Ramlan Yusuf Rangkuti: Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai...
PEMBATASAN USIA KAWIN DAN PERSETUJUAN CALON MEMPELAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Ramlan Yusuf Rangkuti Abstract: One of marriage aims is to make a household that is sakinah, mawaddah, and rahmah. Prospective husbands and wives that will get married have to prepare their body and soul to reach that, so that they will get a good and healthy generation that it will not be finished by separation in the next day. It needs an experiment about marriage age limitation and prospective bride deal. The result is traditional scribes of islamic jurisprudence don’t know about that age limitation and that deal, even their father and grandfather have a compulsory authority (ijbar) for the women that they have not been married before. It’s different from contemporer scribes of islamic jurisprudence that they agree the limitation and they want a prospective bride deal. Although there all kind of opinions about that limitation, they are in islamic jurisprudence nations now. Kata Kunci: Pembatasan usia kawin, Fiqih, Hukum Islam
Berbicara masalah batasan usia perkawinan merupakan hal yang sangat sensitif sifatnya, hal ini disebabkan sangat erat kaitannya dengan permasalahan setuju atau tidaknya khususnya seorang gadis untuk dinikahkan, selain itu, hal ini juga berkaitan dengan masalah hak paksa dari seorang wali nikah. Oleh sebab itu, perlu adanya ketentuan batas umur ini didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga yang dibentuk dalam suatu ikatan perkawinan. Untuk itulah seorang calon suami maupun calon istri yang akan atau hendak melangsungkan perkawinan harus telah masak jiwa dan raganya agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa harus berakhir dengan sebuah perceraian dan diharapkan pula dengan adanya kematangan jiwa dan raga dari masing-masing mempelai akan dapat menghasilkan keturunan yang baik dan juga sehat. Oleh sebab itulah, perlu ada suatu upaya untuk melakukan pencegahan berlangsungnya suatu perkawinan dimana antara calon suami ataupun calon istri yang masih di bawah umur. Selain hal tersebut diatas, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Hal ini terbukti, bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan suatu permasalahan baru yaitu munculnya hal-hal yang tidak lagi sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan yaitu untuk terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang seperti antara lain tumbuhnya keturunan yang tidak terjamin kesejahteraannya yang disebabkan ketidakstabilan dan ketidakmatangan jiwa dan raga dari para pihak, yaitu suami ataupun isteri. Untuk itulah, dalam penelitian ini akan diuraikan tentang batasan usia dari berbagai sudut pandang dan tinjauan, sehingga dalam hal ini diharapkan akan menghasilkan suatu tujuan akan pentingnya penentuan batas umur untuk kawin khususnya bagi calon mempelai wanita. 66
JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan diteliti dan dibahas adalah: bagaimana pandangan hukum Islam (fikih) tradisional tentang pembatasan usia kawin dan keharusan adanya persetujuan calon mempelai; bagaimana pula kedua hal tersebut diatur dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia dan pandangan pakar hukum Islam (fikih) kontemporer, kemudian bagaimana pula kedua hal tersebut diatur dalam peraturan perundangundangan negara-negara muslim lainnya didunia. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, maka tujuan yang akan dicapai adalah: untuk mengetahui pandangan para ahli hukum Islam (fikih) tentang ada atau tidaknya pembatasan usia kawin dan keharusan persetujuan calon mempelai; untuk mengetahui pandangan para ahli hukum Islam (fikih) kontemporer dan kompilasi hukum Islam di Indonesia tentang kedua hal tersebut diatas; disamping itu ingin mengetahui kedua hal tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan negara-negara muslim lainnya didunia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada pendekatan asas-asas hukum dan norma-norma hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tradisional dan kontemporer, kompilasi hukum Islam di Indonesia serta berbagai peraturan perundang-undangan dinegara muslim lain didunia. Disamping itu, penelitian ini bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan para ahli hukum Islam (fikih) tradisional, kontemporer, KHI, dan peraturan perundang-undangan negara-negara muslim lain didunia tentang ada atau tidaknya pembatasan usia kawin dan persyaratan persetujuan calon mempelai. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan teknik penelitian kepustakaan (library research), dan alat pengumpul data yang digunakan adalah studi dokumen dengan menelusuri, membaca dan mempelajari berbagai konsep, teori dan doktrin (pendapat) para ahli, baik yang tradisional maupun kontemporer, serta peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya. HASIL PENELITIAN Batasan Usia Perkawinan dalam Konsep Fikih Tradisional Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka dalam konsep fikih tradisional terdapat beberapa pandangan, yang dapat di lihat pada skema di bawah ini, sebagai berikut: Usia Calon Mempelai Wanita
Seorang anak gadis yang masih di bawah umur
Seorang gadis yang telah mencapai usia dewasa
Pandangan Mazhab Keseluruhan mazhab berpandangan kebolehan berlakunya hak paksa (ijbar) dari seorang ayah atau kakek untuk menikahkan anak gadisnya yang berusia di bawah umur dan berada di bawah perwaliannya. Setelah mencapai usia dewasa, gadis tersebut mempunyai hak untuk membatalkan perkawinan (fasakh) jika ia dinikahkan oleh wali yang bukan wali mujbir. Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: Seorang wanita dewasa tetap harus dinikahkan oleh wali Menurut Hanafi: Seorang wanita dewasa boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali dengan syarat suami harus sekufu dalam hal latar belakang, keluarga, agama dan taraf hidup.
67
Ramlan Yusuf Rangkuti: Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai...
Dalam hal usia untuk menikah dan persetujuan dari si gadis untuk dinikahkan ini, Imam Syafi’i mengklasifikasikan wanita kedalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: (a) Gadis yang belum dewasa yaitu yang belum berusia 15 tahun atau belum mendapat haid. Maka dalam hal ini, seorang bapak boleh menikahkan anaknya tanpa izinnya terlebih dahulu dengan syarat perkawinan itu tetap harus memberikan keuntungan dan tidak merugikan si anak. Dan kelak jika ia dewasa, maka ada haknya untuk memilih (khiyar). (b) Gadis dewasa adalah yang telah berusia 15 tahun ataupun yang telah mendapat haid. Dalam hal ini, ada hak berimbang antar bapak dengan si gadis.Walaupun persetujuan yang diberikan si gadis sifatnya lebih merupakan pilihan (ikhtiyar) bukan suatu keharusan (fard). Dengan demikian hukumnya hanya sunnah bukan wajib. Hal ini sesuai dengan HR yang bersumber dari Ibn’ Abbas yang mengkisahkan tindakan Rasulullah Saw yang memisahkan perkawinan putri dari Usman bin Maz’un yang dikawinkan oleh Abdullah bin Umar (saudara sepupu sebagai wali), setelah ibu si gadis mengadukan pada Rasulullah Saw bahwa anaknya tidak menyetujui perkawinan tersebut. (c) Janda; Dalam perkawinan seorang janda sangat diperlukan persetujuan dari dirinya secara tegas, sehingga seorang wali yang menikahkan janda dengan laki-laki yang tidak disetujuinya, maka dapat dibatalkan perkawinan tersebut. Oleh sebab itu, dalam perkawinan janda tidak ada yang berhak untuk mencegah, termasuk oleh kakek ataupun ayah. Batasan Usia Perkawinan dalam KHI dan Pandangan Pakar Hukum Islam Kontemporer Dari sudut pandang yang berbeda dari pandangan ahli-ahli fikih tradisional, maka dalam pandangan pakar Hukum Islam yang kontemporer perlu adanya terobosan dan perubahan sehubungan dengan permasalahan usia untuk menikah dan juga persetujuan dari calon mempelai. Kelompok kontemporer beranggapan bahwa kelompok tradisional terlalu kaku dalam menafsirkan ayat-ayat dalam al Qur’an dan juga pada praktik Rasulullah Saw saat dirinya menikahi Siti Aisyah ra yang masih berusia 7 tahun. Oleh sebab itulah, kaum tradisional memperkenankan perkawinan anak-anak di bawah umur dengan berdasarkan pemahaman yang kaku dan rigid. Kaum kontemporer berupaya untuk melakukan pemahaman yang lebih fleksibel terhadap ayat-ayat dalam Al Qur’an dan Al Hadist. Melalui ketentuan QS an-Nisa: 3 dan 19, Riffat Hassan mengemukakan pandangannya tentang dasar larangan adanya perkawinan paksa; ”Surat an- Nisa: 3 sebagai pernyataan agar laki-laki menikah dengan wanita pilihannya, sedangkan an-Nisa: 19 menetapkan larangan perkawinan paksa walaupun secara tekstual ayat ini berhubungan dengan larangan mewarisi wanita dengan jalan paksa. Oleh sebab itu, dalam setiap pelaksanaan akad harus ada persetujuan dari wanita. Hal ini didasarkan pada adanya praktek langsung dari Rasulullah Saw yang menolak perkawinan paksa orangtua terhadap anak gadisnya, serta juga berdasarkan status akad nikah sebagai suatu transaksi yang harus terpenuhi keabsahannya dengan terpenuhinya syarat-syarat subjek hukum yang melakukan transaksi, antara lain dengan tidak melalui cara pemaksaan.” (Nasution, 2002 : 200) Asghar Ali Engineer juga memberikan pandangannya tentang Q.S an-Nisa:19 yaitu bahwa persetujuan mempelai dalam perkawinan sangat diperlukan dan juga pentingnya izin kaum kerabat dalam perkawinan sesuai dengan Q.S an-Nisa : 25. Selain itu berdasarkan Q.S al- Baqarah:232 juga menekankan larangan untuk menghalang-halangi perempuan yang telah ditolak untuk kawin lagi. (Engineer, 1994:42). Berdasarkan pandangan al-Haddad, konsep khiyar atau pemberian hak pilih bagi seorang gadis saat ia dewasa untuk tetap meneruskan perkawinan atau bercerai yang dikemukakan kaum tradisional menunjukkan pemberian kebebasan kepada wanita untuk memilih pasangan hidupnya tidak dengan sepenuhnya. Al- Haddad memandang praktek perkawinan yang dilakukannya seorang wanita pada masa itu merupakan pemenuhan keinginan dan kepentingan wali dan calon suami serta kerap terjadi wali menyalahgunakan 68
JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 kewenangannya demi kepentingan pribadi tanpa mendorong si wanita untuk mempunyai pasangan sesuai dengan pilihannya yang berdasarkan rasa cinta dan kasih sayang. Oleh sebab itulah, praktek perkawinan seperti ini pada dasarnya sangat bertentangan dengan ketentuan Q.S an-Nisa:19. (Al-Haddad, 1993 : 63) Pandangan serta gagasan kaum kontemporer dalam hal batasan usia perkawinan dan juga persetujuan calon mempelai wanita ini juga mempengaruhi padangan dan sikap pakarpakar di Indonesia, antara lain Quraish Shihab, Ahmad Rafiq, Amir Syarifuddin dan lainnya. Quraish Shihab mempunyai pandangan bahwa ketentuan dalam Q.S al Baqarah:232 itu mengandung arti bahwa adanya suatu larangan bagi seorang wali nikah untuk melakukan suatu pernikahan atau akad apabila terhadap dirinya tidak mempunyai hak kewalian. Dengan demikian, ada suatu larangan bagi seorang wali yang berupaya untuk menghalang-halangi wanita yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah dengan laki-laki lain (idaman dari si wali) yang bertujuan untuk menunjukkan akan pentingnya peran wali dalam suatu perkawinan. Selain itu, Quraish Shihab menyoroti pula pandangan Abu Hanifah dalam memahami Q.S. al Baqarah:234 bahwa wanita boleh menikahkan dirinya tanpa wali atau dengan kata lain ayat ini merupakan ayat yang memberi kebebasan vagi wanita untuk melakukan apa saja. Menurut Quraish, hal-hal yang disampaikan oleh kelompok Abu hanifah dengan mendalilkan kebolehan wanita menikahkan diri sendiri tanpa wali melalui redaksi yang terdapat pada ayat ini adalah tidak dapat dibenarkan karena hak kebolehan menikahkan diri sendiri yang diatur dalam ayat ini adalah hak kebolehan yang dimiliki dalam konteks wanita yang sudah berstatus janda tidak pada seorang gadis. Dan menurutnya lagi, sejalan dengan apa yang telah diatur dalam Q.S an-Nisa’: 25 adalah merupakan suatu tindakan yang baik dan amat bijak untuk tetap menghadirkan seorang wali baik bagi perkawinan seorang gadis maupun janda, tidak lain untuk maksud dan tujuan yang baik yaitu menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan pada saat perkawinan atau akad dilakukan, sehingga masih ada orang (dalam hal ini wali) yang dapat menjadi sandaran atau rujukan jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.(Shihab, 1996:203) Menurut Amir Syarifuddin, merujuk pada ketentuan Q.S an- Nisa’:6, yang artinya: ” Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”. Ayat ini merupakan ketentuan yang telah mengatur dan menetapkan batas usia kawin. Katakata ” balagu an-nikah” yang diartikan dewasa, selama ini pemahamannya hanya dalam konteks batas waktu untuk memberikan harta anak yatim yang sebelumnya dikuasai oleh wali, padahal kata-kata ini dapat dinyatakan untuk menentukan batas waktu kepantasan untuk kawin.(Syarifuddin, 1990:114) Menurut Djatnika, langkah penentuan usia kawin didasarkan pada metode maslahah mursalah, namun demikain karena sifatnya yang ijtihad, tentu kebenarannya relatif dan tidak kaku. Artinya karena kondisi tertentu, calon mempelai yang masih di bawah usia 21 tahun dapat meminta dispensasi pada pengadilan.(Djatnika, 1991:254) Ahmad Rafiq menyatakan bahwa meskipun penentuan batas umur sifatnya ijtihadiyah, namun dalam hal ini Q.S an-Nisa’: 9, yang artinya: ”..dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir kesejahteraan mereka..” Ayat ini menurut beliau dapat dijadikan sebagai suatu bentuk amanat untuk tidak meninggalkan suatu generasi yang akan datang dalam keadaan lemah dan dikhawatirkan kesejahteraannya. Makna dari ayat ini tidak lain bentuk reformasi atas ketentuan ayat yang disesuaikan dengan tuntutan kehidupan sekarang tanpa mengurangi prinsip dan tujuan syar’inya.(Rafiq, 1995 : 78) Oleh karena dalam perkembangan hukum perkawinan di Indonesia khususnya bagi umat Islam, melalui Pasal 15 KHI telah ditetapkan batasan usia kawin bagi calon mempelai yaitu sekurang-kurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri. Namun ketentuan ini diperkuat dengan adanya ketentuan harus adanya izin dari orangtua atau wali 69
Ramlan Yusuf Rangkuti: Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai...
yang memelihara jika tidak ada orangtuan, jika memang terjadi perkawinan yang berlangsung di bawah usia 21 tahun ini. Apabila tidak mendapat persetujuan dari orangtua atau pun wali, maka dapat dimintakan persetujuan melalui Pengadilan. Dalam hal ini dapat dibuat suatu skema, sebagai berikut: Pemberi izin Wali (jika tidak ada orangtua atau orangtua tidak cakap/mampu)
Usia Calon Mempelai Orangtua Suami 19 tahun Istri 16 tahun Suami < 19 thn Istri < 16 tahun
Pengadilan
√
√
−
√
√
√
Selain itu KHI dalam Pasal 16 juga menerapkan suatu aturan bahwa dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya perlu memandang izin dari orangtua akan tetapi substansi yang paling penting adalah harus adanya persetujuan dari calon mempelai sendiri. Jika perkawinan tidak disetujui oleh calon mempelai, maka akad nikah tidak dapat dilangsungkan dan perkawinan yang dilakukan dengan paksa dapat dibatalkan. Konsep ini tidak lain merupakan konsep yang menentang hak ijbar yang dimiliki seorang wali (ayah atau kakek) yang selama ini dipegang teguh dalam konsesp fikih syafi’i. Adapun bentuk persetujuan calon mempelai dapat dibuat dalam bentuk pernyataan tegas dan jelas baik lisan maupun tulisan atau dengan isyarat. Dan proses untuk mengetahui adanya persetujuan atau tidak dari calon mempelai ini harus telah dilakukan sebelum pelaksanaan akad nikah. Batasan Usia Kawin dan Persetujuan Kedua Calon Mempelai dalam Perundangundangan Negara-Negara Muslim Lainnya Taher Mahmood dalam bukunya mencatat perbandingan batasan usia kawin bagi calon mempelai pria dan wanita dibeberapa negara muslim di dunia (Mahmood, 1987 : 270), sebagai berikut: Negara Aljazair Bangladesh Mesir Indonesia Irak Jordania Libanon Libya Malaysia Maroko Yaman Utara Yaman Selatan Pakistan Somalia Suriah Tunisia Turki
Usia Laki-laki (tahun) 21 21 18 19 18 16 18 18 18 18 15 18 18 18 18 19 17 70
Usia wanita (tahun) 18 18 16 16 18 15 17 16 16 15 15 16 16 18 17 17 15
JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 Selain itu terdapat pula perbandingan lain tentang batas usia kawin dan persetujuan calon mempelai di beberapa negara, sebagai berikut dalam skema: Ketentuan Batas Usia Kawin Persetujuan Calon Mempelai Irak 18 tahun (pria dan wanita) Wajib dan menghukum pihak yang memaksakan orang lain untuk menikah Syria 18 tahun (pria) dan 17 a. Dibutuhkan apabila wali selain bapak atau kakek; tahun (wanita) b. Wanita dewasa dapat menikahkan diri sendiri tanpa persetujuan wali apabila pernikahan sekufu; c. Jika tidak perkawinan sekufu, maka wali berhak membatalkan perkawinan kecuali si wanita dalam keadaan hamil. Aljazair 21 tahun (pria) dan 18 a. Harus ada persetujuan calon mempelai; tahun (wanita) b. Tidak ada hak ijbar; c. Harus ada wali dan wali tidak boleh menolak menjadi wali tanpa alasan yang dibenarkan hukum Tunisia 19 tahun (pria) dan 17 Harus ada persetujuan calon mempelai dan tidak tahun (wanita) harus ada wali Maroko 18 tahun (pria) dan 15 a. Ada wali dan persetujuan; tahun (wanita) b. Melarang nikah paksa; c. Ada hak ijbar jika ada kekhawatiran perkawinan anak akan menimbulkan kesengsaraan. Singapura a. Bukan keharusan, hanya sebatas anjuran; b. Harus ada wali dan mengakui hak ijbar Malaysia 18 tahun (pria) dan 16 a. Secara umum negara bagian Malaysia tahun (wanita) menghendaki adanya persetujuan calon mempelai kecuali Trengganu; b. Hak ijbar diakui di Kelantan dalam perkawinan sekufu; c. Tidak boleh ada kawin paksa karena dapat dihukum; d. Harus ada wali Yordania a. Gadis: 1. Harus izin wali nasab (ayah dan kakek) dalam anak gadis yang telah berusia 18 tahun dan dalam perkawinan sekufu; 2. Wali selain ayah dan kakek, hanya dapat memberi izin jika si gadis sudah berusia 15 tahun b. Janda: 1. Untuk yang telah berusia 18 tahun, tidak butuh izin wali; 2. Tidak terlalu dibutuhkan keharusan persetujuan mempelai atau tidak. 3. Tidak ada ketegasan masih berlaku hak ijbar atau tidak Negara
71
Ramlan Yusuf Rangkuti: Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai...
Dari aturan-aturan yang ada dalam perundang-undangan mengenai batas usia kawin dan pesetujuan calon mempelai di negara-negara Islam, dapat disimpulkan bahwa: a. Perundang-undangan di Maroko, Aljazair, Libya, Sudan mengharuskan adanya persetujuan mempelai; b.Di negara Maroko dan Singapura masih mengakui hak ijbar seorang wali; c. Di Irak ada terdapat hukuman bagi pihak-pihak yang memaksakan perkawinan. d.Mayoritas negara Islam, mengharuskan adanya wali nikah dan izin wali dalam akad nikah, bahkan kedudukan wali nikah masih dipandang sebagai rukun atau syarat nikah kecuali di Tunisia. e. Syarat sekufu masih mendominasi negara- negara Islam di Timur Tengah untuk kebolehan seorang wanita dewasa menikah tanpa persetujuan wali nasab. KESIMPULAN Dari keseluruhan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembatasan usia kawin tidak dikenal dalam kajian fikih tradisional, oleh sebab itu sah suatu perkawinan anak kecil yang belum dewasa. Persetujuan gadis yang sudah dewasa tidak merupakan keharusan dalam akad nikah kecuali dari pandangan Abu hanifah yang menyebutkan wanita dewasa boleh menikahkan dirinya sendiri asalkan dengan suami sekufu. Sementara itu, dalam pandangan ulama kontemporer dan juga dalam KHI serta mayoritas negara-negara Muslim di dunia menetepkan batas usia kawin dan keharusan adanya persetujuan kedua calon mempelai serta menghapuskan hak ijbar dalam perkawinan dengan variasi dari negara masing-masing. Oleh sebab itu, secara umum telah ada pembaharuan terhadap konsep-konsep yang sebelumnya ada dalam fikih tradisional antara lain dalam hal penetapan batas usia kawin dan persetujuan dari calon mempelai, dimana dalam hal ini pembaharuan lebih bersifat administratif artinya aturan ini bersifat prosedural sesuai dengan tuntutan zaman modern tetap tidak merubah substansinya. Sementara itu, kebebasan wanita menentukan perkawinan dengan laki-laki pilihannya dapat terlihat dengan adanya hak untuk memberi persetujuan dan penghilangan hak ijbar yang dimiliki oleh seorang ayah dan juga kakek. DAFTAR PUSTAKA Al-Haddad, Tharir, 1993, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Pustaka Firdaus, Jakarta. Djatnika, Rahmat, 1991, ”Sosialisasi Hukum Islam” Dalam Abdurrahman Wahid, (et.al.) Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Rosda Karya, Bandung. Engineer, Asghar Ali, 1994, Hak-hak Perempuan dalam Islam, LSPPA & CUSO, Yogyakarta. Nasution, Khoiruddin, 2002, Status Wanita di Asia Tenggara, INIS, Jakarta. Mahmood, Thahir, 1987, Personal Law ini Islamic Countries, Academy of Law and Religion, New Delhi. Rafiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, PT. Rajawali Pers, Jakarta Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung. Syarifuddin, Amir, 1990, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padan
72