PEMANFAATAN KULIT SINGKONG (Manihot utilissima) SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF PEMBUATAN CUKA DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI Acetobacter acet YANG BERBEDA
NASKAH PUBLIKASI
Oleh: RANI RAHMAWATI A 420 110 086
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015
PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini, Nama
: Rani Rahmawati
NIM
: A420110086
Program Studi
: Pendidikan Biologi
Judul Artikel Publikasi : “Pemanfaatan Kulit Singkong (Manihot utilissima) Sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Cuka dengan Penambahan Konsentrasi Acetobacter Aceti yang Berbeda”
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa artikel publikasi yang saya serahkan ini benar-benar hasil karya saya sendiri dan bebas plagiat karya orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu/ dikutip dalam naskah dan disebutkan pada daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti artikel publikasi ini hasil plagiat, saya bertanggung jawab sepenuhnya dan bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Surakarta, 23 Maret 2015 Yang membuat pernyataan,
Rani Rahmawati A420110086
PEMANFAATAN KULIT SINGKONG (Manihot utilissima) SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF PEMBUATAN CUKA DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI Acetobacter aceti YANG BERBEDA
USE SKIN SINGKONG (Manihot utilissima) MATERIALS AS AN ALTERNATIVE MAKING VINEGAR WITH ADDITION OF DIFFERENT CONCENTRATION Acetobacter aceti
(1) Rani Rahmawati, A 420 110 086, (2) Suparti, (1) Student / Alumni, (2) Teaching Staff, Department of Biology Education, the Faculty of Education, University of Muhammadiyah Surakarta, 2015
ABSTRACT Cassava is only used for part of the meat, while the discarded cassava peel or as animal feed. Skin is usually only used as cassava flour, cassava, and other processed. One effort to empower cassava peel make vinegar products. This study aims to determine the effect of different concentrations of Acetobacter aceti on the quality of cassava peel vinegar on levels of acetic acid, total sugar levels and levels of total dissolved solids. Parameters measured physical parameter ie the texture, aroma, and chemical parameters such as pH and the levels of acetic acid, reducing sugar levels and levels of dissolved solids. The method used in this research is completely randomized design (CRD) with one treatment factor is the addition of different concentrations Acetobacter aceti (R1 = 5%, R2 = 10%, R3 = 15%). Results of the study are in treatment R1, R2, and R3. The highest concentration of acetic acid at R2 is 2.58%. The highest total sugar content in R1 is 1.575% the highest levels of total dissolved solids in R3 is 5.985 mg / L. The conclusion from this study is the addition of different concentrations of Acetobacter aceti on quality cassava peel vinegar on levels of acetic acid, total sugar levels and levels of total dissolved solids. Keywords: cassava peel vinegar, fermentation, Acetobacter aceti. ABSTRAK Singkong selama ini hanya dimanfaatkan bagian dagingnya, sedangkan kulit singkong dibuang atau sebagai pakan ternak. Kulit singkong biasanya hanya dimanfaatkan sebagai tepung, gaplek, dan olahan lainnya. Salah satu upaya untuk memberdaya kulit singkong menjadikan produk cuka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi Acetobacter aceti yang berbeda pada kualitas cuka kulit singkong terhadap kadar asam asetat, kadar total gula dan kadar total padatan terlarut. Parameter yang diukur yaitu parameter fisik yaitu tekstur, aroma, dan pH serta parameter kimia berupa kadar asam asetat, kadar gula reduksi dan kadar padatan terlarut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 1
faktor perlakuan yaitu penambahan konsetrasi Acetobacter aceti yang berbeda (R1 = 5%, R2 = 10%, R3 = 15%). Hasil penelitian yaitu pada perlakuan R1 ,R2 , dan R3. Kadar asam asetat tertinggi pada R2 yaitu 2,58%. Kadar gula total tertinggi pada R1 yaitu 1,575% Kadar total padatan terlarut tertinggi pada R3 yaitu 5,985 mg/L. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya penambahan konsentrasi Acetobacter aceti yang berbeda pada kualitas cuka kulit singkong terhadap kadar asam asetat, kadar total gula dan kadar padatan total terlarut. Kata Kunci : cuka kulit singkong, fermentasi, Acetobacter aceti. A. PENDAHULUAN Singkong selama ini hanya dimanfaatkan bagian dagingnya, sedangkan kulit singkong dibuang atau sebagai pakan ternak. Kulit singkong merupakan limbah kupasan dari hasil pengolahan tepung, tape, gaplek dan panganan yang berbahan dasar dari kulit singkong. Kulit singkong perlu pengolahan yang tepat sebab di kulit singkong terdapat kandungan sianida yang dapat meracuni bila dikonsumsi. Hasil penelitian (Busairi dan Wikanastri,2009 (dalam) Wikanastri, (2012) menyatakan bahwa, dalam proses fermentasi dapat menurunkan kandungan sianida dalam kulit singkong dari 0,024% menjadi 0,009% setelah proses fermentasi selama lima hari. Kulit singkong dalam 17,45 gram bahan kering yaitu: protein 8,11 gram, serat kasar 15,20 gram; pektin 0,22 gram, lemak 1,29 gram, calcium 0,63 gram (Rukmana, 1997). Hasil penelitian (Turyoni, 2005 (dalam) Hersoelistyorini, 2010) bahwa kandungan karbohidrat kulit singkong kayu segar blender adalah 4,55%, sehingga memungkinkan digunakan sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dalam proses fermentasi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan cuka. Cuka adalah suatu kondimen yang dibuat dari berbagai bahan yang bergula atau berpati melalui fermentasi alkohol yang diikuti dengan fermentasi asetat. Cuka dapat dihasilkan dari sari buah aneka buah- buahan, seperti misalnya buah apel, anggur, cerri dan pir, tetapi cuka dari buah apel merupakan cuka yang paling popular di rumah tangga di Amerika Serikat (Desrosier, 1988). Cuka yang baik apabila kadar alkoholnya rendah sebab apabila kadar alkoholnya tinggi akan memberikan efek yang kurang baik bagi konsumen juga
mengurangi kualitas dari cuka itu sendiri. Menurut (Wahyudi, 2010) cuka buatan adalah asam asetat yang dibuat dengan proses kimiawi, sedangkan cuka alami adalah asam asetat yang dibuat dalam proses biologis menggunakan bakteri Acetobacter aceti. Prinsip pembuatan cuka buah yaitu fermentasi alkohol dan asam asetat. Proses pertama melibatkan aktivitas Sacharomyces cereviseae yang mengubah gula-gula sederhana menjadi alkohol dalam kondisi anaerob, sedangkan proses kedua melibatkan aktivitas bakteri Acetobacter aceti yang mangubah alkohol dengan kadar tertentu menjadi sejumlah asam asetat dalam kondisi aerob (Anonymous, 2014). Hasil penelitian Widiastuti (2008), semakin banyak konsentrasi induk cuka yang diberikan maka semakin tinggi kadar asam asetat yang dihasilkan. Jika kadar asam asetat lebih dari 4% (6.37% dan 11.59%), maka cuka bonggol pisang raja sere tersebut layak dijual dan dijadikan bahan alternatif pemngganti pembuatan cuka karena mempunyai kadar asam asetat yang tinggi. Tujuan
penelitian
ini
untuk
Mengetahui
pengaruh
konsentrasi
penambahan Acetobacter aceti yang berbeda pada kualitas cuka kulit singkong terhadap kadar asam asetat, kadar total gula, dan kadar total padatan terlarut B. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pangan dan Gizi Biologi UMS dan pengujian kadar cuka berdasarkan SNI( Kadar asam asetat, Padatan terlarut, total gula) di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan
UNS.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014-Februari 2015. Alat dan Bahan Alat yang digunakan antara lain: Pisau, baskom, blender, timbangan, panci, kompor, kain saring, sendok, corong, gelas ukur, plastik, karet, penjepit, autoklaf, LAF, spektrofotometer, labu ukur, termometer, kertas ukur pH, kertas label, waterbath, oven, botol asam cuka.Bahan yang digunakan antara lain: Kulit singkong, akuades, gula pasir, probiotic microbial Saccharomyces cerevisiae, probiotic microbial Acetobacter aceti, ammonium sulfat ((NH4)2SO4), NaOH, indikator pp, larutan nelson A dan nelson B, larutan Arsenomolibdat.
Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 1 faktor, yaitu: Penambahan Acetobacter aceti 5%, 10%, dan 15%. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif kuantitatif yaitu Parameter Fisik (Tekstur, Aroma dan pH) dan Parameter Kimia (Kadar asam asetat, kadar total gula, dan kadar total padatan terlarut) dengan merata-rata setiap sampel apakah memenuhi SNI 01-4371-1996 atau tidak. Tahapan pelaksanaan meliputi fermentasi alkohol selama 1 minggu menggunakan Saccharomyces cereviseae, dilanjutkan fermentasi asam asetat selama 2 minggu menggunakan kosentrasi Acetobacter aceti yang berbeda. Setelah mengalami fermentasi diuji kadar asam asetat, kadar total gula, dan kadar total padatan terlarut. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan dengan pengamatan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan kualitatif dalam bentuk fisik produk cuka meliputi tekstur, aroma dan pH, sedangkan pengamatan kuantitatif meliputi hasil pengujian kadar asam asetat, kadar total gula dan kadar total padatan terlarut cuka kulit singkong yang dihasilkan. 1. Pengamatan kualitatif (Parameter fisik) dalam bentuk fisik produk cuka kulit singkong meliputi tekstur, aroma dan pH. Tabel 4.1 Pengamatan Tektur, Aroma dan pH Cuka kulit singkong dengan penambahan Acetobacter aceti yang berbeda Sampel Tekstur Aroma pH R1.1 Encer Masam khas cuka 3 R1.2 Encer Masam khas cuka 3 R2.1 Encer Masam khas cuka 3 R2.2 Encer Masam khas cuka 3 R3.1 Encer Masam khas cuka 3 R3.2 Encer Masam khas cuka 3 Tekstur merupakan salah satu mutu yang sangat berperan dalam menampilkan karakteristik cuka. Pada proses fermentasi alkohol cairan cuka terlihat semuanya encer dan berwarna coklat muda, selanjutnya memasuki tahap kedua yaitu fermentasi asam asetat cairan cuka ini tetap encer. Hal ini sesuai dengan penelitian. Dari keempat tekstur rata-rata pada setiap
perlakuan encer dapat dilihat pada (tabel 4.1) hal ini sudah memenuhi SNI 01-4371-1996. Aroma produk cuka kulit singkong setelah mengalami fermentasi memiliki aroma yang berbeda. Aroma cuka semakin lama penyimpanan akan semakin masam serta pH semakin lama akan semakin menurun atau semakin asam. Hal ini terjadi karena adanya aktivitas bakteri Acetobacter aceti yang mengubah alkohol menjadi asetat. Aroma awal semua produk sama yaitu aroma khas bahan dasar cuka sari kulit singkong. Setelah difermentasi selama 30 hari terjadi perubahan aroma cuka. Pada R1.1 dan R1.2 (Penambahan Acetobacter aceti 5%), R2.1 dan R2.2 (Penambahan Acetobacter aceti 10%), R3.1 dan R3.2 penambahan Acetobacter aceti 15%), memiliki aroma masam khas cuka. Hal ini sudah memenuhi SNI 014371-1996. Dapat dilihat pada tabel pengamatan parameter fisik (tabel 4.1). pH dari keempat sampel rata- rata 3. Ada beberapa hal yang berpengaruh pada fermentasi asam asetat yaitu perlu sirkulasi udara yang baik sehingga asam asetat yang dihasilkan mencapai maksimal (tersedianya O2 yang banyak), kejernihan cairan fermentasi juga mempengaruhi keberhasilan fermentasi asam asetat yaitu apabila terdapat endapan maka proses fermentasi asam asetat akan terganggu dan peluang kontaminasi besar. Hasil penelitian (Zubaidah, 2010) rerata pH cuka salak terbaik diperoleh dengan perlakuan fermentasi anaerob pada konsentrasi inokulom cuka salak 15%. Pada kondisi fermentasi anaerob kadar total asam yang dihasilkan lebih tinggi. Peningkatan asam asetat ini juga akan menurunkan pH akhir produk cuka salak. Menurut (Naidu, 2000 (dalam) Zubaidah, 2010), asam asetat yang terlarut akan berdisosiasi untuk melepaskan protonproton bebas yang menurunkan pH larutan. 2. Uji kuantitatif (Parameter kimia) dilakukan dengan pengujian kadar asam asetat, kadar total gula dan kadar total padatan terlarut. a. Kadar Asam asetat Kadar asam asetat merupakan komponen utama dari cuka yang merupakan karakteristik khas cuka. Dari hasil penelitian kadar Asam
asetat pada pemanfaatan kulit singkong sebagai alternatif pembuatan cuka dengan penambahan konsentrasi Acetobacter aceti yang berbeda, menunjukkan bahwa ada perbedaan kadar asam asetat di setiap perlakuan seperti pada gambar 4.1 dibawah: R 2,6 e r a 2,55 t a
2,58% 2,535%
2,545%
Tertinggi Terenda
2,5 R1
R2 R3 Kombinasi perlakuan
Gambar 4.1. Histrogram Hasil Kadar Asam asetat Cuka kulit singkong dengan penambahan Acetobacter aceti yang berbeda.
Dari empat sampel cuka kulit singkong, Kadar asam asetat tertinggi terdapat pada perlakuan R2 (penambahan konsentrasi Acetobacter aceti 10%) dengan rerata sebesar 2,58% (gambar 4.1), hal ini menunjukkan bahwa jumlah Konsentrasi Acetobacter aceti 10% dapat meningkatkan kadar asam asetat pada cuka kulit singkong. Penambahan konsentrasi Acetobacter aceti 10% menunjukkan kadar asam asetat yang tertinggi hal ini didukung penelitian Ni’maturrohmah (2014) kadar asam asam tertinggi pada cuka kulit pisang kepok terdapat pada perlakuan dengan penambahan Acetobacter aceti 10%. Bakteri Acetobacter aceti akan bereaksi secara optimal pada kondisi penambahan konsentrasi 10% dari jumlah bahan baku yang difermentasikan hal ini didukung oleh (Supli (2002) dalam Ni’ maturrohmah (2014), menyatakan bahwa untuk mendapat hasil asam cuka
optimal
konsentrasi
Acetobacter
aceti
yang
baik
untuk
diinokulasikan adalah 10% dari jumlah larutan. Acetobacter aceti dalam kondisi aerob memerlukan sediaan oksigen yang banyak untuk pertumbuhan dan aktivitasnya. Pada kondisi aerob Acetobacter aceti dapat bekerja sangat optimal saat fermentasi terjadi. Apabila tempat fermentasi ditutup maka fermentasi akan terhenti pada saat itu juga
karena bakteri Acetobacter aceti memerlukan oksigen untuk fermentasi. Dalam kulit singkong memiliki kandungan karbohidrat sebesar 4,55%. Karbohirat atau pati oleh aktivitas mikroba dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh mikroba itu sendiri akan diubah menjadi gula dan selanjutnya dari gula akan diubah menjadi alkohol. Fermentasi gula oleh Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan etil alkohol (etanol) dan CO2 (Schlegel, 1994 (dalam) Agustina, 2008). Khamir Saccharomyces cerevisiae dalam memfermentasi glukosa menjadi etanol pada kondisi netral atau sedikit asam dan dalam kondisi anaerob. Selain karbohidrat yang terkandung dalam kulit singkong banyaknya bahan tambahan yang digunakan akan mempengaruhi banyaknya kadar alkohol yang dihasilkan dan kadar asam asetat. Setelah terbentuknya alkohol oleh khamir kemudian proses kedua berlangsungnya proses pembentukan asam asetat yang dihasilkan dari oksidasi alkohol oleh bakteri Acetobacter aceti dalam keadaan aerob. Tidak seperti khamir yang menghasilkan alkohol, bakteri ini membutuhkan oksigen yang banyak dalam pertumbuhan dan aktivitasnya. Pada kondisi aerob fermentasi cuka oleh Acetobacter aceti sangat intensif. Untuk proses fermentasi asam asetat dapat dihambat sempurna dengan memasukkan sedikit udara, tetapi apabila tempat ditutup maka fermentasi itu akan berhenti seketika. Setelah fermentasi pembuatan asam asetat berjalan dengan sempurna, dalam penyimpanan tempat harus ditutup dengan baik dan menghindari masuknya udara, karena jika terkontaminasi dengan udara maka enzim-enzim bakteri asam asetat akan merombak asam asetat sehingga menghasilkan gas karbondioksida dan air (Waluyo,1984). Kadar asam asetat terendah pada perlakuan R1 (penambahan konsentrasi Acetobacter aceti 5%) dengan rerata 2,535%. Kadar asam asetat yang di dapat rendah, hal ini disebabkan karena sedikitnya bakteri Acetobacter aceti yang mengubah alkohol menjadi asam asetat. Kemampuan Saccharomyces cerevisiae dalam menghasilkan
alkohol lebih rendah akan menurunkan konsentrasi asam asetat sehingga kadar asam asetat yang dihasilkan juga rendah. Menurut Daulay dan Rahman, 1992 (dalam) Zubaidah, 2010), kriteria mutu vinegar yang utama adalah asam asetatnya, cuka memiliki daya simpan yang lama disebabkan kandungan asetatnya. Menurut penelitian yang pernah dilakukan
“The
Vinegar
Institute”,
masa
simpan
cuka
tidak
terdefinisikan, karena kondisinya yang asam sehingga cuka tidak memerlukan bahan pengawet dan penyimpanan pada suhu rendah (Rismana dan Paryanto,2007 (dalam) Baharuddin, 2009). Berdasarkan hasil penelitian uji kadar asam asetat yang dihasilkan ada pengaruh Acetobacter aceti terhadap Kadar asam Asetat pada cuka kulit singkong karena adanya perubahan hasil uji pada setiap sampel. Kadar asam asetat tertinggi dari cuka kulit singkong sebesar 2,58%. Kadar asam asetat pada cuka kulit singkong tidak memenuhi tidak memenuhi SNI 01-4371-1996 yang mempersyaratkan kadar asam asetat yang terkandung minimal 4% b. Kadar Total gula Dari hasil penelitian kadar total gula pada pemanfaatan kulit singkong sebagai alternatif pembuatan cuka dengan penambahan konsentrasi Acetobacter aceti yang berbeda, menunjukkan bahwa ada perbedaan kadar total gula di setiap perlakuan seperti pada gambar 4.2 dibawah:
R e r a
2 1,5 1 0,5 0
1,575% 1,095%
1,2%
Tertinggi Terendah
R1 R2 R3 Kombinasi perlakuan (%)
Gambar 4.2. Histrogram Hasil Kadar Total Gula Cuka kulit singkong dengan penambahan Acetobacter aceti yang berbeda.
Dari empat sampel cuka organik kulit singkong, kadar total gula tertinggi
terdapat
pada perlakuan
R1
(penambahan konsentrasi
Acetobacter aceti 5%) dengan rerata sebesar 1,575%, hal ini menunjukkan bahwa jumlah Konsentrasi Acetobacter aceti 5% dapat meningkatkan kadar total gula pada cuka organik kulit singkong. Nutrisi gula
pada
perlakuan
R1
mencukupi
mikroorganisme
sehingga
mengakibatkan tingginya total gula. Tingginya total gula diduga karena penambahan jumlah gula yang digunakan yang digunakan cukup tinggi dalam kondisi pH rendah (suasana asam). Sukrosa dapat tereduksi menjadi glukosa dan fruktosa yang disebut gula reduksi karena adanya gugus OH bebas yang reaktif. Hal ini sesuai dengan pendapat (Desrosier,1988) bahwa sukrosa bersifat non pereduksi karena tinggi mempunyai gugus OH bebas yang reaktif, Sukrosa akan terhidrolisis menjadi gula invert yaitu fruktosa dan glukosa yang merupakan gula reduksi. Kadar total gula terendah pada perlakuan R2 (penambahan konsentrasi Acetobacter aceti 10%) (gambar 4.2) dengan rerata 1,095%. Penurunan kadar total gula selama penyimpaan disebabkan karena reaksi spontan antara CO2 dan H2O terjadi penguraian gula menjadi unsur-unsur yang lebih sederhana oleh aktifitas mikroba. Perbedaan kadar gula selain disebabkan lama fermentasi juga dapat disebabkan oleh substrat yang tersedia selama proses fermentasi sehingga aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan pati menjadi gula akan berbeda. Menurut (Rahman 1992 (dalam) Zubaidah 2010), pada fermentasi asam asetat, sumber karbon (biasanya glukosa) dioksidasi menjadi CO2 dan H2O.Hal ini sesuai
dengan
pendapat
(Yuliania,
2003
(dalam)
triyono
2010).Berdasarkan hasil penelitian uji total gula yang dihasilkan ada pengaruh Acetobacter aceti terhadap Kadar total gula pada cuka kulit singkong karena adanya perubahan hasil uji pada setiap sampel. Kadar total gula tertinggi dari cuka kulit singkong sebesar 2,58%. Kadar total gula pada cuka kulit singkong tidak memenuhi tidak memenuhi SNI 01-
4371-1996 yang mempersyaratkan kadar asam asetat yang terkandung minimal 15%. c. Kadar total padatan terlarut Dari hasil penelitian kadar total padatan terlarut
pada
pemanfaatan kulit singkong sebagai alternatif pembuatan cuka dengan penambahan konsentrasi Acetobacter aceti yang berbeda, menunjukkan bahwa ada perbedaan kadar padatan terlarut di setiap perlakuan seperti pada gambar 4.3 dibawah: R e 10 r a 5 t
4,91%
5,34%
5,985%
Tertinggi Terendah
0 R1 R2 R3 Kombinasi perlakuan (mg/L) Gambar 4.3. Histrogram hasil kadar padatan terlarut cuka kulit singkong dengan penambahan Acetobacter aceti yang berbeda.
Total padatan merupakan banyaknya padatan yang ditambahkan pada proses pembuatan produk. Komponen bahan pangan tersusun atas total padatan dan air. Salah satu faktor yang mempengaruhi kadar air dalam bahan pangan adalah jumlah padatan. Dari empat sampel cuka organik kulit singkong, kadar padatan terlarut tertinggi terdapat pada perlakuan R3 (penambahan konsentrasi Acetobacter aceti 15%) dengan rerata sebesar 5,985 mg/L, hal ini menunjukkan bahwa jumlah konsentrasi Acetobacter aceti 15% dapat meningkatkan kadar padatan terlarut pada cuka organik kulit singkong. Semakin banyak konsentarsi Acetobacter aceti yang digunakan maka semakin banyak juga senyawasenyawa yang dirombak oleh bakteri tersebut. Protein merupakan salah satu senyawa yang merupakan hasil rombakan oleh bakteri Acetobacter aceti yang mudah larut dalam air. Kenaikan total padatan terlarut juga disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa sederhana seperti karbohidrat dan protein yang mudah larut dalam air. Hal ini sesuai dengan pendapat
(Trisnawati, 2005 (dalam) Sumiati, 2011) bahwa peningkatan total padatan terlarut disebabkan karena komponen-komponen kompleks seperti karbohidrat dan protein terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga terjadi kenaikan total padatan terlarut. Kadar padatan terlarut
terendah
pada
perlakuan
R1
(penambahan
konsentrasi
Acetobacter aceti 5%) dengan rerata 4,91 mg/L. Rendahnya total padatan terlarut pada R1 (penambahan konsentrasi Acetobacter aceti 5%) disebabkan sedikitnya konsentrasi Acetobacter aceti yang merombak senyawa-senyawa seperti karbohidrat, protein, gula pereduksi yang larut dalam air sehingga hasil yang didapatkan sedikit. Hasil penelitian (Zubaidah, 2010) pada cuka salak rerata total padatan terlarut terendah terdapat pada perlakuan kondisi fermentasi anaerob pada saat fermentasi alkohol. Penurunan total padatan terlarut selama fermentasi diduga disebabkan selama proses fermentasi berlangsung, gula yang merupakan komponen padatan terlarut yang dominan dalam medium disamping pigmen, vitamin, dan mineral, dimetabolisme oleh khamir menjadi alkohol dan CO2 kemudian dimanfaatkan oleh bakteri asam asetat sebagai sumber karbon. Hal ini diperkuat dengan penyataan (Reed and Nagodawithana, 1991 (dalam) Zubaidah 2010) bahwa selama proses fermentasi khamir dan bakteri berlangsung, terjadi penurunan total padatan terlarut. Berdasarkan SNI 01-4371-1996 jumlah total padatan terlarut maksimal 1,5mg/L. Karena terlalu tingginya kadar padatan cuka kulit singkong yaitu 5,985 mg/L(gambar 4.4). Hasil penelitian uji total gula yang dihasilkan ada pengaruh Acetobacter aceti terhadap Kadar total padatan terlarut pada cuka kulit singkong karena adanya perubahan hasil uji pada setiap sampel. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh penambahan konsentrasi Acetobacter aceti pada kualitas cuka kulit singkong terhadap kadar asam asetat, kadar total gula dan kadar padatan terlarut. Cuka kulit singkong ini
belum memenuhi standar SNI 01-4371-1996 sebab terdapat beberapa kreteria hasil uji yang tidak memenuhi standar yaitu kadar asam asetat, kadar total gula, dan kadar total padatan terlarut. DAFTAR PUSTAKA Agustina, Lina. 2008. “Pemanfaatan Bonggol Pisang Kepok (Musa paradisiaca) sebagai Bahan Baku Pembuatan Cuka”. (Skripsi S-1 Progdi Biologi). Surakarta: FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta. Anonymous. 2015. What is Vinegar. http://www.versatilevinegar.org/. Tanggal akses 4 Maret 2015. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1996. SNI 01-4371-1996. Cuka Fermentasi. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Jakarta. Baharuddin, dkk. 2009. Penentuan Mutu Cuka Nira Aren (Arenga pinnata) Berdasarkan SNI 01-4371-1996.Universitas Hasanuddin: Makassar. Jurnal Perennial, 5(1): 31-35. Desrosier, Norman W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: UI- Press. Hersoelistyorini, W., dkk. 2010. Pengaruh Lama Simpan Pada Suhu Ruang Terhadap Kadar Protein Dodol Tape Kulit Umbi Ubi Kayu. Universitas Muhammadiyah Semarang: Semarang. Jurnal Pangan dan Gizi, Vol. 01 No. 01. Ni’maturrohmah, Wahyu. 2014. “Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Pisang Kepok (Musa paradisiaca) sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cuka Organik Dengan Penambahan Acetobacter aceti Dengan Konsentrasi yang Berbeda” (Skripsi S-1 Progdi Biologi). Surakarta: FKIP Muhammadiyah Surakarta. Rukmana R. 1997. Ubi Kayu Budi daya dan Paska Panen. Yogyakarta: Kanisius. Sumiati, Ernita S.2012. Kualitas sirup jambu biji merah (psidium guajava l) selama Penyimpanan dengan penambahan kitosan. Universitas Riau: Pekanbaru. Jurnal. Triyono, Agus. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ragi Terhadap Karakteristik Sari Buah dari Beberapa Varietas Pisang (Musa paradisiaca L). Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”. ISSN 1693-4393. Wahyudi. 2010. Aneka cuka. http:www.chem-is-try.org/. Tanggal akses 23 April 2015. Waluyo S. 1984. Beberapa Aspek Tentang Pengolahan Vinegar. Jakarta: Dewa Ruci Press.
Widiastuti, Rinarustin. 2008. “Pemanfaatan Bonggol Pisang Raja Sere (Musa paradisiaca) sebagai Bahan Baku Pembuatan Cuka” . (Skripsi S-1 Progdi Biologi). Surakarta: FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta. Wikanastri H, dkk. 2012. Aplikasi Proses Fermentasi Kulit Singkong Menggunakan Starter Asal Limbah Kubis dan Sawi Pada Pembuatan Pakan ternak Berpotensi Probiotik. Universitas Muhammadiyah Semarang: Semarang. Seminar Hasil-Hasil Penelitian. Zubaidah, Elok. 2010. Kajian Perbedaan Kondisi Fermentasi Alkohol dan Konsentrasi Inokulum Pada Pembuatan Cuka Salak (Salacca zalacca).Universitas Brawijawa: Malang. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 11 No.2.