PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL MELALUI SISTEM PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL GUNA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH Prasetyo Hadi Purwandoko Ayub Torry Satriyo Kusumo Abstract The main subject in this study is to understanding the empowerement of local community through the protection system of Traditional Knowledge in Indonesia, analyzing the prospect of protection management upon traditional knowledge for Indonesian economic life. The data used in this doctrinal research is secondary data, collected by both printed electronic materials. The data was beeing analyzed by non-statistically with the using of deductive methods. This study used the juridical approach. The results of this study is the empowerement of the local community through the protection of traditional knowledge in the form of law and non law. Intellectual property right is one of the protection model included in the form of law. The traditional knowledge protection through intellectual property right is important because intellectual property right can give commercial vallues, but the problem is because of there is no particular rule governing the traditional knowledge in intellectual property right area. Keywords: Traditional knowledge, Intellectual Property Rights
A.
Pendahuluan Traditional knowledge atau pengetahuan tradisional merupakan salah satu isu menarik yang berkembang dalam lingkup kajian HKI. Traditional knowledge merupakan kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat adat/ asli/ tradisional. Traditional knowledge ini mencakup banyak hal mulai dari sistem pengetahuan tradisional, karyakarya seni, karya sastra, filsafat, obat-obatan, hingga apa yang dikenal sebagai indigenous science and technology. Hal menarik dari kekayaan intelektual tradisional adalah kekayaan intelektual tersebut belum terakomodasi oleh pengaturan HKI, khususnya dalam lingkup internasional. Paradigma dalam melihat suatu karya tradisional di negara berkembang cenderung berubah karena belum terakomodasinya kekayaan intelektual tradisional dalam pengaturan HKI . Bermula dari suatu obyek yang perlu tetap dijaga “kegratisannya” menjadi obyek yang bernilai ekonomis. Negara yang merasa memiliki kekayaan budaya dan sumber daya alam mulai melihat bahwa traditional knowledge harus dioptimalkan dalam kompetisi perdagangan di tingkat internasional. Perlindungan Pengetahuan Tradisional (Prabuddha Ganguli, 2001: 132; Cita Citrawinda, 2005: 120) telah menjadi isu yang sangat mendesak bagi Indonesia karena sebagian besar keuntungan ekonomi dari perdagangan internasional mengenai warisan asli (tradisional) dinikmati oleh pihak-pihak
dan institusi bukan penduduk asli. Dalam lima tahun terakhir terdapat peningkatan kesadaran atas pentingnya perlindungan bagi pengetahuan tradisional yang dianggap sebagai warisan yang dimiliki oleh masyarakat terhadap eksploitasi yang semena-mena dari pihak luar, khusunya eksploitasi dengan tujuan komersial. Ada anggapan bahwa untuk hal-hal tertentu, sistem HKI yang ada sekarang ini cenderung memihak mereka yang memiliki teknologi tinggi dan “mengorbankan” pemilik sejati kekayaan intelektual. Kesadaran pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional yang merupakan warisan masyarakat asli harus direalisasikan melalui berbagai kebijakan mengingat banyaknya eksploitasi untuk tujuan komersial tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat setempat/penduduk asli ataupun tanpa adanya benefit sharing (pembagian keuntungan). Pengalaman telah menunjukkan bahwa upaya perkembangan yang mengabaikan pengetahuan asli, pengetahuan sistem lokal dan lingkungan setempat pada umumnya gagal mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan (baca Cita Citrawinda P. Noerhadi, 2005: 20). Masyarakat yang hidup di luar urban area termasuk di dalamnya masyarakat adat/ asli/ tradisional, tentunya menghadapi berbagai konsekuensi penerapan sistem HKI tersebut. Karya-karya seni tradisional dan teknik-teknik tradisional yang telah lama “hidup” dalam
62 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
masyarakat adat/ asli/ tradisional tersebut dianggap sebagai suatu aset yang bernilai ekonomis. Terdapat beberapa kasus HKI terkenal yang obyek atau sumber perselisihan hukumnya traditional knowledge. Contohnya, pembatalan paten Shiseido atas ramuan tradisional Indonesia dan kasus paten basmati rice antara India dan perusahaan multinasional (MNC) Amerika (Agus Sardjono, 2005: 26). Sistem perlindungan pengetahuan tradisional itu dapat dilakukan dengan ketentuan traditional knowledge konvensional dan menggunakan mekanisme hukum tradisional (exisiting legal mechanisms) seperti kontrak, pembatasan akses (acces restriction) dan hak kekayaan intelektual . B. 1.
Tinjauan Pustaka Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan terjemahan dari empowerment, sedang memberdayakan terjemahan dari empower. Menurut merriam Webster dan Oxford English Dictionary, kata empower mengandung dua pengertian, yaitu: (1) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; (2) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan. Didalam UU. Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat luas guna membantu masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik “. Disisi lain visi pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat. (Penjelasannya adalah bahwa kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi dinamis yang memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya berdasarkan potensi, kebutuhan aspirasi dan kewenangan yang ada pada masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh pemerintah dan seluruh stakeholders pemberdayaan masyarakat). Disamping visi pemberdayaan masyarakat juga mempunyai misi yaitu: “mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri “, melalui : a. Peningkatan keswadayaan masyarakat. b. Pemantapan nilai-nilai sosial budaya masyarakat. c. Pengembangan usaha ekonomi masyarakat d. Peningkatan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan. e. Peningkatan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat adalah: “Mengembangkan kemandirian masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya, melalui pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan lingkungan hidup” Strategi Pemberdayaan Masyarakat adalah : a. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. b. Pengembangan aspirasi dan partisipasi masyarakat. c. Pengorganisasian dan pelembagaan masyarakat. d. Pemberdayaan Masyarakat perkotaan dan pedesaan. e. Berpihak pada pengembangan ekonomi rakyat. f. Pendekatan lintas sektor dan program. g. Mendayagunakan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 2.
Telaah Singkat Hak Kekayaan Intelektual HKI merupakan kekuatan dari kreatifitas dan inovasi yang diterapkan melalui ekpresi artistik, dalam hal ini merupakan sumber daya potensial intelektualitas seseorang yang tidak terbatas dan dapat diperoleh oleh semua orang. HKI merupakan suatu kekuatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan martabat seseorang dan masa depan suatu bangsa, secara material, budaya dan sosial. Secara substantif pengertian HKI dapat dideskripsikan sebagai hak kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Karya-karya intelektual tersebut di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra ataupun teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya danya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai, apabila ditambah dengan manfaat ekonomi
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
63
yang dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi kekayaan (property) terhadap karya-karya intelektual. Bagi dunia usaha, karya-karya itu dikatakan sebagai aset perusahaan, dengan demikian hal ini lahir karena kemampuan intelektual manusia. Dalam konvensi World Intellectual property Organization (WIPO), IPR (HKI) diartikan: Intellectual property right is defined as “intellectual property shall include the rights relating lo: leterary, artistic and scientific works, inventions in all fields of human endeavor, scientific discoveries, industrial designs, trademarks, service makrs, and commercial names and designations, protection against unfair competition and all other rights from intellectual activity in the industrial, scientific or artistic fields” (Article 2) Selanjutnya dalam Perjanjian TRIPS / World Trade Organization dinyatakan: “Intellectual property is defined as “The term intellectual property” refers to all categories of intellectual property that are subject of section 1 through 7 of part II” (Article 1(2)). And…, copyright and related rights (Section 1), trademarks (Section 2), geographical indications (Section 3), industrial designs (Section 4), patents (Section 5), layout designs of integrated circuits (Section 6), and protection of undisclosed information (Section 7) are stipulated in the Agreement. Di Jepang HKI diartikan (Sadayuki Hosai, 2001: 2), The world “intellectual property” is usually used to refer generally to mental works created through intellectual human activities, such as industrial property, including” a patent, a utility model, a design and a trademark, “and copyright Berdasarkan hal diatas, maka HKI adalah segala sesuatu yang diciptakan melalui kegiatan intelektual seseorang. HKI juga dapat diartikan sebagai hak milik yang berasal dari kemampuan intelektual yang diekspresikan dalam bentuk ciptaan hasil kreativitas melalui berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, desain dan sebagainya (Lihat juga Muhammad Jumhana dan R Djubaedillah, 1993: 16, Saidin, 1997: 9, Akira Okawa, 1997: 1) Zaid Hamzah dalam bukunya yang berjudul “Intellectual Property Law & Strategy” mengungkapkan (Zaid Hamzah, 2007: 19-121). Intellectual Property is society’s recognition of intellectual efforts. It is monopoly granted in exchange for the contribution of 64 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
intellcetual creation to the society. It is an intangible property. The use IP by third party does not disaprove the own of his right of enjoyment. As such, an IP right is a right to restrain others from using the right. The extent of this right is dependent upon the scope of the ablity granted by the law to restrain its us. The wider the scope given, the greater the monopoly an IP owner has. An IPR is a proprietary right which a person may exert over the use of his own intelligence. In so exerting this right, the person claims for himself a basic to protect his intelligence from being used by other without his permission. Through the growth and evolvement of law, this tight has become enforceable under the law of IPRs almost globally Ditinjau dari cara perwujudannya, HKI sebenarnya berbeda dari objek berwujud lainnya. Contohnya, Hak Cipta suatu lukisan adalah kekayaan yang terpisah dan kepemilikan kanv as lukisannya. Jika seseorang membeli sebuah buku, orang itu memiliki buku tersebut secara fisik, tetapi tidak memiliki Hak Cipta yang ada di dalam buku yang telah dibeli tersebut. Hal ini dapat digambarkan dalam kasus yang melibatkan seseorang pengarang terkenal yang bernama Charles Dickens (Baca Tim Lindsey, 2002: 45). Kebanyakan rezim HKI modern tidak sesuai untuk memberikan perlindungan terhadap bentuk-bentuk warisan budaya yang tidak berwujud yang sudah tidak rahasia lagi. Misalnya, Hak Cipta mensyaratkan identitas pengarang-pengarang tertentu, pelestarian karya ke dalam bentuk nyata, dan hanya menyediakan perlindungan bagi klaim individu daripada kolektif. Oleh karena itu, karya-karya pedesaan yang bersifat tradisional yang tidak memiliki karakteristik seperti tersebut di atas tidak dapat dilindungi. Masalah ini akan dibahas lebih rinci di dalam bab-bab selanjutnya. Beberapa Negara seperti Amerika telah memperkenalkan hukum Anti Monopoli yang mencoba mengisi beberapa jurang pemisah dalam kaitannya dengan perlindungan yang tidak tercakup dalam hukum HKI sehingga penghargaan dapat diberikan kepada orangorang yang telah menanamkan modalnya untuk mendapatkan informasi atau mencipta sesuatu yang untuk alasan-alasan tertentu tidak dapat dilindungi berdasarkan prinsipprinsip tradisional HKI. Indonesia mungkin mempunyai sebuah peraturan yang serupa di
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya. Hukum HKI merupakan suatu fenomena yang relatif baru bagi hampir semua negara, tidak hanya negara-negara berkembang. Hukum HKI terpaksa (dan biasanya gagal) mengikuti perkembangan teknologi yang dibawa oleh para inventor dan teknologi computer dan internet sebagai usaha untuk melindungi kepentingan pencipta. Para hakim juga sering berjuang untuk menyesuaikan ciptaan dan invensi yang baru ke dalam prinsip-prinsip dasar dan tradisional muncul dan selalu berubah-ubah dan mengatur antara apa yang dapat dan apa yang tidak dapat dilindungi, oleh karena itu hukum HKI adalah satu dari cabang hukum yang paling banyak dikritik. Inisiatif untuk mengadakan pembaharuan terus diusulkan oleh para ahli di seluruh dunia. Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut, HKI merupakan istilah umum hak eksklusif yang diberikan sebagai hasil yang diperoleh dari kegiatan intelektual manusia dan sebagai tanda yang digunakan dalam kegiatan bisnis, dan termasuk ke dalam hak tak berwujud yang memiliki nilai ekonomis (baca JICA Team, 2002: 1). HKI adalah system yang memberikan apresiasi kepada para inventor, pendesain, pencipta dan pemegang karya intelektual lain. Hal ini tidak lain merupakan insentif (dan tentu saja kompensasi) bagi tumbuhnya karya-karya yang bermanfaat dan sangat diperlukan oleh masyarakat luas (baca A. Zen Umar Purba, 2001: 1). Inovasi teknologi sebagaimana peningkatan kekuatan ekonomi sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan masyarakat dan pengembangan industri. Inovasi teknologi dapat mendatangkan kemakmuran bagi kehidupan masyarakat, dan pengembangan teknologi mendorong pertumbuhan masyarakat (baca JICA Team, 2003: 1). Menurut Don Tapscot, HKI diibaratkan sebagai berikut. The new economy is a knowledge economy and the key assets of every firm become intellectual assets. Dengan demikian, ekonomi baru ialah suatu ekonomi pengetahuan. Aset kunci setiap perusahaan adalah asset intelektual yang dimilikinya. Kekayaan Intelektual telah berubah dari bidang hukum dan bisnis yang sepi menjadi salah satu mesin penggerak ekonomi teknologi tinggi. (New York Times, 9 April
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
1999). Pengembangan hak kekayaan intelektual pada hakekatnya merupakan pengembangan sumber daya manusia (“SDM”). Hal ini disebabkan oleh karena hak kekayaan intelektual (selanjutnya disingkat HKI) berurusan dengan produk dan proses yang berkaitan dengan olah pikir manusia. Dengan pengembangan sistem hak kekayaan intelektual diharapkan akan berkembang pula SDM terutama terciptanya budaya inovatif dan inventif. Hal ini sangat penting dikaitkan dengan kenyataan, bahwa walaupun kekayaan atau sumber daya alam (“SDA”) berlimpah, kita masih “begini-begini” saja bahkan mundur, dan tingkat kemiskinan makin bertambah (A. Zen Umar Purba, 2002:1). Hal ini sesuai editorial The Washington Post, 28 April 2001 yang menyatakan: “… if there is one lesson in the past half century of economic development, it is that natural resources do not power economies, human resources do” (jika ada pelajaran selama setengah abad yang lalu mengenai perkembangan ekonomi adalah bahwa sumber daya alam tidak menggerakkan ekonomi; sumber daya manusia yang melakukan itu). Hal ini secara singkat dapat diartikan bahwa Sumber Daya Manusia (yang potensial menghasilkan kekayaan intelektual) lebih penting daripada Sumber Daya Alam. Para ahli ekonomi selama bertahuntahun telah mencoba memberikan penjelasan mengenai adanya sebagian perekonomian yang dapat berkembang pesat, ada yang tidak. Secara umum disepakati bahwa HKI memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi saat ini. Akumulasi dari ilmu pengetahuan merupakan kekuatan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Bagi negara yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya, maka kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat haruslah mendorong investasi di bidang penelitian, pengembangan dan mensubsidi program untuk pengembangan sumber daya manusia. (Baca Kamil Idris dalam Prihaniwati, 2004:2). Keberadaan HKI dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HKI juga merupakan sesuatu yang given dan inheren dalam sebuah masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
65
yang mau tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI (http// :www.dgip.go.id). Secara umum ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari sistem HKI yang baik, yaitu (Prihaniwati, 2004:2): 1) meningkatkan posisi perdagangan dan investasi., 2) mengembangkan teknologi, 3) mendorong perusahaan untuk bersaing secara internasional, 4) dapat membantu komersialisasi dari suatu invensi, 5) dapat mengembangkan sosial budaya, dan dapat menjaga reputasi internasional untuk kepentingan ekspor. Menjelang era perdagangan bebas masalah HKI telah menjadi isu yang strategis. Adanya globalisasi ekonomi terutama bidang perdagangan dan industri berarti pula globalisasi HKI. Hal ini mengakibatkan negaranegara berkembang akan menjadi sasaran penerapan HKI milik negara-negara maju. Berdasarkan hasil penelitian para ahli UNESCO ternyata negara-negara majulah yang telah mendahulukan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, dengan demikian HKI mempunyai peran yang sangat penting di dunia internasional, oleh karena itu setiap negara wajib melindungi kreasi manusia (human creativity) untuk lebih mendorong kemajuan di bidang IPTEK dan seni. HKI memang sulit didefinisikan, namun demikian dari istilah tersebut dapat diketahui bahwa hak tersebut merupakan hak yang berasal dari kekayaan intelektual seseorang, jadi dapat dikatakan bahwa HKI ialah hak milik yang berasal dari kemampuan intelektual yang di ekspresikan dalam bentuk ciptaan hasil kreativitas melalui berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, desain, dan sebagainya. HKI sebagai terjemahan Intellectual Property Rights (IPR), menurut WIPO (The World Intellectual Property Organization) secara garis besar meliputi dua cabang yaitu: a. Hak Cipta (Copyright), dan b. Hak Atas Kekayaan Industri (Industrial Property Right) yang terdiri atas: 1) Paten (Patent) 2) Merek (Mark) 3) Desain Produksi Industri (Industrial Design); 4) Penanggulangan Praktek Persaingaan Curang (Repression of Unfair Competition Practices). Berdasarkan Bab II Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Includ66 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
ing Trade in Counterfeit Goods (TRIPs), HKI meliputi: a. Hak Cipta (Copyright) dan Hak-hak yang terkait lainnya; b. Merek (Mark); c. Indikasi Geografis (Geographical Indication); d. Desain Produksi Industri (Industrial Design); e. Paten (Patent); f. Rangkaian Elektronika Terpadu (Lay Out Design of Integrated Circuit); g. Perlindungan Rahasia Dagang (Undisclosed Information/Trade Secret); h. Pengendalian terhadap Praktek Persaingan Curang/tidak sehat (Repression Unfair Competition Practices). HKI termasuk hukum kebendaan yang tidak berwujud (intangible assets) terdiri atas industrial property rights (hak milik perindustrian) dan copyrights (Hak Cipta). Berdasarkan realita, sulit untuk membedakan pembagian tersebut karena sering menyatu satu sama lain dalam suatu produk atau obyek tertentu (baca Insan Budi Maulana, 2007: 6). Pengembangan sistem HKI nasional tidak hanya melalui pendekatan hukum (legal approach) tetapi juga teknologi dan bisnis (business and technological approach), namun demikian konsepsi HKI memang kelihatan kental dengan pendekatan hukum. hal ini menjadi sesuatu yang logis, karena apabila mengkaji HKI pada akhirnya semua akan bermuara pada konsep hukum, terutama yang menyangkut upaya memberikan perlindungan hukum terhadap hasil-hasil karya intelektual. Perlindungan HKI sendiri lebih dominan pada perlindungan individual, tetapi untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem HKI mendasarkan pada prinisp (Budi Agus Riswandi, 2004:32) prinisp keadilan (the principle of natural justice), prinsip ekonomi (the economic argument), prinsip kebudayaan (the cultural argument), prinisp sosial (the social argument) 3.
Tinjauan umum tentang Traditional Knowledge Istilah dan Definisi Traditional Know-ledge Istilah traditional knowledge sebenarnya dapat diterjemahkan sebagai pengetahuan tradisional. Menurut George Hobson, peraih the Northern Science Award, traditional knowledge merupakan bagian dari ilmu pengetahuan
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
(science). Istilah pengetahuan tradisional digunakan untuk menerjemahkan istilah traditional knowledge, yang dalam perspektif WIPO digambarkan mengandung pengertian yang lebih luas mencakup indigenous knowledge dan folklore. Berikut ungkapannya: “Indegenous knowledge would be therefore part of the traditional knowledge category, but traditional knowledge is not necessarrily indigenous. That is to say, indigenous knowledge is traditional knowledge, but not all traditional knowledge is indigenous”. Istilah “tradisional” seringkali dilawankan dengan istilah “modern”. Gordon Christie dalam Osgoode Halla Law Journal, tidak menyetujui mempertentangkan istilah tradisional dengan modern karena, lebih dipengaruhi oleh pandangan Eurocentrism (Agus Sardjono, 2006: 1). Istilah traditional knowledge merupakan istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi, knowhow yang secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi unit social. Traditional knowledge mulai berkembang dari tahun ke tahun seiring dengan pembaruan hukum dan kebijakan, seperti kebijakan pengembangan pertanian, keanekaragaman hayati (biological diversity), dan kekayaan intelektual (intellectual property) (Budi Agus Riswandi & M. Syamsudin, 2004:27). Dalam perdebatan internasional tentang pengertian traditional knowledge, beberapa terminologi/ istilah yang sering dinyatakan termasuk: “traditional knowledge, innovations and practices” (dalam konteks perlindungan dan pemanfaatan sumber daya biologis); “heritage of indigenous peoples” dan “indigenous heritage rights”; “traditional medicinal knowledge” (dalam konteks kesehatan); “expressions of foklore” (dalam konteks perlindungan kekayaan intelektual); “folklore” atau “traditional and popular culture” (dalam konteks pelestarian budaya tradisional); “intangible culture heritage”; “indigenous intellectual property” dan “indigenous cultural and intellectual property”; “traditional ecological knowledge” dan “traditional and local technology, knowledge, know-how and practices” (Ign. Subagjo, 2005:1) lmu pengetahuan “barat” selama ini didefinisikan sebagai ilmu yang menggunakan pendekatan yang sistematis dan metodologis dalam menjawab suatu permasalahan, serta mengandung prinsip dapat diulang (repeatability) dan dapat diprediksi (predictability). Berdasarkan pengertian tersebut, traditional
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
knowledge sebenarnya juga adalah ilmu pengetahuan, meskipun banyak pihak (ilmuwan barat) yang menolaknya dengan alasan traditional knowledge tidak bersistem dan bermetode. Suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai traditional knowledge manakala pengetahuan tersebut (M Zulfa Aulia: 2006, 20): 1) diajarkan dan dilaksanakan dari generasi ke generasi, 2) merupakan pengetahuan tentang lingkungannya dan hubungannya dengan segala sesuatu, 3) bersifat holistik, sehingga tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang membangunnya, 4) erupakan jalan hidup (way of life), yang digunakan secara bersama sama oleh komunitas masyarakat, dan karenanya disana terdapat nilai-nilai masyarakat). Definisi baku mengenai traditional knowledge sampai saat ini masih menjadi perdebatan, bahkan dalam lingkup internasional dan sangat tergantung pada karakteristik dan keadaan-keadaan khusus di suatu negara. Salah satu definisi yang banyak diacu orang adalah yang ditetapkan World Intellectual Property Organization (WIPO), yaitu: “Traditional based literary, artistic or scientific works, performances, inventions, scientific discoveries, designs, marks, names and symbols, undisclosed information and all other tradition-based innovations and creations resulting form intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields”. Berdasarkan pada hal tersebut maka, “Pengetahuan tradisional mengacu pada sastra yang berupa budaya; karya seni atau ilmiah; pementasan; penemuan-penemuan; penemuan ilmiah; desain; merek; nama dan simbol-simbol; rahasia dagang dan inovasiinovasi yang berupa budaya dan ciptaanciptaan yang merupakan hasil kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmu pengetahuan, seni dan sastra”. Berbasis tradisi yaitu berkenaan dengan sistem-sistem pengetahuan, ciptaan-ciptaan, inovasi-inovasi dan ekspresi kebudayaan yang biasanya telah diteruskan dari generasi ke generasi dan biasanya dipandang berkenaan dengan suatu masyarakat khusus atau wilayahnya yang biasanya telah dikembangkan dengan cara non sistematis dan secara terus-menerus berkembang sebagai reaksi terhadap perubahan lingkungan. Berdasarkan pada pengertian dan penjelasan traditional knowledge yang diberikan oleh WIPO tersebut maka dapat
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
67
diketahui yang dimaksud dengan traditional knowledge adalah pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat lokal atau daerah yang sifatnya turun temurun. Pengertian traditional knowledge dapat dilihat secara lengkap lagi dalam Article 8 J Traditional Knowledge, Innovations, and Practices Introduction yang menyatakan. “Traditional knowledge refers to the knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities around the world. Developed from experience gained over the centuries and adapted to the local culture and environment, traditional knowledge is transmitted orally from generation to generation. It tends to be collectively owned and takes the from of stories, songs, folklore, proverbs, cultural values, beliefs, ritual, community laws, local language and animal breeds. Traditional knowledge is mainly of a practicalnature, particularly in such fields as agriculture, fisheries, health, holticulture and forestry”. The Director General of United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization mendefinisikan traditional knowledge : “The indigenous people of the world posess an immense knowledge of their environments, based on centuries of living close to nature. Living in and from the richness and variety of compelx ecosystems, they have an understanding of the properties of plants and animals, the functioning of ecosytems and the techniques for using and managing them that is particular and often detailed. In rural comunities in devloping countries, locally occurring species are relied on for many-sometimes all-foods, medicines, fuel, building materials and other products. Equally, people is knowledge and perceptions of the environment, and their relatonships with it, are often important elements of cultural identity”. Disisi lain masyarakat asli sendiri memiliki pemahaman sendiri yang dimaksud traditional knowledge. Menurut mereka traditional knowledge adalah (Budi Agus Riswadi dan M.Syamsudin, 2005: 29): a. Traditional knowledge merupakan hasil pemikiran praktis yang didasarkan atas pengajaran dan pengalaman dari generasi ke generasi. b. Traditional knowledge merupakan pengetahuan di daerah perkampungan. c. Traditional knowledge tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemegangnya, meliputi kesehatan, spiritual,
68 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
budaya dan bahasa dari masyarakat pemegang. Hal ini merupakan way of life. Traditional knowledge memberikan kredibilitas pada masyarakat pemegangnya. C.
Metode Penelitian Penelitian ini jika dilihat dari sumber datanya merupakan penelitian doktrinal/normatif (studi kepustakaan), sedangkan jika dilihat dari sifatnya, merupakan penelitian deskriptif. Oleh karena itu, penelitian ini juga merupakan Penelitian kepustakaan (Library Research). Lokasi penelitian dilaksanakan di berbagai perpustakaan yang menyimpan data yang berkaitan dengan pokok permasalahan, yaitu : Perpustakaan Kementrian Perindustrian dan Perdagangan RI, khususnya Direktorat Hubungan Ekonomi Luar Negeri di Jakarta; Perpustakaan Kementrian Luar Negeri dan Kementrian Pertanian di Jakarta; Perpustakaan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK), Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta; Perpustakaan Pascasarjana Prog. Studi Hukum UNPAD di Bandung; Perpustakaan Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia; Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta; Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; Kantor Diterktorat Jenderal HKI Kementrian. Hukum dan HAM RI di Jakarta, Kantor Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) RI; Cyber media atau internet (website) Jenis data dalam penelitian ini merupakan data sekunder . Sumber data dalam penelitian ini ialah sumber data sekunder, dan dibedakan dalam bahan hukum primer, sekunder, tersier. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumenter, jadi dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data sekunder di lokasi penelitian dengan jalan mengkaji persoalan-persoalan yang bersangkutan dengan masalah yang diteliti, selanjutnya mengkonstruksikan secara sistematis sehingga menjadi data yang siap dianalisis. Selain studi pustaka, penelitian ini dilakukan juga melalui cyber media, yaitu dengan mencari informasi dan berita-berita tentang masalah yang berkaitan dengan penelitian ini melalui internet. Di dalam penelitian hukum normatif/ doktrinal ini tehnik analisis data yang digunakan adalah content analysis (tehnik analisis isi). Setelah memperoleh data yang diperlukan, penulis menganalisis data secara logis, sistematis dan yuridis.
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
D. 1.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Pemberdayaan masyarakat lokal melalui Sistem Perlindungan Traditional Knowledge Umumnya jika dicermati permasalahan penegakan hukum di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga bagian permasalahan mendasar, yaitu: pertama, dari aspek substansi, traditional knowledge belum diatur secara tegas, baik dari segi substansi maupun prosuderal untuk mendapatkan perlindungan hukumnya, kalaupun ada sifatnya masih simbolis, sehingga menjadikan aturan tidak efektif dan tidak ada manfaatnya. Kedua, aspek aparatur hukum, saat ini masih sedikit aparatur hukum yang ,mengetahui permasalahan traditional knowledge, padahal dengan kondisi aturan normatif yang belum jelas, maka tuntutan terobosan hukum yang dapat dilakukan oleh aparatur hukum, khususnya oleh hakim akan sangat membantu, untuk kasus di luar negeri model interpretasi hakim sangat membantu dalam memberikan perlindungan hukum terhadap traditional knowledge. Ketiga, aspek budaya hukum, seperti diketahui masyarakat tradisional umumnya enggan untuk melakukan proses hukum dalam konteks pelanggaran karya intelektual yang berbasis traditional knowledge, di sisi lain pemerintah sendiri yang dapat diharapkan mempunyai kemampuan dan kesadaran hukum untuk memperjuangkan perlindungan traditional knowledge, masih dilanda dengan berbagai permasalah negara, disamping budaya hukum pemerintah sendiri terhadap hukum masih banyak dipertanyakan. Hal-hal di atas inilah yang menjadi problematika dalam pemberian perlindungan terhadap traditional knowledge yang ada di Indonesia, terutama dari sisi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, namun demikian patut disambut baik upaya yang kini sedang dilakukan lembaga ristek dengan setiap tahunnya menyediakan dana khusus untuk kegiatan identifikasi traditional knowledge sebagi bukti adanya perhatian serius dan concern terhadap masalah traditional knowledge ini. Pemberian perlindungan terhadap traditional knowledge milik bangsa, akan memberi peluang untuk melakukan persaingan global. Perlindungan pengatahuan tradisional dapat dilakukan dengan dua macam cara yaitu pertama, perlindungan dalam bentuk hukum dan perlindungan dalam bentuk non hukum. Bentuk perlindungan dalam bentuk hukum, yaitu upaya melindungi traditional
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
knowledge melalui bentuk hukum yang mengikat, semisal; Hukum Hak Kekayaan Intelektual, peraturan-peraturan yang mengatur masalah sumber genetika, khususnya traditional knowledge, kontrak dan hukum adat. Kedua, perlindungan dalam bentuk non hukum, yaitu perlindungan yang diberikan kepada traditional knowledge yang sifatnya tidak mengikat, meliputi code of conduct yang diadopsi melalui internasional, pemerintah dan organisasi non pemerintah, masyarakat profesional dan sektor swasta. Perlindungan lainnya meliputi kompilasi penemuan, pendaftaran dan database dari traditional knowledge. 2.
Prospek perlindungan traditional knowledge melalui hukum hak kekayaan intelektual guna memberdayakan masyarakat lokal Situasi perkembangan HKI yang semakin memerlukan perhatian serius dengan segala permasalahannya, baik menyangkut segi hukum dan kaitannya dengan perdagangan maupun aspek hak-hak asasi manusia, Indonesia harus dapat menyikapinya secara tepat. Menurut Henry Soelistyo dari Perhimpunan Masyarakat Hak Kekayaan Intelektual, berpendapat bahwa: “bagi Indonesia, menerima globalisasi dan mengakomodasi konsepsi perlindungan HKI tidak lantas menihilkan kepentingan nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi justifikasi dalam prinsip-prinsip pengaturan dan rasionalitas perlindungan berbagai bidang HKI di tingkat nasional. Namun, semua itu harus tetap berada pada koridor hukum dan normanorma internasional (Henry Soelistyo, 2004)”. Pendapat di atas sangat tepat dalam konteks sistem hukum di Indonesia, mengingat dalam sistem hukum Indonesia dikenal tiga subsistem hukum lainnya, yaitu hukum nasional, hukum Islam dan hukum adat/adat kebiasaaan masyarakat. Berdasarkan pada kondisi tersebut maka idealnya apa yang diatur dalam satu norma hukum bersesuaian atau tidak bertentangan dengan norma hukum lainnya, dengan kata lain misalnya apa yang diatur dalam norma hukum positif tidak bertentangan dengan norma hukum Islam dan norma hukum adat. Hal yang sama berlaku juga untuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan traditional knowledge nantinya. Artinya, secara idealnya norma hukum nasional yang dimuat dalam beberapa peraturan perundang-
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
69
undangan yang berkaitan dengan traditional knowledge. Artinya, secara idealnya norma hukum nasional yang dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan di bidang HKI juga tidak bertentangan dengan norma hukum lainnya, khususnya norma hukum Islam (Muhamad Djumana, 2006: 5). Guna pembangunan ekonomi Indonesia, apabila perlindungan terhadap traditional knowledge dapat optimal terlaksana, akan menjadi potensi pengembangan negara dan pemasukan devisa/ pendapatan negara. Dimana karya dan budaya masyarakat tradisional akan lebih dihargai dan sense of belonging (rasa memiliki atau bangga) terhadapnya timbul, jika Indonesia dengan lebih serius mengelola potensi terhadap traditional knowledge bangsa akan memberikan nilai-nilai keuntungan yang sangat banyak baik dari segi ekonomi maupun pengembangan dan pelestarian atas nilai-nilai luhur dari traditional knowledge tersebut. Baiknya pemerintah mulai memperhatikan potensi bangsa ini terkait dengan traditional knowledge dan menjadikannya icon tersendiri atas bangsanya dan menjadi karakter identitas yang ujung-ujungnya dapat menjadi nilai tambah, bukan malah tidak peduli terlebih merusak. Seperti pepatah “apa yang ada dalam genggaman hendaknya dijaga” baiknya kita menjaga dan kelola sumber daya dan kekayaan bangsa yang sudah kita miliki. Salah satu contoh implementasi UU Hak Cipta di Kota Surakarta belum berjalan dengan maksimal dikarenakan a) Ketentuan HKI bertentangan dengan sifat pengetahuan tradisional, b) belum adanya lembaga yang menaungi perlindungan pengetahuan tradisional, c) tidak terdapatnya data base pengetahuan tradisional di Surakarta, d) Perbedaan sistem HKI dengan Sif at Pengetahuan Tradisional; 3) Terdapat tiga faktor yang menyebabkan belum efektifnya implementasi UU Hak Cipta di Kota Surakarta yaitu substansi peraturan, struktur penegak hukum, dan budaya masyarakat. Permasalahan yang muncul kemudian adalah jika traditional knowlegde dilindungi dengan menggunakan hukum HKI adalah sifat dari HKI terbatas dengan ruang lingkup sempit, terdapat unsur baru dan asli. Hal tersebut bertentangan dengan sifat traditional knowledge yaitu tidak mungkin terdapat unsur baru, karena sudah ada secara turun temurun, sehingga prospek perlindungan dengan menggunakan HKI tidak ef ektif , dan
70 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
membutuhkan suatu pengaturan tersendiri. Saat ini telah dibahas Rancangan UndangUndang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUU PTEBT). Adapun cakupan kajian yang telah/ sedang dibahas adalah a. Pertimbangan/kebijakan yang mendasari perlu adanya perlindungan (pelestarian, moral, ekonomi, dsb.) b. Siapa yang harus memperoleh manfaat dan siapa pemilik obyek terkait c. Obyek yang akan dilindungi (Definisi/ Lingkup PT dan EBT) d. Kriteria yang harus dipenuhi dan batasan yang tidak boleh dilanggar e. Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh Pemilik, serta pengecualiannya f. Aspek perlindungan yang belum diakomodasikan oleh sistem HKI konvensional g. Bagaimana prosedur untuk memperoleh izin pemanfaatan (cara mengadministrasikan) dan menegakkan hak dimaksud (sanksi dan denda) h. Hal apa yang dapat ditangani secara nasional dan apa yang perlu ditangani secara internasional, serta bagaimana mekanismenya i. Bagaimana perlakuan terhadap obyek yang merupakan milik/warisan budaya asing j. Jangka waktu perlindungan k. Negara memiliki kewajiban moral (ethical imperative) untuk melestarikan keanekaragaman pengetahuan dan budaya tradisional; l. Negara wajib mendukung pembanguan industri kreatif yang utamanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Berikut ini adalah beberapa poin penting yang diatur dalam RUU PTEBT a. Ketentuan Umum 1) Pengetahuan Tradisional adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu. 2) EBT adalah karya intelektual dalam bidang seni yang mengandung unsur karakteristik warisan
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu. 3) Tradisi adalah warisan budaya masyarakat yang dipelihara dan/ atau dikembangkan secara berkelanjutan lintas generasi oleh suatu komunitas atau masyarakat tradisional 4) Perlindungan adalah segala bentuk upaya melindungi PTEBT terhadap pemanfaatan yang dilakukan tanpa hak dan melanggar kepatutan. 5) Pemilik dan/atau Kustodian PTEBT adalah komunitas atau masyarakat tradisional yang memelihara dan mengembangkan PTEBT tersebut secara tradisional dan komunal. 6) Pemanf aatan adalah pendayagunaan PTEBT di luar konteks tradisi. 7) Tim Ahli PTEBT adalah tim khusus yang independen dan berada di lingkungan departemen yang membidangi PTEBT. 8) Pemohon adalah orang asing atau badan hukum asing yang mengajukan permohonan izin akses pemanfaatan dan permohonan pencatatan perjanjian pemanfaatan 9) Permohonan adalah permintaan untuk mendapatkan izin akses pemanfaatan, dan pencatatan perjanjian pemanfaatan. 10) Izin Akses Pemanfaatan adalah izin yang diberikan oleh Menteri kepada orang asing atau badan hukum asing sebelum melakukan perjanjian pemanfaatan. 11) Pemegang izin akses pemanfaatan adalah orang asing atau badan hukum asing yang telah memperoleh izin akses pemanfaatan. 12) Perjanjian pemanfaatan adalah perjanjian antara Pemilik dan/atau Kustodian Pengetahuan Tradisional dan/atau Ekspresi Budaya Tradisional dan orang asing atau badan hukum asing, mengenai pendayagunaan Pengetahuan Tradisional dan/atau Ekspresi Budaya Tradisional di luar konteks tradisi
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
b.
Perlindungan PTEBT 1) PTEBT yang dilindungi mencakup unsur budaya yang: a) memiliki karakteristik khusus yang terintegrasi dengan identitas budaya masyarakat tertentu yang melestarikannya; b) disusun, dikembangkan, dipelihara, dan ditransmisikan dalam lingkup tradisi 2) PT yang dilindungi mencakup karya literer berdasar tradisi, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, disain, tanda, nama, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan, dan semua pembaharuan berdasar tradisi dan kreasi yang dihasilkan dari aktifitas intelektual dalam bidang industri, ilmiah ataupun artistik, 3) EBT yang dilindungi mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi berikut ini: a) verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya susastra ataupun narasi informatif; b) musik, mencakup antara lain: v okal, instrumental atau kombinasinya; c) gerak, mencakup antara lain: tarian, beladiri, dan permainan; d) teater, mencakup antara lain: pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat; e) seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan f) upacara adat, yang juga mencakup pembuatan alat dan bahan serta penyajiannya.
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
71
c.
e.
Lingkup Perlindungan PTEBT (Pasal 3) Perlindungan PTEBT meliputi pencegahan dan pelarangan atas: 1) Pemanfaatan yang dilakukan tanpa izin akses pemanf aatan dan perjanjian pemanfaatan oleh orang asing atau badan hukum asing; 2) Pemanfaatan yang dalam pelaksanaan pemanfaatannya tidak menyebutkan dengan jelas asal wilayah dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber PTEBT tersebut; dan/atau 3) Pemanf aatan yang dilakukan secara menyimpang dan menimbulkan kesan tidak benar terhadap masyarakat terkait, atau yang membuat masyarakat tersebut merasa tersinggung, terhina, tercela, dan/atau tercemar. d. Jangka W aktu Perlindungan (Pasal 4) Jangka waktu perlindungan kekayaan intelektual PTEBT diberikan selama masih dipelihara oleh Pemilik dan/atau Kustodiannya. Pendokumentasian (Pasal 5) 1) Pemerintah wajib melakukan pendataan dan pendokumentasian mengenai Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di seluruh Indonesia. 2) Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional didokumentasikan guna menyediakan informasi tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia pada umumnya, dan komunitas atau masyarakat tradisional pada khususnya. 3) Pendataan dan pendokumentasian Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagaimana dimaksud pada angka satu dapat juga diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan pihak lain yang berkepentingan. 4) Menteri mengkoordinasikan suatu basis data yang menghimpun
72 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
5)
6)
E. 1.
2.
F. 1.
2.
pendokumentasian Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagaimana dimaksud pada angka satu dan tiga di atas dalam suatu jejaring nasional. Basis data sebagaimana dimaksud pada angka ditempatkan dalam media yang mudah diakses oleh setiap orang. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendataan dan pendokumentasian Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Simpulan Pemberdayaan masyarakat lokal melalui sistem perlindungan Traditional Knowledge dapat dilakukan dengan menggunakan dua macam mekanisme yaitu pertama, perlindungan dalam bentuk hukum dan perlindungan dalam bentuk non hukum. Bentuk perlindungan dalam bentuk hukum, yaitu upaya melindungi traditional knowledge melalui bentuk hukum yang mengikat, semisal; Hukum Hak Kekayaan Intelektual, peraturan-peraturan yang mengatur masalah sumber genetika, khususnya traditional knowledge, kontrak dan hukum adat. Kedua, perlindungan dalam bentuk non hukum, yaitu perlindungan yang diberikan kepada traditional knowledge yang sifatnya tidak mengikat, meliputi code of conduct yang diadopsi melalui internasional, pemerintah dan organisasi non pemerintah, masyarakat profesional dan sektor swasta. Perlindungan lainnya meliputi kompilasi penemuan, pendaftaran dan database dari traditional knowledge. Prospek Perlindungan Traditional Knowledge melalui Hukum Hak Kekayaan Intelektual guna Memberdayakan Masyarakat Lokal saat ini masih buram/belum cerah sebab belum ada peraturan khusus Saran Pemerintah hendaknya segera menyelesaikan pembagahan RUU PTEBT untuk mengelola maupun memberi perlindungan folklore. Masing pemerintah lokal (daerah) hendaknya membuat data base dan menginventarisasi tentang folklore di daerahnya.
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
Daftar Pustaka Agus Sardjono. 2006. Potensi Ekonomi dari GRTKF; Peluang dan Hambatan dalam Pemanfaatannya: Sudut Pandang Hak Kekayaan Intelektual, Media HKI Vol. I/No.2/Februari 2005. Akira Okawa. 1997. Major Provisions under WTO-TRIPs Agreement. Paper. Industrial Property Rights Training Course for Management. Tokyo. Japan : JIII & AOTS. Anonim. 1994. Kompilasi Undang-Undang Republik Indonesia di Bidang Hak Kekayaan Intelektual. Tangerang : Ditjen HKI Depkeh &HAM RI dan JICA —————1994. Agreement Establishing The World Trade Organization. Marrakesh, 15 April 1994 —————. 1997. Agreement on Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs Agreement) (1994). GENEVA : WIPO. .________1994. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Jakarta: Sekretariat Negara RI. A. Zen Umar Purba,. 2001. Traditional Knowledge Subject Matter For Which Intellectual Protection is Sought. Paper. WIPO Asia-Pacific Regional Symposium on Intellectual Property Rights, Traditional Knowledge and Related Issues, October 17 to 19. Yogyakarta: WIPO & DGIPR. Budi Agus Riswandi dan M. Syamsuddin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum,. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cita Citrawinda. 2003. Hak Kekayaan Intellektua l- Tantangan Masa Depan. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia Henry Soelistyo Budi. 2004. Status Indigenous Knowledge dan Traditional Knowledge dalam Sistem HaKI. Makalah. Kajian Sehari “ HaKI di Indonesia: Mewujudkan Masyarakat Etik dan professional”. Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Pengkajian Strategis dan IIPS, 3 Juni. Semarang : PPMPS. Ign. Subagjo. 2005. Kerangka Kebijakan Pengelolaan Pengetahuan Tradisional di Indonesia. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Setengah Hari “Perlindungan dan Pemanfaatan Traditional Knowledge dalam Kerangka Otonomi Daerah” di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta tanggal 20 Agustus 2005. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM. Insan Budi Maulana. 1997. “Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten, dan Hak Cipta”. Bandung: Citra Aditya Bakti. JICA Team. 2003. “Training Material on Enforcement of Intellectual Property Rights. Jakarta: DGIPR. Muhammad Djumhana. 2006. “Perkembangan dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual”. Bandung: Alumni. ——————————————— & Djubaidillah. 1993. “Hak milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia)”. Bandung: Alumni. M. Zulfa Aulia. 2006. “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional di Indonesia”. Jakarta: FH UII. Ok Saidin. 2004. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Prihaniwati. 2004. “Peranan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia)”. Bandung: Alumni. Prabudda Ganguli. 2001. Intellectual Property Rights: Unleashing the Knowledge Economy. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company. ————.2005. Perlindungan Hukum Terhadap Plasma Nutfah dan pengetahuan Tradisional, tewrutama Melalui Konversi Keanekaragaman Hayati. Makalah. Penataran dan Lokakraya HKI, 17-20 September, DIKTI dan Lembaga Penelitian UNS. Surakarta: UNS Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...
73
Tim Lindsey. dkk. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung: PT Alumni. The Washington Post. 2001, 28 April. New York Times. 1999, 9 April. Zaid Hamzah. 2006. “Intellectual Property Law and Strategy”. Singapore: Thomson/Sweet&Maxwell Asia. Zen Umar Purba A. 2001. “Traditional Knowledge Subject Matter for which Intellectual Protection is Sought DGIPR.”. Makalah. WIPO Asia-Pacific Regional Symposium on Intellectual Property Rights, Traditional Knowledge and Related Issues. October 17 to 19. Yogyakarta: WIPO. ————————————. 2000. “Pokok-pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HaKI Nasional”. Makalah Advanced Seminar Prospect and Implementation of Indonesian Copyright, Patent, and Trademark Law. 31 Juli-1 Agustus. Jakarta: IIPS majalah Matahukum edisi 05/ V/ 2007)
74 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui ...