PEMBELAJARAN ETIKA YOGA DALAM MEMBENTUK KARAKTER JUJUR ANAK USIA DINI Oleh:
Ida Bagus Kade Yoga Pramana Mahasiswa Dharma Acarya Pasca Sarjana IHDN Denpasar
Abstract Yoga is a method of self-discipline ancient has been applied and is still exist today as the trend of a healthy lifestyle and yoga recognized around the world , it demonstrates of the universality teachings of yoga, that can be applied by anyone, including early childhood . For the beginners including early childhood is important to instilled ethics teachings of yoga that has been collated and structured by Maharesi Patanjali in Astangga Yoga concept. Because an early age is a vulnerable period of the formation of character especially for the establishment honest character that is in the Hinduism called satya. Keywords : Yoga , Yoga Ethics , Honest Character, Early Childhood , Satya. Abstrak Yoga merupakan suatu metode disiplin diri kuno yang sudah di terapkan dan masih dikenal hingga saat ini sebagai tren pola hidup sehat yang diakui di belahan penjuru dunia, hal ini menunjukkan ke universalan ajaran Yoga itu sendiri yang dapat di terapkan oleh siapa saja termasuk anak usia dini. Bagi pemula termasuk anak usia dini penting di tanamkan ajaran etika yoga yang sudah di susun dengan terstruktur oleh maharsi patanjali dalam konsep Astangga Yoga. Karena usia dini merupakan masa rentan pembentukan karakter anak terutamapembentukan karakter jujur yang dalam ajaran agama hindu di sebut dengan satya. Kata Kunci : Yoga, Etika Yoga, Karakter Jujur, Anak Usia Dini, Satya. I.
100
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Sejarah menunjukkan bahwa saat ini filsafat tidak lagi membawa pemikiran mengenai adanya subjek besar sebagaimana masalalu, kemajuan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan alam, telah menggoyahkan dasar-dasar pemikiran filsafat. Banyak hal yang semula menjadi bagian dari filsafat yang membahas tentang ilmu asal, kini menjadi topik pokok perhatian dari ilmu-ilmu pisiologi dan psikologi bahkan dalam ranah pendidikan. Menurut Jhon Dewey, seorang filusuf amerika dalam Jalaludin (2013) menyebutkan bahwa filsafat merupakan teori SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
umum dan landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan sehingga tugas filsafat dalam ranah pendidikan adalah mengajukan dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki factor-faktor penyeab, realitas dan pengalaman yang banyak terdapat dalam dunia pendidikan. Secara filosofis filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai yang diupayakan untuk pengalaman kemanusiaan dalam proses pendidikan. Berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Sukardjo, 2013 : 14). Mendukung tujuan pendidikan nasional agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa di perlukan pendidikan agama. Kemudian Secara teoritis berdasarkan Peraturan Presiden no 55 tahun 2007 di jelaskan bahwa Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Secara empiris salah satu materi pembelajaran yang berkaitan dengan pembentukan mental, moral, fisik maupun spiritual dalam pendidikan agama hindu adalah pembelajaran yoga. Swami Satya Nanda Saraswati (2002:7) menyebutkan Sejarah yoga sebagai pembangunan fisik, mental, dan spiritual sudah di kenal sejak lebih dari sepuluh ribu tahun lalu. Sebutannya ditemukan dalam kesusastraan umat manusia terkenal yang paling tua yaitu Veda yang penuh dengan kebijaksanaan spiritual, yang disusun oleh para rsi dan guru terkenal dimasa itu. Dipercaya oleh beberapa orang bahwa pengetahuan yoga bahkan jauh lebih tua daripada Veda tersebut. Bahkan dewasa ini pembelajaran yoga sudah masuk ke dalam materi pokok pembelajaran agama hindu pada jenjang sekolah dasar hingga sekolah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya pembelajaran ini di sampaikan kepada peserta didik, khuusunya umat hindu. Secara pragmatis pembelajaran yoga, khususnya pembelajaran mengenai etika yoga perlu di tingkatkan bahkan dikuatkan kembali terutama bagi anak usia dini yang masih dalam proses pembentukan kepribadiannya, mengingat pemerintah saat ini dengan gencar menggalakkan penanaman pendidikan karakter. Sehingga bersamaan dengan tulisan ini diharapkan akan bermanfaat bagi masyarakat sebagai referensi SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
101
dan bahan bacaan untuk menambah pengetahuan khususnya pengetahuan bahwa pendidikan agama hindu kaya akan ajaran etika yang dapat dijadikan pegangan dalam mendidik anak yang suputra demi mempertahankan peradaban bangsa. II.
102
Pembahasan
2.1 Ajaran Etika dalam Yoga Yoga berasal dari suku kata “yuj” yang memiliki menyatukan atau menghubungkan diri dengan Tuhan. Kemudian Patanjali memberikan definisi tentang yoga yaitu mengendalikan gerakgerak pikiran (Somwir, 2009:23). Sedangkan menurut Swami Satya Nanda Saraswati (2002:1) menyebutkan yoga adalah pengalaman dari keutuhan atau kesatuan dengan keberadaan batin. Kesatuan itu muncul setelah menghancurkan dualitas pikiran dan masalah ke dalam kesadaran diri. Selain itu Darmawan (2004:3) menyatakan yoga adalah disiplin pengetahuan yang berhubungan dengan diri manusia secara utuh, baik fisik, emosi, mental maupun spiritual. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan yoga bersifat universal sehingga setiap praktisi memiliki berbagai pandangan dalam memahami yoga sebagai realisasi sang diri. kemudian untuk keseimbangan dalam menjalani hidup serta untuk kesehatan jasmani dan rohani semuanya akan bertemu pada satu tujuan yang sama yaitu mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Swami Satya Nanda Saraswati (2002:7) menyebutkan Sejarah yoga sebagai pembangunan fisik, mental, dan spiritual sudah di kenal sejak lebih dari sepuluh ribu tahun lalu. Sebutannya ditemukan dalam kesusastraan umat manusia terkenal yang paling tua yaitu Veda yang penuh dengan kebijaksanaan spiritual, yang disusun oleh para rsi dan guru terkenal dimasa itu. Dipercaya oleh beberapa orang bahwa pengetahuan yoga bahkan jauh lebih tua daripada Veda tersebut. Sukayasa dalam jurnalnya (2015;5) latihan spiritual yang intensif dimaksud dilakukan menurut tahap-tahap yoga yang disebut astanggayoga „delapan badan yoga‟(YS,II: 9) yang di populerkan oleh Maharsi Patanjali. Delapan badan (tahap) yoga ini dapat dipandang sebagai delapan anak tangga dengan urutan dari anak tangga dasar berturut-turut sampai tangga puncak: 1. Yama, yaitu mahawrata „janji agung‟ yoga. Jumlahnya 5: ahimsa „pantang kekerasan, tidak bengis‟; satya „jujur‟; astya „pantang mencuri‟; brahmacari „pantang berselingkuh atau mengendalikan nafsu seks‟; dan aparigraha „pantang memanjakan tubuh, pantang menerima pemberian yang tidak diperlukan‟ (YS,11:35-39). 2. Niyama, yaitu brata pengukuh yama. Jumlahnya juga 5: sauca „berperilaku bersih dan suci‟; samtosa „mengendalikan diri agar tetap tenang, penuh rasa syukur, dapat menerima kenyataan apa adanya‟; tapa „tahan uji, berusaha keras‟; swadyaya SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
„berusaha atau belajar mandiri‟; dan Iswaraparnidhana „berbakti kepada Tuhan‟ (YS,11:40-45). 3. Asana, yaitu olah fisik dengan fokus spiritual sehingga penekun yoga dapat duduk sempurna atau dapat memiliki tubuh yang bugar (YS,11:47). 4. Pranayama, yaitu olah nafas sehingga penekun yoga dapat bernapas halus, panjang, dan teratur (YS,11:50). 5. Pratydhdra, yaitu menarik indera dari berbagai objek kesukaannya dan menempatkannya di bawah pengawasan pikiran (YS,11:51,54). 6. Dhdrana, yaitu konsentrasi atau memusatkan pikiran pada objek meditasi (YS,11:53; III: 1). 7. Dhyana, yaitu kontemplasi atau menjadikan pikiran mantap menetap pada objek pikiran (YS,III:2). 8. Samadhi, yaitu keadaan manakala yang berkontemplasi telah menunggal dengan Iswara (Spirit yang menjadi objek renungan) atau manakala penekun yoga telah kehilangan kesadaran individunya dalam Kesadaran Semesta (YS,III:3). Astangga yoga merupakan tahapan latihan yang diawali dengan latihan etika dan moral melalui latihan Yama dan Niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan Asana dan Pranayama, yang di lanjutkan dengan latihan mental melalui latihan Prathyhara dan Dharana, kemudian latihan spiritual berupa Dhyana demi mencapai tujuan akhir yaitu Samadhi. Pada pembahasan ini, etika yoga yang di tekankan bagi anak usia dini, bahkan bagi orang yang awal memulai latihan yoga adalah pada tahap pertama dari astangga yoga, yaitu tahapan panca yama bratha. Yama, yaitu mahawrata „janji agung‟ yoga. Jumlahnya 5 (lima) : ahimsa (pantang kekerasan, tidak bengis) ; satya (jujur); astya (pantang mencuri); brahmacari (pantang berselingkuh atau mengendalikan nafsu seks); dan aparigraha (pantang memanjakan tubuh, pantang menerima pemberian yang tidak diperlukan), yang dimana salah satu bagian dari panca yama brata adalah satya yang berarti jujur. Dalam ajaran agama hindu satya terbagi menjadi lima yaitu: 1. Satya Wacana ,Satya wacana adalah setia, jujur dan benar dalam berkata-kata. Tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan yang disebut “wak purusya”. 2. Satya Hredaya, Satya hredaya adalah setia terhadap kebenaran dan kejujuran kata hati, berpendirian teguh, dan tidak terombang-ambing . 3. Satya Laksana, Satya Laksana adalah sikap setia dan jujur mengakui serta mempertanggungjawabkan kebenaran dari segala perbuatan yang telah dilakukan. 4. Satya Mitra, Satya Mitra adalah setia dan jujur kepada teman dalam segala hal, serta berusaha untuk mengarahkan segala tindakan atau perbuatan agar selalu berdasarkan kebenaran sesuai dengan ajaran agama.
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
103
5. Satya Samaya, Satya Samaya adalah setia dan jujur terhadap janji yang telah diucapkan serta memenuhi segala sesuatuyang ditimbulkan akibat ucapan janji itu. (Sumber: Hindu Alukta blogspot.co.id)
104
2.2 Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini Pendidikan dewasa ini dituntut untuk dapat merubah peserta didik ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional telah merumuskan 18 Nilai Karakter yang akan ditamamkan dalam diri peserta didik sebagai upaya membangun karakter bangsa. Berdasarkan rujukan dari Kementrian Pendidikan Nasional dalam Suyadi (2013;8-9), 18 nilai karakter terdiri dari: 1. Religius, yakni ketaatan dan kepatuahan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan berdampingan. 2. Jujur, yakni sikap dan perilaku yang menceminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan (mengetahui apa yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya. 3. Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut. 4. Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku. 5. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya. 6. Keratif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya. 7. Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain. 8. Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain. 9. Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam. 10. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan. 11. Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekomoni, politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri. 12. Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi. 13. Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik. 14. Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang, dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu. 15. Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya. 16. Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar. 17. Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya. 18. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara, maupun agama. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Sukardjo, 2013 : 14). Penanaman pendidikan karakter sangat penting bagi peserta didik, khususnya bagi anak usia dini. Anak usia dini adalah anak yang berusia lebih dari 2 (dua) tahun dan berusia kurang dari 13 (tiga belas) tahun. Batasan ini sesuai dengan batasan yang dikemukakan oleh Brumfit, Moon dan Thonger. Zaenab (2015;33) dalam bukunya berjudul profesionalisme guru PAUD menuju NTB bersaing menyatakan bahwa pendidikan bagi anak usia dini sangat penting yang di latar belakangi oleh 3 (tiga) hal, yaitu: SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
105
1. Anak adalah penentu kehidupan dimasa mendatang. Pembentukan karakter bangsa dan sumber daya manusia ditentukan oleh bagaimana memperlakukan yang tepat kepada mereka sedini mungkin. 2. Usia sejak kelahiran, sampai 8 tahun merupakan usia yang sangat kritis bagi perkembangan anak. Stimulasi yang di berikan pada anak usia dini akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan anak serta sikap dan prilaku sepanjang rentang hidupnya. 3. Penelitian menunjukkan bahwa anak sejak lahir memiliki kurang lebih 100 milyar sel otak. Sel-sel saraf ini harus rutin diberikan stimulasi dan di dayagunakan agar terus berkembang jumlahnya sehingga mengurangi dampak pengurangan potensi kecerdasan anak.
106
2.3 Pembelajaran Etika Yoga Dalam Membentuk Karakter Jujur Anak Usia Dini Pengertian belajar telah mengalami perkembangan secara evolusi, sejalan dengan perkembangan cara pandang dan pengelaman para ilmuan. Pengertian belajar dapat didefinisikan sesuai dengan nilai filosofis yang dianut dan pengalaman para ilmuan atau pakar itu sendiri dalam mengajarkan peserta didiknya. Pengertian belajar maupun yang dirumuskan para ahli antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang pandangan maupun teori yang dipegang. Belajar adalah suatu aktifitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki prilaku, sikap dan mengokohkan kepribadian. Dalam konteks menjadi tahu atau proses memperoleh pengetahuan menurut pemahaman sains secara konvensional, kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan, (knowledge), atau a body of kwnoledge (Suyono,2011;9). Menurut Gagne dalam Sanjaya (2008;26), belajar adalah sebuah proses yang didalamnya suatu organisme berubah prilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan tingkah laku yang telatif tetap dan terjadisebagai hasil latihan atau pengalaman. Definisi ini mencakup tiga unsur, yaitu; 1. Belajar adalah perubahan tingkah laku, 2. Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena latihan atau pengalaman, 3. Perubahan tingkah laku tersebut relative permanen atau tetap ada untuk waktu yang cukup lama. Istilah pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran. Pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh seorang guru atau yang lain untuk membelajarkan siswa yang belajar (Hasanah,2012;85).
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Pembelajaran etika yoga yang pertama yang dapat dilakukan orang tua atau pendidik kepada anak usia dini dalam melakukan pembelajaran etika yoga yaitu dengan menanamkan konsep etika dan moral berupa pengendalian diri tingkat dasar dari astangga yoga yang terdiri dari Yama dan Niyama Brata. Dewasa ini banyak fenomena terjadi di indonesia, yang menunjukkan menurunnya pengaplikasian sikap ketimuran bangsa yang dikenal dengan sopan santun serta adat istiadatnya. Terutama sikap jujur, karena bukan hal yang asing lagi, kebiasaan untuk berbohong sudah awam dilakukan oleh anak bahkan yang masih berada di usia dini. Sikap berbohong ini merupakan penyimpangan sikap yang terjadi terhadap 18 nilai pendidikan karakter yang ada di indonesia yaitu nilai jujur, hal ini tidak jarang juga dilakukan oleh anak-anak untuk menyelamatkan dirinya dari amarah atau hukuman orang dewasa. Jika dilihat dari sisi yang lain, orang dewasa menginginkan anaknya melakukan prilaku jujur tetapi terkadang orang dewasa tidak sadar dan tidak mendidik bahkan mencerminkan tindakan tidak jujur tersebut kepada anaknya sehingga secara sadar maupun tidak, seorang anak akan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Dalam ajaran agama hindu sesungguhnya penanaman nilai kejujuran sudah seharusnya ditanamkan sejak kecil. Bahkan nilai kejujuran yang terdapat di pendidikan karakter saat ini sudah di anut oleh hindu sejak dahulu, hal ini ditunjukkan dari ajaran etika yang terdapat dalam yoga. Salah satu bagian dari panca yama brata yang merupakan bagian awal dari astangga yoga, yaitu satya (jujur), ini menunjukkan bahwa dalam ajaran etika yoga yang terdiri dari astangga yoga dapat di terapkan bagi anak usia dini demi membangun karakternya menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan menceritakan epos maupun cerita yang bersumber dari itihasa dan purana bahkan tantrik, dari cerita tersebut anak dapat berimajinasi dan bercemin sehingga dapat menstimulasi perkembangan jiwa keagamaan dan juga perkembangan karakter anak. Karena menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religios on Children ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anakanak itu melalui tiga tingkatan, salah satunya yaitu: The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng), Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini akan menghayati konsep ke Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Mengacu pada pernyataan tersebut hal menjadi suatu dilema yang terjadi karena kurangnya kesadaran orang tua untuk mau mendongeng (Jalaludin;1996;66). SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
107
Sebagai contoh pada epos mahabaratha saat kunti diberikan kesempatan oleh bhatara surya mengucapkan permintaan dan akhirnya ia menyesal akan permintaan yang disampaikannya tanpa berfikir panjang terlebih dahulu dan pada saat yudistira menginjakkan langkah pertamanya di neraka loka karena berbohong atas kematian anak gurunya drona. Dari beberapa contoh cerita tersebut seorang anak usia dini mengetahui betapa pentingnya menjaga perkataan karena perkataan adalah doa dan tidak dapat ditarik lagi, sehingga anak akan mengerti dan menyadari pentingnya menjaga perkataannya. Pembelajaran etika kedua dilakukan dengan mengajak anak melakukan aktivitas fisik berupa latihan dasar asana dan pranayama yang merupakan tingkatan ketiga dan keempat dari astangga yoga. Latihan asana dan pranayama dapat dilakukan dengan mengajak anak berolahraga maupun melakukan gerakangerakan yoga bagi anak-anak sambil bermain, seperti padmasana (sikap lotus), bhujanggasana (sikap kobra), sikap kelinci, sikap bayi, sikap pohon bahkan suryanamaskara, karena pada latihan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi serta terjadi trasformasi dari latihan fisik menuju kesehatan jasmani dan pra spiritual karena anak mengetahui kemampuan tubuhnya sendiri dalam melakukan gerakan yoga tersebut, yang di pengaruhi oleh kelenturan tubuh dan kondisi fisik yang dimiliki anak. Pembelajaran etika terakhir bagi anak usia dini terdiri dari pratyhara, dharana, dhyana dan samadhi dapat dilakukan dengan mengingatkan dan mengenalkan anak untuk berkonsentrasi pada saat melakukan doa atau bahkan melakukan trisandya. Pada saat melakukan trisandya anak diingatkan untuk berkonsentrasi pada nafas, kemudian mulai melantunkan mantra dengan santai dan perlahan hingga membayangkan cahaya atau wujud deva di dalam pikiran mereka, dengan melakukan ini anak secara perlahan melatih pratyhara, dharana, dhyana dan samadhi pada tingkat dasar. Jadi para pendidik seperti guru maupun orang tua diharapkan melakukan pembelajaran etika yoga kepada anaknya, terutama yang merupakan anak usia dini dengan memberikan latihan astangga yoga melalui tahapan pembelajaran yang diawali dengan latihan etika dan moral melalui latihan yama dan niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan asana dan pranayama, yang dilanjutkan dengan latihan mental melalui latihan prathyhara, dharana, dhyana dan samadhi sehingga karakter jujur yang di miliki oleh seorang anak usia dini tidak goyah dan tetap mantap, serta mencerminkan sikap anak yang suputra. 108
III. Penutup Pendidikan agama di perlukan dalam mendukung tujuan pendidikan nasional agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini di SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
tunjukkan pemerintah dengan melakukan program berupa penanaman 18 nilai pendidikan karakter yang sangat penting ditanamkan sejak dini pada anak, salah satunya yaitu karakter jujur. Karena stimulasi yang di berikan pada anak usia dini akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan anak serta sikap dan prilaku sepanjang rentang hidupnya. Salah satu pembelajaran agama Hindu yang dapat di terapkan bagi anak usia dini adalah pembelajaran etika yoga, yaitu dengan memberikan latihan astangga yoga melalui tahapan pembelajaran yang diawali dengan latihan etika dan moral melalui latihan yama dan niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan asana dan pranayama, yang di lanjutkan dengan latihan mental melalui latihan prathyhara, dharana, dhyana dan samadhi sehingga karakter jujur yang di miliki oleh seorang anak usia dini tidak goyah dan tetap mantap, serta mencerminkan sikap anak yang suputra. Daftar Pustaka Darmawan, Rahmat. 2004. Kundalini Dharmayoga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Hasanah, M.Ed, 2012. Pengembangan Profesi Keguruan, Pustaka Setia: Bandung, Jalaluddin, 1996. Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jalaludin ,H, Abdullah. 2013. Filsafat pendidikan manusia, filsafat dan pendidikan. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada Peraturan Presiden no 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama. PDF Sanjaya, 2008. Strategi Pembelajaran; Berorentasi setandar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Saraswati, Swami Satyanada. 2002. Asana, Pranayama, Mudra, Bandha. Surabaya: Paramitha Somwir. 2009. Yoga dan Ayur Weda. Denpasar: Bali-India Foundation Sukayasa, I Wayan. 2015. Jurnal berjudul “Yoga; Teori dan Metode Psikologi Hindu” Program Pasca Sarjana IHDN Denpasar; Sukardjo ,M . 2013. Landasan Pendidikan konsep dan aplikasinya. Jakarta;Rajawali Pers Suyadi. Strategi Pemebelajaran Pendidikan Karakter. 2013. Bandung. Remaja Rosdakarya Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. PDF Zaenab,Siti. profesionalisme guru PAUD menuju NTB bersaing. 2015. Malang. Selaras Sumber Internet http://hindualukta.blogspot.co.id/2016/05/pengertian-pancasatya-dan-bagian.html (Download 07 Juli 2016) SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
109