PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SEBAGAI GELATIN DAN PENGARUH LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG
M. AZWAR HARIS
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
M. AZWAR HARIS. C34104071 Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) sebagai Gelatin dan Pengaruh Lama Penyimpanan pada Suhu Ruang. Dibimbing oleh MALA NURILMALA dan TATI NURHAYATI. Ikan nila merupakan salah satu ikan budidaya yang banyak diminati oleh masyarakat. Selain memiliki rasa yang gurih, daging yang tebal, tidak lunak, dan durinya sedikit harga ikan nila pun terjangkau. Ikan nila dijual dalam bentuk utuh maupun bentuk fillet. Limbah hasil fillet antara lain berupa kepala, tulang, sirip, dan jeroan. Sampai saat ini, limbah fillet ikan nila belum termanfaatkan secara optimal. Tulang ikan nila (Orechromis niloticus) merupakan limbah yang belum dimanfaatkan dengan baik dan didalamnya terdapat kolagen sehingga dapat dibuat menjadi gelatin. Penelitian pembuatan gelatin tulang ikan nila dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama, yaitu penentuan gelatin terpilih dari perlakuan konsetrasi HCl (4 %, 5 % dan 6 %) dengan lama perendaman 1 dan 2 hari. Tahap kedua, yaitu proses penyimpanan gelatin terpilih selama 1 bulan. Parameter yang dianalisis meliputi pH, viskositas, kekuatan gel, proksimat, titik gel, titik leleh, titik isoelektrik, aktivitas emulsi, stabilitas emulsi, derajat putih, dan organoleptik (warna dan bau). Gelatin tulang ikan nila yang diperoleh pada penelitian ini mempunyai nilai rendemen sebesar 10,18–13,27 %; nilai pH sebesar 3,31-4,01; nilai viskositas sebesar 4,80-6,00 centipoise (cP); dan nilai kekuatan gel berkisar antara 65,43-126,98 bloom. Dari kombinasi perlakuan yang diberikan diperoleh gelatin terpilih, yaitu gelatin dengan perlakuan konsentrasi HCl 4 % dan lama perendaman 2 hari. Parameter fisika dan kimia gelatin terpilih, yaitu uji proksimat dengan nilai kadar air sebesar 7,03%; kadar abu sebesar 0,93 %; kadar lemak sebesar 1,63 %; dan kadar protein sebesar 84,85 %. Nilai titik gel sebesar 7 oC, titik leleh 29 oC, titik isoelektrik sebesar 7, aktivitas dan stabilitas emulsi sebesar 0,464 dan 21 menit serta derajat putih sebesar 25 %. Parameter bau dan warna gelatin tulang ikan nila lebih rendah nilainya dibandingkan gelatin komersial. Selama proses penyimpanan, gelatin mengalami perubahan pH, viskositas, dan kekuatan gel. Nilai pH selama penyimpanan cenderung menurun dari 4,33 menjadi 3,77. Nilai viskositas mengalami penurunan dari 6,15 cP menjadi 5,70 cP, sedangkan nilai kekuatan gel menurun dari 171,90 bloom menjadi 134,51 bloom. Hasil analisis menunjukkan bahwa penyimpanan gelatin memberikan pengaruh yang signifikan dengan taraf (α<0,05) terhadap parameter pH, viskositas, dan kekuatan gel.
PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SEBAGAI GELATIN DAN PENGARUH LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh: M. Azwar Haris C 34104071
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
:
PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SEBAGAI GELATIN DAN PENGARUH LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG
Nama
:
M. Azwar Haris
NRP
:
C 34104071
Proram Studi
:
Teknologi Hasil Perikanan
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Mala Nurilmala, S.Pi, M.Si. NIP. 132 315 793
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si NIP. 132 149 436
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Pemanfaatan limbah tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) sebagai gelatin dan pengaruh lama penyimpanan pada suhu ruang” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan daam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi.
Bogor, Oktober 2008
M. Azwar Haris C34104071
RIWAYAT HIDUP Penulis
bernama
lengkap
M.
Azwar
Haris.
Dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1986 di Gresik dari pasangan Bapak Rasmo dan Ibu Khariro. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1990 di TK Ambeng-ambeng Watang Rejo dan lulus pada tahun 1992. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan kejenjang sekolah dasar di SDN Ambeng-ambeng dan lulus pada tahun 1998. Kemudian dilanjutkan ke SMP N 2 Kebomas Gresik dan lulus pada tahun 2001. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMU N 1 Manyar Gresik dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Selama kuliah penulis aktif di beberapa organisasi di lingkungan kampus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, seperti Himpunan Profesi Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan serta sebagai pengurus Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penulis juga pernah mengikuti berbagai seminar kewirausahaan dan beberapa pelatihan pembuatan produk perikanan. Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan kepanitiaan dan pernah mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa yang diselenggarakan oleh DIKTI pada tahun 2005 dan 2008. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) sebagai Gelatin dan Pengaruh Lama Penyimpanan pada Suhu Ruang”. Dibimbing oleh Mala Nurilmala, S.Pi, M.Si dan Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat serta Hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) sebagai Gelatin dan Pengaruh Lama Penyimpanan pada Suhu Ruang”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1) Ibu Mala Nurilmala S.Pi, M.Si dan Ibu Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, nasihat serta motivasi dalam menyelesaikan tugas akhir ini; 2) Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb dan Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS selaku dosen penguji atas saran dan arahan yang berharga; 3) Bapak dan Ibu yang telah memberikan kasih syang, ukungan, motivasi, dan doa yang tak terbatas, serta Kakak (Cak Yudi, Cak Penk, Cak Ton), (adekQ Elip), mba’ Lanjar yang telah memberikan bantuan moril maupun materiil dalam melakukan dan menyelesaikan skripsi ini; 4) Dosen-dosen, staf administrasi, staf labolatorium; 5) Etty Hasmawati, terimaksih atas perhatian, dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis; 6) Sahabatku di Gresik (Lifah, Zety, Afif, Ifan, Nizar, Antok, dan Deni atas persahabatan yang telah terjalin; 7) Rijal dan keluarga yang telah memberi masukan dan semangat, Teteg sekeluarga (Dek Pandan, dek Tegar dan dek Tatag) yang telah membantu penulis selama penelitian di Semarang serta Mas Bari sekeluarga yang memfasilitasi dan membantu dalam memperoleh bahan baku penelitian;
8) Teman seperjuangan (Iis, Ranti, dan Yugha ) yang terus semangat dalam memberi semangat selama mengerjakan penelitian sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan skripsi; 9) Teman kosQ “Al-Hikmah 17+” (Andika, Andi, An’im, Windika, dan Tyas) atas kenangan yang telah diberikan selama ini; 10) Al-Demi 2005 (amel, iis, enif, estrid, ayu) yang telah memberi banyak bantuan; 11) Penghuni wisma Gopiss ( Nunu, Edo, Wahyu, Teteg, Fery, Jay, Afi, Juan, Yudi, Cecep, Iwan, dan Windi) atas kenangan yang diberikan selama bersama di wisma Gopiss; 12) Ima, Anggi, Pur, dan Dhias yang telah berjasa membantu penelitian ini; 13) Vera, Ima, Ari, Indah, Alim, Rijan, Yudha, Dery, Gilang, An’im, Anang, Erlangga, dan keluarga besar THP 41 yang tidak bisa disebutkan satu persatu; 14) Rekan-rekan THP 39, 40, 42, dan 43 atas kebersamaan dan semangatnya 15) Semua pihak yang telah membaca dan menggunakan karya ilmiah ini sebagai bahan acuan ataupun kegunaan lainnya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Namun, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Oktober 2008
M. Azwar Haris C3404071
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi DAFTAR SINGKATAN................................................................................ xiii 1. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2 Tujuan...............................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
4
2.1. Karakteristik Ikan Nila ......................................................................
4
2.2. Kolagen.............................................................................................
5
2.3. Gelatin ..............................................................................................
7
2.4. Sifat Fisika Kimia Gelatin ................................................................. 10 2.5. Asam Amino Gelatin......................................................................... 11 2.6. Kegunaan Gelatin.............................................................................. 13 2.7. Pembuatan Gelatin ............................................................................ 14 2.8. Penyimpanan .................................................................................... 15 3. METODOLOGI....................................................................................... 16 3.1. Waktu dan Tempat ............................................................................ 16 3.2. Bahan dan Alat.................................................................................. 16 3.3. Rancangan Penelitian ........................................................................ 16 3.3.1. Penelitian tahap pertama ........................................................ 17 3.3.2. Penelitian tahap kedua ........................................................... 19 3.4. Analisis Gelatin................................................................................. 19 (1). (2). (3). (4). (5). (6). (7). (8). (9). (10).
Identifikasi gelatin (JECFA 2003).......................................... Rendemen (AOAC 1995)....................................................... Viskositas (British Standard 757 1975) .................................. Kekuatan gel (British Standard 757 1975).............................. Titik gel (Suryaningrum dan Utomo 2002)............................. Titik leleh (Suryaningrum dan Utomo 2002) .......................... Aktivitas emulsi (Pearce dan Kinsella 1978) .......................... Stabilitas emulsi (Pearce dan Kinsella 1978) .......................... Derajat putih (Kett Electric Labolatory 1981) ........................ Derajat keasaman (pH) (British standard 757 1975) ...............
19 19 19 20 20 20 21 21 21 21
(11). (12). (13) (14). (15). (16). (17). (18).
Kadar air (AOAC 1995)......................................................... Kadar abu (AOAC 1995) ....................................................... Kadar lemak (AOAC 1995) ................................................... Kadar protein (AOAC 1995).................................................. Kadar karbohidrat (AOAC 1995) ........................................... Titik isoelektrik protein (Weinewright 1977) ......................... Asam amino (Nur et al. 1992)................................................ Uji mutu hedonik (Rahayu 2001) ...........................................
22 22 22 22 23 23 23 23
3.5. Rancangan Percobaan dan Analisis Data ........................................... 24 4. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 26 4.1
Penelitian Tahap Pertama.................................................................. 26 4.1.1. Sifat fisika gelatin ................................................................. 29 (1). (2). (3). (4). (5). (6). (7).
rendemen gelatin ......................................................... viskositas gelatin ......................................................... kekuatan gel gelatin..................................................... titik gel gelatin............................................................. titik leleh gelatin.......................................................... aktivitas dan stabilitas emulsi gelatin ........................... derajat putih ................................................................
29 30 32 33 34 34 36
4.1.2. Sifat kimia gelatin................................................................. 36 (1). (2).
nilai pH gelatin............................................................ 36 analisis proksimat gelatin tulang ikan nila.................... 38 (a). (b). (c). (d).
(3). (4).
kadar air ............................................................. kadar abu............................................................ kadar lemak........................................................ kadar protein ......................................................
38 39 40 40
titik isoelektrik protein................................................. 41 asam amino gelatin...................................................... 42
4.1.3. Perbandingan sifat fisika-kimia gelatin.................................. 43 4.1.4. Uji mutu hedonik .................................................................. 44 4.2. Penelitian Tahap Kedua .................................................................... 45 4.2.1. Derajat keasaman (pH) gelatin selama penyimpanan............. 46 4.2.2. Viskositas gelatin selama penyimpanan ................................ 47 4.2.3. Kekuatan gel gelatin selama penyimpanan ............................ 48 5. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 50 5.1. Kesimpulan....................................................................................... 50 5.2. Saran ................................................................................................ 51 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 52 LAMPIRAN ................................................................................................... 57
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis niloticus).................................
5
2. Sifat gelatin tipe A dan tipe B..................................................................
8
3. Standar mutu gelatin ...............................................................................
9
4. Persyaratan gelatin berdasarkan FAO ......................................................
9
5. Data import gelatin Indonesia.................................................................. 10 6. Komposisi asam amino gelatin kulit sapi dan gelatin kulit ikan cod (g/100 g protein) ..................................................................................... 12 7. Penggunaan gelatin dalam industri pangan dan non pangan di dunia pada tahun 1999 ...................................................................................... 13 8. Hasil analisis proksimat tulang ikan nila.................................................. 26 9. Aktivitas emulsi gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, dan gelatin tulang ikan kakap merah .............................................................. 35 10.
Hasil analisis proksimat gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, gelatin tulang ikan kakap merah dan gelatin tulang ikan patin ................. 38
11.
Komposisi asam amino gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, gelatin tulang ikan kakap merah, dan gelatin tulang ikan patin (g/100g protein) ...................................................................................... 43
12.
Perbandingan sifat fisika-kimia gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, gelatin tulang ikan kakap merah, dan gelatin tulang ikan patin ..................................................................................... 44
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus)............................................................
4
2. Urutan tahap pada pembentukan kolagen (Gross 1961) ...........................
6
3. Struktur kimia gelatin (Poppe 1992)........................................................
8
4. Tahapan pembuatan gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) (*Modifikasi dari Hadi 2005) .................................................................. 18 5. Prosedur penelitian tahap kedua .............................................................. 19 6. Limbah tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) .................................... 27 7. Tulang ikan nila kering ........................................................................... 27 8. Konversi kolagen menjai gelatin (Glicksman 1969) ................................ 28 9. Nilai rendemen tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) ........................ 29 10. Nilai viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) ............. 31 11. Nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus)......... 32 12. Analisis aktivitas dan stabilitas emulsi gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, dan gelatin tulang ikan kakap merah........................... 35 13. Nilai pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) ....................... 37 14. Nilai kadar protein gelatin pada berbagai pH........................................... 41 15. Rata-rata uji mutu hedonik gelatin tulang ikan nila dengan gelatin komersial..................................................................................... 44 16. Perubahan derajat keasaman (pH) gelatin tulang ikan selama penyimpanan .......................................................................................... 46 17. Perubahan viskositas gelatin tulang ikan nila selama penyimpanan ......... 47 18. Perubahan kekuatan gel gelatin tulang ikan nila selama penyimpanan..... 48
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Format uji mutu hedonik gelatin ............................................................. 57 2. Gambar proses demineralisasi................................................................. 58 3. Gambar proses ekstraksi ......................................................................... 58 4. Nilai rendemen gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) ............. 58 5. Hasil analisis ragam rendemen gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) .......................................................................... 59 6. Hasil uji lanjut Duncan parameter rendemen ........................................... 59 7. Nilai viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) ............. 59 8. Hasil analisis ragam viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) .......................................................................... 59 9. Hasil uji lanjut Duncan parameter viskositas ........................................... 60 10. Nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus)......... 60 11. Hasil analisis ragam kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) .......................................................................... 60 12. Hasil uji lanjut Duncan parameter kekuatan gel gelatin ........................... 60 13. Nilai pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) ....................... 61 14. Hasil analisis ragam pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) 61 15. Hasil uji lanjut Duncan parameter pH ..................................................... 61 16. Grafik hasil pengujian asam amino dengan HPLC .................................. 62 17. Data mentah uji organoleptik .................................................................. 65 18. Gambar gelatin ....................................................................................... 66 19. Nilai pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan........................................................................................... 66 20. Hasil analisis ragam nilai pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan......................................... 66 21. Hasil uji lanjut Duncan perubahan pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan......................................... 67 22. Nilai Viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan............................................................................... 67 23. Hasil analisis ragam nilai viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan......................................... 67
24. Hasil uji lanjut Duncan perubahan viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan......................................... 67 25. Nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan ............................................................................... 68 26. Hasil analisis ragam nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan ......................................... 68 27. Hasil uji lanjut Duncan perubahan kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan ......................................... 68 28 Sifat gelatin menurut Poppe (1992) ......................................................... 68 29. Grafik kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus)....... 69 30. Grafik kekuatan gel penyimpanan gelatin pada suhu ruang Minggu ke-0, 1, 2, 3, dan 4 ..................................................................... 70
DAFTAR SINGKATAN SDS
: Sodium Dodesil Sulfat
cP
: Centipoise
HPLC
: High Performance Liquid Cromatography
GMIA
: Gelatin Manufacturers Institute of America
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Gelatin merupakan salah satu bahan yang semakin luas penggunaannya,
baik untuk produk pangan maupun produk non pangan. Bagi industri pangan ataupun industri non pangan, gelatin merupakan bahan yang tidak asing, hal ini terkait dengan manfaatnya antara lain sebagai bahan penstabil, pembentuk gel, pengikat, pengental, pengemulsi, perekat, pembungkus makanan. Industri pangan yang menggunakan bahan gelatin ini antara lain, yaitu industri permen, industri es krim, industri jelly (sebagai pembentuk gel), sedangkan industri non pangan yang biasa menggunakan bahan gelatin antara lain industri fotografi (sebagai pengikat bahan peka cahaya), industri kertas (sebagai sizing paper), farmasi (bahan kapsul, pengikat tablet), industri kosmetik (bahan sabun, lotion), dan produk kosmetik lainnya. Kebutuhan gelatin dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Meningkatnya kebutuhan gelatin di Indonesia tsernyata tidak banyak direspon oleh industri di dalam negeri untuk diproduksi secara komersial sehingga masih impor. Untuk kebutuhan dalam negeri, Indonesia mengimpor lebih dari 6.200 ton gelatin pada tahun 2003 atau senilai US$ 6.962.237 dari berbagai negara (Perancis, Jepang, Brazil, Jerman, Cina, Argentina, dan Australia), padahal pada tahun 2000 hanya mengimpor gelatin sebanyak 3.092 ton (www.iptekda.lipi.go.id 2007). Selama ini sumber bahan baku utama gelatin yang banyak dimanfaatkan oleh industri adalah dari kulit dan tulang dari sapi atau babi. Menurut data SKW biosystem suatu perusahaan multinasional bahwa produk gelatin dunia pada tahun 1999 sebanyak 254.000 ton terdiri dari kulit jangat sapi sebanyak 28,7 %; kulit babi sebanyak 41,4 %; serta kontribusi tulang sapi sebesar 29,8 %; dan sisanya dari ikan (SKW biosystem 2001). Penggunaan kulit dan tulang babi sebagai bahan baku gelatin tidaklah tepat bila diterapkan di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia. Hal ini dikarenakan babi merupakan hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi, sedangkan penggunaan gelatin dari bahan baku sapi juga masih
dikhawatirkan karena adanya wabah penyakit yang di bawa oleh ternak antara lain penyakit anthrax dan penyakit sapi gila (Gudmundsson 2002). Oleh karena itu perlu dikembangkan produk gelatin dengan bahan baku hewan yang lain diantaranya adalah ikan. Ikan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan gelatin. Hal ini dikarenakan pada bagian tertentu dari ikan, misalnya tulang dan kulit, terdapat kolagen yang dengan penambahan perlakuan asam atau alkali serta proses pemanasan menyebabkan kolagen tersebut dapat dikonversi menjadi gelatin. Kandungan kolagen dari ikan keras (teleostei) berkisar dari 15-17 %, sedangkan pada ikan bertulang rawan (Elasmobranchi) berkisar antara 22-24 % (Nurilmala 2004). Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Permintaan akan daging fillet nila sangat tinggi. Tercatat ekspor fillet ikan nila dalam bentuk beku Indonesia di pasar Amerika Serikat menduduki peringkat ke dua setelah Cina. Tahun 2004 ekspor fillet nila mencapai 4.250 ton atau meningkat sebanyak 18,6 % dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 3.583 ton (Anonima 2007). Disamping permintaan yang cenderung meningkat, budidaya ikan nila di Indonesia juga dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2006 jumlah jumlah produksi perikanan budidaya nila sebesar 169.390 ton, sedangkan pada tahun 2007 jumlah produksinya sebesar 195.000 ton meningkat sebesar 15,12 %. Menurut perkiraan DKP sementara, pada tahun 2008 jumlah produksi ikan nila mencapai 233.000 ton dan pada tahun 2009 akan mencapai 337.000 ton (Ferinaldy 2008). Sampai sekarang, baru ada beberapa perusahaan yang menggarap pasar ekspor ikan nila, seperti PT Aquafarm Nusantara, PT Dharma Samudra Fishing Industries, PT Kelola Mina Laut, dan PT Bumi Agro Bahari Nusantara. Namun perusahaan yang mampu mengekspor nila secara kontinu dengan volume besar baru Aquafarm. Untuk menghasilkan fillet siap ekspor, setiap hari Aquafarm mengolah 73 ton nila yang masih hidup dan masih segar (Dadang et al. 2007). Tingginya jumlah ikan nila yang diekspor akan menyebabkan limbah tulang yang dihasilkan juga tinggi
Penelitian mengenai gelatin yang diekstrak dari tulang ikan keras hingga kini masih sedikit dilakukan, diantaranya adalah dari gelatin tulang ikan kakap merah oleh Hadi pada tahun 2005 dan gelatin tulang ikan patin oleh Nurilmala pada tahun 2004. Dalam penelitian ini, akan dilakukan penelitian pembuatan gelatin dari tulang ikan nila (Oreochromis sp). Limbah tulang ikan dalam penelitian ini akan digunakan menjadi bahan baku gelatin. Gelatin yang diperoleh akan dianalisis fisik dan kimia serta dilakukan proses penyimpanan selama satu bulan. 1.2.
Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan limbah
tulang ikan nila sebagai gelatin dan mempelajari pengaruh lama penyimpanan terhadap mutu gelatin. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendapatkan gelatin dari bahan baku tulang ikan nila; 2) mengetahui nilai parameter fisika dan kimia dari gelatin yang terpilih kemudian membandingkan dengan gelatin komersial; 3) mengetahui pengaruh penyimpanan pada suhu ruang terhadap derajat keasaman (pH), viskositas, dan kekuatan gel dari gelatin yang terpilih.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karakteristik Ikan Nila Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang diintroduksi
dari luar negeri. Bibit ini didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Gambar ikan nila (Oreochromis niloticus) dapat dilihat pada Gambar 1. Klasifikasi ikan nila (Trewavas 1982 diacu dalam Suyanto 1994) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Sub-filum : Vertebrata Kelas
: Osteichtyes
Sub-kelas : Acanthopterigii Ordo
: Perchomorphi
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus
Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) Ikan ini memiliki rasa yang gurih, daging yang tebal, tidak lunak, harga terjangkau dan durinya sedikit. Ikan ini banyak dipelihara di kolam dan keramba jaring apung (Suyanto 1994). Ikan nila diperkenalkan pada negara berkembang dan dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan akan protein. Ikan nila ini sangat populer di Amerika dan hampir terdapat di semua restoran yang ada sebagai menu. Untuk konsumsi Eropa, ikan nila masih belum terkenal sehingga pasar persaingan masih terbuka lebar. Sekarang ini, fillet nila segar maupun dalam bentuk fillet beku terdapat pada berbagai ukuran dan kemasan, sebagai skin on, skin off,
deep skinned, asap, sashimi dan dengan penambahan CO (karbon monoksida). Komposisi ikan nila dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis niloticus) Senyawa kimia Air Protein Karbohidrat Lemak Abu Sumber: Suyanto (1994)
Jumlah (%) 79,44 12,52 4,21 2,57 1,26
Keunggulan yang dimiliki oleh ikan nila antara lain toleran terhadap lingkungan (hidup di air tawar dan payau pada kisaran pH 5-11), pertumbuhannya cepat, yaitu dalam jangka waktu 6 bulan benih berukuran 30 g dapat tumbuh mencapai 300-500 g, dapat dipijahkan setelah umur 5-6 bulan dan dapat dipijahkan kembali setelah 1-1,5 bulan kemudian, serta tahan terhadap kekurangan oksigen dalam air (Suyanto 1994). 2.2.
Kolagen Kolagen adalah protein serabut (fibril) yang mempunyai sifat fisiologis
yang unik, terdapat di jaringan ikat pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan lainlain (Wong 1989). Protein ini memiliki sifat kurang larut, amorf, dapat memanjang dan berkontraksi. Protein serabut ini tidak larut dalam pelarut encer, sukar dimurnikan, susunan molekulnya dari rantai molekul yang panjang sejajar dan tidak membentuk kristal (Winarno 1997). Eastoe (1977) menerangkan bahwa bahan dasar dan kelompok hewan yang mempunyai sumber kolagen yang tertinggi dan dapat dijadikan gelatin adalah sebagai berikut: (a) tulang: mamalia (sapi, babi, kelinci), burung, reptile, ikan (cod, halibut, elasmobranchs); (b) kulit: mamalia, reptil (buaya, ular), ikan, (elasmobranchs); (c) tulang rawan: burung/ayam, ikan; (d) tendon: burung/ayam. Unit struktural pembentuk kolagen adalah tropokolagen yang mempunyai struktur batang dengan BM 300.000, didalamnya terdapat tiga rantai polipeptida
yang sama panjang, bersama-sama membentuk struktur heliks (Bennion 1980). Tiap tiga rantai polipeptida dalam unit tropokolagen membentuk struktur heliks tersendiri, menahan bersama-sama dengan ikatan hidrogen antara grup NH dari residu glisin pada rantai yang satu dengan grup CO pada rantai lainnya. Cincin pirolidin, prolin, dan hidroksiprolin membantu pembentukan rantai polipeptida dan memperkuat triple heliks (Wong 1989). Urutan tahap pada pembentukan kolagen dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Urutan tahap pada pembentukan kolagen (Gross 1961)
Kolagen murni sangat sensitif terhadap reaksi enzim dan kimia. Perlakuan alkali menyebabkan kolagen mengembang dan menyebar, yang sering dikonversikan menjadi gelatin. Di samping pelarut alkali, kolagen juga larut dalam pelarut asam (Bennion 1980). Tropokolagen akan terdenaturasi oleh pemanasan atau perlakuan dengan zat, seperti asam, basa, urea, dan potasium permanganat (Piez 1967 diacu dalam Hadi 2005). Selain itu, serabut kolagen dapat mengalami penyusutan jika dipanaskan di atas suhu penyusutannya (Ts). Suhu penyusutan (Ts) kolagen ikan adalah 45 oC. Jika kolagen dipanaskan pada T>Ts (misalnya 65-70 oC), serabut triple heliks yang dipecah menjadi lebih panjang. Pemecahan struktur tersebut menjadi lilitan acak yang larut dalam air inilah yang disebut gelatin. Kolagen kulit ikan lebih mudah hancur daripada kolagen kulit hewan. Kedua jenis kolagen ini akan hancur oleh proses pemanasan dan aktivitas enzim (Skeist 1977 diacu dalam Hadi 2005). 2.3.
Gelatin Gelatin adalah derivat protein dari serat kolagen yang ada pada kulit,
tulang, dan tulang rawan. Susunan asam aminonya hampir mirip dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan merupakan 2/3 dari seluruh asam amino yang akan menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi oleh prolin dan hidroksiprolin (Charley 1982). Berat molekul gelatin berbeda-beda, berat rata-rata dapat berkisar dari nilai 50.000-200.000 atau lebih. Menurut Clark dan Courts (1977) berat molekul gelatin mencapai 90.000, sedangkan rata-rata berat molekul gelatin komersial berkisar antara 20.000-70.000 (Ward dan Courts 1977). Asam-asam amino saling terikat melalui ikatan peptida membentuk gelatin. Susunan asam amino gelatin berupa Gly-X-Y dimana X umumnya asam amino prolin dan Y umumnya asam amino hidroksiprolin (Poppe 1992). Protein ini tidak memiliki asam amino triptopan sehingga tidak dapat digolongkan sebagai protein lengkap (Parker 1982). Struktur kimia gelatin dapat dilihat pada Gambar 3.
CH2
CHOH
CH2 CH2 CH2
N — CH
CO — NH CO
CO
CH2 CH2 NH
CH2
CH — CO — NH
NH
N — CH
CO CH – CO
R Glisin
Prolin
CO
R
Y
Glisin
X
Hidroksiprolin
Gambar 3. Struktur kimia gelatin (Poppe 1992) Bahan baku yang biasanya digunakan pada proses asam adalah tulang dan kulit babi, sedangkan bahan baku yang biasa digunakan pada proses basa adalah tulang dan kulit jangat sapi. Gelatin larut dalam air, asam asetat, dan pelarut alkohol, seperti gliserol, propilen glikol, sorbitol, dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetraklorida, benzena, petroleum eter dan pelarut organik lainnya (Viro 1992). King (1969) menyatakan bahwa gelatin mudah larut pada suhu 71,1 oC dan cenderung membentuk gel pada suhu 48,9 oC; sedangkan pemanasan yang dilakukan untuk melarutkan gelatin sekurang-kurangnya 49 oC atau biasanya pada suhu 60-70 oC (Johns 1977). Beberapa sifat penting gelatin adalah kekuatan gel, viskositas, kadar abu, pH, dan titik isoelektrik. Sifat penting gelatin dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat gelatin tipe A dan tipe B Sifat
Tipe A
Tipe B
Kekuatan gel (bloom)
50-300
50-300
Viskositas (cP)
1,5-7,5
2,0-7,5
Kadar abu (%)
0,3-2,0
0,5-2,0
pH
3,8-6,0
5,0-7,1
Titik isoelektrik
7,0-9,0
4,7-5,4
Sumber: GMIA (2001) diacu dalam Amiruldin (2007) Sifat fisik secara umum dan kandungan unsur-unsur mineral tertentu dalam gelatin dapat digunakan untuk menilai mutu gelatin. Standar mutu gelatin (SNI 1995) disajikan pada Tabel 3. Persyaratan gelatin
untuk makanan
berdasarkan standar FAO disajikan pada Tabel 4. Gelatin di Indonesia sebagian
berasal dari impor, terutama Eropa. Jumlah impor gelatin di Indonesia disajikan pada Tabel 5. Tabel 3. Standar mutu gelatin Karakteristik
Syarat
Warna
Tidak berwarna-kekuningan pucat
Bau, rasa
Normal (dapat diterima konsumen)
Kadar air
Maksimum 16 %
Kadar abu
Maksimum 3,25 %
Logam berat
Maksimum 50 mg/kg
Arsen
Maksimum 2 mg/kg
Tembaga
Maksimum 30 mg/kg
Seng
Maksimum 100 mg/kg
Sulfit
Maksimum 1000 mg/kg
Sumber: SNI 06-3735-1995 Tabel 4. Persyaratan gelatin berdasarkan FAO Parameter
Persyaratan
Kadar abu
Tidak lebih dari 2 %
Kadar air
Tidak lebih dari 18 %
Belerang dioksida
Tidak lebih dari 40 mg/kg
Arsen
Tidak lebih dari 1 mg/kg
Logam berat
Tidak lebih dari 50 mg/kg
Timah hitam
Tidak lebih dari 5 mg/kg
Batas cemaran mikroba Standard plate count
Kurang dari 104/g
E. coli
Kurang dari 10/g
Streptococci
Kurang dari 102/g
Sumber: JECFA (2003)
Tabel 5. Data impor gelatin Indonesia Tahun
Gelatin (kg)
US ($)
1999
1.918.706
8.407.423
2000
2.712.345
9.119.997
2001
3.115.382
8.683.771
2002
1.925.732
6.102.019
2003
6.233.635
6.962.237
Sumber: Pusat data dan informasi Deperindag (2004) 2.4.
Sifat Fisika Kimia Gelatin Sifat fungsional gelatin sangat penting dalam aplikasi terhadap suatu
produk. Adapun sifat fungsional dari suatu protein (gelatin) dapat berupa kriteria berikut ini: organoleptik meliputi warna dan bau; hidrasi meliputi pembentukan gel, viskositas, dan sineresis; permukaan meliputi pengemulsian, pembuihan, dan pembentukan film; struktur meliputi kekenyalan, adhesifitas, dan pembentukan adonan (Kinsella 1982). Sifat fungsional merupakan sifat fisika dan kimia yang mempengaruhi perilaku gelatin dalam makanan selama proses, penyimpanan, penyiapan, dan pengkonsumsian (Kinsella 1982). Adapun sifat fisika dari gelatin meliputi kekuatan gel, viskositas, titik gel, titik leleh, aktivitas dan stabilitas emulsi serta derajat putih, sedangkan sifat kimia dari gelatin meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan pH. Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan baik dalam air, cairan organik sederhana dan suspensi serta emulsi encer (deMan 1989). Sistem koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi adsorpsi dan pengembangan koloid (Glicksman 1969). Viskositas gelatin merupakan interaksi hidrodinamik antara molekul gelatin dalam larutan (Stainsby 1977). Kekuatan gel adalah salah satu parameter dari tekstur suatu bahan dan merupakan gaya untuk menghasilkan deformasi tertentu (deMan 1989). Kekuatan gel gelatin diidentifikasikan sebagai besarnya kekuatan yang diperlukan oleh probe untuk menekan gel sampai pada kedalaman 4 mm dengan kecepatan 0,5 mm/s.
Titik gel gelatin adalah suhu pada waktu larutan gelatin membentuk gel secara perlahan-lahan ketika didinginkan pada suhu chilling (Stainsby 1977). Titik leleh gelatin adalah suhu ketika gelatin yang telah membentuk gel mencair ketika dipanaskan perlahan-lahan (Stainsby 1977). Gel yang terbentuk dari protein seperti gelatin, kelarutan, dan pembentukan gelnya dipengaruhi oleh titik isoelektrik (Stainsby 1977). Titik isoelektrik protein (pl) adalah pH dimana protein mempunyai jumlah muatan ion positif dan negatif yang sama. Pada pH titik isoelektrik, kelarutan protein rendah sehingga terjadi penggumpalan atau pengendapan protein (Lehninger 1982). Derajat putih gelatin ditentukan oleh bahan baku dan proses pembuatan gelatin (Poppe 1992). Derajat putih gelatin akan berpengaruh pada aplikasi suatu produk (Glicksman 1969). Emulsi merupakan sistem yang heterogen, terdiri atas cairan yang tidak tercampurkan dan terdispersi dengan baik sekali dalam cairan yang lain, berbentuk tetesan dengan diameter biasanya lebih dari 0,1 µm (Becher 1965). 2.5.
Asam Amino Asam amino merupakan struktur yang membentuk protein. Asam amino
bisa didapatkan dari makanan sesudah diserap melalui darah dan sebagian disintesis di dalam tubuh (Suhardjo 1987). Diantara keduapuluh asam amino yang umum didapatkan dalam protein, terdapat asam amino esensial dan non-esensial. Tabel 6 menunjukkan komposisi asam amino yang terdapat di dalam gelatin kulit ikan cod dan gelatin kulit sapi. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh tetapi sangat diperlukan oleh tubuh dan harus disuplai dalam bentuk jadi, yang terdiri dari isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin, arginin, dan histidin (esensial untuk anak-anak). Asam amino non-esensial adalah asam amino yang dapat disintesis di dalam tubuh dengan mengkonversikan satu asam amino menjadi asam amino yang lain dalam sel-sel tubuh, yang terdiri dari alanin, aspargin, asam aspartat, sistein, asam glutamat, glisin, ornitin, prolin (dapat berada dalam bentuk hidroksiprolin), serin, dan tirosin (Gaman 1992).
Tabel 6. Komposisi asam amino gelatin kulit ikan cod dan gelatin kulit sapi (g/100 g protein) Asam amino
Gelatin kulit ikan cod
Gelatin kulit sapi
Glisin
34,5
32,0
Alanin
10,7
11,22
Valin
1,9
2,0
Isoleusin
1,1
1,1
Leusin
2,3
2,5
Prolin
10,2
13,5
Hidroksiprolin
5,3
9,4
Fenilalanin
1,3
1,3
Tirosin
0,35
0,26
Serin
6,9
3,6
Treonin
2,5
1,8
Metionin
1,3
0,43
Sistein
<1
<1
Hidroksilisin
0,6
0,74
Lisin
2,5
2,7
Histidin
0,75
0,5
Arginin
5,1
5,0
Asam aspartat
5,2
4,5
Asam glutamat
7,5
7,2
Sumber: Anonimb (2004) Gelatin disusun oleh 19 asam amino dalam rantai polimer yang panjang. Asam amino yang terdapat di dalam gelatin merupakan asam amino tidak lengkap karena tidak adanya asam amino triptofan. Triptofan merupakan salah satu asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh (Glicksman 1969). Diantara gelatin kulit sapi dan gelatin kulit ikan terdapat perbedaan antara jumlah asam amino prolin dan hidroksiprolin. Di dalam gelatin kulit ikan, jumlah asam amino tersebut lebih rendah daripada yang terdapat di dalam gelatin kulit sapi. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya ikatan hidrogen dari gelatin terhadap air, sehingga mempengaruhi titik gel dan titik leleh gelatin (Anonima 2004).
2.6.
Kegunaan Gelatin Kegunaan gelatin terutama untuk mengubah cairan menjadi padatan yang
elastis, atau mengubah bentuk sol menjadi gel. Reaksi pada pembentukan gel ini bersifat reversibel karena bila gel dipanaskan akan terbentuk sol dan bila didinginkan akan membentuk gel lagi. Keadaan tersebut membedakan gelatin dengan gel dari pektin, low metoxy pektin, alginat, albumin telur, dan protein susu yang gelnya irreversibel (Johns 1977). Gelatin dapat digunakan sebagai penstabil (stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), pengikat (binder), pengental (thickener), pengemulsi (emulsifier), perekat (adhesive) dan pembungkus makanan yang bersifat dapat dimakan (edible coating) (Jones 1977). Gelatin sebagai pembentuk gel karena mempunyai sineresis yang rendah dan mempunyai kekuatan gel antara 220 atau 225 gram bloom (Jones 1977) sehingga dapat digunakan dalam pembuatan produk jelly. Sebagai pengemulsi gelatin bisa diaplikasikan ke dalam sirup lemon, susu, mentega, margarin, pasta, dan mayonnaise. Gelatin sebagai penstabil dapat digunakan dalam pembuatan es krim dan yoghurt. Sebagai bahan pengikat, gelatin dapat digunakan dalam produk-produk daging (Jones 1977). Penggunaan gelatin dalam industri dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7.
Penggunaan gelatin dalam industri pangan dan non pangan di dunia pada tahun 1999
Jenis industri Industri pangan: - Konfeksionari - Produk jelly - Industri daging - Industri susu - Produk low fat (semisal margarin) - Food supplement
Jumlah penggunaan (ton) 154.000 68.000 36.000 16.000 16.000
4.000 4.000
Sumber: SKW Biosystem (2001)
Jenis industri Industri non pangan: - Industri pembuatan film - Industri produk kapsul lunak - Industri cangkang kapsul (hard capsules) - Industri farmasi - Industri teknis
Jumlah penggunaan (ton) 100.000 27.000 22.600
20.200 12.000 6.000
2.7.
Pembuatan Gelatin Pada prinsipnya proses pembuatan gelatin dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu proses asam dan proses basa. Perbedaan kedua proses ini terletak pada proses perendamannya. Berdasarkan kekuatan ikatan kovalen silang protein dan jenis bahan yang diekstrak, maka penerapan jenis asam maupun basa organik dan metode ekstraksi lainnya seperti lama hidrolisis, pH, dan suhu akan berbedabeda (Pelu et al. 1998). Proses produksi utama gelatin dibagi dalam tiga tahap: 1) tahap persiapan bahan baku antara lain penghilangan komponen non kolagen dari bahan baku, 2) tahap konversi kolagen menjadi gelatin, dan 3) tahap pemurnian gelatin dengan penyaringan dan pengeringan (Hinterwaldner 1977). Pada tahap persiapan dilakukan pencucian pada kulit dan tulang. Kulit atau tulang dibersihkan dari sisa-sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung deposit-deposit lemak yang tinggi. Untuk memudahkan pembersihan maka sebelumnya dilakukan pemanasan pada air mendidih selama 1-2 menit (Pelu et al. 1998). Proses penghilangan lemak dari jaringan tulang yang biasa disebut degreasing, dilakukan pada suhu antara titik kelarutan lemak dan suhu koagulasi albumin tulang, yaitu antara 32-80 oC, sehingga dihasilkan kelarutan lemak yang optimum (Ward dan Courts 1977). Sebelum dilakukan penggembungan pada tulang, terlebih dahulu dilakukan proses demineralisasi yang bertujuan untuk menghilangkan garam kalsium dan garam lainnya dalam tulang, sehingga diperoleh tulang yang sudah lumer atau disebut ossein (Ward dan Courts 1977). Asam yang biasa digunakan dalam proses demineralisasi adalah asam klorida dengan konsentrasi 4-7 % (Hadiwiyoto 1983 diacu dalam Hadi 2005). Proses demineralisasi ini sebaiknya dilakukan dalam wadah tahan asam selama beberapa hari sampai dua minggu (Hinterwaldner 1977). Asam mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendam basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Karena itu perendaman dalam
larutan basa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen (Ward dan Courts 1977). Hasil penelitian Nurilmala (2004) dalam pembuatan gelatin dari tulang ikan patin dan penelitian Hadi (2005) pembuatan gelatin gelatin tulang ikan kakap merah menunjukkan secara berturut-turut bahwa rendemen gelatin yang dihasilkan berkisar antara 2-15,8 % dan 5,88-18,47 %; nilai pH gelatin berkisar antara 3-6,06 dan 3,82-5,11; nilai viskositas gelatin berkisar antara 4-8 cP dan 3,43-6,73; serta kekuatan gel berkisar antara 70,4-588,6 gram bloom dan 23,47-226,8 gram bloom. Dengan hasil yang diperoleh tersebut, maka diduga bahwa gelatin dari tulang ikan keras dapat diaplikasikan dalam industri makanan, kosmetik maupun farmasi. 2.8.
Penyimpanan Penyimpanan merupakan usaha untuk melindungi bahan pangan yang
disebabkan oleh berbagai hal, seperti mikroorganisme, serangga, tikus, dan kerusakan fisiologis atau biokimia (Damayanti dan Mudjajanto 1995). Penyimpanan bahan pangan atau hasil pertanian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pengolahan khususnya pengawetan dan pengemasan bahan pangan. Penyimpanan berfungsi sebagai pengendali persediaan makanan. Cara penyimpanan bahan pangan selama proses pengolahan dan tingkat distribusi serta penjualan merupakan salah satu faktor dalam menentukan keamanan dan mutu bahan pangan (Buckle et al. 1985). Kerusakan bahan pangan dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi pada bahan pangan (mentah atau olahan) dimana sifat-sifat kimia, fisik, dan organoleptik bahan pangan telah ditolak oleh konsumen. Suatu bahan pangan dikatakan rusak bila menunjukan adanya penyimpangan yang melebihi batas yang dapat diterima secara normal oleh panca indra atau parameter lain yang digunakan (Muchtadi 1989).
3. METODOLOGI
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2008 di
Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perikanan, dan Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, Balai Pusat Pasca Panen, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. 3.2.
Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan pada pembuatan gelatin dari tulang ikan nila
(Oreocrhomis niloticus) adalah tulang ikan nila yang diperoleh dari PT Aquafarm Semarang, akuades, asam klorida (HCl) teknis, dan gelatin komersial. Bahanbahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah NaCl, alkohol 70 %, H2SO4, H3BO3, HCl, larutan standar pH 4 dan 7. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan gelatin dari tulang ikan nila antara lain kompor listrik, panci, termometer, sikat gigi, para-para, pisau, toples plastik, pH meter, kain blacu, kapas, oven, blender, nampan, plastik tahan panas, trash bag, kertas label, timbangan. Alat-alat analisa yang digunakan adalah lembar penilaian (score sheet), pena, piring, timbangan, TA-Texture Analizer merk LFRA, brookfield synchro-lecric viscometer, kaca obyek, pipet, melting point apparatus merk Fisher Jones, pH-meter, inkubator, desikator, cawan tahan panas, tanur pengabuan, oven, labu kjeldahl, alat pemanas, alat destilasi, erlenmeyer, soxhlet, kertas saring, dan labu lemak. 3.3.
Rancangan Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, yaitu proses
pembuatan gelatin dari tulang ikan nila (Oreocrhomis niloticus) dan dilakukan analisis sifat-sifat fisika kimia gelatin yang terpilih. Tahap kedua, yaitu penyimpanan gelatin terpilih pada suhu ruang dan analisis derajat keasaman (pH), viskositas, dan kekuatan gel dari gelatin.
3.3.1. Penelitian tahap pertama Pada tahap pertama dilakukan proses pembuatan gelatin dari bahan baku tulang ikan nila. Gelatin dengan parameter nilai pH, viskositas, dan kekuatan gel terbesar ditentukan sebagai gelatin terpilih. Gelatin terpilih kemudian dilakukan analisis sifat fisika kimia. Prosedur pembuatan gelatin dari tulang ikan nila meliputi proses degreasing dengan cara limbah tulang ikan nila direbus selama 30 menit pada suhu 80 °C, selanjutnya tulang dibersihkan dan dikeringkan. Tulang ikan nila yang telah kering dipotong menjadi 2-3 cm. Proses selanjutnya adalah demineralisasi, yaitu penghilangan kalsium dan garam-garam mineral dari tulang dengan cara perendaman dalam larutan HCl 4 %, 5 %, dan 6 % dengan lama perendaman 1 dan 2 hari. Perbandingan tulang dan larutan HCl adalah 1:4. Pada proses perendaman dengan larutan HCl selama 2 hari, larutan HCl diganti setiap hari. Tulang ikan nila yang telah menjadi ossein kemudian dicuci sampai pH-nya (5-7). Kemudian dilakukan ekstraksi ossein pada suhu 85±2,5 °C selama 6 jam dengan akuades. Filtrat hasil ekstraksi selanjutnya disaring dengan kain blacu dan kapas kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 55 °C selama ±2 hari hingga didapatkan lembaran gelatin. Lembaran gelatin yang diperoleh dihancurkan menggunakan blender untuk dijadikan tepung gelatin. Diagram alir penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 4. Setelah tepung gelatin diperoleh kemudian dilakukan analisis diantaranya, yaitu analisis rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel. Gelatin dengan nilai parameter pH, viskositas, dan kekuatan gel terbesar ditentukan sebagai gelatin terpilih. Gelatin terpilih kemudian dilakukan proses pengujian meliputi uji proksimat, titik gel, titik leleh, titik isoelektrik, aktivitas emulsi, stabilitas emulsi, derajat putih, dan asam amino. Gelatin tersebut kemudian dilakukan uji perbandingan dengan gelatin komersial (gelatin sapi) meliputi warna dan aroma (bau).
Tulang ikan nila Degreasing (Perebusan selama 30 menit pada suhu 80 oC)
Pembersihan
Pengeringan dengan sinar matahari
Pengecilan ukuran 2-3 cm
Demineralisasi (perendaman dalam HCl 4 %, 5 %, dan 6 % (1 : 4) selama 1 dan 2 hari ) Setiap 1 hari larutan HCl diganti*
Pencucian sampai pH netral (5-7)
Ossein
Ekstraksi pada suhu 85±2,5 °C selama 6 jam (ossein tidak sampai hancur)*
Penyaringan
Pengeringan menggunakan oven pada suhu 55 °C (±2 hari)
Penghancuran lembaran gelatin menggunakan blender
Tepung gelatin Gambar 4. Tahapan pembuatan gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) (*Modifikasi dari Hadi 2005) Ket :
= proses = bahan
3.3.2. Penelitian tahap kedua Pada penelitian tahap kedua dilakukan pembuatan gelatin dengan perlakuan yang sama seperti gelatin terpilih. Gelatin tersebut kemudian dilakukan proses penyimpanan selama 1 bulan dan tiap minggu dilakukan uji terhadap derajat keasaman (pH), viskositas, dan kekuatan gel dari gelatin tersebut. Analisis H-0, H-1, H-2, H-3, dan H-4 (1 minggu sekali selama 1 bulan) Jenis analisis: derajat keasaman (pH), viskositas, kekuatan gel
Gelatin
Gambar 5. Prosedur penelitian tahap kedua 3.4.
Analisis gelatin Gelatin yang dihasilkan pada penelitian tersebut akan dianalisis sebagai
berikut: (1).
Identifikasi gelatin (JECFA 2003) Secara fisik gelatin yang dihasilkan akan larut dalam air panas dan
membentuk gel ketika didinginkan pada suhu 10 oC selama ±17 jam. Jika gel dipanaskan akan cair kembali dan membentuk gel jika didinginkan seperti pada proses awal. (2).
Rendemen (AOAC 1995) Rendemen diperoleh dari perbandingan berat kering tepung gelatin yang
dihasilkan dengan berat bahan (tulang kering yang telah dicuci bersih). Besarnya rendemen dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:
Rendemen = (3).
Berat kering × 100 % Berat bahan
Viskositas (British Standard 757 1975) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67 % (b/b) disiapkan dengan akuades
kemudian diukur viskositasnya menggunakan alat brookfield synchro-lecric viscometer. Pengukuran dilakukan pada suhu 60 oC dengan kecepatan 60 rpm. Nilai viskositas dinyatakan dalam satuan centipoises (cP).
(4).
Kekuatan gel (British Standard 757 1975) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67 % (b/b) disiapkan dengan akuades
(7,5 gram gelatin ditambah akuades 105 ml). Larutan diaduk menggunakan magnetic
stirrer sampai homogen kemudian dipanaskan sampai suhu 80 oC
selama 15 menit. Larutan dituang dalam Standard Bloom Jars (botol dengan diameter 58–60 mm, tinggi 85 mm), ditutup dan didiamkan selama 2 menit. Kemudian diinkubasi pada suhu 10 °C selama 17±2 jam. Kekuatan gel diukur dengan menggunakan alat Texture Analyzer merek STEVEN- LFRA. Alat ini menggunakan probe dengan luas 0,1923 cm2. Sampel diletakkan dibawah probe dan dilakukan penekanan dengan beban 97 gram. Tinggi kurva kemudian diukur dengan menggunakan jangka sorong. Kekuatan gel diukur dengan menggunakan rumus: Kekuatan gel (dyne/cm2)
= F × 980 G
Kekuatan gel (bloom)
= 20 + (2,98 x 10-3) x D
Keterangan:
(5).
F
= Tinggi kurva
G
= Konstanta (0,07)
D
= Kekuatan gel (dyne/cm2)
Titik gel (Suryaningrum dan Utomo 2002) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67 % (b/b) disiapkan dengan
akuades dan disimpan dalam tabung reaksi yang dihubungkan dengan termometer digital, kemudian diberikan es pada sekeliling luar bagian tabung reaksi. Titik gel adalah suhu ketika larutan gelatin mulai menjadi gel dan suhu ini ditentukan pada saat sensor dapat mengangkat gel dalam tabung reaksi (6).
Titik leleh (Suryaningrum dan Utomo 2002) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67 % (b/b) disiapkan dengan
akuades. Sampel dinkubasi pada suhu 10 oC selama 17±2 jam. Pengukuran titik leleh dilakukan dengan cara memanaskan gel gelatin dalam waterbath. Diatas gel gelatin tersebut diletakkan gotri dan ketika gotri jatuh ke dasar gel gelatin, maka suhu tersebut merupakan suhu titik leleh.
(7).
Aktivitas emulsi (Pearce dan Kinsella 1978) Disiapkan larutan emulsi yang terdiri dari 1 gram minyak kedelai dan
diambil 3 ml larutan gelatin dalam larutan buffer asam maleat (0,1 M pH 7,0) dengan ketentuan 1 mg protein/ml pada larutan gelatin tersebut (untuk menentukan 1 mg protein/ml larutan gelatin ditentukan dengan penentuan protein metode Lowry (Copeland 1994)). Selanjutnya larutan emulsi dihomogenkan menggunakan homogenizer HG30 pada 18000 rpm selama 1 menit pada suhu 20 oC. Diambil 100 µl dari dasar tabung menggunakan pipet mikro. Larutan gelatin tersebut segera setelah dihomogenkan dimasukkan ke dalam 5 ml larutan SDS (Sodium Dodesil Sulfat) 0,1 %. Kemudian disiapkan 6 tabung larutan SDS tersebut yang akan digunakan pada 0, 1, 2, 3, 5, 10 menit. Pada 0 menit langsung dilakukan pembacaan absorbansi. Absorbansi ditentukan pada 500 nm (Shimadzu UV-Vis spectrophotometer 1201). Absorbansi pada 0 menit dapat dinyatakan sebagai aktivitas emulsi. (8).
Stabilitas emulsi (Pearce dan Kinsella 1978) Penentuan stabilitas emulsi merupakan lanjutan dari aktivitas emulsi.
Stabilitas emulsi dilakukan dengan melanjutkan absorbansi sampai 10 menit. Kemudian jika nilai absorbansi sudah mencapai 50 % dari absorban 0 menit maka nilai tersebut adalah stabilitas emulsi, jika belum diteruskan sampai 10 menit selanjutnya. Stabilitas emulsi ditentukan dalam satuan menit. (9).
Derajat putih (Kett Electric Labolatory 1981) Analisis warna dilakukan menggunakan Kett digital whiteness powder
C–100. Sampel dalam bentuk tepung dimasukkan ke dalam cawan sampel, selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam alat. Nilai dapat langsung dibaca pada layar dan dinyatakan dalam persentase derajat putih. Standar derajat putih blanko adalah 85,4 %. (10).
Derajat keasaman (pH) (British Standard 757 1975) Sampel sebanyak 0,2 gram ditimbang dan didispersikan ke dalam 20 ml
akuades pada suhu 80 oC. Sampel dihomogenkan dengan magnetic stirrer, kemudian diukur derajat keasamannya pada suhu kamar dengan pH meter.
(11).
Kadar air (AOAC 1995) Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 °C selama 1 jam. Kemudian
didinginkan dan ditimbang. Contoh yang akan ditentukan kadar airnya ditimbang sebanyak 5 gram. Cawan yang telah berisi contoh dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 °C sampai beratnya konstan. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut: Kadar abu =
(B-A) × 100 % Berat contoh
Keterangan: A = berat cawan + contoh kering (gram) B = berat cawan + contoh basah (gram)
(12).
Kadar abu (AOAC 1995) Contoh yang telah diuapkan airnya dimasukkan ke dalam tanur bersuhu
600 °C, sebelumnya berat cawan kering dan berat contoh telah diketahui. Proses penguapan dilakukan sampai semua bahan berubah warna menjadi abu–abu, kemudian contoh ditimbang. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut:
Kadar abu = (13).
Berat abu × 100 % Berat sampel
Kadar lemak (AOAC 1995) Sebanyak 5 gram sampel dibungkus dalam kertas saring dan dimasukkan
ke dalam labu soxhlet (labu sebelumnya dikeringkan dalam oven, dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang). Dimasukkan pelarut hexana kemudian dilakukan
reflux selama 6 jam. Lalu labu berisi hasil reflux dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 °C. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak ditentukan dengan rumus:
Kadar lemak = (14).
Berat lemak × 100 % Berat sampel
Kadar protein (AOAC 1995) Sebanyak ±0,25 gram sampel kering, ditempatkan dalam labu kjeldahl
100 ml dan ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Kemudian dilanjutkan dengan proses destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml
NaOH 40 %, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2 % dan 2 tetes indikator Brom Crsol Green-
Methyl Red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,0235 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blangko. Dengan metode ini diperoleh kadar nitrogen total yang dihitung dengan rumus:
%N=
(S - B) × N HCl × 14,007 × 100 % Berat sampel (mg) × 1000
Kadar protein = % N x faktor protein (6,25)
(15).
Kadar karbohidrat (AOAC 1995) Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan menggunakan metode analisis
karbohidrat by difference. Kadar karbohidrat ditentukan dengan rumus: Kadar karbohidrat
(16).
= 100 % - (% Air + % Abu + % Lemak + % Protein)
Titik isoelektrik protein (Weinewright 1977) Sebanyak 0,2 gram sampel ditambah dengan 40 ml akuades sebagai
pelarut dengan kisaran pH 4,5-10,5 (interval 0,5). Pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan NaOH 0,5 N untuk menaikkan pH dan HCl 0,5 N untuk menurunkan pH. Setelah kondisi pH tercapai, dilanjutkan dengan pengadukan selama 30 menit untuk menyempurnakan ekstraksi. Larutan yang dihasilkan dipisahkan dengan bagian yang tidak larut dengan cara disentrifuse, kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 41. Filtrat dianalisis kadar nitrogennya dengan metode kjeldahl. Kadar nitrogen terlarut yang paling rendah ditentukan sebagai titik isoelektrik (pl).
(17).
Asam amino (Nur et al. 1992) Sebanyak 0,2 gram sampel disiapkan dalam tabung reaksi tertutup dan
ditambahkan 10 ml HCl 6 N. Sampel dimasukkan kedalam oven pada suhu 100 oC selama 24 jam, selanjutnya sampel disaring dengan menggunakan kertas saring
whatman 40. Hasil hidrolisis dipipet sebanyak 30 µl kemudian ditambahkan larutan pengering (methanol, trimetyl amine, dan Na asetat) sebanyak 30 µl lalu dikeringkan. Sampel yang telah dikeringkan ditabahkan larutan derivatisasi
(methanol, picoiotiocianat, dan trietyl amine) sebanyak 30 µl dan dibiarkan selama 30 menit. Sampel selanjutnya diencerkan dengan 200 µl larutan pengencer (asetonitril 60 %). Sampel siap dianalisis menggunakan HPLC. Kondisi HPLC pada saat analisis: Temperatur kolom
: 38 oC
Kolom
: pico tag 3,9 X 150 nm coulomb
Kecepatan alir
: 1 ml/menit
Batas tekanan
: 3000 psi
Program
: sistem linear gradien
Fase gerak
: Asetonitril 60 % Buffer Na asetat 1M, pH 5,75
Detektor
: UV, panjang gelombang 254 nm
Konsentrasi asam amino dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:
Konsentrasi asam amino = Keterangan:
(18).
Luas area sampel C × FP × BM × 100 × Luas area standar Bobot sampel ( µg)
C
= Konsentrasi standar asam amino (2,5 µg)
FP
= Faktor pengenceran (25 ml)
BM
= Bobot molekul dari masing-masing asam amino (g/mol)
Uji mutu hedonik (Rahayu 2001) Uji mutu hedonik adalah uji sensori yang bertujuan untuk mengetahui
kesan mutu yang bersifat spesifik dari produk melalui penilaian dengan 5 skala penilaian. Parameter mutu uji hedonik adalah warna dan bau. Skala nilai untuk uji mutu hedonik berbeda-beda pada tiap parameter. Skala uji mutu hedonik gelatin dapat dilihat pada Lampiran 1. Uji mutu hedonik ini menggunakan 30 orang panelis
3.5.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Pada penelitian tahap pertama, rancangan percobaan yang digunakan
adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu konsentrasi HCl (4 %, 5 % dan 6 %) dan lama perendaman (1 hari dan 2 hari). Metode rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1995): Yij = µ + Ai + Bj + (ABij) + ∑ij
Keterangan: Yij
: Nilai hasil pengamatan
µ
: Rataan umum
Ai
: Pengaruh konsentrasi HCl
Bj
: Pengaruh lama perendaman
ABij
: Pengaruh interaksi antara konsentrasi HCl dan lama perendaman
∑ij
: Faktor galat Jika analisis ragam berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut menggunakan
Duncan (Gaspersz 1994). Analisis data terhadap uji organoleptik menggunakan analisis ragam dengan dua perlakuan yaitu gelatin tulang ikan nila dan gelatin komersial. Pada penelitian tahap kedua, rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan satu faktor, yaitu lama penyimpanan. Metode rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yi = µ + Ai + ∑i Keterangan: Yi
: Nilai hasil pengamatan
µ
: Rataan umum
Ai
: Pengaruh lama pennnyimpanan
∑i
: Faktor galat Jika hasil analisis ragam berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut
menggunakan Duncan (Gaspersz 1994). Rumus uji Duncan: Sy = √(KTS/r) R p = q α ’ x Sy Keterangan: Sy
= significant range
KTS
= jumlah kuadrat sisa
q α’
= significant studentized range (Tabel A7. di dalam Steel dan Torrie 1989)
r
= ulangan
Rp
= wilayah nyata terkecil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penelitian Tahap Pertama Pada penelitian tahap pertama dilakukan uji analisis proksimat pada bahan baku yang digunakan. Berdasarkan hasil analisis proksimat tulang ikan nila kering, diketahui bahwa kandungan protein tulang ikan nila sebesar 20,85 %. Hasil analisis proksimat tulang ikan nila dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil analisis proksimat tulang ikan nila Parameter Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak * Hadi (2005)
Tulang ikan nila 7,92 62.56 20,85 6,86
Jumlah (%) Tulang ikan Tulang kakap merah* sapi** 8.06 8.20 59.21 69.70 26.91 19.86 4.12 1.25
Tulang ikan patin*** 11,35 42,54 14,55 31,35
** Eastoe (1977) *** Nurilmala (2004)
Kandungan protein yang terdapat pada tulang ikan nila lebih kecil dari kandungan protein tulang ikan kakap merah 26,91 % dan lebih besar dari protein tulang sapi sebesar 19,86 % serta tulang ikan patin 14,55 %. Tulang ikan nila diduga masih bisa digunakan dalam pembuatan gelatin. Bahan baku tulang ikan nila yang digunakan dalam pembuatan gelatin harus diperhatikan kesegarannya. Tulang ikan dalam kondisi segar dapat mempengaruhi kualitas ossein dan gelatin yang dihasilkan. Hinterwaldner (1977) menyatakan bahwa semakin segar tulang ikan yang digunakan maka kualitas gelatin yang dihasilkan juga lebih baik. Bahan baku limbah tulang ikan nila dapat dilihat pada Gambar 6. Bahan
baku
tulang
dilakukan
proses
degreasing,
yaitu
proses
penghilangan daging, kotoran, dan lemak yang masih menempel pada tulang ikan. Proses ini dilakukan menggunakan suhu 80 oC selama 30 menit. Suhu tersebut sesuai dengan titik kelarutan dari lemak dan suhu koagulasi dari albumin, yaitu berkisar antara 32-80 oC. Penggunaan suhu lebih dari 80 oC, maka akan mengurangi banyaknya kolagen yang dihasilkan. Waktu 30 menit pada proses
degreasing merupakan waktu yang optimum untuk mengurangi jumlah lemak yang terdapat pada tulang (Hadi 2005).
Gambar 6. Limbah tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Tulang ikan yang telah dibersihkan dari daging, kotoran dan lemak kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama kurang lebih 2-3 hari. Tulang ikan nila kering dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Tulang ikan nila kering Pengecilan ukuran tulang dilakukan sebelum proses demineralisai dan ekstraksi. Pengecilan ukuran tulang bertujuan untuk memperluas bidang permukaan sehingga pada proses demineralisasi dan ekstraksi, reaksi berlangsung lebih cepat.
Demineralisasi merupakan proses penghilangan kalsium dan garam-garam mineral yang terdapat didalam tulang sehingga tulang yang dihasilkan menjadi lunak atau disebut
ossein yang terdapat kolagen didalamnya. Proses
demineralisasi (Lampiran 2) dilakukan menggunakan larutan asam klorida (HCl) dengan perlakuan konsentrasi 4 %, 5 %, dan 6 % serta lama perendaman 1 dan 2 hari. Pada perendaman 2 hari larutan HCl diganti setiap harinya (Hadi 2005).
Penggunaan konsentrasi HCl yang sering digunakan, yaitu sebesar 2-6 % dan lama perendaman yang relatif singkat, yaitu beberapa hari (Hinterwaldner 1997). Tahapan selanjutnya adalah proses ekstraksi (Lampiran 3) menggunakan suhu 85±2,5 oC selama 6 jam. Suhu tersebut diatas suhu susut dari kolagen, yaitu diatas 60–70 oC. Jika suhu dinaikkan sampai sekitar 80 oC maka kolagen akan menjadi gelatin (Gross 1961). Pada proses ini terjadi konversi dari kolagen menjadi gelatin (Gambar 8). Waktu 6 jam merupakan waktu yang optimum karena jika dilanjutkan maka ossein akan hancur dan larut bersama akuades (Hadi 2005).
Gambar 8. Konversi kolagen menjadi gelatin (Glicksman 1969) Larutan gelatin yang telah dihasilkan kemudian disaring menggunakan kain blacu dan kapas. Setelah itu dilakukan proses pengeringan menggunakan oven pada suhu 55 oC selama ±2 hari. Gelatin yang sudah berbentuk lembaran kemudian dihancurkan menjadi tepung menggunakan blender. Selanjutnya gelatin diidentifikasi secara fisik dengan cara melarutkan gelatin ke dalam air panas dan membentuk gel apabila didinginkan pada suhu 10 oC selama ±17 jam. Jika gel dipanaskan akan kembali mencair dan menjadi gel kembali jika didinginkan seperti pada proses awal. Gelatin yang telah diidentifikasi secara fisik, selanjutnya dilakukan pengujian analisis derajat keasaman (pH), viskositas, dan kekuatan gel. Hasil analisis ini dilakukan untuk mengetahui proses yang terpilih dalam mendapatkan gelatin dari tulang ikan nila.
4.1.1. Sifat fisika gelatin Sifat fisika gelatin merupakan sifat fungsional dari gelatin yang meliputi rendemen, viskositas, kekuatan gel, titik gel, titik leleh, aktivitas dan stabilitas emulsi serta derajat putih.
(1).
Rendemen gelatin Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam pembuatan
gelatin. Jumlah rendemen gelatin yang optimal akan menentukan efisiensi perlakuan dalam pembuatan gelatin. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rendemen gelatin yang berkisar antara 10,18–13,27 %. Hasil rendemen gelatin tulang ikan nila dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan hasil penelitian, nilai rendemen gelatin tertinggi dihasilkan oleh perlakuan konsentrasi HCl 6 % dengan lama perendaman 1 hari, yaitu sebesar 13,27 %, sedangkan nilai rendemen gelatin terendah dihasilkan oleh perlakuan konsentrasi 6 % dengan lama perendaman 2 hari, yaitu sebesar 10,18 %. Nilai rendemen gelatin tulang ikan nila dapat dilihat pada Gambar 9.
*huruf superscript menunjukan hasil uji Duncan
Gambar 9. Nilai rendemen gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Pada konsentrasi HCl 6 % dengan lama perendaman 1 hari merupakan perlakuan yang optimum bagi ion H+ menghidrolisis kolagen dari rantai triple
helix menjadi rantai tunggal, sehingga rendemen gelatin yang diperoleh lebih banyak. Pada konsentrasi HCl 6 % dengan lama perendaman 2 hari diduga terjadi hidrolisis lanjutan. Hal ini ditunjukan oleh kondisi ossein yang diperoleh menjadi rapuh dan mudah hancur. Pada proses penetralan pH, ossein larut bersama air
cucian yang menyebabkan hasil rendemen gelatin yang diperoleh menjadi berkurang. Berdasarkan pengujian secara statistik, yaitu dengan analisis ragam faktorial menunjukkan bahwa faktor konsentrasi HCl dan lama perendaman menunjukan pengaruh yang tidak signifikan (α>0,05) terhadap nilai rendemen (Lampiran 5), sedangkan interaksi antara konsentrasi HCl dan lama perendaman menunjukkan pengaruh yang signifikan (α<0,05) terhadap nilai rendemen. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa pengaruh interaksi kedua faktor memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap hasil rendemen gelatin tulang ikan nila. Perbedaan ini diduga karena semakin tinggi interaksi konsentrasi dan lama perendaman maka ion H+ yang menghidrolisis rantai triple helix kolagen lebih banyak sehingga rendemen meningkat. Jumlah nilai rendemen dipengaruhi oleh konsentrasi larutan HCL yang digunakan dalam perendaman. Semakin tinggi konsentrasi larutan HCl yang digunakan akan menyebabkan larutan perendaman semakin asam sehingga ion H+ yang menghidrolisis kolagen dari rantai triple helix menjadi rantai tunggal semakin banyak. Konsentrasi yang tinggi serta waktu perendaman yang lama diduga dapat mengurangi jumlah rendemen gelatin yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan pada perlakuan tersebut ossein yang dihasilkan menjadi sangat lunak dan hancur sehingga menyebabkan banyak ossein yang hilang selama proses penetralan. Courts dan Johns (1977) juga menyebutkan bahwa konversi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh suhu, waktu pemanasan, dan pH. Salah satu faktor lain yang mempengaruhi rendemen gelatin adalah proses pengeringan. Astawan (2003) menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan perlakuan dengan pengeringan vakum akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak jika dibandingkan dengan menggunakan proses pengeringan freeze dryer.
(2).
Viskositas Viskositas merupakan salah satu sifat fisik gelatin yang cukup penting.
Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan. Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan gelatin sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu.
Berdasarkan hasil analisis, nilai viskositas gelatin tulang ikan nila yang dihasilkan berkisar antara 4,80–6,00 centipoise (cP) (Lampiran 7). Nilai ini sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh GMIA (2001) diacu dalam Amiruldin (2007), yaitu antara 1,5–7,5 cP. Nilai viskositas tertinggi dari gelatin yang dihasilkan lebih tinggi dari gelatin komersial yang hanya sebesar 5,67 cP. Berdasarkan hasil penelitian nilai viskositas tertinggi pada perlakuan perendaman larutan HCl 4 % dengan lama perendaman 2 hari, yaitu sebesar 6,00 cP, sedangkan nilai viskositas terendah diperoleh gelatin dengan perlakuan konsentrasi 4 % lama perendaman 1 hari, yaitu sebesar 4,8 cP. Nilai viskositas gelatin tulang ikan nila dapat dilihat pada Gambar 10.
*huruf superscript menunjukan hasil uji Duncan
Gambar 10. Nilai viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Berdasarkan analisis ragam faktorial didapatkan bahwa faktor interaksi konsentrasi HCl dan lama perendaman memberikan pengaruh yang signifikan (α<0,05) terhadap viskositas (Lampiran 8). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9) menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata antara interaksi konsentrasi HCl dan lama perendaman dengan hasil viskositas gelatin tulang ikan nila yang diperoleh. Rendahnya nilai viskositas diduga karena tingginya komponen non kolagen seperti kandungan abu yang masih tinggi pada gelatin tulang ikan nila. Menurut Lestari (2005), keberadaan mineral yang tergolong jenis abu dalam jumlah yang terlalu banyak mempengaruhi karakteristik gel gelatin, seperti kekuatan gel, titik leleh, dan viskositas, terutama bila mineral-mineral tersebut berasosiasi dengan gugus reaktif dari molekul gelatin, seperti gugus OH, COOH, dan NH2. Rendahnya nilai viskositas juga dipengaruhi oleh distribusi molekul
gelatin dalam larutan serta berat molekul gelatin. Apabila gugus dari gelatin berikatan dengan mineral maka akan menyebabkan ikatan molekul dari gelatin dengan larutan menjadi semakin sedikit sehingga distribusi molekul gelatin semakin cepat dan nilai viskositas menjadi turun. Avena et al. (2006) menyatakan bahwa semakin kecil berat molekul dari gelatin juga menyebabkan distribusi molekul gelatin dalam larutan semakin cepat sehingga menghasilkan nilai viskositas yang rendah. Viskositas gelatin akan berpengaruh terhadap sifat akhir suatu produk (Jones 1977). Viskositas gelatin akan dipengaruhi oleh pH gelatin, temperatur, konsentrasi gelatin, dan penambahan elektrolit lain dalam larutan gelatin. Semakin rendah temperatur larutan gelatin (maksimum 40
o
C) dan semakin tinggi
konsentrasi gelatin maka viskositasnya akan semakin tinggi (Stainsby 1977).
(3).
Kekuatan gel gelatin Kekuatan gel penting dalam mengetahui penentuan terbaik, karena salah
satu sifat penting gelatin adalah mampu mengubah cairan menjadi gel yang
reversible.
Kemampuan
inilah
yang
menyebabkan
gelatin
sangat
luas
penggunaanya, baik dalam bidang pangan maupun non pangan. Berdasarkan analisis kekuatan gel gelatin tulang ikan nila, didapatkan bahwa nilai kekuatan gel berkisar antara 65,43-126,98 bloom (Lampiran 10). Nilai yang diperoleh masih berada pada kisaran nilai kekuatan gel yang disyaratkan oleh GMIA (2001) diacu dalam Amiruldin (2007), yaitu antara 50-300 bloom. Nilai ini juga berada sedikit dibawah nilai gelatin komersial yaitu sebesar 127 bloom. Nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan nila dapat dilihat pada Gambar 11.
*huruf superscript menunjukan hasil uji Duncan
Gambar 11. Nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan nilai (Oreochromis niloticus)
Berdasarkan pengujian yang dilakukan terhadap gelatin, diketahui bahwa pada perlakuan konsentrasi larutan HCl 4 % dengan lama perendaman 2 hari didapatkan hasil kekuatan gel tertinggi, yaitu sebesar 126,98 bloom. Pada konsentrasi HCl 6 % dan lama perendaman 2 hari diperoleh nilai kekuatan gel yang rendah. Hal ini diakibatkan konsentrasi asam yang tinggi sehingga terjadi hidrolisis lanjutan pada kolagen, sedangkan pada perlakuan konsentrasi HCl 4 % lama perendaman 1 hari diduga kolagen belum terekstrak secara sempurna, hal ini ditunjukkan oleh kondisi ossein yang masih agak keras. Analisis ragam faktorial menunjukkan bahwa faktor interaksi konsentrasi HCl dan lama perendaman tersebut menunjukan pengaruh yang signifikan (α<0,05) terhadap kekuatan gel (Lampiran 11). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 12) menunjukkan bahwa interaksi kedua faktor memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan nila yang dihasilkan. Pembentukan gel dipengaruhi oleh pH, adanya elektrolit dan non elektolit juga dipengaruhi oleh konsentrasi dan suhu. Asam, alkali, dan panas akan berpengaruh pada kekuatan gel karena dapat merusak struktur gelatin sehingga gel tidak akan terbentuk (Glicksmann 1969). Yoshimura et al. (2000) diacu dalam Hajrawati (2006) juga menyebutkan bahwa kekuatan gel bertambah secara linier dengan penambahan konsentrasi gelatin. Berdasarkan pengukuran rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel maka perlakuan gelatin perendaman dengan larutan HCl dengan konsentrasi 4 % dan lama perendaman 2 hari merupakan perlakuan terpilih. Pada perlakuan ini nilai rendemen adalah 11,64 %; pH sebesar 3,31-4,01; viskositas sebesar 4,80-6,00 cP; dan kekuatan gel sebesar 65,43-126,98 bloom. Perlakuan ini terpilih karena mempunyai nilai pH, viskositas, dan kekuatan gel lebih tinggi dari perlakuan yang lain akan tetapi rendemennya lebih rendah dari perlakuan HCl 6 % lama perendaman 1 hari.
(4).
Titik gel gelatin Titik gel gelatin adalah suhu pada waktu larutan gelatin berubah
membentuk gel secara perlahan-lahan ketika didinginkan pada suhu chiling (Stainsby 1977). Berdasarkan hasil pengukuran dapat dilihat bahwa titik gel
gelatin tulang ikan nila memiliki nilai titik gel sebesar 7 oC, nilai ini lebih rendah dari pada gelatin tulang ikan kakap dan gelatin komersial serta titik gel dari gelatin tulang ikan patin, yaitu 8,40 oC; 8,90 oC; dan 8,20 oC. Titik gel gelatin dipengaruhi oleh konsentrasi gelatin, pH, dan besarnya molekul gelatin (Stainsby 1977). Tingginya konsentrasi gelatin yang digunakan diduga semakin cepat ikatan molekul dari gelatin yang mengikat air bebas pada larutan sehingga proses pembentukan gel berlangsung lebih cepat. Besarnya molekul gelatin berhubungan dengan panjang rantai asam amino penyusun gelatin. Semakin panjang rantai asam amino maka nilai viskositas yang terukur semakin besar sehingga proses pembentukan gel berlangsung lebih cepat.
(5).
Titik leleh gelatin Titik leleh gelatin adalah suhu dimana gelatin yang berbentuk gel tepat
mencair setelah dipanaskan secara perlahan-lahan (Stainsby 1977). Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa titik leleh gelatin tulang ikan nila sebesar 29 oC. Nilai ini lebih besar dibandingkan nilai titik leleh dari gelatin tulang ikan kakap merah, gelatin komersial, dan gelatin tulang ikan patin yaitu sebesar 24,60 oC; 28,50 oC; dan 24 oC. Tingginya nilai titik leleh gelatin tulang ikan nila ini diduga karena tingginya nilai asam amino glisin dan hidroksiprolin mengakibatkan banyaknya ikatan hidrogen dari gelatin terhadap air dalam larutan. Penelitian Utama (1997) menyebutkan bahwa bila kandungan asam amino glisin dan hidroksiprolin lebih rendah, maka ikatan hidrogen dari gelatin terhadap air dalam larutan akan rendah sehingga menyebabkan titik leleh gelatin menjadi rendah.
(6).
Aktivitas dan stabilitas emulsi gelatin Emulsi merupakan sistem yang heterogen, terdiri atas cairan yang tidak
tercampur dan terdirpersi dengan baik dalam cairan yang lain, berbentuk tetesan dengan diameter biasanya lebih dari 0,1 µm (Becher 1965). Aktivitas dan stabilitas emulsi diukur dengan menggunakan metode spektroturbidimetri dari Pearce dan Kinsella (1978); berdasarkan prinsip bahwa dalam 1 mg protein yang terdapat dalam larutan 1 ml gelatin mampu membentuk emulsi dalam minyak serta kestabilannya sampai 50 % selama 10 menit. Hasil dari analisis aktivitas
emulsi gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, dan gelatin tulang ikan kakap merah dapat dilihat pada Gambar 12.
absorbansi
1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
1
2
3
5
10
15
17
20
waktu (menit) gelatin tulang ikan nila
gelatin tulang ikan kakap merah
gelatin komersial
Gambar 12. Hasil analisis aktivitas dan stabilitas emulsi gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, dan gelatin tulang ikan kakap merah Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa aktivitas emulsi gelatin tulang ikan nila sebesar 0,464; sedangkan aktivitas emulsi gelatin tulang ikan kakap merah dan gelatin komersial sebesar 0,943 dan 0,427. Namun dari kestabilan membentuk emulsi gelatin tulang ikan nila lebih baik dari pada gelatin yang lainnya. Hasil analisis aktivitas emulsi gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, dan gelatin tulang ikan kakap disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Aktivitas emulsi gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, dan gelatin tulang ikan kakap merah. waktu (menit) 0 1 2 3 5 10 15 17 20 21
Aktifitas emulsi gelatin (%) Tulang ikan kakap Tulang ikan nila Komersial* merah * 100 100 100 71 63 92,67 64 55 92,67 63 50 89,44 57 85,99 50 82,33 81,90 64,66 53,88 49,57
* Hadi (2005)
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa nilai stabilitas emulsi dari gelatin tulang ikan nila sebesar 21 menit. Nilai ini lebih tinggi daripada nilai
stabilitas emulsi gelatin komersial, gelatin tulang ikan kakap merah dan gelatin tulang ikan patin yaitu sebesar 10, 3, dan 5 menit. Tingginya stabilitas emulsi dari tulang ikan nila diduga disebabkan karena tingginya asam amino hidroksiprolin pada gelatin tulang ikan nila. Asam amino glisin dan hidroksiprolin di dalam gelatin mengakibatkan banyaknya ikatan hidrogen dari gelatin terhadap air dalam larutan sehingga stabilitas ikatan tetap terjaga dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan aktivitas dan stabilitas emulsi, gelatin tulang ikan nila tepat jika digunakan dalam aplikasi pada produk dengan sifat emulsi minyak dalam air seperti es krim, kopi kremer, dan mayonnaise. Hal ini karena produk tersebut membutuhkan stabilitas emulsi yang tinggi
(7).
Derajat putih Derajat putih merupakan gambaran umum dari warna gelatin, dimana
umumnya derajat putih diharapkan mendekati nilai yang tinggi. Gelatin yang bermutu tinggi biasanya tidak berwarna sehingga aplikasinya lebih luas. Hasil penghitungan derajat putih dengan menggunakan alat Whiteness
meter dengan skala 0-110 diperoleh nilai untuk gelatin tulang ikan nila sebesar 25 %. Nilai ini lebih kecil dari gelatin tulang ikan kakap merah dan gelatin komersial, yaitu sebesar 37,63 % dan 36,93 %. Hal ini diduga karena kandungan lemak dari bahan baku masih tersisa setelah proses degreasing dan pada waktu ekstraksi masih ada lemak yang tertinggal di dalam larutan sehingga warna larutan gelatin menjadi lebih keruh. Proses pengeringan dengan alat yang berbeda juga diduga merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas warna dari gelatin. Hasil penelitian Sopian (2002) menunjukkan bahwa derajat putih gelatin kulit ikan pari dengan perlakuan pengeringan oven lebih rendah dibandingkan pada perlakuan pengeringan freeze dryer. Poppe (1992) menyatakan bahwa derajat putih gelatin dipengaruhi oleh bahan baku, metode pembuatan, dan ekstraksi.
4.1.2. Sifat kimia gelatin sifat kimia gelatin meliputi nilai pH. kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, titik isoelektrik protein, dan asam amino.
(1).
Nilai pH gelatin Nilai pH gelatin adalah derajat keasaman gelatin yang merupakan salah
satu parameter penting dalam standar mutu gelatin. Nilai pH gelatin akan
berpengaruh terhadap aplikasi gelatin dalam suatu produk. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa nilai pH gelatin yang diperoleh berkisar antara 3,31–4,01 (Lampiran 13). Nilai tersebut sedikit dibawah standar gelatin tipe A (gelatin yang diperoleh dengan proses asam), yaitu antara 3,8–6,0 (GMIA 2001 diacu dalam Amiruldin 2007). Nilai tersebut juga berada jauh dibawah gelatin komersial, yaitu 6,78. Nilai pH gelatin tulang ikan nila dapat dilihat pada Gambar 13.
*huruf superscript menunjukan hasil uji Duncan
Gambar 13. Nilai pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa nilai pH terendah terdapat pada perlakuan perendaman dalam larutan HCl 6 % dengan lama perendaman 1 hari, yaitu sebesar 3,31; sedangkan nilai pH tertinggi terdapat pada gelatin dengan perlakuan perendaman larutan HCl 4 % dengan lama perendaman 2 hari, yaitu sebesar 4,01. Berdasarkan analisis ragam faktorial dapat diketahui bahwa perlakuan konsentrasi HCl dan lama perendaman memberikan pengaruh yang signifikan (α<0,05) terhadap nilai pH (Lampiran 14), sedangkan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh secara signifikan (α>0,05) terhadap nilai pH. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 15) menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata antara perlakuan konsentrasi HCl dan lama perendaman terhadap nilai pH gelatin tulang ikan nila. Rendahnya kisaran nilai pH gelatin tulang ikan nila yang diperoleh diakibatkan oleh penggunaan asam kuat HCl. Asam klorida yang digunakan pada proses perendaman (demineralisasi) diduga masih tersisa pada saat penetralan dan terbawa ketika dilakukan proses ekstraksi, sehingga mempengaruhi tingkat
keasaman dari gelatin tulang ikan nila yang diperoleh (Jamilah dan Harvinder 2001). Nilai pH gelatin berhubungan dengan proses yang digunakan untuk membuatnya. Proses asam cenderung menghasilkan pH rendah, sedangkan proses basa akan memiliki kecenderungan menghasilkan pH yang tinggi. Gelatin dengan pH netral cenderung lebih disukai sehingga proses penetralan memiliki peran penting untuk menetralkan sisa-sisa asam maupun sisa-sisa basa setelah dilakukan perendaman (Hinterwaldner 1977). Nilai pH tertinggi sebesar 4,01 dari gelatin tulang ikan nila yang diperoleh dapat diaplikasikan dalam produk seperti juice, mayonaise, jelly, sirup asam, dan produk asam lainnya. Hal ini dikarenakan produk-produk tersebut kebanyakan mempunyai rasa asam.
(2).
Analisis proksimat gelatin tulang ikan nila Hasil analisis proksimat gelatin tulang ikan nila pada penelitian, gelatin
komersial, gelatin tulang kakap merah dan gelatin tulang ikan patin ini dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil analisis proksimat gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, gelatin tulang ikan kakap merah, dan gelatin tulang ikan patin Parameter
Tulang ikan nila 7,03 0,93 1,63 84,85
kadar air kadar abu kadar lemak kadar protein * Hadi (2005)
Gelatin Tulang ikan Komersial* kakap merah* 12,53 6,73 1,55 0,88 0,55 0,16 80,5 86,61
Tulang ikan patin** 9,26 2,26 1,95 85,92
** Nurilmala (2004)
Berdasarkan analisis proksimat pada gelatin tulang ikan nila terpilih, gelatin komersial, gelatin tulang ikan kakap merah, dan gelatin tulang ikan patin diketahui bahwa nilai protein merupakan kandungan terbanyak di dalam gelatin.
(a).
Kadar air Air merupakan kandungan penting dalam suatu bahan pangan. Air dapat
berupa komponen intraseluler dan atau ekstraseluler dari suatu produk (deMan 1989). Air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability,
kesegaran, dan daya tahan bahan itu. Air dapat juga mempengaruhi penampakan, tekstur, cita rasa, serta mutu bahan pangan (Winarno 1982). Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa kandungan kadar air dari gelatin tulang ikan nila sebesar 7,03 %. Nilai ini lebih besar dari kadar air gelatin tulang ikan kakap merah, yaitu sebesar 6,73 % dan lebih kecil dari pada gelatin komersial serta gelatin tulang ikan patin, yaitu sebesar 12,53 % dan 9,26 %. Perbedaan kandungan kadar air dari masing-masing gelatin diduga dikarenakan pengaruh metode dan waktu pengeringan. Menurut Lestari (2005), kadar air yang tinggi di dalam gelatin diduga dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan gel, viskositas, dan titik leleh gelatin meskipun penurunan tersebut tidak signifikan. Kadar air dari gelatin tulang ikan nila yang dihasilkan masih memenuhi standar SNI, yaitu maksimal 16 %. Nilai kadar air ini juga masih memenuhi persyaratan gelatin berdasarkan JECFA (2003), yaitu tidak lebih dari 18 %.
(b).
Kadar abu Pengamatan kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral
dari bahan dan untuk mengetahui kemurnian suatu bahan pangan. Sekitar 96 % bahan pangan terdiri dari bahan organik dan air, sedangkan 4 % terdiri dari unsurunsur mineral (Winarno 1992). Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Menurut Apriyantono et al. (1989), nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terdapat pada bahan pangan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kadar abu gelatin tulang ikan nila sebesar 0,93 %, sedangkan kadar abu gelatin komersial, gelatin tulang ikan kakap merah dan gelatin tulang ikan patin sebesar 1,55 %; 0,88 %; dan 2,26 %. Abu adalah zat anorganik yang tidak ikut terbakar dalam dalam proses pebakaran zat organik. Zat tersebut diantaranya natrium, klor, kalsium, fosfor, magnesium, dan belerang (Winarno 1992). Kadar abu dari gelatin yang dihasilkan diindikasikan merupakan kalsium. Tingginya kalsium dapat mengakibatkan warna gelatin dalam larutan menjadi keruh (Jones 1977). Besar kecilnya kadar abu juga ditentukan pada saat proses demineralisasi. Semakin banyak kalsium yang larut pada proses demineralisasi, maka kadar abu
akan semakin rendah. Pada proses tersebut, HCl akan bereaksi dengan kalsium fosfat pada tulang. Hal ini akan menghasilkan garam kalsium yang larut dan tulang menjadi lunak. Kadar abu gelatin tulang ikan nila yang dihasilkan telah memenuhi syarat SNI (1995), yaitu maksimum 3,25 % dan JECFA (2003), yaitu tidak lebih dari 2 %. Kadar abu gelatin tulang ikan nila juga masuk ke dalam kisaran sifat gelatin tipe A menurut GMIA (2001) diacu dalam Amiruldin (2007), yaitu antara 0,3-2,0 %.
(c).
Kadar lemak Penentuan kadar lemak penting, karena berpengaruh terhadap mutu bahan
selama penyimpanan. Gelatin yang bermutu tinggi diharapkan memiliki kandungan lemak yang rendah, bahkan diharapkan tidak memiliki kandungan lemak. Hasil analisis uji kadar lemak gelatin tulang ikan nila diperoleh nilai kadar lemak sebesar 1,63 %. Nilai ini lebih tinggi daripada kadar lemak gelatin komersial dan gelatin tulang ikan kakap, yaitu sebesar 0,55 % dan 0,16 %. Nilai kadar lemak gelatin tulang ikan nila lebih kecil dari pada gelatin tulang ikan patin yaitu sebesar 1,95 %. Kadar lemak yang cukup tinggi ini diakibatkan oleh lemak yang belum keluar secara maksimal pada saat proses degreasing. Kadar lemak yang cukup tinggi memungkinkan akan mempengaruhi mutu gelatin selama penyimpanan. Kerusakan lemak utama diakibatkan oleh proses oksidasi sehingga timbul bau dan rasa tengik (deMan 1980). Kandungan lemak akan lepas pada saat proses perendaman dengan HCl dan pada saat ekstraksi. Pemanasan akan mengakibatkan kerusakan lemak sehingga lemak akan terpisah dengan tulang dan terapung dipermukaan. Hal ini diakibatkan juga semakin besarnya suhu, maka berat jenis lemak akan semakin menurun sehingga lemak akan melayang di permukaan.
(d).
Kadar protein Gelatin sebagai salah satu jenis protein konversi yang dihasilkan melalui
proses hidrolisis kolagen, tentunya memiliki kadar protein yang tinggi. Kadar protein menunjukan seberapa besar kandungam protein yang terdapat dalam suatu bahan pangan.
Hasil analisis kadar protein gelatin tulang ikan nila yang dihasilkan, yaitu sebesar 84,85 %. Nilai ini lebih besar daripada kadar protein gelatin komersial, yaitu sebesar 80,50 % tetapi lebih rendah dari pada nilai kadar protein dari gelatin tulang ikan kakap merah dan gelatin tulang ikan patin, yaitu sebesar 86,61 % dan 85,92 %. Perbedaan nilai kadar protein itu diduga karena perbedaan bahan baku dalam pembuatan gelatin. Hal ini mendukung pendapat Ward dan Court (1977) menyatakan bahwa kadar protein gelatin bervariasi tergantung spesies hewan penghasil, sumber kolagen, dan jenis kolagen. Tingginya kadar protein yang dikandung oleh gelatin tulang ikan nila mengindikasikan bahwa gelatin tersebut memiliki mutu yang cukup baik. Menurut Rusli (2004) berdasarkan berat keringnya, gelatin terdiri dari 98-99 % protein.
(3).
Titik isoelektrik protein Titik isoelektrik protein adalah pH dimana protein memiliki jumlah
muatan ion positif dan ion negatif yang sama. Pada titik isoelektriknya, kelarutan protein paling rendah sehingga terjadi penggumpalan atau pengendapan dari protein. Dengan demikian titik isoelektrik protein penting untuk diketahui karena berpengaruh pada aplikasi gelatin dalam berbagai produk terutama kaitannya dengan tingkat kelarutan dari gelatin. 0,7000 0,6000 Protein
0,5000
0,5469 0,5900
0,5356
0,5344 0,5438
0,4900 0,4706
0,4681
0,4000 0,3000 0,2000 0,1000 0,0000 5,5
6,0
6,5
7,0
7,5
8,0
8,5
9,0
pH
Gambar 14. Nilai kadar protein gelatin pada berbagai pH Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa nilai titik isoelektrik dari gelatin tulang ikan nila sama dengan titik isoelektrik pada gelatin tulang ikan kakap merah, yaitu sebesar 7,00 dan nilai ini lebih rendah daripada titik isoelektrik dari gelatin komersial dan gelatin tulang ikan patin, yaitu sebesar 8,00. titik isoelektrik protein gelatin tulang ikan nila tidak sesuai dengan kisaran yang ditentukan oleh GMIA (2001) diacu dalam Amiruldin (2007), yaitu pada gelatin
dengan proses asam antara 9,0 sampai 9,2 akan tetapi sesuai berdasarkan Poppe (1992), yaitu antara 7,0-9,4. Gelatin yang diperoleh dengan proses asam memiliki nilai titik isoelektrik lebih tinggi daripada gelatin yang diperoleh dengan menggunakan proses basa (Poppe 1997). Titik isoelektrik juga erat kaitannya dengan nilai viskositas dari gelatin. Nilai viskositas dari gelatin akan rendah bila diperolah pada pH titik isoelektriknya. Oleh karena itu untuk mendapatkan nilai viskositas yang tinggi maka larutan yang digunakan untuk melarutkan gelatin hendaknya lebih besar atau lebih kecil dari pH titik isoelektriknya.
(4).
Asam amino gelatin Asam amino merupakan unit terkecil pembentuk protein. Analisis asam
amino dilakukan untuk mengetahui jenis dan komposisi asam amino dari gelatin tulang ikan nila. Hasil pengukuran asam amino gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, gelatin tulang ikan kakap merah dan gelatin tulang ikan patin dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa kandungan asam amino glisin, prolin, dan hidroksiprolin lebih tinggi dari asam amino yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Charley (1982) yang menyatakan bahwa susunan asam amino gelatin hampir sama dengan kolagen, yaitu glisin sebagai asam amino utama dan merupakan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi prolin dan hidroksiprolin. Semakin besar nilai glisin, prolin, dan hidroksiprolin berpengaruh pada mutu dari gelatin. Menurut Astawan (2003), rendahnya kandungan asam amino glisin dan hidroksiprolin pada gelatin tulang ikan dapat mengakibatkan rendahnya titik leleh gelatin begitu juga sebaliknya. Grafik hasil penghitungan asam amino dengan HPLC dapat dilihat pada Lampiran 16.
Tabel 11. Komposisi asam amino gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, gelatin tulang ikan kakap merah, dan gelatin tulang ikan patin (g/100g protein) Jenis Asam Amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Methionin Sistein Isoleusin Leusin Phenilalanin Lisin Hidroksiprolin
Tulang ikan nila 4,43 6,54 2,78 23,19 2,04 6,06 1,99 3,12 11,19 4,39 1,74 1,49 1,43 1,83 1,21 3,16 6,48 12,01
Gelatin (g/100g protein) Tulang ikan Komersial* kakap merah* 4,930 4,70 9,430 8,85 2,180 23,010 21,57 0,030 8,950 7,78 2,870 2,66 10,240 10,02 12,340 10,90 0,150 0,46 1,600 1,79 0,550 1,40 0,070 1,130 0,79 2,23 1,920 1,78 2,860 3,34 8,740 6,93
Tulang ikan patin** 4,53 9,3 2 22,97 0,07 8,23 2,55 10,31 12,17 0,09 1,34 0,37 0,06 1,07 2,01 1,89 6,25
* Hadi (2005) ** Nurilmala (2004)
Kandungan asam amino glisin dan prolin dari gelatin tulang ikan nila sedikit lebih rendah daripada gelatin komersial dan gelatin tulang ikan kakap merah. Tetapi kandungan hidroksiprolin dari gelatin tulang ikan nila lebih besar daripada gelatin komersial dan gelatin tulang ikan kakap merah. Hal inilah yang diduga menyebabkan titik leleh dari gelatin tulang ikan nila lebih tinggi.
4.1.3. Perbandingan sifat fisik-kimia gelatin Sifat fungsional gelatin sangat penting dalam aplikasi terhadap suatu produk. Sifat tersebut merupakan sifat fisika dan kimia yang mempengaruhi perilaku gelatin dalam makanan selama proses, penyimpanan, penyiapan, dan pengkonsumsian (Kinsella 1982). Hasil Perbandingan sifat fisika-kimia gelatin tulang ikan nila, gelatin tulang ikan kakap merah, gelatin komersial, dan gelatin tulang ikan patin dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Perbandingan sifat fisika-kimia gelatin tulang ikan nila, gelatin komersial, gelatin tulang ikan kakap merah, dan gelatin tulang ikan patin
Parameter
Tulang ikan nila
Kekuatan gel (bloom) Viskositas (cP) pH Titik gel (oC)
126,98
Gelatin Tulang Komersial* ikan kakap* 127,2 226,8
Tulang ikan patin** 279,1
6 4,01
5,67 6,78
6,73 5,05
4,17 4,61
7
8,4 24,6
8,2
Titik leleh ( C)
29
8,9 28.5
Titik isoelektrik
7
8
7
8
Aktivitas emulsi Stabilitas emulsi
0,464 21
0,448 10
0,943 3
-
Derajat putih (%)
25
36,93
37,63
-
o
* Hadi (2005)
24
** Nurilmala (2004)
4.1.4. Uji mutu hedonik Uji organoleptik gelatin yang dilakukan meliputi parameter bau dan warna. Uji yang dilakukan menggunakan uji mutu hedonik, yang menyatakan mutu suatu produk secara lebih spesifik dan menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 30 orang (Rahayu 2001). Rata-rata uji mutu hedonik gelatin tulang ikan nila dengan gelatin komersial terhadap bau dan warna gelatin dengan skala 1-5 disajikan pada Gambar 15. Data mentah uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 17.
Gambar 15. Rata-rata uji mutu hedonik gelatin tulang ikan nila dengan gelatin komersial
Bau dirasakan ketika suatu senyawa berlalu sampai ke respon dalam lubang hidung bersama dengan udara (deMan 1989). Bau banyak menentukan mutu bahan pangan (Winarno 1992). Hasil perhitungan untuk parameter bau, diperoleh bahwa gelatin komersial bernilai 4,68 yang berarti panelis umumnya menyatakan bahwa gelatin komersial masih berbau gelatin sampai tidak berbau gelatin, sedangkan pada gelatin tulang ikan rata-rata penilaian panelis sebesar 3,72 yang berarti pada umumnya panelis menyatakan bahwa gelatin tulang ikan nila berbau ikan menyengat hingga tidak berbau. Bau ikan pada gelatin tulang ikan nila diduga disebabkan oleh bau ikan pada bahan baku tulang yang masih terbawa ketika proses pembuatan gelatin. Hal ini juga diduga diakibatkan masih adanya kandungan zat volatil, seperti amonia pada gelatin yang menimbulkan bau ikan. Pada aplikasi gelatin terhadap produk pangan, bau ikan dapat ditutupi dengan flavor (Jones 1977). Warna merupakan nama umum untuk semua pengindraan yang berasal dari aktivitas retina mata dan penting bagi bahan pangan (deMan 1989). Berdasarkan hasil uji organoleptik diketahui bahwa nilai rata-rata penilaian panelis untuk gelatin komersial yaitu sebesar 4,72 yang berarti warna gelatin komersial antara krem kecoklatan sampai krem keputihan, sedangkan nilai ratarata panelis untuk warna gelatin tulang ikan nila sebesar 3,2 yang berarti warna gelatin yang diperoleh antara coklat sampai krem kekuningan. Warna gelatin tulang ikan nila yang diperoleh diduga karena adanya lemak yang masih terdapat pada bahan baku dan ikut tercampur pada saat proses ekstraksi sehingga menyebabkan warna larutan gelatin menjadi keruh. Hal ini bisa diminimalkan dengan menggunakan bantuan kapas pada saat penyaringan larutan gelatin hasil ekstraksi. Pada aplikasi terhadap produk pangan warna dapat ditutupi dengan menggunakan flavor.
4.2.
Penelitian tahap kedua Penelitian tahap kedua merupakan penelitian lanjutan dari penelitian tahap
pertama. Pada tahap ini gelatin terpilih dilakukan penyimpanan selama 1 bulan di dalam botol kaca yang bagian tutupnya telah ditempeli dengan selotip (Lampiran 18). Penelitian tahap kedua dilakukan untuk mengetahui pengaruh
lama penyimpanan terhadap kekuatan gel, viskositas, dan derajat keasaman (pH) dari gelatin.
4.2.1. Derajat keasaman (pH) gelatin selama penyimpanan Derajat keasaman (pH) dari suatu gelatin diukur menggunakan pH-meter. Nilai pH merupakan salah satu faktor penting dalam menilai mutu dari gelatin, karena pH larutan gelatin mempengaruhi sifat-sifat gelatin yang lainnya seperti viskositas, kekuatan gel, dan akan berpengaruh juga pada aplikasi dalam pembuatan produk. Pengujian nilai pH dilakukan setiap minggu Perubahan pH gelatin tulang ikan nila selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 19. Nilai pH gelatin tulang ikan nila selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 16.
5,00
nilai pH
4,00
3,96 4,33
4,20
4,24
3,77
3,00 2,00 1,00 0,00 0
1
2
3
4
Minggu ke-
Gambar 16. Perubahan derajat keasaman (pH) gelatin tulang ikan nila selama penyimpanan Berdasarkan hasil pengukuran pH gelatin tulang ikan nila selama penyimpanan, nilai pH tertinggi diperoleh gelatin pada penyimpanan minggu ke-0, yaitu sebesar 4,33, sedangkan nilai terendah diperoleh gelatin pada penyimpanan minggu ke-4, yaitu sebesar 3,77. Dapat dilihat pada Gambar 16 bahwa terdapat kecenderungan nilai pH gelatin mengalami penurunan selama penyimpanan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (α<0,05) terhadap derajat keasaman (Lampiran 20). Uji lanjut Duncan (Lampiran 21) menunjukkan bahwa produk gelatin pada penyimpanan minggu ke-0 berbeda nyata dengan perlakuan penyimpanan minggu ke-1, 2, 3, dan 4. Hal ini diduga gelatin juga mudah menangkap O2 sehingga terjadi peningkatan kelembaban dari gelatin yang
menyebabkan nilai pH turun. Penurunan pH diduga adanya fluktuasi pH larutan yang digunakan dalam melarutkan gelatin.
4.2.2. Viskositas gelatin selama penyimpanan Viskositas gelatin menunjukan daya aliran molekul dalam suatu larutan baik itu air, cairan organik sederhana dan suspensi encer (deMan 1989). Sistem koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid (Glicksman 1969). Perubahan viskositas gelatin selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 17. Tabel nilai pH penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 22.
(cP)
7,00 6,00
6,15
6,10 5,85
5,00 4,00 3,00 2,00
5,70
5,80
1,00 0,00 0
1
2
3
4
Minggu ke-
Gambar 17. Perubahan viskositas gelatin tulang ikan nila selama penyimpanan Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa nilai viskositas gelatin tertinggi diperoleh gelatin pada penyimpanan minggu ke-0, yaitu sebesar 6,15 cP, sedangkan nilai viskositas terendah diperoleh gelatin pada penyimpanan minggu ke-4, yaitu sebesar 5,70 cP. Berdasarkan gambar 17 terjadi penurunan nilai viskositas selama penyimpanan. Hal ini diduga karena terjadinya penurunan pH dari gelatin yang menyebabkan rantai asam amino menjadi lebih pendek sehingga viskositas dari gelatin menjadi rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh lama penyimpanan gelatin memberikan pengaruh yang berbeda nyata (α<0,05) terhadap viskositas gelatin (Lampiran 23). Uji lanjut Duncan (Lampiran 24) menunjukkan bahwa produk gelatin pada penyimpanan minggu ke-0 tidak berbeda nyata dengan minggu ke-1 akan tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap gelatin dengan perlakuan minggu ke-2, 3, dan 4. Perlakuan minggu ke-1 dan ke-2 berbeda nyata dengan minggu ke-3 dan ke-4. Hal ini diduga terjadinya penurunan
pH dari gelatin yang menyebabkan rantai asam amino terputus menjadi lebih kecil sehingga menyebabkan viskositas dari gelatin menurun. Hal ini ditunjukkan dengan nilai pH gelatin pada penyimpanan minggu ke-4 menunjukkan nilai pH penyimpanan yang terendah yaitu 3,77.
4.2.3. Kekuatan gel gelatin selama penyimpanan Kekuatan gel gelatin diukur dengan menggunakan alat Texture Analizer merek STEVEN LFRA. Kekuatan gel selama penyimpanan diukur setiap satu minggu sekali. Gelatin disimpan didalam botol kaca dengan ditutup selotip dengan tujuan meminimalkan terjadinya peningkatan kadar air. Perubahan kekuatan gel selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 18. Tabel hasil pengukuran kekuatan gel gelatin selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 25.
200,00 165,63 Bloom
150,00
171,90
169,64 141,18
134,51
100,00 50,00 0,00 0
1
2
3
4
Minggu ke-
Gambar 18. Perubahan kekuatan gel gelatin tulang ikan nila selama penyimpanan Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa kekuatan gel gelatin tulang ikan nila tertinggi diperoleh pada penyimpanan minggu ke-0, yaitu sebesar 171,90 bloom dan nilai terendah diperoleh pada penyimpanan minggu ke-4, yaitu sebesar
134,51
bloom.
Gambar
tersebut
menunjukan
bahwa
terdapat
kecenderungan penurunan kekuatan gel. Penurunan ini diduga terjadi karena adanya pemutusan rantai asam amino dari gelatin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan gelatin memberikan pengaruh yang berbeda nyata (α<0,05) terhadap kekuatan gel gelatin (Lampiran 26). Uji lanjut Duncan (Lampiran 27) menunjukkan bahwa pada perlakuan penyimpanan gelatin minggu ke-0 tidak berbeda nyata dengan perlakuan minggu ke-1 dan ke-2 tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan minggu ke-3 dan ke-4. Hal ini diduga berhubungan dengan rantai asam amino dari gelatin.
Menurut Stainsby (1977) kekuatan gel gelatin berhubungan dengan panjang rantai asam amino gelatin, semakin panjang rantai asam amino gelatin maka kekuatan gel semakin meningkat karena “micelle” yang dibentuk gelatin semakin kuat.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Tulang ikan nila (Orechromis niloticus) merupakan limbah yang belum
dimanfaatkan dengan baik dan didalamnya terdapat kolagen sehingga dapat dibuat menjadi gelatin. Berdasarkan perlakuan yang diberikan kepada tulang ikan nila, yaitu perendaman dengan larutan HCl (4 %, 5 %, dan 6 %) selama 1 dan 2 hari diperoleh gelatin dengan kisaran nilai rendemen sebesar 10,18–13,27 %; nilai pH sebesar 3,31-4,01; nilai viskositas sebesar sebesar 4,80-6,00 centipoise (cP); dan nilai kekuatan gel berkisar antara 65,43-126,98 bloom. Berdasarkan beberapa perlakuan tersebut diperoleh gelatin terpilih, yaitu perendaman larutan HCl sebesar 4 % selama 2 hari. Hasil pengujian pada gelatin terpilih adalah uji proksimat dengan nilai kadar air sebesar 7,03%; kadar abu sebesar 0,93 %; kadar lemak sebesar 1,63 %; dan kadar protein sebesar 84,85 %. Nilai titik gel gelatin tulang ikan nila sebesar 7 oC; titik leleh gelatin tulang ikan nila sebesar 29 oC; titik isoelektrik gelatin tulang ikan nila sebesar 7; aktivitas dan stabilitas emulsi gelatin tulang ikan nila sebesar 0,464 dan 21 menit. Derajat putih gelatin tulang ikan nila sebesar 25 %. Hasil uji organoleptik menunjukan gelatin tulang ikan nila yang diperoleh berbau ikan hingga tidak berbau ikan dan warna yang diperoleh antara coklat hingga krem kekuningan. Selama proses penyimpanan gelatin mengalami perubahan pH, viskositas, dan kekuatan gel. Nilai pH selama penyimpanan cenderung menurun dari 4,33 menjadi 3,77. Nilai viskositas mengalami penurunan dari 6,15 cP menjadi 5,70 cP, sedangkan nilai kekuatan gel menurun dari 171,90 bloom menjadi 134,51 bloom. Hasil analisis menunjukkan bahwa penyimpanan gelatin memberikan pengaruh yang signifikan α<0,05 terhadap parameter pH, viskositas, dan kekuatan gel. Pada pengujian hingga minggu keempat diperoleh gelatin dengan parameter yang masih dalam standar yang aman untuk digunakan.
5.2.
Saran Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah:
1. diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh nilai rendemen yang lebih tinggi serta kualitas warna yang labih baik. 2. diperlukan perlakuan lama perendaman dengan selang waktu yang dipersempit dan proses perendaman (demineralisasi) tanpa melakukan penggantian larutan perendaman. 3. diperlukan uji lanjut logam berat, uji mikrobiologi, uji daya cerna dari gelatin untuk memenuhi standar nasional kebutuhan konsumsi gelatin. 4. diperlukan uji penyimpanan secara akselerasi sehingga umur simpan gelatin dapat diketahui secara pasti. 5. perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap aplikasi gelatin tulang ikan nila sebagai bahan penstabil.
DAFTAR PUSTAKA Amiruldin M. 2007. Pembuatan dan analisis karakteristik gelatin dari tulang ikan tuna (Thunnus albacores) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Anonima. 2007. Gelatin halal, gelatin haram. www. Google. com [19 Maret 2008]. Anonimb. 2004. Fish gelatin. http://www.norlandprod.com/techrpts/fishgelrpt. html. [21 Desember 2004]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. Inc., Washington, DC. Apriyanto A et al. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB press. Astawan M, Aviana T. 2003. Pengaruh jenis larutan perendaman serta metode pengeringan terhadap sifat fisik, kimia, dan fungsional gelatin dari kulit cucut. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol 14 (1):7-12 Avena-Bustillos RJ, Olsen CW, Olson DA, Chiou B, Yee E, Bechtel PJ, McHugh LH. 2006. Water vapor permeability of mamalian and fish gelatin films. Journal of Food Science. Vol 71 (4):202-207 Becher. 1965. Emulsi dan Pengemulsi. Di dalam: Kosasih Padmawinata, penerjemah; deMan, Jhon. M, editor. Kimia Makanan. Edisi kedua. Bandung: ITB Press. Terjemahan dari: Principles Of Food Chemistry. Bennion M. 1980. The Science Of Food. New York: John Wiley and Sons. British Standard 757. 1975. Sampling and Testing of Gelatin. Buckle KA, Edwars RA, Fleet GH, Wotton M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo H dan Adiono, penerjemah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Terjemahan dari: Food Science. Charley H. 1982. Food Science. 2nd edition. John Wiley and Son, New York deMan JM. 1989. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Padmawinata K, penerjemah. ITB. Bandung. Terjemahan dari: Principle of Food Chemistry. Dadang WI, Suhendar Y, Mardi T, Purbany E, Imam, Ike. 2007. Sudah saatnya nila berjaya. www. Google. Com/Nila. Html [diakses 4 Maret 2008]. Damayanti E, Mudjajanto ES. 1995. Teknologi Makanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah. Jakarta: Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Peningkatan Pendidikan Kejuruan Non Teknik II.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. 2002. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Eastoe JE. 1977. The chemical examination of gelatin. Di dalam: Ward AG dan Courts A, editor. The Science And Technology of Gelatin. New York: Academic Press. Ferinaldy. 2008. Indeks konsumsi ikan perkapita http://ferinaldy.wordpress.com. [10 Agustus 2008].
Indonesia.
Gaman PM dan Sherrington. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi, Edisi kedua. Gardjito M, Naruki S, Murdiati A, Sardjono, penerjemah. UGM. Gadjah Mada Universitas Press. Terjemahan dari: The Science of Food, an Introduction to Food Science Nutrition and Microbiology Second Edition. Gaspersz V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. CV. Armico. Bandung. Glicksman M. 1969. Gum Technology in Food Industri. New York: Academic Press. Gross. 1961. Kolagen. Di dalam: Padmawinata K, penerjemah; deMan JM, editor. Kimia Makanan. Edisi kedua. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Principle of Food Chemisrty. Gudmundsson M. 2002. Rheological properties of fish gelatin. Journal of Food Science, Vol 67 (6):2172-2176 Hadi S. 2005. Karakteristik fisikokimia gelatin dari tulang ikan kakap merah (Lutjanus sp.) serta pemanfaatannya dalam produk jelly [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hajrawati. 2006. Sifat fisik kimia gelatin tulang sapi dengan perendaman asam klorida pada konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Hinterwaldner R. 1977. Technologi of gelatin manufacture. Di dalam: Ward AG dan Courts A, editor. The Science And technology of Gelatin. New York: Academic Press. Jamilah B, Harvinder KG. 2001. Propeties of gelatin from skins of fish-black tilapia (Orechromis mossambicus) and red tilapia (Oreochromis niloticus). Journal of Food Chemistry, Vol 77: 81-84 JECFA. 2003. Edible gelatin. Di dalam Compendium of Additive Specifications. Volume 1. Italy: Rome.
Johns P. 1977. The stucture of composition of collagen containing tissue. Di dalam: Ward AG dan Courts A, editor. The Science of Technology of Gelatin. New York: Academic Press. Jones NR. 1997. Uses of gelatine in edible product. Di dalam: Ward AG dan Courts A, editor. The Science and Technology of Gelatine. New York: Academic press. King W. 1969. Gelatin. Di dalam: Glicksman M, editor. Gum Technology in Food Industri. New York: Academic Press. Kinsella. 1982. Sifat fungsional protein. Di dalam: Padmawinata K, penerjemah; deMan JM, editor. Kimia Makanan. Edisi kedua. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Principle of Food Chemisrty. Kurniawan T. 2006. Aplikasi gelatin tulang ikan kakap merah (Lutjanus sp.) pada pembuatan permen jelly [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Thenawijaya M, penerjemah. Erlangga. Jakarta. Terjemahan dari: Fundamental of Biochemistry. Lestari SD. 2005. Analisis sifat fisika kimia dan rheologi gelatin kulit hiu gepeng (Alopias sp) dengan penambahan MgSO4, sukrosa, dan gliserol [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Muchtadi D. 1989. Petujuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: PAU. IPB. Nur MA, Adi Juwana, H. Kosasih. 1992. Penuntun Praktikum: Teknik Laboratorium Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB Nurilmala M, 2004. Kajian potensi limbah tulang ikan keras (Teleostei) sebagai sumber gelatin dan analisis karakteristiknya [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca sarjana. IPB. Parker AL. 1982. Principle of Biochemicstry. Sparkas: Worth Publisher. Inc. Pelu H, Harwati S, Chasanah EE. 1998. Ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna melalui proses asam. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol IV(2): 66-74. Jakarta: BPTP. Pearce dan Kinsella JE. 1978. Emulsifying properties of protein: evaluation of a turbidimetric technique. Jurnal Agriculture Food Chemistry. Vol 26:716723
Poppe J. 1992. Gelatin. Di dalam: Imeson A, editor, Thikening and Gelling Agents for Food. London: Blackie Academy and Profesional. Pusat Data dan Informasi Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2004. Data Impor Gelatin Tahun 1999-2003: Jakarta [SNI] Standar Nasional Indonesia 06-3735. 1995. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Rusli A. 2004. Kajian proses ekstraksi gelatin dari kulit ikan patin (Pangasius hypopthalmus) segar [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca sarjana. IPB. SKW Biosystem. 2001. Gelatin Halal Gelatin Haram. Jurnal LP POM MUI No 36. Sopian, Iwan. 2002. Analisis sifat fisik kimia dan fungsional gelatin yang diekstrak dari kulit dan tulang ikan pari. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Stainsby G. 1977. The Gelatin Gel and The Sol-Gel Transformation. Di dalam: Ward AG dan Courts A, editor. The Science and Technology of Gelatin. New York: Academic press. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-2. Bambang Sumantri, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Terjemahan dari: Principle and Procedures of Statistics. Suryaningrum TD dan Utomo BSD. 2002. Petunjuk Analisis Rumput Laut dan Hasil Olahannya. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Suyanto SR. 1994. Nila. Jakarta: Penebar Swadaya. Suhardjo dan Kusharto CM. 1987. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Bogor: PAU. IPB. Viro F. 1992. Gelatin. Di dalam Hui YH, editor. Encyclopedia of Food Science and Technology of Gelatin. London: Academic Press. Wainewright FW. 1977. Physical test for gelatin and gelatin product. Di dalam: Ward AG dan Courts AG, editor. The Science and Technology of Gelatin. London: Academic Press. Ward AG dan Courts A. 1977. The Science and Technology of Gelatin. London: Academic Press.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wong, Dominic W. S. 1989. Mechanisme and Technology in Food Chemistry. New York: Published by Van Nostrand Reinhold. www. Iptekda. lipi. go. id. 2007
LAMPIRAN
Lampiran 1. Format uji mutu hedonik gelatin
UJI MUTU HEDONIK Nama panelis
:
Tanggal pengujian
:
Jenis contoh
: Gelatin
Parameter mutu
Kode produk GT1
GT2
Warna Bau
Nyatakan penilaian anda sebagai berikut:
Warna
Bau
5 = krem keputihan
5 = tidak berbau
4 = krem kekuningan
4 = sedikit berbau gelatin/ikan
3 = krem kecoklatan
3 = bau gelatin/ikan agak menyengat
2 = coklat
2 = bau gelatin/ikan menyengat
1 = coklat kehitaman
1 = bau gelatin/ikan sangat menyengat
Lampiran 2. Gambar proses demineralisasi
Lampiran 3. Gambar proses ekstraksi
Lampiran 4. Nilai rendemen gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Perlakuan HCl 4% HCl 5% HCl 6%
Lama perendaman 1 hari 11,28 % ± 1,16 11,04 % ± 0,72 13,27 % ± 1,38
2 hari 11,64 % ± 2,48 11,91 % ± 0,91 10,18 % ± 0,52
Lampiran 5. Hasil analisis ragam rendemen gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Jumlah kuadrat Intercept 1601,615 Konsentrasi*perendaman 10,59 Galat 0,442 Total 162,647
derajat Kuadrat bebas rata-rata 1 1601,615 5 2,118 6 0,074 12
F hitung
Signifikan
21763,3 28,781
0,000 0,000
Lampiran 6. Hasil uji lanjut Duncan parameter rendemen Interaksi
N
6%*2 5%*1 4%*1 4%*2 5%*2 6%*1 Signifikan
2 2 2 2 2 2
subset 1 10,182
2 11,038 11,282 11,635
1,000
0,078
3
4
11,282 11,635 11,912 0,066
13,268 1,000
Lampiran 7. Nilai viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Perlakuan HCl 4% HCl 5% HCl 6%
Viskositas (cP) 1 hari perendaman 2 hari perendaman 4,80 ± 0,14 6,00 ± 0,07 5,00 ± 0,07 5,50 ± 0,07 5,20 ± 0,07 5,00 ± 0,14
Lampiran 8. Hasil analisis ragam viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Jumlah derajat Kuadrat kuadrat bebas rata-rata F hitung Signifikan Intercept 330,750 1 330,750 44100,000 0,000 Konsentrasi*perendaman 1,910 5 0,382 50,933 0,000 Galat 0,045 6 0,007 Total 332,705 12
Lampiran 9. Hasil uji lanjut Duncan parameter viskositas Interaksi
N
4%*1 5%*1 6%*2 6%*1 5%*2 4%*2 Signifikan
2 2 2 2 2 2
subset 1 4,800 5,000 5,000
2
3
4
5,000 5,000 5,200 5,500
0,067
0,067
1,000
6,000 1,000
Lampiran 10. Nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Kekuatan gel (bloom) 1 hari perendaman 2 hari perendaman 65,43 ± 2,50 126,98 ± 4,50 79,23 ± 7,00 100,80 ± 4,50 68,97 ± 2,50 65,43 ± 2,50
Perlakuan HCl 4% HCl 5% HCl 6%
Lampiran 11. Hasil analisis ragam kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Jumlah derajat Kuadrat F hitung Signifikan kuadrat bebas rata-rata Intercept 85632,983 1 85632,983 4742,349 0,000 Konsentrasi*perendaman 6132,236 5 1226,447 67,921 0,000 Galat 108,342 6 18,057 Total 91873,562 12 Lampiran 12. Hasil uji lanjut Duncan parameter kekuatan gel gelatin Interaksi
N
4%*1 6%*2 6%*1 5%*1 5%*2 4%*2 Signifikan
2 2 2 2 2 2
subset 1 65,435 65,434 68,972
2
3
4
68,972 79,229 100,805
0,451
0,052
1,000
126,978 1,000
Lampiran 13. Nilai pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) pH Perlakuan HCl 4% HCl 5% HCl 6% Lampiran
1 hari perendaman 3,69 ± 0,25 3,48 ± 0,08 3,31 ± 0,02
2 hari perendaman 4,01 ± 0,01 3,92 ± 0,01 3,60 ± 0,01
14.
Hasil analisis ragam pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) Jumlah derajat Kuadrat F hitung Signifikan kuadrat bebas rata-rata Intercept 161,48 1 161,480 12849,870 0,000 Konsentrasi 0,321 2 0,161 12,777 0,007 Perendaman 0,361 1 0,361 28,690 0,002 Konsentrasi*perendaman 0,015 2 0,008 0,601 0,578 Galat 0,075 6 0,013 Total 162,252 12
Lampiran 15. Hasil uji lanjut Duncan parameter pH subset Konsentrasi HCl 6% 5% 4% Signifikan
N 4 4 4
1 3,455
1,000
2 3,6975 3,8525 0,098
Selang kepercayaan 95% Perendaman 1 Hari 2 Hari
Rata-rata 3,495 3,842
Galat 0,046 0,046
Nilai minimal 3,383 3,730
Nilai maksimal 3,607 3,954
Lampiran 16. Grafik hasil pengujian asam amino dengan HPLC
Lampiran 17. Data mentah uji organoleptik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 rata-rata
Warna Bau GT1 GT2 GT1 GT2 2 5 4 5 3 4 4 5 3 5 4 5 3 5 4 5 2 5 4 5 3 4 4 4 3 5 4 4 4 5 5 4 3 5 4 5 3 5 4 3 4 5 4 5 3 5 5 5 3 5 4 5 3 4 4 5 3 5 2 5 3 5 3 5 3 5 3 5 3 4 4 5 3 5 2 5 3 5 2 5 3 5 4 5 3 5 4 5 4 5 4 5 3 5 3 5 2 5 4 5 4 5 5 4 3 5 3 5 3 4 4 5 3 4 4 5 3 5 4 4 3,2 4,72 3,72 4,68
Lampiran 18. Gambar gelatin
Lampiran 19. Nilai pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan Minggu ke0 1 2 3 4
pH Ulangan 1 4,32 4,20 4,23 3,96 3,78
Ulangan 2 4,33 4,19 4,25 3,95 3,76
Lampiran 20. Hasil analisis ragam nilai pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan Sumber keragaman Antar grup Dalam grup Total
derajat bebas 0,41826 4 0,00055 5 0,41881 9
Jumlah kuadrat
Kuadrat rata-rata 0,104565 0,00011
F hitung 950,5909
Signifikan 0,000
Lampiran 21. Hasil uji lanjut Duncan perubahan pH gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan Minggu ke-
N
4 3 1 2 0 Signifikan
2 2 2 2 2
1 3,770
subset for alpha = 0,5 2 3 4
5
3,955 4,195 4,240 1,000
1,000
1,000
4,325 1,000
1,000
Lampiran 22. Nilai Viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan Viskositas (cP)
Minggu ke0 1 2
Ulangan 1 6,20 6,20 5,90
Ulangan 2 6,10 6,00 5,80
3 4
5,80 5,80
5,80 5,60
Lampiran 23. Hasil analisis ragam nilai viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan Jumlah derajat Kuadrat bebas rata-rata F hitung Signifikan Sumber keragaman kuadrat Antar grup 0,306 4 0,0765 7,6500 0,023 Dalam grup 0,05 5 0,01 Total 0,356 9 Lampiran 24. Hasil uji lanjut Duncan perubahan viskositas gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan Minggu ke-
N
4 3 2 1 0 Signifikan
2 2 2 2 2
1 5,700 5,800 5,850
0,204
subset for alpha = 0,5 2
5,850 6,100 0,054
3
6,100 6,150 0,638
Lampiran 25. Nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan Minggu ke0 1 2 3 4
Kekuatan gel (bloom) Ulangan 1 Ulangan 2 170,65 173,15 170,65 168,64 162,61 168,64 136,52 145,85 130,49 138,52
Lampiran 26. Hasil analisis ragam nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan Sumber keragaman Antar grup Dalam grup Total
Jumlah derajat Kuadrat kuadrat bebas rata-rata F hitung Signifikan 2422,655 4 30,55258 0,0010 99,11527 5 2521,774 9
Lampiran 27. Hasil uji lanjut Duncan perubahan kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) selama penyimpanan Minggu ke-
N
4 3 2 1 0 Signifikan
2 2 2 2 2
subset for alpha = 0,5 1 2 134,505 141,185
0,194
165,625 169,645 171,900 0,228
Lampiran 28. Sifat gelatin menurut Poppe (1992) Sifat
Tipe A
Tipe B
Kekuatan gel (bloom)
50-300
50-300
Viskositas (cP)
1,5-7,5
1,5-7,5
0,5-2
0,5-2
Kadar abu pH Titik isoelektrik
3,5-4,5 7-9,4
4,5-5,3
Lampiran 29. Grafik kekuatan gel gelatin tulang ikan nila (Oreochromis niloticus)
Lampiran 30. Grafik kekuatan gel gelatin selama penyimpanan pada suhu ruang minggu ke-0, 1, 2, 3, dan 4