-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DAN DAERAH BERBASIS PERMAINAN TRADISIONAL DI SEKOLAH DASAR Biya Ebi Praheto Mahasiswa S-3 PBI Universitas Sebelas Maret
[email protected]
Abstract Language is the result of culture in society. Language as a result of culture can not be separated from the culture in learning. Integrating traditional game is an effort of innovation in the language learning process related to national culture. Many traditional games that can be integrated into language learning as a game of ‘ular naga’ in standard competency of speak and ‘engklek’ in in standard competency of read. In this case the teacher should have a creative attitude in selecting and modifying the traditional game to match the material to be taught. Expected integration of traditional games in language learning can enhance the appeal in language learning as well as facilitate the learning materials delivered and understood by students. Keywords: Traditional Games, Learning, Indonesian, Local Language
Abstrak Bahasa merupakan hasil dari kebudayaan yang ada di dalam masyarakat. Bahasa sebagai hasil budaya tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan dalam pembelajarannya. Pengintegrasian permainan tradisional merupakan upaya inovasi dalam proses pembelajaran bahasa berkaitan dengan budaya bangsa. Banyak permainan tradisional yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa seperti permainan ular tangga dalam SK berbicara dan permainan engklek dalam SK membaca. Dalam hal ini guru harus memiliki sikap yang kreatif dalam memilih dan memodi ikasi permainan tradisional sehingga sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Diharapkan pengintegrasian permainan tradisional dalam pembelajaran bahasa dapat meningkatkan daya tarik dalam pembelajaran bahasa serta memudahkan materi pelajaran tersampaikan dan dipahami oleh siswa. Kata Kunci: Permainan Tradisional, Pembelajaran, bahasa Indonesia, bahasa daerah
Pendahuluan Bahasa merupakan hasil dari kebudayaan yang ada di dalam masyarakat. Hal tersebut tampak pada pendekatan sosiolinguistik bahasa yang menyatakan adanya hubungan antara gejala masyarakat dengan gejala manusia. Selain bahasa memiliki variasi dan merupakan alat komunikasi, bahasa juga merupakan identitas kelompok (Isskandarwasid, 2013: 45). Melihat hal tersebut bahasa tidak dapat lepas dari budaya sebagai hasil kebudayaan, begitu pula perkembangan dan pengajaran bahasa Indonesia dan daerah di sekolah dasar. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah tidak dapat dipisahkan dan saling terkait satu sama lain. Perkembangannya pun berjalan seiringan. Ada sebagian masyarakat yang memiliki bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia, namun ada pula yang berbahasa ibu bahasa daerah. Semuanya berpengaruh pada proses pembelajaran di kelas berkaitan dengan penguasaan bahasa. Bahasa Indonesia maupun bahasa daerah yang dijadikan bahasa ibu bukan berarti pembelajaran kedua bahasa tersebut berjalan lancar di sekolah. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dianggap sulit untuk dipelajari. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor dari pengajar, peserta didik, maupun kebijakan terkait kurikulum bahasa Indonesia yang berhubungan dengan materi pembelajaran. Bahasa sebagai alat komunikasi kurang diajarkan sebagaimana alat komunikasi, melainkan sebagai kajian wacana. Begitu pula dengan pembelajaran bahasa daerah yang seharusnya lebih mudah untuk dipelajari dan diajarkan karena lebih dekat dengan masyarakat namun mengalami kesulitan dalam pengajarannya.
399
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Hubungan antara peserta didik, pengajar, maupun materi pelajaran tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling terkait mendukung tercapainya tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. Sesulit apapun materi bahasa Indonesia dan daereah yang diajarkan, pengajar harus dapat menyampaikannya kepada peserta didik, begitu pula peserta didik harus dapat memahaminya. Oleh karena itu diperlukan model pembelajaran bahasa Indonesia dan daerah yang tepat serta inovatif. Pembelajaran bahasa Indonesia dan daerah di sekolah dasar berperan penting dalam penguasaan keterampilan berbahasa Indonesia dan daerah secara umum bagi seorang peserta didik. Hal tersebut terjadi karena pada masa usia sekolah dasar siswa dapat menyerap materi dengan maksimal dan dapat menyimpannya dalam jangka panjang. Siswa sekolah dasar adalah mereka yang sedang menjalani tahap perkembangan masa kanak-kanak dan memasuki masa remaja awal. Pada masa usia sekolah dasar, anak diharapkan memperoleh pengetahuan dasar yang dipandang sangat penting bagi persiapan dan penyesuaian diri terhadap kehidupan di masa dewasa. Anak diharapkan memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang meliputi: a) Keterampilan membantu diri sendiri. Pada masa ini, anak-anak mampu untuk membantu dirinya sendiri untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Dia mampu memecahkan masalahnya sendiri sehingga ia dapat berintegrasi dengan lingkungannya. b) Keterampilan sosial. Pada masa ini anak-anak mampu bersosialisasi, baik dengan teman seumurannya maupun dengan orang yang lebih tua/muda darinya. c) Keterampilan sekolah. Anak-anak pada masa ini mampu untuk bersekolah, mengikuti pelajaran, dan menyerap pelajaran. e) Keterampilan bermain (Iskandarwassid, 2013: 139). Pada usia anak sekolah dasar, anak-anak mampu bermain mainan untuk usia mereka. Masa usia sekolah dasar disebut juga masa intelektual, karena keterbukaan dan keinginan anak untuk mendapat pengetahuan dan pengalaman. Selain itu, bermain memiliki arti penting bagi seorang anak, sebagaimana bermain bagi anak adalah suatu kegiatan yang serius, tetapi mengasyikan. Melalui aktivitas bermain, berbagai pekerjaannya terwujud. Bermain juga merupakan aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak, karena menyenangkan bukan karena akan memperoleh hadiah atas pujian. Bermain adalah salah satu alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhan anak. Bermain adalah medium bagi si anak mencobakan diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga benar nyata secara aktif. Apabila anak bermain secara bebas, sesuai kemauannya maupun sesuai kecepatannya sendiri, maka ia melatih kemampuannya. Oleh sebab itu pembelajaran bahasa Indonesia dan daerah di sekolah dasar dapat mengintegrasikan permainan kedalam proses pembelajarannya. Permainan adalah alat bagi anak untuk menjelajahi dunianya, dari yang tidak ia kenali pada sampai yang ia ketahui dan dari yang tidak dapat diperbuatnya, sampai mampu melakukannya (Semiawan, 2008: 20). Jadi, bermain memiliki nilai dan ciri yang penting dalam kemajuan perkembangan kehidupan sehari-hari seorang anak. Nilai dan ciri tersebut sebagai berikut. Pertama, bermain memiliki berbagai arti. Pada permulaan setiap pengalaman bermain memiliki unsur risiko. Sebagai contoh: ada risiko bagi anak untuk belajar berjalan sendiri, naik sepeda sendiri, berenang ataupun yang lainnya. Kedua, adanya pengulangan. Dengan pengulangan, anak memperoleh kesempatan mengonsolidasikan keterampilannya yang harus diwujudkannya dalam berbagai permainan dengan berbagai nuansa yang berbeda. Sesudah pengulangan itu berlangsung, anak akan meningkatkan keterampilannya yang lebih kompleks. Melalui berbagai permainan yang diulang, ia memperoleh kemampuan tambahan untuk melakukan aktivitas lain. Ketiga, melalui bermain anak secara aman dapat menyatakan kebutuhannya tanpa dihukum atau terkena teguran. Dengan memahami arti bermain bagi anak, dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan kebutuhan bagi anak. Dengan merancang pelajaran tertentu untuk dilakukan sambil bermain, anak belajar sesuai dengan tuntutan taraf perkembangannya. Bahkan, apabila kebutuhan 400
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
tersebut tidak terpenuhi, ada satu tahap perkembangan yang berfungsi kurang baik dan ini tidak akan terlihat secara nyata segera, tetapi akan terlihat kelak di masa datang apabila ia sudah menjadi remaja. Menurut Semiawan (2008: 21) ada dua hal yang terkait dengan perkembangan anak sesuai dengan permasalahan di atas, yaitu 1) perkembangan kognitif anak pada umur ini menunjukkan bahwa ia berada pada taraf praoperasional sampai tahap operasi konkret. 2) hal kedua terkait dengan fungsi otak. Seperti diketahui, kedua belahan otak kiri dan kanan memiliki fungsi yang berbeda-beda. Belahan otak kiri memiliki fungsi, ciri, dan respons untuk berpikir logis, teratur dan linier. Sebaliknya, belahan otak kanan terutama dikembangkan untuk mampu berpikir holistik, imaginatif, dan kreatif. Bila anak belajar formal (seperti banyak hafal menghafal) pada umur muda, maka belahan otak kiri yang berfungsi linier, logis, dan teratur amat dipentingkan dalam perkembangannya dan ini sering berakibat bahwa fungsi otak kanan banyak digunakan dalam berbagai permainan terabaikan. Akibatnya kelak anak akan tumbuh memiliki sikap yang cendenrung bermusuhan terhadap sesama teman atau orang lain. Hal tersebut menunjuk pada suatu pertumbuhan mental yang kurang sehat. Jadi, belajar sambil bermain bagi anak berusia kurang lebih 4 – 7 tahun adalah suatu hal yang penting agar tumbuh secara sehat mental, bahkan sampai dengan usia 13 atau 14 tahun bermain adalah penting bagi anak. Terkait dengan pembelajaran membaca aksara Jawa pada siswa kelas 3 memiliki kesamaan dengan anak yang baru mengenal huruf di kelas 1 sehingga permainan akan menjadikan salah satu strategi yang tepat dalam pembelajaran membaca aksara Jawa. Melihat pentingnya permainan dalam pembelajaran serta kesulitan dalam belajar bahasa Indonesia dan daerah maka dikembangkan pembelajaran bahasa Indonesia dan daerah yang berbasis permainan tradisional. Permainan tradisional yang diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan daerah diharapkan mampu membantu siswa memahami pelajaran lebih mendalam sekaligus tidak melepaskan nilai-nilai budaya masyarakat. Hal tersebut disebabkan permainan tradisional merupakan hasil kebudayaan yang ada di masyarakat secara turunmenurun. Selain itu, pengintegrasian permainan tradisional dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat dijadikan sarana pelestarian budaya sekaligus memperkenalkannya kepada peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Permainan Tradisional Permainan atau game biasanya digunakan untuk memeragakan atau menirukan suatu keadaan yang sebenarnya. Keadaan tersebut tidak dapat dihadirkan langsung di dalam ruang atau tempat latihan. Jenis media ini terutama sangat efektif untuk menjelaskan suatu pengertian abstrak atau konsep yang sering sulit dijelaskan dengan kata-kata. Melalui permainan yang dirancang khusus, para siswa dapat mengalami sendiri secara langsung suatu kejadian. Suyatno (2005: 14) mengemukakan bahwa permainan dalam pembelajaran jika dimanfaatkan secara bijaksana dapat: a) menyingkirkan keseriusan yang menghambat dalam belajar, b) menghilangkan stress dalam lingkungan belajar, c) mengajak siswa terlibat penuh, d) meningkatkan proses belajar, e) membangun kreativitas diri, f) mencapai tujuan dengan ketidaksadaran, g) meraih makna belajar melalui pengalaman, dan h) memfokuskan siswa sebagai subjek belajar. Pendidikan selama ini tidak menempatkan siswa sebagai subjek. Padahal 1) setiap peserta didik adalah unik. Peserta didik memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, proses penyeragaman dan penyamarataan akan membunuh keunikan tersebut. Keunikan harus diberi tempat dan dicarikan peluang agar dapat lebih berkembang; 2) anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Jalan piker anak tidak selalu sama dengan jalan piker orang dewasa. Orang dewasa harus dapat menyelami cara merasa dan berpikir anak-anak. Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, pendidik memberikan materi pelajaran lewat ceramah seperti yang 401
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
mereka peroleh dari bangku sekolah yang pernah diikuti; dunia anak adalah dunia bermain tetapi materi pelajaran banyak yang tidak disajikan lewat permainan. Hal itu salah satunya disebabkan oleh pemberian materi pelajaran yang jarang diaplikasikan melalui permainan yang mengandung nuansa ilsafat pendidikan; 4) usia anak merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia. Namun, dunia pendidikan kurang memberikan kesempatan dan fasilitas dalam kreativitas (Suyatno, 2005: 3). Permainan pada umumnya tidak jauh berbeda dengan permainan tradisional. Yang membedakan hanya bentuk dan cara permainan itu diajarkan. Permainan tradisional merupakan hasil kebudayaan atau tradisi dari masyarakat yang keberadaannya diajarkan secara turuntemurun. Permainan tradisional merupakan salah satu hasil budaya masyarakat dari suatu daerah atau wilayah tempat tinggal. Ada permainan tradisional yang menggunakan alat atau perlengkapan dan ada pula yang tidak menggunakan alat. Selain itu, ada permainan yang dipertandingkan dan ada pula permainan yang tidak dipertandingkan (Direktorat Permuseuman, 1998:i). Melihat permainan tradisional merupakan salah satu hasil budaya masyarakat maka permainan tradisional bagian dari folklore. Foklor adalah bagian dari kebudayaan dari berbagai kolektif di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, yang disebarkan turun-temurun di antara kolekti kolektif yang bersangkutan, baik dalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat/mnemonic devices (Danandjaya, 1986). Foklor dapat berupa bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, cerita rakyat, nyanyian rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, kepercayaan rakyat, arsitektur rakyat, musik rakyat, dan sebagainya. Permainan rakyat seringkali juga disebut sebagai permainan tradisional. Bishop & Curtis (2005) mende inisikan permainan tradisional sebagai permainan yang telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan permainan tersebut mengandung nilai “baik”, “positif”, “bernilai”, dan “diinginkan”. Selanjutnya Bishop & Curtis juga mengklasi ikasikan tradisitradisi bermain menjadi tiga kelompok, yaitu permainan yang syarat dengan muatan verbal, permainan yang sarat dengan muatan imaginatif, dan permainan yang sarat dengan muatan isik. Permainan tradisional dapat diintegrasikan kedalam pembelajaran seperti pembelajaran bahasa Indonesia dalam penelitian ini. Sebagai contoh permainan dakon, engklek, bekel, dan sebagainya diintegrasikan dan disesuaikan dengan materi dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran Bahasa Indonesia dan Daerah Berbasis Permainan Tradisional Pembelajaran bahasa Indonesia dan daerah berbasis permainan tradisional yang dimaksud disini merupakan pengintegrasian permainan tradisional dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan daerah disesuaikan dengan SK dan KD di dalam kurikulum serta memodi ikasi permainan tradisional agar dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Di dalam proses perencanaan pembelajaran dapat menganalisis kebutuhan siswa serta memilih permainan tradisional yang sesuai untuk materi pada SK dan KD yang akan diajarkan. Tidak semua permainan tradisional dapat langsung digunakan dalam pembeajaran bahasa, akan tetapi perlu adanya sikap kreati itas guru untuk memodi ikasi permainan tradisional sehingga sesuai dan dapat digunakan untuk menyampaikan materi bahasa Indonesia dan daerah kepada peserta didik. Sebagai contoh permainan ular naga untuk pembelajaran berbicara kelas 2 untuk KD: Mendeskripsikan tumbuhan atau binatang di sekitar sesuai ciri-cirinya dengan menggunakan kalimat yang mudah dipahami orang lain. Secara teknis permainan ular naga ini dimainkan sebagaimana permainan ular tangga pada umumnya yaitu dua orang membuat ‘gerbang’ dengan kedua tangan mereka. Sisanya menjadi ‘ular’ dengan cara berbaris dan memegang bahu teman di depannya dengan kedua tangan. Semua bernyanyi dan ‘ular’ berjalan keluar402
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
masuk dan memutari gerbang. Saat lagu selesai, gerbang akan diturunkan dan menangkap satu anak. Anak yang tertangkap tersebut harus menjelaskan atau mendeskripsikan tumbuhan atau binatang sekitar. Jika anak yang tertangkap itu tidak dapat mendeskripsikan maka anak itu harus menjadi gerbang. Contoh lainnya yaitu permainan engklek yang dapat digunakan dalam pembelajaran membaca aksara Jawa. Pada dasarnya permainan ini dilakukan sebagaimana mestinya hanya di setiap kotak atau petak lumpat diberi huruf-huruf Jawa. Pemain melemparkan koin dengan cara membelakangi kotak sehingga tidak dapat melihat kotak yang akan dituju oleh koin. Setelah itu, pemain harus membaca huruf Jawa pada kotak yang dituju koin. Jika siswa dapat membaca huruf Jawa tersebut, siswa dapat melompati kotak dan mendapatkan poin. Perencanaan pembelajaran bahasa Indonesia dan daerah berbasis permainan tradisional, guru harus memperhatikan kondisi siswa yang diajar karena setiap kelas memiliki karakteristik yang berbeda terutama jika berbeda tingkatan kelas. Selain itu, guru harus memilih dan memodi ikasi permainan tradisional yang akan digunakan dalam pembelajaran dan harus sesuai dengan tujuan pencapaian KD. Selain contoh di atas masih banyak contoh permainan tradisional yang dapat dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa di sekolah dasar. Pengintegrasian permainan tradisional diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan daya tarik siswa dalam pembelajaran bahasa. Selain itu, diharapkan dapat memudahkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran serta mempermudah siswa untuk memahami materi pelajaran. Penutup Bahasa sebagai hasil budaya tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan dalam pembelajarannya. Pengintegrasian permainan tradisional merupakan upaya inovasi dalam proses pembelajaran bahasa berkaitan dengan budaya bangsa. Banyak permainan tradisional yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa seperti permainan ular tangga dalam SK berbicara dan permainan engklek dalam SK membaca. Dalam hal ini guru harus memiliki sikap yang kreatif dalam memilih dan memodi ikasi permainan tradisional sehingga sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Diharapkan pengintegrasian permainan tradisional dalam pembelajaran bahasa dapat meningkatkan daya tarik dalam pembelajaran bahasa serta memudahkan materi pelajaran tersampaikan dan dipahami oleh siswa.
Daftar Pustaka Bishop, J.C. & Curtis, M. 2005. Permainan anak-anak zaman sekarang. Editor: Yovita Hadiwati. Jakarta: PT Grasindo. Danandjaja, J. 1986. Foklor Indonesia: Ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain. PT Gra itipers: Jakarta. Iskandarwassid, dan Sunendar, Dadang. 2013. Strategi Pembelajaran Bahasa. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Semiawan, Conny. 2008. Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar. PT Indeks: Jakarta. Suyatno. 2005. Permainan Pendukung Pembelajaran Bahasa dan Sastra. PT Grasindo: Jakarta.
403