PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Islam
Oleh: ANITA CHAIRANI 203046101673 Di Bawah Bimbingan Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA NIP. 150 222 824
Hendra Kholid, MA
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
Oleh: ANITA CHAIRANI 203046101673
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam). Jakarta, 27 Maret 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA
(.……………..)
NIP. 130 789 745 2. Sekretaris
: Drs. Ahmad Yani, MA
(……………...)
NIP. 150 269 678 3. Pembimbing I
: Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA (……………...) NIP. 150 222 824
4. Pembimbing II
: Hendra Kholid, MA
(……………...)
5. Penguji I
: Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA
(……………...)
NIP. 150 050 917 6. Penguji II
: Drs. Anwar Abbas, M. Ag NIP. 131 273 007
(……………...)
LEMBAR PERNYATAAN 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Maret 2008
Anita Chairani
Nama
: Yayan Daryunanti
Jabatan
: Manager Administrasi Keuangan Baitul Maal Muamlat
Tempat Wawancara : Kantor Baitul Maal Muamalat (BMM), Slipi – Jakarta Tanggal Wawancara : 19 Desember 2007 1. Menurut Ibu, bagaimana peran perbankan syariah dilihat dari UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf? Jawab: Bank syariah dilibatkan dalam pengelolaan wakaf uang karena bank syariah merupakan lembaga yang sudah dipercaya oleh masyarakat juga agar lebih terkontrol dan lebih aman karena suatu lembaga yang mengelola wakaf uang harus dapat mempertanggung jawabkan kepada publik. Selain itu, setiap bank yang beroperasi otomatis mendapat izin dari Bank Indonesia, juga dikontrol oleh Bank Indonesia. 2. Menurut Ibu, bagaimana model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf? Jawab: Model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU No. 41/2004 tentang Wakaf dapat dibagi menjadi 2, yaitu dalam bentuk investasi dan dalam bentuk pinjaman modal kerja. 3. Bagaimana perkembangan wakaf uang sebelum dan sesudah berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
Jawab: Baitul Maal Muamalat (BMM) sudah mengeluarkan produk wakaf uang sejak tahun 2002, artinya Baitul Maal Muamalat sudah mengeluarkan produk wakaf uang sebelum lahirnya UU Wakaf. Dana yang terkumpul pada tahun 2002 adalah sebesar Rp. 16.688.917,17,-. Sesudah lahirnya UU Wakaf, produk wakaf uang di Baitul Maal Muamalat sangat berkembang, ini terbukti dengan makin besarnya dana yang terkumpul sampai dengan tahun 2007 yang sebesar Rp. 294.319.562,-. 4. Menurut Ibu, bagaimana peluang perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang sesudah berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf? Jawab: Peluang pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah sesudah berlakunya UU Wakaf sangat besar, tapi perlu sosialisasi ke masyarakat. 5. Apa tantangan yang dihadapi perbankan syariah dalam mengelola wakaf uang sesudah lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf? Jawab: Tantangannya adalah perlu sosialisasi tentang wakaf uang dan UU No.41/2004 tentang Wakaf. 6. Langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan untuk pengembangan wakaf uang di Baitul Maal Muamalat? Jawab: Untuk pengembangan wakaf uang di Baitul Maal Muamalat, pihak Baitul Maal Muamalat memberikan fasilitas IZI Uang. IZI Uang adalah layanan penerimaan wakaf uang melalui SMS, dimana bagi wakif yang ingin mewakafkan uangnya tidak perlu datang ke tempat penyetoran wakaf uang, mereka hanya perlu SMS ke nomor yang khusus melayani
penerimaan wakaf uang. IZI uang memiliki keunggulan yang dapat memajukan produk wakaf uang, diantaranya wakif dapat mewakafkan uangnya kapan saja dan dimana saja mereka berada serta melalui IZI Uang wakif dapat mewakafkan uangnya minimal sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah). Fasilitas ini memudahkan wakif yang ingin berwakaf dengan uang.
Jakarta,
Maret 2008
Yang Mewawancarai
Yang Diwawanacarai
( Anita Chairani )
( Yayan Daryunanti )
Nama
: Mulya E. Siregar
Jabatan
: Kepala Pengembangan Penelitian Perbankan Syariah
Tempat Wawancara : Bank Indonesia, Jakarta Tanggal Wawancara : 6 November 2007
1. Bagaimana pendapat Bapak tentang dikeluarkannya UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf? Jawab: Dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf maka semakin jelas bagaimana orang harus berwakaf. Selama ini kita hanya mengenal wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, masjid dan lain-lain, tapi dengan keluarnya UU No. 41/2004 tentang Wakaf, selain mengatur wakaf benda tidak bergerak, juga mengatur wakaf benda bergerak seperti uang. Jadi cakupan dari UU ini lebih luas dibanding praktik wakaf yang sementara ini berlaku di Indonesia. 2. Apakah Bank Indonesia ikut campur dalam pembuatan UU tersebut? Jawab: Pada saat penyusunan draf UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Departemen Agama meminta perwakilan dari Bank Indonesia untuk menjadi anggota penyusunan UU wakaf ini. Bank Indonesia diminta menjadi anggota penyusunan UU wakaf karena dalam UU wakaf ini
mengatur tentang wakaf uang, pada saat itu yang mewakili Bank Indonesia adalah saya sendiri. 3. Keunggulan-keunggulan apa saja yang dimiliki perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang? Jawab: Perbankan
syariah
memiliki
keunggulan-keunggulan
yang
dapat
mengoptimalkan pengelolaan wakaf uang yaitu: jaringan kantor, kemampuan sebagai fund manager, pengalaman, jaringan informasi, peta distribusi dan citra positif. 4. Menurut Bapak, bagaimana peran perbankan syariah dilihat dari UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf? Jawab: Ada 4 alternatif peran bank syariah jika dilihat dari UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, yaitu bank syariah sebagai penerima wakaf uang, bank syariah sebagai penerima dan penyalur wakaf uang, bank syariah sebagai pengelola wakaf uang dan bank syariah sebagai nazhir. 5. Menurut Bapak, bagaimana model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf? Jawab: Melihat dari alternatif peran bank syariah di atas, maka model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf juga mempunyai 4 bentuk, yaitu pengelolaan wakaf uang oleh bank syariah sebagai penerima wakaf uang, bank syariah sebagai penerima dan penyalur wakaf uang, bank syariah sebagai pengelola wakaf uang dan bank syariah sebagai nazhir.
6. Apakah materi-materi dalam UU tersebut sudah cukup memberikan landasan yang kuat bagi perbankan syariah dalam mengelola wakaf uang? Jawab: Menurut pasal 23 PP No. 42/2006 tentang Pelaksanaan UU No.41/2004 tentang wakaf secara jelas diterangkan bahwa bank syariah hanya berperan sebagai penerima wakaf uang dalam pengelolaan wakaf uang, akan tetapi dalam pasal 11 ayat (3) menyatakan bahwa “Nadzir badan hukum yang melaksanakan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: (a) badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam”. Bank syariah sebagai salah satu dari badan hukum yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan artinya dapat pula menjadi nazhir. 7. Adakah peraturan Bank Indonesia tentang pengelolaan wakaf uang di Indonesia? Jawab: Tidak ada peraturan dari Bank Indonesia tentang pengelolaan wakaf uang secara khusus, Bank Indonesia hanya mengeluarkan peraturan SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: “Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan)”. Selain itu juga ada SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR Tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 28 yang berbunyi:
“BPRS dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau dan sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).”
Jakarta,
Maret 2008
Yang Mewawancarai
Yang Diwawancarai
( Anita Chairani )
( Mulya E. Siregar )
KATA PENGANTAR
Segala puja teriring puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan masa kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada seorang reformis sejati, pembawa risalah suci yakni baginda Nabi Muhammad saw, yang telah membawa umat manusia keluar dari kubangan lumpur jahiliyah menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa selama penulisan skripsi ini, Penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil. Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Euis Amalia, M. Ag., selaku Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak AH. Azharuddin Latif, M. Ag., selaku Sekretaris Program Studi Muamalat Ekonomi Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Djawahir Hejazziey, SH., MA dan Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M. Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Program Non-Reguler Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA dan Bapak Hendra Kholid, MA., selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan dan ilmu yang telah diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak Mulya Siregar, Kepala Pengembangan Penelitian Perbankan Syariah Bank Indonesia, yang telah menyempatkan waktunya untuk diwawancara ditengah kesibukkannya yang sangat padat. 7. Manajemen Baitul Maal Muamalat (BMM) terutama Ibu Yayan Daryunanti dan seluruh staf Muamalat Institut Karawaci, yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Kedua orang tua Penulis, Ayahanda Drs. Mahfud Umar dan Ibunda Nurlaila yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada Penulis dan adikku satu-satunya Ilham serta tidak lupa keponakkanku yang tersayang Sahira juga cink Farid, yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini. 9. Seluruh staf bagian Perpustakaan Syariah yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Teman-teman mahasiswa Jurusan Muamalat Program Non-Reguler angkatan 2003 Perbankan Syariah C dan teman-teman Jurusan Peradilan Agama (peserta
KKN di Padang). Terimakasih atas persahabatan yang terjalin selama ini, semoga persahabatan ini Allah panjangkan selama-lamanya.
Akhirnya, kepada Allah SWT jualah Penulis serahkan segalanya serta panjatkan doa semoga amal kebajikan mereka diterima di sisi-Nya, dan diberikan pahala yang berlipat ganda sesuai dengan amal perbuatannya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta,
Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
8
D. Kajian Pustaka
9
E. Metode Penelitian
10
F. Sistematika Penelitian
11
LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf
13
1. Pengertian Wakaf
13
2. Dasar Hukum Wakaf
17
a. Dasar Hukum Dari Al-Qur’an
17
b. Dasar Hukum Dari As-Sunnah
18
c. Dasar Hukum Dari Perundang-undangan Indonesia 20 3. Rukun dan Syarat Wakaf
23
4. Tinjauan Syariah Terhadap Uang Sebagai Objek Wakaf
28
B. Praktik Perwakafan Di Indonesia
33
C. Model Pengelolaan Wakaf Uang
36
1. Di Indonesia
36
2. Di Luar Negeri
39
BAB III
PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PENGELOLAAN WAKAF UANG DILIHAT DARI UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF A. Perbankan Syariah Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Pengelola Wakaf
45
B. Keunggulan Perbankan Syariah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang
50
C. Peran Perbankan Syariah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang Dilihat dari UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 54 BAB IV
PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF A. Model Pengelolaan Wakaf Uang Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
62
B. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Wakaf Uang Pada Perbankan Syariah Pasca UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan
75
B. Saran
78
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
71
80
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan bagian dari negara besar di dunia yang struktur ekonominya sangat timpang (terjadi kesenjangan), karena basis ekonominya yang strategis dimonopoli oleh segelintir orang yang menerapkan prinsip ekonomi konvensional (ribawi). Di tengah keterpurukan ekonomi terutama di negeri kita sendiri sejak tahun 1998, bank konvensional tidak lagi menjadi tumpuan memulihkan ekonomi nasional demi kesejahteraan rakyat, tentu kita membutuhkan solusi yang dapat memulihkan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akhir-akhir ini ada perkembangan menarik yang terjadi di Indonesia yaitu maraknya gerakan kembali kepada Islam sebagai dasar dan sumber petunjuk kehidupan manusia dalam seluruh aspeknya. Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, yang disebut sebagai hayatan thayyibah.1 Penerapan sistem ekonomi Islam yang berbasiskan syariah dalam pengembangan ekonomi Islam di Indonesia, menjadi salah satu bagian dari gerakan kembali kepada Islam dan agar kita dapat menjalankan roda perekonomian secara adil dan merata kepada rakyat serta dapat memulihkan perekonomian. 1
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet. 3, h. 7
Salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang akhir-akhir ini juga menarik perhatian umat Islam di Indonesia untuk dikembangkan adalah wakaf. Salah satu institusi Islam yang sebenarnya telah lama dikenal masyarakat Indonesia namun hingga kini belum dikelola secara optimal. Wakaf adalah salah satu lembaga sosial Islam yang sangat dianjurkan untuk digunakan oleh seseorang atau lembaga sebagai sarana penyaluran rezeki yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Wakaf dikategorikan sebagai amal jariah yang pahalanya akan terus mengalir walau si wakaf telah meninggal dunia. Karena harta wakaf terus dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Potensi yang terdapat pada wakaf sebenarnya tidak dapat diremehkan, terutama dalam hal perannya menyediakan layanan-layanan publik yang mencakup bidang pendidikan, kesehatan, sosial maupun untuk pemberdayaan ekonomi umat. Sejak dulu, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk diambil airnya, sedang wakaf benda bergerak baru mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang dikenal dengan istilah cash waqf. Cash waqf diterjemahkan dengan wakaf tunai, namun kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waqf diterjemahkan dengan wakaf uang.2
2
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 1
Wakaf uang memiliki kekuatan yang umum dimana setiap orang bisa menyumbangkan hartanya tanpa batas-batas tertentu atau tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Pemberian dana wakaf biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai harta kekayaan yang cukup besar dan diberikan dalam bentuk harta tidak bergerak. Sementara sebagian besar masyarakat, tidak mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan wakaf ini mengingat keterbatasan harta yang mereka miliki. Dengan adanya wakaf uang diharapkan praktik wakaf yang pada masa-masa terdahulu terkesan sulit dan berat dapat dihindarkan. Dengan wakaf uang, bentuk wakaf bisa berwujud harta lancar yang penggunaannya sangat fleksibel, sehingga harta wakaf bisa menjadi modal finansial yang di simpan di bank-bank atau lembaga keuangan.3 Praktik wakaf uang sendiri sebenarnya telah lama dikenal di dalam pemerintahan Islam. M. A. Mannan dalam bukunya menyebutkan bahwa praktik wakaf tunai ada semenjak zaman pemerintahan Ustmaniyah.4 Dalam catatan sejarah Islam, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari mengungkapkan bahwa Imam Az-zuhri salah seorang ulama terkemuka berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan
3
Mustafa E. Nasution, Wakaf Tunai dan Sektor Volunter, (makalah “Strategi Untuk Mensejahterakan Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Hutang Luar Negeri”, di UI Program Pascasarjana, Jakarta, 2001), h. 8 4
M. A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, (Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI, 2001), h. 32
dinar dan dirham itu sebagai modal usaha, kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.5 Di Indonesia pada dasarnya praktik wakaf telah lama dikenal dan berkembang. Namun sampai saat ini istilah wakaf hanya identik dengan wakaf atas tanah atau bangunan yang digunakan masjid, lembaga pendidikan atau lahan pekuburan. Padahal potensi wakaf sangatlah besar, jika dikelola secara maksimal. Menurut data Departemen Agama Republik Indonesia terakhir terdapat 403.845 lokasi tanah wakaf dengan luas 1.566.672.406 M2.6 Satu jumlah yang seharusnya dapat menjadi sumber daya pengembangan ekonomi Islam di Indonesia. Potensi wakaf yang ada belum terkelola secara maksimal selain karena pemahaman atas wakaf pada umat Islam di Indonesia yang masih tradisional, juga dikarenakan kurangnya dana yang mencukupi untuk mengelola tanah wakaf yang ada menjadi produktif. Dengan demikian melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Di negara-negara muslim yang lembaga perwakafannya telah mapan, masalah perwakafan telah lama diatur dengan peraturan perundang-undangan. Di mesir misalnya, perwakafan telah diatur dengan peraturan perundang-undangan wakaf dan administrasinya telah pula berjalan dengan baik dilakukan oleh kementerian tersendiri 5 6
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan, h. 2
Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 2
yaitu Kementrian Urusan Wakaf (Wizaratul Awqaf). Di negara itu, banyak harta wakaf berbentuk gedung-gedung yang disewakan, tanah-tanah pertanian yang disewakan
atau
dibagi-bagi
pengelolaannya
pada
orang
yang
bersedia
mengerjakannya dengan sistem bagi hasil, saham-saham di berbagai badan usaha dan sebagainya, yang mendatangkan hasil. Dengan wakaf yang demikian bentuknya, banyak yang dapat dikerjakan melalui hasilnya, termasuk diantaranya kegiatan ilmiah dan pendidikan. Hasil wakaf juga dipergunakan untuk merehabilitasi narapidana yang baru keluar dari penjara, dengan cara mendidik dan memberi mereka biaya hidup sebelum mereka sepenuhnya kembali ke tengah-tengah masyarakat, dan hasil wakaf juga diberikan kepada pedagang-pedagang kecil, berupa pinjaman tanpa bunga sebagai modal kerja.7 Mengenai hukum dari wakaf uang itu sendiri, sejak dahulu memang telah menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Secara prinsip ulama Hanafiyyah membolehkan wakaf uang. Selain ulama mazhab Hanafi, Imam Az-Zuhri juga membolehkan wakaf uang sebagai mana telah disebutkan sebelumnya, selain itu sebagian ulama mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf uang. Dalam konteks Indonesia, perdebatan mengenai keabsahan wakaf uang untuk saat ini setidaknya telah mencapai titik temu. Hal ini karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang mewadahi umat Islam tertinggi di negeri ini telah mengeluarkan fatwa mengenai kebolehan memberi wakaf dalam bentuk uang. Fatwa 7
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), Cet. 1, h. 97
MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002.8 Saat ini sudah dikeluarkan UndangUndang yang mengatur tentang wakaf secara spesifik mengenai wakaf uang, saham, atau sejenisnya yaitu dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Undang-undang tentang wakaf ini disahkan pada tanggal 27 Oktober 2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan adanya fatwa MUI dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf ini telah menjadi pijakan hukum bagi umat Islam di Indonesia untuk melakukan perbuatan hukum memberikan wakaf dalam bentuk uang. Diharapkan wakaf uang bisa digalakkan dan bisa menjadi alternatif pengumpulan dana yang bersifat abadi untuk memberdayakan perekonomian umat dan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan umat disamping dana yang bersumber dari zakat, infaq, dan sedekah. Persoalan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana selanjutnya manajemen pengelolaan wakaf itu sendiri. Besarnya potensi dana yang terkumpul dari wakaf uang akhirnya telah menimbulkan kekhawatiran di sebagian orang mengenai kemungkinan penyelewengan dana wakaf uang. Karenanya diperlukan suatu lembaga yang benar-benar kredibel untuk mengelola wakaf uang. Dengan dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf telah menjadi landasan untuk pengembangan pengelolaan wakaf uang dimasa depan. Berbagai pihak mulai dari pemerintah, umat Islam, sampai kepada lembaga keuangan syariah seperti bank
8
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan, h. 17
syariah dapat berperan untuk bersama-sama mengembangkan pengelolaan wakaf uang di Indonesia. Keberadaan bank-bank syariah dipandang merupakan alternatif lembaga yang cukup representatif untuk mengelola dana amanah tersebut. Lebih jauh, dengan asumsi pengelolaan wakaf ini menyangkut pengelolaan dana besar, maka kemungkinan perolehan pendapatan bagi bank syariah baik dari hasil pengelolaan maupun dari hasil jasa (fee based income) merupakan satu daya tarik bagi berkiprahnya bank syariah di dalam pengelolaan wakaf. Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk membahas secara lebih mendalam mengenai peluang dan tantangan perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang di Indonesia, khususnya setelah dikeluarkan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
B. PEMBATASAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah Dengan berdasar latar belakang di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peluang dan tantangan perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang setelah dikeluarkanya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang dibahas dalam skripsi ini, maka pokok permasalahan yang dibatasi dengan beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengelolaan wakaf uang menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf? b. Bagaimana peluang dan tantangan perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang pasca UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: a. Untuk mengetahui pengelolaan wakaf menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf b. Untuk mengetahui peluang dan tantangan perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang setelah dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf 2. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini semoga dapat memberikan manfaat, yaitu: 1. Untuk Akademis Agar bermanfaat bagi para pengajar, baik guru ataupun dosen yang mengajar tentang wakaf, agar perwakafan di Indonesia dapat berkembang dan maju. 2. Untuk Praktisi Agar bermanfaat bagi para nadzir dan bank syariah dalam mengelola wakaf uang. 3. Untuk Masyarakat
Agar
masyarakat
mengetahui
bagaimana
praktek
wakaf
uang
dan
pengelolaannya sehingga terdorong untuk melakukan wakaf uang. D. KAJIAN PUSTAKA 1. Pada tahun 2003, Nurhasanah menulis skripsi dengan judul “Wakaf Uang Sebagai Alternatif Dalam Berwakaf”. Di dalam skripsi ini penulis menguraikan tentang pengertian wakaf uang dan dasar hukumnya serta potensi wakaf uang jika diterapkan di Indonesia. 2. Pada tahun 2004, Wardah Ganita menulis skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Pola Penghimpunan dan Pengelolaan Wakaf Uang Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat”. Di dalam skripsi ini penulis menguraikan tentang landasan hukum wakaf uang, bagaimana strategi penghimpunan wakaf uang di Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat serta bagaimana pola pengelolaan wakaf uang di Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat. 3. Pada tahun 2006, Descyanne menulis skripsi dengan judul “Sistem Pengelolaan Dana Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf Uang Pada LAZ Portalinfaq”. Yang dibahas dalam skripsi ini adalah mekanisme pengelolaan Ziswafu pada LAZ Portalinfaq serta upaya-upaya yang dilakukan Portalinfaq agar dana yang terkumpul dapat disalurkan tepat sasaran. Adapun perbedaan skripsi ini dengan skripsi-skripsi diatas adalah pada penulisan skripsi ini lebih difokuskan pada bagaimana model pengelolaan wakaf uang menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf serta menganalisa peluang
dan tantangan pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah setelah dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. E. METODE PENELITIAN 1. Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu Penulis mengambil data dari bahan-bahan pustaka yang didapat dari peraturan perundang-undangan, bukubuku, kitab-kitab fiqih, internet, data dokumen dari Baitul Maal Muamalat (BMM) dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu Penulis terjun langsung ke lapangan dan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. 2. Metode Pengolahan Data Setelah data diperoleh, maka Penulis akan mengolah data tersebut dengan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif yaitu menjelaskan dan memaparkan tentang sesuatu, dalam hal ini Penulis menjelaskan dan memaparkan tentang wakaf uang dan pengelolaannya. Dan metode analisis yaitu suatu metode dimana Penulis berdasarkan data-data yang ada menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi, dalam hal ini Penulis menganalisa tentang
peluang dan tantangan pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah setelah lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 3. Metode Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, Penulis merujuk pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”. F. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam sistematika penulisan ini penulis akan menguraikan secara sistematis bab per bab, yang erat kaitannya antara bab satu dengan bab lainnya karena merupakan sebuah satu rangkaian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang wakaf, meliputi pengertian wakaf, dasar hukum wakaf, yang meliputi dasar hukum dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Undang-undang Indonesia, rukun dan syarat wakaf, serta tinjauan syariah terhadap uang sebagai obyek wakaf, bab ini juga membahas tentang praktik perwakafan di Indonesia, juga mengenai model pengelolaan wakaf uang di Indonesia dan di Luar Negeri.
BAB III PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PENGELOLAAN WAKAF UANG DILIHAT DARI UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF Bab ini berisi tentang perbankan syariah sebagai lembaga keuangan syariah pengelola wakaf, keunggulan perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang, dan peran perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang dilihat dari UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, BAB IV PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF Bab ini berisi tentang pengelolaan wakaf uang menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf serta peluang dan tantangan pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah pasca UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. BAB V PENUTUP Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf 1. Pengertian Wakaf Kata wakaf yang menjadi bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Arab yaitu alWaqf bentuk masdar dari waqafa-yaqifu-waqfan yang artinya berdiri atau berhenti.9 Kata al-Waqf semakna dengan kata al-habs bentuk masdar dari habasayahbisu-habsan yang artinya memenjarakan.10 Dalam istilah syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Adapun yang dimaksud tahbisul ashli adalah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Lebih lanjut, mengenai cara pemanfaatan wakaf adalah menggunakannya sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.11
9
Akhmad Sya’bi, Kamus Al-Qalam, (Surabaya: Halim Surabaya, 1997), h. 297
10 11
Ibid., h. 96
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A. B, dkk (Jakarta: Lentera, 1996), h. 635
Menurut kamus Bahasa Indonesia, wakaf ialah memperuntukkan sesuatu bagi kepentingan umum, sebagai derma atau kepentingan yang berhubungan dengan agama.12 Menurut al-Sayyid Sabiq, wakaf adalah menahan pokok asset dan memanfaatkan hasilnya.13 Ada beberapa pengertian wakaf menurut para ulama: Menurut Abu Hanifah Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebaikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya, karena yang lebih kuat menurut pendapat Abu Hanifah adalah bahwa wakaf hukumnya jaiz (boleh), tidak wajib, sama halnya dengan pinjaman.14 Menurut Jumhur (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) Wakaf adalah menahan suatu benda yang mungkin diambil manfaatnya (hasilnya) sedang bendanya tidak terganggu. Dengan wakaf itu hak penggunaan si wakif dan orang lain menjadi terputus. Hasil benda tersebut digunakan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Atas dasar itu, benda tersebut lepas dari pemilikan si wakif dan menjadi hak Allah SWT. Kewenangan wakif atas harta itu hilang, bahkan ia wajib menyedekahkannya sesuai dengan tujuan wakaf.15 Menurut Malikiyah Wakaf adalah perbuatan si wakif yang menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh penerima wakaf, walaupun yang dimiliki itu berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan
1006
12
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.
13
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Bandung: Almaa’arif,1996), cet.8, jilid 14, h. 148
14
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), cet. 3, juz 8, h. 153 15
Ibid, h. 154-155
uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan , yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan ini berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).16 Pendapat para ulama ini mewarnai perundang-undangan Indonesia, Pengertian wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 pasal I (1) adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Pasal 215 Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 menyatakan : “ Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari miliknya dan melembagakannya untuk selamalamanya guna kepentingan ibadat dan keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”. Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf Pasal I ayat 1: Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Saat ini di Indonesia sedang berkembang wakaf benda bergerak berupa uang, hal ini diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, UU ini memberikan pengertian tentang harta benda wakaf. Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif. Adapun harta benda wakaf tersebut terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak.
16
Ibid, h. 155-156
Salah satu benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah uang, wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang mewadahi umat Islam tertinggi di Indonesia telah memberikan pengertian wakaf uang dalam fatwanya. Adapun pengertian wakaf uang menurut MUI adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.17 Dalam usaha memberikan ruang gerak kegiatan perwakafan dalam era globalisasi, maka Bank Indonesia memberikan definisi wakaf tunai (uang) sebagai “Penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahkan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya.”18 Dari beberapa definisi wakaf yang telah disebutkan, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah suatu perbuatan hukum dari seseorang yang dengan sengaja memisahkan atau mengeluarkan harta bendanya untuk digunakan manfaatnya bagi keperluan di jalan Allah SWT dan untuk kesejahteraan umum menurut syariah. Timbulnya perbuatan wakaf ini adalah sebagai manifestasi kepatuhan terhadap agama karena wakaf merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. 17
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Komisi Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 Mei 2002 18
Mulya Siregar, Peranan Perbankan Syariah Dalam Wakaf Tunai (Sebuah Kajian Konseptual), (Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2001), h. 1
2. Dasar Hukum Wakaf a.
Dasar hukum dari Al-Qur’an Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber
dari pemahaman teks ayat Al-Quran, karena tidak ada ayat Al-Quran yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Ayat-ayat yang pada umumnya dipahami dan digunakan oleh para fuqaha sebagai dasar atau dalil yang mengacu kepada ajaran wakaf, antara lain firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran (3) ayat 92:
☺ ⌧ ٣/)ال ﻋﻤﺮان ( ٩٢: Artinya: “ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan. Maka Sesungguhnya Allah Mengetahuinya “.(QS. Ali Imran/3:92) Ayat lain yang menganjurkan syari’at wakaf adalah surat Al-Baqarah (2) ayat 267:
☺ (٢٦٧ : ٢ /)اﻟﺒﻘﺮة Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu ”.(QS. AlBaqarah/2:267)
Kesimpulannya, Al-Quran dalam hal wakaf tidak menyebutkan secara khusus, Al-Quran hanya membicarakan soal umum yaitu soal menafkahkan harta pada jalan Allah. Cara menafkahkan harta pada jalan Allah salah satunya adalah dengan wakaf.19 b. Dasar hukum dari as-sunnah Di samping mengemukakan dalil atau dasar hukum wakaf dari AlQuran, para fuqaha juga menyandarkan masalah wakaf kepada hadist atau sunnah Nabi. Diantara hadits nabi yang dijadikan dasar hukum wakaf oleh para fuqaha adalah sabda nabi:
ِإذَا: ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ لا َ ن َرﺳُﻮ ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﻲ اﷲ َﺿ ِ ﻦ َأﺑِﻰ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْﻋ َ ﻋ ْﻠ ٍﻢ ِ َأ ْو, ﺻ َﺪ َﻗ ٍﺔ ﺟَﺎ ِر َﻳ ٍﺔ َ ﻦ ْ ﻻ ِﻣ ِإ ﱠ, ﻼ َﺛ ٍﺔ َ ﻦ َﺛ ْ ﻻ ِﻣ ﻋ َﻤُﻠ ُﻪ ِإ ﱠ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ َ ﻄ َﻊ َ ن ِا ْﻧ َﻘ ُ ﻹ ْﻧﺴَﺎ ِ ت ْا َ ﻣَﺎ ( )روﻩ ﻣﺴﻠﻢ. ﺢ َﻳ ْﺪﻋُﻮَﻟ ُﻪ ٍ َأ ْو َوَﻟ ٍﺪ ﺻَﺎِﻟ, ُﻳ ْﻨ َﺘ َﻔ ُﻊ ِﺑ ِﻪ Artinya : Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila seseorang telah meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu dari shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya” (HR. Muslim).20 Walaupun secara umum disebutkan adalah sedekah jariyah, namun yang dimaksud hadits di atas termasuk wakaf. Sebagaimana pendapat yang dikemukan As-Syaukani dalam bukunya Nailul Authar, “Para ulama
19
Drs. H. Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet.
20
Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh: Darus-Salam, 1998), h. 716
1, h. 68
menafsirkan sadaqah jariyah yang dimaksud hadits itu adalah wakaf”.21 Wakaf akan menghasilkan pahala selagi barang yang diwakafkan itu utuh dan dapat dimanfaatkan, maka orang yang berwakaf terus menerima pahala dari Allah SWT. Selain hadits di atas, ada hadits yang secara tegas menyinggung dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar:
ﻲ ﺨ ْﻴ َﺒ َﺮ َﻓَﺄﺗَﻰ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ َ ﻋ َﻤ ُﺮ َأ ْرﺿًﺎ ِﺑ ُ ب َ َأﺻَﺎ: ل َ ﻲ اﷲ ﻋَ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ ﻗَﺎ َﺿ ِ ﻋ َﻤ َﺮ َر ُ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ِﻋ َ ﺖ َأ ْرﺿًﺎ ُ ﺻ ْﺒ َ ﷲ ِإ ِﻧّﻰ َأ ِ لا َ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ: ل َ ﺴ َﺘ ْﺄ ِﻣ ُﺮ ُﻩ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻓﻘَﺎ ْ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﺖ َ ﺷ ْﺌ ِ ن ْ ِإ: ل َ ﺲ ﻋِ ْﻨﺪِي ِﻣ ْﻨ ُﻪ ﻓَﻤَﺎ َﺗ ْﺄ ُﻣ ُﺮﻧِﻲ ِﺑ ِﻪ ﻗَﺎ ُ ﻂ ُه َﻮ َأ ْﻧ َﻔ ﻻ َﻗ ﱡ ً ﺐ ﻣَﺎ ْ ﺻ ِ ﺨ ْﻴ َﺒ َﺮ َﻟ ْﻢ ُأ َ ِﺑ ﻻ َ ﺻُﻠﻬَﺎ َو ْ ع َأ ُ ﻻ ُﻳﺒَﺎ َ ﻋ َﻤ ُﺮَاﻧﱠ ُﻪ ُ ق ﺑِﻬَﺎ َ ﺼ ﱠﺪ َ َﻓ َﺘ: ل َ ﺖ ﺑِﻬَﺎ ﻗَﺎ َ ﺼ ﱠﺪ ْﻗ َ ﺻَﻠﻬَﺎ َو َﺗ ْ ﺖ َأ َ ﺴ ْ ﺣ َﺒ َ ﻋ َﻤ ُﺮ ﻓِﻲ ا ْﻟ ُﻔﻘَﺮَا ِء َوﻓِﻲ ا ْﻟ ُﻘ ْﺮﺑَﻰ َوﻓَﻲ َ ل َﻓ َﺘ ُ ق َ ﺼ ﱠﺪ َ ﻗَﺎ,ﺐ ُ ﻻﻳُﻮ َه َ ث َو ُ ﻻ ﻳُﻮ َر َ ع َو ُ ُﻳ ْﺒﺘَﺎ ﻞ َ ن َﻳ ْﺄ ُآ ْ ﻦ وَﻟِﻴَﻬَﺎ َأ ْ ﻋﻠَﻰ َﻣ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ ﻻ َ ,ِﻞ وَاﻟﻀﱠ ْﻴﻒ ِ ﺴﺒِﻴ ﻦ اﻟ ﱠ ِ ﷲ وَا ْﺑ ِ ﻞا ِ ﺳﺒِﻴ َ ب َوﻓِﻲ ِ اﻟ ِّﺮﻗَﺎ ( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ل ﻓِﻴ ِﻪ ٍ ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻣ َﺘ َﻤ ِّﻮ َ ﺻﺪِﻳﻘًﺎ َ ﻄ ِﻌ َﻢ ْ َأ ْو ُﻳ, ف ِ ﻣِ ْﻨﻬَﺎ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو Artinya: “ Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) 21
Muhammad As-Syaukani, Nailul Authar, (Beirut: Dar Al-Fikr), Juz 5, h. 120
atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta”. (HR. Muslim)22 Para ulama salaf sepakat bahwa wakaf itu sah adanya dan wakaf Umar di Khaibar itu adalah wakaf yang pertama terjadi di dalam sejarah Islam.23 Kesimpulannya, secara eksplisit hukum wakaf sedikit ditetapkan oleh as-Sunnah dan sebagian besar ditetapkan oleh ijtihad fuqaha dengan berpegang pada Istihsan, Istishlah, dan ‘Urf atau kebiasaan.24 c. Dasar hukum dari perundang-undangan Indonesia Di Indonesia, praktik wakaf telah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam yaitu sejak akhir adab ke-12M.25 Saat ini, salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di Indonesia adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangkat hukum positif sekaligus sebagai landasan hukum dalam pengelolaan wakaf. Hukum positif Indonesia yang mengatur tentang wakaf dapat kita lihat dari beberapa peraturan di bawah ini, yaitu:
22
Muslim, Shahih, h. 717
23
Wahbah al-Zuhaily, Al-fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz 8, h.
24
Ibid., h. 157
157
25
Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, ed., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi Tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 7
1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dimana negara secara resmi menyatakan perlindungan terhadap harta wakaf. Penegasan atas perlindungan tanah milik perwakafan tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. 2) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini tergolong sebagai peraturan yang pertama yang memuat unsur-unsur substansi dan teknis perwakafan. PP No. 28 Tahun 1977 ini hanya mengatur perwakafan tanah milik, yang meliputi inventarisasi tanah wakaf, proses terjadinya perwakafan tanah milik, dan proses pemberian hak atas tanah wakaf.26 Terbitnya PP ini menciptakan pembaharuan yang cukup penting dalam pengelolaan harta wakaf. Peraturan ini memberikan legalitas bagi bolehnya pertukaran harta wakaf setelah mendapat ijin dari Menteri Agama. Secara subtansial peraturan tersebut membolehkan pertukaran harta wakaf agar dapat diberdayakan secara optimal. Aturan ini merupakan pembaharuan karena mayoritas umat menganut mazhab Syafi’i bahwa harta wakaf tidak diperbolehkan untuk dipertukarkan walaupun kondisi harta wakaf sudah tidak layak lagi digunakan, seperti masjid yang hampir roboh.27
26 27
Ibid., h. 86
Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 100
3) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Aturan ini membawa beberapa pembaharuan dalam pengelolaan wakaf. Pembaharuan ini pada dasarnya merupakan elaborasi dari prinsip pembaharuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 1977. Beberapa perluasan aturan perwakafan dalam KHI antara lain berkaitan dengan objek wakaf, nadzir, dan sebagainya. Terkait dengan objek wakaf misalnya, dalam KHI disebutkan bahwa objek wakaf telah mencakup harta benda yang bergerak, sedangkan dalam PP No. 28 ketentuan seperti ini belum ada.28 4) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. UU wakaf ini merupakan penyempurnaan dari beberapa peraturan perundangan wakaf yang sudah ada dengan menambahkan hal-hal baru yang merupakan upaya memberdayakan wakaf secara produktif dan akuntabel. Dengan adanya Undang-undang ini terdapat perluasan benda yang diwakafkan (mauquf bih). Dalam UU ini, selain mengatur tentang wakaf benda tidak bergerak, juga mengatur tentang wakaf benda bergerak, seperti uang, saham atau surat-surat berharga lainnya.29 Sebelum keluarnya Undang-Undang Wakaf ini, sudah keluar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai
28 29
Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, ed., Wakaf, Tuhan, dan Agenda, h. 88
Departemen Agama RI, Proses Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 212
kebolehan memberi wakaf dalam bentuk uang. Fatwa MUI tersebut adalah:30 1) Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. 2) Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. 3) Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh). 4) Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i. 5) Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Dengan adanya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan fatwa MUI tersebut telah menjadi pijakan hukum bagi umat Islam di Indonesia untuk melakukan perbuatan hukum memberikan wakaf dalam bentuk uang. Dan saat ini sudah keluar pula Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 3. Rukun dan Syarat Wakaf a. Rukun Wakaf Para ulama telah sepakat bahwa tanpa memenuhi rukun dan syarat, perbuatan wakaf tidak akan terwujud. Khusus mengenai jumlah rukun wakaf, terdapat perbedaan antara jumhur dan mazhab Hanafi. Menurut jumhur, mazhab Syafi’i dan Maliki serta Hambali, rukun wakaf ada empat, yaitu:31
30
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 Mei 2002
a. Waqif (orang yang mewakafkan) b. Mauquf (benda yang diwakafkan) c. Mauquf ‘Alaih (sasaran atau penerima wakaf) d. Sighat wakaf (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harta bendanya) Menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf hanya satu, yaitu berupa pengucapan sighat.32 b. Syarat-syarat Wakaf Masing-masing rukun wakaf mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu: 1. Syarat Waqif (orang yang mewakafkan) Ulama menetapkan syarat-syarat pewakaf (waqif) sebagai berikut:33 a. Berakal yaitu mempunyai akal, maka tidaklah sah wakaf yang diberikan oleh orang gila b. Dewasa (balig), tidak sah wakaf yang berasal dari anak-anak yang belum balig c. Tidak dalam tanggungan, karena boros dan bodoh
31
Muhammad Khatib al-Sarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, t.t.). Juz, II, h. 376 32 33
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 159
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaA, 2004), h. 219
d. Kemauan sendiri, bukan atas tekanan atau paksaan dari pihak manapun e. Merdeka 2. Syarat Mauquf ( benda yang diwakafkan) Para fuqaha sepakat bahwa barang yang diwakafkan itu (alMauquf) harus berupa barang kongkrit dan pasti, diketahui dan betulbetul milik penuh bagi orang yang mewakafkannya.34 Menurut mazhab Hanafi, syarat barang yang diwakafkan itu ada empat macam, yaitu:35 a. Barang yang diwakafkan itu harus berupa harta benda, tidak boleh mewakafkan manfaat semata tanpa bendanya, juga tidak boleh mewakafkan sesuatu harta yang tidak baik menurut syara’, seperti barang-barang
yang
memabukkan
dan
kitab-kitab
yang
menyesatkan. b. Barang yang diwakafkan itu harus jelas, baik kejelasan ukuran, seperti mewakafkan 100 m tanah maupun lainnya. Jadi tidak boleh mewakafkan suatu barang yang tidak jelas, sebab ketidakjelasan itu dapat mengarah kepada terjadinya pertikaian.
34
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 184
35
Ibid, h. 184
c. Barang yang diwakafkan itu betul-betul milik penuh bagi orang yang mewakafkannya. Karena wakaf itu menggugurkan hak milik, maka haruslah barang yang diwakafkan itu betul-betul sebagai hak milik orang yang berwakaf. d. Barang yang diwakafkan itu harus sudah dibagi, tidak sebagai kongsi dengan orang lain jika memang barang itu dapat dibagi. Sebab penerimaan atas barang yang diwakafkan itu adalah syarat bolehnya wakaf, sedangkan barang atau harta kongsi itu menghalangi penerimaan tersebut. 3. Syarat Mauquf ‘Alaih (sasaran atau penerima wakaf ) Menurut Jumhur Ulama, beberapa persyaratan umum yang harus diperhatikan dalam mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf tidak bertentangan dengan syara’, tidak dibatasi waktu dan sesuatu yang tidak menimbulkan madharat pada ahli warisnya. Sasaran wakaf dapat ditujukan kepada wakaf khairi dan wakaf ahli.36 Wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum seperti yang dilakukan Umar bin Khathab. Ia mewakafkan sekaligus mengelola sendiri tanahnya di Khaibar dan membagikan hasilnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah dan kepentingan umum lainnya. Adapun wakaf ahli/wakaf dzurri yang
36
Sayyid Sabiq, Fiqih, h. 378
terkadang disebut wakaf ‘al aulad adalah wakaf yang khusus diperuntukkan orang-orang tertentu.37 Jadi yang menikmati manfaat benda wakaf ini sangat terbatas kepada yang termasuk golongan kerabat sesuai dengan ikrar yang dikehendaki oleh si waqif. 4. Sighat (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harta bendanya) Berkenaan dengan syarat-syarat yang berkenaan dengan sighat, para ulama mensyaratkan atas sighat itu sebagai berikut: a. Ta’bid, yaitu waqif harus menyerahkan harta wakaf untuk selamanya, tidak dibatasi waktu. Meskipun Imam Maliki membolehkan wakaf ditentukan batas waktunya namun para Imam Mazhab lainnya menolak argument itu.38 b. Ilzam, yaitu tidak dipertautkan pada suatu syarat khiyar, seperti mensyaratkan di waktu tertentu harus mengembalikan harta wakaf kepada waqif apabila ia membutuhkannya.39 Imam Maliki membolehkan ikrar ta’liq wakaf yaitu ikrar yang dikaitkan dengan keadaan tertentu yang dapat mempengaruhi ada dan tidak adanya wakaf, di sisi lain Imam Hambali membolehkan ta’liq wakaf akan tetapi hanya berkaitan dengan kematian saja. Ia 37
Ibid., h. 380
38
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 204-205
39
Ibid., h. 208
hanya mensahkan perkataan wakif: “Barang ini merupakan wakaf sesudah saya meninggal”. Sedangkan Imam Hanafi dan Syafi’i tidak mensahkannya.40 c. Sighat tidak terkait dengan persyaratan bathil seperti seseorang mensyaratkan
sebagian
benefit
wakafnya
untuk
perbuatan
maksiat.41 d. Jumhur Ulama selain Imam Maliki menyatakan sighat harus mengandung arti yang tegas dan tunai, namun Malikiyah membolehkan wakaf berkaitan dengan syarat dan penangguhan realisasi pada masa yang telah ditetapkan oleh waqif.42 4. Tinjauan Syariah Terhadap Uang Sebagai Objek Wakaf Perkembangan yang menarik dalam hal pengembangan institusi wakaf akhir-akhir ini adalah digunakannya uang sebagai objek benda yang diwakafkan yang dikenal dengan istilah cash waqf atau banyak diartikan para pihak dengan wakaf tunai. Istilah wakaf tunai sendiri pada dasarnya kurang tepat. Hal ini mengingat inti persoalan dari cash waqf terletak pada obyek wakafnya yaitu uang. Terjemahan cash yang tepat dalam cash waqf ialah uang, bukan tunai, karena yang menjadi pembahasan para ahli fiqh ialah hukum mewakafkan uang, dengan kata lain menjadikan uang sebagai objek wakaf. Adapun tunai telah dianalisa para 40
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima, h. 642-643
41
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 208
42
Ibid., h. 206
ahli fiqh dan mereka menjelaskan semua wakaf harus tunai, tidak boleh dalam bentuk utang. Karena itu tunai tidak dapat menjadi obyek wakaf. Digunakannya uang sebagai objek wakaf semakin mendapat tempat di kalangan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini. Perkembangan ini pada akhirnya telah menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya tinjauan hukum Islam (syariah) terhadap digunakannya uang sebagai objek wakaf? Timbulnya pertanyaan semacam ini pada dasarnya adalah hal yang wajar. Hal ini mengingat selama ini wakaf yang populer di kalangan umat Islam Indonesia terbatas pada wakaf tanah dan bangunan yang diperuntukan bagi tempat ibadah, pendidikan, atau lahan perkuburan. Karenanya UU No. 41 tahun 2004 dan fatwa MUI tentang diperbolehkannya wakaf dengan uang, merupakan hal baru bagi umat Islam Indonesia. MUI sendiri dalam fatwanya yang membolehkan wakaf uang selain menggunakan dasar hukum Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan wakaf, juga secara khusus memperhatikan pandangan para ulama yang telah membolehkan wakaf dengan uang. Beberapa pandangan yang digunakan MUI tersebut antara lain adalah:43 a. Pendapat Imam Az-Zuhri bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih. 43
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Komisi Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 Mei 2002
b. Pandangan dari ulama mazhab Hanafi yang membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi (hukum yang ditetapkan berdasarkan adat kebiasaan), berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud r.a : “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”. c. Pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i: “Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)” Walaupun banyak dari kalangan ulama yang telah membolehkan wakaf uang, namun ada pula sebagian ulama yang sulit menerima pendapat bahwa sah hukumnya mewakafkan dinar dan dirham (uang). Adapun alasan para ulama yang tidak membolehkan berwakaf dengan uang, diantaranya:44 a. Bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dengan membelanjakan sehingga bendanya lenyap, sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lazim kekal. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda yang tahan lama, tidak habis dipakai.
44
Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah, ed., Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, (Jakarta: PSTT-UI, 2006), h. 98
b. Uang seperti dirham dan dinar diciptakan sebagai alat tukar yang mudah, orang melaukukan transaksi jual-beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya. Dalam Al-Is’af fi Ahkam al-Awqaf, al-Tharablis menyatakan sebagian ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al-Anshori, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar, seperti makanan gandum. Hal ini membuat mereka merasa aneh karena tidak mungkin mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan dana tunai dirham? Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah al-Anshori menjelaskan dengan mengatakan: “kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah dan labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah kemudian hasilnya disedekahkan”.45 Wahbah Zuhaili menjelaskan secara tegas bahwa ulama mazhab Maliki memperbolehkan wakaf uang, mengingat manfaat uang masih dalam cakupan hadits Nabi Muhammad saw dan benda sejenis yang diwakafkan oleh para sahabat, seperti baju perang, binatang dan harta lainnya serta hal tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah saw. Secara qiyas, wakaf uang dianalogikan
45
Ibid, h. 99
dengan baju perang dan binatang. Qiyas ini telah memenuhi syarat ‘illah (sebab persamaan), yang jami’ (titik persamaan) terdapat dalam qiyas dan yang diqiyaskan (maqis dan maqis ‘alaih). Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang mungkin rusak dalam jangka waktu tertentu, bahkan wakaf uang jika dikelola secara professional memungkinkan uang yang diwakafkan kekal selamanya.46 Dari berbagai pandangan ulama tentang wakaf uang tersebut menunjukan adanya kehati-hatian para ulama dalam memberikan fatwa sah atau tidak sahnya suatu praktik wakaf uang. Hal ini disebabkan harta wakaf adalah harta amanah yang terletak ditangan nadzir. Sebagai harta amanah, maka nadzir hanya boleh melakukan hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi harta wakaf. Berdasarkan pertimbangan ini, disamping memikirkan model investasi wakaf uang, perlu juga dipikirkan antisipasi adanya resiko kerugian yang akan mengancam eksistensi dan kesinambungan aset wakaf.47 Walaupun ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai sah tidaknya wakaf uang, namun mengingat manfaat wakaf uang yang begitu besar bila dikembangkan dengan baik bagi kemaslahatan umat, pengelolaan wakaf uang tetap menjadi pilihan yang menarik bagi umat Islam untuk dikembangkan. Dari segi pemanfaatan misalnya, wakaf uang tentunya dapat dimanfaatkan lebih luas. 46
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 46 47
Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah, ed., Wakaf Tunai Inovasi Finansial, h. 99
Dana wakaf nantinya bisa digunakan untuk mendirikan perusahaan, pusat perbelanjaan, atau apa saja yang bernilai ekonomis dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dananya terus mengalir, keuntungan yang diperoleh lebih besar, akan lebih banyak umat yang dibantu dengan dana tersebut. Dengan demikian mobilisasi dana dari umat Islam untuk umat Islam dapat dilakukan secara maksimal dan didayagunakan bagi kemanfaatan umat yang sebesar-besarnya. B. Praktik Perwakafan Di Indonesia Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam. Praktik wakaf diasumsikan telah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam di nusantara sejak akhir abad ke-12M. Di masa-masa awal penyiaran Islam ini, kebutuhan akan masjid untuk menjalankan aktivitas ritual dan dakwah membuat pemberian tanah wakaf untuk masjid menjadi tradisi yang lazim dan meluas di kantong-kantong Islam di nusantara. Praktik-praktik yang menyerupai wakaf dilaporkan telah ada sejak jauh sebelum datangnya Islam di nusantara. Praktik yang menyerupai wakaf ini dapat ditemukan dalam tradisi penyerahan tanah di beberapa daerah; seperti di Mataram, telah dikenal praktik semacam wakaf yang disebut tanah perdikan yaitu tanah yang diberikan oleh Negara kepada orang tertentu yang dianggap telah berjasa dan mereka dibebaskan dari pembayaran pajak, di Lombok dikenal tanah pareman yaitu tanah Negara yang dibebaskan dari pajak landrente yang diserahkan kepada desa-desa subak, juga kepada candi dan juga kepentingan bersama. Dalam tradisi masyarakat Baduy di Cibeo, Banten Selatan juga dikenal
Huma Serang yaitu ladang yang dikerjakan setiap tahun secara bersama-sama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama dan di Minangkabau ada pula tanah pusaka (tinggi) yaitu tanah keluarga yang dikelola secara turun-temurun dan hasilnya juga dapat dimanfaatkan oleh keluarga untuk membantu membiayaai kebutuhan ekonomi keluarga atau memberi bantuan uang sekolah pada anak-anak di perantauan. Sedangkan di Aceh dikenal tanah weukeuh yaitu tanah pemberian sultan yang digunakan untuk kepentingan umum.48 Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam dari waktu ke waktu, praktik perwakafan mengalami kemajuan setahap demi setahap. Tradisi wakaf untuk tempat ibadah tetap bertahan, tetapi mulai muncul juga wakaf untuk kegiatan pendidikan, seperti untuk pendirian pesantren dan madrasah.49 Di Indonesia, pengelolaan wakaf mengalami masa yang cukup panjang. Paling tidak ada tiga periode besar pengelolaan wakaf di Indonesia. Pertama, periode tradisional yaitu dimana pada periode ini wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran murni yang dimasukkan dalam kategori ibadah mahdoh (pokok), dimana hampir semua benda-benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik, seperti masjid, mushala, pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya. Sehingga
48
Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, ed., Wakaf , Tuhan, dan Agenda, h. 72-73
49
Ibid, h. 71
keberadaan wakaf pada periode ini belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena hanya untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.50 Kedua, periode semi profesional, yaitu di mana pengelolaan wakaf yang kondisinya relatif sama dengan periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal. Sebagai contoh adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah bangunan gedung untuk pertemuaan, pernikahan dan acara lainnya seperti masjid Sunda Kelapa, masjid Pondok Indah, masjid At-Taqwa Pasar Minggu dan Masjid Ni’matul Ittihad Pondok Pinang, semua terletak di Jakarta.51 Ketiga, periode professional, yaitu periode di mana potensi wakaf di Indonesia sudah mulai dilirik untuk diberdayakan secara professional dan produktif. Profesionalisme yang dilakukan meliputi aspek : Manajemen, SDM kenazhiran, pola kemitraan usaha, bentuk benda wakaf yang tidak hanya berupa benda tidak bergerak tapi bisa mewakafkan benda bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lainnya, dukungan political will pemerintah secara penuh, salah satunya dengan lahirnya UU
50
Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 1 51
Ibid, h. 4
Wakaf No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2002 tentang legalitas kebolehan wakaf uang.52 C. Model Pengelolaan Wakaf Uang 1. Di Indonesia Sampai saat ini di Indonesia sudah ada beberapa lembaga yang mengelola wakaf uang seperti Baitul Maal Muamalat yang bekerja sama dengan Bank Muamalat Indonesia, LAZ Portalinfak, Pos Keadilan Peduli Umat dan Yayasan Dompet Dhuafa Republika. Di awal operasi produk wakaf uang, pola pengelolaan wakaf uang yang dilakukan
oleh
Yayasan
Dompet
Dhuafa
Republika
adalah
langsung
memanfaatkan dana wakaf pada sasaran, tidak menginvestasikannya terlebih dahulu, sehingga asset pokok wakaf digunakan untuk membiayai operasional program wakaf, bukan profit/benefitnya.53 Seiring waktu berjalan, lembaga itu terus melakukan evaluasi dan inovasi dalam maksimalisasi pengembangan wakaf uang. Di tahun 2004, Dompet Dhuafa telah melakukan strategi baru antara lain mereka bekerjasama dengan Batasa Capital dan BII Syariah. Kerjasama ini telah berhasil meluncurkan “Wakaf Investasi Dompet Dhuafa Batasa Syariah”. Sebuah produk yang diluncurkan 52
Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perwakafan, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 22 53
Wardah Ganita, “Tinjauan Hukum Islam Pola Penghimpunan dan Pengelolaan Wakaf Uang Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 60
untuk mensinergikan investasi dengan charity demi membangun bangsa. Wakaf tersebut akan dialokasikan untuk mendorong kegiatan sektor riil, khususnya yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan usaha kecil dan menengah. Komisaris utama Batasa Tazkia, M. Syafi’i Antonio, menyatakan bahwa produk ini adalah gabungan antara wakaf uang dengan investasi reksa dana syariah, dimana investor dapat menentukan dengan leluasa presentasi yang diperolehnya dan mewakafkan sebagian atau seluruh dari investasinya sebagai harta wakaf. Bagi yang mengeluarkan wakaf akan diberikan Sertifikat Wakaf Investasi Atas Nama dari Dompet Dhuafa dengan nominal terkecil Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Dalam prosesnya, Batasa Capital berperan sebagai Manajer Investasi sementara Dompet Dhuafa akan berperan sebagai nadzir, yang akan mengelola dana wakaf.54 Secara operasional, pengelolaan wakaf uang pada Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) sama dengan pola pengelolaan wakaf uang di Yayasan Dompet Dhuafa Republika diawal operasinya, yaitu langsung memanfaatkan dana wakaf pada sasaran, tidak menginvestasikannya terlebih dahulu sehingga dana yang digunakan untuk membiayai operasional program wakaf adalah aset pokok wakaf bukan profit/benefitnya. Adapun strategi penghimpunan dana wakaf uang di
54
Ibid, h. 61
PKPU adalah dengan menyediakan sertifikat wakaf uang dengan nominal miminal Rp. 500.000,.- (lima ratus rupiah).55 Untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan wakaf, di Indonesia sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang bersifat independent dan dapat membentuk perwakilan di Propinsi dan Kabupaten jika dianggap perlu. Pada bulan Juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia No.75/M Tahun 2007 yang memutuskan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010 yang diketuai oleh Bapak Tholhah Hasan.56 Adapun tugas dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah: a. Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf. b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional. c. Memberikan persetujuan dan /atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf. d. Memberhentikan dan mengganti Nazhir. e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf. f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.57 Badan Wakaf Indonesia (BWI) ini secara organisatoris harus bersifat independent, dimana pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator, regulator, motivator dan pengawasan. Jadi, tugas utama badan ini adalah memberdayakan
55
Ibid, h. 65
56
Tholhah Hasan, “Perkembangan Kebijakan Wakaf Di Indonesia,” Republika, 14 Maret
2008, h. 19 57
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h.94
wakaf, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak yang ada di Indonesia sehingga dapat memberdayakan ekonomi umat.58 2. Di Luar Negeri Dalam hal wakaf uang, negara yang sampai saat ini boleh dikatakan paling berkembang dan maju dalam pengelolaannya adalah Bangladesh. Di Bangladesh wakaf uang memang telah menuai hasil memuaskan. Melalui dana wakaf, pemerintah Bangladesh mampu memberdayakan masyarakatnya dan mandiri secara ekonomi. Hal ini bermula dari pengenalan sertifikat wakaf tunai (cash waqf certificate), yang dilakukan oleh Prof. Dr. M. A. Mannan, serta pendirian sebuah badan bernama Social Investment Bank Ltd. (SIBL). Badan ini kemudian berfungsi untuk menggalang dana dari orang-orang melalui sertifikat wakaf tunai. Lalu dana yang terkumpul dikelola, sedangkan keuntungannya disalurkan kepada rakyat miskin yang membutuhkan.59 Menurut M. A. Mannan, wakaf uang dapat berperan sebagai suplemen bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang dikelola oleh bankbank Islam, sehingga dapat berubah menjadi bank wakaf (sebuah bank yang menampung dana-dana wakaf). Pengenalan Sertifikat Wakaf Tunai merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah perbankan. Sertifikat Wakaf Tunai ini dimaksudkan sebagai instrumen pemberdayaan keluarga kaya dalam memupuk 58 59
Departemen Agama RI, Paradigma Baru, h. 107
Hendra Kholid, “Alternatif Pemanfaatan Wakaf Tunai”, artikel diakses pada 29 Agustus 2007 dari http://www.halalguide.info/content/view/441/46/
investasi sosial sekaligus mewujudkan kesejahteraan sosial. Wakaf uang membuka peluang yang unik bagi penciptaan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayaan sosial. Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui penukaran Sertifikat Wakaf Tunai. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Wakaf Tunai tersebut dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda seperti pemeliharaan harta-harta wakaf itu sendiri.60 Manfaat lain dari Sertifikat Wakaf Tunai adalah bahwa dia dapat mengubah kebiasaan lama di mana kesempatan wakaf itu seolah-olah hanya untuk orang-orang kaya saja. Karena Sertifikat Wakaf Tunai seperti yang diterbitkan oleh SIBL dibuat dalam denominasi sekitar US$21, maka sertifikat tersebut dapat terbeli oleh sebagian besar masyarakt muslim. Bahkan, sertifikat tersebut dapat dibuat dalam pecahan yang lebih kecil lagi. Dipandang dari sisi ini, maka penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai diharapkan dapat menjadi sarana bagi rekonstruksi sosial dan pembangunan, dimana mayoritas penduduk dapat ikut berpartisipasi.61 Garis-garis besar pengaturan operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai sebagaimana yang diterapkan SIBL adalah sebagai berikut:
60
M. A. Mannan, Serifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, (Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI, 2001), h. 36 61
Ibid, h. 37
1) Wakaf Tunai harus diterima sebagai sumbangan sesuai dengan Syari’ah. Bank harus mengelola wakaf tersebut atas nama Waqif. 2) Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu dan rekeningnya harus terbuka dengan nama yang ditentukan oleh Waqif. 3) Waqif mempunyai kebebasan memilih tujuan-tujuan sebagaimana tercantum pada daftar yang jumlahnya ada 32 sesuai dengan identifikasi yang telah dibuat oleh SIBL atau tujuan lain yang diperkenankan oleh syari’ah. 4) Wakaf Tunai selalu menerima pendapatan dengan tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan bank dari waktu ke waktu. 5) Kuantitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh Waqif. Bagian keutungan yang tidak dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada wakaf dan profit yang diperoleh akan bertambah terus. 6) Waqif dapat meminta bank mempergunakan keseluruhan profit untuk tujuantujuan yang telah ia tentukan. 7) Waqif dapat memberikan Wakaf Tunai untuk sekali saja, atau ia dapat juga menyatakan akan memberikan sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit pertama kalinya sebesar Tk.1000 (atau equivalent dengan jumlah tertentu pada mata uang Rupiah). Deposit-deposit berikutnya juga dapat dilakukan dengan pecahan masing-masing Tk.100 atau kelipatnnya. 8) Waqif dapat juga meminta kepada bank merealisasikan Wakaf Tunai pada jumlah tertentu untuk dipindahkan dari rekening Waqif pada SIBL.
9) Atas setiap setoran Wakaf Tunai harus diberikan tanda terima dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan sertifikat. 10) Prinsip dan dasar-dasar peraturan Syari’ah Wakaf Tunai dapat ditinjau kembali dan dapat berubah.62 Dengan diterbitkannya Sertifikat Wakaf Tunai oleh SIBL telah membuka peluang kepada masyarakat untuk membuka rekening deposito wakaf tunai dengan tujuan untuk mencapai sasaran-sasaran sebagai berikut: 1) Menjadikan perbankan sebagai fasilitator untuk menciptakan wakaf tunai dan membantu dalam pengelolaan wakaf. 2) Membantu memobilisasi tabungan masyarakat dengan menciptakan wakaf tunai dengan maksud untuk memperingati orang tua yang telah meninggal, anak-anak, dan mempererat hubungan kekeluargaan orang-orang kaya. 3) Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal. 4) Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama golongan miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilkan dari golongan kaya. 5) Menciptakan kesadaran di antara orang kaya tentang tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat. 6) Membantu pengembangan Social Capital Market.
62
Ibid, h. 46
7) Membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan yang unik antara jaminan sosial dan kesejahteraan masyarakat.63 Kesimpulannya, seseorang dapat membeli Sertifikat Wakaf Tunai dengan maksud untuk memenuhi target investasi sedikitnya meliputi 4 (empat) bidang,yaitu: 1) 2) 3) 4)
Kemanfaatan bagi kesejahteraan pribadi (dunia-akhirat). Kemanfaatan bagi kesejahteraan keluarga (dunia-akhirat). Pembangunan sosial. Membangun masyarakat sejahtera: jaminan sosial bagi si miskin dan jaminan keamanan sosial bagi si kaya.64 Dari beberapa paparan di atas, wakaf uang yang dikelola SIBL ini
mempunyai beberapa keunggulan antara lain, memperluas jangkauan pemberi wakaf dan mendapat partisipasi penuh masyarakat. Masyarakat yang tidak mempunyai fixed asset dan harta berlebih dapat mewakafkan uang sesuai dengan kemampuannya. Dana itu dikumpulkan dan dikelola oleh lembaga wakaf serta mendistribusikan hasilnya pada beneficiary. Benefit yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan produktifitas asset-asset wakaf yang belum terkelola dengan baik. Selain itu dana deposit permanen ini dapat diinvestasikan pada bidang investasi sosial dan dakwah Islam dengan cara mentrasferkan tabungan kaya pada
63
Ibid, h. 41
64
Ibid, h. 49
entrepreneur dan masyarakat untuk mendanai proyek-proyek yang berkenaan dengan dakwah Islam serta pemberdayaan ekonomi dan potensi masyarakat.
BAB III PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PENGELOLAAN WAKAF UANG DILIHAT DARI UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
A. Perbankan Syariah Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Pengelola Wakaf Belakangan ini banyak tumbuh dan berkembang lembaga-lembaga keuangan syariah. Dilihat dari bentuknya, lembaga keuangan syariah dapat dibagi menjadi 2 bagian. Pertama, lembaga keuangan bank seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Kedua, lembaga keuangan non bank seperti BMT, Unit Simpan Pinjam Syariah (USPS) dan Asuransi Takaful. Lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut pada umumnya mempunyai karakteristik yang berbeda dengan lembaga keuangan konvensional yakni berpegang pada prinsip ekonomi syariah dan mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS).65 Ada tiga hal yang menggerakkan kegiatan lembaga keuangan syariah dewasa ini. Pertama, adalah untuk merealisasikan prinsip-prinsip syariah Islam. Kedua, memenuhi kepentingan umat, sebagai suatu kelompok masyarakat, untuk membentuk kekuatan ekonomi umat. Dan ketiga, untuk memenuhi kepentingan ekonomi masyarakat umumnya, yakni meningkatkan pendapatan dan menciptakan kekayaan.66
65
Hendi Suhendi, dkk, BMT, Bank Islam: Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 159 66
Muhammad, ed., Bank Syariah: Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisia, 2006), Cet 1, h. 78
Lembaga keuangan syariah di Indonesia dalam bentuk bank syariah berdiri berkat upaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cedekiawan Musliam seIndonesia (ICMI) pada tahun 1992. Bank Syariah tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang nilai assetnya sekarang mencapai lebih 1.5 triliun. Bank Muamalat Indonesia (BMI) menjadi pelopor kehadiran bank-bank syariah dan lembaga keuangan non-bank lainnya.67 Munculnya bank syariah di Indonesia tidak terlepas dari adanya pengaruh bank-bank Islam di belahan dunia, semua ini tentu mengilhami sekaligus menggugah pakar-pakar
ekonomi
Indonesia,
akhirnya
mereka
memperbincangkan
dan
mendiskusikan tentang perbankan Islam atau yang lebih kita kenal dengan perbankan syariah. Menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, bank syariah memiliki 2 pengertian, yaitu: 1. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. 2. Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan AlQur’an dan Al-Hadits.68 Perkembangan perbankan syariah di Indonesia selama 5 tahun terakhir ini menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Jika pada tahun 2003 Bank Umum Syariah baru ada 2 buah, dan 8 Unit Usaha Syariah (UUS) dengan jumlah kantor 243 buah dan BPRS 84 buah, kini pada tahun 2007 perbankan syariah 67
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006)., h. 51 68
Karnaen A. Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), h. 1
berkembang pesat menjadi 3 Bank Umum Syariah, 26 UUS, 224 KC, 123 KCP dan 114 BPRS.69 Kondisi ini, baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi secara positif terhadap berbagai aspek pemberdayaan ekonomi yang berasal dari ajaran Islam, yaitu Zakat, Infak, Shadaqah (ZIS) dan juga wakaf.70 Wakaf, khususnya wakaf uang harus dikelola secara profesional agar manfaat dari dana wakaf uang tersebut dapat mensejahterakan masyarakat luas. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat mengelola dana dan sudah berpengalaman. Jika kita lihat dari fungsi dan peran bank syariah dalam pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution), maka bank syariah bisa saja mengelola wakaf uang, fungsi dan peran bank syariah tersebut adalah sebagai berikut: a. Manajer investasi, bank syariah dapat mengelola investasi dana nasabah. b. Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya. c. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya. d. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah, bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola
69 70
Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah dari tahun 2003-2007
Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 73
(menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya.71 Kepedulian sosial merupakan salah satu fungsi yang tidak terpisahkan dalam perbankan syariah. Dalam melakukan fungsi sosial tersebut bank syariah juga bertindak sebagai lembaga Baitul Maal yang menerima dan menyalurkan dana kebajikan. Guna menjalankan kegiatan tersebut bank syariah wajib membentuk satuan kerja yang mengelola dana kebajikan. Oleh karena itu, keberadaan bank-bank syariah dipandang merupakan alternatif lembaga yang cukup representatif untuk mengelola dana wakaf khususnya wakaf uang, namun Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas regulasi perbankan, tidak mempunyai peraturan khusus yang mengatur tentang wakaf uang. Menurut Mulya E. Siregar, Kepala Pengembangan Penelitian Perbankan Syariah di Bank Indonesia, Bank Indonesia hanya mengeluarkan peraturan sebagai berikut72: 1. SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: “Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan)”.
71
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: EKONISIA, 2007), Edisi 2,. h. 39-40 72
Wawancara Pribadi dengan Mulya E. Siregar. Jakarta, 6 November 2007
2. SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR Tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 28 yang berbunyi: “BPRS dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau dan sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).” Menurut ketentuan diatas secara umum bank syariah dapat mengambil peran sebagai penerima dan penyalur dana wakaf, sedangkan peran bank syariah sebagai pengelola dana wakaf tidak disebutkan secara eksplisit. Wewenang pengelolaan ini dipandang penting karena berbeda dengan dana sosial lainnya, seperti zakat, infaq atau shadaqah, dana wakaf tidak dibagikan langsung kepada yang berhak melainkan harus dikelola terlebih dahulu untuk kemudian hasilnya baru dibagikan kepada yang berhak.73 Di sisi lain dalam SK Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 28 huruf m, disebutkan bahwa “… bank dalam melakukan kegiatan usahanya dapat melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional “. Selain itu, dalam SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 27 huruf c, disebutkan bahwa “… BPRS dalam melakukan kegiatan usahanya dapat melakukan kegiatan lain yang lazim dilakuakn BPRS sepanjang
73
Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah, ed., Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, (Jakarta: PSTTI-UI, 2006), h. 102103
disetujui oleh Dewan Syariah Nasional “. Kegiatan lain dalam pasal ini dapat saja diartikan sebagai kegiatan pengelolaan wakaf oleh bank syariah.74 Pengelolaan harta (dana) wakaf bisa diserahkan kepada lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan syariah sebagai dana wadi’ah.75 B. Keunggulan Perbankan Syariah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang Dalam pengelolaan harta wakaf, pihak yang paling menentukan berhasil tidaknya dalam pemanfaatan harta wakaf adalah nadzir wakaf, yaitu seseorang atau sekelompok orang dan badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif (orang yang mewakafkan harta) untuk mengelola wakaf. Walaupun dalam kitab-kitab fiqih ulama tidak mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, namun setelah memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil harta wakaf, maka keberadaan nadzir sangat dibutuhkan, bahkan menempati pada peran sentral. Sebab di pundak nadzir-lah tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga, mengembangkan wakaf dan menyalurkan hasil atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.76 Saat ini masih banyak harta wakaf yang tidak berfungsi secara maksimal, bahkan tidak memberi manfaat sama sekali kepada sasaran wakaf, hal ini disebabkan karena nadzir yang dipercaya untuk mengelola harta wakaf tidak mempunyai kemampuan memadai untuk mengelola harta wakaf. Untuk itulah profesionalisme 74
Ibid., h. 104
75
Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan, h. 76
76
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), h. 83
nazhir menjadi ukuran yang paling penting dalam pengelolaan wakaf jenis apapun. Kualifikasi professionalisme nadzir secara umum dipersyaratkan menurut fiqih sebagai berikut, yaitu: beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum), baligh (sudah dewasa), ‘aqil (berakal sehat), memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (profesional), memiliki sifat amanah, jujur, dan adil.77 Dengan
demikian,
semestinyalah
lembaga
pengelola
wakaf
uang
menggunakan manajemen yang profesional. Manajemen wakaf uang melibatkan tiga pihak, yaitu: (1) Pemberi wakaf (wakif), (2) Pengelola wakaf (nazhir), sekaligus akan bertindak sebagai manajer investasi, dan (3) Beneficiary (mauquf alaihi/masyarakat yang diberi wakaf). Wakif akan memberikan uangnya sebagai wakaf kepada lembaga pengelola wakaf dan keuntungannya didistribusikan kepada masyarakat luas yang membutuhkan. Karena itu, lembaga pengelola wakaf tunai seyogyanya memenuhi kriteria sebagai berikut:78 1. 2. 3. 4.
Memiliki akses yang baik kepada calon wakif Memiliki kemampuan untuk menginvestasikan dana wakaf Mampu untuk mendistiribusikan hasil/keuntungan dari investasi dana wakaf Memiliki kemampuan unuk mencatat/membukukan segala hal yang berkaitan dengan beneficiary, misalnya rekening dan peruntukannya 5. Lembaga pengelola wakaf tunai hendaknya dipercaya oleh masyarakat dan kinerjanya dikontrol sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pengelola dana publik
77
Ibid, h. 84
78
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan, h. 50
Lembaga-lembaga yang dapat dipercaya dan memenuhi kriteria untuk mengelola wakaf uang adalah lembaga-lembaga keuangan syariah. Bank syariah sebagai salah satu dari lembaga keuangan syariah setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang diharapkan dapat mengoptimalkan operasional wakaf uang tersebut, yaitu79: 1. Jaringan Kantor Relatif luasnya jaringan kantor perbankan syariah dibandingkan lembaga keuangan syariah lainnya merupakan keunggulan tersendiri bagi perbankan syariah di dalam pengelolaan wakaf tunai. Pada bulan Desember 2007 tercatat jumlah jaringan kantor bank syariah sebanyak 568 buah, dengan rincian 224 kantor cabang, 123 kantor cabang pembantu dan 221 kantor kas, ditambah dengan kantor pusat sebanyak 29 buah.80 Dengan relatif luasnya jaringan kantor perbankan diharapkan akan lebih mengefektifkan sosialisasi keberadaan produk wakaf tunai seiring dengan tingginya akses masyarakat terhadap jasa perbankan. Sebagai implikasi dari efektifnya sosialisasi tersebut serta semakin luasnya jaringan kantor, maka pada tahap selanjutnya diharapkan penggalangan dana wakaf tunai juga akan semakin optimal. Begitu pula dengan aktivitas penyalurannya, luasnya jaringan kantor akan sangat
79
Wawancara Pribadi dengan Mulya E. Siregar. Jakarta, 6 November 2007
80
Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah 2007
membantu efektivitas serta efisiensi penyampaian dana wakaf kepada al-mauquf ‘alaih.81 2. Kemampuan sebagai Fund Manager Sebagai lembaga perantara antara Surplus Spending Unit dengan Deficit Spending Unit, lembaga perbankan pada dasarnya merupakan lembaga pengelola dana (masyarakat). Dengan demikian sebuah lembaga perbankan dengan sendirinya haruslah –tidak boleh tidak- merupakan lembaga yang memiliki kemampuan untuk mengelola dana. Dalam kaitan dengan wakaf tunai, maka kemungkinan perbankan syariah sebagai lembaga yang mengelola dana wakaf tunai, merupakan satu alternatif yang patut dipertimbangkan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, khususnya kepada waqif.82 3. Pengalaman, Jaringan Informasi dan Peta Distribusi Sebagai pengelola dana untuk kemudian disalurkan kepada pihak tertentu, lembaga perbankan akan memiliki pengalaman, informasi serta peta distribusi kemana dana-dana tersebut dapat disalurkan. Dalam praktik operasional selanjutnya, ketiga hal tersebut menjadi faktor yang akan selalu dipertimbangkan di dalam mengoptimalkan pengelolan dana. Jaringan informasi serta peta distribusi juga memungkinkan untuk terbentuknya database informasi mengenai sektor usaha maupun debitur yang akan dibiayai termasuk oleh dana eks wakaf. 81
Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah, ed, Wakaf Tunai Inovasi Finansial, h. 106
82
Ibid, h. 107
Dalam kaitan dengan wakaf tunai, maka pengelolaan wakaf tunai oleh lembaga perbankan, tidak saja akan mengoptimalkan pengelolaan dana akan tetapi juga akan mengefektifkan penyaluran dana wakaf tunai sesuai dengan yang diinginkan oleh waqif. 4. Citra Positif Dengan adanya tiga hal diatas yang menjadi faktor positif pada lembaga perbankan syariah yang menjadi pengelola wakaf tunai, maka diharapkan akan menimbulkan citra positif pada gerakan wakaf tunai itu sendiri maupun pada perbankan syariah pada khususnya. Selain itu adanya pengawasan dari Bank Indonesia akan menimbulkan akuntabilitas yang positif dari pengelolaan wakaf tersebut. Pemunculan citra positif tersebut dipandang penting, tidak saja untuk mensukseskan serta mengoptimalkan keberadaan wakaf tunai tersebut, akan tetapi juga sebagai upaya untuk menghindari citra yang kurang baik seperti halnya yang terjadi pada pengelolaan zakat pada umumnya.83 C. Peran Perbankan Syariah Dalam Pengelolaan Wakaf Uang dilihat Dari UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Berbicara mengenai pengelolaan wakaf, hal yang penting adalah nadzir wakaf, seperti yang sudah penulis ungkapkan di atas bahwa berkembang tidaknya harta wakaf sangat tergantung pada nadzir wakaf. Berdasarkan tinjauan fiqih terdapat dua pandangan atas posisi nadzir yang berkaitan dengan masalah wakaf. Pertama,
83
Ibid, h. 108
pendapat yang menyatakan bahwa nadzir adalah penerima, penyalur sekaligus pengelola dana wakaf. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa nadzir hanyalah sebagai penerima dan penyalur dana wakaf, sedangkan wewenang pengelolaan dana wakaf harus dipisahkan dengan wewenang penerimaan dan penyaluran untuk menghindari adanya kemungkinan negatif (moral hazard).84 Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pasal 1 ayat (4) menyatakan “Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya”. Dan dalam pasal 9 menyatakan “Nadzir meliputi : perseorangan, organisasi atau badan hukum”. Setelah berkembangnya perwakafan di Indonesia, khususnya setelah diperbolehkannya berwakaf dengan uang, persoalan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana selanjutnya manajemen pengelolaan wakaf uang itu sendiri. Besarnya potensi dana yang dapat terkumpul dari wakaf uang pada akhirnya telah menimbulkan
kekhawatiran
di
sebagian
orang
mengenai
kemungkinan
penyelewengan dana wakaf uang. Karenanya diperlukan suatu lembaga yang benarbenar kredibel untuk mengelola wakaf uang atau nadzir wakaf uang. Saat ini lembaga keuangan syariah yang paling berpengalaman dan maju di Indonesia adalah bank syariah. Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa bank syariah memiliki beberapa keunggulan yang dapat mengoptimalkan operasional
84
Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan, h. 77
wakaf uang. Akan sangat baik tentunya apabila keunggulan bank syariah tersebut diikutsertakan dalam upaya pengembangan wakaf uang di Indonesia. Menurut Mulya E. Siregar, ada beberapa alternatif peran Bank Syariah dalam wakaf uang jika dilhat dari UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, antara lain:85 1. Bank Syariah sebagai Penerima Wakaf Uang Secara teknis operasional pada alternatif pertama ini adalah dimulai dari wakif memberikan wakaf dalam bentuk uang kepada nadzir, nadzir ini membuka rekening di bank syariah atau sudah mempunyai rekening di bank syariah, kemudian wakif menyerahkan wakafnya kepada bank syariah mewakili nadzir, lalu bank syariah mengeluarkan Sertifikat Wakaf Uang (SWU). Adapun yang mengelola wakaf uang tersebut adalah nadzir, selanjutnya nadzir menempatkan dana tersebut di bank syariah dan nadzir juga yang memilih penempatan dana wakaf tersebut. Dana wakaf tersebut dapat ditempatkan di Obligasi Syariah, Reksa Dana Syariah, Deposito Syariah, atau yang lainnya. Untuk penyaluran hasil dari pengelolaan dana wakaf uang itu diserahkan kepada nadzir untuk disalurkan kepada mauquf ‘alaih. Jadi dalam alternatif ini, peran bank syariah hanya sebagai penerima wakaf uang, sedangkan peran pengelola dan penyalur dana wakaf uang diserahkan kepada nadzir. Dalam hal ini keunggulan perbankan syariah berupa
85
Wawancara Pribadi dengan Mulya E. Siregar. Jakarta, 6 November 2007.
jaringan kantor digunakan untuk menggalang dana wakaf, sedangkan keunggulan bank syariah yang lainnya tidak digunakan. 2. Bank Syariah sebagai Penerima dan Penyalur Wakaf Uang Secara teknis operasional pada alternatif kedua ini, wakif mewakafkan uangnya melalui rekening nadzir yang ada di bank syariah, kemudian mengenai penempatan dana wakaf tersebut diserahkan kepada bank syariah yang bekerjasama dengan nadzir. Dana wakaf tersebut dapat ditempatkan pada Obligasi Syariah, Reksa Dana Syariah atau Deposito Syariah. Untuk penyaluran hasil dari pengelolaan dana wakaf tersebut diserahkan kepada bank syariah karena bank syariah mempunyai jaringan informasi dan peta distribusi yang lebih luas dibandngkan nadzir, yaitu seluruh Indonesia. Jadi dalam alternatif ini, peran bank syariah hanya sebagai penerima dan penyalur dana wakaf, sedang pengelolaan dana wakaf diserahkan kepada nadzir dengan kerjasama pada bank syariah. Artinya yang memilih penempatan dana wakaf tersebut diserahkan kepada nadzir, baik itu di Obligasi Syariah, Reksadana Syariah atau Deposito Syariah, tetapi tetap penempatannya di bank syariah. Dalam alternatif ini keunggulan bank syariah berupa jaringan kantor dan jaringan informasi serta peta distribusi, digunakan untuk menggalang dana wakaf maupun untuk meyalurkan hasil pengelolaan dana wakaf kepada mauquf ‘alaih. Sedangkan keunggulan bank syariah dalam mengelola dana tidak digunakan. 3. Bank Syariah sebagai Pengelola Wakaf Uang
Secara teknis operasional alternatif ketiga ini, wakif menyerahkan wakafnya berupa uang kepada nadzir langsung, kemudian nadzir menempatkan wakaf tersebut di bank syariah untuk dikelola, dana wakaf tersebut dapat ditempatkan pada Obligasi Syariah, Reksa Dana Syariah atau Deposito Syariah, pengelolaan ini diserahkan kepada bank syariah. Untuk penyaluran hasil dana wakaf diserahkan kepada nadzir untuk disalurkan kepada mauquf ‘alaih. Jadi dalam alternatif ini peran bank syariah hanya sebagai pengelola (fund manager) dana wakaf, sedangkan penerimaan dana wakaf dan penyalurannya diserahkan kepada nazdir. Dalam hal ini keunggulan bank syariah berupa kemampuan profesional dalam pengelolaan dana digunakan secara efektif. Sedangkan keunggulan bank syariah berupa jaringan kantor, jaringan informasi serta peta distribusi tidak dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penggalangan dana wakaf dan penyaluran hasil pengelolaan dana wakaf 4. Bank Syariah sebagai Nadzir Secara teknis operasional alternatif keempat ini dimulai dengan setoran wakif ke Bank Syariah sebagai dana wakaf, Bank Syariah akan menempatkan dana wakaf tersebut dalam suatu rekening atas nama wakif, Bank syariah kemudian mengeluarkan Sertikikat Wakaf Uang (SWU). Bank Syariah akan mengelola dana wakaf secara terpisah dengan dana pihak ketiga lainnya agar bank mudah untuk memantau bahwa dana wakaf tersebut tidak berkurang pokoknya. Adapun hasil dari pengelolaan dana wakaf tersebut dibagikan kepada mauquf ‘alaih.
Dalam alternatif ini, bank syariah mendapat kewenangan penuh untuk menjadi nadzir, mulai dari penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf. Peran bank syariah dalam alternatif ini dapat dikatakan sama dengan yang dilakukan SIBL di Bangladesh. Wakif yang menyetorkan dana wakaf ke bank syariah akan menerima Sertifikat Wakaf Uang (SWU) yang diterbitkan oleh bank syariah, sehingga tanggung jawab penggalangan dan pengelolaan dana wakaf serta penyaluran hasil pengelolaan dana tersebut sepenuhnya ada pada bank syariah. Jadi dalam alternatif ini semua keunggulan yang dimiliki oleh lembaga perbankan syariah digunakan secara efektif. Menurut Mulya E. Siregar, peran bank syariah sebagai nadzir sesuai dengan pasal 11 ayat (3) PP No.42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yang menyatakan bahwa “Nadzir badan hukum yang melaksanakan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: (a) badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam”. Lebih lanjut, menurut Beliau bank syariah juga badan hukum yang bergerak di bidang sosial, jadi bank syariah dapat menjadi nadzir.86 Menurut UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, peran perbankan syariah dimuat dalam pasal 28, yang menyatakan bahwa “Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh
86
Wawancara Pribadi dengan Mulya E. Siregar. Jakarta, 6 November 2007
Menteri”. Kemudian pasal ini dijelaskan dalam PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, pasal 23 menyatakan bahwa “Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU)”. Jadi perbankan syariah sebagai salah satu dari Lembaga Keuangan syariah (LKS) hanya berperan sebagai penerima wakaf uang dan pengelolaannya diserahkan kepada nadzir. Dalam pasal 29 ayat (2) UU No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, dinyatakan bahwa “Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang”. Selanjutnya pada pasal 29 ayat (3) dinyatakan bahwa “Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf”. Menurut dua pasal diatas, wakif dan nadzir yang menyetorkan dana wakaf di bank syariah akan menerima sertifikat wakaf uang yang dikeluarkan oleh bank syariah. Jadi, bank syariah sebagai penerima wakaf uang harus menerbitkan sertifikat wakaf uang bagi wakif dan nadzir sebagai bukti penyerahan dana wakaf di bank syariah. Secara teknis, jika seseorang yang akan mewakafkan sebagian uangnya dapat dilakukan melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). LKS yang ditunjuk oleh Menteri berdasarkan saran dan pertimbangan dari BWI. Saran dan pertimbangan yang dikeluarkan oleh BWI tersebut setelah mempertimbangkan saran instansi terkait. Dalam pasal 24 PP No. 42 tahun
2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf, saran dan pertimbangan dapat diberikan kepada LKS Penerima Wakaf Uang yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
menyampaikan permohonan secara tertulis kepada menteri; melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum; memiliki kantor operasional di wilayah Republik Indonesia; bergerak di bidang keuangan syariah; dan memiliki fungsi menerima titipan (wadi’ah). Menurut pasal 25 PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU Wakaf,
LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) bertugas: 1. mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang; 2. menyediakan blangko Sertifikat Wakaf Uang; 3. menerima secara tunai wakaf uang dari Wakif atas nama Nazhir; 4. menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama Nazhir yang ditunjuk Wakif; 5. menerima pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan secara tertulis dalam formulir pernyataan kehendak Wakif; 6. menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada Wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada Nazhir yang ditunjuk oleh Wakif; dan 7. mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama Nazhir. Jadi dilihat dari UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, peran bank syariah sebagai salah satu dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) hanya sebagai penerima wakaf uang, dimana wakif yang ingin berwakaf dengan uang dapat datang ke bank syariah dan menyetorkan wakaf uang tersebut atas nama nadzir. Setelah wakif menyetorkan wakaf uang tersebut, maka wakif dan nadzir mendapatkan Sertifikat Wakaf Uang sebagai bukti dari penyetoran wakaf uang pada bank syariah.
BAB IV PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
A. Model Pengelolaan Wakaf Uang Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Kalau dalam paradigma lama wakaf selama ini lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabadian benda wakaf, maka dalam pengembangan paradigma baru wakaf lebih menitikberatkan pada aspek pemanfaatan yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf itu sendiri.87 Jadi pokok dari harta yang diwakafkan oleh wakif tidak boleh berkurang, dijual, diwarisi atau dihibahkan. Hal ini sesuai dengan yang diperintahkan Rasullallah kepada Umar bin Khattab ketika ia mewakafkan tanahnya di Khaibar. Rasullallah memerintahkan kepada Umar untuk menahan (pokoknya) tanah itu, lalu menyedekahkan hasilnya. Mundzir Qahaf dalam bukunya edisi Indonesia Manajemen Wakaf Produktif menyatakan harta wakaf, baik wakaf langsung atau wakaf produktif ditahan untuk meningkatkan manfaat dan hasilnya dalam merealisasikan tujuan yang ditentukan oleh wakif.88 Selain itu menurut beliau urgensi “prinsip keabadian” dalam wakaf
87
Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 105 88
Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: KHALIFA, 2005), Cet.1, h. 221
bertujuan untuk menciptakan sumber keuangan abadi yang terus berlangsung bagi kepentingan sosial dan ekonomi umat, karenanya keabadian wakaf juga menekankan pada tujuan ekonomi yang sangat penting bagi pengembangan masyarakat madani dan beraqidah.89 Dalam pengelolaan wakaf produktif, menurut Dr. Anas Az-Zarqa pemikir ekonomi saat ini, bahwa harta wakaf harus diinvestasikan berdasarkan prinsip meningkatkan keuntungan, dimana nadzir harus mencari lahan proyek yang halal dari berbagai proyek yang menjanjikan keuntungan yang sebesar-besarnya.90 Menurut Yayan Daryunanti, Manager Administrasi Keuangan Baitul Maal Muamalat (BMM), model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU No. 41/2004, secara umum dapat terbagi menjadi dua macam yaitu :91 1) Dalam Bentuk Investasi Investasi bisa menjadi alternatif kebuntuan pengelolaan harta wakaf. Artinya pemanfaaatan yang selama ini terkesan “jalan di tempat” bisa diterobos. Pengelolaan model ini cukup menarik karena benefit atas investasi tersebut akan dapat dinikmati oleh masyarakat di mana saja. Bentuk investasi yang dilibatkan dalam pengelolaan wakaf uang haruslah investasi yang menguntungkan dan beresiko kecil, agar pokok wakaf tidak berkurang dan benefit atas investasi tersebut dapat lebih besar dari pokok
89
Ibid, h. 100
90
Ibid, h. 239
91
Wawancara Pribadi dengan Yayan Daryunanti. Jakarta, 19 Desember 2007
wakafnya. Adapun jenis investasi yang harus digalang hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai dengan syariah Islam dan tidak mengandung riba. 2) Dalam Bentuk Pinjaman Modal Kerja Pemberian bantuan pinjaman modal kerja cukup mendidik bagi masyarakat. Ibarat memberi kail, bukan hanya ikan kepada masyarakat. Hal ini diharapkan mampu menumbuhkan kemandirian. Pinjaman ini diberikan tanpa bagi hasil, artinya yang diberi pinjaman modal kerja tidak perlu berbagi keuntungan kepada yang memberi modal, mereka cukup berinfak saja. Modal yang diberikan harus dikembalikan pokok pinjamannya dalam kurun waktu yang ditentukan. Secara lebih jelas, model pengelolaan wakaf uang menurut UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf, dapat dilihat pada BAB V tentang pengelolaan dan pengembangan harta wakaf, diantaranya pada pasal 43 ayat (1) menyatakan “Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir sebagaimana dimaksud Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah”. Kemudian pasal ini dijelaskan dalam PP No. 42 tahun 2006 pasal 45 ayat (2) “Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memajukan kesejahteraan umum, Nazhir dapat bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip syariah”. Untuk mendukung keberhasilan pengembangan aspek produktif dari dana wakaf uang, perlu diarahkan model pengelolaan dana tersebut kepada sektor usaha yang produktif dengan lembaga usaha yang memiliki reputasi yang baik. Salah
satunya adalah dengan membentuk dan menjalin kerjasama (networking) dengan perusahaan modal ventura.92 Selain bekerjasama dengan perusahaan modal ventura dalam mengelola dan mengembangkan dana wakaf, nadzir dapat juga bekerjasama dengan: 1) Lembaga perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya. 2) Lembaga investasi usaha yang berbentuk badan usaha non lembaga jasa keuangan. 3) Investasi perseorangan yang memiliki modal cukup. 4) Lembaga perbankan Internasional yang cukup peduli dengan pengembangan tanah wakaf di Indonesia, seperti Islamic Development Bank (IDB). 5) Lembaga keuangan lainnya dengan sistem pembangunan BOT (Build of Transfer). 6) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pemberdayaan ekonomi umat, baik dalam atau luar negeri.93 Dalam pasal 43 ayat (2) UU No. 41 tahun 2004 menyatakan “Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif”. Kemudian pasal ini dijelaskan dalam PP No. 42 tahun 2006 pasal 48 ayat (2) “Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan /atau instrumen keuangan syariah”. Untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf maka dana wakaf uang dapat ditempatkan pada reksadana syariah, obligasi syariah dan
92
Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 55 93
Ibid, h. 56
deposito syariah. Selain itu, ada beberapa bentuk investasi lain yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf (nazhir) diantaranya:94 1) Investasi Mudharabah Investasi mudharabah merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh produk keuangan syariah guna mengembangkan harta wakaf. Salah satu contoh yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf dengan sistem ini ialah membangkitkan sektor usaha kecil dan menengah dengan memberikan modal usaha kepada petani, para nelayan, pedagang kecil dan menengah (UKM). Dalam hal ini pengelola wakaf uang berperan sebagai shohibul mal (pemilik modal) yang menyediakan modal 100% dari usaha/proyek dengan sistem bagi hasil. 2) Investasi Musyarakah Alternatif investasi lainnya ialah investasi dengan sistem musyarakah. Investasi ini hampir sama dengan investasi mudharabah. Hanya saja pada investasi musyarakah ini resiko yang ditanggung oleh pengelola wakaf lebih sedikit, karena modal ditanggung secara bersama oleh dua pemilik modal atau lebih. Investasi ini memberikan peluang bagi pengelola wakaf untuk menyertakan modalnya pada sektor usaha kecil menengah yang dianggap memiliki kelayakan usaha namun kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya. 3) Investasi Ijarah
94
Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perwakafan, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 86-88
Salah satu contoh yang dapat dilakukan dengan sistem investasi ijarah (sewa) ialah mendayagunakan tanah wakaf yang ada. Dalam hal ini pengelola wakaf menyediakan dana untuk mendirikan bangunan diatas tanah wakaf, seperti pusat perbelanjaan, rumah sakit, apartemen dan lain-lain. Kemudian pengelola harta wakaf menyewakan gedung tersebut hingga dapat menutup modal pokok dan mengambil keuntungan yang dikehendaki. 4) Investasi Murabahah Dalam investasi murabahah, pengelola wakaf diharuskan berperan sebagai enterpreneur (pengusaha) yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui suatu kontrak murabahah. Adapun keuntungan dari investasi ini adalah pengelola wakaf dapat mengambil keuntungan dari selisih harga pembelian dan penjualan. Manfaat dari investasi ini ialah pengelola wakaf dapat membantu pengusaha-pengusaha kecil yang membutuhkan alat-alat produksi, misalnya tukang jahit yang memerlukan mesin jahit. Sebagai sebuah konsep yang masih baru dalam Islam, pengelolaan wakaf uang harus betul-betul savety (aman) karena terkait dengan keabadian benda wakaf yang tidak boleh berkurang. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana caranya dalam menghindari resiko kerugian seandainya dalam pengelolaan kelak terjadi lost (kerugian)? Karena bagaimanapun, setiap usaha yang dilakukan sudah pasti memiliki resiko tersebut. Untuk itu, dalam upaya memayungi agar usaha-usaha pemberdayaan dana wakaf uang tidak berkurang, apalagi hilang karena lost dalam usahanya, maka diperlukan lembaga penjamin syariah. Hal ini diatur dalam UU
No.41/2004 pasal 43 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah”. Kemudian pasal ini dijelaskan dalam PP No. 42 tahun 2006 pasal 48 ayat (4) yang berbunyi “Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang yang dilakukan pada bank syariah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan”. Dan pasal 48 ayat (5) menyatakan “Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang yang dilakukan dalam bentuk investasi di luar bank syariah harus diasuransikan pada asuransi syariah”. Selain itu, pada pasal 47 ayat (1) UU No.41/2004 menyatakan “Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia.” Kelembagaan Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan salah satu tujuan dari lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Perkembangan terakhir, pada Juli 2007 sudah keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia No.75/M Tahun 2007 yang memutuskan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010, yang diketuai oleh Bapak Tholhah Hasan.95 Badan Wakaf Indonesia bersifat independen yang bertujuan untuk membina terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf baik secara nasional maupun internasional. Peran BWI sebagai pembina nazhir bertujuan agar harta benda wakaf dapat dikelola dan dikembangkan secara produktif. Oleh karena 95
2008, h. 19
Tholhah Hasan, “Perkembangan Kebijakan Wakaf Di Indonesia,” Republika, 14 Maret
itu, melalui badan ini diharapkan perwakafan di Indonesia mampu berkembang lebih baik, terutama dalam melakukan pembinaan, pengawasan nadzir serta pengelolaan wakaf itu sendiri.96 Dalam rangka mengembangkan wakaf uang di Indonesia, masing-masing lembaga pengelola dana wakaf uang telah melakukan berbagai cara sebagai contoh pengelolaan wakaf uang di Baitul Maal Muamalat (BMM). Baitul Maal Muamalat (BMM) sejak tahun 2002 telah mengeluarkan produk wakaf uang dengan nama WAQTUMU (Waqaf Tunai Muamalat). Pola pengelolaan dana wakaf uang di Baitul Maal Muamalat (BMM) diawali dengan pembuatan kontrak kerjasama pengelolaan dana wakaf antara PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. sebagai Pelaksana Administrasi dan Baitul Maal Muamalat (BMM) sebagai Manajer, dimana kedua belah pihak secara bersama-sama sepakat untuk menjadi nadzir. Pelaksana Administrasi bertugas melakukan pengadministrasian penerimaan dana wakaf dan pencatatan aktivitas pengelolaan dana/investasi berikut penyalurannya. Sedangkan Manajer bertugas untuk melakukan pemilihan jenis-jenis investasi sesuai dengan amanat wakif dan mengelolanya secara professional. Manajer dan Pelaksana Administrasi secara bersama-sama bertanggung jawab atas penerimaan dan pengelolaan dana wakaf, serta melaporkannya kepada para wakif.
96
Departemen Agama RI, Proses Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 214
Secara teknis, wakif yang ingin berwakaf dengan uang dapat datang ke Bank Muamalat Indonesia, kemudian mengisi persyaratan pendaftaran wakaf uang. Setelah wakif menyerahkan dana wakaf maka wakif akan menerima Sertifikat Bukti Wakaf yang diterbitkan oleh nadzir, dalam hal ini adalah pihak Baitul Maal Muamalat (BMM). Dana wakaf yang terhimpun akan didayagunakan oleh nadzir dalam bentuk investasi usaha untuk mempertahankan nilai dana wakaf dan untuk memperoleh keuntungan. Jenis investasi dana wakaf yang dilakukan oleh Baitul Maal Muamalat (BMM), yaitu deposito di Bank Umum Syariah (baik dalam maupun luar negeri) dan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) juga menginvestasikan dana wakaf uang tersebut pada portofolio yang berprinsip syariah dan berresiko rendah seperti: saham, obligasi maupun reksadana syariah dan sebagainya. Keuntungan dari investasi tersebut didayagunakan untuk tujuan bina sosial, bina pendidikan, bina kesehatan dan bina ekonomi. Adapun pengalokasian hasil dana wakaf digunakan untuk biaya operasional sebesar 12,5%, dana cadangan untuk jaminan investasi sebesar 7,5% dan pendayagunaan untuk beberapa sektor sebesar 80,0%.97 Untuk memudahkan masyarakat yang ingin berwakaf dengan uang, Baitul Maal Muamalat (BMM) telah mengeluarkan fasilitas Izi uang. Izi uang adalah layanan penerimaan wakaf uang melalui SMS. Izi uang memiliki keunggulan, diantaranya wakif dapat mewakafkan uangnya kapan saja dan dimana saja mereka berada serta wakif dapat mewakafkan uangnya minimal sebesar Rp.100.000,- (seratus
97
Baitul Maal Muamalat (BMM). Pedoman Wakaf Tunai Muamalat
ribu rupiah). Jadi siapa pun dapat mewakafkan uangnya di Baitul Maal Muamalat (BMM). Dari data Baitul Maal Muamalat (BMM) sejak tahun 2002-2007 dana wakaf uang yang terhimpun adalah sebesar Rp.294.319.562,-.98 B. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Wakaf Uang Pada Perbankan Syariah Pasca UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pengembangan
produk
wakaf
uang
tentunya
tidak
terlepas
dari
pengembangan format ekonomi syariah secara keseluruhan. Secara makro, keberadaan wakaf uang sudah barang tentu akan meningkatkan maslahat dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama
Islam
merupakan
peluang
yang
sangat
besar
dalam
rangka
mengembangkan perwakafan di Indonesia khususnya wakaf uang, apalagi wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Jika dana wakaf uang tersebut dikelola secara profesional, maka Penulis yakin manfaat dari dana wakaf tersebut dapat mensejahterakan masyarakat luas. Secara mikro, keberadaan wakaf uang juga diharapkan dapat bersinergi secara optimal untuk turut mendorong perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya sebagai salah satu pemain di dalam perekonomian. Dalam kaitan ini, pengelolaan wakaf uang sebenarnya dapat dijalankan oleh lembaga keuangan syariah seperti pasar
98
Wawancara Pribadi dengan Yayan Daryunanti. Jakarta, 19 Desember 2007
modal sebagai lembaga investasi, namun dilihat dari kenyataan yang ada bahwa pasar modal cenderung volatile (mudah berubah), maka lebih tepat adalah bank khususnya bank syariah. Bank syariah memiliki beberapa keunggulan dalam mengelola wakaf uang, yaitu jaringan kantor yang luas, kemampuan bank syariah sebagai fund manager, pengalaman, jaringan informasi dan peta distribusi serta citra positif. Dengan keunggulan-keunggulan tersebut bank syariah berpeluang untuk ikut serta dalam pengelolaan wakaf uang di Indonesia, karena pengelolaan wakaf uang harus dilakukan secara professional, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas). Menurut Yayan Daryunanti, pengelolaan wakaf uang oleh perbankan syariah lebih aman dan lebih terkontrol, karena semua bank yang beroperasi pasti sudah mendapat izin dari Bank Indonesia dan Bank Indonesia ikut mengontrol semua kegiatan yang dilakukan bank-bank yang ada di Indonesia.99 Selain kelebihan-kelebihan diatas, pengelolaan wakaf uang oleh bank syariah juga akan dapat menambah pendapatan bank syariah dan berpengaruh terhadap perkembangan bank syariah itu sendiri. Akan tetapi jika bank syariah berperan sebagai pengelola wakaf uang maka nadzir tidak berfungsi dalam pengelolaan wakaf uang dan nadzir tidak mempunyai pekerjaan, sedangkan dengan adanya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf diharapkan nadzir dapat mengelola wakaf uang secara
99
Wawancara Pribadi dengan Yayan Daryunanti. Jakarta, 19 Desember 2007
profesional dan produktif sehingga nadzir-nadzir dapat berkembang dan lebih maju di masa yang akan datang. Pengelolaan wakaf uang oleh bank syariah tidak dijelaskan dalam UU No. 41 tahun 2004, hanya dalam pasal 28 UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dinyatakan bahwa ”Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri”. Menurut pasal ini dinyatakan secara tegas bahwa perbankan syariah sebagai salah satu dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) hanya berperan sebagai penerima wakaf uang, sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada nadzir, akan tetapi bank syariah berpeluang untuk mengelola wakaf uang jika nadzir memberikan kepercayaan kepada bank syariah karena pada pasal 43 ayat (2) UU No. 41/2004 tentang wakaf dinyatakan bahwa ”Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara produktif”. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan pengembangan aspek produktif maka model pengelolaan wakaf uang tersebut perlu diarahkan kepada sektor usaha yang produktif dengan lembaga usaha yang memiliki reputasi yang baik. Salah satunya bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Saat ini lembaga keuangan syariah yang paling berpengalaman dan maju adalah bank syariah. Peluang pengelolaan wakaf uang pada bank syariah dijelaskan dalam PP No. 42 tahun 2006 pasal 48 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan /atau instrumen keuangan syariah”.
Untuk mengelola wakaf uang ada tantangan yang harus dihadapi oleh bank syariah yaitu pemahaman masyarakat. Sampai saat ini pemahaman masyarakat tentang wakaf hanya sebatas wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, masjid, makam dan lain-lain. Oleh karena itu, harus ada sosialisasi tentang wakaf benda bergerak seperti wakaf uang, juga harus disosialisasikan tentang bagaimana pengelolaan wakaf uang dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat luas. Sosialisasi terhadap UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga harus dilakukan karena UU ini sebagai landasan hukum bagi mereka yang akan berwakaf dengan uang. Selain itu, bank syariah juga harus menghadapi tantangan dari lembaga wakaf lain. Dalam mengelola wakaf uang bank syariah harus mampu bersaing dengan lembaga wakaf karena selama ini wakif biasanya menyerahkan harta wakaf lebih karena didasarkan pada kepercayaan kepada para tokoh agama dan lembaga wakaf. Oleh karena itu, bank syariah harus menjelaskan bahwa saat ini berwakaf dengan uang bisa dilakukan di bank syariah. Bank syariah harus mampu memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa dana wakaf yang dikelola oleh bank syariah akan diinvestasikan pada sektor-sektor usaha produktif sehingga dana wakaf tersebut tidak akan berkurang, bahkan dana-dana wakaf tersebut akan dapat mensejahterakan masyarakat luas. Melihat dari peluang dan tantangan yang dihadapi perbankan syariah dalam mengelola wakaf uang, maka dalam rangka mengembangkan wakaf uang di Indonesia dibutuhkan partisipasi semua pihak, baik itu pemerintah, nadzir, lembaga keuangan syariah seperti bank syariah maupun masyarakat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini Penulis memberikan beberapa kesimpulan yang sesuai dengan rumusan masalah pada skripsi ini. Adapun kesimpulan yang dipaparkan adalah: 1. Model pengelolaan wakaf uang menurut UU No. 41/2004 tentang wakaf adalah harta benda wakaf uang harus dikelola sesuai dengan prinsip syariah dan nadzir yang mengelola wakaf uang boleh bekerjasama dengan pihak lain dengan syarat kerjasama tersebut harus sesuai dengan prinsip syariah. Untuk pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan /atau instrumen keuangan syariah. Investasi yang digalang haruslah investasi yang menguntungkan dan beresiko kecil, juga tidak boleh mengandung riba. Ada beberapa investasi yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf (nadzir), diantaranya investasi mudharabah, musyarakah, ijarah dan murabahah. Selain itu, dana wakaf uang juga dapat ditempatkan pada reksadana syariah, obligasi syariah dan deposito syariah. Dalam upaya memayungi agar usaha-usaha pemberdayaan dana wakaf uang tidak berkurang, apalagi hilang karena lost (rugi) dalam usahanya, maka diperlukan lembaga penjamin syariah. Secara nasional pengawasan terhadap perkembangan perwakafan di Indonesia akan dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Dalam rangka mengembangkan wakaf uang di Indonesia, masing-masing lembaga pengelola dana wakaf uang telah melakukan berbagai cara sebagai contoh pengelolaan wakaf uang di Baitul Maal Muamalat (BMM). Pola pengelolaan dana wakaf uang di Baitul Maal Muamalat(BMM) diawali dengan pembuatan kontrak kerjasama pengelolaan dana wakaf antara PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. sebagai Pelaksana Administrasi dan Baitul Maal Muamalat sebagai Manajer, dimana kedua belah pihak secara bersama-sama sepakat untuk menjadi nadzir. Dana wakaf yang terhimpun akan didayagunakan oleh nadzir dalam bentuk investasi usaha untuk mempertahankan nilai dana wakaf dan untuk memperoleh keuntungan. Jenis investasi dana wakaf yang dilakukan oleh Baitul Maal Muamalat (BMM), yaitu deposito di Bank Umum Syariah (baik dalam maupun luar negeri) dan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) juga menginvestasikan dana wakaf uang tersebut ada portofolio yang berprinsip syariah dan berresiko rendah seperti: saham, obligasi maupun reksadana syariah dan sebagainya. Keuntungan dari investasi tersebut didayagunakan untuk tujuan bina sosial, bina pendidikan, bina kesehatan dan bina ekonomi. Adapun pengalokasian hasil dana wakaf digunakan untuk biaya operasional sebesar 12,5%, dana cadangan untuk jaminan investasi sebesar 7,5% dan pendayagunaan untuk beberapa sektor sebesar 80,0%. 2. Pengelolaan wakaf uang oleh bank syariah tidak dijelaskan dalam UU No. 41/2004, hanya dalam pasal 28 UU No. 41/2004 tentang Wakaf dinyatakan bahwa ”Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga
keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri”. Menurut pasal ini dinyatakan secara tegas bahwa perbankan syariah sebagai salah satu dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) hanya berperan sebagai penerima wakaf uang, sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada nadzir. Akan tetapi bank syariah berpeluang untuk mengelola wakaf uang jika nadzir memberikan kepercayaan kepada bank syariah, karena pada pasal 43 ayat (2) UU No. 41/2004 tentang wakaf dinyatakan bahwa ”Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara produktif”. Untuk mendukung keberhasilan pengembangan aspek produktif maka model pengelolaan wakaf uang tersebut perlu diarahkan kepada sektor usaha yang produktif dengan lembaga usaha yang memiliki reputasi yang baik. Salah satunya bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Saat ini lembaga keuangan syariah yang paling berpengalaman dan maju adalah bank syariah. Peluang pengelolaan wakaf uang pada bank syariah dijelaskan dalam PP No. 42 tahun 2006 pasal 48 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan /atau instrumen keuangan syariah”. Untuk mengelola wakaf uang ada tantangan yang harus dihadapi oleh bank syariah yaitu pemahaman masyarakat. Sampai saat ini pemahaman masyarakat tentang wakaf hanya sebatas wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, masjid, makam dan lain-lain. Oleh karena itu, harus ada sosialisasi tentang wakaf benda bergerak seperti wakaf uang, juga harus disosialisasikan tentang bagaimana pengelolaan wakaf uang dan manfaatnya bagi kesejahteraan
masyarakat luas. Sosialisasi terhadap UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga harus dilakukan karena UU ini sebagai landasan hukum bagi mereka yang akan berwakaf dengan uang. Selain itu, bank syariah juga harus menghadapi tantangan dari lembaga wakaf lain. Dalam mengelola wakaf uang bank syariah harus mampu bersaing dengan lembaga wakaf karena selama ini wakif biasanya menyerahkan harta wakaf lebih karena didasarkan pada kepercayaan kepada para tokoh agama dan lembaga wakaf. Oleh karena itu, bank syariah harus menjelaskan bahwa saat ini berwakaf dengan uang bisa dilakukan di bank syariah. Bank syariah harus mampu memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa dana wakaf yang dikelola oleh bank syariah akan diinvestasikan pada sektorsektor usaha produktif sehingga dana wakaf tersebut tidak akan berkurang, bahkan dana-dana wakaf tersebut akan dapat mensejahterakan masyarakat luas. B. Saran Pada bagian akhir dari penulisan skripsi ini, Penulis memberikan saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi perkembangan perwakafan khususnya wakaf uang di masa yang akan datang, diantaranya: 1. Melihat besarnya jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam, tentu memiliki potensi yang besar dalam pengembangan wakaf uang di masa yang akan datang. Untuk itulah sosialisasi tentang wakaf uang perlu ditingkatkan karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui cara berwakaf dengan uang. 2. Perlu disosialisasikan juga tentang bagaimana pengelolaan wakaf uang dan manfaatnya bagi perekonomian umat Islam itu sendiri.
3. Selain itu, perlu disosialisasikan juga UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, karena UU dan PP ini menjadi landasan hukum bagi mereka yang akan berwakaf dengan uang. 4. Agar pengelolaan wakaf uang dapat berjalan dengan lancar, maka pemerintah harus menunjuk lembaga mana saja yang boleh mengelola wakaf uang. 5. Harus ada partisipasi dari semua pihak, baik itu pemerintah, Bank Indonesia, nadzir, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan masyarakat terutama umat Islam, agar dapat memajukan perwakafan di Indonesia pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Semarang: CV Toha Putra, 1987 Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press, 2001 Ali, Mohammad Daud. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press, 1988. Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1989, Juz 8, cet. 3 Al-Sarbini, Muhammad Khatib. Mughni al-Muhtaj. Beirut: Dar Ihya al-Turas alArabi, t.t.. Juz 2 Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf. Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaA, 2004 As-Syaukani, Muhammad. Nailul Authar. Beirut: Dar Al-Fikr. t.t, Juz 5 Bank Indonesia. Statistik Perbankan Syariah 2003-2007 Baitul Maal Muamalat. Pedoman Wakaf Tunai Muamalat Departemen Agama RI. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 --------------. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006
--------------. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 --------------. Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 --------------. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 --------------. Bunga Rampai Perwakafan. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 --------------. Proses Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 Departemen P dan K. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990 Djunaidi, Achmad dan Thobieb Al-Asyhar. Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat. Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006 Ganita,Wardah. “Tinjauan Hukum Islam Pola Penghimpunan dan Pengelolaan Wakaf Uang Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2004 Halim, Abdul. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Ciputat Press, 2005 Hasan, Tholhah. Perkembangan Kebijakan Wakaf Di Indonesia. Republika, 14 Maret 2008. Kholid, Hendra. “Alternatif Pemanfaatan Wakaf Tunai”. Artikel diakses pada 29 Agustus 2007 dari http://www.halalguide.info/content/view/441/46/ Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 Mei 2002
Mannan, M. A. Serifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam. Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI, 2001 Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Penerjemah Masykur A. B, dkk. Jakarta: Lentera, 1996 Muhammad, ed. Bank Syariah: Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman. Yogyakarta: Ekonisia, 2006 Muslim. Shahih Muslim. Riyadh: Darus-Salam, 1998 Nasution, Mustafa E. Wakaf Tunai dan Sektor Volunter, (makalah “Strategi Untuk Mensejahterakan Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Hutang Luar Negeri”), di UI Program Pascasarjana, Jakarta, 2001 Nasution, Mustafa Edwin dan Dr. Uswatun Hasanah, ed. Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PSTTI-UI, 2006 Najib, Tuti A. dan Ridwan al-Makassary, ed. Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi Tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006 Perwaatmadja, Karnaen A. dan Syafi’i Antonio. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992 Qahaf, Mundzir. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: KHALIFA, 2005, Cet. 1 Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah. Bandung: Al maa’arif,1996 Siregar, Mulya E. Peranan Perbankan Syariah Dalam Wakaf Tunai (Sebuah Kajian Konseptual). Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2001 Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi. Edisi 2. Yogyakarta: EKONISIA, 2007 Suhendi, Hendi dkk. BMT, Bank Islam: Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004 Sya’bi, Akhmad. Kamus Al-Qalam. Surabaya: Halim Surabaya, 1997
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Jakarta, Departemen Agama RI, 2007 Wawancara Pribadi dengan Mulya E. Siregar. Jakarta, 6 November 2007 Wawancara Pribadi dengan Yayan Daryunanti. Jakarta, 19 Desember 2007.