PEMBATALAN NIKAH DENGAN SEBAB CACAT (Studi Pemikiran Ibn Hazm dalam kitab al-Muhallâ)
SKRIPSI
Oleh:
RUDIANSAH NIM: 241052027
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO 2010
PEMBATALAN NIKAH DENGAN SEBAB CACAT (Studi Pemikiran Ibn Hazm dalam kitab al-Muhallâ)
RESUME
SKRIPSI
Oleh:
RUDIANSAH NIM: 241052027
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO 2010
ABSTRAK Rudiansah. 2009. Pembatalan Nikah Dengan Sebab Cacat (Studi Pemikiran Ibn Hazm dalam Kitab al-Muhallâ). Skripsi. Program Studi Ahwal Syakhshiyah Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo. Pembimbing (I) DR. Saifullah, M.Ag., (II) Drs. Munawir, S.H., M.Hum. Kata Kunci: Fasakh Nikah. Fasakh merupakan lepasnya ikatan perkawinan antara suami dan istri adakalanya di sebabkan terjadinya cacat pada akad nikah dan juga disebabkan pada hal-hal yang tidak bisa dilanjutkan lagi. Dalam memandang fasakh nikah terjadi perbedaaan dikalangan ulama’. Menurut jumhur ulama’ (Imam Mazhab) bahwa cacat atau penyakit termasuk hal yang bisa membatalkan ikatan perkawinan, sementara Ibn Hazm tidak mengakui adanya fasakh nikah dengan alasan cacat. Berangkat dari kontroversi diatas menarik perhatian penulis untuk membawanya kedalam sebuah penelitian yang terdapat permasalahan yang perlu dibahas diantaranya adalah; (I) Perlunya mengetahui pandangan Ibn Hazm tentang fasakh nikah dengan sebab cacat dalam kitab al-Muhallâ, (II) Perlunya mengetahui relevansi pandangan Ibn Hazm tersebut dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penelitian ini merupakan jenis penelitian perpustakaan (Library Research), dalam arti menggunakan data-data keperpustakaan dan metode analisa data yang penulis gunakan adalah metode deduktif dan metode induktif. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Ibn Hazm tidak mengakui adanya fasakh nikah dengan sebab cacat, kecuali kedua mempelai menetapkan syarat (bebas cacat pada saat akad nikah) dan Ibn Hazm hanya mengakui 8 macam saja yang bisa jatuhnya fasakh nikah. Kemudian cacat apa pun itu tidak bisa di-fasakh dan perkawinan tetap berlangsung hingga ada penyebab lain sebagai jalan perpisahan. Berbeda dengan jumhur ulama’ yang mengakui adanya fasakh nikah dengan sebab cacat, apapun cacatnya itu bisa menyebabkan fasakh nikah. Kedua, dalam Istinbâthnya, Ibn Hazm menggunakan zhâhir nash surat al-Baqarah Ayat: 229 sebagai jalan perpisahan sekaligus prinsip yang digunakan dalam islam dan hadîts riwayat Imam Bukhârî sebagai perpisahan perkawinan yakni suatu kinayah dalam bentuk perintah perceraian (thalâq). Ketiga, antara pandangan Ibn Hazm dengan Kompilasi Hukum Islam itu masih di anggap relevan, karena dalam Kompilasi Hukum Islam hanya sebatas alasan perceraian saja dan bukan membuat rusaknya ikatan perkawinan yang sudah sah.
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Islam telah mensyari’atkan dalam perkawinan untuk menciptakan kehidupan antara suami istri pada rumah tangga yang harmonis dalam rangka membentuk keluarga yang sejahtera bahagia lahir dan batin. Sedangkan dalam keluarga yang mempunyai tujuan tertentu adalah bentuk amal dengan meneruskan
generasi
atau
mempunyai
keturunan,
mengembangkan
kesejahteraan dengan kemanfaatan untuk hidup bersama. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 bahwa, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1 Pada dasarnya hubungan keluarga selalu mendambakan agar ikatan lahir dan batin yang dibina dengan akad nikah tersebut semakin kokoh untuk selamanya. Selain itu, hubungan dalam keluarga yang rapat, erat, dan menciptakan pergaulan suami istri untuk menghasilkan keturunan.2
1 Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia (Yogyakarta: Bina Cipta, 1976), 112. 2 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, terj. Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 1.
Perjanjian yang kokoh merupakan suatu prinsip untuk membentuk keluarga (rumah tangga) dengan pergaulan jiwa raga karena melihat hubungan yang sangat sakral (suci), kemudian dengan adanya perjanjian yang kokoh tersebut, maka Allah Swt menegaskan dalam al-Qur’an pada surat anNisa’ ayat 21:
aًYaَc_ْ Dِ SُUdDِ ن َ ْHI َ َوَأM ٍ Nْ Oَ PَQْ ِإSUُ V ُ Nْ Oَ PَVWْ ْ َأXYَ َ وZُ [َ ُوHI ُ ْ\]َ ^ َ _ْ َو َآ aًe_ْ fِg َ Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.3 Dari itu dapat disimpulkan dengan kekokohan suatu lembaga keluarga, akan terbentuk pula hubungan yang sangat akrab antara mereka (suami istri). Ayat yang maknanya "
ae ً _ْ fِg َ aًYaَc_ْ Dِ " (perjanjian yang kuat) tersebut dapat
dijadikan dasar kokohnya suatu perkawinan. Namun, perjanjian yang baik tersebut harus benar-benar dilakukan dengan sebaik mungkin agar perkawinan dapat tercapai, sehingga tidak boleh dibatalkan tanpa adanya alasan yang jelas dan mendasar. Seiring dengan itu, Islam memberikan jalan terbaik untuk mengatasi problema dalam keluarga dengan kedamaian. Ikatan perkawinan harus dijaga dan jangan sampai terjadi kerusakan, karena rusaknya sebuah pernikahan berarti juga hancurnya sebuah struktur keluarga. Secara umum, rusaknya struktur keluarga itu terjadi karena pondasi dan pilar-pilarnya sejak awal
3
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Al-Jumânatul ‘Alî-Art, 2004), 81.
sudah rapuh. Jika demikian, bukan mustahil akan terjadi perceraian.4 Hal ini sudah diatur dalam al-Qur’an mengenai jalan terbaik bagi suami istri. Bagi istri boleh meminta cerai atau membatalkan perkawinan dan tidak berdosa, bila permintaan itu ada alasan yang jelas dan sah. Dalam surat al-Baqarah ayat 229 menyatakan sebagai berikut:
ُو ُدXl ُ m َ fْ ]ِ Zِ Oِ ْتXَ oَ Wْ اaَq_ِW aَqrِ _ْ fَs َ َحaَdu ُ v َ Wَ w ِ ُو َد اXl ُ aَq_ِxyُ { z ْ َأSoُ |ْ I ِ ِْ}نWَ :ةxQ )ا.ن َ ~ُqQِazeQ اSُ ُهm َ ِ { َ ُْ\وWَ w ِ ُو َد اXl ُ Xz Nَ oَ yَ َD َوaَُوهXoَ Nْ ]َ v َ Wَ w ِ ا (٢٢٩ Artinya: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebusnya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhâlim”. (Q.S. al-Baqarah: 229)5 Kemudian dalam problema pernikahan yang terdapat cacat itu tidak bisa memenuhi tujuan pernikahan dari penyakit yang menghambat hubungan biologis, tapi jika mereka (suami istri) sama-sama rela dan mengetahui hal tersebut tidaklah menjadi permasalahan. Akan tetapi mereka sebenarnya boleh pada awalnya memilih untuk menikah atau tidak menikah. Suatu problema ini sudah diatur secara luas dalam Islam tentang adanya cacat dalam pernikahan. Selanjutnya mengenai pembatalan nikah, Imam Mâlik dan Syâfi’î sependapat bahwa penolakan dapat terjadi karena empat macam penyakit (cacat), yaitu: gila, lepra, kusta, dan penyakit kelamin yang menghalangi jima’, adakalanya tumbuh tulang bagi orang perempuan, impoten atau
4 5
Anshari Thayib, Struktur Rumah Tangga (Surabaya: Risalah Gusti, 1991), 111. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 36.
terpotong penisnya (kebiri) bagi orang laki-laki. Sementara Imam Abû Hanifah bersama para pengikutnya dan ats-Tsauri berpendapat, bahwa seorang perempuan tidak dapat di thalâq kecuali karena dua cacat saja, yaitu tumbuh tulang dan tumbuh daging.6 Dalam cacat impoten menurut Syâfi’î, Hambali, dan Hanafi mengatakan bahwa apabila suami tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya, maka istri berhak memilih untuk berpisah (bercerai), sungguh pun suaminya itu mampu melakukan dengan wanita lain.7 Adapun gila menurut Mâliki, Syâfi’î, dan Hambali sepakat bahwa suami boleh membatalkan akad nikah karena penyakit yang diderita istrinya, demikian pula sebaliknya.8 Dapat juga diketahui bahwa cacat baik datangnya pada suami maupun istri dapat dibatalkan dan memerlukan campur tangan hakim seperti mandul dan mengidap penyakit menular (sipilis dan TBC).9 Kemudian pendapat jumhûr ulama’ dari segala madzhab mengenai perkawinan dapat dibatalkan karena adanya cacat terutama sekali Imam Abû Hanifah, Mâlik, Ahmad.10 Mereka beralasan pada hadits:
Zُ Qَ ْ[َ aَ آZُ [z ِر َذ َآ َ َاaَ[ْ َ ْ ا َ Dِ ٌ_ْ َ ْdِ َ Xz l َ :ل َ aَY Xٍ yْ َز ِ Oْ ِ _ْ qِ u َ ْs َ Pzf َ w ِ لا َ ْ~ ُ ن َر z َأ, ٍ Nْ َآ ُ Oْ Xُ yْ َاوْ َزXٍ yْ َز ُ Oْ ُ Nْ َآ: Zُ Qَ ل ُ aَxyُ ٌ َ ْ ُ َ َ ~َ Wَ aَr_ْ fَs َ َI َ َدazqfَWَ , ٍرaَ|g ِ ْdِ Oَ ْDِ ََأ ًةDْ ج ِإ َ وz َ ]َ Sَ fz َ َوZِ _ْ fَs َ w ُ ا 6
Ibnu Rusyd, Bidâyatu al-Mujtahid, terj. Abdurrahman dan Haris Abdullah, vol. 2 (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), 455. 7 Muhammad Jawwad Mughniah, Fiqh Lima Madzhab: Ja’fari, Hanafi, Mâliki, Syâfi’î, Hambali, terj. Maskur AB, dkk., vol. 4 (Jakarta: Lentera, 1999), 352. 8 Ibid., 355. 9 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid. 2 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 318. 10 Al-Hamdani, Risalah Nikah, terj. H. Agus Salim (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 275.
Sz ُ ش ِ ِ|َاQْ ا ِs َ َزaَ[ْ aَW aًaَ_Oَ aَr ِ¢ ْ Uَ Oِ َ َ Oْ ش َأ ِ َ|َاQْ اPَfs َ Xَ Nَ Yَ َوZُ Oَ ْ~َ 11 (Xql )روا¦ أ.aً¤_ْ َ aَهaَ] َأazqDِ ْHI ُ ْ\yَ ْSQَ َوm ِ Oَ aَ_ِ m ِ _ْ fَs َ ْيHِ I ُ :ل َ aَY Artinya: “Dari jamil bin Zaid, ia berkata: Ada orang tua dari anshar bercerita kepadaku dimana ia menyebut dirinya sebagai sahabat Nabi, orang itu biasa dipanggil ka’ab bin zaid, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mengawini seorang perempuan Bani Ghifâr, kemudian setelah ia masuk (dikamarnya), lalu meletakkan pakaiannya dan duduk diatas tempat tidur,beliau melihat diatas pangkal pahanya ada putih-putih, kemudian beliau bangkit dari tempat duduk lalu bersabda, “Berpakailah kembali” sedangkan beliau tidak meminta kembali apa (mahar) yang telah diberikan kepadanya sedikitpun (H.R. Ahmad)12 Pendapat jumhur ulama’ ini memandang tujuan dan kehidupan perkawinan harus didasarkan pada ketenangan dan cinta kasih yang tidak mungkin timbul apabila salah satu pihak cacat atau berpenyakit yang membuat pihak lain tidak mau menderitanya.13 Para ulama berbeda pendapat mengenai pembatalan nikah dikarenakan adanya cacat. Ibn Hazm sebagai pengembang madzhab Zhâhirî berpendapat bahwa perkawinan yang sudah sah selamanya tidak dapat dibatalkan karena cacat, apapun cacatnya dan tetap wajib bagi suami memberikan nafkah serta yang lain kepada istrinya.14 Dalam madzhab Zhâhirîyah seperti Dawud bin Ali al-Asfihani dan Ibn Hazm serta didukung pula Sayyid Shiddiq Khan pengarang kitab Raudhatun Nadiyyah berkata: “Bahwa syara’ menetapkan
11
Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad as-Saukanî, Nailul Authar, vol. 4 (Beirut: Dâr alFikr, tt), 298. 12 A. Qadir Hasan, et.all., Terjemahan Nailul Authar, vol. V (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), 2212. 13 Al-Hamdani, Risalah Nikah, 276. 14 Ibn Hazm, al-Muhallâ, vol. 10 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 109.
perkawinan itu hanya lepas dengan thalâq atau karena meninggal (kematian)”.15 Penyakit yang apa saja walaupun ada dalil yang mengatakan bisa menjadi batalnya ikatan perkawinan, itu tidak jelas. Dan Ibn Hazm mengambil dasar dari hadîts:
(ريa¨Q )روا¦ ا.m ِ fَِ\ ْهOِ ْxِ َ Qْ ِا... Artinya: “…kembalilah ke keluargamu”. Dari hadîts di atas merupakan ucapan thalâq.16 Lafadz hadîts diatas menurut Ibn Hazm merupakan bentuk kinâyah17 dari thalâq yang diucapkan suami kepada istrinya. Begitu juga pembatalan nikah sebab cacat, seperti impoten tidak ada dalilnya yang shahih. Oleh karena itu, perkawinannya tetap berlangsung sampai ada sebab yang mewajibkan perceraian, dan paling mengherankan lagi ialah pengkhususan cacat-cacat tertentu.18 Ibn Hazm tidak setuju bahwa cacat bisa mengakibatkan pembatalan perkawinan, karena ikatan perkawinan harus berjalan sampai ada yang menyebabkan perpisahan oleh suami istri selain cacat. Oleh karena itu, perkawinan mempunyai prinsip sesuai dengan yang diperintahkan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229:19
15 16
Al-Hamdani, Risalah Nikah, 274-275. Ibid., 275.
ِ _َ dª Q اPَQ ُ ِاxِ oَ |ْ yَ ْ_ َ ُ¦ َوg َ ق َو َv َ¬ z Q ا َ َqoَ l ْ ا ٍ |ْ Qَ ® ُ ُآyَ aَdUِ Qْ َوا, maksudnya adalah setiap lafadz yang mengandung pengertian thalâq dan lainnya dan ia memerlukan niat. Lihat Imam Taqiyu al-Dîn Abî Bakar Ibn Muhammad al-Husaini, Kifâyah al-Akhyâr, vol. 2 (Surabaya: tp, tt), 80. 18 Al-Hamdani, Risalah Nikah, 275. 19 Ibn Hazm, al-Muhallâ, vol. 10, 115. 17
ن ٍ aَ±l ْ }ِOِ ٌ²yِ± ْ ]َ ْف َأو ٍ ُوNْ qَ Oِ ٌكaَ±Dْ }ِWَ Artinya: “Boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.20 Dari ayat diatas, mengindikasikan bahwa perkawinan tidak boleh dibatalkan dengan sebab cacat, Sehingga cacat bukanlah jalan untuk memisahkan hubungan perkawinan suami istri. Jadi perpisahan bukanlah sebab cacat, melainkan sebab lain, sehingga menurut Ibn Hazm tidak ada dalil shahih untuk membatalkan hubungan pernikahan. Dalam berbagai pendapat tentang pembatalan nikah dari kalangan jumhûr ulama dan Ibn Hazm yang berbeda, karena perbedaan di kalangan ulama ini selain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dimana ulama tersebut hidup, juga disebabkan karena adanya perbedaan menggunakan dalil-dalil dan cara berijtihad diantara mereka, sehingga perbedaan dalam berijtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil ijtihad.21 Berangkat dari latar belakang di atas, penulis mencoba untuk membahas lebih mendalam pemikiran Ibn Hazm dalam hal fasakh nikah, dan akan penulis sajikan dalam bentuk skripsi dengan judul “PEMBATALAN NIKAH DENGAN SEBAB CACAT (Studi Pemikiran Ibn Hazm dalam kitab al-Muhallâ)”.
20 21
DEPAG RI, al-Qur’an Terjemahan, 36. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar (Bandung: Orta Sakti, 1992), 102.
Penegasan Istilah Pembatalan adalah lepasnya ikatan perkawinan antara suami istri, adakalanya disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad nikah itu sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang datang kemudian yang menyebabkan akad perkawinan tersebut tidak dapat dilanjutkan. Ibn Hazm adalah seorang tokoh besar intelektual muslim dari Spanyol yang produktif dan jenius. Nama lengkapnya Abû Muhammad ‘Alî Ibn Ahmad Ibn Sa’id Ibn Hazm Ibn Ghalib Ibn Shâlih Ibn Shafyan Ibn Yazid.22 Al-Muhallâ adalah kitab karangan Ibn Hazm yang terdiri dari 11 jilid dam diterbitkan di Mesir tahun 1347 H. Kitab beliau ini merupakan kitab fiqh madzhab zhâhirî yang lengkap.23
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dan untuk lebih terarahnya operasional maupun sistematikanya ditentukan pokok permasalahannya sebagai berikut: Bagaimana pemikiran Ibn Hazm tentang pembatalan nikah dengan sebab cacat dalam kitab al-Muhallâ ? Bagaimana metode istinbâth hukum Ibn Hazm tentang pembatalan nikah dengan sebab cacat dalam kitab al-Muhallâ ? 22 23
Depag RI, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Anda Utama, 1992), 391. Ibid., 393.
Bagaimana akibat hukum tentang pembatalan nikah dengan sebab cacat menurut Ibn Hazm?
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui dan memahami pemikiran Ibn Hazm dalam kitab alMuhallâ tentang pembatalan nikah dengan sebab cacat. Untuk mengetahui dan
memahami metode istinbâth hukam menurut Ibn
Hazm dalam kitab al- Muhallâ tentang pembatalan nikah dengan sebab cacat. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum menurut Ibn Hazm tentang pembatalan nikah dengan sebab cacat.
Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini meliputi dua hal, yaitu kegunaan ilmiah dan kegunaan terapan. Adapun kegunaannya adalah sebagai berikut: Untuk memberikan kontribusi dalam memperkaya khazanah keilmuan dan berpartisipasi dalam penyumbangan pemikiran, khususnya dalam bidang hukum Islam.
Sebagai sumbangan pemikiran dalam mengantisipasi munculnya problema dalam masalah pembatalan nikah.
Telaah Pustaka Setelah penulis menelaah dari beberapa literatur-literatur yang penulis temukan, pembahasan mengenai pembatalan nikah telah banyak dilakukan dalam pandangan hukum Islam. Namun kajian terhadap pemikiran Ibn Hazm yang membahas pembatalan nikah dengan sebab cacat dalam kitab karangannya sepanjang pengetahuan penulis belum ada. Dalam bentuk skripsi, penelitian tentang fasakh telah dilakukan oleh Nurul Rahmatika. Ia membahas fasakh dalam tinjauan hukum Islam dan Ia menguraikan tentang masalah suami yang menderita AIDS. Penelitian juga dilakukan Stiyaka. Ia mengupas pada tinjauan hukum dan Ia membahas mengenai penanganan perkara fasakh yang terjadi di PA Tulungagung tahun 1996. Hj. Ika Indriati meneliti pembatalan nikah. Ia membahas putusan MA No. 203/AG/1994 dan Ia cenderung pada penganalisaan hukum Islam. Basuki Wibowo meneliti tentang fasakh. Ia membahas tinjauan fiqh bagi suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri menurut Imam Abû Hanifah. Anwar dalam skripsinya “Wasiat Menurut Jumhûr Ulama dan Ibn Hazm”. Dalam skripsinya membahas pendapat jumhûr dan Ibn Hazm tentang status hukum wasiat, yang mana Ibn Hazm memandang kewajiban wasiat
serta faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan di kalangan mereka. Na’am Bashori juga membahas Ibn Hazm, namun ia membidikkannya dalam masalah nafkah dan Ia mengupas panjang lebar tentang nafkah suami terhadap istri. Pada skripsinya Ia mengatakan bahwa istri yang kaya wajib menafkahi suami yang miskin. Dalam skripsinya Yayuk Winarni yang juga membahas hukum coitus interruptus sebagai upaya pencegahan kehamilan menurut Ibn Hazm, di sini memaparkan pandangan Ibn Hazm dan metode istinbâthnya dalam hal tersebut. Adon juga membahas tokoh Zhâhirî ini. Ia membahas tentang wasiat wajibah, yang mana menurut Ibn Hazm hukum wasiat ini wajib. Pembahasan juga dilakukan oleh Mujiono. Ia membahas tentang pengadilan dan Ia memaparkan tentang pendapat Ibn Hazm dalam hal kemenangan hakim memutuskan perkara berdasarkan pengetahuan hakim. Riyono juga membahas pada komparasi antara Imam Syâfi’î dengan Ibn Hazm tentang nafkah terhadap istri yang nusyuz. Selanjutnya penelitian terhadap tokoh ini (Ibn Hazm).
juga dilakukan dalam masalah ushul fiqh. Muhammad Mujib
membahas sumber-sumber hukum Islam yang dipakai Ibn Hazm dalam kitab al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, di sini membahas metode-metode istinbâth Ibn Hazm dalam kitab tersebut. Kemudian Hasyim As’ari meneliti pendapat Ibn Hazm tentang ijtihad bi al-ra’y. Ia membahas ijtihad yang ditolak dan memaparkan ijtihad yang digunakan Ibn Hazm. Dari kajian yang telah dilakukan di atas penyusun tidak menemukan kajian-kajian, baik dari kitab maupun literatur-literatur lain yang membahas
fasakh menurut Ibn Hazm, maka penulis memandang penelitian ini masih layak dilakukan. Dalam penelitian ini, penulis mencoba meneliti lebih lanjut persoalan pembatalan nikah tersebut dengan mengkaji pendapat Ibn Hazm yang di dalamnya masih terdapat kontroversi di kalangan ulama, seperti yang telah terpapar pada latar belakang masalah.
Metode Penelitian Jenis Penelitian Dalam penyusunan ini, penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kepustakaan yang sering disebut dengan studi pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber pustaka.24 Dan semua sumber diambil dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan literaturliteratur lainnya. Pendekatan Masalah Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu: Metode pendekatan historis, yaitu suatu pendekatan yang meliputi prosesproses pemahaman dan penafsiran atas sebuah peristiwa atau suatu
24
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Gajah Mada, 1980), 3.
pemikiran. Dalam hal ini pemikiran Ibn Hazm yang diletakkan dalam latar belakang sejarah pergaulan Ibn Hazm di masanya. Metode pendekatan normatif, yaitu metode untuk melihat nash-nash alQur'an dan al-Hadîts seputar masalah pembatalan nikah ataupun yang telah berbentuk pemikiran manusia dalam kitab fiqh dan lebih spesifiknya kitab al-Muhallâ karya Ibn Hazm, berdasarkan normanorma atau aturan-aturan yang telah disepakati para ahli. Sumber Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data, yaitu:
Sumber data primer, adalah buku yang dijadikan rujukan pertama, yaitu al-Muhallâ karangan Ibn Hazm. Karangan beliau ini digunakan untuk menjawab masalah yang penulis ajukan. Sumber data sekunder adalah buku-buku yang penulis rujuk untuk melengkapi data-data yang tersedia dalam sumber data primer, yaitu: 1) Al-Hamdani, Risalah Nikah, terj. H. Agus Salim (Jakarta: Pustaka Amani, 2002). 2) Ibn Rusyd, Bidâyatu al-Mujtahid, terj. Abdurrahman dan Haris Abdullah (Semarang: Asy Syifa’, 1990). 3) Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulûghul Marâm, terj. Thahirin Suparta, dkk. Vol. 5 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006).
4) Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islamî Wa Adillatuh, Vol. 7 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.). 5) Sayyid Sâbiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Teknik Pengolahan Data Penelitian ini termasuk kategori kepusatakaan (library research). Oleh karena itu teknik yang digunakan adalah pengumpulan data literer yaitu penggalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan objek pembahasan yang dimaksud.25 Metode Analisa Data Metode analisa data yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah: Metode deduktif, yaitu menggunakan data-data yang bersifat umum kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus. Metode induktif, yaitu menggunakan data-data yang diperoleh data-data yang bersifat khusus kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang bersifat umum.
25
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 234.
Sistematika Pembahaan Sistematika pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari bab dan sub bab sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan dari skripsi ini meliputi latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan
penelitian,
telaah
pustaka,
metode
penelitian, dan sistematika pembahasan. Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan pembaca kepada substansi penelitian ini.
BAB II
: PEMBATALAN NIKAH Dalam bab ini penulis mengenalkan lebih dekat tentang kerangka teoritik. Dalam bab ini diuraikan tentang pembatalan nikah secara umum yang meliputi pengertian pembatalan, dasar hukum pembatalan, bentuk-bentuk dan penyebab-penyebab terjadi pembatalan, akibat hukum pembatalan, dan diakhiri dengan penjelasan perbedaan fasakh dan thalâq.
BAB III
: PEMBATALAN PERSPEKTIF IBN HAZM
Dalam bab ini penulis mengkaji tentang Ibn Hazm dan pandangannya mengenai pembatalan yang meliputi, biografi Ibn Hazm, sumber-sumber hukum Islam dan metode Istinbâth hukum Ibn Hazm, dan pendapat beliau tentang berlakunya pembatalan nikah serta pendapat Ibn Hazm tentang pembatalan nikah dengan sebab cacat. Pembahasan ini ditujukan agar memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai tokoh yang diangkat dalam skripsi ini berikut pandangannya. BAB IV
: ANALISA TERHADAP PEMBATALAN NIKAH MENURUT MENURUT IBN HAZM Dalam bab ini penulis menganalisa untuk mendapatkan kesimpulan yang valid. Analisa Terhadap Pendapat Ibn Hazm tentang Pembatalan Nikah dengan Sebab Cacat, Metode Istinbâth Ibn Hazm tentang ketiadaan Pembatalan Nikah dengan Sebab Cacat dan Analisa Terhadap Akibat Hukum Menurut Ibn Hazm Tentang Pembatalan Nikah dengan Sebab Cacat..
BAB V
: PENUTUP Akhirnya kesimpulan dan saran dituangkan dalam bab ini yang sekaligus untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini.
BAB II PEMBATALAN NIKAH
A. Pengertian Pembatalan Pembatalan atau batal adalah lawan dari istilah sah. Artinya bilamana suatu akad nikah tidak di nilai sah, berarti fasid atau batal. Jumhur Ulama’ mengartikan fasid dengan batal yaitu tidak cukupnya rukun dan syarat suatu perbuatan. Hal ini berlaku baik pada bidang ibadah maupun muamalah.26 Nikah yang tidak sah bisa disebut nikah fasad dan bisa pula disebut nikah batal.27 Para Ulama’ sepakat dan tidak ada perbedaan antara yang dinilai fasad (fasid) dan yang dinilai batal (batil). Baik istilah fasad maupun istilah batal, sama-sama berarti suatu pelaksanaan atau karena ada penghalang, sehingga dalam pandangan syara’ belum dianggap sah atau batal. Sebenarnya, secara substansi yakni antara fasakh, fasid dan batal, sesungguhnya mempunyai pengertian dan maksud yang sama meskipun penggunaan dan stressingnya
oleh masing-masing mazhab sering kali
berbeda-beda. 28
26
Supriatna, dkk., Fiqh Munakahat II: Di lengkapi dengan Undang-Undang No.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Yoyakarta: Teras, 2009 ), 66. 27 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2004), 23. 28 Supriatna, Fiqh Munakahat II, 66.
B. Dasar Hukum Pembatalan Dasar pokok dari hukum Pembatalan ialah mereka sebagai suami istri merasa dirugikan dalam perkawinannya karena tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan syara’, akibatnya salah satu dari kedua suami istri itu tidak sanggup melanjutkan perkawinan mereka. Apabila dilanjutkan, justru akan bertambah buruk bagi mereka dan salah satu pihak sudah mesti ada yang dirugikan. Hukum Islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya istrinya dan menimbulkan
kemadharatan
terhadapnya.
Suami
juga
dilarang
menyengsarakan kehidupan istri dan menyia-nyiakan haknya.29 Sedangkan Allah tidak menginginkan terjadinya hal yang demikian, sebagaimana firmanNya dalam surat al-Baqarah ayat 231 menyatakan:
ُواXoَNْ oَQِ َارًا ِ z ُ~ ُهU± ِ qْ ]ُ { َ ف َو ٍ ُوNْ qَ Oِ z ُ~ ُهlª َ ْف َأو ٍ ُوNْ qَ Oِ z ُ~ ُهU± ِ Dْ \َWَ (٢٣١ : ةxQ)ا Artinya: “Maka peliharalah (rujukilah) mereka (istri-istri) dengan cara yang ma’ruf (baik) atau lepaskanlah (ceraikanlah) mereka (istri-istri) dengan ma’ruf (baik pula). Jangan kamu pelihara (rujuki) mereka untuk memberi kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka”.30 Namun, baik rujuk maupun cerai, semua harus dilakukan dengan ma’ruf, yakni dengan keadaan yang baik serta terpuji. Siapapun yang melakukan hal buruk yang demikian jauh keburukannya itu, maka pada 29
Depag RI, Ilmu Fiqh, jilid 2 (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1982), 269. 30 Depag, al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: al-Jumânatul ‘Ali-Art, 2004), 37.
hakikatnya
ia
menganiaya
dirinya
sendiri.
Tuntutan-tuntutan
Allah
menyangkut kehidupan rumah tangga sungguh sangat jelas dan amat ditekankan untuk di indahkan.31 Bukan hanya suami yang mempunyai kewajiban, tetapi istri juga mempunyai kewajiban yang telah di tentukan oleh syara’. Sehingga masingmasing kedua belah pihak(suami istri) merasa punya tanggung jawab untuk dilaksanakannya. Hukum Islam menetapkan bahwa suami atau istri tidak menghendaki adanya kemadharatan dan melarang saling menimbulkan kemadharatan. Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa Rasulullah SAW besabda:
ن z َاZِ _ْ Oِ ْ َاs َ ª [ِ ِزaَqQْ اPَ_ ْ yَ ِ Oْ ٍوqْ s َ ْs َ m ٍ QِaَD ْs َ Pَ_ ْ yَ ْdِ َ Xz l َ 32 ¦ )روا.َا َر ِ { َ َ َر َو َ { َ :ل َ aَY Szf َ َوZِ _ْ fَs َ w ُ اPzf َ w ِ لا َ ْ~ ُ َر (mQaD Artinya: “Tidak boleh memberi madharat kepada orang lain dan tidak boleh membalas kemadharatan dengan kemadharatan”. (H.R. Mâlik). Dharûrât adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak diselesaikan, maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, dan kehormatan manusia. Memang dalam Islam tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh ada hal yang menimbulkannya bahaya baik dari suami maupun istri, sehingga salah satu pihak tidak merasa dirugikan dengan bahaya
31 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 1 (Ciputat: Lentera Hati, 2000), 466. 32 Yahya Ibn Yahya Ibn Katsîr al-Andalusî, al-Muwattâ’ li Imâm Mâlik Ibn Anas (Beirut: Dâr al-fikr, 1989), 489.
yang bisa menular pada dirinya. Dalam hal ini, menurut qâ’idah hukum Islam bahwa setiap kemadharatan itu harus dihilangkan. Sebagaimana qâidah menyatakan: 33
.ل ُ َاyُ َ ُرV z Qَا
“Kemadharatan itu wajib dihilangkan”.34 Berdasarkan al-Qur’an, hadîts, dan qâidah hukum Islam para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami istri terjadi keadaan, sifat, atau sikap yang menimbulkan kemadharatan pada salah satu pihak, maka pihak
yang
menderita mahdharat dapat mengambil langkah
untuk
membatalkan perkawinannya.
C. Bentuk-Bentuk dan Penyebab Terjadinya Pembatalan Pembatalan dapat terjadi karena adanya kesalahan yang terjadi waktu akad atau adanya sesuatu yang terjadi kemudian yang mencegah kelangsungan hubungan perkawinan itu. Bentuk kesalahan yang terjadi waktu akad:35 1. Ketahuan kemudian bahwa suami istri itu ternyata punya hubungan nasab atau sepersusuan. Ini dapat ditegaskan dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 23 menyatakan:
33 Qâ’idah ini merupakan Qâ’idah yang keempat. Lihat, Abî al-Faidh Muhammad Yâsîn bin ‘Îsâ, al-Fawâ al-Janiyyah: Syarah al-Fawâ al-Bahiyyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), 246. 34 Depag RI, Fiqh, 270. 35 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Bogor: Kencana, 2003), 134.
ت ُ aَdOَْ َوSUُ ]ُ{ َ aَIْ َوSUُ ]ُazqs َ ْ َوSUُ ]ُ~َاI َ َْ َوأSUُ ]ُaَdOَ ْ َوSUُ ]ُaَrDz ْ ُأSUُ _ْ fَs َ ْDَ ª l ُ َ Dِ ْSUُ ]ُ~َاI َ ْ َوَأSUُ dَ Nْ َ ْ]ِ َأرv z Q اSُ Uُ ]ُaَrDz َوُأ ِ I ْ ُت ا ُ aَdOَ خ َو ِ َا Sُ Uُ ِaَ±[ِ ْDِ ْSُ~ ِر ُآºl ُ ِW ِ]v z Q اSُ Uُ ُِ aَOْ َو َرSUُ ِaَ±[ِ ت ُ aَrDz ِ َوُأs َ aَz Qا ُ ِ v َl َ ْ َوSUُ _ْ fَs َ ح َ aَdu ُ v َ Wَ z rِ Oِ ْSoُfْ I َ ُ~[ُ~ا َدU]َ ْSQَ ِْ}نWَ z rِ Oِ ْSoُfْ I َ ]ِ َدv z Qا ,^ َ fَ َ ْXYَ aَD { z ِإ ِ _ْ oَ I ْ ُ ْ ا َ _ْ Oَ ُ~اNqَ º ْ ]َ ْْ َوَأنSUُ Oِ v َ ْ ْ َأDِ َ yِHQz اSُ Uُ ِaَdOْ َأ (٢٣ :ءa±dQ )ا.aًq_ِl|ُ~رًا َرg َ ن َ aَ آw َ نا z ِإ Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteriisteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.36 2. Perkawinan anak yang masih kanak-kanak yang dilakukan oleh wali selain ayah atau kakek. Setelah anak tersebut baligh maka si anak (laki-laki atau perempuan) berhak memilih untuk meneruskan perkawinannya atau dibatalkan. Pemilihan ini dinamakan khiyâr bulûgh, memilih setelah dewasa. Apabila salah satu pihak memilih mengakhiri perkawinan, maka akadnya dirusak atau fasakh dan dibatalkan. 3. Waktu akad nikah berlangsung suatu kewajiban, kemudian ternyata ada penipuan, baik dari segi mahar atau pihak yang melangsungkan perkawinan. Suatu kecacatan perkawinan sejak awal akad, ini dapat 36
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 81.
dibatalkan bila ditemukan penipuan yang sangat merugikan salah satu pihak, sehingga perkawinan yang diharapkan bahagia akhirnya terdapat masalah dalam melangsungkan tujuan rumah tangga. Menurut al-Hamdani ada beberapa bentuk kesalahan dan penyebab yang terjadi setelah berlangsungnya perkawinan dan bahkan tidak berlaku lagi,sebagaimana berikut ini:37 1. Apabila salah seorang dari suami istri murtad dari Islam dan tidak kembali lagi, akadnya rusak karena riddah atau keluar dari Islam secara tiba-tiba. 2. Suami istri asalnya sama-sama musyrik, kemudian suami masuk Islam dan istrinya tidak mengikuti suaminya, maka sejak saat itu pula perkawinannya rusak. Lain halnya kalau istri itu kitabiyah (Yahudi dan Nashrani) akadnya tetap sah. 3. Apabila salah seorang dari suami istri mengalami cacat fisik yang tidak memungkinkan melakukan hubungan suami istri.38 Salah satu tujuan dan kebutuhan keluarga adalah hubungan (seks) antara suami istri dalam melangsungkan hidup (keturunan), sehingga cacat tidak mendapatkan kenikmatan badani dan rohani. 4. Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu pulihnya
37
kehidupan
ekonomi
Al-Hamdani, Nikah, 272-273. Amir, Besar Fiqh, 134. 39 Ibid., 135. 38
si
suami.39
Pada
dasarnya
Islam
mensyari’atkan kepada suami tentang kewajiban memberikan nafkah kepada istrinya. Hal ini berdasarkan surat al-Baqarah 233:
.ف ِ ُوNْ qَ Qْ aِO z rُ ]ُ ~َ ± ْ َو ِآ z rُ Yُ ْ ِرزZُ Qَ ُ~ ِدQْ~qَ Qْ اPَfs َ َو Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.40 5. Apabila seorang laki-laki menipu seorang perempuan, atau perempuan menipu laki-laki. Misalnya, seorang laki-laki mandul yang tidak memberikan keturunan, maka si perempuan berhak mengajukan Pembatalan manakala dia tahu, kecuali bila ia memilih untuk tetap menjadi istrinya dan ridha dipergauli suaminya. 6. Apabila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang mengaku sebagai orang baik-baik, kemudian ternyata fasik, maka si perempuan berhak mengajukan untuk membatalkan akadnya. 7. Seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan yang mengaku perawan tetapi ternyata janda, maka laki-laki itu berhak meminta ganti rugai maharnya sebanyak sekitar mahar seorang gadis atau janda. 8. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, kemudian kedapatan bahwa si istri cacat tidak dapat dicampuri. Misalnya selalu beristihadhah yang selalu keluar darah dari rahim. Istihadhah adalah aib, karena itu ia dapat menyebabkan fasakh dan merusakkan nikah.
40
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 37.
9. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, tetapi di tubuh perempuan itu ada penghalang yang menyebabkan si istri tidak dapat dipergauli. Misalnya, kemaluannya tersumbat, tumbuh daging atau robek, atau ada tulangnya, suami boleh mengajukan untuk membatalkan akadnya. 10. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tetapi perempuan itu mengidap penyakit atau cacat seperti supak, kusta, dan gila. Demikianlah hal-hal yang berkaitan dengan cacat yang menyebabkan laki-laki atau perempuan berhak membatalkan akadnya apabila salah satu pihak mempunyai cacat yang tidak diketahui pada waktu akan berlangsung. Apabila suami berhak mengajukan fasakh dan membatalkan perkawinan, maka si perempuan juga berhak mengajukan fasakh dan membatalkan perkawinan apabila ternyata suaminya mempunyai cacat yang menyebabkan ia lari dari suaminya. Misalnya, suami gila, berpenyakit belang, dan supak atau penyakit-penyakit serupa itu, seperti siphilis, atau penyakit yang menyebabkan suami tidak dapat bersetubuh dengan istrinya. Misalnya, impoten, dzakarnya terlalu kecil, dan sebagainya.41 Selain itu, ada juga Pembatalan dengan keputusan pengadilan seperti dalam perinciannya sebagai berikut: 1. Pembatalan dengan keputusan pengadilan yang diminta oleh istri dengan alasan-alasan diantaranya adalah suami sakit gila, suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan sembuh (penyakit lepra), 41
Ibid., 274.
suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin karena impoten atau terpotong kemaluannya, suami jatuh miskin hingga tak mampu memenuhi kewajiban nafkah terhadap istri. Istri merasa tertipu baik mengenai nasab keturunan, kekayaan, atau kedudukan suami, dan suami hilang tanpa berita dimana tempatnya apakah masih h Pembatalan 2. Pembatalan dapat pula diminta oleh pihak suami kepada pengadilan, misalnya suami merasa tertipu bahwa istrinya yang pernah mengatakan masih gadis ternyata bukan gadis lagi. Istrinya dulu tampak berambut indah, ternyata setelah kawin diketahui rambutnya palsu, sebenarnya ia tidak berambut sama sekali. Secara garis besar, suami kemudian menjumpai bahwa pada istrinya terdapat hal-hal yang tidak mungkin mendatangkan ketentraman dan pergaulan baik dalam hidup perkawinan yang semula diketahuinya dapat mengadukan kepada pengadilan untuk minta dibatalkan perkawinannya. 3. Pembatalan dapat pula diminta oleh dua belah pihak suami dan istri. Misalnya, anak-anak yang dikawinkan walinya, setelah mereka baligh mempunyai hak khiyâr, apakah akan melangsungkan perkawinana ataukah akan minta untuk membatalkan perkawinan. Hak khiyâr yang diajukan oleh salah satu pihak, dan khiyâr ini diberikan kepada mereka agar sejalan
dengan prinsip perkawinan dalam Islam, yaitu dilakukan dengan suka rela antara kedua belah pihak bersangkutan.42 Menurut Kompilasi Hukum Islam juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh Undang-Undang Perkawinan, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI pasal 113 dinyatakan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.43 Ketentuan
di atas mengenai
putusnya
hubungan
perkawinan
berdasarkan perceraian, dilakukan dengan salah satu pihak mengajukan tuntutan perceraian itu kepada pengadilan.44 Dalam pasal 39 UU nomor 1974 menegaskan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan antara kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup sehingga dapat dijadikan landasan yang wajar bahwa antara suami dan istri tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ulama fiqh merinci tentang penyakit yang dialami baik istri maupun suami bisa menyebabkan pembatalan nikah yaitu:
42
Basyir, Perkawinan Islam, 86-87. H. Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI” (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), 132. 44 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), 132. 43
1. Cacat atau penyakit Diantara para ulama meringkas bentuk cacat dalam pernikahan yaitu cacat yang menghalangi persetubuhan dan cacat yang menjijikkan sehingga lari dari hal tersebut. Adapun mengenai macam-macam bentuk cacat yang menyebabkan pembatalan nikah: a. Impotensi Impotensi adalah penyakit yang menyebabkan seorang lakilaki yang menyandangnya tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya. Demikian pendapat Imam Syâfi’î, Hambali, Hanafi yang mengatakan bahwa apabila suami tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya, maka istrinya berhak menjatuhkan pilihan perpisahan.45 Hal ini hendaknya menunggu hingga setahun lamanya dan wanita berhak memilih kepada pengadilan untuk memisahkannya. Bila kenyataan telah terungkap, perpisahan dapat dilaksanakan. Penyakit semacam ini dapat menghalangi hubungan suami istri untuk mencapai tujuan perkawinan. Penyakit ‘unah (impoten) yang dapat dijadikan alasan membatalkan nikah bagi seorang istri apabila menemukan suaminya suatu cacat yang sekiranya tidak dapat berhubungan suami istri dan istri tidak menemukan adanya tanda-tanda dengan keadaan suami pada waktu nikah, maka bagi istri dapat minta pisah diantara dirinya dan 45
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab: Ja’far Hanafi, Mâliki, Syâfi’î, Hambali, terj. Masykur A.B., dkk., vol. 4 (Jakarta: Lentera, 1999), 351-352.
suaminya.46 Akan tetapi dalam pandangan para ahli fiqh adalah bahwa setelah berobat selama satu tahun dan laki-laki itu dapat melakukan hubungan, walaupun tidak sepenuhnya, maka wanita itu kehilangan haknya untuk perpisahan. b. Al-jubb dan al-khashâ’ (ءa¨Qوا
ºQ)ا
47
.ِ َآHz Q¬ ُ ا ْ Yَ اى ® º ُ Qْ َو ُه َ~ ا ِu ُ z QaِO ½ ® oَ ¨ ْ yَ aَD
“Suatu penyakit yang khusus bagi laki-laki adalah al-Jubb atau terpotongnya dzakar” Dalam perkara ini istri berhak membatalkan perkawinan tanpa harus menunggu, bila hal itu sudah ada sebelum hubungan seksual. Sedangkan bila baru terjadi sesudah akad dan hubungan seksual, maka istri tidak berhak membatalkan perkawinan. Sedangkan al-khashâ’ adalah kehilangan atau pecahnya buah dzakar. Imam Hanafi berpendapat bahwa manakala pembatalan perkawinan akibat al-jubb dan al-khashâ’ ini telah dilakukan, maka bekas istri berhak atas seluruh mas kawin.48 Adapun madzhab-madzhab lainnya berpendapat bahwa bila wanita tersebut memilih pembatalan karena al-jubb, maka dia tidak berhak atas
46
Ahmad Husnî, al-Ahkam asy-Syar’iyyah fî al-Ahwâl asy-Syakhshiyyah (Shudân: Muhammad ‘alâ Shabîh, 1965), 47. 47 Wahbah az-Zuhaylî, al-Fiqhu al-Islamî wa Adillatuhu, jilid 7 (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 514. 48 Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, 355.
mahar, sebab belum terjadi percampuran. Tetapi bila karena al-khashâ’, dia berhak atas mahar, bila sudah dicampur dan begitu pula sebaliknya.49 c. Kegilaan Gila yang biasanya dialami baik dari pihak suami maupun istri dan apabila dialami oleh salah satu pihak, mestinya ada yang dirugikan, sehingga dalam keluarga yang didambakan adalah hubungan kokoh, akhirnya diakhiri dengan perpisahan karena adanya penyakit yang diderita dari salah satu pihak. Dalam penyakit gila, Imam Mâlik, Syâfi’î, dan Hambali sepakat bahwa suami boleh membatalkan akad nikah karena penyakit tersebut yang diderita istrinya, demikian pula sebaliknya.50 Selanjutnya pandangan Imam Abû Hanifah adalah bahwa keputusan ini dapat diterapkan pada laki-laki yang pernah gila sebelum perkawinan dan tidak mampu melakukan hubungan setelah perkawinan. Imam Mâlik berpandangan bahwa pengobatan kegilaan selama satu tahun, baik kegilaan itu hanya sekali maupun penyakit terus menerus. Bila pada akhir waktu satu tahun itu tidak terjadi kesembuhan, perpisahan harus dilakukan.51 Dalam setiap kasus semacam itu, yang harus kita gunakan sebagai petunjuk adalah ayat-ayat suci al-Qur’an yang menekankan bahwa hubungan perkawinan haruslah merupakan hubungan yang baik. 49
Ibid. Ibid., 356. 51 Abul A’la Maududi dan Fazl Ahmed, The Laws of Marriage and Divorce in Islam, terj. Alwiyah (Jakarta: Darul Ulum Press, 1987), 97-98. 50
Ikatan perkawinan harus bebas dari penganiayaan, kerugian, dan perasaan takut akan melanggar batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. Selain itu, pandangan al-Qur’an terdapat dua sasaran perkawinan adalah pemeliharaan kesucian dan ikatan kasih sayang diantara pasangan. d. Sopak dan kusta (امHuو
صO)
Judzâm atau kusta dan bisa juga dikatakan lepra adalah suatu penyakit dimana suatu anggota badan menjadi merah dan selanjutnya timbul warna hitam pada anggota tersebut, kemudian lama kelamaan menjadi putus dan rontok. Sedangkan barash (kelang kulit) yaitu warna putih pada kulit yang dapat menghilangkan darahnya kulit itu sendiri dan menghilangkan daging yang ada di bawah kulit.52 Imamiyah berpendapat bahwa sopak dan kusta adalah dua penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki boleh melakukan pembatalan nikah tetapi tidak boleh bagi kaum wanita. Kemudian Syâfi’î, Mâliki, dan Hambali berpendapat bahwa kedua penyakit tersebut merupakan cacat bagi kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Kedua belah pihak boleh melakukan pembatalan manakala telah
menemukan penyakit tersebut yang
ada pada
pasangannya.53 e. Al-ritq, al-qarn, al-’afal, dan al-ifdhâ’ (
,|NQ ا,نxQ ا,Á]Qا
ءaVWÂ)وا 52
Muhammad Ibn Qâsim, Fathu al-Qarîb, terj. H. Imron Abu Amar, vol. 2 (Kudus: Menara Kudus, 1983), 40. 53 Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, 356.
aً| ِ oَ fْ Dُ وْدًاXُ ± ْ Dَ ج ِ ْ|َ Qْ ن ا ُ ْ~ اى َآÁ ُ ]ْ ِّQَْأ ِة َو ُه َ~ اqِ Qْ aِO ½ ® oَ ¨ ْ yَ aَD 54 .Zِ _ْ Wِ ِ َآHz fِQ m َ f±D { َ ِ xَ fْ ¨ ُ Qْ ا ِ ْ ْ َأDِ ٍS ْ fzOِ “Suatu penyakit yang khusus bagi perempuan adalah al-ritq atau farji yang ditutupi dengan daging dari yang asal kejadiannya dan tidak dapat masuknya dzakar ke dalam farji”. Al-qarn adalah benjolan yang tumbuh pada kelamin wanita yang mirip tanduk domba. Begitu juga al’afal adalah daging yang tumbuh pada kemaluan wanita yang selalu mengeluarkan cairan. Sedangkan al-ifdhâ’ adalah menyatunya kedua saluran pembuangan.55 Dari keempat cacat tersebut adalah kasus pada kaum wanita, kemudian menurut Mâliki dan Hambali suami berhak membatalkan perkawinan.
Sedangkan
Syâfi’î
mengatakan
bahwa
yang
menyebabkan terjadinya pembatalan nikah adalah al-ritq dan al-qarn saja. Akan tetapi al-ifdhâ’ dan al-‘afal tidak berpengaruh terhadap akad. Ada lagi menurut Imamiyah al-qarn dan al-ifdhâ’ mempunyai efek dalam pembatalan perkawinan, sedangkan al-ritq dan al-’afal tidak mempunyai efek sama sekali. Selain macam-macam penyakit di atas, ada juga penyakit yang menular dan tidak ada harapan sembuh semisal penyakit AIDS.56 Penyakit atau cacat yang telah disebutkan di atas yang dapat menjadi fasakh nikah, ada cacat yang dibolehkan khiyâr. Di antaranya ada delapan. Tiga bersekutu antara lelaki dan perempuan, yaitu gila, 54
Wahbah, al-Fiqhu, 514. Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, 357. 56 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 55
142.
penyakit kusta dan supak. Ada pula penyakit tertentu bagi lelaki, yaitu jubb (putus kemaluan) dan ‘Unah (impoten).
Kemudian tiga lagi
tertentu bagi perempuan, yaitu tumbuh tulang dalam kemaluan yang menghalangi persetubuhan, tersumbat kemaluan, tumbuh daging kemaluan, dan terlalu basah kemaluan yang menyebabkan hilang kelezatan persetubuhan.57 2. Suami tidak memberi nafkah Salah satu fungsi rumah tangga yang cukup penting adalah fungsi ekonomi, terutama bagi perempuan, dengan membentuk lembaga keluarga berharap kebutuhan ekonominya dapat dicukupi oleh suaminya. Ternyata, ada pula sejumlah suami yang gagal mencukupi kebutuhan nafkah keluarganya. Suami selama dalam masa perkawinan berkewajiban memberi nafkah untuk istrinya, baik dalam bentuk belanja, pakaian, maupun tempat tinggal. Dalam keadaan tertentu istri dapat mengatasi masalah rumah tangga dengan cara dia turun tangan mencari nafkah.58 Dalam hal dapatkah ketidakmampuan suami memberi nafkah menjadi alasan istri memilih untuk membatalkan nikah. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Mâlik, Syâfi’î, dan Ahmad berpendapat, bahwa hakim boleh menetapkan putusnya perkawinan karena
tt), 290.
57
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
58
Amir, Hukum Perkawinan, 248.
suami tidak memberi nafkah kepada istri, baik karena memang tidak ada lagi nafkah atau suami menolak memberi nafkah.59 Sebagian ulama mengatakan bahwa hakim memberikan waktu selama satu bulan. Dalam waktu itu akan ketahuan ketidakmampuan suami itu. Sesungguhnya tidak memberikan nafkah kepada istri berarti mentelantarkan hidup istri, sebab itu adalah perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakannya. Dalam hal ini berarti menimbulkan kemadharatan pada diri istri. 3. Suami ghaib (mafqûd) Suami ghaib adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak diketahui kemana perginya dan dimana beradanya dalam waktu yang sudah lama. Ghaibnya suami menjadikan istri menderita fisik atau batin karena suami pergi menghilang tidak diketahui keberadaannya. Dalam hal ini istri berhak mengajukan masalahnya kepada hakim, kemudian pengadilan memutuskan perkawinannya.60 Hal ini berdasarkan Imam Mâlik dan Ahmad bahwa istri berhak menuntut cerai ke pengadilan, apabila pihak suami telah pergi (ghaib) meskipun suami memiliki harta benda yang ditinggalkannya.61 Imam Mâlik dan Ahmad berpendapat bahwa istri boleh menuntut perceraian apabila suami pergi tidak jelas kemana perginya, meskipun 59
Depag RI, Ilmu Fiqh, 270. Ibid., 271. 61 Kamal Muchtar, Azas-Azas Hukum tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 217. 60
suami meninggalkan kekayaan untuk keperluan nafkah istri. Namun kedua imam ini berbeda pendapat mengenai hukum perceraian, Imam Mâlik mengatakan bahwa thalâq-nya dianggap bâ’in. Sedangkan Imam Ahmad menganggapnya sebagai fasakh atau pembatalan nikah. Untuk menentukan cerai, diperlukan empat syarat: a. Kepergian suami dari istrinya itu tanpa ada alasan yang dapat diterima. b. Istri merasa tak aman dengan kepergian suaminya. c. Suami pergi meninggalkan tempat tinggal istri. d. Sudah lewat satu tahun dan istri merasa tidak aman.62 Dari penjelasan di atas mengenai suami meninggalkan istri dengan waktu yang lama dan ini sangat menyengsarakan kehidupan istri karena akan membahayakan kehidupan istri yaitu rasa tidak aman, susah, dan psikologisnya terganggu. Selain itu, istri menjadi merana karena tidak bersama suami dan tanpa suami, istri akan menderita. Jika demikian, maka istri boleh mengajukan permohonan cerai ke pengadilan agama. 4. Penganiayaan berat Salah satu yang bisa menjadi alasan istri mengajukan perceraian kepada hakim adalah kekejaman suami kepada istrinya dan kadangkala penganiayaan pada diri istri, oleh suaminya, sehingga pada diri istri merasa disiksa dengan kekejaman tadi pada fisiknya.
62
Al-Hamdani, Nikah ,259-260.
Dalam madzhab Hanafi, seorang perempuan diperbolehkan mengadukan halnya kepada hakim bila suaminya berlaku sewenangwenang terhadapnya. Maksudnya, supaya hakim itu menyuruh mendamaikan dan berlaku baik terhadap istrinya. Kemudian bila dipandang bahwa tindakan laki-laki itu sudah keterlaluan hingga patut mendapatkan hukuman dan pengajaran, maka hakim boleh memberikannya hukum yang sepantasnya. Sementara dalam Madzhab Malîki, bila seorang wanita mengalami perlakuan yang demikian, maka ia berhak mengadukan halnya kepada hakim agar diceraikan saja dari suaminya, yakni bila dipandang wanita itu tidak mungkin hidup sejahtera dengan perlakuan suami seperti itu.63 Kasus dalam penganiayaan kepada istri oleh suami yang dapat dijadikan alasan perceraian atau perpisahan, firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 229:
ِZِO َْتXَoْW اaَq_ِW aَqِr_ْ َfَs َحaَdُu َvَW ِwُودَ اXُl aَq_ِxُy z{َْ أSُoْ|ِI َْ}ِنW ُSَُ هmِ¤َQَ\ُوW ِwُودَ اXُl zXَNَoَy َْDَ وaَُوهXَoْNَ] َvَW ِwُودُ اXُl َmْfِ] (٢٢٩ :ةxQُ~نَ )اqِQazeQا Artinya: “Kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. itulah hukumhukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. 63
Ibrâhîm Muhammad al-Jamâl, Fiqh Wanita, terj. Anshori Umar Sitanggal (Semarang: Asy-Syifa’, t.t.), 418-419
Bila dilihat faktor penyebab kekerasan dapat berkembangbiaknya yang mempercepat muncul kekerasan antara lain: 64 a. Adanya faktor hubungan struktural antara suami istri menjadi pra kondisi terjadinya kekerasan suami terhadap istri. Artinya, ada struktur yang timpang, suami memiliki kekuasaan yang lebih besar memungkinkan untuk melakukan kekerasan kepada istrinya. b. Adanya ketidakpuasan suami terhadap perkawinannya, sehingga tingkat kekerasan suami terhadap istri semakin tinggi. c. Adanya faktor ekonomis yang semakin mempengaruhi keadaan rumah tangga. Dalam hal ini istri terkadang kurang memahami keadaan suami dan tidak menerima pemberian dari suami karena masih merasa kekurangan. Dari uraian di atas sangat diperhatikan dan disadari bahwa masalah kekerasan dan penganiayaan terhadap keluarga memang sangat memprihatinkan karena apa yang dianjurkan dalam nash al-Qur’an tentang disyari’atkannya perkawinan, tidak lain bertujuan untuk membina keluarga yang sakinah (ketenangan).
5. Salah seorang dari suami istri berlaku zina Zina berarti hubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang satu sama lainnya tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Kata “zina” ini ditekankan baik terhadap seorang atau keduanya yang telah menikah ataupun belum. Islam menganggap bahwa
64
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006), 297.
zina adalah dosa besar dan akan menghancurkan landasan keluarga yang sangat mendasar. 65 Dalam hukuman zina ini bagi pezina yang muhshan (telah menikah) mendapat dera seratus kali, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nûr ayat 2:
ْSْ ُآHI ُ ْ\]َ { َ ٍة َوXَ fْ u َ َ َ aِD aَqrُ dْ Dِ Xٍ l ِ وَا z ُوا ُآXfِu ْ aَW ِ[اzQا ِ[ َ_ ُ وَاzQا ْXrَ ¢ ْ _َ Qْ ِ َوI ِ Äْ َ_~ْ ِم اQْ وَاw ِ aِO ن َ ~ُdDِ ْÅ]ُ ْSoُ dْ ِإنْ ُآw ِ ا ِ yِِ دW ٌ Wَ ْ َرأaَqrِ Oِ . َ _ِdDِ ْÅqُ Qْ ا َ Dِ ٌ |َ ِ aَÆ aَqrُ Oَ َاHs َ Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang mukmin”. 66 Dari keterangan dan dasar hukum zina di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa bagi pezina muhshan mendapat hukuman dera seratus kali. Islam mensyari’atkan adanya ketentuan tersebut supaya agama Islam tidak menjadi kotor karena agama Islam adalah ajaran yang suci sesuai dengan dasar al-Qur’an dan al-hadîts. 6. Murtad Secara etimologi murtad yang akar katanya radda berarti “kembali”. Dalam arti terminologis murtad atau riddah adalah “kembali
65
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syari’at Islam dalam Konteks Modernitas (Bandung: Asy-Syaamil Press, 2001), 195. 66 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 350.
dari atau meninggalkan Islam”. Dalam arti lain disebut juga “kafir sesudah beriman”. 67 Murtad termasuk perbuatan maksiat yang besar dan diancam Allah dengan dosa dan adzab di akhirat, melebihi kejahatan menolak beragama Islam. Dari tujuan Allah melarang terhadap tindakan murtad ini adalah karena tindakan tersebut melanggar sendi dari kehidupan manusia yaitu beragama. 68 Adapun larangan Allah tentang murtad sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 217:
ْSrُ Qُaَqs ْ ¬ْ َأ َ ِ l َ m َ ¤ِ Qَ\ُوWَ ٌWِ aَْ َو ُه َ~ آqُ _َ Wَ Zِ dِ yِْ دs َ ْSUُ dْ Dِ ْدXِ ]َ ْyَ ْDَ َو ِرazdQب ا ُ aَ ْ َأm َ ¤ِ Qَ َ ِة َوأُوI ِ ÈْQ وَاaَ_[ْ X® Qِ اW ْSrُ Qُaَqs ْ ¬ْ َأ َ ِ l َ m َ ¤ِ Qَ\ُوWَ .ن َ ُوXQِaَI aَr_ِW ْSُه Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.69 Selanjutnya kaitan dengan tindakan yang tidak dinamakan murtad, sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 106:
ن ِ aَqyْ Â ِ ْaOِ É ¤ِ qَ ¬ ْ Dُ Zُ ُ fْ Yَ ْ ُأ ْآ ِ َ¦ َوDَ { z ِإZِ [ِ aَqyِ إXِ Nْ Oَ ْDِ w ِ aِO َ |َ ْ َآDَ ٌَابHs َ ْSrُ Qَ َوw ِ ا َ Dِ ٌV َ g َ ْSrِ _ْ fَNَ Wَ ْرًاX َ ِ |ْ Uُ Qْ aِO ح َ َ َ ْDَ ْUِ Qََو .ٌS_ِes َ Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk 67
Amir, Besar Fiqh, 315. Ibid., 317. 69 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 34. 68
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar”.70 Dari kedua ayat di atas dengan melihat bahwa akibat perceraian baik suami maupun istri yang dapat memilih perpisahan. Yang jelas jika salah satunya sudah murtad, maka hubungan mereka dianggap tidak sah. Dalam unsur ini merupakan kesengajaan yang dilakukan secara sadar, akan tetapi dengan paksaan murtad tersebut, tidaklah menjadikan murtad pada diri seseorang asalkan hatinya tetap pada keimanan.
D. Akibat Hukum Pembatalan Pembatalan nikah yang ditimbulkan dari suami istri dengan alasanalasan tertentu dan ikatan pernikahannya tidak dapat dilanjutkan lagi. Sehingga perkawinan mereka terdapat hal yang menghalangi keharmonisan keluarga dan bisa menimbulkan mahdharat (bahaya) pada diri masing-masing. Juga terkadang timbul dari penipuan salah satu pihak (suami/istri). Perceraian yang diakibatkan oleh fasakh tidak mengurangi bilangan thalâq, sebab fasakh bukan bagian dari thalâq. Sebab-sebab fasakh yang jelas tidak memerlukan keputusan pengadilan, sebagai contoh apabila terbukti bahwa suami istri bersaudara, maka saat itu juga suami istri wajib untuk membatalkan perkawinannya dengan kemauan mereka sendiri. Kadang-kadang yang menyebabkan pembatalan nikah yang tidak jelas sehingga memerlukan keputusan hakim, dan pelaksanaannya tergantung
70
Ibid., 279.
kepada keputusan hakim, misalnya pembatalan nikah karena istri musyrik enggan masuk Islam, suami sudah masuk Islam lebih dulu tetapi istri keberatan untuk masuk Islam, maka ini akadnya rusak dan batal, tetapi jika istri tidak keberatan untuk masuk Islam maka akadnya tidak dibatalkan oleh hakim. 71 Pada dasarnya, suatu akad seperti akad nikah bilamana ternyata batal, tidak mempunyai akibat hukum. Akad nikah seperti itu hanya terwujud pada lahirnya saja, sedangkan menurut hukum Islam dianggap tidak ada sama sekali. Namun, kadang-kadang disebabkan adanya akad nikah yang tidak mencukupi ketentuan-ketentuan syari’at, terjadi hubungan suami istri yang ada kaitannya dengan aspek lain. Selain itu, mengenai hubungannya dengan pembatalan nikah akibat lain adalah salah seorang atau kedua suami istri itu tidak sanggup lagi melanjutkan perkawinannya dan jika perkawinan itu dilanjutkan juga, maka keadaan kehidupan rumah tangga mereka diduga akan bertambah buruk dan pihak yang dirugikan bertambah buruk keadaannya, sedangkan Allah SWT tidak menginginkan terjadinya keadaan yang demikian.72 E. Perbedaan Fasakh dengan Thalâq Perpisahan suami istri adakalanya dengan sebab fasakh dan adakalanya dengan sebab thalâq. Perpisahan antara suami istri yang terjadi thalâq dengan melihat jumlah thalâq yang dijatuhkan suami kepada istrinya, 71 72
Al-Hamdani, Nikah, 274. Mukhtar, Asas-asas, 212.
dan terkadang juga perpisahan terjadi karena fasakh yang memisahkan suami istri dan tidak ada jumlah thalâq atau tidak terhitung thalâq. Perbedaan antara fasakh dan thalâq terletak pada hakikat dari keduanya itu sendiri. Hakikat thalâq bisa menyebabkan putusnya ikatan perkawinan dan putusnya hak dari suami. Thalâq tidak bisa terjadi kecuali pada akad nikah yang sah. Sedangkan hakikat fasakh tidak mengurangi bilangan thalâq dan bisa timbul bersamaan pada waktu akad atau setelahnya serta rusaknya dengan khiyâr bulûgh (menentukan pilihan setelah baligh). Ulama fiqh membedakan secara mendasar antara thalâq dengan fasakh: 1. Dari segi hakikat Fasakh mengandung pengertian pembatalan akad nikah serta menghilangkan seluruh akibat perkawinan sekaligus. Adapun thalâq adalah upaya mengakhiri suatu perkawinan dan seluruh akibat perkawinan serta baru habis apabila thalâq yang dijatuhkan adalah thalâq yang ketiga kalinya (thalâq bâ’in kubrâ).
2. Dari segi penyebabnya Fasakh adakalanya disebabkan adanya cacat pada akad nikah atau ada hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan itu tidak bisa
dilanjutkan. Adapun thalâq merupakan hak suami yang dipergunakan atas kehendaknya sendiri. 3. Dari segi kehendak melepaskan ikatan perkawinan Unsur kehendak dalam fasakh pada umumnya tidak ada, kecuali khiyâr bulûgh. Akan tetapi dalam thalâq, unsur kehendak menjatuhkan thalâq dari suami sangat menentukan. 4. Dari segi akibatnya Perpisahan suami istri melalui fasakh tidak mengurangi bilangan thalâq. Akan tetapi perpisahan suami istri melalui thalâq membawa akibat berkurangnya bilangan thalâq yang dimiliki suami. 5. Dari segi pembagiannya Thalâq adakalanya thalâq raj’î, yaitu thalâq satu atau dua dengan arti suami berhak rujuk kepada istrinya selama istrinya tersebut masuk dalam masa iddahnya, dan adakalanya thalâq bâ’in kubrâ, yaitu thalâq yang ketiga kalinya dan boleh bagi suami rujuk kepada istrinya, apabila istrinya itu menikah dengan lelaki lain, kemudian mereka cerai. Adapun dalam fasakh tidak ada pembagiannya. Suami tidak boleh rujuk pada istrinya, bahkan dalam mengawini saudara sendiri dan pihak laki-laki selamanya tidak boleh kawin kembali dengan wanita yang ternyata saudara perempuannya. 73
73
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 2 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 318-319.
BAB III PEMBATALAN NIKAH PERSPEKTIF IBN HAZM
F. Biografi Ibn Hazm Nama lengkap Ibn Hazm adalah 'Alî bin Ahmad bin Sa'îd bin Hazm bin Ghâlib bin Shalîh bin Sufyân bin Yazîd. Nama julukan beliau adalah Abû Muhammad dan yang terkenal adalah Ibn Hazm.74 Beliau lahir di daerah tenggara kota Cordova pada hari terakhir Ramadhan 384 H sebelum terbitnya matahari dan ketika sang imam shalat selesai mengucapkan salam. Kelahiran beliau bertepatan dengan 7 November 994 M.75 Ibn Hazm datang dari keluarga terhormat dan berkecukupan. Ayahnya adalah Ahmad bin Sa'îd bin Hazm al-Andalusi yaitu seorang menteri pada masa pemerintahan Khalifah Bani Umayyah Hisyam II dan Sulaiman II.76 Kakeknya bernama Yazîd adalah berkebangsaan Persia, Maula Yazîd Ibn Abî Sufyân, saudara Mu'awiyah yang diangkat oleh Abu Bakar menjadi panglima tentara yang dikerahkan untuk mengalahkan negeri Syam. 77 Sebagai seorang anak pembesar, Ibn Hazm mendapat pendidikan dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya, ia dibimbing dan diasuh oleh guruguru yang mengajarkan al-Qur'an, syair dan tulisan indah arab (khath). Ketika
74
Muhammad Abû Zahrah, Ibn Hazm: Hayâtuhû wa 'Ushruhu Arâuhu wa Fiqhuhu (t.t:
tp, tt), 22.
75
Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm: Biografi, Karya dan Kajiannya Tentang AgamaAgama. Terj. Halid Alkaf (Jakarta: Lentera, 2001), 55. 76 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 2. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 608. 77 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang: Pustak Rizki Putra, 1997), 545.
meningkat remaja ia mulai mempelajari fiqih dan hadîts dari gurunya bernama Husain bin ‘Ali al-Farisi dan Ahmad bin Muhammad bin Jasur. Selain itu, ia juga mempelajari filsafat, bahasa, teologi, etika, mantik dan ilmu jiwa.78 Ibn Hazm meninggalkan buku-buku yang ditulisnya sendiri, yang jumlahnya tidak kurang dari 400 buah. Ada buku-buku yang tebal dan ada pula yang tipis seperti risalah-risalah singkat dan makalah-makalah.79 Kehidupan Ibn Hazm di istana hanya sampai umur 14 tahun di karenakan ayahnya jatuh dari kekuasaannya. Ibn Hazm tumbuh berkembang dengan diliputi kenikmatan, kesenangan, dan kemewahan. Sebenarnya ia dibesarkan dalam keluarga kaya, namun ia memusatkan perhatiannya mencari ilmu, bukan mencari harta dan kemegahan.80 Ketika Ibn Hazm berusia 15 tahun, ayahnya dipecat kedudukannya sebagai menteri. Istananya terletak dibagian timur Cordova di sita, termasuk semua kekayaan yang dimilikinya. Pada umur 20 tahun Ibn Hazm menanggung kesedihan dilubuk hati, keadaan yang membakar semangatnya hingga mendidih. Ia bertekad hendak mengubah dunia yang sarat dengan kekacauan, kedzaliman dan kerusakan.81 Ibn Hazm sudah pernah memperoleh pendidikan. Oleh ayahnya ia pernah dikirim ke halaqah-halaqah di masjid besar untuk belajar atau diserahkan kepada guru, bahkan ia lebih suka jika guru itu mengajarnya di istana. 78
Dalam usianya menginjak dewasa, pendidikannya diarahkan ke
Depag RI, Ensiklopedi Islam, Jilid 2 (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 1997), 148. Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Terj. Al-Hamid alHusaini (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 574. 80 Ash-Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 546. 81 Asy-Syarqawi, Sembilan Imam Fiqih, 576. 79
majelis ta'lim di masjid-masjid Cordova. Di sana ia mulai berdialog dengan berbagai guru dan pakar ilmu agama.82 Di antara guru Ibn Hazm dibidang hadîts, bahasa, logika dan teologi adalah Ahmad bin Muhammad bin al-Jasur, yahya bin Mas'ud bin Wajah alJannah dan Abû Qâsim Abdurrahman bin Abî Yazîd al-Azdi. Di bidang fiqh, gurunya adalah Abî Amr Ahmad bin Al-Husain, Yusuf bin Abdullah (Hakim di Cordova), Abdullah bin Rabi' at-Tamîmî, dan Abî Amr at-Talmankî. Selain itu gurunya adalah Abi Muhammad ar-Rahuni dan Abdullah bin yusuf bin Nami yang dikenal sebagai tokoh yang santun dan utama, serta berakhlak baik.83 Beliau adalah pertama kali mempelajari fiqh madzhab Mâlikî, lalu pindah mempelajari fiqh Syâfi'î dan akhirnya tertarik pada madzhab Zhâhirî yang dikembangkan oleh Daud al-Ashfahani melalui gurunya yaitu Mas'ud bin Sulaimân. 84 Meskipun dalam sejarah kehidupannya mempelajari fiqh beralih madzhab, ini bertujuan agar ilmu yang diperoleh tersebut lebih matang. Perpndahan Ibn Hazm dari Madzhab Mâlikî ke Madzhab Syâfi'î, Syâfi'î ke Zhâhirî adalah karena ia tidak mau terikat dengan madzhab tertentu dan ia hanya terikat pada al-Qur'an, al-Hadîts atau ijma' sahabat. Ibn Hazm memiliki karakter dan perilaku yang luhur karena sebagaimana orang berilmu sesuai dalam karya-karyanya yang banyak dikaji
82
Aziz Dahlan, Ensiklopedi, 608. Ali Himayah, Ibn Hazm, 60. 84 Ali Hasan, Perbandingan Madzhab (Jakarta: Rajawali Press, 1996), 237. 83
dan didiskusikan. Hal-hal terebut mendukung bahwa beliau terkenal dengan kareakter dan perilaku yang luhur, yaitu: 1. Kemampuan Ibn Hazm dalam menguasai beberapa karya tokoh masyarakat beserta dalik dan argumentasinya. 2. Berkat keluhuran pribadi yang dimilikinya, ia dapat tawadhu'
kepada
Allah dan mensyukuri nikmat dari-Nya. 3. Sifat ikhlas terhadap agama, para kerabat dan guru-gurunya. 4. Kemampuan beliau dalam menahan nafsu dan kesucian jiwanya. 5. Bersifat keras dan tajam menolak para lawannya.85 Ibn Hazm sebagaimana pengikut madzhab Zhâhirî yang mempunyai banyak guru, beliau juga mempunyai murid. Di antaranya yaitu: 1. Muhammad bin Futûh bin Id yang memperdalam ilmu sejarah. 2. Abû Abdillah al-Humaidi al-Andalusi yang mendalami karya-karya Ibn Hazm. 3. Abû Rafi' al-Fadl bin ‘Alî, Abû Usamah Ya'qub bin Alî dan Abû Sulaimân al-Mus'ab bin ‘Alî, ketiganya adalah putra Ibn Hazm sendiri yang mendalami fiqh.86 Dari murid-murid Ibn Hazm diatas terkenal adalah Muhammad bin Abû Nashr Futûh al-Azdi al-Humaidi al-Andalusi al-Miwarqi (W 488 H), pengarang kitab Jadzwah al-Muqtabis fî Dzikr Wulah al-Andalus.87 Ibn Hazm wafat pada hari Ahad, dua hari terakhir bulan Sya'ban 456 H dipadang Lablah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia wafat di Muntu 85
Ali Himayah, Ibn Hazm, 73-75. Aziz Dahlan, Ensiklopedi, 608. 87 Ali Himayah, Ibn Hazm, 61. 86
Laisyim, desa kelahiran Ibn Hazm. Umurnya ketika wafat adalah 71 tahun 10 bulan 29 hari.88 Keistemewaan Ibn Hazm adalah memiliki kecerdasan dalam berpikir sehingga banyak karyanya sendiri yang beragam. Di sini karya-karya Ibn Hazm terbagi menjadi dua, yaitu karya-karya yang terlacak atau masih ada dan karya-karyanya hilang. Adapun karya-karya yang terlacak:89 1. Al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm (penguat dasar-dasar hukum) Kitab ini diterbitkan oleh Syaikh Ahmad Syakir pada 1345 H. Diterbitkan melalui al-Sa'âdah sebanyak 8 juz dan diterbitkan al-Imam sebanyak 2 jilid masing-masing terdiri dari 4 juz. 2. Izhâr Tabdil al-Yahud wa an-Nasharâ li al-Taurah wa al-Injîl wa Bayân Tanaqudh mâ bi Aidîhim Min Dzâlik min Mâ lâ Yahtamil it at-Ta'wil (Membuktikan perubahan yang dilakukan umat Yahudi dan Kristen atas Taurat dan Injil serta pertentangan di antara mereka yang tidak memungkinkan takwil). 3. Al-Ushûl wa al-Furû' (pokok-pokok agama dan cabang), ini ringkasan kitab al-fashl. 4. Asmâ' al-Khulafâ' al-Mahdiyyin wa al-Ruwah (Nama para sahabat dan perawi). 5. Asmâ’ al-Khulafâ' al-Mahdiyyin wa al-Imamah Umarâ' al-Mu'min (Nama para khalifah dan pemimpin umat Islam). 88 89
Ibid., 75. Ali Himayah, Ibn Hazm, 83-96.
6. Ashab al-Fataya min al-Shahâbah wa min Ba'dihim 'alâ Marâtibihim fi katsrah al-Fataya (Para sahabat muda dan sesudahnya menurut tingkatan jumlah terbanyak). 7. Al-I'râb al-Hairah wa al-Iltibâs wa al-Wâqi‘în fi Mazhâhib ahl al-Ra'y wal al-Qiyâs (Kebingunangan dan keragunan pada ahli ra'y dan qiyas). 8. Ibthâl al-Qiyâs wa al-Ra'y wa al-Istihsân wa al-Taqlîd wa al-Ta'lîl (Membatalkan qiyas, ra'y, istihsan, taqlid dan ta'lil). 9. Al-Taqrib lihadd al-Manthiq wa al madkhal ilaih bi al-Alfadz al-'Amiyyah wa al-Amtsilah al-Fiqhiyyah (Definisi dan pendekatan mantiq melalui lafadz-lafadz umum dan contoh-contoh fiqhiyah). 10. Al-Tauqif ‘alâ Syari’ al-Najah Bikhtishar al-Tharîq (Bersikap pada zat pemberi keselamatan). 11. Al-Talkhish Liwujuh al-Talkhish (inti sari menuju bentuk keihlasan). 12. Al-Bayân an Haqîqah al-Insân (Hakikat manusia). 13. Jamharah Ansab al-‘Arab (Koleksi nasab-nasab bangsa arab). 14. Jumal Futûh al-Ihsân Ba’da Rasulullah SAW (Jumlah penaklukan Islam setelah Rasulullah). 15. Hajjah al-Wada' (Haji perpisahan). 16. Al-Durrah fi Tahqîq al-Kalâm fi ma Yulzamu al-Insân I'iqaduh fi alMillah Bihtishâr wal Bayân (Sekelumit perbincangan tentang kewajiban manusia mengenai sekte dan aliran keagamaan). 17. Diwân Ibn Hazm (Kumpulan sastra karya Ibn Hazm).
18. Ar-Radd 'alâ Ibnu al-Nughrilah al-Yahûdi (Penolakan atas Ibn alNughrilah sang Yahudi). 19. Risalatan Lah Ajaba Fihima 'an Risalatain Suila Fihima Sual al-Ta'nif (Dua risalah sebagai jawaban atas dua pertanyaan kritis tajam). 20. Risalah fi Hukm man Qâla Inna Ahl al-Syaqa' Mujîbun ila Yaum al-Dîn (Risalah atas hukum orang yang berkata sesungguhnya kaum yang sengsara mendapatkan siksaan pada hari kiamat). 21. Risalah fi Alam al-Maut wa Ibthaluh (Risalah tentang sakitnya kematian dan penolakan atasnya). 22. Risalah fi al-Radd 'Alâ al-Hatif (Penolakan atas pengkritik pedas). 23. Risalah fi al-Ummahat wa Ummahat al-Khulafâ' (Risalah Ummul Mu'minin). 24. Risalah fi al-Radd 'alâ al-Kindi al-Failusuf (penolakan atas filusuf alKindi). 25. Al-Sirah al-Nabawiyyah (Jejak langkah Nabi). 26. Thauq al-Hamamah fi al-ulfah wa al-ullaf (kekuatan wanita dengan kelembutan dan kemanjaan). 27. Al-Imâmah fi ash-Shalâh (Tentang imam sholat). 28. Fi Masalah al-Kalb (Masalah anjing). 29. Fi al-Ghina' Ambah Huwa am-Mahdzur? (Kekayaan, barang dibolehkan atau dilarang). 30. Fadhl al-Andalus wa Dzikr Rijalih (Keutamaan Andalusia dan Kehormatan para tokohnya).
31. Fashl fi Ma'rifah al-Nafs Bighairiha wa jahliha bi Zhatiha (Penjelasan tentang pengetahuan jiwa dengan lainnya dan ketidaktahuan pada dirinya sendiri). 32. Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa' wa al-Nihal (Penjelasan tentang sekte dan aliran keagamaan). 33. Al-Qira'at al-Masyhûrah fi al-Amshar (para ahli qira'at terkenal di belahan kota). 34. Mudawah al-Nufûs wa Tahzib al-Akhlâq wa al-Zuhd fi al-Razhail (melatih jiwa dan akhlak serta cara menjauhi hal-hal yang hina). 35. Muratib al-Ijmâ' (Martabat ijma'). 36. Mulakhkhasah ibthal al-Qiyâs wa al-Ra'y al-Istihsân wa al-Taqlid wa alTa'lil (Intisari pembatalan atas qiyas, ra'y, istihsan, taqlid dan ta'lil). 37. Maratib al-Ulûm (martabat ilmu). 38. Manzdumah fi Qawâ'id Ushûl fiqh al-Zhâhirî (Sistematika kaidah ushul fiqh Zhâhirî). 39. Al-Mufadhalah Bain al-Shahabah (Keutamaan para sahabat). 40. Nubzhah fi al-Buyû' (Sekelumit tentang jual beli). 41. Al-Nubzhah al-Kafiyah Ushûl al-Fiqh azh-Zhâhirî (sekelumit uhsul fiqh azh- Zhâhirî). 42. Al-Nashâih al-Munjiyyah min al-Fadhaih al-Mukhziyyah wa al-Qaba'ih al-Maraddiyyah min Aqwâl ahl al-Bidâ' min al-Firâq al-Arba', alMu'tazilah wa al-Murji'ah wa al-Khawarij wa al-Syi'ah (Beberapa nasehat
yang menyelamatkan dari pendapat buruk empat kelompok ahli bid'ah, mu'tailah, Murji'ah, Khawarij dan Syi'ah). 43. Naqth al-'Arus fi Tawarikh al-Khulafâ' (Rangkaian sejarah para khalifah). 44. Al-Nâsikh wa al-Mansûkh (Tentang nasikh dan mansukh). 45. Nakt al-Islâm (Kedalaman Islam). 46. Al-Muhallâ (Yang dihiasi) fiqh Zhâhirî Kitab ini adalah karya Ibn Hazm dibidang fiqih Zhâhirî yang banyak mendapat perhatian para ulama dan tokoh hadîts. Kitab al-Muhallâ berjumlah 13 Jilid, yaitu buku fiqh yang disusun dengan metode perbandingan, penjelasannnya
luas,
argumen
al-Qur'an,
al-Hadîts
dan
ijma'
yang
dikemukakan pun memadai.90 Kitab al-Muhallâ di tahqiq oleh dua ulama', yaitu Ahmad Muhammad Syakir dan Abdurrahman al-Jaziri, dan disempurnakan oleh Muhammad Munir al-Dimasyqi dalam jumlah 11 jilid pada 1918. Sedangkan pada cetakan II berjumlah 13 jilid yang pada juz I di tahqiq oleh Syaikh Hasan Zaidan, membutuhkan waktu dari 1967 -1973, dan kitab ini merupakan kumpulan fatwa hukum (fiqh)nya madzhab Zhâhirî yang didalamnya juga terkumpul hadîts-hadîts, serta fiqih ulama berbagai kota. Karya-karya Ibn Hazm yang hilang:91 1. Al-Ishâl ilâ Fahm kitab al-Khishâl al-Jami'ah li Mahshal Syara’î al-Islâm, fi al-Wajib wa al-Halâl wa al-Haram wa al-Sunnah wa al-Ijmâ'
90 91
Aziz Dahlan, Ensiklopedi, 610. Ali Himayah, Ibn Hazm, 97-104.
(Memahami kitab al-Khishal al-Jami'ah li mahshal syara'i al-Islam, Fi alWajib wa al-Halal wa al-Haram wa al-Sunnah wa al-Ijma'). 2. Al-Iml'â fi Qawâid al-Fiqh (Dekte kaidah-kaidah fiqih). 3. Al-Imâmah wa al-Siyasah fi Siyar al-Khulafâ’ wa Maratibiha wa al-Nadb wa al-Wajib Minha (Kepemimpinan dan politik dalam jejak langkah para khalifah: kedudukan, anjuran dan kewajiban). 4. Al-Ijmâ' wa Masâiluh 'alâ Abwâb al-Fiqh (Problematika ijma' dalam fiqih). 5. Ajwibah (beberapa jawaban) 6. Al-Idzhâr Limâ Syuni'a 'alâ azh-Zhâhirî (Penampakan penghinaan terhadap madzhab azh-Zhâhirî). 7. Al-Atsâr allatî Dzaharaha al-Ta'arudh wa Nafî' al-Tanaqudh (beberapa atsar yang tampak bertentangan dan menghilangkan kerusakan). 8. Akhlâq al-Nafs (akhlak jiwa). 9. I'jâz al-Qur'an (Kemukjizatan al-Qur'an) 10. Ijazatuh li Syarih bin Syarih al-Muqqari (Ijazah untuk syarih bin syarih alMuqqari). 11. Asmâ' Allah al-Husna (Asma'ul Husna). 12. Al-Istijlab (Dakwaan). 13. Al-Istiqsha' (Investigasi). 14. Al-Ikhtisar Kalâm Jalinus fi al-Amrâdh al-Haddah (Ringkasan pendapat Galinus tentang penyakit kronis).
15. Bayân Ghalath Utsman bin Sa'îd al-A'ur fi al-Musnad wa al-Mursal (menerangkan kekeliruan usman bin Sa'id al-A'ur dalam masalah hadîts musnad dan mursal). 16. Bayân Fashahah wa al-Balâghah (tentang kefasihan dan keindahan bahasa). 17. Bi Lughah al-Hakim (Bahasa seorang hakim). 18. Barnamijuh (Program-program nya). 19. Tartib Musnad Baqi bin Mukhallad (urutan Musnad Baqi bin Mukhallad). 20. Tartib Su'alat Utsman bin al-Darimi li Ibni Mu'ayyan (Urutan beberapa soal Utsman al-Darimi untuk ibnu Mu'ayyan). 21. Tasmiyyah Syuyûkh Mâlik (Guru-guru Imam Malik). 22. Al-Talkhish wa al-Talkhish fi Masâ'il al-Nadzariyyah wa Furû'iha allatî lâ Nashsha 'alaiha fi al-Kitâb wa al-Sunnah (intisari masalah-masalah konseptual dan furu'iyyah yang tidak ada nashnya dalam al-Qur'an dan asSunnah). 23. Al-Tashaffuh fi al-Fiqh (Serba serbi dalam fiqih). Yang tersebut diatas hanyalah sebagian dari nama-nama kitab yang tidak terlacak, sebetulnya kitab yang tidak terlacak ada 85 nama kitab dalam buku Ibn Hazm karya Ali Himayah.
G. Sumber-Sumber Hukum Islam dan Metode Istinbâth Hukum Menurut Ibn Hazm 1. Sumber-Sumber Hukum Menurut Ibn Hazm Ibn Hazm menolak ijtihad yang menggunakan akal dan qiyas. Secara langsung didalam menetapkan hukum, secara tegas ditetapkan ada tiga macam hukum yang dijadikan sumber dan sandaran yaitu al-Qur'an, al-hadîts dan Ijma' sahabat.92 Namun beliau mengakui ada 4 macam dalil hukum yang dijadikan pegangan, sebagaimana yang ditulis dalam kitab al-Ihkâm fi Ushûl alAhkâm sebagai berikut:
NO أرar[ وأ,ardD {ا إ¢Q اD Ê_ فNy{ PoQا{~ل ا ~ هaq[ى إHQ ا.م. صwم ر~ل اv و[½ آ.نËxQ [½ ا:Pوه ,]~اoQت أو اaxcQ اx[ مv±Q اZ_fs Zds ² aqD PQaN] w اs .اXl واaru إ{ وqoy{ ardD _Q أو د,Dء اaqfs _qu عaquوإ Artinya: “Dasar-dasar hukum dari Allah yang sama sekali tidak dapat diketaui kecuali dengan empat dasar, yaitu nash al-Qur'an, nash sabda nabi Muhammad SAW yang pada dasarnya berasal dari Allah yang diriwayatkan oleh rawi tsiqat (Cerdas, adil dan kuat ingatan), atau di riwayatkan secara mutawatir, ijma' ulama al-ummah atau dalil yang mempunyai arti satu saja”. 93 Al-Qur'an adalah sumber dari segala sumber atau masdarul mashadir, dan tidak ada suatu dalil syar'î melainkan diambil dari al-Qur'an, sebab al-Qur'an itu asal dari setiap asal.94 Dan juga Ibn Hazm menetapkan
92
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Multazami: Dar Fikr, t.t.), 262. Abî Muhammad 'Alî bin Ahmad Said bin Hazm, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, vol. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-'Alamiyah, t.t.), 70. 94 Ash-Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 319. 93
bahwasanya al-Qur'an adalah kalamullah, semuanya itu jelas dan nyata bagi ummat. Menurut Ibn Hazm pesan dan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk dilaksanakan kandungan isinya, ditulis dalam mushaf dan wajib dijadikan pedoman sebagaiman didasarkan pada firman Allah: 95
.Ê ٍ _ْ َ ْDِ ب ِ aَoUِ Qْ اPِW aَdÆ ْ z Wَ aَD
Kemudian Ibn Hazm mendefinisikan al-Qur'an yang dianggap sumber hukum yang pertama adalah sebagai berikut:
,Z_W aqO qNQ وا,ZO ارY{ اadDQي أHQ واad_Q إw اXrs ~ن هËxQأن ا ~ن هËxQااH أن ه,Z_W m¢fQ لaºD { ىHQ اWaUQ اxdO ²و aqQ دa_x[{ اu و,arfق آaWÄ اPW ~رةr¢qQ ا,^laQ اPW ~بoUqQا 96 .Z_Q~ع إuqQن ه~ ا{ اaUW Z_W Artinya: “Sesungguhnya al-Qur'an yaitu janji allah pada kita dan sesuatu yang Allah telah mengharuskan pada ktia mengakuinya dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya dan diperbolehkan memindah Sesutu yang tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Sesungguhnya al-Qur'an suatu yang ditulis dalam beberapa shaf yang terkenal di seluruh penjuru seluruhnya dan wajib mengikuti apa yang ada di dalamnya dan ia merupakan suatu pokok yang dibuat rujukan”. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara aliran-aliran Islam, baik ahlu as-Sunnah, Mu'tazilah, Khawarij, Murji'ah maupun Zaidiyah dalam hal menjadikan al-Qur'an sebagai dasar ajaran agama Islam.97 Ibn Hazm secara khusus membagi ayat al-Qur'an menjadi tiga bagian:98 95
An-Nisa': 38. Ibn Hazm, al-Ihkâm, 94. 97 Ibid. 96
a. Jelas dengan sendirinya, tidak memerlukan penjelasan-penjelasannya lagi baik dari al-Qur'an maupun al-Sunnah. b. Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Qur'an sendiri. c. Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh as-Sunnah. Bagian yang pertama yang terang dan tegas pengertiannya banyak benar dalam al-Qur'an. Bahkan al-Qur'an ada ayat-ayat yang menjelaskan maksud as-Sunnah. Bagian yang kedua dari ayat-ayat al-Qur'an yaitu menentukan penjelasan lagi, maka ayat-ayat yang disebut secara mujmal pada suatu tempat dan diberi penjelasannya pada tempat lain. Sedangkan bagian ketiga ialah ayat-ayat al-Qur'an yang mujmal yang diberi penjelasannya oleh as-Sunnah.99 Sumber hukum yang kedua menurut Ibn Hazm adalah as-Sunnah atau khabar. Disini Ibn Hazm membagi khabar dari segi kualitas perawi kepada mutawatir dan ahad. Khabar mutawatir adalah:
^fo¨y SQ I اHم وه. صP ّ ّdQ اZO Íf] Pol Wa آXNO Wa آZofx[aD 100 .Z_g Pfs ¬~عxD Ál Z[ اPW و,ZO HI~ب اu وPW نaqf±D Artinya: “Hadîts yang dinukil oleh kebanyakan orang secara menyeluruh yang sampai ke nabi dan merupakan khabar yang tidak bertentangan dengan muslimin dalam menjadikannya sebagai landasan dan itu merupakan hal yang terbebas dari cacat”. Mengenai ukuran banyaknya perawi, terjadi perbedaan pendapat ada yang mengatakan bahwa jumlah tersebut dari keseluruhan masyriq dan maghrib. Selain itu ada yang mengatakan jumlahnya tidak terhitung, tiga 98
Ash-Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 319. Ibid. 100 Ibn Hazm, al-Ihkâm, 94. 99
ratus orang, tiga puluh orang, empat puluh orang, dua puluh orang, dua belas orang, lima orang, empat orang atau tiga orang. Masing-masing jumlah tersebut berdasarkan berbagai alasan, tiga ratus orang karena jumlah orang muslim dalam perang Badar, lima puluh orang karena banyaknya pembagian, empat puluh orang karena jumlah umat Islam pada awal Islam dan lain-lainnya.101 Menurut Ibn Hazm semua pendapat itu tidak benar tanpa ada bukti yang jelas, setiap yang memberikan batasan jumlah tertentu tidak ada jaminan untuk memberikan keyakinan yang benar secara dhâhir, baik mulai tujuh puluh orang, dua puluh orang dan seterusnya. Satu khabar tidak bisa dikatakan tidak mutawatir dengan alasan menurut batasan tertentu perawinya kurang satu orang karena secara rasional tidak ada perbedaan antara yang diriwayatkan oleh dua belas, sembilan belas, tujuh puluh atau sembilan puluh orang.102 Sedangkan khabar ahad menurut Ibn Hazm adalah:
PQول اXNQ اyواO oQا إذا اHrW ,Xl~اQ اs Xl~اQ اZofx[aD 103 .aVy أZoO SfNQ اu و,ZO qNQ اuم و. صwر~ل ا Artinya: “Hadîts yang diriwayatkan oleh satu orang dari satu orang yang lain, hal ini apabila bersambung dengan riwayatnya orang yang adil sampai Rasullulah, maka wajib diamalkan dan wajib mengetahui sahnya hadîts tersebut”. Berdasarkan definisi ini, walaupun khabar itu diterima dari jalur periwayatannya, namun namanya tetap khabar ahad. Menurut Ibn Hazm 101
Ibid., 102-103 Ibid., 103-104 103 Ibid, 106. 102
khabar ahad bisa dijadikan hujjah berdasarkan firman Allah dalam surat at-Taubah 122:
رُواHِ dُ_Qِ َو ِ yªXQِ اW ُ~اrxz |َ oَ _َ Qِ ٌ |َ ِ ÈَÆ ْSrُ dِD ٍ Yَ ْWِ ª ِ ُآD َ |َ [َ { َ ْ~fَWَ ... 104 .ن َ رُوHَ ْ yَ ْSrُ fzNَ Qَ ْSrِ _ْ Qَُ~ا ِإNu َ ْ ِإذَا َرSrُ Dَ ْ~Yَ Dalam ayat tersebut diatas bahwa Allah mewajibkan pada tiap golongan untuk menerima peringatan dari kalangan mereka yang belajar agama. Dalam bahasa arab kata "Thâ'ifah" adalah mutlak bisa arti jama dan mufrad. Kemudian Ibn Hazm membagi hadîts menjadi 3 bagian sesuai dengan jumhur ulama'. Akan tetapi beliau berpendapat bahwa yang menunjukkan wajib adalah hadîts yang qauliyah. Sedangkan hadîts fi'liyah merupakan suatu qudwah (panutan) bukan suatu kewajiban. Dan hadîts taqririyah merupakan suatu ibâhah (kebolehan).105 Sumber hukum yang ketiga menurut Ibn Hazm adalah ijma'. Ijma' menurut Ibn Hazm yang mu'tabar hanyalah ijma' sahabat dan ijma' inilah yang dapat berlaku dengan sempurna. Kemudian Ibn Hazm beralasan bahwa ijma' sahabat tersebut karena para sahabat menyaksikan langsung dan diberikan bimbingan dari Rasulullah keshahîhannya pun terjamin dan ini bisa dijadikan hujjah seluruh umat Islam. Adapun ijma' setelah sahabat itu tidak bisa dijadikan hujjah. Pada hakikatnya ijma' ialah yang bisa dinukilkan oleh semua umat.106
104
Ibid, 106. Ash-Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 327. 106 Ibid., 346. 105
Lebih lanjut Ibn Hazm menjelaskan dalam membagi ijma' menjadi dua bagian, yaitu: a. Segala sesuatu yang tidak seorang pun dan umat Islam meragukannya dan apabila seorang tidak mengakuinya maka ia adalah orang yang bukan muslim, seperti syahadat (kesaksian) bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya. Kemudian tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusann-Nya. Kemudian shalat, puasa, keharaman bangkai, darah, babi dan lain-lainnya. Kesemuanya itu dibenarkan bahwa ia adalah kesempatan umat Islam. b. Sesuatu yang disaksikan oleh seluruh sahabat dan perbuatan Rasulullah atau dengan keyakinan yang diketahui oleh sahabat yang tidak menyaksikan perbuatan tersebut, seperti peristiwa Khaibar disaat beliau menyerahkan seluruh hasil tanaman dan buah-buahan.107 Ibn Hazm adalah seorang faqih yang berpikir bebas, merdeka, tidak terikat dan mengikat pada madzhab apapun. Itu sebabnya ketika ia mempelajari fiqh Mâlikî, ia tidak merasa puas dan pindah ke madzhab Syâfi'î dan selanjutnya ke madzhab Zhâhirî. Dalam masalah ijma' Ibn Hazm berpendapat bahwa ijma' ulama madhab tidak dipandang sebagai ijma' dan tidak dapat menjadi hujjah, karena yang dipandang sebagai hujjah hanyalah nash, ijma' dan dalil yang
107
Ibn Hazm, al-Ihkâm, 545-555.
dipetik dari keduanya. Ijma' ahli madinah bukan nash bukan pula ijma' yang hakiki itu. 108 Sumber hukum yang keempat adalah dalil-dalil. Dalîl menurut Ibn Hazm adalah: 109
.Pq±qQ اZO فNy aq~ن اUyXY وa[aهO ~نUyXY :_QXQا
Artinya: “Dalil terkadang burhan dan terkadang berupa isim yang mana dengan hal ini sesuatu dapat diketahui”. Dalil yang ditempuh Ibn Hazm dan golongan Zhâhiriyah ialah mempergunakan sebagai ganti qiyas, karena dalil yang sebenarnya tidak berapa jauh dari qiyas dan juga dalîl itu diambil dari ijma', atau dari nash, atau sesuatu yang diambil dari nash, atapun ijma' sendiri, bukan diambil dengan jalan mempautkannya kepada nash. Sebenarnya dalîl berbeda dari qiyas, Karena pada dasarnya qiyas itu mengeluarkan illat dari nash dan memberikan nash kepada segala yang padanya terdapat illat itu, sedangkan dalil langsung diambil dari nash.110 Dalîl merupakan metode istinbâth yang unik, karena tidak seperti metode istinbâth yang biasanya berpangkal pada penggunana ra'y, tetapi ini semata-mata didasarkan pada pemahaman tekstual nash dan ijma'. Dengan metode al-dalîl tersebut, nash dan ijma' dipahami berdasarkan dilalah (petunjuk secara langsung) dan keumuman suatu lafadz, tanpa mengeluarkan 'illat terlebih dahulu.111
108
Ash-Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 348. Ibn Hazm, al-Ihkâm, 40 110 Ash-Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 349-350. 111 Isnatin Ulfah, Justicia Islamica; Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 3 (Ponorogo: Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo, 2005), 50. 109
2. Metode istinbâth hukum menurut Ibn Hazm Ibn Hazm dalam mengambil hukum dari nash atau metode istinbâth hukumnya dengan cara bahasa (dalîl lughawiyah) yaitu beliau tidak keluar sedikitpun dari maksud bahasa yang telah ada. Menurut beliau nash itu ada yang jelas dan ada juga yang tidak jelas. Untuk menjelaskan nash yang tidak jelas tersebut, Ibn Hazm menggunakan bayân. Bayân menurut Ibn Hazm adalah: 112
.Zqfs أرادqQ Zox_xl فN] أنadUqD Z] ذاPW Ê_¢Qن آ~ن اa_Qا
Artinya: “Bayân adalah keadaan sesuatu dalam dzatnya serta memungkinkan diketahui hakekatnya bagi yang ingin mengetahuinya”. Bayân terkadang bisa terjadi antara al-Qur'an dengan al-Qur'an, alQur'an dengan hadîts, hadîts terhadap al-Qur'an, hadîts terhadap hadîts dan ijma' terhadap hadîts.113 Dengan demikian, al-Qur'an bisa menjelaskan dengan yang lainnya dan dalam hal ini memperkuat bahwa ayat yang satu dengan ayat yang lainnya itu bisa menjadi bayân. 114
Ibn Hazm dengan metode bayân ini membagi menjadi tiga metode, yaitu: a. Al-Istitsnâ' (ءadcoÂ)ا
112
Ibn Hazm, al-Ihkâm, 41. Ibid., 79. 114 Ajat Sudrajat, Epistemologi Hukum Islam: Versi Ibn Hazm al-Andalusiy (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2005), 38. 113
Menurut Ibn Hazm istitsnâ' adalah:
اجI أو إ,Zofqu D Ê_¢Q اMNO ½_¨] ~ء هadco{ا 115 .IË Ê_ Z_W fI أدaqDaD Ê_ Artinya:
“Istitsnâ’ adalah mengkhusukan sebagian sesuatu dikeseluruhan nya dan mengeluarkan sesuatu dari yang termasuk sesuatu yang lain”.
Dalam istitsnâ’ Ibn Hazm membolehkan mengecualikan sesuatu dari jenis dan macamnya, dan yang diberitakan dalam ilmu nahwu disebut istitsnâ’ munqathi' (¬xdqQا
ءadco{)ا,
sedangkan
lafadz yang digunakan adalah: 116
.~ىaD ,ىXsaD ,Uy SQaD ,{ إ,vI ,aal
Adapun bentuk istitsnâ’ adalah pengecualian jumlah istitsnâ’ yang lebih besar dan menetapkan yang lebih sedikit. Hal ini bisa di jadikan hujjah dan sah, walaupun tidak ada nash didalamnya. Contoh istitsnâ’ yang terdapat dalam al-Qur'an seperti pada surat al-Muzammil. 117
.v ً _ْ fِYَ { z ِإ َ _ْ Qz اSِ Yَ
Bila terdapat sesuatu yang di-athaf-kan satu pada yang lainnya, kemudian datang istitsnâ’ diakhirkan maka istitsnâ’ itu tertolak. Apabila dalam kalimat itu tidak ada nash yang jelas menunjukkan bahwa istitsnâ’ itu ditolak terhadap sebagiannya. Secara keseluruhan
115
Ibn Hazm, al-Ihkâm, 429. Ibid., 434. 117 Al-Muzammil: 2. 116
juga tertolak. Alasannya tersebut tidak ada kelebihan antara sebagian dengan yang lainnya.118 b. Nasakh (±dQ)ا Ibn Hazm mendefinisikan nasakh adalah: 119
. اولD أZO Mxdy ZfY نaآDف أv¨O D ه~ ورود أ±dQا
Artinya: “Datangnya suatu perintah yang berbeda dengan perintah sebelumnya yang merusakkan perintah yang pertama”. Ibn Hazm menjelaskan bahwa nasakh adalah bentuk ta'khir bayân dan ini terdiri dari dua bentuk, yaitu: 1. Suatu jumlah yang tidak bisa dipahami maksudnya secara tersendiri, seperti firman Allah: 120
. َةaَآz Q َة َوَا ُ]~ْااv َ z Q~ْااqُ _ْ Yِ َوَأ
Maka perlu ayat-ayat itu adanya bayân yang memerlukan tafshîl bagi yang mujmal atau takhshîsh bagi yang 'âm. 2. Suatu perbuatan yang diperintahkan pada waktu tertentu. Dan bahwasanya dalam ilmu Allah menjelaskan tentang dalil yang lainnya pada waktu lainnya.121 Nasakh menurut Ibn Hazm bisa terjadi hanya pada kalam perintah dan larangan. Kalam oleh Ibn Hazm dibagi menjadi kalam perintah dan kalam larangan. Kalam khabar yang mengadung istifham dan nasakh tidak terjadi pada kalam istifham dan khabar.
118
Ibn Hazm, al-Ihkâm, 440. Ibid., 45. 120 al-Baqarah: 110. 121 Ibn Hazm, al-Ihkâm, 475. 119
Maka apabila terdapat suatu ungkapan yang lafalnya berbentuk khabar sementara maknanya amar maka dalam hal ini demikian nasakh diperbolehkan.122 Menurut Ibn Hazm nasakh terbagi dalam suatu perintah dengan ada atau tidaknya nasakh tersebut yang terdapat dibagi menjadi empat: a. Lafadz dan hukumnya tetap b. Lafadz dan hukumnya hilang c. Lafadz hilang, tetapi hukumnya tetap. d. Lafadznya tetapi, tetapi hukumnya hilang.123 Dari keempat bentuk perintah diatas, maka tiga yang akhir itu yang dinamakan nasakh. Ibn Hazm menyatakan bahwa tidak ada nasakh pada perkara yang menjadi janji Allah dan peringatan Allah sebab jika hal itu ternasakh maka Allah dikatakan berdusta, padahal Allah maha suci dari sifat-sifat dusta.124 Ibn Hazm membolehkan alQur'an menasakh al-Qur'an dan as-Sunnah menasakh al-Qur'an dan sebaliknya baik hadîts tersebut mutawatir atau ahad.125 Ibn Hazm mencontohkan al-Qur'an yang dinasakh dengan al-Sunnah dengan ayat 180 surat al-Baqarah yagn berbunyi:
. َ _ْ Oِ َ Yْ َ ْ َوا ِ yْ Xَ Qِ~َاfْ Qِ ُ _z ِ ~َ Qْ ْ_ًااI َ ك َ َ ]َ ِْإن... 122
Ibid., 486. Ibid., 477. 124 Ibid., 491. 125 Ash-Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 337. 123
Di-nasakh dengan hadîts:
...ث ٍ ~َا ِرQِ َ _z ِ { َو َ ... Dalam hal ini Ibn Hazm menyangkal pendapat jumhur ulama' tentang ayat diatas di nasakh oleh ayat mawârits. Ia berpendapat
bahwa
nasakh
adalah
menghilangkan
hukum
mansukh. Sebenarnya ayat mawârits tidak ada perkara yagn mencegah wasiat terhadap kedua orang tua ataupun kepada kerabat. 126 c. 'Am dan Khash (صa¨Qوا
مaNQ)ا
Lafadz 'am secara bahasa adalah: 127
.ÏfQ اPW ءaVoY اaD آPfs |fQ اql
Artinya: “Menggunakan lafadz pada setiap perkara yang digunakan dalam bahasa”. Setiap bentuk umum adalah dhâhir, tetapi setiap yang dhâhir adakalanya khabar tentang seseorang, sementara yang umum hanya menunjukkan kepada yang lebih dari seseorang. Adapun Khash adalah: 128
.MNO دونÏfQ اPW Z_Voxy aD MNO Pfs |fQ اD
Menurut Ibn Hazm ungkapan lafadz khash (khusus) yang dikehendaki juga khusus seperti perkataan Umar, Zaid dan sebagainya.129 Lafadz 'âm yang maksud juga umum. Artinya, menarik
126
Ibn Hazm, al-Ihkâm, 524. Ibid., 43. 128 Ibid., 129 Ibid., 388. 127
seluruh makna berdasarkan apa yang dimaksud lafadz itu. Hal ini adakalnya isim jinis yang mencakup banyak macam, seperti firman Allah: 130
. ®l َ Ê ٍ _ْ َ ® ِء ُآaَqQْ ا َ Dِ aَdfْ Nَ u َ َو
Artinya: “Dan dari air itu kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. Makna ayat diatas menunjukkan dan juga mencakup semua yang hidup kemudian nama yang spesifik seperti dalam firman Allah:
._qQل واaÏQ¨_ واQوا Artinya: “Dan (Dia telah menciptakan) kuda, keledai, dan himar”. Lafadz ayat diatas tersebut berarti mencakup semua benda, yaitu: himar, keledai dan bighal. Kemudian pada nash al-Qur'an dan as-Sunnah menunjukkan bahwa lafadz umum tersebut dikecualikan sehingga lafadz mustatsna' tersebut dikhususkan dari hukum yang ada.131
H. Pemikiran Ibn Hazm Tentang Pembatalan Nikah Dengan Sebab Cacat Dan Tentang Berlakunya Pembatalan Nikah Setelah Akad Yang Sah 1. Pemikiran Ibn Hazm Tentang Pembatalan Nikah Dengan Sebab Cacat
130 131
al-Anbiyâ: 30. Ibn Hazm, al-Ihkâm, 389..
Ibn Hazm adalah salah satu tokoh yang memegang madzhab Zhâhirî yang berpendapat dalam kitab al-Muhallâ atau kitab karangannya sendiri tentang fasakh dan membatalkan nikah sebagai berikut:
{ َ َوm َ QِHَ ص َآ ٍ َ َ Oِ { َ ث َو ٍ ِدaَl َا ٍمHº ُ Oِ Zِ oِ z ِ Xَ Nْ Oَ ح ُ aUَ dِّQ ا ُ± َ |ْ yَ { َ ¦ُ Xَ º ِ ]َ َْ\نOِ { َ ب َو ِ ْ~_ُNُ Qْ ِ¦ اHِ ْ َهDِ aً¤_ْ َ aَrOِ Xَ º ِ yَ ْنaَOِ { َ َوm َ QِHَ ن َآ ٍ ْ~dُ º ُ Oِ ِمXَ Nَ Oِ { َ ب َو ِ ْ~_ُ Nُ Qْ ا َ Dِ Ê ٍ _ْ ¢ َ Oِ { َ ج َو ٍ ْWَ َا ِءXOِ { َ َ[ ٍ َوaَdNُ Oِ { َ َوm َ QِHَ َآP َ ِه 132 .ق ٍ َاX َ ِمXَ Nَ Oِ { َ َ~ ٍة َو± ْ ِم ِآXَ Nَ Oِ { َ ٍ َوxَ |َ [َ “Nikah yang sudah sah itu tidak terfasakhkan dengan sebab penyakit sopak yang baru datang, tidak penyakit belang dan tidak terfasakhkan pula sebab gila. Kemudian tidak terfasakhkan apabila suami menemukan suatu cacat pada diri istrinya dari penyakit-penyakit ini, dan tidak pula terfasakhkan apabila istri menemukan suatu cacat pada diri suaminya seperti hal tersebut perkawinan yang sudah sah itu tidak terfasakhkan. Dan tidak terfasakhkan pula dengan sebab impoten, penyakit farji (khusus bagi istri) dan tidak terfasakhkan dengan sesuatu dari penyakitpenyakit tersebut. Kemudian tetap adanya hak (kewajiban) bagi suami untuk memberikan nafkah, pakaian dan maskawin kepada istrinya”. Dari pendapat Ibn Hazm kaitan dengan pembatalan nikah sebab cacat tersebut, perkawinan yang sudah sah itu selamanya tidak bisa dibatalkan, sehingga adanya cacat apapun itu tetap wajib menjalankan hubungan perkawinan dan kewajiban didalam perkawinan itu. Dalam madzhab Zhâhirîyah seperti Dawud bin Ali al-Ashfihani dan Ibn Hazm serta didukung pula oleh Sayyid Shiddiq Khan pengarang kitab Raudhatun Nadiyyah berkata: Bahwa syara' menetapkan perkawinan itu hanya lepas dengan thalâq atau karena meninggal dunia.133 Mengenai pembatalan, Ibn Hazm memandang masalah tujuan perkawinan, suatu cacat (penyakit) yang diderita baik suami maupun istri 132
Abî Muhammad 'Alî bin Ahmad Sa'îd bin Hazm. al-Muhallâ, vol. 10 (Beirut: Dâr alFikr, t.t.), 109. 133 Al-Hamdani, Risalah Nikah, terj. H. Agus Salim (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 276.
tersebut bukanlah pembatalan sebagai jalan untuk memisahkan hubungan perkawinan, namun perpisahan dengan sebab lain, seperti thalâq. Pada hakekatnya perkawinan tidak menginginkan pembatalan nikah karena adanya cacat yang diderita oleh keduanya, sehingga perpisahan harus mempunyai dasar yang jelas. Selanjutnya Sayyid Shiddiq mengatakan bahwa barang siapa yang beranggapan dalam perkawinan dapat berakhir dengan sebab-sebab cacat tertentu, maka diperlukan dalil yang benar dan shahîh untuk menggantikan dalil yang telah ada. Dan cacat-cacat yang menjadi alasan pembatalan nikah itu tidak ada dalilnya yang terang.134 Adapun sabda nabi SAW:
ج َ وz َ ]َ :ل َ aَY Zُ dْ s َ w ُ ا َ ِ َرZِ _ْ Oِ ْ َاs َ َ َةº ْs ُ ِ Oْ ِ Nْ َآ ِ Oْ Xِ yْ ْ َزs َ َو ْfَI َ َدazqfَWَ , ٍرaَ|g ِ PِdOَ َ _َ QِaَNQْ اSَ fz َ َوZِ _ْ fَs َ w ُ اPzf َ w ِ ل ا ُ ْ~ ُ َر w ُ اPzf َ ® ِ dz Qل ا َ aَxWَ ,aًaَ_Oَ aَr ِ¢ ْ Uَ Oِ َرأَى,aَrOَ aَ_ِ ْNَ َ َو َو,Zِ _ْ fَs َ ¦ُ ق ) َروَا ِ َاX z QaِO aَrQَ َ Dَ َوَأ,m ِ fِ َ\ ْهOِ ْxِ ِ Qْ َوِإ,m ِ Oَ aَ_ِ ْ± ِ ِ Qْ ِإ:Sَ fz َ َوZِ _ْ fَs َ Zِ _ْ fَs َ ^ َ fِoُI ْ ~ْلٌ وَاrُ º ْ Dَ ~َ َو ُه,Xِ yْ َز ُ Oْ ُ _ْ qِ u َ ¦ِ ِدaَd ْ ِإPِW َو,Sُ ِآaَQْ ا .( ْ_ًاcِ َآaًWv َ oِ I ْ ِإZِ ¨ ِ _ْ َ Artinya: “Dari zaid bin Ka'ab bin Ujrah dari bapaknya ra, ia berkata: Rasulullah menikah "aliyah dari Bani Ghifâr, ketika 'Aliyah masuk dan meletakkan pakaiannya Rasulullah melihat ada putih-putih di panggulnya lalu nabi berkata Pakailah bajumu dan kembalilah ke keluargamu, lalu nabi memberikan mahar kepadanya (H.R. Hakim). Dan dalam sanadnya terdapat Jamîl dan Zaid, dia orang yang tidak di kenal dan syaikhnya di perselisihkan dengan perbedaan yang banyak”.135
134
Ibid Al-Bassam, Syarah Bulûghu al-Marâm, terj. Thahirin Saputra, vol. 5 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 400. 135
Dari hadîts diatas, menurut Ibn Hazm adalah ucapan thalâq. Lafadz hadîts tersebut merupakan bentuk kinayah dari ucapan thalâq. Begitu juga tentang pembatalan nikah dengan sebab impoten tidak ada dalilnya yang shahîh. Oleh karena itu, perkawinan tetap berlangsung sampai ada yang mewajibkan perceraian dan yang mengherankan lagi ialah pengkhususan cacat tertentu. Terutama Imam Abû Hanifah, Mâlik, Ahmad berpendapat bahwa cacat bisa mengakibatkan pembatalan nikah karena memandang tujuan perkawinan itu harus didasarkan ketenangan tanpa penyakit apapun.136 Seperti pendapat dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab menetapkan empat macam penyakit yang dijadikan alasan untuk membatalkan perkawinan, yaitu
lemah syahwat, gila, penyakit
menular dan sopak.137 Masih dalam masalah pembatalan nikah, Ibn Hazm sebagai tokoh yang keintelektualannya tinggi sehingga beliau mampu menelusuri hadîtshadîts yang ada. Oleh karenanya dalam hadîts diatas tadi yang diriwayatkan oleh Hakim, Ibn Hazm berkata:
ِ Oْ Xِ yْ ْ َزs َ ً fَqْ u ُ ٌ ُوْكoْ Dَ ٌحz ¬ َ Dَ ~َ وَ ُهXٍ yْ َز ِ Oْ ُ _ْ qِ u َ ٍ yَ ْ ِروَاDِ َاHَه ~َ ُهSz ُ ٌXyْ َزZُ qَ ْ ٌ ِاXQِ َ َة َوº ْs ُ ِ Oْ ِ ْNUَ Qِ Sُ fَNْ yَ { َ ٌ~ْلrُ º ْ Dَ ~َ َو ُه ٍ Nْ َآ 138 .ٌ َ ْDُ “Ini dari riwayat hadîts Jamîl Ibn Zaid dan Ia banyak omongan yang tidak diperhatikannya dan ditinggalkannya dari Zaid Ibn Ka'ab. Dan Jamîl Ibn Zaid ini tidak dikenal, juga Jamîl tersebut tidak mengetahui bahwa Ka'ab
136
Al-Hamdani, Risalah Nikah, 275. Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan ( Jakarta: Bulan Bintang,1987), 212. 138 Ibn Hazm, al-Muhallâ, 115. 137
Ibn 'Ujrah, anaknya itu bernama Zaid dan kemudian Jamîl Ibn Zaid itu namanya terputus”. Mengenai hadîts tersebut al-Albani berkata, ringkasnya bahwa hadîts itu sangat dha'îf karena di dalamnya terdapat Jamîl bin Zaid dan ia terasing, banyak ulama' mencela Jamîl Ibn Zaid. Bukhari berkata, hadîts Jamîl itu tidak shahîh, Ibn 'Ady berkata, ia (Jamîl Ibn Zaid) tidak dipercaya. An-Nasâ'î berkata, ia (Jamîl Ibn Zaid) tidak kuat hafalannya. Al Baghawi berkata, hadîtsnya dha'îf karena kerancuannya. Al-Hafidzh berkata: banyak orang yang meragukanya Jamîl bin Zaid, hadîts itu Shahîh dengan lafadz lain yaitu yang terdapat dalam Shahîh al-Bukhârî dengan redaksi sebagai berikut:
aَrdْ Dِ aَ[ َو َد,Sَ fz َ َوZِ _ْ fَs َ w ُ اP ِّ ِ dz Q اPَfs َ ْfَI َ َدazqَQ ن ِ ْ~º ُ Qْ َ اdَ Oْ ن ا z َأ 139 .m ِ fَِ\ ْهOِ ْxِ ِ Qْ ِإSٍ _ْ e ِ Nَ Oِ ت ِ ْHs ُ ْXxَ Qَ :aَrQَ ل َ aَxWَ ,m َ dْ Dِ w ِ aِO ~ْ ُذs ُ َأ:ْQَaَY Artinya: “Sesungguhnya anak perempuan al-Jaun ketika masuk menemui nabi SAW lalu beliau mendekatinya. Maka ia (anak perempuan al-Jaun) berkata: Aku berlindung kepada Allah dari mu, lalu nabi SAW berkata kepadanya. Sungguh engkau telah berlindung kepada dzat yang maha agung, kembalilah ke keluargamu”.140 Dari hadîts di atas, Ibn Hazm beristinbâthkan pada dhâhir hadîts dengan menetapkan bahwa hadîts tersebut merupakan kinayah dari thalâq. Selanjutnya dalam pandangan Ibn Hazm bahwa hadîts yang sanadnya terdapat Jamîl adalah hadîts yang sanadnya terputus dan tidak Shahîh karena Jamîl bin Zaid seorang yang tidak dikenal status
139 Abî Abdillah Muhammad bin Isma'il al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Jilid 3 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) 286. 140 Abî Abdillah, Shahîh al-Bukhârî, terj. Achmad Sunaro, dkk, jilid 7 (Semarang: Asy Syifa', 1993), 66.
kehidupannya sehingga Ibn Hazm mengambil kesimpulan bahwasanya hadits tersebut tidak bisa dijadikan dasar hukum dan bukan dasar dari pembatalan nikah. Kemudian
kaitannya
dengan
perkawinan
itu,
Ibn
Hazm
mengemukakan pendapatnya dalam kitab al-Muhallâ sebagai berikut:
~َ rُ Wَ ن َ aَ ْ_ٌ آs َ ْ َأيaً_ْ s َ Xَ u َ ~َ Wَ ح ِ aَUdِّ Q اXِ xْ s َ PِW َ Dَ v َ± z QاaَÆَ oَ ْنا ِ }ِWَ { َ َوZِ _ْ Wِ ق َ َاX َ { َ َوZِ ]ِ َزaَu ِاPِW Zُ Qَ َرaَ_I ِ{ َ ٌْ ُدوْدDَ ٌ~ْخ± ُ |ْ Dَ ٌحaَU[ِ PِoQz ْ_ ُ اg َ Zِ _ْ fَs َ ْfَI َ ْ َادPِoQzن ا z َ ِ ْI ُ ْXyَ ْSQَ ْ َاو َI َ َ َدxَ |َ [َ { َ ث َو َ ْ_َاDِ v َ Wَ aَru ْ وz َ oَ yَ ْSQَ ِ}ذَاWَ m z َv َ Oِ ِ َ _ْ Nِ َqQْ ْ_ ُ اg َ َ qَ Qِaz±Qن ا z َ ِ ج َو َ وz َ ]َ 141 .aَqrُ dَ _ْ Oَ َ _zu ِ َْزو “Jika pada saat akad nikah kedua mempelai menetapkan syarat keselamatan (bebas cacat pada diri masing-masing mempelai) kemudian ternyata ada cacat maka nikahnya terfasakhkan dan ditolak(batal sejak awal). Kemudian tidak ada khiyâr dalam melangsungkan akad nikah, tidak ada maskawin, tidak ada hak waris, tidak ada pula nafkah (bagi isteri) baik sudah dukhul atau belum dukhul, karena wanita yang didukhul oleh laki-laki itu adalah bukan wanita yang dinikahi. Dan wanita yang mulus (yakin tidak ada cacat sama sekali) itu apabila mempelai laki-laki tidak menikahinya maka tidak ada ikatan perkawinan diantara keduanya”. Ibnu Hazm berpegangan pada penetapan syarat dalam akad nikah yaitu bagi laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk melakukan akad nikah, maka bagi mereka harus selamat (bebas cacat) pada diri masingmasing. Sehingga dalam perkawinan yang dilakukan oleh keduanya itu harus terhindar dari penyakit, karena hal tersebut bisa diartikan sebuah pernikahan yang sah dan bebas dari penyakit. Selain itu, tidak ada pilihan untuk
melangsungkan
pernikahan,
karena
jika
diteruskan
maka
perkawinannya sudah batal sejak awal. Dalam arti, jika diteruskan akad 141
Ibn Hazm, al-Muhallâ, 115.
nikah mereka itu tidaklah dinamakan pernikahan, sebab sejak awalnya sudah rusak. Kemudian menurut pandangan ulama' Zhâhirîyah lagi mengatakan bahwa tidak boleh bagi suami isteri berpisah dalam ikatan perkawinannya dengan sebab adanya cacat, baik pada diri suami maupun istri. Apabila menghendaki perpisahan, maka tidak ada yang mencegah suami untuk menthalaq istrinya. Secara jelas dalam penggunaan dalil al-Qur'an, alHadîts, atsar dari sahabat maupun qiyas ma'qul itu adalah tidak sah dengan menggunakan salah satunya sebagai dasar pembatalan nikah.142 Ibn Hazm pengembang madzhab Zhâhirî memandang bahwa seperti Allah SWT perintahkan dalam al-Qur'an dan Ibnu Hazm memberikan ungkapan dalam kitab al-Muhallâ sebagai berikut:
ٌ²yْ ِ ± ْ ]َ ْف َاو ٍ ْ َوNْ qَ Oِ ٌm± َ Dْ ِاSz ُ zu َ َوz s َ w ُ َاDَ َاaَqح َآ ُ aَUdِّQ ُه َ~ اaَq[zِا 143 .¦ُ Xَ dْ s ِ ^ ُ Yz ~َ _ُ Wَ ٌ²_ْ ِ َ ٌ½[َ َ ]ِ ْ\yَ ْ{ َان z ِن إ ٍ a± َl ْ }ِOِ “Bahwasanya nikah seperti halnya Allah SWT memerintahkan untuk rujuk dengan cara yang ma'ruf atau melepas (menceraikan) dengan cara yang baik pula144, kecuali ada nash yang Shahîh untuk memisahkan atau menghentikan ikatan pernikahan. Ibn Hazm mengatakan bahwa alasan-alasan pembatalan nikah itu tidak sah, karena tidak ada dalil yang Shahîh. Namun bila menghendaki thalâq maka tidak ada yang mencegah, hanya saja perlu mengingat kembali dalam prinsip perkawinan adalah perceraian dengan jalan baik. Dan islam juga tidak melarang thalâq, jika cacat sebagai jalan pembatalan
516.
142
Wahbah Zuhaylî, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh, Jilid 7 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989),
143
Ibn Hazm, al-Muhallâ, 115.
144
(٢٢٩ :ةxQ )ا.ن ٍ aَ±l ْ }ِOِ ٌ²yْ ِ ± ْ ]َ ْف َاو ٍ ْ َوNْ qَ Oِ ٌm± َ Dْ }ِ Wَ
nikah maka itulah yang tidak diinginkan dan dituju dalam ikatan perkawinan. Selanjutnya masih dalam pembahasan cacat, yaitu mengenai cacat yang
menjadikan khiyâr untuk berpisah atau tetap pada ikatan
perkawinan. Menurut fuqaha’ Zhâhirî berpendapat bahwa cacat apapun tidak mengakibatkan adanya hak khiyâr, baik khiyâr (pilihan) untuk membatalkan atau tetap memegangi istrinya. Jadi perkawinan yang sudah sah itu tetap berjalan sampai adanya sebab yang lain (bukan sebab cacat) untuk memisahkan mereka (suami istri).145 Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibn Hazm dalam perkawinan menetapkan syarat yaitu harus jelas tidak mempunyai cacat atau bebas cacat dari masing-masing pihak, sehingga suami istri tidak timbul rasa dirugikan satu dengan lainnya. Dalam hal ini tidak ada khiyâr atau memilih, baik bercerai maupun tetap dalam perkawinan mereka, apa lagi menggunakan jalan pembatalan nikah dan tidak ada pula larangan bagi suami untuk men-thalâq istrinya. Pada dasarnya tidak ada dalil pengkhususan tentang pembatalan nikah dan harus adanya dalil-dalil yang jelas untuk dasar penetapan pembatalan nikah oleh suami istri. 2. Berlakunya Pembatalan Nikah setelah Akad Yang Sah Ibn Hazm membagi menjadi 8 macam tentang penyebab pembatalan nikah bagi suami atau istri, yakni sebagaimana dalam kitab alMuhallâ: 145
Ibn Rusyd, Bidâyatu al-Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, vol. 2 (Semarang: Asy-Syifa', 1990), 454.
ْ َأنaَهXُ l َ َأÐ ْ xَ Wَ Zٍ u ُ ْ ِ[ َ_ ُ َأوaَqَ P َ َو ِهZِ oِ z ِ Xَ Nْ Oَ ح ِ aَUdِّQ ا ُ± ْ Wَ Zِ Oِ ُ xَ yَ aَD ْ ٍ َأوQَaَrº ُ Oِ ¦ُ X® u َ ْ~ْ ُ¦ َأوOُ َأaَ¬َ\ ه َ yَ ْ َأنPِ[azcQ وَا,ع ٍ aََ Oِ ٌ qَ yْ ِ l َ َ _ْ ِ ]َ ن َ ْ~Uُ ]َ ْ ُ َأنOِ اzQ وَا,aَr[ُ aَNoِ Qْ َوِإZُ [ُ aَNoِ Qْ ِإSz oِ yَ ْ َأنÑ ُ QِazcQ وَا,aَ[ِّ Q اPَQ ِاXٍ ْ xَ Oِ ,Zِ ِ aَxOْ َاوْ ِاaَru ِ ْْ َزوDِ aَrl ِ aَU[ِ ِ± ْ Wَ PِW ُرaَ_¨ ِ Qْ اaَrfَWَ Á ُ oِ Nْ oَ Wَ ٌ Dَ َأ ج ُ ْوz Q اSَ fَ± ْ yَ ْ َانP َ ٍة َو ِهXَ l ِ ٍ وَاrz u ِ PِW { z ِا َ _ْ dِ yْ Xِّ Qف ا ُ v َ oِ I ْ ِاÒ ُ Dِ aَ¨Qْ وَا PِW aَqrِ dِ yْ ف ِد ُ v َ oِ I ْ ِاSُ ± ِ xَ dْ yَ َوaَqrِ l ِ aَU[ِ Pَfs َ ن ِ aَ_xِ ْ yَ aَqrُ [zaِ Wَ ٌ _zOِ aَo ِآP َ َو ِه P َ ُه َ~ َو ِهSَ fَ± ْ yَ ْ َانaَهXُ l َ َا, ٍمaَ±Yْ َ َا± َ qْ I َ aَ[َ ِى َذ َآHQz اZِ u ْ ~َ Qْ ْ_ِاg َ ُ _ْ g َ ْ َاوP É Oِ aَoٌ ِآWِ aَ َو ُه َ~ آP َ ِهSَ fَ± ْ ]َ ْ َانaَr_ْ [ِ aَ َو,ٌُ _zOِ aَo ْ_ ُ ِآg َ ٌ َةWِ aَآ ~َ ُهXَ ]َ ْyَ ْ َانarَ cُ Qِaَ َو,aَqrِ l ِ aَU[ِ Pَfs َ aَqrُ Wَ aًNDَ aَqfَ ْ ~ْ َأfَWَ ÉPOِ aَoِآ ِّ ُآPِ|Wَ aًNDَ َاX]َ ْyَ ْ َانaَr± ُ Dِ aَI َو,Zُ [َ ْ ُدوP َ ِهXَ ]َ ْ]َ ْ َانaَrNُ Oِ َورَا,arَ [َ ُْدو ِ u ِ َاوْ رَاZِ Dِ v َ ْ َأ َ َ ِاSَ fَ ْ ~َاءٌ َأ َ aَqrُ l ُ aَU[ِ ُ± ِ |َ dْ yَ ¦ِ ْ~u ُ ~ُ Qْ ِ¦ اHِ َه ِّ ُآPِW Zِ _ْ Qَ ُ ِاu ِ ْ]َ { َ aًNDَ ¦ُ aَNu ِ ِم َاوْ رَاv َ ْÂ ِ ْ ا ِ Nَ u َ ِم َأوْ رَاv َ ْ{ ِ ْا ْ َاوaَrUَ fِqْ yَ ْس َان ُ ِدaz±Q وَا. ٍدaَr ْ َوِاP ٍّ Qِ~َ Oِ ق َو ٍ َاX َ Oِ َوaَq ُهaَِ Oِ { z ِإm َ Qَِذ { َ َوaَr]ُ ْ~Dَ ْ َاوZُ ]ُ ْ~Dَ ُ Dِ azcQ وَا,Zُ V َ Nْ Oَ ْ َاوZُ Uَ fِqْ ]َ ْ ُ َانOِ az±Q وَا,aَrV َ Nْ Oَ 146 .m َ QِHَف آ َ v َI ِ “Suatu penetapan fasakh nikah setelah sahnya nikah itu ada 8 macam saja; 1. Menjadi keharaman dengan sebab persusuan, 2. Ayah yang menjima’ istrinya atau kakeknya dengan tidak tahu atau memeng sengaja untuk berbuat zina, 3. Sempurna sumpah li’an antara kedua suami istri, 4. Adanya istri adalah wanita amah (budak), kemudian merdeka maka baginya itu boleh khiyâr dalam fasakh nikah dari suaminya atau tetap pada pernikahan,5.Perbedaan agama keduanya kecuali disatu sisi yaitu suami islam dan istri ahli kitab, maka keduanya tetap pada pernikahan mereka. Dan kemudian tentang perbedaan agama keduanya(suami istri) dalam sisi lainnyaitu ada 5 macam: a. Suami masuk islam dan istri tetap kafir yang bukan ahli kitab, b. Istri masuk islam dan suami itu tetap kafir kitabi atau bukan kitabi, bila keduanya masuk islam bersama maka keduanya tetap pada pernikahan mereka, c. Suami murtad dan bukan istri, d. Istri yang murtad dan bukan suami,e. Jika keduanya murtad bersama maka setiap macam nikah keduanya tersebut rusak, baik suami yang masuk islam setelah istrinya maupun sebaliknya atau suami masuk islam atau istri yang masuk islam atau keduanya bersama-sama masuk islam dan tidak boleh kembali pada pernikahan dalam setiap hal tersebut kecuali keduanya ridla dengan memberikan mahar, serta adanya wali dan saksi. 6. Suami memberikan diri istrinya secara penuh kepada orang lain atau sebaliknya, 7. Istri memberikan diri suaminya secara penuh kepada 146
Ibn Hazm, al-Muhallâ, 142-143.
orang lain atau sebaliknya, 8. Suami atau istrinya yang mati dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini”. Dari macam-macam penyebab menurut Ibn Hazm
di atas,
dapat diuraikan sebagai berikut: a. Menjadikan keharaman dengan sebab persusuan Perkawinan yang dapat diharamkan salah satunya adalah hubungan persusuan karena seperti halnya haramnya persaudaraan atau sama dengan saudara kandung. b. Ayah yang menjima' istrinya atau kakeknya karena tidak tahu atau memang sengaja untuk berbuat zina Dalam hal ini sudah dijelaskan sebelumnya bahwa perbuatan zina sangat dilarang oleh agama karena melanggar aturan syara' dan perbuatan yang diharamkan. Masalah zina adakalanya sengaja dan adakalanya tidak sengaja. Berbuat sengaja sudah tentu mendapatkan hukumnya, sedangkan terbuat zina yang tidak di sengaja itu adakalanya lupa dan adakalanya tidak tahu. Sehingga hal ini tidak mendapatkan hukuman. Berdasarkan hal ini, dapat dipandang dalam hadîts rasullullah SAW:
ِ ُه~ْاUْ oَ ْ اaَDن َوaَ_± ْ dِّ Qء وَاaَ¬¨ َ Qْ ْ اoِ ِّDْ َاs َ َ َ َوPَQaَN]َ w َ نا z ِا P[¬اQ واPd¬YرXQن واal O واZuaD O )روا¦ ا.Zِ _ْ fَs َ .(SآaQوا
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT meletakkan atas umatku kekeliruan, lupa dan karena terpaksa”.147 c. Sempurna sumpah li'an antara kedua suami istri Sumpah li'an berakibat hukum yaitu diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang bersumpah li'an itu dalam kesaksian yang kelima (telah sempurna) bagi mereka (suami istri) melaknat atau bersumpah saling menjauhkan diri. Ibn Hazm sebagai salah satu tokoh bermadzhab Zhâhirî berpendapat dalam hal ini berkenaan dengan sempurnanya sumpah li'an yang kelima kalinya bahwa pernyataan dengan bersedia menerima laknat Allah jika berdusta dalam tuduhan tersebut. Beliau berpendapat bahwa sesuatu hal yang mengakibatkan berlakunya pembatalan nikah setelah akad nikah yang sah, salah satunya adalah sempurnanya li'an bagi suami istri atau mengucapkan sumpah li'an yang kelima kalinya, sehingga pembatalan nikah berlaku dalam hal ini. d. Adanya istri adalah wanita amah (budak), kemudian merdeka maka baginya itu boleh khiyâr dalam pembatalan nikah dari suaminya atau tetap pada pernikahan. e. Perbedaan agama keduanya (suami istri) kecuali disatu sisi yaitu suami Islam dan istri ahli kitab, maka keduanya boleh tetap pada pernikahan mereka. 147
1995), 634.
As-Shan’ani, Subulus Salam, terj. Abu Bakar Muhammad (Surabaya: Al-Ikhlas,
Kemudian pembagian tentang perbedaan agama kedua suami istri pada sisi lainnya selain pembagian di atas, maka pembagiannya adalah: 1. Suami masuk Islam dan istri tetap kafir yang bukan ahli kitab 2. Suami murtad dan bukan istri 3. Istri masuk Islam dan suami tetap kafir kitabi atau bukan kitabi, bila keduanya Islam, maka keduanya tetap pada pernikahannya 4. Istri yang murtad dan bukan suami 5. Jika keduanya murtad bersama maka setiap macam nikah keduanya tersebut rusak, baik suami yang masuk islam setelah istrinya maupun sebaliknya atau suami masuk islam atau istri yang masuk islam atau keduanya bersama-sama masuk islam dan tidak boleh kembali pada pernikahan dalam setiap hal tersebut kecuali keduanya ridla dengan memberikan mahar, serta adanya wali dan saksi. f. Suami atau istrinya yang mati dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Ini mengindikasikan bahwa mati salah satu dari suami istri, maka putuslah hubungan perkawinan mereka, sehingga tidak ada lagi hubungan keduanya dan mungkin saja dilakukan pembatalan nikah dan sudah jelas akibat kematian itu menjadi putusnya ikatan perkawinan. g. Suami memberikan diri istrinya secara penuh kepada orang lain atau sebagiannya. h. Istri memberikan diri suami secara penuh kepada orang lain atau sebagiannya.
BAB IV ANALISA TERHADAP PEMBATALAN NIKAH MENURUT MENURUT IBN HAZM
A. Analisa Terhadap Pendapat Ibn Hazm tentang Pembatalan Nikah dengan Sebab Cacat Pembatalan
nikah
merupakan
suatu
bentuk
pelepasan
ikatan
perkawinan dengan sebab-sebab tertentu yang dapat merugikan salah satu pihak dan diantara pihak suami istri yang tidak sanggup melanjutkan rumah tangga mereka. Sebenarnya suatu hal wajar dalam kehidupan diantara mereka tidak mau menerima hal-hal yang akan membahayakan dirinya, sehingga masalah yang timbul sedemikian rupanya dapat menyebabkan berpisah suami istri. Kaitan dengan Pembatalan nikah, sebagaimana yang telah dijelaskan pada uraian-uraian sebelumnya bahwa Ibn Hazm tidak mengakui adanya bentuk Pembatalan dalam perkawinan dengan sebab cacat apapun kecuali kedua mempelai menetapkan syarat (bebas cacat saat akad nikah) dan yang menjadikan Pembatalan nikah hanya 8 macam(8 macam yang sudah disebutkan pada bab sebelumnya), karena Ibn Hazm berpendapat demikian, sehingga perkawinan itu lepas bukan sebab Pembatalan nikah, tetapi sebab lain. Dalam permasalahan ini Ibn Hazm menentukan jalan perpisahan adalah thalâq yang ber-istinbâth-kan dengan menggunakan hadîts dan bukan dari dasar hukum pembatalan nikah. Seperti hadîts yang sudah dipaparkan pada
bab sebelumnya sebagai alasan dalam pembatalan perkawinan sebagaimana berikut:
ج َ وz َ ]َ :ل َ aَY Zُ dْ s َ w ُ ا َ ِ َرZِ _ْ Oِ ْ َاs َ َ َةº ْs ُ ِ Oْ ِ Nْ َآ ِ Oْ Xِ yْ ْ َزs َ َو ,Zِ _ْ fَs َ ْfَI َ َدazqfَWَ , ٍرaَ|g ِ PِdOَ َ _َ QِaَNQْ اSَ fz َ َوZِ _ْ fَs َ w ُ اPzf َ w ِ لا ُ ْ~ ُ َر Zِ _ْ fَs َ w ُ اPzf َ ® ِ dzQل ا َ aَxWَ ,aًaَ_Oَ aَr ِ¢ ْ Uَ Oِ َرأَى,aَrOَ aَ_ِ ْNَ َ َو َو (Sُ ِآaَQْ ق ) َروَا ُ¦ ا ِ َاX z QaِO aَrQَ َ Dَ َوَأ,m ِ fَِ\ ْهOِ ْxِ ِ Qْ َوِإ,m ِ Oَ aَ_ِ ْ± ِ ِ Qْ ِإ:Sَ fz َ َو Hadîts diatas itulah yang dijadikan jumhur ulama’ sebagai alasan pembatalan nikah. Namun, menurut Ibn Hazm, menolak adanya pembatalan nikah, karena perkawinan yang sudah sah selamanya tidak boleh dibatalkan, baik adanya penyakit yang timbul dari pihak istri maupun suami. Dari keterangan tersebut, Ibn Hazm tidak menetapkan bahwa jalan menuju perpisahan adalah cara pembatalan nikah. Justru yang demikian bukanlah yang diinginkan dalam agama Islam karena alasannya lari dari cacat yang diderita. Melihat prinsip dalam Islam untuk menjadikan perpisahan, sebagaimana dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 229:
ن ٍ aَ±l ْ }ِOِ ٌ²yْ ِ ± ْ ]َ ْف َاو ٍ ْ ُوNْ qَ Oِ ٌكaَ±Dْ }ِWَ Artinya: “Boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” Ayat di atas mengindikasikan, tidak ada larangan dalam Islam untuk berpisah oleh suami istri dan ini senada dengan ungkapan Ibn Hazm, sehingga perpisahan dengan alasan cacat apapun itu tidak diperbolehkan. Sedangkan agama islam menghendaki perpisahan dengan jalan baik dan bukan jalan pembatalan nikah.
Kemudian untuk mengetahui pendapat ulama’ fiqh tentang macammacam penyakit dari suami atau istri yang dapat menyebabkan pembatalan nikah, seperti yang sudah diuraikan pada pembahasan Bab II diantaranya adalah: 1. Impoten 2. al-Jubb 3. al-Khasha’ 4. Kegilaan 5. Kusta dan sopak 6. al-Ritq, al-qarn, al-’afal, dan ifdhâ’ Dari
penyakit-penyakit
di
atas,
jumhur
ulama’
mendasarkan
perkawinan dapat dibatalkan sebab cacat yang timbul dari pihak suami maupun istri, seperti halnya pada hadîts riwayat Ahmad yang sudah juga dipaparkan pada bab sebelumnya:
Zُ Qَ ْ[َ aَ آZُ [z ِر َذ َآ َ َاaَ[ْ َ ْ ا َ Dِ ٌ_ْ َ ْdِ َ Xz l َ :ل َ aَY Xٍ yْ َز ِ Oْ ِ _ْ qِ u َ ْs َ Pzf َ w ِ لا َ ْ~ ُ ن َر z َأ, ٍ Nْ َآ ُ Oْ Xُ yْ َاوْ َزXٍ yْ َز ُ Oْ ُ Nْ َآ: Zُ Qَ ل ُ aَxyُ ٌ َ ْ ُ َ َ ~َ Wَ aَr_ْ fَs َ َI َ َدazqfَWَ , ٍرaَ|g ِ ْdِ Oَ ْDِ ََأ ًةDْ ج ِإ َ وz َ ]َ Sَ fz َ َوZِ _ْ fَs َ w ُ ا Sz ُ ش ِ ِ|َاQْ ا ِs َ َزaَ[ْ aَW aًaَ_Oَ aَr ِ¢ ْ Uَ Oِ َ َ Oْ ش َأ ِ َ|َاQْ اPَfs َ Xَ Nَ Yَ ُ َوZOَ ْ~َ (Xql )روا¦ أ.aً¤_ْ َ aَهaَ] َأazqDِ ْHI ُ ْ\yَ ْSQَ َوm ِ Oَ aَ_ِ m ِ _ْ fَs َ ْيHِ I ُ :ل َ aَY Dari hadîts di atas, dapat disimpulkan bahwa sewaktu Rasulullah SAW melaksanakan akad nikah dengan wanita dari Bani Ghifâr, beliau tidak mengetahui wanita itu berpenyakit belang dan ketika beliau sudah tahu wanita itu berpenyakit belang, maka beliau tidak melaksanakan maksud untuk
hubungan suami istri. Jadi dengan hal itu membuat orang lari (menghindari) dari penyakit yang diderita siapapun. Sedangkan setiap orang tidak mau menderitanya dan ikatan perkawinan harus bersih dari penyakit yang dapat merugikan orang lain, sebab Islam melihat pada tujuan perkawinan dengan kasih sayang dan rasa aman. Setelah mengetahui hadîts, pandangan ulama’ Zhâhiriyah terlebih khusus Ibn Hazm menganggap bahwa hadîts tersebut tidak bisa dijadikan hujjah sebagai dasar pembatalan nikah, karena Jamîl yang terdapat dalam hadîts itu banyak kebohongan dari segi kepribadiannya. Selain itu, Jamîl seorang yang tidak dikenal dan ia terasingkan status kehidupannya. Selanjutnya mengenai pembatalan, pada hakikatnya penyakit (cacat) dapat menjadi penghalang keharmonisan rumah tangga, apalagi hingga menjijikkan yang membuat orang lari dari hal itu. Penyakit yang diderita oleh suami atau istri yang menyebabkan bolehnya membatalkan nikah tidak otomatis dipraktekkan oleh pihak suami atau istri. Namun, apabila keduanya menerima keadaan demikian rupanya, maka rumah tangganya dapat dilangsungkan sampai akhir hayat.148 Sebenarnya
hubungan
perkawinan
harus
benar-benar
dijaga
kesuciannya dan jangan sampai menimbulkan kemadharatan. Hal yang sudah wajar dengan keadaan demikian tidak dapat merealisasikan hubungan yang
148
Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang “Perspektif Fiqh Munakahat dan Undang-Undang No. 1/1974 tentang Poligami dan Problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 155.
bahagia tersebut, karena memang sudah menjadi kodrat yang kuasa dan tidak dapat dihindari dari penyakit yang di derita suami atau istri. Ibn Hazm sebagai tokoh pengembang madzhab Zhâhirî berpendapat bahwa nikah itu tidak boleh dibatalkan karena cacat, apapun cacatnya. Suami tidak boleh membatalkan jika mendapatkan istrinya cacat dan begitu juga sebaliknya, apapun cacatnya, baik sebelum dukhul maupun sesudah dukhul. Namun demikian, seorang suami yang mendapatkan istrinya cacat, meskipun tidak dibenarkan menuntut cerai dalam bentuk pembatalan, tetapi dibolehkan bercerai dengan menjatuhkan thalâqnya. Dalam perkawinan, Ibn Hazm mengungkapkan pendapatnya dalam kitab al-Muhallâ bahwa adanya ketentuan berlaku pada akad nikah tentang penetapan syarat bagi kedua mempelainya bebas cacat. Apabila berkehendak menjatuhkan thalâq bagi suami kepada istrinya itu berlaku andaikan tidak ditetapkan kedua mempelai harus bebas dari cacat. Dan jika disyaratkan atau menetapkan syarat dalam akad nikah kedua mempelai tidak cacat dan ternyata cacat maka nikahnya terfasakhkan dan batal sejak awalnya. Kemudian dengan tidak berlakunya pembatalan nikah dan tidak menetapkan syarat tersebut bagi pernikahan kedua mempelai, ini tidak ada pula khiyâr, tidak ada mahar, tidak ada hak waris, serta tidak ada nafkah (bagi istri), baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat
Ibn
Hazm
tersebut
sangat
memperhatikan
adanya
diskriminasi antara suami istri. Karena dengan tidak memperbolehkan istri
menuntut fasakh dan membatalkan nikahnya disebabkan adanya cacat pada suami, berarti tidak ada jalan lain kecuali harus menahan resiko perkawinannya. Sedangkan bagi suami, meskipun ia tidak dibolehkan membatalkan perkawinannya, tetapi tetap saja ada jalan lain baginya untuk keluar dari permasalahan, yaitu bercerai dengan jalan thalâq. Dari uraian di atas, menurut hemat penulis bahwa Ibn Hazm tidak membenarkan adanya pembatalan nikah sebab cacat kecuali hanya mengakui 8 macam saja yang bisa membatalkan nikah setelah akad yang sah dan menetapkan syarat (bebas cacat pada saat akad nikah), karena dalam agama Islam tidak menghendaki perpisahan yang berupa penyakit. Secara garis besar menurut Ibn Hazm dalam perceraian menghendaki jalan thalâq dan bukan jalan pembatalan nikah. Sedangkan jumhur ulama’ melihat pada kemaslahatan diri keduanya (suami istri) yang tidak mau menderita dengan penularan cacat. Oleh karena itu jumhur ulama’ berpendapat cacat apapun pernikahan itu dapat dibatalkan, baik di syaratkan kedua mempelai tidak cacat saat akad nikah ataupun cacat. Berbicara tentang kemaslahatan dalam Islam tentang problema ikatan perkawinan memang harus diperhatikan, begitu pula mengenai sebab-sebab yang menjadi perpisahan kedua suami istri, sehingga Islam mempunyai jalan keluar dari segala hal. Dari kesemuanya itu harus berdasarkan dasar (dalil) yang jelas. Demikian hal nya Ibn Hazm memahami secara zhâhir semata pada teks nash al-Qur’an dan al-Hadîts
Salah satu contoh dasar yang tidak shâhîh dan tidak dapat dijadikan hujjah adalah dasar yang dijadikan jumhur ulama’ sebagai alasan pembatalan perkawinan yaitu pada hadîts riwayat Ahmad. Ibn Hazm tidak menganggap ada pembatalan nikah sebab cacat kecuali ada penetapan syarat bebas cacat antara kedua mempelai. Sedangkan jumhur ulama’ membolehkannya pada cacat apa pun membuat gangguan dalam pernikahan. B. Metode Istinbâth Ibn Hazm tentang ketiadaan Pembatalan Nikah dengan Sebab Cacat Mengenai metode istinbâth hukum yang dijadikan Ibn Hazm adalah sebagaimana yang telah dijelaskan pada sebelumnya bahwa Ibn Hazm sebagai pengembang madzhab Zhâhirî dalam menetapkan hukum selalu berpegang pada al-Qur’an, al-hadîts, ijma’ ulama’, dan dalîl. Dalam istinbâth hukum Islam Ibn Hazm menolak ra’y sebagai alat istinbâth dalam hukum Islam. Untuk menjelaskan nash yang tidak jelas, Ibn Hazm menggunakan bayân. Begitu pula menurut Ibn Hazm dalam perkawinan hendaknya memegang prinsip dalam agama islam, berdasarkan al-Qur’an surat al-Baqarah 229:
ن ٍ aَ±l ْ }ِOِ ٌ²yِ± ْ ]َ ْف َأو ٍ ُوNْ qَ Oِ ٌكaَ±Dْ }ِWَ Artinya: “Boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. Dari ayat diatas, Ibn Hazm dengan menggunakan bayân, sehingga ayat diatas tidak ada bentuk perintah untuk perpisahan dengan jalan pembatalan
nikah dengan sebab cacat. Namun yang ada adalah perpisahan dengan jalan baik dan itulah prinsip dalam islam. Selain itu dalam hadîts mengenai thalâq, Ibn Hazm menggunakan hadîts dari riwayat Imam Bukharî yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, sebagaimana berikut:
:ْQَaَY aَrdْ Dِ aَ[ َو َد,Sَ fz َ َوZِ _ْ fَs َ w ُ اP ِّ ِ dzQ اPَfs َ ْfَI َ َدazqQَ ن ِ ْ~º ُ Qْ َ اdَ Oْ ن ا z َأ .m ِ fَِ\ ْهOِ ْxِ ِ Qْ ِإSٍ _ْ e ِ Nَ Oِ ت ِ ْHs ُ ْXxَ Qَ :aَrQَ ل َ aَxWَ ,m َ dْ Dِ w ِ aِO ~ْ ُذs ُ َأ Dari hadîts di atas, menurut Ibn Hazm sebagai dasar thalâq karena beliau menggunakan istinbâth zhâhir hadîts, sehingga lafadznya menunjukkan makna perintah sebagai kinâyah dari thalâq. Ini sudah tentu mengarahkan pada perceraian antara suami istri. Di sisi lain, Ibn Hazm dalam menggunakan metode ijtihadnya dengan bayân, yaitu keadaan sesuatu dalam dzatnya serta memungkinkan diketahui hakikatnya bagi yang ingin mengetahuinya. Kemudian metode ‘âm dan khâsh sebagaimana yang digunakan Ibn Hazm dalam menentukan thalâq termasuk bagian dari bayân, sehingga dengan mengacu pada hadîts riwayat Imam Bukhârî. Dengan ini Ibn Hazm yang bermadzhab Zhâhiriyah menetapkan tidak ada pembatalan nikah dalam Islam. Dalam istinbâth hukum oleh tokoh Zhâhirî ini, islam menghendaki persoalan apapun mesti sudah ada solusinya, terutama masalah kehidupan keluarga, problema yang dikaji berkaitan dengan pembatalan nikah, meskipun tidak bisa mengakibatkan terjadinya perceraian. Perlu diketahui tidak semua orang mau menerima apa adanya, terkadang seorang jijik dengan penyakit
yang bisa menularkan orang lain, bahkan bisa membahayakan orang lain. Namun Islam menghendaki dengan jalan yang baik untuk memisahkan keduanya (suami istri) dan perlu adanya dalîl khusus untuk pembatalan nikah. Oleh karena itu, penulis mengambil kesimpulan dari pendapat Ibn Hazm tersebut bahwa pembatalan nikah bukanlah jalan terbaik untuk memisahkan perkawinan antara suami istri. C. Analisa Terhadap Akibat Hukum Menurut Ibn Hazm Tentang Pembatalan Nikah dengan Sebab Cacat Pembatalan nikah sejak awal pembahasan sudah disinggung, sehingga cacat dari pihak suami atau istri itu terdapat berbagai pendapat untuk menetapkan bahwa cacat itu bisa mengakibatkan pembatalan nikah ataukah tidak. Pada awal pembahasan juga, jumhur ulama’ mengatakan bahwa cacat apapun yang diderita suami istri itu bisa menjadikan alasan pembatalan nikah dan alasannya berdasarkan hadîts. Jumhur ulama’ memandang pada tujuan pernikahan, karena dalam ikatan perkawinan itu suci. Jadi adanya cacat berarti mengotori perkawinan yang asalnya suci tersebut. Selain itu, cacat membuat orang yang tidak mau menderita dan apalagi tertular penyakit. Sehingga terhalangi dengan hal-hal yang kotor dan menjijikkan. Ketetapan hukum oleh jumhur ulama’ sangat memperhatikan dalam kemaslahatan ikatan perkawinan yang suci.
Dari uraian diatas, menurut penulis bahwa secara jelas islam menghendaki perpisahan dengan jalan baik (perpisahan dengan jalan baik). Apapun masalah dalam kehidupan, mesti ada jalan dan ketentuannya sehingga apa yang dikehendaki oleh Ibn Hazm, penulis sepakat dalam perkawinan harus ada ketentuan khusus untuk memisahkan ikatan perkawinan yang suci. Dalam istinbâthnya Ibn Hazm hanya memandang dalam perkawinan yang sudah sah itu tidak dapat dibatalkan dengan alasan tertentu dan harus berjalan dengan baik, apabila penyakit yang diderita oleh suami atau istri dan berkehendak untuk perceraian (perpisahan), maka harus dengan jalan baik pula, bukan jalan pembatalan karena adanya cacat yang diderita dari masingmasing pihak. Selain itu, menurut penulis bahwa dalam memahami istinbâth Ibn Hazm dalam pembatalan nikah dengan adanya cacat itu bukanlah jalan baik untuk memisahkan perkawinan, karena jika demikian keburukanlah yang telah ditentukan dalam agama dan itulah yang bukan dituju dalam agama islam. Dalam kehidupan perkawinan dan tujuan perkawinan tersebut harus didasarkan pada ketenangan dan cinta kasih yang tidak mungkin timbul, apalagi salah satu pihak cacat atau berpenyakit yang membuat pihak lain tidak mau mendekatinya, sedangkan cacat atau penyakit yang membuat orang lari, sehingga pada dasarnya bukanlah sasaran yang dituju oleh perkawinan. Berbeda pula dalam pandangan Ibn Hazm, bahwa ikatan perkawinan yang sudah sah dan kemudian ditengah-tengah perkawinan terdapat cacat
apapun itu tidak dapat dibatalkan. Dalam ikatan perkawinan yang suci itu tidak boleh dibatalkan dengan alasan cacat (sesuatu yang kotor), karena bukan itu yang dituju dalam agama islam. Perkawinan yang suci harus dilepas dengan baik, karena islam mempunyai prinsip yang ma’ruf (baik) pula. Ibn Hazm memandang prinsip ini sesuai dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 229:
ن ٍ aَ±l ْ }ِOِ ٌ²yِ± ْ ]َ ْف َأو ٍ ُوNْ qَ Oِ ٌكaَ±Dْ }ِWَ Artinya: “Boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. Melihat perkawinan yang suci tidak dapat dibatalkan, itu artinya bagi suami istri harus menanggung resiko dalam perkawninannya. Kemudian bagi istrilah yang harus menanggung dan menahan resiko dari cacat tersebut. Sedangkan suami, mekipun tidak boleh membatalkan perkawinan, tetapi tetap ada saja jalan lain baginya untuk keluar dari permasalahan yaitu memilih perceraian dengan jalan thalâq. Walaupun bertentangan dengan tujuan perkawinan yang suci, baik pada tujuan utama maupun tujuan lainnya, maka pada saat akad nikah harus menetapkan syarat bagi mempelai laki-laki atau perempuan yakni terhindar atau selamat pada diri masing-masing. Selain harus menetapkan syarat keselamatan dan juga perkawinan yang sudah sah selamanya tidak boleh dibatalkan dengan alasan cacat apapun,
karena perkawinan yang dijalani dengan cara yang baik berarti perpisahan dengan jalan baik pula sesuai dengan ketentuan syara’ dan bukan jalan pembatalan nikah. Ibn Hazm dalam masalah pembatalan nikah hanya pada pemahaman secara zhâhir semata atas teks al-Qur’an dan al-Hadits yang dijadikan dasar hukum olehnya. Selanjutnya pada pemikiran Ibn Hazm dalam menetapkan syarat tersebut apabila perkawinan diteruskan maka akibatnya batal sejak awal (tidak sah), dan akibat akad nikah seperti itu hanya terwujud pada lahirnya saja. Uraian diatas, menjadikan penulis untuk mengambil kesimpulan bahwa masalah cacat yang ada ditengah-tengah ikatan perkawinan, jika hanya cacat yang tidak menjadikan jijik dan tertular dengan pasangannya, maka alangkah baiknya perkawinan yang suci tetap dijaga dan berlanjut sampai adanya hal-hal yang membuat perpisahan. Meskipun perkawinan yang suci tidak terdapat rasa aman (adanya suatu cacat), maka bagi suami istri harus menanggung akibat dalam perkawinannya yakni suami harus memilih jalan yang baik untuk memisahkan ikatan perkawinan (jalan thalâq) sesuai dengan ketentuan dan aturan yang ada dalam agama islam. Begitu pula sebaliknya bagi istri harus menahan perkawinannya hingga adanya akibat lain yang menjadikan perpisahan.
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan. Dari pembahasan mengenai pembatalan nikah dengan Sebab Cacat (Studi Pemikiran Ibn Hazm dalam Kitab al-Muhallâ) yang telah penulis terangkan dalam beberapa Bab dan Sub Bab sebagaimana tersebut diatas, maka dapatlah penulis simpulkan sebagai beriklut : 1. Masalah pembatalan nikah dengan sebab cacat Ibn Hazm berpendapat bahwa Nikah yang sudah sah itu tidak boleh dibatalkan karena cacat, apa pun cacatnya, baik sesudah dukhul maupun sebelum dukhul. Selain menurut Ibn Hazm, kedua mempelai harus menetapkan syarat (bebas cacat pada saat akad nikah) dan hanya mengakui 8 macam saja yang bisa membatalkan nikah setelah akad yang sah. 2. Dasar dan metode Istinbâth hukum tentang lepasnya ikatan perkawinan, Ibn Hazm mendasarkan zhâhir nash pada
surat al-Baqarah ayat 229
sebagai prinsip dan dasar untuk memisahkan ikatan perkawinan. Juga hadîts Nabi menurut Ibn Hazm itu merupakan kinâyah yang menunjukkan arah pada perceraian (thalâq). 3. Menurut Ibn Hazm, akibat hukum dari pembatalan nikah sebab cacat yaitu bagi suami istri tidak boleh membatalkan perkawinan, kecuali keduanya
tetap menjalani dan harus menanggung resiko dalam perkawinannya dengan adanya cacat yang diderita dari masing-masing pihak. B. Saran Akhirnya sebagai catatan penutup skripsi ini, penulis ingin menyampaikan saran-saran sebagia berikut : 1. Hendaknya dalam perkawinan harus menjaga dan melestarikan hubungan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Penyakit seperti kemandulan yang diderita Si istri atau penyakit impoten yang diderita Si suami apabila mereka mau meneriama kenyataan yang ada dan masih mau menjalankan ikatan perkawinan, maka itu tidak bertentangan dengan syara’. Hal-hal semacam itu tetap masih mempertahankan ikatan perkawinan, maka dari itulah masih menginginkan hubungan sakinah, mawaddah, warahmah. 2. Hendaknya tidak merusak dan membatalkan ikatan perkawinan yang suci jika hanya mempunyai penyakit yang tidak membahayakan diri Si suami atau Si istri. Walaupun harus mewaspadai hal-hal yang membahayakan diri seseorang tersebut, selain itu juga harus mempunyai alasan yang jelas untuk berpisahnya suami istri. Dalam perkawinan yang sudah berjalan, harus tetap terjaga kekokohannya walaupun masing-masing atau salah satu dari suami istri mempunyai penyakit yang tidak membahayakan.
DAFTAR PUSTAKA Abdillah, Abi. Shahîh al-Bukhârî. Jilid.3. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. ----------. Shahîh al-Bukhârî. Terj. Ahmad Sunarno, dkk. Jilid. 7. Semarang: asySyifa’, 1993. Abidin, Slamet dan Aminudin. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Abu Zahrah. Muhammad Ibn Hazm Hayatuhu Wa Ushruhu Arauhu Wafiqhuhu.tt. tp. tt. ---------. Muhammad. Ushul Fiqh. Multazami: Dâr al fikr. tt. Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarah Bulûgh al-Marâm. (terj). Tahirin Saputra, dkk., vol. 5. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006. Alhusaini, Muhammad. Kifâyah al-Akhyâr, vol. 2. Surabaya: tp.tt. Al-Hamdani. Risalah nikah. (terj). H. Agus salim. Jakarta: Pustaka Amani, 2002. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Renika Cipta, 2002. As-Shakan ‘Aini. Subulus Salam. (terj). Abu Bakar Muhammad. Surabaya: alIkhlas, 1995. As-Syaukani, Muhammad. Nainul Authar. Vol.4. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Ash-Shiddieqiy, Muhammad hasbi. Hukum-hukum Fiqh Islam. Jakarta: Bulan Bintang, tt. ---------. Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab. Semerang: Pustaka Rizki Putra, 1997. Asy-Syarqawi, Abdurrahman. Riwayat Sembilan Imam Fiqh. (terj). Al-Hamid alHusaini. Bandung: pustaka Hidayah, 2000. Aziz Dahlan, Abdul. Ensiklopedi Hukum Islam. Vol 6. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. ---------. Ensiklopedi Hukum Islam. Vol 2. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Barkatullah, Abdul Halim dan Teguh Prasetyo. Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Effendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2004. Depag RI, al-Qur’an dan terjemahannya. Bandung: al-Jumânatul ‘Ali-Art, 2004. ---------. Ensiklopedin Islam. Vol. 2. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. ---------. Ilmu Fiqh. Vol.2. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1982. Djazuli, A. Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar. Bandung: Orta Sakti, 1992. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Gajah Mada, 1980. Hamid, Zahri. Pokok-pokok Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawianan di Indonesia. Yogyakarta: Bina Cipta, 1976. Hasan, A. Qodir, et. All. Terjemahan Nainul Authar. Vol. 7. Surabaya: Bina Ilmu, 1984. Hasan, Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Rajawali Press, 1996. Himayah, Muhammad Ali. Ibn Hazm: Biografi, karya dan kajiannya tentang Agama. (terj). Halid Alkaf. Jakarta: Lentera, 2001. Husni, Ahmad. al-Ahkâm asy-Syar’iyyah fî al-Ahwâl asy-Syakhshiyyah.Sudan: Muhammad ‘Ala Shabih, 1965. Ibn ‘Isa, Abi al-Faidh Muhammad Yasin. al-Fawâid al-Janiyyah”Syarah alFawâid al-Bahiyyah”. Beirut: Dâr al-Fikr,1997. Ibn Hazm, Abi Muhammad ‘Ali bin Ahmad Sa’id. al-Muhallâ. Vol. 10. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. ---------. Al-Ihkâm Fî Ushul al-Ahkâm. Vol. 1. Beirut: Dâr al-Kutub al ‘Alamiyah. t.t. Ibn Katsir al-Andalusi, Yahya Ibn Yahya. al-Muwatthâ’ Li al-Imam Mâlik Ibn Anas.Beirut: Dâr al-Fikr, 1989. Kuzani, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: P.T Grafindo Persada, 1995. Maududi Abul ‘Ala dan Falz Ahmed. The Low Of Mariage and Divorce in Islam. (terj). Alwiyah. Darul Ulum Press, 1987. Muchtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Mughniyah al-Jamal, Ibrahim. Fiqh Wanita. (terj). Anshari Umar Sitanggal. Semarang: asy-Syifa’, t.t. Muhammad Ibn Qasim. Fath al-Qarîb. (terj). H.Imron Abu Amar. Vol. 2. Kudus: Menara Kudus, 1983. Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia"Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU no. 1/1974 Sampai KHI." Jakarta: Universitas Indonesia, 1974. Rahman, Abdur. Perkawinan Dalam Syariat Islam. (terj). Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi. Jakarta: Reneka Cipta, 1996. Rusyd, Ibn. Bidâyah al-Mujtahid. (terj). M.A Abdurrahman dan A.Haris Abdullah. Vol. 2. Semarang: asy-Syifa', 1990. Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam: Penetapan Syari'at Islam Dalam Konteks Modernitas. Bandung: asy-Syaamil Press, 2001. Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Misbâh: Pesan, kesan, dan Keserasian al-Qur'an. Vol. 1. Ciputat: Lentera Hati, 2000. Soebani, Beni Ahmad. Perkawinan Dalam Islam dan Undang-Undang"Perspektif Fiqh Munakahat dan Undang-Undang No.1/1974 Tentang Poligami dan Problematikanya". Bandung: Pustaka Setia, 2008. Sudrajat, Ajat. Epistimologi Hukum Islam: Fersi Ibn Hazm al-Andalusiy. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2005. Supriatna, Dkk. Fiqh Munakahat II: Dilengkap dengan Undang-Undang No1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Teras, 2009. Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana, 2003. Thalib, Sayuti. Hukum kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam. Jakarta: Universitas Indonesia, 1974. Thayib, Anshari. Struktur Rumah Tangga. Surabaya: Risalah Gusti, 1991. Ulfah, Isnatin. Justicia: Jurnal Kajian Hukum dan Sosial. Vol. 3. Ponorogo: Jurusan Syariah STAIN Ponoroga, 2005. Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâm Wa adillatuh. Vol. 7. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.