PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG
WALUYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir ”Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Nopember 2006
WALUYO NRP A. 154050175
ABSTRAK WALUYO, Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang. Dibimbing oleh SUMARDJO sebagai ketua, YUSMAN SYAUKAT sebagai anggota komisi pembimbing. Usaha kecil mempunyai peran yang cukup penting dalam perekonomian nasional. Dalam krisis ekonomi, usaha mikro dan kecil terbukti lebih tahan dibandingkan usaha menengah dan besar, dapat menjadi sarana pemerataan kesejahteraan rakyat melalui terciptanya lapangan kerja dan investasi. Permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha mikro konveksi adalah masalah permodalan, akses bahan baku, akses teknologi, jaringan kerja sama, pemasaran dan sumberdaya manusia. Penyusunan rancangan strategi dan program pemberdayaan pengusaha mikro konveksi secara partisipatif. Tujuan kajian ini adalah mengidentifikasi permasalahan usaha mikro konveksi dalam hal permodalan, akses bahan baku, akses teknologi, jaringan kerja sama dan pemasaran serta sumberdaya manusia. Menyusun rancangan strategi dan rancangan program pengembangan usaha mikro konveksi secara partisipatif. Kajian pengembangan masyarakat dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu pemetaan sosial, evaluasi program, kajian pengembangan masyarakat dengan fokus kajian merancang strategi dan program pemberdayaan pengusaha mikro konveksi dalam meningkatkan keberdayaannya. Metode kajian yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data kualitatif yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam dan FGD. Permasalahan diidentifikasi dengan analisis deskriptif dan ditentukan masalah prioritas, rancangan strategi dengan analisis SWOT, penyusunan program dilaksanakan bersama komunitas pengusaha mikro konveksi dalam forum FGD dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa program pemberdayaan pengusaha mikro konveksi dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh para pangusaha melalui analisis lingkungan usaha (internal dan eksternal). Program pemberdayaan dilakukan dengan (1) Revitalisasi KPPJ, (2) Kemitraan dengan pedagang pakaian, dan (3) Pelatihan Partisipatif.
ABSTRACT WALUYO, Micro Entrepreneur of Convection Empowerment in Village of Purwoharjo of Comal subdistrict of Pemalang Regency. Under the direction of SUMARDJO and YUSMAN SYAUKAT. Small industry have been playing the important role in national economics. In the economics crisis , micro and small enterprises have proven that its could more survive compared to a big and middle enterprises. Its could become the way of equitability of people prosperity through creating employment and investment Problems faced by all micro entrepreneur of convection are capital problem, access to the raw material, access of the technology, networking, marketing and human resources. The other problem is how to compile design of strategy and program the micro enterprises of convection development participatively. This research objectives are identify the micro enterprises of convection problems in the case of capital, access to the raw material, access the technology, networking, marketing and human resources. Compiling strategy design and program of the micro enterpreneurs of convection development participatively. The Community Development Research executed in three phase, there are social mapping, evaluate the program and community development research with the focus of study is designing the strategy and program of the micro entrepreneur of convection empowerment in improving his powered. Research method used is qualitative method. Technique of qualitative data collecting used are observation, in depth interview and Focus Group Discussion (FGD). Problems identified with the descriptive analysis and determined by a priority problem, strategy device is analyzed with the SWOT analysis, program compilation executed with the micro entrepreneurs of convection community in FGD forum by using descriptive analysis. Result of the research indicate that the micro entrepreneurs of convection empowerment program conducted for to overcome the problems faced by all of micro entrepreneurs through business environmental analysis ( internal and external). The Empowerment Program conducted by (1) Revitalization of KPPJ, (2) Partnership with the clothes merchant, and (3) Participative Training
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya
PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG
WALUYO
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tugas Akhir
:
Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang
Nama Mahasiswa
:
WALUYO
NRP
:
A 154050175
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sumardjo, MS Ketua
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 6-11-2006
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya Penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Pendidikan Pascasarjana Insititut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengembangan Masyarakat. Kajian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar
Magister
Profesional
dengan
judul
Laporan
Kajian
Pengembangan Masyarakat adalah “ Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang”. Berkenaan dengan penyusunan
Kajian Pengembangan Masyarakat
tersebut Penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr.Ir. Sumardjo, MS dan Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
selaku Komisi
Pembimbing yang telah memberikan petunjuk dan saran dalam penyusunan kajian ini. 2. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat IPB-STKS dan Para staf pengajar pada Program Studi Pengembangan Masyarakat IPB-STKS. 3. Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Ec
selaku Penguji luar komisi.
4. Dr. Marjuki, M.Sc selaku Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Sosial Departemen Sosial Republik Indonesia. 5. Kepala Diperindagkop Kabupaten Pemalang, Kepala BPS Kabupaten Pemalang, Camat Comal, Lurah Purwoharjo dan Para pengusaha mikro konveksi di dusun Serdadi Kelurahan Purwoharjo yang telah memberikan bantuan dan informasi sebagai bahan kajian. 6. Istri, anakku tercinta serta orang tuaku yang telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis. 7. Para Pihak yang tidak dapat Kami sebutkan satu persatu yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan kajian ini. Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi para pihak yang akan meneliti lebih lanjut, Pemda Kabupaten Pemalang serta para pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo. Bogor, Nopember 2006
Waluyo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karanganyar Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 30 Desember 1977 dari pasangan Bapak Rakijo / Karyadi dan Ibu Warsini (almarhumah)
sebagai
anak
keempat
dari
lima
bersaudara.
Penulis
menyelesaikan pendidikan SD Negeri Gerdu 1 pada tahun 1990, SMP Negeri 1 Karanganyar pada tahun 1993, SMA Negeri 1 Karanganyar pada tahun 1996, dan STPDN Jatinangor pada tahun 2000. Sejak tahun 2000 penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Sekretariat Daerah Kabupaten Pemalang. Pada bulan Agustus 2005 Penulis mendapatkan beasiswa dari Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan S2 Program Studi Pengembangan Masyarakat, kerjasama IPB – STKS. Tahun 2005 Penulis menikah dengan Indryas Wahdini. Dari pernikahan ini penulis dikaruniai satu orang anak, yaitu Azka Wayasy Al Hafizh, lahir pada tanggal 18 Mei 2006.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xiv
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 1.3 Tujuan................................................................................................ 1.4 Kegunaan ..........................................................................................
1 4 6 6
II. KERANGKA KAJIAN 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
Usaha Mikro dan Usaha Kecil ......................................................... Pemberdayaan................................................................................. Pengembangan Kapasitas............................................................... Kerangka Berpikir ........................................................................... Definisi Operasional ........................................................................
7 8 10 12 14
III. METODE KAJIAN 3.1 Batas-batas Kajian........................................................................... 3.2 Tempat dan Waktu Kajian................................................................ 3.3 Metode Pengumpulan Data............................................................. 3.3.1 Sumber Data.......................................................................... 3.3.2 Responden dan Cara Pemilihan........................................... 3.4 Metode Analisis Data ...................................................................... 3.5 Rancangan Penyusunan Program ..................................................
15 15 16 16 18 19 20
IV. PETA SOSIAL KOMUNITAS. 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Lokasi............................................................................................... Kependudukan................................................................................. Aspek Perekonomian....................................................................... Struktur Komunitas........................................................................... Organisasi dan Kelembagaan.......................................................... 4.5.1 Kelembagaan........................................................................ 4.5.2 Organisasi............................................................................ 4.6 Sumberdaya lokal.............................................................................
ix
22 23 25 29 31 31 31 32
V. SEJARAH PENGEMBANGAN KOMUNITAS 5.1 Bantuan Modal ................................................................................. 5.1.1 Dari BUMN.............................................................................. 5.1.2 Dari Diperindag Provinsi Jawa Tengah .................................. 5.2 Sosialisasi HAKI dan bantuan Pendaftaran Hak Merk & TDI ........ 5.2.1 Perkembangan........................................................................ 5.2.2. Pengembangan Modal Sosial................................................ 5.2.3 Kebijakan dan Perencanaan Sosial........................................
34 34 35 37 38 39 40
VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 6.1 Permasalahan Pengusaha Mikro Konveksi..................................... 6.1.1 Sumberdaya Manusia ........................................................... 6.1.2 Teknologi................................................................................ 6.1.3 Permodalan............................................................................ 6.1.4 Pengadaan Bahan Baku........................................................ 6.1.5 Pemasaran............................................................................. 6.1.5.1 Pemasaran ............................................................... 6.1.5.2 Pendapatan.............................................................. 6.1.6 Jaringan Kerja Sama ............................................................ 6.2 Prioritas Permasalahan................................................................... 6.3 Evaluasi KPPJ ................................................................................ 6.3.1 Kelemahan.............................................................................. 6.3.2 Kelebihan................................................................................
39 39 41 42 45 48 48 50 51 53 53 54 54
VII. STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI 7.1 Analisis Lingkungan Usaha............................................................ 7.1.1 Faktor Internal....................................................................... 7.1.1.1 Kekuatan.................................................................. 7.1.1.2 Kelemahan............................................................... 7.1.2 Faktor Eksternal.................................................................. 7.1.2.1 Peluang..................................................................... 7.1.2.2 Tantangan................................................................. 7.2 Rancangan Strategi Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi.. 7.2.1 Strategi Pengembangan Permodalan................................... 7.2.2 Strategi Pengembangan Jaringan Kerjasama...................... 7.2.3 Strategi Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia........ 7.3 Rancangan Program...................................................................... 7.3.1 Program Revitalisasi Organisasi .......................................... 7.3.2 Kemitraan dengan Pedagang Pedagang Pakaian................. 7.3.3 Pelatihan Partisipatif..............................................................
x
56 56 56 57 58 58 60 63 63 63 64 67 67 68 70
VIII. KESIMPULAN dan REKOMENDASI 7.1 Kesimpulan..................................................................................... 7.2 Rekomendasi..................................................................................
74 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... LAMPIRAN – LAMPIRAN............................................................................
76 78
xi
DAFTAR TABEL
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12
13 14
15 16 17 18
Jadual Pelaksanaan Kajian Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 ...................................... Matriks Pengumpulan Data Penelitian di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 .............................................................................................. Jarak Kelurahan Purwoharjo dengan Pusat Pertumbuhan ...................... Jumlah Penduduk Kelurahan Purwoharjo Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005 ............................................................................................ Jumlah Penduduk Kelurahan Purwoharjo Menurut Tingkat PendidikanTahun 2005 ........................................................................... Jumlah Penduduk Kelurahan Purwoharjo Menurut Mata Pencaharian Tahun 2005 ............................................................................................ Jumlah Penduduk Kelurahan Purwoharjo Menurut Kelompok Usia Tenaga Kerja Tahun 2005 ...................................................................... Penyaluran Kredit BUMN kepada Pengusaha Mikro Konveksi Kelurahan Purwoharjo Tahun 2003 ......................................................... Jumlah Tenaga Kerja menurut Status (Dalam Keluarga atau Luar Keluarga) dari 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 .......................................................................... Jumlah Alat Produksi dari 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 ..................................................... Biaya Produksi diluar Bahan Baku 9 Kasus Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 ........................... Tempat Pembelian, Jenis Produk, Cara Pembayaran, Bahan Baku 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 .............................................................................................. Pembelian Bahan Baku 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 ..................................................... Tujuan Pemasaran Produk, Cara Pengiriman dan Cara Pembayaran dari 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 .............................................................................................. Penjualan Produksi Konveksi / minggu 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 ...................................... Perhitungan Pendapatan tiap Minggu 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 ...................................... Matriks Analisis SWOT Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 ..................................................... Kerangka Kerja Logis Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 .....................................................
xii
16 17 21 22 23 24 25 33
39 41 43
46 47
49 50 51 62 73
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2
3
Kerangka Berpikir Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006.................................................. Diagram Alir (sebab akibat) Keterkaitan Antar Masalah Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo...................................................................... Kerangka Alur Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo......................................................................
xiii
14
56 67
DAFTAR LAMPIRAN
1. Sketsa Kelurahan Purwoharjo ................................................................. 2. Kuisioner Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang Tahun 2006 …… 3. Kuisioner SWOT Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 ..................................................... 4. Rata-rata Jawaban Kuisioner SWOT Faktor Internal Responden Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 ............................................................................................. 5. Rata-rata Jawaban Kuisioner SWOT Faktor Eksternal Responden Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 ............................................................................................. 6. Dokumentasi Kegiatan Kajian .................................................................
xiv
79 80 87
88
89 90
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Posisi usaha kecil dalam perekonomian Indonesia menjadi semakin penting terutama setelah krisis melanda Indonesia. Kelompok usaha kecil pada saat krisis
ekonomi
dipandang
telah
menunjukkan
kekuatan
dan
potensi
sesungguhnya dalam hal daya tahan menghadapi guncangan maupun dalam hal peranannya sebagai salah satu motor penggerak ekonomi yang penting (Widyaningrum, 2003). Terdapat beberapa argumen yang memperkuat dukungan terhadap pentingnya penguatan usaha kecil. Pertama, banyak usaha kecil-mikro terbukti lebih tahan dalam menghadapi krisis daripada banyak usaha besar. Hasil studi monitoring yang dilaksanakan pada tahun 1999 oleh AKATIGA dan The Asia Foundation menunjukkan bahwa dari 800 responden usaha kecil yang diambil di empat propinsi, 33 persen diantaranya menunjukkan penurunan,
28 persen
menunjukkan kenaikan atau 39 persennya turun namun menyimpan potensi naik (AKATIGA dan The Asia Foundation, 1999). Antara tahun 2000–2003 jumlah unit usaha kecil secara nasional mengalami pertumbuhan sebesar 9,46 persen, usaha menengah sebesar 13,46 persen dan usaha besar 13,68 persen ( Kementrian KUKM, 2004). Kedua, unit usaha kecil telah mampu menjadi sarana pemerataan kesejahteraan rakyat. Usaha-usaha kecil menyerap tenaga kerja yang besar dengan jumlahnya yang besar serta sifatnya yang umumnya padat karya. Usaha mikro, kecil dan menengah memberikan lapangan kerja bagi 99,45 persen tenaga kerja di Indonesia, dan masih akan menjadi tumpuan utama penyerapan tenaga kerja pada masa mendatang. Selama periode 2000 – 2003, usaha mikro dan kecil telah mampu memberikan lapangan kerja baru bagi 7,4 juta orang dan usaha menengah mampu memberikan lapangan kerja baru sebanyak 1,2 juta orang. Pada sisi lain, usaha besar hanya mampu memberikan lapangan kerja baru sebanyak 55.760 orang selama periode 2000 – 2003 (Kementrian KUKM, 2005). Ketiga, di dalam kondisi krisis usaha dan investasi yang masih berjalan dengan baik adalah investasi pada usaha-usaha yang berskala kecil. Perluasan
2 produk pasar ekspor yang mungkin dilakukan, seperti pada komoditas garmen, agribisnis, serta pengolahan
hasil hutan, merupakan produk-produk yang
pengerjaannya banyak melibatkan dan dilakukan oleh pelaku usaha kecil (Widyaningrum, 2003). Produk Domestik Bruto yang disumbangkan oleh sektor usaha kecil antara tahun 1997–2003 mengalami pertumbuhan sebesar 7,06 persen, sementara usaha menengah mengalami penurunan 3,25 persen dan usaha besar mengalami pertumbuhan 0,91 persen dari pertumbuhan total sebesar 2,59 persen.
Dalam
kurun
waktu
antara
tahun
2001-2004,
usaha
kecil
menyumbangkan PDB non migas rata-rata 46 persen lebih tinggi dibandingkan dengan usaha menengah yang hanya menyumbang 17,27 persen dan usaha besar
sebesar 36,73 persen ( Kementrian KUKM, 2004). Dari pertumbuhan
ekonomi nasional sebesar 4,86 persen di tahun 2004 hanya 0,84 persen saja yang
berasal
dari
Usaha
Menengah.
Sebaliknya
walaupun
akselerasi
pertumbuhan kelompok Usaha Kecil dan Besar tidak secepat Usaha Menengah, namun dengan peranannya yang cukup besar dalam penciptaan nilai tambah nasional, sumbangan kedua kelompok usaha ini menjadi cukup tinggi. Pada tahun 2004 sumbangan Usaha Kecil dan Besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sama besarnya yaitu 2,01 persen (Kementrian KUKM, 2005). Pada tahun 2004 jumlah usaha kecil di kabupaten Pemalang adalah 6.723 unit atau 99,72 persen dari keseluruhan unit usaha yang ada. Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh usaha kecil 39.557 orang atau 92,8 persen. Persentase investasi usaha kecil sebesar 96,05 persen dan persentase produksi 83,67 persen (BPS Kabupaten Pemalang, 2004). Secara rinci Industri kecil di Kabupaten Pemalang sektor Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan berjumlah 3.831 unit dengan menyerap tenaga kerja 10.488 orang. Sektor Industri Elektronika, Tekstil dan Aneka berjumlah 2.284 unit dengan menyerap tenaga kerja 15.352 orang. Sektor Industri Logam dan perekayasaan berjumlah 608 unit dan menyerap tenaga kerja 1.176 orang. Sehingga secara keseluruhan berjumlah 6.723 unit usaha dengan menyerap tenaga kerja 27.940 orang (Diperindagkop Kab Pemalang, 2004). Kontribusi industri mikro dalam hal penyerapan tenaga kerja tersebut merupakan suatu hal yang sangat berarti di tengah kondisi perekonomian nasional dewasa ini yang telah mengakibatkan PHK yang tidak sedikit. Pada industri besar di Kabupaten Pemalang, antara
3 tahun 2002 – 2004 telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 770 orang karyawan. Pemberlakuan otonomi daerah yang bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi nasional dan global telah menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan program otonomi daerah, pendekatan pembangunan ekonomi lokal (local economic development) selayaknya diarahkan pada peningkatan dan pemanfaatan unsurunsur lokal (indigenous) yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sosio kultural, dan lokasi strategis pembangunan daerah. Dengan pendekatan ini diharapkan daerah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara mandiri didasarkan pada keuntungan kompetitif dan keuntungan komparatif (Syaukat, 2006). Kabupaten Pemalang menaruh perhatian serius terhadap usaha mikrokecil
yang berada di wilayahnya. Hal tersebut tercermin dalam salah satu
misinya untuk : Memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi daerah, terutama pengusaha mikro, menengah dan koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Kabupaten Pemalang mempunyai sentra industri mikro konveksi di wilayah kecamatan Ulujami dan kecamatan Comal. Kelurahan Purwoharjo yang terletak di Kecamatan Comal merupakan salah satu lokasi sentra usaha mikro konveksi tersebut. Berdasarkan hasil pemetaan sosial di wilayah Kelurahan Purwoharjo, di lokasi ini terdapat beberapa aktivitas usaha ekonomi produktif. Aktivitas tersebut antara lain : industri mikro pakaian jadi (konveksi) di wilayah RW 9 (dusun Serdadi) berjumlah 154 unit, industri mikro
kue semprong
sejumlah 20 unit di RT 05 RW 03 (dusun Posongan) yang sudah berlangsung secara turun temurun dan di RW 04 dan RW 06 (dusun Balutan) dulu terkenal dengan kerajinan kurungan ayam dari bambu namun sekarang tinggal 3 orang pengusaha yang masih menekuni karena harga jual rendah dan pemasarannya semakin susah. Dari ketiga jenis usaha kecil
tersebut yang sudah pernah
mendapatkan pembinaan dan bantuan Diperindagkop Kabupaten Pemalang
4 adalah industri mikro kue semprong
dan konveksi (Waluyo, 2005).
dibandingkan dengan 2 jenis usaha kecil lainnya,
Apabila
industri mikro konveksi
mempunyai populasi ter banyak dan lebih prospektif. Pembinaan kepada
industri mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo
sudah dimulai sebelum otonomi daerah melalui KIK, KUK, KMKP dan program Bapak Angkat-mitra usaha BUMN. Setelah pelaksanaan otonomi daerah, pembinaan dari Diperindagkop Kabupaten Pemalang,
antara lain adalah
sosialisasi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan bantuan pendaftaran hak merk industri mikro pada tahun anggaran 2002 – 2004
serta sosialisasi
Peraturan Daerah No 18 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri pada tahun 2003. Hasil pendataan industri oleh Diperindagkop Kabupaten Pemalang pada Tahun Anggaran 2004 menunjukkan bahwa di Kelurahan Purwoharjo terdapat 88 unit industri mikro yang sudah memiliki TDI dengan tenaga kerja 1053 Orang dan 66 unit industri mikro yang tidak memiliki TDI dengan tenaga kerja 443 Orang. Jadi secara keseluruhan berjumlah 154 industri mikro (Diperindagkop Kab. Pemalang, 2004). Usaha kecil di Kabupaten Pemalang tidak jauh berbeda kondisinya dengan ditempat lain pada umumnya, sebagaimana hasil berbagai studi dalam pengembangan usaha kecil di Indonesia yang menunjukkan bahwa usaha kecil mengalami kelemahan hampir di seluruh aspek, seperti pengadaan bahan baku, teknik produksi, manajemen, permodalan, pemasaran dan sumber daya manusia (Usman,1997).
1.2 Rumusan Masalah Usaha mikro konveksi dapat berjalan baik dan berkembang bila didukung oleh kepemilikan modal yang memadai untuk pengadaan bahan baku dan biaya produksi yang cukup dan kontinyu. Liedholm dalam Haryadi dkk (1998) menyampaikan
bahwa
perbedaan
dalam
tahap
perkembangan
usaha
berimplikasi terhadap kebutuhan permodalan. Usaha-usaha yang berada dalam tahap rintisan memiliki kebutuhan modal untuk investasi. Pada tahap perkembangan selanjutnya, kebutuhan modal berkembang menjadi kebutuhan akan modal
kerja. Tahap akumulasi modal membutuhkan tambahan modal
untuk pengembangan skala usaha. Berdasarkan hasil observasi, industri mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo berada dalam tahap rintisan dan berkembang.
5 Artinya pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo membutuhkan modal untuk investasi (pembelian alat produksi) dan modal kerja. Usaha mikro konveksi merupakan industri pengolahan yaitu mengolah bahan baku berupa kain menjadi barang jadi (celana pendek, celana kolor dan seragam sekolah). Salah satu permasalahan dalam usaha ini adalah masalah pengadaan bahan baku. Bahan baku kain perlu segera diproses menggunakan alat produksi yang dimiliki. Teknologi / alat produksi berupa mesin jahit, mesin obras dan peralatan lain yang dimiliki mempengaruhi kapasitas produksi usaha mikro konveksi. Peralatan tersebut harus
dioperasikan oleh sumberdaya
manusia (tenaga kerja) yang terampil dalam jumlah yang cukup untuk dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan jumlah yang cukup guna memenuhi permintaan pasar. Produk yang dihasilkan perlu segera dipasarkan untuk memperoleh keuntungan melalui jaringan pemasaran dan sistem pemasaran yang berlaku. Hampir menjadi ciri umum bahwa produk usaha kecil diproduksi terutama untuk mengisi pasar lokal domestik. Istilah pasar domestik merujuk pada pasar lokal, pasar regional (di luar provinsi tempat usaha kecil berada) dan pasar nasional (Haryadi, 1998). Pemasaran produk yang baik memerlukan informasi pasar yang tepat. Untuk dapat mengembangkan usaha mikro diperlukan perluasan jaringan pemasaran.
Selain jaringan pemasaran juga diperlukan jaringan kerja sama
dalam hal pengadaan bahan baku,
permodalan dan informasi pasar yang
meliputi informasi mode dan harga. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam kajian ini mencoba mencari jawaban atas masalah-masalah berikut : 1. Seberapa jauh pengusaha mikro
konveksi
di Kelurahan Purwoharjo
dihadapkan pada permasalahan permodalan, akses bahan baku, akses teknologi, jaringan kerja sama dan
pemasaran serta sumberdaya
manusia? 2. Bagaimana upaya yang diperlukan untuk mengembangkan usaha mikro konveksi tersebut ?
6 1.3 Tujuan Kajian Kajian ini bertujuan untuk : 1.
Mengidentifikasi
permasalahan
usaha
mikro
konveksi
dalam
hal
permodalan, akses bahan baku, akses teknologi, jaringan kerja sama dan pemasaran serta sumberdaya manusia. 2.
Menyusun rancangan program pengembangan usaha mikro
konveksi
secara partisipatif
1.4 Kegunaan Kajian Kajian ini berguna untuk memahami fenomena yang ada dalam kegiatan usaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo dan menganalisisnya dalam upaya merumuskan konsep pengembangan usaha
mikro tersebut secara
partisipatif. Kegunaan bagi pengguna, dalam hal ini bagi pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo adalah untuk memberi alternatif rancangan pengembangan usaha mereka secara partisipatif. Bagi Pemda Kabupaten Pemalang khususnya Diperindagkop Kabupaten Pemalang adalah memberikan alternatif pendekatan dan strategi dalam intervensi pengembangan mikro
Industri
konveksi di Kelurahan Purwoharjo maupun pembinaan industri mikro
yang lain.
II. KERANGKA KAJIAN
2.1 Usaha Mikro dan Usaha Kecil Usaha Mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional dan informal, dalam arti belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum, dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 100.000.000 atau kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 (Kementrian KUKM, 2005). Biro Pusat Statistik (1993 ) memberikan definisi pembagian skala usaha (difokuskan pada industri
manufaktur) berdasarkan kriteria
serapan tenaga
kerja. Berdasarkan kriteria tersebut usaha dibedakan menjadi : a
Industri skala mikro / rumah tangga adalah suatu perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja 1 - 4 orang.
b
Industri skala kecil adalah adalah suatu perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja 5-19 orang.
c
Industri skala menengah
adalah adalah suatu perusahaan manufaktur
yang mempekerjakan tenaga kerja 20-99 orang. d
Industri skala besar adalah adalah suatu perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja 100 orang atau lebih Departemen Perindustrian dan Perdagangan membagi usaha kecil
menjadi dua kelompok yaitu industri kecil dan perdagangan kecil. Industri kecil adalah usaha industri yang memiliki investasi peralatan kurang dari Rp 70.000.000, investasi per tenaga kerja maksimal Rp 625.000, jumlah pekerja kurang dari 20 orang serta memiliki asset perusahaan tidak lebih dari Rp 100.000.000 (Sumodiningrat, 1996). Berdasarkan definisi BPS, usaha konveksi di Kelurahan Purwoharjo termasuk dalam kriteria industri skala mikro – industri skala menengah. Thee (1996) membuat tiga kategorisasi jenis usaha berdasarkan jenis teknologi yang digunakan yaitu tradisional, semi modern dan modern. Usaha mikro biasanya menggunakan teknogi tradisional. Berdasarkan kategori Thee tersebut, usaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo termasuk peralihan dari tradisional ke semi modern karena sudah menggunakan mesin jahit yang digerakkan oleh dinamo (listrik).
Sementara itu Yaffey (1992) lebih melihat
8 kategorisasi tahapan perkembangan dari pola-pola pengelolaan keuangan yang diterapkan dalam suatu usaha kecil. Usaha tahap rintisan belum memisahkan pengelolaan keuangan untuk usaha (produksi) dan konsumsi. Usaha tahap berkembang telah memisahkannya. Pada usaha-usaha yang berada pada tahap akumulasi modal,
pengelolaan keuangan telah dilakukan secara profesional,
dengan adanya perencanaan untuk investasi. Pada tingkat ini suntikan modal diperlukan untuk melakukan reinvestasi bagi pengembangan usaha lebih jauh. Usaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo, sebagian besar masih pada tahap rintisan (belum memisahkan keuangan untuk produksi dan konsumsi), sisanya sudah masuk tahap berkembang. Berbagai studi dalam pengembangan usaha kecil di Indonesia menunjukkan bahwa usaha kecil mengalami kelemahan hampir di seluruh aspek, seperti pengadaan bahan baku, teknik produksi, manajemen, permodalan, pemasaran dan sumberdaya manusia (Usman, 1997).
2.2 Pemberdayaan Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagai pengontrolan atas dan mempengaruhi
terhadap
kejadian-kejadian
serta
lembaga-lembaga
yang
mempengaruhi kehidupannya. Prinsip pemberdayaan agar dapat mencapai sasarannya
adalah
dengan
menekankan
bahwa
orang
memperoleh
keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons et al, 1994). Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu
menguasai (atau berkuasa atas)
kehidupannya (Rappaport, 1984). Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga Usaha Kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. (Undang-Undang Republik Indonesia No 9 Tahun 1995). Pembinaan dan pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melalui pemberian
9 bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri (Undang-Undang Republik Indonesia No 9 Tahun 1995). Dalam kajian ini pemberdayaan usaha mikro konveksi dilaksanakan secara partisipatif dengan menumbuhkan inisiatif para pengusaha. Ada dua aliran argumen tentang pengembangan industri mikro. Aliran pertama menyebutkan bahwa usaha skala kecil perlu dibuat menjadi usaha skala besar. Akibatnya, intervensi dan kebijakan dalam pengembangan usaha kecil sebagai rekomendasi dari aliran ini, perlu diarahkan untuk mengubah skala usaha kecil menjadi skala usaha besar, baik dari sudut produksi, kapital maupun tenaga kerja (pembesaran skala usaha). Aliran kedua menyodorkan argumen yang sebaliknya, yakni menjadikan usaha kecil semakin solid tanpa perlu menjadi besar. Dengan demikian rekomendasi yang diajukan adalah optimalisasi skala usaha atau menemukan skala usaha yang paling efisien dan produktif (Tambunan, 1997). Pengembangan industri mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo lebih dititikberatkan untuk menggunakan
aliran kedua yaitu
optimalisasi skala usaha menuju skala usaha yang paling efisien dan produktif bagi usaha mikro konveksi tanpa harus meningkatkan skala usahanya. Banyak ahli yang telah mengamati dan menggeluti perkembangan usaha kecil yang kurang memuaskan dan
menarik kesimpulan bahwa kebanyakan
kegiatan promosi UKM, yang hingga kini telah diimplementasikan di Indonesia lebih banyak didasarkan pertimbangan
”pemerataan” atau ”kesejahteraan”
ketimbang pertimbangan ”efisiensi”. Pertimbangan ”pemerataan” melihat bahwa usaha kecil sebagai usaha yang memang lemah dan tidak mempunyai prospek baik untuk berkembang menjadi usaha yang efisien dan mempunyai daya hidup ekonomi
(economic
viability)
yang
baik,
namun
karena
pertimbangan
pemerataan, usaha-usaha kecil ini wajib dibantu ( Widyaningrum, 2003). Di sisi lain, pertimbangan efisiensi dalam program promosi usaha kecil menekankan bahwa banyak usaha kecil dapat berkembang menjadi usaha yang efisien dan berdaya saing tinggi, jika diberikan bantuan yang tepat guna (appropriate) bagi mereka. Pendekatan ini melihat bahwa program-program promosi usaha kecil di masa lampau lebih bersifat program ”top down” atau ”supply driven”, yaitu program lebih banyak ditentukan oleh pemerintah tanpa benar-benar memperhatikan kebutuhan riil usaha kecil. Para ahli dan pemerhati usaha kecil menganjurkan bahwa program-program promosi usaha kecil yang
10 baru, baik program kredit maupun program yang memberikan jasa-jasa bisnis (business services) dan pelatihan harus bersifat ”demand driver”, yaitu terutama ditentukan oleh kebutuhan riil usaha kecil. Disamping itu, program-program promosi itu juga harus bersifat ”market-driven”, artinya baik permintaan maupun pemasokan program-program ini akan ditentukan oleh kekuatan pasar dan bukan diwajibkan oleh pemerintah (Widyaningrum, 2003). Berdasarkan argumenargumen tersebut, pemberdayaan usaha mikro konveksi dalam kajian ini tidak menyepakati pendekatan ”top down” supply driven” / pemerataan dan lebih cenderung
menggunakan pendekatan ”demand driven” dan ”market driven ”
dengan menyampaikan kebutuhan riil para pengusaha kepada pemerintah agar program pembinaan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan mereka.
2.3 Pengembangan Kapasitas Pemberdayaan pengusaha mikro konveksi tidak bisa dilepaskan dari pengembangan kapasitas sumberdaya manusianya. Pengembangan kapasitas masyarakat
menurut
Maskun
(1999)
merupakan
suatu
pendekatan
pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia, sehingga menjadi suatu Local capacity. Kapasitas lokal
yang
dimaksud
adalah
kapasitas
pemerintah
daerah,
kapasitas
kelembagaan swasta, dan kapasitas masyarakat desa terutama dalam bentuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam menghadapi tantangan pengembangan potensi alam dan ekonomi setempat. Kapasitas lokal yang dapat dikembangkan dalam pemberdayaan pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo, adalah sumberdaya ekonomi berupa kegiatan industri mikro konveksi dan sumberdaya manusia (pengusaha dan tenaga kerja). Kebutuhan penting di sini adalah
bagaimana
mengembangkan kapasitas masyarakat, yang mencakup kapasitas institusi dan kapasitas sumberdaya manusia. Pemerintah memiliki fungsi menciptakan strategi kebijakan sebagai landasan bagi organisasi lokal untuk mengembangkan kreativitasnya. Pemda Kabupaten Pemalang telah menetapkan dusun Serdadi
11 Kelurahan Purwoharjo sebagai sentra industri mikro konveksi.Dalam rangka pengembangan kapasitas dapat dilakukan Upaya-upaya (Eade, 1997) : 1. Mendukung
kapasitas
tokoh
masyarakat
untuk
mengorganisasikan
perubahan, lingkungan, perumahan dan program bantuan darurat. 2. Mendukung kapasitas golongan tak mampu (disabilities), pengembangan pendidikan, pelatihan dan keterampilan, membangun kerja kelompok dan pengembangan jaringan. Pengembangan kapasitas yang dimaksudkan dalam kerangka program nasional mengacu kepada kebutuhan akan : penyesuaian kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan, reformasi kelembagaan, modifikasi prosedur-prosedur kerja dan mekanisme-mekanisme koordinasi, peningkatkan keterampilan dan kualifikasi sumber daya manusia, perubahan sistem nilai dan sikap atau perilaku sedemikian rupa, sehingga dapat terpenuhinya tuntutan dan kebutuhan otonomi daerah,
sebagai
suatu
cara
pendekatan
baru
ke
arah
pemerintahan,
pengadministrasian dan pengembangan mekanisme-mekanisme partisipatif yang tepat guna memenuhi tuntutan yang lebih demokratis (Bappenas-Depdagri, 2002). Secara umum Pengembangan dan peningkatan Kapasitas meliputi tiga tingkatan agar dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan yaitu : 1. Tingkat sistem, yaitu kerangka peraturan dan kebijakan-kebijakan yang mendukung atau membatasi pencapaian tujuan-tujuan kebijakan tertentu. 2. Tingkat kelembagaan atau entitas, yaitu struktur organisasi, prosesproses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur-prosedur dan mekanisme-mekanisme
kerja,
instrumen
manajemen,
hubungan-
hubungan dan jaringan antar organisasi dll. 3. Tingkat individu, yaitu tingkat keterampilan, kualifikasi, pengetahuan/ wawasan, sikap (attitude), etika dan motivasi individu-ndividu yang bekerja dalam suatu organisasi. Dalam kerangka pemberdayaan pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo,
pengembangan
kapasitas
difokuskan
pada
tingkat
individu
(pengusaha) dan tingkat kelembagaan (Koperasi Pengusaha Pakaian Jadi/ KPPJ).
12 2.4 Kerangka Berpikir Profil usaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Faktor internal meliputi modal yang dimiliki dan kapasitas SDM pengusaha. Kapasitas SDM meliputi tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, jiwa wira usaha serta kemampuan manajerial. Faktor eksternal yang mempengaruhi usaha mikro meliputi kondisi masyarakat,
pemerintah dalam hal program / kebijakan yang ditempuh
menyangkut usaha mikro (bantuan modal, pelatihan, pembinaan). Sektor swasta berpengaruh terhadap usaha mikro dalam hal sistem perdagangan (konsinyasi) dan pola kerja sama yang berlaku dalam dunia usaha.
Lokasi usaha yang
strategis, ketersediaan tenaga kerja serta organisasi yang sudah terbentuk yaitu koperasi. Faktor
eksternal
dan
internal
tersebut
berpengaruh
permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha mikro konveksi.
terhadap
Dari berbagai
permasalahan pengusaha mikro yang diidentifikasi kemudian dipilih masalah prioritas yang paling mendesak dan paling memungkinkan untuk ditangani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki oleh para pengusaha. permasalahan
diperlukan
rancangan
strategi
dan
Untuk mengatasi
rancangan
program
pemberdayaan usaha mikro. Faktor internal dan eksternal tersebut dianalisis menggunakan analisis SWOT bersama masyarakat sehingga menghasilkan alternatif rancangan strategi. Dari beberapa alternatif strategi kemudian dipilih strategi prioritas, kemudian strategi prioritas tersebut dioperasionalkan ke dalam rancangan program yang disusun bersama komunitas pengusaha mikro konveksi Kelurahan Purwoharjo. Tujuan dari rancangan program pemberdayaan tersebut adalah terwujudnya pengusaha kecil yang berdaya yang ditandai dengan peningkatan akses modal, peningkatan akses bahan baku, peningkatan akses pemasaran di tingkat regional, pengembangan jaringan kerjasama, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan peningkatan akses terhadap informasi pasar (mode, harga dll). Kerangka berpikir kajian ini divisualisasikan dalam Gambar 1.
13
KERANGKA BERPIKIR
FAKTOR INTERNAL 1. Modal 2. SDM a. Pengetahuan b. Ketrampilan c. Jiwa wira usaha d. Kemampuan manajerial
PERMASALAH AN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI a. Permodalan b. Bahan Baku c. Jaringan Kerja Sama dan Pemasaran d. Teknologi e. SDM
RANCANG AN PROGRAM RANCANG AN STRATEGI (SWOT)
FAKTOR EKSTERNAL
1. Program Revitalisasi Organisasi 2. Kemitraan dengan Pedagang bahan baku dan Pedagang Pakaian 3. Pelatihan Partisipatif
PEMBERDAYA AN PENGUSAHA MIKRO 1. Akses modal meningkat 2. Akses bahan baku meningkat 3. Akses Pemasaran di tingkat regional meningkat 4. Pengembangan jaringan kerjasama 5. Peningkatan kapasitas SDM 6. Meningkatnya akses terhadap informasi pasar (harga, mode dsb)
1. Pemerintah (Diperindagkop) a. Bantuan Modal b. Sosialisasi ISO 2. Swasta a. Sistem Perdagangan b. Pola kerjasama 3. Kondisi Masyarakat 4. Lokasi Usaha 5. Ketenagakerjaan 6. Keorganisasian
Gambar 1 Kerangka Berpikir Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006
14 2.5 Definisi Operasional 1. Pemerintah daerah adalah dinas/ instansi yang mempunyai tugas membina
industri
mikro-kecil
di
kabupaten
Pemalang,
yaitu
diperindagkop. 2. Pengusaha adalah pengusaha mikro konveksi di dusun Serdadi kelurahan Purwoharjo yang memproduksi celana kolor, celana panjang atau seragam sekolah. 3. Konveksi adalah industri pengolahan yang mengolah bahan baku (kain) menjadi barang jadi (celana panjang atau kolor). 4. Celana panjang adalah celana panjang dengan bahan kain halus jenis twis dan sejenisnya (bukan jeans) yang biasa dipasangkan dengan baju atau kemeja. Karena bahan yang digunakan adalah kain halus tersebut maka pengusaha mikro konveksi menyebutnya celana “alusan”. 5. Celana kolor adalah celana yang menggunakan tali kur / kolor dengan beberapa tipe dan ukuran misalnya pendek, 2/3, ¾, 3/8 dan panjang (orang umumnya menyebut dengan celana training). 6. Seragam sekolah adalah pakaian seragam SD, SMP, SMA dan Pramuka. 7. Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, pembinaan
dan
pengembangan
sehingga
usaha
kecil
mampu
menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri
yang
ditandai
dengan
meningkatnya
akses
permodalan,
meningkatnya akses bahan baku , peningkatan pemasaran di tingkat regional, pengembangan jaringan kerjasama dan peningkatan kapasitas SDM.
III. METODE KAJIAN
3.1 Batas-Batas Kajian Metodologi Kajian Komunitas yang digunakan adalah evaluasi formatif eksplanatif, yaitu menjelaskan bagaimana industri mikro konveksi Kelurahan Purwoharjo memperoleh modal, bahan baku, teknik produksi, jaringan kerja sama, pemasaran dan sumberdaya manusia serta mengidentifikasi faktor kendala dan peluang solusi pemecahan masalah yang berhubungan dengan usaha mikro konveksi melalui evaluasi program pengembangan masyarakat yang pernah dilaksanakan pada komunitas tersebut. Langkah selanjutnya adalah berusaha
menemukan rancangan strategi baru pengembangan usaha
dan
rancangan program dengan melibatkan peran serta anggota komunitas. Pendekatan yang digunakan dalam kajian adalah objektif dengan unit analisis komunitas pengusaha mikro konveksi Kelurahan Purwoharjo. Dalam penelitian kualitatif, manusia bertindak sebagai instrumen penelitian/ alat pengumpul data (Moleong, 2006). Pada kajian ini dilakukan interaksi langsung antara peneliti dengan objek yang diteliti yaitu pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo untuk menganalisa hubungan sebab akibat serta menemukan solusi yang efektif terhadap pengembangan usaha mikro secara partisipatif. Tipe studi kasus yang digunakan dalam penelitian adalah : studi kasus instrumental yaitu studi kasus yang
memperlakukan pengusaha mikro
konveksi sebagai instrumen dalam memahami kondisi usaha mereka.
3.2 Tempat dan Waktu Kajian Lokasi kajian berada di Kelurahan Purwoharjo
Kecamatan Comal
Kabupaten Pemalang dengan komunitas subjek kajian adalah komunitas pengusaha mikro konveksi. Kajian dilakukan melalui 7 tahap yaitu pemetaan sosial (PL I) dilaksanakan pada tanggal 1 – 16 Nopember 2005, evaluasi program pengembangan masyarakat (PL II) dilaksanakan pada tanggal 17 – 28 Pebruari 2006, penyusunan proposal / rencana kerja kajian dilaksanakan pada tanggal 15 April – 7 Juni 2006, kolokium dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 2006, penyempurnaan proposal kajian sampai dengan tanggal 27 Juni 2006, kerja
16 lapangan/ pengumpulan data
dilakukan pada tanggal 28 Juni – 15 Agustus
2006, pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada tanggal 10 Juli – 25 Agustus 2006, penulisan laporan dilaksanakan pada tanggal 20 Agustus 2006 – 15 Oktober 2006. Jadual pelaksanaan kajian tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Jadual Pelaksanaan Kajian Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Tahun Tahun 2006 2005 Kegiatan No 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 Pemetaan Sosial (Praktek 1 Lapangan I) 2 Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat (PL II) 3 Penyusunan Proposal Kajian 4 5 6 7
Kolokium Kerja Lapangan/ Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisa Data Penulisan Laporan
3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Sumber Data Menurut Lofland dan Lofland (1984) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Pengumpulan data-data penelitian yang relevan dilakukan melalui penelusuran data sekunder dengan studi dokumentasi dan data primer
melalui observasi, wawancara dan FGD. Studi dokumentasi
dilakukan dengan mengumpulkan data-data sekunder dari data monografi Kelurahan Purwoharjo dan data tentang industri mikro dari Diperindagkop serta BPS Kabupaten Pemalang. Observasi dilakukan
dengan melihat langsung
fenomena-fenomena di lingkungan usaha industri mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo yang berkaitan dan berpengaruh terhadap keberlangsungan dan
9
10
17 perkembangan industri mikro konveksi dimaksud.
Wawancara mendalam
dilakukan dengan responden dan informan untuk menjaring informasi tentang profil usaha dan permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha mikro konveksi. Diskusi kelompok terfokus (focus grup discussion/ FGD) secara metodologis dilakukan karena ada keyakinan bahwa masalah yang diteliti tidak dapat dipahami oleh metode survei atau wawancara individu saja dan untuk memperoleh data kualitatif
yang bermutu dalam waktu relatif singkat (JPSM
STKS, 2005). Peserta FGD terdiri dari para pengusaha mikro
konveksi
(pengusaha celana kolor, pengusaha celana panjang, pengusaha seragam sekolah) dan tokoh masyarakat yang juga merupakan seorang pengusaha. FGD bertujuan untuk membahas rancangan strategi dan rancangan program pemberdayaan pengusaha mikro konveksi berdasarkan masalah dan kebutuhan yang diidentifikasi bersama oleh para peserta. Selama diskusi, para peserta mengungkapkan permasalahan dari sudut pandang masing-masing untuk diidentifikasi, selanjutnya dibuat kesepakatan bersama mengenai prioritas masalah. Prioritas masalah yang sudah disepakati dicarikan alternatif strategi pemecahannya kemudian dibuat kesepakatan
untuk menentukan strategi
prioritas. Data dan teknik pengumpulannya terangkum dalam matriks yang tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Matriks Pengumpulan Data Penelitian di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 N0
Tujuan
Jenis Data
Metode Analisis Observasi dan a. Deskriptif wawancara b. Diagram alir dengan (keterkaitan Pengusaha antar Mikro masalah) Sumber Data
1
Mengidentifikasi permasalahan usaha mikro konveksi dalam hal permodalan, akses, bahan baku, akses teknologi, jaringan kerja sama, pemasaran dan sumberdaya manusia
a. Profil usaha dan profil pengusaha Industri mikro konveksi b. Masalah-masalah dalam pengembangan usaha c. Harapan / persepsi ke depan
2
Menyusun rancangan program pengembangan usaha mikro konveksi secara partisipatif
a. Lingkungan usaha a. FGD (faktor eksternal Pengusaha dan internal) mikro b. Permasalahan yang diidentifikasi pada tujuan 1
SWOT
18 3.3.2 Responden dan Cara Pemilihan Sebagaimana yang ditulis oleh Lincoln dan Guba (1985) bahwa pada penelitian kualitatif menggunakan sampel bertujuan (purposive sampling), maka dalam kajian ini responden dipilih menggunakan teknik sampel bertujuan dengan maksud menjaring sebanyak mungkin informasi yang diperlukan untuk menganalisis usaha mikro konveksi dari tiap kasus (pengusaha celana kolor, pengusaha celana panjang, pengusaha celana pendek). Wawancara mendalam dilakukan dengan 9 (sembilan) orang pengusaha mikro konveksi yang terdiri dari 5 (lima) orang pengusaha celana kolor, 3 ( tiga) orang pengusaha celana panjang dan 1 (satu) orang pengusaha seragam sekolah. Pengusaha seragam sekolah tidak memproduksi pakaian jenis lain. Pengusaha celana kolor dalam usahanya melakukan diversifikasi dengan memproduksi celana panjang (bahan biasa/ bukan twist), atau pakaian anak sebagai upaya menjaga kelangsungan usaha pada saat pemasaran celana kolor sedang lesu. Pengusaha celana panjang tidak melakukan diversifikasi produk. Informan adalah pihak diluar subjek kajian yang mempunyai informasi tentang
usaha
mikro
konveksi
dan
hal-hal
yang
bermanfaat
untuk
pengembangan usaha mikro konveksi. Dalam kajian ini yang menjadi informan adalah satu orang pejabat
Diperindagkop Kabupaten Pemalang untuk
memperoleh informasi mengenai kebijakan dan program yang pernah dan sedang dilaksanakan untuk pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo. Informan lain adalah salah seorang pejabat dari BRI Unit Purwoharjo untuk mendapatkan informasi mengenai program dari bank yang ditujukan untuk usaha mikro melalui mekanisme kelompok. Untuk memeriksa keabsahan data dilakukan triangulasi dengan sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton, 1987). Langkah-langkah yang dilakukan adalah : (1) membandingkan data hasil observasi dan hasil wawancara ; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang (responden) secara pribadi dan yang dikatakan di depan umum dalam FGD; (3) membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan (data sekunder).
Apabila ditemukan perbedaan data dari teknik
pengumpulan data yang berbeda, maka ditempuh cara mengulang salah satu teknik pengumpulan data dan membandingkan hasilnya dengan data terdahulu.
19 3.4 Metode analisis data Pengidentifikasian
permasalahan
usaha
mikro
konveksi
dalam
hal
permodalan, akses bahan baku, akses teknologi, jaringan kerja sama, pemasaran (termasuk di dalamnya pendapatan dari hasil pemasaran) dan sumberdaya manusia
dalam komunitas pengusaha mikro konveksi menggunakan analisis deskriptif dan diagram alir (keterkaitan antar masalah).
Dengan metode tersebut
diharapkan permasalahan yang ada pada komunitas pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo dapat diidentifikasi secara tepat. Ketepatan identifikasi permasalahan akan menentukan strategi dan program pemberdayaan yang akan disusun. Penyusunan
rancangan
strategi
pengembangan
usaha
mikro
menggunakan analisis SWOT dengan unit analisis sistem usaha mikro. Langkah yang ditempuh dengan mengidentifikasi lingkungan usaha mikro konveksi yang terdiri dari faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor eksternal (peluang dan tantangan) dalam pengembangan usaha mikro. Faktor internal dan faktor eksternal digali melalui kuisioner SWOT (Lampiran 2). Kuisioner diisi oleh pengkaji berdasarkan jawaban pertanyaan responden. Bobot dimulai dari nilai 1 – 10, semakin penting pengaruh faktor yang ditanyakan terhadap perkembangan usaha mikro maka bobotnya semakin tinggi. Bobot jawaban tiap responden dari nomor pertanyaan yang sama dijumlah dan dirata-rata (rata-rata baris). Rata-rata baris tersebut dijumlah dan dibagi dengan jumlah baris menjadi rata-rata kolom. Nilai rata-rata
baris yang lebih besar dari rata-rata kolom menjadi faktor
kekuatan (internal) dan peluang (eksternal). Nilai rata-rata baris yang lebih kecil dari rata-rata kolom menjadi faktor kelemahan (internal) dan ancaman (eksternal). Hasil kuisioner tersebut dibahas dalam FGD untuk mendapatkan tanggapan dari peserta FGD. Bentuk tanggapan berupa persetujuan, penolakan maupun penambahan. Tanggapan-tanggapan dari peserta FGD disepakati dan dirumuskan bersama untuk dituangkan ke dalam Matriks SWOT. Selanjutnya disusun alternatif rancangan strategi yang memungkinkan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha mikro konveksi. Alternatif strategi disusun berdasarkan usulan dari para peserta FGD.
Usulan-usulan
tersebut dimasukkan ke dalam matriks SWOT dengan bantuan pengkaji dan ditempatkan di kwadran yang sesuai. Dalam matriks SWOT, dihasilkan empat
20 kelompok besar kemungkinan alternatif rancangan strategi (Rangkuti, 2006) yaitu: 1. Strategi SO yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. 2. Strategi ST, yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman. 3. Strategi
WO,
yaitu
pemanfaatan
peluang
yang
ada
dengan
cara
meminimalkan kelemahan yang ada. 4. Strategi WT yaitu meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Dari berbagai alternatif strategi, dipilih strategi prioritas berdasarkan konsensus para peserta FGD.
Pilihan strategi prioritas ini menjadi dasar penyusunan
rancangan program pemberdayaan pengusaha mikro konveksi.
3.5 Rancangan Penyusunan Program Penyusunan rancangan program dilaksanakan secara partisipatif yang dihasilkan melalui Focus Grup Discussion (FGD) oleh para pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo. Rancangan strategi prioritas yang sudah disepakati kemudian dioperasionalkan dengan menyusun kegiatan,
jadual,
bentuk kegiatan dan bagaimana kegitan tersebut akan dilaksanakan, partisipan dan penanggungjawab. Rancangan program yang dihasilkan merupakan jawaban pertanyaan 5 W 1 H. What-judul rancangan program pemberdayaan, whom – siapa sasaran program, Who – siapa pelaku / penanggungjawabnya, why - mengapa program itu disusun (untuk menjawab pertanyaan yang ada), where -
dimana lokasi program, when – kapan dilaksanakan dan how -
bagaimana cara melaksanakan program tersebut.
IV. PETA SOSIAL KELURAHAN PURWOHARJO
4.1 Lokasi Kelurahan
Purwoharjo
secara
administratif
termasuk
wilayah
Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah. Sebelah utara berbatasan dengan desa Kauman, sebelah selatan berbatasan dengan desa Pendowo, sebelah barat berbatasan langsung dengan sungai Comal, sebelah timur berbatasan dengan tiga desa yaitu desa Sidorejo, desa Purwosari dan desa Pecangakan. Ibukota kecamatan Comal berada di wilayah Kelurahan Purwoharjo ini. Jarak Kelurahan Purwoharjo dari pusat pertumbuhan dideskripsikan dalam Tabel 3. Transportasi yang paling memungkinkan untuk mencapai pusat petumbuhan adalah transportasi darat (bus dan kereta api) karena didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Wilayah Kelurahan Purwoharjo jauh dari bandara. Bandara terdekat berada di kota Semarang (Bandara Ahmad Yani) yang berjarak 119 km. Jarak tersebut berimplikasi terhadap biaya transportasi yang harus dikeluarkan oleh para pengusaha untuk membeli bahan baku dan pemasaran produk.
Tabel 3 Jarak Kelurahan Purwoharjo dengan Pusat Pertumbuhan No 1 2 3 4
Posisi Dengan Ibukota Kecamatan Ibukota Kabupaten Ibukota Provinsi Ibukota Negara
Jarak (km) 0,5 17 119 425
Waktu Tempuh (menit) 10 25 180 480
Sarana Transportasi Bus AKDP, elf Bus AKDP, Kereta Api Bus AKAP, Kereta api
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwoharjo Semester I Tahun 2005
Kelurahan Purwoharjo dilintasi jalur Pantura Jawa sehingga mudah dicapai dengan kendaraan darat (bus). Jarak dengan kota Pekalongan adalah 29 km, sedangkan jarak dengan kota Tegal adalah 47 km. Kedua kota tersebut merupakan kota perdagangan terdekat yang dapat dicapai dengan transportasi darat dari kelurahan ini. Di Kota Pekalongan terdapat Pasar Grosir “Setono” yang menjual produk batik Pekalongan dan produk pakaian jadi lainnya yang cukup
22 terkenal. Tanda yang paling mudah untuk dikenali dari wilayah ini adalah Sungai Comal, karena kelurahan ini tepat ditepi sebelah timur sungai Comal. Penduduk dari luar daerah lebih mengenal Kota Comal yang hanya merupakan nama kecamatan dibandingkan dengan Kota Pemalang yang nota bene adalah merupakan ibukota kabupaten. Kelurahan
Purwoharjo
dalam
sejarahnya
merupakan
wilayah
pemekaran, yaitu hasil pemecahan wilayah Desa Purwoharjo menjadi 2 yaitu Kelurahan Purwoharjo di sebelah selatan dan Desa Kauman di sebelah utara. Wilayah ini terbagi menjadi 9 rukun Warga (RW) yang terdiri dari
beberapa
dusun antara lain : dusun Gedangan, dusun Posongan, dusun Balutan dan dusun Serdadi (lebih dikenal dengan sebutan Surodadi). Dusun yang bercirikan perkotaan adalah Dusun Balutan, karena di situlah pusat Kota Comal berada. Sedangkan dusun lain (Gedangan, Posongan dan Serdadi / Surodadi ) berada di pinggiran (agak jauh dari pusat kota Comal). Lokasi penelitian kajian pengembangan masyarakat berada di dusun Serdadi / Surodadi (RW 9). Dusun Serdadi berada di wilayah bagian utara dari kelurahan Purwoharjo, tepatnya di sebelah utara jalan raya pantura (Jalan Daendels). Tepat di sebelah timur gapura masuk ke dusun Serdadi terdapat Klenteng (tempat ibadah umat Budha).
4.2 Kependudukan Data kependudukan diperoleh melalui penelusuran data sekunder berupa data monografi kelurahan Purwoharjo Semester I Tahun 2005 yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah Penduduk Kelurahan Purwoharjo menurut Jenis Kelamin Tahun 2005 No Jenis Kelamin Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 2
Laki-laki Perempuan Jumlah
5.699 5.955 11.654
48,9 51,1 100,0
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwoharjo Semester I Tahun 2005
23 Berdasarkan Tabel 4 tersebut dapat diketahui rasio jenis kelamin penduduk Kelurahan Purwoharjo sebagai berikut : Rasio Jenis Kelamin Rasio Jenis Kelamin = = Penduduk Laki-laki Penduduk Perempuan = 5.699 x 100) 5.955 = 95
x k (biasanya 100)
Jadi rasio jenis kelamin penduduk Kelurahan Purwoharjo adalah 95, artinya dari dari 11.654 jiwa penduduk persentase jumlah
penduduk laki-laki adalah 95
persen jumlah penduduk perempuan. Dalam masyarakat Kelurahan Purwoharjo, laki-laki bekerja sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan menjadi ibu rumah tangga atau hanya mencari penghasilan tambahan saja. Hal ini dipengaruhi oleh kultur budaya setempat dan agama yang dianut mayoritas penduduk yaitu agama Islam. Persentase penduduk perempuan lebih besar daripada penduduk lakilaki, namun tenaga kerja pada usaha mikro konveksi lebih banyak yang laki-laki namun tenaga kerja pada usaha mikro konveksi lebih banyak yang laki-laki. Dari keseluruhan jumlah penduduk Kelurahan Purwoharjo sebanyak 11.654 jiwa (Tabel 4) bila dikurangi penduduk usia sekolah sampai dengan SLTA sebanyak 6.631 jiwa (Tabel 5) dan dikurangi lagi dengan jumlah penduduk menurut mata pencaharian sebanyak 4.470 jiwa (Tabel 6) maka dapat diketahui sebanyak 553 jiwa penduduk Kelurahan Purwoharjo termasuk dalam kategori non produktif dan pengangguran.
Tabel 5 Jumlah Penduduk Kelurahan Purwoharjo menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2005 No Tingkat Pendidikan
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
5,25 374 TK 28,03 1.996 SD 22,10 1.575 SLTP 37,72 2.686 SLTA 4,66 332 (D1-D3) 2,23 158 (S1-S3) Jumlah 7.121 100,00 Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwoharjo Semester I Tahun 2005 1 2 3 4 5 6
24 Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Purwoharjo sebagaimana terlihat dalam Tabel 5 menunjukkan dari 11.654 jiwa penduduk Kelurahan Purwoharjo (Tabel 4), sebanyak 7.121 jiwa berpendidikan antara TK – Sarjana (S2-S3). Berarti sisanya sebanyak 4.533 jiwa (38,9% dari jumlah penduduk) berada dalam tiga kategori/ kriteria yaitu belum sekolah, tidak lulus SD dan buta huruf. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak penduduk Kelurahan Purwoharjo yang buta huruf dan drop out/ tidak lulus SD. Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di kelurahan Purwoharjo terdiri dari tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai dengan SLTA.
Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, penduduk Kelurahan Purwoharjo mengirimkan anak-anaknya ke kota lain. Kota pendidikan terdekat (lokal) adalah Tegal (UPS), Pemalang
(POLTEK
Pemalang, STIE AS SHOLEH) ) dan Pekalogan (UNIKAL dan STAIN). Pendidikan di tingkat lokal kurang diminati, terbukti dengan banyaknya penduduk Kelurahan
Purwoharjo
yang
mengirimkan
anaknya
ke kota Semarang,
Jogyakarta dan Jakarta untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
4.3 Aspek Perekonomian Perekonomian masyarakat Kelurahan Purwoharjo tidak berbasis pada sektor pertanian namun lebih cenderung pada sektor jasa dan perdagangan. Hal tersebut dapat dilihat dari data monografi Kelurahan Purwoharjo yang tidak menyebutkan adanya lahan pertanian dan tidak ada penduduk yang bermata pencaharian sebagai
petani maupun buruh tani. Hasil observasi juga
menunjukkan bahwa tidak ada sedikitpun lahan pertanian (sawah dan ladang) di wilayah Kelurahan Purwoharjo yang ada hanya pekarangan di sekitar pemukiman. Sungai Comal yang mengalir di sebelah barat wilayah ini tidak memberikan manfaat secara ekonomi. Karena merupakan wilayah perkotaan, maka di wilayah ini tumbuh menjamur usaha sektor informal seperti : pedagang kaki lima dan sektor informal lainnya seperti : warung tenda, penjual VCD, pedagang makanan keliling, tukang jam, tukang sol sepatu, tambal ban dan lainlain yang berada di sekitar pasar Comal. Secara umum, banyak profesi yang ditekuni oleh penduduk Kelurahan Purwoharjo. PadaTabel 6 ditampilkan jumlah penduduk Kelurahan Purwoharjo berdasarkan mata pencaharian mereka.
25 Tabel 6 Jumlah Penduduk Kelurahan Purwoharjo menurut Mata Pencaharian Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Mata Pencaharian
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
132 18 2.356 1.571 0 58 0 74 0 0 261 4.470
2,95 0,40 52,71 35,14 0 1,30 0 1,66 0 0 5,84 100,00
PNS TNI/POLRI Swasta wiraswasta/pedagang Tani Pertukangan Buruh Tani Pensiunan Nelayan Pemulung Jasa Jumlah
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwoharjo Semester I Tahun 2005
Mata pencaharian penduduk kelurahan Purwoharjo didominasi oleh sektor swasta dan wiraswasta. Pengusaha mikro kelompok wiraswasta. Dari data jumlah
konveksi termasuk dalam
total penduduk menurut mata
pencaharian sejumlah 4.470 maka persentase wiraswasta adalah 35,15 persen dan swasta 52,71 persen. Data menunjukkan bahwa perekonomian penduduk Kelurahan Purwoharjo tidak berbasis pada sektor pertanian melainkan sektor jasa dan perdagangan. Dalam data tersebut tidak ditemukan satu orangpun penduduk Kelurahan Purwoharjo yang bekerja sebagai petani maupun buruh tani. Pada Tabel 7 disajikan jumlah penduduk Kelurahan Purwoharjo menurut kelompok usia tenaga kerja. Apabila menggunakan batasan usia kelompok tenaga kerja sesuai dengan Tabel 7 maka jumlah pengangguran di Kelurahan Purwoharjo adalah 9.346 dikurangi 4.470 yaitu 4.876 orang.
Tabel 7 Jumlah Penduduk Kelurahan Purwoharjo menurut Kelompok Usia Tenaga Kerja Tahun 2005 No Kelompok UsiaTenaga Kerja Jumlah (jiwa) Persentase (tahun) (%) 1 10-14 47 1,03 2 15-19 913 21,05 3 20-26 961 22,13 4 27-40 1.390 32,03 5 41-56 996 22,95 6 57 < 89 1,91 JUMLAH TOTAL 9.346 100,00 Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwoharjo Semester I Tahun 2005
26 Pasar Comal berada di wilayah kelurahan Purwoharjo dan merupakan pasar terbesar kedua setelah pasar Pagi Kota Pemalang. Pasar Comal merupakan pusat kegiatan ekonomi / perdagangan dari 4 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Ampelgading, Kecamatan Bodeh, Kecamatan Ulujami dan Kecamatan Comal sendiri. Selain pasar terdapat 5 minimarket yaitu Rehal, Tulip, Sukses Makmur, Indomaret dan Agung. Sekitar 1 km ke arah timur, terdapat Pasar Grosir Konveksi Comal yang dibangun pada tahun 2002 untuk memasarkan sebagian produk konveksi. Pasar grosir tersebut dibangun di lahan milik Pemda Pemalang dan pembangunannya bekerja sama dengan investor. Selain infrastruktur berupa pasar yang cukup besar, di tempat ini juga terdapat lembaga keuangan antara lain : Bank Jateng KCP Comal, BCA, Bank Danamon, BRI unit Purwoharjo, Perum Pegadaian, KOSPIN JASA, BPR Bank Pasar, BPR BKK, BMT Sinar Mentari dan Bank kredit harian. Dari berbagai macam lembaga keuangan tersebut yang banyak dimanfaatkan oleh pedangang pasar dan sebagian besar masyarakat adalah Bank Pasar, Kospin Jasa dan Bank kredit harian, dan Perum Pegadaian. Sarana transportasi yang digunakan beragam yaitu : becak, dokar, Koperanda, Isuzu Elf, minibus. Di wilayah RW 9 (dusun Serdadi) terdapat industri kecil pakaian jadi (konveksi) khususnya celana panjang, celana pendek (kolor) dan seragam sekolah sejumlah 88
unit yang sudah terdaftar di Diperindag Kabupaten
Pemalang ( formal) dan 66 unit yang belum terdaftar (non formal) (Diperindag Kab Pemalang, 2004). Industri mikro konveksi telah memiliki wadah berupa “Asosiasi Pengusaha Pakaian Jadi “ (APPJ) dan koperasi yaitu “Koperasi Pengusaha Pakaian Jadi” (KPPJ) serta “Asosiasi Pengusaha Industri Kecil” (APIK). Dari hasil wawancara dengan beberapa pengusaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo, terungkap bahwa rata-rata modal awal dalam memulai usaha berasal dari pribadi / keluarga dengan jumlah yang bervariasi antara Rp 2.000.000 – Rp 5.000.000. Pada awal perintisan usaha, semua kegiatan dari membeli bahan baku, memotong, menjahit dan memasarkan dilakukan sendiri oleh pengusaha. Hasil keuntungan dari penjualan produk konveksi berupa celana panjang atau celana kolor, ditabung untuk membeli tambahan mesin jahit dan meningkatkan modal. Pengusaha membeli mesin jahit bekas (second hand) dari Jakarta. Selanjutnya baru membeli tambahan mesin jahit dan mempekerjakan karyawan untuk menjahit. Ada beberapa pengusaha yang pada awalnya adalah
27 karyawan/
buruh
menjahit
pada
pengusaha
mikro
konveksi,
kemudian
mengundurkan diri dan mendirikan usaha sendiri. Waktu memulai usaha dari para pengusaha terbagi menjadi 3 periode yaitu : periode 1980-an, periode 1990-an dan periode 2000-an. Bagi yang memulai usaha pada periode 1980-an dan 1990-an sempat merasakan bantuan pinjaman lunak dari pemerintah dan BUMN, namun bagi yang memulai usaha pada periode 2000-an sudah tidak lagi menikmati bantuan pinjaman lunak tersebut. Menurut informasi dari Diperindagkop Kabupaten Pemalang dan hasil wawancara, banyak dari pinjaman lunak yang macet sehingga tidak ada keberlanjutan
pemberian
bantuan
pinjaman
lunak
dari
BUMN
yang
bersangkutan. Mayoritas pengusaha mikro konveksi memproduksi celana panjang dan celana kolor. Pengusaha yang memproduksi seragam sekolah dari TK sampai SMA hanya satu orang, satu orang memproduksi pakaian dalam wanita dan satu orang memproduksi kemeja. Tempat usaha masih
bersatu dengan rumah /
tempat tinggal. Ruang tamu depan difungsikan sebagai tempat menjahit. sedangkan ruang keluarga berfungsi ganda sebagai ruang tamu. Berdasarkan hasil observasi, pengusaha mikro konveksi yang tempat menjahitnya terpisah dari tempat tinggal hanya 2 orang. Dusun Serdadi (RW 09) kelurahan Purwoharjo
sebagian besar
penduduknya menggeluti usaha mikro konveksi. Dari 129 orang pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo, hanya dua pengusaha yang berada di luar dusun Serdadi yaitu di dusun Balutan (RW 06). Lokasi dusun Serdadi cukup strategis karena berada di tepi jalan pantura (Daendels) Jawa Tengah bagian barat dan sudah relatif cukup dikenal oleh pedagang lokal
(Purbalingga,
Purwokerto, Tegal) karena usaha mikro konveksi di dusun ini sudah berlangsung lama (sejak tahun 1980-an). Letak yang strategis ini cukup menguntungkan karena secara tidak langsung dapat mempermudah transportasi bahan baku dan pemasaran. Di RT 05 RW 03 (dusun Posongan) terdapat industri rumah tangga kue semprong sejumlah 20 buah. Menurut penuturan mereka, usaha tersebut merupakan usaha turun temurun dari nenek moyang mereka. Sedangkan di RW 04 dan RW 06 (dusun Balutan) terkenal dengan kerajinan kurungan ayam dari bambu namun sekarang tinggal sedikit yang masih menekuninya karena harganya yang rendah dan pemasarannya semakin susah. Dari ketiga kegiatan
28 tersebut yang sudah pernah mendapatkan bimbingan dan bantuan dari Pemda (Diperindagkop Kabupaten Pemalang) adalah industri rumah tangga kue semprong dan konveksi. Sejumlah 100 orang fakir miskin yang tersebar di dusun Gedangan, dusun Posongan, Dusun Balutan dan Dusun Serdadi yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE)
pernah mendapatkan bantuan
Paket Sarana Ekonomi Produktif dari Proyek Bantuan Sosial Fakir Miskin Propinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2003 melalui Kantor Kesejahteraan Sosial Kabupaten Pemalang berupa : mesin jahit Singer, dinamo Nasional, meja jahit, mesin obras Butterfly, metlin, gunting jahit
Butterrfly, gunting dedelan,
seam reaper, benang obras, penggaris lurus, penggaris mode, kapur jahit, Jarum Penthol dan rader secara hibah dengan tanggung jawab untuk mengembangkan (digulirkan kepada KUBE yang lain dalam waktu sesuai kemampuan kelompok). Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian besar fakir miskin tersebut tidak dapat melanjutkan usahanya karena berbagai sebab antara lain : kurangnya keterampilan,
kurangnya
pembinaan/
pendampingan
dari
dinas
terkait,
kebutuhan ekonomi yang menghimpit sehingga bantuan mesin jahit digunakan sebagai agunan di Perum Pegadaian, kelompok usaha bersama ekonomi yang dibentuk secara mendadak dan formalitas sebagai syarat untuk memperoleh bantuan peralatan jahit dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah.
4.4 Struktur Komunitas Pelapisan sosial dalam masyarakat kelurahan Purwoharjo berdasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain : jabatan formal dalam birokrasi (dari RT sampai Lurah), aspek religi terutama agama Islam (pimpinan umat beragama / imam masjid, ulama, kyai, ustad, haji), aspek ekonomi. Kultur masyarakat masih memposisikan RT, RW, kadus, lurah sebagai orang yang disegani. Mungkin hal ini dilatarbelakangi oleh sejarah kelurahan
yang tadinya merupakan sebuah
desa (desa Purwoharjo) kemudian pada tahun 2000 dimekarkan menjadi 2 yaitu Kelurahan Purwoharjo dan Desa Kauman sehingga kultur pedesaan masih terasa kental. Mayoritas penduduk kelurahan Purwoharjo beragama Islam dan ormas Islam yang terbesar di wilayah ini adalah Nahdatul Ulama (NU) dan berikutnya
29 adalah Muhamadiyah. Berdasarkan data Monografi Kelurahan Purwoharjo Semester I Tahun 2005 (sampai dengan 30 Juni 2005) dari jumlah penduduk sebanyak 11.625, penduduk yang beragama Islam sebanyak 11.033 (94,9%), Kristen 332 (2,85%), Hindu 110 (0,95%), Budha 150 (1,29%). Ormas NU tersebar
merata
di
seluruh
wilayah
Kelurahan
Purwoharjo
sedangkan
Muhamadiyah berada di dusun Serdadi / Surodadi dan Balutan saja. Pemeluk agama Islam senantiasa tunduk kepada pimpinan agamanya. Jadi tokoh agama juga merupakan orang yang disegani dalam masyarakat. Kata-katanya masih banyak didengar oleh masyarakat, tidak hanya dalam kehidupan beragama namun juga dalam kegiatan kemasyarakatan. Bagi penduduk Kelurahan Purwoharjo, gelar haji merupakan prestis tersendiri. Faktor ekonomi
dan profesi (PNS, guru, TNI/ POLRI) juga menjadi
dasar pelapisan sosial dalam masyarakat. Pengusaha besar, orang kaya ditempatkan pada posisi yang terhormat. Dalam prakteknya faktor ekonomi ini bukan menjadi pertimbangan utama. Yang lebih dominan adalah jabatan birokrasi dan tokoh agama. Misalnya seseorang yang kaya kalau dia belum bergelar haji, status sosial dalam
masyarakat akan lain. Beberapa faktor
tersebut adakalanya bergabung dalam satu orang, contohnya seorang haji yang kaya, seorang birokrat yang sudah haji dan kaya (peran ganda seseorang dalam masyarakat). Secara ringkas, stratifikasi sosial dalam masyarakat kelurahan Purwoharjo adalah sebagai berikut : 1. Tokoh formal (birokrat) dan tokoh agama (Imam masjid, kyai, ulama). 2. Golongan ekonomi kuat /kaya (pengusaha, pedagang besar / juragan, kontraktor) 3. Golongan ekonomi menengah. (pedagang, PNS, TNI/POLRI, karyawan swasta) 4. Golongan ekonomi lemah (buruh, pelaku sektor informal) Para pengusaha mikro konveksi dalam stratifikasi tersebut menempati posisi ketiga. Untuk menggugah inisiatif para pengusaha dalam upaya peningkatan usaha mereka dapat ditempuh melalui pendekatan dengan tokoh masyarakat yang juga menggeluti usaha konveksi.
30 Organisasi dan Kelembagaan 4.5.1 Kelembagaan Kelembagaan ibu-ibu selain kelembagaan pengajian dan jamaah tahlil dan Yasin juga terdapat kelembagaan arisan, dasa wisma maupun PKK. Dalam kegiatan PKK dan dasa wisma biasanya ada kegiatan latihan keterampilan misalnya membuat kue, menjahit, membuat kerajinan tangan yang dapat dijual sehingga dapat menambah pendapatan keluarga. Kelembagaan arisan menjadi salah satu kegiatan dalam Jamaah Yasin dan Tahlil, PKK dan dasa
wisma.
Namun ada juga yang arisan merupakan kegiatan pokok, misalnya arisan oleh pedagang pasar. Kegiatan simpan pinjam dalam setiap kegiatan tersebut saat ini hampir tidak ada, karena berdasarkan
pengalaman banyak pinjaman yang
macet. Pada saat Idul Fitri disaat seharusnya dana simpanan berikut jasanya dibagikan kepada anggota, hal tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tingginya pinjaman yang macet. Peminjam mempunyai kemauan untuk mengembalikan pinjaman namun tidak mempunyai kemampuan karena kondisi ekonomi keluarga yang minim. Kelembagaan ekonomi yang ada di masyarakat antara lain sistem pinjam-meminjam uang dengan agunan (semacam menggadaikan barang kepada perorangan dengan perjanjian tertentu sesuai kesepakatan).
Bentuk
perjanjian itu misalnya, seseorang meminjam uang Rp. 500.000 dengan agunan yang bernilai lebih dari jumlah pinjaman. Barang akan ditebus dalam jangka waktu 3 bulan dengan memberikan uang jasa sebesar Rp 50.000. Bila sampai dengan jatuh tempo si peminjam tidak bisa mengembalikan pinjamannya maka barang agunan menjadi milik yang meminjamkan uang. Jangka waktu peminjaman dan besarnya jasa merupakan hasil kesepakatan awal antara si peminjam dan yang meminjamkan uang.
4.5.2 Organisasi Organisasi keagamaan yang ada di wilayah kelurahan Purwoharjo antara lain :
Kelembagaan agama (NU, Muhamadiyah, Yayasan Al Irsyad,
IPPNU, Pemuda gereja). Penduduk dusun Serdadi dan Balutan mayoritas bergabung dalam organisasi Muhamadiyah. Kelembagaan yang menonjol adalah kelembagaan pengajian, jamaah yasin dan tahlil. Bapak-bapak dan Ibu-ibu
31 mempunyai
kelompok
masing-masing,
begitu
pula
dengan
pemuda.
Kelembagaan tersebut cukup efektif digunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan informasi tentang pemerintahan maupun kemasyarakatan. Organisasi kepemudaan yang menonjol di wilayah ini adalah karang taruna Mustika yang mempunyai sekretariat di dusun Posongan. Prestasi yang pernah diraih adalah Juara I lomba karang taruna tingkat Kabupaten Pemalang dan Juara II tingkat Propinsi Jawa Tengah tahun 2004. Setiap tahun karang taruna ini rutin mengadakan kegiatan dalam rangka HUT RI dengan “Posongan Fair”. Kegiatannya berupa bazar, pasar malam dan pada malam puncaknya diadakan acara hiburan yang diisi oleh pemuda setempat. Kegiatan bazar diisi oleh pedagang lokal (konveksi dan makanan) maupun luar daerah (souvenir, pakaian dan lain-lain). Kegiatan ini selain dapat menambah kas karang taruna juga bisa menambah penghasilan masyarakat setempat misalnya dengan berdagang, jasa parkir dan titipan sepeda. Walaupun “Posongan Fair” adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh Karang Taruna Mustika, namun kegiatan ini milik seluruh masyarakat Purwoharjo khususnya dan Masyarakat Comal pada umumnya. Hal itu dapat dilihat dari keterlibatan berbagai lapisan masyarakat dalam kepanitiaan,
dan antusiasme masyarakat untuk turut meramaikan
kegiatan tersebut. Organisasi yang pernah terbentuk dalam lingkungan usaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo adalah Asosiasi Pengusaha Pakaian Jadi (APPJ), Koperasi Pengusaha Pakaian Jadi (KPPJ) dan Asosiasi Pengusaha Industri Kecil (APIK). Pada saat pelaksanaan Praktek Lapang I, ketiga organisasi tersebut sudah tidak aktif lagi. APIK didirikan sebagai sarana untuk mengakses bantuan permodalan dari pemerintah daerah dengan mengajukan proposal kepada
dinas
disalahgunakan
terkait oleh
(Diperindagkop). oknum
pengurus
Pada
saat
dan
tidak
bantuan
cair,
disampaikan
dana kepada
pengusaha/ industri kecil anggotanya. Kasus tersebut telah ditangani pihak yang berwajib dan oknum pengurusnya dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. APPJ dan KPPJ kegiatannya vakum, belum dibubarkan namun hampir tidak ada aktivitas lagi.
32 4.6 Sumber daya Lokal Wilayah Kelurahan Purwoharjo merupakan wilayah perkotaan yang tidak mempunyai sumber daya alam yang memadai. Sumber daya yang dimiliki adalah sumber daya manusia /
tenaga kerja dan sumberdaya fisik berupa sarana
prasarana ekonomi (pasar), transportasi (jalan raya dan kendaraan umum), pendidikan (sekolah dari TK-SLTA), kesehatan (Puskesmas, RB, dan PKU). Selain modal manusia juga terdapat modal sosial berupa ikatan yang kuat dalam masyarakat yang berdasarkan pada nilai budaya setempat maupun nilai-nilai keagamaan. Nilai budaya berupa
rasa saling menghormati dan jiwa gotong
royong yang masih kental serta ketaatan kepada pemimpin baik pemimpin agama maupun pemimpin masyarakat (pemerintah setempat). Tercermin dalam kegiatan sosial kemasyarakatan seperti hajatan, takziah maupun kerja bakti membersihkan lingkungan. Lokasi yang strategis (berada di pinggir jalur Pantura/ jalan Daendels) dan didukung infrastruktur berupa pasar kota Comal, pasar grosir konveksi Comal, jalan dan sarana transportasi yang cukup memadai juga merupakan modal untuk dapat menggerakkan roda perekonomian setempat.
V. SEJARAH PENGEMBANGAN KOMUNITAS
5.1 Bantuan Modal 5.1.1 Bantuan Modal dari BUMN Bantuan dari pemerintah berupa pinjaman modal dan prasarana produksi pernah dilaksanakan sebelum tahun 2001 (Diperindag masih berstatus instansi vertikal). Dana pinjaman modal tersebut berasal dari APBN dan dari dana bagian dari keuntungan BUMN sebagai pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Keuangan No : 316 / KMK.016/ 1994 tentang
Pedoman Pembinaan
Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara. Pengusaha mikro konveksi di dusun Serdadi kelurahan Purwoharjo pernah mendapatkan kredit bantuan lunak dari PLN dan PT Krakatau Steel pada tahun 1996. Pinjaman modal kerja dan investasi dari PLN diberikan untuk menjalankan dan mengembangkan usaha sehingga diharapkan para pengusaha dapat meningkatkan produksi maupun penjualan. Informasi mengenai kredit diperoleh dari petugas PLN setempat dan menyebar kepada para pengusaha mikro konveksi yang lain dari mulut ke mulut.
Pinjaman modal kerja dan
investasi dari PLN dikenakan suku bunga sebesar 4 persen flat per tahun. Suku bunga ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga bank komersial (12% – 18%/ tahun). Bantuan dari PLN ada yang berbentuk pelatihan, namun pengusaha
mikro
konveksi
di
Kelurahan
Purwoharjo
tidak
pernah
mendapatkannya. Hasil wawancara dengan pengusaha yang pernah mendapatkan kredit dari setelah bantuan kredit diberikan, tidak ada pembinaan lebih lanjut dari PLN di wilayah kerjanya. PLN tidak menguasai teknis pembinaan usaha mikro konveksi. Pihak PLN tidak menunjuk konsultan teknis atau meminta bantuan dinas terkait (Diperindag) untuk melakukan pembinaan (tidak memberikan pembinaan lebih lanjut baik berupa pelatihan,
teknik produksi, pemasaran
maupun jaringan kerja sama/ kemitraan) terhadap para pengusaha mikro konveksi yang menerima bantuan kredit. Para pengusaha hanya berkewajiban mengangsur kredit tersebut langsung melalui rekening bank yang ditunjuk yaitu bank BRI. Modal kerja bantuan dari
PLN digunakan oleh para pengusaha
34 digunakan untuk membeli peralatan berupa mesin jahit baru dan tambahan modal kerja.
Pengaruh bantuan kredit yang diberikan terhadap usaha mikro
konveksi adalah penambahan alat produksi. Penyaluran kredit BUMN kepada pengusaha mikro konveksi pada tahun 1996 tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8 Penyaluran Kredit BUMN kepada Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 1996 No
NAMA BUMN
1
PLN
2
PT Krakatau Steel
ALOKASI Rp (juta) 206,05 535,50
KOPERASI Unit 4 0
UKM
Rp(juta) 35,00 0
Unit 16 60
Rp(juta) 171,05 535,50
Sumber : Diperindagkop (2003)
Kesulitan yang dialami Diperindagkop selaku instansi pembina industri kecil di daerah adalah,
pihak BUMN pada saat menyalurkan kredit tidak
melibatkan Diperindagkop (hanya diberikan tembusan permohonan/ proposal bantuan kredit kepada BUMN) dan angsurannya langsung ke rekening BUMN melalui bank yang ditunjuk. Hal tersebut menyebabkan tingkat kemacetannya tidak dapat dihitung secara pasti. Pembinaan kepada pengusaha mikro konveksi pasca penyaluran kredit kurang.
5.1.2
Bantuan Modal dari Diperindag Provinsi Jawa Tengah Hal yang sama terjadi setelah otonomi daerah, yaitu pinjaman modal
dari Diperindagkop Provinsi Jawa Tengah. Program mulai digulirkan pada tahun 2002. Jumlah total pinjaman adalah Rp 225.000.000 untuk 15 pengusaha (Rp 15.000.000/ pengusaha) yang disalurkan melalui BPR BKK di tiap-tiap kecamatan. Lamanya angsuran 3 tahun (36 bulan) dengan suku bunga flat persen per tahun. Jadi angsuran yang harus dibayarkan tiap bulan adalah Rp 516.700 dengan perincian angsuran pokok Rp 416.700 dan jasa pengelolaan (bunga) Rp 100.000. Angsuran dibayarkan langsung melalui BPR BKK. Selanjutnya BPR BKK mengirimkan laporan kepada Diperindagkop Kabupaten Pemalang selaku pembina program. Berdasarkan Laporan Realisasi Angsuran Dana Bergulir oleh Diperindagkop Kabupaten Pemalang, sampai dengan bulan mei 2006 dari jumlah total pinjaman sebesar Rp 271.500.000 (pokok + bunga)
35 baru diangsur sebesar Rp 64.070.800 (23,60%). Padahal kredit tersebut seharusnya sudah lunas seandainya angsuran lancar. Hasil evaluasi dari Diperindagkop kabupaten Pemalang, dari lima belas pengusaha yang mengambil kredit, ada yang tidak mengangsur sama sekali, ada yang mempunyai tunggakan dan ada yang lancar. Bagi yang angsurannya lancar, pada saat tiga angsuran terakhir, diberikan kesempatan untuk mengajukan kredit kembali. Walaupun pada saat pemberian pinjaman dana bergulir sudah dibuat surat perjanjian dan menggunakan agunan, namun pada pelaksanaannya sanksi yang tertera dalam surat perjanjian sulit untuk diterapkan. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Diperindagkop
kabupaten
Pemalang
selaku
pembina,
hanya
sebatas
memberikan surat teguran dan pernah beberapa kali mengundang para pengusaha yang kreditnya macet. Setelah diundang dan diberikan pengarahan, ada beberapa yang mengangsur satu atau dua kali angsuran, tapi kemudian macet lagi. Pengusaha kecil sering mengeluh kekurangan modal tetapi apabila ada bantuan modal dengan bunga ringan, sebagian besar macet angsurannya. Oleh karena itu Diperindagkop lebih selektif dalam menentukan kelayakan seorang pengusaha yang mengajukan permohonan bantuan modal, salah satunya dengan melihat catatan (track record) pengusaha tersebut dalam hal pembayaran pinjaman. Perlakuan kepada pengusaha yang angsurannya lancar cukup adil karena mereka tetap diberikan kesempatan untuk mengajukan kredit kembali. Kebijakan
pemerintah/
Deperindag
yang
diberlakukan
sekarang,
bantuan sarana produksi diberikan berdasarkan usulan dari pengusaha kecil melalui Diperindagkop setempat. Sifat bantuan tidak berupa hibah, namun kredit bergulir. Pengusaha yang mendapatkan bantuan wajib mengangsur untuk dibelikan alat yang baru dan digulirkan kepada pengusaha lain. Tahun 2005 pengusaha kecil konveksi dari Kecamatan Ulujami mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah pusat / deperindag berupa alat obras senilai Rp 500.000.000.
36 5.2 Sosialisasi HAKI dan Pendaftaran Hak Merk dan TDI Kegiatan ini diselenggarakan oleh Diperindagkop Kabupaten Pemalang. Dana yang digunakan bersumber dari APBD Kabupaten Pemalang. Kegiatan dilaksanakan secara berkesinambungan tahun 2002 – 2004. Sosialisasi HAKI dan Pendaftaran Hak Merk dilatarbelakangi oleh adanya beberapa kasus, antara lain industri kecil konveksi di Kabupaten Pemalang ditengarai melakukan pembajakan produk merk tertentu dan pemberlakuan Undang-undang tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual. Sosialisasi Tanda Daftar Industri merupakan tindak lanjut diberlakukannya PERDA Kabupaten Pemalang No 18 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri untuk menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah. Kegiatan yang dilakukan
berupa
Sosialisasi Hak Atas Kekayaan
Intelektual dan Pendaftaram Hak Merk Industri Kecil, dengan cara penyuluhan kepada industri rumah tangga kue semprong dan industri kecil konveksi untuk mendaftarkan merk produknya. Kegiatan ini bersifat top down, karena inisiatif program murni dari pemerintah untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya mendaftarkan hak merk industri kecilnya. Dalam kegiatan sosialisasi tidak ada unsur paksaan kepada industri kecil untuk mendaftarkan hak merknya namun sebatas memberikan himbauan dengan memberikan gambaran keuntungan atau manfaat yang dapat diterima bila merk produk industri kecil milik mereka telah terdaftar. Misalnya, produk mereka sudah mempunyai kekuatan hukum, bila terjadi pembajakan merk produk oleh pihak lain dapat menuntut
ke pengadilan, produknya lebih mudah dikenal,
mempermudah promosi / pemasaran, sebagai bentuk ketaatan warga negara terhadap
peraturan
perundangan
yang
berlaku,
dapat
meningkatkan
kepercayaan pihak perbankan untuk menyalurkan kreditnya, bila ada program dari pemerintah (berupa pelatihan, pinjaman modal dan pameran/ pemasaran) akan mendapatkan prioritas dibandingakan dengan industri kecil yang belum mendaftarkan merknya. Jadi dalam kegiatan pendaftaran hak merk bersifat sukarela, tidak ada paksaan untuk mendaftarkan hak merk. Bagi yang tidak mendaftarkan hak merknya tidak mendapatkan sanksi. Hak merk berlaku 5 tahun dan dapat diperpanjang kembali. Pendaftaran Hak merk ke Departemen Kehakiman untuk konveksi, biayanya Rp 2.000.000. Pemda Kabupaten Pemalang melalui
37 Diperindagkop memberikan subsidi sebagai stimulan sebesar Rp 1.500.000 untuk pendaftaran hak merk pertama, untuk perpanjangan hak merk selanjutnya (setelah lima tahun) tidak mendapatkan bantuan. Dalam pengurusannya Diperindagkop hanya sekedar membantu menjelaskan prosedurnya
dan
menunjukkan tempatnya saja. Untuk proses selanjutnya pengusaha kecil sendiri yang mengurus pendaftarannya.
Di sini terlihat adanya proses pembelajaran
kepada masyarakat mengenai prosedur administrasi dan hukum.
5.2.1 Perkembangan Di
wilayah kelurahan Purwoharjo, kegiatan Sosialisasi Hak Atas
Kekayaan Intelektual dan Pendaftaran Hak Merk Industri Kecil ditujukan kepada industri rumah tangga kue semprong di dusun Posongan dan Industri kecil konveksi di dusun Serdadi. Pada tahap awal belum ada pengusaha kecil yang tertarik untuk mendaftarkan hak merk produknya. Selain biaya yang harus dibayarkan cukup mahal menurut mereka. Para pengusaha juga belum yakin akan manfaat yang akan diperolehnya. Selain
pendaftaran
hak
merk,
Pemda
Kabupaten
Pemalang
menerbitkan Peraturan Daerah No 18 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri. Perda ini berlaku efektif tanggal 15 Nopember 2002. Jadi selain sosialisasi pendaftaran hak merk industri kecil, pada tahun 2003 ini juga dilaksanakan sosialisasi tentang Perda No 18 Tahun 2002 tersebut. Dalam pasal 6 Perda ini menyebutkan bahwa (1) Setiap pendirian perusahaan dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya di atas Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib
memiliki IUI (Ijin Usaha
Industri) ; (2) Setiap pendirian perusahaan dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya antara Rp 5.000.000 sampai dengan Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib memiliki TDI (tanda daftar industri). Industri kecil konveksi sebanyak 88 unit industri kecil telah memiliki TDI dengan tenaga kerja 1053 orang dan 66 unit industri kecil tidak memiliki TDI dengan tenaga kerja 443 Orang. Besarnya tarif retribusi ditetapkan : Izin Usaha Industri, industri menengah dengan nilai investasi Rp 200.000.000 sampai dengan Rp 600.000.000 sebesar Rp 50.000. Industri menengah dengan nilai investasi Rp 600.000.000 sampai dengan Rp 1.000.000.000 sebesar Rp 200.000.000. Tanda daftar Industri (TDI) sebesar Rp 50.000.
38 Kegiatan sosialisasi HAKI dan bantuan pendaftaran merk Industri kecil dilanjutkan pada tahun 2004. Pada tahun ke-3 ini ada salah satu pengusaha kecil konveksi dari dusun Serdadi yang mendaftarkan merk produknya dengan nama “CARPILOCI”. Pengusaha ini juga mendapatkan subsidi sebesar Rp 1.500.000. Setelah ada pengusaha yang mendaftarkan merk produknya dan dapat merasakan manfaatnya,
diharapkan pengusaha lain dapat belajar dari
pengalaman temannya tersebut dan dapat mengikuti jejaknya.
Kegiatan ini
memberikan dampak positif terhadap industri kecil yang mendaftarkan hak merknya yaitu mempunyai peluang untuk mengakses permodalan dari lembaga keuangan formal maupun bentuk jaringak kerja sama lainnya. Hal ini berdampak terhadap perkembangan usaha dan peningkatan penyerapan tenaga kerja dari masyarakat sekitar. Industri mikro konveksi tidak bisa berdiri sendiri, tapi ditopang oleh sektor lain. Pengusaha kecil yang akan mengirimkan produknya ke luar kota (Bandung, Jakarta, Surabaya) membutuhkan jasa transportasi melalui biro perjalanan (travel
maupun jasa paket. Pengadaan bahan baku yang dibeli
secara langsung membutuhkan jasa transportasi lokal. Pembayaran dengan sistem transfer atau cek mundur, membutuhkan jasa perbankan. Jadi industri mikro konveksi tidak bisa lepas dari jasa lain yang menopangnya.
5.2.2 Pengembangan Modal Sosial Pendaftaran hak atas kekayaan intelektual dan pendaftaran hak merk memanfaatkan modal sosial yang sudah ada di masyarakat. Interaksi yang intensif
antar
sesama
pengusaha
kecil
akan
mensosialisasikan pendaftaran hak merk industri kecil
lebih
mudah
untuk
dengan cara berbagi
pengalaman antara pengusaha kecil yang sudah mendaftarkan hak merknya dan yang belum. Melalui modal sosial berupa hubungan ketetanggaan dan interaksi yang intensif sesama pengusaha maka pengusaha yang sudah mendaftarkan hak merknya akan menceritakan bagaimana prosedur pendaftarannya, berapa biaya yang harus dikeluarkan (termasuk adanya subsidi dari Disperidagkop Kabupaten Pemalang), dan manfaat apa saja yang ia rasakan setelah mendaftarkan hak merk produknya. Gerakan sosial yang terjadi adalah para pengusaha kecil yang tadinya menentang
pendaftaran
hak
merk
industri
kecil
menjadi
tertarik
dan
39 mendaftarkan hak merknya melalui cara yang persuasif. Menimbulkan kesadaran hukum dalam diri para pengusaha untuk mendaftarkan industrinya (tanda daftar industri) dan mendaftarkan hak merk produknya ke departemen kehakiman dan HAM demi kepentingan mereka sendiri.
5.2.3 Kebijakan dan Perencanaan Sosial Kebijakan ini murni bersifat top down karena inisiatif maupun pelaksanannya oleh pemerintah daerah (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pemalang). Untuk pendaftaran hak merk industri kecil, Pemda tidak mendapatkan manfaat secara langsung, tapi pada Perda No 18 Tahun 2002 tentang Retribusi izin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri, Pemda mendapatkan manfaat berupa Retribusi yang dapat menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan pendaftaran hak merk diharapkan dapat membantu proses pemasaran karena merknya sudah terdaftar, meningkatkan harga penjualan dan jaringan pemasaran, aman dari pembajakan produk oleh pihak lain dan membantu meningkatkan kepercayaan lembaga keuangan perbankan untuk dapat memberikan bantuan kredit kepada pengusaha yang bersangkutan. Himbauan untuk mendaftarkan hak merk dan membayar retribusi Izin usaha Perusahaan dan Tanda Daftar Industri belum mendapatkan sambutan yang positif dari
pengusaha kecil karena mereka belum
dapat merasakan
manfaat secara langsung. Yang paling dirasakan pengusaha kecil adalah bahwa mereka harus membayar sejumlah uang yang jumlahnya tidak sedikit. Gambaran-gambaran yang diberikan pada saat sosialisasi mereka anggap tidak lebih sebagai janji-janji yang belum tentu benar. Anggapan lain adalah bahwa selama ini dengan tidak mendaftarkan usaha dan merknya, usaha mereka masih tetap bisa berjalan dan relatif tidak mengalami hambatan yang berarti.
VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
6.1 Permasalahan Pengusaha Mikro Konveksi 6.1.1 Sumberdaya Manusia Permasalahan sumberdaya manusia dibedakan menjadi sumberdaya manusia pengusaha dan sumberdaya manusia tenaga kerja. Tenaga kerja yang bekerja di usaha mikro konveksi berasal dari desa-desa di sekitar Kelurahan Purwoharjo antara lain desa Kebagusan, Ujunggede, Purwosari, Sidorejo dan sekitarnya. Mayoritas tenaga kerja berpendidikan SD. Hanya beberapa orang yang lulus SMP. Mereka mendapatkan keterampilan menjahit secara otodidak maupun kursus menjahit. Proses perekrutan tenaga kerja selama ini tidak mengalami kesulitan. Beberapa pengusaha menuturkan bahwa tenaga kerja baru biasanya direkrut berdasarkan rekomendasi dari tenaga/ karyawan yang sudah ada. Pada saat pengusaha membutuhkan tambahan tenaga kerja, ia akan menanyakan kepada karyawannya apakah mereka informasi mengenai orang yang berminat untuk bekerja di tempatnya. Rekomendasi dari karyawan bukan merupakan harga mati, artinya masih diuji lagi dengan cara dilihat kerapian hasil kerjanya. Cara lain dengan menanyakan track record pengalaman kerja calon karyawan tersebut. Tenaga kerja yang dipekerjakan
oleh masing-masing
responden tersaji pada Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah Tenaga Kerja menurut Status (Dalam Keluarga dan Luar Keluarga) dari 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Tenaga Kerja No Kasus Jumlah Dalam Keluarga Luar Keluarga (orang) (orang) 16 13 3 Pengusaha 1 1 11 9 2 Pengusaha 2 2 17 15 2 Pengusaha 3 3 37 35 2 Pengusaha 4 4 15 14 1 Pengusaha 5 5 12 11 1 Pengusaha 6 6 18 17 1 Pengusaha 7 7 5 3 2 Pengusaha 8 8 18 16 2 Pengusaha 9 9 Jumlah 16 133 149
41 Persentase tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga adalah 10,74 persen, sedangkan sisanya yang berasal dari luar keluarga sebesar 89,36 persen. Dari hasil observasi, tenaga kerja dari dalam keluarga suami, istri atau anak yang tugasnya membantu dalam pekerjaan packaging dan pengontrolan kualitas produk. Dilihat dari tenaga kerja yang dimiliki, berdasarkan definisi BPS maka pengusaha mikro konveksi yang menjadi responden usaha skala mikro – skala menengah.
masuk ke dalam
Selama ini para tenaga kerja
tidak
pernah mengikuti pelatihan. Upah dibayarkan seminggu sekali pada hari kamis sore dengan sistem borongan berdasarkan jumlah potong celana yang dihasilkan masing-masing karyawan. Tenaga kerja dari dalam keluarga tidak mendapatkan upah. Hal tersebut berimplikasi terhadap jumlah biaya produksi dari komponen upah tenaga kerja.
Pada hari Jum’at karyawan libur mengikuti kebiasaan di
daerah setempat yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Upah menjahit untuk tiap potong celana kolor berkisar antara Rp 800 - Rp 1.000 sedangkan celana panjang, upah per potongnya antara Rp 1.500 - Rp 2.500. Responden pengusaha konveksi yang berpendidikan terakhir sarjana atau pernah kuliah hanya tiga orang, SLTA satu orang, SLTP tiga orang, SD satu orang dan lulusan pondok pesantren satu orang. Salah seorang pengusaha mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu ia bersama dua orang pengusaha mikro konveksi lainnya pernah mengikuti program pelatihan manajemen bisnis yang diselenggarakan oleh Diperindagkop Kabupaten Pemalang. Hal tersebut menurutnya sangat bermanfaat. namun akhir-akhir ini tidak ada lagi pelatihan semacam itu. Pada saat itu, ia mendapatkan informasi mengenai pelatihan tersebut dari salah satu kenalannya yang bekerja di Diperindagkop. Responden lain yang ditanya mengenai pelatihan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak tahu-menahu mengenai pelatihan-pelatihan ataupun program dari pemerintah lainnya. Menurutnya yang diberi informasi hanya pengusaha yang mempunyai kenalan di Diperindagkop Kabupaten Pemalang saja. Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa para pengusaha tidak bisa mengakses informasi tentang program dari Diperindagkop (pelatihan) yang disebabkan karena pihak Diperindagkop kabupaten Pemalang kurang sosialisasi kepada para pengusaha.
42 6.1.2 Teknologi Pengusaha konveksi baik celana panjang, celana kolor dan seragam sekolah secara bertahap telah melengkapi peralatan yang diperlukan untuk proses produksi konveksi, dari pemotongan, menjahit, pengobrasan, memasang kancing, memasang tali kur, penyablonan, penyetrikaan dan packaging. Mesin jahit kapasitas besar yang dibeli merupakan mesin jahit bekas kualitas 1 (merk Juki dan Brother) dari Jakarta maupun dari pengusaha lokal lainnya di wilayah Pekalongan dan Comal dibeli secara tunai. Mesin jahit tersebut lebih diminati karena harganya lebih murah dengan kualitas lebih baik dibandingkan dengan mesin jahit baru kualitas dua. Dalam proses produksi konveksi celana kolor dan celana panjang, tidak membutuhkan alat yang rumit. Sebagian besar pengusaha sudah memiliki peralatan produksi yang memadai untuk proses produksi. Alat produksi yang dimiliki menggunakan teknologi sederhana. Mesin jahit yang digunakan sebagian besar masih manual (digerakkan dengan kaki). Jumlah mesin jahit yang digerakkan dengan dynamo masih terbatas. Pada Tabel 10 disajikan jumlah alat produksi dari 9 responden.
Tabel 10 Jumlah Alat Produksi dari 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Alat Produksi No Kasus Jumlah Mesin Jahit Jumlah Mesin Obras (Unit) (Unit) 1 13 Pengusaha 1 1 1 9 Pengusaha 2 2 1 14 Pengusaha 3 3 3 32 Pengusaha 4 4 1 12 Pengusaha 5 5 1 9 Pengusaha 6 6 1 15 Pengusaha 7 7 1 3 Pengusaha 8 8 1 15 Pengusaha 9 9 Jumlah 122 11
Kepemilikan alat produksi secara lengkap terbukti dapat menekan biaya produksi karena proses produksi dapat dilaksanakan sendiri tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan contohnya untuk penyablonan dan pengobrasan. Salah satu responden pengusaha kolor telah membuktikan bahwa penyablonan kolor yang dilakukan sendiri dapat menghemat biaya produksi sampai 25 persen.
43 Alat-alat kelengkapan seperti benang, kancing, tali kur, dibeli di pasar lokal dengan cara survei tempat yang paling murah. Tidak menutup kemungkinan tempat pembelian alat-alat dan bahan tersebut terpisah-pisah / tidak dalam satu toko untuk mendapatkan barang dengan kualitas bagus dengan harga yang lebih miring agar dapat menekan biaya produksi dan dapat meningkatkan keuntungan. Dalam proses produksi konveksi terdapat pembagian tugas seperti : membuat pola dan memotong kain, menjahit, mengobras, menyablon, finishing, menyetrika dan packaging. Karyawan bekerja sesuai tugas tugas masingmasing.
Pembelian
bahan
baku
dilaksanakan
oleh
pengusaha
sendiri.
Pengusaha biasanya melakukan pengawasan/ kontrol kualitas pada saat finishing dan packaging sehingga kualitas produk dapat terjaga untuk mempertahankan jaringan pasar atau mencegah berpindahnya pedagang langganan ke tempat lain. Semua proses produksi sejak awal hingga finishing dapat dilaksanakan sendiri oleh para pengusaha. Artinya mereka tidak lagi tergantung pada jasa usaha yang lain dan dapat menekan biaya produksi. Selama proses produksi diperlukan biaya-biaya diluar biaya pembelian bahan baku kain yaitu upah tenaga kerja dan bahan-bahan pelengkap seperti tali kur, kancing, plastik/ packing, resleting serta biaya sablon (celana kolor). Biaya diluar bahan baku yang dikeluarkan oleh para responden dapat dilihat pada Tabel 10. Model celana panjang tidak banyak mengalami perubahan sehingga pengusaha tidak terlalu mengalami kesulitan dalam membuat modelnya. Model celana kolor lebih bervariasi tergantung perkembangan model dan kreativitas dari para pengusaha, sehingga diperlukan keterampilan pembuat pola dan pemotong kain.
6.1.3 Permodalan Pada awal usahanya, para pengusaha mikro konveksi mengandalkan modal sendiri dengan jumlah yang sangat beragam. Modal dibutuhkan untuk pembelian bahan baku dan biaya produksi selama proses pengolahan kain manjadi celana kolor, celana panjang dan seragam sekolah. Biaya diluar bahan baku yang dikeluarkan oleh para responden dapat dilihat pada Tabel 11. Upaya para pengusaha untuk mengembangkan usaha dalam hal pemupukan modal terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, modal dipupuk dari
44 menghimpun keuntungan hasil penjualan produknya. Kelompok kedua, selain dari keuntungan hasil penjualan produk juga mengajukan kredit dari beberapa sumber, antara lain : pinjaman lunak dari pemerintah dan BUMN, dari koperasi dari bank komersial (BPD), dari lembaga keuangan swasta (Sarana Jasa Ventura Semarang dan Grup Para Sahabat Comal) dan BMT Sinar Mentari. Para pengusaha mengalami kesulitan untuk mengakses kredit dari lembaga keuangan formal karena persyaratannya rumit. Yang sering menjadi masalah adalah tuntutan adanya agunan (surat tanah dll) serta kelayakan usaha (berkaitan
dengan
kemampuan
untuk
mengembalikan
kredit).
Padahal
kebutuhan tambahan modal tersebut sangat mendesak untuk kelangsungan usaha. Tambahan modal tersebut akan digunakan untuk pengadaan bahan baku, biaya produksi lain (Tabel 11) dan perluasan jaringan pemasaran yang menuntut pembayaran mundur. Alternatif yang banyak pengusaha adalah kepada KOSPIN JASA,
ditempuh oleh para
BMT Sinar Mentari dan lembaga
keuangan swasta (Sarana Jasa Ventura dan Grup Parasahabat) dengan suku bunganya tinggi (3% /bulan). Suku bunga yang tinggi menyebabkan keuntungan yang dihasilkan banyak terserap untuk membayar bunga pinjaman sehingga keuntungan yang dihasilkan menjadi sangat kecil dan pemupukan modal hampir tidak ada. Dengan tidak adanya pemupukan modal maka usaha tidak dapat berkembang dengan baik.
Tabel 11 Biaya Produksi diluar Bahan Baku 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Upah tenaga Biaya alat/ Total Biaya No Kasus kerja/ potong potong pakaian (Rp) pakaian (Rp) (Rp) 3.000 2.000 1.000 Pengusaha 1 1 3.500 2.600 900 Pengusaha 2 2 3.800 3000 800 Pengusaha 3 3 5.500 4.000 1.500 Pengusaha 4 4 4.000 2.800 1.200 Pengusaha 5 5 12.500 10.000 2.500 Pengusaha 6 6 2.500 1.000 1.500 Pengusaha 7 7 2.500 1.500 1.000 Pengusaha 8 8 8.000 6.000 2.000 Pengusaha 9 9
Salah satu pejabat di Diperindagkop Kabupaten Pemalang selaku pembina industri kecil mengatakan
bahwa kredit dengan bunga ringan dari
pemerintah dan BUMN tingkat kemacetannya sangat tinggi, namun apabila para
45 pengusaha mengajukan kredit kepada lembaga keuangan swasta walaupun suku bunganya lebih tinggi namun angsurannya lancar. Hal tersebut menimbulkan stigma kepada pengusaha mikro konveksi bahwa sikap mental mereka kurang baik yang ditandai dengan kurangnya itikad baik untuk melunasi kredit yang telah mereka terima. Kredit bergulir dari Diperindagkop Provinsi Jawa Tengah yang digulirkan belakangan ini
leblih selektif melihat track record
(kelancaran
angsuran kredit terdahulu) sehingga tertutup peluang bagi pengusaha yang sama sekali belum pernah mengajukan kredit. Apabila angsuran kredit oleh pengusaha mikro lancar, pada saat 3 angsuran terakhir mereka akan diberikan kesempatan untuk mengajukan kredit lagi.
Salah seorang responden mengatakan bahwa ia sangat mengharapkan
kredit bantuan lunak dari Diperindag Provinsi Jawa Tengah karena bunganya sangat ringan, namun sudah tidak ada lagi kredit tersebut sehingga untuk kebutuhan tambahan modal ia mengambil kredit dari
“Grup Para Sahabat”
Comal walaupun dengan suku bungan 3 persen per bulan namun tanpa agunan.
6.1.4 Pengadaaan Bahan Baku Usaha mikro konveksi yang memproduksi celana panjang membeli bahan dari Jakarta atau Bandung dengan cara pembayaran yang beragam. Ada yang tunai, cek atau giro. Batas jatuh tempo pembayaran mundur berkisar 1-3 bulan. Giro hasil penjualan produk celana panjang dari toko/ perusahaan yang sudah dikenal oleh pedagang kain bisa digunakan sebagai alat pembayaran tanpa harus menunggu giro tersebut dicairkan. Namun hal ini tidak bisa berlaku untuk semua pedagang bahan baku, karena unsur kehati-hatian terhadap penipuan. Harga bahan baku yang dibeli dengan tunai (transfer langsung) bila dibandingkan dengan yang dibayar dengan cek atau giro terdapat selisih antara 10–20 persen. Selisih harga tersebut jelas sangat mempengaruhi besarnya keuntungan yang dapat dihasilkan oleh pengusaha. Ketersediaan bahan baku untuk celana panjang cukup memadai. Hal tersebut didukung penuturan para pengusaha bahwa dalam sejarah usaha mereka belum pernah kesulitan untuk mendapatkan bahan baku. Bahan celana panjang bisa dipesan. dan pengirimannya bisa diambil langsung ataupun dikirim. Biaya pengiriman tergantung kesepakatan antara pengusaha konveksi dengan
46 pedagang kain. Biasanya harga yang dipatok oleh pedagang kain adalah harga sampai di tempat, artinya biaya pengiriman sudah dimasukkan (include) dengan harga jual kain. Pengusaha celana panjang membeli bahan dengan satuan yard karena lebih mudah untuk menghitung biaya produksi (berapa yard dan berapa rupiah bahan yang dibutuhkan untuk tiap potong celana) Pengusaha yang memproduksi celana kolor membeli bahan baku dari pasar Tegalgubug Cirebon yang berjarak 135 km dari Kelurahan Purwoharjo. Bahan baku celana kolor merupakan barang impor dari Korea salah satunya bermerk micro wash. Ketersediaan bahan baku untuk celana kolor ini tidak tentu, terkadang melimpah terkadang sedikit bahkan langka. Kelangkaan tersebut menurut salah seorang pengusaha yang berpendidikan sarjana, disebabkan karena adanya masalah di bea cukai atau terkadang sengaja ditimbun oleh para pedagang kain kemudian dilepas dengan harga yang sudah berubah (naik tajam). Hal tersebut berpengaruh terhadap pemasaran, karena celana kolor dengan bahan jenis tertentu yang sudah dilepas di pasaran dan laku keras tidak bisa diproduksi lagi karena kelangkaan bahan baku. Artinya terjadi kerugian karena peluang pasar yang sudah tercipta menjadi hilang karena kelangkaan bahan baku. Pada Tabel 11 disajikan tempat pembelian bahan baku, cara pembayaran dan cara pengirimannya sampai ke tempat pengusaha mikro konveksi.
Tabel 12 Pembelian Bahan Baku Berdasarkan Tempat dan Cara Pembayaran 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Cara Tempat Pembayar Cara Kirim Pembelian an Kasus Produk N T S J B P Tun Tem Am Ki o ai po bil rim v v v Celana Kolor 1 Pengusaha 1 v v v Celana Kolor 2 Pengusaha 2 v v v Celana Kolor 3 Pengusaha 3 v v v v Panjang 4 Pengusaha 4 v v v v Seragam 5 Pengusaha 5 v v v Panjang 6 Pengusaha 6 v v v v Celana Kolor 7 Pengusaha 7 v v v Celana Kolor 8 Pengusaha 8 v v v Panjang 9 Pengusaha 9 Keterangan : T : Tegalgubug B : Bandung J : Jakarta S : Semarang P : Pemalang
47 Tabel 11 menunjukkan bahwa ada persamaan karakteristik antara pengusaha celana panjang dan seragam sekolah dalam hal cara pembayaran dan cara pengiriman pembelian bahan baku. Bahan celana kolor hanya bisa dibeli dengan cara tunai di pasar Tegalgubug. Pasar buka pada malam hari yaitu pada malam Sabtu dan malam Selasa. Kekurangan pembayaran hanya dapat ditoleransi oleh pedagang sampai dengan hari pasaran berikutnya. Pedagang yang sudah menjadi langganan, barang bisa dipesan lewat telepon namun apabila belum memberikan DP, tidak ada jaminan bahwa barang tersebut tidak dijual kepada orang lain. Jadi untuk memperoleh bahan baku celana kolor, pengusaha harus berebut
untuk mendapatkannya. Bahan celana kolor dibeli
dengan dua satuan ukuran yaitu kilogram dan yard. Bagi yang membeli bahan baku dengan satuan kilogram, mereka sudah dapat menaksir bahwa untuk kain jenis A, 1 kg menjadi berapa yard dan menjadi berapa potong celana sehingga pada saat menawar harga kain sudah dapat memperkirakan apakah masih bisa mendapat keuntungan atau tidak bila dibuat celana. Umumnya 1 kg kain bisa menjadi 2 potong kolor atau hampir setara dengan 2 yard. Bahan celana kolor diangkut dari pasar Tegalgubug sampai ke rumah pengusaha (kelurahan Purwoharjo) dengan menggunakan jasa transportasi lokal dengan biaya antara Rp 700 / kg. Jasa angkutan ini menggunakan kendaraan milik penduduk setempat. Jumlah armada yang biasa beroperasi 8 unit, 2 unit diantaranya milik responden pengusaha konveksi.
Pada Tabel
12 disajikan
pembelian bahan baku 9 kasus pengusaha mikro konveksi.
Tabel 13 Pembelian Bahan Baku 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo perminggu Tahun 2006 N o
Kasus
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengusaha 1 Pengusaha 2 Pengusaha 3 Pengusaha 4 Pengusaha 5 Pengusaha 6 Pengusaha 7 Pengusaha 8 Pengusaha 9
Jumlah Pembelian (kg)
(yard)
210 600 600 1.200 600 1.000 600 200 900
Fre kuen si (kali)
2 2 2 1 1 1 1 1 1
Harga /satuan (Rp)
10.000 5.500 5.000 14.000 6.000 13.500 5.000 11.000 16.000
Jumlah Belanja Bahan Baku (Rp)
Biaya Trans portasi (Rp)
Total Biaya (Rp)
4.200.000 6.600.000 6.000.000 16.840.000 3.600.000 13.500.000 3.000.000 2.200.000 14.400.000
294.000 420.000 420.000 210.000 140.000 -
4.494.000 7.200.000 6.420.000 16.840.000 3.600.000 13.500.000 3.210.000 2.340.000 14.400.000
48 Tabel 12 menunjukkan bahwa kebanyakan pengusaha membeli bahan baku seminggu sekali. Jumlah pembelian bahan baku celana kolor tidak pasti, sesuai dengan modal yang dimiliki oleh tiap pengusaha. Uang tersebut merupakan
hasil penjualan produk celana kolor secara tunai dan langsung
dibelanjakan untuk membeli bahan baku agar dapat melanjutkan perputaran usaha. Apabila pemasaran sedang lesu atau produk celana banyak yang belum laku,
maka pembelian bahan baku otomatis berkurang karena kebanyakan
pengusaha tidak mempunyai cadangan modal yang cukup. Para pengusaha berangkat berbelanja kain secara berombongan 5 – 6 orang, namun pembelian kain dilakukan secara perorangan. Pada saat berangkat, si pengusaha naik mobil tersebut dengan tarif Rp 12.500 per orang. Pulangnya pengusaha naik angkutan umum sedangkan mobil diisi dengan kain. Kain ditimbang untuk menentukan besarnya ongkos yang harus dibayar oleh masing-masing pengusaha.
6.1.5 Pemasaran 6.1.5.1 Pemasaran Usaha konveksi di dusun Serdadi kelurahan Purwoharjo sudah berlangsung sejak tahun 1980-an sehingga untuk produk celana kolor sudah relatif dikenal oleh pedagang lokal dari Purbalingga, Purwokerto, Tegal. Para pedagang celana kolor membeli produk konveksi dengan datang langsung ke lokasi usaha konveksi. Pembelian dilakukan dalam jumlah besar. Para pedagang datang dengan berombongan dengan membawa kendaraan. Apabila stok barang yang dimiliki oleh pengusaha konveksi tidak mencukupi, biasanya mereka akan merekomendasikan pengusaha lain kepada pedagang langganannya tersebut. Selama ini celana kolor dipasarkan dengan pembayaran tunai dan harga ditentukan oleh produsen. Pedagang langganan biasanya dalam transaksi tidak lagi
melakukan tawar-menawar karena pengusaha telah memberikan
harga pas. Peluang pasar untuk celana kolor masih terbuka luas. Para pedagang yang datang tersebut memasarkan dagangannya tidak hanya terbatas di wilayah Pulau Jawa namun sudah merambah pasar di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Permintaan pasar di Sumatera dan Kalimantan masih cukup tinggi, namun tidak dapat dipenuhi oleh pengusaha konveksi karena pedagang di Sumatera dan Kalimantan mempersyaratkan pembayaran mundur/ konsinyasi.
49 Ketidakmampuan tersebut disebabkan kurangnya modal yang dimiliki oleh para pengusaha mikro konveksi. Modal yang dimiliki sangat terbatas, sehingga uang hasil pemasaran produknya akan segera dibelanjakan untuk membeli bahan baku, demikian seterusnya. Peluang tersebut dapat diambil dengan syarat bahwa pengusaha dapat memperoleh jaringan bahan baku yang dapat dibayar mundur atau akses permodalan untuk dapat memenuhi skala usaha. Sudah menjadi ciri umum bahwa produk usaha kecil diproduksi terutama untuk mengisi pasar lokal domestik. Istilah pasar domestik merujuk pada pasar lokal, pasar regional (di luar propinsi tempat usaha kecil berada) dan pasar nasional (Haryadi, 1998). Pada Tabel
14
disajikan
bagaimana
produk
konveksi
Kelurahan
Purwoharjo
dipasarkan. Tabel 14 menunjukkan bahwa produk celana kolor dipasarkan untuk memenuhi pasar lokal dengan pembayaran tunai. Seragam sekolah dipasarkan untuk memenuhi pasar lokal dengan dua macam sistem pembayaran yaitu tunai dan tempo, cara pengiriman barang juga dua macam yaitu sebagian dijemput dan sisanya dikirim. Produk celana panjang dipasarkan untuk memenuhi pasar regional (lain propinsi) dengan cara pembayaran tempo serta barang dikirimkan ke pedagang.
Tabel 14 Tujuan Pemasaran Produk, Cara Pembayaran dan Cara Pengiriman dari 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Cara Bayar Regional Te Tu mp M S S B J nai o b d v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Tujuan Pemasaran N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kasus
Pengusaha 1 Pengusaha 2 Pengusaha 3 Pengusaha 4 Pengusaha 5 Pengusaha 6 Pengusaha 7 Pengusaha 8 Pengusaha 9
Produk
Celana Kolor Celana Kolor Celana Kolor Panjang Seragam Panjang Celana Kolor Celana Kolor Panjang
Lokal T B P P w v v v v v v v
P b v v v
v v v v v v v v v v
Keterangan : T B P Pw
= Tegal = Brebes = Pekalongan = Purwokerto
Pb = Purbalingga M = Malang S = Semarang
Bd = Bandung J = Jakarta Sb = Surabaya
Cara Kirim Je Kr mp m ut v v v v v v v v v v v
50 Produk celana pendek dipasarkan dalam satuan kodi (20 potong), sedangkan produk celana panjang menggunakan satuan lusin (12 potong). Kapasitas produksi 9 responden dalam seminggu dan harga jualnya tergambar dalam Tabel 15. Harga produk yang sama bisa berbeda karena para pengusaha mempunyai pedagang langganan masing-masing. Kapasitas produk yang dihasilkan tergantung dengan permodalan, alat produksi dan tenaga kerja yang dimiliki. Kapasitas produksi konveksi mengalami fluktuasi, tidak Seragam sekolah ajaran baru.
konstan.
mengalami peningkatan pemasaran pada tiap awal tahun
Celana panjang mengalami peningkatan pemasaran pada saat
mendekati hari raya Idul Fitri. Celana kolor tidak mengalami peningkatan pemasaran. Celana panjang dan celana kolor sama-sama mengalami penurunan pemasaran pada saat tahun ajaran baru.
Tabel 15 Penjualan Produksi Konveksi 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo perminggu Tahun 2006 Kapasitas Produksi/ Harga Jual / Hasil Penjualan No Kasus minggu potong (Rp) (Rp) (potong) 8.820.000 10.500 840 Pengusaha 1 1 12.600.000 10.500 1.200 Pengusaha 2 2 12.300.000 10.250 1.200 Pengusaha 3 3 25.000.000 25.000 1.000 Pengusaha 4 4 8.400.00 14.000 600 Pengusaha 5 5 25.200.000 30.000 840 Pengusaha 6 6 5.100.000 8.500 600 Pengusaha 7 7 4.200.000 10.500 400 Pengusaha 8 8 2.250.000 30.000 750 Pengusaha 9 9
6.1.5.2 Pendapatan Dalam
pemberdayaan
usaha
mikro
konveksi
diperlukan
analisis
keuntungan para pengusaha yang menjadi responden untuk mengetahui apakah usaha ini menguntungkan atau tidak. Bila usaha ini memberikan cukup keuntungan maka dapat tercipta keberlanjutan usaha. Analisis keuntungan juga bermanfaat untuk mengetahui apakah terdapat pemupukan modal/ investasi atau tidak. Penghitungan keuntungan responden dilakukan dengan mengurangkan hasil penjualan dengan biaya produksi, sedangkan investasi (saving) dihitung dengan mengurangkan keuntungan dengan konsumsi. Dalam sub bab ini tidak
51 akan
dibahas
mengenai
investasi
para
Berdasarkan data-data hasil wawancara
pengusaha
secara
kuantitatif.
maka keuntungan para pengusaha
yang menjadi responden dapat dilihat pada Tabel 16. Pada Tabel 16 terlihat bahwa untuk hasil pemasaran setiap minggu, pengusaha mendapatkan keuntungan dengan jumlah yang beragam dalam rentang Rp 390.000 – Rp 2.660.000 dengan catatan bahwa pemasaran produk berjalan lancar.
Pada
kenyataannya pemasaran produk tidak stabil atau mengalami fluktuasi sebagaimana telah dibahas dalam sub bab pemasaran. Rata-rata persentase keuntungan terhadap total biaya produksi untuk tiap pengusaha yang menjadi responden adalah 148,31 / 9 = 16,48 persen.
Tabel 16 Perhitungan Pendapatan tiap Minggu 9 Kasus Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 Keuntungan Total Bea Hasil N Keuntungan / Total Bea Kasus Penjualan Produksi o (Rp) Produksi (Rp) (Rp) (%) 25,75 1.806.000 7.014.000 8.820.000 1 Pengusaha 1 10,53 1.200.000 12.600.000 11.400.000 2 Pengusaha 2 12,02 1.320.000 12.300.000 10.980.000 3 Pengusaha 3 11,91 2.660.000 25.000.000 22.340.000 4 Pengusaha 4 40,00 2.400.000 6.000.000 8.400.000 5 Pengusaha 5 5,00 1.200.000 25.200.000 24.000.000 6 Pengusaha 6 8,28 390.000 4.710.000 5.100.000 7 Pengusaha 7 25,75 860.000 3.340.000 4.200.000 8 Pengusaha 8 9,07 1.850.000 22.250.000 20.400.000 9 Pengusaha 9 Total 123.870.000 110.184.000 13.686.000 148,31
6.1.6 Jaringan Kerjasama
Jaringan
kerja
sama
pengusaha
mikro
konveksi
yang
sudah
berlangsung selama ini meliputi jaringan bahan baku, jaringan permodalan, jaringan pemasaran hanya melanjutkan jaringan yang sudah terbentuk sebelumnya. Umumnya jaringan tersebut sudah terbentuk pada saat permulaan usaha. Konveksi celana panjang pernah mempunyai jaringan bahan baku di tingkat lokal pada saat pabrik tekstil PT Texmaco Jaya Pemalang masih beroperasi dengan menjalin hubungan dengan pemilik DO di sekitar lokasi pabrik. Keuntungan dengan adanya jaringan tersebut adalah mendapatkan harga
52 yang lebih miring, juga dapat menghemat biaya transportasi karena jaraknya relatif dekat (16 km dari lokasi usaha) dan sarana transportasi cukup memadai. Setelah PT Texmaco Jaya bangkrut. pengusaha konveksi celana panjang mencari jaringan bahan baku dari Jakarta, Bandung dan sebagian dari pasar Tegalgubug Cirebon. Di wilayah kabupaten Pemalang terdapat pasar kain yang cukup terkenal yaitu pasar Petarukan. Berdasarkan penuturan pengusaha konveksi. pedagang kain pasar Petarukan juga membeli kain dagangannya (kulakan) dari pasar Tegalgubug Cirebon. sehingga harga kain di pasar Petarukan sudah lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga di pasar Tegalgubug. Alasan itulah yang menyebabkan para pengusaha lebih memilih membeli kain dari pasar Tegalgubug Cirebon. Pengusaha konveksi celana kolor hanya membeli bahan baku dari pasar Tegalgubug karena di pasar lokal (Petarukan) tidak dijual jenis kain untuk celana kolor. Sampai sejauh ini para pengusaha belum menemukan tempat pembelian bahan baku celana kolor selain pasar Tegalgubug. Jaringan kerja sama pemasaran produk celana kolor tidak banyak berkembang karena selama ini
pedagang (Purbalingga, Tegal, Purwokerto)
datang ke dusun Serdadi kelurahan Purwoharjo untuk membeli produk mereka. Ada satu orang saja yang menjual produknya ke luar kota dengan diantar ke tempat pedagang langganannya dengan pembayaran tunai ke Semarang. Selebihnya mengirim produk
mereka melalui jasa paket. Untuk pemasaran
celana kolor yang dikirim melalui paket, pembayarannya dilakukan secara mundur 1-2 bulan. Ongkos kirim ditanggung pengusaha sendiri (dimasukkan dalam biaya produksi). Penambahan jaringan pemasaran sulit untuk dilaksanakan, seperti yang pernah dicoba oleh salah seorang pengusaha untuk menawarkan produknya ke toko-toko pakaian. Toko-toko mau menerima asalkan bisa dibayar mundur dengan cek atau giro, mereka tidak bisa melayani pembayaran tunai. Jadi untuk menambah jaringan pemasaran diperlukan tambahan modal agar selama produk belum dibayar, masih tetap dapat membeli bahan baku dan upah tenaga kerja. Produk celana panjang pemasarannya mengikuti sistem perdagangan yang sudah ada yaitu konsinyasi. Umumya menggunakan pola tiga DO (delivery order) dibayar satu DO. Artinya barang baru dibayar setelah dua pengiriman berikutnya. Menurut salah satu pengusaha celana panjang untuk pemasaran produk celana
53 panjang, pembayaran mundur satu bulan sudah dianggap tunai. Pola ini sangat merugikan
para
pengusaha
konveksi.
Apabila
pengusaha
konveksi
menginginkan pembayaran tunai maka harganya akan dipotong 10 persen. Perluasan jaringan pemasaran masih mungkin dilakukan dengan sangat selektif.
Salah seorang responden mengatakan bahwa sebelum menjalin
jaringan pemasaran yang baru harus betul-betul meneliti track record si calon mitra untuk menghindari penipuan. Bentuk penipuan yang pernah dialami para pengusaha adalah cek kosong, pembayaran tidak lancar dan mitra yang pindah tempat usaha tanpa pemberitahuan dengan masih
mempunyai tanggungan
hutang pembayaran produk. Kasus terakhir pernah dialami salah seorang responden pada tahun 1998 sehingga yang bersangkutan mengalami kerugian sebesar Rp 80.000.000. Usaha yang ditempuh untuk menambah jaringan pemasaran celana kolor, pernah dicoba ditawarkan ke toko-toko di kota lain namun tidak ada yang melayani pembayaran tunai. Mereka bersedia menerima produk celana kolor asalkan dengan pembayaran mundur.
Produk celana kolor mendapatkan
saingan produk dari daerah Tegal dan Kudus yang dapat memproduksi celana kolor dengan harga yang lebih murah. Persaingan tersebut membuat pedagang semakin menekan harga sehingga
keuntungan para pengusaha konveksi
semakin kecil. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara kurangnya jaringan kerja sama dengan permodalan yang dimiliki oleh para pengusaha.
6.2 Prioritas Permasalahan Pengusaha Mikro Konveksi Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha mikro konveksi,
ditetapkan
prioritas
Permasalahan-permasalahan
permasalahan
tersebut
saling
yang berkaitan
akan satu
diselesaikan. sama
lain.
Keterkaitan antar permasalahan (hubungan sebab akibat) pemberdayaan pengusaha mikro konveksi terlihat pada Gambar 2. Prioritas permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha mikro konveksi tersebut antara lain : (1) modal terbatas,(2) pemasaran terbatas, dan (3) kapasitas SDM rendah. Prioritas masalah tersebut ditentukan dari hasil wawancara dan observasi yang dibawa
54 dan disepakati dalam forum FGD yang dilakukan bersama para pengusaha mikro konveksi. Prioritas permasalahan yang telah ditetapkan tersebut dijadikan sebagai dasar
untuk
pemberdayaan.
menyusun
rancangan
Penyusunan
prioritas
strategi
dan
rancangan
permasalahan
program
mempertimbangkan
permasalahan apa yang paling mendesak untuk ditangani, permasalahan yang paling memungkinkan untuk diatasi sesuai kemampuan yang dimiliki oleh para pengusaha mengingat keterbatasan sumberdaya yang dimiliki.
6.3 Evaluasi KPPJ KPPJ didirikan pada tahun 1997 dan berkedudukan di Kelurahan Purwoharjo
Kecamatan
Comal
dan
sudah
berbadan
hukum.
Inisiatif
pembentukan KPPJ berasal dari salah seorang tokoh masyarakat yang juga merupakan pengusaha mikro konveksi.
Keanggotaannya berasal dari para
pengusaha konveksi di wilayah desa Purwoharjo yang kemudian pada tahun 2000 dimekarkan menjadi dua yaitu Kelurahan Purwoharjo dan desa Kauman. Keanggotaannya bersifat sukarela, tidak semua pengusaha konveksi otomatis menjadi anggota KPPJ.
Kepengurusan disusun sesuai dengan aturan main
melalui rapat anggota. Pengurus koperasi juga merupakan pengusaha konveksi. Permodalan KPPJ berasal dari iuran anggota dan bantuan dari Kantor Koperasi pada saat itu. KPPJ bergerak dibidang pengadaan bahan baku konveksi (kain) untuk anggotanya. Melalui pembelian kain oleh koperasi dalam jumlah besar, harga bisa ditekan (mendapatkan discount). Para anggota tidak perlu mengeluarkan ongkos tambahan untuk ongkos angkut. Hal ini dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan para pengusaha. Pembayaran bahan baku oleh para anggota bisa tunai dan bisa mundur. Pembayaran mundur dilaksanakan pada saat produknya sudah laku terjual. Kegiatan ini cukup membantu para anggota yang mempunyai modal terbatas untuk dapat menjaga kelangsungan usahanya.
55 6.3.1
Kelemahan Pada
perkembangannya,
banyak
para
anggota
yang
menunggak
pembayaran kain yang diambilnya dari koperasi karena berbagai sebab. Alasan mereka antara lain : penjualan kurang lancar, kena musibah dan mentalitas oknum pengusaha yang kurang baik. Pengurus banyak yang sibuk mengurus usaha masing-masing sehingga perhatian mereka pada kemajuan koperasi kurang. Domisili yang berdekatan/ bertetangga juga menyebabkan para pengurus kurang bisa mengambil tindakan tegas terhadap para pengusaha yang menunggak. Kegiatan rapat anggota yang semula aktif menjadi berkurang intensitasnya dan akhirnya berhenti karena semakin banyak anggota yang menunggak. Anggota yang menunggak merasa enggan untuk hadir dalam rapat karena takut ditagih. Kegiatan pengadaan bahan baku macet sehingga tidak ada pemupukan modal dari keuntungan koperasi sehingga modal koperasi semakin berkurang. Untuk sementara kegiatan koperasi vakum, namun koperasi belum dibubarkan.
6.3.2
Kelebihan Status KPPJ sudah berbadan hukum dan koperasi belum dibubarkan.
Secara hukum KPPJ masih ada sehingga memungkinkan untuk diaktifkan kembali.
Aset-aset yang dimiliki oleh KPPJ juga masih terpelihara berupa
bangunan sekretariat/ kantor dan sisa modal yang dimiliki masih tersimpan di bank. Pengaktifan kembali KPPJ dianggap lebih menguntungkan daripada membentuk organisasi atau koperasi baru yang pasti membutuhkan persyaratan dan biaya yang tidak sedikit. Sebagian besar anggota masih mempunyai harapan agar KPPJ bisa diaktifkan kembali sebagai sarana untuk memajukan usaha mikro konveksi yang digeluti. Inisiatif pembentukan KPPJ berasal dari intern pengusaha mikro konveksi sendiri (bukan intervensi dari pemerintah) membuat para pengusaha lebih merasa memiliki KPPJ. Kelebihan lainnya adalah meningkatnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan koperasi dan usaha kecil menengah. Kondisi tersebut menambah motivasi untuk mengaktifkan kembali KPPJ yang mereka miliki.
56
Pendapatan kurang
Pemupukan Modal rendah
Modal Terbatas (1)
Tidak Akses terhadap Permodalan
Pemasaran Terbatas (2)
Tingkat Pendidikan Rendah
Keterampilan rendah
Sistem Konsinyasi Kapasitas SDM rendah (3)
Produktivitas rendah
Kemampuan Pengadaan Bahan Baku Kurang
Jaringan Pemasaran Kurang
Kemampuan membangun jaringan kerjasama (4)
Kemampuan Manajemen Keuangan Rendah
Ketidakpastian suplay Bahan baku (5) Akses bahan baku kurang
Gambar 2 Diagram Alir (sebab-akibat) Keterkaitan antar Masalah Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi Tahun 2006
di Kelurahan Purwoharjo 56
VII. STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI
Usaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo merupakan
kegiatan
ekonomi produktif yang sudah berlangsung sejak tahun 1980-an. Usaha ini telah memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat Kelurahan Purwoharjo dan desa-desa di sekitarnya yaitu Purwosari, Sidorejo, Kebagusan, Ujunggede dan Pendowo. Usaha ini merupakan satu-satunya mata pencaharian para pengusaha dan para tenaga kerjanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Berdasarkan berbagai permasalahan yang dihadapi (lihat analisis permasalahan pengusaha mikro konveksi Bab VI) rancangan
program
untuk
dapat
dirumuskan rancangan strategi dan mengatasi
permasalahan-permasalahan
tersebut dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT ditempuh dengan langkah langkah sebagai berikut :
7.1 Analisis Lingkungan Usaha 7.1.1 Faktor Internal 7.1.1.1 Kekuatan 1. Alat produksi dan teknologi memadai Sebagai usaha mikro yang bercirikan padat karya, proses konveksi di kelurahan Purwoharjo tidak memerlukan alat yang modern seperti di pabrik garmen. Pengusaha telah memiliki alat produksi yang diperlukan untuk usaha konveksi secara lengkap dan jumlah yang cukup memadai untuk proses produksi walaupun dengan teknologi yang sederhana. Dengan ketersediaan alat produksi tersebut,
seluruh proses konveksi dari membuat pola,
memotong, menjahit, mengobras, memasang kancing, finishing, penyetrikaan serta pengepakan
penyablonan,
dapat dilakukan sendiri. Hal
tersebut dapat menghemat biaya produksi. Penghematan biaya produksi berarti peningkatan keuntungan yang dapat diperoleh oleh pengusaha. Salah seorang
pengusaha
mengatakan
bahwa
proses
penyablonan
yang
dilaksanakan sendiri dapat menghemat biaya produksi sampai denngan 25 persen.
58 2. Letak tempat usaha strategis Lokasi usaha mikro konveksi berada di dusun Serdadi Kelurahan Purwoharjo Kecamatan Comal yang terletak di pinggir jalan raya pantura bagian barat Jawa
Tengah.
Kedekatan
lokasi
dengan
jalan
raya
ini
sangat
menguntungkan dalam hal akses transportasi bahan baku dan pemasaran. Aksesibilitas lokasi ini berpengaruh terhadap biaya transportasi yang harus dikeluarkan
serta
tersedianya
pilihan-pilihan
transportasi
yang
akan
digunakan.
Pilihan transportasi yang tersedia adalah transportasi umum,
kendaraan rental dan kendaraan pribadi dengan biaya yang cukup terjangkau. Usaha mikro konveksi sudah berjalan lama sejak tahun 1980 dan telah cukup dikenal oleh pedagang. Didukung dengan penetapan lokasi sebagai salah satu sentra industri kecil konveksi di Kabupaten Pemalang dan dipromosikan oleh pemda membuat lokasi menjadi lebih terkenal dan berdampak positif terhadap pemasaran. Jadi letak tempat usaha ini menjadi salah satu kekuatan yang dapat dimanfaatkan dalam pemberdayaan usaha mikro konveksi. 3. Kualitas produk baik Berdasarkan keterangan salah satu pengusaha, minat konsumen terhadap produk celana panjang yang dihasilkan oleh pengusaha mikro konveksi Kelurahan Purwoharjo cukup tinggi dan selama ini diakui oleh pedagang mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan produk yang sama yang dihasilkan oleh para pengusaha di daerah Rowosari dan Samong Kecamatan Ulujami. Masing-masing produk mempunyai pangsa pasar yang berbeda. Kualitas produk yang baik ini menjadi salah satu modal untuk dapat memenangkan persaingan.
Selama ini kontrol kualitas produk dilakukan
sendiri oleh pengusaha atau anggota keluarganya untuk tetap dapat menjaga mutu produk. Mutu produk yang selalu terjaga berpengaruh positif terhadap harga jual produk yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk dari tempat lain.
7.1.1.2 Kelemahan 1. Kepemilikan modal terbatas Sebagian besar pengusaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo pada awal usahanya mengandalkan modal sendiri dengan pemupukan modal/
59 investasi yang rendah. Para pengusaha mengalami kesulitan untuk mengakses permodalan dari lembaga keuangan. Banyak bank komersial yang menawarkan kredit kepada para pengusaha namun kurang diminati oleh para pengusaha karena bunganya tinggi dan persyaratannya susah. Kepemilikan modal yang rendah telah menghambat perkembangan usaha mereka. Modal terutama digunakan untuk modal kerja, yaitu untuk membeli bahan baku , alat-alat pelengkap lain dan upah tenaga kerja. 2. Lemahnya kemampuan membangun jaringan kerja sama dan pemasaran Keterbatasan
permodalan
dan
keterbatasan
kapasitas
SDM
telah
menyebabkan jaringan kerja sama dan pemasaran yang dimiliki oleh para pengusaha terbatas dan hanya memasarkan produknya kepada pedagang langganan saja. Jaringan pemasaran baru menuntut pembayaran mundur/ konsinyasi.
Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh para
pengusaha kurang sehingga kurang mampu mengembangkan jaringan kerja sama. 3. Kemampuan manajerial Kemampuan manajerial para pengusaha rendah yang ditandai
dengan
bercampurnya pengelolaan keuangan antara untuk produksi dan konsumsi (rumah
tangga)
sehingga
pemupukan
modal
kurang.
Penghasilan/
keuntungan yang diperoleh digunakan untuk dua kepentingan yaitu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan untuk menambah modal usaha. Jumlah untuk masing-masing kebutuhan tersebut tidak tentu sehingga pemupukan modal tidak dapat direncanakan dengan baik. 4. Kurangnya keterampilan para tenaga kerja untuk membuat model pakaian terbaru (celana kolor) Produk celana kolor modelnya cepat berubah. Para tenaga kerja tidak pernah mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka. Apabila tenaga kerja tidak bisa menyesuaikan dengan model yang terbaru maka tidak bisa merebut peluang pasar.
Mode terbaru dapat diketahui dengan
mengakses
yang
informasi
pasar
meliputi
perkembangan
mode,
perkembangan harga dan lain-lain. Untuk itu diperlukan keterampilan untuk membuat model pakaian terbaru.
60 7.1.2 Faktor Eksternal 7.1.2.1 Peluang 1. Keberadaan lembaga keuangan, Di sekitar tempat usaha (wilayah kelurahan Purwoharjo banyak terdapat lembaga keuangan formal yang belum diakses untuk sumber permodalan. Lembaga keuangan formal tersebut antara lain : BRI, BPD, BCA, LIPPO, BPR BKK, Bank Pasar dan Perum Pegadaian. Berdasarkan keterangan informan bahwa ada program kredit mikro dan kecil oleh beberapa lembaga keuangan formal tersebut yang dapat diakses oleh pengusaha mikro,
Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Simpan Pinjam (KSP) dan Kelompok Pengusaha Mikro. Hasil wawancara dengan para responden, mereka membutuhkan tambahan modal namun belum bisa mengakses lembaga keuangan formal tersebut karena rumitnya persyaratan. 2. Kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk usaha mikro Kebijakan pemerintah untuk usaha mikro-kecil (pembinaan) berupa pelatihan, bantuan permodalan, pendampingan banyak.
Berdasarkan
hasil
serta bantuan bentuk lain semakin
wawancara
dengan
pihak
Diperindagkop
Kabupaten Pemalang, pola pembinaan dari Diperindagkop berupa pelatihan dan bantuan alat produksi lebih diutamakan yang berdasarkan usulan dari bawah (pengusaha). Hal ini merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas SDM pengusaha dan tenaga kerja serta alternatif untuk mengembangkan teknologi yang lebih modern. 3. Permintaan pasar terhadap produk masih terbuka Berdasarkan keterangan para pengusaha yang menjadi responden, peluang pasar masih terbuka luas di tingkat regional, terutama di wilayah Jawa dan Kalimantan.
Sistem perdagangan yang dipersyaratkan adalah sistem
konsinyasi. Artinya peluang pasar tersebut dapat diambil para pengusaha dengan syarat para pengusaha mempunyai modal yang cukup memadai untuk tetap menjaga kelangsungan perputaran usaha. Langkah yang memungkinkan adalah dengan meningkatkan permodalan atau melalui pola kemitraan. 4. Sudah pernah terbentuk Asosiasi dan koperasi yaitu APPJ dan KPPJ. Di kelurahan Purwoharjo telah terbentuk 2 (dua) organisasi yang mewadahi para pengusaha mikro konveksi yaitu Asosiasi Pengusaha Pakaian Jadi (APPJ) dan Koperasi Pengusaha Pakaian Jadi (KPPJ). Selama 3 (tiga) tahun terakhir, kedua organisasi tersebut mengalami kevakuman kegiatan karena
61 beberapa sebab namun statusnya belum dibubarkan. Organisasi tersebut merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk mencari
solusi
terhadap
permasalahan
yang
mereka
hadapi
dalam
pengembangan usaha. 5. Ketersediaan tenaga kerja yang memadai dan murah. Persentase tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga adalah 10,74 persen, sedangkan sisanya yang berasal dari luar keluarga sebesar 89,36 persen. Tenaga kerja dari dalam keluarga bertugas dalam pengontrolan kualitas sebelum packing. Tenaga kerja luar keluarga bertugas dalam hal-hal teknis, pembuatan pola, pemotongan, menjahit, mengobras serta menyetrika. Selama ini para pengusaha tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga kerja. Sistem perekrutannya melalui rekomendasi dari tenaga kerja yang sudah ada, dilihat track record-nya (sebelumnya pernah bekerja dimana) dan dilihat kerapihan hasil kerjanya. Sistem pengupahan secara borongan berdasarkan jumlah potong pakaian yang dihasilkan dirasakan masih terjangkau oleh para pengusaha. Upah untuk kolor per potong Rp 900 – 1.200 sedangkan celana panjang upah per potong Rp1.500 – 2.500. Pengupahan dengan sistem borongan tersebut dapat mempermudah perhitungan biaya produksi sebagai dasar menentukan harga produk.
7.1.2.2 Ancaman 1. Sistem perdagangan konsinyasi, Kepemilikan modal usaha mikro sangat rendah karena banyak yang mengandalkan modal sendiri. Sistem perdagangan ini merugikan pengusaha mikro karena dengan pengunduran pembayaran pengusaha harus mencari tambahan modal untuk biaya produksi selanjutnya agar usaha tetap dapat berjalan. Setiap kredit pasti berbunga, hal itu tentu saja akan semakin mengurangi keuntungan yang akan diterima para pengusaha. Keuntungan hasil penjualan produk akan dikurangi dengan angsuran kredit dan bunganya. Konsinyasi tidak hanya berlaku untuk pasar produk (out put) namun juga pasar suplai. 2. Suplai bahan baku yang tidak tentu (celana kolor), Ketidakpastian suplai bahan baku kolor merupakan ancaman karena dengan ketidakpastian suplai bahan baku dapat menghambat proses produksi.
62 Kerugian yang diakibatkan adalah hilangnya peluang pasar yang sudah tercipta untuk produk dengan bahan tertentu. Hal ini terjadi karena produk dengan bahan tertentu dan model tertentu yang
sedang diminati oleh
konsumen tidak dapat diproduksi kembali karena kelangkaan bahan baku. Bila hal itu terjadi maka pengusaha harus membuat model baru dengan bahan lain dan belum tentu diminati oleh pasar sehingga akan mempengaruhi kelancaran pemasaran. Para pengusaha tergantung pada satu tempat pembelian bahan baku yaitu di pasar Tegalgubug Cirebon. Selama ini mereka belum menemukan tempat pembelian bahan baku yang lain. 3. Persaingan produk konveksi daerah lain, Kelurahan Purwoharjo bukan satu-satunya sentra industri mikro konveksi di kabupaten Pemalang. Persaingan di tingkat lokal adalah dari pengusaha konveksi di desa Rowosari dan Samong. Persaingan di tingkat regional berasal dari daerah Tegal dan Kudus. Menurut para pengusaha, produk konveksi dari daerah Tegal dan Kudus harganya lebih murah. Untuk tetap mempertahankan
usaha
konveksi
maka
para
pengusaha
harus
memenangkan persaingan tersebut dengan cara menekan biaya produksi serta menjaga kualitas. 4. Stigma negatif pengusaha oleh BUMN dan Pemda Stigma negatif tersebut muncul karena tingginya tingkat kemacetan kredit yang pernah disalurkan oleh BUMN dan pemda. BUMN yang pernah menyalurkan kreditnya adalah Krakatau Steel dan PLN.
Stigma tersebut
menyebabkan proses seleksi kelayakan usaha dalam penyaluran kredit menjadi bertambah ketat.
Seleksi penyaluran kredit yang sangat ketat
mengurangi peluang pengusaha mikro untuk mendapatkan kredit karena mereka tidak memiliki agunan dan usaha mereka dinilai tidak layak untuk mendapatkan kredit. Kebutuhan modal merupakan hal yang sangat mendesak.
Kecilnya peluang untuk mendapatkan kredit lunak membuat
para pengusaha mencari alternatif permodalan yang lain dengan bungan yang tinggi. Sumber pendanaan yang banyak diminati adalah modal ventura. Modal ventura sangat diminati karena peryaratannya mudah, tidak memerlukan agunan, prosesnya mudah namun bunganya tinggi.
Modal
ventura yang pernah menyalurkan pinjaman modal kepada pengusaha mikro di kelurahan Purwohrajo adalah Sarana Jasa Ventura (Semarang) dan Grup Para Sahabat (Comal).
63
Tabel 17 Matriks Analisis SWOT Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 KEKUATAN (STRENGTHS)
FAKTOR INTERNAL 1. 2. 3.
Alat produksi dan teknologi memadai Letak tempat usaha strategis Kualitas produk yang baik
KELEMAHAN (WEAKNESSES) 1. 2. 3. 4.
Kepemilikan dan pemupukan modal rendah Lemahnya kemampuan membangun jaringan dan pemasaran baru Kemampuan manajerial rendah Kurangnya keterampilan membuat model pakaian terbaru
FAKTOR EKSTERNAL PELUANG (OPORTUNITIES) 1. 2. 3.
4. 5.
Keberadaan dan dukungan lembaga keuangan Permintaan pasar terhadap produk Kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk usaha mikro (pelatihan dan permodalan berdasarkan usulan dari bawah) Sudah pernah terbentuk Asosiasi dan koperasi Ketersediaan tenaga kerja yang memadai dan murah
ANCAMAN (THREATHS) 1. Sistem perdagangan konsinyasi 2. 3.
4.
Ketersediaan bahan baku yang tidak tentu Persaingan produk konveksi daerah lain Stigma negatif pengusaha oleh BUMN dan Pemda (kredit macet)
1. Mengakses pelatihan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja 2. Mengoptimalkan pemanfaatan alat produksi dan tenaga kerja untuk meningkatkan produksi dan memenuhi permintaan pasar 3. Mengakses permodalan yang belum dimanfaatkan dari lembaga keuangan untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi pasar. 4. Menyampaikan usulan program pelatihan dan permodalan kepada Diperindag secara partisipatif
1.
1.
1.
Meningkatkan produksi dan menjaga kualitas produk untuk memenangkan persaingan 2. Meningkatkan keterampilan tenaga kerja untuk menyesuaikan mode 3. Diversifikasi produk agar tidak tergantung pada bahan baku tertentu 4. Mengaktifkan kembali (revitalisasi) asosiasi atau koperasi untuk akses permodalan dan meningkatkan jaringan kerja sama bahan baku
2.
3.
2.
3.
Meningkatkan akses lembaga melalui asosiasi dan koperasi keuangan untuk meningkatkan permodalan Mengusulkan pelatihan partisipatif untuk meningkatkan kemampuan manajerial, kemampuan membangun jaringan dan pemasaran baru serta keterampilan Meningkatkan akses teknologi dan informasi mode
Mengangsur kredit yang macet dan mengusulkan penghapusan bunga pinjaman untuk mengembalikan kepercayaan BUMN dan Pemda agar bisa mengakses bantuan lunak untuk meningkatkan permodalan Meningkatkan jaringan kerja sama suplai bahan baku dan pemasaran dengan sistem kemitraan. Meningkatkan keterampilan agar dapat menyesuaikan mode dan memenangkan persaiangan.
63
64 7.2 Rancangan Strategi Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi 7.2.1 Proses Penyusunan Perumusan strategi menggunakan analisis SWOT dan dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan para pengusaha mikro konveksi. Diskusi dipimpin oleh salah satu pengusaha yang memproduksi celana panjang yang pernah pernah kuliah (tidak sampai tamat) di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Faktor lingkungan usaha yang digali pengkaji melalui kuisioner SWOT (lampiran 2, 3, 4) ditawarkan kepada para peserta diskusi untuk mendapatkan tanggapan. Tanggapan berbentuk persetujuan atau penolakan. Faktor lingkungan usaha mikro konveksi (internal dan eksternal) yang sudah disepakati oleh peserta FGD dimasukkan ke dalam matriks SWOT dengan bantuan pengkaji. Sebagian besar peserta diskusi berpendapat bahwa masalah yang paling mendesak untuk ditangani adalah masalah kurangnya permodalan selanjutnya disusul dengan masalah pemasaran dan ketidakpastian suplai bahan baku dan yang terakhir masalah kapasitas (pengetahuan dan keterampilan) para pengusaha rendah. Berdasarkan permasalahan tersebut, para peserta mengusulkan alternatif
pemecahan masalah menurut pendapat masing-masing. Alternatif
pemecahan masalah tersebut diinventarisir dan dimasukkan ke dalam alternatif rancangan strategi dalam matriks SWOT oleh pengkaji. Dari beberapa alternatif strategi yang dihasilkan dengan analisis SWOT, diringkas dan dirumuskan strategi prioritas untuk dapat mengatasi permasalahan dan kebutuhan yang telah disepakati sebelumnya antara lain : strategi pengembangan permodalan, strategi pengembangan jaringan kerja sama, strategi peningkatan kapasitas sumberdaya manusia.
7.2.2 Strategi Pengembangan Permodalan Pengembangan
permodalan
pengusaha
ditempuh
dengan
menggunakan alternatif strategi dalam matriks analisis SWOT, antara lain : 1.
Mengakses permodalan dari lembaga keuangan yang belum dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi dan memenuhi pasar. (SO-3)
2.
Menyampaikan usulan program permodalan kepada dinas terkait secara partisipatif (SO-4)
65 3.
Mengangsur kredit yang macet dan mengusulkan penghapusan bunga pinjaman untuk mengembalikan kepercayaan BUMN dan Pemda agar bisa mengakses bantuan lunak untuk meningkatkan permodalan (WT-1)
4.
Mengoptimalkan pemanfaatan alat produksi dan tenaga kerja untuk meningkatkan produksi dan memenuhi permintaan pasar. (ST-2)
5.
Mengaktifkan kembali koperasi (KPPJ) untuk akses permodalan. (ST-4)
Dari 5 alternatif strategi pengembangan permodalan tersebut dipilih satu strategi prioritas yang diputuskan bersama dengan para pengusaha. Strategi yang dipilih adalah dengan mengaktifkan koperasi (KPPJ) untuk akses permodalan dari BRI melalui mekanisme kelompok (KPPJ).
7.2.3 Strategi Pengembangan Jaringan Kerjasama 1. Meningkatkan jaringan kerja sama dalam suplai bahan baku dan pemasaran dengan sistem kemitraan. (WT-2) 2.
Mengaktifkan kembali koperasi untuk
meningkatkan jaringan kerja sama
bahan baku (ST-4) Berdasarkan kesepakatan para pengusaha diputuskan bahwa alternatif strategi pengembangan jaringan kerjasama yang dipilih adalah altenatif pertama dengan meningkatkan jaringan kerja sama dalam pemasaran dengan sistem kemitraan.
7.2.4 Strategi Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia 1. Mengakses pelatihan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja (ST-1) 2. Menyampaikan usulan program pelatihan kepada dinas terkait secara partisipatif. (SO-4) 3. Mengakses pelatihan untuk meningkatkan kemampuan manajerial, kemampuan membangun jaringan dan pemasaran baru serta keterampilan. (WO-2) 4. Meningkatkan keterampilan agar dapat menyesuaikan mode dan memenangkan persaiangan. (WT-3) Strategi peningkatan kapasitas SDM yang dipilih bersama para pengusaha adalah
menyampaikan
usulan
program
pelatihan
kepada
(Diperindagkop) secara partisipatif. Hal ini dianggap paling
dinas
terkait
memungkinkan
66 dengan pertimbangan bahwa dengan usulan pelatihan tersebut, maka pelatihan yang diusulkan, materinya sesuai dengan kebutuhan para pengusaha. Pilihan tersebut didukung dengan informasi yang diperoleh pengkaji dari hasil wawancara dengan salah satu pejabat di Diperindagkop Kabupaten Pemalang yang mengatakan bahwa sejak otonomi daerah, pembinaan kepada industri kecil lebih diutamakan yang berdasarkan usulan dari bawah. Pada Gambar 3 digambarkan kerangka alur pemberdayaan pengusaha mikro konveksi dimulai dari
permasalahan,
strategi,
program
dan
hasil
yang
diharapkan.
67
Masalah
Modal Terbatas
Strategi
Pengembangan Permodalan
Pemasaran Terbatas
Pengembangan Jaringan Kerja Sama pemasaran
Kapasitas SDM rendah
Peningkatan Kapasitas SDM
Program
Hasil yang Diharapkan
Revitalisasi KPPJ
Akses Permodalan Meningkat
Menjalin Kemitraan dengan pedagang pakaian
Pelatihan Partisipatif
Akses Pemasaran di tingkat regional meningkat
Kapasitas SDM Meningkat
Gambar 3 Kerangka Alur Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo 67
68 7.3 Rancangan Program 7.3.1 Revitalisasi KPPJ 1. Latar Belakang Para pengusaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo mengalami permasalahan keterbatasan modal. Beberapa orang pengusaha pernah mendapatkan kredit bantuan lunak dari BUMN (PLN dan Krakatau Steel) maupun dari Pemda melalui Diperindagkop. Sebagian besar kredit mengalami kemacetan sehingga kredit bantuan lunak tidak dilanjutkan.
Hal tersebut
mengakibatkan salah satu peluang permodalan tertutup, padahal para pengusaha sangat membutuhkan tambahan modal untuk mengembangkan usahanya (menjaga kelangsungan produksi dan pengembangan jaringan pemasaran). Para pengusaha pernah mempunyai wadah organisasi berupa Asosiasi Pengusaha Pakaian Jadi (APPJ) dan Koperasi Pengusaha Pakaian Jadi (KPPJ). Selama tiga tahun terakhir, kedua organisasi tersebut vakum (tidak ada kegiatan). Dengan revitalisasi organisasi yang ada diharapkan para pengusaha dapat mengakses permodalan maupun bentuk jaringan kerja sama lain yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha. Langkah pertama yang ditempuh adalah membuat kesepakatan dan memutuskan organisasi mana yang lebih memungkinkan untuk direvitalisasi kembali guna mengakses permodalan dan jaringan kerja sama. Berdasarkan informasi dari salah satu pegawai bank, bahwa ada program dari bank yang memberikan kredit untuk usaha mikro dan kecil melalui kelompok. 2. Tujuan Berfungsinya kembali organisasi sebagai sarana untuk mengakses permodalan dan bentuk jaringan kerja sama lain yang bermanfaat bagi pengembangan usaha. 3. Pelaku / penanggung jawab :
Pengusaha dan Diperindagkop Kabupaten Pemalang
4. Tempat
:
Rumah
salah
satu
Kelurahan Purwoharjo 5. Waktu
:
Nopember 2006
6. Sumber dana
:
swadaya
warga
atau
balai
69 7. Tahapan kegiatan a. Persiapan Kegiatan ini diawali dengan mengumpulkan para pengusaha
(baik yang
pernah menjadi anggota maupun belum) dalam forum sarasehan membahas tentang usaha mikro yang mereka jalankan dengan mengangkat isu mengenai permodalan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu pegawai bank, bahwa ada program dari bank yang memberikan kredit untuk usaha mikro dan kecil melalui kelompok. Dalam kesempatan tersebut disampaikan gagasan dan informasi bahwa kelompok / organisasi bisa dijadikan sebagai alternatif untuk mengakses permodalan dan bentuk kerja sama lainnya. Jadi akses permodalan yang memungkinkan adalah mengajukan kredit atas nama organisasi. Langkah selanjutnya
adalah membuat kesepakatan dan
memutuskan kemungkinan mengaktifkan kembali koperasi (KPPJ) guna mengakses permodalan dan jaringan kerja sama.. b. Pelaksanaan 1) Mengevaluasi organisasi KPPJ secara objektif dari segi kelemahan dan kelebihannya. 2) Menciptakan komitmen bersama untuk menaati aturan main yang akan diciptakan
bersama
dan
menjadikan
koperasi
sebagai
solusi
dari
permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha. 3) Menyusun rencana rapat anggota dan menyusun rencana revisi ART. 4) Melaksanakan rapat anggota 5) Mengundang
dinas
terkait
(Diperindagkop)
dan
pihak
bank
untuk
memberikan bantuan pendampingan atau asistensi (pendampingan) berupa pemberian bimbingan teknis untuk mengakses kredit yang ditujukan kepada usaha mikro melalui mekanisme kelompok (koperasi). 6) Mengakses permodalan dengan organisasi yang baru.
7.3.2 Kemitraan dengan Pedagang Pakaian 1. Latar belakang : Program ini dilatarbelakangi oleh sistem pembayaran produk secara konsinyasi
yang
mempengaruhi
keberlangsungan
proses
produksi
selanjutnya. Bagi para pengusaha yang mempunyai modal terbatas hal ini
70 menjadi suatu permasalahan yang cukup mendesak penanganannya. Program kemitraan ini diharapkan bisa menjawab masalah bahan baku dan pemasaran tersebut. 2 Tujuan a. Pengusaha dapat memasarkan produknya dengan baik/ lancar dan dengan cara pembayaran yang dapat menjamin keberlangsungan proses produksi selanjutnya. b. Bertambahnya jaringan pemasaran produk pengusaha mikro konveksi di tingkat regional. c. Meningkatnya pendapatan para pengusaha sehinga para pengusaha mampu untuk
melaksanakan pemupukan modal dari hasil keuntungan
usahanya.
3. Pelaku
:
Para
pengusaha
konveksi,
Pengusaha
besar,
pedagang pakaian dan Diperindagkop 4. Tempat
:
Kegiatan dilaksanakan di tempat pedagang pakaian
5. Waktu
:
Bulan Nopember 2006 dan seterusnya
6. Sumber pendanaan :
Swadaya para pengusaha
7. Pelaksanaan a. Program dilaksanakan dengan mempertemukan antara pengusaha, pedagang pakaian dengan perantara Diperindagkop. Prinsip kemitraan adalah ”win win solution”, artinya para pihak sama-sama mendapatkan keuntungan. b. Melakukan pendekatan kepada pengusaha besar agar bersedia membantu dalam pemasaran. c. Peran Diperindagkop yang diharapkan adalah memberikan rekomendasi mengenai track record pengusaha (kelancaran pengangsuran kredit yang pernah didapatkan)
71 7.3.3 Pelatihan Partisipatif 1. Latar Belakang Tingkat pendidikan rata-rata pengusaha mikro konveksi yang rendah dan kurangnya pelatihan diidentifikasi sebagai salah satu masalah yang menyebabkan
usaha
yang
ditekuni
para
pengusaha
tidak
mengalami
perkembangan yang berarti. Kapasitas SDM yang rendah menjadi sumber beberapa permasalahan lainnya seperti kurangnya produktivitas, kurangnya kemampuan manajerial dan kurangnya kemampuan untuk mengembangkan jaringan kerja sama dan pemasaran. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi para pengusaha tersebut, sejalan dengan salah satu strategi yang dipilih yaitu peningkatan kapasitas SDM, maka rencana program yang dirancang dalam
diskusi
kelompok
terfokus
bersama
para
pengusaha
adalah
menyelenggarakan pelatihan partisipatif. Berbeda
dengan
pelatihan
yang
pernah
diselenggarakan
oleh
Disperindagkop kabupaten Pemalang dimana program pelatihan dirancang sepenuhnya oleh dinas (orang luar) dengan peserta yang terbatas (ditunjuk) maka dalam pelatihan partisipatif ini proses perencanaan dilakukan oleh pengusaha (calon partisipan) berdasarkan hasil diskusi yang dirumuskan bersama dalam bentuk usulan
kegiatan yang akan dikonsultasikan kepada
Diperindagkop. Hal ini sejalan dengan kebijakan Diperindagkop kabupaten Pemalang sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu pejabat di Diperindagkop kabupaten Pemalang pada saat wawancara,
bahwa bentuk
pembinaan yang dilaksanakan sekarang adalah mengutamakan usulan dari bawah, baik berupa bantuan modal, bantuan alat kerja, pembinaan maupun pelatihan. Judul rencana kegiatan tersebut adalah ”Pelatihan Partisipatif bagi Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo. 2. Tujuan Pelatihan partisipatif ini bertujuan untuk : a. Meningkatkan kemampuan para pengusaha dalam hal manajemen bisnis, yaitu bagaimana mengatur keuangan agar kebutuhan ekonomi dapat terpenuhi serta pemupukan modal bisa tetap berjalan. b. Meningkatkan
keterampilan
pemasaran
dengan
pemasaran yang belum pernah dicoba sebelumnya.
mempelajari
teknik
72 c. Meningkatkan motivasi para pengusaha dengan menanamkan jiwa wira usaha. d.
Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan jaringan kerja sama di bidang bahan baku, permodalan maupun pemasaran.
e. Meningkatkan keterampilan tenaga kerja dalam membuat model pakaian terbaru, menjaga kualitas produksi dan meningkatkan produktivitas 3. Penanggungjawab Program :
Diperindagkop kabupaten Pemalang
4. Partisipan
:
5. Waktu Pelaksanaan
:
Para pengusaha mikro konveksi dan tenaga kerjanya Agustus 2006 - Maret 2007
6. Sumber Pendanaan
:
APBD Kabupaten Pemalang Tahun 2007
Partisipan pelatihan ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu pengusaha mikro konveksi (tujuan 1-3) dan para tenaga kerja/ karyawan (tujuan 4). Sifat keikutsertaan pengusaha dalam kegiatan ini adalah sukarela (bukan keharusan dan bukan penunjukan), siapa yang berminat dan membutuhkan dipersilahkan untuk mendaftar. Tidak ada target jumlah partisipan namun diperlukan data konkret calon partisipan untuk keperluan penghitungan rencana anggaran dan persiapan lainnya. 7. Lokasi Pelatihan partisipatif
untuk pengusaha dilaksanakan di balai Kelurahan
Purwoharjo, sedangkan untuk para tenaga kerja dilaksanakan di rumah salah satu pengusaha yang ditentukan sesuai kesepakatan bersama dan kesediaan pengusaha yang bersangkutan. 8. Materi Berdasarkan usulan para pengusaha sesuai dengan kebutuhan mereka, materi pelatihan diharapkan terdiri dari : a. Pelatihan Manajemen keuangan yang berisi tentang cara pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien (kebutuhan keluarga terpenuhi dan pemupukan modal dapat dilaksanakan. b. Pelatihan kewirausahaan
untuk lebih menanamkan jiwa wira usaha di
kalangan para pengusaha sehingga menjadi pengusaha yang ulet dan tangguh. c. Pelatihan strategi pemasaran tentang trik bagaimana cara untuk dapat meraih peluang pasar.
73 d. Pelatihan
pengembangan jaringan kerja sama baik bidang bahan baku,
permodalan maupun pemasaran. e. Pelatihan keterampilan untuk tenaga kerja agar lebih produktif dan menghasilkan produk yang berkualitas. 9. Tahapan kegiatan a. Tahap Persiapan Sosialisasi kepada pengusaha lain (yang tidak dapat hadir dalam diskusi) tentangan rencana usulan kegiatan pelatihan untuk mendapatkan dukungan. Pendataan (calon partisipan) pengusaha yang berminat untuk mengikuti pelatihan.
Penyusunan
usulan
pelatihan
yang
dibutuhkan
oleh
para
pengusaha lengkap dengan usulan waktu, materi dan calon partisipan. Penyampaian usulan pelatihan kepada Diperindagkop dukungan
dengan
mengirimkan tembusan kepada Bupati Pemalang, Ketua DPRD, Kepala Bappeda, Asisten Ekonomi dan Pembangunan dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat untuk mendapatkan dukungan. Menjalin komunikasi dua arah secara dialogis antara para pengusaha dengan Diperindagkop Kabupaten Pemalang tentang pelatihan yang diusulkan untuk disinkronkan dengan prosedur pengusulan kegiatan/ proyek yang berlaku pada Diperindagkop. b. Tahap Pelaksanaan Pelatihan diselenggarakan selama 2 kali setiap hari Jum’at, disesuaikan dengan hari libur usaha mikro konveksi. Metode pelatihan yang digunakan : pemutaran film tentang usaha sejenis di tempat lain yang sudah maju, tukar pengalaman, diskusi, penyampaian materi dari pihak yang berkompeten (Diperindagkop Kabupaten Pemalang, kalangan perbankan dan pengusaha sukses). Demi tertibnya kegiatan, disusun jadual rinci rencana pelatihan.
74
Tabel 18 Kerangka Kerja Logis Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo N o
Strategi
Program
1
Pengembangan Permodalan
Revitalisasi KPPJ
2
Pengembangan Jaringan Kerja Sama
Menjalin Kemitraan dengan Pedagang Pakaian
3
Peningkatan Kapasitas SDM
Pelatihan Partisipatif
Kegiatan 1. Konsolidasi anggota 2. Evaluasi organisasi 3. Revisi AD/ ART 4. Rapat anggota 5. Mengundang pihak terkait 6. Mengakses permodalan melalui koperasi 1. Menyiapkan pertemuan para pihak 2. Pendekatan kepada pengusaha besar 3. Pemberian Rekomendasi oleh Diperindagkop 1. Penyusunan kebutuhan pelatihan oleh para pengusaha 2. Inventarisasi calon partisipan 3. Penyusunan usulan pelatihan kepada Diperindagkop 4. Pelaksanaan Pelatihan
Tujuan
Indikator
Pihak Terkait
Sumber Dana
Jadual
Akses permodalan melalui organisasi Koperasi
Keberhasilan mendapatkan kredit mikro melalui Organisasi Koperasi
Diperidagkop (utama) BRI (pendukung)
Swadaya
Nopember 2006
1. Meningkatnya jaringan pemasaran di tingkat regional
Terjalinnya jaringan baru dalam pemasaran
1. Diperindagkop (pendukung) 2. Pengusaha (utama) 3. Pedagang Pakaian (pendukung)
Swadaya
Nopember 2006
1. Diperindagkop (utama) 2. BRI (pendukung) 3. Pengusaha sukses (pendukung)
APBD Kabupaten Pemalang Tahun 2007
1. Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan pengusaha 2. Pengusaha berhasil membuat pembukuan administrasi keuangan usaha 3. Meningkatnya jaringan kerja sama dan pemasaran 4. Meningkatnya produktivitas tenaga kerja
Agustus 2006 - Maret 2007
74
1. Meningkatkan kemampuan manajemen usaha 2. Meningkatkan kemampuan mengembangkan jaringan kerja sama di bidang bahan baku, permodalan maupun pemasaran. 3. Meningkatkan keterampilan pemasaran 4. Meningkatkan keterampilan membuat model terbaru, menjaga kualitas produksi dan meningkatkan produktivitas
VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
8.1 Kesimpulan
Usaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo
yang memproduksi
celana kolor dihadapkan pada masalah bahan baku, permodalan dan kapasitas SDM
yang rendah. Pengusaha celana panjang dan seragam sekolah
dihadapkan pada masalah akses permodalan, pemasaran, jaringan kerja sama dan sumber daya manusia. Setelah dilaksanakan kajian maka dari berbagai permasalahan tersebut yang menjadi masalah prioritas adalah : (1) modal terbatas,(2) pemasaran terbatas, (3) kapasitas SDM rendah. Berdasarkan permasalahan dan faktor lingkungan usaha (internal dan eksternal), bersama pengusaha disusun rancangan strategi dan rancangan program secara partisipatif dan menghasilkan hal-hal sebagai berikut : 1. Strategi
Pengembangan
Permodalan
dengan
Program
Revitalisasi
Organisasi. 2. Strategi Pengembangan Jaringan Kerjasama dengan Kemitraan Pedagang bahan baku dan Pedagang Pakaian. 3. Strategi Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia dengan Program Pelatihan Partisipatif. Untuk mengembangkan usaha mikro konveksi dibutuhkan upaya secara partisipatif melalui saling
forum sarasehan atau diskusi sesama pengusaha untuk
tukar-menukar
informasi
dan
pengalaman
yang
berguna
untuk
pengembangan usaha. Dalam forum tersebut berpotensi tercipta suasana kebersamaan dan timbul kesadaran untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama. Timbulnya kesadaran tersebut merupakan langkah awal menuju keswadayaan masyarakat.
8.2 Rekomendasi 8.2.1 Diperindagkop Berdasarkan kesimpulan tersebut maka kepada Diperindag Kabupaten Pemalang perlu tetap melanjutkan kebijakan yang sudah berjalan yaitu memberikan prioritas pembinaan dan bantuan berdasarkan usulan dari bawah.
76 Membina komunikasi yang baik dengan para pengusaha dengan komunikasi dua arah secara dialogis. Memberikan informasi yang bermanfaat untuk perkembangan usaha misalnya informasi mengenai pameran perdagangan, informasi bantuan permodalan, informasi pelatihan serta pemberian kesempatan yang adil untuk seluruh pengusaha untuk mengakses dan memanfaatkannya. Informasi bisa disampaikan melalui media elektronik (RSPD Suara Widuri), media cetak (koran lokal/ Radar Tegal atau Suara Merdeka)
maupun surat
edaran kepada kelompok-kelompok pengusaha.
8.2.2 Pengusaha Mikro Konveksi Kepada para pengusaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo perlu lebih intensif memperhatikan pentingnya membahas kepentingan bersama dan melaksanakan program-program yang telah direncanakan disertai upaya serius membangun jaringan kerja sama dengan para pihak (pemerintah, pedagang dan lembaga keuangan) yang dapat menunjang keberhasilan kegiatan yang direncanakan tersebut.
Pengusaha celana kolor perlu lebih meningkatkan
jaringan kerja sama dalam pengadaan bahan baku untuk tetap menjaga pemasaran serta mengkses informasi pasar dan meningkatkan keterampilan tenaga kerjanya untuk dapat mengikuti mode dengan mengikuti pelatihan. Pengusaha celana panjang dan seragam sekolah agar meningkatkan akses permodalan dan pemasaran.
77
DAFTAR PUSTAKA
AKATIGA dan The Asia Foundation, 1999, Laporan Studi Monitoring Dampak Krisis, Bandung, Yayasan AKATIGA. Biro Pusat Statistik, 1993, Statistik Industri Kecil, Jakarta BPS Kabupaten Pemalang, Pemalang Dalam Angka Tahun 2004. Data Monografi Kelurahan Purwoharjo Tahun 2005 Semester I Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi, Laporan Penyaluran Kredit BUMN Tahun 2003 Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi, Potensi Industri Kabupaten Pemalang Tahun 2004. Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi, Kecamatan Comal Tahun 2004.
Potensi Industri Kecil
Eade, Deborah, 1997, Capacity Building, An Approach to People-Centred Development, United Kingdom and Ireland, Oxfam. Haryadi, Dedi, Erna Ermawati Chotim dan Maspiyati, 1998, Tahap Perkembangan Usaha Kecil (dinamika dan potensi pertumbuhan), Yayasan AKATIGA, Bandung. Jurusan Pengembangan Sosial Masyarakat, 2005, Manual Praktek Teknologi Pengembangan Masyarakat, STKS, Bandung. Kementerian KUKM, 2004, - www.depkop.go.id. Berita Resmi Statistik No. 21 / VII / 24 Maret 2004 diakses Senin, 12 Juni 2006 Kementerian KUKM, 2005, - www.depkop.go.id, Perkembangan Indikator Makro UKM Tahun 2005 Jumat, 16 September 2005 diakses Senin, 12 Juni 2006 Kementerian KUKM, 2005, - www.depkop.go.id, Renstra Kementrian KUKM 2004-2009, Jumat, 12 Agustus 2005 diakses Senin, 12 Juni 2006 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 316 / KMK.016/1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara Kerangka Nasional Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah, 2002, Depdagri –BAPPENAS. Lofland, John & Lyn H. Lofland, 1984, Analyzing Social Settings : A Guide to Qualitative Observation and Analysis, Belmont, Cal : Wads worth Publishing Company. Lyncoln, Yvona S., & Egon G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry, Sage Publications, Beverly Hills. Maskun, Sumitro, 1999, Pembangunan Desa dalam Sistem Pemerintahan yang Terdesentralisasi. Bahan Presentasi pada Lokakarya Pengembangan Kapasitas dalam Pembangunan Masyarakat Desa, Ditjen Depdagri, Jakarta, 17 Juli 1999.
78 Moleong, J Lexy, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Parsons, Ruth J, James D. Jorgensen dan Santos H Hernandez, 1994, The Integration of Social Work Practice, Brooks/Cole, California Patton, Michael Quinn, 1987, Qualitative Evaluation Methods, Sage Publications, Beverly Hills Pemda Kabupaten Pemalang, PERDA No 18 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri. Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1998 Tentang Usaha Kecil Rangkuti, Freddy, 2006, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Rapaport, J, 1984, Studies in Empowerment : Introduction to the Issue, Prevention in Human Issue, USA Sumodiningrat, Gunawan, 1996, Perlu Lembaga Keuangan Kerakyatan, Media KUK Edisi No. 18 Tahun ke-IV, Desember 1996 Syaukat, Yusman, Hendrakusumaatmaja, Sutara, 2005, Pengololaan Ekonomi berbasis Lokal., IPB Tambunan, Mangara, 1997, Usaha Kecil dalam Peta Ekonomi Indonesia (Pengantar Buku), IBI, Jakarta Thee, Kian Wie, 1996, “Mengembangkan Daya Saing Industri Kecil dan Menengah di Era Perdagangan Bebas” dalam Jurnal Analisis Sosial, Edisi No 2 / Februari 1996, Yayasan AKATIGA, Bandung. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 TAHUN 1995 Tentang Usaha Kecil Usman, Marzuki, Harry Seldadyo, 1997, Kiat Sukses Pengusaha Kecil, IBI, Jakarta Waluyo, 2005, Peta Sosial Kelurahan Purwoharjo Kecamatan Comal Kabupaten Pemalang. Widyaningrum, Nurul, Ratih Dewayani, Erna Ernawati Chotim, Isono Sadoko, 2003, Pola-pola Eksploitasi terhadap Usaha Kecil, AKATIGA, Bandung. Yaffey, M, 1992, Financial Analysis for Micro enterprises in Small Enterprise Development, vol 3
79 Lampiran 1
U
SKETSA KELURAHAN PURWOHARJO
B
T S
Jl A Yani
KE SEMARANG KE PEMALANG JAKARTA
Sungai Comal
Jl Gatot Subroto
Jalan Raya Jalan Kabupaten Drainase
Sungai Drainase Rel Kereta Api
80 Lampiran : 2 No Kuisioner : KUISIONER PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG TAHUN 2006 I 1 2 3 4
KARAKTERISTIK PENGUSAHA : : tahun : 1. Laki-laki 2. Perempuan : 1. tidak tamat SD 2. Tamat SD 3. Tamat SLTP 4. Tamat SLTA 5 Sarjana Pelatihan yang pernah diikuti : Modal awal yang dimiliki : Rp Jumlah tenaga kerja : .............orang Lama menjalankan usaha :............
II
PERMASALAHAN USAHA BAHAN BAKU Dari mana Bp/saudara memperoleh bahan baku ? 1. agen 2. grosir 3. pedagang kain 4. lainnya ... .
1
2 3
4
5 6
Nama Umur Jenis kelamin Pendidikan terakhir
Ada berapa tempat penjualan bahan baku ? 1. banyak 2. beberapa 3. satu yaitu ....... Jika hanya satu mengapa bisa begitu ? 1. tidak ada saingan 2.pemberian hak / ijin sebagai penyalur tunggal 3. lainnya... Jika banyak atau beberapa, adakah perbedaan harga bahan baku di satu tempat dengan tempat lain ? 1. ada 2. tidak ada Jika ada, apa sebabnya ? 1. persaingan usaha 2. perbedaan kualitas barang 3. lainnya... Jika tidak ada, apa sebabnya ? 1. Ada asosiasi suplayer bahan baku 2. lemahnya posisi tawar pengusaha konveksi 3. tidak terkoordinirnya pembelian bahan baku 4.lainya
Bagaimana para pengusaha membeli bahan baku ? 1. sendiri-sendiri 2. kolektif / dikoordinir 3. lainnya 8 Bagaimana cara pembeliannya ? 1. pesan 2. datang langsung 3 lainnya.. 9 Bagaimana cara pemesanan bahan baku ? 1. via telepon 2. pemesanan tertulis 3. tidak bisa pesan / langsung datang 4. lainnya… 10 Berapa tenggang waktu pemesanan dan pengiriman barang ? 1. 3 hari 2. seminggu 3. dua minggu 4 tak tentu 5.lainnya... 11 Bagaimana cara pembayarannya ? 1. tunai 2. bayar mundur 3. cek 4. uang muka dulu 5. lainnya... 12 Berapa uang muka yang dipersyaratkan ? 1. 25 % 2. 50 % 3. lainnya.. 7
81 13 Darimana dana untuk pembayaran bahan baku ? 1. modal sendiri 2. pinjaman 3. hasil penjualan produk 4. lainnya ... 14 Apakah pembayaran bahan baku lancar ? 1. lancar 2. kurang lancar 3. tidak tentu 4. lainnya... 15 Jika kurang, lancar kenapa ? 1. menunggu produk dibayar oleh pedagang 2. modal kurang terpakai untuk konsumsi 4. lainnya..... 16 Berapa banyak pembelian bahan baku ? 1. partai besar 2. partai kecil 3. tidak tentu 4.lainnya...
3. modal
17 Mengapa jumlah pembelian bahan baku tidak tentu ? 1. sesuai kebutuhan 2. sesuai jumlah dana yang dimiliki 3. lainnya ... 18 Adakah perbedaan harga, pembelian partai besar dan partai kecil ? 1. ada 2. tidak ada 3. lainnya.... 19 Apakah pernah mengalami kesuitan memperoleh bahan baku ? 1. tidak pernah 2. pernah 20 Jika pernah, kapan ? 1. menjelang lebaran 2. menjelang liburan sekolah 3. lainnya... 21 Mengapa bisa kesulitan ?. 1. Stok penyalur habis 2. ditimbun oleh suplayer 3. kesulitan transportasi 4. lainnya .... 22 Bagaimana cara pengambilan barang ? 1. diantar 2. diambil secara kolektif 4. sendiri-sendiri 5. lainnya........ 23 Jika diantar, siapa yang menanggung biaya transportasi ? 1. pedagang 2. pengusaha 3. lainnya….. 24 Berapa biaya transportasi setiap pembelian bahan baku ? 1. Rp 25.000 2. Rp 50.000 3. lainnya…. 25 Berapa jarak (km) lokasi usaha dengan tempat pembelian bahan baku ? 1. 5 > 2. 6-10 3. 11-20 4. 21< 26 Bagaimana transportasinya ? 1. banyak 2. sedikit 3. tidak ada 4. lainnya Berapa kali pembelian bahan baku dalam sebulan ? 1. satu kali 2. dua kali 3. tiga kali 4. tak tentu /tergantung kebutuhan 5. lainnya...
1 2
3 4
PERMODALAN Berapa modal awal yang dimiliki (juta) ? 1. < 1 2. 1-5 3. 5-10 4. 11< Darimana modal tersebut berasal/ diperoleh ?: 1. modal sendiri / keluarga 2. Pinjam /perorangan rentenir 3. Pinjam koperasi 4. Pinjam Bank 5. Bantuan kredit lunak pemerintah 6. yang lain .................... Berapa modal yang dibutuhkan untuk satu putaran produksi ? 1. – 1 juta 2. 1-5 juta 3. Lebih dari 5 juta Berapa putaran idealnya modal yang harus dimiliki agar usaha tetap dapat berjalan ? 1. 1 putaran 2. 2. putaran 3. 3 putaran 4. > 4 putaran
82 5
Berapa putaran kerja modal yang dimiliki sekarang? 1.satu kali putaran 2. dua kali putaran 3. tiga kali putaran 4. lebih dari 3 putaran 5. lainnya
6
Jika modal yang dimiliki kurang dari jumlah ideal, apa usaha yang ditempuh untuk menjaga keberlanjutan usaha ? 1. mencari pinjaman modal 2. usaha berhenti sementara 3. meminta uang muka 4. mencari jaringan pengadaan bahan baku 5. lainnya Kemana mencari pinjaman modal ? 1. kredit bank 2. kredit koperasi 3. program pinjaman lunak dari pemerintah 4. pinjam kepada perorangan 5. lainnya..... Jika semua allternatif peminjaman modal tersebut terbuka lebar, mana yang paling dipilih ? 1. kredit bank 2. kredit koperasi 3. program pinjaman lunak dari pemerintah 4. pinjam kepada perorangan 5. lainnya..... Kenapa lebih memilih .......? 1. bunganya lebih kecil 2. angsurannya ringan 3. persyaratannya lebih mudah 4. resikonya lebih kecil 5. lainnya...... Kapan terakhir kali melakukan pinjaman ? 1. 1 bulan yang lalu 2. 2 bulan yang lalu 3. 3 bulan yang lalu 4. lupa... 5. lainnya Bagaimana cara pengembaliannya ? 1. diangsur tiap bulan 2. dikembalikan tunai pada saat produk terjual 3. bebas yang penting lunas 4. lainnya... Apakah pembayaran angsurannya lancar ? 1. lancar 2. kurang lancar 3.macet 4. tak tentu 5. lainya... Apa sebab angsurannya kurang lancar? 1. usaha gagal 2. suku bunga terlalu tinggi 3.jangka kredit terlalu pendek 4. angsuran terlalu tinggi 5. lainnya. Apakah sanksi / akibat bila angsuran macet ? 1. tidak ada 2. denda 3. disita agunan 4. tidak bisa mengajukan kredit lagi 5. lainnnya... Berapa harga bahan baku menurut satuan yang berlaku pada penjualan bahan baku (Rp) ? ............................... Berapa kira-kira harga bahan baku untuk membuat 1 potong pakaian (Rp) ? ....................... Berapa upah tenaga kerja untuk setiap potong pakaian ? 1. seribu 2. dua ribu 3. ribu. 4.lainnya...... Berapakah biaya lain-lain untuk setiap potong pakaian selama proses produksi ? Berapa harga jual setiap potong pakaian ? ………………………………… Menurut Bapak, apakah usaha ini cukup menguntungkan (prospektif) untuk tetap dijalankan ? 1. ya 2. tidak 3. lainnya…… Jika tidak, apa alasan Bapak sehingga tetap menggeluti usaha ini ? ……………………………………. Adakah usaha lain selain konveksi ? 1. tidak ada 2. ada yaitu .... Bagaimana cara pengelolaan keuangan ? 1. bercampur 2. terpisah 3. yang lain ....................
7
8.
9
10
11
12 13
14
15
16 17 18 19 20
21 22 23
83
1 2 3 4 5
6 7
8
9
10 11 12 13 14 15
16
17 18 19
SUMBER DAYA MANUSIA Berapa jumlah tenaga kerja yang dimiliki ? 1. 1 - 4 2. 5 -19 3. 20 – 99 4. 100< Darimana tenaga kerja berasal ? 1. anggota keluarga 2. tetangga dekat 3. dari luar kampung 4. lainnya Bagaimana cara perekrutan tenaga kerja ? 1. dites 2. magang 3. lainnya.. Apa rata-rata pendidikan terakhir mereka ? 1. tidak lulus SD 2. lulus SD 3. SLTP 4. SLTA 5. lainnya... Bagaimana tenaga kerja memperoleh keterampilan menjahit ? 1. otodidak 2. kursus / pelatihan 3. lainnya.. Adakah pembagian tugas (spesialisasi dalam menjahit ) ? 1. tidak ada 2. ada yaitu ......... Bagaimana kemampuan/keterampilan tenaga kerja untuk membuat mode pakain terbaru ? 1. baik 2. sedang 3. kurang 4.lainnya.... Darimana informasi tentang mode terbaru diperoleh ? 1. dari pedagang 2. dari pengusaha lain 3. dari buku / majalah 4. dari televisi 5. lainnya..... Apa usaha yang pernah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan /keterampilan mereka ? 1. tidak ada 2. pelatihan / kursus 3. dibimbing teman kerja yang lebih terampil 4. lainnya..... Jika mengikuti kursus dimana mengikuti kursus ? 1. BLK Depnaker 2. Lembaga Pelatihan swasta 3. Lainnya.... Bagaimana sistem pembayaran tenaga kerja ? 1. mingguan 2. dua mingguan 4. bulanan 5. borongan 6 lainnya... Bagaimana standar pengupahan ? 1. terserah pengusaha 2. kesepakatan dengan pengusaha lain 3. lainnya Apakah pembayaran upah lancar ? 1. ya 2. tidak 3. tidak tentu 4. lainnya.... Apa sebabnya pembayaran upah tidak lancar ? 1. modal kurang 2. modal macet di pedagang 3. lainnya... Apa pendidikan terakhir Bapak ¿ 1. tidak tamat SD 2. tamat SD 3. SLTP 4. SLTA 5. Sarjana 6 .lainnya…….. Darimana Bapak mendapatkan kemampuan untuk mengelola usaha konveksi ini ? 1. otodidak 2. dari orang tua 3. kursus 4. lainnya………….. Apakah Bapak pernah mengikuti pelatihan tentang manajemen usaha ? 1. pernah 2. Belum pernah Kalau pernah, kapan dan dimana ? ………………. Siapa penyelenggaranya ? ……………..
84 TEKNIK & PROSES PRODUKSI 1 2 3 4 5 6 7
8
9
10
11 12
13 14
Apa saja peralatan yang dimiliki ? 1. mesin jahit 2. mesin obras 3. yang lain ..................... Berapa jumlah mesin jahit yang dimiliki ? 1. 5 buah 2. 6 – 10 buah 3. 11 – 20 buah 4. lebih dari 21 buah Bagaimana cara memperoleh mesih jahit ? 1. bantuan pemerintah 2. beli tunai 3. kredit 4 pinjaman ./ kerja sama Apakah sudah cukup memadai untuk melakukan usaha ? 1. sudah 2. belum Jika belum, apa usaha yang dilakukan ? 1. tidak ada 2. kredit 3. lainnya.... Berapa kapasitas produksi dalam 1 bulan ? 1. 10 kodi 2. 20 kodi 3. lainnya....... Apakah jumlah tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan pasar / pesanan ? 1. sudah 2. belum 3. lainnya.............. Bagaimana menjaga mutu ? 1. pengawasan proses produksi 2. penyortiran produk 3. lainnya.. Berapakah kapasitas produksi tiap bulan Siapa yang melakukan pengawasan atau penyortiran ? 1. pengusaha sendiri 2. keluarga 3. karyawan yang dipercaya 4. lainnya... Berapa macam produk konveksi yang dihasilkan ? 1. satu macam 2. beberapa macam 3. banyak macam 4. menurut pesanan 5. mengikuti tren pasar 6. lainnya..... Berapa kapasitas produksi dalam seminggu (kodi) ? 1. lima 2. sepuluh 3. lebih dari sepuluh 4 lainnya..... Bagaimana cara memperoleh informasi tren mode ? 1. ikut-ikutan pengusaha lain 2. menyesuaikan pesanan pedagang 3. lihat televisi 4. beli buku mode 5. lainnya.. Bagaimana kemampuan para karyawan untuk membuat model terbaru ? 1. baik 2. cukup 3. kurang 4.lainnya..... Bagaimana kemampuan karyawan menggunakan peralatan dengan teknologi baru ? 1. baik 2.cukup 3.kurang 4. tidak tahu 5. lainnya....
PEMASARAN Ke mana produk konveksi dipasarkan ? 1. pasar lokal 2. pedagang langganan 3. pasar luar daerah, yaitu ...... 4. lainnya… 2 Apakah ada ikatan kontrak dengan pedagang ? 1. Ada 2. tidak ada 3 Jika ada, dengan siapa ikatan kontrak dilakukan ? 1. pedagang lokal 2. pedagang luar kota 3. pengusaha lain 4. lainnya.... 4 Bagaimana sistem kontraknya ? 1. pengusaha sebagai pelaksana (menjahit), bahan baku dan pemasaran oleh pedagang. 1
85
5 6
7
8 9
2. Pedagang memasarkan seluruh produk pengusaha, bahan baku dari pengusaha. 3. lainnya.... Bagaimana bagi hasilnya (%) ? 1. 50 : 50 2. 45 : 55 3. 40 : 60 3. lainnya..... Siapa penentu harga ? 1. pengusaha konveksi 2. pedagang 3. mengikuti harga pasar 4. negosiasi / tawar menawar 5. yang lain ... Mengapa pedagang bisa sebagai penentu harga ? 1. pedagang penentu mode pesanan dan harga 2. Pengusaha tak punya langganan lain 3. sesuai isi kontrak 4.lainnya.. Jika tidak ada sistem kontrak, bagaimana cara pemesanan ? 1. via telepon 2. tertulis 3. datang langsung 4. lainnya.. Berapa uang muka yang dipersyaratkan ? 1. tidak ada 2. 25% 3. 50% 4. tergantung kesepakatan 5. lainnya
10 Bagaimana sistem pembayarannya ? 1. tunai 2. mundur 3. cek / giro /transfer 4. konsinyasi 5. uang muka/ bayar sebagian 6. lainnya.. 11 Berapa lama jangka mundurnya pembayaran ? 1. kurang dari 1 bulan 2. antara 1-2 bulan 3. lebih dari 3 bulan 4.lainnya.... 12 Bagaimana cara pengiriman barang ? 1. diambil langsung pedagang 2. dikirim langsung produsen 3. dipaketkan 4. lainnya... 13 Siapa yang menanggung biaya pengiriman ? 1. pedagang 2. produsen 3. tergantung kesepakatan 4. lainnya.... 14 Dalam usaha biasanya mengalami pasang surut, kapan biasanya bapak mendapatkan pesanan terbanyak ? 1. Tahun ajaran baru 2. hari raya 3. liburan sekolah 4. lainnya....... 15 Kapan pula pesanan sedikit ? 1. Tahun ajaran baru 2. hari raya 3. liburan sekolah 4. lainnya....... 16 Usaha apa yang pernah ditempuh untuk meningkatkan pemasaran ? 1. mengikuti pameran 2. memasang iklan 3. mendaftarkan merk 4. lainnya... 17 Jika mengikuti pameran, kapan dan di mana, siapa penyelenggaranya ? ............................................................ 18 Jika memasang iklan, dimana dan kapan ? ............................................................. 19 Apakah ada persaingan yang tidak sehat sesama pengusaha lokal ? 1. ada 2. tidak ada 3. tidak tahu 4. lainnya..... 20 Apa usaha yang ditempuh untuk memenangi persaingan ? 1. menjaga mutu 2. menekan harga 3. menekan biaya produksi 4. lainnya......
86 JARINGAN / KERJA SAMA
Apakah sudah terbentuk kelompok ? 1. sudah 2. belum 3. dalam proses 4. lainya 2 Apa bentuk kelompoknya ? 1. kelompok usaha bersama 2. paguyuban 3. koperasi 4. asosiasi 5. lainya. 3 Bagaimana sifat keanggotaannya ? 1. sukarela 2 wajib 3. lainnya... Apa tujuannya ? 4 1. memajukan usaha 2. kerukunan / sosial 3. lainnya 5 Apa bentuk kegiatannya ? 1. arisan 2 sarasehan 3. mengkoordinir pengadaan bahan baku dan pemasaran 4. simpan pinjam 5. lainnya.. 6 Apa bentuk bantuan yang sudah pernah diterima dari pihak luar ? 1. pinjaman lunak 2. pelatihan 3. pendampingan 4. lainnya.. 7 Darimana bantuan berasal ? 1. Pemerintah 2. LSM 3. Swasta 4. Lembaga donor 5. lainnya.... 8 Siapa yang menentukan bentuk bantuan ? 1. si pemberi bantuan 2. partisipatif / berdasarkan usulan pengusaha 3 lainnya.... 9 Apa saja jaringan kerja sama yang dimiliki? 1. bahan baku 2. modal 3. teknik produksi 4. pemasaran 5. lainnya...... 10 Apakah pernah mengikuti pameran ? 1. sudah 2. belum 11 Apakah pernah mengajukan kredit ke bank ? 1. sudah 2. belum 12 Apakah pernah menjalin kerja sama dengan pabrik tekstil ? 1. sudah 2. belum 1
87 Lampiran 3
KUISIONER SWOT PEMBERDAYAAN PENGUSAHA MIKRO KONVEKSI DI KELURAHAN PURWOHARJO KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG TAHUN 2006 1 2 3 4
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6 7 8 9
DATA RESPONDEN Nama : Umur : tahun Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan Pendidikan terakhir : 1. tidak tamat SD 2. Tamat SD 3. Tamat SLTP 4. Tamat SLTA 5 Sarjana
FAKTOR INTERNAL Alat produksi dan teknologi yang dimiliki Keterampilan dalam menggunakan alat baru dan membuat model pakaian terbaru Kualitas produk Letak tempat usaha Kepemilikan dan pemupukan modal Kemampuan Manajerial Kemampuan membangun jaringan dan pemasaran baru FAKTOR EKSTERNAL Ketersediaan bahan baku Keberadaan lembaga keuangan Sistem perdagangan (konsinyasi) Permintaan pasar terhadap produk Persaingan produk konveksi dari daerah lain Kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk usaha mikro (pembinaan dan permodalan) Ketersediaan tenaga kerja yang murah Sudah pernah terbentuk asosiasi dan koperasi Stigma negatif terhadap pengusaha oleh Pemda dan BUMN (kredit macet)
Bobot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Keterangan : Semakin besar bobot berarti semakin penting atau berpengaruh positif terhadap pengembangan usaha mikro. Faktor internal yang berbobot tinggi menjadi kekuatan. Faktor eksternal yang berbobot tinggi menjadi peluang.
88 Lampiran 4 Rata-rata Jawaban Kuisioner SWOT Faktor Internal Responden Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 No Pertanyaan Faktor Internal 1 2 3 4 5 6 7
Rata-rata kolom
1 7 3 6 7 4 4 4
Bobot Penilaian Responden Responden 2 3 4 5 6 7 8 5 8 7 6 8 7 4 4 4 6 4 5 3 2 7 8 8 6 8 7 6 8 7 8 5 8 7 5 4 5 6 5 5 6 3 4 5 6 6 7 5 4 3 5 5 4 6 6 4
Rata-rata Baris
Ket
6,67 4,00 7,11 6,89 4,33 5,11 4,67
S W S S W W W
9 8 5 8 7 6 5 5
5,54
Keterangan : rata-rata baris > rata-rata kolom = S (kekuatan) rata-rata baris < rata-rata kolom = W (kelemahan)
89 Lampiran 5 Rata-rata Jawaban Kuisioner SWOT Faktor Eksternal Responden Pemberdayaan Pengusaha Mikro Konveksi di Kelurahan Purwoharjo Tahun 2006 No Pertanyaan Faktor Eksternal 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 3 6 4 8 4 5 6 6 2
Bobot Penilaian Responden Responden 2 3 4 5 6 7 8 4 4 7 4 6 5 4 7 5 6 5 7 6 7 3 4 5 4 6 5 3 7 9 8 7 7 8 6 5 6 7 5 6 4 4 6 5 4 7 5 6 7 7 7 5 8 5 6 7 6 5 7 6 7 6 5 4 5 5 4 5 4 2
Rata-rata kolom
9 6 5 6 7 5 6 4 7 3
Rata-rata Baris
Ket
4,78 6,00 4,44 7,44 5,11 5,89 6,11 6,11 3,67
T O T O T O O O T
5,50
Keterangan : rata-rata baris > rata-rata kolom = O (peluang) rata-rata baris < rata-rata kolom = T (ancaman)
Lampiran 6
90
DOKUMENTASI KEGIATAN
Gambar 1
Proses Produksi di tempat salah seorang responden
Lampiran 6
Gambar 2
91
Proses Produksi di tempat salah seorang responden
Lampiran 6
92
Gambar 3
Gambar 4
Salah seorang responden sedang mengawasi karyawannya
Pedagang sedang melakukan transaksi di tempat salah satu responden