PEMANFAATAN BATIK SEBAGAI PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISONAL Masri Rumita br. Sibuea1 Abstract Copyright batik as traditional cultural expressions are held by the state. At UUHC 2002, emphasized by element is at making of batik conventionally. In UUHC not mention the settlement of disputes over violations of traditional cultural expressions that traditional batik, where the state as the holder of the copyright. PTEBT regulated in the draft law for violations PTEBT dispute resolution. Possession or use of dispute resolution PTEBT can be reached out of court or through the courts. Utilization of batik as PTEBT done by the recognition that states and indigenous peoples PTEBT sources as well as the benefit sharing. PTEBT beneficiaries generally provide two (2) forms of recognition PTEBT rights, namely the right of economic and moral rights. The agreement is a unity that must be understood by the parties that make benefit sharing agreements. Keywords:copyright, batik, benefit sharing agreements Abstrak Hak cipta batik sebagai ekspresi budaya tradisional dipegang oleh negara. Pada UUHC 2002, unsur yang ditekankan adalah pada pembuatan batik secara konvensional. Dalam UUHC tidak menyebutkan penyelesaian sengketa atas pelanggaran ekspresi budaya tradisional yaitu batik tradisional, dimana negara sebagai pemegang hak cipta. Dalam RUU PTEBT diatur penyelesaian sengketa atas pelanggaran PTEBT. Penyelesaian sengketa kepemilikan atau pemanfaatan PTEBT dapat ditempuh di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Pemanfaatan batik sebagai PTEBT dilakukan dengan cara pengakuan yang menyebutkan sumber PTEBT dan masyarakat pengembannya serta adanya benefit sharing. Pemanfaat PTEBT secara umum memberikan 2 (dua) bentuk pengakuan hak atas PTEBT, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Kesepakatan merupakan suatu kesatuan yang harus dipahami oleh para pihak yang membuat perjanjian benefit sharing. Kata kunci: Hak Cipta, Batik, Perjanjian Benefit Sharing
1 Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Alamat kontak:
[email protected].
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
I.
489
Pendahuluan
Keikutsertaan Indonesia dalam Komunitas Ekonomi Association of South East Asian Nations/ASEAN (selanjutnya disebut KEA), mengakibatkan Indonesia wajib mematuhi dan mengimplementasikan Cetak Biru KEA yang akan mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan kawasan yang secara penuh terintegrasi ke dalam ekonomi global. KEA sebagai pasar tunggal dan basis produksi yang memiliki lima elemen utama dan salah satu elemen tersebut adalah aliran bebas tenaga kerja terampil. Hal ini menyebabkan tenaga profesi dan tenaga terampil ASEAN yang terlibat dalam perdagangan barang, jasa, dan investasi lebih mudah masuk ke Indonesia, sehingga dapat memungkinkan terjadinya pertukaran seni dan budaya antar negara anggota ASEAN. KEA juga memiliki karakteristik yaitu kawasan ekonomi berdaya saing yang mengatur salah satunya adalah Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI). Tindakan kerjasama regional di bidang HKI yaitu meningkatkan kerjasama kawasan di bidang Pengetahuan Tradisional, Sumber Genetika, dan Ekspresi Budaya Tradisional. Standar HKI internasional telah menjadi sebuah sumber yang penting bagi hukum HKI Indonesia, dan sistem administrasi internasional memberikan sumbangan kepada sistem administrasi HKI di Indonesia. Indonesia telah menjadi peserta aktif, khususnya sebagai negara peserta dalam World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) dan World Intellectual Property Organization (selanjutnya disebut WIPO). Dua lembaga multilateral yang penting berkaitan dengan HKI adalah WTO dan WIPO. Secara hukum, tidak ada hubungan antara kedua lembaga tersebut. Meskipun demikian, antara keduanya dibuat perjanjian kerja sama yang bersifat formal pada tahun 1995 (Persetujuan antara WTO dan WIPO, disepakati di Jenewa pada bulan Desember 1995), yang mengatur bidangbidang kerja sama praktis yang bermanfaat bagi permasalahan hukum yang bersifat mendasar dan Direktur Jenderal masing-masing membuat program kerja sama bantuan teknis berkaitan dengan HKI untuk negara-negara berkembang. Indonesia meratifikasi pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO) melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
490
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Konsekuensi Indonesia menjadi anggota WTO adalah melaksanakan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional dengan ketentuan WTO, termasuk berkaitan dengan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut TRIPs). TRIPs hanyalah sebagian dari keseluruhan sistem perdagangan yang diatur WTO, dan keanggotaan Indonesia pada WTO menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terikat pada TRIPs. Hak-hak dan kewajiban dari TRIPs hanya timbul apabila suatu negara menjadi anggota WTO. Tidak mungkin untuk hanya menjadi peserta dari TRIPs tanpa menjadi anggota WTO, sebaliknya tidak mungkin untuk menjadi anggota WTO tanpa menjadi peserta dari TRIPs. Kepemilikan kekayaan intelektual dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu kepemilikan personal dan kepemilikan komunal. Kepemilikan Personal merupakan HKI yang dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu hak cipta dan hak milik industri. Hak cipta diatur dalam Konvensi Bern (1886) dan Konvensi Hak Cipta Universal (1952) meliputi hak terkait, sedangkan hak milik industri diatur dalam Konvensi Paris (1883) yang terdiri atas hak merek, paten, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, indikasi geografis, dan lain-lain.2 Kepemilikan komunal terdiri dari indikasi geografis, ekspresi budaya tradisional, dan pengetahuan tradisional. Indonesia memiliki beragam sumber daya genetik dan pengetahuan tradisonal yang melimpah dan bernilai ekonomis sehingga perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber daya pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3 Salah satu pengetahuan tradisional dibidang seni dan budaya yang dilindungi oleh Indonesia adalah Batik. Batik adalah bahan tekstil hasil pewarnaan secara perintangan dengan menggunakan lilin batik sebagai zat perintang, berupa batik tulis, batik cap, atau batik kombinasi tulis dan cap.4 Selama ini batik dilindungi dengan Undang-Undang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC). Perlindungan mengenai batik diatur dengan UUHC 1987 hingga UUHC 2014. Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai
2 WIPO, Background Reading Material On Intellectual Property, WIPO Publication, (Geneva: 1988), page 5. 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising From Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman hayati), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5412. 4 Pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 74/M-Ind/9/2007 tentang Penggunaan Batikmark ―batik INDONESIA‖ pada Batik Buatan Indonesia.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
491
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.5 Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.6 Dalam hal ini batik sebagai ciptaan yang bersifat khas dan komunal mendapatkan perlindungan hak cipta dengan batasan-batasan tertentu. Sedangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUU PTEBT) batik dibedakan menjadi 2 (dua) hal yaitu batik sebagai pengetahuan tradisional dan batik sebagai ekspresi budaya tradisional (selanjutnya disebut PTEBT). II.
Rumusan Masalah 1. Mungkinkah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dapat melindungi batik sebagai PTEBT? 2. Bagaimanakah pemanfaatan batik yang dilakukan oleh negara anggota KEA dan arah pengaturannya di Indonesia?
III. Pembahasan 1.
Perlindungan Batik sebagai PTEBT dalam Perspektif Hak Cipta
PTEBT merupakan bukan isu baru dalam tataran internasional, namun dalam tataran nasional persoalan PTEBT masih belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Kebutuhan pemanfaatan dan pelestarian yang memadai untuk PTEBT sudah menjadi tuntutan, namun di sisi lain masyarakat pengemban7 yang dianggap memiliki sumber PTEBT tidak merasa membutuhkan, bahkan seringkali tidak mengerti apa itu HKI, apalagi persoalan PTEBT. PTEBT sebagaimana yang dirumuskan dalam RUU PTEBT sebagai karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik yang bersifat turun-temurun yang dipelihara, dikembangkan, dimanfaatkan, dilestarikan oleh masyarakat pengemban. Hal ini mengandung suatu makna bahwa PTEBT melekat adanya sifat komunalistik.
5
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599. 6
Ibid., Pasal 1 butir 2.
7 Pasal 1 angka (3) Rancangan Undang-Undang tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Yang dimaksud dengan masyarakat pengemban adalah pemegang hak dan penerima manfaat dari pengelolaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang meliputi masyarakat local, masyarakat hukum adat, dan masyarakat tradisional.
492
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Pengetahuan tradisional yang didefinisikan Convention on Biological Diversity dalam Article 17.7 menyebutkan bahwa: Traditional knowledge refers to the knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities around the world. Developed from experience gained over the centuries and adapted to the local culture and environment, traditional knowledge is transmitted orally from generation to generation. It tends to be collectively owned and takes the form of stories, song, folklore, proverbs, cultural values, beliefs, rituals, community laws, local language, and agricultural practices, including the developmentof plant species and animal breeds. Traditional knowledge is mainly in such fields as agriculture, fisheries, health, horticulture, and forestry. Dari definisi tersebut, maka pengetahuan tradisional memiliki karakteristik (1) sebagai suatu pengetahuan yang dipraktikkan secara turun-temurun; (2) kepemilikan pengetahuan tradisional bersifat komunal, dan (3) pengetahuan tradisional merupakan hasil interaksi antara penemunya dengan alam. Memahami PTEBT sebagai suatu bagian pengetahuan, maka seringkali HKI dapat dijadikan salah satu pilihan sarana hukum yang tepat, selama belum ada pengaturan terhadap perlindungan PTEBT. Rezim HKI yang masih terbuka untuk memberikan perlindungan batik yaitu hak cipta. Upaya pemerintah yang saat ini telah mempersiapkan RUU PTEBT dapat dianggap sebagai langkah maju dalam antisipasi liberalisasi perdagangan internasional. Adanya inventarisasi dan pendokumentasian terhadap PTEBT yang berbasis kearifan lokal dan dimiliki secara khusus oleh masyarakat pengemban dan masyarakat Indonesia pada umumnya, meskipun merupakan hal yang sangat penting, namun belum memberikan perlindungan yang memadai, mengingat Indonesia memiliki potensi sebagai pusat dan sumber PTEBT. Keberagaman terhadap pemahaman pentingnya perlindungan PTEBT bagi masyarakat di sekitar potensi PTEBT menyisakan keprihatinan tersendiri dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang siap menghadapi liberalisasi perdagangan internasional. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konvensi Bern yang mengatur mengenai lingkup ―karya-karya cipta seni dan sastra‖, maka yang termasuk dalam karya-karya cipta yang dilindungi antara lain meliputi karya-karya cipta gambar sehingga dapat dikemukakan bahwa karya seni batik pun sebenarnya mendapat perlindungan melalui hak cipta secara internasional. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa pada karya seni batik terkandung nilai seni berupa ciptaan gambar atau motif dan komposisi warna yang bersangkutan.8
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
493
Sekalipun Konvensi Bern dan TRIPS tidak menyebutkan secara eksplisit perlindungan terhadap karya seni batik, namun tidak berarti bahwa negara anggota konvensi tidak memiliki kewenangan untuk mengakomodasi seni batik sebagai suatu karya yang layak diberikan perlindungan melalui hak cipta. Hal ini dikarenakan setiap negara mengatur jenis-jenis ciptaan yang dilindungi selain harus berdasarkan kesesuaian dengan ketentuan-ketentuan internasional yang berlaku (Konvensi Bern) juga diberikan kebebasan menentukan ciptaan-ciptaan tertentu yang lain untuk diberikan perlindungan.9 Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa pemberian perlindungan terhadap seni batik dalam hukum hak cipta Indonesia bukan merupakan suatu pelanggaran terhadap ketentuan internasional yang ada baik Konvensi Bern maupun TRIPS. Di dalam praktik, banyak karya seni batik yang tidak diketahui penciptanya. Hal seperti ini tidak diatur dalam TRIPS namun Konvensi Bern sebagai acuan TRIPS justru mengaturnya. Jangka waktu perlindungan yang diberikan bagi karya cipta tanpa nama oleh Konvensi Bern adalah berakhir selama 50 (lima puluh) tahun setelah karya cipta tersebut secara hukum telah tersedia untuk umum.10 Namun, demikian jangka waktu perlindungan terhadap karya cipta tersebut memiliki pengecualian dan pembatasan terhadap hak eksklusif yang diberikan sepanjang tidak bertentangan dengan pemanfaatan secara wajar atas karya yang bersangkutan dan tidak mengurangi secara tidak wajar kepentingan sah dari pemegang hak.11 Pengetahuan tradisional adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu bentuk pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang yang digunakan secara turun temurun yang berkaitan langsung dengan lingkungan atau alam.12 Sementara Henry Soelistyo Budi mengemukakan bahwa pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang status kedudukannya atau pun penggunaannya merupakan bagian dari tradisi budaya masyarakat.13 8 Afrillyanna Purba (dkk), ―TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia: Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia‖, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal. 31. 9
Tim Lindsey (dkk), ―Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar‖, (Bandung: PT. Alumni, 2011), hal. 101. 10
Pasal 7 ayat (3) Konvensi Bern.
11
Pasal 13 TRIPS. Pengecualian dan pembatasan ini dimungkinkan untuk mendorong kepentingan public, misalnya: pendidikan. 12
Traditional Knowledge and Biological Diversity, UNEP/CBD/TKBD/1/2, Paragraf, 85, April
2003. 13 Henry Soelistyo Budi, Status Indigeneous Knowledge dan Traditional Knowledge dalam Sistem HAKI, makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Perlindungan HAKI terhadap Inovasi Teknologi Tradisional di Bidang Obat, Pangan dan Kerajinan, diselenggarakan oleh kantor Pengelola dan Kerajinan Lembaga Penelitian UNPAD, Bandung, 18 Agustus 2001.
494
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
WIPO menggunakan istilah Traditional Knowledge (TK) untuk menunjuk pada kesusastraan berbasis tradisi, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan, dan semua inovasi dan kreasi berbasis tradisi lainnya yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidangbidang industri, ilmiah, kesusastraan atau artistik. Gagasan berbasis tradisi menunjuk pada sistem pengetahuan, kreasi, inovasi dan ekspresi kultural yang umumnya telah disampaikan dari generasi ke generasi, umumnya dianggap berkaitan dengan masyarakat tertentu atau wilayahnya, umumnya telah dikembangkan secara non-sistematis, dan terus menerus sebagai respon pada lingkungan yang sedang berubah.14 Berdasarkan rumusan WIPO di atas, RUU PTEBT mendefinisikan pengetahuan tradisional adalah pengetahuan masyarakat yang didapat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan,15 sedangkan ekpresi budaya tradisional adalah segala bentuk ekspresi, baik material (benda) maupun immaterial (tak benda), atau kombinasi keduanya yang menunjukkan keberadaan suatu budaya dan pengetahuan tradisional, yang bersifat turun-temurun.16 Ruang lingkup pengetahuan tradisional meliputi pengetahuan teknis dalam konteks tradisional, keterampilan tradisional, inovasi dalam konteks tradisional, praktikpraktik tradisional, pembelajaran tradisional, dan pengetahuan yang mendasari gaya hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik, obat-obatan tradisional, dan karya intelektual lain.17 Dan ruang lingkup ekspresi budaya tradisional meliputi: mencakup ekspresi fonetik atau verbal, ekspresi suara atau musik, ekspresi gerak atau tindakan, dan ekspresi material (kebendaan) maupun karya intelektual lainnya.18 Problematika pengaturan kebudayaan tradisional dalam konteks perlindungannya dari segi hukum ternyata masih jauh dari selesai, meskipun sudah ada Pasal 38 UUHC 2014 yang mengatur hal ini. Berbagai upaya penegakan hukum, pasal ini ternyata jauh dari memadai mengingat banyaknya kendala yang harus dihadapi, baik segi konsepsional maupun teknis. Selain itu, ancaman lebih besar yang dihadapi oleh masyarakat lokal atas kepemilikan budaya tradisional mereka adalah kepentingan investasi besar dari negara maju. Dalam situasi yang terasa buntu seperti itu, alih-alih mendorong untuk
14
Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Generic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, WIPO/GRTKF/IC/28/5, 2 Juni 2014, hal. 7. 15
Op. Cit., Pasal 1 angka (1) Rancangan Undang-Undang tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. 16
Ibid., Pasal 1 angka (2).
17
Ibid., Pasal 4 angka (1).
18
Ibid., Pasal 4 angka (2).
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
495
dilakukannya penegakan hukum Pasal 38 UUHC 2014, gagasan alternatif berupa konsep benefit sharing menjadi penting untuk diwujudkan. Gagasan ini merupakan ―jalan tengah‖ di mana kebudayaan tradisional dapat tetap eksis dan berkelanjutan di satu sisi, dan sisi lain kita sebagai negara berkembang tetap terjamin aksesnya terhadap pengetahuan dan produk-produk berbasis pengetahuan yang dikembangkan oleh negara maju. Menurut Iwan Tirta, batik merupakan teknik menghias kain atau tekstil dengan menggunakan lilin dalam proses pencelupan warna, dimana semua proses tersebut dengan menggunakan tangan.19 Pengertian lain dari batik adalah seni rentang warna yang meliputi proses pemalaman (lilin), pencelupan (pewarnaan) dan pelorotan (pemanasan), hingga menghasilkan motif yang halus yang semuanya ini memerlukan ketelitian yang tinggi.20 Lebih lanjut dijelaskan bahwa batik adalah sehelai wastra-yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional-beragam hias pola tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam (lilin batik) sebagai bahan perintang warna. Oleh karena itu, suatu wastra dapat disebut batik apabila mengandung 2 (dua) unsur pokok, yaitu: teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik.21 Inilah yang dinamakan batik sebagai pengetahuan tradisional dalam RUU PTEBT. Sementara menurut Hamzuri, batik diartikan sebagai lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama canting. Orang melukis atau menggambar atau menulis pada mori memakai canting disebut membatik (bahasa Jawa: mbatik). Membatik menghasilkan batik atau batikan berupa macam-macam motif dan mempunyai sifat khusus yang dimiliki oleh batik itu sendiri.22 Inilah yang dinamakan batik sebagai ekspresi budaya tradisional dalam RUU PTEBT. Selain itu, banyak jenis kain tradisional Indonesia yang memiliki cara pemberian warna yang sama dengan pembuatan batik yaitu dengan pencelupan rintang. Perbedaannya, pada batik dipakai malam sebagai bahan perintang warna sedangkan pada jenis-jenis kain tradisional ini menggunakan berbagai jenis bahan lain sebagai bahan perintang warna. Adapun jenis-jenis kain yang cara pemberian warnanya serupa dengan 19
Iwan Tirta, Qou Vadis Batik Indonesia, Makalah dalam Konferensi Internasional Dunia Batik, Kerjasama antara International Center for Culture and Tour ism (ICCT) dan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2-6 Nopember 1997, hal. 2. 20
Afrillyanna Purba (dkk.), Op. Cit.., hal. 44.
21 Santosa Doellah, ―Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan‖, (Solo: PT. Batik Danar Hadi, 2002), hal. 10. 22
Hamzuri, ―Batik Klasik‖, (Jakarta: Djambatan, 1981), hal.iv.
496
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
pembuatan batik adalah: kain Simbut (suku Baduy, Banten), kain Sarita dan kain Maa (suku Toraja, Sulawesi Selatan), kain Tritik (Solo, Yogyakarta, Palembang, Banjarmasin, Bali), kain Jumputan dan kain Pelangi (Jawa, Bali, Lombok, Palembang, Kalimantan, Sulawesi), dan kain Sasirangan (Banjar-Kalimantan Selatan).23 Batik di Indonesia mendapat perlindungan yang diatur dalam UUHC 1987 sampai dengan UUHC 2014. Di dalam masing-masing undangundang tersebut, pengertian batik terus mengalami perubahan. Adapun perkembangan pengaturan batik Indonesia adalah sebagai berikut: Pasal 11 ayat (1) huruf f UUHC 1987 Di dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan seni batik adalah seni batik yang bukan tradisional. Sebab, seni batik yang tradisional seperti misalnya: Parang Rusak, Sido Mukti, Truntum, dan lain-lain, pada dasarnya telah merupakan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama yang dipelihara dan dilindungi oleh negara. Pasal 11 ayat (1) huruf k UUHC 1997 Di dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan ―batik‖ adalah ciptaan baru atau yang bukan tradisional atau kontemporer. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun kompisisi warna, sedangkan untuk batik tradisional seperti Parang Rusak, Sido Mukti, Truntum, dan lain-lain menurut perhitungan jangka waktu perlindungan hak ciptanya memang telah berakhir dan menjadi public domain. Bagi orang Indonesia sendiri pada dasarnya bebas untuk menggunakannya. Pasal 12 ayat (1) huruf i UUHC 2002 Di dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa batik yang dibuat secara konvensional dilindungi sebagai bentuk ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat, dan lain-lain yang dewasa ini terus dikembangkan. Pasal 40 ayat (1) huruf j UUHC 2014 Di dalam penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan ―karya seni batik‖ adalah motif batik kontemporer yang bersifat inovatif, masa kini, dan bukan tradisional. Karya tersebut dilindungi karena mempunyai nilai seni, baik dalam kaitannya dengan gambar,
23
Nian S. Djoemena, ―Batik dan Mitra‖, (Jakarta: Djambatan, 1990), hal. 85.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
497
corak, maupun komposisi warna. Yang dimaksud dengan ―karya seni motif lain‖ adalah motif yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat diberbagai daerah, seperti seni songket, motif tenun ikat, motif tapis, motif ulos, dan seni motif lain yang bersifat kontemporer, inovatif, dan terus dikembangkan. Berdasarkan empat ketentuan di atas dapat diketahui bahwa pada UUHC 1987, 1997, 2002, dan 2014, seni batik yang mendapat perlindungan hak cipta adalah seni batik yang bukan tradisional dengan pertimbangan bahwa seni batik yang tradisional telah menjadi milik bersama (public domain). Konsekuensinya bagi orang Indonesia mempunyai kebebasan untuk menggunakannya tanpa dianggap sebagai suatu pelanggaran. Dengan kata lain, yang dilindungi oleh UUHC 1987, 1997, 2002, dan 2014 adalah batik sebagai pengetahuan tradisional, yaitu teknik membuat batik dengan motif yang bukan ekspresi budaya tradisional. Hak cipta batik sebagai ekspresi budaya tradisional dipegang oleh negara. Pada UUHC 2002, unsur yang ditekankan adalah pada ―pembuatan‖ batik secara konvensional. Adapun batik yang dianggap paling baik dan paling tradisional/konvensional adalah batik tulis.24 Sebagai ciptaan yang dilindungi, maka pemegang hak cipta batik sebagai bukan ekspresi budaya tradisional memperoleh perlindungan selama hidupnya dan terus berlangsung hingga 70 (tujuh puluh) tahun setelah meninggal dunia.25 Selama jangka waktu perlindungan tersebut, pemegang hak cipta seni batik memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak lain mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya, atau memberi izin kepada orang lain untuk melakukan pengumuman dan perbanyakan ciptaan yang dipunyai tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.26 Jangka waktu perlindungan tersebut diberikan bagi batik yang bukan ekspresi budaya tradisional, sedangkan batik sebagai ekspresi budaya tradisional yang disebut batik tradisional, misalnya Parang Rusak, tidak memiliki jangka waktu perlindungan. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa batik tradisional seperti itu diciptakan dan dihasilkan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia sehingga diperkirakan perhitungan jangka waktu perlindungan hak ciptanya telah melewati jangka waktu perlindungan yang ditetapkan dalam undang-undang (telah berakhir). Oleh karena itu, batik tradisional yang ada menjadi milik bersama masyarakat Indonesia (public domain), selain itu, hak cipta batik tradisional yang ada dipegang oleh negara.27 24
R.M. Ismunandar, ―Teknik & Mutu Batik Tradisional-Mancanegara‖, (Semarang:Dahara Prize, 1985), hal. 17-18. 25
Op. Cit., Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang tentang Hak Cipta.
26
Ibid., Pasal 1 angka (11).
498
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Hal ini berarti bahwa negara menjadi wakil bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menguasai kekayaan tradisional yang ada. Perwakilan oleh negara dimaksudkan untuk menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul diantara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Selain itu, penguasaan oleh negara menjadi penting khususnya apabila terjadi pelanggaran hak cipta atas batik tradisional Indonesia yang dilakukan oleh pelaku ekonomi28 dalam hal ini negara anggota KEA karena akan menyangkut sistem penyelesaian sengketanya. Dalam UUHC tidak menyebutkan penyelesaian sengketa atas pelanggaran ekspresi budaya tradisional yaitu batik tradisional, dimana negara sebagai pemegang hak cipta. Pasal 99 UUHC 2014 menyatakan bahwa, Pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak cipta. Dalam RUU PTEBT diatur penyelesaian sengketa atas pelanggaran PTEBT. Penyelesaian sengketa kepemilikan atau pemanfaatan PTEBT dapat ditempuh di luar pengadilan atau melalui pengadilan.29 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana yang mencakup pengambilan Ekspresi Budaya Tradisional secara tidak sah, penyalahgunaan, pemberian informasi yang salah dan menyesatkan tentang PTEBT dan/atau tindak pidana lain sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.30 Dalam hal tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap orang yang berkepentingan atas terjaganya aspek religius, spiritualitas, kepercayaan, dan sifat rahasia dari PTEBT dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.31 Konsep Benefit Sharing dalam Perspektif RUU PTEBT dan Hukum Kontrak/Perjanjian
2.
RUU PTEBT ini memiliki main issue yaitu pemanfaatan PTEBT negara berkembang dalam hal ini Indonesia yang dilakukan oleh negara maju.32 Negara memegang kedaulatan untuk mengatur pengelolaan PTEBT untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.33 27
Ibid., Pasal 39 ayat (1).
28 Op. Cit., Pasal 1 angka (12) Rancangan Undang-Undang tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. 29
Ibid., Pasal 45 ayat (1).
30
Ibid., Pasal 46 ayat (2).
31
Ibid., Pasal 20 ayat (3).
32 Agus Sardjono, RUU PTEBT, dalam Seminar on Cultural Heritage, Intellectual Property Rights and Community Rights pada tanggal 27 Oktober 2015. 33 Op. Cit., Pasal 3 Rancangan Undang-Undang tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
499
Ketentuan dalam Pasal 19 RUU PTEBT, menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab mendorong Pemanfaatan PTEBT sebagai sumber ekonomi kreatif dengan tujuan utama untuk kesejahteraan anggota masyarakat pengembannya (custodian). Hal ini dilanjutkan dalam Pasal 37 RUU PTEBT, menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib memastikan pelaksanaan pemenuhan hak masyarakat atas pemanfaatan PTEBT oleh orang asing dan/atau pelaku ekonomi. Dalam Pasal 34 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah melakukan langkah-langkah untuk melindungi PTEBT dari penggunaan pihak-pihak luar, baik orang asing maupun pelaku ekonomi. Meliputi langkah-langkah yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) yaitu, pengawasan, pengendalian, pembinaan, gugatan perdata, pencabutan izin, atau penuntutan pidana. Peran masyarakat dan pemerintah, khususnya pemerintah daerah memberi kontribusi terhadap perlindungan potensi basis PTEBT. Hal yang menarik dalam RUU PTEBT ini adalah memberikan kesempatan pemanfaatan oleh setiap warga negara wajib disertai dengan pembagian manfaat bagi masyarakat pengemban, baik dalam bentuk moneter, fiskal, dan/atau bentuk lain sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut.34 Hal ini menunjukkan bahwa seandainya rezim HKI dipergunakan sebagai sarana penegakkan hukum terhadap pemanfaatan PTEBT, maka akan menyisakan persoalan tersendiri, meski pada dasarnya rezim hak cipta dapat dijadikan pilihan terakhir, karena rezim HKI tersebut kepemilikannya bersifat individu atau komunal. Pemanfaatan batik sebagai PTEBT dilakukan dengan cara pengakuan yang menyebutkan sumber PTEBT dan masyarakat pengembannya35 serta adanya benefit sharing.36 Pemanfaat PTEBT secara umum memberikan 2 (dua) bentuk pengakuan hak atas PTEBT, yaitu: 1)
2)
Hak ekonomi, berupa pembagian manfaat yang adil dan seimbang atas penggunaan PTEBT untuk tujuan komersial oleh pihak asing; Hak moral, berupa perlindungan terhadap reputasi, atau kewajiban mendapatkan izin dari masyarakat pengemban atas penggunaan PTEBT oleh pihak asing untuk keperluan komersial maupun nonkomersial.
Gagasan mengenai benefit sharing (pembagian kegunaan)37 dalam RUU PTEBT perlu dikaji secara mendalam, mengingat pengaturan
34
Ibid., Pasal 15 ayat (4).
35
Ibid., Pasal 15 ayat (1).
36
Ibid., Pasal 17 ayat (1).
500
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
tersebut merupakan salah satu pilihan yang dianggap tepat terhadap upaya pemanfaatan dan pelestarian PTEBT di Indonesia. Kajian terhadap konsep benefit sharing perlu dicermati dalam perspektif ranah hukum kontrak/perjanjian, mengingat konsep benefit sharing mengandung suatu makna adanya pembagian kegunaan yang seharusnya diperoleh oleh para pihak yang terlibat dalam tercapainya tujuan yang disepakati bersama, dalam hal ini yaitu pemanfaatan PTEBT. Benefit sharing tidak selalu berbentuk profit sharing yang berhubungan dengan uang tetapi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pengemban. Contohnya Batik Pekalongan, dimana air di sekitar perusahaan batik di Pekalongan warnanya sudah terkontaminasi dari bahan kimia pewarna batik. Benefit sharing dapat berwujud penanaman perkebunan pohon pewarna batik atau penanaman perkebunan kapas sebagai bahan pembuat kain batik38 sehingga benefit sharing berguna bagi pengelolaan PTEBT secara turuntemurun. Syarat dan tata cara permohonan izin akses pemanfaatan sebagaimana merujuk Pasal 15, 16, dan 17 RUU PTEBT. Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal (selanjutnya disebut PADIA) untuk pengetahuan tradisional adalah persetujuan tertulis yang diberikan oleh masyarakat pengemban terhadap pengetahuan tradisional kepada pengguna sebelum dilaksanakannya akses pemanfaatan.39 Sedangkan PADIA untuk ekspresi budaya adalah persetujuan tertulis, lisan dan/atau diam-diam terhadap ekspresi budaya tradisional yang diberikan masyarakat pengemban kepada pengguna sebelum dilaksanakannya pemanfaatan.40 Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berwenang mengatur akses terhadap PTEBT yang dilakukan oleh pelaku ekonomi dan/atau insan budaya. Dalam hal ini Pemerintah yaitu Presiden Republik Indonesia bertanggung jawab untuk memberikan perizinan pemanfaatan PTEBT41 dan Pemerintah Daerah berwenang yaitu Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah mengatur perizinan.42 Konsepsi yang dibangun oleh ketentuan pasal tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab Kepala Daerah terhadap kekayaan yang ada di wilayah kekuasaannya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan 37
Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional: Studi mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Obat-obatan, Pascasarjan FHUI, 2004, dalam Ignatius Haryanto, Keluar dari Rumah Kaca: Problematika Memandang Masalah Hak atas Kekayaan Intelektual, “Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia”, 2005, hal. 44. 38
Ibid.
39
Op. Cit., Pasal 1 angka (14) Rancangan Undang-Undang tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. 40
Ibid., Pasal 1 angka (15).
41
Ibid., Pasal 42 huruf (a).
42
Ibid., Pasal 44 huruf (c).
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
501
Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah), bahwa urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Berkaitan dengan ketentuan ini, Pasal 17 UU Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa: (1) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitas lahan. (2) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya atar Pemerintahan Daerah; dan c. Pengelolaan perizinan bersama dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. (3) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan Pemerintah Daerah inilah yang memberikan mandat bahwa terhadap pemanfaatan PTEBT dari daerah perlu izin dari Gubernur selaku Kepala Daerah. Peran Gubernur di sini menunjukkan bahwa Gubernur sebagai wakil masyarakat daerah penghasil/penggagas PTEBT merupakan penguasa wilayah yang membawahi beberapa daerah, sekaligus dapat berposisi sebagai mediator terhadap kemungkinan adanya benturan terkait dengan keberadaan pemanfaatan PTEBT yang bersinggungan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Proses belum selesai pada sebatas izin dari Pemerintah maupun Pemerintah Daerah, namun terdapat kegiatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (4) RUU PTEBT, bahwa Setiap orang dilarang menggunakan PTEBT untuk tujuan komersial, kecuali telah mendapatkan PADIA, mendapatkan kesepakatan bersama, dan memberikan pembagian manfaat. Makna perjanjian pemanfaatan yang nantinya berujung pada pembagian hasil pemanfaatan sudah semestinya diikuti oleh pemahaman hukum kontrak/perjanjian. Dalam perspektif hukum kontrak/perjanjian secara khusus harus dipahami keberadaan
502
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Burgelijk Wetboek (selanjutnya disebut BW), khususnya syarat sahnya perjanjian, sehingga dapat mengikat para pihak yang terlibat dan tentunya pembagian yang proporsional, yang dapat memberikan keadilan dan seimbang bagi masyarakat pengemban. Dalam Pasal 1320 BW disebutkan bahwa syarat sahnya perjanjian, meliputi 4 (empat) hal, antara lain: 1. 2. 3. 4.
Kesepakatan; Kecakapan; Suatu hal tertentu; Suatu sebab yang halal.
Apabila dikaitkan dengan ketentuan yang ada dalam RUU PTEBT, maka pemenuhan syarat sebagaimana ketentuan Pasal 1320 BW dapat tercermin dalam beberapa ketentuan, antara lain Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) terkait dengan pihak yang melakukan pemanfaatan, disebutkan bahwa: (1) Pemanfaatan yang dilakukan oleh orang di luar anggota masyarakat atau Pemanfaatan oleh badan usaha menyebutkan sumber Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dan Masyarakat Pengembannya. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melibatkan anggota masyarakat yang bersangkutan. (3) Apabila pelibatan anggota masyarakat sebagimana dimaksud pada ayat (2) tidak dimungkinkan, Pemanfaatan tersebut wajib melibatkan Pemerintah Daerah dan/atau Insan Budaya terkait. Pasal 16 RUU PTEBT menyebutkan, bahwa: (1) Masyarakat Pengemban menerima manfaat atas penggunaan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. (2) Dalam hal Pemanfaatan atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang tidak diketahui Masyarakat Pengembannya, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah bertindak sebagai pengemban untuk kepentingan bangsa Indonesia. Pasal 17 RUU PTEBT menyebutkan, bahwa: (1) Pembagian manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengguna dan penerima manfaat. (2) Kesepakatan pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk tertulis, kecuali ditentukan lain berdasarkan hukum adat. Ketiga pasal di atas merupakan persyaratan subjektif yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjan atau persyaratan subjektif yang dimaksud adalah: 1) Pihak yang menggunakan PTEBT (pihak asing);
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
503
2) Pihak yang menerima pembagian manfaat atau benefit sharing (masyarakat pengemban). Hal menarik dalam ketentuan pasal tersebut bahwa pembagian manfaat sesuai atau berdasarkan kesepakatan. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik.43 Makna dari kesepakatan merupakan landasan utama atau asas yang harus dipatuhi oleh pihak yang terlibat dalm perjanjian benefit sharing. Asas kesepakatan merupakan persyaratan sahnya perjanjian akan terpenuhi apabila para pihak merasa telah menerima apa yang telah diperjanjikan. Tujuan dilaksanakan perjanjian merupakan salah satu syarat objektif yang memberikan pengaruh pada apakah perjanjian dibuat memiliki tujuan yang halal atau diperbolehkan menurut hukum. Apabila tidak terpenuhi persyaratan ini, atau tujuan dibuatnya perjanjian ternyata melanggar undang-undang, yang ada dalam masyarakat, atau melanggar kesusilaan, maka demi hukum suatu perjanjian dapat batal. Kesepakatan merupakan suatu kesatuan yang harus dipahami oleh para pihak yang membuat perjanjian benefit sharing. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang dari Pemanfaatannya, juga membuka peluang untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional secara adil dan seimbang. Implikasi dari undang-undang ini adalah terhadap bagaimana pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak-haknya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Pasal 63 ayat (1) huruf i memandatkan kepada pemerintah untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan antara lain mengenai sumber daya genetik. Sebagai syarat objektif lainnya ada objek tertentu, dan hal ini dapat dipastikan bahwa wujud PTEBT yang memiliki nilai ekonomis itulah yang masuk dalam ranah ini. Masyarakat pengemban sebagai pemegang hak dan penerima manfaat dari pengelolaan PTEBT44 merupakan pihak yang harus memahami potensi ekonomis dari PTEBT. Ketentuan Pasal 48, 49, dan Pasal 50 RUU PTEBT tersebut memberi sarana solusi terhadap persoalan yang seandainya timbul pada saat tahapan pelaksanaan perjanjian benefit sharing, sebagaimana sesuai
43
44
Subekti, ―Hukum Perjanjian‖, cetakan ke-19,( Jakarta: PT. Intermasa), 2002, hal. 17.
Op. Cit., Pasal 1 angka 3 Rancangan Undang-Undang tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.
504
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
dengan ketentuan dalam Buku III BW yang mengatur persoalan kontrak/perjanjian. Sebagaimana perbandingan terkait konsep benefit sharing dapat ditelusuri dari perspektif internasional, ada 2 (dua) aspek berbeda dalam kerangka benefit sharing framework, yaitu universal dan specific benefit sharing sebagaimana diungkapkan oleh Kadri Simm, bahwa ―the universal sharing of benefit-sharing that describes the entire positive potential of the genetic enterprise–and specific benefit-sharing framework directed towards those who directly participate in research.‖ Lebih lanjut diungkapkan bahwa ―universal benefit-sharing have been based on concerns for justice in an international genetic research situation‖.45 Dari aspek kajian perbandingan tersebut, tercermin bahwa memaknai konsep benefit sharing akan bersinggungan dengan persoalan bagaimana dapat memberi pembagian yang adil bagi masyarakat pengelola PTEBT. Sehingga yang terpenting memberikan kejelasan pengaturan tentang komposisi sharing yang berkeadilan, minimal secara proposional yang dapat meninggalkan kesejahteraan masyarakat daerah setempat. IV. Penutup 1.
Simpulan
Berdasarkan empat UUHC yaitu UUHC 1987, 1997, 2002, dan 2014, seni batik yang mendapat perlindungan hak cipta adalah seni batik yang bukan tradisional dengan pertimbangan bahwa seni batik yang tradisional telah menjadi milik bersama (public domain). Konsekuensinya bagi orang Indonesia mempunyai kebebasan untuk menggunakannya tanpa dianggap sebagai suatu pelanggaran. Dengan kata lain, yang dilindungi oleh UUHC 1987, 1997, 2002, dan 2014 adalah batik sebagai pengetahuan tradisional, yaitu teknik membuat batik dengan motif yang bukan ekspresi budaya tradisional. Hak cipta batik sebagai ekspresi budaya tradisional dipegang oleh negara. Pada UUHC 2002, unsur yang ditekankan adalah pada ―pembuatan‖ batik secara konvensional. Dalam UUHC tidak menyebutkan penyelesaian sengketa atas pelanggaran ekspresi budaya tradisional yaitu batik tradisional, dimana negara sebagai pemegang hak cipta. Dalam RUU PTEBT diatur penyelesaian sengketa atas pelanggaran PTEBT. Penyelesaian sengketa kepemilikan atau pemanfaatan PTEBT dapat ditempuh di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
45
Kadri Simm, Benefit-sharing: an inquiry regarding the meaning and limits of the concept in human genetic research, Journal, Vol. 1 No. 2, (2005), hal. 8 ISSN: 1746-5354 © CESAGen, Lancaster University, UK.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
505
Pemanfaatan batik sebagai PTEBT dilakukan dengan cara pengakuan yang menyebutkan sumber PTEBT dan masyarakat pengembannya serta adanya benefit sharing. Pemanfaat PTEBT secara umum memberikan 2 (dua) bentuk pengakuan hak atas PTEBT, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Kesepakatan merupakan suatu kesatuan yang harus dipahami oleh para pihak yang membuat perjanjian benefit sharing. Pasal 15, 16, dan 17 merupakan persyaratan subjektif yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjan atau persyaratan subjektif. Sebagai syarat objektif lainnya ada objek tertentu, dan hal ini dapat dipastikan bahwa wujud PTEBT yang memiliki nilai ekonomis itulah yang masuk dalam ranah ini. 2.
Saran
Pemerintah seharusnya segera mensahkan RUU PTEBT sebagai undang-undang yang dapat memberikan perlindungan dan Pemerintah Daerah mampu memahami keberadaan PTEBT yang ada di wilayahnya, serta memahami konsep benefit sharing dalam perspektif hukum kontrak/perjanjian. Masyarakat pengemban sebagai pemegang hak dan penerima manfaat dari pengelolaan PTEBT merupakan pihak yang harus memahami potensi ekonomis dari PTEBT.
506
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Daftar Pustaka Buku Doellah, Santosa. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan, Solo: PT. Batik Danar Hadi. 2002. Djoemena, Nian S. Batik dan Mitra, Jakarta: Djambatan. 1990. Hamzuri. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan. 1981. Lindsey, Tim (dkk.). Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni. 2011. Purba, Afrillyanna (dkk.). TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia: Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2005. R. M. Ismunandar. Teknik & Mutu Batik Tradisional-Mancanegara, Semarang: Dahara Prize. 1985. Subekti. Hukum Perjanjian, cetakan ke-19, Jakarta: PT. Intermasa. 2002. WIPO. WIPO Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Generic Resources, Traditional Knowledge and Biological Diversity, UNEP/CBD/TKBD/1/2, Paragraf, 85, April 2003. ______________. WIPO Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Generic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, WIPO/GRTKF/IC/28/5, 2 Juni 2014. Artikel, Jurnal, Makalah Budi, Soelistyo Henry. Status Indigeneous Knowledge dan Traditional Knowledge dalam Sistem HAKI, makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Perlindungan HAKI terhadap Inovasi Teknologi Tradisional di Bidang Obat, Pangan dan Kerajinan, diselenggarakan oleh kantor Pengelola dan Kerajinan Lembaga Penelitian UNPAD, Bandung, 18 Agustus 2001. Sardjono, Agus. Pengetahuan Tradisional: Studi mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Obat-obatan. Pascasarjan FHUI, 2004, dalam Ignatius Haryanto, ”Keluar dari Rumah Kaca: Problematika Memandang Masalah Hak atas Kekayaan Intelektual”. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, 2005. ______________. RUU PTEBT. dalam Seminar on Cultural Heritage, Intellectual Property Rights and Community Rights, pada tanggal 27 Oktober 2015.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
507
Simm, Kadri. Benefit-sharing: an inquiry regarding the meaning and limits of the concept in human genetic research, Journal, Vol. 1 No. 2, (2005), hal. 8 ISSN: 1746-5354 © CESAGen, Lancaster University, UK. Tirta, Iwan. Qou Vadis Batik Indonesia, Makalah dalam Konferensi Internasional Dunia Batik, Kerjasama antara International Center for Culture and Tour ism (ICCT) dan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2-6 Nopember 1997. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220. Undang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising From Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman hayati). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5412. Rancangan Undang-Undang tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi. Draft tahun 2011. Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights. Konvensi Bern.