33
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
Pemanfaatan limbah vinnasse menjadi biogas guna meningkatkan efisiensi dikawasan industri bioetanol Rr. Dewi Artanti Putri1, Bayu Triwobowo2 1,2.
Prodi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang
Abstrak: Limbah industri bioetanol, yaitu vinasse merupakan salah satu sumber yang berpotensi untuk diolah menjadi biogas. Kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) yang tinggi pada vinasse lebih tepat diuraikan dengan proses anaerob menjadi biogas.Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji potensi limbah vinasse, perbandingan pH dan nutrisi yang dibutuhkan untuk mendapatkan biogas dengan hasil yang optimum. Nutrien yang dipakai adalah NH 4HCO3 dan starter yang digunakan adalah rumen sapi sebagai sumber mikroba. Percobaan akan dilakukan dalam digester volume 500 ml, dioperasikan pada suhu kamar dengan memvariasikan perbandingan pH 4, 7, 9 dan variasi perbandingan nutrien NH 4HCO3 0%, 5%, 10%, 15%. Proses fermentasi dilakukan dengan cara batch dengan pengukuran gas setiap 2-3 hari menggunakan metode water displacement technique sampai gas tidak terbentuk selama 32 hari. Respon yang diambil pada penelitian ini adalah pengaruh pH dan penggunaan nutrien terhadap produksi biogas. Semakin bertambahnya waktu maka volume biogas meningkat namun pada saat tertentu produksi biogas menjadi hampir konstan bahkan menurun. Semakin asam atau basa kondisi lingkungan akan mengurangi produksi biogas. Kondisi pH yang optimum dalam menghasilkan biogas adalah pada pada pH 7 sebesar 216 ml. Sementara produksi biogas optimum dihasilkan pada perbandingan NH4HCO3 10% yaitu sebesar 1130 ml. Kata kunci : biogas, vinasse, nutien, pH, NH4HCO3
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Vinasse merupakan salah satu bahan yang terdapat dalam air limbah dari industri etanol dan merupakan sisa proses distilasi yang sebelumnya dibuat melalui proses fermentasi (sludge pada bagian proses fermentasi alkohol) (Hidalgo, 2009). Sifat fisik dan kimianya ditentukan oleh bahan baku awal produksi etanol. Untuk bahan baku dari sirup gula tebu (sugarcane juice), vinasse yang dihasilkan akan berwarna coklat muda dengan kandungan padatan 20.000-40.000 mg/L. Apabila bahan baku alkohol berasal dari molasses maka vinasse akan berwarna hitam kemerahan dengan kandungan padatan 50.000-100.000 mg/L. Limbah vinasse rata-rata memiliki specific gravity antara 1,02-1,04 dan memiliki daya polusi tinggi. Kekuatan polusinya mencapai 100 kali lebih kuat daripada limbah domestik, kaya bahan organik dan memiliki BOD
(Biological Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand). Oleh karena itu, limbah vinasse ini tidak dapat langsung dibuang ke lingkungan karena rendahnya kemampuan degradasi atau pengurangan kadar logam dan nonorganik pada limbah vinasse tersebut. Beberapa metode telah dikembangkan dalam pengolahan dan pemanfaatan vinasse, antara lain yaitu pembuatan pupuk cair, pembuatan biogas hingga proses pengolahan limbah yang bertujuan untuk menurunkan angka COD dan BOD yang tinggi pada limbah vinasse. Namun, begitu besarnya debit limbah membuat alternatif solusi lain perlu dicari. Pemanfaatan vinasse menjadi pupuk cair didasarkan pada kandungan-kandungan vinasse tersebut. Kandungan unsur N (0,0684%), P (0,0190%), K (0,2204%) yang terkandung pada vinasse sangat berguna untuk kesuburan dan memperbaiki struktur tanah.
34
Kandungan COD tinggi pada vinasse> 1000 mg/L dengan rasioCOD (Chemical Oxygen Demand)/ BOD (Biology Oxygen Demand) > 3 lebih tepat diuraikan dengan proses anaerob. Proses ini akan menguraikan bahan organik dan anorganik yang terkandung dalam limbah cair tanpa adanya oksigen (Corbitt, 1999). Vinasse yang berasal dari limbah pembuatan alkohol dari molasses memiliki pH 4,46 dengan kadar BOD 39 g/L dan COD 84,9 g/L. Berdasarkan data tersebut maka vinasse lebih cocok diuraikan dengan proses anaerob (Khanal et al., 2010). Proses pengolahan limbah secara anaerob dapat menghasilkan gas yang terdiri dari metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Gas hasil proses anaerob ini dikenal dengan biogas (Jordening and Winter, 2004) yaitu gas yang mudah terbakar dan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Selain vinasse dapat dimanfaatkan sebagai biogas, sisa olahan biogas tersebut dapat dimanfaatkan kembali menjadi pupuk organik yang potensial. Cairan sisa dari pembuatan biogas tersebut masih mengandung beberapa nutrient penting bagi tanah, yang potensial untuk dimanfaatkan menjadi pupuk organik. Teknologi biogas di Indonesia sendiri telah berkembang sejak lama, namun aplikasi penggunaannya sebagai sumber energi alternatif sekaligus sebagai pupuk organik yang pemanfaatannya terintegrasi belum berkembang secara luas. Beberapa penelitian yang sejenis tentang pemanfaatan limbah vinasse menjadi biogas dan pupuk telah dilakukan. Sebagian besar penelitian terdahulu menghasilkan kajian perbandingan rasio COD : N : P pada komposisi bahan biogas (Khaerunnisa dan Ika, 2013), rasio kandungan padatan (Budiyono dkk, 2014), dan perbandingan nutrient dan starter. Pada penelitian kali ini akan dicoba untuk mengkaji pengaruh suhu dan mengintegrasikan sisa dari hasil biogas menjadi pupuk
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
Limbah vinasse yang dihasilkan oleh PT. Madubaru Yogyakarta mempunyai debit sebesar 480 m3/hari dan karakteristik yang ditampilkan Tabel 1, tentunya dengan limbah seperti itu akan sangat menambah beban pencemaran di lingkungan apabila tidak diolah secara tepat. Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk mengolah vinasse agar mengurangi beban pencemaran. Cara yang bisa digunakan antara lain : dipergunakan sebagai bahan pupuk cair, dibakar langsung, dan dipergunakan sebagai biogas. Pembuatan biogas pada umumnya berbahan baku kotoran ternak dan manusia. Tetapi sebagai bahan organik yang juga mengandung beberapa unsur yang dibutuhkan untuk pembentukan biogas, vinasse juga dapat digunakan sebagai bahan bakunya. Di beberapa negara telah diterapkan sistem pengolahan limbah vinasse dijadikan biogas. Di China, vinasse yang dihasilkan diolah menjadi biogas menggunakan digester model UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket). Di Mexico, pabrik minuman tequila yang menghasilkan limbah vinassetelah mensimulasikan pengolahan limbah vinasse menjadi biogas menggunakan model reaktor (digester) CSTR (Continuous Stirred Tank Reactor). Di Indonesia sendiri pada umumnya pabrik bioetanol belum secara optimal dalam memanfaatkan limbah vinasse tersebut, sehingga hanya mencemari lingkungan saja. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana cara membuat biogas dengan bahan vinasse 2. Bagaimana kondisi operasi yang optimal dalam memproduksi biogas berbahan vinasse berkaitan dengan variabel jenis nutrient, konsentrasi nutrient, dan pH
35
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendemonstrasikan cara membuat biogas dengan bahan vinasse yang berasal dari PT. Madubaru, Jogjakarta. 2. Mengoptimasi variabel proses dalam memproduksi biogas, mengkaji pengaruh variabel jenis nutrient, konsentrasi nutrient, dan pH terhadap prosuksi biogas. 3. Mendemonstrasikan cara memanfaatkan sisa limbah biogas menjadi pupuk organik. 1.3. Tinjauan Pustaka 1.3.1. Vinasse Vinasse adalah produk samping dari industri gula, yang merupakan limbah pokok dari tempat penyulingan alkohol. Gula tebu atau gula bit diproses untuk menghasilkan gula kristal, pulp, dan molase, selanjutnya dapat diolah dengan cara fermentasi menjadi etanol, asam askorbat, atau produk lain dan bahan sisanya menghasilkan vinasse. Vinasse mengandung air, mineral organik, suspended solid, dan pengotor lain. Terpisah dari nilai kandungan organik yang tinggi, tempat penyulingan air limbah juga mengandung nutrien, seperti nitrogen (1,660 - 4,200 mg/L), fosfor (225 – 3,038 mg/L), dan potasium (9,600 – 17,474 mg/L). Air limbah ditandai dengan kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) dan BOD (Biochemical Oxygen Demand) yang sangat tinggi, untuk COD dengan kandungan 60 – 200 kg/m3, sedangkan untuk BOD 25 – 75 kg/m3 , sedangkan pH air limbah yang bergantung pada pengolahan dari gula tebu memiliki skala antara 3,7 – 5 (Chaudari et al., 2008; Cunha et al., 1987; Satyawali; Balakrishnan, 2008) Pemanfaatan vinasse untuk bahan dasar industri fermentasi ragi makanan ternak memiliki dasar pemikiran yang sama untuk
biogas. Namun jasad renik yang dipilih adalah ragi makanan ternak, yaitu Torula utilis dan Candila utilis. Pemakaian vinasse lebih menguntungkan dibandingkan dengan tetes, karena vinasse tidak perlu diencerkan, disterilisasi, dan diklarifikasi. Kualitas ragi yang ditumbuhkan di media vinasse sama baik dengan yang ditumbuhkan di media tetes. Kadar protein dapat mencapai 49,4 % ragi kering (Simoen, 1996). Perbedaan antara ragi makanan ternak dan ragi makanan manusia terletak pada persyaratan kadar protein dan vitamin B dalam ragi. Ragi makanan manusia memerlukan kadar protein dan vitamin B yang lebih tinggi. Oleh karena itu dalam proses pembuatannya perlu ditambahkan hara N dan P dalam vinasse dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pada fermentasi ragi makanan ternak. Peluang terbesar dan paling praktis untuk meningkatkan nilai tambah adalah dengan memanfaatkan vinasse sebagai pupuk K. Pemanfaatan dalam bentuk yang lain memerlukan teknologi khusus, perlu peralatan yang canggih, perlu energi tinggi, dan permintaan pasar yang belum jelas (Sugiharto, 1987). 1.3.2. Biogas Biogas adalah suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen atau anaerobik (Sahidu, 1983). Biogas adalah gas yang dapat terbakar dari hasil fermentasi bahan organik yang berasal dari daun-daunan, kotoran hewan/ manusia, dan lain-lain limbah organik yang berasal dari buangan industri oleh bakteri anaerob (Wijayanti, 1993).Biogas adalah bahan bakar berguna yang dapat diperoleh dengan memproses limbah (sisa) pertanian yang basah, kotoran hewan dan manusia atau campurannya, di dalam alat yang dinamakan digester (Harahap dkk, 1980).Pembuatan biogas dari kotoran hewan, khususnya sapi berpotensi sebagai energi alternatif yang
36
ramah lingkungan, karena selain dapat memanfaatkan limbah ternak, sisa dari pembuatan biogas yang berupa bubur dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman (Sufyandi, 2001). Selama ini pemanfaatan kotoran sapi masih belum optimal. Biasanya hanya digunakan sebagai pupuk kandang atau bahkan hanya ditimbun sehingga dapat menimbulkan masalah lingkungan. Dengan kata lain, kotoran sapi dapat dijadikan bahan baku untuk menghasilkan energi terbarukan (renewable resources) dalam bentuk biogas. Kandungan biogas tergantung dari beberapa faktor seperti komposisi limbah yang dipakai sebagai bahan baku, beban organik dari digester,dan waktu serta temperatur dari penguraian secara anaerobik. Menurut Polprasert (1983), kondisi lingkungan yang mempengaruhi produksi biogas, antara lain: 1. Suhu Suhu berpengaruh pada kecepatan pembentukan gas.Suhu yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan gas metana adalah kondisi mesofilik (25-40) °C dan kondisi termofilik (50-65) °C. 2. Nilai pH Nilai pH optimal untuk biogas berkisar antara 7-7,2. Selama proses berlangsung akan terjadi penurunan pH menjadi kurang lebih 4,5 yang dapat menyebabkan terhentinya proses pembentukan gas metana dari hidrogen dan karbondioksida, sehingga perlu penambahan basa/kapur. Pada tahap awal fermentasi akan terbentuk asam sehingga pH turun oleh sebab itu perlu ditambahkan larutan kapur (CaOH2) atau kapur (CaCO3). 3. Kadar air Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tergantung kadar air. Kelembaban (36-99)% akan menaikkan produksi gas 67%. Kenaikan tersebut dicatat pada rentang kelembaban (60-
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
78)% dan cenderung sama pada kelembaban yang lebih tinggi. Sisa kelembaban dapat menghambat aktivitas metanogen. 4. C/N Bahan baku berbentuk selulosa mudah dicerna oleh bakteri anaerob. Bila mengandung zat kayu (lignin) pencernaan menjadi sukar.Menurut Gunnerson dan Stuckey (1986), kandungan selulosa pada enceng gondok sedikit rendah dari serat kasar.Rasio C/N yang terlalu tinggi menyebabkan kecepatan perombakan meningkat dan menghasilkan lumpur dengan kandungan nitrogen yang sangat tinggi. Sedangkan apabila rasio C/N cukup rendah maka menghasilkan banyak nitrogen yang akan berubah menjadi amoniakdan meracuni bakteri. Menurut Hansen (2007), keadaan optimal rasio C/N untuk biogas adalah sama dengan proses dekomposisi untuk pengomposan yaitu 25-35. 5. Nutrien/inokulum Beberapa organisme yang berada di dalam digesterjuga ditemukan ada di kotoran manusia dan hewan. Kecepatan pertumbuhan dari gas akan cepat dengan menambahkan lumpur yang mengandung bakteri tersebut. 6. Pengadukan Pengadukanmembuat kondisi menjadi bagus bagi pertumbuhan mikroorganisme karena dengan pengadukan lebih memungkinkan terjadinya kontak antara mikroorganisme dengan penyediaan makanan, sehingga produksi biogas terus meningkat (Polprasert, 1989).Pengadukan ini dilakukan guna mencegah terbentuknya lapisan kerak di permukaan. Pada umumnya penguraian bahan-bahan organik menjadi biogas dibagi menjadi 4 tahap, yaitu: 1. Tahap Hidrolisa (Tahap Penguraian) Grup mikroorganisme hydrolyticmengurai senyawa organik kompleks menjadi molekul-molekul sederhana, dengan rantai
37
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
pendek termasuk glukosa, asam amino, asam organik, etanol, karbondioksida dan hidrokarbon yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan energi bagi bakteri yang melakukan fermentasi. Proses hidrolisis dikatalis oleh enzim yang dikeluarkan oleh bakteri seperti selulase, protase, dan lipase. Rumus kimia untuk bahan organik adalah C6H10O4(Ostream 2004). Reaksi yang terjadi selama proses hidrolisis dimana bahan organik dipecah menjadi molekul gula sederhana dapat dilihat pada reaksi 1 berikut (Ostream, 2004) : C6H10O4 + 2H2OC6H12O6+ 2H2 (1)
metanogenantara lain mengurangi akumulasi hidrogen seminimal mungkin di dalam medium dengan jalan menggunakan hidrogen untuk mereduksi CO2menjadi produk yang inert (gas yang tidak dapat bereaksi secara kimia dengan benda lain) yaitu CH4. Proses ini dilakukan oleh bakteri metanogen pengguna hidrogen. Reaksi yang terjadi pada tahap metagenesis (Polprasert, 1989) adalah pada reaksi 2 berikut ini : CH3COO-+ H2O CH4+ HCO3 -(2) (asetat) Keuntungan biogas sebagai energi alternatif dibandingkan sumber energi lain adalah sebagai berikut :
2. Tahap Asidogenesis (Tahap Pembentukan Asam)
1. Menghasilkan gas yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Tahap hidrolisis segera dilanjutkan oleh pembentukan asam pada proses asidogenesis. Pada proses ini, bakteri asidogenesismengubah hasil dari tahap hidrolisis menjadi bahan organik sederhana (kebanyakan dari rantai pendek, keton, dan alkohol).
2. Sisa kotoran sapi yang telah digunakan untuk menghasilkan biogas dapat digunakan sebagai pupuk organik yang sangat baik.
3. Tahap Asetogenesis (Tahap Pembentukan Asam Asetat) Pada tahap ini terjadi pembentukan senyawa asetat, CO2dan hidrogen dari molekul-molekul sederhana yang tersedia oleh bakteri aceton penghasil hidrogen. Tetapi pertumbuhan mikroorganisme ini justru akan terhambat jika terjadi akumulasi hidrogen. 4. Tahap Methanogenesis (Tahap Pembentukan Methan) Pada tahap ini terjadi pembentukan gas metana dari senyawa asetat, ataupun hidrogen dan CO2 oleh bakteri metanogen.Bakteri metanogen adalah bakteri anaerob yang pertumbuhannya lebih lambat dari pada bakteri yang ada pada tahap satu dan dua.Bakteri ini sangat tergantung pada bakteri lainnya pada tahap sebelumya untuk menghasilkan nutrien dalam bentuk yang sesuai. Fungsi dari bakteri
3. Mengurangi permasalahan kotoran hewan yang sering menjadi penyebab polusi menjadi sesuatu yang bermanfaat. Pemanfaatan kotoran sapi sebagai penghasil biogas sudah banyak dikembangkan di berbagai daerah.Oleh karena itu, penulis bertujuan untuk mengembangkan pembuatan biogas dari kotoran sapi, sehingga didapatkan hasil yang lebih optimal. Pemanfaatan kotoran sapi secara biologis dapat dilakukan dengan sistem anaerob. Pemilihan secara anaerob dikarenakan kandungan COD yang cukup tinggi diatas 3.500 mg/l (Tjandra Setiadi., 2000) sedangkan kandungan COD kotoran sapi sangat tinggi yaitu sebesar 105.000 mg/l. Gas metana sebanyak 1 m3 setara dengan 0,65 kg gas elpiji (LPG). Maka, dengan penggunaan metana dapat menghemat penggunaan bahan bakar dari sumber unrenewable. Komponen terbesar yang terkandung dalam biogas adalah metana 55 – 70 % dan karbon dioksida 30 – 45 %
38
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
serta sejumlah kecil nitrogen dan hidrogen sulfida. Tapi metana (CH4) yang terutama dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Apabila kandungan metana dalam biogas lebih dari 50% maka biogas tersebut telah layak digunakan sebagai bahan bakar. Kandungan yang terdapat dalam biogas dapat mempengaruhi sifat dan kualitas biogas sebagai bahan bakar. Kandungan yang terdapat dalam biogas merupakan hasil dari proses metabolisme mikroorganisme. Biogas yang kandungan metananya lebih dari 45% bersifat mudah terbakar dan merupakan bahan bakar yang cukup baik karena memiliki nilai kalor bakar yang tinggi. Tetapi jika kandungan CO2 dalam biogas sebesar 25 – 50 % maka dapat mengurangi nilai kalor bakar dari biogas tersebut. Sedangkan kandungan H2S dalam biogas dapat menyebabkan korosi pada peralatan dan perpipaan dan nitrogen dalam biogas juga dapat mengurangi nilai kalor bakar biogas tersebut. Selain itu terdapat uap air yang juga dapat menyebabkan kerusakan pada pembangkit yang digunakan.
2. Metode Penelitian
2.1. Rancangan Percobaan Penelitian menggunakan metode eksperimental yang dilakukan di laboratorium, dimana secara garis besar terdiri dari 3 tahap, yaitu :
Tahap I yaitu analisis awal kandungan limbah vinasse yang didapatkan dari PT. Madubaru, Jogjakarta.
Tahap II yaitu optimasi variabel, dengan variabel jenis nutrient, konsentrasi nutrient, dan pH.
Tahap III yaitu analisis cairan sisa biogas.
Tahap IV yaitu pembuatan pupuk berbahan dasar cairan sisa biogas.
2.2. Rancangan Variabel dan Optimasi Variabel yang akan digunakan dalam percobaan untuk memperoleh data volume biogas yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Variasi jenis nutrient : urea dan NH4HCO3 Variasi pH : 4, 7, 9 Variasi konsentrasi nutrient : 0 – 15% dengan interval 5% 2.3. Prosedur Penelitian Tahap I Pada tahap awal, akan dilakukan analisis kandungan vinasse awal guna mengetahui senyawa apa saja yang terkandung dalam vinasse dan parameter COD dan BOD nya. Analisis dilakukan di Laboratorium Fakultas MIPA UNNES. Tahap II Selanjutnya tahap optimasi variabel operasi dilakukan. Persiapan yang dilakukan adalah digester berukuran 500 ml disiapkan, kemudian vinasse disaring agar bebas dari kotoran dan dimasukkan ke dalam digester masing-masing sebanyak 250 ml. Setelah siap kemudian kondisi digester disesuaikan dengan variabel yang akan dikaji, kemudian rumen dimasukkan sebanyak 12,5 ml dan difermentasikan.Yang pertama dilakukan adalah menentukan jenis nutrient yang paling baik. Disini akan dicoba variabel jenis urea dan NH4HCO3. Pada percobaan variabel ini, kondisi pH (7), volume vinasse, volume rumen sapi, konsentrasi jenis nutrient (10%) dan suhu operasi dibuat sama (30 oC). Setelah didapatkan jenis nutrient yang paling baik maka jenis nutrient tersebut yang nantinya akan digunakan sebagai variabel tetap dalam optimasi variabel konsentrasi nutrient dan pH. Pada variasi pH dilakukan pada 3 tangki yang mewakili pH asam, netral, dan basa. Dan pada variabel konsentrasi nutrient dilakukan pada 4 tangki untuk variasi 0 – 15% dengan interval 5%.
39
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
Gambar 1. Rangkaian Alat Untuk proses pengukuran volume biogas yang terbentuk digunakan metode water displacement technique. Container plastic dan gelas ukur diisi dengan air dan dirangkaikan seperti Gambar 1. Sambungkan selang dari digester ke gelas ukur, buka penjepit dan amati volume ruang kosong yang terbentuk. Ruang kosong mengindikasikan ada gas yang terbentuk. Pengukuran dilakukan 2-3 hari sekali. Tahap III Setelah mengetahui kondisi optimal pembuatan biogas berbahan vinasse, maka dilakukan analisis COD dan BOD cairan sisa pembuatan biogas guna mengetahui karakteristik bahan baku pupuk. Analisis dilakukan di Laboratorium
Kimia Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang. Tahap IV Tahap IV adalah proses pembuatan pupuk berbahan dasar cairan hasil sisa pembuatan biogas. Tahap ini dilakukan dengan mencampurkan sisa limbah biogas (variabel terbaik) dengan NPK sebanyak 10 gram yang sebelumnya diatur pH nya terlebih dahulu menjadi netral.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil
Pengaruh pH terhadap Produksi Biogas
Tabel 3. Hasil pengukuran biogas selama 32 hari dengan variasi pH
40
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
Pengaruh Konsentrasi Nutrien terhadap Produksi Biogas Tabel 4. Hasil pengukuran biogas selama 32 hari dengan variasi nutrien
3.2. Pembahasan Pengaruh pH terhadap Produksi Biogas Pengaruh pH terhadap produksi biogas dikaji dengan membuat variasi pH 4, 7 dan 9. Hasil pengamatan produksi biogas per hari selengkapnya tersaji pada gambar 2. Dari gambar 2 terlihat bahwa gas pertama kali terbentuk pada variabel pH 7 dan pH 4 di hari ke 3 diikuti berikutnya pada pH 9 di hari ke 5. Variabel kondisi pH 7 menghasilkan gas yang paling banyak dan
pada variabel kondisi pH 9 menghasilkan gas paling sedikit. Setelah hari ketiga puluh dua masing-masing terjadi penurunan volume.Tren pH 9 berbeda karena pada hari ke 0 hingga hari ke dua belas diduga telah mengalami proses asidogenesis dan asetogenesis yang menyebabkan pH menjadi turun dan membentuk biogas pada hari ke 8 dilanjut pada hari ke dua belas hingga ke dua puluh lima, setelah itu bakteri tidak dapat memproduksi gas metan lagi.
Gambar 2. Grafik pengaruh pH terhadap Produksi Biogas Perhari
41
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
Dari gambar 3 terlihat bahwa pH 7 menghasilkan gas secara kumulatif paling banyak yaitu 216 ml, hal tersebut disebabkan pembentukan biogas yang baik berada pada rentan pH antara 7-8,5 (Buren, 1983). Sedangkan perolehan volume gas tertinggi terdapat pada hari ke sepuluh oleh pH 7, diikuti hari ke delapan oleh pH 4, dan hari ke 21 oleh pH 9. Mahajoeno dkk (2008) menyatakan bahwa pH awal substrat 7 memberikan peningkatan laju produksi biogas lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pH yang lain. Nilai pH yang terlalu rendah
mengakibatkan biogas yang dihasilkan tidak optimal, (kandungan metana rendah atau bahkan tidak terbentuk). Sedangkan pH yang cukup tinggi diduga bersifat toksik,sehingga bakteri mengalami kematian/non aktif (Owen dkk, 1984). Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa semakin bertambahnya waktu, produksi biogas semakin meningkat dan kemudian akan konstan, seperti pada pH 4 dan pH 9, namun pada kondisi pH 7 grafik masih terus meningkat walaupun tidak secara signifikan.
Gambar 3. Grafik pengaruh pH terhadap Produksi Biogas Kumulatif
Tahap pertumbuhan mikroorganisme dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu fase pertumbuhan lamban (lag fase), fase eksponensial, fase stasionary dan fase kematian. Pada awal percobaan variabel pH 7 dan pH 4 hari pertama hingga hari keempat, kenaikan volume hasil biogas masih lambat sehingga pertambahan volume belum begitu signifikan. Sedangkan pada pH 9 dari hari pertama hingga hari ke empat belas. Hal ini dikarenakan bakteri masih berada pada fase pertumbuhan lamban (lag fase). Dimana pada fase ini mikroorganisme sedang dalam proses adaptasi sehingga tidak ada produksi biogas, hal ini juga disebabkan karena tidak sesuainya lingkungan / habitat bakteri pada pH tersebut. Disini mikroorganisme cenderung beradaptasi yaitu mengalami
perubahan komposisi kimiawi dan bertambahnya populasi bakteri, jadi proses peruraian zat organik menjadi biogas masih kecil. Bakteri anaerobik dan fakultatif yang terlibat dalam proses hidrolilsis dan fermentasi senyawa organik ini antara lain adalah Bacteroides, Bifidobacterium, Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus. Kemudian pada hari ke lima sampai hari ke sembilan belas pada pH 7, hari ke lima sampai hari ke dua belas pada pH 4, dan hari ke enam belas hingga hari ke dua puluh satu pada pH 9, volume akumulasi hasil biogas mengalami kenaikan yang besar. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme berada pada fase eksponensial. Dimana pada fase ini mikroorganisme berada pada fase
42
pertumbuhan seimbang (aktivitas metabolik konstan). Sehingga mikroorganisme dapat berkonsentrasi menguraikan zat organik dibandingkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Kemungkinan bakteri pada fase ini adalah Methanobacterium, Methanobacillus, Methanococcus, Methanosarcina. Pada hari ke dua puluh hingga ke tiga puluh dua pada pH 7 volume akumulasi biogas masih mengalami kenaikan, hari ke tiga belas hingga ke tiga puluh dua pada pH 4, dan hari ke dua puluh dua pada pH 9 hingga hari ke tiga puluh dua, volume akumulasi hasil biogas cenderung tetap. Hal ini karena bakteri berada pada fase statis, dimana pada fase ini terjadi penumpukan produk beracun dan /atau kehabisan nutrien. Beberapa sel mati sedangkan yang lain tumbuh dan membelah sehingga jumlah sel hidup tetap. Maka laju penguraian zat organik menjadi biogas tetap untuk menjaga keberlangsungan produksi gas, pada fase ini dapat dilakukan penambahan substrat maupun nutrien. Sementara itu pada pH 7 biogas masih dapat terus diproduksi karena diduga bakteri masih dapat aktif pada pH tersebut walaupun tidak maksimal. Seterusnya pada masing-masing pH volume hasil biogas semakin menurun bahkan sama dengan nol. Hal ini dikarenakan laju kematian mikroorganisme lebih cepat daripada laju terbentuknya sel. Sehingga laju penguraian zat organik menjadi biogas turun. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tahap dalam dekomposisi bahan organik anaerobik adalah tahap asidogenesis dan asetogenesis. Pada tahap ini terbentuk asam lemak volatil yang akan menurunkan pH dalam digester (Khaerunnisa dan Ika, 2013). Pengaturan pH dapat dilakukan dengan menjaga umpan tidak terlalu asam serta mengendalikan jumlah pencampuran agar kesetimbangan reaksi antara tahap asidogenik dan metanogenik terjaga dengan baik. Namun dalam penelitian ini
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
tidak dilakukan penyeimbangan pH untuk mempertahankan pH sistem, hanya pengaruh kondisi pH awal sebagai dasar penelitian. Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa pH yang baik untuk produksi biogas adalah pH 7. Untuk kandungan dalam biogas secara detail dalam penelitian ini tidak melakukan perhitungan lebih jauh untuk mengetahui kandungan metana, namun hanya pengaruh berbagai kondisi lingkungan yang ditunjukkan dengan besarnya pH. Pengaruh Nutrien terhadap Produksi Biogas Pengaruh nutrien terhadap produksi biogas dikaji dengan membuat 2 variasi nutrien urea dan NH4HCO3 dengan konsentrasi masing-masing 5% dari berat vinasse sebanyak 250 ml (260 g) yaitu masing-masing sebanyak 13 g. Sedangkan untuk uji nutrien ini variabel tetapnya adalah rumen sapi dan volume vinasse. Urea dipilih sebagai sumber nitrogen karena mudah dicerna oleh berbagai mikroorganisme. Selain itu, urea yang berisi nitrogen menjadi sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroorganisme. Akan tetapi, kekurangan urea dapat menghambat produksi metana (Anunputtikul, 2004). Sedangkan pemilihan nutrien NH4HCO3 karena dapat digunakan sebagai suplai nutrisi untuk pembentukan biogas (Khaerunnisa dan Ika, 2013). Dari gambar 4 menunjukkan bahwa jenis nutrien NH4HCO3 mampu menghasilkan biogas dengan volume yang lebih besar dibanding urea sehingga dalam penelitian ini NH4HCO3 lebih dipilih sebagai nutrien. Volume yang lebih besar tersebut karena NH4HCO3 merupakan buffer yang mampu menjaga pH tetap pada kondisi netral (Khaerunnisa dan Ika, 2013)
43
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
Gambar 4. Grafik pengaruh nutrien terhadap Produksi Biogas selama 10 hari Pengaruh nutrien terhadap produksi biogas dikaji dengan membuat variasi konsentrasi NH4HCO3 0%, 5%, 10%, dan
15%. Hasil pengamatan produksi biogas selengkapnya tersaji pada gambar 5.
Gambar 5. Grafik pengaruh Nutrien terhadap Produksi Biogas Perhari
Pada gambar 5 menunjukkan bahwa volume akumulasi gas konsentrasi NH4HCO3 10% lebih besar dengan selisih yang lebih besar dibanding dengan konsentrasi yang lain.
44
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
Gambar 6. Grafik pengaruh Nutrien terhadap Produksi Biogas Kumulatif
Pada gambar 6 menunjukkan bahwa komposisi nutrien yang menghasilkan biogas tertinggi adalah pada variabel NH4HCO3 10% dan variabel yang menghasilkan biogas paling sedikit adalah NH4HCO3 0% dimana dalam sistem tidak ditambahkan nutrien sama sekali. Pada hasil konsentrasi nutrien 10% menghasilkan gas dengan volume kumulatif yang terbesar karena diduga rasio C/N berada pada komposisi yang bagus untuk pertumbuhan mikroorganisme dengan ditambahkannya nutrien sebesar 10% tersebut. Pengaruh nitrogen yang terkandung dalam NH4HCO3yang ditambahkan diperlukan untuk membentuk struktur sel bakteri dan meningkatkan aktivitas pertumbuhan bakteri. Hubungan antara jumlah karbon dengan nitrogen dinyatakan dengan rasio C/N.Jika rasio C/N rendah, gas yang dihasilkan tinggi, sedangkan vinasse mempunyai rasio C/N yang tinggi yaitu 66-75 (Baez-Smith, 2006), maka dibutuhkan keseimbangan untuk mencapai rasio optimum pembentukan metana dengan menambahkan NH4HCO3 sebesar 10% sehingga akan menurunkan rasio C/N vinasse menjadi rasio optimum pembentukan metana, yaitu pada rentang 20-30 (Deublein and Steinhauser, 2008). Pada konsentrasi NH4HCO3 15% gas yang dihasilkan lebih sedikit daripada NH4HCO3 10%. Menurut Owen (1984) jumlah produksi biogas yang sangat kecil
menunjukkan bahwa telah terjadi proses degradasi yang tidak maksimal. Penambahan NH4HCO3 yang terlalu banyakmenimbulkan beban organik berlebih dan kemungkinan memberi nitrogen berlebih (terutama dalam bentuk amonia) yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri. Banyaknya senyawa-senyawa kompleks pada biomassa substrat yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme dapat mempengaruhi produksi biogas sehingga menghasilkan biogas yang lebih sedikit dibandingkan dengan konsentrasi 10% nutrien. Selain itu terdapat kemungkinan jumlah nutrien yang tidak seimbang dengan jumlah mikroba sehingga pertumbuhan mikroba terhambat yang berdampak terhadap produksi biogas yang menurun dikarenakan proses metanogenesis belum/tidak dapat berlangsung sempurna. Penurunan produksi biogas pada penggunaan nutrien 0% dan 5% diduga disebabkan karena penurunan konsentrasi nutrien atau bahan baku pembentuk biogas, yaitu nitrogen. Nitrogen cepat dikonsumsi oleh bakteri metanogen untuk kebutuhan protein dan tidak akan bereaksi lagi dengan karbon yang terdapat dalam material tersebut untuk membentuk gas metan (Fulford, 1988). Nitrogen akan meningkatkan pertumbuhan bakteri sedangkan yang bereaksi dengan karbon sedikit sehingga gas dihasilkan rendah, itulah sebabnya pada konsentrasi nutrient
45
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
0% dan 5% gas yang dihasilkan lebih rendah daripada konsentrasi 10%. Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa konsentrasi optimal dalam pembentukan biogas adalah konsentrasi nutrien 10%. Semakin sedikit nutrien yang diberikan akan memperbesar rasio C/N sehingga produksi biogas kecil, sebaliknya semakin banyak nutrien yang diberikan akan memperkecil rasio C/N sehingga produksi biogas besar. Rasio tersebut yang akan mempengaruhi banyak atau sedikitnya terbentuknya biogas, namun rasio C/N yang ideal untuk anaerobik biodigester berkisar antara 20:1 dan 30:1, tetapi rasio ini akan bervariasi untuk bahan baku yang berbeda dan terkadang untuk bahan baku yang sama (Mechaim, 1992). Pembuatan Pupuk Cair dari Limbah biogas Vinasse
konsentrasi 10%, yitu sebanyak 1130 ml. 3. Pupuk cair limbah biogas vinasse diperoleh dengan mencampurkan limbah dengan NPK 4.2. Saran
1. Dalam pengambilan biogas hendaknya
berhati-hati dalam membuka selang agar gas tidak terbuang sehingga dapat mengurangi volume yang terukur. 2. Untuk penelitian kedepan dimungkinkan untuk mencoba dengan variasi suhu dan lama waktu fermentasi. 3. Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman sebagai parameter keberhasilan pupuk cair sebaiknya tetap dilakukan
Pembuatan pupuk cair dilakukan dengan menggunakan limbah biogas vinasse yang menghasilkan biogas maksimal, yaitu variabel nutrient 10% pada pH 7. Setelah dilakukan fermentasi selama 32 hari dan tidak mengeluarkkan gas lagi, hasil limbah biogas pada variabel ini sebanyak 200 ml diatur pH nya sehingga menjadi netral dan setelah netral ditambahkan NPK sebanyak 10 gram. Setelah dicampurkan NPK lalu diaduk hingga homogen, dan pupuk cairpun siap untuk digunakan. Penambahan NPK dilakukan karena unsur N, P, dan K merupakan unsur makro primer, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak (Yuwono, 2005).
5. Daftar Pustaka
4. Penutup
Corbitt, A. 1889, Standard handbook of Environmental Engineering, McGraw Hill, Inc
4.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan maka dapat disimpilkan sebagai berikut : 1. Biogas berbahan vinasse dapat dibuat dengan cara memfermentasikannya bersama rumen sapi 2. Volume biogas tertinggi diperoleh dari variasi pH 7, nutrient NH4HCO3,
Anantha, Freddy. 2007. Proses Pengolahan Limbah di PG. Madukismo, Yogyakarta. Kerja Praktek. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang. Cunha, R. C. A.; Costa, A. C. S.; Maset Filho, B.; Casarini, D. C. P. Effects of irrigation with vinasse and the dynamics of its constituens in the soil: I – Physical and chemical aspects. Water Science and Technology, v. 19, n. 8, p. 155165, 1987.
Deublein, D. and A. Steinhauser, 2008, Biogas from Waste and renewable Resources, An Introduction, WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA, Weinheim. p.13. Hansen, C. 2007. Rethinking The Direct Use of Biogas Effluent As a
46
Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014
Fertilizer. http://www.energyfarms.net Harahap, F., Apandi, M., Ginting, S. 1980. Teknologi Gas Bio.Pusat TeknologiPembangunan Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hidalgo, K., 2009, Vinasse in Feed : Good For Animal and Environment, Feed tech, 13(5):18-20 Khaerunnisa, G. dan Rahmawati, I. 2013. Pengaruh pH dan Rasio COD:N Terhadap Produksi Biogas Dengan Bahan Baku Limbah Industri Alkohol (Vinasse). Jurnsl Teknologi Kimia dan Industri. Vol 2:1-7. Mahajoeno, E., lay W.B, Sutjahyo, H.S., Siswanto. 2008. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas. Biodiversitas vol 9:48-52. Mechaim, U. 1992. Biogas processes for sustainable Development. Rome. FAO Ag. Service Bulletin. Ostrem, Karena. 2004. Greening Waste: Anaerobic Digestion for Treating the Organic Fraction of Municipal Solid Wastes. www.seas.columbia.edu/earth/wter t/sofos/OstremThesisfinal.pdf. (diakses tanggal 15 januari 2014) Owen. 1984. Biochemical engineering fundamental, 2-nd ed. Mc Graw Hill Book Co, International edition. hal. 161 – 163, 943 – 957. Polprasert, C, Dissanayake, M.G. and Thanh, N.C. 1983.Bacterial die-off kinetics in waste stabillization ponds. Journal of the Water Pollution Control Federation, 55(3), 285-296. Sahidu, S. 1983. Kotoran Sebagai Sumber Energi. Dewarucci Press bekerjasama dengan PEMDA DKI. Jakarta.
Santoso, Anugrah Adi. 2010. Produksi Biogas Dari Limbah Rumah Makan Melalui Peningkatan Suhu Dan Penambahan Urea Pada Perombakan Anaerob. Skripsi. Fakultas MIPA. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Satyawali, Y.; Balakrishnan, M. Wastewater treatment in molassesbased alcohol distilleries for COD and color removal: a review. Journal of Environmental Management, v. 86, n. 3, p. 481497, 2008. Setiadi, T. 2000. Pemakaian Bioreaktor Membran untuk Pengolahan Limbah Cair Industri. Jurusan Teknik Kimia ITB, Bandung, A5.1A5.7 Simoen, S. 1996. Vinasse, limbah yang Dapat Berperan Sebagai Sumber K Bagi Tebu. Gula Indonesia Vol. XXI No 1. Sufyandi, A. 2001.Informasi Teknologi Tepat Guna Untuk Pedesaan Biogas. Bandung. Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. UI Press. Jakarta. Wijayanti, H. 1993. Pengaruh pH, Alkalinitas, dan Nutrient Terhadap Produksi Gas Methan Pada Pengolahan Limbah Industri Alkohol Secara Anaerobik Dengan dan Tanpa Pengadukan.Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS. Surabaya. Yuwono, D. 2005. Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta