jika didefinisikan :
n 1, 2
1 2 k02 z 2
dan
q …...…….(11)
Maka operator Q dapat dinyatakan sebagai Q 1 q . Dengan demikian, persamaan (12) dapat ditulis sebagai: ik0 r
1 q 1 ........................................................................................(12)
Persamaan (13) inilah yang disebut persamaan parabolik (PP). Pada persamaan (13), perluasan suku dapat dilakukan antara lain, misalnya dengan memanfaatkan deret Pade.
17 m
1 q 1
a j ,m q
j 1 1 b j , m q
O q 2 m 1 .....................................................................(13)
Dimana m adalah jumlah suku yang digunakan dalam perluasan dan a j ,m
2 j sin 2 , 2m 1 2m 1
j b j ,m cos 2 ...........................................................................................(14) 2m 1
Hasil perluasan dengan deret Pade ini digunakan untuk menyelesaikan persamaan (13) di atas secara numerik. Penggunaan perluasan dengan deret Pade ini sering dipilih karena memungkinkan sudut perambatan yang lebih besar dan dapat menangani variasi kedalaman yang besar. Keuntungan yang paling mendasar dari penggunaan Persamaan Parabolik untuk menyelesaikan persamaan Hemholtz adalah karena Persamaan Parabolik merupakan persamaan gelombang satu arah yang dapat diselesaikan dengan teknik penyelesaian yang dapat terus bergerak maju dengan bertambahnya jarak (range-marching solution technique). Teknik penyelesaian tersebut membutuhkan sfesifikasi kondisi awal dan kondisi batas lingkungan laut.
3. BAHAN DAN METODE
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mempergunakan data hasil rekaman mooring buoy yang di tempatkan di perairan Selat Lombok. Pengambilan data tersebut dilakukan bertempat di perairan Selat Lombok (Gambar 2) dengan koordinat 080 26’ 2322” LS dan 1150 45’ 331” BT dalam rangka program International Nusantara Stratification and Transport (INSTANT). Pengolahan serta analisis data di lakukan di Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan ( FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB).
P. Bali P. Lombok
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
18
19
3.2. Perangkat dan Peralatan Data ini diperoleh dengan mempergunakan instrumen pengukur suhu, salinitas, dan kedalaman yang di pasang oleh Tim INSTANT pada perairan Selat Lombok. Adapun peralatan dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data adalah sebagai berikut: a. Conductivity Temperature Depth (CTD) CTD merupakan instrumen yang digunakan untuk mengambil data sifat fisik air laut berupa suhu, salinitas, dan densitas. CTD dapat ditambatkan di dalam laut jika digunakan untuk mengambil data dalam jangka waktu yang lama. CTD yang digunakan oleh Tim INSTANT adalah SBE-39 Microcat buatan Seabird electronic yang dapat mengambil data sampai kedalaman sekitar 10.000 m b. Peralatan pendukung teknik tambatan CTD Komponen pendukungnya, antara lain kabel baja, pelampung (buoy), beacon/argos dan jangkar. Adapun alat yang dipergunakan untuk pengolahan data adalah sebagai berikut: 1. Perangkat Keras (Hardware)
Personal Komputer (PC), Pencetak (printer), dan lain-lain.
2. Perangkat Lunak (Software)
Software Matlab 2010a dengan Toolbox AcTUP V 2.2L
20
3.3. Pengambilan Data Metode pengambilan data yang dilakukan oleh Tim INSTANT menggunakan teknik tambatan tali. Pelaksanaan pengambilan data ini melalui beberapa tahapan, yaitu pemasangan rangkaian, pelepasan, dan pengambilan kembali rangkaian. Instrumen-instrumen pengukur parameter oseanografi, salah satunya CTD, di pasang dalam satu untaian tambatan pada posisi dan kedalaman yang ditentukan. Tahapan kegiatan dalam pemasangan tambatan adalah (Pranowo et al, 2006 dalam Kharishma 2009): 1. Persiapan kabel tambatan 2. Kalibrasi dan Inisialisasi peralatan 3. Persiapan penempatan peralatan tambatan di dek kapal bagian belakang dengan menempatkan semua peralatan pada posisinya masing-masing. 4. Ground track survey, untuk mengetahui profil batimetri di lokasi rencana peletakan tambatan sehingga diperoleh tempat yang sesuai untuk pemasangan. 5. Penurunan rangkaian tambatan dengan menurunkan satu persatu komponen tambatan ke laut pada posisi yang ditentukan 6. Pencatatan koordinat lokasi, waktu, nama alat, dan urutan dilakukan setiap kali komponen tambatan diturunkan ke laut. 7. Penurunan komponen terakhir, yaitu jangkar. 8. Pencocokan kembali posisi akhir tambatan yang telah terpasang dengan posisi awal saat jangkar dilepaskan dengan posisi awal saat jangkar dilepaskan dari kapal.
21
Tahapan kegiatan dalam pengambilan rangkaian komponen peralatan, yaitu: 1. Acoustic release, yaitu pelepasan rangkaian-rangkaian peralatan tambatan jangkar 2. Pemunculan buoy dari kolom perairan dimana beberapa komponen diletakan, salah satunya CTD. 3. Pengangkatan komponen ke atas dek kapal, pembersihan komponen, dan pencatatan informasi yang dibutuhkan. 4. Download Data, yaitu proses pemindahan data dari setiap komponen ke dalam komputer untuk pemrosesan lebih lanjut.
3.4. Simulasi Data Data suhu, salinitas, dan kedalaman yang diambil dari CTD dikoreksi secara manual kemudian disimpan dalam file berekstensi .txt. Data tersebut kemudian diubah menjadi data kecepatan suara sehingga dapat digunakan untuk simulasi komputer. Untuk mensimulasikan perambatan gelombang suara di dalam air, digunakan toolbox AcTUP V 2.2L yang dijalankan dari perangkat lunak Matlab 2010a. Penjelasan mengenai pengolahan data dapat dilihat di Gambar 3. Dalam mensimulasikan perambatan gelombang suara diperlukan data seperti data suhu, salinitas, dan tekanan yang selanjutnya akan di konversi menjadi data kecepatan suara. Sebelum dilakukan konversi, data harus dilakukan penapisan untuk menghilangkan nilai yang error. Setelah dilakukan penapisan data maka dilakukan perata-rataan data karena data yang digunakan selama 30 hari. Lalu dilakukan konversi data dimana dari data kedalaman yang di konversi ke dalam tekanan dengan menggunakan persamaan 2. Data kecepatan suara di
22
dapat dengan mengkonversi data suhu, salinitas, dan tekanan melalui persamaan 1. Selanjutnya data kecepatan suara ini digunakan dalam pembuatan profil environment (lingkungan) yang mendekati kondisi lingkungan laut yang sebenarnya. Data yang diperlukan pada tahap ini adalah data kecepatan suara, kedalaman, dan koefisien atenuasi yang telah di dapat dari persamaan 3. Hal terpenting pada tahap ini adalah dalam memasukan nilai kecepatan suara harus sesuai dengan kedalaman yang telah di tentukan. Parameter independent di definisikan sebagai parameter yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan sehingga dapat di tentukan sendiri. Nilai yang diperlukan untuk parameter ini adalah nilai frekuensi, kedalaman sumber, kedalaman penerima, jarak minimum dan maksimum propagasi. Parameter dependent merupakan parameter yang dipengaruhi oleh lingkungan yang telah ada sebelumnya. Pada parameter ini diperlukan nilai seperti Maximum depth for TL grid output, Relative depth resolution, dll. Setelah semua parameter dependent, independent dan environment telah di definisikan, maka tahap selanjutnya adalah menjalankan simulasi dengan menggunakan kode propagasi RamGeo. RamGeo merupakan kode propagasi yang mensimulasikan perambatan gelombang suara dengan menggunakan metode persamaan parabolik. Setelah hasil simulasi selesai maka dapat ditampilkan dalam bentuk gambar grafik sehingga dapat dilakukan analisis hasil simulasi untuk dapat melakukan penarikan kesimpulan. Untuk keterangan yang lebih jelas dapat di lihat pada halaman lampiran.
23
Mulai
Penapisan Data
Pengumpulan Data
Memplotkan Hasil Simulasi
Analisis Data Plot Hasil Simulasi
Jalankan Simulasi
Perata-rataan Data
Memasukan code independent dan code dependent
Selesai
Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan Data
Konversi Data
Pembuatan Environment (lingkungan)
24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Profil Vertikal Kecepatan Suara, Suhu, dan Salinitas 4.1.1. Profil Vertikal Kecepatan Suara Sebaran vertikal kecepatan suara hasil pengukuran pada daerah permukaan relatif seragam, namun pada saat kedalaman mendekati kedalaman 100 m- 200 m kecepatan suara menurun secara tajam lalu berkurang mengikuti kedalaman perairan sampai di kedalaman 700 m. Pada kedalaman kurang dari 60 m kecepatan suara cenderung konstan, karena pada kedalaman ini merupakan lapisan tercampur dimana masih ada penetrasi dari sinar matahari dan terjadi percampuran massa air yang disebabkan adanya pengadukan oleh angin sehingga suhu cenderung seragam akibatnya kecepatan suara yang di dapat akan relatif konstan. Di bawah lapisan tercampur, kecepatan suara mengalami penurunan yang relatif tajam pada kedalaman yang relatif singkat karena adanya lapisan termoklin dimana pada saat bersamaan terjadi peningkatan nilai salinitas. Di bawah kedalaman 700 m kecepatan suara akan bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman, dimana kedalaman (tekanan) merupakan faktor yang menentukan di daerah ini karena penurunan suhu dan peningkatan salinitas berjalan dengan sangat berlahan. Berdasarkan persamaan 1, suhu, salinitas, dan kedalaman mempengaruhi kecepatan suara dalam kolom air, sedangkan energi rambat suara diantaranya dipengaruhi oleh refraksi dan sifat-sifat kimia air laut yang mengakibatkan adanya perubahan energi menjadi kalor. Menurut Waite (2002), kecepatan suara di dalam suatu perairan dipengaruhi juga oleh lokasi, musim,
24
25
waktu, dan cuaca. Keempat faktor ini mempengaruhi karateristik suatu perairan yang dimana akan mempengaruhi kecepatan suara. Data yang digunakan merupakan data yang direkam pada bulan Juli 2005 dimana pada bulan Agustus merupakan Musim Timur dimana curah hujan relatif berkurang.
Gambar 5. Grafik Hubungan Kecepatan Suara dan Kedalaman Secara Vertikal
4.1.2. Profil Vertikal Salinitas
Profil vertikal salinitas hingga kedalaman 960 m dapat terlihat pada
Gambar 6. Nilai vertikal salinitas di permukaan relatif lebih kecil, kurang dari 34,3 psu, lalu bertambah secara tajam pada saat kedalaman mendekati 100 m. Nilai salinitas tertinggi berada pada kisaran kedalaman 100-200 m dekat dengan lapisan termoklin dimana nilai salinitas mencapai 34,7 psu. Salinitas di perairan
26
Selat Lombok dipengaruhi oleh masukan massa air dari Samudera Pasifik yang terbawa oleh ARLINDO. Salinitas dipengaruhi oleh beberapa hal seperti musim, lintang, dan karateristik suatu perairan. Perekaman data dilakukan pada bulan Juli 2005 yang merupakan Musim Timur dimana wilayah Indonesia relatif mengalami Musim Kemarau akibat berkurangnya curah hujan karena adanya pengaruh dari angin Musim Timur.
Gambar 6. Grafik Hubungan Salinitas dan Kedalaman Secara Vertikal
Menurut Pickard dan Emery (1990), salinitas maksimun pada wilayah perairan tropis terjadi pada kedalaman 100-200 m dekat dengan lapisan termoklin.
27
Setelah melewati kedalaman 300 m, kadar salinitas menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman.
4.1.3. Profil Vertikal Suhu Profil vertikal suhu hingga kedalaman 960 m dapat terlihat pada Gambar 7. Berdasarkan hasil yang di dapat, suhu cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini di sebabkan penetrasi sinar matahari di laut dapat mencapai kedalaman 150 m. Suhu maksimum berada di sekitar permukaan laut (lapisan tercampur) yakni berada pada kisaran 29 0C dimana pada daerah permukaan masih terjadi penetrasi matahari dan dipengaruhi oleh adanya pengadukan massa air oleh angin yang menyebabkan terjadinya pergerakan massa air secara vertikal pada kedalaman yang relatif dangkal, sehingga suhu relatif masih sama nilainya hingga kedalaman 60 m-70 m. Pada kedalaman mendekati 100 m sampai 200 m, suhu mengalami penurunan yang cukup tajam pada kedalaman yang cukup sempit dan dapat di duga pada kedalaman ini merupakan lapisan termoklin. Setelah kedalaman 200 m, suhu mengalami penurunan yang relatif konstan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Perekaman data dilakukan pada Musim Timur dimana sinar matahari lebih banyak sehingga suhu di perairan lebih hangat karena banyaknya intensitas sinar matahari.
28
Gambar 7. Grafik Hubungan Suhu dan Kedalaman Secara Vertikal
Kecepatan suara akan meningkat seiring bertambahnya suhu dan kedalaman (tekanan). Saat air laut di permukaan yang bersuhu relatif lebih hangat dari pada lapisan air di bawahnya, akan muncul dua kecenderungan yang bertolak belakang yakni kecepatan suara relatif akan berkurang saat suhu menurun dan kecepatan suara akan relatif bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman/tekanan (Waite, 2005).
4.2. Simulasi Nilai Kehilangan Transmisi terhadap Kedalaman dan Jarak Simulasi perambatan gelombang suara dengan memberi batasan lingkungan berupa jarak yang sama yakni 20.000 m, kedalaman perairan 650 m, dan beberapa parameter lingkungan yang sama dengan perbedaan posisi sumber
29
suara dan penerima yang berada di kedalaman 25 m, 110 m, dan 300 m untuk sumber suara dan untuk penerima berada pada kedalaman 30 m, 115 m, dan 310 m. Pemilihan kedalaman ini berdasarkan 3 kedalaman yang biasa digunakan kapal selam dalam beraktifitas di laut. Ketiga kedalaman tersebut secara berturutturut mewakili kedalaman kapal selam saat berada pada kedalaman periskop (periscope depth), kedalaman jelajah rata-rata kapal selam (cruise depth) dan kedalaman maksimum rata-rata kapal selam (maximum depth). Frekuensi yang digunakan memiliki nilai yang sama yakni 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Pemilihan frekuensi ini untuk mengetahui pola perambatan gelombang suara dengan berbagai macam variasi frekuensi yang berbeda.
4.2.1. Kedalaman Sumber Suara 25 m dan Kedalaman penerima 30 m Simulasi letak sumber suara pada kedalaman 25 m dari permukaan laut dan penerima diletakan pada kedalaman 30 m dari permukaan laut. Hal ini agar dapat diketahui pola perambatan gelombang suara saat posisi sumber dan penerima berada pada kedalaman yang relatif dangkal. Kedalaman ini adalah kedalaman yang biasanya digunakan oleh kapal selam untuk menggunakan periskopnya ( periscope depth ) untuk melakukan pengintaian di permukaan laut atau untuk menembakan torpedo terhadap kapal yang ada di permukaan. Kedalaman ini merupakan kedalaman yang berbahaya pada kapal selam karena kapal selam mudah sekali untuk dilacak oleh kapal musuh sehingga kapal perang musuh dapat melepaskan depth bomb (bom laut) untuk menghancurkan kapal selam. Bagi kapal selam yang terkena bom jenis ini dapat berakibat fatal karena
30
meskipun jarak ledakan dan kapal selam mencapai 100 m, efek dekstrutif yang dihasilkan cukup besar. Gambar 8 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber 25 m, kedalaman penerima 35 m, jarak 20.000 m, kedalaman 360 m dan frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Hasil yang diperoleh secara umum dari 4 frekuensi yang berbeda di dapat nilai kehilangan transmisi (Transmision Loss / TL) mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak (menjauhi sumber suara). Berdasarkan hasil simulasi, pada frekuensi 100 Hz gelombang suara membentuk pola perambatan yang fluktuatif dimana setelah dipancarkan gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan seterusnya. Gelombang suara pada frekuensi ini mengalami nilai kehilangan transmisi yang cukup besar jika dibandingkan dengan frekuensi yang lain. Pada frekuensi ini, jarak tempuh gelombang suara dalam kolom air lebih pendek akibat adanya penyerapan oleh sedimen dan medium air laut. Pada jarak 6.000 m, perambatan gelombang suara sudah mulai melemah, hal ini terlihat dari nilai Transmission Loss ( TL) yang semakin besar mendekati 60 dB. Shadow Zone (lingkaran kuning) terbentuk pada jarak 2.000 m, 10.000 m, dan 14.000 m dari sumber di kedalaman dekat dengan permukaan air laut dimana nilai TL sekitar 80 dB dan pada jarak 14.000 m-20.000 m di kedalaman 350 m dengan nilai TL mendekati 80 dB. Frekuensi 1.000 Hz, gelombang suara mampu merambat ke jarak 20.000 m, namun pada pola perambatannya cenderung berbeda jika di bandingkan pada frekuensi 100 Hz . Frekuensi ini, pola perambatan gelombang suara yang terbentuk menjadi dua bagian, dimana pola pertama gelombang suara merambat
31
secara fluktuatif di daerah dekat dengan permukaan air dan pola kedua gelombang suara merambat secara fluktuatif dimana setelah dipancarkan gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan seterusnya, meskipun terlihat gelombang suara juga dipantulkan dan dibiaskan pada kedalaman kurang dari 200 m dimana dekat dengan lapisan termoklin. Gelombang suara mampu merambat sampai jarak 20.000 m dengan cukup jelas di pola perambatan pertama, karena gelombang suara berada pada wilayah buluh permukaan (surface duct), dimana pada wilayah buluh permukaan gelombang suara seolah-olah seperti terperangkap sehingga gelombang suara mampu merambat lebih jauh (terfokus). Shadow zone di frekuensi ini pada umumnya terbentuk pada jarak 14.000 m- 20.000 m di kedalaman antara 100 m dan 200 m. Pada frekuensi 10.000 Hz, pola perambatan suara yang di dapat hampir sama dengan pola perambatan gelombang suara pada frekuensi 1.000 Hz. Frekuensi 10.000 Hz pola perambatan gelombang suara mengalami penghamburan pada lapisan termoklin dan di bawah lapisan termoklin sehingga pola perambatannya menjadi tidak terfokus akibatnya pada jarak 10.000 m nilai TL mendekati 70 dB meskipun pada wilayah buluh permukaan gelombang suara masih mampu merambat hingga jarak 20.000 m. Shadow zone pada frekuensi 10.000 Hz terbentuk pada jarak sekitar 8.000 m dari gelombang suara pada kedalaman lebih dari 250 m. Frekuensi 50.000 Hz tidak jauh beda dengan pola perambatan pada frekuensi 10.000 Hz, namun pada frekuensi ini terlihat pola rambat yang lebih fokus ketimbang frekuensi 10.000 Hz. Pada buluh permukaan, gelombang suara mampu merambat hingga jarak 20.000 m. Shadow zone terletak pada jarak
32
12.000 m dari sumber suara dengan kedalaman berkisar 200 m dari permukaan air dimana TL mendekati 80 dB. Buluh permukaan merupakan lapisan isothermal yang secara akustik sebagai pemandu gelombang karena ada peningkatan kecepatan suara terhadap kedalaman. Akibatnya sebagian energi akustik yang dipancarkan oleh sumber yang berada pada lapisan tercampur akan terjebak dalam buluh permukaan. Umumnya buluh permukaan yang terletak dipermukaan dangkal (kurang dari 50 m) merupakan buluh yang paling umum ditemui, tetapi buluh ini baru efektif sebagai pemandu gelombang pada frekuensi tinggi dimana kehilangan akibat penghamburan menjadi penting. Sebaliknya buluh yang lebih dalam (lebih dari 100 m) merupakan pemandu gelombang yang efektif untuk frekuensi rendah (Jensen et al, 1994). Menurut Urick (1983), beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi gelombang suara di dalam suatu kolom perairan adalah jarak sumber suara kedalaman perairan, dan frekuensi sumber suara. Semakin jauh gelombang suara, semakin besar frekuensi yang digunakan merambat dari suatu sumber, maka semakin tinggi nilai atenuasi ( ) yang terjadi di dalam kolom perairan. Koefisien atenuasi ini akan mempengaruhi nilai TL yang dimana berdasarkan hasil simulasi nilai TL apabila jarak semakin jauh, maka nilai TL akan semakin besar. Gambar 9 pada frekuensi 100 Hz, nilai TL yang didapat cenderung fluktuatif sepanjang jarak 20.000 m. Pada jarak kurang dari 1.000 m, nilai TL mengalami kenaikan yang cukup besar hingga mendekati 70 dB. Nilai TL terbesar berada pada jarak sekitar 7.000-an m dari sumber suara ketika nilai TL mencapai 100 dB, selain itu terdapat empat wilayah dimana nilai TL mendekati 90
33
dB, yakni pada jarak sekitar 3.000, 6.000, 9.000, dan 13.000-an m dari sumber suara. Daerah pada jarak diatas dapat diduga merupakan wilayah dan jarak munculnya shadow zone. Frekuensi 1.000 Hz, nilai TL yang di dapat fluktuatif dengan kecenderungan semakin meningkat jika menjauhi sumber suara. Nilai TL terbesar terletak pada jarak 8.000 m dimana nilai TL mendekati 100 dB. Selain itu banyak terdapat nilai TL yang mendekati 80 dB pada frekuensi ini hampir di semua jarak. Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz cenderung mempunyai kemiripan dimana kedua frekuensi ini pola perambatan gelombang suara cenderung fluktuatif dengan kecenderungan mengalami peningkatan TL. Frekuensi 10.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 7.000-an m dimana nilai TL mendekati 100 dB. Sedangkan pada frekuensi 50.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 8.000 m dimana nilai TL mencapai lebih dari 100 dB. Kedua frekuensi ini terdapat banyak wilayah yang mengalami peningkatan nilai TL yang mencapai 80 dB dimana dapat di duga wilayah pada jarak tersebut merupakan shadow zone jika berdasarkan nilai TL yang meningkat Gambar 10 merupakan gambar yang menampilkan grafik Transmission Loss dengan jarak pada kelima frekuensi yang digunakan setelah dilakukan running average. Running average ini bertujuan untuk menampilkan grafik yang lebih halus (smooth) sehingga jika keempat frekuensi ditampilkan dalam satu grafik akan terlihat dengan cukup jelas perbedaanya. Pada kedalaman sumber suara 25 m, frekuensi 100 Hz mempunyai nilai TL yang mengalami kenaikan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan 3 frekuensi lainnya. Hal ini dikarenakan berbagai faktor seperti terserapnya gelombang suara oleh sedimen di
34
dasar laut dan dapat berpenetrasi gelombang suara ke dalam sedimen. Selain itu, pada kedalaman ini adalah wilayah lapisan tercampur yang merupakan lapisan subur dimana didalamnya banyak partikel terlarut. Frekuensi 100 Hz tersebut banyak membentur partikel tersebut sehingga memiliki nilai kehilangan lebih besar. Nilai TL tertinggi terdapat di frekuensi 100 Hz dengan nilai TL hampir mencapai 100 dB pada jarak mendekati 14.000 m. Ketiga frekuensi lain secara umum berdasarkan Gambar 10 memiliki nilai TL yang hampir sama dan tidak berbeda jauh ketiganya yakni berkisar antara 70 dB sampai 80 dB. Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz (frekuensi tinggi), gelombang suara yang hilang lebih dikarenakan adanya penghamburan yang terjadi oleh kolom perairan (Kadarwati, 1999).
4.2.2. Kedalaman Sumber Suara 110 m dan Kedalaman penerima 115 m Sumber suara diletakan pada kedalaman 110 m dari permukaan laut dan penerima diletakan pada kedalaman 115 m dari permukaan laut. Hal ini dimadsudkan agar dapat diketahui pola perambatan gelombang suara saat posisi sumber dan penerima berada pada kedalaman yang terdapat lapisan termoklin. Kedalaman ini merupakan kedalaman yang biasanya digunakan oleh kapal selam untuk menjelajah (cruise depth). Kedalaman ini kapal selam militer rata-rata melakukan penjelajahan (cruise) agar tidak dapat terdeteksi oleh musuh yang menyebar alat deteksi di permukaan laut atau untuk menghindari ranjau yang dipasang oleh musuh. Selain itu, kapal selam juga menggunakan karateristik lapisan termoklin yang dapat merefleksikan dan merefraksikan gelombang suara.
38
Di laut terbuka, lapisan termoklin berkarakter sebagai gradien kecepatan suara negatif dimana dapat memantulkan gelombang suara. Secara teknik lapisan ini membendung dari impendansi akustik yang terputus-putus (diskontinu) yang tercipta dari perubahan densitas secara mendadak. Gambar 11 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber 110 m, kedalaman penerima 115 m, jarak 20.000 m, kedalaman 650 m dan frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Hasil yang diperoleh secara umum dari 4 frekuensi yang berbeda di dapat nilai kehilangan transmisi (Transmision Loss / TL) mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak (menjauhi sumber suara). Berdasarkan hasil simulasi, keempat frekuensi mampu merambat hingga jarak 20.000 m, hal ini terlihat dari pola perambatan gelombang suara yang berbentuk fluktuatif ( naik turun) saat di pancarkan dari sumber lalu turun ke dasar perairan dan dipantulkan kembali menuju ke atas di kedalaman 110 m dan begitu seterusnya hingga jarak 20.000 m. Berdasarkan Gambar 11, pada kedalaman 110 m merupakan lapisan termoklin, dimana suhu menurun dengan cepat pada kedalaman yang relatif dekat. Lapisan termoklin mempunyai karateristik mampu memantulkan dan membelokan gelombang suara yang datang. Berdasarkan hasil simulasi, pada frekuensi 100 Hz gelombang suara membentuk pola perambatan yang fluktuatif dimana setelah dipancarkan gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan seterusnya. Gelombang suara pada frekuensi ini mengalami nilai kehilangan transmisi yang cukup besar jika dibandingkan dengan frekuensi yang lain. Pada frekuensi ini, jarak tempuh gelombang suara dalam kolom air lebih pendek akibat adanya penyerapan oleh sedimen dan medium air. Jarak 8.000 m,
39
perambatan gelombang suara sudah mulai melemah, hal ini terlihat dari nilai Transmission Loss ( TL) yang semakin besar mendekati 70 dB-80 dB. Shadow Zone (lingkaran kuning) terbentuk pada jarak 2.000 m, 10.000 m, dan 14.000 m dari sumber di kedalaman dekat dengan permukaan air laut dimana nilai TL sekitar 80 dB dan pada jarak 10.000 m-20.000 m di kedalaman 250 m dengan nilai TL mendekati 80 dB. Frekuensi ini gelombang suara yang dipantulkan kembali seolah terperangkap dalam lapisan termoklin sehingga tidak dapat mencapai permukaan laut kembali. Hal ini terlihat dari banyak wilayah shadow zone yang berada pada permukaan air laut. Frekuensi 1.000 Hz, gelombang suara mampu merambat ke jarak 20.000 m, namun pada pola perambatanya cenderung berbeda jika di bandingkan pada frekuensi 100 Hz. Pola perambatan gelombang suara frekuensi 1.000 Hz membentuk menjadi dua bagian, gelombang suara yang pertama merambat secara fluktuatif di daerah permukaan hingga dekat dengan lapisan termoklin. Pola perambatan yang pertama, gelombang suara mampu merambat sampai jarak 20.000 m dengan cukup jelas. Gelombang suara yang kedua merambat secara fluktuatif setelah dipancarkan dari sumber suara. Gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan dan dibiaskan kembali ke lapisan termoklin dan seterusnya. Shadow Zone pada frekuensi ini pada umumnya terbentuk pada jarak 14.000 m- 20.000 m dengan kedalaman antara 150 m dan 200 m. Pada frekuensi 10.000 Hz, pola perambatan suara yang di dapat hampir sama dengan pola perambatan gelombang suara pada frekuensi 1.000 Hz. Frekuensi 10.000 Hz pola perambatan gelombang suara mengalami penghamburan pada lapisan termoklin dan dibawah lapisan termoklin sehingga
40
pola perambatannya menjadi tidak terfokus sehingga pada jarak 10.000 m nilai TL mendekati 70 dB. Wilayah shadow zone pada frekuensi 10.000 Hz terbentuk pada jarak sekitar 8.000 m dari gelombang suara pada kedalaman lebih dari 250 m-650 m yang berada di bawah lapisan termoklin. Selain itu, shadow zone juga di temukan pada lapisan di atas lapisan termoklin dimana wilayah shadow zone ini terjadi karena terjadi penghamburan dan pemantulan gelombang suara sehingga gelombang suara yang berasal dari bawah tidak mampu ke daerah permukaan air. Nilai TL pada wilayah diatas lapisan temoklin berkisar 70 dB pada jarak sekitar 12.000 sampai 14.000 m dari sumber suara. Frekuensi 50.000 Hz tidak jauh berbeda dengan pola perambatan pada frekuensi 10.000 Hz, namun pada frekuensi ini terlihat pola rambat yang lebih fokus ketimbang frekuensi 10.000 Hz. Shadow zone terletak pada jarak 12.000 m dari sumber suara dengan kedalaman berkisar 200 m dari permukaan air dimana TL mendekati 80 dB. Selain itu, shadow zone juga di temukan pada lapisan di atas lapisan termoklin dimana shadow zone ini terjadi karena terjadi penghamburan dan pemantulan gelombang suara sehingga gelombang suara yang berasal dari bawah tidak mampu ke daerah permukaan air. Nilai TL pada wilayah diatas lapisan temoklin berkisar 70 dB pada jarak sekitar 12.000 sampai 14.000 m dari sumber suara Gambar 12 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber 110 m, kedalaman penerima 115 m, jarak 20.000 m, kedalaman 650 m dan frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Pada frekuensi 100 Hz, nilai TL yang di dapat cenderung fluktuatif sepanjang jarak 20.000 m. Pada jarak kurang dari 1.000 m, nilai TL mengalami kenaikan yang cukup besar hingga
41
mendekati 70 dB. Nilai TL terbesar di dapat pada jarak sekitar 12.000-an m dari sumber suara dimana nilai TL mencapai 90 dB. Selain itu terdapat wilayah dimana nilai TL mendekati 90 dB, yakni pada jarak sekitar 13.000-an m dari sumber suara. Bisa di duga bahwa daerah pada jarak diatas merupakan wilayah/jarak munculnya shadow zone. Frekuensi 1.000 Hz, nilai TL yang di dapat fluktuatif dengan kecenderungan semakin meningkat jika menjauhi sumber suara. Nilai TL terbesar terletak pada jarak 18.000 m dimana nilai TL melewati 100 dB. Selain itu banyak terdapat nilai TL yang mendekati 80-90 dB pada frekuensi ini hampir di semua jarak. Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz cenderung mempunyai kemiripan dimana kedua frekuensi ini pola perambatan gelombang suara cenderung fluktuatif dengan kecenderungan mengalami peningkatan TL. Pada frekuensi 10.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 12.000-an m dimana nilai TL melewati 100 dB. Sedangkan pada frekuensi 50.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 1.500 m dan 16.000 m dimana nilai TL mencapai lebih dari 100 dB. Pada kedua frekuensi ini terdapat banyak wilayah yang mengalami peningkatan nilai TL yang mencapai 80 dB dimana dapat di duga wilayah pada jarak tersbut merupakan wilayah shadow zone jika berdasarkan nilai TL yang meningkat. Gambar 13 merupakan gambar yang menampilkan grafik Transmission Loss dengan jarak pada kelima frekuensi yang digunakan setelah dilakukan running average. Running average ini digunakan untuk menampilkan grafik yang lebih halus (smooth) sehingga jika keempat frekuensi ditampilkan dalam
42
satu grafik akan terlihat dengan cukup jelas perbedaanya. Pada kedalaman sumber suara 110 m, frekuensi 100 Hz mempunyai nilai TL yang mengalami kenaikan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tiga frekuensi lainnya. Hal ini dikarenakan karena berbagai faktor seperti terserapnya gelombang suara oleh sedimen di dasar laut dan gelombang suara dapat berpenetrasi ke dalam sedimen. Secara umum, keempat frekuensi mempunyai nilai TL yang hampir sama yakni sebesar 60 dB hingga jarak sekitar 3.000 m, lalu setelah jarak 3.000 m, nilai TL pada frekuensi 100 Hz mengalami peningkatan jika dibandingkan nilai TL dari ketiga frekuensi lainnya. Nilai TL tertinggi terdapat di frekuensi 100 Hz dengan nilai TL hampir mencapai 80 dB pada jarak mendekati 20.000 m. Ketiga frekuensi lain secara umum berdasarkan Gambar 12 memiliki nilai TL yang hampir sama dan tidak berbeda jauh ketiganya yakni berkisar antara 60 dB sampai 70 dB. Pada frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz (frekuensi tinggi), gelombang suara yang hilang lebih dikarenakan adanya penghamburan yang terjadi oleh kolom perairan (Kadarwati, 1999). Pada kedalaman ini merupakan kedalaman termoklin yang dimana gelombang suara mengalami pembelokan akibat perbedaan suhu yang menurun dengan cukup drastis pada kedalaman yang relatif tidak terlalu dalam.
4.2.3. Kedalaman Sumber Suara 250 m dan Kedalaman penerima 260 m Sumber suara diletakan pada kedalaman 300 m dari permukaan laut dan penerima diletakan pada kedalaman 310 m dari permukaan laut. Hal ini agar dapat diketahui pola perambatan gelombang suara saat posisi sumber dan penerima berada pada kedalaman yang relatif dalam. Kedalaman ini adalah
46
kedalaman yang biasanya digunakan oleh kapal selam saat melakukan penyelaman mendekati kedalaman maksimum ( maximum depth). Pada kedalaman ini kapal selam militer rata-rata melakukan penyelaman secara maksimum agar tidak dapat terdeteksi oleh musuh yang menyebar alat deteksi di permukaan laut atau untuk menghindari bom laut dalam ( deep bomb ) yang di lepas oleh kapal perusak musuh ( destroyer) terutama kapal selam militer berpenggerak diesel-elektrik meskipun beberapa kapal selam berpenggerak energi nuklir mampu menyelam hingga kedalaman 400 m. Gambar 14 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber 300 m, kedalaman penerima 310 m, jarak 20.000 m, kedalaman 650 m dan frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Berdasarkan hasil simulasi, pada frekuensi 100 Hz gelombang suara membentuk pola perambatan yang fluktuatif dimana setelah dipancarkan gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan seterusnya. Gelombang suara pada frekuensi ini mengalami nilai kehilangan transmisi yang cukup besar jika dibandingkan dengan frekuensi yang lain. Pada frekuensi ini, jarak tempuh gelombang suara dalam kolom air lebih pendek akibat adanya penyerapan oleh sedimen dan medium air. Pada jarak 8.000 m, perambatan gelombang suara sudah mulai melemah, hal ini terlihat dari nilai Transmission Loss ( TL) yang semakin besar mendekati 80 dB. Shadow Zone (lingkaran kuning) terbentuk jarak sekitar 2.000 m dari sumber di kedalaman dekat dengan permukaan air laut dimana nilai TL sekitar 80 dB dan pada jarak 12.000 m-16.000 m di kedalaman 250 m dengan nilai TL mendekati 80 dB. Pada frekuensi ini gelombang suara yang dipantulkan kembali seolah terperangkap dalam lapisan termoklin sehingga tidak dapat mencapai permukaan
47
laut kembali. Hal ini terlihat dari banyak shadow zone yang berada pada permukaan air laut. Frekuensi 1.000 Hz pola perambatan gelombang suara mampu merambat sampai jarak 20.000 m dengan cukup jelas meskipun pada kedalaman dekat dengan sumber suara di jarak 8.000 m, gelombang suara sudah mulai hilang, meskipun ada beberapa gelombang suara yang masih dapat sampai ke permukaan air. Shadow zone pada frekuensi ini pada umumnya terbentuk pada jarak 10.000 m- 20.000 m dengan kedalaman antara 0 m dan 300 m dan berada pada jarak 12.000 m sampai 20.000 m di kedalaman sekitar 600 m. Frekuensi 10.000 Hz, pola perambatan suara yang di dapat hampir sama dengan pola perambatan gelombang suara pada frekuensi 1.000 Hz. Frekuensi 10.000 Hz pola perambatan gelombang suara mengalami penghamburan pada lapisan termoklin dan di bawah lapisan termoklin sehingga pola perambatannya menjadi tidak terfokus sehingga pada jarak 10.000 m nilai TL mendekati 70 dB terutama pada kedalaman 0-300 m. Shadow zone pada frekuensi 10.000 Hz terbentuk pada jarak sekitar 8.000 m dari gelombang suara pada kedalaman antara 0 m-300 m yang berada di permukaan sampai kedalaman lapisan termoklin. Frekuensi 50.000 Hz tidak jauh beda dengan pola perambatan pada frekuensi 10.000 Hz. Shadow zone terletak pada jarak 8.000 m-20.000 dari sumber suara dengan kedalaman berkisar 0-200 m dari permukaan air dimana TL mendekati 80 dB. Shadow zone juga ditemukan pada jarak 14.000 m sampai 20.000 m pada kedalaman sekitar 600 m. Di bawah kedalaman 300 m, gelombang suara dihamburkan oleh kolom perairan hingga jarak 8.000 m, setelah melewati jarak 8.000 m, nilai TL semakin meningkat hingga 70 dB. Semakin
48
dalam posisi sumber suara, semakin tinggi penghamburan dan reverberasi terutama pada frekuensi tinggi. Dengan bertambahnya jarak, maka efek penghamburan dan reverberasi di kolom air akan semakin jelas. Gambar 15 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber 300 m, kedalaman penerima 310 m. Jarak 20.000 m, kedalaman 650 m dan frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Pada frekuensi 100 Hz, nilai TL yang di dapat cenderung fluktuatif sepanjang jarak 20.000 m. Pada jarak kurang dari 1.000 m, nilai TL mengalami kenaikan yang cukup besar hingga mendekati 80 dB. Nilai TL terbesar di dapat pada jarak sekitar 18.000-an m dari sumber suara dimana nilai TL melewati 90 dB. Frekuensi 1.000 Hz, nilai TL yang di dapat fluktuatif dengan kecenderungan semakin meningkat jika menjauhi sumber suara. Nilai TL terbesar terlatak pada jarak 16.000 m dimana nilai TL melewati 100 dB. Selain itu banyak terdapat nilai TL yang mendekati 80-90 dB pada frekuensi ini hampir di semua jarak. Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz cenderung mempunyai kemiripan dimana kedua frekuensi ini pola perambatan gelombang suara cenderung fluktuatif dengan kecenderungan mengalami peningkatan TL. Pada frekuensi 10.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 5.000-an m dimana nilai TL melewati 100 dB. Sedangkan pada frekuensi 50.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 8.000 m dan 16.000 m dimana nilai TL mencapai lebih dari 100 dB. Pada kedua frekuensi ini terdapat banyak wilayah yang mengalami peningkatan nilai TL yang mencapai 80 dB dimana dapat diduga wilayah pada
49
jarak tersbut merupakan wilayah shadow zone jika berdasarkan nilai TL yang meningkat. Gambar 16 merupakan gambar yang menampilkan grafik Transmission Loss dengan jarak pada keempat frekuensi yang di gunakan setelah di lakukan running average. Running average ini digunakan untuk menampilkan grafik yang lebih halus (smooth) sehingga jika keempat frekuensi ditampilkan dalam satu grafik akan terlihat dengan cukup jelas perbedaanya. Pada kedalaman sumber suara 300 m secara umum, nilai TL keempat frekuensi mengalami peningkatan yang tajam dalam jarak kurang dari 2.000 m yakni sebesar 60 dB. Lalu dari jarak 2.000 m hingga 8.000 m, nilai TL mulai mengalami peningkatan secara perlahan hingga berada pada kisaran 70 dB sebelum mengalami peningkatan hingga mencapai 80 dB mulai dari jarak 8.000 m sampai 20.000 m. Nilai TL tertinggi berada pada frekuensi 100 Hz dimana hampir mencapai 80 dB pada jarak sekitar 8.000 m. Gambar 16, nilai TL keempat frekuensi hampir sama tidak seperti pada Gambar 10 dan 13 dimana frekuensi 100 Hz mengalami peningkatan nilai TL yang cukup besar jika dibandingkan dengan tiga frekuensi lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya penetrasi suara kedalam sedimen oleh keempat frekuensi tersebut secara merata, sehingga nilai TL relatif seragam meskipun terjadi fluktuasi nilai TL. Kedalaman 300 m ini menurut Gambar 16 merupakan kedalaman dibawah lapisan termoklin (deep layer) yang dimana pada kedalaman ini terdapat beberapa stratifikasi lapisan air yang berbeda yang mempengaruhi pola perambatan gelombang suara.
Gambar 8. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 25 m, Kedalaman Penerima 30 m, dan Frekuensi yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz ( Shadow Zone ditandai dengan lingkaran kuning)
35
Gambar 9. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz .
36
Gambar 10. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz Setelah Running Average
37
Gambar 11. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 110 m, Kedalaman Penerima 115 m, dan Frekuensi yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz ( Shadow Zone ditandai dengan lingkaran kuning) 43
Gambar 12. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. 44
Gambar 13. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz Setelah Running Average
45
Gambar 14. Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman Sumber Suara 300 m, Kedalaman Penerima 310 m, dan Frekuensi yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz ( Shadow Zone ditandai dengan lingkaran kuning)
50
Gambar 15. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz
51
Gambar 16. Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak Pada Frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz Setelah Running Average
52
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Shadow zone akustik merupakan suatu zona yang dimana gelombang suara tidak dapat merambat karena berbagai faktor, seperti adanya refleksi, refraksi, dan penyerapan gelombang suara oleh kolom perairan, sehingga dapat digunakan oleh kapal selam militer untuk menghindar dari musuh. Salah satu cara untuk memetakan shadow zone akustik adalah dengan menggunakan simulasi komputer dengan mengetahui terlebih dahulu parameter oseanografi yang ada, seperti suhu, salinitas, dan kedalaman. Data oseanografi tersebut selanjutnya diolah menjadi kecepatan suara dengan menggunakan persamaan 1. Selanjutnya nilai kecepatan suara yang telah di dapat disimulasikan sehingga mendapatkan hasil simulasi perambatan gelombang suara. Dalam melakukan perambatan di dalam kolom perairan, gelombang suara mengalami kehilangan transimisi yang diakibatkan oleh menjauhnya gelombang suara dari sumber bunyi, penyerapan gelombang suara oleh kolom perairan, dan dasar perairan. Akibatnya terjadi zona yang tidak mengalami perambatan gelombang suara yang disebut dengan shadow zone. Pola perambatan gelombang suara di pengaruhi oleh berbagai faktor seperti frekuensi, jarak, kedalaman sumber suara dan penerima. Secara umum pada kedalaman sumber suara 30 m, 110 m, dan 300 m frekuensi 100 Hz mengalami kehilangan suara yang paling besar sehingga banyak terbentuk shadow zone di kolom perairan karena pada frekuensi 100 Hz, gelombang suara memiliki panjang gelombang yang paling panjang sehingga mampu melakukan penetrasi kedalam sedimen yang menyebabkan nilai TL bertambah dan memunculkan lebih
53
54
banyak shadow zone. Pada frekuensi 1.000 Hz dan 10.000 Hz wilayah shadow zone bertambah meskipun lebih sedikit jika dibandingkan dengan frekuensi 100 Hz. Frekuensi 50.000 Hz shadow zone lebih sedikit jika dibandingkan dengan frekuensi 1.000 Hz dan 10.000 Hz, nilai Transmission Loss dipengaruhi oleh kedalaman sumber suara.
5.2. Saran Perlu dilakukan simulasi dengan menggunakan parameter yang lebih lengkap, seperti penambahan data batimetri dan angin sehingga hasil simulasi yang di dapat mendekati dengan keadaan yang sebenarnya di alam. Fenomena oseanografi seperti internal wave perlu untuk diperhitungkan. Selain itu perlu dilakukan simulasi pada waktu / musim yang berbeda sehingga dapat diperbandingkan antara musim timur, musim barat, serta musim peralihan.
55
DAFTAR PUSTAKA
Jensen, F.B., W.A. Kuperman, M. B. Porter, H. Schmidt. 1994. Computational Ocean Acoustics. AIP Press. New York. Kadarwati, U.R.1999. Simulasi Pola Perambatan Suara dengan Metode Parabolik di Perairan Selat Sunda. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB. Bogor. Kharishma, R.E. 2009. Perbandingan Pola Migrasi Deep Scattering Layer di Selat Makassar dan Selal Lombok Menggunakan Nilai Acoustic Volume Backscattering Strength Hasil Pengukuran ADCP. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB. Bogor. Kinsler, L.E, R.F, Austin, B.C, Alan dan V.S, James.2000. Fundamental of Acoustics. John Willey & Sons Ltd. New York. Kusmantato, T. 2004. Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Metode Persamaan Parabolic di Perairan Samudera Hindia. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB. Bogor. Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics: Principles and Applications. Praxis Publishing. Chichester. Medwin, H., dan S.C, Clarence.1998. Fundamental of Acoustical Oceanography. Academic Press. New York. Pickard, G.L dan W. J. Emery.1990. Descriptive Physical Oceanography: An Introduction. Butterworth-Heinemann. Oxford. Pongoet, J. 2008. Analisis Metode Parabolic Equation pada Propagasi Akustik Bawah Air. Thesis. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Rauf, M.I.A.2007. Variabilitas Massa Air Pada Lapisan Termoklin Perairan Selat Lombok dan Ombai Periode Januari 2004-Juni 2005. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB. Bogor. Sanusi,H.S. 2006. Kimia Laut:Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB. Bogor. Urick, J. 1983. Principle of Underwater Acoustic. Mc Graw Hill.New York. Waite, H.D. 2005. Sonar for Practising Enginers: Third Edition. John Willey & Sons Ltd. West Sussex.
56
http://www.ldeo.columbia.edu [ 23 September 2010 ] http://cmst.curtin.edu.au/products/actoolbox.cfm [ 23 Oktober 2010 ] http://www.marine.csiro.au [ 23 November 2010 ] http://www.dosists.org [ 27 Juli 2011 ]
57
Lampiran 1. Tutorial Pengolahan
A. Pemasangan toolbox AcTUP V 2.2L di Perangkat Lunak Matlab 2010a 1. toolbox AcTUP V 2.2L dapat diunduh di website http://cmst.curtin.edu.au/products/actoolbox.cfm 2. Setelah selesai diunduh, maka hasil unduhan yang berformat .zip di ekstraksi dengan menggunakan perangkat lunak Winrar. 3. Setelah dilakukan ekstraksi diletakan direktori seperti yang ditunjukan gambar dibawah ini
Dibawah direktori target, struktur direktorinya akan berubah seperti ini
4. Lalu ikuti petunjuk yang tertera pada tampilan. Untuk dapat menjalankan toolbox ini pada menu current folder dibuka ke folder tempat menginstall toolbox ini, contohnya C:\Program Files\CMST Software\AcTUP v2.2L\AcTUP, setelah itu pada command window di matlab ketik actup, maka akan terbuka menu toolbox ini.
58
B. Penggolahan Data
1. Pada menu Utama AcTUP v2.2L pilih menu configure environment and propagation model lalu pilih menu submenu edit environment
2. Pilih edit environment maka akan muncul tampilan seperti di bawah ini, pilih edit environment
59
3. Setelah di klik maka akan muncul tampilan seperti ini, lalu pilih edit layer untuk membuat lingkungan di water coulumn, jika ingin membuat lingkungan di bottom halfspace maka pilih menu bottom halfspace
4. Lalu akan muncul tampilan seperti di bawah ini, kita masukan parameter lingkungan seperti kecepatan suara, densitas, kedalaman, dll lalu pilih ok
60
5. Setelah itu kita kembali ke submenu utama dan pilih Edit code independent propagation parameter
6. Maka akan muncul tampilan seperti ini dan kita mengisinya dengan parameter yang telah ada dan klik ok
61
7. Setelah itu kita kembali ke submenu utama dan pilih Edit code dependent propagation parameter
8. Lalu muncul tampilan seperti di bawah ini dan kita isi parameternya lalu klik ok
62
9. Lalu kembali ke menu awal dan pilih menu select active code dan kita pilih Ram Geo
10. Kembali ke meu utama, maka kita memilih sub menu Run current model for ACTIVE propagation code, kita tunggu hasilnya, setelah selesai kita pilih menu run model from file dan kita pilih data yang sudah disimpan sebelumnya. Setelan selesai di lakukan running, maka kita pilih menu plotting tools untuk memplot hasil running kita.
63
11. Pada menu plotting tools, kita pilih submenu transmission loss vs range and depth dimana dia akan meminta file hasil running sebelumnya untuk diplotkan agar mendapatkan gambar perambatan gelombang suara
Dalam mensimulasikan perambatan gelombang suara diperlukan data sebagai masukan untuk program seperti data suhu, salinitas, dan tekanan yang selanjutnya akan diolah menjadi data kecepatan suara. Data kecepatan suara di dapat dengan mengkonversi data suhu, salinitas, dan tekanan melalui persamaan 1. Dalam pembuatan
64
data profil environment, data diolah di menu configure environment and propagation model. Pada menu Edit Acoustic and Environment Array dimasukan data yang dimana pembuatan satu environment memerlukan pendefinisian bahwa Vector of Z coordinate (m) sebagai array data kedalaman dimana menurut informasi mengenai kecepatan suara dan densitas yang dimasukan harus sesuai dengan kedalamannya.. Vector of Compressional Sound Speed (m/s) yang berisi array data mengenai kecepatan suara yang bervariasi disetiap kedalaman. Vector of densities (kg/m3) yang berisi array data mengenai densitas disetiap kedalaman yang telah didefinisikan pada Vector of Z coordinate. Nilai pada Vector of shear sound speed (m/s), Vector of compressional wave absorption, vector of shear wave absorption bernilai 0 sepanjang array yang telah didefinisikan sebelumnya. Selanjutnya parameter independent didefinisikan pada menu Edit CodeIndependent Propagation Parameters. Data yang diperlukan adalah data frekuensi, data kedalaman sumber, kedalaman penerima yang berupa suatu array sepanjang kedalaman perairan. Jarak minimum dan maksimum propagasi, dan data batimetri. Untuk parameter dependent, diperlukan nilai seperti Maximum depth for TL grid output, Relative depth resolution, dll. Setelah semua parameter dependent, independent dan environment telah di definisikan, maka di simpan di menu save run definition agar parameter yang telah didefinisikan tidak hilang. Setelah di simpan, maka dapat di lakukan simulasi dengan terlebih dahulu memilih menu Select Active Code-RamGeo, lalu pilih menu Run Current Model for ACTIVE Propagation untuk mensimulasi kode propagasi RamGeo.
65
Setelah itu kita memilih menu Run Model(s) from file(s) untuk mensimulasikan skenario yang sudah di simpan sebelumnya. Setelah simulasi telah selesai, maka di pilih menu Plotting Tools untuk menampilkan hasil simulasi yang telah selesai. Pada menu Plotting Tools pilih menu Transmission loss vs range and depth untuk menampilkan hasil. Setelah hasil selesai ditampilkan maka dapat dilakukan analisis hasil simulasi untuk dapat melakukan penarikan kesimpulan.
Lampiran 2 Contoh Definisi Parameter Parameter Lingkungan Kolom Perairan Nama Parameter Vector of z coordinates Vector of compressional sound speeds
Keterangan Kedalaman
Satuan m
Kecepatan Suara di Kedalaman
m/s
Vector of densities
Densitas
kgm
1025.1 1025.3 1025.7 1025.9 1026,…
Keterangan Kedalaman
Satuan m
Nilai 650
Kecepatan Suara di Kedalaman Densitas
m/s
1749
kgm
1941
Dasar Perairan Nama Parameter Vector of z coordinates Vector of compressional sound speeds Vector of densities
Nilai 1 20 30 40 50 60 70 75 80 85 90 95 100 105,…,650 1542.181 1542.0657 1537.0047 1533.0601 1521.7106 1512.9783 1507.726 1507.6312 1506.4938 1503.1788 1498.9352 1498.2178
1511.7554
Parameter Akustik Parameter Independent Judul Frekuensi Source Depth
Keterangan Judul file masukan frekuensi sumber suara kedalaman sumber suara
Satuan
Nilai
hz m
50.000 25, 110, 300
Receiver Depth Minimum Range Maximum Range Number of Range Slices Filename prefix for output slices
kedalaman penerima jarak minimum jarak maximum faktor pembagian jarak nama hasil keluaran
m m m
30, 115, 310 100 20000 200
66
sub directory for output files
folder hasil
Parameter Dependent Reference phase velocity Number of terms Pade expansion
Keterangan Kecepatan suara acuan Jumlah suku dalam deret Pade Jumlah pembatas stabilitas
Number of stability constraints Contoh File Masukan
profile in water { m/s] 1542.181000 1541.885500 1541.895800 1542.065700 1542.122700 1539.130700 1537.004200 1536.278100 1534.699300 1533.873900 1533.282400 1533.060100 1530.861300 1527.106100
Nilai 1500 7 5
Judul
Ican 50000.000000 25.000000 30.000000 20000.000000 0.100000 100 650.900000 0.050000 200 690.350000 1500.000000 10 10 0.000000 0.000000 70.000000 20000.000000 70.000000 -1 -1 sound speed 1.000000 10.000000 20.000000 30.000000 40.000000 50.000000 60.000000 70.000000 75.000000 80.000000 85.000000 90.000000 95.000000 100.000000
Satuan m/s
f, zs, zr rmax, dr, ndr zmax dz, ndz, zmplot c0, np, ns, rsc bathymetry data {r,z} in [m, m]
105.000000 110.000000 115.000000 120.000000 125.000000 130.000000 135.000000 140.000000 145.000000 150.000000 155.000000 160.000000 165.000000 170.000000
1525.582900 1524.845400 1524.581900 1521.718600 1514.761600 1513.209600 1513.096900 1512.993200 1512.993900 1519.978300 1512.960600 1512.932800 1512.959600 1513.022800
67
175.000000 1513.059300 180.000000 1511.755400 195.000000 1508.872400 200.000000 1508.136400 410.000000 1507.726000 420.000000 1507.417200 430.000000 1507.519200 440.000000 1507.631200 450.000000 1507.798900 460.000000 1507.622900 470.000000 1506.493800 480.000000 1504.568400 490.000000 1503.715500 500.000000 1503.178800 -1 -1 density profile 75.000000 1.025100 80.000000 1.025300 85.000000 1.025600 90.000000 1.025700 95.000000 1.025900 100.000000 1.026200 105.000000 1.026500 110.000000 1.026800 115.000000 1.027100 120.000000 1.027400 125.000000 1.027700 130.000000 1.028000 135.000000 1.028300 140.000000 1.028600 145.000000 1.028900 150.000000 1.029200 155.000000 1.029500 160.000000 1.029800 165.000000 1.030100 170.000000 1.030400 175.000000 1.030700
]
510.000000 520.000000 530.000000 540.000000 550.000000 560.000000 570.000000 580.000000 590.000000 600.000000 600.050000 600.350000 600.900000
1501.902900 1500.000000 1498.913300 1498.654700 1498.586100 1498.217800 1497.372100 1497.192500 1497.038900 1496.919900 1749.000000 1749.000000 1749.000000
180.000000 195.000000 200.000000 410.000000 420.000000 430.000000 440.000000 450.000000 460.000000 470.000000 480.000000 490.000000 500.000000 510.000000 520.000000 530.000000 540.000000 550.000000 560.000000 570.000000 580.000000 590.000000
1.031000 1.031300 1.031600 1.032300 1.032600 1.032800 1.033000 1.033200 1.033400 1.033600 1.033800 1.034000 1.034200 1.034400 1.034600 1.034800 1.035000 1.035200 1.035400 1.035600 1.035800 1.035900
68
600.000000 600.050000 -1 -1 attenuation 75.000000 80.000000 85.000000 90.000000 95.000000 100.000000 105.000000 110.000000 115.000000 120.000000 125.000000 130.000000 135.000000 140.000000 145.000000 150.000000 155.000000 160.000000 165.000000 170.000000 175.000000 180.000000 195.000000 200.000000 410.000000 420.000000 430.000000 440.000000 450.000000 460.000000 470.000000 480.000000 490.000000
1.036000 1.941000
600.350000 600.900000
1.941000 1.941000
profile {z,attnp} [m, dB) 17.89634 17.89635 17.89636 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634
500.000000 510.000000 520.000000 530.000000 540.000000 550.000000 560.000000 570.000000 580.000000 590.000000 600.000000 600.050000 600.350000 600.900000 -1 -1
17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 17.89634 20.000000 20.000000 18.000000
69