22 Media Bina Ilmiah PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS LAYANAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH Oleh : Muslihin Widyaiswara BKD Lombok Barat dan Dosen Luar Biasa IAIN Mataram Abstract: The improvement of quality service in education can be reached by the optimalization of all components in school including by the empowerment of role and function of the school board. The school board as work partner of the principal has role as advisory agency, supporting, controlling, and mediator between the school with the parents and the society. The existences of the school board can help to improve quality, relevancy, and eficiency of education implementation through participation, transparancy, democratization, and accountability of education. Based on his role and function, the school board can be involved in formulating the school program, in making the school financial budgetting draft, education implementation, and education accountability. Kata Kunci : empowerment, school board, quality education PENDAHULUAN Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah (Depdiknas, 2002: 1). Pemerintah selama ini telah mengeluarkan biaya yang besar, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama untuk meningkatkan mutu pendidikan, baik melalui penataran tenaga kependidikan, pengembangan kurikulum, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan sebagainya. Namun demikian, mutu pendidikan masih tetap kita rasakan sebagai tantangan. Tilaar (2001:xii) mengemukakan bahwa krisis pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini berkisar pada krisis manajemen. Manajemen pendidikan merupakan mobilisasi segala sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Selanjutnya Enco Mulyasa (2003: 21) menyatakan bahwa manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Perbaikan manajemen pendidikan menurut Indra Djati Sidi (2002: 12), diarahkan untuk lebih memberdayakan sekolah menjadi lebih mandiri, kreatif, kompetitif, dan bertanggung jawab terhadap stakeholders khususnya orang tua dan masyarakat. Salah satu model manajemen pendidikan sesuai tuntutan reformasi dan demokratisasi yang sedang dikembangkan pemerintah adalah manajemen berbasis sekolah (MBS). Konsep MBS menawarkan kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masingmasing. Hal tersebut didasarkan atas keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses
peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada (Umaidi, 1999: 4). Manajemen berbasis sekolah merupakan satu usaha meningkatkan kinerja sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan dengan memberi otonomi, fleksibilitas, dan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu. Rutmini & Jiyono (1999: 78) menegaskan peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya insentif/disinsentif, dan lain-lain. Paradigma MBS (Ace Suryadi, 2003: 3) beranggapan bahwa satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi dan akuntabilitas pendidikan. Keberhasilan MBS dapat ditentukan dengan meningkatnya partisipasi masyarakat, dengan mengakomodasi pandangan, aspirasi, dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas. Paradigma baru pengembangan pendidikan mengindikasikan adanya perubahan bentuk peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Suyanto (Republika, 15 Februari 2004) mengemukakan bahwa peranserta masyarakat diharapkan lebih bernuansa advokasi, mediasi, pemberdaya, dan demokratisasi. Penyaluran aspirasi dan kontribusi masyarakat yang beragam melalui institusi yang demokratis sebagaimana tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas 2000-2004, dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, di tingkat sekolah dinamakan Komite Sekolah dan di tingkat kabupaten/kota disebut Dewan Pendidikan.
Artikel Pendidikan 23 Komite sekolah merupakan badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah. Anggota komite sekolah terdiri dari unsur orang tua siswa, masyarakat peduli pendidikan, siswa, guru, dan pemerintah setempat. Kehadiran Komite Sekolah pada satuan pendidikan akan menjadi mitra kerja kepala sekolah dalam usaha meningkatkan mutu, efisiensi, dan relevansi pengelolaan pendidikan. Peran yang harus dijalankan oleh Komite Sekolah adalah sebagai badan pertimbangan, pendukung, dan pengendali penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Selain itu juga dapat berperan sebagai mediator antara sekolah dengan masyarakat. Pembentukan komite sekolah pada satuan pendidikan telah diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Pembentukan Dewan Pendidikan (DP) dan Komite Sekolah (KS). Tujuan pembentukan komite sekolah adalah: (a) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan keijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan; (b) meningkatkan tanggung jawab dan peranserta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; (c) menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan. Sekolah sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan memiliki berbagai perangkat dan unsur yang saling berkaitan baik secara internal maupun eksternal. Dalam konteks pendidikan, sekolah memiliki stakeholders yang antara lain murid, guru, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan sebagainya. Oleh karena itu, sekolah memerlukan manajemen yang akurat agar menghasilkan produk yang optimal sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan stakeholders. Optimalisasi sumber-sumber daya yang berkenaan dengan pemberdayaan sekolah merupakan alternatif yang paling tepat untuk mewujudkan suatu sekolah yang mandiri dan memiliki keunggulan tinggi. Semua komponen yang ada di sekolah perlu diberdayakan dan diberikan otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengembangkan sekolah yang bermutu. Keberadaan komite sekolah pada setiap satuan pendidikan perlu lebih dioptimalkan dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan untuk dapat meningkatkan layanan pendidikan yang berkualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Kehadiran komite sekolah dengan fungsi dan perannya diharapkan akan dapat menciptakan pendidikan yang lebih demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Namun demikian, hal tersebut pada beberapa satuan pendidikan belum dapat dilaksanakan dengan
baik. Hasil studi Ade Irawan, dkk (2004; 74) tentang studi kebijakan MBS di DKI Jakarta menggambarkan bahwa keberadaan peran dan fungsi komite sekolah masih menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan di lapangan. Sebagian anggota masyarakat belum pernah mendengar dan mengetahui keberadaan Komite Sekolah. Selanjutnya disebutkan pula banyak keluhan orang tua murid bahwa keberadaan komite sekolah bukan wakil mereka tapi mirip wakil pihak kepala sekolah, sehingga keberadaannya tidak jauh beda dengan BP3 yang hanya berfungsi menarik dana dari orang tua murid. Komite sekolah tidak saja bertugas memberikan sumbangan dana kepada sekolah, tetapi juga berperan secara lebih luas untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya di sekolah. Bentuk peran sertanya adalah keikutsertaannya dalam merencanakan, menentukan kebijakan, mengendalikan, mengawasi, dan mengevaluasi apa yang terjadi di sekolah agar sekolah dapat menunjukkan akuntabilitasnya kepada stakeholder dan akan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan. Dengan kata lain komite sekolah dapat membantu sekolah dalam membuat program pembelajaran, menciptakan budaya belajar, membantu melakukan capacity building bagi terciptanya profesionalisme di sekolah. Meskipun demikian komite sekolah tidak boleh mencampuri urusan teknis manajerial sekolah, sehingga berubah menjadi kepala sekolah tandingan. Namun sebaliknya, ia harus mampu menjadi mediator dan partner sekolah dalam mencari berbagai dukungan masyarakat untuk mengembangkan sekolah ke arah yang lebih baik dari waktu ke waktu. Dengan begitu, lebih lanjut diharapkan akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, maka menarik dan relevan untuk diteliti mengenai optimalisasi peran komite sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan, terutama dalam hal penyelenggaraan pendidikan di sekolah. PENINGKATAN PENDIDIKAN
KUALITAS
LAYANAN
Kata mutu atau kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi dari yang konvensional sampai yang lebih strategik. Definisi konvensional menggambarkan mutu sebagai karakteristik langsung dari suatu produk seperti: performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (ease of use), estetika (esthetics), dan sebagainya. Definisi strategik menyatakan bahwa mutu adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customer). Sejalan dengan itu, Depdiknas
24 Media Bina Ilmiah (2002: 7) memandang mutu pendidikan mencakup input, proses, dan output pendidikan. Input pendidikan sebagai segala sesuatu (berupa sumber daya, perangkat lunak, dan harapan) yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan sebagai berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan berskala mikro (tingkat sekolah), proses meliputi proses pengambilan keputusan, proses manajemen kelembagaan dan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi. Output pendidikan sebagai kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah yang diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya. Mutu pendidikan adalah karakteristik yang harus melekat pada sistem pendidikan itu sendiri. Kemampuan meningkatkan mutu harus dimiliki oleh sekolah sebagai suatu sistem tersendiri tanpa bergantung pada bantuan pihak luar termasuk pemerintah. Mutu pendidikan merupakan kemampuan manajemen dan teknis professional dari suatu sistem pendidikan (sekolah) dalam memanfaatkan faktor-faktor input agar dapat menghasilkan output yang setinggi-tingginya. Dengan demikian, usaha-usaha ke arah peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada peningkatan kemampuan sekolah. Program peningkatan mutu pendidikan di sekolah menurut Depdikbud (1998: 180), dapat dilakukan dengan mengaplikasikan empat teknik, yaitu school review, benchmarking, quality assurance, dan quality control. 1). School review adalah suatu proses dimana seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga professional (ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah serta mutu lulusan. 2). Benchmarking yaitu suatu kegiatan untuk menetapkan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga. Langkah-langkah yang dilaksanakan adalah: (a) tentukan topik, (b) tentukan aspek/variable atau indikator, (c) tentukan standar, (d) bandingkan standar dengan kemampuan, (e) tentukan gap/kesenjangan yang terjadi, (f) rencanakan target untuk mencapai standar, (g) rumuskan cara-cara dan programprogram untuk mencapai target.
3). Quality assurance merupakan teknik untuk menentukan bahwa proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan teknik ini akan dapat dideteksi adanya penyimpangan yang terjadi pada proses. Informasi yang akan dihasilkan dengan quality assurance dapat menjadi umpan balik bagi sekolah dan memberikan jaminan bagi orang tua bahwa sekolah senantiasa memberikan pelayanan terbaik bagi siswa. 4). Quality control merupakan suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar. Quality control memerlukan indikator kualitas yang jelas dan pasti, sehingga dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi. Suyanto & Abbas (2001: 109-111) mengemukakan bahwa secara umum prasyarat untuk menentukan prosedur dan metode kerja dalam peningkatan mutu pendidikan adalah; (1) memerlukan seorang pimpinan yang mengenali permasalahan dan memiliki motivasi menyelesaikan masalah tersebut; (2) kesiapan sumber daya manusia yang terlibat (termasuk guru, kepala sekolah, karyawan, siswa, dan orang tuanya); dan (3) tingkat pemahaman terhadap kondisi nyata dan tantangan ke depan (yang dihadapi oleh sekolah, masyarakat, bahkan negara sekalipun) di kalangan guru, siswa dan orang tuanya akan sangat mewarnai ketepatan strategi dalam meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan di sekolah telah dilakukan dengan penerapan berbagai model manajemen. Salah satu model manajemen yang diadopsi dan diterapkan pada dunia pendidikan adalah Total Quality Management (TQM). TQM merupakan strategi dalam dunia bisnis untuk melakukan peningkatan kualitas terus menerus (continous improvement) dan berfokus pada pelanggan. Selain itu model manajemen untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang terus dikembangkan di berbagai negara yaitu SchoolBased Management (SBM) yang dalam Bahasa Indonesia disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Melalui MBS, sekolah diberikan otonomi dan keluwesan dalam mengelola semua sumber daya yang dimiliki untuk meningkatkan kinerja menuju peningkatan mutu pendidikan. Dalam rangka implementasi MBS di Indonesia, Depdiknas (2002: 12-21) memberikan rambu-rambu tentang karakteristik MBS yang memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan dalam input, proses, dan output. Dalam penjelasanya dimulai dari output, proses dan input. 1). Output yang diharapkan: (1) prestasi akademik (academic achievement) seperti NEM, lombalomba, dan cara berpikir kritis, dan (2) prestasi
Artikel Pendidikan 25 non akademis (non-academic achievement) seperti keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerja sama, dan sebagainya. 2). Proses yang diharapkan: (1) proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi; (2) kepemimpinan kepala sekolah yang kuat; (3) lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (4) pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif; (5) memiliki budaya mutu; (6) memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis; (7) memiliki kewenangan (kemandirian); (8) partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat; (9) memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen; (10) memiliki kemauan untuk berubah (secara psikologis maupun fisik); (11) melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan; (12) responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan; (13) memiliki komunikasi yang baik; (14) memiliki akuntbilitas; dan (15) memiliki kemampuan menjaga sustainabilitas. 3). Input pendidikan yang diharapkan: (1) memilliki kebijakan, tujuan, dan sasarn mutu yang jelas; (2) sumber daya tersedia dan siap; (3) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi; (4) memiliki harapan prestasi yang tinggi; (5) fokus pada pelanggan (khususnya siswa); dan (6) input manajemen yang memadai. PERAN DAN FUNGSI KOMITE SEKOLAH Komite sekolah merupakan penyederhanaan konsep masyarakat melalui perwakilan fungsi stakeholder dalam pendidikan. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah. Badan ini bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hirarkis dengan lembaga pemerintahan. Pembentukan Komite Sekolah harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Transparan maksudnya bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan. Akuntabel artinya bahwa panitia persiapan hendaknya menyampaikan laporan pertangungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dana kepanitiaan. Demokratis dimaksudkan dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan
dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu pemilihan anggota dan pengurus dapat dilakukan melalui pemungutan suara. Kepmendiknas No. 044/U/2002 menyebutkan bahwa peran yang dijalankan komite sekolah adalah sebagai berikut: (a) sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; (b) sebagai pendukung (supporting agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (c) sebagai pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan; dan (4) sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan. Sesuai dengan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002, untuk menjalankan perannya itu, komite sekolah memiliki fungsi sebagai berikut. 1) Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; 2) Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan / organisasi / dunia usaha / dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; 3) Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat; 4) Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai; kebijakan dan program pendidikan, Rencana Anggaran dan Pendapatan Sekolah (RAPBS), kriteria kinerja satuan pendidikan, kriteria tenaga kependidikan, kriteria fasilitas pendidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan; 5) Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; 6) Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; dan 7) Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. STRATEGI PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH Peran dan fungsi Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemen pendidikan di tingkat sekolah. Untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran orang tua dan masyarakat, sekolah hendaknya dapat membina kerja sama
26 Media Bina Ilmiah dengan komite sekolah agar dapat menciptakan suasana yang kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Untuk itu, komite sekolah (Indra Djati Sidi, 2001: 134) mesti melakukan berbagai upaya dalam bentuk mendayagunakan kemampuan yang ada pada orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, termasuk LSM yang memiliki perhatian dan kepedulian pada bidang pendidikan. 1. Penyusunan rencana dan program Kebijakan pendidikan nasional (makro) harus dijabarkan menjadi program operasional di masingmasing satuan pendidikan (mikro). Programprogram tersebut antara lain berupa program mingguan, bulanan, semesteran, serta program tahunan. Komite sekolah dapat berfungsi sebagai pendamping bahkan penyeimbang bagi sekolah, sehingga setiap rencana dan program yang disusun oleh sekolah dapat diberikan masukan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh komite sekolah dimaksud. Atas nama masyarakat yang diwakilinya, komite sekolah dapat menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap rencana dan program pendidikan yang disusun oleh sekolah. Selain melaksanakan kurikulum standar, sekolah dapat juga menyusun program pendidikan life skills yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam hal ini, komite sekolah dapat membantu sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan serta potensi sumber daya yang tersedia dalam masyarakat untuk diterjemahkan ke dalam program pendidikan. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan adalah melalui rapat komite sekolah dengan sekolah yang dilaksanakan setiap semester atau tahunan, untuk menyusun, memperbaiki serta menyesuaikan rencana dan program untuk semester berikutnya. 2. Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Sebagai pelaksana pendidikan yang otonom, sekolah menyusun rencana anggaran belanja setiap akhir tahun ajaran untuk digunakan dalam tahun ajaran berikutnya. Dari sisi pendapatan dan belanja sekolah harus diketahui bersama baik oleh pihak sekolah (kepala sekolah, guru, pegawai, serta para siswa) maupun komite sekolah sebagai wakil stakeholder pendidikan. Kedua sisi anggaran tersebut dituangkan ke dalam satu neraca tahunan sekolah (RAPBS) yang disyahkan atas persetujuan pihak sekolah dan komite sekolah. Mekanisme ini diperlukan untuk memperkecil penyalahgunaan keuangan baik dalam pendapatan maupun dalam pengeluaran sekolah. 3. Pelaksanaan program pendidikan Sistem pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru, dikendalikan oleh sistem birokrasi dengan
mata rantai yang panjang dari tingkat pusat, daerah sampai tingkat satuan pendidikan dan dilalkukan secara uniform (one fits for all). Dalam masa desentralisasi pendidikan, melalui paradigma MBS sekolah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendidikan. Komite sekolah dapat melakukan peran dan fungsinya sebagai penunjang dan menjadi partner kepala sekolah dalam mengadakan sumber daya pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat memberikan fasilitasi bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak mungkin, sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif. Komite sekolah bisa ikut serta meneliti berbagai permasalahan belajar yang dihadapi siswa secara kelompok maupun individual sehingga dapat membantu guru-guru menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi muridnya. 4. Akuntabilitas pendidikan Dalam masa orde baru, satu-satunya pihak yang berwenang meminta pertanggungjawaban pendidikan ke sekolah-sekolah adalah pemerintah pusat melalui badan pemeriksa, pengawas, dan penilik sekolah. Dalam era demokrasi dan otonomi, akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada pemerintah, namun bahkan lebih banyak pada masyarakat selaku stakeholder. Komite sekolah perlu menempatkan fungsinya sebagai wakil masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban atas hasil-hasil pendidikan dalam mencapai prestasi belajar murid. Komite sekolah dapat menyampaikan ketidakpuasan para orang tua murid akan rendahnya prestasi yang dicapai oleh sekolah. PENUTUP Komite sekolah merupakan institusi yang dimunculkan untuk menampung dan menyalurkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Komite sekolah berperan sebagai: (1) Badan pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan di sekolah; (2) Badan pendukung (supporting agency) baik berupa finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan; (3) Badan pengontrol (controlling agency) dalam transparansi dan akuntabilitas proses dan keluaran pendidikan; dan (4) Badan Penghubung (mediator agency) antara pihak sekolah dengan masyarakat dan pemerintah. Layanan pendidikan bermutu bagi siswa di sekolah merupakan tanggung jawab bersama antara pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat. Kepala sekolah dan semua warga sekolah hendaknya mampu memberikan layanan yang sesuai dengan harapan peserta didik. Komite sekolah selaku representasi orang tua dan masyarakat juga turut
Artikel Pendidikan 27 mengemban tugas dan tanggung jawab yang sama terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Optimalisasi peran komite sekolah dapat dilakukan melalui pelibatannya dalam hal penyusunan rencana dan program sekolah, penyelenggaraan proses pendidikan, dan akuntabilitas pendidikan di sekolah. Kemitraan antara komite sekolah dengan kepala sekolah berpedoman pada prinsip komite sekolah. Komite sekolah: (a) adalah partner kerja kepala sekolah dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah, (b) merupakan mediator yang menghubungkan pihak sekolah dengan orang tua siswa dan masyarakat serta dengan pemerintah, sehingga segala sesuatu yang akan diprogramkan akan mudah disampaikan dan diterima oleh masyarakat, dan (c) lebih dekat dengan masyarakat dan lebih banyak mengetahui keinginan dan harapan masyarakat terhadap sekolah serta akan mempettanggungjawabkan program kepada masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Ace Suryadi, & Tilaar, H.A.R. (1993). Analisis kebijakan pendidikan: suatu pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya. Depdiknas. (2002a). Panduan umum dewan pendidikan dan komite sekolah. Jakarta : Dirjen Dikdasmen. ----------------. (2003). Indikator kinerja dewan pendidikan dan komite sekolah. Jakarta : proyek Publikasi dan Sosialisasi Pendidikan. Indra Djati Sidi. (2001). Menuju masyarakat belajar; menggagas paradigma baru pendidikan. Jakarta : Logos.
Nanang Fattah & Mohammad Ali. (2003). Materi pokok manajemen berbasis sekolah; 19; PGSD4408. Jakarta : Universitas Terbuka Rumtini & Jiyono. (Juni 1999). Manajemen berbasis sekolah: konsep dan kemungkinan strategi pelaksanaannya di Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun Ke-5 Nomor 017. Jakarta :Balitbang Dikbud. Hal. 77-107. Sashkin, M., & Kiser, K.J. (1993). Putting total quality management to work: what TQM means, how to use it, & how to sustain it over the long run. San Francisco : Berrett-Koehler Publishers. Suyanto. (15 Pebruari 2004). Dewan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional. Republika, h. 8. Suyanto & Abbas. (2001). Wajah dan dinamika pendidikan anak bangsa. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa. Tilaar, H.A.R. (2001). Manajemen pendidikan nasional : kajian pendidikan masa depan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Windham, D.M. (1990). Improving the efficiency of educational systems: indicators of educational effectiveness and efficiency. New York : USAID. Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional (Sisdiknas), edisi lengkap. Jakarta : Tamita Utama.