TNI DAN RASIONALITAS
1
PEMBANGUNAN PERSENJATAAN Oleh: Oman Heryaman, S.IP., M.Si. Staf Pengajar FISIP-HI Universitas Pasundan Bandung
Diakui secara sadar, baik oleh Panglima TNI ketika melakukan rapat kerja dengan Komisi I DPR RI2 maupun oleh para pengamat militer dan pertahanan, bahwa anatomi kekuatan pertahanan TNI sesungguhnya belum memadai untuk mampu menjaga integritas dan kedulatan wilayah Indonesia dari berbagai ancaman dalam dan luar negeri. Bahkan bila kita melihat perbandingan postur pertahanan dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain, kedudukan kita berada dalam posisi yang memprihatinkan, dimana secara relatif berada dibelakang kekuatan postur pertahanan negara-negara seperti Thailand, Malaysia, Singapura dan Vietnam. Padahal di satu pihak, dari aspek geografis dan demografi, Indonesia dapat dikategorikan sebagai salah satu negara “terkuat” di kawasan. Tidak disangkal lagi, dari aspek geografis dan demografi, Indonesia merupakan negara terbesar di kawasan. Indonesia memiliki luas wilayah 1.904.433 kilometer persegi, dan penduduk sebanyak lebih kurang 207 juta jiwa. Baik dari aspek luas wilayah maupun jumlah penduduk, Indonesia hampir setengah dari luas wilayah dan jumlah penduduk Asia Tenggara (ASEAN 10). Dengan realitas seperti ini, sebenarnya Indonesia memenuhi syarat untuk dapat digolongkan sebagai kekuatan regional (regional power), atau menurut istilah Juwono Sudarsono sebagai negara berpengaruh di kawasan (NBK).3 Tetapi tanpa didukung kekuatan militer yang tangguh --dalam negara modern ketangguhan militer suatu negara didasarkan atas kepemilikan dan akusisi persenjataan yang lengkap dan canggih, julukan ini menjadi kurang berarti mengingat elemen kekuatan militer merupakan aspek terpenting dalam melihat peran negara sebagai kekuatan global atau kawasan dewasa ini, selain tentu saja kombinasi wilayah dan penduduk tadi disamping kapabilitas ekonomi. Dilihat dari realitas kekuatan militer saat ini, Indonesia tidaklah dapat digolongkan memiliki supremasi (dominasi) kekuatan untuk kawasan Asia Tenggara seperti yang pernah dicapai tahun 1960-an dan 1970-an. Dari beberapa indikator melalui pendekatan kuantitas, Indonesia tidak memiliki kuantitas yang dapat digolongkan dominan dibanding kekuatan lainnya, sebagaimana ditunjukkan dari deskripsi data berikut: (1) Dalam hal penetapan anggaran belanja militer/pertahanan (berdasarkan data tahun 1997 dalam situasi pertumbuhan ekonomi normal), Indonesia memang membelanjakan anggaran tertinggi dibanding negara lainnya. Tetapi kalau dilihat dari
1 Disampaikan dalam Diskusi Terbatas para pengamat militer dan pertahanan mengenai “Anatomi Kekuatan Pertahanan TNI” yang diselenggarakan oleh P2P-LIPI di Hotel Cemerlang Bandung, pada tanggal 12 Agustus 2002. 2 Harian Pikiran Rakyat Bandung, 20 April 2002. 3 Juwono Sudarsono, “Negara Berpengaruh di Kawasan”, Makalah Ceramah di Pusat Studi AsiaAfrika dan Negara-negara Berkembang - Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri RI, Bandung, Maret 1988. Indonesia dogolongkan sebagai negara berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, sejajar dengan India di Asia Selatan, Mesir di Timur Tengah, dan Brasil di Amerika Selatan.
proporsinya terhadap GDP dan basis per kapita, peringkat Indonesia berada di belakang Singapura, Malaysia, Brunei dan bahkan Kamboja. (2) Dalam sumberdaya manusia (tentara) walaupun Vietnam mengurangi jumlah tentaranya hampir setengah dari kekuatannya pada saat Perang Dingin, jumlah tentaranya saat ini masih yang terbanyak di Asia Tenggara, disusul kemudian Myanmar, Thailand, dan baru Indonesia. (3) Dalam hal akuisisi persenjataan angkatan darat, Vietnam masih merupakan kekuatan dominan. Walaupun akuisisi yang dilakukan pada pasca Perang Dingin relatif sedikit, tetapi persenjataan sisa-sisa Perang Dingin masih cukup banyak. Posisi Indonesia berada di belakangnya, relatif mempunyai kekuatan sama dengan Thailand. Salah satu kelemahan yang dimiliki persenjataan Indonesia, sampai sejauh ini belum mengakuisisi jenis senjata Tank Tempur Utama (Main Battle Tank), sama seperti yang dialami Malaysia, Filipina dan Myanmar. (4) Dalam hal akuisisi persenjataan angkatan laut, kuantitas kekuatan persenjataan Indonesia berada di depan, disusul kemudian oleh Thailand, Malaysia dan Myanmar. Tetapi dilihat dari kuantitas perbandingannya, margin perbedaannya relatif sedikit. Bahkan Thailand, walaupun berada dalam posisi dua, tetapi merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah memiliki Kapal Induk sejak tahun 1998. (5) Dalam hal akuisisi persenjataan angkatan udara (merujuk pada penggelaran dan akuisisi kekuatan pesawat tempur), posisi Indonesia berada pada peringkat 4. Kekuatan utama tempur udara masih berada di Vietnam, disusul kemudian Thailand dan Singapura. Walaupun bukan yang terdepan (kecuali AL), postur kekuatan Angkatan Bersenjata dan penggelaran persenjataan Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai salah satu kekuatan utama di Asia Tenggara. Tetapi bila ukuran-ukuran kualitas dikedepankan (misalnya dilihat dari proporsi/persentase/perbandingannya dengan jumlah penduduk, luasnya wilayah kedaulatan dan wilayah operasi pertahanan), bukan tidak mungkin postur kekuatan Indonesia akan berada pada level menengah ke bawah, bahkan dibanding kekuatan negara kecil seperti Malaysia dan Singapura. Padahal dilihat dari aspek-aspek tersebut diatas, jumlah penduduk dan wilayah kedaulatan yang harus dilindungi, baik darat, laut dan udara, adalah yang terbesar dan terluas dibanding negara Asia Tenggara lainnya. Sementara untuk melihat perbandingan peta kekuatan pertahanan antar negara, berdasarkan pendekatan kualitas, tingkat kecukupan pertahanan dan keamanan4 diukur dari rasio jumlah personel relatif terhadap jumlah penduduk suatu negara yang merupakan ukuran kecukupan angkatan darat; dan rasio luas wilayah relatif terhadap jumlah alutsista yang merupakan luas tanggung jawab per unit alutsista angkatan laut (dan juga angkatan udara). Dengan menggunakan ukuran-ukuran seperti itu, dapat dipetakan kekuatan pertahanan dan kemanan negara-negara Asia Tenggara (juga Asia umumnya) sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1. Dari data yang telah diolah tersebut maka peta posisi kekuatan pertahanan negaranegara Asia Tenggara dapat tercermin secara tegas, bahkan dapat dilihat perbandingannya dengan negara-negara lain dan dengan total rata-rata negara Asia. Sebagai contoh kekuatan pertahanan Indonesia adalah sebagai berikut: (1) Angkatan Darat berada pada urutan ke 12 dengan prosentase jumlah personil militer terhadap jumla penduduk adalah Subiyanto, Bijah, Studi Komparatif Kekuatan Pertahanan dan Keamanan Negara-Negara Asia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, 2000; hal: 17-18. 4
0.13% sementara rata-rata Asia telah mencapai besaran 0,63% (2) Angkatan Laut berada pada posisi ke 13 dengan luas tanggung jawab wilayah perunit alut sista matra laut seluas 38,662,72 km2, sementara rata-rata Asia hanya mencapai luas 4,663,23 km2, per unit alutsista; dan (3) Ankatan Udara berada pada urutan ke 13 dengan luas tanggung jawab wilayah udara per unit alutsista matra udara seluas 43,421.05 km2, sedangkan rata-rata Asia hanya mencapai besaran seluas 18,471.81 km2. TABEL 1. PETA KEKUATAN PERTAHANAN NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA DAN ASIA No. Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Negara
Vietnam Brunei Korsel Malaysia Singapura Thailand Australia RRC Filipina Jepang India Indonesia Kamboja Rata-Rata Seluruh Asia Indonesia pada Urutan
KETERANGAN SUMBER
% Personil terhadap Jumlah Penduduk AD 4.21 2.22 2.19 0.64 0.40 0.33 0.31 0.24 0.19 0.15 0.15 0.13 0.93 12
Rasio luas wilayah dibagi jumlah Alutsista (Km persegi/Alutsista) AL 308.06 180.83 39.10 1,472.00 10.47 299.22 2,796.38 2,453.21 8,496.23 451.12 461.87 38,662.72 336.00 4,305.17 13
AU 692.35 96.15 137.57 1,177.68 1.55 584.63 14,722.75 1,148.65 1,271.19 345.31 1,616.06 43,421.05 2,873.65 5,237,58 12
*) Di luar RRC yang terlalu ekstrim Adaptasi dari Subiyanto, Bijah, Studi Komparatif Kekuatan Pertahanan dan Keamanan Negara-Negara Asia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, 2000; hal: 17-18; Juga diambil dari Bijah Subijanto, “Model Pengalokasian Anggaran Dalam Pembangunan Kekuatan Pertahanan dan Keamanan”, Dharma Wiratama, No. DW/106/2000, hal. 66-71.
*** Mengingat realitas seperti diatas, rasionalitas kekuatan militer Indonesia masih jauh dari ideal, dan ini hendaknya menjadi prioritas jangka panjang dalam pembangunan kekuatan militer ke depan. Pentingnya pembangunan kekuatan militer Indonesia, bukan semata-mata diadasarkan atas keinginan Indonesia untuk menjadi “polisi”, supervisi adidaya atau kekuatan regional di Asia Tenggara yang pasti akan “meresahkan” para tetangga dan kekuatan-kekuatan lain yang selama ini telah memposisikan diri sebagai “polisi” atau kekuatan regional. Tetapi lebih didasarkan atas perlunya peningkatan postur militer terkait dengan kepentingan pengamanan wilayah dan menjaga persatuan, keutuhan dan kedaulatan tanah air sebagaimana tergambar dalam Doktrin CADEK 1988 dan Doktrin TNI baru yang tengah direvisi.5
Dewi Fortuna Anwar, disampaikan secara lisan dalam Lokakarya Organisasi dan Doktrin TNI, Kerjasama SESKO TNI dan LIPI, Bandung 29 Oktober – 1 Nopember 2001. 5
Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami Indonesia, dipastikan telah mempengaruhi program modernisasi TNI, namun demikian masalah keamanan hendaknya tetap menjadi perhatian utama. Dilihat dari kenyataan geografik, kenyataan demografi, kebutuhan ruang untuk hidup,6 dan perlunya kekuatan penangkal, pertimbangan untuk pembangunan kekuatan militer Indonesia dari waktu ke waktu tetap penting dan mendesak sampai mencapai kondisi ideal.
Kenyataan Geografik Wilayah negara Indonesia terdiri atas 17.508 pulau dengan perairan 5 juta kilometer persegi ditambah 3 juta kilometer persegi Zona Ekonomi Eklusif/ZEE, berada di jalan silang dunia, dan sudah menjadi hak dan kewajiban bagi Indonesia untuk memelihara kedaulatannya terhadap wilayahnya yang sah. Dari keseluruhan pulau tersebut, hanya tiga daerah yang memiliki perbatasan di darat, artinya musuh mempunyai akses untuk 360 derajat. Dikaitkan dengan konsekuensi berada di jalan silang dunia, berarti ada unsur asing di dalam wilayah kedaulatan yang memanfaatkan innocent passage tumpang tindih dengan life line dari 207 juta manusia Indonesia. Tidak ada pihak yang bisa menjamin bahwa para pengguna sea lanes of communication (SLOC) semuanya adalah pengguna yang sopan dan santun. Kenyataan di lapangan meperlihatkan bahwa pada umumnya para pengguna SLOC adalah negara maritim yang kuat dan memiliki kekuatan laut yang lebih superior dar TNI-AL. Memang benar inter-state conflict sudah tidak popular sekarang ini, akan tetapi kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa penyiapan mesin perang merupakan never ending business. Meskipun bahasanya adalah perampingan dan pengurangan kekuatan operasional, akan tetapi kemampuan untuk proyeksi kekuatan tidak pernah surut bahkan lebih modern dan mematikan. Dari kaca mata pertahanan --adalah hal yang mustahil apabila suatu kekuatan laut yang mondar-mandir di perairan kawasan Asia Tenggara tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk memproyeksikan kekuatannya. Buktinya? Singapore masih memelihara supremasi kekuatan udara di Asia Tenggara,7 kemudian Thailand dan Malaysia secara konsisten membangun kekuatan laut yang perkasa di perairan Asia Tenggara. Terkait dengan faktor geografis, beberapa hal yang perlu mendapatkan prioritas pengamanan adalah: 1) pengamanan jalur laut: a) pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang telah disahkan International Maritime Organization (IMO) tanggal 15 Juni 1998;8 dan 2) pengamanan jalur laut dari ancaman para pembajak atau perompak. Wilayah perairan Indonesia, terutama Malaka yang paling sibuk dan padat, sangat rawan terhadap pembajakan dan perompakan sebagaimana dilaporkan Biro Maritim Internasional (IMB);9 2) pengamanan wilayah laut terhadap tindakan-tindakan pencurian ikan dan kekayaan alam lainnya; dan 3) pengamanan wilayah laut terhadap segala bentuk dan tindakan penyelundupan, baik dari dalam maupun luar Indonesia, yang dilakukan sebagai bentuk tindakan kriminal ekonomi maupun kriminal politik (kepentingan gerakan 6 Lihat Robert Mangindaan, “CTBT dari Perspektif Pertahanan Negara”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar CTBT Departemen Luar Negeri RI, Bogor, 12-14 Desember 2000. 7 "Profil Republic of Singapore Air Force", Angkasa, No. 5 Tahun X Februari 2000, hal. 17-21; dan Mangindaan, Loc.Cit. 8 "Alur Laut Kepulauan Indonesia: Sebuah Tantangan Bagi TNI-AU", Angkasa, No. 12 Tahun VIII Februari 1998, hal. 72-74. 9 “Dua Kapal Dibajak di Selat Malaka”, Media Indonesia 27 Juni 2001; dan "Satuan Udara Armada Barat: Terbang Demi 4 Milyar Dollar", Angkasa, No. 5 Tahun X Februari 2000, hal. 36-38.
separatis); serta 4) pengamanan wilayah laut dan udara terhadap penggunaan jalur laut dan jalur Indonesia oleh pihak asing untuk kepentingan mata-mata atau inteljen.
Kenyataan Demografik Penduduk Indonesia berjumlah 207 juta jiwa dan terdiri dari 300 suku bangsa. Tanpa penduduk berarti tidak ada negara, dan negara sudah jelas mempunyai hak kedaulatan untuk melindungi warga negaranya, dari manapun ancaman itu datang. Moda konflik yang sedang berkembang, belakangan ini adalah intra-state conflict, dan hampir pasti selalu ada tangan dari luar yang ikut bermain didalamnya. Perbedaannya adalah mereka bermain secara terbuka atau secara tertutup, sedangkan persamaannya adalah aktornya sudah pasti lebih superior. Apapun namanya, intra-state conflict menyangkut kedaulatan negara, artinya semua pihak tanpa kecuali, mempunyai kewajiban mempertahankan hak kedaulatan negara. Konflik bisa terjadi di daerah mana saja, di daerah pesisir pantai, atau di pedalaman, atau di daerah periferal, dan tidak bisa dihindari pasti ada “tangan yang kuat dari luar” ikut bermain. Menghadapi ancaman tersebut, kekuatan apa yang menjadi andalan negara untuk melaksanakan hak kedaulatannya? Alternatifnya hanya satu yaitu kekuatan mesin perang yang tangguh. Terkait dengan faktor demografik, beberapa hal yang perlu mendapatkan prioritas pengamanan adalah: 1) secara internal, pengamanan migrasi dan integrasi nasional antar suku yang rawan konflik, seperti kasus Dayak-Madura dan pengusiran warga etnik lain dalam konflik Aceh; dan 2) secara eksternal, menjaga migrasi ilegal untuk kepentingan gerakan-gerakan separatis dan kasus-kasus lintas batas, seperti pelarian aktivis gerakan separatis Aceh ke Malaysia dan Thailand Selatan, lintas batas warga sekitar perbatasan Papua Indonesia dengan Papua New Guinea, dan dimasa depan adalah kasus-kasus lintas batas di perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor-Timur.
Kebutuhan untuk Hidup Sebagai bangsa dari negara yang berdaulat, kebutuhan untuk hidup, berkembang, dan bermartabat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia (dengan istilah lain prestise dan pengaruh), merupakan kepentingan yang hakiki. Kepentingan tersebut merupakan prinsip universal, dan sudah seharusnya bangsa Indonesia berjuang untuk mengejar hak tersebut. Perjuangan untuk mengejar kepentingan tesebut, tentunya hanya dapat berkembang dnegan baik apabila di payungi dengan atmosfir yang kondusif. Masalahnya adalah atmosfir tersebut tidak terbentuk secara alamiah, tetapi perlu diupayakan oleh segenap bangsa Indonesia sendiri. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia membutuhkan labensraum yang besar pula, dan pasti akan bersinggungan dengan kepentingan nasional negara lain, yang mungkin lebih lemah dan mungkin juga lebih superior. Dalam konteks ini negosiasi hanya dapat dikembangkan secara maksimal dan menguntungkan apabila ada posisi tawar yang kuat, yang didukung oleh kekuatan nyata di bidang politik, ekonomi dan kekuatan militer. Sulit bagi mesin perang Indonesia untuk mengembangkan posisi tawarnya apabila bersandar pada postur yang kecil dan low profile seperti sekarang. Pada masa otonomi daerah sekarang ini, bila implementasinya sudah dilaksanakan secara penuh, maka interaksi daerah dengan pihak asing akan semakin meningkat, sehingga memerlukan liputan pengamanan yang semakin besar. Terjadinya kemungkinan intervensi (petualangan) dari pihak asing tidak akan terjadi apabila Indonesia memiliki
kekuatan dengan deterrence power yang memadai, minimal di lingkungan terkecil kawasan Asia Tenggara. Terkait dengan faktor diatas, beberapa hal yang perlu mendapatkan prioritas penanganan adalah: 1) kemampuan postur pertahanan yang kuat yang dapat mendukung kemampuan negosiasi dan diplomasi Indonesia; dan 2) terkait dengan interaksi daerahdaerah otonomi (baik otonomi umum maupun otonomi yang diperluas) adalah menjaga keamanan daerah terhadap kemungkinan intervensi (petualangan dan intelejen) pihak lain lain dengan kekuatan penangkal (deterrence) yang memadai.
Kebutuhan Penangkalan (Deterrence)
Sebagai penegasan dari kebutuhan diatas, kasus masuknya INTERFET (International Force in East Timor) yang notabene pasukan Australia ke Propinsi TimorTimur (saat itu secara de facto merupakan wilayah Indonesia) setelah jajak pendapat Agustus 1999, merupakan pelajaran berharga mengenai kebutuhan penangkalan (deterrence) TNI. Hal ini antara lain karena posisi TNI yang sangat lemah di mata negara asing. Ada beberapa tantangan yang harus menjadi perhatian Indonesia mengenai kebijakan penangkalan ini: (1) Kemungkinan Australia menjadikan Timor Leste sebagai “pangkalan depan (forward base defense)”, hal ini terkait dengan Doktrin Howard yang menjadikan Australia seakan-akan “wakil” AS sebagai polisi regional dan lebih aktif dalam masalah-masalah keamanan Australia, jika perlu melalui intervensi. Hal ini akan menjadi relevan, jika muncul konflik di Papua dan konflik Maluku terus berkepanjangan, yang dilihat Australia sebagai instabilitas kawasan. Keterlibatan Australia dalam konflik PNG dengan pemberontakan separatis Bouganville tahun 1988-1998,10 juga harus dilihat sebagai pelajaran. (2) Kemungkinan melubernya (spillover) konflik Laut Cina Selatan, karena letak konflik yang berdekatan dengan wilayah Indonesia (Natuna). Hal ini diperlukan fasilitas militer yang kuat di sekitar Kepulauan Natuna yang dapat menangkal melubernya konflik tersebut, sekaligus untuk menghadapi kejahatan dilaut seperti perompakan/pembajakan. Dalam dua tahun terakhir telah terjadi beberapa kali ketegangan di kawasan konflik ini akibat sikap bermusuhan (hostilities) antara negaranegara pengklaim Spratly, yakni Malaysia-Filipina dan Vietnam-Filipina, termasuk konflik berskala rendah antara Cina-Filipina.11 (3) Tidak kalah pentingnya adalah kebutuhan konsentrasi di titik-titik rawan perbatasan yang dijadikan lintasan gerakan separatis untuk pemasokan informasi dan persenjataan: 1) disekitar wilayah perairan Aceh, terutama wilayah perbatasan laut dengan Malaysia Utara dan Thailand Selatan untuk menangkal penyelundupan senjata yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); (2) Sepanjang perbatasan darat Papua-PNG untuk memotong jalur logistik gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM); dan (3) disekitar perairan wilayah kepulauan Maluku Selatan untuk memotong jalur hubungan gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang mencoba bangkit
Di Bougainville (Papua New Guinea) Australia dengan kekuatan militer penuh terlibat dalam Operasi Belisi (Operation Belisi) sebagai bagian dari Peace Monitoring Group in Bougainville pada tahun 1998. Kegiatan operasi perdamaian diatas bukan bagian dari operasi perdamaian PBB. Lihat “Multinational Peacekeeping Operations”, The Military Balance 2000/2001 (London: IISS, 2000), halaman sisipan. 11 Budiarto Shambazy, “Anggaran Militer dan Modernisasi Senjata TNI”, Kompas 22 November 1999, hal. 20. 10
kembali.12 Adanya konsentrasi pasukan TNI yang kuat diwilayah tersebut merupakan daya tangkal terhadap pihak-pihak asing yang mencoba melakukan intervensi melalui gerakan separatis. *** Dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, walaupun sedang ditempa krisis ekonomi dan sekarang tengah dalam proses recovery, mewujudkan Postur TNI yang kecil, profesional, efisien dan efektif,13 adalah keharusan yang tidak bisa diabaikan. Hal inipun kemudian didukung oleh pertimbangan-pertimbangan lain yang juga penting. Pertama, walaupun sedang dalam kesulitan ekonomi, peningkatan pembagunan persenjataan tetap penting dilaksanakan, walaupun pelaksanaannya tentu saja disesuaikan dengan kemampuan melalui bentuk peningkatan secara gradual atau secara mencicil. Dengan demikian, hal tersebut akan dapat menghindarkan kemungkinan negara kita pada posisi pacuan senjata dengan diri sendiri (self-arms race) di kemudian hari.14 Penghindaran dari self-arms race menjadi penting, karena selain menghindari penumpukan pembelian senjata pada waktu tertentu yang akan memakan biaya yang sangat besar, juga dapat menghindarkan kekhawatiran negara tetangga dan pihak-pihak domestik yang kritis terhadap keberadaan militer Indonesia atau TNI. Kedua, walaupun ancaman serangan militer (ancaman konvensional) secara langsung sudah hampir tidak dimungkinkan lagi, tetapi menjaga keamanan wilayah dan kedaulatan tetap harus dilakukan, dan untuk itu diperlukan modernisasi persenjataan. Sekecil apapun faktor ancaman konvensional yang mungkin terjadi, dalam penyusunan defence planning (perencanan pertahanan) tetap harus diperhitungkan.15 Hal ini sejalan definisi umum fungsi pertahanan yang dianut NATO, bahwa kekuatan pertahanan dilaksanakan untuk menghadapi fungsi-fungsi pertahanan yang saling tumpang tindih,16 yaitu: 1) Menjaga pertahanan dan kedaulatan wilayah walaupun tidak ada ancaman dari luar; 2) Menjaga negara dari ancaman musuh; dan 3) Ikut menjaga perdamaian dunia (peace keeping operations).
12 Terjadi peristiwa pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) 25 April 2001 di kawasan Kudamati Ambon, oleh kelompok Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang dipimpin oleh Alex H. Manuputty. Bahkan FKM menuntut pengembalian kedaulatan wilayah Alifuru (Maluku) yang dikatakan telah merdeka dan berdaulat pada 25 April 1950, tetapi dirampas oleh Indonesia. Keberanian pengibaran bendera dan tuntutan FKM ini disikapi sebagai keberanian akibat adanya dukungan dari pihak-pihak eksternal yang mencoba memanfaatkan situasi konflik di wilayah tersebut. Lihat Forum Keadilan No. 6, 13 Mei 2001, hal. 85. 13 Dansesko TNI Letjen TNI Djadja Suparman, disampaikan dalam pidato pembukaan Lokakarya Organisasi dan Doktrin TNI, Kerjasama SESKO TNI dan LIPI, Bandung 29 Oktober – 1 Nopember 2001. 14 Wawancara dengan Dr. Kusnanto Anggoro, tanggal 1 Juli 2001 15 Rizal Sukma, disampaikan secara lisan dalam Lokakarya Organisasi dan Doktrin TNI, Kerjasama SESKO TNI dan LIPI, Bandung 29 Oktober – 1 Nopember 2001. 16 Marsekal Pertama Kusnadi Kardi, disampaikan secara lisan dalam Lokakarya Organisasi dan Doktrin TNI, Kerjasama SESKO TNI dan LIPI, Bandung 29 Oktober – 1 Nopember 2001.