PEMAHAMAN KEMBALI LOCAL WISDOM ETNIK JAWA DALAM TEMBANG MACAPAT DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN BUDI PEKERTI BANGSA Oleh : Dr. D.B. Putut Setiyadi, M.Hum. Abstrak Kearifan lokal (local wisdom) etnik Jawa yang berupa ajaran budi pekerti luhur antara lain terdapat dalam tembang macapat. Kearifan lokal tersebut berkembang di kalangan masyarakat melalui tradisi lisan yang berupa kebiasaan melantunkan tembang macapat baik secara perorangan maupun kolektif. Salah satu pakar tembang mengatakan bahwa tembang bisa dipakai sebagai sarana membangun kehalusan budi dan cita rasa keindahan. Karena itu, jika di dalam larik-larik tembang itu disisipkan ajaran-ajaran budi pekerti yang luhur, maka dengan mudah dapat diingat-ingat dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Keindahan tembang ketika dilantunkan juga bisa menyebabkan orang-orang terpesona. Dengan melantunkan tembang otomatis masyarakat juga menjadi hafal akan ajaran-ajaran yang terselip di dalamnya. Kearifan lokal etnik Jawa tersebut antara lain terdapat dalam Tripama, Wulangreh, dan Kalatidha karya Mangkunagara IV, Pakubuwana IV, dan Ranggawarsita. Pesan penulis tembang tersebut berupa piwulang (ajaran) budi pekerti luhur yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, negara (raja), dan manusia lainnya. Sebagai contoh, yaitu ajaran tentang sikap kapahlawanan, nasionalisme, berperilaku positif dan upaya menghindari perilaku negative, cara mengelola pemerintahan yang harus selalu eling ‘ingat’ dan waspada agar tidak terseret arus zaman edan. Pendidikan budi pekerti luhur melalui media tembang seperti telah dilakukan oleh etnik Jawa tersebut kiranya dapat dimanfaatkan dalam pendidikan budi pekerti luhur bagi bangsa Indonesia. Kata kunci: tembang macapat, budi pekerti luhur, kearifan lokal etnik Jawa PENDAHULUAN Di kalangan masyarakat Jawa, tembang macapat telah dikenal sejak pengaruh Islam berkembang di pesisir kian meluas. Hal itu diperkirakan terjadi pada abad XV1 dan sampai saat ini masih tetap hidup. Tembang macapat merupakan genre sastra Jawa yang berbentuk puisi dan dipakai sebagai media pendidikan dalam kehidupan seharihari masyarakat Jawa. Banyak tulisan para pujangga atau raja Jawa yang digubah dalam bentuk tembang macapat, seperti yang tersebut dalam Katalog Induk
Naskah-naskah Nusantara Jilid I yang berisi naskahnaskah yang ada di Museum Sono Budoyo Yogyakarta (Behrend, 1990) antara lain yang berisi sejarah, silsilah, hukum, ajaran, primbon, adat-istiadat, sastra wayang, dan sebagainya. Sebagai salah satu hasil kebudayaan masyarakat Jawa, tembang macapat memiliki pengaruh yang sangat besar di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Tembang itu begitu sederhana sehingga banyak orang Jawa dapat
Dr. D.B. Putut Setiyadi, M.Hum. : adalah dosen PBSID, FKIP, UNWiDHA Klaten
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
71
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
melantunkan tembang macapat itu pada zaman tembang itu populer. Oleh karena itu, banyak pujangga ataupun para raja memilih media berupa wacana tembang ini sebagai sarana pendidikan atau pesan bagi masyarakat Jawa pada zaman keraton Kasunananan Surakarta atau Mangkunegaran khususnya. Pendidikan atau pesan yang digubah dalam bentuk tembang tersebut antara lain berkaitan dengan pembentukan watak, moral, atau budi pekerti luhur bangsa dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini agaknya mencontoh para wali dalam rangka penyebaran agama Islam2. Sebagai contoh karya pujangga besar R.Ng. Ranggawarsita yang berjudul Sêrat Jâkâ Lodang, Sêrat Sabdâ Jati, Sêrat Kâlâtidhâ, Sêrat Sabdâ Tâmâ. Wulangrèh, Wulang Sunu, Wulang Èstri karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV. Tripâmâ, Wedâtâmâ, Wirâwiyâtâ karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV. Karya ketiga tokoh itu banyak dikenal di tengah masyarakat. Sampai-sampai banyak orang hafal akan lari-larik dari tembang itu. Pada era modern ini pun tembang macapat masih ditulis atau diciptakan dengan disisipi pesan-pesan tertentu yang berkaitan dengan pengembangan budi pekerti luhur bangsa. Têmbang (sêkar) macapat3 merupakan salah satu jenis puisi di dalam bahasa Jawa yang disebut juga têmbang cilik atau sêkar alit, atau têmbang
Tembang macapat merupakan corak kesenian dalam budaya tradisional yang secara kolektif dimiliki, dikenal, dan banyak mengandung pengetahuan, serta kearifan lokal (local wisdom) masyarakatnya. Selain itu, juga sarat dengan kaidah, serta berisi petuah, nasihat, dan berbagai kearifan pandangan hidup Jawa. Tembang macapat adalah salah satu jenis kesenian yang memadukan antara puisi dengan musik, baik musik tradisional maupun modern. Pilihan bentuk perpaduan antara tembang dengan musik itu tidak lepas dari kesenangan nenek moyang etnik Jawa untuk melantunkan tembang. Ini terbukti pula dengan adanya berbagai alat musik tradisional Jawa yang telah diciptakan olehnya. Keindahan tembang saat dilantunkan menyebabkan orang mudah menghafal dan menyimpan dalam hati pesan-pesan yang disisipkan dalam tembang itu. Selanjutnya dapat diajak dengan mudah untuk melaksanakan pesan-pesan itu dalam kehidupan sehari-hari. Jika pesan-pesan itu diterapkan oleh masyarakat dalam kehidupan seharihari, maka pesan itu dapat membentuk cita rasa keindahan dan kehalusan budi suatu masyarakat. Hal ini sesuai pendapat Tedjohadisumarto (1958) bahwa tembang juga dapat dipakai sebagai sarana membangun kehalusan budi dan cita rasa keindahan.
lumrah4 (Laginem, dkk., 1996:26). Disebut tembang karena dalam membawakannya sebenarnya harus
Hal lain yang menarik dari tembang macapat adalah adanya wujud salah satu anasir budaya Jawa yang bersifat khas karena isinya mengandung sapaan,
dilagukan atau dinyanyikan (Marsono, 1992:77). Hal itu juga dikatakan oleh Arps (1992:14) bahwa
amanat, atau pesan bagi seseorang yang menjadi
tembang macapat merupakan puisi tradisional tertulis yang biasanya dibaca dalam bentuk nyanyian. Cara
anggota masyarakat etniknya. Tembang macapat dihiasi pula dengan aneka simbol di dalamnya yang harus ditafsirkan maknanya. Hal ini selaras dengan
membaca yang harus dinyanyikan ini merupakan salah
pendapat Casson (1981) bahwa kebudayaan adalah
satu keunikan dari bentuk puisi dalam bahasa Jawa.
sistem arti yang bersifat simbolik dan bahasa merupakan sistem tanda yang berfungsi sebagai simbol. Simbol-simbol itu dapat diidentifikasi antara
72
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
lain melalui kespesifikan bahasa yang digunakan dan ritme suara yang lazim dilantunkan. Sebagai contoh, simbol seperti tersirat dalam larik tembang macapat karya Ranggawarsita dalam Sêrat Kalatidha berikut ini. Amênangi jaman edan,
‘Menyaksikan zaman edan,
ewuh âyâ ing pambudi,
serba salah dalam menyiasati,
mèlu edan nora tahan
ikut gila tidak tahan,
yèn tan mèlu anglakoni,
kalau tidak ikut melakukan,
boyâ kaduman melik,
tidak akan kebagian,
kalirên wêkasanipun,
kelaparan akhirnya,
dilalah karsâ Allah,
kalau sudah dikehendaki Allah,
begjâ-begjane kang lali,
seberuntung apa pun yang lupa daratan,
luwih begjâ kang eling lawan waspâdâ.
lebih beruntung yang sadar diri dan “waspada.’
Dalam salah satu bait dari Sêrat Kalatidha5 di atas mengandung pepatah dan piwulang yang ditujukan kepada anggota masyarakat yang mengenalnya dan menjadi pemilik budayanya. Piwulang ‘ajaran, pendidikan’ yang terkandung dalam bait (pâdâ6) itu disampaikan dalam simbol bahasa yang menyiratkan makna konteks yang mengacu kepada pola pikir orang Jawa. Etnik Jawa diharapkan selalu éling ‘teringat atau sadar diri akan keberadaan Tuhan’ serta waspâdâ ‘waspada’ dalam setiap perilaku hidupnya walaupun diberi kenikmatan yang memabukkan. Orang yang eling dan waspâdâ tidak akan terseret arus keadaan yang dialaminya. Ia senantiasa dapat mengontrol diri agar tetap berjalan di atas rel kebenaran, kepositifan (kebaikan), laku utâmâ atau ke budi pêkêrti luhur7 karena sadar sebagai makhluk Tuhan. Dengan demikian, orang yang selalu berbuat eling dapat terhindar dari perbuatan yang negatif dan mendapatkan pahala dari Allah. Karena itulah disebutkan orang itu lebih beruntung daripada orang yang mengikuti keangkaramurkaan karena terseret arus zaman edan. Ungkapan eling dan waspâdâ memiliki implikatur imperatif permintaan dari penulis kepada O2 agar di dalam kehidupan sehari-hari, konsep itu selalu diingat dan dipakai sebagai peringatan apabila O2 mengalami hal-hal yang mengharuskan ia memutuskan untuk berbuat angkara murka atau tidak. Melihat kutipan di atas, larik-larik dalam wacana tembang ternyata mengandung ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan filsafat hidup dan menjadi pendidikan bagi orang Jawa. Makna yang terkandung di dalamnya harus ditafsirkan sendiri oleh anggota masyarakat. Dalam menafsirkan makna, seseorang harus memiliki skemata atau knowledge of the world tentang sesuatu yang disasmitakan itu. Sebagai contoh ungkapan ilmu iku tinêmune kanthi laku8 ‘ilmu itu diperoleh dengan perbuatan prihatin9’. Diperolehnya ilmu, menurut ungkapan di atas harus disertai laku yang secara harafiah berarti ’perbuatan’. Pemahaman kata laku tidak hanya sampai pada makna harafiah saja. Ada makna lain yang harus dipahami dengan cara menerapkan konsep itu di dalam kehidupan sehari-hari. Kata laku di samping memiliki makna dasar ’perbuatan’ yang bersifat lahiriah juga memiliki makna tambahan yang lain, yaitu diikuti oleh adanya perbuatan yang bersifat batiniah, misalnya puasa, berdoa atau berdzikir, dan sebagainya. Dengan cara itu, seseorang baru dapat menemukan konsep dan implikatur dari kata laku serta memahaminya.
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
73
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
Pada kesempatan ini pembahasan hanya dibatasi pada Tripâmâ, Wulangrèh, dan Kâlâtidhâ yang masing-masing mewakili karya dari keraton Kasunanan, Mangkunegaran, dan dari pujangga. Agar masalah dapat lebih terfokus, masalah-masalah yang dibahas dalam pembahasan ini dirumuskan sebagai
Dari pernyataan itu tampak lebih jelas lagi bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang berfungsi sebagi simbol dalam mengkomunikasikan makna dari seseorang kepada yang lain. Kebudayaan juga simbol, seperti simbol bahasa, yang merupakan penanda dan petanda11 . Senada dengan itu Sapir (1960:70) juga
berikut.
mengatakan bahwa bahasa merupakan petunjuk yang
(1) Apa urgensi pemahaman kembali kearifan lokal etnik Jawa dalam tembang macapat?
sifatnya simbolis terhadap budaya. Jadi, bahasa sebagai hasil kebudayaan manusia merupakan simbol
(2) Dapatkah kearifan lokal etnik Jawa yang terdapat
makna yang diciptakan untuk keperluan manusia dalam berkomunikasi. Halliday dan Hassan (1992:4)
dalam tembang-tembang macapat itu dimanfaatkan sebagai media pendidikan budi pekerti luhur bangsa Indonesia?
BAHASA DAN KEBUDAYAAN Bahasa adalah “symbolic meaning system” ‘bahasa adalah sistem makna yang simbolis’, begitu pula halnya dengan kebudayaan yang dikatakan sebagai “symbolic meaning system” (Casson, 1981:11-17). Lebih jauh ahli ini menyatakan sebagai berikut : “Like language, it is a semiotic system10 in which symbols function to communicate meaning from one mind to another. Cultural like symbols, like linguistic symbols, encode a connection between a signifying form and a signaled meaning”, ‘Seperti bahasa, kebudayaan adalah sistem tanda yang merupakan simbol yang berfungsi untuk mengkomunikasikan makna dari satu konsep pikiran ke yang lain. Simbol-simbol yang terdapat dalam kebudayaan, seperti halnya simbol-simbol linguistik, mengkodekan hubungan antara bentuk yang menandai dan makna yang ditandai’.
mengatakan bahwa budaya sebagai seperangkat sistem semiotik, sebagai seperangkat sistem makna, yang semuanya saling berhubungan. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Secara garis besar Levi-Strauss12 (1963:68) membedakan tiga macam pandangan mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan sebagai berikut : (1) Bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari seluruh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. (2) Bahasa adalah bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. (3) Bahasa merupakan kondisi kebudayaan. Kaitan antara bahasa dan kebudayaan ini kemudian dikaji dalam bidang ilmu yang disebut etnolinguistik atau antropolinguistik (Levi-Strauss, 1963:359). Penelitian yang berkaitan dengan bidang ini awalnya dilakukan oleh Franz Boas yang meneliti orang-orang Indian dan Eskimo. Penelitian Boas beserta metodenya mengenai orang Indian tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya Edward Sapir (Samsuri, 1988:50).
74
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
Pandangan Sapir itu kemudian dikembangkan oleh Benjamin L. Whorf. Bagi Whorf cara memandang, cara memahami, serta menjelaskan berbagai macam gejala atau peristiwa yang dihadapinya, sangat dipengaruhi oleh bahasa yang digunakannya. Pandangan ini kemudian terkenal dengan sebutan “Sapir-Whorf Hypothesis” (AhimsaPutra, 1996:3). Dalam hipotesis tersebut disebutkan bahwa bahasa menentukan bukan hanya budaya tetapi juga cara dan jalan pikiran yang berbeda pula. Dengan kata lain suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain akan mempunyai jalan pikiran yang berbeda pula (Anwar, 1990: 86).
KEARIFAN LOKAL DAN WUJUDNYA Istilah “kearifan lokal” itu terjemahan dari “local genius” yang diperkenalkan pertama oleh Quaritch Wales (1948-1949) dengan arti “kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan tersebut berhubungan (Rosidi, 2010:1). Pendapat lain dari Ahimsa-Putra (t.t.:5) mendefinisikan kearifan lokal adalah perangkat pengetahuan dan praktekpraktek pada suatu komunitas – baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamanya berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya – untuk menyelesaikan secara baik
Menurut Ridwan (2010:2) kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai “kearifan/ kebijaksanaan”. Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Tim Wacana Nusantara (2009:1) menyatakan bawa kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat tertentu di daerah tertentu. Kearifan lokal tersebut terpelihara dengan baik meskipun telah terjadi interaksi dengan dunia luar dan mengalami akulturasi budaya denga kebudayan di luar kebudayaan mereka. Menurut Ridwan (2010:3) kearifan-kearifan lokal dalam masyarakat kita dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-
dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak.
hari. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri
Kearifan lokal (local wisdom, local knowledge,
khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alonalon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-
local genius) juga didefinisikan sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Rajab dalam http://www.depsos.go.id/).
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiaine manfaat ilmune, patuh gurune barokah uripe (masyarakat pesantren), dan sebagainya.
75
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
Menurut Marsono (2007:182) dalam masingmasing etnik Nusantara banyak terdapat kearifan
dan meresap ke dalam hati sanubari mereka. Kemudian dalam kehidupan sehari-hari secara
lokal. Sewaktu bangsa Nusantara belum bisa tulismenulis kearifan lokal yang memuat amanat pembentukan budi luhur dituangkan dalam bentuk upacara-upacara tradisional, legenda-legenda/ cerita
otomatis melaksanakan pesan-pesan itu.
rakyat/ dongeng, ungkapan-ungkapan, dan relief. Setelah bangsa ini mampu tulis-menulis maka sarana yang dipakai lewat bentuk tulis.
dilakukan oleh O1 dapat pula dikatakan sebagai bentuk kearifan lokal yang dilakukan oleh O1 atau para leluhur etnik Jawa. Dikatakan demikian
Dengan demikian O1 secara tidak langsung telah mempengaruhi O2 agar melaksanakan pesan-pesan tersebut. Apa yang
karena para leluhur berusaha membentuk budi pekerti masyarakat etnik Jawa melalui tembang. PEMBAHASAN 4.1 Urgensi Pemahaman Kembali Kearifan Lokal Etnik Jawa Melalui Tembang Macapat Dari hasil telaah dan pemahaman kembali terhadap tembang macapat Tripâmâ, Wulangrèh, dan Kâlâtidhâ (selanjutnya disingkat T, W, dan K) dapat dikatakan bahwa ketiga tembang macapat itu mengandung bermacam-macam piwulang/ ajaran yang berkaitan dengan budi pekerti manusia hidup di dunia. Wujud piwulang itu berupa ungkapan-ungkapan yang disisipkan di dalam tembang macapat itu. Penggubah tembang (O1) bermaksud memberikan piwulang itu kepada para keturunan raja, para abdi keraton, dan juga masyarakat etnik Jawa (O2). Penyampaian pesan berupa piwulang yang dibungkus melalui tembang itu sangat efektif, sehingga mampu menjangkau masyarakat etnik Jawa secara luas. Dengan cara memasyarakatkan tembang macapat di kalangan etnik Jawa, pesanpesan raja sampai kepada O2 secara perlahan namun pasti. Masyarakat diajak nembang dengan berbagai metrum yang berbeda. Dari kebiasaan nembang itulah pesan-pesan itu dengan tidak disadari telah dihafal oleh masyarakat etnik Jawa
76
Leluhur etnik Jawa juga menciptakan tradisi yang menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh etnik Jawa dalam kehidupannya. Tradisi itu dipelihara secara turun-temurun dan hingga saat ini masih dipertahnkan keberadaannya. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa tembang macapat merupakan sumber kearifan lokal etnik Jawa di dalam hal piwulang budi pekerti atau watak yang patut diteladani. Berdasarkan telaah terhadap ketiga tembang tersebut, ditemukan kearifan lokal yang berkaitan dengan pembentukan budi pekerti luhur etnik Jawa. Pesan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, raja/ pemimpin/ negara, dan dengan manusia lain. Hubungan manusia dengan alam diintegrasikan dengan ketiga hubungan tersebut. Berikut ini pembicaraan secara singkat mengenai hal itu. (1) Piwulang yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan Kearifan lokal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan yang ditemukan dalam ketiga tembang yang dibahas tersebut antara lain agar O2 memahami kesempurnaan Tuhan. Kesempurnaan itu terbukti
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
dari penyebutan terhadap Tuhan seperti Hjang Agung ‘Yang Agung’ (W, 309, 516, 521, 836), Gusti Kang Murbâ ‘Tuhan Yang Maha Menguasai’ (W, 448), Hyang Widdhi atau Allah (K,69, 99), dan sebagainya.
Islam disertai berdoa secara khusyuk atau melakukan ritual agama Islam secara khusus seperti shalat malam atau berdzikir. Selain itu ada empat tahap proses pendekatan diri kepada Tuhan dengan tingkatan makin tinggi semakin
Piwulang yang lain adalah agar O2 memahami ajaran Islam beserta kitab suci Al-
memperoleh kemungkinan untuk bisa dekat dengan Tuhan. Empat tahapan itu adalah syariat,
Quran karena merupakan kitab yang isinya berupa tuntunan kehidupan yang sempurna (W,
tarekat, hakikat, dan makrifat. Tahapan syariat adalah tahapan paling rendah, diikuti tahapan berikutnya makin tinggi tatarannya.
21), kalau perlu bisa dilakukan dengan cara berguru untuk mempelajari kitab suci tersebut. Namun, tidak sembarang guru bisa dipilih, harus ada kriteria tertentu (W, 31 – 38). Setelah itu hendaklah menjalankan rukun Islam dan syariat agama yang lain (W,1092). Dalam menjalankan rukun Islam itu hendaklah selalu berdzikir dan berdoa (W, 1181 – 1187). Tidak lupa pula berupaya mendekatkan diri kepada Yang Maha Esa (W, 1400 –1408) dengan cara selalu mengolah batin (W, 81–86), selalu bersyukur dan ikhlas dalam menjalankan ibadah (1177 – 1180 dan 1224 – 1225); serta jangan terlena karena hidup hanya diibaratkan mung mampir ngombe (W, 1126 – 1132), setiap saat manusia dipanggil menghadap-Nya karena memenuhi takdirnya ((T, 20, 40, dan 59; K, 55 –62). Selain itu, ajaran agar O2 tidak sêmbrânâ (W, 1112 – 1118) di dalam menjalankan perintah agama. Pendekatan diri kepada Tuhan biasa dilakukan oleh etnik Jawa, baik melalui cara kejawen atau agama. Jika melalui kejawen proses pendekatan diri kepada Tuhan biasanya dilakukan dengan cara semedi ‘berdoa secara khusyuk’, nglakoni ‘meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi’, atau tâpâ brâtâ ‘bertapa’ dalam suatu tempat tertentu. Dalam agama Islam hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan rukun
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
Dari pengetahuan tentang kedekatan diri dengan Tuhan itu dalam budaya Jawa muncul kearifan lokal yang berupa ungkapan sêmbah râgâ sebagai padanan tingkat syariat, sêmbah ciptâ padanan tahap tarekat, sêmbah jiwâ sebagai padanan hakikat, sêmbah râsâ padanan makrifat. Sêmbah râsâ merupakan tataran tertinggi dalam tahapan kedekatan antara manusia dengan Tuhannya. Dalam budaya Jawa tingkat makrifat atau sêmbah râsâ dapat disamakan dengan manunggaling Gusti-kawulâ. Ada kepercayaan di dalam sistem religi etnik Jawa bahwa antara seseorang dengan Tuhannya bisa menyatu yang disebut manunggale Gusti-kawulâ. Persatuan ini diibaratkan permata atau emas dengan tembaga yang menyatu menjadi suasa. Persatuan itu juga harus bersih, tidak ada nafsu aluamah dan amarah, suci lahir-batin. Itu semua harus disertai dengan kesabaran, tidak boleh tergesa-gesa atau nggege mangsa. Kalau telaten akan tercapai kemanunggalan itu. Di dalam masyarakat etnik Jawa kepercayaan ini saat ini masih ada dan dilakukan di dalam masyarakat etnik Jawa, walaupun agama Islam telah mendalam di masyarakat etnik Jawa. Konsep persatuan tersebut memiliki padanan atau disimbolkan dengan konsep curigâ manjing warângkâ ‘keris yang masuk ke dalam wadahnya’.
77
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
Kedekatan manusia dengan Tuhannya diibaratkan pula dengan ungkapan cêdhak tanpâ senggolan, adoh tanpâ wangênan ‘dekat tidak bersenggolan, jauh tidak tanpa batasan atau tanpa jarak’. Itulah perumpamaan hubungan manusia dengan Tuhan yang telah mencapai tataran tertinggi di dalam sistem religi etnik Jawa. Untuk mencapai tataran manunggale Gusti-kawulâ etnik Jawa harus mêsu ciptâ mati râgâ ‘mengheningkan cipta dan mematikan raga’ yang menjadi sikap laku prihatin. Sikap ini bisa dipadankan dengan ngungkurke kadonyan ‘menjauhi keduniawian’ yang dilakukan dengan cara semadi ‘melakukan doa secara khusyuk’ dan harus mematikan pancaindera atau nutupi babahan hawâ sângâ ‘sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia’. Babahan hawâ sângâ adalah konsep yang dipercaya oleh etnik Jawa merupakan sumber keduniawian manusia, yakni munculnya nafsu yang ada pada diri manusia. Sembilan lubang yang dimiliki manusia, yaitu hidung, telinga, mata, mulut, payudara, dan lubang seksual. Orang yang berlaku mêsu ciptâ mati râgâ menutup semua lubang itu dalam arti khusuk berpusat pada doa. Begitulah etnik Jawa menyikapi hubungan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Etnik Jawa memiliki kearifan lokal berupa ungkapan yang menyatakan bahwa takdir merupakan garising pêpêsthèn ‘garis takdir’ atau garising kodrat ‘kepastian kodrat’. Segala sesuatu kalau sudah takdir tan kênâ owah gingsir ‘tidak bisa berubah lagi’. Dalam ungkapan-
ing Gusti ‘telah ditakdirkan oleh Tuhan’, mupus pêpêsthening takdir ‘menyerah dengan adanya takdir’. Orang tidak bisa menghindar dari takdir buruk yang datang yang diungkapkan kabêntus ing tawang, kêsandhung ing râtâ ‘menabrak angkasa, tersandung di jalan yang rata’. Ungkapan itu merupakan kiasan untuk menggambarkan sesuatu yang sebenarnya tidak mungkin terjadi, namun manusia tidak bisa menghindarkan diri dari takdir yang telah digariskan oleh Tuhan Ungkapan-ungkapan itu dimanfaatkan untuk bangkit dari kesedihan dan menimbulkan semangat ketika menghadapi takdir yang berhubungan dengan kesedihan. Yang berkaitan dengan takdir muncul pula ungkapan siji pati ‘satu, kematian’, loro jodho ‘dua, jodoh’, têlu tibaning wahyu ‘tiga, jatuhnya wahyu Illahi’. Ungkapan lain lagi yang muncul berkaitan dengan takdir adalah bêjâ-cilâkâ ‘beruntungcelaka’, lârâ kêpenak ‘sakit-sehat’, sugih mlarat ‘kâyâ-miskin’ itu sudah takdir. Etnik Jawa percaya bahwa mênungsâ mung sakdrêmâ nglakoni ‘manusia hanya sekedar menjalankan apa yang menjadi takdir Tuhan’. Ungkapan lain kridaning ati ora bisâ mbêdhah kutaning pasti; budi dayaning manungsâ ora bisâ ngungkuli garesang kuwâsâ ‘tidak setiap keinginan manusia dapat dipenuhi, budi daya manusia tidak bisa melebihi kekuasaan atau apa yang ditakdirkan Tuhan’.
ungkapan yang lain muncul ungkapan-ungkapan pula seperti pasrah ‘pasrah’, sumarah karsaning Gusti berserah diri kepada Tuhan’, wis ginaris
78
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
(2) Piwulang menyangkut hubungan manusia dengan Raja/ Pemimpin/ Negara
harus dibela dengan taruhan nyawa’. Dalam
Piwulang yang berkaitan dengan
pandangan etnik Jawa, (istri dan) tanah merupakan lambang harga diri. Sebuah negara,
hubungan manusia sebagai abdi kepada raja/ pemimpin/ negara yang ditemukan dalam ketiga
bahkan hanya sejengkal tanah saja, harus dibela sampai mati apabila itu diganggu atau diduduki
tembaang yang ditelaah, mencakup perilaku agar O2 selalu menunjukkan guna, kâyâ, dan purun
negara (orang) lain. .
kepada raja (T, 1—10); meneladani sikap nasionalisme, bela negara, dan kepahlawanan; memiliki rasa balas budi kepada negara (T, 1 – 10, 21 – 24, 41 – 60); tidak melupakan tanah tumpah darah (T, 31 –40) marsudi ing kotaman (T, 61 – 70); taat hukum (W, 455 – 458); Kearifan lokal yang dapat diambil dari pengetahuan ini adalah sikap yang harus dilakukan oleh rakyat apabila ingin mengabdi kepada raja. Seseorang harus memiliki gunâ ‘kepandaian’. Gunâ disimbolkan kepandaian atau kesaktian Patih Suwanda dalam memenangkan sayembara yang diadakan oleh Raja Magada. Kâyâ adalah keberhasilan Patih Suwanda dalam menaklukkan raja-raja lain dalam mengikuti sayembara, sehingga ia dapat memperoleh harta rampasan dan upeti dari raja-raja yang ditaklukkan. Purun adalah kesetiaan Sang patih di dalam melaksanakan tugas negara yang tanpâ pamrih, bahkan nyawanya sebagai taruhannya. Ia hanya melaksanakan tugas sesuai dengan apa yang ditugaskan oleh raja. Apa yang ia bawa tidak sedikitpun dikorupsi. Jadi, pengabdian yang total diharapkan dilakukan oleh mereka yang mengabdi. Kearifan lokal yang dapat diperoleh dari pola berpikir di atas adalah munculnya ungkapan sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi pati ‘sedikit saja dahi (wajah istri) dipegang (dilecehkan), atau tanah sejengkal saja apabila diganggu, maka
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas etnik Jawa berkaitan dengan hal di atas adalah munculnya ungkapan mikul dhuwur mêndhêm jêro ‘memikul tinggi, memendam yang dalam’. Ungkapan ini mengandung maksud agar O2 menghormati orang tuanya/ leluhur/ pemimpin setinggi-tingginya dan menghargainya. Dengan demikian O2 telah melakukan laku utâmâ . Sikap ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang anak atau generasi muda kepada orang tua/ leluhur/ pemimpin yang telah memberikan segala keperluan kita. Temuan lain yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan raja/ pemimpin/ negara adalah agar O2 sebagai seorang abdi negara hendaklah gemi , nastiti ‘cermat’, dan ngati-ati ‘hati-hati’ (W, 499 – 502); bersikap mantep ‘teguh’ dan setya tuhu ’loyal’ terhadap raja (W, 511 – 515); mematuhi semua perintah raja (W,516 – 520, dan 556 – 560); melaksanakan kewajiban sesuai tugasnya (W, 562 – 570); menghormati (menyembah) raja, karena raja merupakan wakil Tuhan (W, 516 – 520); ikhlas lahir-batin (W, 521 – 525); seorang perwira bersikap ksatria, santun, dan teliti dalam berperilaku (W, 937 – 941); menerima dan menikmati semua pemberian raja (W, 965 – 976); meniru hal yang positif dari raja W, 1562, 1566, 1568, 1573 – 1575, 1656, 1669, 1674, 1682, 1685).
79
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
Selain meminta, O1 juga melarang kepada O2 sebagai abdi negara agar tidak absen dalam pisowanan (W, 471 – 478); tidak menggampangkan dan membuka rahasia raja (W, 501 – 506); tidak menolak keingin raja (W, 471, dan 1030 – 1041); tidak melanggar wêwalêr atau hal yang tabu W, 1553 – 1561); tidak bosan berdialog dengan ulama (W, 1605 – 1608); tidak menolak buku-buku yang berisi ajaran (W, 1625 – 1632). Yang berkaitan dengan sikap seorang pemimpin, dalam ketiga tembang itu ditemukan ajaran yang ditujukan kepada O2, hendaklah jika menjadi raja/ pemimpin negara bisa mempertimbangkan baik dan buruk (K, 10 –18); memiliki kemampuan lebih (K, 19 – 27); menjadi teladan bagi yang dipimpin (K, 72–80); mengetahui bahwa semua yang dilakukan atau dikatakan raja adalah benar adanya (W, 491— 494); menjaga kehormatannya (W, 1151 – 1153); bijaksana dan adil (W, 1161 – 1174); melestarikan tradisi (desa tetap ramai dan rakyat bekerja) W, 1231 – 1237); luas pengetahuannya (W, 1610 – 1633); mampu memberantas keangkaramurkaan (K, 19 – 27); menciptakan kedamaian dan kesejahteraan pemerintahan dan rakyatnya (K, 90 –98); bisa mati sajroning urip (K, 108 –116); tidak adigang. adigung, dan adigunâ (W, 186 – 195); tidak membuat kesalahan (K, 37 – 45); tidak beriman lemah (T, 37 –45); tidak terseret zaman edan dan melakukan aji mumpung (K, 64 – 71); tidak mengikuti arus keangkaramurkaan (K, 37 –45). Apa yang diuraikan di atas dapat diberikan penjelasan beberapa bagian sebagai contoh. Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas etnik Jawa berkaitan dengan (K, 10 –18) di atas
80
adalah munculnya ungkapan becik kêtitik âlâ kêtârâ ’baik dapat dikenali, buruk akan ketahuan’. Ungkapan ini untuk menyebut orang yang berperilaku baik akan dikenali dan dikenang orang, tetapi jika berperilaku buruk meskipun disembunyikan rapat-rapat akan ketahuan juga. Selain itu seorang pemimpin dalam menjalankan roda kepemimpinan hendaklah berpegang teguh pada ajaran sastrâ jendrâ hayuningrat pangruwating diyu ‘ilmu rahasia yang dimiliki seorang raja dalam menciptakan keselamatan dunia, dan dapat menghancurkan keangkara murkaan’. Kearifan lokal yang muncul di kalangan masyarakat Jawa berkaitan dengan apa yang diungkapkan dalam (K, 72–80) adalah ungkapan ing ngarsâ sung tulâdhâ, ing madyâ mangun karsâ, tut wuri handayani ‘di depan memberi keteladanan, di tengah memberikan dorongan kehendak yang dipimpin, dan mengikuti dari belakang untuk kebaikan dan keselamatan’. Raja atau pemimpin hendaklah memiliki sikap ini untuk menjadi pemimpin yang berbudi luhur. Dengan sikap ini bawahan akan segan dan menghormati. Kearifan lokal yang diperoleh dari (W, 1151 – 1153) adalah munculnya ungkapan êmpan papan ‘dapat menempatkan diri di mana pun’. Di manapun dan kapan pun seorang pemimpin harus dapat menjaga kehormatan dan martabatnya. Dengan menerapkan konsep empan papan seorang pemimpin dapat menyesuaikan diri di manapun ia berada. Orang akan dikatakan ora ngêrti tâtâ krâmâ ‘tidak tahu tata krama atau norma-normakehidupan’ apabila dia tidak bisa menerapkan konsep êmpan papan. Akibat ketidaktahuan ini orang tersebut akan menjadi
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
orang yang wirang karena tidak bisa menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi. Seorang pemimpin juga harus mengetahui ungkapan ajining diri dumunung ing kêdaling lathi ‘kehormatan seseorang tergantung dari ucapannya’. Orang yang tidak pernah menepati janjinya dia akan dikatakan pembohong sehingga kehormatannya menjadi turun. Sosok pemimpin harus mengetahui ajining sarirâ dumunung ing busânâ ‘harga diri seseorang terletak pada cara ia berpakaian’. Jadi, seorang pemimpin juga wajib menjaga kata-kata dan penampilannya. Kearifan lokal yang muncul dalam komunitas etnik Jawa berkaitan dengan (K, 90 – 98) adalah munculnya ungkapan mburu sênênge dhewe ‘mengejar nafsu kesenangan pribadi’ yang dikenakan kepada pejabat yang tidak memikirkan kesejahteraan rakyat. Pejabat model ini hanya mencari keuntungan diri sendiri, keluarga, dan golongannya. Watak pejabat yang demikian merupakan watak yang tidak baik dan tidak patut diteladani, dia memiliki sifat angkara murkâ budi candhâlâ ‘angkara murka, dan budi pekerti yang jelek’, dan sebagainya. (3) Piwulang menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain Piwulang yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia lain yang ditemukan dalam ketiga tembang yang dianalisis, dapat dkelompokkan menjadi dua, yaitu yang berupa permintaan dan yang berupa larangan. Yang berupa permintaan adalah hendaklah menjaga keprofesionalan (W, 71 – 80); berusaha keras dalam meraih cita-cita (W, 81 – 86); agar selektif dalam berteman (W, 95 – 98); agar
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
menghormati, patuh, selalu mengingat ajaran orang tua/ leluhur, dan berperilaku baik(W, 166 – 171); tabêri ‘rajin dan teliti’ (W, 142 –147); meniru ajaran yang benar walaupun datangnya dari kaum sudra (W, 182 –186); rèrèh ‘sabar’, ririh ‘halus, lembut’, ngati-ati ‘hati-hati’, atau cermat (W, 213 – 216); dapat mempertimbangkan yang baik dan yang buruk, adat dan tatanan, tata krama (sopan santun), serta musyawarah untuk perkara yang kecil maupun besar (W, 257 – 263); mengenali watak manusia (W, 284 – 295); melakukan sêmbah limâ W, 403 – 414); mengurangi makan, tidur, dan nafsu yang membara (W, 601 – 607); menyadari bahwa benar-salah, baik-buruk, untung-celaka disebabkaan oleh ulah sendiri (W,615 – 621); hati-hati berbicara (W, 697 – 708); satu saudara kandung bersatu dan tidak individual (W, 516 – 522); tidak pilih kasih (W, 871 – 874); saling menghormati dan saling menghargai (W, 875 – 878); tahu asal-usul (W, 977 – 982); senang menimba ilmu atau belajar tekun (W, 1067 – 1072); selalu bertakwa (W, 1091 – 1097); bersikap narimâ ‘menerima’ (W, 953 – 958); banyak mendengarkan atau membaca cerita dan senang nembang (W, 1266 – 1272); berbudi pekerti luhur (W,1436 – 1444); berhati-hati menentukan sikap (W, 1381 – 1390); generasi muda lebih baik daripada pendahulunya (W, 1658 – 1665); mencari kesempurnaan hidup (W, 1730 – 1737); mendoakan keturunannya (W, 1666 – 1673); mawas diri (K, 72 – 80). Yang berupa larangan adalah agar O2 tidak berlebihan tidur dan makan (W, 87 – 92); tidak sombong, angkuh, dan congkak (W, 93 – 94); tidak banyak bicara (W, 153 – 158); tidak kêpatuh (W, 171 – 175); tidak suka disanjung dan disuap
81
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
maupun menyuap (W, 226 – 235); tidak suka mengobral janji (W, 246 – 250); tidak dekat orang
yang berupa larangan. Permintaan tersebut pada umumnya berupa permintaan dari O1 kepada O2
yang bersikap dêgsurâ (W, 277 – 283); tidak bersikap drêngki, srèi, dorâ, irèn, mèrèn, panastèn, kumingsun, jail, mutakil, dan basiwit (W, 312 – 318); tidak bersikap lunyu, lèmèr(an),
agar melakukannya, sedangkan yang berupa ajaran mengenai perilaku buruk berupa larangan agar O2 tidak melakukannya. Semua ajaran itu
genjah, angrong prasanakan, nyumur gumuling, dan ambuntut arit (W, 347 – 353); tidak mengikuti ajaran yang diberikan oleh orang tua atau saudara jika dirasa hal itu tidak baik (W, 379 – 386); tidak berani kepada orang tua (W, 395 – 398); tidak melakukan tiga hal, yaitu nggunggung ‘menyanjung’, nacat ‘mencacat orang lain’, dan maoni ‘tidak mempercayai semua orang’ (W, 625– 629); tidak suka ngrasani (W, 678 – 684); tidak mengumpat atau berkatakata kotor (W, 709 – 714); jangan mengambil janda saudara, abdi, dan teman bekerja (W, 721 – 726); jangan mengonsumsi opium atau narkoba, bertaruh, menjadi penjahat, dan berhati saudagar, dan pemabok (W, 739 – 744); tidak bergaul dengan wanita yang buruk tabiatnya, serta tidak membuka rahasia di depan wanita (W, 829 – 834); tidak angkuh, bêngis, lêngus, lanas, calak, lancang, langar, ladak, sumalonong, ngidak, ngêpak, dan siyâ-siyâ (W, 1133 – 1139); tidak sêmbrânâ ‘teledor’, bersikap tidak menerima, tidak mudah bosan berdialog dengan orang tua (W, 1161 – 1167); tidak mengabaikan wulang (W, 1594 – 1601). Ungkapan-ungkapan yang disisipkan dalam tembang macapat dalam hal berhubungan antara manusia dengan manusia yang lain atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakaat yang lain di atas merupakan ajaran yang disampaikan O1 kepada O2. Isi ajaran tersebut ada yang berupa sebuah permintaan dan ada pula
82
menjadi kearifan lokal etnik Jawa yang hidup dan menjadi tradisi bagi etnik Jawa sampai saat ini. Berdasarkan telaah terhadap ketiga tembang di atas dapat dikatakan bahwa pemanfaatan kembali terhadap kearifan lokal etnik Jawa yang terdapat dalam tembang macapat sangat urgen jika dikaitkan dengan upaya pembentukan budi pekerti luhur bangsa Indonesia. 4.2 Pemanfaatan Tembang Macapat sebagai Media Pendidikan Budi Pekerti Luhur Bangsa Indonesia Berdasarkan pembahasan tentang tembang macapat Tripâmâ, Wulangrèh, dan Kâlâtidhâ sebagai sumber kearifan lokal bagi etnik Jawa diketahui bahwa ketiga tembang itu berisi pendidikan, piwulang, atau ajaran. Adapun ajaran itu berisi hal-hal yang menyangkut budi pekerti luhur yang berkaitan dengan budi pekerti manusia yang meliputi sikap nasionalisme, kepahlawanan, agama, etika, moral, dan perilaku hidup seharihari, serta perilaku dalam pemerintahan. Ajaran itu tidak hanya mengenai hal-hal yang baik, namun juga mencakup hal-hal yang buruk. Keduanya diajarkan agar O2 dapat membedakan budi pekerti yang baik dan sifat-sifat buruk. Pendidikan yang baik wajib diteladani, sedangkan sifat-sifat yang buruk ditinggalkan dan disimpan sebagai pengetahuan jika suatu saat menghadapi hal yang buruk itu.
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
Ungkapan-ungkapan yang ada di dalam tembang itu merupakan kearifan lokal dan
tidak melakukan perbuatan adiguna, adigang, adigung.
kekayaan kebudayaan yang dimiliki etnik Jawa. Ungkapan-ungkapan yang diidentifikasi sebagai ajaran tentang budi pekerti itu selanjutnya menjadi pola pikir dan pandangan hidup etnik
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa
Jawa yang terselip di dalam larik-larik tembang. Penyebaran ke berbagai komunitas etnik Jawa itu terjadi melalui nyanyian yang sering dilakukan oleh masyarakat etnik Jawa. Dengan cara menyanyikan mereka akhirnya hafal ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam tembang itu. Dengan menyanyikan tembang itu mereka juga tidak sadar telah merefleksi makna ungkapan-ungkapan yang ada di dalam tembang itu. Dengan demikian secara otomatis ungkapanungkapan itu lalu memasyarakat dan menjadi kearifan yang dimiliki oleh etnik Jawa. Dengan demikian akhirnya ungkapan-ungkapan itu lalu menjadi kearifan lokal yang dimiliki oleh etnik Jawa. Ungkapan-ungkapan itu dikatakan sebagai kearifan lokal etnik Jawa karena hanya etnik Jawa saja yang memahami makna atau sasmita dari ungkapan-ungkapan melalui proses refleksi dalam kurun waktu yang lama. Dari ungkapan yang ada di dalam tembang kemudian etnik Jawa melengkapi dengan ungkapan-ungkapan lain yang diciptakan untuk menghadapi permasalahan-permasalah yang muncul di dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan lain itu merupakan ungkapanungkapan yang mengandung daya sugesti bagi etnik Jawa, sehingga etnik Jawa mampu keluar dari permasalahan yang dihadapi. Sebagai contoh: ada ungkapan adiguna, adigang, adigung menyebabkan munculnya ungkapan aja dumeh sebagai langkah untuk menanggulangi agar orang
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
dalam ketiga wacana tembang macapat itu terkandung konsep pemikiran atau cara memandang masyarakat etnik Jawa terhadap Tuhan, negara/ raja, dan manusia lain. Konsep itu lalu dituangkan dalam bentuk tulisan yang berupa tembang macapat. Setelah itu, tembang beredar di masyarakat etnik Jawa dan apa yang tertulis di dalam larik-larik itu menjadi sistem kognisi atau sistem pengetahuan bagi etnik Jawa. Sistem pengetahuan yang berupa cara pandang etnik Jawa itu dapat dipahami oleh etnik Jawa secara turun-temurun dan direfleksi secara tidak langsung melalui nyanyian dalam kurun waktu yang lama. Pengetahuan ini kemudian menjadi strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan masyarakat etnik Jawa dalam menyelesaikan berbagai persoalan atau masalah yang muncul di kalangan mereka. Dengan demikian ungkapan-ungkapan itu telah menjadi kearifan lokal dan kekayaan kebudayaan bagi etnik Jawa dan dimiliki secara turun-temurun. Cara menanamkan ungkapan-ungkapan yang mengandung pendidikan, piwulang, atau ajaran kepada generasi selanjutnya melalui tembang dan tulisan itu sangat baik dilestarikan karena dengan tembang pesan-pesan mudah masuk ke dalam hati sanubari. Walaupun ada pula ungkapan-ungkapan yang saat ini tidak relevan karena kemajuan zaman, namun kearifan ini perlu pula dipakai sebagai model bagi penanaman dan pengembangan budi pekerti luhur bagi generasi muda.
83
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, dapat
Ahimsa-Putra, Hedi Shri. 2001. Strukturalisme Levi-
disimpulkan bahwa pemahaman kembali kearifan lokal etnik Jawa dalam tembang macapat sangat urgen
Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
dalam rangka pembentukan budi pekerti luhur bangsa Indonesia. Dikatakan demikian karena tembang macapat mengandung ajaran budi pekerti luhur bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika masyarakat melaksanakan pendidikan, piwulang, atau ajaran tersebut, dapat diprediksikan terciptanya kehidupan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, pemimpin, dan manusia yang lain, termask di dalamnya alam semesta. Kearifan lokal etnik Jawa yang berupa ajaran yang bersumber dari tembang macapat itu dapat dimanfaatkan sebagai model dalam menanamkan budi pekerti bagi bangsa Indonesia. Penanaman budi pekerti melalui tembang tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi masyarakat masing-masing. Jenis tembang yang dipilih menyesuaikan dengan cita rasa tembang masyarakat daerah masing-masing. Misalnya di Jawa menggunakan media tembang macapat. Di Bali dan Sunda juga ada macapat, mungkin di Betawi dengan tembang yang dibungkus gambang kromong. Di Sumatra atau daerah lain dengan lagu daerahnya masing-masing.
______. 1996. Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. ______. 1994. “Model-model Linguistik dan Sastra dalam Antropologi”. Bulletin Antropologi. Th. IX. ______. tt . “Bahasa, Sastra dan Kearifan Lokal di Indonesia”. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Anwar, Khaidir.1990. Fungsi dan Peranan Bahasa: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese Literature. London: University of London. Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara: Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Djambatan. Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. Darusuprapta. 1989. “Macapat dan Santiswara” dalam Humaniora No. 1. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. _______. 1985. Serat Wulang Reh. Surabaya: CV Citra Jaya. Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya.
84
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial (terjemahan Asruddin Barori Tou). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kamajaya. 2000. Lima Karya Pujangga Ranggawarsita. Jakarta: Balai Pustaka. Kartomihardjo, Soeseno. 1993. “Analisis Wacana dengan Penerapannya pada Beberapa Wacana”. PELBA 6 , hal. 21–58. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya dan Kanisius. _______. 2000. “Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa”. Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia, Tahun 18, Nomor 1, hal. 123–140. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya. _______. 1993. Sasmita a Shared Knowledge of The World among Javanese. Paper in Second International Symposium on Humanities: Linguistics and History. Yogyakarta: Faculty of Letters. Laginem, Slamet Riyadi, Prapti Rahayu, Sri Haryatmo. 1996. Macapat Tradisional dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books, Inc., Publishers. _______. 2005. Antropologi Struktural (terjemahan Ninik Rochani Sjams). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511
Mardiwarsita, L. 1981. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende: Nusa Indah. Marsono. 1996. “Lokajaya: Suntingan Teks, Terjemahan Struktur Teks, Analisis Intertekstual, dan Semiotik”. Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana UGM. _______.2007. “Revitalisasi Kearifan Lokal Guna Mewujudkan Masyarakat Sejahtera” dalam Kemajuan Terkini Riset Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: LPPM UGM. Marsono; Waridi Hendrosaputro (Penyunting). 1999/ 2000. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa-Lembaga Studi Jawa. Poerwadarminta, W.J.S. 1953. Sarining Paramasastra Djawa. Jakarta: Noordhoff-Kolff N.V. ________. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij NV. Putut Setiyadi, Dwi Bambang. 2004. “Wacana dalam Tembang Macapat Wulangreh: Kajian Pragmatik” dalam Jurnal Terakreditasi Fenolingua, Nomor 1, Tahun 13, hal. 85–107. Klaten: Universitas Widya Dharma. _______. 2009. Wacana Tembang Macapat sebagai Pengungkap Sistem Kognisi dan Kearifan Lokal Etnik Jawa serta Dasar Pembentukan Kepribadian Bangsa. Hibah Penelitian untuk Mahasiswa Program Doktor Tahun Anggaran 2009. Yogyakarta: LPPM Universitas Gadjah Mada. Rajab. 2007. Kearifan www.depsos.go.id/
Lokal.
http://
85
Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa dalam ..........
Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana. Yogyakarta: IRCiSoD. Ridwan, Nurma Ali. 2010. “Landasan Keilmuan
_______. 2004b. “Dimensi Moral dalam SyairTembang pada Pagelaran Wayang Purwa”. Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana UGM.
Kearifan Lokal”. http:// www.nusantaraonline.com.
Sri Susuhunan Pakubuwana IV. TT. Wulangreh.
Riyadi, Slamet. 1988. Macapat: Kajian Unsur dan Sejarah. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Subalidinata, R.S. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Wacana University Press.
Rosidi, Ajip. 2010. “Kearifan Lokal dan Pembangunan Bangsa” dalam International Conference Proceedings on Traditional Culture and Rancage Award 2010, hal. 28–35. Yogyakarta: Faculty of Language and Arts, Yogyakarta State University. Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Depdikbud. Sapir. Edward. 1960. Culture, Language, and Personality. USA: University of California Press. Saputra, Karsono H. 2001. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Lingustik Umum (terjemahan Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soesilo. 2002. Ajaran Kejawen: Filosofi dan Perilaku. Jakarta: Yayasan “Yusula”. _______. 2003. 80 Ajaran Ungkapan Orang Jawa. Jakarta: Yayasan “Yusula”. Soetrisno, R. 2004a. Nilai Filosofis Kidung Pakeliran. Yogyakarta: Adita Pressindoesti.
86
Sukoharjo: Cendrawasih.
Sudaryanto dan Pranowo (Ed.). 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa. Tedjohadisumarto, R. 1958. Mbombong Manah 1. Jakarta: Djambatan. Tim Penyusun Kamus. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tim Wacana Nusantara. 2009. “Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Klasik” http:// www.nusantaraonline.com Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Winter Sr. C.F. dan Ranggawarsita, R.Ng. 1994. Kamus Kawi – Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Yule, George. 2006. Pragmatik (terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. _______. 1994. Kalangwan (Terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Djambatan.
Magistra No. 79 Th. XXIV Maret 2012 ISSN 0215-9511