PEMANFAATAN TANAH SETRA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT
THE UTILIZATION OF CEMETERY IN INDIGENOUS LAW PERSPECTIVE
Luh Putu Arya Stiti1, A. Suriyaman Mustari Pide 2, I Made Suwitra2 1
2
Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Bagian Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi: Luh Putu Arya Stiti Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 E-mail :
[email protected] HP : 087762858865
ABSTRAK Implikasi konflik hukum terhadap pemanfaatan tanah setra Desa Adat, pada umumnya disebabkan karena beberapa hal, seperti tidak ikut mebanjar, kurang aktif di banjarnya dan juga karena sudah kesepekang (kanorahang) dan ini terjadi terhadap umat Hindu, sedangkan terhadap umat non Hindu belum pernah terjadi. Penelitian ini bertujuan mengetahui pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu dan implikasinya terhadap konflik hukum adat. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian hukum normative, melalui pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) dan AwigAwig (ketentuan-ketentuan Hukum Adat Bali). Selain itu, digunakan penelitian hukum empiris dengan pendekatan hukum adat. Hasil Penelitian menunjukan bahwa prosedur pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu diawali dari warga tersebut tinggal di wilayah Desa Pakraman dan menjadi warga Desa Pakraman tersebut. Sedangkan bagi umat non Hindu diawali dengan menghindukan dulu (Sudi Widani), kemudian dilanjutkan upakara/upacara sesuai dengan awigawig Desa Adat. Kata kunci: Tanah Setra, Konflik, Hukum Adat
ABSTRACT Legal implications of the use of land conflicts Setra Village People, in general, caused by several things, such as not participating mebanjar, less active in banjarnya and also because it kesepekang (kanorahang) and this happens to Hindus, while the non-Hindu people have never happened. This study aims to examine the use of land Setra by non-Hindu people and the implications for indigenous conflict. This research was conducted with normative legal research, the approach of Law (Statute Approach) and Awig-Awig (Customary Law provisions Bali). In addition, the use of empirical legal research with indigenous approach. Research results showed that land use procedures Setra preceded by non-Hindu people of the residents living in the area Pakraman and become citizens of the Pakraman. As for non-Hindu people begins with the first Sudi Widani, then ceremonies in accordance with awig awig Village People. Keywords: Cemetery of Land, Conflict, Indigenous Law
PENDAHULUAN Dinamika kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin kompleks ini, ternyata menjadi salah satu faktor terjadinya konflik adat, yang disebabkan oleh adanya benturan kepentingan antara krama desa selaku individu atau kelompok dalam desa adat. Hicman Powell, seorang wisatawan yang juga penulis Amerika, menjuluki Pulau Bali sebagai “The Last Paradise”. Julukan itu diberikan karena keindahan alam Bali, dan keharmonisan hubungan masyarakatnya, serta keramahan warganya (Sudantra, 2010). Namun demikian, sesungguhnya Bali tidaklah benar-benar bebas dari konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan muncul ke permukaan karena berbagai faktor penyebab seperti faktor politik, ekonomi, dan pelanggaran norma agama Hindu serta adat Bali. Wayan P Windia mengatakan, konflik dan kekerasan di Bali, dikenal dengan istilah biota atau wicara. Pelakunya bukan hanya krama desa pakraman (krama desa), tetapi mungkin penduduk Bali secara umum. Dengan kata lain, setiap penduduk Bali, yaitu orang yang berada di Bali (baik krama desa, krama tamiu, maupuan tamiu), potensial dapat menimbulkan biota atau wicara di tanah Bali. Tanah-tanah adat atau tanah-tanah ulayat di Bali lebih memasyarakat dengan sebutan ”tanah desa”. Tanah desa ini dapat dibedakan tanah desa dalam arti sempit, atau sering disebut dengan tanah ”druwe desa” atau ”tanah druwe”, yaitu tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh desa adat yang bisa didapat melalui usahausaha pembelian ataupun usaha lainnya (Dharmayudha, 1990). Di Kabupaten Gianyar terjadi konflik tanah setra antara desa adat Semana Ambengan, Kecamatan Ubud, dan kasus tanah setra Ketandan Tegallinggah, Kecamatan Blahbatuh. Beragam konflik yang terjadi boleh saja sebagai bagian dari perubahan sosial yang selalu disertai dengan proses perubahan, atau mobilitas sosial yang membawa benturan-benturan nilai, yang mengakibatkan terjadinya konflik. Mengingat kejadian-kejadian di Bali, sejak era reformasi 1998, penduduk desa di Bali tampak sering mengalami konflik, dibandingkan dengan sebelumnya, baik konflik intern desa maupun antar desa. Konflik antar desa dinas yang sebelumnya hampir tidak pernah terjadi, belakangan juga mulai muncul. Selain konflik politik, konflik ekonomi, dan sosial, juga konflik adat terjadi di Bali.
Berdasarkan hasil penelitian Suardika (2010), konflik adat memang paling banyak terjadi di Kabupaten Gianyar. Sebaran konflik hampir terjadi diseluruh kecamatan yang ada, dan hampir terjadi setiap tahun. Dikatakan konflik yang menonjol karena telah muncul sebagai konflik terbuka, yang potensial menggangu ketertiban, kedamaian, dan ketentraman masyarakatnya. Di luar konflik-konflik tersebut, masih terdapat banyak kasus terutama konflik individu melawan individu dengan beragam permasalahan yang tidak terekam di Kecamatan, kantor Kesbang-Linmas, Majelis Desa Pakraman, ataupun di tingkat banjar atau desa, sehingga tidak muncul ke permukaan sebagai kasus yang mengancam ketertiban umum. Dalam persepsi filosofi hukum adat Bali, ketiga sumber kesejahteraan yang terkandung dalam konsep Tri Hita Karana, dituangkan kedalam tiga pola hubungan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan; Hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia; dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Keberadaan setra dalam sebuah desa adat, sama halnya dengan fasilitas milik desa lainnya, semua pemanfaatnya diatur berdasarkan hukum adat yang tertuang dalam bentuk aturan-aturan, berupa awigawig desa adat. Dengan demikian, bukan orang biasa yang bisa dikuburkan di sana (Dharmayudha et al., 1999). Atas dasar permasalahan itulah, dipandang perlu untuk meneliti mengenai aturan-aturan hukum yang mengatur tentang penggunaan setra Desa Adat. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan memperjelas
pemahaman terhadap
Desa
Adat
dalam penggunaan dan
pemanfaatan tanah setra Desa Adat, jika dimanfaatakan oleh umat non Hindu di wilayah Kabupaten Gianyar.
METODE PENELITIAN Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang dipilih disesuaikan dengan masalah yang akan dikaji, untuk mengkaji mengenai pemanfaatan tanah setra Desa Adat dan prosedur pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu, dipergunakan penelitian hukum
normatif. Untuk melengkapi kajian tersebut terutama yang berkaitan dengan nilai yang hidup dalam masyarakat dan mengkaji konflik yang ada dipergunakan penelitian hukum empiris atau socio legal research dengan menggunakan pendekatan pendekatan sejarah (historical approach); pendekatan konseptual (conceptual approach); dan pendekatan sosiologi hukum atau siciology of law (Sunggono, 2006). Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditetapkan di desa adat yang terdapat di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, oleh karena di kabupaten Gianyar ini sendiri terdapat tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Gianyar, Blahbatuh, Sukawati, Ubud, Payangan, Tegallalang dan Tampaksiring, dengan jumlah Desa Adat 271 Desa Adat dan 504 banjar adat yang tersebar di tujuh kecamatan di wilayah Kabupaten Gianyar tersebut, sudah ada umat non Hindu yang memanfaatkan tanah setra Desa Adat seperti desa Adat Beng, desa Adat Gianyar. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah Wilayah Kabupaten Gianyar. Sedangkan metode penentuan sampel yang digunakan adalah metode “non-probality sampling” dengan ciri umunya adalah bahwa tidak semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi responden dan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan subjektif dari penelitian, sehingga dalam hal ini penelitian menentukan sendiri responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi. Dengan demikian, maka sampel yang terpilih kemudian menjadi responden dalam penelitian ini meliputi Desa Adat Beng, Kecamatan Gianyar; Desa Adat Peliatan, Kecamatan Ubud; dan Desa Adat Pejeng Kawan, Kecamatan Tampak Siring. Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif, yakni analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran mengenai masalah atau keadaan yang diteliti. Setelah data dianalisis, selanjutnya akan ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berfikir
deduktif, yaitu suatu pola berpikir yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik suatu generalisasi atau kesimpulan yang bersifat khusus (Hadi, 2001).
HASIL Posisi Kasus Kasus ini terjadi di Desa Adat Beng, Desa Beng, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar. Kasus ini menyangkut boleh tidaknya seorang non Hindu menggunakan setra desa pakraman. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak keluarga, kelian desa adat dan data tertulis, maka kasus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Seorang laki-laki bernama I Nyoman Pintrik (saat meninggal umur 40 tahun), pekerjaan buruh bangunan. Ia lahir dan dibesarkan di Banjar kauh Beng, beragama Hindu, terlahir dari pasangan yang sah antara pan Ketul (almarhum) dan ibunya Ni Rembug. Bersaudara 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Saat berumur 22 tahun I Nyoman Pintrik kawin dengan seorang wanita yang bernama Ni Ketut Manis dari desa Beng, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, beragama Kristen Protestan. Perkawinan dilaksanakan secara sah menurut Agama Hindu dimana pihak perempuan diminta secara sah oleh keluarga laki-laki disaksikan oleh Kelian Desa Adat Beng pada waktu itu. Dari perkawinannya tersebut I Nyoman Pintrik dikarunia dua orang anak laki-laki. Namun setelah anak pertama mereka berumur lima tahun, mulai terjadi ketidak harmonisan di dalam pasangan keluarganya yang akhirnya menyebabkan mereka berdua memilih untuk bercerai. Dalam perceraiannya itu, pihak perempuan dikembalika oleh pihak laki-laki dengan disaksikan oleh kelian Adat Desa Beng (pada saat itu oleh I Nyoman Gede Cemeng). Perceraian itu terjadi pada tahun 1990. Pihak perempuan kembali kerumah orang tuanya semasa gadis, dan kedua orang putranya mengikuti pihak bapaknya (I Nyoman Pintrik). Setelah perceraiannya, I Pitrik bersama anak-anaknya masih tetap tinggal di Tuban, dan tidak masuk makrama Desa Adat Beng. Lebih kurang dua tahun setelah perceraian itu, I Nyoman Pintrik kawin lagi dengan seorang perempuan yang bernama Makesah yang berasal dari Karangasem dan beragama Islam. Perkawinan yang kedua ini berlangsung secara diam-diam (tidak sah). Perkawinan yang kedua ini membuahkan seorang anak perempuan. Sampai saat perkawinan keduanya itu berjalan, I Pintrik masih belum tinggal di Desa Beng dan masih tetap tidak masuk dalam krama Desa Adat Beng. Perkawinan kedua ini berlangsung sampai menjelang I Nyoman Pintrik meninggal dunia. Selama bekerja di Ungasan, I Pintrik juga tidak tercatat sebagai penduduk Desa Beng, baik secara adat maupun dinas. Menurut keterangan keluarganya walaupun I Nyoman Pintrik telah tinggal di Desa Beng, tetapi tidak pernah sekalipun I Nyoman Pintrik bersembahyang baik di Pura keluarga (paibon) maupun di Pura desa. Dari pihak keluarga tidak ada yang yang berani menegur, karena mereka sadar I Nyoman Pintrik tidak beragama Hindu. Bahkan terakhir di ketahui ternyata I Pintrik dalam KTP nya tercantum beragama Islam. Pada saat I Nyoman Pintrik meninggal di rumah asalnya tanggal 4 Januari 2008, saudara laki-laki I Pintrik menanyakan pada istri almarhum, perihal suaminya, termasuk rencana penguburan, dimana dan bagaimana nantinya mayat I Pintrik akan dikuburkan. Ternyata istri almarhum mengatakan walaupun dalam KTP nya tercantum beragama Islam, tetapi I
Pintrik tidak pernah menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim sehingga menurut istrinya I Pintrik tidak berhak dikuburkan menurut Islam. Dalam hal ini Makesah (Istri I Pintrik) menyerahkan sepenuhnya pada keluarga almarhum suaminya untuk mengurus sepenuhnya penguburan mayat I Pintrik. Melihat kenyataan ini, maka satu-satunya jalan bagi saudara (almarhum) I Pintrik, adalah berusaha agar mayat I Pintrik dapat dikubur di setra Desa Adat Beng. Pada tanggal 4 Januari 2008, diadakanlah paruman prajuru desa adat, yang khusus membahas kasus ini. dalam paruman itu pun, belum didapat keputusan, karena ada penentangan dari peserta paruman, terutama dari Banjar Kelod Beng, dengan alasan bahwa awig-awig Desa Adat Beng tidak memperbolehkan hal tersebut dilaksanakan. Di samping itu, dikhawatirkan persoalan ini akan menjadi contoh kurang baik, bagi krama Desa Beng lainnya di kemudian hari. Mereka khawatir, kalau kasus ini ditoleransi, dikemudian hari, krama desa lainnya bisa saja mengikuti dengan mengelak untuk melaksanakan ayahannya di desa adat. Tidak mau masuk anggota krama desa, tidak melaksanakan agama dengan baik dan sebagainya, sehingga menyebabkan tatanan kehidupan desa adat akan menjadi kurang baik di kemudian hari. Dari keterangan-keterangan yang diperoleh pihak keluarga almarhum dan pihak prajuru desa adat Beng, maka pada hari itu juga, pukul 14.00 Wita diadakanlah kembali peruman prajuru yang berakhir pada pukul 16.45 yang menghasilkan keputusan sebagai berikut : Mayat I Nyoman Pintrik (almarhum) dapat dikubur di setra Desa Adat Beng, Penguburan dilaksanakan secara adat dan Agama Hindu, Pihak keluarga wajib menyerahkan surat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa almarhum adalah anggota keluarganya yang masih menganut Agama Hindu, Pihak Keluarga almarhum wajib membayar penuku ayah/penanjung batu sebesar 200 kg. beras dan melaksanakan upacara pengeresikan desa dan Kahyangan Tiga. Keputusan Paruman Prajuru Desa Adat ini ditandatangani oleh Kelihan Desa Adat Beng, sekretaris, serta dilampiri dengan daftar hadir peserta paruman, serta surat-surat keterangan dari pihak keluarga almarhum I Nyoman Pintrik. Akhirnya mayat I Pintrik dapat di kuburkan disetra Desa Adat Beng. Mengingat semasa hidupnya I Nyoman Pintrik tidak ikut mekrama maka dalam hal ini warga banjar tidak diwajibkan untuk turun melaksanakan kewjiban suka duka. Walaupun ada warga banjar yang terlihat turut membantu mereka bukan atas nama banjar, tetapi atas pribadi yang turut simpati atas kejadian yang dialami keluarga I Nyoman Pintrik almarhum. Sehingga otomatis semua perlengkapan dan pelaksanaan upacara kematian I Pintrik dikerjakan oleh keluarga besar I Pintrik almarhum dalam hal ini keluarga besar Batu Sele Bendesa Mas Beng.
Berdasarkan duduk perkara permasalahan almarhum I Nyoman Pintrik di atas, pertama-tama muncul karena berhadapan dengan desa adat dalam mengatur penggunaan setra. Secara hukum adat, kewenangan itu muncul karena aturanaturan tentang penggunaan setra, tertuang dalam awig-awig Desa Adat Beng. Dalam memutuskan penyelesaian masalah bagi almarhum I Nyoman Pintrik, prajuru desa juga diharuskan untuk menetapkan keputusan sesuai dengan sastra dresta sesuai Agama Hindu. Dengan demikian, di samping memutuskan tentang penukun setra, maka keputusannya juga harus terkait dengan ketentuan tata cara penguburan mayat berdasarkan Agama Hindu.
Permasalahan non Hindu menjadi persoalan yang paling spesifik dalam kasus almarhum I Nyoman Pintrik. Permasalahan ini menyangkut beberapa aspek yang tidak cukup dijelaskan dalam ketentuan awig-awig Desa Adat Beng, sehingga memerlukan penapsiran-penapsiran lebih lanjut terhadap pemahaman landasan filosofis yang mendasari isi awig-awig, yaitu sesuai ajaran Agama Hindu. I Nyoman Pintrik almarhum, sudah jelas sampai saat kematiannya bukanlah pemeluk Agama Hindu. Keinginan pihak keluarganya untuk menguburkannya di setra Desa Pakraman Beng, menyebabkan keharusan bagi almarhum I Nyoman Pintrik untuk berubah agama menjadi Hindu, agar proses penguburan secara Agama Hindu dapat dilaksanakan. Kalau saja almarhum sudah di Hindukan sebelum meninggal tentu tidak menimbulkan pertanyaan, karena perubahan agama seseorang menjadi Agama Hindu sudah ada mekanisme hukumnya, yaitu dengan melalui upacara "Sudi Wedani". Permasalahannya kemudian adalah karena belum jelasnya ketentuan yang mengatur boleh tidaknya upacara "sudi wedani" dilakukan terhadap orang yang telah meninggal. untuk itu diperlukan penapsiran-penapsiran tentang makna upacara dalam Agama
Hindu serta
meminta pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh Agama Hindu. Dalam kasus I Nyoman Pintrik, hak tersebut sudah dilakukan terhadap tokoh agama dari Geria Sanur, yang sekaligus merupakan staf penata Agama Hindu dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), sehingga cukup dapat dipercaya. Keluarga almarhum menjelaskan bahwa, beliau berpendapat memang dimungkinkan almarhum I Nyoman Pintrik dikuburkan atau diaben di setra desa adat secara Agama Hindu. Adapun caranya adalah dengan melalui beberapa tambahan upacara. Pertama, almarhum harus diberikan upacara peng-Hinduan (sudi wedani), serta diberikan upacara manusa yadnya lain yang belum diberikan semasa jidupnya, kemudian baru dilaksanakan upacara penguburan (pengabenan). Masih ada sedikit tambahan upacara tertentu yang harus dilakukan disetiap persimpangan jalan yang dilalui, sebagai simbolis pembuka jalan sang atma menuju alamnya yang baru. Ditambahkan pula, cara seperti tersebut dapat pula
digunakan apabila ada umat non Hindu lainnya yang akan menggunakan setra desa adat.
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum, kewenangan Desa Adat dalam pengaturan tanah setra muncul karena kedudukan Desa Adat dalam sistem nasional diakui memiliki otonomi sendiri. Lingkup otonomi Desa Adat meliputi berbagai aspek kehidupan, terutama menyangkut pelaksanaan norma-norma adat dan agama yang masih hidup dan berlaku dalam masyarakat setempat, serta tidak bertentangan dengan asas Pancasila. Tanah setra Desa Adat, adalah tempat penguburan mayat bagi masyarakat desa adat, sesuai dengan norma-norma adat dan agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Desa Adat, serta tidak bertentangan dengan asas Pancasila. Dengan demikian, maka secara logis desa adat memiliki dasar kewenangan yang kuat dalam pengaturan tanah setra Desa Adat-nya, sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma yang terkandung dalam asas negara, yakni Pancasila. Istilah setra berasal dari bahasa Bali yang maknanya sama dengan sema atau patunon. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah kuburan atau makam (Lestawi, 1999). Dalam masyarakat desa adat di Bali, pemahaman terhadap setra terkait dengan pemahaman siklus kehidupan, yang terdiri dari tiga proses yaitu lahir (upti), hidup (shtiti) dan mati (pralina) sesuai konsepsi Tri Hita Karana. Dalam hal ini, setra dapat diartikan sebagai bagian dari wilayah (palemahan) desa adat yang diperuntukan bagi masyarakatnya (pawongan), untuk digunakan sebagai tempat melangsungkan acara mengembalikan unsur jiwa (purusa) dan unsur badan wadah (prakerti) bagi anggota masyarakat yang telah mati kepada asalnya, baik melalui proses alami maupun upacara tertentu, berdasarkan norma-norma adat dan agama Hindu. Dari pengertian tersebut di atas, maka terlihat adanya hubungan yang erat antara desa adat dengan setra. Untuk melihat secara lebih jelas hubungan yang dimaksud, maka akan dicoba melihatnya dari masing-masing unsur desa adat yaitu unsur parhyangan, pawongan dan palemahan.
Dasar kewenangan Desa Adat dalam pengaturan tanah setra juga dapat bersumber dari faktor kepemilikan wilayah dan faktor fungsi. Dari faktor kepemilikan wilayah, tanah setra adalah bagian dari territoir (pelemahan) Desa Adat, dan tanah setra adalah milik Desa Adat. Oleh karena Desa Adat sebagai pemilik, maka wajarlah
memiliki kewenangan untuk mengatur hak miliknya
tersebut. Dari faktor fungsi, tanah setra adalah untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat Desa Adat. Oleh karenanya, Desa Adat sebagai lembaga sosial keagamaan, berkepentingan mengatur agar proses penggunaannya dapat berlangsung dengan baik, tanah setra tidak menimbulkan permasalahanpermasalahan yang dapat mengganggu ketentraman dalam masyrakat. Di sisi lain, Desa Adat dalam fungsinya sebagai lembaga agama Hindu, juga berkepentingan untuk mengatur penggunaan tanah setra, agar dari proses penggunaannya, mampu meningkatkan penghayatan tanah setra pemahaman terhadap nilai-nilai agama bagi masyarakat. Aturan-aturan hukum yang berlaku untuk penggunaan setra desa adat, berhubungan dengan keseluruhan hak dan kewajiban krama desa, yang diatur di dalam awig-awig desa adat. Hal ini terutama dalam hal upacara kematian karena akan berhubungan dengan pemanfaatan setra, sebagai tempat untuk peristirahatan terakhir dari umat manusia. Dalam awig-awig Desa Adat pada intinya aturan tersebut menyangkut 3 (tiga) aspek, yaitu: 1). Aspek tentang pemenuhan kewajiban sebagai krama desa; 2). Aspek pemenuhan persyaratan upacara keagamaan; dan 3). Aspek pemenuhan terhadap hari baik (dewasa). Harsono, B (2007) dalam hubungannya dengan hak penguasaan atas tanah menyatakan, bahwa konsep penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, dan dalam arti yuridism dan juga dapat beraspek perdata dan peraspek publik. Dengan demikian, hukum agraria adat dirumuskan sebagai keseluruhan dari kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum adat dan berlaku terhadap tanahtanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut “tanah adat” atau tanah Indonesia (Santoso, 2006).
Disebutkan pula bahwa hak menguasai ini memberikan kewenangan kepada negera untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan hal-hal yang bersangkutan dengan agraria dan menentukan serta mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang menyangkut agraria. Pelaksanaan atas hak menguasai dari negera ini dapat dikuasakan (dimandatkan) kepada daerahdaerah swatantara dan masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (Pide, 2009). Mengenai upaya penggunaan setra oleh umat non Hindu, sebenarnya dalam awig-awig Desa Adat Beng tidak ada diatur. Oleh karenanya, persoalan ini mengandung keragu-raguan hukum yang memerlukan mekanisme penyelesaian tertentu. Mengenai persoalan seperti ini, maka didekati dengan hukum Hindu yang lebih tinggi, yaitu Kitab Manawa Dharmasastra, yang merupakan Weda Smerti sekaligus sebagai Compedium hukum Hindu, yang menjadi salah satu sumber inspirasi Hukum Adat di Bali, yang tertuang dalam awig-awig desa adat.101
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu ditinjau dari awig-awig adalah diawali dari warga tersebut tinggal di wilayah Desa Pakraman dan menjadi warga Desa Pakraman tersebut, beragama Hindu, umat non Hindu diawali dengan menghindukan dulu (Sudi Widani), baru kemudian dilanjutkan upakara/upacara sesuai dengan awig-awig Desa Pakraman yang bersangkutan. Adapun implikasi konflik hukum terhadap pemanfaatan tanah setra serta Desa Adat, memang sering terjadi tapi masih di dalam batas wajar, pada umumnya konflik terhadap pemanfaatan tanah setra Desa Adat yang terjadi disebabkan karena beberapa hal seperti tidak ikut membanjar, kurang aktif dibanjarnya, sudah kesepekang (kanorahang) dan ini terjadi terhadap umat Hindu, sedangkan terhadap umat non Hindu belum pernah terjadi. Impilikasi konflik tersebut telah ada jalan keluarnya seperti terhadap krama tersebut dikenai penanjung batu sejenis sanksi adat yang ringan tanpa memberati warga/krama terlalu berat, seperti dikenai biaya lebih dari krama yang lain berupa
uang rupiah biasa atau uang kepeng dan lain-lain, sedangkan implikasi kedua yaitu dengan memanfaatan setra pengalu yang ada di desa adat berdekatan.
DAFTAR PUSTAKA Dharmayudha, I Made Suasthawa. (1990), Hubungan Adat Agama dan Kebudayaan, Bali. Kayumas Denpasar. Dharmayudha, I Made Suasthawa dan Cantika, I Wayan Koti. (1999).Filsafat Adat Bali, Cet. IV. Bali. Upada Sastra. Hadi, Soetrisno. (2001), Metodelogi Research, Yogyakarta. Andi. Harsono, Boedi. (2007), Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan Belas. Jakarta. Djambatan. Lestawi, I Nengah. (1999). Hukum Adat. Surabaya. Penerbit Paramita. Pide, A. Suriyaman Mustari. (2009). Hukum Adat Dulu, kini dan Akan Datang. Jakarta. Pelita Pustaka. Santoso, Urip. (2006). Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta. PT. Pradnya Paramita. Suardika, I Gede. (2010). Anatomi Konflik Adat di Desa Pakraman dan Cara Penyelesaiannya, Bali. Udayana University Press. Sudantra, I Ketut dan Parwata, A. A. Gede Oka. (2010), Wicara Lan Pamindanda. Bali. Udayana University Press. Sunggono, Bambang. (2006). Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.