PELUANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN TABANAN BERDASARKAN KONDISI EKSISTING, KUALITAS SDM, PELUANG KERJA, DAN KEBUTUHAN SDM YANG SESUAI*) Oleh : I Ketut Suda**) I.
Pengantar Sejak diperkenalkannya ide tentang investasi di bidang sumber daya manusia pada tahun
1960-an, maka perhatian masyarakat terhadap nilai-nilai ekonomi dari pendidikan ikut berkembang dengan subur di seluruh dunia. Ditambah beberapa studi yang dilakukan para ahli berhasil membuktikan bahwa tingkat pendidikan penduduk mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan ekonomi suatu bangsa, maka implikasinya adalah pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan melalui perbaikan atau peningkatan kualitas pendidikan (Tirtosudarmo, dkk. Dalam Tirtosudarmo (penyunting) ,1996:5) Sejalan dengan itu, mantan menteri pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, bahwa tatanan baru dalam sistem ekonomi Indonesia pelan-pelan tetapi pasti telah menggeser tatanan sosial, termasuk tatanan kehidupan dunia pendidikan. Masuknya sistem ekonomi pasar ke Indonesia sejak awal tahun 1970-an mengakibatkan kelembagaan sosial yang tidak mampu mengadaptasikan sistem ekonomi pasar, secara pelan-pelan
akan mengalami kemerosotan,
bahkan kebangkrutan (Educare, No.11/III/Februari 2007:19). Berangkat dari kondisi tersebut, maka proses pendidikan yang dikembangkan selain berparadigma instrumentalis, seharusnya juga berpardigma pencerahan, tetapi yang terjadi malah pendidikan hanya di arahkan ke paradigma instrumentalis. Akibatnya, dunia pendidikan yang seharusnya dibangun berdasarkan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan, nilai-nilai sosial, dan nilai-nilai kebajikan, sebagai nilai dasar dalam pencaharian pengetahuan kini dimuati oleh nilai-nilai komersial sebagai refleksi keberpihakan kebijakan pendidikan kepada kekuasaan kapital (Piliang 2004).
Kertas Kerja ini disampaikan dalam acara workshop dan FGD ‘’Analisis Diagnostik Pendidikan dalam Penyediaan Tenaga Kerja sesuai dengan Kebutuhan Daerah. **) Narasumber adalah Guru Besar bidang Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar *)
Terkait dengan fenomena tersebut, maka cukup menarik untuk didiskusikan mengenai ‘’Peluang Pengembangan Pendidikan di Kabupaten Tabanan, Berdasarkan Kondisi Eksisting, Kualitas SDM, Peluang Kerja, dan Kebutuhan SDM yang Sesuai’’.
II. PEMBAHASAN Kondisi Geografi Kabupaten Tabanan Kabupaten Tabanan yang terkenal dengan lumbung berasnya Propinsi Bali masih memiliki potensi pertanian yang sangat luas, yakni 62.483 ha yang tersebar di setiap Kecamatan (Bali dalam Angka,2012). Masing-masing kecamatan memiliki potensi pertanian yang berbeda sesuai dengan keadaan iklim dan cuaca. Seperti Kecamatan Penebel terkenal dengan hasil pertanian tanaman pangan berupa beras merah dan juga sebagai salah satu daerah tujuan wisata yaitu Desa Jati Luwih. Masing-masing kecamatan memiliki potensi di bidang pertanian yang cukup baik, namun
masih perlu penataan baik berupa sarana maupun prasarana penunjang aktivitas
pertanian yang memadai, sehingga dapat mendukung intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian itu sendiri (Statistik Daerah Kabupaten Tabanan Tahun 2012). Melihat kondisi geografis dan potensi yang dimiliki, maka Kabupaten Tabanan sesungguhnya sangat berpeluang untuk mengembangkan pendidikan dan sumber daya manusia di bidang pertanian.
Namun, seperti dikatakan Soeroso (1984:43) bahwa pijakan sektor
pertanian yang diandalkan dapat menyerap tenaga kerja ternyata bukan merupakan pijakan yang kuat. Pasalnya, teknologi tertentu yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian ternyata sampai saat ini belum dapat diwujudkan secara optimal. Ditambah kepemilikan tanah lebih menginduk pada mereka yang secara langsung tidak mengerjakan sendiri, maka hal ini berimplikasi terhadap membengkaknya jumlah buruh tani yang menggantungkan hidupnya pada majikannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gerakan revolusi hijau yang dimulai sejak tahun 1960-an ternyata memiliki andil besar terhadap penggusuran tenaga kerja di sektor pertanian untuk pergi ke kota atau menjadi pengangguran. Bukan hanya itu, gerakan revolusi hijau ternyata berimplikasi pula terhadap terjadinya apa yang disebut detradisionalisasi dalam kehidupan masyarakat termasuk masyarakat Tabanan. Gejala ini tidak dapat dilepaskan dari asumsi dasar
yang ada di balik revolusi hijau, yakni untuk meningkatkan hasil pertanian, maka segala sesuatu yang berbau tradisional dalam konteks pengolahan lahan pertanian harus disingkirkan dan diganti dengan kemodernan yang berkiblat ke Barat. Terkait dengan hal itu, maka segala sesuatu yang berbau tradisional dalam mengolah lahan pertanian digusur dan diganti dengan hal-hal yang dianggap modern, seperti varietas padi lokal atau padi Bali; diganti dengan bibit unggul. Begitu pula sistem bercocok tanam yang telah mentradisi diadaptasikan karena dianggap tidak praktis dan kuno. Misalnya, sistem panen dengan ani-ani diganti dengan sabit karena dianggap lebih praktis, bajak diganti dengan traktor, karena traktor dianggap lebih efisien dan efektif (Bawa Atmadja, 2010:14). Dengan gejala ini, terjadilah dominasi dan hegemoni ilmu dan teknologi modern terhadap pengetahuan dan teknologi tradisional yang disertai dengan refleksivitas (Giddens,2005). Akibatnya banyak pengetahuan dan teknologi tradisional yang tergusur atau setidaknya diadaptasikan agar nilai kepraktisannya menjadi meningkat. Bersamaan dengan itu, biaya produksi yang harus dikeluarkan para petani dalam rangka proses produksi menjadi ikut meningkat, mengingat teknologi yang digunakan tidak dapat diproduksi secara swasembada, akan tetapi diproleh oleh para petani melalui pasar. Akibatnya, kebutuhan petani akan uang tunai menjadi meningkat pula. Konsekuensi dari semua gejala ini adalah pemerintah harus mampu mensubsidi kebutuhan petani akan modal, baik modal ekonomi dalam bentuk uang maupun modal budaya dalam bentuk pengetahuan. Modal budaya dalam bentuk pengetahuan ini dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pengembangan pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pengembangan pendidikan, khusus pendidikan jenjang SLTA dan pendidikan Tinggi di Kabupaten Tabanan, menurut hemat penulis perlu dilakukan mengingat data statistik Kabupaten Tabanan tahun 2012 menunjukkan bahwa, tingkat pendidikan para pekerja di Kabupaten Tabanan masih didominasi oleh mereka yang rata-rata berpendidikan rendah (SD dan SLTP) yakni sebesar 59,76%, kemudian yang berpendidikan SLTA sebesar 31,37% dan mereka yang berpendidikan tinggi hanya 8,87%.
Kondisi Eksisting dan Peluang Kerja yang Ada di Kabupaten Tabanan
Antara kondisi eksisting dan ketersediaan tenaga kerja yang ada di Kabupaten Tabanan sampai saat ini dapat dikatakan cukup ironis, pasalnya di satu sisi Tabanan cukup memiliki potensi yang baik untuk pengembangan sektor pertanian, sementara di sisi lain ketersediaan tenaga kerja yang ada, terutama yang berpendidikan Tinggi relatif sangat rendah, yakni hanya 8,87% per tahun 2012. Kondisi ini menjadi semakin ironis ketika, masalah ini dikaitkan dengan data tentang keberadaan lembaga pendidikan tinggi yang ada di Kabupaten Tabanan yang berpeluang untuk menghasilkan tenaga professional di bidang pertanian
cukup
memperihatinkan. Berdasarkan data yang diproleh dari Fakultas Pertanian Universitas Tabanan, Tahun 2013, menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa yang memilih Fakultas Pertanian tidak lebih dari 100 orang. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya animo masyarakat untuk memilih keahlian di bidang pertanian, padahal peluang kerja di sektor itu cukup banyak, dan kalau toh mereka memilih Fakultas Pertanian sebagai tempat untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan, setelah tamat mereka pun lebih suka memilih pekerjaan di sektor formal yang nota bena tidak sesuai dengan bidang keahliannya dibandingkan mengembangkan usaha di sektor pertanian. Hal ini berakibat sektor pertanian tetap tidak bisa berkembang, sementara sektor industri dan jasa akan menjadi rebutan sehingga akan terjadi penumpukan tenaga kerja di sektor industri dan jasa sementara tetap kekuarangan tenaga kerja di sektor pertanian. Akibatnya, deretan pengangguran menjadi semakin panjang, sementara potensi dan peluang yang ada tidak tergarap secara maksimal, sehingga hal ini tetap menjadi masalah bagi pemerintah Kabupaten Tabanan dalam konteks pemberdayaan sumber daya manusia yang ada. Guna menanggulangi hal tersebut, maka perlu ada upaya-upaya nyata dari pemerintah untuk, memberdayakan potensi yang ada khususnya sektor pertanian secara maksimal, sehingga para generasi muda yang ada benar-benar mau tertarik untuk bekerja di sektor tersebut.
III. Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan kondisi eksisting dan potensi yang dimiliki, Kabupaten Tabanan sesungguhnya sangat berpeluang untuk mengembangkan pendidikan di bidang pertanian dan jasa penyaluran berbagai hasil pertanian. Sebab pada kenyataannya, mengapa masyarakat kurang
tertarik untuk berusaha di bidang pertanian karena, selain pekerjaan di sektor ini identik dengan pekerjaan kasar dan kotor juga setelah pasca panen para petani sering mengalami kesulitan untuk memasarkan hasil-hasil produksinya, sehingga mereka mengalami kerugian yang tidak sedikit. Selain itu, ketika masyarakat masih memandang pekerjaan di sektor pertanian sebagai bahan tertawaan dan kerja keras serta keringat itu adalah bahan hinaan (Soeroso,1984:42), maka selama itu pula pemerintah akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan usaha di sektor pertanian. Berangkat dari kenyataan itu, maka kepada instansi terkait di daerah, sebaiknya bersinergi dengan pihak perguruan tinggi untuk melakukan pencitraan terhadap pekerjaan di sektor pertanian, sehingga generasi muda, khususnya para sarjana pertanian tidak merasa gengsi dan ragu-ragu untuk mengembangkan usaha di bidang pertanian. Selain itu disarankan juga kepada pemerintah daerah
sedapat mungkin mengusahakan sebuah sistem pemasaran hasil
pertanian yang secara langsung dapat dinikamati oleh para petani dan tidak semata penguntungkan para pemilik modal.
Daftar Rujukan Atmadja Nengah Bawa, 2010. Ajeg Bali, Gerakan Identitas Cultural dan Globalisasi. Yogyakarta:LKiS. Bali dalam Angka 2012. BPPS, Kabupaten Tabanan, 2012. Educare, Wahana Komunikasi Pendidikan, No.11/III/Februari 2007. Jakarta:Komisi Pendidikan KWI. Giddens, Antony, 2005. Konskuensi-konskuensi Modernitas (Nurhadi, terj.) Yogyakarta: Kreasi Wacana. Piliang, 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yaogyakarta: Jalasutra. Soeroso, Dasar, 1984. Indonesia Dilema Tak Kunjung Reda. Bandung : Angkasa. Tirtosudharmo, Prijono, 1996. Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan:Studi Kasus di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.