PEMANFAATAN PATI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU DEKSTRIN
RIDWANSYAH
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
RIDWANSYAH. F325010011. Pemanfaatan Pati Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Dekstrin. Di bawah bimbingan M. Zein Nasution, Titi Candra Sunarti dan Anas M. Fauzi.
ABSTRAK
Batang kelapa sawit merupakan limbah dari peremajaan perkebunan kelapa sawit. Ekstraksi batang kelapa sawit menghasilkan ± 4,7% pati. Pati yang dihasilkan dikarakterisasi sifat fisik dan kimianya dibandingkan dengan pati komersil yaitu sagu dan tapioka. Pati tersebut dimodifikasi menjadi dekstrin dengan hidrolisis enzimatis dan asam dan dikarakterisasi mutu dekstrin yang dihasilkan. Pati kelapa sawit memiliki kadar lemak (0,37%), abu (0,68%), serat (1,78%) lebih tinggi dari pati sagu dan tapioka, tetapi memiliki kandungan amilosa (28,76%) yang lebih rendah. Suhu gelatinisasi pati kelapa sawit (770C) sama dengan sagu tetapi lebih besar dari tapioka, sedangkan derajat putih pati (83,02%) dan kejernihan pasta (15,4%T) lebih kecil dari sagu dan tapioka. Penerimaan pati kelapa sawit terhadap α-amilase lebih rendah dibandingkan dengan sagu dan tapioka sedangkan penerimaan pati kelapa sawit terhadap asam adalah hampir sama dengan sagu dan tapioka. Mutu dekstrin pati kelapa sawit baik hidrolisis secara enzimatis dan asam lebih rendah dari tapioka tetapi hampir sama dengan sagu berdasarkan kadar abu, viskositas dan kelarutan dalam air dingin dari dekstrin yang dihasilkan. Kata kunci : pati kelapa sawit, hidrolisis enzimatis dan asam, dekstrin
i
RIDWANSYAH. F325010011. Utilization of Oil Palm Starch for Dextrin Production. Supervised by M. Zein Nasution, Titi Candra Sunarti dan Anas M. Fauzi.
ABSTRACT The oil palm trunks become waste from the rejuvenation of the oil palm plantation. The extraction of the oil palm trunk yielded 4,7% of starch. The starch was extracted and characterized its physical and chemical properties and compared it to the commercial starches (sago and tapioca). The extracted starch was modified to be dextrin by enzymatic and acid hydrolysis. The oil palm starch contained lipid (0,37%), ash (0,68%), fiber (1,78%) which were higher than that of sago and tapioca. However, the amylosa content (28,67%) of the oil palm starch was lower. The gelatinization temperature of oil palm starch (770C) was similar with that of sago, but was higher than of tapioca. The whiteness degree of starch (83,02%) and the paste clarity (15,4%T) of the oil palm starch were lower than sago and tapioca. The α-amilase susceptibility of oil palm starch was lower than that tapioca and sago; however, the susceptibility of the oil palm starch on acid was almost similar with sago and tapioca. The dextrin quality of the oil palm starch, either from enzymatic or acid hydrolysis was lower than the tapioca; however, it was almost similar with the sago based on ash content, viscosity an solubility in cold water. Key words : oil palm starch, hydrolysis enzymatic and acid, dextrin
ii
@ Hak cipta milik Fransiskus Anggawen, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mik rofilm, dan sebagainya
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Pati Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Dekstrin adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pebimbing dan belum diajukan dalam bentuk apaun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2006
Ridwansyah NRP F325010011
PEMANFAATAN PATI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU DEKSTRIN
RIDWANSYAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Adapun judul dari tesis ini adalah Pemanfaatan Pati Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Dekstrin. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak M. Zein Nasution, Ibu Titi Candra Sunarti dan Bapak Anas M. Fauzi sebagai pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada staff laboran dan rekanrekan TIP atas kerjasamanya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak, ibu dan adik-adik serta keluarga atas kasih sayang, doa dan segala pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studinya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Agustus 2006 Penulis
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 13 Desember 1972 dari Bapak M. Hasan dan Ibu Hanifah. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar pada SD Negeri 060908 Medan pada tahun 1985, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 4 Medan pada tahun 1988, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 13 Medan pada tahun 1991. Pada tahun 1991 penulis diterima menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 1996. Penulis diterima menjadi staff Pengajar Fakultas Pertanian USU tahun 1999, pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan Magister (S2) di Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) dengan biaya BPPS.
iv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................ DAFTAR GAMBAR ................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. PENDAHULUAN ....................................................................................... Latar Belakang .................................................................................... Tujuan Penelitian................................................................................. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................
vi vii ix
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... Potensi Batang Kelapa Sawit .............................................................. Pati ...................................................................................................... Alfa Amilase ........................................................................................ Liquifikasi Pati ..................................................................................... Liquifikasi Pati dengan Enzim Alfa Amilase ............................... Liquifikasi Pati dengan Asam Klorida ........................................... Dekstrin .............................................................................................. Pengetian dan Klasifikasi Dekstrin ............................................... Proses Dekstrinisasi..................................................................... Kimia Konversi ............................................................................. Penggunaan Dekstrin ..............................................................
1 1 3 3 4 4 5 9 11 11 12 13 13 14 19 21
BAHAN DAN METODELOGI PENILITIAN ................................................ Tempat Dan Waktu Penelitian............................................................. Bahan Dan Alat ................................................................................... Metode Penelitian................................................................................ Ekstraksi Pati Kelapa Sawit.......................................................... Karakterisasi Pati ......................................................................... Pengaruh Waktu Proses Terhadap Laju Dekstrinisasi ................. Proses Pembuatan Dekstrin......................................................... Karakterisasi Dekstrin ..................................................................
23 23 23 24 24 24 24 26 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... Ekstraksi Pati Kelapa Sawit................................................................. Karakterisasi Pati ................................................................................ Produksi Dekstrin ................................................................................ Karakterisasi Mutu Dekstrin ................................................................ Potensi Pemanfaatan Limbah Batang Kelapa Sawit ...........................
30 30 34 40 44 62
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... Kesimpulan.......................................................................................... Saran ...................................................................................................
67 67 67
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
68
LAMPIRAN ................................................................................................
74
v
DAFTAR TABEL
1
Halaman 3 Volume impor dekstrin Indonesia .............................................................
2
Potensi batang kelapa sawit dari kegiatan peremajaan ...........................
4
3
Kandungan amilosa dan amilopektin dari beberapa sumber pati.............
7
4
Komposisi pati kelapa sawit, tapioka dan sagu ........................................
9
5
Karakteristik dan sifat pirodekstrin ..........................................................
17
6
Komposisi kimia kandungan jaringan vaskular dan parenkim batang kelapa sawit ............................................................................................
30
7
Komposisi pati kelapa sawit, sagu dan tapioka .......................................
34
8
Sifat-sifat fisik pati kelapa sawit, sagu dan tapioka ..................................
35
9
Sifat amilografi kelapa sawit, sagu dan tapioka........................................
38
10 pH suspensi pati sebelum dan sesudah penambahan HCl.....................
42
11 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis enzimatis dan asam......................
45
12 Hubungan panjang rantai degan warna dalam lugol ...............................
46
13 Asumsi dasar produksi pati kelapa sawit.................................................
64
14 Biaya tetap produksi pati kelapa sawit ....................................................
65
15 Biaya tidak tetap produksi pati kelapa sawit............................................
65
16 Biaya pengolahan kayu sawit terkompregnasi .......................................
66
vi
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman 6 Struktur rantai linier dari molekul amilosa.................................................
2
Struktur molekul amilopektin ....................................................................
6
3
Pengaruh dari aktivitas enzim amilase pada amilopektin.........................
10
4
Proses dekstrinisasi pati dengan enzim α-amilase .................................
15
5
Mekanisme reaksi transglukosidasi..........................................................
20
6
Mekanisme reaksi hidrolisis dan repolimerisasi .......................................
21
7
Tahapan proses ekstraksi pati kelapa sawit.............................................
25
8
Proses dekstrinisasi secara enzimatis......................................................
27
9
Proses dekstrinisasi secara hidrolisis asam .............................................
28
10 Proses peremajaan tanaman kelapa sawit PTPN 2 Langkat ...................
31
11 Bagian batang yang akan diekstraksi.......................................................
31
12 Serbuk kayu hasil penyerutan dari batang kelapa sawit ..........................
32
13 Neraca masa pembuatan pati kelapa sawit..............................................
33
14 Bentuk granula pati tapioka, sagu dan kelapa sawit tanpa polarisasi cahaya.....................................................................................................
36
15 Bentuk granula pati tapioka, sagu dan kelapa sawit dengan polarisasi cahaya.....................................................................................................
36
16 Pati tapioka, sagu dan kelapa sawit .........................................................
37
17 Pola amilografi pati tapioka, sagu dan kelapa sawit.................................
38
18 Bagian yang tidak dapat diserang α-amilase ...........................................
41
19 Hidrolisis enzimatis pati tapioka, sagu dan kelapa sawit..........................
41
20 Hidrolisis asam terhadap pati tapioka, sagu dan kelapa sawit .................
43
21 Warna dekstrin yang ditetesin larutan lugol..............................................
46
22 Kadar abu dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis .
48
23 Kadar abu dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam ........
49
24 Kadar serat dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis
50
25 Kadar serat dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam ......
51
26 Kelarutan air dingin dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis .................................................................................................
52
27 Kelarutan air dingin dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam .......................................................................................................
53
28 Viskositas dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis ..
54
vii
29 Viskositas dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam.........
55
30 Derajat putih dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis .................................................................................................
56
31 Dekstrin komersial, tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis.
56
32 Derajat putih dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam.....
57
33 Dekstrin komersial, tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam .......
58
34 Kejernihan pasta dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis .................................................................................................
59
35 Kejernihan pasta dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam.......................................................................................................
60
36 Derajat asam dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam....
61
37 Pemanfaatan limbah batang kelapa sawit................................................
63
38 Diagram alir peralatan ekstraksi pati kelapa sawit ...................................
64
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 74 1 Analisa sifat fisik-kimia pati........................................................................ 2 Karakterisiasi dekstrin ...............................................................................
79
3 Hasil pengamatan nilai DE dan DP terhadap hidrolisis enzimatis pati kelapa sawit, sagu dan tapioka .................................................................
82
4 Hasil pengamatan nilai DE dan DP terhadap hidrolisis asam pati kelapa sawit, sagu dan tapioka ............................................................................
83
5 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis enzimatis .......................................
84
6 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis asam ..............................................
85
7 Sidik ragam mutu dekstrin hidrolisis enzimatis..........................................
86
8 Sidik ragam mutu dekstrin hidrolisis asam ................................................
89
ix
PENDAHULUAN Latar Belakang Pati merupakan zat yang penting dalam dunia perdagangan dan industri terutama pada negara berkembang di seluruh dunia. Pati tersebut dimanfaatkan dalam industri tekstil, pengolahan pangan, produk-produk farmasi, kertas, dan industri polimer sintetik (Lawal dan Adebowale 2005). Pati dapat diperoleh dengan cara mengekstrak dari bagian beberapa tanaman seperti akar dan umbi, batang dan biji-bijian. Indonesia merupakan daerah yang cukup potensial sebagai penghasil pati seperti ubi kayu, sagu, jagung, ubi jalar dan lain sebagainya karena tanaman tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Disamping itu ada upaya baru untuk menghasilkan pati dari batang kelapa sawit. Areal perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh dengan laju sekitar 11% per tahun, dari 1 126 juta ha pada tahun 1991 mencapai sekitar 3 584 juta ha pada tahun 2001(Susila 2003). Kelapa sawit yang pertama kali ditanam dalam skala besar di Indonesia pada tahun 1978, akan segera mengakhiri masa produktifnya (Guritno dan Darnoko 2003). Rata-rata luas areal peremajaan selama kurun waktu tahun 2001 – 2005 diperkirakan mencapai 32 155 ha/tahun. Limbah padat berupa batang atau kayu sawit dan pelepah kelapa sawit akan dihasilkan masing-masing sebesar 2 257 281 ton dan 514 480 ton per tahun, sedangkan pada kurun waktu tahun 2006 – 2010 ada kenaikan di dalam areal tanaman kelapa sawit yang diremajakan yaitu rata-rata setiap tahunnya seluas 89 965 ha. Pada kurun waktu tersebut batang dan pelepah hasil peremajaan akan mencapai berturut-turut 6 315 543 ton dan 1 439 440 ton per tahun. Sebagai limbah lignoselulosa, pemanfaatan kedua limbah padat tersebut perlu mendapatkan perhatian. Hal ini mengingat bahwa cara-cara yang telah dilakukan sekarang ini yaitu dengan cara bakar akan mencemari udara dan juga adanya pelarangan sesuai dengan aturan yang tertuang di dalam Rencana Undang-Undang Perkebunan. Membiarkan batang dan pelepah hasil peremajaan dapat menimbulkan masalah bagi tanaman kelapa sawit baru yaitu dijadikan sebagai sarang serangga dan tikus. Hasil evaluasi sifat fisik dan kimia batang dan pelepah kelapa sawit menunjukkan bahwa kedua limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri berbasis serat seperti industri
pulp dan kertas, industri pati, serta industri perkayuan. Pemanfaatan limbahlimbah padat ini tentunya akan memberikan keuntungan tambahan bagi perkebunan kelapa sawit (Guritno dan Darnoko 2003). Sampai saat ini pemanfaatan batang kelapa sawit untuk keperluan industri masih terbatas. Ginting (1995) memanfaatkan batang kelapa sawit menjadi pati dengan cara mengekstrak 2 meter dari pucuk batang kelapa sawit dengan rendemen pati dari batang kelapa sawit adalah 7,15%. Selanjutnya pati tersebut dapat dijadikan bahan pangan maupun bahan baku untuk fermentasi alkohol (Tomimura 1992). Dari hasil penelitian pendahuluan Azemi et al. (1999) menyatakan pati kelapa sawit memiliki potensi untuk menggantikan pati komersial baik dalam bidang pangan dan non pangan. Untuk beberapa keperluan industri, pati yang digunakan merupakan pati hasil modifikasi atau turunannya. Modifikasi pati bertujuan untuk memperbaiki atau menambah sifat-sifat fungsional tertentu, yang tidak terdapat pada pati asli sehingga aplikasinya dalam industri menjadi lebih luas. Sifat-sifat fungsional tersebut antara lain memperbaiki kelarutan dalam air dingin dan sifat-sifat gelatinisasi, pembentukan gel, pembentukan film dan sebagainya. Salah satu produk pati termodifikasi diantaranya adalah dekstrin. Dekstrin adalah suatu produk hidrolisat parsial dari pati, berbentuk tepung halus, bewarna putih sampai agak kekuningan. Dalam pembuatan dekstrin rantai panjang pati dipotong oleh enzim atau katalis asam menjadi molekul
rantai
pendek dengan jumlah unit glukosa antara 6 sampai 10 unit. Proses ini mengakibatkan terjadinya perubahan sifat-sifat diantaranya menjadi larut pada air dingin, kurang menyerap air, tekstur menjadi lembut dan daya rekat meningkat (Soekarto et al. 1991). Dekstrin sangat dibutuhkan dalam industri, baik industri pangan dan industri non pangan. Kebutuhan dekstrin dan pati termodifikasi dari tahun ke tahun terus meningkat, dan kebutuhan tersebut masih diimpor dari luar negeri. Volume impor dekstrin dan pati termodifikasi Indonesia disajikan pada Tabel 1. Bahan baku untuk pembuatan dekstrin umumnya dibuat dari pati komersial seperti tapioka, jagung, sagu dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini akan dimanfaatkan batang kelapa sawit yang merupakan limbah dari perkebunan menjadi pati dan dikonversi menjadi dekstrin. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi impor dekstrin Indonesia. Selain itu juga untuk meningkatkan nilai tambah dari industri perkebunan kelapa sawit. Sebagai
2
pembanding dalam penelitian ini juga dibuat dekstrin dari jenis pati komersial yaitu pati sagu dan tapioka. Tabel 1 Volume impor dekstrin dan pati termodifikasi Indonesia Tahun
Berat bersih (kg)
Nilai (US $)
2001
87 927 717
50 184 576
2002
80 319 465
41 875 152
2003
78 752 720
34 064 818
2004
77 720 843
35 328 984
2005
93 070 990
44 020 497
Sumber : BPS (2001 - 2005) Tujuan Penelitian 1. Mempelajari proses ekstraksi pati kelapa sawit dan mengkarakterisasi pati kelapa sawit yang dihasilkan, dibandingkan dengan sagu dan tapioka. 2. Mempelajari proses dekstrinisasi dari pati kelapa sawit, sagu dan tapioka secara enzimatis dan asam 3. Membandingkan mutu dekstrin dari pati kelapa sawit, sagu dan tapioka. Ruang Lingkup Penelitian 1. Kelapa sawit yang digunakan berasal dari limbah batang peremajaan PTPN 2, Gohor Lama, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, berumur 25 tahun dan varietas Tenera. 2. Pati komersial sebagai pembanding sagu dan tapioka berasal dari industri kecil di Bogor daerah Kedung Halang dan Pabrik Budi yang selanjutnya dikeringkan dan disaring dengan saringan 80 mesh. 3. Proses dekstrinisasi secara enzimatis menggunakan α-amilase thermofil dan secara asam dengan HCl.
3
TINJAUAN PUSTAKA Potensi Batang Kelapa Sawit Kegiatan replanting atau peremajaan tanaman kelapa sawit di Indonesia mulai berjalan secara besar-besaran pada awal tahun 1990-an karena pada umumnya penanaman kelapa sawit secara komersial dilakukan pada awal tahun 1960.
Diperkirakan rata-rata luas areal peremajaan pada kurun waktu tahun
2001-2005 mencapai 32 155 ha/tahun. Dari luas areal tersebut akan dihasilkan batang hasil peremajaan 2 257 281 ton. Pada kurun waktu tahun 2006 – 2010, rata-rata luas areal yang akan diremajakan seluas 89 965 ha. Dengan perkataan lain, ada kenaikan lebih kurang sebesar 2,5 kali luas areal yang diremajakan pada kurun waktu tahun 2001 – 2005. Pada kurun waktu tersebut batang hasil peremajaan akan mencapai 6 315 543 ton. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Limbah kelapa sawit berupa batang hasil kegiatan peremajaan akan bertambah pada kurun waktu berikut, karena penanaman kelapa sawit meningkat pesat pada tahun 1990 (Guritno dan Darnoko 2003). Tabel 2 Potensi batang kelapa sawit dari kegiatan peremajaan Tahun
Total luas areal
Batang hasil
peremajaan (ha)1
peremajaan (ton)2
2001
16 068
1 127 974
2002
33 141
2 326 498
2003
21 803
1 530 571
2004
14 018
984 064
2005
75 745
5 317 299
2006
98 549
6 918 140
2007
90 657
6 364 121
2008
11 919
836 714
2009
115 114
8 081 003
2010
133 584
9 377 597
1
Dihitung berdasarkan penambahan luas areal pada 25 tahun yang lalu
2
Dihitung berdasarkan 70,2 ton/ ha dari luas areal yang diremajakan
Sumber : (Guritno dan Darnoko 2003)
Pohon kelapa sawit yang diremajakan umurnya sudah lebih dari 25 tahun, mempunyai tinggi 10-15 m dengan diameter batang berkisar antara 45 – 65 cm yang diukur dari ketinggian 1,5 meter dari tanah. Bagian kulitnya mempunyai ketebalan 3 – 3,5 cm (Susila 2003 ; Guritno dan Darnoko 2003). Pati Pati adalah cadangan karbohidrat dari tanaman, pati ini disimpan dalam butiran granula yang ukuran diameter selnya berkisar 1 – 100 µm (Wurzburg, 1989). Pati secara alami terdapat dalam senyawa–senyawa organik yang tersebar luas seperti di dalam biji-bijian, akar, batang dari tanaman yang berdaun hijau yang disimpan sebagai energi selama dormansi dan perkecambahan (Smith 1982). Secara histologis, pati disimpan dalam bentuk plastid yang dinamakan amiloplast atau kloroplast di dalam sel, Pati terdapat dalam bentuk ikatan dengan air, lemak, silikat, serta senyawa-senyawa lainnya terutama fosfat. Dilihat dari susunan kimianya, pati adalah polimer dari glukosa atau maltosa. Unit terkecil di dalam rantai pati adalah glukosa yang merupakan hasil proses fotosintesa di dalam bagian tubuh tumbuh-tumbuhan yang mengandung klorofil. Pembentukan polimer yang lebih panjang dilakukan dengan bantuan D-enzim untuk amilosa dan Q-enzim untuk amilopektin (Tjokroadikoesoemo 1986). Pati adalah polimer yang seluruhnya terdiri dari unit D-glukosa, dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya (Wilbraham dan Matta 1992; Winarno 1997). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glikosidik, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glikosidik sebanyak 4 – 5% dari berat total (Winarno 1997). Amilosa merupakan homopolimer berantai lurus dengan ikatan α (1,4)glikosidik. Panjang rantainya bervariasi tergantung dengan jenis tanaman, secara umum panjang rantai amilosa 500-2000 unit glukosa. Sedangkan amilopektin terdiri dari molekul D-glukosa yang berikatan α-(1,4) dan juga mengandung ikatan silang α-(1,6). Ikatan ini menyebabkan penampilan molekul amilopektin yang bercabang–cabang seperti semak. Biasanya 24 sampai 30 glukopiranosa 5
berada di titik percabangan amilopektin. Setiap percabangan terdiri atas 25 sampai 30 unit D-glukosa. Rumus bangun dari amilosa dan amilopektin disajikan pada Gambar 2 dan 3 berikut ini (Wilbraham dan Matta 1992; Smith 1982).
CH2OH H HO
CH2OH
O
H
H OH
H
H
OH
H
O
O
H
CH2OH H
OH
H
H
OH
H H
O
O
H
OH
H OH
H
OH
n Gambar 1 Struktur rantai linier dari molekul amilosa
CH2OH HH O
O
CH2OH H
OH
H
H
OH
HH
HH
O
OH
H
H
OH
H
Ikatan a -1,6 glikosidik
HO
H
CH2OH
O
OH
O
O
CH2
H
HH
O
O
CH2OH H
OH
H
H
OH
HH
O
O
H
OH
H
H
OH
O
Ikatan α-1,4 glikosidik Gambar 2 Struktur molekul amilopektin. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin di dalam pati sangat bervariasi, tergantung jenis tanaman asalnya. Pati yang kecil kandungan amilosanya semakin lengket pati tersebut sedangkan pati yang kandungan amilosanya tinggi berperan dalam pembentukan gel dan menghasilkan film yang
6
baik (Winarno 1997; Smith 1982). Perbandingan kandungan antara amilosa dan amilopektin dari beberapa sumber pati disajikan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Kandungan amilosa dan amilopektin dari beberapa sumber pati Sumber pati
Amilosa (%, bb)
Amilopektin (%, bb)
Jagung
28
72
Kentang
21
79
Gandum
28
72
Tapioka
17
83
Jagung waxy
0
100
Sorgum
28
72
Beras
17
83
Sagu
27
73
Garut
20
80
50-80
20-50
Amilomaize
Pati batang kelapa sawit mempunyai bentuk butiran (granula) agak bulat dan bersifat memadat ( truncated ). Ukurannya hampir sama dengan pati jagung dan waxymaize, tetapi bentuknya seperti pati tapioka. Komposisi pati kelapa sawit, tapioka dan sagu disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Komposisi pati kelapa sawit, tapioka dan sagu Jumlah (%)
Komponen Kelapa sawita
Tapiokab
Sagub
Air
12,07
12,04
17,6
Pati
84,98
87,98
73,08
Protein
0,41
0,90
0,65
Lemak
0,003
-
-
Abu
0,6
0,34
0,32
Serat
0,675
1,44
1,42
Amilosa
37,28
29,82
34,13
a
Ginting (1995),b Chilmijati (1999) 7
Ukuran granula pati sangat bervariasi (2 – 100 µm) tergantung dari sumber patinya. Sifat yang penting dari pengaruh ukuran granula pati adalah perbedaan derajat gelatinisasi. Bila pati mentah dimasukan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Peningkatan volume granula pati yang terjadi didalam air pada suhu 55 - 650C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya dan bersifat dapat kembali kebentuk pati semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa dan tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno 1997). Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi melalui tiga tahapan yaitu : (1) Penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekulmolekul granula,(2) Pengembangan granula secara lambat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefringence, dan (3) Jika suhu terus naik molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels 1985). Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadi gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan.
Terjadinya
translusi
larutan
pati
tersebut
biasanya
diikuti
pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antarmolekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Suhu gelatinisasi tergantung juga pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut makin lambat tercapai. Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati dan merupakan suatu kisaran. Dengan viskosimeter suhu gelatinisasi dapat ditentukan, misalnya jagung 62 – 720C, beras 68 – 780C, gandum 54,5 - 640C dan tapioka 52 – 640C. Granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam-putih. Sifat ini disebut birefregence. Pada waktu granula pati mulai pecah, sifat birefregence ini akan menghilang (Winarno 1997). Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Visco-amylograph, dan Diffrential Scanning Calorimetry (DSC) (BeMiller dan Whistler 1996). Selain itu, suhu gelatinisasi juga dapat ditentukan dengan pengamatan mikrokopis baik
8
dengan mikroskop elektron maupun mikroskop terpolarisasi yang didasari oleh hilangnya sifat birefregence. Alfa Amilase Amilase merupakan enzim yang mempunyai aktivitas memecah molekul pati, glikogen dan turunan polisakarida. Amilase menghidrolisis ikatan α-(1,4) dan atau α-(1,6) glikosidik. Amilase yang dapat memecah ikatan α-(1,4) dibagi dua yaitu (1) endo-enzim yang memecah ikatan α-(1,4) yang berada ditengah rantai polimer, dan (2) ekso-enzim yang memecah ikatan α-(1,4)dari ujung polimer (Judoamidjodjo 1989 ; Whitaker 1994). Alfa amilase adalah endo-enzim yang bekerja memutuskan ikatan α-(1,4) secara acak di bagian dalam molekul baik pada amilosa dan amilopektin. Karena pengaruh aktivitasnya, pati terputus-putus menjadi dekstrin dengan rantai sepanjang 6 – 10 unit glukosa. Jika waktu reaksi diperpanjang, dekstrin tersebut dapat dipotong-potong menjadi campuran antara glukosa, maltosa, maltotriosa, dan ikatan lain yang lebih panjang. Secara umum α-amilase stabil pada pH 5,5 – 8,0; aktivitas optimum αamilase secara normal berada pada pH 4,8 – 6,5; tetapi bentuk kurva aktivitas pH berbeda untuk enzim yang dihasilkan dari sumber berbeda. Amilase dari Bacillus subtilis mempunyai aktivitas optimum pada kisaran pH 5 – 7, sedangkan amilase dari Bacillus stearothermophilus pada pH 3. Aktivitas α-amilase menurun secara cepat pada suhu diatas 500C, tetapi dengan adanya ion Ca2+ penurunan aktivitas α-amilase pada suhu tersebut dapat diperlambat Baciilus licheniformis menunjukkan spektrum pH yang luas diantara pH 5 dan 9. Enzim ini dapat dikatakan tidak bergantung kepada kalsium. Stabilitasnya yang tinggi menyebabkan enzim ini dapat dimanfaatkan pada suhu sampai 1050C. Alfa amilase mempunyai rantai peptida tunggal pada gugusan proteinnya dan setiap molekul mengandung satu g atom Ca. Adanya kalsium yang berikatan dengan molekul protein enzim, membuat enzim α-amilase bersifat relatif tahan terhadap suhu, pH, dan senyawa seperti urea atau enzim-enzim protease. Karena peranannya didalam industri, α-amilase dari berbagai sumber telah dipelajari secara rinci. Genus Bacillus merupakan sumber yang paling penting.
9
Bacillus amyloliquefaciens dan Baciilus licheniformis dikenal menghasilkan enzim yang bersifat termostabil (Suhartono 1989). Aktivitas kerja enzim amilase terhadap ikatan yang terdapat pada amilopektin disajikan pada Gambar 3 berikut (Pomeranz 1991).
R-enzim
α - amilase
α-1.6 glukosidase
Amiloglukosidase
β - amilase
Glukosa
Maltosa
Gambar 3 Pengaruh dari aktivitas enzim amilase pada amilopektin. Hidrolisis amilopektin oleh α-amilase menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin, yaitu oligisakarida yang teridiri dari empat atau lebih residu glukosa yang mengandung ikatan α-1,6-glikosidik. Hidrolisis amilosa oleh α-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degeredasi ini terjadi sangat cepat diikuti pula dengan penurunan viskositas dengan cepat. Tahapan kedua relatif lambat dengan pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir.
10
Likuifikasi Pati Likuifikasi adalah proses dispersi granula pati yang tidak larut di dalam air dan diikuti dengan hidrolisis parsial dengan menggunakan amilase termostabil. Selain enzim dapat juga digunakan asam sebagai katalis. Likuifikasi merupakan proses yang penting dan mendasar dalam menghidrolisis pati. Jika proses ini tidak berlangsung dengan baik maka berbagai masalah akan muncul sepeti sulitnya proses filtrasi larutan yang diproses. Proses likuifikasi yang baik penting untuk keberhasilan proses sakarifikasi dan isomerisasi (Fogarty 1983; Taji 1988; Olsen 1995). Likuifikasi Pati dengan α-Amilase Likuifikasi adalah tahap awal dari proses hidrolisis pati, misalnya pada pembuatan dekstrin, glukosa dan sirup fruktosa. Dalam proses likuifikasi dengan α- amilase akan terjadi pemutusan ikatan α-1,4 glikosidik. Kesempurnaan dan lama proses likuifikasi akan menentukan komposisi akhir produk likuifikasi (Dziedzic dan Kearsley 1984). Menurut Bigelis (1993) proses likuifikasi yang diawali dengan proses gelatinisasi, dimana larutan pati yang sudah digelatinisasi mengandung 30 – 40 % bahan padatan ditambahkan α-amilase termostabil yang dihasilkan Bacillus licheniformis dapat bekerja pada pH 6,5 dan suhu 103 – 1070C selama 5 – 10 menit. Setelah itu suhu diturunkan menjadi 950C selama satu sampai dua jam yang memungkinkan hidrolisis pati ini menjadi sirup dengan DE 0,5 – 1,5. Hidrolisis dibiarkan terus berlangsung sampai mencapai DE 10 – 15. Proses likuifikasi baik pada suhu lebih tinggi maupun lebih rendah tergantung pada efisensi kerja dari heat-stable bacterial α- amilase. Likuifikasi merupakan proses yang penting dan mendasar dalam proses pengolahan pati dan bilamana proses ini tidak berlangsung dengan baik, berbagai masalah seperti sulitnya filtrasi, turbilitas larutan yang diproses dan lainlain terjadi. Faktor yang paling penting untuk likuifikasi pati yang ideal yaitu larutan pati yang mengandung α-amilase dipanaskan pada suhu 105 – 1070C secepat mungkin (Taji 1988). Menurut Pomeranz (1991) pada proses likuifikasi dengan α-amilase pati harus terlebih dahulu digelatinisasi, hal ini disebabkan αamilase
mempunyai
aktivitas
yang
rendah
terhadap
pati
yang
belum
digelatinisasi.
11
Likuifikasi
dengan
α-amilase
menyebabkan
komponen
amilosa
terhidrolisis menjadi produk glukosa, maltosa, maltotriosa, maltopentaosa dan maltoheksosa. Pemecahan maltoheptosa menghasilkan maltoheksosa dan glukosa, sedangkan maltooktaosa menjadi maltoheksosa dan maltosa. Likuifikasi dengan α-amilase tidak dapat memutuskan ikatan α-1,4-glikosidik yang berdekatan dengan ikatan α-1,6-glikosidik pada pati dan glikogen (Yamamoto 1988). Hidrolisis amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan α- limit dekstrin. Produk α- limit dekstrin dengan minimal empat residu glukosa masih mempunyai ikatan glikosidik α-1,6 (Pomeranz 1991). Likuifikasi Pati dengan Asam Klorida Hidrolisis
asam
adalah
suatu
metode
yang
digunakan
untuk
menghasilkan thin boiling starch. Perlakuan dengan asam lemah dari granula pati cenderung memotong ikatan α-D-glikosidik dari fraksi amilosa pati jagung, menurunkan ukuran molekul dan viskositas pasta panas. Asam yang digunakan biasanya HCl dan H2SO4 di dalam kondisi terkontrol. Sifat-sifat birefregence tidak terpengaruh, hal ini mengindikasikan bahwa proses hidrolisis cenderung berlangsung di dalam daerah amorf daripada daerah kristalin dari granula. Perlakuan hidrolisis asam memungkinkan pati untuk dimasak didalam sistem padatan gula yang tinggi, karena retrogradible amylose ada dalam konsentrasi yang tinggi sehingga dapat diperoleh gel yang kuat (Smith 1982). Modifikasi asam lebih lanjut akan menghasilkan dekstrin yang memiliki viskositas yang rendah (Fleche 1985). Pada
likuifikasi
ini,
asam
akan
menghidrolisis
ikatan
glikosidik,
memendekkan rantai. Ikatan α-1,4 lebih mudah terhidrolisis daripada ikatan α1,6. Hidrolisis asam lebih mudah menyerang daerah amorf dibandingkan dengan daerah kristalin. Pada daerah kristalin, struktur linier dengan ikatan α-1,4 lebih tahan terhadap asam. Hal ini disebabkan bahwa daerah tersebut tersusun sangat rapat sehingga sukar dimasuki air atau asam. Bagian daerah amorf walaupun tersusun dari ikatan α-1,6 tetapi merupakan daerah yang kurang padat, sehingga dapat ditembus oleh air dan selanjutnya memudahkan penetrasi asam untuk menghidrolis pati (Wurzburg 1986). Dalam proses likuifikasi asam, akan terjadi pemutusan ikatan –C-O-Cdengan menghasilkan gula dan beberapa polimernya. Bila diteruskan proses tersebut akan meningkatkan gula dengan bobot molekul rendah, kemudian
12
polimer-polimer tersebut dihidrolisa menjadi glukosa. Asam memecah pati secara acak dan gula yang terbentuk sebagian besar merupakan gula pereduksi (Wurzburg 1986). Penggunaan asam pekat pada proses hidrolisis membutuhkan biaya yang lebih mahal dan peralatan yang tahan korosi dibanding dengan penggunaan asam encer. Di samping itu hidrolisis dengan asam pekat dapat mempercepat proses hidrolisis akan tetapi menurunkan hasil hidrolisis karena glukosa lebih mudah diuraikan oleh asam pekat. Penggunaan asam encer memperlambat proses hidrolisis karena adanya daya tahan dari kristal pati, akan tetapi mengurangi proses penguraian glukosa oleh asam encer. Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa penggunaan HCl dengan konsentrasi 0,1 % dalam proses likuifikasi menunjukkan hasil yang optimal (Ega 2002). Hidrolisis asam mempunyai kelemahan antara lain yaitu diperlukan peralatan yang tahan korosi, menghasilkan sakarida dengan spektra-spektra tertentu saja karena katalis asam menghidrolisis secara acak. Kelemahan lain, jika nilai dekstrosa
ekuivalen
ditingkatkan, disamping terjadi degradasi
karbohidrat juga terjadi rekombinasi produk degradasi yang yang dapat mempengaruhi warna, rasa, bahkan menimbulkan masalah teknis (Judoamidjojo 1989). Dekstrin Pengertian dan Klasifikasi Dekstrin Dekstrin adalah suatu produk yang merupakan hasil modifikasi pati melalui proses hidrolisa asam, enzimatis dan pemanasan kering (Wurzburg 1986). Menurut Somaatmadja (1984) dekstrin adalah oligosakarida (beberapa monosakarida) yang dapat diperoleh dengan menghidrolisis pati (polisakarida). Dekstrin murni berupa serbuk (bubuk), bewarna putih atau hampir putih, tidak mempunyai rasa, tidak berbau dan dapat larut dalam air dingin. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (1992) dekstrin didefinisikan sebagai salah satu produk hidrolisis pati, berbentuk serbuk amorf, bewarna putih sampai kekuningkuningan. Pengertian dekstrin sangat luas mencakup setiap produk degradasi pati yang diperoleh secara kimia maupun enzimatis, tetapi secara praktis kata dekstrin dipakai untuk produk yang mengacu yang dihasilkan dari proses
13
pirokonversi pati. Pirokonversi adalah proses pemanasan kering pati, produknya terdiri dari tiga kelompok yaitu dekstrin putih, dekstrin kuning dan British gum (Fleche, 1985). Berdasarkan tahapan pembentukan dalam proses hidrolisis pati, dikenal tiga jenis dekstrin yaitu amilodekstrin, eritrodekstrin dan akrodekstrin. Pada tahap awal konversi akan dihasilkan amilodekstrin yang memiliki sifat larut dalam air. Amilodekstrin akan memberikan warna biru apabila direaksikan dengan larutan iodium. Konversi berikutnya dihasilkan jenis dekstrin yang kedua yaitu eritrodekstrin yang akan memberikan warna merah kecoklatan bila direaksikan dengan larutan iodium. Tahap terakhir dari konversi dihasilkan adalah eritrodekstrin yang apabila ditetesi dengan iodium tidak akan memberikan warna (Garard 1977). Proses Dekstrinisasi Proses dekstrinisasi pati dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu (a) hidrolisis dengan α-amilase, (b) hidrolisis dengan asam klorida, (c) pemanasan kering (Satterwaite dan Iwinski 1973 ; Fleche 1985 ; Wurzburg 1986). 1. Hidrolisis dengan α-amilase Secara umum produksi dekstrin dilakukan proses likuifikasi dengan αamilase dari bakteri, kemudian inkubasi dengan suhu 95 – 970C. Lamanya inkubasi tergantung dari jenis produk yang diinginkan, selanjutnya diikuti dengan proses penjernihan larutan pati terlikuifikasi, dan dikeringkan dengan spray drying. Proses Dekstrinisasi pati secara hidrolisis dengan α-amilase disajikan pada Gambar 5. Produksi dekstrin dengan hidrolisis α-amilase berlangsung dalam dua tahap, pemanasan bubur pati pada suhu 1000C atau lebih tinggi untuk mengembangkan dan menggelatinisasi pati diikuti dengan hidrolisis enzimatis pada suhu 80–950C. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan dekstrin antara 2 – 4 jam (Pithcer 1980). Alfa amilase komersial yang berasal dari Bacillus licheniformis tahan terhadap suhu tinggi. Enzim ini aktif dan stabil pada proses likuifikasi larutan pati sampai suhu 1100C, dikenal dengan nama dagang Termamyl (Novo Enzyme) (Judoammidjojo 1989). Reaksi hidrolisis α-amilase termostabil tersebut disajikan sebagai berikut.
14
α-amilase Pati + n (H2O)
G1 + G2 + G3 + G4 + G5 + ….. Termostabil
+ Oligosakarida bercabang
Tahapan hidrolisis α-amilase termostabil yang berasal dari Bacillus licheniformis terhadap pati adalah sebagai berikut ; pada tahap pertama amilosa dihidrolisis menjadi G5 – G9 dalam jumlah yang lebih banyak dari pada G2 dan G3. pada tahap berikutnya terbentuk G1 dan G5 dalam jumlah yang meningkat, sementara pembentukan G6 dan G9 menurun. Cara hidrolisis α-amilase pada amilopektin hampir sama dengan amilosa (Endo 1988).
α-amilase 0,5 – 2 kg
Air 200 l
Larutan pati PH 6 – 6,5
Pati 1000 kg
Likuifikasi Pati Pemanasan 105 –1070C, 3 – 5 menit
Inkubasi 95 – 970C
Pemanasan Inaktivasi Enzim
Penjernihan Larutan Likuifikasi
Pembubukan
Dekstrin Gambar 4 Proses dekstrinisasi pati dengan α-amilase (Taji, 1988). Turunan pati yang diperoleh melalui proses likuifikasi mempunyai nilai komersial sebagai bahan pangan. Produk mempunyai nilai DE sekitar 10 dan dijual sebagai maltodekstrin, yang akan membentuk karbohidrat dengan 15
komposisi 3 % maltosa, 4 % maltotriosa dan 93 % tetraosa atau polisakarida berukuran besar (Bigelis 1993). Maltodekstrin dapat dihasilkan dengan hidrolisis dispersi pati secara enzimatis maupun asam, biasanya dijelaskan dengan nila dekstrosa ekuivalen (DE). Nilai DE ini terkait dengan derajat polimerisasi (DP) dengan formula DE = 100/DP. Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk dengan nilai DE kurang dari 20, maltodekstrin dengan nilai DE terendah bersifat tidak higroskopis sedangkan dengan nilai DE tertinggi cenderung menyerap air. Maltodekstrin bersifat lunak dan tidak berasa manis dan sangat baik sumbangannya terhadap sistem pangan (BeMiller dan Whistler 1996). 2. Hidrolisis dengan Asam Klorida Pembuatan
dekstrin
dengan
hidrolisis
asam
dilakukan
dengan
memanaskan bubur pati didalam larutan asam secara perlahan-lahan sampai pada derajat konversi yang diinginkan. Selanjutnya larutan dinetralisasi kemudian didinginkan dan selanjutnya dikeringkan pada roll panas atau spray dryer (Satterwaite dan Iwinski 1973). Somaatmadja (1984) membuat dekstrinisasi basah dengan katalis asam yaitu dengan merendam pati dalam larutan asam klorida encer (10%) selama 24 jam. Dan setelah asam dipisahkan, pati dikeringkan sampai sisa-sisa asam menguap dan selanjutnya digiling. Proses dekstrinisasi pati dengan hidrolisis katalis HCl, terlebih dahulu dilakukan proses likuifikasi. Proses likuifikasi asam dilakukan dengan sistem curah, pada pH 1,8 sampai 2,0 dengan HCl. Pati yang telah diasamkan dipanaskan pada suhu 900C selama 30 menit kemudian dimasak pada pressure cooker pada suhu 120 – 1400C sampai pemecahan pati menjadi sempurna. Tingkat degradasi pati dapat diukur dari nilai DE dari Produk yang dilikuifikasi, dikontrol dengan mengatur waktu di pressure cooking. Nilai DE diatas 3 diperoleh dengan mengontrol laju alir didalam alat pengkonpersi. Tujuannya untuk mendapat produk dengan nilai DE sedang, nilai DE yang rendah akan menghasilkan produk yang akan mengalami retrogradasi. Nilai DE yang tinggi akan menurunkan produk akhir glukosa (Fullbrook 1984). Katalis asam yang sering digunakan dalam proses pembuatan dekstrin adalah asam klorida. Hal ini disebabkan karena aktivitas HCl yang tinggi, biayanya murah, bersifat volatil. Pada saat proses dekstrinisasi berlangsung asam diuapkan pada tingkat tertentu dan netralisasi produk kadang diabaikan 16
(Kennedy dan Fischer 1984). Konsentrasi HCl yang digunakan tergantung pada derajat konversi yang diinginkan, untuk praktisnya dapat digunakan 0,1 – 1% (Fleche 1985). 3. Pemanasan Kering Dekstrin yang dihasilkan dengan cara hidrolisis asam atau pemanasan kering (roasting) disebut pirodekstrin (Satterwaite dan Iwinski 1973). Prosesnya disebut dengan pirodekstrin, yaitu perlakuan pati yang diasamkan kering dengan menggunakan panas (Fleche 1985). Prosesnya dilakukan dengan pemanasan pati kering sambil diaduk, kemudian disemprot dengan asam klorida dan sulfat. Derajat hidrolisisnya tergantung dari waktu, suhu, dan pH dari proses konversi (Smith 1982). Secara umum berdasarkan sifat dan kondisi pembuatannya pirodekstrin dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu dekstrin putih, dekstrin kuning dan British gum. Kondisi dan sifat dekstrin disajikan pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Karakteristik dan sifat pirodekstrin Karakteristik
Dekstrin Putih
Dekstrin Kuning
Britihs Gum
110 – 130
135 – 160
150 – 180
3 s/d 7
8 s/d 14
10 s/d 24
Tinggi
Medium
Rendah
Kelarutan
Rendah – tinggi
Tinggi
Rendah-tinggi
Viskositas
Rendah – tinggi
Rendah
Rendah-tinggi
Putih – krem
Kekuning-kuningan-
Terang – gelap
Suhu Pemanasan (0C) Waktu pemanasan (jam) Jumlah Katalis
Warna
gelap Sumber : Ruterlberg dan Solarek (1984) Jenis pirodekstrin ini berbeda dalam cara perlakuan pati sebelum dipanaskan, cara dan tingkat pemanasan, dan sifaf-sifat produk yang dihasilkan. Secara umum dekstrin putih dibuat dengan konversi pada suhu rendah dan pH yang tergantung kecepatan proses konversi tanpa pembentukan warna yang berlebihan. Dekstrin kuning merupakan produk yang terkonversi lebih tinggi yang dibuat dengan kombinasi pH rendah dan suhu yang tinggi. British gum disisi yang
17
lain dikonversi pada pH yang tinggi dan suhu yang tinggi untuk konversinya, sehingga warna British gum lebih gelap daripada dekstrin putih (Wurzburg 1986). Prinsip pembuatan dekstrin adalah menghidrolisis molekul-molekul pati yang besar menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Pemanasan dan penggunaan asam akan menggunting ikatan-ikatan α-D-glikosidic pada pati sehingga didapatkan monomer-monomer glukosa (Smith, 1982). Proses pirokonversi, pengunaan panas selain untuk pemotongan ikatan α-D-glikosidik juga untuk mengurangi kadar air pati. Pengurangan air ini akan mencegah proses konversi dekstrin lebih lanjut, dekstrin yang dihasilkan harus segera dikeringkan. Proses pembuatan dekstrin dengan pemanasan kering dilakukan empat tahap meliputi persiapan bahan, pemanasan pendahuluan, pirokonversi atau pemanasan lanjut, dan pendinginan. Persiapan bahan Pada tahap persiapan, pati diberi katalis asam. Jumlah asam yang diberikan tergantung dari sifat pirodekstrin yang diinginkan, kandungan air pati, jenis pati dan peralatan yang digunakan untuk pengeringan awal dan pemanasan. Biasanya larutan asam disemprotkan ke pati dengan pengadukan secara horizontal dan vertikal. Pengadukan ini bertujuan untuk mendistribusikan asam ke seluruh bagian pati hingga homogen (Wurzburg 1986; Somaatmadja 1970). Pemanasan pendahuluan Pemanasan pendahuluan dapat dilakukan atau tidak, tergantung dari jenis pirodekstrin yang akan dihasilkan atau peralatan yang digunakan. Tujuan dari pemanasan pendahuluan untuk mengurangi kandungan air yang terdapat di dalam pati sehingga proses reaksi hidrolisis berkurang. Hal ini penting untuk pembuatan dekstrin kuning. Berbeda halnya dalam pembuatan dekstrin putih dan British gum, reaksi hidrolisis diperlukan untuk menentukan sifat-sifat produk yang diinginkan. Pemanasan pendahuluan dapat digabungkan dengan proses pirokonversi yang dilakukan dengan pemanasan pati asam dilakukan secara lambat, pengadukan yang kuat dan dialirkan udara yang maximum untuk menghilangkan air. Pemanasan pendahuluan juga dapat dilakukan terpisah dari proses pirokonversi. Pirokonversi Pirokonversi dilakukan dengan alat pemasakan yang dapat bergerak secara vertikal dan horizontal yang dilengkapi dengan mixer dan alat-alat
18
pengaduk. Panas yang digunakan berupa pemanasan langsung (direct heat) maupun dengan sistem jacket pemanas. Suhu dan waktu konversi bervariasi tergantung kepada jenis pirodekstrin yang dihasilkan dan bentuk alat yang digunakan. Suhu pemanasan bervariasi dari 100 sampai lebih dari 2000C, waktu pemanasan bervariasi dari beberapa menit sampai beberapa jam. Secara umum dekstrin putih cenderung dibuat pada suhu rendah dan waktu yang singkat sedangkan dekstrin kuning dan British gum memerlukan waktu reaksi yang lama dan suhu yang tinggi. Kadar air dekstrin dari proses konversi dapat dicapai 0 – 5 % (Wurzburg 1986). Pendinginan Dekstrin yang dihasilkan dari proses pirokonversi harus segera didinginkan dengan cara memasukkan dekstrin panas kedalam mixer pendingin atau konveyor yang dilengkapi dengan jaket pendingin. Tujuan proses pendinginan adalah untuk mencegah konversi lebih lanjut dari dekstrin. Apabila pH konversi sangat rendah maka dilakukan penetralan asam untuk
mencegah
konversi
lebih
lanjut.
Netralisasi
dilakukan
dengan
pencampuran kering yang menggunakan reagen alakali amonium karbonat dan garam fosfat. Kelembaban dekstrin pada akhir konversi berkisar 0,5 sampai 2 –3 %. Dekstrin dilembabkan dengan membiarkannya di udara terbuka sampai tingkat kelembaban 5 – 12 % sebelum pengemasan (Fleche 1985; Wurzburg 1986). Kimia Konversi Perubahan - perubahan kimia yang terjadi pada pati selama proses dekstrinisasi adalah kompleks dan belum sepenuhnya dipahami. Terdapat tiga reaksi kimia yang terjadi yaitu hidrolisis, transglukosidasi dan repolimerisasi (Wurzburg 1986). Reaksi hidrolisis akan mengakibatkan pemotongan ikatan α-D-(1,4) dan α-D-(1,6) dalam pati selama tahap pemanasan pendahuluan dan tahap awal proses dekstrinisasi. Dalam reaksi ini akan terjadi penurunan berat molekul pati, viskositas dan peningkatan gugus reduksi yang disebakan oleh hidrolisis ikatan glikosidik. Mekanisme hidrolisis pati oleh enzim telah dijelaskan dalam proses likuifikasi dengan α-amilase. Mekanisme hidrolisis dengan asam disajikan pada Gambar 6.
19
Transglukosidasi adalah reaksi yang mengakibatkan hilangnya ikatan glukosida α-D- (1,4) dari proses hidrolisis yang diikuti dengan penggabungan fragmen-fragmen yang dekat dengan gugus bebas yang menghasilkan struktur bercabang (Wurzburg 1986). Transglukosidasi merupakan reaksi yang penting dalam pirodekstrinisasi. Hal ini mungkin karena reaksi tersebut merupakan reaksi perubahan intermolekul pada beberapa ikatan α-D-(1,4)-glikosidik pati asli yang diubah ke ikatan α-D(1,6). Mekanisme reaksinya disajikan pada Gambar 6 berikut ini. CH2OH O O
CH2OH O
OH
O
OH
OH
O OH
OH
CH2OH O OH
OH O
OH
OH
CH2OH O
O OH
OH
CH2
O O
HO
OH CH2OH
CH2OH O O
CH2OH O
OH
O O
OH
OH OH
Gambar 5 Mekanisme reaksi transglukosidasi (Satterwaite dan Iwinski 1973). Glukosa dapat mengalami proses polimerisasi pada suhu tinggi dengan adanya katalis asam. Pembuatan dekstrin kuning membuktikan terjadinya repolimerisasi glukosa. Hal ini diduga dari penurunan kadar gula pereduksi, kecilnya peningkatan viskositas serta penurunan jumlah dekstrin yang larut dalam campuran 90% etanol dan 10% air. Walaupun proses repolimerisasi ini belum sepenuhnya diyakini, namun proses ini terjadi dalam pembuatan dekstrin kuning (Wurzburg 1986). Dekstrin kuning dihasilkan dengan pemanasan pati kering yang diasamkan sampai mencapai suhu yang lebih tinggi dari suhu dekstrin putih. Bila kandungan air turun dibawah 3 %, proses hidrolisis tidak lagi berlangsung. sebaliknya molekul-molekul yang terfragmentasi oleh reaksi hidrolisis kembali membentuk struktur yang bercabang. Pengabungan kembali fragment tersebut bersifat acak. Mekanisme reaksi hidrolisis asam dan repolimerisasi disajikan pada Gambar 7. Beberapa bukti memperlihatkan bahwa produk dekstrin kuning memiliki berat molekul yang lebih tinggi dari pati asalnya, tetapi sebagian molekulnya kecil dan kompak membuat dekstrin ini mempunyai viskositas yang sangat rendah. 20
Karena panjang cabang sangat pendek, dekstrin kuning memperlihatkan tidak adanya sifat retrogradasi dalam larutan yang konsentrasinya tinggi (Pomeranz 1991). Pada pembuatan British gum, reaksi yang terjadi adalah reaksi hidrolisis pada tahap awal dekstrinisasi. Hidrolisis disebabkan oleh adannya residu air yang terdapat didalam pati dan sejumlah asam yang terbentuk selama pemanasan, sebagian besar proses transglukosidasi (Satterwaite dan Iwinski 1973).
Hidrolisis Asam
Polimerisasi
Panas + Air
Panas + Asam
+
Pati Fragment terhidrolisis
Dekstrin
Gambar 6 Mekanisme reaksi hidrolisis asam dan repolimerisasi. (Pomeranz 1991) Penggunaan Dekstrin Dekstrin dapat digunakan dalam industri pangan dan non pangan. Dalam bidang pangan dekstrin digunakan sebagai pembentuk film dan edible adhesive untuk menggantikan gum arab pada produk-produk tertentu seperti pelapis kacang dan candy. Dekstrin juga digunakan sebagai bahan pengisi dan pembawa aroma yang disemprot kering
(Smith 1982). Dekstrin dapat juga
digunakan sebagai bahan enkapsulasi (BeMiller dan whistler 1996). 21
Maltodeksrin dalam industri pangan dimanfaatkan untuk meningkatkan penerimaan konsumen terhadap produk pangan cair, sebagai bahan pembantu dalam proses pengeringan dengan pengeringan semprot, dan maltodekstrin DE rendah dapat digunakan sebagai bahan pengisi dan aditif dalam proses pengeringan bahan makananan yang besifat higroskopis (Bigelis 1993). Penggunaan dekstrin dalam bidang non pangan meliputi industri bahan perekat, industri kertas dan tekstil dan farmasi (Satterwaite dan Iwinski 1973; Somaatmadja 1984). Dekstrin mempunyai daya rekat yang sangat baik sehingga banyak digunakan dalam pembuatan berbagai perekat seperti glokul, glotun dan sebagainya. Perekat (lem) yang dihasilkan dari dekstrin dapat dicampurkan dengan berbagai resin sintetik pada pH netral utnuk menghasikan perekat karton yang dilapisi berbagai bahan seperti alumminium foil. Dekstrin ini juga dapat digunakan untuk perekat rokok (BAT) dan Faroka (Somaatmadja 1984). Selain itu dekstrin kuning dapat dijadikan sebagai perekat yang lembab pada prangko, label dan amplop (Pomeranz 1991). Dalam industri kertas desktrin digunakan sebagai bahan pelapis dan membentuk permukaan yang halus. Dalam industri farmasi, dekstrin digunakan sebagai carrier atau pembawa. Hal ini disebabkan karena dekstrin mudah larut dalam air dingin, sehingga tablet yang menggunakan dekstrin mudah larut dalam air ludah bila tablet tersebut dimakan (Somaatmadja 1984). Dalam industri tekstil, dekstrin digunakan dalam finishing kain mori (kain putih) dimana apabila hendak dicetak harus dihilangkan kanjinya terlebih dahulu. Penghilangan dekstrin dalam kain putih lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan penggunaan pati (polisakarida). Dekstrin dapat dihilangkan dengan air dingin, sedangkan pati dihilangkan dengan air panas dan sedikit asam klorida (Somaatmadja 1984).
22
BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Teknik Kimia, Bioindustri, LDIT Departemen Teknologi Industri Pertanian dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan 24 bulan sejak Februari 2004. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang kelapa sawit yang berasal dari peremajaan PTPN 2 Gohor Lama Kabupaten Langkat Universitas Sumatera Utara, berumur 25 tahun dan varitas Tenera. Selain itu digunakan juga pati sagu industri kecil (Kedung Halang) Bogor dan tapioka komersial (Pabrik Budi Bogor) sebagai pembanding. Enzim yang digunakan adalah α-amilase dengan merek dagang Termamyl (Novo) dan HCl (katalis proses hidrolisis). Bahan kimia analisa yang digunakan untuk penelitian ini adalah H2SO4, H2BO3, NaOH, Pereaksi KI (Kadar amilosa), pereaksi Somoygi (kadar pati), larutan lugol, larutan iod, larutan kanji, DNS, kertas saring Whatman No. 41, alkohol dan akuades. Peralatan dan instrumentasi yang digunakan adalah pemarut, ember, kain saring dan plastik, blender (alat ekstraksi). Peralatan proses desktrinisasi adalah water bath shaker, ruang asam, pengaduk kaca dan sarung tangan. Peralatan analisa yang digunakan antara lain labu Kjeldahl, Soxhlet, Oven, Biuret, desikator, spektrofotometer UV 200 S, penangas air, pH meter, mixer, mikropipet, pengaduk magnetik, saringan 80 mesh, timbangan kasar, timbangan analitis, Brookfield viscometer, tanur, pinggan datar, Kett whitenessmeter, Brabender viscoamilograf, cawan porselin, dan peralatan gelas lainya.
Metode Penelitian Penelitian ini terdiri lima tahap, yaitu ekstraksi pati kelapa sawit, karakterisasi pati kelapa sawit, sagu dan tapioka. Selanjutnya dekstrinisasi pati kelapa sawit, sagu dan tapioka dilakukan melalui hidrolisis enzimatis dan asam. Pada proses dekstrinisasi dilakukan pengamatan waktu dekstrinisasi. Waktu proses tersebut digunakan dalam pembuatan dekstrin dan selanjutnya karakterisasi produk dekstrin. Ekstraksi Pati Kelapa Sawit. Pembuatan pati kelapa sawit dilakukan dengan membelah batang kelapa sawit kemudian memisahkan kulit keras dan empelurnya. Empelur tersebut diserut hingga jadi serbuk kayu. Serbuk kayu ditambah air, selanjutnya diperas kemudian disaring dengan kain saring. Ampasnya dibuang sedangkan air yang mengandung pati diendapkan selama 3 jam, kemudian dihasilkan pati basah. Pati basah tersebut dicuci dengan menambahkan air dan diendapkan selama 3 jam kemudian pati basah tersebut dikeringkan dengan oven pada suhu 500C sampai kadar air pati menjadi ±10 %. Proses pembuatan pati kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 7. Pohon kelapa sawit yang dipotong serbuk gergajiannya diuji dulu kandungan patinya yaitu dengan penambahan air dan diremas dan disaring selanjutnya diendapkan pada erlenmeyer 250 ml. Jika mengandung pati proses ekstraksi dilanjutkan. Karakterisasi Pati Pati kelapa sawit yang diperoleh dari ekstraksi batang kelapa sawit, dikarakterisasi meliputi komposisi kimia (kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar protein, kadar lemak, kadar amilosa dan kadar pati), sifat fisik (derajat putih, bentuk dan ukuran granula pati dan sifat amilografi) demikian juga dilakukan terhadap pati sagu dan tapioka. Tata cara analisa dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengaruh waktu Proses Terhadap Laju Dekstrinisasi Penentuan waktu proses dekstrinisasi hidrolisis pati secara enzimatis dan asam disajikan pada Gambar 8 dan 9. Untuk masing-masing proses dekstrinisasi pengamatan waktunya dilakukan setiap 15 menit sekali selama tiga jam kemudian dianalisa kadar gula pereduksi dan total gulanya kemudian dihitung
24
nilai DE dan DP. Pengamatan ini dilakukan pada saat kondisi substrat dalam bentuk hidrolisat pati. Inaktivasi untuk desktrin enzimatis dilakukan dengan penambahan NaOH 0,1 N kemudian dinetralkan dengan penambahan HCl 0,1 N, sedangkan dalam proses hidrolisis asam, penghentian proses hidrolisis dilakukan dengan penambahan NaOH 0,1N sampai pH hampir mendekati netral. Batang Kelapa Sawit
Pembelahan Penghancuran/penyerutan
Kulit kayu
air Pemerasan dan penyaringan
Ampas kasar
Filtrat (pati terlarut)
Pengendapan selama 3 jam Pembuangan air Pati Basah air Pencucian Pengendapan selama 3 jam Pembuangan air Pati
Pengeringan 24 jam suhu 500C
air
Pati Kering
Gambar 7 Tahapan proses ekstraksi pati kelapa sawit ( Modifikasi Ginting 1995)
25
Proses Pembuatan Dekstrin Pada penelitian ini akan dikaji pengaruh proses dekstrinisasi pati kelapa sawit (hidrolisis enzim dan asam) terhadap produk dekstrin yang dihasilkan, sebagai pembanding digunakan pati sagu dan tapioka. 1. Dekstrinisasi dengan Hidrolisis enzimatis Pada proses ini masing-masing pati (substrat) dibuat dengan konsentrasi 30 % (b/b) substrat kering, sedangkan untuk dosis α-amilase yang digunakan 0,7 U/g dari pati kering. Enzim yang digunakan pada penelitian ini optimal pada suhu 950C, pH 5,2 dan memiliki aktivitas 1478,12 U/ml enzim (Gunawan 2004). Proses pembuatan dekstrin, dilakukan dengan mensuspensikan jenis pati sesuai dengan perlakuan diatas, lalu diaduk sampai merata. Keasaman suspensi diatur pada kisaran pH 5,2 dengan penambahan NaOH 0,1 N melalui bantuan pH meter. Kemudian ditambahkan α-amilase, suspensi dilikuifikasi pada suhu 950C sambil terus diaduk dan waktunya sesuai dengan proses dekstrinisasi. Pengadukan dilakukan secara manual, setelah lewat gelatinisasi water bathnya ditutup dan lamanya sesuai dengan proses likuifikasi. Proses likuifikasi dihitung menit ke nol pada saat suspensi pati dihidrolisis dalam water bath shaker yang sudah mencapai suhu 950C. Proses ini merupakan modifikasi dari penelitian Griffin dan Brooks (1989). Proses inaktivasi enzim dilakukan dengan pendinginan pada suhu -40C selama 60 menit. Dekstrin cair yang diperoleh dituang setebal lima mm kedalam loyang aluminum yang sudah dilapisi dengan plastik, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 500C selama dua hari. Setelah kering dekstrin tersebut dihaluskan dengan blender kemudian saring dengan ayakan 80 mesh. Proses pembuatan dekstrin hidrolisis secara enzimatis dapat dilihat pada Gambar 8. 2. Dekstrinisasi dengan Hidrolisis HCl Proses dekstrinisasi ini dilakukan dengan pembuatan suspensi pati dengan konsentrasi 30% (b/b) substrat kering, konsentrasi HCl yang digunakan 0,5 % dari pati kering. Suspensi pati kemudian dilikuifikasi pada 950C dengan pengadukan manual dan lamanya sesuai dengan waktu dari pengamatan pendahuluan. Setelah proses likufikasi pHnya dinetralkan, dekstrin cair yang diperoleh dituang setebal 5 mm kedalam loyang aluminum yang sudah dilapisi dengan plastik, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 500C selama dua
26
hari. Setelah kering dekstrin tersebut dihaluskan dengan blender kemudian disaring dengan ayakan 80 mesh. Proses dekstrinisasi secara hidrolisis dengan katalis asam klorida dapat dilihat pada Gambar 9. Jenis Pati
Air
Pembuatan Suspensi (30% pati)
CaCl2 200 ppm
Pengaturan pH pH 5,2
α-amilase 0,7 U/ g pati Kering
Likuifikasi Pada suhu 95oC, pH 5,2 dan waktu sesuai dengan Penelitian Pendahuluan
Inaktivasi enzim suhu –4oC
Pengeringan Oven suhu 50 selama 48 jam
Penggilingan
Pengayakan 80 mesh
Dekstrin
Gambar 8 Proses dekstrinisasi secara enzimatis. (Modifikasi Griffin dan Brooks 1989)
27
Jenis Pati
Air
Pembuatan Suspensi (30% pati)
Penambahan HCl 0,5% dari berat Pati Kering
Likuifikasi pada suhu 95oC Waktu sesuai dengan Penelitian Pendahuluan
Penambahan NaOH 0,1 N Untuk Penghentian Hidrolisis
Pengeringan Oven suhu 50oC selama 48 jam
Penggilingan
Pengayakan 80 mesh
Dekstrin
Gambar 9 Proses dekstrinisasi secara hidrolisis asam. (Modifikasi Ega 2002). Dalam proses hidrolisis asam dilakukan penambahan HCl dengan cara mencoba berbagai konsentrasi HCl 0,25-0,75 % dengan konsentrasi suspensi pati 30% (b/b) berat kering pati. Kemudian ditetapkan konsentrasi HCl 0,5 % pati kering kemudian dilakukan hidrolisis terhadap ketiga jenis pati. Penambahan HCl ini dilakukan pada saat sebelum proses likuifikasi. Proses likuifikasi dihitung
28
menit ke-nol pada saat suspensi pati dihidrolisis dalam water bath shaker yang sudah mencapai suhu 950C. Proses ini merupakan modifikasi dari penelitian Ega (2002). Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal. Faktor yang diamati yaitu jenis pati meliputi pati kelapa sawit, sagu dan tapioka. Penelitian dilakukan pada pembuatan dekstrin enzimatis dan asam yang dilakukan secara terpisah dan dibandingkan sesuai dengan nilai DE dan DP yang terbentuk. Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali, model rancangan percobaan adalah sebagai berikut. Y(ijk) = µ +
i
+ εij
Dengan : i=1, 2, 3…,t dan j = 1,2…,r Y(ijk)
=
Respon hasil pengaruh dari jenis pati ke-i dan ulangan ke-j.
µ
=
Rataan umum.
=
Pengaruh jenis pati taraf ke-i.
=
Galat percobaan dari jenis pati ke-i pada ulangan ke-j.
i
εij
(Montgomery 1991). Karakterisasi Dekstrin. Dekstrin yang dihasilkan dikarakterisasi dan dibandingkan dengan SNI dekstrin untuk industri pangan (SNI 01-2593-1992) dan non pangan (SNI 061451-1989). Sifat-sifat dekstrin yang dianalisa meliputi : warna dalam larutan lugol, kadar air, kadar abu, serat kasar, bagian yang larut dalam air dingin, kekentalan, derajat putih dan derajat asam dan kejernihan pasta. Tata cara analisa dapat dilihat pada Lampiran 2.
29
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Pati Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tanaman monokotil dan batangnya mengandung jaringan vaskular dan parenkim. Batang kelapa sawit memiliki karakter yang spesial. Kandungan airnya tinggi 1,5 sampai 2,5 kali dari bobot keringnya, serta memiliki kandungan selulosa dan lignin yang rendah dan kandungan yang larut dalam air dan NaOH yang tinggi dibanding kayu karet dan ampas tebu (Husin et al. 1985 diacu dalam Tomimura 1992). Batang kelapa sawit ini mengandung jaringan vaskular sekitar 71-76 % dan jaringan parenkim 24-26 %. Tabel 6 berikut ini menyajikan hasil analisa kimia jaringan vaskular dan parenkim (Tomimura, 1992). Tabel 6 Komposisi kimia kandungan jaringan vaskular dan parenkim batang kelapa sawit (%). Jaringan Kandungan Vaskular
Parenkim
Abu
2,2
2,4
Pati
2,4
55,5
Lignin
15,7
20,0
Larut asam
3,9
4,5
Mannosa
2,0
1,3
Arabinosa
-
6,5
Galaktosa
-
3,9
xilosa
34,8
34,8
Glukosa
63,2
55,5
Komposisi Gula
(Tomimura 1992) Batang kelapa sawit yang diekstraksi berasal dari PTPN 2 kebun Gohor Lama Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara hasil peremajan kebun. Proses penebangan di kebun PTPN 2 ini dapat dilihat pada Gambar 10. Proses ekstraksi pati dilakukan dengan cara memotong 2 m batang kelapa sawit dari pucuk batang. Hal ini disebabkan batang sawit bagian atas mempunyai struktur serat kurang padat dibandingkan dengan bagian bawah batang sawit. Semakin
ke atas arah meninggi batang sawit dan semakin ke dalam arah diameter lingkar batang sawit kadar air dan kadar parenkim semakin tinggi, sedangkan kerapatannya menurun (Guritno dan Darnoko, 2003).
Gambar 10 Proses peremajaan tanaman kelapa sawit PTPN 2 Langkat. Batang kelapa sawit 2 m dari pucuk batang ini dibelah, kemudian diserut dan dipisahkan kulit kayunya. Serbuk kayu ditambahkan air selanjut diremasremas untuk mengekstrak patinya. Gambar 11 berikut ini menunjukkan bagian batang yang akan diekstraksi. Gambar 12 merupakan serbuk kayu hasil penyerutan.
Gambar 11 Bagian batang yang akan diekstraksi.
31
Gambar 12 Serbuk kayu hasil penyerutan dari batang kelapa sawit. Pati batang kelapa sawit tersimpan dalam sel-sel parenkim dari jaringan vaskular kasar yang mengandung persentasi lignin yang tinggi. Ekstraksi pati dari sel ini tergolong sulit karena struktur dan kandungan komposisi selnya menghalangi proses penghancuran jaringan vaskular dan sel parenkim (Azemi et al. 1999). Proses ekstraksi ini akan menghasilkan kulit kayu 27,42%, serbuk kayu 72,57%, ampas berupa serat bebas pati 61,01% dan pati 4,7% (kadar air 10,65%) dari total berat 2 m batang kelapa sawit (200 kg). Neraca masa proses ekstraksi pati disajikan pada Gambar 13. Menurut penelitian Azemi et al. (1999) dari berbagai cara untuk mengekstraksi pati kelapa sawit maksimum diperoleh rendemen 7,15 % (kadar air 11,8%) dari basis 300 g potongan batang kelapa sawit segar berbentuk kubus dengan ketebalan 1-2 cm. Proses ekstraksi yang sama terhadap singkong dan batang sagu dapat menghasilkan rendemen pati 50 %. Jika dibandingkan dengan rendemen hasil ekstraksi yang dilakukan tidak jauh berbeda, Azemi et al. (1999) tidak memperhitungan berat batang segar kelapa
sawit
yang
dapat
diekstraksi secara
keseluruhan.
Namun
jika
dibandingkan dengan rendemen pati sagu dan singkong yang diuji dengan metode ekstraksi yang sama maka rendemen pati kelapa sawit adalah sangat kecil. Ekstraksi pati kelapa sawit tidak hanya memberi kontribusi ekonomis saja tapi juga dapat memperluas aplikasi penggunaan serat bebas pati, sehingga dapat menambah keanekaragaman pemanfaatan limbah batang kelapa sawit
32
(Azemi et al. 1999). Menurut Guritno dan Darnoko (2003) kandungan pati yang tinggi pada batang kelapa sawit bagian atas jika seratnya dimanfaatkan menjadi pulp akan mengunakan bahan kimia yang cukup banyak, sehingga biaya prosesnya menjadi mahal. Batang Kelapa Sawit Berat 1000 Kg
Dibelah
Penyerutan
Air 60 m3
Kulit Kayu 274,2 Kg (27,42%)
Serbuk Kayu 725,57 Kg (72,57%)
Peremasan dan Penyaringan
Serat Bebas Pati 610 Kg (61,0 %)
Filtrat
Pengendapan
Air 60 m3
Pati Basah 115,6 Kg (11,56%) Kadar Air 63,38 %
Pengeringan (T= 500C, 30 jam)
Air 81,96 Kg 6,83%
Pati Kelapa Sawit Kering 47,3 Kg (4,73%) Kadar Air 10,65% Gambar 13 Neraca masa pembuatan pati kelapa sawit.
33
Karakterisasi Pati Karakterisasi pati meliputi komposisi kimia pati yang diamati diantaranya kadar air, abu, protein, lemak, pati, serat dan amilosa. Sifat fisik diantaranya bentuk, ukuran granula, derajat putih, kejernihan pasta, pola amilografi Sifat Kimia Pati Komposisi kimia pati kelapa sawit, sagu dan tapioka disajikan pada Tabel 7 berikut. Tabel 7 Komposisi kimia pati kelapa sawit, sagu dan tapioka Jenis Pati
Komponen Kelapa Sawit
Sagu
Tapioka
Air (%)
10,65
12,15
12,15
Protein (%bk)
0,96
0,75
1,21
Lemak (%bk)
0,37
0,23
0,33
Abu (%bk)
0,68
0,1
0,18
Karbohidrat by difference (%bk)
88,02
86,87
86,31
● Serat (%bk)
1,78
0,55
0,43
● Pati (%bk)
96,00
97,85
96,99
● Amilosa (% total pati)
28,76
36,14
30,74
● Amilopektin (% total pati)
71,24
63,86
69,26
Dari Tabel 7 diatas dapat dilihat bahwa kandungan protein pati tapioka lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit dan sagu. Kadar abu pati kelapa sawit lebih tinggi dibanding tapioka dan sagu. Hasil penelitian Azemi et al. (1999) memperoleh kadar abu untuk pati kelapa sawit sebesar 1,03%. Tingginya kadar abu pati kelapa sawit ini disebabkan karena tingginya kandungan silika pada batang kelapa sawit. Selain itu bisa juga disebabkan masuk melalui alat mesin serut dan air ketika proses ekstraksi berlangsung. Kandungan amilosa pati kelapa sawit lebih kecil jika dibanding dengan pati sagu dan tapioka.
Kandungan amilosa pati kelapa sawit ini masih lebih
besar dibanding hasil penelitian Azemi et al. (1999) yaitu sebesar 19,5% hal ini mungkin disebabkan bahan baku yang berbeda terutama perbedaan galur dan lokasi tanaman serta kualitas air untuk produksi patinya. Hasil Penelitian
34
Chilmijati (1999) kandungan amilosa pati tapioka 29,82% dan sagu sebesar 34,13%, nilainya hampir sama dengan hasil penelitian. Kadar serat pati kelapa sawit lebih tinggi dibanding pati sagu dan tapioka hal ini disebabkan masih terikutnya serat-serat halus dari batang kelapa sawit ketika proses ekstraksi berlangsung. Kadar pati untuk ketiga jenis pati diatas adalah sangat tinggi diatas 95%. Hal ini sangat baik sebagai bahan baku untuk produk pati-pati termodifikasi. Sifat Fisik Pati 1. Bentuk dan Ukuran Granula Pati Pati adalah polisakarida terbesar kedua dalam tanaman setelah selulosa, dibuat di dalam kloroplast dan disimpan sebagai cadangan energi di dalam umbi, biji dan akar sebagai partikel kecil yang dikenal sebagai granula. Bentuk dan ukuran granula tergantung dari jenis tanaman penghasil pati. Penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap bentuk, ukuran granula dan derajat putih pati sawit kemudian dibandingkan dengan pati sagu dan tapioka. Hasil pengamatannya disajikan pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8 Sifat-sifat fisik pati kelapa sawit, sagu dan tapioka Sifat Fisik
Kelapa Sawit
Sagu
Tapioka
Bentuk Granula
Bulat
Oval
Bulat
Ukuran Granula (µm)
8,9-29,3(19,47)
54,1-98,8 (74,83)
17,4-35,9 (25,6)
84,86
93,53
76,55
43,9
Derajat Puti (% terhadap 83,02 BaSO4) Kejernihan pasta (%T)
15,4
Tabel 8 ini memperlihatkan kisaran ukuran granula pati kelapa sawit lebih kecil dari ukuran granula pati sagu dan hampir sama dengan tapioka. Sesuai dengan hasil penelitian Azemi et al. (1999) menyatakan ukuran granula pati kelapa sawit adalah kisaran 3 – 37 µm dan ukuran rata-ratanya 14,6 µm dengan distribusi volume ukuran granula pati kelapa sawit terbanyak terdapat pada kisaran 3 – 25 µm. Bentuk granula pati tapioka dan sawit adalah bulat sedangkan sagu berbentuk oval. Gambar 14 dan 15 memperlihatkan bentuk granula patinya.
35
Kelapa sawit
Sagu
Tapioka
Gambar 14 Bentuk granula pati kelapa sawit, sagu dan tapioka dengan mikroskop cahaya (pembesaran 400 kali).
Kelapa sawit
Sagu
Tapioka
Gambar 15 Bentuk granula pati kelapa sawit, sagu dan tapioka mikroskop cahaya terpolarisasi (pembesaran 400 kali). 2. Derajat Putih dan Kejernihan pasta pati Tabel 8 memperlihatkan derajat putih pati kelapa sawit lebih rendah dari pati tapioka dan tidak jauh berbeda dengan pati sagu dapat dilihat pada Gambar 16. Perbedaan derajat putih ini disebabkan karena sumber atau jenis asal dari patinya, dimana tapioka berasal dari akar sedangkan sawit dan sagu berasal dari batang. Derajat putih pati kelapa sawit ini lebih rendah dari tapioka diduga karena batang kelapa sawit mengandung senyawa polifenol demikian juga pati sagu. Hasil penelitian Pei-Lang et al. (2006) menyatakan pencoklatan pati sagu disebabkan oleh senyawa fenol dan polifenol oksidase di dalam batang. Menurut Ozawa dan Arai (1986) diacu dalam Pei-Lang et al. (2006) senyawa fenol yang berperan dalam reaksi pencoklatannya adalah DL-epikatekin dan D-katekin.
36
Tapioka
Sagu
Kelapa Sawit
Gambar 16 Pati tapioka, sagu dan kelapa sawit. Kejenihan pasta pati kelapa sawit lebih rendah dari pati sagu dan tapioka (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pati kelapa sawit bersifat lebih opaque dibanding sagu dan tapioka. Menurut Radley (1977) kejernihan dipengaruhi oleh persentase kandungan bahan selain pati seperti sisa serat, partikel protein dan lemak. Bahan-bahan tersebut meningkatkan keburaman, seperti yang telah diketahui kandungan serat dan lemak pati kelapa sawit lebih tinggi dari sagu dan tapioka (Tabel 7) sehingga mengakibatkan %T menjadi rendah. 3. Sifat Amilografi Pati Salah satu cara untuk mengikuti perubahan granula pati dalam sistem air selama pengolahan panas adalah dengan menggunakan alat Brabender Viscoamilograf. Dengan alat ini perubahan viskositas (kekentalan) suspensi pati tapioka, sagu dan sawit dapat dideteksi. Pengujian ini dilakukan dengan membuat konsentrasi masing-masing suspensi pati sebesar 6% (b/b) berat kering pati. Pola amilografi pati tapioka, sagu dan sawit dengan menggunakan Brabender Viscomilograf sifat pasta pati mempunyai pola yang sama namun berbeda pada suhu gelatinisasi, viskositas puncak dan viskositas dingin. Pola amilografi pati tapioka sagu dan sawit dapat dilihat pada Gambar 17 berikut ini.
37
Viskositas (BU)
500 400 300 200 100 0 0
20
40
60
80
o
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Suhu ( C)
600
100
Waktu (menit) Suhu
Tapioka
Sagu
Kelapa sawit
Gambar 17 Pola amilografi pati tapioka, sagu dan kelapa sawit. Dari Gambar 17 tersebut dapat diketahui sifat-sifat pasta pati tapioka, sagu dan kelapa sawit yang akan disajikan pada Tabel 9 berikut. Tabel 9 Sifat amilografi pati tapioka, sagu dan kelapa sawit Sifat Pasta
Kelapa Sawit
Sagu
Tapioka
72
72
66
Suhu Viskositas Puncak ( C)
87
78
84
Viskositas Puncak (BU)
484
406
568
Stabiltas Pasta (BU)
154
206
280
Viskositas Balik (BU)
226
170
132
Viskositas akhir (BU)
556
370
417
Suhu Gelatinisasi (0C) 0
Dari Gambar 17 dapat dilihat suhu saat dimulainya pembentukan pasta dengan titik awal nilai viskositas ditetapkan sebagai suhu gelatinisasi. Granula pati dipanaskan dan akan tercapai pada suhu dimana pada saat itu akan terjadi hilangnya sifat polarisasi cahaya pada hilum, mengembangnya granula pati yang bersifat tidak dapat kembali disebut dengan gelatinisasi ( Swinkels, 1985). Menurut Olku dan Rha (1978) diacu dalam Pomeranz (1991) gelatinisasi granula pati mencakup hal-hal sebagai berikut. 1. Hidrasi dan mengembangnya beberapa kali dari ukuran semula. 2. Hilangnya sifat birefregence. 38
3. Peningkatan kejernihan pasta. 4. Peningkatan di dalam konsistensi dan pencapaian puncak secara cepat dan jelas. 5. Ketidaklarutan molekul-molekul linier dan pendifusian dari granulagranula yang pecah. 6. Retrogradasi dari campuran sampai membentuk gel Tabel 9 memperlihatkan suhu gelatinisasi pati kelapa sawit adalah sama dangan pati sagu, sedangkan tapioka memiliki suhu gelatinisasi yang lebih rendah dari kedua pati tersebut. Menurut Jane et al. (1992) perbedaan ukuran granula, kandungan amilosa dan panjang rantai percabangan amilopektin akan mengakibatkan perbedaan sifat pasta dan suhu gelatinisasi. Pada penelitian ini rendahnya suhu gelatinisasi tapioka karena ukuran pati yang lebih kecil dari sagu sedangkan suhu gelatinisasi pati sawit lebih tinggi dari pati tapioka diduga karena tingginya kadar serat kasar di dalam pati dapat dilihat pada Tabel 7. Semakin rendah suhu gelatinisasi, waktu gelatinisasi juga semakin pendek. Waktu gelatinisasi pati tapioka adalah 24 menit sedangkan pati sagu dan sawit adalah 28 menit. Sifat ini berkaitan dengan energi dan biaya yang dibutuhkan dalam produksi dekstrin. Pati akan terhidrolisis sempurna apabila melewati suhu gelatinisasinya. Proses likuifikasi dilakukan pada suhu 950C yang melewati suhu gelatinisasinya. Apabila di bawah suhu gelatinisasi pati tidak akan terhidrolisis dengan sempurna karena masih tahan terhadap kerja enzim dan asam. Dari Tabel 9 di atas, viskositas puncak pati tapioka sebesar 568 BU lebih tinggi dari pati sawit 484 BU dan sagu 408 BU. Dari nilai ini dapat dikatakan tapioka lebih kental dari sawit dan sagu pada konsentrasi yang sama. Hal ini diduga karena tingginya kandungan protein pada tapioka. Kandungan protein yang tinggi didalam pati dapat meningkatkan viskositas puncak dan suhu gelatinisasi (Jane et al. 1992). Menurut Hoover (1996) dan Rasper (1982) diacu dalam Ratnayake et al. (2001) sifat pasta pati dipengaruhi oleh granula yang mengembang, pergesekan diantara granula yang mengembang, peluruhan amilosa, kristalinitas pati dan panjang rantai komponen pati. Stabilitas pasta pati didefinisikan sebagai selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pada suhu 950C yang dipertahankan selama 30 menit (Muhammad et al. 2000). Tabel 9 menunjukan pati kelapa sawit memiliki nilai stabilitas pasta 154 (BU) lebih kecil dari sagu dan tapioka hal ini diduga kecilnya
39
amilosa yang luruh akibat pemanasan dan pengadukan. Selain itu viskositas akhir pasta pati kelapa sawit 556 (BU) lebih besar dari sagu dan tapioka. Hal ini mengindikasikan pati kelapa sawit lebih mudah mengalami retrogradasi dibanding tapioka dan sagu. Produksi Dekstrin Penentuan Waktu Pembuatan Dekstrin Penentuan waktu proses dekstrinisasi dilakukan terhadap proses dekstrinisasi enzimatis dan asam terhadap pati tapioka, sagu dan kelapa sawit. Untuk masing-masing proses dekstrinisasi dilakukan pengamatan setiap15 menit sekali selama 3 jam kemudian dianalisa nilai DE dan DP. 1. Hidrolisis Enzimatis Enzim adalah katalis yang positif, dapat meningkatkan laju reaksi 103 1012 jika dibandingkan dengan reaksi katalis bukan enzim. Enzim memiliki beberapa kelebihan seperti reaksi lebih spesifik, lebih efisien, kemurnian produk yang dihasilkan lebih baik dan sesuai yang diinginkan, menggunakan pH yang hampir mendekati netral, suhu dan tekanan yang rendah, menghasilkan produk samping sedikit yang dapat mempengaruhi rasa dan warna (Whitaker 1994; Olsen 1995; Yankov 1986). Pada proses hidrolisis enzimatis ini, digunakan α-amilase (Bakterial) terhadap tapioka, sagu dan kelapa sawit. Hasil pengamatan nilai DE dan DP hasil hidrolisis disajikan pada Gambar 18. Nilai DE hidrolisat pati tapioka, sagu dan kelapa sawit meningkat seiring dengan waktu likuifikasi. pada awal proses liquiifikasi terjadi peningkatan Nilai DE secara tajam. Nilai DE pada menit ke 15 untuk tapioka, Sagu dan kelapa sawit berkisar 1,8 – 3,89. Pada menit ke 60 nilai DE meningkat, untuk tapioka, sagu dan kelapa sawit berkisar 6,60 – 8,02. Hal ini menunjukkan banyaknya polimer - polimer pati yang telah terkonversi menjadi molekul-molekul yang lebih pendek. Glukosa memiliki nilai DE 100, maltosa nilai DE 53, maltotriosa nilai DE 36 dan pati sendiri memiliki nilai DE hampir nol. Semakin tinggi nilai DP maka semakin rendah nilai DE (Van der Maarel et al. 2002).
40
60
50
50
40
40
30
30
20
20
10
10
0 15
30
45
60
75
90
105
120
135
150
165
DE
DP
60
0 180
Waktu Hidrolisis (menit) DP Kelapa Sawit
DP Sagu
DP Tapioka
DE Kelapa Sawit
DE Sagu
DE Tapioka
Gambar 18 Hidrolisis enzimatis pati tapioka, sagu dan kelapa sawit. Derajat polimerisasi (DP) menunjukkan jumlah rata-rata monosakarida unit didalam molekul, sedangkan dekstrosa ekuivalen (DE) adalah jumlah gula pereduksi sebagai persen dari dekstrosa murni yang dihitung dalam basis kering. DE ini terkait dengan derajat polimerisasi dengan mengikuti persamaan DE = 100/DP (Wurzburg 1989; BeMiller dan Whistler 1996). Alfa amilase (bacterial) adalah enzim dasar yang bersifat endohidrolase. Enzim ini bekerja secara acak memutus ikatan α 1,4-glikosidik di dalam molekul amilosa dan amilopektin tetapi tidak dapat memutuskan ikatan α 1,6-glikosidik dan ikatan α 1,4 disebelah ikatan α 1,6-glikosidik seperti yang disajikan pada Gambar 19 (Biotol 1991).
α-1,4 ...
α-1,4 glu
α-1,4 glu
bagian yang tidak dapat dihidrolisis α - amilase
α-1,4 glu
glu α-1,6
α-1,4 ...
α-1,4 glu
α-1,4 glu
α-1,4 glu
α-1,4 glu
α-1,4 α-1,4 glu glu ...
Gambar 19 Bagian yang tidak dapat diserang α-amilase (Biotol, 1991). 41
2. Hidrolisis asam Proses pembuatan dekstrin menggunakan HCl dengan konsentrasi 0.5 % dari berat pati kering. Dasar pemilihan konsentrasi ini adalah berdasarkan pH yang dihasilkan seperti disajikan pada Tabel 10 berikut. Tabel 10 pH Suspensi pati sebelum dan sesudah penambahan HCl Pati
pH Suspensi (30%)
pH Suspensi + HCl 0.5 % / (bk pati)
Tapioka
4,7 – 4,8
1,56
Sagu
4,1 – 4,3
1,46
Kelapa Sawit
4,0 – 4,2
1,51
Menurut Chronakis (1998) hidrolisis pati dengan menggunakan asam digunakan asam kuat dengan suhu hidrolisis yang tinggi 135-1500C. Konsentrasi HCl yang digunakan 0,02 – 0,03 M dengan kisaran pH (1,6 –2,0). Dari penelitian Ega (2002) hidrolisis pati dengan HCl yang menggunakan pH 2 berlangsung lambat, hasil hidrolisisnya setelah dingin kembali membentuk gel atau padatan (mengalami retrogradasi) sehingga gula pereduksinya cenderung belum terdeteksi diduga kadarnya masih rendah. Dengan keterbatasan suhu waterbath shaker yang hanya bisa mencapai 970C maka konsentrasi harus HCl ditingkatkan. Hasil pengamatan nilai DE dan DP dari hidrolisis asam terhadap tapioka, sagu dan kelapa sawit disajikan pada Gambar 20. Nilai DE hidrolisat tapioka, sagu dan kelapa sawit meningkat seiring dengan bertambahnya waktu likuifikasi. Pola peningkatannya dapat dikatakan mengikuti pola linier Nilai DE untuk 15 menit pertama hidrolisis asam memiliki nilai DE untuk pati tapioka, sagu dan kelapa sawit berkisar 0,4 – 0,59 Nilai DE untuk 60 menit 10,71-14,16. Polimer pati akan dihidrolisis oleh HCl menjadi produk berbobot molekul rendah (French 1984), semakin lama waktu hidrolisisnya maka kandungan gula pereduksi akan semakin meningkat sehingga nilai DE semakin tinggi. Hal tersebut kebalikan dari nilai DP ketiga pati diatas. Asam akan lebih cepat menghidrolisis bagian amorf dibanding daerah kristalin.
Penelitian
Kerr
(1952)
diacu
dalam
Wurzburg
(1986)
yang
menghidrolisis pati jagung dengan asam menyatakan pada tahap awal hidrolisis fraksi linier amilosa meningkat yang berarti menunjukkan bahwa asam lebih 42
cenderung menghidrolisa amilopektin yang banyak terdapat di bagian amorf.
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
300 250
DP
200 150 100 50 0 15
30
45
60
75
90
DE
Bagian ini kurang padat dan mudah dimasuki oleh air dan asam.
105 120 135 150 165 180
Waktu Hidrolisis (menit) DP Kelapa Sawit DE Kelapa Sawit
DP Sagu DE Sagu
DP Tapioka DE Tapioka
Gambar 20 Hidrolisis asam terhadap pati tapioka, sagu dan kelapa sawit. Pembuatan Dekstrin Untuk menghasilkan berbagai produk dekstrin dengan berat molekul rendah, umumnya proses likuifikasi diperlukan. Pada penelitian ini produksi dekstrin dilakukan dengan likuifikasi asam (HCl) dan Enzim (α-amilase dari B. lichenimorfis) terhadap tapioka, sagu dan kelapa sawit. Rata-rata ukuran molekul dekstrin yang yang dihasilkan dapat disesuaikan dengan mengatur derajat hidrolisis asam dan enzim dengan cara menghentikan proses hidrolisisnya. Derajat hidrolisis dinyatakan sebagai dekstrosa equivalent (DE). Dekstrin komersil biasanya kisaran DE 3 – 25 tergantung pada tujuan pembuatan dan penggunaan dekstrin (Taji 1988). Dalam penelitian ini pembuatan dekstrin enzimatis untuk pati tapioka, sagu dan kelapa sawit kisaran DE yang ditetapkan 10 – 20, dari Lampiran 3 dapat dilihat waktu likuifikasi pati tapioka adalah 75 menit, sagu dan kelapa sawit adalah sama sekitar 45 menit. Pembuatan dekstrin asam (HCl) untuk pati tapioka, sagu dan kelapa sawit kisaran DE yang ditetapkan 10 – 20, dari Lampiran 4 dapat dilihat waktu untuk ketiga jenis pati tesebut adalah 60 menit. Desktrin yang dihasilkan diuji mutu dekstrinnya sesuai dengan persyaratan SNI untuk produk dekstrin.
43
Karakterisasi Mutu Dekstrin Proses pembuatan dekstrin dilakukan terhadap tapioka, sagu dan kelapa sawit dengan metode hidrolisis enzimatis dan asam. Waktu hidrolisis sesuai dengan waktu hidrolisis untuk mencapai tingkat hidrolisis DE 10 – 20, kemudian masing-masing produk dekstrin dikarakterisasi mutunya. Proses pembuatan dekstrin enzimatis dan asam dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9. Dengan proses yang sama pati tapioka, sagu dan kelapa sawit dibuat menjadi dekstrin dan selanjutnya dikarakterisasi mutu dekstrin tersebut meliputi nilai DE dan DP, warna dalam larutan lugol, kadar air, kadar abu, kadar serat, derajat putih, derajat asam, kelarutan dalam air dingin, viskositas. Hasil analisa mutu dekstrin enzimatis disajikan pada Tabel 11. Warna dalam larutan lugol Dekstrin yang dihasilkan secara enzimatis dan asam dari pati tapioka, sagu dan kelapa sawit ditetesi larutan iod memberi warna coklat tua. Dekstrin komersial ditetesi larutan iod juga memberikan warna coklat muda. Pati bila ditetesi larutan iod akan membentuk warna biru. Hal ini disebabkan karena amilosa membentuk formasi helix dengan molekul iod terperangkap ditengahnya sehingga memberikan warna biru yang jelas. Amilopektin memberikan warna ungu kecoklatan (Pomeranz 1991). Hidrolisis pati dengan α-amilase akan memutus ikatan α 1,4 dari dalam molekul amilosa dan amilopektin. Hidrolisisnya menghasilkan dekstrin dengan bobot molekul yang rendah, maltosa, maltooligosakarida dan sedikit glukosa. Akibat hidrolisis oleh α-amilase ini rantai linier yang panjang terus terfragmentasi membentuk rantai-rantai yang lebih pendek sehingga warna birunya akan hilang dan berubah menjadi coklat dan selanjutnya berubah menjadi coklat tua (Gambar 21). Hidrolisis asam akan memutuskan ikatan α-glikosidik. Asam pertama akan menghidrolisis bagian daerah amorf sebelum menyerang bagian daerah kristalin, amilosa dan amilopektin dihidrolisis secara simultan sehingga menghasilkan senyawa berantai pendek dengan ukuran dan bobot molekul kecil. Akibat hidrolisis tersebut warna biru dari iod berubah menjadi coklat tua (Wurzburg 1989; Wang YJ dan Wang L 2001; Pomeranz 1991).
44
Tabel 11 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis enzim dan asam
Variabel Mutu Warna Visual Warna ditetesi larutan lugol DE DP Kadar air (%bb) Kadar abu (%bb)* Kadar Serat (%bb)*
Dekstrin Hidrolisis Enzim Kelapa sawit Sagu Tapioka
P C 17,12±1,33 5,87±0,47 7,62±0,39 0,70±0,02a 1,16±0,07a 55,95±8,39b 63,76±1,75c
Kelarutan (%bb)* Derajat Putih (% terhadap BaSO4)* Derajat asam 1,65±0,07 (ml NaOH 0,1N/100g)* 4,97±0,45a Viskositas (cP)* Kejernihan Pasta (%T)* 44,45±0,43c
P C
P C
Dekstrin hidrolisis asam Kelapa sawit Sagu Tapioka
P C
P C
P C
P-K U-K
P-K U-K
21,09±0,25 4,75±0,06 6,91±0,39 0,12±0,02c 0,45±0,04b 51,11±5,15b 67,79±0,71b
18,73±1,73 5,38±0,52 7,83±0,99 0,23±0,03b 0,36±0,04b 92,63±3,55a 85,59±2,02a
8,17±0,39 12,28±0,61 7,35±0.29 1,15±0,01a 1,10±0,12a 60,32±0,3c 66,53±1,06b
14,05±0,21 7,13±0,12 6,92±0,39 0,74±0,02b 0,38±0,01b 64,47±0,9b 63,50±0,20c
9,09±0,69 11,07±0,88 7,85±0,56 0,78±0,03b 0,20±0,02c 69,34±2,9a 87,48±0,53a
Maks. 11 Maks. 0,5 Maks. 0,6 Min. 97 _
Maks. 11 Maks. 0,5 Maks. 0,6 Min. 80 _
0,63±0,03
0,82±0,07
1,84±0,04a
0,42±0,05c
1,17±0,09b
Maks. 5
Maks.6
3-40E -
3-40E -
4,90±0,26a 3,82±0,26b 9,50±0,5b 15,42±0,14a 5,52±0,03c 75,78±1,08b 85,59±0,10a 29,98±1,24c 44,90±1,41b 78,42±2,85a Keterangan : * : Jenis pati berbeda nyata pada α = 5% baik secara enzimatis dan asam a,b,c : Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada α = 5% (DMRT) 0 E : Derajat Engler P : Putih P-K : Putih kekuningan C : Coklat U-K : Ungu kecoklatan
45
SNI Dekstrin Pangan Non Pangan
A
C
B
F
E
D
G
Gambar 21 Warna dekstrin yang ditetesi larutan lugol. Keterangan gambar : A : Dekstrin tapioka hidrolis enzim B : Dekstrin sagu hidrolisis enzim C : Dekstrin kelapa sawit hidrolisis enzim D : Dekstrin komersial E : Dekstrin tapioka hidrolisis asam F : Dekstrin sagu hidrolisis asam G : Dekstrin kelapa sawit hidrolisis asam Perubahan warna ini disebabkan karena panjang rantai dari satuan unit glukosa penyusunnya. Hubungan antara panjang rantai dengan warna dalam larutan lugol disajikan pada Tabel 12 berikut. Tabel 12 Hubungan panjang rantai dengan warna dalam lugol (Pomeranz 1991) Unit Glukosa
Σ putaran heliks
Warna dalam larutan lugol
12
2
Tidak bewarna
12-15
2
Coklat
20-30
3-5
Merah
35-40
6-7
Ungu
>45
9
Biru
46
Dekstrosa Ekuivalen (DE) dan Derajat Polimerisasi (DP) Hasil pengujian nilai DE dan DP dari masing-masing dekstrin baik hidrolisis enzim dan asam dapat dilihat pada Lampiran 5. Hidrolisis enzim menghasilkan dekstrin tapioka nilai DE 18,73 dan DP 5,38, sagu nilai DE 21,09 dan DP 4,75, kelapa sawit DE 17,2 dan DP 5,87. Nilai DE dari masing-masing dekstrin ditetapkan untuk waktu hidrolisisnya diharapkan akan mencapai nilai DE 10. Produk dekstrin yang dihasilkan memiliki nilai DE yang lebih tinggi dari penelitian pendahuluannya. Hal ini diduga karena pada waktu penghentian hidrolisis α-amilase yang mendinginkan hidrolisat pati pada suhu –40C, α-amilase menjadi inaktif tapi tidak rusak. Sewaktu proses pengeringan dekstrin dengan oven pada suhu 500C selama 48 jam, α-amilase masih bekerja menghidrolisis pati kembali sehingga mengakibatkan nilai DE meningkat tidak sesuai dengan DE yang ditetapkan. Nilai DE dekstrin kelapa sawit lebih tinggi dari DE tapioka hal ini disebabkan kandungan amilosanya yang lebih rendah (Tabel 7) sehingga proses hidrolisisnya lebih lambat. Nilai DE ini menunjukkan tinggkat hidrolisis, dimana semakin kecil nilai DE ukuran molekul yang terbentuk selama hidrolisis semakin kecil dan akan mengakibatkan kelarutan dalam air dingin meningkat dan menurunkan nilai viskositas. Hidrolisis asam menghasilkan dekstrin tapioka nilai DE 9,09 dan DP 11,07, sagu nilai DE 14,05 dan DP 7,13, kelapa sawit DE 8,17 dan DP 12,28. Nilai DE dari masing-masing dekstrin ditetapkan untuk waktu hidrolisisnya diharapkan akan mencapai nilai DE 10 - 20. Produk dekstrin yang dihasilkan diperoleh kisaran DE 8 – 14, dekstrin tersebut masih dapat dibandingkan mutunya. HCl akan menghidrolisis polimer pati menjadi gula, oligomer berantai pendek dan berbobot molekul rendah (Tegge 1984 dan French 1984). Hidrolisis asam sangat tergantung dengan waktu, semakin lama waktunya maka gula pereduksi akan meningkat sehingga akan meningkatkan nilai DE dan menurunkan nilai DP. Hidrolisis asam terhadap pati tapioka, sagu dan kelapa sawit waktu yang digunakan adalah sama 60 menit tapi menghasilkan nilai DE dan DP yang berbeda. Menurut Tegge (1984) laju hidrolisis asam selain dipengaruhi oleh waktu juga dipengaruhi oleh jenis katalis, suhu dan jenis pati. perbedaan nilai DE dan DP tersebut diduga dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia pati terutama ukuran dan komposisi bagaian daerah amorp dan krisrtalin serta ratio amilosa dan amilopektin dari pati.
47
Kadar Air Dari hasil pengujian kadar air dekstrin secara enzimatis dan asam dapat dilihat pada Tabel 11. Kadar air dekstrin tapioka 7,83%, sagu 6,91% dan kelapa sawit 6,62% sedangkan dari produk hidrolisis asam akan menghasilkan dekstrin dengan kadar air tapioka 7,85%, sagu 6,92% dan kelapa sawit 6,35%. Jika dibandingkan dengan persyaratan SNI yang mempersyaratkan kadar air untuk dekstrin maksimum adalah 11%. Ketiga jenis dekstrin baik hidrolisis asam dan enzim dapat dikatakan memenuhi persyaratan SNI dekstrin pangan dan non pangan. Rendahnya kadar air ini mengakibatkan desktrin bersifat higroskopis, jika dibiarkan diudara terbuka akan mengabsorbsi air dan akan mengakibatkan pengumpalan-penggumpalan molekul dekstrin dan dapat menurunkan mutu dekstrin. Kadar Abu Lampiran 7 dan 8 memperlihatkan dari tabel sidik ragam jenis pati berpengaruh nyata pada α = 5% terhadap kadar abu dekstrin yang dihasilkan dari hidrolisis enzimatis dan asam. Untuk uji beda lanjut memperlihatkan uji Duncan bahwa ketiga jenis pati dari hidrolisis enzimatis memberikan pengaruh yang nyata juga terhadap kadar abu yang dihasilkan. Perbedaan ini dapat dilihat pada Gambar 22 berikut ini.
0.8
Kadar Abu (%bk)
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 Tapioka
Sagu
Sawit
SNI Pangan
SNI Non Pangan
Gambar 22 Kadar abu dari dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis.
48
Nilai rataan kadar abu pati tapioka 0,23 %, sagu 0,12 % dan kelapa sawit 0,70 (Tabel 11). Hal ini tidak begitu berbeda dengan kadar abu pati asal. Peningkatan kadar abu dari pati asal disebabkan adanya penambahan bahan pembantu dalam menghidrolisis pati seperti penambahan CaCl2 dalam prosesnya peningkatan pH untuk mencapai pH proses optimum dari enzim yaitu pH 5,2 dan harus ditambahkan NaOH untuk meningkatkan pH dari hidrolisat masing-masing pati sehingga aktivitas α-amilase optimal dalam proses hidrolisis masing-masing pati menjadi dekstrin. Peningkatan dalam proses hidrolisis enzimatis terhadap masing-masing pati dapat dikatakan kecil. Hidrolisis asam akan menghasilkan rataan kadar abu dekstrin kelapa sawit 1,15 %, tapioka 0.77 % dan sagu 0,74 % (Tabel 11). Untuk uji beda lanjut Duncan memperlihatkan bahwa dekstrin kelapa sawit berbeda nyata dengan sagu dan tapioka sedangkan dekstrin sagu tidak berbeda nyata dengan tapioka. Perbedaan ini disajikan pada Gambar 23 berikut. 1.4
Kadar Abu (%bk)
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 Tapioka
Sagu
Sawit
SNI Pangan
SNI Non Pangan
Gambar 23 Kadar abu dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam. Nilai kadar abu dekstrin yang dihasilkan meningkat dari kadar abu pati aslinya. Hal ini disebabkan oleh penambahan NaOH dalam proses penetral hidrolis HCl sehingga menghasilkan garam NaCl, yang meningkatkan nilai kadar abu. Kadar abu dekstrin enzimatis lebih baik dibandingkan hidrolisis asam, selain nilai kadar abunya lebih rendah juga memenuhi persyaratan SNI baik pangan maupun non pangan. Dekstrin kelapa sawit memiliki kadar abu yang tinggi karena tingginya kadar abu pati asalnya. 49
Kadar Serat Lampiran 7 dan 8 memperlihatkan dari tabel sidik ragam jenis pati berpengaruh nyata pada α = 5% terhadap kadar serat dekstrin yang dihasilkan baik secara enzimatis dan asam. Untuk uji beda lanjut dari hidrolisis enzimatis memperlihatkan uji Duncan pada α = 5% kadar serat dekstrin dari pati kelapa sawit berbeda nyata dari desktrin sagu dan tapioka. Dekstrin tapioka tidak berbeda nyata dengan sagu. Gambar 24 berikut memperlihatkan kadar serat dari dekstrin tapioka, sagu dan sawit. 1.2
Kadar Serat (%bk)
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 Tapioka
Sagu
Sawit
SNI Pangan
SNI Non Pangan
Gambar 24 Kadar serat dari dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis. Kadar serat dekstrin kelapa sawit 1,16 %, sagu 0,44 % dan tapioka 0,36% (Tabel 11). Perbedaan yang nyata antara pati kelapa sawit dibanding sagu dan tapioka dikarenakan tingginya kadar serat dari pati asal kelapa sawit tersebut. Proses hidrolisis enzimatis dapat dikatakan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar serat dari masing-masing dekstrin yang dihasilkan karena kadarnya hampir mirip dengan pati aslinya. Uji beda lanjut memperlihatkan uji Duncan pada α = 5% kadar serat hidrolisis asam dari dekstrin kelapa sawit berbeda nyata dari desktrin sagu dan tapioka. Dekstrin tapioka tidak berbeda nyata dengan sagu. Kadar serat dari masing-masing dekstrin yang dihasilkan disajikan pada Gambar 25 berikut.
50
1.2 Kadar Serat (%bk)
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 Tapioka
Sagu
Sawit
SNI Pangan
SNI Non Pangan
Gambar 25 Kadar serat dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit Hidrolisis asam. Kadar serat kasar dekstrin tapioka 0,20 %, sagu 0,38 % dan kelapa sawit 1,10 % (Tabel 11). Kadar serat kasar ini mengalami penurunan jika dibandingkan pati asalnya seperti yang disajikan pada Tabel 10. Hasil penelitian Lawal dan Adebolawe (2005) terhadap pati biji nangka (Canavalia ensiformis) yang dimodifikasi menjadi pati thinned acid kadar seratnya mengalami penurunan dari 0,61% menjadi 0,14 %. Penurunan ini disebabkan karena asam menghidrolisis fraksi amilosa didalam pati juga mereduksi serat dan protein yang terkandung di dalam pati. Kadar serat dekstrin kelapa sawit baik yang dihasilkan secara enzimatis dan asam tidak jauh berbeda. Kadar serat dekstrin kelapa sawit masih tidak jauh berbeda dengan pati aslinya dan melebihi persyaratan SNI dekstrin pangan dan non pangan. Hal ini diduga asam lebih cenderung menghidrolisis pati ketimbang serat karena kadar pati jauh lebih besar dibanding serat (Tabel 7). Kelarutan dalam air dingin Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 7 dan 8 menunjukkan bahwa jenis pati berbeda nyata pada α = 5% terhadap kelarutan dekstrin dalam air dingin yang dihasilkan. Gambar 26 berikut menyajikan kelarutan dalam air dingin dekstrtin tapioka, sagu dan kelapa sawit.
51
Kelarutan dalam air dingin (%bk)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tapioka
Sagu
Sawit
SNI Pangan
SNI Non Pangan
Gambar 26 Kelarutan air dingin dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis. Nilai kelarutan air dingin untuk dekstrin tapioka 92,63%, sagu 55,95% dan kelapa sawit 51,11% (Tabel 11). Selanjutnya dari uji Duncan pada taraf α = 5% dapat dilihat pada Lampiran 7 menunjukkan dekstrin tapioka memberikan perbedaan yang nyata terhadap dekstrin sagu dan kelapa sawit sedangkan dekstrin sagu tidak berbeda nyata terhadap dekstrin kelapa sawit. Hal ini disebabkan hidrolisis pati oleh α amilase akan menyebabkan rantai molekul pati menjadi lebih pendek dan memiliki bobot molekul rendah (BeMiller dan Whistler 1996). Hidrolisis pati tapioka diduga lebih banyak menghasilkan sakarida dengan bobot molekul rendah dibandingkan dengan sagu dan kelapa sawit sehingga dekstrin tapioka memiliki kelarutan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dekstrin adalah produk hidrolisis yang rendah diantara pati dan sirup, tidak seperti pati dekstrin bersifat larut dalam air dingin tapi tidak manis seperti sirup. Hidrolisis asam menghasilkan kelarutan dalam air dingin untuk dekstrin tapioka 69,34 %, sagu 64,47 % dan kelapa sawit 60,32 % (Tabel 11) seperti yang disajikan pada Gambar 27. Selanjutnya dari uji Duncan pada taraf α = 5% dapat dilihat pada Lampiran 8 menunjukkan dekstrin tapioka memberikan perbedaan yang nyata terhadap dekstrin sagu dan kelapa sawit sedangkan dekstrin sagu berbeda nyata terhadap dekstrin kelapa sawit. Dekstrin kelapa sawit memiliki kelarutan dalam air dingin yang lebih rendah dibanding dekstrin sagu dan tapioka. Asam akan menghidrolisis pati secara acak, memutuskan ikatan glikosidik dan menghasilkan fragmen sakarida dengan ukuran dan bobot molekul
52
yang lebih kecil dan menurunkan viskositas produknya (Smith 1982; BeMiller dan Whistler 1996; Bentacur dan Chel 1997). Rendahnya kelarutan dalam air dingin dekstrin kelapa sawit diduga sakarida yang dihasilkan akibat hidrolisis asam memiliki ukuran dan bobot molekul yang lebih tinggi dibanding dekstrin sagu dan tapioka. Demikan juga dekstrin sagu terhadap tapioka, sehingga kelarutan dalam
Kelarutan dalam air dingin (%bk)
air dingin dekstrin sagu lebih rendah dari tapioka. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tapioka
Sagu
Sawit
SNI Pangan
SNI Non Pangan
Gambar 27 Kelarutan air dingin dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam Kelarutan air dingin dekstrin kelapa sawit dari hidrolisis enzim lebih rendah dari asam. Hal ini menunjukan penerimaan pati kelapa sawit terhadap αamilase rendah sehingga hidrolisisnya berjalan lambat. Sakarida yang dihasilkan masih berbobot molekul tinggi sehingga kelarutannya lebih rendah dari asam. Tapioka yang memiliki penerimaan terhadap terhadap α-amilase tinggi, hidrolisisnya dapat bereaksi dengan cepat sehingga sakarida yang dihasilkan memiliki bobot molekul yang rendah dan mudah larut dalam air dibandingkan dengan asam. Viskositas Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 7 dan 8 menunjukkan bahwa jenis pati berbeda nyata pada α = 5% terhadap viskositas dekstrin yang dihasilkan baik secara enzimatis dan asam. Gambar 28 berikut menyajikan viskositas dekstrtin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis.
53
16
Viskosotas (cP)
14 12 10 8 6 4 2 0
Tapioka
Sagu
Sawit
Gambar 28 Viskositas dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis. Nilai viskositas dekstrin tapioka 3,82 cP, sagu 4,90 cP dan kelapa sawit 4,96 cp (Tabel 11). Hasil uji lanjut Duncan pada α = 5% dapat dilihat pada Lampiran 7 menunjukkan viskositas dekstrin tapioka berbeda nyata dengan dekstrin sagu dan kelapa sawit, sedangkan dekstrin sagu tidak berbeda nyata dengan dekstrin kelapa sawit. Rendahnya viskositas dekstrin tapioka dibanding dekstrin sagu dan kelapa sawit diduga proses hidrolisis pati oleh α-amilase pada pati sagu dan kelapa sawit menghasilkan sejumlah besar sakarida dengan bobot molekul tinggi dibanding tapioka hal ini mengakibatkan viskositas dekstrin tapioka lebih rendah dibanding sagu dan kelapa sawit (Wang YJ dan Wang L 2000). Hidrolisis asam menghasilkan viskositas dekstrin tapioka 5,52 cP, sagu 15,42 cP dan kelapa sawit 9,50 cP (Tabel 11). Hasil uji lanjut Duncan pada α = 5% dapat dilihat pada Lampiran 8 menunjukkan viskositas dekstrin tapioka berbeda nyata dengan dekstrin sagu dan kelapa sawit, sedangkan dekstrin sagu berbeda nyata dengan dekstrin kelapa sawit. Konsentrasi yang sama dekstrin sagu lebih kental dari kelapa sawit dan tapioka, sedangkan dekstrin kelapa sawit lebih kental dari tapioka. Gambar 29 menyajikan viskositas dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit. Perbedaan viskositas ini disebabkan perbedaan sakarida sakarida yang dihasilkan oleh hidrolisis asam terhadap pati sagu, kelapa sawit dan tapioka. Semakin banyak sakarida yang berukuran dan berbobot molekul tinggi maka viskositas akan semakin besar, disamping itu kemampuan retrograsi
54
fraksi amilosa juga dapat meningkatkan viskositas dekstrin yang dihasilkan (Wang YJ dan Wang L 2000).
16
Viskositas (cP)
14 12 10 8 6 4 2 0 Tapioka
Sagu
Sawit
Gambar 29 Viskositas dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam. Hidrolisis enzimatis menghasilkan viskositas dekstrin yang lebih rendah dibandingkan dengan hidrolisis asam. Hal ini disebabkan sakarida yang dihasilkan hidrolisis enzimatis memiliki rantai yang lebih pendek dan berbobot molekul rendah dibanding asam. Derajat Putih
Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 7 dan 8 menunjukkan bahwa jenis pati berbeda nyata pada α = 5% terhadap derajat putih dekstrin yang dihasilkan secara enzimatis dan asam. Gambar 30 menyajikan derajat putih dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit. Gambar 31 sampel dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit yang dihasilkan dari hidrolisis enzimatis. Derajat putih dekstrin yang dihasilkan turun dari derajat putih pati aslinya (Tabel 8). Penurunan derajat putih ini disebabkan oleh reaksi Maillard dan karamelisasi sewaktu proses likuifikasi dan pengeringan (Hollnagel dan Kroh 2000). Reaksi Maillard disebabkan interaksi gula pereduksi (aldosa dan ketosa) dengan protein (group asam amino) yang menghasilkan senyawa yang kompleks yang bewarna coklat sering juga disebut melanoidin (Kearsley dan Dziedzic 1995; Hollnagel dan Kroh 2000)
55
100
Derjat putih (% Baso4)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Tapioka
Sagu
Sawit
Gambar 30 Derajat putih dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis. Proses karamelisasi umumnya terjadi bila dalam kondisi tanpa adanya air, larutan glukosa akan terkaramelisasi bila dipanaskan pada suhu tinggi. setiap jenis gula berbeda kepekaannya terhadap panas, dengan kata lain berbeda dalam suhu dimana gula mulai mengkaramel. Adanya karamel disuatu produk umumnya dapat diindikasikan dengan adanya komponen 5-(hidroksimetil)-2furaldehida (HMF) yang merupakan komponen yang banyak terbentuk selama proses karamelisasi ( Muchtadi et al. 1992)
Komersial
Tapioka
Sagu
Sawit
Gambar 31Dekstrin komersial, tapioka, sagu dan kelapa sawit hasil hidrolisis enzimatis. Nilai derajat putih dekstrin tapioka 85,59 %, sagu 67,79 % dan kelapa sawit 63,76 % (Tabel 11). Hasil uji lanjut Duncan pada α = 5% dapat dilihat pada
56
Lampiran 7 menunjukkan derajat putih dekstrin tapioka berbeda nyata dengan dekstrin sagu dan kelapa sawit, demikian juga dekstrin sagu berbeda nyata dengan dekstrin kelapa sawit. Perbedaan ini diduga disebabkan kandungan senyawa melanoidin dan HMF yang terbentuk pada desktrin tapioka lebih rendah dari sagu dan kelapa sawit, demikian juga sagu lebih rendah dari kelapa sawit. Hasil uji lanjut Duncan pada α = 5% terhadap derajat putih dekstrin hidrolisis asam dapat dilihat pada Lampiran 8 menunjukkan derajat putih dekstrin tapioka berbeda nyata dengan dekstrin sagu dan kelapa sawit, demikian juga dekstrin sagu berbeda nyata dengan dekstrin kelapa sawit. Nilai derajat putih
Derajat Putih (% BaSO4)
dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit disajikan pada Gambar 32 berikut. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tapioka
Sagu
Sawit
Gambar 32 Derajat putih dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam. Nilai derajat putih dekstrin tapioka 87,48 %, sagu 63,50 % dan kelapa sawit 66,53 % (Tabel 11) lebih rendah dari nilai derajat putih pati aslinya (Tabel 8). Hal ini disebabkan proses pemanasan dan pengeringan dalam pembuatan dekstrin, mengakibatkan reaksi Maillard (antara gula pereduksi dan protein atau asam amino) dan karamelisasi akibat pemanasan karbohidrat. Senyawa akhir bewarna yang dihasilkan selama proses karamelisasi tidak sama dengan yang diproduksi dari reaksi Maillard meskipun protein tidak terlibat langsung didalam proses karamelisasi (Kearsley dan Dziedzic 1995). Pati dihidrolisis oleh HCl menjadi D-glukosa dan komponen campuran dari berbagai DP yang kecil termasuk dekstrin dan malto-oligosakarida. adanya glukosa
dapat
membentuk
menyebabkan
dehidrasi
5-hidroksimetil-furfuraldehida
intramolekul (HMF)
yang
dari
glukosa
yang
selanjutnya
bisa
terdekomposisi menjadi asam levolinat dan asam format. Proses ini diikuti oleh 57
reaksi yang lebih kompleks menghasilkan senyawa bewarna kuning coklat yang disebut melanoidin (Tegge 1984). Perbedaan nilai derajat putih dari dekstrin tapioka, kelapa sawit dan sagu disebabkan banyaknya senyawa melanoidin dan HMF yang terbentuk, semakin banyak senyawa tersebut terbentuk maka derajat putihnya akan semakin rendah, demikian juga sebaliknya. Gambar 33 berikut disajikan sampel dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam.
Komersial
Tapioka
Sagu
Sawit
Gambar 33 Desktrin komersial, tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam. Kejernihan Pasta
Kejernihan pasta dinyatakan dengan nilai persentasi transmitant (%T). Dengan mengukur cahaya transmisi 1 cm sel dari pasta kita dapat mengetahui opasitas dari pasta pati, Nilai %T dari 100 – 0, semakin kecil nilai %T berarti opasitasnya meningkat. Dengan mengetahui tingkat opasitas kita dapat mengaplikasikan pati sesuai dengan kejernihan pastanya (Pomeranz 1991). Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 7 dan 8 menunjukkan bahwa jenis pati berbeda nyata pada α = 5% terhadap kejernihan pasta dekstrin yang dihasilkan bbaik secara enzimatis dan asam. Gambar 34 menyajikan kejernihan pasta dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis. Hasil uji lanjut Duncan pada α = 5% dapat dilihat pada Lampiran 7 menunjukkan kejernihan
58
pasta dekstrin tapioka berbeda nyata dengan dekstrin sagu dan kelapa sawit, demikian juga dekstrin sagu berbeda nyata dengan dekstrin kelapa sawit. Nilai kejernihan pasta dekstrin tapioka 88,53 %, sagu 75,78% dan kelapa sawit 44,45 % (Tabel 11). Hal ini menunjukkan dekstrin dari tapioka lebih jernih dari sagu dan kelapa sawit. Kejernihan pasta secara langsung berhubungan dengan kecenderungan pati yang mengalami retrogradasi (Swinkels 1985). Menurut Reddy dan Seib (2000) kejernihan pasta ditentukan dengan tingkat pengembangan granula, hasil penelitiannya terhadap pati waxy memiliki kejernihan pasta yang tinggi dibandingkan dengan pati modifikasi ikatan silang. Hal ini menunjukan pati ikatan silang waxy menurunkan pengembangan granula didalam air panas sehingga menurunkan kejernihan pastanya dibandingkan pati induk. Rendahnya kejernihan pasta dekstrin kelapa sawit dibanding sagu dan tapioka disebabkan kecenderungan retrogradasinya lebih tinggi dan rendahnya jumlah granula yang mengembang sehingga lebih buram dan opaque. Demikian juga halnya dekstrin sagu terhadap tapioka. 90
Kejernihan Pasta (%T)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Tapioka
Sagu
Sawit
Gambar 34 Kejernihan pasta dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis. Hasil uji lanjut Duncan pada α = 5% dapat dilihat pada Lampiran 8 kejernihan pasta hidrolisis asam menunjukkan dekstrin tapioka berbeda nyata dengan dekstrin sagu dan kelapa sawit, demikian juga dekstrin sagu berbeda nyata dengan dekstrin kelapa sawit. Kejernihan pasta dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit disajikan pada Gambar 35.
59
90 Kejernihan Pasta (%T)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tapioka
Sagu
Sawit
Gambar 35 Kejernihan pasta dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam. Sifat pasta pati sangat ditentukan oleh jenis pati, konsentrasi pati, prosedur pemanasan dan adanya bahan-bahan lain. Pasta pati mengandung granula-granula yang tidak dapat mengembang, mengembang sebagian, mengembang seluruhnya, fragmen-fragmen dari granula yang mengembang, molekul pati yang tidak larut dan sisa pati yang teretrogradasi. Kejernihan pasta sangat tergantung dari jenis asal patinya. Pasta pati sereal yang umum (jagung, gandum, sorgum dan padi) bersifat buram dan keruh (Opaque), sedangkan pasta pati yang berasal dari umbi (kentang), akar (tapioka dan ubi jalar) dan pati waxy tampak jernih (Swinkels 1989) Dekstrin tapioka memiliki kejernihan 78,42 %, sagu 44,90 % dan kelapa sawit 29,98 % (Tabel 11). Rendahnya kejernihan pasta kelapa sawit terhadap sagu dan tapioka demikian juga halnya sagu terhadap tapioka disebabkan kemampuan dispersinya yang rendah dan retrogradasi yang tinggi selain itu rendahnya kemampuan mengembang dekstrin sehingga meningkatkan sifat opasitasnya (Swinkels 1989 dan Pomeranz 1991). Derajat Asam
Derajat asam adalah jumlah mol asam yang dapat dinetralkan oleh NaOH 0,1 N dalam 100 g bahan. Proses pembuatan dekstrin secara enzimatis menggunakan pH sesuai dengan pH optimum dari α-amilase yaitu 5,2. Nilai derajat asam dari dekstrin tapioka 0,82, sagu 0,6 dan kelapa sawit 1,65 dengan
60
satuan ml NaOH 0,1 N dalam 100 g bahan. Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa jenis pati berbeda nyata pada α = 5% terhadap derajat asam dekstrin yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan pada α = 5% dapat dilihat pada Lampiran 8 menunjukkan derajat asam dekstrin kelapa sawit berbeda nyata dengan dekstrin tapioka dan sagu, demikian juga dekstrin tapioka berbeda nyata dengan dekstrin sagu. Nilai derajat asam dekstrin tapioka, sagu
Derajat asam (ml NaOH 0,1N/100g)
dan kelapa sawit disajikan pada Gambar 36 berikut ini.
6 5 4 3 2 1 0 Tapioka
Sagu
Sawit
SNI Pangan
SNI Non Pangan
Gambar 36 Derajat asam dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam Derajat asam dekstrin kelapa sawit 1,84, tapioka 1,17 dan sagu 0,42 dengan satuan ml NaOH 0,1 N dalam 100 g dekstrin (Tabel 11). Derajat asam ini berkaitan dengan pH semakin rendah pHnya maka derajat asam akan semakin tinggi. Adanya penambahan HCl dalam proses hidrolisis asam akan menurunkan pH suspensi pati yang dihidrolisis (Tabel 10). Setelah proses hidrolisis mencapai DE yang diinginkan dilakukan penetralan dengan penambahan 32,5 ml NaOH 0,2 N. Dalam penelitian ini yang menjadi tolak ukur adalah dekstrin tapioka karena hidrolisatnya masih bersifat cair setelah mencapai suhu kamar dan kisaran pHnya 6 – 6,5. Penetralan asam yang sama dilakukan tehadap hidrolisat dekstrin kelapa sawit dan sagu tetapi tidak dapat diukur pHnya karena mengental pada suhu kamar.
61
Perbedaan derajat asam dari dekstrin yang dihasilkan diduga disebabkan karena perbedaan pH suspensi pati awal (Tabel 10) yang disebabkan perbedaan kualitas air yang dipakai sewaktu proses ekstraksi patinya. Selain itu derajat asam juga dipengaruhi oleh jumlah asam yang menguap sewaktu proses hidrolisis. Potensi Pemanfaatan Limbah Batang Kelapa Sawit
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah batang sawit adalah memanfaatkan batang tersebut untuk pembuatan papan partikel yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Bagian atas batang kelapa sawit dapat diambil seratnya kemudian dimanfaatkan untuk bahan pembuatan papan partikel. Disamping untuk papan partikel, batang kelapa sawit pada bagian atas tersebut dapat diekstrak patinya. Pati tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan baku untuk fermentasi alkohol (Ginting 1995; Tomimura 1992). Batang kelapa sawit memiliki kandungan lignin yang rendah dan karbohidrat yang relatif tinggi sehingga memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selain itu dapat juga diekstrak xilan yang akan digunakan sebagai bahan baku pangan dan farmasi untuk dijadikan xilitol. Xilitol ini dapat digunakan sebagai bahan pemanis non kalori untuk penderita diabetes. Asam ρhidroksibenzoat dapat juga diekstrak dari batang kelapa sawit kemudian dengan proses polimerisasi dapat dijadikan poliester yang akan digunakan sebagai plastik teknis. Industri minyak sawit juga menghasilkan limbah berupa tandan buah kosong yang mengandung Kalium karbonat cukup tinggi dengan proses kaustifikasi dapat dijadikan larutan alkali. Larutan KOH ini dapat digunakan untuk mengesktrak pati, xilan dan Asam ρ-hidroksibenzoat dari batang kelapa sawit. Gambar 37 akan menjelaskan pemanfaatan limbah batang kelapa sawit dari hasil peremajaan (Tomimura 1992). Proses ekstraksi pati dari batang kelapa sawit yang telah dilakukan (Gambar 14) 2 m dari bagian atas batang. Kulit dan sisa batang kelapa sawit dimanfaatkan untuk kayu gergajian terkompregnasi dan papan partikel. Jumlah pohon yang digunakan 6 pohon (6 log batang kelapa sawit), selanjutnya dihitung biaya produksi dan nilai tambahnya.
62
Poliester
ρ-Asam hydroksibenzoat
Xilitol
Xilan
Alkohol
Pati
Bahan bagunan
Batang
Pakan Ternak
Larutan Alkali Tanaman Kelapa Sawit Kaustifikasi
Buah
Pembakaran
Abu
Tandan Buah Kosong
Minyak Kelapa Sawit
Energi
Gambar 37 Pemanfaatan limbah batang kelapa sawit (Tomimura 1992).
Biaya produksi pati kelapa sawit
Proses ekstraksi pati kelapa sawit diawali dengan pembelahan batang, penyerutan dengan mesin serut, peremasan dan penyaringan dan dikeringkan dengan penjemuran pada matahari seperti yang disajikan pada Gambar 38 berikut.
63
Air Batang kelapa sawit
Pemotongan
Penyerutan
Peremasan/ penyaringan
Bak Pengendap an
Serat
Air
Kulit kayu
Penjemuran
Gambar 38 Diagram alir peralatan ekstraksi pati kelapa sawit. Biaya produksi pati kelapa sawit meliputi biaya tetap dan operasional. Asumsi dasar yang digunakan dalam proses ekstraksi disajikan pada Tabel 13. Biaya tetap meliputi biaya penyusutan dan pemeliharaan alat seperti yang disajikan pada Tabel 14, sedangkan biaya operasional atau variabel meliputi harga bahan baku, tranportasi, tenaga kerja dan bahan pembantu dalam proses produksi disajikan pada Tabel 15. Tabel 13 Asumsi dasar produksi pati kelapa sawit Komponen
Asumsi dasar
Mesin serut
kapasitas1200 kg/hari, listrik 2,2 KW
Bak pengendap
Volume 3 m3, Kebutuhan 75 m3/hari
Rendemen pati
4,7%
Pengeringan pati
Matahari
Batang kelapa sawit
Limbah peremajaan
Biaya perawatan
1% harga alat/tahun
Biaya listrik
Rp 589,33/KWH
Biaya penyediaan air
Rp 150/m3
1 Hari kerja
8 jam
Bahan bakar
1 liter Bensin/hari
Sumber air
Irigasi
64
Tabel 14 Biaya tetap produksi pati kelapa sawit Komponen Biaya
Kebutuhan Satuan
Harga (Rp/sat)
Umur Ekonomis Biaya(Rp) (thn) Penyusutan/hari Pemeliharaan/hari
Mesin Serut
1
buah
4 800 000 4 800 000
10
1315,07
Chain saw
1
buah
2 000 000 2 000 000
10
547,95
54,79
Bak pengendap
5
buah
500 000 2 500 000
5
1369,86
68,49
Bak penampung air
1
buah
200 000
200 000
5
109,59
5,48
Alat penyaring
1
buah
10 000
10 000
0.5
54,79
0,27
Pipa aliran air
50
meter
5 000
250 000
5
136,99
6,85
Tampah
10
buah
10 000
100 000
1
Total
131,51
273,97
2,74
3 808,22
270,14
Tabel 15 Biaya tidak tetap produksi pati kelapa sawit Komponen biaya Kebutuhan Batang sawit 1200 listrik 17.6 Air 75 Bensin 1 Tenaga kerja 5 Total
satuan kg kilowatt meter kubik liter orang
Harga(Rp/sat) Biaya(Rp)/hari 0 0,0 600 10 560,0 150 11 250,0 4 500 4 500,0 18 000 90 000,0 116 310,0
Rendemen dari ekstraksi 1 200 kg batang kelapa sawit akan menghasilkan 56, 4 kg pati kering kadar air ± 10%, Dengan biaya Rp 120 388,36. Dengan demikian untuk mendapatkan 1 kg pati kelapa sawit dibutuhkan biaya Rp 2 134,5. Harga pati komersial Rp. 2500 dan akan memberikan nilai tambah Rp 20 611,38. Kayu gergajian terkompregnasi dan papan partikel kelapa sawit
Volume batang kelapa sawit berkisar antara 1-1,5m3/pohon. Rendemen kayu gergajian dari bahan baku batang kelapa sawit dengan berbagai pola penggergajian adalah 30% yang berarti setiap 1m3 batang bulat dihasilkan kayu gergajian 0,3m3. Batang yang dimanfaatkan sebagai kayu gergajian ini adalah bagian luar dari batang kelapa sawit, sedangkan bagian dalam potensial dimanfaatkan untuk papan partikel dengan rendemen 20-30% (Bakar et al. 2000; Prayitno dan Darnoko 1994) Kulit kayu dan 6 batang pohon kelapa sawit sisa pengolahan pati dapat dijadikan kayu gergajian terkompregnasi sebanyak 1,8 m3 dan papan partikel sebanyak 1,5 m3. Biaya pengolahan tiap m3 kayu gergajian kelapa sawit terkompregnasi disajikan pada Tabel 16.
65
Bila dibandingkan dengan harga kayu kamper yang biaya produksinya mencapai Rp 1,8 juta/m3, harga kayu sawit terkompregnasi hanya sekitar 40% (Rp 764 064,99/m3). Dengan harga ini, prospek kayu sawit terkompregnasi akan lebih mampu bersaing di pasaran dengan harga jual apalagi ditunjang dengan penampakan serat yang disukai oleh masyarakat sehingga meningkatkan nilai jualnya (Bakar et al. 2000) Tabel 16 Biaya pengolahan kayu sawit terkompregnasi per m3 Komponen Biaya
Biaya (Rp/m3)
A. Biaya tetap
15 036,45
1. Penyusutan
8 690,65
2. Gaji karyawan
3 981,01
3. Asuransi 4. Biaya overhead 5. Pajak
50,29 1 409,07 909,42
B. Biaya Variabel
749 028,54
1. Biaya tebang
7 500,00
2. Biaya angkut
17 657,24
3. Biaya bongkar muat
5 000,00
4. Biaya penggergajian
120 000,00
5. Biaya pengeringan
100 000,00
6. Biaya impregnasi
486 000,00
7. Biaya pemiliharaan
783,70
8. Biaya bahan bakar
6 673,04
9. Upah langsung
5 414,56
Total
764 064,99
Sumber : Bakar et al. 2000 Hasil penelitian nilai tambah penggergajian kayu sawit sebesar Rp 30 3
900/m (Bakar et al. 2000) maka nilai tambah pengolahan 6 batang kelapa sawit sebesar Rp 55 620 (1,8 m3 kayu sawit gergajian). Papan partikel kelapa sawit biaya produksi berdasarkan asumsi sekitar Rp 855 209 dan harga jual Rp 1 113 000 untuk tiap m3( Machfud, 2005). Dengan demikian akan memberikan nilai tambah Rp 386 686,5 (1,5 m3 papan partikel kelapa sawit).
66
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Ekstraksi batang kelapa sawit memberikan rendemen sekitar 4,7 % pati. 2. Komposisi pati kelapa sawit memiliki kadar lemak (0,37%), abu (0,68%) dan serat (1,78%) yang lebih tinggi dibanding sagu dan tapioka, sedangkan kandungan amilosanya (28,76%) lebih rendah. Pati kelapa sawit memiliki suhu gelatinisasi (770C) yang sama dengan sagu tapi lebih besar dari tapioka, sedangkan derajat putihnya (83,02%) hampir sama dengan sagu. Kejernihan pasta (15,4%T) pati kelapa sawit lebih kecil dari pati komersial. 3. Dekstrin yang dihasilkan dari kelapa sawit baik hidrolisis enzimatis dan asam lebih rendah mutunya dibandingkan dekstrin tapioka, tetapi hampir sama mutunya dibandingkan dengan sagu. Saran 1. Proses ekstraksi pati dari batang kelapa sawit menghasilkan serat bebas pati yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sehingga perlu kajian lebih lanjut untuk pemanfaatannya. 2. Pembuatan dekstrin dengan metoda enzimatis masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk metoda in aktifasi enzimnya yang tidak akan meningkatkan kadar abu dari produk dekstrinnya dan langsung dapat menghentikan proses hidrolisisnya.
67
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists. Washington : AOAC. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB. Atichokudomchai N, Jane J-L, Hazlewood G. 2005. Reaction Pattern of a Novel Thermostable α-Amylase. Carbohydr. Polymer : Article In Press. Azemi M, Noor M, Dos AMM, Islam MD, Mymensingh, Mehat NA. 1999. PhysicoChemical Properties of Oil Palm Trunk Starch. Starch/Starke 51 : 293 – 301. Bakar ES, Rahman O, Massijaya Y, Bahruni.2000. Pemanfaatan Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Sebagai Bahan Bangunan dan Furniture. Laporan Hibah Bersaing VI/3 Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1999/2000. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor. BeMiller JN, Whistler RL. 1996. Carbohydrates. Di dalam : Food Chemistry. Fennema OR, editor. New York : Marcel Dekker Inc. Bentacur AD, Chel GL. 1997. Acid Hydrolysis and Characterization of Canavalia ensiformis Starch. J. Agric. Food Chem. 45 : 4237-4241. Bigelis R. 1993. Carbohydrases. Di dalam : Enzymes In Food Processing. Nagodawithana T, G. Reed, editor. San Diego : Academic Press Inc. BIOTOL. 1991. Biotechnological Innovations in Food Processing. Nederland and United Kingdom : Open Universitiet and Thames Polytechnic. Biro Pusat Stastik. 2001. Statistik Luar Negeri Indonesia. Impor 2001. Jilid I. Jakarta : BPS. ----------. 2002. Statistik Luar Negeri Indonesia. Impor 2002. Jilid I. Jakarta : BPS. ----------. 2003. Statistik Luar Negeri Indonesia. Impor 2003. Jilid I. Jakarta : BPS. ----------. 2004. Statistik Luar Negeri Indonesia. Impor 2004. Jilid I. Jakarta : BPS. ----------. 2005. Statistik Luar Negeri Indonesia. Impor 2005. Jilid I. Jakarta : BPS. Chilmijati N. 1999. Karakterisasi Pati Garut dan Pemanfaatannya sebagai Sumber Bahan Baku Glukosa Cair [tesis]. Bogor : Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Chronakis IS. 1998. On the Molecular Characteristics, Compositional Properties, and Structural-Functional Mechanisms of Maltodextrin : A Review. Critical Review in Food Science. 38 (7) : 599-637.
Dewan Standarisasi Nasional. 1989. Dekstrin Untuk Industri Non Pangan (SNI 06-1451-1989). Jakarta : Dewan Standarisasi Nasional. Dewan Standarisasi Nasional. 1992. Dekstrin Industri Pangan (SNI 01-25931992). Jakarta : Dewan Standarisasi Nasional. Dubois M, Gilles KK, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric Method for Determination of Sugars and Related Substances. Anal. Chem. 28 : 350 Dziedzic SZ Kearsley MW. 1984. Glucose Syrup, Science, and Technology. London and New York : Elsevier Applied Science Publisher. Ega L. 2002. Kajian Sifat Fisik dan Kimia serta Pola Hidrolisis Ubi Jalar Jenis Unggul Secara Enzimatis dan Asam [disertasi]. Bogor : Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Endo S. 1988. Thermostable Bacterial α-amylases. Di dalam : The Amylase Research Society of Japan. Handbook of Amylases and Related Enzymes. Toronto : Pergamon Press. Fleche G. 1985. Chemical Modification and Degradation of Starch. Di dalam : Starch Conversion Technology. Van Beynum GMA, Roels A, editor. New York : Marcel Dekker Inc. Fogarty WM. 1983. Microbial Enzymes and Biotechnology. London : Applied Sciences Published Ltd. French D. 1984. Organization of Starch Granules. Di dalam : Starch : Chemistry and Technology. Whistler RL, BeMiller JN, Paschall EF, editor. Orlando, Florida : Academic Press Inc. Fullbrook PD. 1984. The Enzymic Production of Glucose Syrups. Di dalam : Glucose Syrup, Science, and Technology. Dziedzic, SZ, Kearsley M, editor. London and New York : Elsevier Applied Science Publisher. Gaman PM, Sherington KB. 1992. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi kedua. Gardjito M, Naruki S, Murdiati A, Sardjono, penerjemah. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : The Science of Food : An introduction to Food Science, Nutrition and Microbiology. Garard ID. 1976. The Introductory Food Chemistry. Westport, Connecticut : The AVI Publ. Co. Inc. Ginting S. 1995. Sifat-Sifat Pasta Pati Batang Kelapa Sawit dalam Bentuk Derivat Asetat dan Derivat berikatan Silang Fosfat pada berbagai pH [tesis]. Yogyakarta : Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada. Griffin VK, Brooks JR. 1989. Production and Size Distribution of Rice Maltodextrins Hydrolyzed from Milled Rice Flour Using Heat-Stable Alpha-Amylase. J. of Food Sci. 54 (1) : 1989-1993
69
Gunawan W. 2005. Hidrolisis Enzimatis Pati Umbi-Umbian Indonesia dengan αAmilase (Bacterial) dan Amilase Pankreatin [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Guritno P, Darnoko D. 2003. Teknologi Pemanfaatan Limbah Dari Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit. Seminar Nasional : Mengantisipasi Regenerasi Pertama Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia 9 – 10 April 2003. Bali : max havelaar indonesiafoundation. Hidayat A. 1988. Penetapan Pati. Di dalam : Laporan Kemajuan Pelatihan Laboratorium BPTP Naibonat-Bulan Mei 1998. Kerjasama PT. Cakra Hasta dengan Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Holnagel A, Kroh LW. 2000. Degradation of Oligosaccharides in Nonenzymatic Browning by Formation of Alpha-Dicarbonyl Coumpounds Via a “Peeling of” Mechanism. J. Agric. Food Chem. 48 : 6219-6226 Jane J, Shen L, Chen J, Lim S, Kasemsuwan T, Nip WK. 1992. Physical and Chemical Studies of Taro Starches and Flours. Cereal Chem. 69 : 528 – 534. Judoamidjojo RM, Said EG, Hartoto L. 1989. Biokonversi. Bogor : PAU Bioteknologi IPB. Kearsley MW, Dziedzic SZ. 1995. Physical and Chemical Properties of Glucose Syrups. Di dalam : Handbook of Starch Hydrolysis Products and Their Derivatives. Kearsley MW, Dziedzic SZ, editor. London : Blackie Academic & Professional. Kennedy HM, Fischer ACJ. 1984. Starch And Dextrin In Prepared Adhesives. Di dalam : Starch : Chemistry and Technology. Whistler RL, BeMiller dan EF, editor. Second Edition. Florida : Academic Press Inc. Orlando. Lawal OS, Adebolawe KO. 2005. Physicochemical Characteristic and Thermal Properties of Chemically Modified Jack Bean (Canavalia ensiformis) Starch. Carbohydr. Polymer 60 : 331-341. Lim S, Seib PA. 1993. Preparation and Pasting Properties of Wheat and Corn Starch Phosphates. Cereal Chem. 70: 137-144. Luis A, Bello-Perez, Agama-Acevedo E, Sanchez-Hernandez L, Paredes-Lovez O. 1999. Isolation and Partial Characterization of Banana Starches. J. Agric. Food Chem. 47 : 854-857. Machfud AK. 2005. Perencanaan Sistem Penunjang Keputusan Pendirian Industri Papan Partikel Dengan Bahan Baku Utama Tandan Kosong Kelapa Sawit (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Garut) [skripsi].Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Montgomery DC. 1991. Design and Analysis of Experimental. 3rd Edition. New York : John Wiley & Son.
70
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Metode Kimia, Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Petunjuk Laboratorium. Bogor: PAU Institut Pertanian Bogor. Muhammad K, Husin F, Man YC, Ghazali HM, Kennedy JF. 2000. Effect of pH on Phosphorylation of Sago Starch. Carbohydr. Polymer 42 : 85-90. Olsen HS. 1995. Enzymatic Production of Glucose Syrups. Di dalam : Handbook of Starch Hydrolysis Products and Their Derivatives. Kearsley MW, Dziedzic SZ, editor. London : Blackie Academic & Professional. Prayitno TA, Darnoko. 1994. Karakteristik Papan Partikel dari Pohon Kelapa Sawit. Berita PPKS. 2:211-220. Pei-Lang AT, Mohamed AMD, Karim AA. 2006. Sago Starch and Composition of Associated Components in Palm of Different Growth Stages. Carbohydr. Polymer 63 : 283-286. Pitcher WH. 1980. Immobilized Enzyme for Food Processing. Tokyo : CRC Press Inc. Pomeranz Y. 1991. Functional Properties of Food Components. San Diego : Academic Press Inc. Radley JA. 1976. Industrial Uses of Starch and Its Derivates. London : Applied Science Publishers LTD. Ratnayake WS, Hoover R, Sahidi F, Perera C, Jane J. 2001. Composition, Molecular Structure, and Physicochemical Properties of Starches from Four field Pea (Pisum sativum L.) Cultivar. J. Food Chem 74 : 189-202. Reddy I, Seib PA. 2000. Modified Waxy Wheat Starch Compared to Modified Waxy Corn Starch. J. of Cereal Sci.31 : 25-39. Ruterlberg MW, Solarek D. 1984. Starch Derivatives Production and Uses in Starch. Di dalam : Starch : Chemistry and Technology. Whistler RL, BeMiller JN, Paschall EF, editor. Orlando, Florida : Academic Press Inc. Satterwaite RW, Iwinski DJ. 1973. Starch Dextrin. Di dalam : Industrial Gum Polysaccharides and Their Derivatives. Whistler RL, editor. New York : Academic Press. Smith PS. 1982. Starch Derivatives and Their Use in Foods. Di dalam : Food Carbohydrates. Lineback DR, Inglet GE, editor. Wesport, Connecticut : AVI Publ. Co. Inc. Soekarto ST. Puspawardani L, Armelia M. 1991. Peningkatan Nilai Tambah Tepung Sagu Dengan Proses Modifikasi Pati Untuk Bahan Dasar Industri Pangan dan Non Pangan. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Somaatmadja D. 1970. Pengolahan Jagung. Bogor : Balai Penelitian.
71
Somaatmadja D. 1984. Pemanfaatan Ubi Kayu Dalam Industri Pertanian. Komunikasi No. 124. Bogor : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian. Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor : PAU Bioteknologi IPB. Susila RW. 2003. Peta perencanaan dan Peluang Investasi pada Regenerasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Seminar Nasional : Mengantisipasi Regenerasi Pertama Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia 9 – 10 April 2003. Bali : max havelaar indonesiafoundation. Swinkels JJM. 1985. Sources of Starch, its Chemistry and Physics. Di dalam : Starch Conversion Technology. Van Beynum GMA, Roels A, editor. New York : Marcel Dekker Inc. Taji N. 1988. Industrial Utilization of α-amylases. Di dalam : The Amylase Research Society of Japan. Handbook of Amylases and Related Enzymes. Toronto : Pergamon Press. Tegge D. 1984. Glucose Syrups : Raw Material. Di dalam : Glucose Syrup, Science, and Technology. Dziedic, SZ, Kearsley MW, editor. London and New York : Elsevier Applied Science Publisher. Tjokroadikoesoemo PS. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta : Gramedia. Tomimura. 1992. Chemical Characteristic and Utilization of Oil Palm Trunks. JARQ 25 : 283- 288. Van der Maarel MJEC, Van der Veen B, Uitdehaag JCM, Leemhuis H, Dijkhuizen L. 2002. Properties and Applications of Starch-Converting Enzymes of α-Amylase Family. Review Article. J. of Biotechnol. 94 : 137-155 Wang YJ, Wang L. 2000. Structures and Properties of Commercial Maltodextrin from Corn, Potato, and Rice Starch. Starke 52 : 296-304. Wang YJ, Wang L. 2001. Structures and Physicochemical Properties of AcidThinned Corn, Potato, and Rice Starch. Starke 53 : 570-576. Whitaker JR. 1994. Principles of Enzymology for the Food Sciences. New York : Marcel Dekker Inc. Wibraham AC, Matta MS. 1992. Terjemahan. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Suminar A, Penerjemah. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari : Introduction to Organic and Biological Chemistry. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia. Wurzburg OB. 1989. Modified Starch : Properties and Uses. Boca Raton : CRC Press Inc.
72
YamamotoT. 1988. Bacterial α-amylases (Liquifiying and Saccharifying Types) of Bacillus subtilis and Related Bacteria. Di daIam : The Amylase Research Society of Japan. Handbook of Amylases and Related Enzymes. Toronto : Pergamon Press. Yankov D, Dobreva E, Beschkov V, Emanuilova E. 1986. Study of Optimum Condition and Kinetics of Starch Hydrolysis by means of Thermostable α-Amylase. J. Enzyme Microb. Technol. 8 : 665
73
Lampiran 1 Prosedur analisa sifat fisiko-kimia pati 1. Kadar Air (AOAC 1995). Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah dikeringkan selama satu jam pada suhu 1050C dan telah diketahaui beratnya. Sampel tersebut dipanaskan pada suhu 1050C selama tiga jam, kemudian didinginkan dalam desikator sampai dingin kemudian ditimbang. Pemanasan dan pendinginan dilakukan berulang sampai diperoleh berat sampel konstan.
Kadar Air = Berat sampel awal – Berat sampel akhir x 100% Berat sampel awal
2. Kadar Abu (AOAC 1995) Sampel sejumlah 2 g dimasukkan kedalam cawan porselin kering yang telah diketahui beratnya (yang terlebh dulu dibakar dalam tanur dan didinginkan dalam desikator). Kemudian sampel diarangkan didalam ruang asam sampai tidak mengeluarkan asap. sampel dimasukkan kedalam tanur dengan suhunya 6000C sampai terbentuk abu yang bewarna abu-abu. Sampel yang telah berbentuk abu didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang beratnya hingga mencapai berat tetap. Kadar abu dihitung dengan formula sebagai berikut. Kadar abu =
bobot abu (g) x 100 % bobot sampel (g)
4. Kadar Protein (Metode KjeIdahl, AOAC 1995) Sampel sebanyak 0,1 g yang telah yang telah dihaluskan dimasukkan kedalam labu kjedhal 30 ml selanjutnya ditambahkan dengan 2,5 ml H2SO4 pekat, satu g katalis dan batu didih. Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam atau sampai cairan bewarna jernih. Labu beserta isinya didinginkan lalu isinya dipindahkan kedalam alat destilasi dan ditambahkan 15 ml larutan NaOH 50%. kemudian dibilas dengan air suling. Labu erlenmeyer berisi HCl 0,02N diletakan dibawah kondensor, sebelumnya ditambahkan ke dalamnya 2 – 4 tetes indikator (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol dengan perbandingan 2 :1). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam labu 74
larutan HCl, kemudian dilakukan destilasi hingga sekitar 25 ml destilat dalam labu erlenmeyer. Ujung kondensor kemudian dibilas dengan sedikit air destilat dan ditampung dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan NaOH 0,02 N sampai terjadi perubahan warna hijau menjadi ungu. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama.
Kadar Protein = ( A-B) X N X 0,014 X 6,25 X 100% Bobot Sampel A = ml NaOH untuk tittrasi blanko B = ml NaOH untuk titrasi sampel N = Normalitas NaOH 4. Kadar Lemak (AOAC 1995) Analisa lemak dilakukan dengan metode Soxhlet. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dengan kertas saring, kemudian diletakkan diletakan dalam alat ekstraksi Soxhlet. Alat kondensor dipasang diatasnya dan labu lemak dibawahnya. Pelarut lemak heksan dimasukkan ke dalam labu lemak, kemudian dilakukan reflux selama ± 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak bewarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C hingga mencapai berat yang tetap, kemudian didinginkan dalam desikator. Labu beserta lemaknya ditimbang.
Kadar Lemak =
Bobot Lemak (g) x 100 % Bobot Sampel (g)
5. Kadar Serat Kasar (AOAC 1995). Sampel sebanyak 2 g dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer 300ml kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N. Hidrolisis dengan Autoclave selama 15 menit pada suhu 1050C. setelah didinginkan sampel ditambahkan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml, kemudian dihidrolisis kembali selama 15 menit. Sampel disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring tersebut dicuci berturut-turut dengan air
75
panas lalu 25 ml H2SO4 0,325 N, kemudian dengan air panas dan terakhir dengan 25 ml etanol 95%. Kertas saring dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C selama satu jam, pengeringan dilanjutkan sampai bobot tetap. Serat kasar = bobot kertas saring dan serat – bobot kertas saring x 100% bobot sampel awal
6. Kadar Amilosa (Apriyantono et al., 1989). Analisis kandungan amilosa dan amilopektin dalam sampel dilakukan dengan menggunakan metoda yang dikembangkan oleh IRRI (1974) sebanyak 100 g contoh ditimbang, dimasukkan kedalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1 ml ethanol 95 % dan 9 ml NaOH 1N. Selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit (sampai terbentuk gel), setelah itu didinginkan. Seluruh gel kemudian dipindahkan kedalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan dengan 1 ml asam asetat 1N dan 2 ml larutan iodium. Volumenya ditetapkan sampai tanda tera dengan air, dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Selanjutnya warna yang terbentuk diukur absorbansinya menggunakan spectrophotometer UV-VIS 200 S pada panjang gelombang 625 nm untuk amilosa. Penetapan kadar amilosa contoh dilakukan dengan memplot absorbansi contoh pada kurva standar. Penetapan kurva standar dilakukan dengan cara menimbang 40 mg amilosa, kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi, ditambahkan 1ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1N. Selanjutnya campuran tersebut dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit (sampai terbentuk gel), kemudian didinginkan. Setelah dingin, masing-masing dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan volumenya ditetapkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya masing-masing dipipet sebanyak 1,2,3,4 dan 5 ml, dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, masing-masing ditambah asam asetat 1 N sebanyak 0,2; 0,4; 0,6;0,8 dan 1,0 ml dan ditambahkan masing-masing 2 ml larutan iodium. Volume larutan ditempatkan sampai tanda tera dengan air, dan didiamkan selama 20 menit. Selanjutnya intensitas warna yang terbentuk diukur absorbansinya menggunakan Spektrophotometer pada panjang gelombang 625 nm untuk amilosa. Kurva standar dibuat dengan memplot konsentrasi amilosa terhadap absorbansinya, dimana konsentrasi sebagai absis dan absorbansinya sebagai ordinat.
76
7. Kadar Pati (Hidayat, 1988) Sampel ditimbang sebanyak 0,2 g dan dimasukkan kedalam tabung sentrifuse, kemudian ditambahkan alkohol 80% sebanyak 20 ml dan dipanaskan dalam penangas air pada suhu 1000C selama 15 menit. Setelah didiamkan, larutan dituang ke pinggan datar (endapan jangan terbawa). endapan dalam tabung dikeringkan diatas penangas. Endapan yang telah kering ditambah akuades dua ml dan dipanaskan selama tiga menit. Kemudian ditambahkan HClO4 9,2 N dua ml dan dipanaskan 15 menit. Setelah itu diangkat dan ditambahkan akuades 25 ml. Penambahan HClO4 dan akuades 25 ml sebanyak dualangi tiga kali. Dilakukan penyaringan kedalam labu ukur 100 ml volumenya ditera dengan akuades sampai 100 ml dan dikocok secukupnya. Larutan dipipet sebanyak 25 ml dan dibuat deret standar sama dengan karbohidrat baku 250 ppm (0, 5, 10, 15, 20, 25 ppm). Kemudian ditambahkan indikator phenol red 1 tetes (warna menjadi merah jambu). Cairan dinetralisasi dengan NaOH 1 N. selanjutnya ditambahkan 2 ml pereaksi Cu (warna menjadi ungu) dan dipanaskan 10 menit, kemudian didinginkan (warna menjadi merah bata). Pereaksi Nelson 2 ml ditambahkan (warna menjadi biru tua) ditera dengan akuades sampai volume 25 ml. Absorbansinya diukur dengan spektrometer dengan panjang gelombang 500 nm. 8. Derajat Putih Derajat putih diukur dengan Kett whitenesmeter. Mula-mula alat dihidupkan dan dikalibrasi dengan standar warna putih (BaSO4 = 100 %). Contoh yang akan diukur dimasukkan dalam wadah pengukuran hingga penuh agar dapat terbaca. Nilai derajat putih sampel (%) terbaca pada angka yang ditunjuk oleh jarum pengukuran. 9. Bentuk Granula pati, Metode Mikroskop Polarisasi Bentuk granula dapat dilihat dibawah mikroskop yaitu, mikroskop polarisasi cahaya dan mikroskop cahaya (Olympus model BHB, Nippon Kogaku, Jepang) yang dilengkapi dengan kamera (Olympus model C-35A) dengan cara sebagai berikut : Untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya yaitu suspensi pati disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian ditambahkan dlarutan iod untuk menambah daya kontras. Suspensi ini diteteskan
77
di atas gelas objek dan kemudian ditutup dengan gelas penutup. Objek diuji dengan meneruskan cahaya melalui alat polisator dan selama pengamatan, alat analisator diputar sehingga cahaya terpolarisasi sempurna yang ditunjukkan oleh butir-butir pati yang belum mengalami gelatinisasi dengan sifat birefrigence. Bila pengamatan dilakukan dengan tanpa menggunakan polarisator dan alat penganalisa (analisator), maka disebut mikroskop cahaya. 10. Sifat Amilografi dengan Brabender Viscoanalyzer (Modifikasi Lim dan Seib 1993). Sampel sebanyak 30 g pati kering dimasukkan kedalam botol gelas bervolume 500 ml, ditambah dengan 200 ml akuades, diaduk selama 5 menit dengan pengaduk elektrik dengan kecepatan dua, kemudian dipindahkan ke mangkuk amilograf yang sebelumnya dipasang pada alat. Botol gelas dan pengaduk dicuci dengan 170 ml akuades, lalu air bilasan dituangkan ke mangkuk amilograf. Mangkuk amilograf yang berisi contoh diputar dengan kecepatan 75 rpm sambil suhunya dinaikan dari 300C sampai 900C dengan kenaikan 1,50C per menit. Setelah itu dipertahankan pada suhu 950C selama 20 menit, lalu diturunkan sampai suhu 500C dengan laju penurunan yang sama. Perubahan Viskositas pasta dicatat secara otomatis pada kertas grafik dalam satuan BU (Brabender Unit).
78
Lampiran 2 Prosedur analisa mutu desktrin 1. Gula Pereduksi metode DNS (Apriyantono et al.1989). Sampel sebanyak 1 ml dimasukkan kedalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi Dinitrosalisilat (DNS) dan direbus dalam air mendidih selama 5 menit kemudian didinginkan. Hal yang sama dilakukan terahadap balnko (air) dan standar (glukosa). Setelah dingin diukur %T dengan spektrometer dengan panjang gelombang 550 nm. 2. Total Gula metode Fenol-Asam Sulfat (Dubois et al. 1956) Sampel sebanyak 1 ml (mengandung ≤ 100 µg karbohidrat) ditambahkan dengan 1 ml fenol dalam akuades (5 % (b/v)), kemudian dikocok dengan vortex agar homogen. Larutan sampel tadi ditambahkan 5 ml H2SO4 secara langsung pada bagian permukaan tanpa menyentuh dinding tabung reaksi. Reaksi pencampuran didiamkan tanpa gangguan selama 10 menit sebelum dikocok kembali dengan vortex. Kemudian diukur absorbansinya minimal 30 menit setelah pengocokan dengan spektrometer dengan panjang gelombang 490 nm. Hal yang sama dilakukan juga terhadap blanko (air) dan standar (glukosa). 3. Dekstrosa Ekuivalen (DE) (Atichokudomchai et al. 2005). Dekstrosa Ekuivalen (DE) dihitung berdasarkan perbandingan gula pereduksi dengan total karbohidrat dikali dengan 100. 4. Derajat Polimerisasi (DP) (Bigelis 1993). Derajat Polimerisasi
dihitung berdasarkan perbandingan antara total
karbohidrat dengan gula pereduksi. Nilai DP terkait dengan DE dengan formula DE = 100/DP. 5. Warna dengan larutan Lugol (SNI 01-2593-1992) Analisis warna dengan larutan lugol (iodium) diperuntukan untuk menganalisis perubahan warna, yang mengindikasikan pembentukan dan degradasi dekstrin yang terjadi selama proses hidrolisis pati. Prinsip dari metode ini adalah iodium dengan larutan sampel akan memberikan warna tergantung dari komposisi dekstrin.
79
Sebanyak 50 g (I2) dan 100 g KI dilarutkan dalam 100 ml akuades, selanjutnya diencerkan menjadi 1000 ml. Sampel dimasukkan kedalam Spot test, kemudian ditetesin larutan iod dan diamati perubahan warna yang terjadi.
6. Bagian yang Larut dalam Air Dingin (SNI 01-2593-1992). Sebanyak 2 g contoh ditimbang, kemudian dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 200 ml dan ditetapkan volumenya hingga tanda tera. Larutan selanjutnya disaring dan dipipet 10 ml, diuapkan di penangas air, kemudian dikeringkan dalam oven pengering selama kurang lebih 3 jam. Sampel setelah diangkat kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang dengan neraca analitik. Persentase bagian sampel yang larut dalam air dingin dihitung dengan formula sebagai berikut. Bagian yang larut dalam air dingin =
20 x Bobot kering dari 10 ml larutan x 100%. Bobot contoh
7. Viskositas (Modifikasi Luis et al. 1999) Sebanyak 30 g dekstrin ditimbang berdasarkan berat kering lalu dimasukkan kedalam gelas piala 600 ml dan ditambahkan akuades hingga 600 g (5% substrat b/b). Kemudian dimasukkan kedalam air mendidih selama 15 menit sambil daiduk. selanjutnya didinginkan sampai suhu 250C. Kekentalan diukur dengan menggunakan alat Brookfield Viscometer. Viskositas dari sampel dapat dibaca dari angka yang ditunjukkan oleh jarum skala pada alat, kemudian hasilnya dikalikan dengan faktor koreksi tergantung dari nomor spindle dan rpm yang digunakan. Spindle yang digunakan adalah spindle nomor 1 dengan kecepatan 60 rpm (faktor koreksi =1)
8. Derajat Asam (SNI 01-2593-1992). Sampel ditimbang sebanyak 5 g, dimasukan ke dalam labu ukur 250 ml dan ditambahkan alkohol yang telah dinetralkan dengan phenolptalen sebanyak 100 ml. Sampel selanjutnya ditutup dan dibiarkan selama 24 jam, sambil sesekali digoyang. Setelah itu sampel disaring dengan kertas saring, hasil saringan diambil 50 ml untuk diitirasi dengan NaOH 0,1 N memakai indikator phenolptalen. Derajat asam adalah banyaknya ml NaOH 0,1 N yang diperlukan untuk meniter 100 g contoh, dengan demikian formulanya adalah sebagai berikut.
80
Derajat asam =
ml NaOH x N. NaOH x Faktor Pengencer x 100 Bobot Contoh
9. Kejernihan pasta (Luis et al. 1999) Pasta sampel (1%) dibuat dengan cara mensuspensikan 50 mg sampel ke dalam 5 ml akuades didalam tabung reaksi berulir. Pasta sampel tersebut dierebus ke dalam air mendidih selama 30 menit sambil dikocok setiap 5 menit. Selanjutnya pasta sampel didinginkan hingga suhu kamar kemudian diukur %T pada λ 650 dengan akuades sebagai blanko.
81
Lampiran 3 Hasil pengamatan nilai DE dan DP terhadap hidrolisis enzimatis pati kelapa sawit, sagu dan tapioka Menit 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 Total Gula
82
Kelapa Sawit Gula Pereduksi DE (mg/ml) 11,84 3,50 30,65 9,06 39,92 11,80 42,79 12,65 44,80 13,24 51,56 15,24 56,32 16,64 56,32 16,64 58,32 17,23 59,50 17,58 61,97 18,31 62,88 18,58 338,41
DP 28,59 11,04 8,48 7,91 7,55 6,56 6,01 6,01 5,80 5,69 5,46 5,38
Sagu Gula Pereduksi (mg/ml) 5,55 28,56 35,19 46,68 46,90 48,74 50,29 66,64 69,56 78,42 84,83 93,01 308,28
DE
DP
1,80 9,26 11,42 15,14 15,21 15,81 16,31 21,62 22,56 25,44 27,52 30,17
55,52 10,79 8,76 6,60 6,57 6,32 6,13 4,63 4,43 3,93 3,63 3,31
Tapioka Gula Pereduksi (mg/ml) 15,99 22,08 28,17 33,37 45,94 50,75 77,46 106,93 112,81 123,57 133,29 144,05 415,89
DE
DP
3,85 5,31 6,77 8,02 11,05 12,20 18,63 25,71 26,64 29,71 32,05 34,64
26,01 18,84 14,76 12,46 9,05 8,19 5,37 3,89 3,75 3,37 3,12 2,89
Lampiran 4 Hasil pengamatan nilai DE dan DP terhadap hidrolisis asam pati kelapa sawit, sagu dan tapioka Menit 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 Total Gula
83
Kelapa Sawit Gula Pereduksi DE (mg/ml) 1,48 0,46 8,67 2,70 22,97 7,15 34,41 10,71 46,23 14,39 53,36 16,61 62,55 19,47 76,92 23,95 80,06 24,93 89,85 27,97 97,89 30,48 111,13 34,60 317,88
DP 216,92 37,05 13,98 9,33 6,95 6,02 5,14 4,18 4,01 3,57 3,28 2,89
Sagu Gula Pereduksi (mg/ml) 1,52 10,96 26,43 29,45 44,45 46,59 57,40 70,38 75,70 88,91 92,65 95,75 235,76
DE
DP
0,59 168,45 4,29 23,32 10,34 9,67 11,52 8,68 17,39 5,75 18,22 5,49 22,46 4,45 27,53 3,63 29,61 3,38 34,78 2,88 36,24 2,76 37,46 2,67
Tapioka Gula Pereduksi DE (mg/ml) 1,50 0,40 18,64 5,01 30,77 8,27 52,64 14,16 60,38 16,24 75,87 20,40 79,76 21,45 83,72 22,51 88,33 23,75 90,00 24,20 131,34 35,32 147,40 39,64 388,08
DP 247,12 19,95 12,09 7,06 6,16 4,90 4,66 4,44 4,21 4,13 2,83 2,52
Lampiran 5 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis enzimatis Jenis Pati Ulangan 1 Tapioka 2 3 rata-rata 1 Sagu 2 3 rata-rata 1 Kelapa Sawit 2 3 rata-rata
DE 16,76 19,45 19,99 18,73 21,31 21,15 20,82 21,09 17,64 18,12 15,62 17,12
DP 5,98 5,15 5,01 5,38 4,70 4,74 4,81 4,75 5,68 5,52 6,41 5,87
Derajat Asam Kadar Air Kadar Abu Kadar Serat Kelarutan dalam Viskositas Kejernihan Pasta Derajat Putih (%) (%bk) (%bk) Air dingin (%bk) (cP) (%T) (% BaSO4) (ml NaOH/ 100 gr) 7,16 0,20 0,36 91,11 4,00 88,45 85,64 0,90 7,36 0,24 0,39 96,68 3,95 88,65 87,59 0,77 8,96 0,24 0,32 90,09 3,50 88,50 83,55 0,78 7,83 0,23 0,36 92,63 3,82 88,53 85,59 0,82 7,31 0,11 0,49 48,16 4,75 74,70 67,09 0,60 6,53 0,10 0,41 48,12 4,75 75,80 68,50 0,57 6,89 0,14 0,44 57,06 5,20 76,85 67,78 0,63 6,91 0,12 0,45 51,11 4,90 75,78 67,79 0,60 6,28 0,72 1,13 58,05 5,40 44,90 63,18 1,72 6,55 0,68 1,10 46,71 5,00 44,05 65,73 1,65 7,04 0,70 1,23 63,10 4,50 44,40 62,37 1,58 6,62 0,70 1,16 55,95 4,97 44,45 63,76 1,65
84
Lampiran 6 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis asam Jenis Pati Ulangan 1 Tapioka 2 3 rata-rata 1 Sagu 2 3 rata-rata 1 Kelapa Sawit 2 3 rata-rata
DE 8,30 9,56 9,41 9,09 13,90 13,96 14,29 14,05 7,73 8,28 8,49 8,17
DP 12,08 10,47 10,65 11,07 7,22 7,17 7,00 7,13 12,96 12,09 11,78 12,28
Kadar Air (%) 7,64 8,48 7,42 7,85 6,63 7,36 6,76 6,92 7,47 7,57 7,02 7,35
Kadar Abu Kadar Serat Kelarutan dalam Viskositas Kejernihan Pasta Derajat Putih Derajat Asam (%bk) (%bk) Air dingin (%bk) (cP) (%T) (% BaSO4) (ml NaOH/ 100 gr) 0,75 0,18 69,84 5,50 81,45 88,09 1,26 0,81 0,21 71,94 5,55 75,80 87,09 1,08 0,76 0,20 66,25 5,50 78,00 87,27 1,16 0,78 0,19 69,34 5,52 78,42 87,48 1,17 0,76 0,40 64,94 15,25 46,25 64,00 0,40 0,75 0,36 65,07 15,50 43,60 63,46 0,43 0,71 0,38 63,41 15,50 44,85 63,05 0,42 0,74 0,38 64,47 15,42 44,90 63,50 0,42 1,14 1,10 60,59 9,50 28,65 67,41 1,80 1,16 1,11 60,42 9,00 30,20 66,82 1,88 1,16 1,08 59,95 10,00 31,10 65,36 1,84 1,15 1,10 60,32 9,50 29,98 66,53 1,84
85
Lampiran 7 Sidik ragam mutu dekstrin hidrolisis enzimatis Sidik ragam analisa kadar abu Sumber Keragamam
db
JK
KT
F-hitung
F-tabel (0,05)
Jenis Pati
2
0,585
0,2927
Galat
6
0,003
0,0005
Total
8
0,588
586,22* 4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap kadar abu Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Sawit
0,70360
A
Tapioka
0,22718
Sagu
0,11539
B C
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05 Sidik ragam analisa viskositas Sumber
db
JK
KT
F-hitung
F-tabel
Keragamam
(0,05)
Jenis Pati
2
2,50
1,25
Galat
6
0,69
0,12
Total
8
3,19
10,82*
4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap viskositas Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Sawit
4,97
A
Sagu
4,90
A
Tapioka
3,82
B
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05
86
Sidik ragam analisa kelarutan dalam air dingin Sumber
db
JK
KT
F-hitung
Keragamam
F-tabel (0,05)
Jenis Pati
2
3091,7594
1545,8797
Galat
6
219,0278
36,5046
Total
8
3310,7872
42,35*
4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan dalam air dingin Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Tapioka
92,627
A
Sawit
55,954
B
Sagu
51,113
B
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05 Sidik ragam analisa kadar serat Sumber
db
JK
KT
F-hitung
F-tabel
Keragamam
(0,05)
Jenis Pati
2
1,1498
0,5750
Galat
6
0,0150
0,0025
Total
8
1,1648
230,09* 4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap kadar serat Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Sawit
1,1554
A
Sagu
0,4453
B
Tapioka
0,3569
B
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05
87
Sidik ragam analisa kejernihan pasta Sumber
db
JK
KT
F-hitung
F-tabel
Keragamam
(0,05)
Jenis Pati
2
3087,68
1543,84
Galat
6
2,70
0,45
Total
8
3090,38
3432,88* 4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap kejernihan pasta Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Tapioka
88,53
A
Sagu
75,78
Sawit
44,45
B C
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05 Sidik ragam analisa derajat putih Sumber
db
JK
KT
F-hitung
Keragamam
F-tabel (0,05)
Jenis Pati
2
809,89
404,95
Galat
6
15,34
2,56
Total
8
825,24
158,37* 4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap derajat putih Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Tapioka
85,59
A
Sagu
67,79
Sawit
63,76
B C
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05
88
Lampiran 8 sidik ragam mutu dekstrin hidrolisis asam Sidik ragam analisa kadar abu Sumber
db
JK
KT
F-hitung
F-tabel
Keragamam
(0,05)
Jenis Pati
2
0,3156
0,1578
Galat
6
0,0033
0,0006
Total
8
0,3189
286,10* 4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap kadar abu Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Sawit
1,1532
A
Tapioka
0,7755
B
Sagu
0,7389
B
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05 Sidik ragam analisa viskositas Sumber
db
JK
KT
F-hitung
F-tabel
Keragamam
(0,05)
Jenis Pati
2
148,88
74,44
Galat
6
0,54
0,09
Total
8
149,43
822,06* 4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap viskositas Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Sagu
15,42
A
Sawit
9,50
Tapioka
5,52
B C
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05 Sidik ragam analisa kelarutan dalam air dingin Sumber
db
JK
KT
F-hitung
F-tabel
89
Keragamam
(0,05)
Jenis Pati
2
122,3967
61,1983
Galat
6
18,4680
3,0780
Total
8
140,8647
19,88*
4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan dalam air dingin Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Tapioka
69,343
A
Sagu
64,475
Sawit
60,319
B C
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05 Sidik ragam analisa kadar serat Sumber
db
JK
KT
F-hitung
F-tabel
Keragamam
(0,05)
Jenis Pati
2
1,3637
0,6819
Galat
6
0,0023
0,0004
Total
8
1,3660
1790,98* 4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap kadar serat Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Sawit
1,0972
A
Sagu
0,3795
Tapioka
0,1947
B C
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05
90
Sidik ragam analisa kejernihan pasta Sumber
db
JK
KT
F-hitung
Keragamam
F-tabel (0,05)
Jenis Pati
2
3691,66
1845,83
Galat
6
22,81
3,80
Total
8
3714,47
485,57* 4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap kejernihan pasta Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Tapioka
78,42
A
Sagu
44,90
Sawit
29,98
B C
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05
Sidik ragam analisa derajat putih Sumber
db
JK
KT
F-hitung
Keragamam
F-tabel (0,05)
Jenis Pati
2
1023,42
511,71
Galat
6
3,25
0,54
Total
8
1026,68
943,33* 4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap derajat putih Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Tapioka
87,48
A
Sawit
66,53
Sagu
63,50
B C
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05
91
Sidik ragam analisa derajat asam Sumber
db
JK
KT
F-hitung
Keragamam
F-tabel (0,05)
Jenis Pati
2
3,0425
1,5212
Galat
6
0,0211
0,0035
Total
8
3,0636
432,84* 4,46
* = Berbeda Nyata Uji lanjut Duncan terhadap derajat asam Dekstrin
Rata-rata
Notasi Huruf
Sawit
1,8425
A
Tapioka
1,1667
Sagu
0,4189
B C
Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf 0,05
92
Dekstrin Hidrolisis Enzim Kelapa sawit Sagu Tapioka
Variabel Mutu
Dekstrin hidrolisis asam Kelapa sawit Sagu Tapioka
SNI Dekstrin Pangan Non Pangan
Warna Visual Warna ditetesi larutan lugol DE DP
P C
P C
P C
P C
P C
P C
17,12±1,33 5,87±0,47
21,09±0,25 4,75±0,06
18,73±1,73 5,38±0,52
8,17±0,39 12,28±0,61
14,05±0,21 7,13±0,12
9,09±0,69 11,07±0,88
-
-
Kadar air (%bb)
7,62±0,39
6,91±0,39
7,83±0,99
7,35±0.29
6,92±0,39
7,85±0,56
Maks. 11
Maks. 11
Maks. 0,5
maks. 0,5
Kadar abu (%bb)*
0,70±0,02a
0,12±0,02c
0,23±0,03b
1,15±0,01a
0,74±0,02b
0,78±0,03b Maks. 0,6
Maks. 0,6
Kadar Serat (%bb)* Kelarutan (%bb)* Derajat Putih (% terhadap BaSO4)* Derajat asam (ml NaOH 0,1N/100g)* Viskositas (cP)*
1,16±0,07a
0,45±0,04b
0.,36±0,04b 1,10±0,12a
0,38±0,01b
0.,20±0,02c
55,95±8,39b 63,76±1,75c
51,11±5,15b 92,63±3,55a 60,32±0,3c 64,47±0,9b 69,34±2,9a 67,79±0,71b 85,59±2,02a 66,53±1,06b 63,50±0,20c 87,48±0,53a
Min. 97 _
Min. 80 _
1,65±0,07
0,63±0,03
Maks. 5
Maks.6
3-40E -
3-40E -
4,97±0,45a Kejernihan Pasta (%T)* 44,45±0,43c
0,82±0,07
1,84±0,04a
4,90±0,26a 3,82±0,26b 9,50±0,5b 75,78±1,08b 85,59±0,10a 29,98±1,24c
0,42±0,05c
1,17±0,09b
15,42±0,14a 5,52±0,03c 44,90±1,41b 78,42±2,85a
Keterangan : * : jenis pati berbeda nyata pada α = 5% baik secara enzimatis dan asam. a,b,c : Notasi huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada α = 5% (DMRT). 0 E : Derajat Engler.
P-K U-K
P-K U-K