VOLUME 1
No. 2, 22 Juni 2012
Halaman 71-143
PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK IDENTIFIKASI OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN Wiji Lestari
Pengelolaan Infrastruktur dan Pembangunan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah MadaYogyakarta Email:
[email protected]
ABSTRACT
Ikonos satellite image is an image that has a high spatial resolution with pixel accuracy of one meter for panchromatic and four-meter multispectral. Spesifkasi IKONOS imagery provides the ability to record an object one meter. Therefore the use of Ikonos imagery to identify objects and buildings Land Tax (PBB) is dimungkinkan.Untuk determine the ability of Ikonos imagery in the identification of objects Land and Building Tax (PBB) conducted research that aims to determine the accuracy of the interpretation of Ikonos imagery for identification of objects UN, UN to map objects based on Ikonos imagery interpretation, field survey and evaluate the results of Block Maps uses map image interpretation Ikonos.Penelitian geografi.Pengumpulan using descriptive methods of data is done through the interpretation of Ikonos imagery, field tests, interviews and documentation. Data analysis is the analysis of the level of image interpretation, analysis and map overlay analysis. The results showed that the level of interpretation of Ikonos imagery for identification of objects and the United Nations is 89.54% commission error is 10.46%. Results from a block map using Ikonos imagery interpretation of evaluation results have not yet registered 269 objects in the map of Block UN tax. Can be concluded that the Ikonos imagery can be used as the primary data source for identification of objects. Key words: Ikonos image, image interpretation, object identification, remote sensing, object of property tax.
ABSTRAK
Citra Ikonos adalah citra satelit yang memiliki resolusi spasial tinggi dengan ketelitian piksel satu meter untuk pankromatik dan empat meter untuk multispektral. Spesifkasi ini memberikan citra ikonos kemampuan merekam obyek sebesar satu meter. Oleh karena itu, penggunaan citra Ikonos untuk mengidentifikasi obyek Pajak Bumi dan bangunan (PBB) sangat dimungkinkan.Untuk mengetahui kemampuan citra Ikonos dalam identifikasi objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat ketelitian interpretasi citra Ikonos untuk identifikasi objek PBB, memetakan obyek PBB berdasarkan hasil interpretasi citra Ikonos, dan mengevaluasi Peta Blok dari hasil survey lapangan menggunakan peta hasil interpretasi citra Ikonos. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif geografi. Pengumpulan data dilakukan melalui interpretasi citra Ikonos, uji lapangan, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data yang dilakukan adalah analisis tingkat interpretasi citra, analisis peta, dan analisis overlay. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat interpretasi citra Ikonos untuk identifikasi obyek PBB adalah 89,54% dan kesalahan komisi adalah 10,46%. Hasil evaluasi
71
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 71-77
peta Blok menggunakan hasil intrepretasi citra Ikonos terdapat 269 obyek pajak belum terdaftar dalam peta Blok PBB. Jadi dapat disimpulkan bahwa citra Ikonos dapat digunakan sebagai sumber data utama untuk identifikasi objek. Kata Kunci: citra ikonos, interpretasi citra, identifikasi obyek, penginderaan jauh, obyek Pajak Bumi dan Bangunan.
PENGANTAR
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer,1990: 5). Pengumpulan data dalam penginderaan jauh dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan sensor buatan. Sensor merekam tenaga yang dipantulkan atau dipancarkan oleh objek di permukaan bumi. Setelah diproses rekaman tenaga ini membuahkan data penginderaan jauh. Dengan melakukan analisis terhadap data yang terkumpul ini dapat diperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. Citra penginderaan jauh merupakan gambaran yang menyerupai wujud asli dari objek yang direkam. Identifikasi objek di lapangan melalui citra dapat dilakukan dengan intepretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh agar dapat menilai arti pentingnya objek tersebut (Purwadhi, 2001: 22). Kualitas objek yang terekam pada citra bergantung pada resolusi citra tersebut. Resolusi adalah parameter limit atau daya pisah objek yang masih dapat dibedakan (Purwadhi, 2001:18 - 19). Ikonos adalah satelit milik Space Imaging (USA) yang diluncurkan bulan September 1999 dan menyediakan data untuk tujuan komersial pada awal tahun 2000. Ikonos adalah satelit dengan resolusi spasial tinggi yang merekam data multispektral 4 kanal pada resolusi 4 meter dan sebuah kanal pankromatik dengan resolusi satu meter. Ini berarti Ikonos merupakan satelit
72
komersial pertama yang dapat membuat image beresolusi tinggi (Rovicky,2006:1). Spesifikasi ini memberikan kemampuan Citra Ikonos untuk dapat merekam obyek lebih detail dibandingkan dengan citra lain yang memiliki resolusi spasial yang lebih rendah. Karakteristik satelit ikonos diperlihatkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Satelit Ikonos Elemen Launch Date Operational Life Orbit Speed on Orbit Speed Over the Ground Number of Revolutions Around the Earth Orbit Time Around the Earth Altitude Resolution
Keterangan 24 September 1999 Vandenberg Air Force Base, California Over 7 Years 98.1 degree, sun synchronous 7.5 kilometers (4.7 miles) per second 6.8 kilometers (4.2 miles) per second 14.7 every 24 hours 98 minutes 681 kilometers (423 miles) Nadir: 0.82 meters (2.7 feet) panchromatic 3.2 meters (10.5 feet) multispectral 26° Off-Nadir 1.0 meter (3.3 feet) panchromatic 4.0 meters (13.1 feet) multispectral
Image Swath
11.3 kilometers (7.0 miles) at nadir 13.8 kilometers (8.6 miles at 26° off-nadir)
Equator Crossing Time Revisit Time
Nominally 10:30 a.m. solar time Approximately 3 days at 1-meter resolution, 40° latitude 11-bits per pixel Panchromatic, blue, green, red, near infrared
Dynamic Range Image Bands
Sumber: Space Imaging (2003: 1)
Saat ini Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak telah memiliki citra satelit dari sebagian besar wilayah Indonesia, yaitu citra Ikonos. Citra Ikonos memiliki resolusi spasial tinggi dengan ketelitian piksel 1 meter untuk pankromatik dan 4 meter untuk multispektral. Resolusi spasial yang tinggi tersebut memberikan kemampuan Citra Ikonos untuk mendeteksi obyek sebesar 1 meter. Kelebihan lainnya, Citra Ikonos dapat memberikan informasi
WIJI LESTARI e Pengelolaan Infrastruktur dan Pembangunan Masyarakat
yang aktual sesuai dengan kondisi lapangan pada saat perekaman data. Dengan kelebihan tersebut, dimungkinkan dapat diperoleh informasi yang lebih lengkap dan terkini mengenai kondisi wilayah yang akan didata sebagai obyek pajak beserta distribusi spasialnya. Beberapa informasi yang dapat diperoleh untuk pendataan dan penilaian PBB antara lain jenis dan fungsi lahan, ukuran, letak objek pada kelas tanah, jumlah obyek pajak, dan sebagainya. Saat ini identifikasi obyek pajak untuk pendataan pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kota Surakarta Kota masih menggunakan metode konvensional yaitu identifikasi langsung di lapangan. Menurut petugas pajak bahwa identifikasi dilakukan oleh pihak ketiga (outsourcing) dan kelurahan serta diawasi oleh pihak KPP. Hasil identifikasi tersebut kemudian divalidasi oleh petugas KPP. Setelah proses validasi, KPP mengeluarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang akan diserahkan oleh subyek pajak melalui kantor kelurahan. Identifikasi tidak dilakukan tiap tahun, tetapi dilihat dari potensi suatu wilayah atau suatu wilayah tersebut sudah lama tidak dilakukan pemeliharaan data. Pemeliharaan data meliputi perubahan nama pemilik, alamat, luas tanah, dan letak tanah serta data tersebut disimpan dalam Smart Map PBB. Cara identifikasi tersebut melibatkan banyak sumberdaya manusia. Selain itu, memerlukan dana yang cukup besar dan waktu yang lama, apalagi jika wilayah yang didata luas dan memiliki perkembangan fisik yang cepat, sehingga banyak obyek data baru yang harus diidentifikasi. Penelitian ini ingin menampilkan sebuah metode untuk identifikasi obyek PBB menggunakan interpretasi Citra Ikonos. Interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh merupakan kegiatan mengeksplorasi informasi dari citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar pada citra (Purwadhi, 2001: 25). Data interpretasi citra dapat digunakan apabila memenuhi
syarat uji ketelitian interpretasi. Uji ketelitian interpretasi citra dapat dilakukan dengan berbagai cara. Uji ketelitian dalam penelitian ini menggunakan tabel perhitungan matrik konfusi.Tabel perhitungan matrik konfusi merupakan derivasi dari penjumlahan omisi, komisi, dan keseluruhan ketelitian pemetaan (Short, 1982: 12). Omisi adalah jumlah kesalahan interpretasi dari objek X dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi. Komisi adalah jumlah objek lain yang diinterpretasikan sebagai objek X dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi, sedangkan ketelitian pemetaan adalah jumlah objek X yang diinterpretasi benar dibagi jumlah objek X yang diinterpretasi benar ditambah jumlah omisi dan komisi. Ketelitian pemetaan dihitung tiap klasifikasi objek. Keseluruhan ketelitian pemetaan dihitung dengan menjumlahkan objek X yang diinterpretasi benar dari semua klasifikasi objek dibagi dengan jumlah seluruh sampel objek. Data interpretasi citra telah memenuhi syarat apabila tingkat ketelitian interpretasi> 84%, sedangkan kesalahan komisi <20% (Sutanto,1994: 116) Hasil interpretasi Citra Ikonos digunakan untuk memetakan obyek PBB yang digunakan untuk mengevaluasi peta Blok dari KPP. Peta Blok adalah peta yang dibuat oleh KPP yang berisi informasi tentang obyek pajak dalam areal pengelompokan bidang tanah terkecil yang digunakan sebagai petunjuk lokasi objek pajak yang unik dan permanen. Informasi obyek dalam Peta Blok diperoleh memalui survei lapangan. Evaluasi Peta Blok berdasarkan interpretasi Citra Ikonos menggunakan analisis overlay, yaitu membandingkan minimal dua layer peta dalam proyeksi dan koordinat yang sama, tetapi memiliki kandungan informasi yang berbeda. Dari perbedaan ini dicari perpotongan atau kombinasi dari obyek hasil overlay. Pada penelitian ini, perbedaan informasi yang diambil adalah informasi selisih antara jumlah objek pajak yang terdapat pada peta blok PBB dengan jumlah
73
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 71-77
objek pajak yang berhasil di identifikasi melalui interpretasi Citra Ikonos.
Kerangka Teoritik
Penelitian yang dilakukan Santosa berjudul “Penggunaan Foto Udara Untuk Memetakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan di Kotamadya Yogyakarta” (Santosa, 197). Metode yang digunakan yaitu pembagian wilayah, pengumpulan data, dan analisa data. Luas dihitung dengan sistem grid yaitu dengan membagi tiap blok dan tiap penggunaan lahan dalam kotak-kotak kecil dengan ukuran tertentu. Dari hasil penelitian diketahui bahwa foto udara pankromatik hitam putih skala 1:10.000 dapat digunakan untuk identifikasi objek PBB dan memetakannya. Nilai ketelitian seluruh klasifikasi sebesar 89,37%, sedangkan jumlah objek PBB yang ada di Kotamadya Yogyakarta ditaksir sebanyak 61.464 buah. Pramadani (2004), melakukan penelitian berjudul“Pemanfaatan Citra Satelit Ikonos dan Sistem Informasi Geografi Untuk Mengetahui Nilai Jual Objek Pajak Bumi Di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.” Metode yang digunakan yaitu pengharkatan atau skoring dan pembobotan. Satuan pemetaan yang digunakan yaitu blok. Dari hasil penelitian diketahui bahwa citra Ikonos warna asli (True Color) dapat dimanfaatkan dalam identifikasi bentuk penggunaan lahan. Hasil ketelitian uji intepretasi sebesar 83,33%. Berdasarkan hasil pemetaan, nilai jual bumi/lahan di daerah penelitian dibagi menjadi lima kelas menunjukkan nilai jual bumi / lahan Kelas I (sangat tinggi), Kelas II (tinggi), Kelas III (sedang), Kelas IV (rendah), dan Kelas V (sangat rendah). Simarangkir (2005), melakukan penelitian berjudul “Pemanfaatan Citra Ikonos Dalam Kegiatan Peningkatan Potensi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (Studi Kasus: Kelurahan Sukaresi, Kecamatan Tanah Sareal, dan Kota Bogor)”. Metode yang digunakan yaitu survei lapangan, intepretasi citra Ikonos, dan perbandingan hasil
74
intepretasi dengan hasil survei lapangan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa berdasar perbandingan hasil intepretasi citra Ikonos dengan peta blok PBB, ditemukan perbedaan pada luas bangunan yaitu 149. 696 m2 dan luas penggunaan lahan yaitu 209.789 m2. Bambang Edhi Leksono dan Yuliana Susilowati (2008) melakukan penelitian berjudul The Accuracy Improvement of Spasial Data for Land Parcel and Buildings Taxation Objects by Using the Large Scale Ortho Image Data. Metode yang digunakan yaitu pengumpulan data lapangan, pemrosesan data, dan membandingkan posisi objek antara digitasi peta citra dengan data lapangan. Pemrosesan citra Quickbird pada penelitian ini menghasilkan RMSE pada proses rektifikasi sebesar 0,938 m untuk 10 titik GCP dan 0,876 m untuk 22 GCP, sedangkan pada proses orthorektifikasi menghasilkan RMSE 0.564 m untuk 10 GCP dan 0,541 untuk 22 GCP.
Bahan dan Metode
Lokasi yang digunakan untuk penelitian ini adalah Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Kecamatan Jebres dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan kecamatan yang mengalami pertumbuhan fisik dan sosial yang cepat, sehingga sering terjadi perubahan penggunaan lahan dan dimungkinkan terdapat penambahan obyek PBB yang bervariasi. Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif geografis yaitu memaparkan analisis data secara spasial, sedangkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data diperoleh melalui interpretasi citra Ikonos, kemudian dilakukan uji ketelitian interpretasi citra menggunakan perhitungan matrik konfusi. Selanjutnya, dilakukan overlay hasil interpretasi citra tersebut dengan peta blok hasil survey lapangan yang dimiliki KPP. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh tanah dan bangunan yang menjadi obyek pajak di Kecamatan Jebres, sejumlah
WIJI LESTARI e Pengelolaan Infrastruktur dan Pembangunan Masyarakat
1227 obyek yang terbagi dalam 18 klasifikasi obyek pajak. Sampel yang digunakan sebanyak 153 meliputi 18 klasifikasi obyek, yaitu 2 gudang, 3 tempat olahraga, 4 SPBU, 8 sekolah, 51 rumah, 4 rumah sakit, 5 pasar, 22 industri dan perkantoran, 4 tempat ibadah, 9 lahan terbuka, 4 hotel, 5 kuburan, 24 pertokoan, 3 kantor pemerintahan, 1 kolam IPAL, 1 stasiun kereta api, 1 kebun binatang, dan 2 taman kota. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified proposional random sampling dan didasarkan atas strata kelas obyek pajak yang ada pada setiap kelurahan. Sampel diambil dengan memperhatikan proporsi jumlah sampel, sehingga seluruh populasi terwakili oleh sampel yang diambil. Titik sampel yang diambil secara acak (random) didasarkan atas jumlah strata (kelas). Data primer yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari Citra Satelit Ikonos daerah liputan Kota Surakarta tahun 2002 dan data cek lapangan pada waktu melakukan uji ketelitian interpretasi. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini adalah koordinat titik ikat yang digunakan untuk registrasi citra, data realisasi penerimaan PBB serta Peta Blok digital Kecamatan Jebres layer bangunan, persil tanah, sungai dan jalan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan interpretasi citra Ikonos, uji lapangan, dokumentasi, dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tingkat ketelitian interpretasi citra, yaitu analisis yang dilakukan berdasarkan uji ketelitian interpretasi menggunakan perhitungan matrik konfusi. Matrik konfusi dihitung berdasarkan hasil interpretasi citra. Matrik konfusi memuat perhitungan ketelitian masing-masing klasifikasi obyek dan interpretasi keseluruhan. Selain itu, matrik tersebut memuat perhitungan omisi dan komisi yaitu perhitungan kesalahan interpretasi, sehingga uji ketelitian tersebut tidak termasuk pengukuran tunggal dan merupakan prosedur uji ketelitian yang sangat valid. Uji ketelitian interpretasi citra
dilakukan dengan melakukan cek lapangan dengan sampel objek yang sudah ditentukan. Perhitungan pengujian berdasarkan kesesuaian hasil interpretasi dengan kondisi lapangan, sehingga kesalahan interpretasi dapat diketahui. Melalui uji ketelitian ini diketahui tingkat akurasi interpretasi citra Ikonos.Teknik analisis kedua adalah analisis pemetaan obyek PBB. Analisis ini didasarkan pada peta hasil interpretasi citra Ikonos yang telah diketahui tingkat ketelitiannya.Teknik analisis ketiga adalah analisis overlay. Overlay adalah analisis spasial dengan menggunakan minimal 2 layer dalam posisis yang sama dengan kandungan informasi yang berbeda. Dari perbedaan ini dicari perpotongan obyek atau kombinasi obyek hasil overlay. Analisi ini digunakan untuk mengevaluasi peta Blok PBB.
PEMBAHASAN
Pengolahan data dalam penelitian ini dimulai dari kegiatan interpretasi citra. Dalam penelitian ini digunakan interpretasi secara visual menggunakan delapan unsur interpretasi citra, yaitu rona atau warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. Identifikasi obyek pajak dibagi menjadi dua bagian, untuk memudahkan analisis, yaitu obyek non pajak dan obyek wajib pajak. Dalam penelitian ini obyek non pajak yang berhasil diidentifikasi adalah sekolah, kuburan, rumahsakit pemerintah, kantor pemerintah, lapangan, tempat ibadah, kolam IPAL, dan taman kota, sedangkan obyek wajib pajak yang berhasil diidentifikasi antara lain rumah, pabrik atau perkantoran, pasar, tempat olah raga, hotel, kebun binatang yang dikelola swasta, gudang, rumah sakit swasta, stasiun kereta api, dan SPBU. Ketelitian hasil interpretasi citra diketahui dengan cara dilakukan cek lapangan dengan mengambil sampel beberapa obyek penelitian.Pengambilan sampel uji ketelitian interpretasi didasarkan atas unit kelurahan. Pada penelitian ini diambil sampel sebanyak 153. Sampel yang diambil adalah sampel
75
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 71-77
yang mewakili populasi yang ada pada daerah penelitian. Daerah penelitian dibagi menjadi 11 kelurahan. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Stratified Proporsional Random Sampling didasarkan atas klasifikasi objek yang ada pada setiap kelurahan. Sampel diambil dengan memperhatikan proporsi jumlah sampel dalam populasi, sehingga seluruh populasi terwakili oleh sampel yang diambil. Titik sampel diambil secara acak (random) didasarkan atas jumlah tiap klasifikasi Uji ketelitian hasil interpretasi dilakukan berkaitan dengan tingkat ketelitian minimal dan validitas data hasil interpretasi. Apabila hasil interpretasi tidak memenuhi batas minimal ketelitian yang ditetapkan, maka hasil interpretasi tidak dapat digunakan untuk pengambil keputusan. Data hasil interpretasi memiliki validitas dan akurasi tinggi, apabila terdapat kesesuaian antara hasil interpretasi dengan hasil cek lapangan. Kesesuaian ini diukur dengan prosentase interpretasi benar dibanding interpretasi salah (omisi dan komisi). Untuk uji ketelitian interpretasi pada penelitian ini dipakai Metode Short yaitu perhitungan Matrik Konfusi. Ketelitian yang disyaratkan adalah > 84% dan kesalahan komisi <20%. (Sutanto,1994 :116) Hasil perhitungan matrik konfusi pada penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2 Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa prosentase ketelitian antara 66,67% sampai 100% dan ketelitian interpretasi secara keseluruhan sebesar 89, 54%. Ratarata kesalahan komisi sebesar 10, 46%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan hasil interpretasi objek pajak dapat diterima karena memenuhi persyaratan batas minimal ketelitian interpretasi data penginderaan jauh. Identifikasi objek melalui interpretasi Citra Ikonos diperoleh data objek Pajak Bumi dan Bangunan. Identifikasi objek dilakukan di setiap kelurahan di Kecamatan Jebres. Melalui identifikasi tersebut dapat diketahui sebaran objek pajak di setiap kelurahan.
76
Setelah proses identifikasi selesai, maka dari hasil interpretasi Citra Ikonos dapat diperoleh peta tematik yang mencakup keseluruhan hasil interpretasi. Untuk memudahkan analisis, maka pemetaan dilakukan perkelurahan. Pemetaan objek pajak bumi dan bangunan menggunakan skala yang berbedabeda pada masing-masing kelurahan, hal ini dilakukan karena luas wilayah yang dipetakan berbeda – beda, sehingga agar dapat menampilkan objek pajak bumi dan bangunan yang dipetakan, maka skala peta disesuaikan dengan luas wilayah masing masing kelurahan. Setelah identifikasi obyek pajak melalui interpretasi citra Ikonos selesai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah melakukan evaluasi peta Blok PBB melalui analisis overlay. Peta yang akan dioverlay adalah peta Blok PBB dan peta hasil interpretasi citra Ikonos. Selisish obyek hasil overlay ditunjukkan pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Perbedaan Jumlah Objek Pajak Hasil Overlay Peta Blok dan Hasil Interpretasi Citra Ikonos
59 23
Peta Blok PBB 20 9
39 14
3
7
3
4
4
84
72
12
5 6 7 8 9
6 99 94 6 15
5 3 0 0 12
1 96 94 6 3
Jml
393
124
269
No
Peta Hasil Interpretasi
1 2
Hasil Overlay
Obyek Rumah Pabrik dan rumah Pabrik dan rumah Rumah dan pertokoan Pabrik Rumah Rumah Rumah Pabrik dan rumah
Melalui Tabel 3 dapat diketahui bahwa hasil overlay antara peta blok PBB dan hasil interpretasi Citra Ikonos terdapat perbedaan jumlah objek pajak. Selisih objek
WIJI LESTARI e Pengelolaan Infrastruktur dan Pembangunan Masyarakat
hasil overlay kedua peta tersebut adalah 269 objek yang terdiri dari berbagai macam objek PBB antara lain rumah, pabrik dan pertokoan. Dengan demikian maka peta Blok PBB dapat dievaluasi menggunakan hasil interpretasi Citra Ikonos.Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa Citra Ikonos dapat digunakan sebagai sumber data utama untuk pendataan objek Pajak Bumi dan Bangunan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tingkat ketelitian interpretasi Citra Ikonos untuk pendataan objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah 89, 54% dan kesalahan komisi adalah 10, 46%. Dengan demikian keseluruhan hasil interpretasi Citra Ikonos dapat diterima karena telah memenuhi persyaratan batas minimal ketelitian interpretasi data penginderaan jauh. 2. Pemetaan objek Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan hasil Interpretasi Citra Ikonos menghasilkan 11 peta objek Pajak Bumi dan Bangunan tingkat kelurahan, dan 1 peta sebaran objek Pajak Bumi dan Bangunan yang belum didata di Peta Blok PBB. 3. Hasil evaluasi Peta Blok PBB menggunakan hasil interpretasi Citra Ikonos terdapat 269 objek pajak yang belum terdata pada peta blok PBB. Dengan demikian terbukti bahwa Citra Ikonos dapat digunakan sebagai sumber data utama untuk pendataan objek pajak bumi dan bangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Leksono, Bambang Edhi, dan Yuliana Sulilowati, 2008, The Accuracy Improvement of Spasial Data For Land
Parcel and Building Taxation Object by Using The Large Scale Ortho Image Datam, Bandung: Institut Tegnologi Bandung. Pramadani, Yasa, 2004, Pemanfaatan Citra Satelit Ikonos dan Sistem Informasi Geografi untuk Mengetahui Nilai Jual Objek Pajak Bumi di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Purwadhi, F. Sri Hardiyanti, 2001, Intepretasi Citra Digital, Jakarta: Grafindo. Santosa, Birowo Budhi, 1987, Penggunaan Foto Udara Untuk Memetakan Obyek Pajak Bumi dan Bangunan di Kotamadya Yogyakarta, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Geofrafi. Universitas Gadjah Mada. Short, M. Nicholas, 1982, The Landsat Tutorial Workbook, Washington: Scientific and Technical Information Branch. Simarangkir, Saraswaty, 2005, Pemanfaatan Citra Ikonos dalam Kegiatan Peningkatan Potensi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Studi Kasus: Kelurahan Sukaresmi pada Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, Tesis . Bandung: Departemen Teknik Geodesi, Institut Tegnologi Bandung. Sutanto, 1994, Penginderaan Jauh Jilid I, cetakan 1, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ______, 1994, Penginderaan Jauh Jilid II, cetakan 1, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Spaceimaging, 2003, Ikonos Geometric Accuracy dalam http://www. spaceimaging.com/aboutus/ satellites/IKONOS/spectral.htm, diakses tanggal 5 November 2008.
77
VOLUME 1
No. 2, 22 Juni 2012
Halaman 71-143
EKSPLORASI KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNNA DI KECAMATAN GIRIMULYO KABUPATEN KULON PROGO YOGYAKARTA Tony Febri Qurniawan, Fuad Uli Addien, Rury Eprilurahman, dan Trijoko Laboratorium Taksonomi Hewan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
The research was aimed to reveal and document hereptofauna from Girimulyo District Kulon Progo Regency, Daerah Istimewa Yogyakarta Province. This research was done from November-Desember 2008 and JanuaryApril 2009 in four research locations were Girimulyo, Jatimulyo, Giripurwo and Purwosari. The VES (Visual Encounter Survey) method were used and combined with interview method.. A total of 40 species of herpetofauna are indentified and includes in to 13 family. Among 40 species, only one (Michrohyla achatina) is endemic to Java. The commonest herpetofaunas along all site were Eutropis multifasciata and Hylarana chalconota. Keyword: Herpetofauna, species diversity, Girimulyo
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan mendata keanekaragaman jenis herpetofauna yang ada di Kecamatan Girimulyo. Penelitian dilakukan dari bulan November-Desember 2008, bulan Januari-April 2009 di empat lokasi yaitu Girimulyo, Jatimulyo, Giripurwo dan Purwosari. Metode yang digunakan adalah metode aktif dengan sampling VES (Visual Encounter Survey) dan metode pasif berupa wawancara. Hasil penelitian telah ditemukan 40 jenis herpetofauna yang terdiri dari 13 famili dan hanya 1 jenis yang endemik yaitu Michrohyla achatina. Jenis herpetofauna yang melimpah dan umum ditemukan adalah jenis Eutropis multifasciata dan Hylarana chalconota. Kata kunci: Herpetofauna, Keanekaragaman, Kecamatan Girimulyo
78
Tony Febri Qurniawan, Fuad Uli Addien, Rury Eprilurahman, dan Trijoko e EKSPLORASI KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNNA DI KECAMATAN ...
PENGANTAR
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Russell dalam Tropika (1999), Indonesia termasuk dalam negara Megadiversity. Hal ini disebabkan karena Indonesia mempunyai iklim subtropis sehingga mempunyai banyak hutan hujan tropis yang subur dan membentang luas di daratan Indonesia. Herpetofauna yang terdiri dari reptilia dan amphibia merupakan salah satu jenis potensi keanekaragaman hayati hewani yang kurang dikenal dan jarang diketahui. Herpetofauna seringkali dianggap mengganggu, menjijikkan, menakutkan bahkan berbahaya sehingga minat terhadap herpetofauna lebih rendah dibandingkan dengan satwa lain seperti mamalia, burung atau ikan. Kurangnya peneliti dan penelitian tentang herpetofauna membuat keberadaan herpetofauna cenderung terabaikan. Keadaan tersebut menyebabkan data mengenai keanekaragaman herpetofauna belum banyak terungkap. Padahal data hasil identifikasi ini sangat penting dalam kegiatan konservasi dan pariwisata Sebagian besar reptilia dan amphibia dapat dijumpai di hutan-hutan tropis, rawarawa, dan sungai-sungai. Sebaran habitat yang sangat luas ini merupakan faktor utama penentu keanekaragaman jenis. Di Kulon Progo contohnya masih banyak memilki lingkungan yang cocok sebagai habitat herpetofauna, terbukti dengan luasnya areal hutan dan lahan hijau yang dimilikinya. Salah satunya berada di kecamatan Girimulyo. Kondisi lingkungan di kecamatan ini terlihat masih bagus, sehingga memungkinkan hidup beranekaragam herpetofauna. Herpetofauna sendiri memiliki peranan penting dalam ekosistem, yaitu secara ekologi maupun ekonomi antaralain yaitu peran penting dalam ekosistem dan merupakan bioindikator lingkungan, merupakan predator hama dan serangga yang merugikan manusia (Duelman dan Trueb, 1976),
merupakan salah satu hewan eksotik dan komoditas ekspor (Kusrini dan Alford, 2006). Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam jangka waktu beberapa tahun terakhir ini menunjukkan terjadinya penurunan populasi herpetofauna secara global seiring dengan perkembangan iptek. Peristiwa tersebut juga terjadi di Indonesia. Penyebab utama turunnya populasi herpetofauna adalah akibat berkurangnya hutan sebagai habitat asli. Hutan telah terfragmentasi menjadi bagian-bagian kecil yang tersebar membuat populasi spesies juga menjadi populasi yang terpisah-pisah pada bagian kecil habitat tersebut. Hal ini tentu saja menyebabkan herpetofauna di alam sangat rentan terhadap permasalahan genetik dan pada akhirnya terjadi kepunahan secara lokal. Maraknya pembalakan hutan dan kegiatan manusia lainnya merupakan bukti kurangnya perhatian manusia pada keberadaan fauna ini. Eksploitasi berlebih terhadap reptilia dan amphibia baik untuk kepentingan konsumsi maupun hewan peliharaan juga menjadi faktor penyebab penurunan populasi reptilia dan amphibia. Menurut IUCN (2008), saat ini sepertiga jumlah reptilia dan amphibia diseluruh dunia telah punah, sedangkan dua pertiganya terjadi penurunan populasi secara global dimulai dari tahun 1980-an. Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai herpetofauna belum begitu banyak dilakukan. Padahal Indonesia adalah negara terkaya ke-3 di dunia akan jenis herpetofaunanya. Kurangnya survei mengenai keanekaragaman herpetofauna di berbagai wilayah di Indonesia sangat mengkhawatirkan, karena banyak jenis herpetofauna yang hilang sebelum teridentifikasi dan terdata dengan baik. Salah satunya adalah di Kabupaten Kulon Progo. Penelitian mengenai herpetofauna yang hidup di wilayah ini masih sangat minim. Sampai saat ini belum ada publikasi mengenai keanekaragaman jenis dan potensi herpetofauna yang hidup di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta,
79
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 78-85
khususnya di Kecamatan Girimulyo. Oleh karena itu, diadakan penelitian ini untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan potensi herpetofauna yang ada di sana. Diharapkan penelitian ini dapat melengkapi database herpetofauna yang ada di Daerah Istimewa Yoyakarta menambah wawasan dalam mengenalkan spesies, karakterisitik habitat, dan potensi kegunaan herpetofauna sehingga diharapkan dapat menjadi motivasi untuk mempelajari dan menjaga kelestarian herpetofauna serta memacu munculnya penelitian-penelitian selanjutnya mengenai herpetofauna di Daerah Istimewa Yogyakarta. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Senter dan baterai cadangan, GPS, jam tangan, termometer raksa, pH meter, meteran gulung dan karton tanda, sweepnet, kompas, caliper, kamera, sarung tangan, kantong plastik, dan botol flakon, karung gandum, alat tulis, dan tabel data. Senter dan baterai cadangan selain sebagai alat penerangan mutlak diperlukan untuk keberhasilan dalam sampling terutama pada malam hari, jam tangan untuk mencatat waktu pengambilan sampel, kamera untuk dokumentasi, GPS untuk mengukur ketinggian dan koordinat lokasi penelitian, termometer raksa untuk mengukur suhu air dan udara, kantong plastik untuk penyimpanan spesimen yang ditangkap, dan alat tulis untuk mencatat data. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: klorofom, larutan formalin 4%, dan alkohol 70%. Larutan formalin 4%, dan alkohol 70% untuk mengawetkan sampel yang didapat sedangkan kloroform untuk membius. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VES (Visual Encounter Survey) dengan modifikasi transek 200 m (Heyer, 1994). Pengumpulan data keanekaragaman dilakukan pada bulan November-Desember 2007 dan JanuariApril 2008 di Kecamatan Girimulyo dengan 4 lokasi sampling (Gambar 1.) yaitu: Desa Giripurwo (Lokasi I), Desa Girimulyo (Lokasi
80
II), Desa Jatimulyo (Lokasi III), dan Desa Purwosari (Lokasi IV). Sampling mencakup beberapa area yaitu DAS, non DAS (hutan, pemukiman penduduk, kebun, jalan, sawah). Rute tersebut berupa jalur mengikuti aliran air maupun jalan setapak. Pengamatan dilakukan di sepanjang jalur penjelajahan dan area sekitarnya. Pengamatan dilakukan pada siang hari (jam 07.00 – 11.30) dan malam hari (jam 19.00 - 22.30) untuk mendapatkan data jenis nokturnal dan diurnal.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian ( lokasi sampling ditandai lingkaran )
Masing-masing lokasi penelitian Dilakukan pendataan meliputi: waktu penjumpaan, jenis kelamin, dan aktivitas ketika dijumpai. Individu yang dijumpai diidentifikasi langsung di lokasi dengan metode taksomorfologi. Selain itu, parameter lingkungan di tempat sampling juga diambil, meliputi: suhu dan pH air serta Suhu udara sebelum maupun sesudah sampling. Dilakukan juga pencaria informasi mengenai potensi herpetofauna dengan melakukan wawancara langsung dengan beberapa warga. Spesies yang dijumpai diidentifikasi langsung di lokasi dengan metode taksomorfologi, yaitu proses klasifikasi berdasarkan data morfologi dan deskripsi amfibi yang diperoleh. Identifikasi dan deskripsi jenis anuran menggunakan De Roij (1915), De Rooij (1917), Kurniati (2003), Das (2004), Mattison (1992), Berry (1975), dan Iskandar (1998)
Tony Febri Qurniawan, Fuad Uli Addien, Rury Eprilurahman, dan Trijoko e EKSPLORASI KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNNA DI KECAMATAN ...
Hasil data yang didapat dianalisis menggunakan indeks diversitas ShanonWeiner, indeks kemerataan Simpson, indeks kekayaan jenis Margalef, indeks Similiaritas Jaccard dan indeks Canberra yang formula sebagai berikut : Indeks diversitas dari Shannon Weaver dengan : H’ : Indeks keanekaragaman ShannonWiener ni: Jumlah individu jenis ke-i N : Jumlah individu seluruh jenis Menurut Brower & Zarr (1997) indeks diversitas dikatakan tinggi jika nilainya lebih dari 2,0 dan sedang jika nilainya antara 1,5-2,0 sedangkan rendah jika nilainya antara 1,0-1,5 dan sangat rendah jika kurang dari 1,0. Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian digunakan indeks sebagai berikut.
dengan : E : Indeks kemerataan jenis H’: Indeks keanekaragaman ShannonWiener S : Jumlah jenis yang ditemukan Indeks kesamaan jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan antar lokasi pengamatan berdasarkan jenis herpetofauna yang ditemukan dengan menggunakan Indeks Similaritas Komunitas Jaccard.
dengan : ISj : Indeks Similaritas Jaccard C : Jumlah jenis terdapat di kedua lokasi S1 : Jumlah jenis terdapat di lokasi A saja S2 : Jumlah jenis terdapata di lokasi B saja
Kekayaan jenis Indeks Margalef
Sedangkan untuk membandingkan kesamaan habitat berdasarkan nilai parameter fisika dapat dianalisis dengan indeks Canberra.
dengan : Sc = Indeks Canberra (%) Yi1 = parameter i stasiun 1 Yi2 = parameter i stasiun 2 n = jumlah parameter
PEMBAHASAN
Secara umum lokasi penelitian merupakan wilayah perbukitan menoreh yang masih banyak terdapat hutan, sungai dan sumber mata air bawah tanah. Lokasi satu dengan lokasi lainnya ternyata memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan karakter habitat. Sehingga komposisi jenis herpetofauna yang hidup di masing-masing lokasi juga berbeda. Untuk lebih rincinya, pada Tabel 1 berikut ini menyajikan bagaimana kondisi dan beberapa karakter habitat yang dimiliki di masingmasing lokasi pengamatan. Tabel 1.
Faktor lingkungan masing-masing lokasi pengamatan (sumber : Bappeda DIY dan Bakosurtanal, 2002) Faktor lingkungan Kemiringan (%) Elevasi (m) Curah hujan (mm/tahun) Tipe tanah fisiografi Air Bawah Tanah Bentang Alam Polusi Industri Kelembaban
Desa Giripurwo 15 - 40
Girimulyo 15 - 40
Jatimulyo 15 - 40
Purwosari 15 - 40
26-1000 2500-3000
100-1000 2000-3000
300-1000 3000-3500
100-1000 3500-4000
Grimusol
Latosol
Latosol
Latosol
Perbukitan Karst Hutan
Perbukitan Vulkanik tua Hutan
Perbukitan Vulkanik tua Hutan
Perbukitan Vulkanik tua Hutan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
80
82
83
82
81
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 78-85
Tabel 1 menunjukkan antara lokasi yang satu dengan yang lain memiliki kesamaan dalam hal kemiringan, kedaan fisiografik, dan bentang alam. Sedangkan perbedaannya terletak pada elevasi, curah hujan per tahun, tipe tanah, dan kelembaban. Semua faktor tersebut memilki pengaruh besar terhadap kehidupan herpetofauna di sana, terutama bentang alam, curah hujan, kelembaban, dan elevasi. Bentang alam yang ada berhubungan erat dengan kelangsungan hidup herpetofauna dalam memperoleh nutrisi. Sedangkan curah hujan, kelembaban, dan elevasi memiliki peran dalam menciptakan makrohabitat dengan suhu tertentu yang ideal untuk tempat tinggal serta berkembang biak herpetofauna disana. Data yang didapatkan dari hasil pengamatan selama 6 kali sampling, enunjukkan nilai rerata parameter fisik (suhu udara, suhua air dan pH) di masing-masing lokasi pengamatan adalah sebagai berikut: Tabel 2.
Data rerata parameter fisik No
Parameter
I
II
Lokasi III
IV
1
Suhu Udara (0C)
22.42
22.1
22.41
22.16
2
Suhu Air (0C)
21.51
21.44
21.08
21.27
3
pH
7
7
7.01
7.08
Hasil pengukuran parameter fisik di atas, lalu dianalisis seberapa besarkah nilai kesamaan kondisi fisik antara lokasi satu dengan loaksi lain menggunakan indeks kesamaan Canberra. Hasil analisis disajikan pada tabel 3. dibawah ini: Tabel 3. Matriks kemiripan antar lokasi berdasar parameter fisik IS canberra I II III IV
82
I
II 38.46
III 36.68 60.53
IV 43.48 47.06 53.85
Nilai kemiripan lokasi digunakan untuk mengetahui adanya kesamaan dan membandingkan kesamaan habitat pada setiap lokasi pengamatan. Pada Tabel 3. lokasi II (Girimulyo) dengan lokasi III (Jatimulyo) memiliki nilai kesamaan habitat sebesar 60,53 %. Hal ini berarti lokasi II dengan III memiliki kesamaan habitat yang relatif mirip berdasarkan parameter fisik. Namun nilai kesamaan yang diperoleh dalam penelitian ini kemungkinan memiliki bias yang disebabkan oleh faktor kimia, faktor geografis dan beberapa faktor fisik lainnya yang tidak ikut diukur sebagai parameter. Semua faktorfaktor tersebut akan berpengaruh terhadap komposisi dan penyebaran herpetofauna di masing-masing lokasi. Berdasarkan hasil penelitian, telah ditemukan 40 jenis herpetofauna yang termasuk ke dalam 7 famili anggota kelas reptiliaia dan 6 famili anggota kelas amphibiaaa. Total dari 40 jenis herpetofauna yang ditemukan, 15 jenis diantaranya anggota ordo anura, 15 jenis anggota sub ordo lasertilia dan 10 jenis dari anggota sub ordo serpentes. Sedangkan berdasarkan perhitungan persentase jumlah individu tiap jenis, maka dapat diketahui jenis herpetofauna yang paling banyak ditemukan di Girimulyo adalah kadal kebun (Eutropis multifasciata) sebesar 70 %. Lalu 4 jenis herpetofauna lainnya yang banyak ditemukan setelah E. multifasciata adalah katak kongkang kolam (Hydrophylax chalconotus) sebesar 65 %, kodok bangkong sungai (Phrynoidis aspera) sebesar 62 %, katak serasah (Leptobrachium hasseltii) sebesar 56 % dan kodok bangkong darat (Duttaphrynus melanostictus) sebesar 49 %. Hal ini mungkin disebabkan karena E. multifasciata dan beberapa jenis dari anggota ordo anura memiliki kepadatan yang tinggi dan persebarannya yang luas serta dapat hidup di berbagai jenis habitat selama di habitat tersebut memiliki sumber air. Apalagi Eutropis multifasciata dan Duttaphrynus melanostictus sendiri telah dikenal sebagai jenis herpetofauna yang kosmopolitan. Sedangkan
Tony Febri Qurniawan, Fuad Uli Addien, Rury Eprilurahman, dan Trijoko e EKSPLORASI KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNNA DI KECAMATAN ...
jenis herpetofauna yang paling sedikit dijumpai hampir semuanya dari anggota sub ordo serpentes dan beberapa dari anggota sub ordo lasertilia yaitu hanya sebesar 1 %. Jenis-jenis tersebut antaralain yakni ular berkepala dua (Calamaria linneai), ular bajing (Gonyosoma oxichepalum), ular sanca kembang (Pthyton reticulatus), ular weling (Bungarus candidus), kadal rumput (Takydromus sexlineatus), kadal serasah bergaris (Eutropis rugifera), dan londok moncong (Pseudocalotes tympanistigra). Kemungkinan jenis reptilia tersebut memiliki kepadatan yang rendah dan pandai bersembunyi sehingga sulit untuk dijumpai. Berdasarkan komposisi jenis yang ditemukan, 17 jenis herpetofauna ditemukan di Giripurwo, sedangkan di Girimulyo ditemukan 37 jenis, lalu 24 jenis ditemukan di Jatimulyo, dan 16 jenis di Purwosari. Dari 4 lokasi sampling, masing-masing memiliki jenis kumulatif yang berbeda. Jenis herpetofauna yang ditemukan masingmasing lokasipun ada beberapa jenis yang sama dan ada beberapa juga jenis yang spesifik hanya ditemukan dilokasi tertentu. Bungarus candidus dan Takydromus sexlineatus selama pengamatan hanya ditemukan di Giripurwo, lalu Eutropis rugifera yang hanya ditemukan di Jatimulyo, jenis lain seperti katak pohon hijau (Rhacophorus reindwardtii), cicak terbang (Ptycozoon kuhlii), londok moncong (Pseudocalotes tympanistriga), ular kepala dua (Calamaria linneai), ular truno bamban (Cryptelytrops albolabris), ular bajing (Gonyosoma ocichepalum), ular air (Xenochropis trianguligerus) dan ular pucuk (Ahaetulla prasina) juga hanya ditemukan dilokasi Girimulyo saja. Jenis kumulatif dan jenis spesifik paling banyak ditemukan di lokasi Girimulyo. Hal ini mungkin disebabkan lokasi di Girimulyo kondisinya masih bagus dan belum begitu terganggu aktivitas manusia, sehingga keseimbangan ekosistemnya masih terjaga.
Data hasil perhitungan indeks diversitas tersaji pada gambar 2. sebagai berikut :
Gambar 2. Hasil perhitungan indeks diversitas
Berdasarkan Gambar 2 dan Tabel 4, diketahui indeks diversitas herpetofauna di Girimulyo memiliki kisaran indeks diversitas dari 2,22 hingga 2,97. Indeks diversitas total pada semua lokasi adalah 3,10 dimana tergolong tinggi. Dari gambar 10. diketahui bahwa keanekaragaman amphibiaa lebih tinggi (2,46) daripada reptilia (2,42). Dari Tabel 5. dominasi kumulatif dipegang oleh lokasi II yaitu Girimulyo (0,054), sedangkan kedua, lokasi III yaitu Jatimulyo dan yang ketiga, lokasi I yaitu Giripurwo. Tabel 4. Indeks diversitas herpetofauna Girimulyo Indikasi Kekayaan N R1 Keanekaragaman S H’ E
I
II
III
IV
81 3.64
231 6.61
263 2.87
95 3.3
17 2.46 0.867
37 2.97 0.822
24 2.22 0.875
7 2.5 0.9
Berdasarakan Tabel 4, dapat diketahui bahwa indeks tertinggi terdapat pada lokasi ke II (Girimulyo), yaitu 2,95 sedangkan indeks terendah pada lokasi III (Purwosari), yaitu 2,22. Pada Tabel 4 juga menunjukkan bahwa indeks diversitas lokasi II (Girimulyo) yang tinggi itu bisa jadi diperoleh dari komunitas dengan kekayaan herpetofauna 83
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 78-85
yang tinggi dan kemerataan yang relatif tinggi. Hal ini dibuktikan akumulasi penambahan spesies tiap penambahan pengamatan di lokasi II terus naik (Gambar 8). Darmawan (2006) menyatakan bahwa apabila keanekaragaman dalam satu komunitas tinggi maka keseimbangan antar jenis juga tinggi, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Pada dasarnya keanekagaraman herpetofauna di habitat yang tidak terganggu lebih tinggi dibandingkan dengan habitat yang terganggu. Pada habitat yang tidak terganggu umumnya memiliki keseimbangan yang tinggi, karena memungkinkan adanya ruang ekologi untuk saling memberi dan menerima. Tabel 5. Hasil perhitungan nilai kesamaan jenis IS Jaccard
I
II
III
IV
I
99.78
99.72
99.57
II
99.6
99.72
III
99.5
IV
Berdasarkan perbedaan jenis herpetofauna yang ditemukan di masing-masing lokasi, maka antara lokasi satu dengan lokasi yang lain dapat kita hitung berapa besarkah kesamaan jenis herpetofauna yang ada pada masing-masing loakasi. Hal ini berguna untuk mengetahui adakah perbedaan persebaran herpetofauna di masing-masing lokasi, jika semakin tinggi kesamaan jenis herpetofauna yang ada, maka kemungkinan besar habitatnya memiliki kondisi yang sama. Namun tentu saja hal ini tidak dapat menjadi patokan dasar. Dari Tabel 5 di atas, nilai indeks kesamaan jenis yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 99,5 sampai 99,78. Selisihnya begitu kecil, ini menandakan komposisi jenis herpetofauna yang ditemukan masing-masing lokasi umumnya sama. Besarnya kesamaan jenis menandakan kondisi dan karakterisitik habitat masing-masing lokasi pengamatan memiliki kesamaan.
84
SIMPULAN
Kecamatan Girimulyo memiliki 40 jenis herpetofauna yang terdiri dari 7 famili anggota kelas reptilia (4 jenis Agamidae, 7 jenis Gekkonidae, 4 jenis Scincidae, 7 jenis Colubridae, 1 jenis Viperidae, 1 jenis Elapidae,dan 1 jenis Pythonidae) dan 6 famili anggota kelas amphibia (3 jenis Bufonidae, 2 jenis Microhylidae, 2 jenis Ranidae, 2 jenis Rhacophoridae, 5 jenis Dicroglossidae, dan 1 jenis Megophrydae). Indeks diversitas herpetofauna secara keseluruhan indeks diversitas tergolong tinggi yaitu sebesar 3,10 dengan rincian pada lokasi I 2,46; loaksi II 2,97; lokasi III 2,22 dan lokasi IV 2,5.
DAFTAR PUSTAKA
Bakosurtanal, 2002, Peta Wates Kabupaten Kulonprogo, Pusat Penelitian Informasi Kebumian, Bakosurtnal, Yogyakarta. Bappeda, 2002, Atlas Kabupaten Kulonprogo, Development data DIY Province. Berry, P. Y, 1975, The Amphibian Fauna of Peninsular Malaya, Tropical Press. Budden, D.W, 2000, The Reptiles of Pohnpei, federated States of Micronesia, Micronesia 32 (2), 155-180, Dalam: Kurniati 2003, Amfibia dan Reptilia Cagar Alam Gunung Supiori, Biak-Numfor: Daerah Korido dan Sekitarnya, Berita Biologi vo.6 no. 5, Agusuts 2003, hlm: 691-697. Brower JE and Jh Zarr, 1997, Field and Laboratory For General Ecology, W.M.C Brown Company Publishing, Portugue, IOWA. Darmawan, M. P, 2006, Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat Di Hutan Lindung Gunung Lumut Kalimantan Timur, Skripsi. Bogor: Institut Pertenian Bogor, hlm: 130.
Tony Febri Qurniawan, Fuad Uli Addien, Rury Eprilurahman, dan Trijoko e EKSPLORASI KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNNA DI KECAMATAN ...
Das, Indraneil, 2004, Lizards of Borneo: A Pocket Guide, Natural History Publication (Borneo) Sdn. Bhd. Kota Kinabalu. De Roij, N.1915. The reptiles of the IndoAustralian Archipelago I. Lacertilia, Chelonia, Emydosauria.EJ Brill, Leiden. De Roij, N.1917. The reptiles of the IndoAustralian Archipelago II. Ophidia. EJ Brill, Leiden Duellman, W.E and L. Trueb.,1976, Biology of Amphibians, McGraw-hill book Company, New York. P: 1, 197 – 225 Heyer, W.R., M.A. Donnelly, R.W. McDiarmid, L.C. Hayek and M.S. Foster, 1994, Measuring And Monitoring Biological Diversity: Standard Methods For Amphibians. Smithsonian Institution Press, Washington, hlm: 364. Hoesel, J.K.P. van. 1959, Ophidia Javanica, Pertjetakan Archipel, Bogor. Iskandar, D.T, 1998, Amphibia of Java and Bali, Research and development Center for Biology-LIPI, Bogor
IUCN,
Conservation International, and Nature Serve, 2008, Red List Category [online] 2008, Avalaible from: URL: http://www.globalamphibians.org. accessed February 25, 2008.
Kurniati, H, 2003, Amphibian & Reptiliaes of Gunung Halimun National Park West Java, Indonesia (Frog, Lizard and Snakes): An Illustrated Guide Book, Research Center for Biology (LIPI) and Nagao Natural Environment Foundation (NEF), Cibinong. Kusrini, D.M., Alford,A.R, 2006, Indonesia’s Export of Frog’s Leg’s. Dalam: Traffic Bulletin vol. 21 July 2006, Thanet Press Ltd,Union Crescent, Margate, Kent, UK,hlm: 17-28. Mattison, C, 1992, Lizards of The World, Blandford. London. Russell, A.M, 1999, Megadiversity dalam: Buletin Tropika Indonesia Vol III Keanekaragaman Hayati Indonesia, Sanggupkah Mengatasi Krisis?, Concervation Internasional Indonesia Program Pelestarian Hayati Indonesia, Pejaten Barat Pasar Minggu, Jakarta, hlm: 1-8.
85
VOLUME 1
No. 2, 22 Juni 2012
Halaman 71-143
EQUITABLE ACCESS TO HEALTH SERVICE IN BANYUWANGI Lusi Herawati
Student in Management of Infrastructure and Community Development Graduate School Gadjah Mada University and Officer in Local Government of Banyuwangi regency Email:
[email protected]
Prof. Dr. Sunyoto Usman
Lecturer and Program Director in Management of Infrastructure and Community Development Graduate School and Sociology Department Faculty of Social Political Science Gadjah Mada University Senior Researcher in Center for Transportation and logistics Studies UGM Email:
[email protected]
Dr. Ir. M.H.P. Zuidgeest
Lecture in Management of Infrastructure Community Development Graduate School Gadjah Mada University Lecturer in Faculty of Geo-Information Science and Earth Observation University of Twente Netherlands Email:
[email protected]
ABSTRAK
Layanan kesehatan berkeadilan merupakan hak dasar bagi warganegara dan harus dipenuhi oleh pemerintah. Penelitian ini menganalisis perbedaan akses ke fasilitas kesehatan (rumah sakit dan Pusat Kesehatan Masyarakat – Puskesmas) di Kabupaten Banyuwangi. Identifikasi akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan dilakukan dengan indikator waktu perjalanan dan pilihan moda transportasi. Perangkat lunak Flowmap digunakan untuk menganalisis catchment area masing-masing fasilitas kesehatan menggunakan berbagai moda transportasi: becak dan angkutan umum untuk kaum miskin (poor group), dan sepeda motor dan mobil untuk non-poor group dengan waktu perjalanan 30, 60 dan di luar 60 menit. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan aksesibilitas antara poor group dan non-poor group. Akses poor group ke fasilitas kesehatan lebih rendah dibandingkan non-poor group. Kondisi ini terjadi dikarenakan kebijakan pemerintah dalam pemerataan akses ke fasilitas kesehatan tidak memperhatikan aksesibilitas masyarakat miskin. Kata kunci: fasilitas kesehatan, aksesibilitas, poor
ABSTRACT
Equitable health care is a basic right for citizens and must be fulfilled by the government. This research analyzed community discrepancy in access to reach health services in public hospitals and Puskesmas (health centers) in Banyuwangi Regency. This research identified community accessibility to health facilities services using travel time and transport modes choice as indicators. Flowmap tool is used to analyze catchment area of each health facility using different transport modes choice:
86
Lusi Herawati, Prof. Dr. Sunyoto Usman, Dr. Ir. M.H.P. Zuidgeest e EQUITABLE ACCESS TO HEALTH SERVICE IN BANYUWANGI becak and public transport for poor group and motorcycle and car for non-poor group with different travel time within 30, 60 and more than 60 minutes. It is concluded that there was an accessibility difference between poor and non-poor group. The accessibility to the health facilities of poor group was lower than non-poor group. This condition occurred because the government policy of equitable access to health service facility did not pay attention to accessibility of poor group. Keyword: health facility, accessibility, poor
INTRODUCTION
Getting equity and adequate health care service is a basic right for citizens that must be fulfilled by governments. To realize this principal, the Indonesian government issues various policies in the health sector, such as providing facilities to improve services. The purpose of health facilities provision is to facilitate community to get individual health service including promotive, preventive, curative, and rehabilitative health service so that they can reach the better health status. Infrastructures such as road and bus networks are developed to make it easier to access health facilities. In the other side, poor people are particularly disadvantaged when it comes to access hospitals. Hospitals usually are located relatively far away for mostly people, as they only provided in a small number. On the other side many people lack of transport access. Therefore, they have to spend extra money and time to reach hospitals. This condition causes the health status of higher income people better than the poor do. The rich can go to better hospital to get better health service so they can get quality as well as the easiness and quality of access. It is true if location is not the only factor that causes the gap. Other factor such as financial affordability, information on health condition, the health resources, also community health behaviors have significant impact to create the gap. While health facilities and service is available at the level of sub district, equity of this health services may not be going well. Service coverage (number of population served) in general hospital and Puskesmas in
some districts is very high if compare with the other. The main objective of the research was to analyze equity in access to health service facilities especially for different social economic groups in Banyuwangi. Further, this research tried to match the infrastructure and facility type in the supply side and the user and patient type in the demand side and propose and quantify strategies to increase accessibility of health facility for people in order to get a more equitable health services provision.
Conceptual Framework
The conceptual framework in Figure 1 shows the relationship between health facilities and community begins from supply side (health facilities provision). Health service facilities Service (utilization of infrastructure)
Building (technology and construction design) of infrastructure
External factor : social economy condition, collaborative activity, spatial and demografi, governance
Impact : accessibility, availability, affordability
Figure 1. Conceptual Framework 87
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 86-98
Health facilities is defined not only as a building (technology and construction design) but also includes its services. The health service utilization of each level facility is influenced by internal factor which define as institutional arrangement (rules, resources, actor and risk) and delivery mechanism (efficiency, effectiveness and equity). The social economic impacts include increasing accessibility, availability and equity in health service utilization. The health service utilization closely related with external factor such as social economy condition, collaborative activity, spatial and demography, governance.
Study Area Description
Banyuwangi regency is located at the eastern part of East Java Province with an area of 5,782.50 km2. Banyuwangi regency consists of 24 sub districts and 217 villages (189 desa and 28 kelurahan) inhabited by 1,587,403 people (2009) with a population growth rate of 0.22% and density of 275 people/km2. The Human Development Index (HDI) of this area has improved from year to year, although still under the HDI value of East Java Province (ranked 26th from 38 regencies). This increased because of the improvement of Life Expectancy Index, Education Index and Purchasing Power Parity.
Figure 2. Administrative Map of Banyuwangi Regency
88
Limitation
From many type of health facilities, this research only used general hospital and Puskesmas; and the hospitals that used for analysis in this research are general hospital, public hospital and private hospital. The public transport that used in this analysis is paratransit.
Literature Review
There are several factors influence the choice of the health facilities service, one of them is the accessibility. Dimension of access differ with different geographical, socio economic and cultural setting (Shresta, 2010). Five dimensions of access are availability, accessibility, affordability, adequacy, and acceptability (Obrist, 2007). Availability means health service facilities in supply side meets clients needs in the demand side. Accessibility refers to the degree of fit between geographical location of hospitals, means to travel and the location of people (t’Hoen, 2010). Affordability means the prices of services fit the clients’ income and ability to pay. Adequacy means the organization of health care meets the clients’ expectations. Acceptability means the characteristics of providers match with those of the clients. Equity in health is defined by WHO as minimizing avoidable disparities in health and its determinants – including but not limited to health care – between groups of people who have different levels of underlying social attributes (income, gender, ethnicity, geography, etc). Equity in health implies that ideally, everyone should have a fair opportunity to attain their full health potential and, more pragmatically, that no one should be disadvantaged from achieving this potential, if it can be avoided (WHO, 1986). The focus of equity in healthcare provision is to ensure that all people have access to a minimum standard of healthcare according to need. Therefore, equity is defined as equal access for equal need, where access refers to the absence of barriers – mainly geographical and financial barriers; and need refers to the capacity to benefit or severity of illness (Zere, 2007).
Lusi Herawati, Prof. Dr. Sunyoto Usman, Dr. Ir. M.H.P. Zuidgeest e EQUITABLE ACCESS TO HEALTH SERVICE IN BANYUWANGI
There are close relationship between poverty and health status. Poverty and disease affect each other, with a relationship that will never end unless there is an intervention on one or both sides, in poverty or illness. Poverty affects the health of the poor so that people become vulnerable to various kinds of diseases (Figure 3), and an unhealthy community suffers from low productivity and high medical expenditure (JPKM, 2007). Poverty Malnutrition Lack of health care Poor environmental sanitation Have no medical expenses
Less capable of learning Low productivity Inadequate family saving Low quality of life Illness
Figure 3. Relationships between Poverty and Illness
1.
Methods
The data requirement of the research were secondary data (from Public Work Agency, Statistics Office, Regional Development Planning Agency and Health Agency) of availability (data of hospital, puskesmas, and skilled persons), accessibility (location of facilities, travel time, distance, cost, transport modes available, and spatial data), affordability (income, asset, level of education) and utilization of health facility (data of patient). Location and allocation model that used to analyze accessibility were Flowmap software (developed by University of Utrecht, Netherlands). This tool enable us to find the accessibility of resident to the existing health facilities, total demand that covered by the facilities, and travel time to reach the facilities, also possible to produced several strategies to improve the accessibility of health service. This research used catchment area analysis (to allocate origins to the nearest destination), expansion models (determining the best location of additional service center) and relocation models (determine appropriate site selection of the facilities).
2. A. 1)
Results Existing Condition in The Study Area. Existing Condition of Hospital and Puskesmas Services
Banyuwangi has 6 general hospitals that consists of 2 public hospitals and 4 private hospitals. General hospitals in Banyuwangi have 597 beds (capacity 298,500 inpatients), the ratio between total beds and total population are 1:2,698, when compared with total population are 1:5,538. Compared to poor people, the number of hospital beds used for the calculation is from public hospital because the health insurance for the poor only available at public hospital service. The ratio between total beds of public hospital and total poor are 1:636. The potential demand of general hospital services are coming from women, kids, baby and poor people Based on the data, there were 45 Puskesmas (health center) in Banyuwangi regency. It consists of 15 inpatient and 30 outpatient, every sub district has at least one Puskesmas. Location of hospital and puskesmas can be seen at Figure 4.
Location of General Hospital
Locations of Puskesmas
Figure 4.
Location of Health Facility
89
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 86-98
2)
Existing Condition of Access to General Hospital
The catchment area of general hospital were on travel time 30 minutes (green colour), 30 - 60 minutes (yellow) and more than 60 minutes (red shade colour) with different mode choice such as walking, becak and public transport for the poor, and motorcycle and car for non-poor. Walking, becak and public transport was chosen for the poor’s modes because based on one of poverty indicator which published by Statistic Bureau, people put on poor category if they do not have asset more than 500 thousand rupiahs. Figure 5 and Table 1 shows the performance of various transport modes (walking, becak, public transport) to access general hospital, while Figure 6 and table 2 shows the performance of motorcycle and car to access general hospital.
Table 1. Catchment Areas of General Hospital by Various Transport Modes Travel Time to Facility within 30 minutes within 30 - 60 minutes more than 60 minutes
Catchment Areas
Transport Modes
Number of Persons
78.203
128.935
Public Transport 643.842
Number of Poor Percentage Number of Persons
22.415
35.322
187.630
4,8% 88.930
7,6% 341.159
40,5% 521.583
Number of Poor Percentage Number of Persons
25.234
97.248
155.271
5,4% 1.413.308
21,0% 1.110.347
33,5% 415.016
Number of Poor Percentage Total Persons Total Poor
415.547
330.626
120.295
89,7%
71,4%
26,0%
Walking
Becak
1.580.441 463.196
Source : Result of Flowmap Analysis, data processed
Walking
Motorcycle Becak
Public Transport
Figure 5.
Catchment Area of General Hospital by Various Transport Modes
90
Car Figure 6.
Catchment Area of General Hospital by Motorcycle and Car
Lusi Herawati, Prof. Dr. Sunyoto Usman, Dr. Ir. M.H.P. Zuidgeest e EQUITABLE ACCESS TO HEALTH SERVICE IN BANYUWANGI
Table 2. Catchment Areas of General Hospital by Motorcycle and Car Travel Time to Facility within 30 minutes
Transport Modes Motorcycle Car 826.480 885.482 572.016 616.749 51,2% 55,2% 511.067 491.789 376.008 358.521 33,7% 32,1% 242.894 203.170 169.221 141.975 15,1% 12,7%
Catchment Areas Number of Persons Number of Non-Poor Percentage Number of Persons Number of Non-Poor Percentage Number of Persons Number of Non-Poor Percentage Total Persons Total Non Poor
< 30 - 60 minutes
> 60 minutes
1.580.441 1.117.245
Source : Result of Flowmap Analysis, data processed
Table 3below shows the accessibility condition of community to general hospital based on transport modes choice. Table 3. Accessibility of Population to General Hospital Travel Time to Facility within 30 min < 30 - 60 min > 60 min
Population in Area (%) Poor Non Poor Poor Non Poor Poor Non Poor
Transport Modes PT Mtr Car 40,5% 51,2% 55,2% 33,5% 33,7% 32,1% 26,0% 15,1% 12,7%
Source : Result of Flowmap Analysis, data processed
3)
Existing Condition of Access to Existing Puskesmas
Based on standard, one sub district has at least one Puskesmas and each Puskesmas served 30,000 residents. The result of analysis below were explained about the condition of access to existing condition and the condition of access to ideal Puskesmas based on standard. Catchment area analysis used to know the catchment area of existing Puskesmas in Banyuwangi Regency without considering
Poor /Non Poor Based on Transport Modes PT / Mtr Explanation PT / Car Explanation 0,8
Inequitable Poor Disadv
0,7
Inequitable Poor Disadv
1,0
Equitable -
1,0
Equitable -
1,7
Inequitable Poor Disadv
2,0
Inequitable Poor Disadv
the ideal condition that 1 puskesmas serves 30,000 people. A catchment area analysis allocated origins to the nearest destination. To measure the accessibility of community to get primary health service in puskesmas was by travel time indicator. The result of the analysis presented in Table 4 and Figure 7. Figure 7 shows the catchment area of puskesmas within 30 minutes, 30 - 60 minutes and more than 60 minutes travel time with walking, becak, motorcycle, public transport and car.
91
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 86-98
Table 4. Catchment Areas of Existing Puskesmas by Various Transport Modes Travel time to facilities 30 min
30-60 min
> 60 min
Catchment Areas villages accessed Percentage persons accessed Percentage villages accessed Percentage persons accessed Percentage villages accessed Percentage persons accessed Percentage
Walking 54 25% 521.461 33% 48 22% 281.561 18% 120 56% 777.419 49%
Becak 83 38% 666.411 42% 81 37% 513.999 33% 53 24% 400.031 25%
Transport Mode Public Transport 192 88% 1.395.688 88% 21 10% 150.277 10% 4 2% 34.476 2%
Motor cycle 195 90% 1.410.243 89% 19 9% 135.722 9% 3 1% 34.476 2%
Car 195 90% 1.410.243 89% 18 8% 141.454 9% 4 2% 28.744 2%
Motorcycle
Walking
Becak
Car
Figure 7.
Catchment Areas of Puskesmas by Various Transport Modes
B. Public Transport
1)
Improve Accessibility to Health Service Expansion Models with Maximum Customer Coverage Model
We used two kinds of modes choices, public transports for the poor, motorcycle for non-poor with travel time within 30 and 60 minutes, and the forest as an excluded
92
Lusi Herawati, Prof. Dr. Sunyoto Usman, Dr. Ir. M.H.P. Zuidgeest e EQUITABLE ACCESS TO HEALTH SERVICE IN BANYUWANGI
location for the new location of health facility. Find best solution set method was selected to find the best location for the new facilities. The result showed that the best location of new general hospital located in Sumberberas Village, Muncar Subdistrict for the public transport and Wringinpitu Village, Tegaldlimo Subdistrict for the motorcycle. The catchment areas of the new system is presented in Table 5.
2)
Relocation Models
Another strategy used to increase the accessibility of community to general hospital was by relocating the existing general hospital. We used two kinds of transport modes, public transport and motorcycle. Figure 9 shows the result of relocation models of general hospital that can be reached within 30 minutes.
Table 5. Catchment Areas of New General Hospital by Various Transport Modes Travel time to facilities Within 30 minutes
Catchment Areas Number of villages accessed Percentage No of persons accessed Percentage Demand share of new system Percentage
Transport Mode Public Motorcycle Transport 109 142 50% 783.114
65% 972.710
50% 139,272
62% 146,230
9%
9%
Motorcycle
Public Transport
Figure 9.
New Relocated General Hospital Reach in 30 minutes by Public Transport and Motorcycle
Motorcycle
Public Transport
Figure 8.
New General Hospital Reached in 30 minutes by Public Transport and Motorcycle
Using travel time of public transport indicator, all general hospital had to relocate to other places. The new site of general hospital located at the village following: Sumberberas (Muncar Subdistrict), Purwodadi (Gambiran), Kaligondo (Genteng), Kebondalem (Bangorejo), Pendarungan (Kabat) and Wonosobo (Srono) respectively. With the new location, the demand that covered by the service increased from 643,842 persons (40.74%) to 967,964 (61.25%). Using motorcycle, the new site of general hospital located at the village following: Wringinpitu (Tegaldlimo Subdistrict), Kebondalem (Bangorejo), Wonosobo (Srono), Sumberbaru (Singojuruh), Singotrunan (Banyuwangi) and Bumiharjo (Glenmore) respectively. With the new location, the demand that covered by the 93
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 86-98
service was increased from 826,480 persons (52.29%) to 1,223,466 (77.41%).
3)
Increasing Speed of Vehicle
Another choice was by increasing the speed of vehicle (Table 6). In this analysis, we only used two kinds of transport modes such as public transport and motorcycle. Table 6.
Explanation
Central Government Province Local Other
Arterial Road Collector road Local road Village road
Travel time to facilities Within 30 minutes
30 - 60 minutes
Speed of Vehicles Road Status
Table 7.
Catchment Areas of New General Hospital After Increasing Vehicle Speed
Speed of Transport Modes (km/h) Motorcycle PT 60 40 60 40 20
40 30 20
The Figure 10 and Table 7 show the result of the catchment area analysis by using the new speed of vehicles.
Motorcycle
More than 60 minutes
Figure 10
Catchment Area of General Hospital by PT and Motorcycle
94
No of villages accessed Percentage No of persons accessed Percentage No of villages accessed Percentage No of persons accessed Percentage No of villages accessed Percentage No of persons accessed Percentage
Transport Mode Public Motorcycle Transport 139 156 64% 970,527
72% 1,109,719
61% 55
70% 52
25% 419,305
24% 423,791
27% 23
27% 9
11% 190,609
4% 46,938
12%
3%
DISCUSSIONS Existing Condition in The Study Area.
This study found inequity in access to health service facilities occurred in Banyuwangi especially for different social economic groups, poor and non-poor. There were accessibility differences between poor and non-poor group. The accessibility to the health facilities of poor group was lower than non-poor group. This condition occurred because policy of equitable distribution of health facility did not pay attention to accessibility of poor group.
1)
Public Transport
Catchment Areas
Availability of Health Facilities Service
The existing health facilities in Banyuwangi were not available for every resident of Banyuwangi Regency. The hospital capacity is generally calculated based on the number of beds; indicate the availability of inpatient services. Ideally, two hospital beds are for 1,000 people (1 bed for 500 people). Ideally total of beds in general hospital in Banyuwangi are 3.168 beds for 1.583.918 persons. The beds of general hospital only
Lusi Herawati, Prof. Dr. Sunyoto Usman, Dr. Ir. M.H.P. Zuidgeest e EQUITABLE ACCESS TO HEALTH SERVICE IN BANYUWANGI
597 beds or the capacity of general hospital in Banyuwangi only for 298,500 inpatients, it means the capacity of general hospital didn’t meet the needs. Poor people in the some region had good accessibility to the general hospital in this case private hospital, but they could reach the advance service from the hospital because their health insurance could only be used in public hospital. Local government must improve the capacity of the public hospital by improving the type of hospital at least from C to B. The beds number of general hospital type B was minimal 200 beds. Improving the number and quality of the service were needed. Local government makes some agreement with private sector to built new general hospital that can deliver affordable service for the poor in order to meet the availability general hospital with the patients especially the poor. The availability of Puskesmas could be seen from total people have been served. Ideally, 1 Puskesmas serve 30,000 resident (Sabarguna, 2010). The current government policy in establishing the Puskesmas based on administration region, each sub district had at least one Puskesmas. It caused differences in coverage people served. The existing condition, some Puskesmas served under the ideal condition such as Puskesmas Gendoh that served 9,310 persons and Puskesmas Kelir that served 18,025 persons. In the other hand, some Puskesmas served more than 30,000 resident even almost 60,000 residents, this condition far from ideal such as occurred in Puskesmas Kalibaru Kulon that served 61,429 persons and Puskesmas Gitik that served 55,393 persons.
transport modes choices. It influenced their accessibility to get health service facility. Catchment area of general hospital accessed by walking was the narrowest among other transport modes that were selected (Figure 5) and it was affected to the number of people was served (Table 1). The areas that located out of catchment area that need travel time more than 60 minutes were wider than the area that could reach the general hospital within 30 minutes and 60 minutes, it means the accessibility of the poor to get health service in general hospital were bad. Using public transport the catchment area of general hospital was wider than walking (Figure 5). It didn’t mean the accessibility of the poor better. In order to reach general hospital they were highly dependent with the existence of public transport itself. Limited number of public transport and the quality of public transport service (not punctual, reliable) made accessibility of the poor were getting worse. Even the waiting times were longer than travel time. Some villages had good accessibility to private hospital, but poor people in that area still had bad access to get health service from hospital because the health insurance could be used only in the public hospital. Some villages had better accessibility to achieve health service (general hospital and puskesmas) than the other, because the location of general hospital tend to be in the main lane of Banyuwangi Regency’s road and the location of Puskesmas tend to be in the sub district city center.
2)
To improve accessibility to health facilities service, this research suggested several improvement strategies. First strategy was by adding a new location of hospital by using expansion model. With this model, the people who can reach the general hospital service were increased (Figure 8). The demand share of this new location was high enough.
Accessibility to Health Service
The analysis showed that the equitable access to health service was not occurred. It means that hospital service and Puskesmas service more accessible for non-poor group. Non-poor group has good accessibility to reach general hospital in order to get advance health service. The poor’s had limitation in
Improve Accessibility to Health Service
95
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 86-98
Second strategy was by relocating the general hospital. With this model, the people that could reach general hospital service within 30 minutes increased at least 20% (Figure 9). The last strategy was by increasing the speed of vehicles. With this strategy, catchment area of general hospital service increased, and the service at more than 60 minutes decreased (Figure 10). From all strategies, the accessibility of people using motorcycle were better than by using public transport. It could be seen from the number of people served by general hospital. From the contribution of demand share, relocation strategy was the best choice to increase the number of people served, but in implementation, this strategy was difficult to do.
Collaborative Action in Health and Transport Sector
The analysis showed that the relocation model was the best choice in order to increase the people served of general hospital, but in fact, the relocation strategy was the most difficult choice in implementation, especially in Banyuwangi. It was not easy to relocate the general hospital, the infrastructure of facility such as building, medical equipment, laboratory, wastewater treatment plant also another facility. Limitation of land and budget also could produce several new problems. In the other hand, relocation of hospital would take a long time. In health sector, one strategy that can be done by local government to increase the accessibility was by adding new hospital. In order to add new hospital, local government could improve the existing Puskesmas became hospital. Based on the result of the modeling, Wringinpitu Village in Tegaldlimo Sub district was the best site location that can improve the accessibility. In this case, we could improve the facility and medical resources of Puskesmas Tegaldlimo in Tegaldlimo sub district from inpatient Puskesmas became small hospital. Another way that could be
96
taken were in health sector by improving the facilities and medical resources in existing inpatient Puskesmas so that the inpatient Puskesmas could be become feeder to support hospital service. We could make several zone of location that had bad access to hospital services, and every zone had one feeder for hospital service. Improving in hospital and Puskesmas networking was also needed. The patients in the emergency condition that lived in the area that had bad accessibility to hospital only call the hospital and the nearest Puskesmas by using mobile facility would took the patient to the nearest supporting Puskesmas so that the patient could be handled faster. Besides improving in health sector, transport sector also had an important role in order to improve accessibility of community to general hospital service. In this sector, it needed collaboration between government, private and community itself. Government had responsibility to provide road in the good condition so the vehicles could easier to go to hospital. Made some regulation about the standard of service for the public transport also encourage the private sector to invest in this sector. Increasing the number of the public transport and improving in service also needed, problems that usually occurred were the limited number of the modes and bad service of public transport. Arrangement about operational schedule and tariff of the public transport could be done in order to improve the service so people could get the reliable and affordable of public transport service. The other way was by preparing a special vehicle or car in the village that have bad accessibility to the hospital. This car has a function as a mobile facility for emergency patient to go hospital. This mobile facility can be provided by using government budget or community budget. Development in order to improving accessibility to hospital service must involve all sector, not only health sector also transport sector. Collaboration between
Lusi Herawati, Prof. Dr. Sunyoto Usman, Dr. Ir. M.H.P. Zuidgeest e EQUITABLE ACCESS TO HEALTH SERVICE IN BANYUWANGI
local governments in this case health agency, hospital administration, transportation agency, development planning agency and public work agency with private sector and community were important to improving accessibility to the hospital service.
Tool Analysis Limitation
The limitation of the tool was the origin and the destination point locations in Flowmap tool were located in the centroid of the base map area. This condition would affect to the result of the analysis because in fact not all facilities located in the center of the village.
CONCLUSSION
This research concluded that the accessibility to the health facilities of poor group was lower than non-poor group. This is occurred because policy of equitable distribution of health facility did not pay attention to accessibility of poor group. The inequalities also occurred in order to achieve advance service in general hospital and Puskesmas. Some villages had better accessibility to achieve health service (general hospital and puskesmas) than the other, because the location of general hospital tend to be in the main lane of Banyuwangi Regency’s road and the location of Puskesmas tend to be in the sub district city center. In general, the accessibility of community to get primary health care in the Puskesmas service was better than the accessibility to the general hospital service. Several recommendations offered to solve the problem of accessibility. Firstly, planning of location placement of hospital must pay attention to the poor accessibility so that the location is not on the main line of Banyuwangi Regency. There also needs of regulation of the service area of Puskesmas that was not based on the sub district but based on village so it was possible one puskesmas could served several neighboring village in the different sub district. The policy could be
also on improving the networking between hospital and puskesmas. This research also recommends improve at least 5 inpatient puskesmas to become feeders to support hospital service in the area that had bad access to hospital service. Next recommendation is local government need to make formulation related cooperation mechanism with private in health sector especially in new hospital establishment that provide affordable service for poor community. The last recommendation is for the next researcher, can do research in the other dimension of access such as availability, acceptability, affordability, and adequacy because this researches only focus in accessibility of people to reach health facility services. This paper is written from first author’s Thesis for Master Programme Management of Infrastructure and Community Development Graduate School Gadjah Mada University.
BIBLIOGRAPHY
Breukelman, J., Brink, J., et.al, 2009, Manual Flowmap 7.3. Faculty of Geographical Sciences Uthrecth University, The Netherlands: http://flowmap.geo. uu.nl. retrieved December 2nd 2010. Bosanac, Edward M., Parkinson, Rosalind C. and Hall, David S, 1976, Geographic Access to Hospital Care: A 30-Minute Travel Time Standard, Medical Care, Vol. 14, No. 7 (Jul., 1976), pp. 616-624. JPKM, 2008, Tentang Jaminan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI at http://www.ppjk.depkes.go.id. retrieved October 4th 2010. Kabupaten Banyuwangi, 2006, Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2006, Bappeda dan BPS Kabupaten Banyuwangi. …………………………………….. ,2007, Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2007, Bappeda dan BPS Kabupaten Banyuwangi.
97
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 86-98
…………………………………….. ,2008, Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2008, Bappeda dan BPS Kabupaten Banyuwangi. …………………………………….. ,2008, Profil Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Tahun 2008, Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi. …………………………………….. ,2009, Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2009, Bappeda dan BPS Kabupaten Banyuwangi. …………………………………….. ,2009, Profil Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Tahun 2009, Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi. …………………………………….. ,2010, Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2010, Bappeda dan BPS Kabupaten Banyuwangi. …………………………………….. ,2010, Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Banyuwangi Tahun 2010, Bappeda dan Kabupaten Banyuwangi. Millman, Michael, 1993, Access to Health Care in America, The National Academies Press at: http://www.nap.edu/ catalog/2009.html. retrieved November 3rd 2010. Lampiran Pidato, 2008, Bab XVI Penanggulangan Kemiskinan. Bappenas at http://aparaturnegara.bappenas. go.id. retrieved November 1st 2010.
98
Lindelow, Magnus. 2003, Understanding spatial variation in the utilization of health services: does quality matter? The World Bank ,Centre for Study of African Economies, Oxford University. retrieved November 1st 2010. Obrist, B., Iteba, N., et.al, 2007, Access to health care in contexts of livelihood insecurity: A framework for analysis and action, PLoS Med 4(10): e308.doi:10.1371/ journal.pmed.0040308. Sabarguna, Boy S., Soerawidjaya, Resna A, 2010., Health Centre Management in Indonesia. Jakarta : UI-Press. Shrestha, Jeny, 2010, Evaluation of Access to Primary Healthcare: A Case Study of Yogyakarta, Indonesia, Enschede, ITC. MSc. T’hoen, Maarten, 2010, Equal Access for a Healthy Community. http://essay. utwente.nl/59692/1/Hoen-M.pdf. retrieved January 20th 2011. World Health Organization, Social justice and equity in health: report on a WHO meeting (Leeds, United Kingdom,1985), Copenhagen, Regional Office for Europe, 1986 (ICP/HSR 804/m02), retrieved October 27th 2010. Zere, Eyob.et.al., 2007, Equity in health and healthcare in Malawi : analysis of trends, BMC Public Health at :http:/ www.biomedcentral.com/14712458/7/78/prepub. retrieved October 27th 2010.
VOLUME 1
No. 2, 22 Juni 2012
Halaman 71-143
PENGARUH TEKANAN PISTON PADA PENGATURAN KATUP SOLENOID PROPORSIONAL DUA ARAH TERHADAP LAJU ALIRAN AIR PADA SISTEM KALIBRASI PISTON PROVER OT-400 Jalu Ahmad Prakosa dan Bernadus H. Sirenden
Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi (KIM) LIPI Kompleks Puspiptek Serpong, Tangerang, Banten 15314 Email:
[email protected] dan
[email protected]
ABSTRACT
In order to use piston prover OT-400 calibrator more effective is to know the relationship between pressure piston and water flow rate. Water flow rate measurement by using piston pressure variation and setting of proportional directional solenoid valve has been done on piston prover OT-400 calibration sytems. Selection variation of piston pressure condition has been done at four measuring points there are 20 PSI, 42.5 PSI, 62.5 PSI and 80 PSI. Giving of voltage variation for ascending and declining to the solenoid is to set the opening and closing its valve. From the measurement results obtained that the water flow rate is proportional to the piston pressure used. Graph of water flow rate (Q) with unit of liters / minute versus the piston pressure (P) with unit of PSI within the setting of proportional directional solenoid valve on the piston prover OT-400 calibrator has linear type that is Q = 0.002. P + 0.151 with R2=0,998. While the graph of the average uncertainty value of the measuring point versus pressure piston is not a linear form with the smallest value of 2.31% on the use of piston pressure of 80 PSI Keywords: Piston pressure, water flow rate, voltage setting, solenoid valve, piston prover OT-400.
ABSTRAK
Agar penggunaan kalibrator piston prover OT-400 lebih efektif perlu diketahui hubungan tekanan piston yang digunakan dengan laju aliran air. Telah dilakukan pengukuran nilai laju aliran air dengan variasi tekanan piston dan pengaturan katup solenoid proporsional dua arah pada sistem kalibrasi piston prover OT-400. Pemilihan variasi kondisi tekanan piston dilakukan pada empat titik ukur yaitu 20 PSI, 42,5 PSI, 62,5 PSI dan 80 PSI. Pemberian variasi tegangan menaik dan menurun pada solenoid dilakukan untuk mengatur buka tutup katupnya. Dari hasil pengukuran didapat bahwa laju aliran air sebanding dengan tekanan piston yang digunakan. Grafik laju aliran air (Q) dengan satuan liter / menit versus tekanan piston (P) dengan satuan PSI dalam pengaturan katup solenoid proporsional dua arah pada kalibrator piston prover OT-400 berbentuk linear yaitu Q = 0,002.P + 0,151 dengan R2=0,998. Sedangkan grafik nilai ketidakpastian rata-rata terhadap titik ukurnya versus tekanan piston tidak berbentuk linear dengan nilai terkecil yaitu 2,31 % pada penggunaan tekanan piston 80 PSI. Kata Kunci: Tekanan piston, laju aliran air, pengaturan tegangan, katup solenoid, piston prover OT400.
99
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 99-107
PENGANTAR
Untuk menjamin akurasi dan ketepatan pengukuran laju aliran air, maka alat ukur laju aliran air atau water flowmeter perlu dikalibrasi dengan suatu standar yang tertelusur sampai standar primer dengan memperoleh pengakuan internasional. Standar primer merupakan standar tertinggi yang diturunkan langsung dari definisi suatu besaran dan secara formal hanya boleh dikembangkan oleh satu NMI dalam suatu negara. Piston prover merupakan salah satu jenis standar primer untuk besaran laju aliran fluida. Kalibrator piston prover OT-400 berfungsi untuk mengkalibrasi alat ukur laju aliran air dalam rentang ukur 4 liter / menit sampai 1300 liter / menit dengan ketidakpastian 0,12% yang telah melalui proses akreditasi peer review oleh Komite Akreditasi Nasional pada tanggal 7 - 8 November 2011. Piston prover bekerja berdasarkan prinsip positive displacement. Sejumlah volume cairan yang terletak di dalam silinder akan dipindahkan oleh sebuah piston dengan tekanan piston yang digunakan untuk mendorong air pada kalibrator piston prover OT-400. Semakin besar tekanan piston, maka semakin besar pula gaya dorong piston dalam menggerakan aliran air. Udara kering bertekanan digunakan untuk menghasilkan tekanan pada piston tersebut. Kompresor dan mesin pengering digunakan untuk menghasilkan udara kering bertekanan tersebut. Perlu dipelajari pengaruh tekanan piston terhadap laju aliran air, sehingga penggunaan tekanan piston dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penggunaan piston prover OT-400. Adapun pengaturan buka tutup katup solenoid proporsional dua arah telah dilakukan guna keperluan proses penentuan K-Faktor sistem kalibrasi piston prover OT-400 secara otomatis pada penelitian sebelumnya (Jalu & Bernadus, 2011). Selain untuk keperluan penelitian, pengaruh tekanan piston terhadap pengukuran laju aliran air dapat digunakan untuk menghemat energi dalam pengoperasian kalibrator
100
piston prover OT-400 sehingga himbauan program hemat energi dari pemerintah pun nantinya dapat dilaksanakan dengan baik (Susilo, 2008). Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh tekanan piston terhadap pengukuran laju aliran air pada sistem kalibrasi piston prover OT-400.
Kerangka Pemikiran Tekanan Piston Pada Sistem Kalibrasi Piston Prover OT-400
Pada kalibrattor piston prover OT-400, udara kering bertekanan mendorong piston secara presisi dan terasah pada tabung aliran dengan laju yang konstan, memindahkan cairan dalam tabung dan menyebabkannya mengalir melalui bagian yang dites, yang berisi meteran yang terkalibrasi kemudian cairan yang dipindahkan disimpan dalam reservoir cairan. Tekanan operasional yang diberikan pada piston saat melakukan kalibrasi adalah 80 PSI.
Gambar 1. Skema kerja piston prover OT-400
Pengaturan Katup Solenoid Proporsional Dua Arah
Sebuah katup solenoid adalah katup elektromekanis digunakan untuk mengatur fluida mengalir berupa cairan atau gas. Sebuah katup solenoid memiliki dua bagian utama yaitu solenoid dan katup. Solenoid mengonversi energi listrik menjadi energi mekanik untuk membuka atau menutup katup secara mekanik. Sebuah pegas dapat digunakan untuk menahan katup untuk membuka atau menutup sementara katup tidak diaktifkan. Berikut ini Gambar 2
Jalu Ahmad Prakosa dan Bernadus H. Sirenden e PENGARUH TEKANAN PISTON PADA PENGATURAN KATUP SOLENOID PROPORSIONAL DUA ARAH TERHADAP LAJU ALIRAN ...
diagram desain dasar katup solenoid yang menjelaskan prinsip dasar katup solenoid :
terbuat dari stainless steel yang tersedia di lima jenis ukuran yang meliputi aliran berkisar dari 3,5 L / menit – 100 L / menit untuk gas dan 125 ml / menit - 2,85 L / menit untuk air. Berikut ini ditampilan katup solenoid proporsional dua arah tipe Proportional Solenoid Vale (PSV) produksi Aalborg pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3. Katup solenoid proporsional dua arah PSV Aalborg A. Input side B. Diaphragm C. Pressure chamber D. Pressure relief conduit E. Solenoid F. Output side Gambar 2. Diagram desain dasar katup solenoid Telah digunakan katup solenoid proporsional dua arah tipe Proportional Solenoid Vale (PSV) dengan nomor seri 2631504 produksi Aalborg dalam penelitian ini. PSV katup proportional elektromagnetik dirancang untuk menanggapi masukan daya (tegangan/ arus) dengan variabel yang proporsional untuk mengatur laju aliran cairan dan gas. Untuk menambahkan keamanan PSV katup dibuat normally closed (NC) ketika de-energized berfungsi sebagai saklar “on-off” katup. Laju aliran dikendalikan dengan meningkatkan atau menurunkan tegangan yang diberikan pada koil. Hal ini menyebabkan gaya magnetik yang mengangkat inti katup sehingga memungkinkan fluida mengalir. Katup ini
Pengukuran Laju Aliran Air pada Kalibrator Piston Prover OT-400
Microtrack/Omnitrack OT-400 adalah sebuah sistem yang berfungsi mengkalibrasi alat ukur laju aliran air atau flowmeter (flowmeter calibrator). Sistem ini bekerja berdasarkan prinsip positive displacement, yaitu sejumlah volume cairan yang terletak di dalam silinder akan dipindahkan oleh sebuah piston. Piston digerakkan dengan menggunakan udara bertekanan dari kompresor. Perpindahan piston tersebut berkorelasi dengan volume yang telah berpindah. Oleh karena itu, sistem ini juga dinamakan piston prover (Bernadus, 2009).
Gambar 4. Piston Prover OT-400 101
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 99-107
Pengukuran perpindahan piston di dalam silinder dilakukan dengan cara tangkai piston diletakkan sebuah linear encoder/translator yang berfungsi mengukur posisi dan/atau kecepatan perpindahan piston. Sinyal pulsa linear encoder tersebut dikirim oleh sebuah perangkat elektronik ke sebuah kartu data akusisi yang berada di dalam komputer. Sedangkan laju aliran didefinisikan sebagai perbandingan antara volume dengan waktu dalam persamaan (1) di bawah ini.
Q= yaitu :
∆V ∆t
Q
= laju aliran, liter/menit
∆V
= perubahan volume, liter
∆t
= perubahan waktu, menit
(1)
Translator K atau K-Faktor adalah sebuah konstanata yang menghubungkan pulsa yang dihasilkan oleh translator/encoder dengan volume cairan yang berpindah. Penentuan Konstanta K-Faktor dilakukan dengan proses water draw untuk sejumlah pulsa tertentu yang dibaca dari encoder. Sedemikian hingga didapatkan sebuah konstanta yang menghubungkan antara pulsa yang dikeluarkan oleh encoder dengan volume cairan yang dipindahkan oleh piston. K-Faktor berpadanan dengan volume, sehingga untuk mendapatkan nilai laju aliran, digunakan frekuensi encoder sesuai persamaan di bawah ini.
Q=
f.60 K- Faktor
(2)
yaitu: f
= frekuensi encoder, pulsa / sekon atau Hz
K-Faktor
= konstanta K-Faktor, pulsa / liter
Berdasarkan sertifikat calibrator yang dikeluarkan oleh pabrik pembuat Flow
102
Technology Inc., maka nilai K-Faktor adalah 2631,20 pulsa per- liter.
Metode Pengukuran
Tempat pengukuran dilakukan di laboratorium aliran air sub- bidang gaya dan massa, Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi (KIM) LIPI pada tanggal 7 April 2011 pada pukul 09.0016.00 WIB. Pengaruh tekanan piston terhadap pengukuran laju aliran air dipelajari dengan cara dilakukan pengukuran pada empat variasi titik ukur kondisi tekanan piston yaitu, 20 PSI, 42,5 PSI, 62,5 PSI dan 80 PSI karena kemudahan dalam mengkondisikan tekanan piston pada titik ukur tersebut. Pengaturan buka tutup katup solenoid proporsional dua arah dilakukan dengan memberikan variasi tegangan menaik dan menurun. Digunakan pengaturan tegangan daripada arus listrik karena dari hasil uji pengukuran laju aliran air diketahui bahwa nilainya lebih stabil dan linear. Pengukuran laju aliran air sesuai rumus persamaan (2) di atas bahwa nilai frekuensi pulsa didapat dari encoder dan timer pada kalibrator piston prover OT-400. Resevoir Tank
HTV
BV
PSV
MTV
NV Manual Voltage Regulator
LTV
Piston Prover Linear Encoder
Compressor + Dryer
Pressure supply
Accusition Board + PC
BV
:
Ball Valve
NV
:
Needle Valve
PSV
:
Proportional Solenoid Valve
HCV
:
High Throttling Valve
MCV
:
Medium Throttling Valve
LCV
:
Low Throttling Valve
Gambar 5. Diagram sistem pengukuran
Jalu Ahmad Prakosa dan Bernadus H. Sirenden e PENGARUH TEKANAN PISTON PADA PENGATURAN KATUP SOLENOID PROPORSIONAL DUA ARAH TERHADAP LAJU ALIRAN ...
Selama percobaan BV dan HTV akan ditutup penuh, sementara NV, MTV dan LTV akan dibuka penuh. Tegangan listrik pada regulator akan dinaikkan dari 7– 17 volt kemudian diturunkan dari 17 – 3 volt agar laju aliran air dapat diukur dengan jarak tiap titik ukur / span acak dengan pengukuran diulang sebanyak tiga kali. Setiap pengulangan pengukuran diberi jeda waktu 15 menit sebelum melakukan pengukuran selanjutnya agar lebih dapat dipastikan katup solenoid tertutup penuh dan bersih dari sisa medan magnet di dalamnya. Nilai rata-rata data dihitung dengan perumusan di bawah ini :
x=
∑x
i
(3)
n
Yaitu: x = Nilai rata-rata data pengukuran xi = Nilai data suatu pengukuran n = Jumlah data dalam pengukuran
Yaitu: ui = Ketidakpastian data ke-i pengukuran uc = Ketidakpastian gabungan pengukuran s = Nilai simpangan baku atau standar deviasi xi = Nilai data ke-i ci = Koefisien sensitivitas data ke-i vi = Derajat kebebasan data ke-i pengukuran veff = Derajat kebebasan efektif pengukuran k = Faktor cakupan sesuai faktor-t student U = Ketidakpastian terentang
PEMBAHASAN
Hasil pengukuran laju aliran air (Q) terhadap pemberian tegangan (V) menaik dari 7 – 17 volt untuk membuka katup solenoid ditampilkan dengan variasi kondisi tekanan piston yaitu 20 PSI, 42,5 PSI, 62,5 PSI dan 80 PSI pada Gambar 6 di bawah ini :
Evaluasi ketidakpastian pengukuran data tipe A dihitung dengan perumusan merujuk standar perhitungan ISO/TAG 4: 1993 – Guide to the Expression of Uncertainty in Measurement berikut ini[9] :
ui =
s n
∑(x
v eff =
− x)
n −1 n
=
vi = n-1
uc =
i
2
(4) (5)
∑c
i
2
uc
.u i
(6)
4
4
c .u ∑ iv i i
U = k.ui
2
4
(7)
Gambar 6. Grafik hasil pengukuran data laju aliran air terhadap pemberian tegangan menaik untuk membuka katup pada variasi tekanan piston yang diberikan Hasil pengukuran laju aliran air (Q) terhadap pemberian tegangan (V) menurun dari 17 – 3 volt untuk menutup katup solenoid ditampilkan dengan variasi kondisi tekanan piston yaitu 20 PSI, 42,5 PSI, 62,5 PSI dan 80 PSI pada Gambar 7 di bawah ini.
(8)
103
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 99-107
Gambar 7. Grafik hasil pengukuran data laju aliran air terhadap pemberian tegangan menurun untuk menutup katup pada variasi tekanan piston yang diberikan Terlihat pada grafik Gambar 6 dan Gambar 7, nilai laju aliran air lebih stabil dan maksimal ketika katup solenoid terbuka penuh pada rentang pemberian tegangan 14 – 17 volt, sehingga perlu dianalisa nilai ratarata laju aliran air beserta ketidakpastiannya sesuai perumusan (3) sampai (8) di atas pada tiap titik ukur tekanan piston tersebut yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Hasil pengukuran nilai rata-rata laju aliran air pada tiap variasi titik ukur tekanan piston yang diberikan. Pemberian tegangan menaik
Pemberian tegangan menurun
%
Tekanan piston (PSI)
Laju aliran air (liter / menit)
(U/Q)%
Laju aliran air (liter / menit)
(U/Q)%
naikturun
80
0,3300±0,0082
2,52
0,3271±0,0069
2,10
2,31
62,5
0,2914±0,0099
3,41
0,2931±0,0091
3,11
3,26
42,5
0,2458±0,0063
2,57
0,2473±0,0093
3,78
3,18
20
0,1940±0,0054
2,81
0,1948±0,0063
3,22
3,01
Dari data-data Tabel 1 di atas dapat dibuat grafik laju aliran air (Q) versus tekanan piston (P) yang ditampilkan pada Gambar 7 dan ketidakpastian rata-rata terhadap titik ukurnya (U / Q)versus tekanan piston (P) yang ditampilkan pada Gambar 8 berikut ini :
104
Gambar 8. Grafik hasil pengukuran data nilai rata-rata laju aliran air terhadap variasi tekanan piston yang diberikan Terlihat pada Gambar 8, grafik nilai rata-rata laju aliran air versus tekanan piston pada pemberian tegangan menaik dengan menurun hampir identik. Gradien grafik keduanya sama yaitu 0,002 dimana konstanta hanya berbeda sedikit. Jika masing-masing konstantanya dirata-rata maka didapat rumus persamaan relasi laju aliran air (Q) dengan tekanan piston (P) adalah Q = 0,002.P + 0,151 dengan R2=0,998 (9) Dari perumusan persamaan (9) dapat diprediksi laju aliran air yang dapat dihasilkan sistem kalibrasi piston prover OT-400 berdasarkan tekanan piston yang digunakan. Nilai R-squared (R2) =0,998, yang mendekati 1 mengartikan bahwa persamaan grafik tersebut makin baik mendekati kebenaran model regresi untuk keseragaman setiap titik ukurnya. Sesuai jenis grafik laju aliran air versus tekanan piston yang linear dapat disimpulkan bahwa laju aliran air sebanding atau berbanding langsung dengan tekanan piston yang diberikan. Secara teori hipotesa, gradien laju aliran air terhadap tekanan piston pada kalibrator piston prover OT-400 yaitu 0,02 akan selalu tetap dan berlaku universal terhadap pemakaian flowmeter atau alat kendali laju aliran air lainnya selain katup solenoid proporsional dua arah ini dimana nantinya
Jalu Ahmad Prakosa dan Bernadus H. Sirenden e PENGARUH TEKANAN PISTON PADA PENGATURAN KATUP SOLENOID PROPORSIONAL DUA ARAH TERHADAP LAJU ALIRAN ...
yang berbeda hanya konstanta penjumlahannya saja sesuai jenis flowmeter atau alat kendali laju aliran air yang akan digunakan. Salah satu fungsi mengetahui pengaruh tekanan piston terhadap pengukuran laju aliran air yaitu untuk menghemat energi dalam pengoperasian kalibrator piston prover OT-400 selain untuk keperluan penelitian lainnya. Semakin besar tekanan piston digunakan, maka semakin besar daya listrik atau energi yang diperlukan kompresor dan mesin pengering untuk menghasilkan udara kering bertekanan guna menyediakan tekanan pada piston tersebut. Pada sistem kalibrasi piston prover OT-400 dapat digunakan tekanan piston dari 0 – 160 PSI, tetapi berdasarkan perumusan persamaan 9 di atas jika hanya ingin menghasilkan laju aliran air sebesar 0,3 liter / menit dengan pengaturan solenoid proporsional dua arah pada kalibrator piston prover OT-400, tidak perlu menggunakan tekanan piston lebih dari 63 PSI. Dengan demikian penggunaan daya listrik pada kompresor penyuplai udara bertekanan untuk menggerakan piston dapat dihemat dan disesuaikan dengan rentang nilai laju aliran yang ingin digunakan. Dengan demikian dapat dilakukan penghematan energi dengan menggunakan tekanan piston sesuai kebutuhan rentang nilai laju aliran air yang dibutuhkan ketika memberi pelayanan jasa kalibrasi flowmeter kepada masyarakat industri sesuai dengan program hemat energi yang digencarkan pemerintah terutama pada lembaga pemerintah.
Gambar 9. Grafik hasil pengukuran ketidakpastian ratarata terhadap titik ukurnya versus variasi tekanan piston yang diberikan
Nampak pada Gambar 9, grafik nilai ketidakpastian rata-rata terhadap titik ukurnya(U / Q)versus tekanan piston tidak berbentuk linear. Nilai ketidakpastian ratarata terhadap titik ukurnya terkecil yaitu 2,31 % terdapat pada pemberian tekanan piston 80 PSI sehingga penggunaan tekanan piston sebesar 80 PSI baik untuk dijadikan standar pengoperasian standar acuan laju aliran air piston prover OT-400 dalam mengkalibrasi dan menurunkan nilai/diseminasi alat ukur laju aliran air / flowmeter. Sedangkan nilai ketidakpastian rata-rata terhadap titik ukurnya terkecil kedua yaitu 3,01 % dalam rentang ukur paling rendah 0,1944±0,0083 liter / menit terdapat pada pemberian tekanan piston 20 PSI cukup baik untuk digunakan dalam penentuan K-Faktor sistem kalibrasi piston prover OT-400 menggunakan katup solenoid yang dikendalikan komputer pada penelitian sebelumnya.[6] Oleh karena itu, penggunaan tekanan piston dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penggunaan piston prover OT-400 seperti untuk mengkalibrasi flowmeter atau penentuan K-Faktor atau tujuan ilmiah lainnya.
SIMPULAN
Laju aliran air sebanding dengan tekanan piston yang digunakan pada sistem kalibrasi piston prover OT-400. Grafik laju aliran air (Q) dengan satuan liter / menit versus tekanan piston (P) dengan satuan PSI dalam pengaturan katup solenoid proporsional dua arah pada kalibrator piston prover OT400 berbentuk linear yaitu Q = 0,002.P + 0,151 dengan R2=0,998. Sedangkan grafik nilai ketidakpastian rata-rata terhadap titik ukurnya (U / Q)versus tekanan piston tidak berbentuk linear dengan nilai terkecil yaitu 2,31 % pada penggunaan tekanan piston 80 PSI. Pada persamaan Q = 0,002.P + c, perlu diuji lagi gradien laju aliran air dalam satuan liter / menit terhadap tekanan piston dengan satuan PSI pada kalibrator piston prover OT400 yaitu sebesar 0,02 dengan memperbanyak
105
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 99-107
sampel pengujian terhadap jenis flowmeter dan alat kendali laju aliran air selain katup solenoid proporsional dua arah, guna lebih memastikan nilai gradien tersebut dan nilai karakteristik nilai konstanta c untuk masingmasing jenis flowmeter dan alat kendali laju aliran air. Perlu dibuat standar dan prosedur kerja penggunaan tekanan piston yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penggunaan piston prover OT-400 piston prover OT-400 yaitu dengan contoh sebagai berikut : 1. Penggunaan tekanan piston disesuaikan dengan rentang nilai laju aliran air yang dibutuhkan sesuai persamaan Q = 0,002.P + 0,151 sehingga energi pengoperasian piston prover OT-400 dapat dihemat. 2. Penggunaan tekanan piston sebesar 80 PSI baik untuk dijadikan standar pengoperasian standar acuan laju aliran air piston prover OT-400 dalam mengkalibrasi dan mendiseminasi alat ukur laju aliran air / flowmeter karena memiliki nilai ketidakpastian rata-rata terhadap titik ukurnya terkecil dan rentang ukur yang besar. 3. Penggunaan tekanan piston sebesar 20 PSI baik untuk dijadikan standar pengoperasian standar acuan laju aliran air piston prover OT-400 dalam penentuan K-Faktor sistem kalibrasi piston prover OT-400 menggunakan katup solenoid karena memiliki nilai ketidakpastian rata-rata terhadap titik ukurnya terkecil kedua dan rentang ukur yang kecil guna penentuan K-Faktor dengan water draw. 4. Penggunaan tekanan piston disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penggunaan piston prover OT-400 lainnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada manajemen KIM-LIPI dan Islamic Development Bank (IDB) sebagai penyandang dana fasilitas kalibrator piston prover OT400 serta manajemen dan tim teknis DIPA Tematik KIM-LIPI 2009 yang telah membantu secara administratif maupun teknis sehingga
106
katup solenoid proporsional dua arah PSV Aalborg ini dapat tersedia di laboratorium metrologi aliran ini.
DAFTAR PUSTAKA Aalborg,
2011, Aalborg PSV Proportionating Electromagnetic Valve. (http://www. aalborg.com/images/file_to_download/ en_Aalborg_EM201101_PSV_&_PSVD. pdf, diakses 15 April 2011).
Komite Akreditasi Nasional, 2011, Assesment Report of Puslit KIM-LIPI: assessed fields of volume flowrate 7 – 9 November 2011, Tangerang. Flow
Technology Incorporated, 2003, Microtrak and Omnitrak™ Primary Standard Liquid Calibration Systems, Arizona: FTI.
Flow
Technology Incorporated, 2005, Microtrack/Omnitrack OT-400 Calibrator Installation, Operation and Manitenance Manual TM-86611 REV.J. Arizona: FTI.
Flow Technology Incorporated, 2005, Calware Variable Definition (Rev A), Arizona: FTI. Flow Technology Incorporatedm, 2007, OT400 Calibrator Certificate, Arizona: FTI. International Organisation for Standardisation(ISO), 1993, ISO/TAG 4 : 1993 – Guide to the Expression of Uncertainty in Measurement, Paris : BIPM, ISO, IEC, dan OIML. Prakosa, Jalu A. dan Sirenden, Bernadus H, 2011, Analisa Pengaruh Pengaturan Buka Tutup Katup Solenoid Proporsional Dua Arah Terhadap Laju Aliran Air Pada Sistem Kalibrasi Piston Prover OT-400, Pertemuan dan Presentasi Ilmiah(PPI) KIM ke-37, Tangerang: Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi (KIM) LIPI, ISSN 0852 – 002 X.
Jalu Ahmad Prakosa dan Bernadus H. Sirenden e PENGARUH TEKANAN PISTON PADA PENGATURAN KATUP SOLENOID PROPORSIONAL DUA ARAH TERHADAP LAJU ALIRAN ...
Sirenden, Bernadus H, 2009, Perbandingan Pengukuran Laju Aliran Antara Metode Volume Dasar dengan TranslatorK di Inteval Gerbang 100-500 ms pada OT400 Liquid Flow Calibrator, Pertemuan dan Presentasi Ilmiah(PPI) KIM ke-35, Tangerang: Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi (KIM) LIPI.
Wikipedia Foundation, 2011, Solenoid valve, (http://en.wikipedia.org/wiki/ Solenoid_valve, diakses 15 April 2011). Yudhoyono, Susilo B, 2008, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Penghematan Energi dan Air, Jakarta.
107
VOLUME 1
No. 2, 22 Juni 2012
Halaman 71-143
EFFECT OF AIR JET COOLING ON SURFACE ROUGHNESS AND TOOL WEAR Paryanto, Rusnaldy, dan Tony S. Utomo
Department of Mechanical Engineering, Diponegoro University Kampus Undip Tembalang, Semarang 50275, Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRACT
The main goal of this work is to investigate the use of air jet cooling on machining process. Surface roughness and tool are chosen as parameter to analyze of air jet cooling effects; and turning process with AISI 1010 material used in the experimental study. Surface roughness was measured for several air jet pressures and in two air jet positions. Every five minutes of machining time, tool wear was measured until reach 30 minutes. Initial results show that the use of air jet cooling with proper selection of position and pressure; possible to reduce tool wear and to increase surface roughness. Keyword: air jet cooling, cutting fluid,
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan air jet cooling pada proses pemesinan. Kekasaran permukaan hasil pemesinan dan laju keausan pahat digunakan sebagai parameter yang diukur untuk menganalisis efektivitas penggunaan air jet cooling. Proses pemesinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses bubut dengan material AISI 1010. Pengujian dilakukan pada beberapa kondisi tekanan udara dan arah penyemprotan. Pengukuran keausan pahat dilakukan setiap lima menit sekali sampai waktu pemesinan mencapai 30 menit. Hasil awal dari penelitian ini menujukkan bahwa penggunaan air jet cooling dengan pemilihan tekanan dan posisi penyemprotan tertentu dapat mengurangi laju keausan pahat dan meningkatkan kualitas kekasaran permukaan hasil pemesinan. Kata kunci: air jet cooling, media pendingin, kekasaran permukaan, keausan pahat.
108
Paryanto, Rusnaldy, dan Tony S. Utomo e EFFECT OF AIR JET COOLING ON SURFACE ROUGHNESS AND TOOL WEAR
PENGANTAR
Keausan pahat yang terjadi pada proses pemesinan merupakan sesuatu yang harus diminimalisasi karena akan menyebabkan terjadinya cacat pada hasil produk. Faktor terbesar penyebab terjadinya keausan pahat adalah karena adanya panas yang dihasilkan selama proses pemesinan (Bareggi, dkk., 2007). Sedangkan untuk meningkatkan produktifitas pemesinan dibutuhkan putaran spindel dan kecepatan potong yang tinggi. Hal ini jelas menghasilkan temperatur yang tinggi pada daerah pemotongan (Dhar, dkk, 2007). Oleh karena itu, diperlukan suatu cutting fluid (media pendingin) untuk mengurangi keausan pahat sehingga dapat meningkatkan kualitas hasil proses pemesinan. Media pendingin yang digunakan sebagai pendinginan, pelumasan dan pembuangan geram akan menentukan performansi proses pemesinan (Çakīr, dkk., 2007; Iowa waste reduction center, 2003). Penggunaan media pendingin yang saat ini banyak dipakai masih mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan operator dan tidak ramah lingkungan (Kauppinen, 2002; Jayal, dkk., 2007; Bareggi, dkk., 2006). Sehingga diperlukan alternatif media pendingin yang aman bagi kesehatan operator dan ramah lingkungan, tetapi efektif dalam penggunaannya. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan menggunakan pendingin udara bertekanan tinggi (Boswell & Chandratilleke, 2009; Monno, dkk., 2006; Dahlman, 2001). Selain hal tersebut, dengan penggunaan udara sebagai media pendingin akan dapat mengurangi biaya operasional pada proses pemesinan (Feng & Hattori, 2001). Taylor melakukan penelitian tentang pengunaan air sebagai media pendingin pada pertengahan tahun 1890an, dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa pada pemesinan dengan kecepatan spindle yang tinggi, penggunaan media pendingin dapat memperpanjang umur pahat dan meningkatkan material removal rates (MRR). Meskipun demikian, pada perkembangan
selanjutnya penggunaan media pendingin dalam proses pemesinan berusaha untuk diminimalisir, hal ini berkaitan dengan aspek ekonomi, ekologi, dan kesehatan manusia (Sales, dkk., 2001). Perkembangan pengunaan media pendingin pada proses pemesinan dapat dilihat pada Gambar 1. High Speed Air Jet Cooling
Dry Machining
Ultimate Goal
Minimum Quantity Lubrication (MQL) Biodegradable
Conventional Liquid
Coolant Present Solution
Gambar 1 Perkembangan penggunaan media pendinginan dalam proses pemesinan (Tonschoff, dkk., 1994). Mulai tahun 1990an, proses pemesinan dengan menggunakan metode Minimum Quantity Lubrication (MQL) untuk berbagai jenis material telah mulai diteliti. Secara umum dari penelitian tentang MQL dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan MQL akan memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan pemesinan kering apabila ditinjau dari laju keausan pahat dan kekasaran permuka an hasil pemesinan (Kelly & Cotterell, 2002; Weinert, dkk., 2004). Meskipun metode MQL memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan menggunakan media pendingin biasa, tetapi seiring dengan perkembangan industri, metode ini dianggap kurang efisien karena masih memerlukan fluid coolant sebagai campuran media pendingin sehingga tetap kurang ramah terhadap lingkungan dan menambah biaya proses pemesinan. Perkembangan terbaru tentang teknik pendinginan pada proses pemesinan adalah menggunakan air jet cooling karena pada metode ini tidak diperlukan lagi
109
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 108-114
fluid coolant sehingga lebih ekonomis dan ramah lingkungan (Bareggi, dkk., 2006; Boswell & Chandratilleke, 2009). Su, dkk., (2006), melakukan penelitian tentang proses bubut dengan material Inconel 718 dengan menggunakan media pendingin udara yang didinginkan. Dalam penelitiannya proses pendinginan dilakukan dengan menyemprotkan udara dingin (-20°C sampai 20°C) pada benda kerja dan pahat. Berdasarkan hasil penelitian ini, dibandingkan dengan pemesinan kering proses pendinginan metode ini mampu meningkatkan umur pahat dan meningkatkan kualitas permukaan benda kerja. Tetapi pada proses ini memiliki kekurangan, yaitu diperlukannya suatu mekanisme tambahan yang digunakan untuk mendinginkan udara, sehingga tidak begitu efisien. Perbandingan hasil pemesinan kering dengan air jet cooling pada material baja AISI 1020 telah diteliti oleh Bareggia, dkk., (2007) dengan menggunakan pemodelan finite element method (FEM). Pada penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dengan menggunakan tekanan dan posisi penyemprotan udara yang tepat dapat menurunkan temperatur pahat, sehingga dapat mengurangi keausan yang terjadi pada pahat. Machining Parameters
Process kinematics
Stepover Cutting tool Properties
Tool material
Runout errors
Tool angle
Tool shape
Nose radius
Cutting speed
Workpiece diameter
Accelerations
Workpiece length
Workpiece
Hardness
Metodologi Penelitian
Cooling fluid
Feed rate
Chips formations
Cutting force Cutting speed variations
Depth cut
of
Surface Roughness
Vibrations Friction in the cutting zone
Cutting Phenomena
Gambar 2. Diagram fishbone faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kekasaran permukaan (Benardos & Vosniakos, 2003; Salgado, dkk., 2008).
110
Boswell dan Chandratilleke (2009) dalam penelitiannya mengenai proses pemesinan dengan pendinginan menggunakan udaradingin menyimpulkan bahwa udara-dingin dapat meminimalisasi keausan pahat. Penelitian tentang efektifitas dari penggunaan media udara sebagai pendingin pada proses pemesinan sampai saat ini masih terus dilakukan. Menurut Benardos & Vosniakos (2003) dan Salgado, dkk (2008), secara umum kekasaran permukaan suatu benda kerja hasil proses pemesinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti parameter proses pemesinan, kondisi pahat, benda kerja dan fenomena pemotongan (Gambar 2). Berdasarkan kondisi tersebut, maka masih diperlukan suatu penelitian yang dapat mengukur efek dari penggunaan air jet cooling terhadap laju keausan pahat dan kekasaran permukaan hasil proses pemesinan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur laju keausan pahat dan kekasaran permukaan hasil proses pemesinan menggunakan pendinginan air jet cooling. Dari data tersebut akan diperoleh besarnya tekanan dan posisi penyemprotan yang optimum sehingga diperoleh laju keausan pahat dan kekasaran permukaan yang minimum. Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk menganalisis efek air jet cooling pada proses pemesinan adalah dengan cara ekperimental dan simulasi numerik. Tetapi pada makalah ini, hanya dijabarkan hasil dari pengujian secara eksperimental, sedangkan hasil simulasi dapat dilihat di referensi Paryanto, dkk., 2010.
2.1 Material Penelitian
Benda kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah AISI 1010 dengan dimensi Ø34x60 mm. Komposisi unsur kimia sepesimen uji adalah sebagai berikut: %C = 0,10; %Si = 0,21; %Mn = 0,66; %Ni = 0,11; %Fe = 98,12; dengan nilai kekerasan 55,7 HRA.
Paryanto, Rusnaldy, dan Tony S. Utomo e EFFECT OF AIR JET COOLING ON SURFACE ROUGHNESS AND TOOL WEAR
Pemilihan material AISI 1010 didasarkan karena bahan tersebut sering dipakai oleh bengkel-bengkel permesinan di Indonesia sebagai bahan baku pembuatan komponen mesin. Sebelum digunakan sebagai spesimen uji benda kerja telah difacing terlebih dahulu dengan kedalaman 2 mm dengan tujuan untuk membuang permukaan benda kerja yang mengalami pengerasan akibat pengerolan selama proses manufaktur. Jenis pahat yang digunakan adalah TNMG 160404 FG CT 3000 dengan tool holder tipe PTNFR1616.
overhead
interface benda kerja pahat
Gambar 4 Posisi penyemprotan udara pendingin.
2.3 Sistem Pengujian
2.2 Peralatan Penelitian
Mesin bubut yang digunakan adalah EMCO Maier Maximat V13. Media pendingin yang digunakan adalah udara bertekanan yang dihasilkan oleh kompresor dengan kemampuan menghasilkan udara diatas 6 bar pada kondisi semua katup terbuka. Untuk mengetahui kekasaran permukaan benda kerja yang dihasilkan dari proses permesinan digunakan Mitutoyo Surftest SJ-201P roughness tester. Termometer KW06283 digunakan untuk mengukur temperatur pahat pada waktu proses pemesinan. Pada termometer jenis ini dilengkapi dengan thermocouple yang digunakan sebagai sensor yang ditempelkan dibenda yang akan diukur. Gambar 3 memperlihatkan posisi pemasangan thermocouple pada pahat. Pengukuran temperatur dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara temperatur pemotongan dengan laju keausan pahat.
Pengujian dilakukan dengan menvariasikan tekanan penyemprotan dari 0,5–6 bar, masingmasing untuk posisi interface dan overhead (Gambar 4). Sedangkan sistem pengujian terlihat seperti Gambar 5. Pengujian dilakukan untuk proses finishing, dengan kecepatan potong 140 m/min, kedalaman potong 0,5 mm dengan feed 0,112 mm/rev. Parameter pengujian secara keseluruhan diperlihatkan seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Parameter proses pengujian. Parameter pengujian
Nilai
Jenis media pendingin
dry, wet (32,7 l/h),
Kecepatan potong (vc)
140 m/min
Feed (f)
0,112 mm/rev
Kedalaman potong (a)
0,5 mm
Diameter nozzel (d)
2 mm
Jarak ujung nozel dengan geram
2 cm
air jet cooling (0,5–6 bar)
Kompresor Manometer 1
1 mm
Katub
Anemometer & termometer
Manometer 2 0.5 mm thermocouple
Gambar 3 Posisi pemasangan thermocouple.
Tool & workpiece interface
Nozzle
Gambar 5 Skema sistem pengujian.
111
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 108-114
PEMBAHASAN
Pemesinan ramah lingkungan merupakan tujuan dari proses manufaktur dimasa yang akan datang. Salah satu cara yang dilakukan untuk penerapan teknologi ramah lingkungan adalah pengunaan air jet cooling. Pengurangan biaya produksi dan adanya peraturan dari pemerintah merupakan dua hal yang melatarbelakangi pengunaan teknologi air jet cooling.
2.1
Kekasaran Permukaan Hasil Pemesinan
Setelah dilakukan proses pemesinan, benda kerja hasil pengujian dilakukan pengukuran kekasaran permukaan. Berdasarkan hasil pengukuran kekasaran, diperoleh dapat data seperti terlihat pada Gambar 6. Secara umum penggunaan air jet cooling mampu menurunkan nilai kekasaran permukaan hasil proses pembubutan. Hal ini terlihat dari perbandingan antara kekasaran permukaan hasil pemesinan kering (dry) dengan kekasaran permukaan hasil pemesinan menggunakan air jet cooling. Peningkatan kualitas permukaan ini disebabkan karena dengan pendinginan air jet cooling pahat mengalami proses pendinginan sehingga mengurangi kemungkinan adanya geram yang terdifusi dengan pahat, yang dapat mengubah geometri pahat sehingga menurunkan kualitas hasil proses pembubutan. Selain hal tersebut, dengan adanya pendinginan air jet cooling juga dapat membuang geram yang terbentuk sehingga tidak merusak permukaan benda hasil proses pembubutan.
Gambar 6 Kekasaran permukaan hasil proses pemesinan. 112
Hasil pemesinan dengan air jet cooling juga mampu menyamai dengan hasil pemesinan basah (wet), bahkan pada tekanan penyemprotan 3,5 bar dan 4 bar diperoleh kekasaran permukaan yang lebih baik dibandingkan dengan pemesinan basah. Sehingga apabila mengacu pada proses pemesinan yang ramah lingkungan (green machining/eco-machining) dan efisiensi proses pemesinan, penggunaan air jet cooling lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pemesinan basah.
2.2
Laju Keausan Pahat
Sebagian besar energi yang digunakan untuk proses pemotongan logam diubah menjadi panas, kemudian panas ini akan diteruskan ke geram, pahat, dan benda kerja. Dari proses perpindahan panas tersebut maka akan menyebabkan terbentuknya tiga daerah panas, yaitu: daerah panas pada bidang geser, daerah panas pada kontak antara geram dan permukaan pahat, dan daerah panas pada kontak antara permukaan pahat dan benda kerja. Distribusi temperatur pemotongan pada proses pemesinan perlu untuk diketahui, hal ini karena dengan mengetahui distribusi temperatur pemotongan akan dapat diketahui laju keausan pahat. Dari hasil pengukuran temperatur pahat diperoleh grafik seperti pada Gambar 7. Dari Gambar 7 diketahui bahwa tekanan penyemprotan semakin dinaikkan maka pendinginan terhadap pahat akan semakin efektif, tetapi apabila tekanan dinaikkan melebihi 3 bar maka pendinginan pahat menjadi tidak begitu efektif. Hal ini karena pada tekanan rendah, laju dari aliran udara pendingin belum menghasilkan pendinginan yang cukup untuk membuang panas yang dihasilkan selama proses pemotongan. Khusus untuk posisi interface tekanan tersebut belum cukup untuk masuk ke celah antara pahat dan benda kerja. Jika tekanan penyemprotan melebihi 3 bar, maka efektivitas pendinginan akan semakin berkurang, hal ini karena pada tekanan diatas 3 bar udara pendingin
Paryanto, Rusnaldy, dan Tony S. Utomo e EFFECT OF AIR JET COOLING ON SURFACE ROUGHNESS AND TOOL WEAR
mengalami kompresi yang menyebabkan naiknya temperatur udara pendingin dan tumbukan antara udara yang disemprotkan dengan benda kerja/pahat menyebabkan panas, sehingga pendinginan tidak begitu efektif.
fenomena difusi akan menyebabkan pahat menjadi mudah aus.
Gambar 8 Laju keausan tepi pahat.
SIMPULAN 1) Gambar 7 Temperatur pahat. Pendinginan menggunakan air jet cooling paling efektif mendinginkan pahat adalah pada tekanan penyemprotan 3 bar, hal tersebut terjadi baik pada posisi interface maupun pada posisi overhead. Secara umum, jika ditinjau dari kemampuan pendinginan terhadap pahat maka pendinginnan dari arah overhead lebih baik jika dibandingkan dengan pendinginan dari arah interface. Dari pengujian keausan pahat yang telah dilakukan diperoleh grafik keausan tepi maksimum pahat seperti terlihat pada Gambar 8. Pada pengujian tersebut pendinginan air jet cooling dilakukan pada tekanan penyemprotan 3 bar dengan posisi dari arah overhead. Dari grafik terlihat bahwa penggunaan air jet cooling secara umum mampu mengurangi laju keausan pahat jika dibandingkan dengan proses pemesinan kering. Hal ini karena dengan menggunakan air jet cooling pahat megalami proses pendinginan sehingga temperatur pahat tidak terlalu tinggi. Temperatur pahat yang tinggi akan menurunkan kekuatan material pahat dan memfasilitasi terjadinya fenomena abrasi dan difusi. Akibat kekuatan material yang menurun, adanya abrasi dan adanya
Jika ditinjau dari nilai kekasaran permukaan, pemesinan dengan air jet cooling akan lebih baik jika dibandingkan dengan pemesinan kering. 2) Dengan menggunakan air jet cooling akan dapat mengurangi temperatur pemotongan sehingga mampu untuk mengurangi laju keausan pahat. 3) Pada tekanan penyemprotan 3 bar dengan posisi penyemprotan overhead diperoleh nilai optimum dengan efek pendinginan yang paling efektif. 4) Secara umum, apabila mengacu pada proses pemesinan yang ramah lingkungan (green machining/ecomachining) maka penggunaan air jet cooling lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pemesinan basah. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Diponegoro yang telah mendanai dan menfasilitasi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bareggi, A., Torrance, A., O’ Donnell, G., (2006), “Green cutting using supersonic ait jets as coolant and lubricant during turning”, Advanced in Manufacturing Technology, 261 – 266. Bareggi, A., Torrance, A., O’ Donnell, G. (2007), “Modelling thermal effects in machining by finite element method”.,
113
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 108-114
Proceedings of the 24th International Manufacturing Conference, Waterford, 263 – 272. Benardos, P.G., Vosniakos, G.C., (2003), “Predicting surface roughness in machining: a review”, International Journal of Machine Tools & Manufacture 43, 833 – 844. Boswell, B., Chandratilleke, T.T., (2009), “Air-cooling used for metal cutting”, American Journal of Applied Sciences 6 (2), 251 – 262. Çakīr, O., Yardimeden, A., Ozben, T., Kilickap, E., (2007), “Selection of cutting fluids in machining processes”., Journal of Achievements in Materials and Manufacturing Engineering 25, 99 – 102. Dahlman, P., (2001)., “A comparison of temperature reduction in high-pressure jet-assisted turning using high pressure versus high flowrate”, Master’s thesis, Production Engineering, Chalmers University of Technology, Sweden. Dhar, N.R., Islam, S., Kamruzzaman, M., (2007), “Effect of minimum qantity lubrication (MQL) on tool wear, surface roughness and dimensional deviation in turning AISI-4340 steel”., G.U. Journal of Science 20 (2), 23 – 32. Feng, S.C., Hattori, M., (2001), “Cost and process information modeling for dry machining”, Manufacturing Engineering Laboratory, NIST DoC. Iowa Waste Reduction Center, (2003), Fluid cutting management for small machining operations, a practical pollution prevention guide 3rd edition, University of Northern Iowa. Jayal, A.D., Balaji, A.K., Sesek, R., Gaul, A., Liliquist, D.R., (2007), “Machining performance and health effect of cutting fluid application in drilling of A390.0 cast aluminium alloy”, Journal of Manufacturing Processes, 9 (2), 137 – 146.
114
Kauppinen, V., (2002), “Environmentally reducing of coolants in metal cutting”, Proceedings University’s Days 8th International Conference, Helsinki University of Technology. Kelly, J.F., Cotterell, M.G., (2002), “Minimal lubrication machining of aluminium alloys”, Journal of Materials Processing Technology 120, 327 – 334. Monno, M., Pittala, G.M., Bareggi, A., (2006), “Finite element modeling of titanium assisted by high speed air jet”, Politecnico di Milano, Dipartimento di Ingegneria Meccanica. Paryanto, Rusnaldy, T.S. Utomo and Y. Umardani, (2010), “Aplikasi penggunaan air jet cooling pada proses pemesianan”, Proceeding of TEKNOIN National Conference: Green Technology, Yogyakarta, E 91 – 98. Sales, W.F., Diniz, A.E., Machado, A.R., (2001), “Application of cutting fluids in machining processes”, Journal of the Brazilian Society of Mechanical Sciences, 23 (2). Salgado, D.R., Alonso, F.J., Cambero, I., Marcelo, A., (2009), “In-process surface roughness prediction system using cutting vibrations in turning”, International Journal of Advance Manufacturing Technology 43, 40 – 51. Su, Y., He, H., Li, L., Iqbal, A., Xiao, M.H., Xu, S., Qiu, B.G., (2007), “Refrigerated cooling air cutting of difficult-to-cut materials”, International Journal of Machine Tools & Manufacture 47, 927 – 933. Tonschoff, H.K., Kroos, F., Sprinting, W., Brandt, D., (1994), “Reducing use of coolant in cutting cutting processes”, Production Engineering 1 (2), 5 – 8. Weinert, K., Inasaki, I., Sutherland, J.W., Wakabayashi, T., (2004), “Dry machining and minimum quantity lubriction”. Dept. of Machining Technology, University of Dortmund, Germany.
VOLUME 1
No. 2, 22 Juni 2012
Halaman 71-143
A SUSTAINABLE SUPPLY CHAIN MODEL OF RELATIONSHIP BETWEEN WOOD SUPPLIER AND FURNITURE INDUSTRY IN INDONESIA Muh. Hisjam
Department of Industrial Engineering, Faculty of Engineering Sebelas Maret University
Adi Djoko Guritno and Shalihuddin Djalal Tandjung Doctoral Study Program of Environmental Science, Graduate School Gadjah Mada University
ABSTRAK
Industri furnitur kayu merupakan sektor industri penting di Indonesia, karena kesejahteraan banyak orang bergantung pada sektor industri dan industri ini memiliki dampak sosial dan lingkungan yang besar. Banyak industri furnitur kayu di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah menghadapi masalah terkait dengan keberlanjutan. Hubungan antara pemasok kayu dan industri furnitur dipelajari dalam makalah ini. Sebuah model rantai pasokan yang berkelanjutan manajemen (s-SCM) diusulkan sebagai pendekatan untuk solusi masalah. Pendekatan ini dipilih karena karakteristik masalah yang berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tujuan makalah ini adalah untuk menentukan berapa banyak pasokan kayu jati harus disediakan oleh PP untuk memenuhi permintaan industri furnitur, berapa kapasitas produksi yang harus ditingkatkan dan seberapa luas hutan yang harus ditanam untuk mencapai tujuan lingkungan dan sosial tanpa terlalu mengorbankan tujuan ekonomis. Goal Programming (GP) dipilih untuk memecahkan masalah, karena tujuan adalah untuk memaksimalkan keuntungan total, meminimalkan kerugian total dan mengantisipasi konflik antara tujuan. Percobaan numerik berdasarkan pengamatan di industri furnitur kayu jati di Jawa Tengah digunakan untuk menggambarkan temuan kami. Dengan menggunakan prinsip pareto efisien, model ini dapat memenuhi semua tujuan yang harus dicapai. Hasil numerik dapat digunakan oleh pengambil keputusan di industri kayu jati untuk menganalisis trade-off di antara sejumlah solusi alternatif. Kata Kunci: pemasok kayu, industri furnitur kayu, keberlanjutan, SCM berkelanjutan.
ABSTRACT
Wooden furniture industry is an important industry sector in Indonesia, because many people’s welfare rely on this industry sector and the industry has a big social and environmental impacts. Many wooden furniture industries in Indonesia, especially in Central Java Province face problems related to the sustainability. The relation between wood suppliers and furniture industry is studied in this paper. A sustainable supply chain management
115
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 115-125
(s-SCM) model is proposed as an approach for solutions for the problems. The approach is chosen due to the characteristics of the problems that related to economic, social, and environmental problems. This aim of this paper is to determine how much supply teak wood must be provided by PP to satisfy furniture industry demand, how much production capacity that must be increased and how large forest area that must be planted in order to achieve environmental and social goals without sacrificing economical goals much. Goal programming (GP) is chosen for solving the problems, because the goals are to maximize the total benefit, minimize the total loss and anticipate the conflicts between goals. Numerical trial based on observation in teak wooden furniture industry in Central Java was used to illustrate our findings. Using pareto efficient principle, the model can satisfy all goals that need to be achieved. Numerical results can be used by decision makers in teak wood industry to analyze the trade-off among several set of alternative solutions. Keywords: wood supplier, wooden furniture industry, sustainability, sustainable SCM
INTRODUCTION
Teak (Tectona grandis L.f.) is the main raw material for high quality export-oriented furniture because it is easily processed, strong, durable, and more importantly has aesthetic aspects (Pandey and Brown, 2000; Simon, 2006; 2008). For Central Java province, teak furniture industry has strategic role because it produces more than 30% of total furniture exports in Indonesia, creates employment opportunities, and improves the welfare of society (REDI, 2007; CRDCCP, 2010; CJPFO, 2011). However, recently, the industry faces many obstacles in maintaining its continuity and growth, which is reflected in the decreasing number of small and medium enterprises in teak furniture from year to year (CJPFO, 2005). The main reason behind the production decline is due to the lack of teak wood supply. Perum Perhutani (PP), a state owned company for teak forest management, supplies good quality of teak wood for furniture industry. More than forty percent of teak inventory managed by PP has been depleted in only ten
116
years (PPU2, 2011). For illustration, there were approximately 36.2 million m3 of teak inventory in 1998, 27.5 million m3 in 2003, and only 18.9 million m3 in 2007. Hence in conducting its core business as teak supplier, PP is restricted by the principle of forest sustainability, i.e. the certain boundaries of forest areas, the success of forest regeneration system, and guarantee that logging is not excessive because the PP should also be tasked to preserve the forests (Simon, 2010). As a consequence, PP can provide only a small portion of teakwood supplies for domestic demand. Unfortunately, this policy causes raw material shortage for furniture manufacturers since eighty percent of furniture industry use teak as the main raw material (Ewasechko, 2005). Furniture manufacturers also experience production inefficiency. This condition brings negative impacts on manufacturing cycle as most companies have a less efficient production processes, labor with low productivity, and produce low quality products (Effendi and Dwiprabowo, 2005). Furniture industry that has no well-trained human resources and modern organizations generally cannot penetrate to global market although wood furniture demand in global market is very high (Loebis and Schmitz, 2005). Global markets need not only cheap products with a high variation, but also that manufactured by companies that promote health and safety environment, employment equality, and environmental sustainability in which importers can conduct more stringent oversight (Posthuma, 2003). In addition, there is an increasing attention to green products which consider clean production and environment friendly (D’Souza, 2004, do Paço et al., 2009). In a sum, new paradigm of supply chain must consider not only economical aspect, but also social and environmental sustainability. It is possible that all aspects are conflicted, hence decision maker must choose the suitable set of feasible solution that satisfy desired goal and goal programming technique is the right tool.
Muh. Hisjam, Adi Djoko Guritno and Shalihuddin Djalal Tandjung e A SUSTAINABLE SUPPLY CHAIN MODEL OF RELATIONSHIP BETWEEN WOOD SUPPLIER AND FURNITURE...
Sustainable Supply Chain Model
Discussing sustainable supply chain is not complete without defining sustainable development and sustainable supply chain management (s-SCM). Generally, sustainable development can be defined based on the definition from The Brundtland Commission (WCED 1987), which defined as development that ‘‘meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. About the definition of s-SCM, Seuring and Mueller (2008) defines s-SCM as “the management of material, information and capital flows as well as cooperation among companies along the supply chain while taking goals from all three dimensions of sustainable development, i.e., economic, environmental and social, into account which are derived from customer and stakeholder requirements”. Sustainable supply chain (s-SC) that considered in this paper is based on a framework in Hisjam et al. (2011). This model consists of two entities namely supplier and manufacturers as depicted in Fig. 1. Supplier gives log price catalog to manufacturers in the first period. This catalog contains all products, which can be categorized by the quality and dimension. Manufacturers then calculate the log required to satisfy furniture demand.
Log Price Catalog
Purchase Contract
MANUFACTURERS
SUPPLIER
Demand
Delivery
Figure 1. Sustainable Supply Chain Model (SCM) framework.
Based on the prices offered by supplier and furniture’s demand, manufacturers determine how many teak logs must be purchased. Supplier collects demand data from all manufacturers, and then compares the aggregate demand with its production capacity. Decision will be made whether to increase production capacity in order to satisfy manufacturers’ demand or to retain its production capacity. Wood supplier has to produce teak log to supply manufacturers. For the next discuss, wood supplier will be mentioned as supplier. The next section will briefly describe supplier and manufacturers activities in the s-SCM and also goal programming (GP) method as a suitable tool to solve and analyze the multi-objectives in the s-SCM.
Sustainable Production Activity by Supplier
Supplier’s activities contain the two main production stages: harvesting and planting. There are several concepts that can be helpful to describe planting and harvesting in forest management, such as simple forest model (Amacher et al., 2009), whole stand growth model (Vanclay, 1994), even aged-stand and rotation time (Bettinger et al., 2009). The planting and harvesting conducted by supplier as follows. In period t supplier harvest the teak forest in order to fulfill manufacturers’ demand D. In the next period supplier must plants the harvested area in order to keep forest sustainability and comply with the government regulation. Currently, area of the forest managed by supplier has not satisfied this regulation. As a consequence, supplier must plant not only forest stand in the amount of the previous harvested area, but also additional amount of forest area to close the regulation gap. Thus supplier must determine the how many logs that must be harvested and planted while preserving forest sustainability. This model also considers additional capacity increase by supplier to fulfill
117
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 115-125
manufacturers’ demand. For example, consider in period t demand from manufacturers is greater that supplier’s production capacity. Supplier must determine whether to increase its capacity by purchasing and investing equipment and also hiring new labors or to retain its production capacity. If supplier decides to increase its capacity, additional cost incurred from equipment investment and labor cost but additional revenue increase by log selling and job opportunities for community is wider. In contrast, if supplier determines to retain its capacity no additional gain from log selling and no job opportunities provide by supplier to community. Thus supplier must determine which decision must be made which gives maximum not only economical aspects but also social aspects.
Sustainable Production Activity by Manufacturer
In s-SCM, manufacturers produce furniture to fulfill export demand. As previously discussed above, importers seek green product, i.e. production process to manufacture products must be environmentally benign. In order to satisfy this, manufacturers face several notable problems: log supply from supplier, production waste, energy consumption, and factory utilization. First consider that furniture demand D in period t. Suppose that teak log supply from supplier doesn’t suffice the furniture demand. In order to cover furniture demand, manufacturers can purchase teak log from foreign importer. However, this will bring cost increase. In addition, more furniture production brings more production waste. Furthermore, energy consumption will also rise if manufacturers decide to fulfill all furniture demand. Fortunately, if manufacturers choose to increase furniture demand fulfillment, this will bring greater revenue. In contrast, if furniture demand is smaller revenue will be lower, however the environmental aspects much more safe to
118
guarantee. Thus, the manufacturers must determine the amount of furniture produced that maximizes not only economical aspects but also environmental and social aspects.
Goal Programming (GP)
From the previous discussion above, both supplier and manufacturer in s-SCM have many objectives that must be satisfied. However, these objectives are often conflicted. In order to analyze the trade-off between these objectives, suitable tool is required and GP has proven to be appropriate to give decision makers set of alternative solutions that satisfy the objectives. GP was fistly proposed by Charnes and Cooper (1961). Since its inception until now, there seems to be an increasing use of GP in the academic publications (Jones and Tamiz, 2010). The common terminologies used in GP are as follows. Goal refers to criterion which decision makers must be achieved. Target level is the numeric value of a goal criterion. Deviational variables measure the difference between target level and actual value of solutions. A generic form of GP can be described below g
Min f ( g ) = ∑ f ( g )i
(1)
i =1
where g denotes number of goals, f(g) denotes achievement function that must be minimized, f(g)i and denotes achievement function in goal- g. Denote that f(g)i contains the weight and deviational variables that must be minimized. A goal or criterion can also be called soft constraints. A goal formulation can be formulated as follows.
f g ( x ) + d g+ − d g− = ω g
(2)
where fg(x) denotes the function of goal g that must be achieved, d+g and d-g denote the positive and negative deviational variables of goal g , and ωg denotes the target level set by the decision makers.
Muh. Hisjam, Adi Djoko Guritno and Shalihuddin Djalal Tandjung e A SUSTAINABLE SUPPLY CHAIN MODEL OF RELATIONSHIP BETWEEN WOOD SUPPLIER AND FURNITURE...
Model Formulation
In this section, the development sustainable supply chain model for teak wood supplier-manufacturer relationship is exposed. Notation and variables used in the model, and the mathematical model formulation are mentioned respectively. Table 1. Notations and parameters Supplier’s parameters
Manufacturer’s parameters
pts
log price
ptm
furniture price
ct
harvesting cost
Qt
log purchased
Vt
furniture produced
production capacity
ςt
production cost
log quantity produced
α
inventory unit cost
It
inventory level
∆κ t
κt qt
capacity increased by supplier
γ
increasing capacity cost
β
planting cost
Et
At
production forest
Ut
utility function
Bt
protection forest
Wt
waste function
Ht
harvesting forest
Gt
electricity consumption function
Personal protective equipment cost
Table 1 represents supplier’s and manufacturer’s parameter in the s-SCM development. Additional parameter’s notation in Table 2 is used to develop goal programming model. The model can be considered as a multi-objective optimization problem, since it seeks optimal solution between conflicting objectives. In order to utilize GP technique, several things that must be considered are: soft constraints or goals that must be achieved, desired value, and positive and negative deviational variables of the corresponding
goals, and hard constraints. First, goals in sustainable supply chains must be defined. Table 2. Other notations and parameters
t
time index
d g−
g
goal index
G1
economical sustainability index
f (g )
achievement function
G2
environmental sustainability index
desired value for corresponding goal
G3
Social sustainability index
ωg d g+
negative deviational
positive deviational
Economic Sustainability Goals
Economic sustainability from SCM is given by the profit that must be achieved by both supplier and furniture manufacturer. Thus this goal in involves maximizing revenue while simultaneously minimizing relevant cost. The expression above can describe the corresponding goal:
where d+1 and d+2 are positive deviational variables, d-1and d-2are negative deviational variables, and ω1 and ω2 are desired values given or determined by decision makers according to business practices. Equation (3) represents profit of PP as teak wood supplier, and (4) represents the goal that must be achieved by manufacturer. The first term in (3) represents revenue minus the production cost faced by supplier in conducting its production activities such as harvesting and planting. The second term represents cost that incurs as a decision to increase production capacity, whereas the last term represents cost that incurs to plants new teak stand in order to comply with government regulation. In (4), 119
t
t
Qt
Vt
d
Et
d
d
Ut
d
d
t
d
t
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 115-125 t
the goal that manufacturers want to achieve consists of revenue minus by production cost, cost to procure Personal protective equipment (PPE) for guarding labor’s health, and inventory cost.
Environmental Sustainability Goals
Green production practices must comply some regulations that imposed by the government or decision maker. Supplier must uphold the regulation imposed by federal government that area of forest must cover minimum thirty percent of total area reserved. This goal is represented in (5). Manufacturer must suppress the production waste as in (6).
At
Bt
Wt
d
Ht d
t
d
d
t
t
t
t
t
Equation (5) states that for every period, the balance of area that must be covered by forest stand must achieve the target value set by decision maker, i.e. comply with government regulation. Equation (6) is applied as part of manufacturers’ effort to produce green products, i.e. production must comply with friendly environment. Therefore, decision maker set a goal that waste in furniture production must not exceed target value set by decision maker. s-SCM must also consider resource usage, energy consumption, and utility of production capacity. Supplier and manufacturer must maintain material process that produces as minimum as possible material waste. For manufacturers, they must also minimize energy and maximize utility. This can be written as
qt
Qt
d
d
t
Qt
Vt
d
Et
d
d
Ut
d
d
t
t
t
120
d
t
Equation (7) states that log production must be done to produce minimum waste of tree cut. Equation (8) represents goal that must be achieved by manufacturer which restricts efficient design so that the volume of teak log that use in production minimum. Equation (8) and (9) are energy consumption and utility of production capacity that must be minimized and maximized respectively by manufacturers.
Social Sustainability Goals
Demand fulfillment is measured by the ability of supplier and manufacturers to satisfy demand from customer. This can be formulated by supplier’s ability to fulfill log demand from manufacturers as in (11) and manufacturers’ ability to fulfill furniture demand from importers as in (12). Social sustainability in teak wood industry is also achieved by considering workers health and safety in workplace and demand fulfillment. In order to provide health and safety environment manufacturer allocate budget to buy PPE for workers as in (13). The budget is taken from CSR as it is a popular trend for company to conduct CSR (Amaeshi et al., 2008).
qt d
d
Vt d
d
t
t
PPE d
d
t
Hard constraints
In GP terminology, hard constraints are mathematical formulation that must be satisfied by the decision variables in order to implement the solution in practices. For the s-SCM, hard constraints that must be restricted are given below.
Muh. Hisjam, Adi Djoko Guritno and Shalihuddin Djalal Tandjung e A SUSTAINABLE SUPPLY CHAIN MODEL OF RELATIONSHIP BETWEEN WOOD SUPPLIER AND FURNITURE...
qt
t
t
Qt
qt
t
Vt
Qt
t
t
Qt
DISCUSSION
t
Vt
t
t
It
t
For supplier, log production must not exceed its production capacity as stated in (14). In the same way, manufacturers’ log procurement must not be greater than of supplier’s production as in (15). This brings consequence that furniture produced by manufacturers is less than of log purchased as in (16). Production capacity balance is expressed in (17). The last constraint represents inventory balance faced by manufacturers and expressed in (18).
Objective Function
The objective function of GP is to minimize positive and negative deviational variables from target level set by decision makers in all soft constraints or goals by considering to its priority and importance or weight. Priority and importance of all goals are determined by decision makers. It is common for decision makers to treat the priority as parameters that can be changed and modified and then search the best combination of priority that satisfied all goals. In s-SCM model considered, all priority of goals are equals so the objective function can be formulated as follows
Z
d
d d d
d d d
t
d
d d
t
d d
t
d d
Hence, a GP formulation in s-SCM is minimization of (19) over set of soft constraints in (3)-(13) and set of hard constraints in (14)(18).
To illustrate the capabilities of the model, hypothetical data were generated based on the observation in PP and furniture manufacturers in Central Java. Teak forest stand area in PP Unit I is estimated about 200,000 ha because not all of the forest area plated with teak and only 40,000 ha can be harvested. The remaining forest area is categorized as protection forest and prohibited to be harvested, i.e. its age is below 20 years. Relevant costs faced by PP consist of harvesting cost, planting cost, and operational cost. Relevant costs faced by manufacturer consist of production and distribution cost. Other important data are given in Table 3. s-SC is an multi-objective optimization and can be solved using goal programming technique. IBM ILOG CPLEX is chosen to solve GP formulation of s-SCM. Table 3. Supplier and manufacturers data Perhutani Data
Manufacturers Data
Unit
Unit
Harvesting cost
Rp/ m3
4,205
Production cost
Rp/ m3
50,000
Planting cost
Rp/ ha
7,725
Distribution cost
Rp/ m3
50,000
Operational cost
Rp/ ha
1,920
Furniture price
Rp/ m3
177,000
Capacity extension cost
Rp/ m3
420.5
Furniture demand
m3
Log price
Rp/ m3
10,625
Production capacity
m/ year
Production capacity
m3/ year
300.000
3
1.200.000 1.200.000
PP and manufacturers as decision makers in teak wood sustainable supply chain set the target value that must be achieved from their business activities. The goals are categorized as economical, environmental, and social sustainability which must be satisfied. The decision makers can evaluate the achievement value from goal programming technique. If the achieved value is smaller than target value, decision makers can lower the target value. On the contrary, if the achieved value is greater than the target value, decision makers
121
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 115-125
must revise the target values by increasing the target value. Table 4 represents the goals in teak furniture supply chain along with the target value set by decision makers and achieved value. From Table 4 decision makers can infer that the target value of PP’s profit goal is over optimistic because it is greater than its achieved value. In addition, it is not sufficient for PP to allocate planting cost in amount 500 billion rupiahs to satisfy environmental goal. Furthermore, all economical target level in s-SCM seem to over value compare with their achieved values since manufacturers’ profit goal also beyond its achieved value. In GA terminology, the solution in Table 4 is a Paretoinefficient solution, i.e. there exists other solution that satisfy all goals and this solution at least as good with respect to all objectives and strictly better with respect to at least one objective (Jones and Tamiz, 2010). In order to find a Pareto-efficient solution, decision makers must revise or adjust their target level by using the values of negative and positive deviational variables in the Pareto-inefficient solution so that all goals are satisfied. The first solution considering the Pareto-efficient solution is shown in the Table 5.
G G1
Unit
Rp
90,000
Manufacturers’ scrap generation
m3
400,000
600,000
Manufacturers’ energy consumption
Rp/ m3
20,000
19,870
Manufacturers’ capacity utility
%
100
100
Supplier’s demand fulfillment
%
100
100
Manufacturers’ demand fulfillment
%
100
100
Labor’s healthy
Rp
30
30
Goals G G1
G2
Achieved
Value (time period, 12 months)
Sub goal
Unit
Target
Achieved
Economical sustainability Supplier’s profit
Rp
5,000
6,000
Supplier’s operation cost
Rp
6,000
5,413
Supplier’s planting cost
Rp
500
500
Capacity increase cost
Rp
500
332
Manufacturers’ profit
Rp
25,000
25,000
Forest area regulation
ha
230,000
234,960
Supplier’s scrap generation
m3
100,000
90,000
Environmental sustainability
10,000
5,022
Supplier’s planting Rp cost
500
702
Manufacturers’ scrap generation
m3
600,000
600,000
Supplier capacity increase cost
Rp
100
315
Rp/ m3
20,000
19,870
Manufacturers’ profit
Rp
31,000
25,000
Manufacturers’ energy consumption Manufacturers’ capacity utility
%
100,00
100,00
Environmental sustainability Forest area regulation
122
Target
100,000
Table 5. Goal and achieved value that satisfy all goals (Monetary Unit in Billion Rupiahs)
Economical sustainability Supplier’s profit
G2
Value (time period, 12 months)
Sub goal
m3
Social sustainability
G3
Table 4. Initial goals and achieved value (Monetary Unit in Billion Rupiahs) Goals
Supplier’s scrap generation
G3 ha
659,960
257,926
Social sustainability
Muh. Hisjam, Adi Djoko Guritno and Shalihuddin Djalal Tandjung e A SUSTAINABLE SUPPLY CHAIN MODEL OF RELATIONSHIP BETWEEN WOOD SUPPLIER AND FURNITURE...
Supplier’s demand fulfillment
%
100
100
Manufacturers’ demand fulfillment
%
100
100
Labor’s healthy
Rp
G2 30
30
In Table 5, decision makers revise all their target values in the economic sustainability goal by lowering them. For instance, PP lowers its profit 10,000 billion rupiahs to 5,000 billion rupiahs and manufacturers decrease their profit target value from 31,000 billion rupiahs to 25,000 billion rupiahs respectively. PP also increases its target cost of capacity increase from 100 billion rupiahs to 500 billion rupiahs since the previous target level cannot satisfy or conflict with other goals, such as goal of demand fulfillment and profit. Hence by applying adjustments on their conflicted goals, i.e. goals or objectives which give big unwanted deviational values that need to be minimized. In order to illustrate the conflicted objectives in s-SCM, a sensitivity analysis for predetermined various values of allocated planting budget as in Table 6 can show the difference. Planting cost of supplier is a parameter so the value is predetermined, and then Pareto-efficient solution corresponding to predetermined planting cost is presented in Table 6. Table 6. Sensitivity analysis for various allocated planting budget (Monetary Unit in Billion Rupiahs) Goals G G1
Sub goal
Value (time period, 12 months) Unit
Planting budget 500
750
1000
1500
Economical sustainability Supplier’s profit
Rp
6,000
5,000
4,000
3,000
Supplier’s operation cost
Rp
5,413
6,179
6,910
7,430
Supplier’s planting cost
Rp
500
750
1,000
1,500
G3
Capacity increase cost
Rp
332
315
335
315
Manufacturers’ profit
Rp
25,000
25,000
25,000
25,000
Forest area regulation
ha
234,960
268,200
300,000
322,500
Supplier’s scrap generation
m3
90,000
90,000
90,000
90,000
Manufacturers’ scrap generation
m3
600,000
600,000
600,000
600,000
Manufacturers’ energy consumption
Rp/ m3
19,870
19,870
19,870
19,870
Manufacturers’ capacity utility
%
100
100
100
100
Supplier’s demand fulfillment
%
100
100
100
100
Manufacturers’ demand fulfillment
%
100
100
100
100
Labor’s healthy
Rp
30
30
30
30
Environmental sustainability
Social sustainability
Table 6 shows that there is trade-off between economical and environmental objectives. For instance, if PP as decision maker in teak wood production decides to give high priority in economic aspect, i.e. to get as maximum as profit it can achieved, then the Pareto-efficient solution for environmental objectives which is forest area that must comply with government regulation, lies far beyond the ideal area, that is 234,960 ha compare with 659,960 ha. Conversely, as PP allocates more budgets for planting cost to close the gap between government’s regulation forest area and teakwood forest area, then surely it will bring consequence to the profit decrease. For instance, as the teak area grows larger, the profit gets lower as in Table 6. Hence in the s-SCM there are many objectives that must be reached by decision makers, however these objectives often conflicted among each other. Thus it is up to decision makers to decide which objectives 123
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 115-125
that must be given higher priority and which objectives must be set as lower priority so that all objectives are satisfied within resource constraints or limitations.
CONCLUSION
In this paper, a sustainable supply chain model of the supplier and manufacturer in the furniture industry is proposed. The model can determine how much supply teak wood must be provided by PP to satisfy furniture industry demand, how much production capacity that must be increased and how large area that must be planted in order to fulfill environmental and social sustainability without sacrificing economical aspect much. These multi-objectives are conflicting and decision makers must make careful judgment to decide which objective is given the main priority. In pareto-efficient solution, all goals considered are satisfied. Using sensitivity analysis for one of aspect in various level, it shows the influence to the achievement of some goals. Trial for another aspect can be conduct to know the influence to some goals considered. This model can be used to know the effect of various change of one or more aspects to various conditions. However, further research is needed to cover not only the relationship between supplier and manufacturer but also between manufacturer and buyer/customer. In this paper, all goals are given the same weight, so it can be extended is with giving various weight to the goals considered. Another extention is with adding sub goals considered. Thanks to the Perum Perhutani I Jawa Tengah and ASMINDO Solo Raya which have been partners in the research project.
BIBLIOGRAPHY
Amacher, G.S., Ollikainen, M. and Koskella, E., 2009, Economics of Forest Resources, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts.
124
Amaeshi, K.M., Osuji, O.K. dan Nnodim, P., 2008, “Corporate Social Responsibility in Supply Chains of Global Brands: A Boundaryless Responsibility? Clarifications, Exceptions and Implications”. Journal of Business Ethics (81): 223–234. Bettinger, P., Boston, K., Siry, J.P. and Grebner, D.L., 2009, Forest Management and Planning, Academic Press, New York. Charnes, A. and Cooper, W.W., 1961, Management Models and Industrial Applications of Linear Programming, John Wiley & Sons, New York. Center for Research and Development of Climate Change Policy (CRDCCP)., 2010, “Imbalances in the Value Added Distribution of Furniture Value Chain (Ketidakseimbangan Distribusi Nilai Tambah dalam Rantai Nilai [Value Chain] Mebel), Policy Brief Vol. 4 (7): 1-4, Agency for Forestry Research and Development, Ministry of Forestry, Republic of Indonesia, in Bahasa Indonesia. Central
Java Provincial Forestry Office (CJPFO), 2011, Official Website, available at http://dinhut. jatengprov.go.id/, accessed on May 24, 2011.
Central Java Provincial Industry and Trade Office (CJPITO), 2005, Annual Report of the Implementation Evaluation Main Tasks and Functions”, Semarang, in Bahasa Indonesia. D’Souza, C., 2004, Ecolabel Programmes: a stakeholder (consumer) perspective, Corporate Communication 9 (3): 179 – 188. do Paço, A.M.F., Raposo, M.L.B. and Filbo, W.L., 2009, “Identifying the green consumer: A segmentation study”, Journal of Targeting, Measurement and Analysis for Marketing, 17, 17 – 25.
Muh. Hisjam, Adi Djoko Guritno and Shalihuddin Djalal Tandjung e A SUSTAINABLE SUPPLY CHAIN MODEL OF RELATIONSHIP BETWEEN WOOD SUPPLIER AND FURNITURE...
Effendi, R., and Dwiprabowo H., 2007, Study on development of wood furniture industry using industry cluster approach in Central Java, (Kajian Pengembangan Industri Furniture Kayu melalui Pendekatan Kluster Industri di Jawa Tengah), Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 4(3). pp. 233 – 255, in Bahasa Indonesia. Ewasechko, A.C., 2005, Upgrading the Central Java Wood Furniture Industry: A Value-Chain Approach, International Labor Organization, ISBN 92-2017038-8. Hisjam, M., Guritno, A.D., Simon, H., and Tandjung, S.D., 2011, A Framework for The Development of Sustainable Supply Chain Management for Business Sustainability of ExportOriented Furniture Industry in Indonesia (A Case Study of Teak Wooden Furniture in Central Java Province), Proceedings of The 1st International Conference on Industrial Engineering and Service Science, pp. 285-290, 20 – 21 September, Hotel Lor In, Solo, ISBN: 979-545-053-0. Jones, D. and Tamiz, M., 2010, Practical Goal Programming, Springer, New York. Loebis, L., and Schmitz, H, 2005, Java furniture makers: Globalisation winners or losers?, Development in Practice 15(3&4): 514 – 521. Pandey, D. and Brown, C., 2000, Teak: a global overview, Unasylva 201(51): 3–13. Perum Perhutani Unit II (PPU2), 2011, Perhutani must change, the standing stock of teak continues to decline (Perhutani harus berubah, standing stock jati terus menurun). http:// www.unit2.perumperhutani.com/ home/index.php?option=com_
content&task=view&id=69&Itemid, Accesed on April 30, 2011 in Bahasa Indonesia. Posthuma, A.C., 2003, Taking A Seat In The Global Marketplace: Opportunities For “High Road” Upgrading In The Indonesian Wood Furniture Sector?, The Conference on Clusters, Industrial Districts and Firms: the Challenge of Globalization, Modena, Italy, September 12-13. Regional Economic Development Indonesia (REDI), 2007, Study on Obstacles of Policy for Furniture Industry – Study in East Java and Central Java, Available at pdf.usaid.gov/ pdf_docs/PNADN181.pdf, USAID: The United States Agency for International Development, accessed on September 5, 2011. Simon, H., 2006, Teak Forest and Prosperity: Problems and Strategy, 1st Edition, Pustaka Pelajar Press, Yogyakarta, Indonesia, in Bahasa Indonesia. Simon, H., 2008, Forest Management with People: Theory and Implementation in Teak Forest in Java (Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa), Second Edition, First Printing, Pustaka Pelajar Publisher, Yogyakarta, Indonesia, in Bahasa Indonesia. Simon, H., 2010, Socio-technical aspects in Teak Forest Management in Java (Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa), Revised Edition, Second Printing, Pustaka Pelajar Publishing, Yogyakarta, Indonesia, in Bahasa Indonesia.. Vanclay, J. K., 1994, Modelling Forest Growth and Yield: Applications to Mixed Forest, CABI International, Wallingfor.
125
VOLUME 1
No. 2, 22 Juni 2012
Halaman 71-143
PEMBUATAN SCAFFOLD BOVINE YDROXYAPATITE DARI TULANG SAPI MERAPI BERLAPIS PVA UNTUK APLIKASI IMPLAN Alva Edy Tontowi
Program Studi Rekayasa Biomedik Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, Indonesia Email:
[email protected]
Punto Dewo
RS.Dr. Sardjito Yogyakarta, Indonesia
Endang Tri Wahyuni Program Studi Fisika FMIPA UGM Yogyakarta, Indonesia Joko Triyono
Program Studi Rekayasa Biomedik Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, Indonesia
ABSTRAK
Sekitar 40 % kerusakan jaringan keras tubuh karena tulang rapuh, kanker tulang atau kecelakaan banyak terjadi di Indonesia, sisanya karena cacat bawaan sejak lahir. Upaya yang telah dilakukan untuk mengembalikan fungsinya adalah restorasi tulang menggunakan metode transplantasi atau implantasi. Penggunaan transplanstasi terbatas donornya, sedangkan implan menggunakan material sintetik seperti paduan metal atau biokeramik mahal untuk pasien Indonesia karena produk impor, meskipun bahan baku scaffold biokeramik, seperti tulang sapi lokal/bovine (sekitar Gunung Merapi) berlimpah. Sediaan yang ada di pasaran adalah masih berupa bone graft yang dibuat dari tulang sapi tetapi belum berupa biokeramik. Sehingga penggunaan bone graft jenis ini masih diragukan biokompatibiltasnya. Untuk itu proses lanjutan masih diperlukan untuk menjadikan biokeramik dan perlu diberi penguat agar tidak rapuh saat dipasang sehingga sesuai dengan kebutuhan dalam praktek. Dalam riset ini, bone graft dari tulang sapi lokal tersebut diproses lebih lanjut menjadi scaffold hydroxyapatite dan diperkuat dengan PVA yang biokompatibel dengan tubuh manusia. Proses pembuatan bovine hydroxyapatite dilakukan dengan cara memotong tulang cancelleous sapi lokal dalam ukuran 5mmx5mmx5mm kemudian dibersihkan dari bahan organik dan dikalsinasi pada temperatur 900 oC selama 2 jam. Selanjutnya scaffold ini dilapisi dengan PVA agar kuat mekaniknya sesuai kebutuhan dalam praktek dengan cara direndam dalam PVA cair selama beberapa menit. Scaffold yang sudah terlapisi PVA selanjutnya diuji XRD dan struktur mikronya menggunakan SEM. Kata Kunci: tulang sapi (bovine), hydroxyapatite, kalsinasi, PVA, scaffold, implan tulang.
126
Alva Edy Tontowi, Punto Dewo, Endang Tri Wahyuni dan Joko Triyono e PEMBUATAN SCAFFOLD BOVINE YDROXYAPATITE DARI TULANG SAPI MERAPI BERLAPIS...
PENGANTAR
Perkembangan ilmu dan teknologi biokeramik dewasa ini telah memberikan kontribusi terhadap upaya-upaya penambahan dan penggantian jaringan keras. Keramik saat ini memegang peranan penting dalam bidang rekayasa jaringan dan kedokteran regeneratif. Keramik dapat merepresentasikan dan menjadi scaffold jaringan keras seperti gigi dan tulang. Beberapa material telah dikaji untuk dikembangkan menjadi bahan bioaktif yang akan memacu terjadinya biomineralisasi pada tulang adalah material berbasis bioceramic seperti Calcium Phosphate, yaitu Tricalcium phosphate (TCP). Material ini pertama kali digunakan pada tahun 1920, yang kemudian hasil sintesisnya yang berupa Hydroxyapatite (HA) mulai dipergunakan dalam beberapa aplikasi implant pada tahun 1970-an. Pada tahun 1969, konsep material bioaktif ditemukan pertama kali oleh Hench [2,3]. Yang disebut sebagai material bioaktif adalah material yang mampu memacu terbentuknya lingkungan yang sesuai untuk proses osteogenesis ataupun proses pertumbuhan tulang, yang ditandai dengan adanya lapisan mineralisasi yang terbentuk sebagai penghubung antara bahan dan jaringan. Sejak saat itu, bidang kajian keramik meluas dan berkembang pada kajian kaca, kaca keramik, dan keramik [2]. Riset-riset lain yang berkaitan dengan material HA dan kompositnya juga telah banyak dilaporkan. Untuk HA antara lain dilaporkan oleh Suchaneck dan Yoshimura [18], Furuta dkk [19], Katsuki dkk [20], Kweh dkk [21], Sopyan dkk [22], Tontowi dkk [23], Pujianto dkk [24], Nasution [25], LeGeros dan LeGeros [26], Albuquerque [27], dan Lee dan Oh [28], Ivankovic dkk [29] dan Herliansyah dkk [30]. Varian riset HA antara lain riset tentang efek organism pada pembentukan tulang dalam HA porous dilaporkan oleh Deng [31], sedangkan tentang properti mekanik HA porous oleh Jones dan Hench [32], dan tentang pelapisan tipis HA oleh Turkington [33], serta tentang pelapisan menggunakan plasma HA oleh Oktar dkk [34]. Sementara
itu, riset-riset yang berkaitan dengan masalah proses pembentukan menggunakan material dasar serbuk HA antara lain proses sintering HA dilaporkan Sedianto dkk [35], dan efeknya pada opoptosis fibroblast manusia oleh Siswomihardjo dkk [36]. Dalam upaya memperbaiki properti mekanik, riset juga dilakukan untuk membuat komposit dengan material dasar HA. Misalnya: Choi dkk [37] melaporkan komposit HA+Ni3Al/Al2O3, Kim dkk [38,39] melaporkan tentang komposit HA+ZrO2+CaF2, Kong dkk [40] tentang komposit HA untuk implan dental, Novianto dkk [41] tentang komposit HA+Gelatin dan Rahman dkk [42] tentang komposit HA+Glass ionomer. Sementara itu, sejumlah produk berbasis calcium phosphate telah dipatenkan oleh Etex Corporation dan telah tersedia dipasaran. Produk biomaterial tersebut antara lain PerioGlass®, BioGran®, 45S5®, AbminDent1®, S53P4® dan a-BSM. Penggunaan komposit tersebut menjadikan produk menjadi lebih mahal karena jumlah komponen komposit bertambah dan biaya produksi tinggi. HA adalah keramik berbasis kalsium fosfat merupakan paduan antara senyawa garam trikalsium fosfat dan kalsium hidroksida [43] yang idealnya memiliki persen berat 39,9% Ca, 18,5% P dan 3,38% OH, rasio ideal Ca/P sebesar 1,67 [44]. Sebagai komponen utama tulang manusia merupakan kalsium fosfat yang paling stabil di bawah kondisi fisiologi normal dan dapat diterima oleh tubuh manusia atau biokompatibel dan osteoindusive. Dari hasil percobaan in-vivo, HA juga menunjukkan afinitas terhadap jaringan keras tulang, dan kemampuannya membentuk ikatan kimia dengan jaringan keras tersebut merupakan kelebihan HA untuk aplikasi medik dibanding dengan material lain seperti logam implan [45]. Di bidang teknologi pembentukan menggunakan material keras berbentuk powder, sampai saat ini teknologi sintering merupakan teknologi yang telah banyak
127
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 126-134
digunakan karena tidak memungkinkan pembentukan dikerjakan dengan cara pemesinan karena keras [46]. Untuk membentuk serbuk HA menjadi bentuk tertentu menggunakan sintering memerlukan temperatur cukup tinggi yaitu sekitar 1400 o C, sehingga biaya operasi penggunaan teknologi ini mahal. Di Indonesia, fasilitas furnace yang dapat menghasilkan temperatur setinggi ini jarang ditemui. Ada 2 teknologi sintering yaitu (1) sintering langsung dan (2) sintering tak langsung. Sintering langsung adalah menyatukan partikel-partikel material dengan memanaskannya hingga beberapa derajat di bawah temperatur lelehnya. Sedangkan sintering tak langsung dilkakukan dengan cara memanaskan partikel binder hingga meleleh, sementara partikel induknya tetap [47]. Teknologi pembentukan lain selain sintering adalah light curing dengan sumber cahaya Ultraviolet (UV). UV ini merupakan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi berkisar antara 1015-1016 Hz dan panjang gelombang antara 30-300 nm.
Berdasarkan hasil kajian pustaka yang berkaitan dengan potensi Hydroxyapatite baik hasil sintesa gypsum Kulon Progo, calcite Gunung Kidul atau Omya, dan tulang ikan, serta paten, biaya prosesnya menjadi scaffold masih relatif mahal karena harus menggunakan bahan pencampur bertaraf pro analisis (PA) yang mahal harganya. Tulang sapi murah harganya dan sediaannya masih cukup banyak sehingga potensinya cukup besar. Berdasarkan hasil kajian Herliansyah [30] bahwa scaffold dimungkinkan dibuat dari tulang sapi. Namun, meskipun hydroxyapatite yang dihasilkan dari riset sebelumnya yaitu dengan kalsinasi 900 o C sudah bisa dilakukan, scaffold berpori tersebut kuat kompresinya masih relatif rendah sehingga belum sesuai dengan kebutuhan dalam praktek. Dalam riset ini, scaffold dari tulang sapi tersebut
128
diberi penguat polyvynil alcohol (PVA) yang bersifat biokompatibel sehingga sesuai dengan kebutuhan kuat kompresi dan kompatibilitas dalam praktek.
Material yang digunakan dalam riset ini adalah tulang cancelleous sapi lokal (Indonesia), polyvynil alcohol (PVA) komersial buatan Sigma Aldrich, dan bone graft komersial sebagai pembanding. Dalam riset ini, spesimen dibuat 2 macam yaitu spesimen yang berupa Bovine Scaffold tanpa pelapis PVA dengan kode BS-x/PVA-0 dan berpelapis PVA atau BS-x/PVA-y. Langkah-langkah penyiapan spesimen dilakukan dengan cara sebagai berikut: tulang cancelleous sapi segar dipotong-potong ukuran 5mmx5mmx5mm yang selanjutnya disebut “Bovine Bone/BB”, kemudian BB tersebut direndam dalam air akuades dan direbus hingga mendidih dalam panci presto selama beberapa jam hingga lemak keluar. Selanjutnya, BB tersebut dikalsinasi dengan variasi temperatur 300, 600, 900 dan 1200 oC masing-masing variasi dilakukan selama 2 jam yang selanjutnya diberi kode BS-300/PVA-0, BS-600/PVA-0, BS-900/PVA-0 dan BS-1200/PVA-0. Sedangkan untuk spesimen macam ke-2 yaitu yang berpelapis PVA dilakukan dengan cara sebgai berikut: pilih spesimen tak berpelapis PVA yang sudah berupa hydroxyapatite, yang dalam riset ini diambil BS-900/PVA-0, untuk dilapisi PVA dengan variasi konsentrasi PVA dalam air destilasi 1, 3 dan 5% w/v. Larutan PVA dengan variasi konsentrasi w/v akuades 1%; 3% dan 5% disiapkan dengan cara memanaskan akuades pada temperatur 80 oC dan masukkan serbuk PVA sedikit demi sedikit hingga serbuk tersebut larut semua dan larutan nampak bening. Selanjutnya, pelapisan PVA dilakukan dengan car mencelupkan BS-900/PVA-0 kedalam larutan PVA selama beberapa menit hingga larutan PVA merasuk kedalam pori karena efek kapiler dan keringkan pada temperatur kamar. Hasil pelapisan BS900/PVA-0 dengan PVA ini masing-masing kemudian diberi kode BS-900/PVA-1, BS-
Alva Edy Tontowi, Punto Dewo, Endang Tri Wahyuni dan Joko Triyono e PEMBUATAN SCAFFOLD BOVINE YDROXYAPATITE DARI TULANG SAPI MERAPI BERLAPIS...
900/PVA-3 dan BS-900/PVA-5. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 1a dan 1b. Tulang sapi lokal Pelapisan PVA dengan Dip Coating Bonegraft (komersial)
Dipotong ukuran 3 5x5x5x mm Pembersihan dari bahanorganik & penggodogan
Tulang sapi
Kalsinasi 900C, 2J
Tulang setelah dilapisi PVA
Pembuatan scffold HA Tanpa Pelapisan PVA
Pelapisan PVA
Uji: -SEM, XDR, dan Kompresi
Hasil (1): Scaffold bovine HA tanpa lapis dan berpelapis PVA serta uji SEM dan XRD
Gambar 1a. Diagram alir penelitian
XRD Gambar 1b. Proses penyiapan spesimen dan uji kompresi, SEM dan XRD Sedangkan detail proses penyiapan spesimen untuk diuji kompresi dan SEM baik yang tanpa pelapis PVA dan berpelapis PVA disajikan pada Gambar 1b.
PEMBAHASAN Hasil Kalsinasi Bovine Bone pada berbagai Temperatur
Hasil proses kalsinasi bovine bone pada berbagai temperature ditunjukkan pada Table 1.
129
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 126-134
Tabel 1.
Bovine Bone pada berbagai temperatur pemanasan Temperatur (oC)
Bovine Bone pada berbagai temperatur
Warna
Tanpa pemanasan (Temperatur ruang)
Putih agak kekuningkuningan (warna kuning menunjukkan adanya kandungan material organik)
300
Hitam
600
Abu-abu
2.
BB tersebut digodog dengan air destilasi hingga mendidih selama 2 jam hingga berwarna putih (Kode: BS). 3. BS dikalsinasi pda temperatur 300, 600, 900 dan 1200 oC masing-masing selama 2 jam dengan atmosfir udara (Namanya: Scaffold bHA) (2) SOP scaffold bHA berpelapis PVA: 1. Ikuti langkah-langkah 1-4 pada SOP scaffold bHA tanpa pelapis PVA 2. Celupkan Scaffold bHA kedalam larutan PVA 1, 3 atau 5% w/v selama beberapa detik hingga larutan tersebut membasahi scaffold dan merasuk masuk kedalam pori-pori 3. Keringkan menggunakan microwave selama 5 menit pada daya 100 watt
Hasil Uji XRD
Pengaruh temperatur pada kalsinasi bahan/tulang terhadap produk yang dihasilkan, disajikan dalam Gambar 2.
900
Putih
1200
Putih
SOP Proses Pembuatan Scaffold
Proses pembuatan scaffold tanpa pelapis dan berpelapis PVA disajikan dalam bentuk SOP (Standard Operating Procedures). (1) SOP scaffold bHA tanpa pelapis PVA: 1. Tulang sapi cancelleus dipotong dengan ukuran 10 mmx10 mmx 10 mm (Kode: BB)
130
Gambar 2. Pola difraksi sinar-X dari produk kalsinasi pada berbagai temperatur Gambar 2 menunjukkan secara umum bahwa kenaikkan temperatur memberikan difraktogram dengan pola yang serupa namun puncak-puncaknya semakin tajam. Lebih detil dapat dilihat bahwa kalsinasi pada temperatur yang relatif rendah 300 dan
Alva Edy Tontowi, Punto Dewo, Endang Tri Wahyuni dan Joko Triyono e PEMBUATAN SCAFFOLD BOVINE YDROXYAPATITE DARI TULANG SAPI MERAPI BERLAPIS...
600oC memberikan difraktogram dengan puncak-puncak yang lebar dan intensitas yang rendah. Pola seperti ini menggambarkan bahwa sampel tersebut berfase semi kristal atau mempunya kristalinitas yang masih rendah kalsinasi pada temperatur 600 oC memberikan kristalinitas yang sedikit lebih tinggi daripada temperatur 300 oC.
Hasil Uji SEM
Hasil uji SEM cancelleus bovine bone sebelum dikalsinasi pada berbagai temperatur dengan pelapis dan tanpa pelapis PVA disajikan dalam Gambar 3 hingga 7 dengan pembesaran 60x dan 2500x.
Sedangkan Gambar 3b menunjukkan detail permukaan dinding struktur tulang porous dengan kandungan material organiknya. Gambar 4a menunjukkan porous interkoneksi cancelleus bovine bone setelah dikalsinasi pada temperatur 900 oC selama 2 jam tanpa pelapis PVA. Ukuran porous ini relative sama dengan kondisi sebelum dikalsinasi. Proses kalsinasi ini menghilangkan kandungan material organik dan menyisakan anorganik yang disebut hydroxyapatite seperti tampak pada Gambar 4b. Scaffold ini yang selanjutnya disebut BS-900/PVA-0. Setelah dilapisi dengan PVA 1, 3 dan 5%w/v, yang selanjutnya disebut BS-900/PVA-1, BS900/PVA-3 dan BS-900/PVA-5, hasil uji SEM disajikan dalam Gambar 5, 6 dan 7.
a) Pembesaran 60 x a) Pembesaran 60 x
b) Pembesaran 2500 x Gambar 3.
Struktur mikro Bovine bone (tulang sapi) setelah digodog dan direndam dalam H2O2 selama 20 jam: a) pembesaran 60x dan b) pembesaran 2500x
Gambar 3a menunjukkan porous interkoneksi cancelleus bovine bone (tulang sapi cancelleus). Diameter porous ± 200 – 300 µm.
b) Pembesaran 2500 x Gambar 4.
Struktur mikro cancelleus bovine setelah dikalsinasi pada temperatur 900 oC selama 2 jam tanpa pelapis PVA: a) pembesaran 60x dan b) pembesaran 2500x
131
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 126-134
a) Pembesaran 60 x
b) Pembesaran 2500 x Gambar 6.
Struktur mikro cancelleus bovine setelah dikalsinasi pada temperatur 900 oC dengan pelapis PVA 3%w/v: a) pembesaran 60x dan b) pembesaran 2500x
b) Pembesaran 2500 x Gambar 5.
Struktur mikro cancelleus bovine setelah dikalsinasi pada temperatur 900 oC dengan pelapis PVA 1%w/v: a) pembesaran 60x dan b) pembesaran 2500x
a) Pembesaran 60 x
Gambar 6a distribusi lapisan coating (3 %) lebih tebal dibandingkan Gambar 5 (1 %) yang ditandai dengan warna dinding yang lebih putih. Struktur specimen getas dan muncul gelembung PVA yang nampak pada Gambar 8b.
b) Pembesaran 2500 x Gambar 7.
Struktur mikro cancelleus bovine setelah dikalsinasi pada temperatur 900 oC dengan pelapis PVA 5%w/v: a) pembesaran 60x dan b) pembesaran 2500x
a) Pembesaran 60 x
132
Alva Edy Tontowi, Punto Dewo, Endang Tri Wahyuni dan Joko Triyono e PEMBUATAN SCAFFOLD BOVINE YDROXYAPATITE DARI TULANG SAPI MERAPI BERLAPIS...
Uji Kuat Tekan sebelum Pelapisan
Pada Gambar 8 diperlihatkan kuat tekan dari 5 jenis specimen yang diuji. Kuat tekan Bovine Bone (BB) paling tinggi yakni 4,97 MPa. Kuat tekan dari specimen BB 300, BB 600 dan BB 900 tidak terpaut jauh berada dalam range 0,2246 MPa – 0,3853 MPa. Hasil uji kuat tekan bHA 1200 cukup tinggi (1,7 MPa), hal ini disebabkan karena ukuran porousnya lebih rapat daripada BB-300/PVA-0, BB600/PVA-0 dan BB-900/PVA-0.
Gambar 9. Kuat kompresi setelah pelapisan dengan PVA
SIMPULAN
Gambar 8 : Hasil uji kuat tekan sebelum pelapisan
Uji Kuat Tekan setelah Pelapisan
Pada Gambar 9 diperlihatkan grafik kuat tekan dari 3 spesimen bHA 900 0C yang sudah dilapisi dengan PVA dengan 3 variasi yakni 1 %, 3 % dan 5 % PVA. Hasil uji kuat tekan dari bHA yang dilapisi dengan PVA 1 %, 3 % dan 5 % PVA berturut-turut adalah 1 MPa, 3,2 MPa, dan 4 MPa. Nilai kuat tekan dari bHA dengan pelapisan 1 % lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pelapisan. Prosentase pelapisan PVA terhadap bHA akan semakin meningkatkan kuat tekan dari specimen. Kenaikan nilai kuat tekan ini disebabkan karena PVA yang menempel pada bidang kristal apatit akan menyebabkan lapisan kristal makin tebal sehingga menyebabkan kekuatan tekannya meningkat.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Standard Operating Procedure (SOP) untuk pembuatan scaffold bovine hydroxyapatite (Scaffold bHA) baik tanpa pelapis maupun berpelapis PVA selesai dibuat dan dapat dioperasikan. b. Scaffold bHA yang dihasilkan memiliki ukuran porositas antara 200-300 µm dengan porus satu dan lainnya terkoneksi seperti yang tampak dari hasil SEM. c. Berdasarkan hasil uji XRD, bahwa pelapisan optimum diperoleh pada Scaffold bHA sebesar 3%w/v. d. Berdasarkan hasil uji tekan pada kelima sample bovine scaffold tanpa pelapis PVA menunjukkan bahwa bovine bone sebelum dikalsinasi menunjukkan kuat kompresi tertinggi dan lebih tinggi dibandingkan bovine bone yang telah dikalsinasi. Temperatur kalsinasi semakin tinggi memberikan kuat tekan semakin rendah. Turunnya kuat kompresi ini karena berkurangnya pengikat organik. Sehingga bovine bone yang sudah menjadi bHA menjadi lebih getas. Nilai kuat tekan bovine scaffold dengan pelapis PVA lebih tinggi daripada tanpa pelapis. Peningkatan prosentase pelapis
133
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 126-134
PVA akan meningkatkan kuat tekan bHA. Peningkatan prosentase pelapis 1 % PVA terhadap bHA non pelapisan meningkat 5x. Peningkatan prosentase pelapis 3 % PVA terhadap bHA non pelapisan meningkat 16x. Peningkatan prosentase pelapis 5 % PVA terhadap bHA non pelapisan meningkat 20x. Hal ini disebabkan karena PVA yang menempel pada bidang kristal apatit akan menyebabkan lapisan kristal makin tebal sehingga menyebabkan kekuatan tekannya meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Hutchens, S.A. Woodward, J., Evans, B.R., and O’Neil, H.M., 2004, Composite Material, United States Patent-20040096509, May 20. Hench, L.L., Splinter, R.J., Allen, W.C., Greenlee, T., 1972, Bonding Mechanism at the Interface of Ceramic Prosthetic Material, Journal of Biomed Mater Res, 2, pp.117-41.
Etex Corp., 2004, Patent No. 5,676,976, Synthesis of Reactive Calcium Phosphate. Etex Corp., 2004, Patent No. 5,683,461, Synthesis of Reactive Calcium Phosphates -Divisional 2.
Etex Corp., 2004, Patent No. 5,763,092, Hydroxyapatite Coatings and a Method of Their Manufacture. Etex Corp., 2004, Patent No. 5,783,217, Low Temperature Calcium Phosphate Apatite and Method of Manufacture. Etex Corp., 2004, Patent No. 5,958,504, Hydroxyapatite Coatings and a Method of Their Manufacture – divisional. Etex Corp., 2004, Patent No. 6,117,456, Methods and Products Related to the Physical Conversion of Reactive Amorphous Calcium Phosphate Etex Corp., 2004, Patent No. 6,132,463, Cell Seeding of Ceramic Compositions
Hench, L.L., 1991, Bioceramics from Concept to Clinic, Journal of American Ceramics Soc, 74(7), pp.1487-510.
Etex Corp., 2004, Patent No. 6,139,578, Preparation of Cell Seeded Ceramic Compositions
Etex Corp., 2004, Patent No. 5,258,044, Electrophoretic Deposition of Calcium Phosphate Material on Implants.
Etex Corp., 2004, Patent No. 6,277,151 B1, Cartilage Growth from Cell Seeded Ceramic Compositions
Etex Corp., 2004, Patent No. 5,543,019, Method of Coating Medical Devices and Device Coated Thereby.
Etex Corp., 2004, Patent No. 6,331,312 B1, Resorbable Ceramic Compositions
Etex Corp., 2004, Patent No. 5,650,176, Synthesis of Reactive Calcium Phosphates -Divisional 1.
134
Etex Corp., 2004, Patent No. 6,599,516, Implant with Access Channels
VOLUME 1
No. 2, 22 Juni 2012
Halaman 71-143
RESENSI BERMULA DARI MIMPI MEWUJUDKAN INOVASI Muhammad Kusumawan Herliansyah
Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada dan Peneliti Produk Bioceramics Untuk Aplikasi Biomedis Judul Buku Penulis Penerbit Edisi Tahun Tebal
: Product Design and Development : Karl T. Ulrich dan Steven D. Eppinger : McGraw-Hill Companies :5 : 2012 : 415 halaman
Kemakmuran suatu bangsa tergantung pada kemampuannya memanfaatkan sumbersumber alam dan mengembangkan serta memproduksi suatu produk. Bahkan kemampuan mengembangkan serta memproduksi suatu produk merupakan komponen terpenting penentu tingkat kemakmuran ekonomi suatu bangsa. Bukti-bukti telah menunjukkan banyak bangsa-bangsa di dunia yang miskin sumber alam, tetapi memiliki tingkat kemakmuran yang tinggi karena keunggulannya dalam kemampuan mengembangkan serta memproduksi produk-produk baru dan unggul. Dari sejarah juga terlihat bahwa manusia senantiasa berusaha untuk meningkatkan nilai-nilai kehidupan dan taraf hidupnya. Hal itu terjadi karena manusia selalu berusaha untuk mencapai kenyamanan dan kemudahan dalam hidupnya. Mimpi-mimpi dan harapanharapan untuk meraih kenyamanan dalam hidup itulah yang kemudian mendorong manusia untuk menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan inovasi-inovasi sepanjang hidupnya yang pada akhirnya akan melahirkan berbagai produk yang dapat menopang kemudahan hidup manusia. Pada dasarnya proses pengembangan produk adalah urutan langkah-langkah atau aktivitas yang digunakan oleh seseorang atau suatu perusahaan untuk menyusun, merancang dan mengkomersilkan sebuah produk. Proses ini berlangsung terus-menerus sebagai sebuah siklus untuk mendapatkan produk yang paling unggul, produk yang paling murah, produk yang paling mudah dibuat, produk yang paling cepat dihasilkan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain diperlukan suatu langkah-langkah sistematis untuk menghasilkan produk yang sukses baik dari sudut pandang customer maupun dari sudut pandang investor atau industri.
135
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 135-139
Karakteristik Pengembangan Produk yang Sukses
Dari sudut pandang investor yang selalu mengupayakan keuntungan bagi perusahaannya, hasil proses pengembangan produk yang sukses adalah produk yang dapat dibuat dan menguntungkan ketika dijual, walaupun kadangkala keuntungan adalah sesuatu yang sulit diukur secara langsung dan dalam waktu yang cepat. Oleh karena itu, seringkali digunakan lima dimensi yang lebih spesifik (yang pada akhirnya juga berhubungan dengan keuntungan) untuk mengukur performance usaha pengembangan produk yang telah dilakukan. Kelima dimensi tersebut sebagai berikut: a. Product Quality: Seberapa bagus produk yang dihasilkan dari usaha pengembangan produk yang telah dilakukan? Apakah produk yang dihasilkan benar-benar dapat memenuhi kebutuhan customer? Apakah produk yang dihasilkan robust dan reliable? Kualitas dari produk yang dikembangkan benar-benar menggambarkan market share dan level harga yang akan dibayar oleh customer sebagai penghargaan terhadap nilai-nilai yang ada pada produk yang telah dikembangkan tersebut. b. Product Cost: Apa sajakah yang termasuk dalam biaya produksi sebuah produk? Biaya ini termasuk biaya-biaya yang dikeluarkan untuk peralatan dan tooling sebagaimana halnya kenaikan biaya produksi untuk setiap unit produk yang dihasilkan. Biaya produk menyatakan seberapa banyak keuntungan perusahaan akan bertambah untuk setiap bagian volume penjualan dan setiap bagian harga penjualan. c. Development Time: Seberapa cepat tim menyelesaikan proses pengembangan produk? Waktu pengembangan menunjukkan seberapa resposif perusahaan dapat dipaksa untuk lebih kompetitif dan untuk melakukan
136
d.
e.
pengembangan teknologi sebagaimana seberapa cepat perusahaan menerima economic returns dari pengorbanan yang telah dilakukan oleh tim pengembangan produk. Development Cost: Seberapa banyak modal yang telah dikorbankan perusahaan untuk proses pengembangan produk? Biaya pengembangan biasanya merupakan bagian penting dari modal yang dikeluarkan untuk menghasilkan keuntungan. Development Capability: Apakah tim dan perusahaan lebih baik dapat mengembangkan produk pada masa yang akan datang sebagai hasil dari pengalaman mereka dengan proyek pengembangan produk? Pengembangan kemampuan merupakan aset perusahaan yang dapat digunakan untuk mengembangkan produk secara lebih efektif dan ekonomis dimasa yang akan datang
Tantangan-Tantangan dalam Pengembangan Produk
Mengembangkan produk yang hebat adalah sebuah pekerjaan yang berat, Hanya sejumlah perusahaan saja yang mampu melakukannya. Beberapa karakteristik yang menjadikan proses pengembangan produk menjadi demikian menantang diantaranya sebagai berikut: a. Trade-offs: Dalam setiap produk yang dikembangkan akan selalu muncul trade-off, sebagai contoh sebuah produk pesawat terbang dapat dibuat lebih ringan, namun hal itu akan berdampak pada biaya produksinya. Satu hal yang dipandang sebagai aspek yang paling sulit dalam pengembangan produk adalah pengenalan, pemahaman dan pengelolaan berbagai trade-off yang muncul sepanjang pengembangan produk sehingga dapat memaksimalkan sukses pada produk yang tengah dikembangkan. b. Dinamics: Teknologi semakin meningkat, pilihan-pilihan customer semakin
Muhammad Kusumawan Herliansyah e RESENSI
c.
d.
e.
berkembang, para pesaing berlomba mengenalkan produk-produk barunya dan macroeconomic environment terus berubah secara dinamik. Pengambilan keputusan yang tepat ditengah lingkungan yang selalu berubah adalah merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Details: Pengembangan produk senantiasa membutuhkan keputusankeputusan hingga pada level yang sangat detil. Keputusan pada satu bagian akan menimbulkan dampak munculnya tuntutan untuk mengambil keputusan yang lain. Time Pressure: Dalam proses pengembangan produk berbagai keputusan dari level yang umum hingga level detil harus diambil dengan cepat dan sering kali keputusan harus berdasarkan data-data yang sangat terbatas. Economics: Pengembangan, pembuatan, dan pemasaran sebuah produk baru memerlukan investment yang besar. Untuk mendapatkan keuntungan yang wajar dari investasi tersebut, produk akhir yang dihasilkan harus memenuhi kebutuhan dan menarik customer untuk memilikinya selain itu juga relatif tidak mahal untuk diproduksi.
Bagi sejumlah orang, perancangan dan pengembangan produk benar-benar merupakan proses yang sangat menarik karena terdapat sejumlah tantangan didalamnya. Selain itu sejumlah intrinsik attribut juga memiliki kontribusi terhadap munculnya daya tarik tersebut, seperti: a. Creation: Proses pengembangan produk dimulai dengan sebuah ide dan diakhiri dengan pembuatan sebuah wujud fisik. Ketika dilihat secara keseluruhan maupun dari sisi aktivitas individual, proses pengembangan produk merupakan proses yang benar-benar kreatif b. Satisfaction of Societal and Individual Needs: Semua produk yang dikembangkan
c.
d.
dalam kerangka untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Ketertarikan individu dalam pengembangan produk-produk baru hampir selalu mendapatkan jalan keluarnya dan dapat pula mengembangkan produk yang diinginkan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting. Team Diversity: Keberhasilan proses pengembangan produk memerlukan berbagai keahlian dan bakat yang berbeda-beda. Sebagai hasilnya, tim pengembang melibatkan individuindividu dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, perspective dan personality yang sangat beragam, justru keberagaman itulah yang pada akhirnya menghasilkan kesuksesan pengembangan produk. Team Spirit: Tim pengembangan produk selalu memiliki motivasi yang tinggi dan merupakan group yang sangat cooperative. Anggota-anggota tim dapat ditempatkan pada satu lokasi sehingga dapat memfokuskan energi kolektif untuk pembuatan produk. Situasi ini dapat menghasilkan jalinan persahabatan yang kuat antara anggotaanggota tim pengembangan produk.
Proses Pengembangan Produk
Secara umum/generic, proses pengembangan produk terdiri atas enam phase. Proses diawali dengan phase perencanaan/planning. Tahap ini sering pula disebut sebagai phase 0 yang menghubungkan pada riset dan aktivitas pengembangan teknologi lebih lanjut. Keluaran yang dihasilkan dari tahap planning ini adalah project mission statement yang merupakan input yang diperlukan untuk memulai phase pengembangan konsep atau sering pula disebut phase 1 dan sekaligus berfungsi sebagai panduan bagi tim pengembangan produk. Secara lebih detil, keenam phase proses pengembangan produk secara generic tersebut adalah sebagai berikut:
137
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 135-139
Phase 0; Planning
Aktivitas planning seringkali mengacu pada “phase zero” karena mendahului tahap project aproval dan peluncuran proses pengembangan produk yang sesungguhnya. Tahap ini dimulai dengan identifikasi peluang yang dipandu oleh corporate strategy dan termasuk assessment pengembangan teknologi dan tujuan pasar. Keluaran dari tahap planning adalah project mission statement yang menetapkan target pasar untuk produk yang tengah dikembangkan, business goals, key assumptions, dan berbagai batasan dalam proses pengembangan produk.
Phase 1; Concept Development
Dalam tahap concept development, kebutuhan-kebutuhan dari target market diidentifikasi, berbagai alternative konsep produk dimunculkan, dievaluasi dan dipilih, selanjutnya satu atau lebih konsep produk dipilih untuk proses pengembangan dan pengujian lebih lanjut. Sebuah konsep rancangan produk merupakan diskripsi dari bentuk, fungsi dan ciri-ciri utama dari sebuah produk yang biasanya disertai sekumpulan spesifikasi, analisis-analisis keunggulan setiap produk dan justifikasi ekonomis dari proyek pengembangan produk tersebut. Dalam proses pengembangan konsep meliputi sejumlah aktivitas yaitu: identifiying customer needs, establishing target specifications, concept generation, concept selection, concept testing, setting final specifications, project planning, economic analysis, benchmarking of competitive products, dan modelling and prototyping
Phase 2; System-level Design
Tahap system-level design meliputi definisi dari arsitektur produk yang dikembangkan, dekomposisi dari produk ke dalam sejumlah subsistem dan komponen, serta rancangan awal (preliminary design) dari komponenkomponen utama. Rancangan awal dari area sistem produksi dan final assembly biasanya juga didefinisikan pada tahap ini. Keluaran dari tahap ini biasanya meliputi geometric
138
layout dari produk, spesifikasi functional dari setiap subsistem produk, dan preliminary process flow diagram untuk proses final assembly.
Phase 3; Detail Design
Tahap detail design meliputi spesifikasi lengkap dari produk yang dikembangkan didalamnya termasuk geometri produk, material yang digunakan, toleransi dari seluruh unique part dalam produk dan identifikasi dari seluruh standard part yang harus dibeli dari supplier. Perencanaan proses ditetapkan, tooling dirancang untuk setiap part yang dibuat dalam production system. Keluaran dari tahap ini adalah control documentation dari produk yang dikembangkan, yang di dalamnya meliputi, gambar teknik atau filefile computer yang berisi deskripsi geometri dari setiap part dan peralatan produksi yang digunakan untuk pembuatannya, spesifikasi dari part-part yang dibeli, dan perencanaan proses untuk part-part yang harus dibuat dan dirakit sendiri. Tiga isu penting yang harus diperhatikan selama proses pengembangan produk dan harus diselesaikan dalam tahap detail design adalah pemilihan material yang akan digunakan, biaya produksi, dan ketangguhan performansi (robust performance) dari produk yang dikembangkan.
Phase 4; Testing and Refinement
Tahap pengujian dan penyempurnaan meliputi proses konstruksi dan evaluasi dari sejumlah versi preproduction/prototype dari produk yang dikembangkan. Prototype awal (versi alpha) biasanya dibangun dengan production-intent parts, yaitu part yang dibuat dengan geometri dan sifat-sifat material yang sama dengan production version dari produk yang dikembangkan, tetapi tidak difabrikasi dengan proses yang sesungguhnya digunakan dalam tahap produksi nantinya. Prototype versi alpha diuji untuk menentukan apakah produk yang dikembangkan dapat berfungsi sesuai dengan rancangan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan inti para customer. Prototype versi beta biasanya dibuat dengan
Muhammad Kusumawan Herliansyah e RESENSI
proses produksi yang sesungguhnya akan digunakan untuk pembuatan produk, namun belum dirakit dengan sistem perakitan yang sesungguhnya akan digunakan pada final produk. Prototype versi beta akan dievaluasi luas baik secara internal maupun oleh para customer dengan kondisi penggunaan yang sesungguhnya. Tujuan akhir dari prototype versi beta adalah untuk menjawab pertanyaan yang terkait performance dan reliability dari produk yang dikembangkan untuk mengidentifikasi perubahan-perubahan pada level engineering yang diperlukan untuk menghasilkan produk akhir.
Phase 5; Production Ramp-Up
Pada tahap ini, produk yang dikembangkan dibuat dengan sistem produksi yang secara khusus telah disiapkan untuk produk tersebut. Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk memberikan pelatihan pada tenaga kerja sekaligus untuk melihat dan mengatasi apabila masih terdapat persoalanpersoalan pada proses produksi. Produkproduk yang dihasilkan selama tahap ini kadang-kadang diberikan kepada sejumlah customer tertentu dan dievaluasi secara hatihati untuk melihat seandainya masih terdapat cacat pada produk tersebut. Proses transisi dari tahap production ramp-up menuju tahap produksi penuh biasanya dilakukan secara bertahap. Pada suatu titik dalam tahap transisi tersebut produk diluncurkan dan menjadi tersedia secara luas pada setiap distributor. Sebuah tahap postlaunch project review dapat dilakukan dalam waktu singkat setelah produk diluncurkan. Proses review tersebut meliputi penilaian dan evaluasi proyek pengembangan produk dari sisi komersial dan teknikal, selain itu juga dilakukan untuk melakukan identifikasikemungkinan melakukan perbaikan pada proses pengembangan produk untuk proyek-proyek dimasa depan.
Penyesuaian Proses Pengembangan Produk
Proses pengembangan produk secara umum/generic pada dasarnya adalah proses pengembangan produk yang digunakan dalam market-pull condition bahwa perusahaan memulai proses pengembangan produk berdasarkan peluang pasar yang ada terhadap produk tersebut dan kemudian dengan kemampuan teknologi apapun yang ada berusaha untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut. Oleh karena itu, dalam situasi yang berbeda perlu dilakukan penyesuaian terhadap proses pengembangan produk yang akan dijalankan. Sejumlah situasi yang menuntut dilakukannya penyesuaian proses pengembangan produk tersebut diantaranya adalah perancangan produk dalam kondisi: Technology-Push Products, Platform Products, Process-Intensive Products, Customized Products, High-Risk Products, Quick Build Products, dan Complex Systems.
SIMPULAN
Buku ini penting untuk dibaca mereka yang tertarik, bekerja, atau mendalami bidang perancangan dan pengembangan produk. Langkah-langkah detil disertai berbagai metode dan tahapan yang digunakan dibahas secara mendalam dalam buku ini. Berbagai contoh-contoh riil dan cerita sukses pengembangan produk semakin memberikan pemahaman yang mendalam terhadap metode-metode pengembangan produk yang dibahas. Buku ini sekaligus dapat menjadi alternatif rujukan yang cukup komprehensif untuk mempercepat perkembangan bidang perancangan dan pengembangan produk karena sepanjang manusia masih hidup didunia ini, maka inovasi akan terus bermunculan, dan produk-produk baru akan terus dilahirkan dan dikembangkan. Manusia akan berusaha keras untuk mewujudkan setiap mimpi-mimpinya akan kehidupan yang lebih baik. Bermula dari mimpi, mewujudkan inovasi.
139
VOLUME 1
No. 2, 22 Juni 2012
Halaman 71-143
INDEKS
A
actor 88 Ahaetulla prasina 83 air jet cooling 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114 aksesibilitas 86 amphibia 79, 84 assessment 138
B
Banyuwangi 86, 87, 88, 89, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98 Bareggi 109, 110, 113, 114 becak 86, 87, 90, 91 big social 115 Bovine Bone 128, 129, 130, 133 budget 96, 120, 123 Bungarus candidus 83
C
Calamaria linneai 83 citra ikonos 71, 72 Citra Ikonos 71, 72, 73, 74, 76, 77 community budget 96 Complex Systems 139 cooperative 137 corporate strategy 138 Cryptelytrops albolabris 83 customer 117, 120, 124, 135, 136, 137, 138, 139 Customized Products 139 cutting fluid 108, 109, 114
D
de-energized 101 Deviational variables 118 difacing 111 differences 94, 95
140
difraktogram 130, 131 disadvantaged 87, 88 Duttaphrynus melanostictus 82
E
eco-machining 112, 113 effectiveness 88 Effendi and Dwiprabowo 116 efficiency 88 encoder 102 engineering 139 environmental impacts 115 equal access for equal need 88 equity 87, 88, 98 Eutropis multifasciata 78, 82 Eutropis rugifera 83 even aged-stand 117 exposed 119
F
fasilitas kesehatan 86 finishing 111 finite element method 110, 113 flowmeter calibrator 101 fluid coolant 109, 110 fulfilled 86, 87
G
general hospital 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 96, 97 Girimulyo 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 Goal Programming 115, 118, 125 Gonyosoma ocichepalum 83 Gonyosoma oxichepalum 83 government budget 96 green colour 90 green machining 112, 113
INDEKS
Guide to the Expression of Uncertainty in Measurement 103, 106
H
herpetofauna 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 Herpetofauna 78, 79 High-Risk Products 139 hydroxyapatite 126, 128, 131, 133
I
identifikasi obyek 71, 72, 73, 76 Ikonos 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77 Ikonos image 71 image interpretation 71 implan tulang 126 industri furnitur kayu 115 interface 111, 112, 113 interpretasi citra 71, 72, 73, 74, 75, 76 investment 118, 137 Iowa waste reduction center 109 IUCN 79, 85
J
jet cooling 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114
K
kalibrator 99, 100, 102, 104, 105, 106 kalsinasi 126, 128, 129, 130, 131, 133 Keanekaragaman 78, 83, 84, 85 keausan pahat 108, 109, 110, 111, 112, 113 keberlanjutan 115 Kecamatan Girimulyo 78, 80, 84 kekasaran permukaan 108, 110, 111, 112, 113 kelurahan 73, 75, 76, 77, 88 key assumptions 138
L
layer 73, 75 Leptobrachium hasseltii 82 Limitation of land 96 linear encoder 102 linear encoder/translator 102
M
market-pull condition 139 market share 136 material bioaktif 127 material removal rates 109 matrik konfusi 73, 74, 75, 76 media pendingin 108, 109, 110, 111
Megadiversity 79, 85 Metode Short 76 Michrohyla achatina 78 Minimum Quantity Lubrication 109 mission statement 137, 138 multifasciata 78, 82 Muncar 93
N
Netherlands 86, 89, 97, 143 non-poor group 86, 87, 94, 95, 97 normally closed 101 nutrisi 82
O
object identification 71 object of property tax 71 obyek Pajak Bumi dan Bangunan 72 on-off 101 outsourcing 73 overhead 111, 113 overlay 71, 73, 74, 75, 76, 77
P
pemasok kayu 115 penginderaan jauh 72, 73, 76, 77 perbukitan menoreh 81 performance 90, 114, 136, 138, 139 phase 137, 138 Phrynoidis aspera 82 Piston pressure 99 piston prover 99, 100, 101, 102, 104, 105, 106 piston prover OT-400 99, 100, 102, 104, 105, 106 planning 97, 137, 138 Platform Products 139 poor 86, 87, 89, 90, 92, 94, 95, 97 positive displacement 100, 101 Posthuma 116, 125 postlaunch project review 139 preliminary design 138 Process-Intensive Products 139 produce low quality products 116 production ramp-up 139 project mission statement 137, 138 Proportional Solenoid Vale 101 prototype 138, 139 Pseudocalotes tympanistigra 83 Pseudocalotes tympanistriga 83 Pthyton reticulatus 83 Ptycozoon kuhlii 83
141
| VOL 1, NO. 2, JUNI 2012 ; 136-138
public transport 87, 88, 90, 91, 93, 94, 95, 96 Puskesmas 86, 87, 88, 89, 91, 92, 95, 96, 97 PVA 126, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134
Q
Quick Build Products 139
R
random 75, 76 reliability 139 reliable 95, 96, 136 remote sensing 71 reptilia 79, 83, 84 research 71, 78, 86, 87, 88, 89, 95, 97, 124 resources 87, 88, 96, 116 Rhacophorus reindwardtii 83 risk 88 robust 136, 138 robust performance 138 rotation time 117 roughness tester 111 rules 88 Russell 79, 85
S
satisfy environmental goal 122 scaffold 126, 127, 128, 130, 133 Scaffold bHA 130, 133 scaffold bovine hydroxyapatite 133 scaffold jaringan keras 127 SCM berkelanjutan 115 simple forest model 117 sistem grid 74 Smart Map 73 solenoid valve 99 span 103 species diversity 78 spindle yang tinggi 109 standard 91 Standard Operating Procedures 130 stratified proposional random sampling 75 supplier 116, 117, 118, 119, 120, 121, 123, 124, 138 sustainability 115, 116, 117, 119, 120, 121, 122, 123, 124 sustainable SCM 116
T
Takydromus sexlineatus 83 Target level 118 teak wood supplier-manufacturer relationship 119
142
Technology-Push Products 139 the multi-objectives 117 thermocouple 111 tooling 136, 138 translator/encoder 102 True Color 74 tulang sapi 126, 128, 131
V
visual 75 Visual Encounter Survey 78, 80 voltage setting 99
W
walking 90, 91, 95 water draw 102, 106 water flowmeter 100 water flow rate 99 whole stand growth model 117 wooden furniture industry 116 wood supplier 116, 117, 119
X
Xenochropis trianguligerus 83
VOLUME 1
No. 2, 22 Juni 2012
Halaman 71-143
UCAPAN TERIMA KASIH
Kepada para mintra bestari yang telah mengevaluasi artikel-artikel dalam Jurnal Teknosains volume 1 nomor 1 Desember 2011, kami mengucapkan banyak terima kasih: 1. Prof. Dr. Dulbahri : Sekolah Pascasarjana UGM 2. Ir. Heru Sutomo, M.Eng., Ph.D : Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM 3. Prof. dr. Ir. G.J.Verkerke : Department of Biomedical Engineering, Rijks University of Groningen The Netherlands 4. Khasani : Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin dan Industri UGM 5. M. Kusumawan Herliansyah, ST., MT, Ph.D : Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin dan Industri UGM 6. Sari Winahjoe : Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM 7. Prof. Dr. Sudarmadji, M. Eng. Sc : Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada 8. Wazis Wildan : Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin dan UGM 9. Prof. Dr. drg. Widowati Siswomihardjo , M.S : Fakultas Kedokteran Gigi UGM
143