PEMBAHARUAN IAIN 73
Pembaharuan IAIN dan Pengembangan Intelektual Islam: Analisis Relevansi H. Khumaidi Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstraks: Sering dikatakan bahwa zaman keemasan Islam telah berlalu, tinggal kenangan yang sering disebut-sebut dan diucapkan oleh para apologia dalam pidato maupun ceramahnya. Artikel ini membahas apakah IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi (Islam) mampu menghadirkan kembali pesan-pesan kejayaan Islam dalam menghadapi persoalan zaman? Artikel ini melihat persoalan ini berkaitan erat dengan pemahaman konsep intelektual yang dewasa ini digunakan dalam khazanah keilmuan Islam. Kata Kunci: IAIN, intelektual, dan ulama.
Pendahuluan Mimpi panjang rakyat Indonesia untuk memerdekakan diri dari penjajahan Barat menimbulkan kisah tersendiri bagi segelintir anak negeri ini, yaitu orang-orang pribumi yang dibesarkan oleh penjajah Belanda untuk sedikit mengenyam pendidikan (ala) Barat. Hasilnya memang terbukti meyakinkan. Berbeda dari rakyat kebanyakan, mereka benar-benar menikmati dan membuat koloni baru di dalam masyarakatnya sendiri, yaitu lahirnya hemogenitas intelektual (ala) Barat. Mereka berpenampilan dan berpikir kebaratan. Mereka adalah orang Indonesia yang berprasangka (meerwardegh) dan berperasaan Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
74 H. KHUMAIDI
lebih tinggi dari sesamanya, karena mereka adalah intelektual. Berdasarkan kenyataan itu, maka setelah zaman kemerdekaan timbul gagasan di kalangan umat Islam (maksudnya) para ulama dan tokoh-tokoh untuk menggagas lahirnya ulama-ulama modern, yaitu ulama intelektual dan intelektual ulama, dengan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) sebagai langkah pembaharuan. Walhasil pada 1957 di Yogyakarta lahir Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan di Jakarta Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Persoalannya, apakah pembaharuan yang diharapkan akan terwujud? Konotasi selama ini IAIN tidak lebih merupakan perguruan tinggi agama yang berkarakteristik klasik berorientasi pada agama mahdhah (dogma), dan dengan ciri-khasnya berpegang sumber kitabkitab kuning abad 15-an yang lalu, sehingga tak ubahnya bagai mengalirkan air di dalam sebuah drum yang bulat (melingkar): air memang bergerak mengalir, namun dari waktu ke waktu masih di tempat itu-itu juga. Sedang permasalahan kini adalah bahwa masalah hidup dan kehidupan manusia kian melaju dengan kencang dan serba terjadi. Artinya, dengan pendidikan dan temuan-temuan teknologi modern masa kini, manusia berpikir dan bekerja, sehingga bisa menikmati hasil pikirannya itu. Coba bandingkan dengan konotasi IAIN hingga kini masih disibukkan dengan khilafiah dan perbedaan yang tidak mendasar relevansinya? Singkat kata, kaum intelektual (umum) mampu berpikir bebas mencakup pengamatan yang cermat terhadap gejala-gejala yang (ada) di suatu lingkungan, yaitu pemahaman tentang gejala sebab-akibat itu dikorelasikan dengan gejala lain, sehingga menghasilkan perubahan yang sangat cepat. Rumusan proses pemikiran itu kemudian dikomunikasikan dalam suatu kesimpulan umum namun jelas, sehingga menghasilkan perubahan yang terasa nyata, dan itulah produk intelektual. Istilah intelektual perlu diresensi artinya: pertimbangan,1 atau (dilihat) kembali dengan penjelasan, yaitu melihat sebuah kenyataan masa lalu bahwa Islam pernah Berjaya. Semua itu tinggal kenangan Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PEMBAHARUAN IAIN 75
yang sering kali dituturkan orang sebagai apologia pada segala forum di berbagai kesempatan, dengan kilah-kilah bernada girang dan bangga, namun tidak sadar bahwa ungkapannya hanya isapan jempol belaka. Inilah yang dimaksudkan dengan apologia di atas. Muncullah kemudian wacana untuk mewujudkan kembali kejayaan itu dengan mencetak sarjana-sarjana Islam (ulama intelektual atau intelektual ulama) melalui lembaga pendidikan tinggi (IAIN).
Latar Belakang Lahirnya IAIN Dilihat dari segi usia sebetulnya IAIN termasuk perguruan tinggi yang reletif cukup berumur dan telah mapan di tanah air. Kehadirannya tidak terlepas dari cita-cita tokoh-tokoh Islam, yaitu untuk memajukan ajaran Islam di Indonesia.2 Karena mengalami masa penjajahan panjang, umat Islam Indonesia terbelakang dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya benturan umat Islam Indonesia dengan pendidikan dan kemajuan Barat yang memunculkan kaum intelek baru yang sering juga disebut cendekiawan sekuler.3 Kiprah kaum intelektual baru ini, menurut Benda, sebagian besar adalah hasil pendidikan Barat yang terlatih berpikir secara Barat yang sering disebut-sebut dengan kaum priyayi-priyayi di Indonesia. Sedang Jansen memberikan komentar, hal itu terjadi karena proses pendidikan mereka mengalami brain washing (cuci otak) dari hal-hal yang berbau agama (Islam).4 Akibatnya, mereka menjadi terasing dan teraliensi dari ajaran-ajaran Islam dan dari masyarakat Muslim sendiri. Dampak yang timbul adalah terjadinya dua kubu (kutub) yang saling menuding antara cendekiawan sekuler dan ulama tradisional.5 Bagi ulama tradisional, ungkapan sinisme yang diberikan, yaitu dengan sebutan kaum sarungan dan kaum bebek (itik) yang suka main air, karena harus berwudhu ketika hendak menjalankan salat, hanya tahu urusan agama tapi buta pengetahuan (umum) keduniaan. Di samping itu, penghayatan umat Islam terhadap agama masih Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
76 H. KHUMAIDI
relatif sangat rendah, sehingga sering timbul konflik-konflik yang bernuansa khilafiah (perbedaan) pendapat antara umat Islam sendiri dalam memahami agama bahkan dalam persoalan yang kecil-kecil saja. Akibatnya, perubahan sosial yang begitu cepat seolah-olah tidak dapat direspons oleh agama. Inilah malapetaka yang berdampak kemunduran umat Islam. Walhasil, cendekiawan sekuler enggan bahkan tidak mengakui ulama sebagai kaum intelektual. Karena itulah, muncul gagasan di kalangan umat Islam untuk menciptakan ulama intelektual atau intelektual ulama 6 dengan mendirikan IAIN. Dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1960 tentang Pembentukan IAIN Pasal 2 ditegaskan, “Bahwa Institut Agama Islam Negeri bermaksud untuk memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam.”7 Mempertinggi taraf pendidikan agama dan ilmu pengetahuan Islam berarti mempertinggi taraf kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan kerohanian (spiritual) ataupun dalam taraf intelektualismenya.8 Dengan landasan yuridis di atas, maka IAIN diharapkan mampu memberikan warna dan pengaruh keislaman di masyarakat pada umumnya. Dan berbarengan dengan itu, IAIN diharapkan dapat mengembangkan dirinya sebagai pusat studi dan pengembangan Islam di dalam masyarakat Indonesia. Dengan demikian IAIN memikul dua tanggung jawab sebagai harapan yang disebut dengan social expectations dan academic expectations atau tanggung jawab sosial dan tanggung jawab akademik.
Kualitas atau Jati Diri IAIN Menteri Agama Mukti Ali dan menteri-menteri berikutnya selalu menyatakan bahwa standar dan mutu ilmiah IAIN perlu ditingkatkan karena belum memenuhi standar yang diharapkan. Pertama, penguasaan dua bahasa asing, yaitu bahasa Arab dan Inggris, karena bahasa Arab merupakan bahasa sumber-sumber teks keislaman, sedangkan bahasa Inggris merupakan bahasa ilmiah internasional, Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PEMBAHARUAN IAIN 77
karena literatur-literatur senyawa kebanyakan berbahasa Inggris. Kedua, iklim atau situasi interaksi ilmiah di dalam pembelajaran antara dosen dengan mahasiswa belum menggembirakan, yaitu masih banyak dominasi dosen, seakan-akan dosen menjadi penguasa tunggal (ilmu). Dalam beberapa hal ini mirip birokrasi dan malahan feodalis. Ketiga, masih berkenaan dengan masalah kedua, sistem pendidikan dan perkuliahan masih mengikuti apa yang disebut oleh Freire sebagai the banking concept of education (pendidikan ala bank), bukan sebagai problem posing education (pendidikan yang kritis).9 Bila dicermati, materi yang diajarkan masih diorientasikan pada masa lalu yang bersifat kaku, seperti pendapat ulama lama tanpa memberikan peluang mahasiswa untuk memperhitungkan permasalahan yang bakal dihadapi di masa depan yang berbeda dengan keadaan sekarang. Jadi yang perlu ditanamkan adalah pemikiran futuris yang fungsional untuk reaktualisasi atau revitalisasi Islam pada masa depan, bertujuan untuk mengantisipasi perubahanperubahan masyarakat. Dengan demikian, berbagai aspek yang perlu diperhatikan adalah proses pendidikan tradisional masih terjebak pada teori-teori klasik abad ke-15 yang kaku, kurikulum dengan silabi padat (ala bank), teknik-teknik konvensional yang dianggap bernilai seni dari zaman ke zaman, dan sebagainya. Semua perlu ditinjau kembali karena masih dipertahankan untuk membesarkan IAIN dewasa ini. Gambaran di atas memberikan makna bahwa mutu atau kualitas jati diri IAIN belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tidak mampu menunjukkan sikap kritis, analitis, maupun inovatif terhadap realitas lingkungannya. Insan akademiknya tetap berpikir, bersikap, dan berperilaku berdasarkan kerangka legalistik dan formalistik, seperti hadir kuliah (absensi), menulis materi (dikte), mengerjakan tugas, ujian, dan sebagainya. Seandainya ada perubahan, justru menonjolkan kecenderungan untuk bergaya hidup metropolis dan modernized (gaya kota dan modern), kebaratan, bahkan kadangkadang malah gaya yang serba tanggung. Ironisnya, fenomena umum yang sering muncul, termasuk Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
78 H. KHUMAIDI
sarjana IAIN, adalah munculnya sikap kekanak-kanakan, arogansi, dan ambisi terhadap jabatan-jabatan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, karena mereka telah dibekali dengan kemampuan berpikir dan berbuat untuk mendapatkan pekerjaan secara profesional di bidang keahliannya. Hal ini akan lebih seru lagi apabila dikaitkan dengan intervensi kepentingan politik praktis dewasa ini yang mementingkan sikap individualis dan bercorak kelompok rasial dan sejenisnya. Untuk itu, solusi yang diharapkan, menurut Conny Semiawan, adalah terjadinya pendekatan pengembangan sumber daya manusia (human resource deplopment) dan keterwujudan kemampuan manusia (human capacity deplopment) yang fokus pada penguasaan keterampilan sikap dan kemampuan produktif ketenagakerjaan, dibarengi dengan terbentuknya kemampuan sikap intelektual dan perilaku berketerampilan untuk melangsungkan kemandirian hidup sepanjang hayatnya.10
Fenomena Keberhasilan IAIN Keadaan di atas tidaklah menafikan keberadaan jati diri sarjana IAIN di pentas dunia kerja. Pertanyaannya, telah berhasilkah cita-cita yang diharap penggagasnya? Tidaklah mudah untuk menjawabnya. Fenomena yang ada, di satu sisi ada, walaupun secara signifikan belum meyakinkan. Di antara fenomena keberhasilan IAIN diungkapkan oleh cendekiawan Muslim sekaligus mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azumardi Azra. Azra memberikan pengakuan bahwa beberapa anggota DPR, tokoh intelektual, dan kalangan perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri, memuji kemajuankemajuan yang dicapai mahasiswa IAIN, terutama karena kemampuan mereka merumuskan pikiran dalam berbagai media terkemuka di ibukota dan keberhasilan lulusan IAIN dalam studi lanjut. Dalam kesempatan yang lain, dia mengatakan bahwa akhirakhir ini penilaian pihak luar tampaknya semakin positif terhadap Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PEMBAHARUAN IAIN 79
IAIN, sebagai bukti banyaknya alumni IAIN yang diserap bekerja di LP3ES, LSP, PPA, dan LSM lainnya, lebih besar dibanding dengan alumni perguruan lain, walaupun tidak ada data pasti soal ini. 11 Secara kasat mata, alumni IAIN yang diserap lembaga-lembaga di atas maupun yang lain yang bergerak di bidang sosial menunjukkan prestasi yang tidak kalah bersaing dengan alumni perguruan tinggi lainnya dalam dua dasawarsa ini. Berdasarkan penelitiannya, Thamrin Ely mengatakan bahwa jika saja sebelumnya mahasiswa IAIN sering digambarkan rendah diri, tidak pandai bergaul, picik, karena pengetahuan umumnya kurang, norak, dan lain-lain, kini mereka bangkit menunjukkan postur diri yang lebih intelektualis dan lebih memiliki kepercayaan diri. Proses intelektual telah dan terus terjadi di kalangan mahasiswa IAIN.12 Sebagai pengimbang, H.A.R. Tilaar menuturkan tentang sumber daya manusia yang bermutu hanya dapat dicapai melalui pendidikan yang berkualitas yang mampu melahirkan sumber daya manusia yang andal dan berakhlak mulia, di samping memiliki keimanan dan ketakwaan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja, mampu mengembangkan budaya kerja produktif, dan berkepribadian.13 Harapan besar ciri-ciri tersebut mestinya dimiliki dan melekat pada jati diri sarjana IAIN.
Solusi yang Direkomendasikan Untuk bisa melihat masa depan IAIN berwajah ulama intelektual atau intelektual ulama, direkomendasikan hal-hal berikut: a. Reformasi tujuan IAIN, yaitu perubahan secara radikal orientasi selama ini bahwa IAIN seakan-akan hanya sebagai wadah mencetak calon pegawai maupun guru, kepada pemikiran untuk mempersiapkan pemikir-pemikir Islam. Jangan berpikir IAIN tidak lebih sebagai training center dibanding center of learning and research (pusat pembelajaran dan penelitian) atau center of Islamic thought (pusat pemikiran Islam). Dalam hal ini, sebaiknya yang ada dipertahankan, sedang cita-cita tetap dilanjukan. Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
80 H. KHUMAIDI
b.
c.
d.
Artinya, ide-ide baru untuk berkembang maju tetap diusahakan. Restrukturisasi kurikulum IAIN. Perlu diberikan kesempatan membuka jurusan ilmu-ilmu umum, di samping disiplin keilmuan (Islamic studies) yang ada. Sebagai contoh, di Fakultas Tarbiyah dibuka jurusan tadris, seperti Pendidikan Biologi, Kimia, Fisika, Matematika, dan Bahasa Inggris. Dan yang lebih mendasar adalah ada lima IAIN yang telah direformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Dengan demikian IAIN diharapkan segera bisa mengembangkan disiplin-disiplin keilmuan umum seperti psikologi, kedokteran, dan sebagainya. Simplifikasi Beban Perkuliahan. Padatnya mata kuliah menjadikan beban mahasiswa untuk mampu berorientasi kepada pengembangan studi-keislaman. Beban belajar yang baik adalah sekitar lima mata kuliah (6-10 SKS). Dan dampak yang bisa dirasakan dengan padatnya beban belajar mahasiswa adalah tidak ada peluang untuk berorientasi kepada kegiatan ekstra seperti berlatih kepemimpinan atau berorganisasi. Sebenarnya ada korelasi yang signifikan antara kegiatan kepemimpinan (organisasi) dengan pengembangan intelektual bagi para mahasiswa. Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan pengalamanpengalaman para pemimpin maupun cendekiawan rata-rata berasal diri para aktivis di kampusnya. Dekompartementalisasi di IAIN. Secara teori sebenarnya IAIN adalah sebuah lembaga satu wajah, yaitu lembaga keislaman. Namun selama ini telah terjadi pengelompokan fakultas sekaligus jurusan-jurusan yang dibawahinya. Akibatnya terjadi pemisahan diri seakan-akan satu sama lain tidak berhubungan. Seperti, Fakultas Ushuluddin tidak merasa perlu (membutuhkan) apa yang dikandung Fakultas Syariah dan seterusnya. Walhasil, masing-masing berjalan secara parsial, tidak satu wajah. Oleh sebab itu, jalan keluar yang harus ditempuh seyogianya membuat jaringan persaudaraan di antara spesialisasi masing-masing. Perlu ada unggulan bersama, yaitu pemikiran keislaman (panislamism) positif yang harus diperjuangkan secara bersama-
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PEMBAHARUAN IAIN 81
e.
sama. Liberalisasi sistem SKS. Sebenarnya penggunaan sistem kredit semester (SKS) murni ataupun SKS paket mempunyai kekurangan dan kelebihan. Mestinya mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih atau menentukan kontrak SKS-nya setiap smester. Masalahnya, ada kesulitan cara menyelenggarakan penjadwalan perkuliahan dengan dosen yang bertugas.
Catatan: 1 . Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarata: Balai Pustaka, 1976), hlm. 821. 2 . Tim, Penyusun Buku Pedoman IAIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1976), hlm. 1. 3 . Istilah cendekiawan sekuler ini muncul karena mereka lebih berorientasi pada masalah keduniaan dan tidak memedulikan keagamaan. Lebih jelas baca “Kaum Cendekiawan di Indonesia: Suatu Skesta Sosiologi”, Berita Antropologi, 26, 4 (1976), hlm. 11. 4 . G.H. Jansen, Militant Islam, (London: Pan Books, 1979), hlm. 69. 5 . Kaum ulama, dari pengertian harfiah maupun istilah sebenarnya, termasuk kaum intelektual. Lihat Arnold Wehmhoerner (ed.), Elites and Development, (Bangkok: FES, 1975), hlm. 10. 6 . Deliar Noer, Masalah Ulama Intelektual atau Intelektual Agama, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1974), hlm. 8. 7 . Lihat Tambahan Lembaran Negara No. 61 Tahun 1960 tentang Pembentukan IAIN. 8. Lihat Penjelasan Peraturan Persiden No. 11 Tahun 1960 tentang Pembentukan IAIN dalam Tambahan Lembaran Negara 1993. 9 . Paulo Freire, Pedagogy of the Oppresed, (London: Penguin Book, 1973), hlm. 163. 1 0 . Semiawan Conny, Pendidikan Tinggi Peningkatan Kemampuan, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 14-15. 1 1 . Lihat Azyumardi Azra, hlm. 162. 1 2 . Azyumardi Azra, hlm. 163. 1 3 . H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 297.
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
82 H. KHUMAIDI
DAFTAR PUSTAKA Anonim, “Kaum Cendekiawan di Indonesia: Suatu Skesta Sosiologi”, Berita Antropologi, 26, 4 (1976). Anonim, Team Penyusun Buku Pedoman IAIN Syarif Hidayatullah, IAIN Jakarta. Conny, Semiawan, Pendidikan Tinggi Peningkatan Kemampuan, (Jakarta: Grasindo, 1999). Freire, Paulo, Pedagogy of the Oppresed, (London: Penguin Book, 1973). Hartoko, Dick (ed.), Golongan Cendekiawan, (Jakarta: Gramedia, 1980). Jansen, G.H., Militant Islam, (London: Pan Books, 1976). Lembaran Negara No. 61 Tahun 1960 tentang Pembentukan IAIN. Noer, Deliar, Masalah Ulama Intelektual atau Intelektual Agama, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1974). Penjelasan Peraturan Persiden No. 11 Tahun 1960 tentang Pembentukan IAIN dalam Tambahan Lembaran Negara 1993. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976). Theodorson, George A. dan Achilles G. Theodorson, A modern Dictionary of Sociology, (New York: Barnes and Noble Books, 1979). Tilaar, H.A.R., Manajemen Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001). Wehmhoerner, Arnold (ed.), Elites and Development, (Bangkok: FES, 1975).
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012