Kedudukan Qanun Mukim dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (The Status of Qanun Mukim in Indonesian Legal Hierarchy) Oleh Mukhlis1 Abstract The Existence of Qanun Mukim is a need in execute the Mukim’s Government in Aceh, because Mukim is a special and specific thing for the Government of Aceh. Regulation considering qanun mukim is highly recommended in Indonesian legal hierarchy, specifically in Aceh. Qanun Mukim can be positioned in between Regency Qanun and Village Qanun. Keywords: Existence, Qanun Mukim, Legal Hierarchy
A.
PENDAHULUAN
Keberadaan qanun mukim (peraturan mukim/atau nama lain) di Aceh, mulai diperdebatkan hal ini dikarenakan dalam hierarki atau tata urutan perundangundangan tidak dikenal adanya qanun mukim, baik yang diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan PerundanganUndangan ataupun dalam Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012 tentang tata cara Pembentukan Qanun.2 Dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2012 tersebut tidak ditemukan satupun definisi atau pengaturan yang mengatur mengenai keberadaan qanun Mukim (Peraturan Mukim/atau nama lain) demikian juga halnya dengan qanun Gampong (Peraturan Gampong/atau nama lain) di Aceh. Qanun tersebut hanya mengatur mengenai qanun provinsi dan qanun kabupaten/kota saja.3 Hampir semua qanun Kabupaten/kota yang mengatur tentang Mukim mengenal atau menyebutkan dan mengenal istilah Qanun Mukim atau istilah lain. Sebagai contoh disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai ….. diatur dengan Qanun 1 2 3
Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Qanun tersebut merupakan penganti Qanun No. 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun Lihat Pasal 1 angka 21 Qanun No. 5 Tahun 2012. 105
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
Mukim (ada juga yang menggunakan istilah peraturan Mukim). Adapun makna dari qanun mukim disini bukanlah qanun yang mengatur tentang mukim, akan tetapi qanun mukim yang dimaksud adalah peraturan yang dibuat oleh Imuem Mukim atau nama Lain bersama-sama dengan tuha peut Mukim atau nama lain. Dalam hal ini Imuem mukim dapat ditafsirkan sebagai eksekutif (pemerintah dalam arti sempit), sedangkan tuha peut dapat diartikan sebagai lembaga legislatif di tingkat Mukim. Berdasarkan uraian di atas maka tulisan ini bertujuan untuk mengakaji bagaimana keberadaan qanun Mukim dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. B.
PEMBAHASAN
1.
Istilah dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Sebelum uraian lebih lanjut tentang kedudukan qanun mukim, terlebih dahulu berikut ini dikemukakan pengertian kedudukan yang dimaksud dalam tulisan ini. Kata “kedudukan” antara lain diartikan ialah letak(nya), tempat(nya); tinggi rendah pangkat dalam jabatan; tingkatan; martabat; keadaan yang sebenarnya tentang sesuatu perkara dan sebagainya; status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara).4 Status adalah kedudukan yang mengikatkan akibat hukum tertentu.5 Kata “kedudukan” juga mempunyai arti adalah level, peringkat, kedudukan sesuatu, khususnya dalam tatanan hirarkhis.6 Sri Soemantri menyebutkan kedudukan dapat diartikan sebagai status.7
4
5 6
7
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Cet ke 9, Balai Pustaka, 1997, hlm. 245; lihat juga Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Cet ke 6, Balai Pustaka, 1966. hlm. 215-216. Algra, N.E., (at.al). Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea, Belanda-Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1983, hlm. 536. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramadia Utama, 1996, hlm. 53-54. Dalam Hanry Campbell Black, Black's Law Dictionary, Abridged Sixth Edition. St Paul, MINN, West Publishing Co., 1991, hlm. 981, kata status diartikan: Standing; state or condition; social position. The legal relation of individual to rest of community. The right, duties, capacities and incapacities which determine a person to given class. Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali, 1971, hlm. 18.
106
Kedudukan Qanun Mukim dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Mukhlis)
Berdasarkan uraian di atas, batasan pengertian tentang kata kedudukan dalam tulisan ini dapat dikemukakan Kedudukan dalam pengertian letak atau tempat Qanun Mukim dalam susunan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di dalam lapangan ilmu pengetahuan hukum, masalah sumber hukum merupakan suatu hal yang perlu selalu dipahami, dianalisa dan problema-problema serta pemecahannya, terutama yang berhubungan dengan pembuatan hukum dan pelaksanaanya, sehingga ada keserasian dengan perkembangan hukum yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.8 Tata urutan atau susunan hierarki dari tata hukum suatu negara dapat dikemukakan dengan mompostulasikan norma dasar, konstitusi adalah adalah urutan tertinggi didalam suatu hukum nasional (the constitutons is highest level within national law).9 Konstitusi disini bukan dalam bentuk formal atau suatu dukumen resmi melainkan kostitusi dalam arti materiil yaitu peraturan-peraturan yang mengatur pembentukan norma-norma hukum yang bersifat umum, khususnya pembuat peraturan perundang-undangan. Suatu peraturan perundang-undangan biasanya hanya terbatas pada asas yang menyebutkan misalnya: ”Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya” atau dalam hal UUD ada ungkapan ”the supreme law of the Land”. Antara lain karena tata urutan itu mempunyai konsekuensi, bahkan setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.10 Peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila teryata peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan perundangundangan tingkatan lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan bahkan batal demi hukum (van rechtswegenietig).
8 9 10
Mukhlis, Ilmu Perundang-undangan, Medan: Ratu Jaya, 2011, hlm. 83 Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Translated by Anders Wedberg, New York, Russel & Russel, 1961. hlm. 124. Mukhlis, Op Cit, hlm. 85 107
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
Undang-undang (formal) akan yang akan ditetapkan tidak boleh bertentangan dengan UUD sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Kecuali dalam UUDS 1950 Prinsip atau ketentuan yang menyebutkan:”undangundang tidak dapat diganggu gugat” bertalian dengan ajaran ”supremasi parlemen”. Di sini, UUD lebih dipandang sebagai ”asas-asas umum” daripada sebagai kaidah hukum.11 Logemann mengatakan, setiap peraturan hukum pada hakikatnya dipengaruhi oleh dua unsur penting yaitu: 12 1. Unsur riil, karena sifatnya yang kongkrit, bersumber dari lingkungan dimana manusia itu hidup, seperti tradisi atau sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir dengan perbedaan jenisnya. 2. Unsur idiil, karena sifatnya yang abstak, bersumber pada diri manusia itu sendiri yang berupa “akal/pikiran” dan “perasaan”. Aturan dasar (Grundgesetze) merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok, bersifat dasar, dan biasanya merupakan landasan luas bagi tata hukum yang lebih terperinci lagi. Sebagai norma dasar suatu negara (Staatfundamentalnorm) memberikan landasan bagi aturan dasar yang merupakan tatanan suatu negara dalam bentuk Undang-Undang Dasar atau konstitusi (tertulis), maka aturan dasar tersebut pada gilirannya merupakan landasan bagi hukum perundang-undangan (Gesetzesrecht) yang berlaku dalam negara. Biasanya aturan-aturan dasar tersebut apabila dituangkan dalam suatu dokumen negara disebut Vervassung, dan apabila dalam beberapa dokumen atau tersebar-sebar disebut Grundgessetze. Isi penting bagi aturan dasar selain garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara juga terutama aturan-aturan untuk memperlakukan dan memberikan kekuatan mengikat kepada norma-norma hukum peraturan perundang-undangan, atau dengan perkataan lain menggariskan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum.
11 12
Bagir Manan, Teori dan Politik konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, Cetakan kedua, 2004, hlm. 202. Logemann dikutip dalam Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, 1993, hlm. 12.
108
Kedudukan Qanun Mukim dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Mukhlis)
Berbicara peraturan perundang-undangan berarti membicarakan keseluruhan aturan tertulis yang dibuat/lembaga negara pusat dan daerah yang berwewenang untuk itu yang isinya mengikat secara umum.13 Bagir Manan,14 mengatakan hukum perundang-undangan adalah hukum tertulis yang dibentuk dengan cara-cara tertentu oleh-pejabat tertentu yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Disebut hukum perundang-undangan karena dibuat atau dibentuk dan diterapkan oleh badan yang menjalankan fungsi perundang-undangan (legislasi). Peraturan perundang-undangan merupakan aturan tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk itu, yang didasarkan pada kewenangan atributif atau kewenangan delegatif adalah merupakan bagian dari hukum tertulis. Peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari hukum tertulis, isinya berisi norma-norma yang mengikat keluar yang berlaku secara umum, yang mengatur penjabaran hukum dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praktik ketatanegaraan, ada juga jenis peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus yang dibentuk oleh lembaga-lembaga negara tertentu yang juga didasarkan pada kewenangan atributif atau delegatif, yang mengikat keluar namun secara khusus yaitu hanya kepada pihak-pihak yang terkait dengan peraturan perundang-undangan tersebut.15 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, menyebutkan: 1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan 13 14 15
HAS Natabaya, Sistem Peraturan Prundang-Undangan Indonesia, Konpress dan Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm. 17. Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 17. Jimly Asshiddiqie, sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi dalam buku HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Konpress dan Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm. xviii. 109
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
g.
ISSN 2302-6219
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut Pasal 7 tersebut dimasukkan kembali ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tidak terdapat dalam Undang-Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan adanya pemisahan antara peraturan daerah yaitu Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.16 Adapun maksud hierarki dalam undang-undang ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yaitu adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Kemudian Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat, hal tersebut diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Daya mengikat suatu Peraturan Perundang-undangan dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (2) yaitu Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang 16
Bandingkan dengan Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang membagikan perda terdiri dari perda provinsi, perda kab/kota dan perdes. Kemudian masuknya kembali ketetapan MPR dalam hirarhi juga menimbulkan pro dan kontra. Hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/ 1996, kemudian diatur dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan terakhir diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011, dalam hal ini telah menimbulkan kompleksitas persoalan dibidang peraturan perundang-undangan akibat silih bergantinya aturan yang mengatur hirarkhi peraturan perundang-undangan.
110
Kedudukan Qanun Mukim dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Mukhlis)
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Kedudukan Peraturan Daerah dalam hirarkhi Peraturan Peraturan PerundangUndangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 di pisahkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan Pada tingkatan di bawahnya adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sedangkan Peraturan Desa tidak dimasukkan lagi dalam herarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sekalipun demikian ada yang memasukkan Peraturan (atau Keputusan) Gubernur setelah Perda Provinsi, dan Peraturan (atau Keputusan) Bupati/Walikota setelah Perda Kabupaten/Kota. Lahirnya kembali bentuk Peraturan Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengingatkan kembali akan eksistensi desadesa adat yang sebenarnya sudah diakui eksistensinya sejak zaman kolonial Belanda. Peraturan Perundang-undangan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat, dibatasi dan harus berada dalam koridor hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau tidak boleh bertentangan atau menyimpang dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 7 ayat (4) UU No. 12 tahun 2011, merupakan penegasan dan pengakuan terhadap peraturan lain yang dibentuk diluar hirarki peraturan perundangan, dan memberikan kepastian hukum bahwa jenis peraturan-peraturan dimaksud merupakan Peraturan Perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Diperlukan pengawasan semua pihak, agar lembaga atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu tidak sewenang-wenang, terutama di dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dewasa ini, produk peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri, lembaga, badan atau pejabat yang diberi wewenang, sering terjadi antara peraturan yang satu dengan yang lain (yang dikeluarkan oleh lembaga itu sendiri dan/atau antara lembaga) muatan materi yang diatur tidak semestinya, tidak sinkron dan tumpang tindih. Kondisi ini dapat terjadi, dikarenakan masing-masing lembaga/pejabat yang mengeluarkan peraturan, memiliki dasar dan mengacu pada Undang-Undang yang menjadi penjurunya, sehingga kebijakannya cenderung lebih didasari kepentingan sektoral untuk keberhasilan urusan yang menjadi kewenangannya. Hal ini sering menimbulkan 111
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
ketidak pastian hukum dan menimbulkan masalah di daerah, terutama dalam hubungan koordinasi pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembatuan. Selanjutnya dalam teori peraturan perundang-undangan ada beberapa prinsip yang dapat ditarik yaitu;17 1. peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada dibawahnya. 2. setiap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus mendapat dasar (keberadaannya) dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 3. materi atau isi suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 4. suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut atau diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat. 5. peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, maka peraturan yang terbaru harus diberlakuakan, walaupun tidak dengan tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut. selain itu, peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum. Mengenai tidak dimasukan kembali Peraturan Desa dalam tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menimbulkan pertanyaan kembali apakah akan menimbulkan kembali sentalistik kekuasaan seperti pada masa orde baru dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, atau karena hanya untuk penyesesuaian dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu Pasal 2 ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
17
Rosjidi Ranggawidjaja, Pedoman Teknik Perancangan Peraturan Perundang-Undangan, Cita Bhakti Akademika, Bandung, 1996, hlm,19. Hal ini juga telah diatur dalam lampiran ke II UU No.12 Tahun 2011.
112
Kedudukan Qanun Mukim dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Mukhlis)
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Berbeda halnya dengan dengan struktur pemerintahan di Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Pasal 2 Menyebutkan bahwa Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota, Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan, Kecamatan dibagi atas mukim, Mukim dibagi gampong. Berdasarkan ketentuan tersebut, susunan lembaga pemerintahan di Aceh meliputi propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, mukim dan gampong.18 Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dapat ditarik suatu kesimpulan secara hirarkhi bahwa pemerintahan Aceh terdiri dari Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Mukim dan Gampong. Oleh karena itu di Aceh, Provinsi terdiri dari kabupaten/kota, kabupaten/kota terdiri dari kecamatan-kecamatan, kecamatan terdiri dari mukim-mukim, mukim terdiri dari gampong-gampong. Ketentuan tersebut, menegaskan bahwa eksistentensi Mukim merupakan bagian dari struktur hierarki pemerintahan negara khususnya pemerintahan Aceh. Berdasarkan susunan tersebut maka dalam pemerintahan Aceh, maka susunan atau hirarkhi peraturan perundang-undangan di Aceh yaitu peraturan (qanun) Provinsi, peraturan (qanun) Kabupaten/kota, peraturan (qanun) Mukim dan Peraturan (qanun) gampong. 2.
Kedudukan Qanun Mukim dalam Peraturan Perundang-undangan
Keberadaan qanun yang mengatur tentang Mukim diatur dalam qanun Kabupaten/Kota merupakan perintah Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan: Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun 18
Sebenarnya Kecamatan bukanlah pemerintahan otonom yang memiliki daerah dan lembaga perwakilan rakyat sebagaimana pada gampong, mukim, kabupaten/kota, ataupun provinsi. Kecamatan merupakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dengan eselonisasi tertentu. Camat bertugas dengan memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah dan tugas-tugas umum pemerintahan. Kecamatan merupakan perpanjangan tangan negara dalam menjalankan tugas-tugas administrasi. Lihat Pasal 126 UU No. 32 Tahun 2004, kemudian di Aceh dalam Pasal 1 angka 18 dan Pasal 112 UU No. 11 Tahun 2006 serta PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. 113
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
kabupaten/kota. Sehingga semua kabupaten/kota berusaha menyusun qanun kabupaten/kota yang mengatur tentang Mukim. Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan imeum mukim diatur dengan Qanun Aceh yang kemudian telah melahirkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang tata cara pemilihan dan pemberhentian Imeum Mukim.19 Berdasarkan kenyataan tersebut, kiranya akan lebih baik mana kala mengenai fungsi, tugas dan kelengkapan/perangkat lembaga dan proses pemilihan/pengisian jabatan lembaga tersebut (Mukim) diatur dalam satu peraturan (qanun). Demikian juga halnya berkaitan dengan fungsi, tugas dan kelengkapan/perangkat lembaga dan proses pemilihan/pengisian jabatan lembaga gampong (Keuchiek) diatur dalam satu peraturan (qanun) tersendiri yaitu qanun kabupaten/kota.20 Meskipun pelimpahan kewenangan tersebut dimaksudkan sebagai pengakuan prularisme adat dan budaya masyarakat Aceh. Sehingga, mukim di Aceh pesisir bisa jadi berbeda oragnisasi dan alat kelengakapannya dengan mukim di bagian tengah Aceh. 21 Berkaitan dengan hal tersebut dapat dibandingkan dengan pengaturan mengenai Mukim dan gampong yang sebelumnya berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 yang melahirkan Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong, yang kemudian memberikan kewenangan lebih lanjut untuk dilaksanakan dengan qanun kabupaten/kota untuk menyesuaikan keanekaragaman yang ada kabupaten/kota di Aceh, ataupun pengaturannya semua dilimpahkan saja ke Kabupaten/kota.
19 20
21
Sebelumya qanun yang mengatur tentang Mukim telah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003. Hal yang sama juga berkaitan dengan pelaksanaaan Pasal 117 ayat (2) UU No. 11 tahun 2006 menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, fungsi, pembiayaan, organisasi dan perangkat pemerintahan gampong atau nama lain diatur dengan qanun kabupaten/kota. Pemerintah Aceh telah mengeluarkan Qanun Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik di Aceh yang mencabut sebagian ketentuan yang diatur dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2003. Taqwadin, Kewenangan Mukim Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam, Bahan Pelatihan Fasilitator Perencanaan Mukim, yang diselenggarakan oleh FFI, Institute of GreenAceh, JKMA Pidie, PeNA, SNI, dan KKP, Hotel Kuala Radja, Banda Aceh 19 November 2009. hlm 12.
114
Kedudukan Qanun Mukim dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Mukhlis)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa susunan pemerintahan Aceh dan susunan atau hirarkhi peraturan perundang-undangan di Aceh yaitu peraturan (qanun) Provinsi, peraturan (qanun) Kabupaten/kota, peraturan (qanun) Mukim dan Peraturan (qanun) gampong. Kedudukan qanun mukim dapat diartikan berada diantara qanun kabupaten/kota dan qanun gampong, atau dapat disebutkan bahwa qanun mukim berada di bawah qanun kabupaten/kota di atas qanun gampong. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat diuraikan, bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berkut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; Qanun Mukim, dan Qanun Gampong
Jenis dan Hierarkhi peraturan perundang-undangan dari urutan 1-7 di atas merupakan sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 20011 yang berlaku secara Nasional, sedangkan peraturan dalam urutan no 8-9 (qanun Mukim dan Qanun Gampong) adalah dalam rangka menjalan kewenangan kekhususan dan keistimewaan yang di berikan kepada provinsi Aceh. Dalam penyusunan qanun Mukim tetap harus mengacu kepada teknik dan prosedur penyusunan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik mengenai mekanisme maupun asas-asas dalam penyusunannya. Berkaitan dengan evaluasi dan verifikasi qanun mukim dapat dilakukan oleh Bupati/Walikota untuk diklarifikasi demi mewujudkan pembangunan hukum dan tertibnya pemerintahan di Aceh. C.
PENUTUP
1.
Untuk memperjelas keberadaan qanun mukim dalam tata urutan perundangundangan di Indonesia diperlukan perjuangan anggota DPR dan DPD Aceh untuk dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 meskipun itu agak sulit dilakukan. 115
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
2.
DPRA bersama-sama Gubernur Aceh dalam merevisi Qanun Nomor 3 Tahun 2007 dengan Qanun No. 5 Tahun 2011 seharusnya memperjelas dan menempatkan qanun mukim dalam hirarkhi peraturan perundangan Aceh di bawah Peraturan Daerah Kabupaten/kota di atas qanun Gampong sehingga jelas keberadaan dan kedudukannya.
3.
Sebaiknya Pemerintahan Daerah juga memasukkan qanun Mukim dan Qanun gampong dalam hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di Aceh sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dalam rangka kekhususan dan keistimewaan bagi Provinsi Aceh.
Daftar Pustaka A.
Buku
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, 1993. Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Bandar Maju, 1995. --------, Teori dan Politik konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press, Cetakan kedua, 2004. Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Translated by Anders Wedberg, New York, Russel & Russel, 1961. HAS Natabaya, Sistem Peraturan Prundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Konpress dan Tatanusa, 2008. Mukhlis, Ilmu Perundang-Undangan, Medan: Ratu Jaya, 2011. Rosjidi Ranggawidjaja, Pedoman Teknik Perancangan Peraturan PerundangUndangan, Bandung: Cita Bhakti Akademika, 1996. Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali, 1971.
B. 116
Kamus dan Sumber Lain
Kedudukan Qanun Mukim dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Mukhlis)
Algra, N.E., (at.al). Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea, Belanda-Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1983. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Cet ke 9, Balai Pustaka, 1997 Hanry Campbell Black, Black's Law Dictionary, Abridged Sixth Edition. St Paul, MINN, West Publishing Co., 199. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramadia Utama, 1996. W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Cet ke 6, Balai Pustaka, 1966. Taqwadin, Kewenangan Mukim Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam, Bahan Pelatihan Fasilitator Perencanaan Mukim, yang diselenggarakan oleh FFI, Institute of GreenAceh, JKMA Pidie, PeNA, SNI, dan KKP, Hotel Kuala Radja, Banda Aceh 19 November 2009. C. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik di Aceh Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2007 tentang Pembentukan Qanun Aceh Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim
117