PENERAPAN KONSEP MASLAHAH MURSALAH DALAM WAKAF (TINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO.41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF) Skripsi Di ajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : Hadiratush Sholihah NIM: 105043101274
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PENERAPAN KONSEP MASLAHAH MURSALAH DALAM WAKAF (TINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih.
Jakarta, 15 Maret 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP.195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua
:Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA.
(........................)
NIP. 195703120985031003
2. Sekretaris
:Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag.
(........................)
NIP. 196511191998031002
3. Pembimbing I :Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, M. Ag.
(........................)
NIP. 195003061976031001
4. Pembimbing II :Drs. H. Hamid Farihi, MA.
(........................)
NIP. 195811191986031001
5. Penguji I
:Dr. H. Fuad Thohari, M. Ag.
(........................)
NIP. 197003232000031001
6. Penguji II
:Nahrowi, SH, MH. NIP. 197302151999031002
(........................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 1 Maret 2010
Hadiratush Sholihah
KATA PENGANTAR Rasa syukur yang setinggi-tingginya penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha kuasa, Zat yang menjadi sandaran vertikal bagi setiap insan yang mengharapkan ridlo-Nya. Shalawat teriring salam senantiasa tercurah keharibaan rasul-Nya tercinta, Muhammad saw, sosok manusia paripurna yang menjadi standar moral bagi manusia dalam mengarungi bahtera kehidupannya. Setelah sekian lama penulis berusaha menyelesaikan penulisan skripsi ini, hanya syukur yang dapat penulis untaikan melalui tulisan ini, karena atas hidayah dan inayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya. Ini berarti sebagian dari syarat-syarat dan tugas untuk mencapai gelar sarjana pada jurusan Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat terpenuhi. Sehubungan dengan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, M. Ag dan Bapak Drs. H. Hamid Farihi, Ma., selaku Dosen pembimbing skripsi, yang telah memberikan pengarahan, petunjuk,
serta bimbingan dalam menyelesaiikan penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran. 3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, Ma dan bapak Dr. H . Muhammad Taufiki, M. Ag., selaku ketua dan sekretaris jurusan Perbandingan Mazhab Hukum, yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan persoalan akademik dan administrasi di Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Seluruh staf
Dosen Fakultas Syariah dan hukum yang telah mendidik dan
membimbing penulis dalam menuntut ilmu selama menjadi mahasiswi dikampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Seluruh staf perpustakaan Utama, dan staf perpustakaan Syariah yang telah membantu penulis dalam melayani peminjaman buku-buku, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 6. Kedua Orang Tua saya, Bapak H. Muhammad Nalim dan Ibu Hj. Sarwati yang telah mendidik dan membesarkan sang putri, dan juga tidak pernah lelah membantu memberikan motivasi dan juga do’anya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. 7.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................
i
DAFTAR ISI .......................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..........................................
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................
10
D. Metode Penelitian ........................................................................
11
E. Review Studi Terdahulu ..............................................................
13
F. Sistematika Penelitian .................................................................
15
MASLAHAH MURSALAH .............................................................
17
A. Pengertian Maslahah Mursalah dan Dasar Hukumnya ...............
15
B. Macam-Macam Maslahah ...........................................................
26
C. Syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah .............................
32
D. Metode Analisa Maslahah Mursalah ...........................................
36
E. Objek dan Contoh Penggunaan Maslahah Mursalah...................
40
WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM .......................
45
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf ..........................................
45
B. Rukun dan Syarat Wakaf .............................................................
52
BAB II
BAB III
iv
C. Macam-Macam, Fungsi dan Tujuan Wakaf ................................
57
D. Sejarah Singkat Lahirnya Undang-Undang Wakaf No.41
BAB IV
Tahun 2004 tentang Wakaf .........................................................
61
KANDUNGAN MASLAHAH MURSALAH ................................
67
A. Orientasi Maslahah ......................................................................
67
B. Maslahah Mursalah dalam Undang-Undang Wakaf No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf .........................................................
68
C. Analisis Penulis ..........................................................................
86
PENUTUP........................................................................................
93
A. Kesimpulan ..................................................................................
93
B. Saran ............................................................................................
94
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
97
BAB V
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. Komitmen bangsa dan negara Indonesia dalam membina hukum nasional yang menjadi bagian garapan pembangunannya menempatkan hukum Islam memiliki peluang besar untuk menjadi salah satu bahan pokok yang sangat diperlukan dalam membina hukum Nasional. Hukum Islam sejak kedatangannya di bumi nusantara Indonesia hingga saat ini tergolong hukum yang hidup (Living Law) dan dinamis di dalam masyarakat Indonesia,1hukum Islam adalah suatu peraturan (syariat) yang diturunkan Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia agar dapat hidup tenang, damai, tentram dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT dengan rahmat-Nya tidak meninggalkan manusia dalam kegelapan. Dia mengutus para Rasul-Nya di berbagai bangsa dan sepanjang waktu untuk menjelaskan dan menunjukan kepada umat jalan yang ma’ruf dan jalan yang mungkar, yang benar dan yang salah. Semua ajaran secara bertahap dibawa oleh para Rasul-Nya saling memperkuat hingga ajaran terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Ajaran-ajaran tersebut berupa aturan dan ketentuan yang akan dipedomani dan diamalkan oleh manusia dalam mencari kebahagiaan. Ajaran itulah yang akan
1
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta ,LkiS,2001), h.81.
1
2
membimbing manusia kejalan yang benar menuju kepuasan hakiki yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua upaya dan cara untuk mencapai kepuasan itu adalah maslahah, mempertahankan, memelihara dan meningkatkan mutunya juga merupakan maslahah. Oleh karena itu, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw yang berupa syariat Islam adalah agama yang berorientasi pada kemaslahatan.2 Kesempurnaan dan kelengkapan yang mendapat restu ilahi itu adalah termasuk hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agama secara keseluruhan. Sungguhpun demikian manusia dengan segala kondisinya senantiasa berubah seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi. Dalam hal seperti ini ajaran Islam termasuk aspek hukum di dalamnya, tentunya mampu merespons segala perubahan yang terjadi, karena kesempurnaan agama Islam yang ditegaskan dalam al-Qur’an menjadikan ajaran Islam dan segala aspeknya selalu sesuai dengan kondisi zaman dan tempat dimana umat manusia berada. Begitu pula sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Khaldun”Hal ihwal umat manusia, adat kebiasaan dan peradabannya tidaklah pada suatu gerak dan kekuatan yang tetap, melainkan berubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan”.3
2
Siti Musrifah, “Konsep Maslahah mursalah dalam Dunia Bisnis dengan Sistem Franchise: Waralaba”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.2. 3
Sobhi Mahmasani, alih bahasa Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1976), h.214.
3
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pada dasarnya hukum Islam itu hanya bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Namun, setelah Islam semakin berkembang, maka timbullah berbagai macam istilah-istilah dalam penggalian hukum Islam (metode istinbath) yang dimunculkan oleh para mujtahid, sehingga dikenallah istilah sebagai hukum primer dan hukum sekunder. Hukum primer yaitu hukumhukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyâs), dan sumber hukum sekunder, yaitu sumber-sumber hukum yang masih diperselisihkan pemakaiannya dalam menetapkan hukum Islam oleh para ulama (al-Istihsân, al-Maslahah al-Mursalah, al-Urf, al-Istishâb, Madzâhib Sahâbi, dan al-Syar’u man qablanâ).4 Salah satu dari sumber hukum sekunder dalam Islam akan dibahas secara lebih detail, yaitu maslahah mursalah. Secara umum maslahah mursalah adalah hukum yang ditetapkan karena tuntutan maslahat yang tidak didukung maupun diabaikan oleh dalil khusus, tetapi masih sesuai dengan Maqâsid al-Syarî’ah al‘Ammah (tujuan umum hukum Islam)5 Maslahah mursalah merupakan jalan yang ditempuh hukum Islam untuk menerapkan kaidah-kaidah dan perintah-Nya terhadap peristiwa baru yang tidak ada nashnya. Disamping itu maslahah mursalah juga menjadi jalan dalam menetapkan aturan yang harus ada dalam perjalanan hidup umat manusia agar 4 Wahidul Kahar, “Efektifitas Mashlahah Mursalah dalam Penetapan Hukum Syara’”, (Tesis Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003), h.5. 5
Ibid., h. 5-6.
4
sesuai dengan Maqâsid al-Syarî’ah al-‘Ammah, dalam rangka menarik kemaslahatan, menolak kemafsadatan dan menegakkan, kehidupan sesempurna mungkin.6 Konsep maslahah mursalah tidak hanya terbatas pada masalah ibadah tetapi juga masalah muamalah. Dan kali ini penulis berusaha menyoroti konsep maslahah mursalah dari sisi muamalah, dalam hal ini lebih ditekankan pada kegiatan perwakafan khususnya mengenai Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam sejarah Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. sebagai suatu lembaga Islam, wakaf telah menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam dan juga merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama.7 Di Indonesia, legalisasi wakaf mengalami perkembangan cukup penting, perwakafan pernah diatur dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dimana negara secara resmi menyatakan perlindungan terhadap harta wakaf. Dalam pasal 49 ayat 3 dikatakan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur menurut peraturan pemerintah yakni Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah, lalu terbitnya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. 6
Musthafa Ahmad al-Dzarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Alih Bahasa: Ade Dedi Rohaya, ( Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 33 7
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,(Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006) h. 1
5
Peraturan ini tergolong sebagai peraturan yang pertama yang memuat unsur-unsur subtansi dan teknis perwakafan, kemudian hadirnya intruksi presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, aturan ini membawa beberapa pembaharuan dalam pengelolaan wakaf, pembaharuan ini pada dasarnya merupakan elaborasi dan prinsip pembaharuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan tanah miik. Perkembangan terakhir adalah dengan disahkanya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pada tanggal 20 Oktober 2004 serta Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia menaruh perhatian serius terhadap lembaga wakaf serta mensiratkan kesungguhan pemerintah untuk memperkokoh lembaga hukum Islam menjadi hukum nasional dalam bentuk transformasi hukum.8 Lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf ini mungkin terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib hukum sekaligus. Selain bermaksud untuk mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam, pemerintah menyadari bahwa berkembangnya lembaga wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat Islam. Karenanya, tidaklah mengherankan pemerintah, diwakili oleh Departemen Agama, memainkan peranan yang
8
Tuti A. Najib, Ridwaan al-Makassary, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perpektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Center for the Study of religion and Culture (CSRC), 2006, Cet. Pertama, h. 86-89
6
signifikan dalam memfasilitasi lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.9 Keterlibatan pemerintah untuk mengatur masalah perwakafan merupakan atas dasar kepentingan kemaslahatan (al-Maslahah al-Mursalah). Karena hal tersebut sudah menyangkut kepentingan umum (masyarakat banyak) jika tidak akan menimbulkan ketidaktertiban, sesuai kaidah fiqhiyah “Pemerintah berkewajiban mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan kemaslahatan.”10 Sebagai hukum Islam yang bercorak khas Indonesia, sudah tentu kaidah hukum maupun pola pikir yang mendasari Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf akan menunjukan beberapa perbedaan dengan hukum Islam yang diberlakukan di negara-negara lain, sekalipun sifat dasar dan subtansi hukumnya tetap sama bersumber pada al-Qur’an dan sunnah. karena pada dasarnya fleksibelitas ajaran Islam terletak pada nilai-nilai dasar dan prinsipprinsip umum yang terkandung dalam sumber ajarannya. Begitu pula sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf dalam usul fiqhnya bahwa nash telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi, dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kullî yang tidak terbatas terhadap suatu cabang undang-undang, al9
Ibid., h. 84
10
Abdul Salam, Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, artikel diakses pada 20 Desember 2009 dari http://www.pkesinteraktif.com/content/view/2330/36/lang,ar/.
7
Qur’an membatasi diri untuk menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi bagi tiap-tiap undang-undang agar membuahkan hukum.11 Keluesan dan keelastisan hukum nash-nash al-Qur’an itu merupakan koleksi membentuk undang-undang yang terdiri dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang membantu ahli undang-undang dalam usaha mewujudkan keadilan dan kemaslahatan umat disetiap masa dan tidak bertentangan dengan setiap undang-undang yang adil yaitu mewujudkan kemaslahatan masyarakat.12 Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan itu pada dasarnya dilandasi oleh asas kemaslahatan, begitu halnya Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf juga dilandasi oleh kemaslahatan yang sesuai dengan sosio kultural umat Islam Indonesia. dengan demikian materi hukum yang ada dalam Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf mengandung hal-hal yang dianggap “ketentuan baru” yang tidak didapat dalam rumusan para ulama fiqh terdahulu, dengan kata lain banyak dimasuki unsur siyasah syar’iyah yang dalam kajian ushul fiqh didasarkan kepada maslahah mursalah. Pada dasarnya peraturan-peraturan mengenai wakaf sudah cukup berkembang. Namun dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf terdapat berbagai macam aturan yang tidak didapati dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 dan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1999 Buku III sehingga dalam
11
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah ). (Jakarta: Pt Raja Grapindo Persada, 1996), h.103. 12
Ibid., h.104.
8
Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf terdapat banyak paradigma baru wakaf agar praktek wakaf semakin berkembang, oleh karenanya perlulah dilakukan peninjauan dalam hal tersebut. Mengingat hal di atas, perlulah kiranya tinjauan secara khusus terhadap materi-materi dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang aplikasinya didasarkan atas maslahat berdasarkan kaidah-kaidah hukum Islam. Sebagaimana telah diketahui, bahwa tujuan utama pensyariatan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, adalah demi kemaslahatan umat manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Anbiyaa’ (21):107
(١٠۷:٢١/ )ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀﻦﻴﻠﹶﻤﺔﹰ ﻟﱢﻠﹾﻌﻤﺣ ﺇﹺﻻﱠ ﺭﻚﻠﹾﻨﺳﺂ ﺃﹶﺭﻣﻭ Artinya :” Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” Dengan latar belakang permasalahan ini, penulis merasa tertarik dan perlu membahas secara spesifik tentang bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah yang terdapat dalam materi Undang-undang Wakaf yakni UndangUndang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Atas dasar itu, penulis menyusun skripsi ini dengan judul : “Penerapan Konsep Maslahah Mursalah dalam Wakaf (Tinjauan Terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf”).
9
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penulisan Skripsi ini berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis membatasi permasalahan hanya pada penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan tidak keluar dari pokok pembahasan, disamping karena terbatasnya wawasan dan pengetahuan penulis sendiri. 2. Perumusan Masalah Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf yang dilandasi oleh kemaslahatan mengandung hal-hal yang dianggap “ketentuan baru” yang tidak didapat dalam rumusan para ulama fiqh terdahulu, dengan kata lain banyak dimasuki unsur siyâsah syar’iyah yang dalam kajian ushul fiqh didasarkan kepada maslahah mursalah. Dengan demikian perlu kiranya peninjauan bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, penulis menentukan rumusan permasalahan sebagai berikut : a. Apa yang dimaksud dengan konsep maslahah mursalah dan bagaimana kedudukannya dalam syariat Islam b. Bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
10
c. Bagaimana implementasi Maslahah Mursalah dalam pasal-pasal UndangUndang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara
umum
penelitian
ilmiah
bertujuan
untuk
menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu objek penelitian. Menemukan berarti mendapatkan dan melahirkan suatu hal baru yang sebelumnya tidak ada, mengembangkan berarti memperluas atau mngkaji lebih dalam yang sudah ada sedangkan menguji kebenaran dilakukan jika terdapat keraguan terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep maslahah mursalah dan bagaimana kedudukan dalam syariat Islam. 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf 3. Mencoba memberikan dukungan normatif atas implementasi maslahah mursalah dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf Adapun manfaat dari penelitian ini bagi penulis secara umum adalah menyumbangkan pemikiran berupa gagasan buah pikir sebagai hasil kegiatan penelitian berdasarkan prosedur, ilmiah serta melatih kepekaan penulis sebagai mahasiswa terhadap masalah-masalah yang berkembang dilingkungan sekitar, sedangkan lebih khusus lagi pentingnya melakukan penelitian ini adalah untuk:
11
1. Kegunaan teoritis, dapat menambah khazanah keilmuan di bidang hukum perdata khususnya dalam
lingkup perwakafan. Memberi informasi lebih
tentang maslahah mursalah dalam ushul fiqh yang dapat menjadi hujjah dalam penyelesaian masalah-masalah mua’malah khususnya masalah wakaf. 2. Kegunaan praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan pelajar, mahasiswa, akademis lainnya dan terutama para pelaku yang terkait dengan penelitian ini. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Adapun jenis Penelitian yang penulis gunakan adalah Penelitian kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakaan yaitu mencari data-data yang diperoleh dari literatur-literatur dan referensi yang berhubungan dengan judul Skripsi diatas. Referensi diambil dari al-Qur’an dan Hadits, juga kitab-kitab Fiqh klasik dan kontemporer yang berkaitan dengan materi Penelitian, kemudian buku-buku ushul fiqh baik yang langsung maupun tidak langsung membahas mengenai maslahah mursalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan Wakaf, UndangUndang diantaranya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Perundang-undangan dan peraturan pemerintah mengenai Wakaf, serta bahan-bahan lainnya yang dapat mendukung judul skripsi ini.
12
2. Pendekatan Penelitian Dalam
penyusunan
Penelitian,
Penulis
menggunakan
Metode
Normatif yaitu pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan informasi yang berbentuk sebuah peraturan-peraturan atau undang-undang, buku-buku yang berkaitan dengan judul Penelitian, serta dokumen-dokumen yang penulis anggap penting sebagai landasan penulisan Penelitian. 3. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan terdiri dari dua sumber yakni: a) Sumber Primer, yaitu berupa dokumen-dokumen, buku-buku yang menyangkut mengenai Maslahah Mursalah, Wakaf serta Undang-undang No. 41 tahun 2004. b) Sumber Sekunder, yakni memberikan penjelasan dan menguatkan data primer yang mencakup karya tulis berupa Makalah, Koran, Majalah, dan lain-lain dengan mengambil materi yang relevan dengan pembahasan Skripsi ini. 4. Tekhnik Pengolahan Data Dalam Penelitian yang menggunakan Metode Library Research ini dalam pengolahan data digunakan Metode Kualitatif, yakni dengan cara pengumpulan
data
sebanyak-banyaknya
kemudian
diolah
menjadi
satukesatuan data untuk mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan lalu di
13
komparasikan. Yaitu berupa dokumen-dokumen, buku-buku ushul fiqh yang membahas mengenai Maslahah mursalah, wakaf, serta Undang-undang wakaf yaitu Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf serta peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah mengenai wakaf. 5. Tehnik Analisa Data Metode Analisis data dalam Skripsi ini adalah Kualitatif Normatif, yakni pengumpulan data dari berbagai dokumen-dokumen, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan dalam Skripsi ini. Selain itu dalam penulisan Skripsi ini, penulis juga menggunakan Metode Analisis Induktif, yaitu dengan cara menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik pada kesimpulan umum. 6. Penulisan Skripsi Dalam penulisan Skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan Skripsi tahun 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Review Studi Terdahulu Dalam kajian ini penulis, membahas tentang konsep maslahah secara umum, secara lebih spesifik membahas kandungan maslahah mursalah serta aplikasinya di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini khususnya Peraturan Perundang-undangan No.41 tahun 2004 tentang Wakaf yang akan dibahas dalam kajian ini.
14
Dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf ini banyak didapati paradigma baru dalam praktik wakaf yang tidak ada dalam aturan fiqh terdahulu, sehingga dengan kata lain Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf ini banyak dimasuki unsur siyasah syar’iyah yang dalam kajian ushul fiqh didasarkan kepada maslahah mursalah Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun perpustakaan fakultas syariah dan hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya, namun ada beberapa judul tesis dan skripsi yang mendekati permasalahan bahasan penulis. Diantaranya adalah tesis wahidul kahhar (UIN Syarif Hidayatullah. 2003), dengan judul “Efektifitas al-Mashlahah al-Mursalah dalam Penetapan Hukum Syara’”. Skripsi Didin Najmudin (UIN Syarif Hidayatullah. Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2000 SJAS), dengan judul “Tinjauan Kaidah Fiqhiyyah Tentang Konsep Maslahat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia” Selain itu penulis juga meriview kajian tentang wakaf, yaitu skripsi dari Fikri Amin Hulaifi (UIN Syarif Hidayatullah. Fakultas Sayriah dan Hukum tahun 2009 SJAS), dengan judul “ Politik Hukum Filantropi Islam di Indonesia Studi Tentang Paradigma Wakaf Dalam PP No.28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, KHI,dan UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dari beberapa judul karya ilmiah tersebut, belum ada yang menjelajahi tema yang penulis angkat dalam skripsi ini. Yaitu Penerapan Konsep Maslahah
15
Mursalah dalam Wakaf, Tinjauan terhadap Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan materi dalam bagian-bagian atau bab-bab dan sub-sub bab dengan menguraikan pembahasan setiap bab secukupnya. Adapun secara garis besar isi dari setiap bab adalah sebagai berikut. BAB I : Merupakan bab pendahuluan dari skripsi ini. Dalam pendahuluan ini penulis menguraikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu serta sistematika dalam penulisan skripsi ini. BAB II : Merupakan isi dari skripsi ini berisi tentang tinjauan umum mengenai maslahah mursalah yang meliputi pengertian maslahah mursalah dan dasar hukumnya, macam-macam maslahah, syarat berhujjah dengan maslahah mursalah, metode analisa maslahah mursalah serta objek dan contoh penggunaan maslahah mursalah BAB III : Merupakan isi dari skripsi ini, berisi tentang sekilas mengenai Wakaf dan Undang-undang No. 41 tahun 2004 yang meliputi ruang lingkup wakaf yang berisi pengertian, dasar hukum, rukun, syarat,macam-macam, fungsi dan tujuan wakaf menurut hukum Islam dan Undang-Undang Wakaf No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, sejarah singkat lahirnya Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf.
16
BAB IV : Juga merupakan isi skripsi ini, berisi tentang kandungan maslahah mursalah, yang meliputi orientasi maslahah, penerapan konsep Maslahah mursalah yang terdapat di dalam materi pasal-pasal Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang wakaf serta analisis penulis mengenai penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-undang Wakaf. BAB V : Merupakan penutup dari skripsi ini. Dalam bab ini penulis membaginya dalam dua sub bab, yaitu kesimpulan dan saran
17
BAB II MASLAHAH MURSALAH
A. Pengertian Maslahah Mursalah dan Dasar Hukumnya Untuk memahami maslahah mursalah secara baik, terlebih dahulu perlu diketahui makna dalam kajian ushul fiqh. Secara etimologis term ”maslahah mursalah” terdiri atas dua suku kata, yaitu maslahah dan mursalah Secara etimologi, kata maslahah berasal dari kata ‘salaha’ atau ‘saluha’ yang berarti baik. Kata ini adalah antonim dari kata ‘fasada’ yang berarti rusak. Dengan demikian kata maslahah adalah kebalikan dari kata mafsadah (kerusakan). Kata maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata masalih. Pengarang kamus”Lisan al-Arab” menjelaskan pengertian maslahat dari dua arah, yaitu maslahah yang mempunyai arti ‘al-shalah’ dan maslahah sebagai bentuk tunggal (mufrad) dari kata ‘al-mashalih’ semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan.1 Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahah mempunyai arti “sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan guna”
1
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), cet. ke-1 h.117.
17
18
sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat kepentingan.2 Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan dan ketenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Sehingga setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah. Sedangkan kata mursalah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata : arsalayursilu-irsal yang artinya: ‘adam al-taqyid (tidak terikat); atau yang berarti juga: al-mutlaqah (bebas atau lepas)3 Kemudian pengertian maslahah secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut
mengandung
esensi
yang
sama.
Imam
al-Ghazali
misalnya,
mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’4 Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta:Balai Pustaka, 1996), cet. ke-2 h.634. 3
Ahmad Mukri Aji, Pandangan al-Ghazali Tentang Maslahah Mursalah, Jurnal Ahkam, IV, 08, (Jakarta:2002), h.38. 4
Ma’ruf Amin, fatwa dalam sistem hukum islam, (Jakarta:Paramuda Advertising, 2008), cet. ke-1,h.152.
19
tujuan syara’ tersebut maka dinamakan maslahah, dan upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan maslahah.5 Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syâthibi mengatakan bahwa kemaslahatan tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara’ termasuk kedalam konsep maslahah. Dengan demikian, menurut alSyâthibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan diakhirat6 Sedangkan definisi maslahah menurut said Ramadhan al-Buthi adalah:
ﻬﹺﻢﺳﻔﹸﻮ ﻧ ﻭﻳﻨﹺﻬﹺﻢ ﺩﻔﹾﻆ ﺣﻦ ﻣﻩﺒﺎﹶﺩﻌ ﻟﻢﻴ ﺍﳊﹶﻜﺎﺭﹺﻉﻫﺎﹶ ﺍﻟﺸﺪﻲ ﻗﹶﺼﺔﹸ ﺍﹶﻟﹶّﺘﻔﹶﻌ ﺍﳌﹶﻨ: ﺔﹸﻠﹶﺤﺍﳌﹶﺼ ٧ ﻬﺎﹶﻨﻴﻤﺎﹶ ﺑﻴﺐﹴ ﻓﻴﺗﺮ ﺗﻖ ﻃﹶﺒﻬﹺﻢﺍﻟﻮﺍﹶﻣ ﻭﻬﹺﻢﻠﺴﺗ ﻭﻬﹺﻢﻟﻘﹸﻮﻋﻭ Artinya:”al-maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan&harta mereka sesuai dengan ukuran tertentu diantaranya.” Dari definisi tersebut, tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syar’i. Inti kemaslahatan yang
5
Ibid., h.153.
6
Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syâtibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (t,t:Dar ibn Affan, 1997) cet, ke-1 jilid 2,h. 17-18. Lihat juga Ma’ruf Amin, fatwa dalam sistem hukum Islam, (Jakarta:Paramuda Advertising, 2008),cet. ke-1,h.153. 7
Said Ramadhan al-Buthi, Dwabit al-Maslahah Fi al-Syari’ah al-Islamiyah.(Beirut:Muassah al-Risalah,1990),cet. Ke-3, h.27.
20
ditetapkan syar’i adalah pemeliharaan lima hal pokok (kulliyat al-Khamsah), semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek ini adalah maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk tindakan menolak kemudharatan terhadap kelima hal ini juga disebut maslahah.8 Sifat dasar dari maqâsid al-syari’ah adalah pasti, dan kepastian disisni merujuk pada otoritas maqâsid al-syari’ah itu sendiri. Dengan demikian eksistensi maqâsid al-syari’ah pada setiap ketentuan hukum syariat menjadi hal yang tidak terbantahkan baik yang bersifat perintah wajib ataupun larangan.9 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa al-Ghazali mengajukan teori maqâsid al-syari’ah ini dengan membatasi pemeliharaan syariah pada kulliat al-khamsah. Konsep pemeliharaan tersebut dapat diimplementasikan dalam dua metode: pertama, metode konstruktif (bersifat membangun) dan kedua, metode preventif (bersifat mencegah). Dalam metode konstruktif, kewajiban-kewajiban Agama dan berbagai aktifitas sunat yang baik dilakukan dapat dijadikan contoh dalam metode ini. Sedangkan berbagai larangan pada semua perbuatan bisa dijadikan sebagai contoh preventif kedua metode tersebut bertujuan mengukuhkan elemen maqâsid al-syari’ah sebagai jalan menuju kemaslahatan
8
Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensi, (Jakarta:Zikrul Hakim,2004). Cet, ke-1, h.81. 9
Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer.( Jakarta: Gaung Persada Pers ,2007), cet. ke-1 h.129.
21
Dari beberapa definisi tentang maslahah dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan kerusakan pada manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.10 Sedangkan secara terminologi Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang maslahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah: 1. Al-Ghazali merumuskan maslahah mursalah sebagai berikut: “ Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nas tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”11 2. Abdul Wahab Khalaf memberi rumusan berikut : “Maslahah Mursalah ialah maslahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya.”12 3. Muhammad Abu Zahra memberi definisi : “Maslahah yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”13
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. ke- 4, h.325.
142.
11
Al-Ghazali, al-mustashfa, (Beirut:Dar- al-Fikr,tt.), h.286.
12
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Gema Risalah Press, 1996), cet. 7,h.
22
Dalam kaitannya dengan ini Wahbah Zuhaili14 mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan maslahah mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan tindakan dengan tujuan syara’, tetapi tidak ada dalil tertentu dari syara yang membenarkan atau menggugurkan, dan dengan ditetapkan hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan dari padanya, sejalan dengan hal ini Ahmad Munif Suratmaputra15 juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan maslahah mursalah adalah maslahat yang sejalan dengan tindakan syara’ dan tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkanya. Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari maslahah mursalah tersebut, sebagai berikut: a.
Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia
b.
Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum
c.
Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang mengakuinya.16
13 Muhammad Abu Zahrah penerjemah Saefullah Ma’sum dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008), cet.ke-11, h.427. 14
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al Islam, (Bairut:Dar al-Fikr,1986), h.757
15 Ahmad Munif Suramaputra, filsafat Hukum Islam al-Ghazali Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), cet. ke- 1, h.71 16
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h.334
23
Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahah mursalah telah terjadi perbedaan dikalangan ulama Ushul Fiqh. Sebagian ulama ada yang menyebutkan dengan istilah: al-munâsib al-mursal, al-istidlâl al-mursal, alQiyâs al-Maslahi, sedangkan Imam al-Ghazali menyebutnya dengan nama”alistislâh”.17 Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa maslahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai dalil hukum dalam menetapkan hukum. Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Adapun mengenai maslahah mursalah pada prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya mereka berbeda pendapat.18 Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukakan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illât (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut digunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Misal jenis sifat yang dijadikan motivasi dalam suatu hukum adalah, dalam sebuah Hadits diterangkan (“Rasulullah saw Melarang pedagang menghambat para petani di perbatasan kota 17
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h.118.
18
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos Publishing House, 1996), cet I, h.120, lihat juga Ma’ruf Amin, fatwa dalam sistem hukum islam, h.160
24
dengan maksud untuk membeli barang mereka, sebelum para petani itu memasuki pasar”). Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari”kemudharatan bagi petani” dengan terjadinya penipuan harga oleh para pedagang yang membeli barang petani tersebut dibatas kota, dan menolak kemudharatan itu meruapakan konsep al-maslahah al-mursalah.19 Dengan demikian ulama Hanafiyah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum; dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nash dan ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma’. Dan penerapan konsep maslahah almursalah dikalangan Hanafiyah terlihat secara luas dalam metode istihsân.20 Ulama Malikiyah dan Hanabillah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyâs. Bahkan Imam Syâthibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslahah mursalah itu bersifat pasti (qat’i), sekalipun dalam penerapannya bersifat zanni (relatif).21 Begitu halnya dengan ulama golongan Syafi’iyyah pada dasarnya, juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara’, akan tetapi Imam al-Syafi’I 19
Ibid., h. 121.
20
Ibid., h.120-121.
21
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, h.121-122.
25
memasukkannya kedalam qiyâs, namun salah satu pengikut mazhab ini Imam alGhazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas permasalahan maslahah mursalah, walaupun beliau menyebutnya dengan istilah al-istislâh. Dengan demikian, jumhur ulama sebenarnya menerima maslahah mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbathkan hukum Islam.22 Adapun penggunaan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum oleh jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah alasan sebagai berikut: 1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah berfirman:
(١٠۷:٢١/ )ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀﻦﻴﻠﹶﻤﺔﹰ ﻟﱢﻠﹾﻌﻤﺣ ﺇﹺﻻﱠ ﺭﻚﻠﹾﻨﺳﺂ ﺃﹶﺭﻣﻭ Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia. (QS. Al-Anbiya 21:107) Ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan maslahah terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung kemaslahatan adalah legal. 2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan. 22
Ibid.,h.123.
26
3. Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran ‘Umar bin alKhatab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu bahasa di zaman ‘Utsman bin‘Affan demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.23 B. Macam-Macam Maslahah Para pakar ushul fiqh membagi maslahah dalam beberapa bagian, antara lain adalah : 1. Dari segi eksistensinya/ keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada tiga macam, yaitu:24 a. Maslahah Mu’tabarah Maslahah Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya, dengan kata lain kemaslahatan yang diakui syar’i secara tegas dengan dalil yang khusus baik langsung maupun tidak langsung yang memberikan petunjuk pada adanya maslahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Contohnya untuk memelihara kelangsungan hidup manusia, disyariatkanlah hukum qisas terhadap
pelaku
pembunuhan
dengan
sengaja.
Untuk
memelihara
kehormatan manusia, disyariatkanlah hukum dera bagi penuduh dan pelaku
h.162.
23
Ma’ruf Amin. fatwa dalam sistem hukum islam, h.164-165.
24
Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 1999), cet. ke-1,
27
zina. Untuk memelihara harta benda, disyariatkanlah hukum potong tangan bagi pencuri, baik laki-laki maupun perempuan b. Maslahah Mulgâh Maslahah Mulgâh, yaitu kemaslahatan yang berlawanan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, kemaslahatan yang tertolak karena ada dalil yang menunjukan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas. Contoh dari maslahah mulgâh ialah menyamakan pembagian seorang anak perempuan dengan bagian anak laki-laki dalam hal harta warisan, penyamaan pembagian “jatah” harta waris antara anak perempuan dengan bagian anak laki-laki secara sepintas memang terlihat ada kemaslahatanya, tetapi berlawanan
dengan ketentuan dalil nash yang jelas dan rinci,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Quran surat an-Nisaa/4:1125
(١١:٤/ﺴﺎﺀﻦﹺ )ﺍﻟﻨﻴﺜﹶﻴﻆﱢ ﺍﹾﻷُﻧﺜﹾﻞﹸ ﺣﻠﺬﹶّﻛﹶﺮﹺ ﻣ ﻟﻛﹸﻢﻟﹶﺪﻰ ﺃﹶﻭ ﻓ ﺍﻟﻠﱠﻪﻜﹸﻢﻴ ﺻﻳﻮ Artinya:”Allah telah menetapkan bagi kamu(tentang pembagian harta pusaka) untuk anak-anak kamu, yaitu bagi seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”(Q.S.an-Nisaa/4:11) c. Maslahah Mursalah Maslahah Mursalah, yang juga biasa disebut dengan istishlâh, yaitu maslahah yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya. Secara lebih tegas maslahah
25
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h.331-332.
28
mursalah ini termasuk jenis maslahat yang didiamkan oleh nash. Diakui dalam kenyataannya maslahat jenis ini terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat.26 Dan istishlâh atau maslahah mursalah inilah yang akan menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini. 2. Maslahah ditinjau dari segi esensi dan kualitasnya Ditinjau dari segi esensi dan kualitasnya, maslahah terdiri dari tiga macam, yaitu maslahah darûriyyah, maslahah hâjiyyah, dan maslahah tahsîniyyah.27 a. Maslahah Darûriyah Maslahah darûriyyah adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat, yakni kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusi artinya, kehidupan manusia tidak ada apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat darûri.28 Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima pokok tersebut adalah 26
27
28
Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h.164. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2 ,h.327-328. Ibid, h.327.
29
buruk, karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat darûri. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara Agama; melarang membunuh untuk memelihara jiwa; melarang minum minuman keras untuk memelihara akal; melarang berzina untuk memelihara keturunan; dan melarang mencuri untuk memelihara harta.29 b. Maslahah Hâjiyyah Maslahah hâjiyyah adalah kemaslahatan yang tingkat hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkatan darûri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (darûri), tetapi secara tidak langsung menuju kearah sana, seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Sehingga dapat
diartikan kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.30 Seperti dalam bidang ibadah, orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan jauh (musafir) dalam bulan ramadhan, diberi keringanan atau rukhsah oleh syariat untuk tidak berpuasa dengan kewajiban mengganti
29 Baharuddin Ahmad, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Studi Historis Metodologis), (Jakarta:Gaung Persada Press, 2008), h. 20. 30
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, h.116.
30
puasa yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain setelah ia sembuh atau setelah kembali dari perjalananya. Firman Allah dalam al-Quran surat Al-baqarah/2:184:
(١۸٤:۲/)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ...ﺮﺎﻡﹴ ﺃﹸﺧ ﺃﹶﻳﻦ ﺓﹲ ﻣﺪ ﻓﹶﻌﻔﹶﺮﻠﹶﻰ ﺳ ﻋﺎ ﺃﹶﻭﻳﻀﺮﹺ ﻣﻜﹸﻢﻨ ﻛﺎﹶﻥﹶ ﻣﻦﻓﹶﻤ... Artinya:“…Dan siapa saja diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan(musafir) hendaklah ia berpuasa di hari-hari yang lain…” Demikian pula dalam bidang muamalah diperbolehkannya berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan (bay’ al-salâm), kerjasama dalam pertanian (muzâra’ah) dan perkebunan
(musaqah).
Semuanya
disyariatkan
oleh
Allah
untuk
mendukung kebutuhan mendasar al-Maslahah al-Khamsah diatas. c. Maslahah Tahsîniyah Maslahah tahsîniyah adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat darûri, juga tidak sampai tingkat hâjîy, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Maslahah dalam bentuk tahsînî tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.31 Tiga bentuk maslahah tersebut, secara berurutan menggambarkan tingkatan peringkat kekuatanya, yang kuat adalah maslahah darûriyah, kemudian maslahah hâjiyah dan berikutnya maslahah tahsîniyah. Darûriyah yang lima juga ada berbeda tingkat kekuatannya, yang secara berurutan 31
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, h.328.
31
adalah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antara sesamanya, dalam hal ini harus didahulukan darûri atas hâjiy dan didahulukan hâjiy atas tahsîni.32 3. maslahah ditinjau dari segi kandunganya dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membagi maslahah kepada: a. Maslahah al-Ammah Mashlahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak. b. Maslahah al-Khasah Maslahah al-Khasah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud)33 Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum
32
33
Ibid., h.328-329. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh , h.116-117
32
bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum dari pada kemaslahatan pribadi. 4. Maslahah diinjau dari segi berubah atau tidaknya. Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, ada dua bentuk, yaitu:34 a. al-Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. b. al-Maslahah al-mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mua’malah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perlunya pembagian ini, dimaksudkan untuk memberikan batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak. C. Syarat berhujjah dengan Maslahah Mursalah Ulama dalam memakai dan mempergunakan maslahah mursalah sebagai hujjah sangat berhati-hati dan memberikan syarat-syarat yang begitu ketat, karena dikwatirkan akan menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan, bila tidak ada batasan-batasan dalam mepergunakannya. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain: 34
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h156, Lihat juga:Nasrun Haroen, Ushul Fiq , h.117.
33
1. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi pembentukan hukum suatu kejadian itu dan dapat mendatangkan keuntungan, manfaat atau menolak madarat.
Adapun
dugaan
semata
bahwa
pembentukan
hukum
itu
mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara maslahah yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti adalah didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan. Contoh maslahah ini ialah maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakim saja dalam segala keadaan. 2. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. Yang dimaksud dengan ini yaitu,
agar dapat direalisir bahwa
dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan manfaat kepada umat manusia, atau dapat menolak madarat dari mereka, dan bukan hanya memberikan manfaat kepada seseorang atau beberapa orang saja. Apabila demikian maka hal tersebut tidak dapat disyariatkan sebagai sebuah hukum. 3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’ dalam artian bahwa maslahah tersebut adalah maslahah yang hakiki dan selalu sejalan dengan tujuan syara’ serta tidak berbenturan dengan dalil-dalil syara’ yang telah ada.
34
4. Diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.35 Imam Ghazali, dalam mempergunakan pemakaian maslahah mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja mempergunakanya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang begitu ketat. Syarat-syarat tersebut antara lain: 1. Maslahah itu haruslah satu dari lima kebutuhan pokok. Apabila hanya kebutuhan kedua atau pelengkap maka tidak dapat dijadikan landasan 2. Maslahah itu haruslah bersifat semesta, yakni kemaslahatan kaum muslim secara utuh, bukan hanya sebagian orang atau hanya relevan dalam keadaan tertentu. 3. Maslahah tersebut harus bersifat qath’î (pasti) atau mendekati itu.36 Sedangkan Imam Syatibi tidak mengharuskan hal-hal yang disyaratkan oleh Imam Ghazali, tetapi mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam ketika memutuskan hukum berdasarkan maslahah mursalah, yaitu: 1. Harus masuk akal, sehingga ketika disampaikan kepada akal, akal dapat menerimanya. Namun tidak boleh menyangkut hal-hal ibadah.
35
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqhh. 145-146, Lihat Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh, h.337, Lihat juga: Mukri Aji, Jurnal Ahkam, h.41-42, dan Lihat: Romli, Muqaranah mazahib, h.165166. 36
Yusuf Qardhawi. Keluwesan dan Keluasan Syari’at Islam: Dalam Menghadapi Perubahan Zaman (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), cet I, h.24.
35
2. Secara keseluruhan, harus sesuai dengan tujuan-tujuan syariat, yang mana tidak menghilangkan satu dasarpun dari dasar-dasar agama, dan satu dalilpun dari dalil-dalil yang qath’i. Tetapi ia harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang menjadi tujuan dari syariat, meskipun tidak ditemukan dalil khusus yang menerangkannya. 3. Maslahah mursalah harus selalu mengacu kepada pemeliharaan hal-hal yang bersifat vital atau menghilangkan kesulitan dan hal-hal yang memberatkan di dalam agama.37 Selanjutnya Imam Malik, dalam mempergunakan pemakaian maslahah mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja mempergunakanya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang begitu ketat, syarat-syarat tersebut antara lain: 1. Adanya kesesuaian antara mashlahat yang diperhatikan dengan maqasid alsyariah, dimana maslahat tersebut tidak bertentangan dengan dasar dan dalil syara’ meskipun hanya satu. 2. Mashlahat tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang ma’qulat (rasional), yang menurut syara’ didasarkan kepada pemeliharaan terhadap maslahat, sehingga tidak ada tempat untuk maslahat dalam maslahah ta’abbudiyah dan perkara-perkara syara’ yang sepertinya.
37
Yusuf Qardhawi alih bahasa Zuhairi Misraw, M. Imdadun Rahmah. Fikih Taysir Metode Praktis Mempelajari Fikih .(Jakarta: Pustaka al-Kautsar , 2001), cet. I h.91.
36
3. hasil dari maslahah mursalah dikembalikan kepada pemeliharaan
tehadap
perkara yang darûri (primer) menurut syara’ dan meniadakan kesempitan dalam agama.38 Bila kita perhatikan syarat-syarat maslahah mursalah diatas terlihat bahwa ulama yang memakai dan menggunakan maslahah mursalah dalam berhujjah cukup hati-hati dalam menggunakannya. Karena bagaimanapun juga apa yang dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapakan suatu hukum dalam hal-hal yang pada waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.39 D. Metode Analisa Maslahah Mursalah Sebagaimana halnya metode analisa yang lain, maslahah juga merupakan metode pendekatan istinbath (penetapan hukum) yang persoalannya tidak diatur secara ekplisit dalam al-Qur’an dan Hadits. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Maslahah mursalah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan serta menghindari kebinasaan, untuk suatu perbuatan yang tidak diungkapkan secara ekplisit dalam al-Qur’an, akan tetapi masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran yang diungkapkan secara induktif oleh al-Qur’an dalam suatu perbuatan yang berbedabeda. Dalam konteks ini, ayat al-Qur’an tidak berperan sebagai dalail yang menunjukkan norma hukum tertentu, tapi menjadi saksi atas kebenaran fatwa38 Wahidul Kahar,” Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’”, (Thesis. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ,Jakarta: 2003), h.35-36. 39
Ibid., h. 36.
37
fatwa hukumnya tersebut. Dengan demikian, sistem analisa tersebut dibenarkan karena sesuai dengan kecendrungan syara dalam penetapan hukumnya.40 Pendekatan maslahah mursalah dalam metode kajian hukum dimulai dengan perumusan kaidah-kaidahnya yang dilakukan melalui sistem analisa induktif terhadap dalil-dalil hukum suatu perbuatan yang berbeda satu sama lain namun memperlihatkan subtansi ajaran yang sama. Kesamaan pada dimensi subtansinya itulah yang dijadikan premis-premis dalam perumusan kesimpulan induktifnya, sehingga dapat dirumuskan menjadi kaidah-kaidah maslahah mursalah yang merupakan kaidah kulli.41 Husein Hamid Hasan menyimpulkan, bahwa sistem analisa maslahah mursalah tiada lain adalah aplikasi makna kulli terhadap furu’ yang juz’î. Dengan demikian, sistem analisanya sama dengan sistem analisa qiyâs, bahkan lebih kuat dari qiyâs, karena pola qiyâs adalah menganalogikan furu’ pada asal yang hanya didukung oleh satu ayat atau nash. Sedangkan pada sistem analisa maslahah mursalah hukum asalnya didukung oleh beberapa ayat atau nash akan tetapi nash atau ayat tersebut bukan dijadikan sebagai dalil terhadap ketetapan hukumnya namun dijadikan sebagai saksi atas kebenaran fatwa hukum tersebut. Selain diambil makna subtansi ajarannya sebagai premis-premis dalam pengambilan
40
41
Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007) h.113. Ibid., h. 115
38
kesimpulan induktifnya untuk merumuskan kaidah-kaidah kulliyah tentang maslahah mursalah tersebut.42 Pada dasarnya mayoritas ahli ushul fiqh menerima pendekatan maslahah dalam metode kajian hukumnya43. Namun pendekatan ini cendrung telah menjadi identitas fiqh mazhab maliki, dimana fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan senantiasa beranjak dari pertimbangan kemaslahatan. Ada beberapa argumentsi yang dikemukakan para ulama Malikiyah tentang penggunaan pendekatan maslahah dalam metode kajian hukumnya, yaitu:44 1) Bahwa para sahabat Nabi saw. Memperlihatkan sikap orientasi kemaslahatan dalam berbagai tindakan dan perbuatan keagamaannya, seperti menghimpun dan menulis kembali ayat-ayat al-Qur’an secara utuh kedalam mushafmushaf, serta meyebarluaskannya pada masyarakat. 2) Bahwa selama maslahah berjalan selaras dengan maksud syar’I dalam penetapan hukum, maka ia akan sesuai pula dengan kehendak syar’I terhadap para mukallaf. Dengan demikian, mengabaikan kemalahatan sama artinya mengabaikan kehendak syar’I. 3) Jika penetapan hukum tidak mempertimbangkan aspek kemalahatan, maka setiap mukallaf akan menghadapi berbagai kesukaran dalam kehidupannya. 42
Dede Rosyada, metode kajian hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta:Logos, 1999) cet. I, h.
71 43 Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami wa Najmu al-Din al-Thufi, kaherah, dar alFikr al-Arabi, 1964 hal. 48 44
Dede Rosyada, metode kajian hukum, h. 68
39
Mustafa Zaid mengemukakan beberapa argumentasi penggunaan maslahah mursalah dalam kajian hukum, sebagai berikut:45 1) Bahwa tujuan diturunkannya Syariat adalah agar para mukallaf tidak melakukan suatu tindakan atau perbuatan mengikuti hawa nafsunya, karena jika hawa nafsu yang menjadi landasan perbuatan, maka mereka akan dihadapkan pada mafsadat (kerusakan). 2) Para ulama sepakat bahwa dalam setiap perbuatan dan tindakan selalu terdapat aspek maslahat atau mafsadat. Memelihara atau mewujudkan aspek maslahat merupakan bagian terpenting untuk memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. 3) Kebanyakan maslahat atau mafsadat di pengaruhi oleh perkembangan kondisional. Oleh karena itu, kajian maslahah harus dilakukan secara kontinyu dengan senantiasa memperhatikan perkembangan kondisi masyarakat. Sedangkan menurut Imam Syatibi, sebagaimana dikutif oleh Husein Hamid Hasan, ada beberapa kaidah yang bisa digunakan oleh para ulama dalam melakukan analisa maslahah mursalah,46 yaitu: 1) Hukum perbuatan sama dengan hukum musababnya. Kaidah ini dirumuskan setelah memperhatikan beberapa ketentuan hukum, antara lain Allah SWT mengharamkan setiap mukallaf untuk mendekati zina (khalwat). Kedudukan hukum khalwat yang merupakan penyebab terjadinya perzinaan, dalam 45
Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, h. 50 Husein Hamid Hasan, Nazariyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Beirut, Dar al-Nahdah al-arabiyah, 197), h.65-92, lihat juga Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, h.115-116 46
40
konteks ini, sama dengan hukum perbuatan zina itu sendiri yang merupakan musabab dari khalwat. 2) Mendahulukan kemaslahatan umum dari pada kemaslahatan khusus. Kaidah ini dirumuskan dengan memperhatikan beberapa norma hukum antara lain, larangan terhadap orang kota untuk membeli barang produk-produk orang desa di desa mereka, jika orang desa tersebut tidak mengetahui perkembangan harga pasar. 3) Menghindari kemudharatan yang lebih besar. Kaidah ini dirumuskan setelah memperhatikan beberapa ayat atau nash yang memerintahkan uamat islam untuk berjihad di jalan Allah, meskipun harus melalui peperangan. 4) Memelihara jiwa. Kaidah ini di rumuskan setelah memperhatikan berbagai norma hukum yang mewajibkan orang islam membayar zakat untuk didistribusikan pada fakir miskin. Secara subtansial kaidah tersebut merefleksikan semangat ajaran Islam untuk memelihara jiwa dan kehidupan. 5) Menutup peluang-peluang untuk melakukan tindak kejahatan. Kaidah ini dirumuskan sebagai implikasi dari kaidah-kaidah maslahah mursalah yang telah dirumuskan diatas. E. Objek Maslahah Mursalah Tidak seorangpun yang menyangkal bahwa syari’at Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat manusia. Syari’at itu membawa manusia kepada kebaikan dan kebahagian serta mencegah kejahatan dan menolak kebinasaan.
41
Pokok dan prinsip kemaslahatan itu sudah digariskan dalam teks syari’at dengan lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Muhammad saw. Alat dan cara untuk memperoleh kemaslahatan itu berkembang dan beraneka ragam, seirama dengan perkembangan sejarah dan peradaban manusia itu sendiri. Kemaslahatan hidup manusia yang ada hubungannya dengan situasi dan kondissi di zaman Nabi, langsung mendapat pengakuan dan pengesahan teks syari’at kalau itu dibenarkan dan dibatalkan kalau tidak dibenarkan. Maslahat yang dibatalkan berarti tidak dianggap sebagai maslahat oleh syariat.47 Yang menjadi masalah ialah kemaslahatan yang dirasakan atau dialami orang setelah Nabi wafat, sedang teks sayari’at tidak pernah menyinggung masalah yang seperti itu. Inilah objek atau lapangan penggunaan maslahah mursalah yaitu kemaslahatan hidup manusia menurut yang dilami dan dirasakan oleh manusia itu sendiri yang tidak dapat di qiyaskan pada maslahat yang pernah dibenarkan atau dibatalkan oleh teks syari’at (nash).48 Objek atau ruang lingkup penerapan maslahah mursalah menurut ulama yang menggunakannya itu menetapkan batas wilayah dan penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah diluar wilayah ibadah seperti mua’malah dan adat. Dalam masalah ibadah (dalam arti khusus) sama sekali maslahah tidak dapat dipergunakan secara keseluruhan. Alasannya karena maslahah itu didasarkan pada pertimbangan akal 47
Chatib Muardi. Maslahah Mursalah Sebagai Pertimbangan Ijtihad Mengembangkan Hukum yang Relevan dengan Kebutuhan Masa Kini. (Disertasi, Pascasarjana IAIN Jakarta, 1994), h.366. 48
Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’, h.42.
42
tentang baik buruk suatu maslahah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadah.49 Segala bentuk perbuatan ibadah ta’abudî dan tawqîfî, yang mempunyai pengertian kita hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan pertunjukan syar’I dalam nash. Dan akal sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian, misalnya mengenai shalat dzuhur 4 rakaat dan dilakukan setelah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.50Sedangkan segala bentuk perbuatan diluar wilayah ibadah, meskipun diantaranya ada yang tidak dapat diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqqulî (rasional) dan oleh karenanya dapat dinilai baik dan buruknya oleh akal, umpamanya minum khamr itu adalah buruk karena merusak akal, penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan akal yang dapat mengarah pada tingkat kekerasan.51 Contoh penggunaan maslahah mursalah antara lain: Sahabat Utsman bin Affan mengumpulkan al-Qur’an kedalam beberapa mushaf, padahal hal ini tak pernah dilakukan dimasa Rasulullah saw. Alasan yang mendorong mereka melakukan pengumpulan-pengumpulan itu tidak lain semata-mata maslahat, yaitu
49
50
51
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2 ,h.340. Ibid., h. 340.
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2 ,h. 340- 341, lihat pula Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 154; Departemem Agama RI, Ushul Fiqh I (t.th) h,. 149.
43
menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat.52 Selanjutnya jika kita bisa memperhatikan produk-produk hukum ulama-ulama saat ini, maka akan didapatkan bahwa produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan maslahah mursalah, seperti fatwa-fatwa MUI, misalnya; fatwanya tentang keharusan “sertifikat halal” bagi produk makanan, minuman dan kosmetik. Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks nash yang menyinggungnya secara langsung, namun dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini merupakan langkah positif dalam melindungi umat manusia (khususnya umat Islam) dari makanan, minuman dan obat-obatan serta kosmetika yang tidak halal untuk dikonsumsi, dan masih banyak lagi yang lainnya.53 Contoh lainnya dari penerapan maslahah mursalah dalam problematika kontemporer yang belum ditunjukkan hukumnya oleh nas al-Qur’an dan alSunnah, yakni mengenai pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fiqh, tentang pencatatan perkawinan tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Kemungkinan besar, para ulama’ pada saat itu belum menganggap pencatatan perkawinan itu penting dan bermanfaat. Di sisi lain, pencatatan perkawinan tidak dilarang dalam Islam, bahkan mendatangkan maslahat yang banyak seperti untuk ketertiban, kepastian hukum, dan mencegah terjadinya perkawinan monogami atau poligami
52
53
47.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 222. Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’, h. 46-
44
yang liar. Oleh karena dengan pertimbangan maslahah mengharuskan adanya pencatatan perkawinan seperti tersebut dalam UU No. 1 tahun 1974, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) KHI. Dalam Pasal 5 ayat (1) KHI jelas-jelas disebutkan “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.54 Bila di perhatikan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh para sahabat, tabiin dan ulama-ulama itu, semuanya adalah merupakan hasil ijtihâd dengan pertimbangan maslahah mursalah meskipun mereka tidak menggunakan istilah tersebut.55
54
Nur Kholis, Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporer(kajian terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali) h. 4 artikel diakses pada tanggal 27 Feb 2010 07:35:39 http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/antisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematikakontemporer/ 55
Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’, h. 49.
BAB III WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Kata “waqafa-yaqifu-waqfan” sama artinya dengan “habasa-yahbisutahbisan”.1 Sedangkan menurut terminologi atau istilah syara’ para ahli fiqh dalam tataran pengertian wakaf yang lebih rinci terdapat beragam pengertian, di antaranya yaitu: 1. Menurut Abu Hanifah Abu Hanifah mendefinisikan, “wakaf adalah menahan materi harta yang tetap menjadi milik wakif dan menyedekahkan manfaatnya untuk tujuan-tujuan kebaikan pada waktu seketika atau pada waktu yang akan datang”.2 2. Menurut Imam Malik Wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada yang berhak (mauquf alaih) dalam
1
Sayyid Sabiq. alih bahasa oleh kamaluddin A., Marzuki, dkk Fikih Sunnah, (Bandung:AlMa’arif,1996), Jilid ke-14, cet. ke-8.h.148. 2
Ismail Muhammad Syah, dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1992), cet. ke-2, h.243-244.
45
46
bentuk penyerahan yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan (wakif). 3. Menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal Definisi wakaf menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.3 4.
Menurut Mazhab Imamiyyah Definisi wakaf menurut mazhab ini hampir sama dengan definisi wakaf menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal, namun mereka berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf a’laih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf a’laih tidak berhak melakukan suatu
tindakan
atas
benda
wakaf
tersebut,
baik
menjual
atau
menghibahkannya.4 Selain definisi yang terdapat menurut fiqh klasik, khusus di Negara kita Indonesia ini terdapat rumusan wakaf menurut hukum positif diuraikan sebagai berikut: Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria Bagian XI pasal 49 ayat 3 telah disebutkan bahwa: “ perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah”. 3 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia,(Jakarta:Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h.3. 4
Ibid ., h.3-4.
47
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik telah dicantumkan dalam Bab I pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa, “wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah mililk dan melembagakannya untuk selamalamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam”. Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam yang terdapat pada Bab I Pasal 215 ayat 1 disebutkan bahwa, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan definisi wakaf menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat(1). Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf melalui rapat komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 11 mei 2002, bahwa wakaf adalah: “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap
48
benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.5 Dari definisi diatas pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap, artinya biarpun faedah atau manfaat benda itu diambil, zat benda tersebut masih tetap ada selamanya, sedangkan hak kepemilikanya berakhir, tidak boleh dijual, diwariskan, dihibahkan, serta harta tersebut dipersembahkan oleh si wakif (orang yang mewakafkan) untuk tujuan amal saleh guna mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dengan melepaskan harta wakaf itu menjadi milik Allah SWT sehingga tidak dapat dimiliki atau dipindah tangankan kepada siapapun dan dengan cara bagaimanapun juga. Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahanman teks ayat al-Qur’an dan juga Sunnah. Tidak ada dalam ayat alQur’an yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Namun yang ada adalah pemahaman konteks terhadap ayat al-Qur’an yang dikategorikan sebagai amal kebaikan. Ayat-ayat yang dijadikan landasan hukum adanya wakaf adalah sebagai berikut:6
ﻥﹶﻮﺤﻔﹾﻠ ﺗﻠﹶﻜﹸﻢ ﻟﹶﻌﺮﻴﺍ ﺍﻟﹾﺨﻠﹸﻮ ﻭﹺﻓﹾﻌﻜﹸﻢﺑﺍ ﺭﻭﺪﺒﺍﻋﺍ ﻭﻭﺪﺠﺍﺳﺍ ﻭﻮﻛﹶﻌﺍ ﺍﺭﻮﻨ ﺀَﺍﻣﻳﻦﺎ ﺍﹾﻟﱠﺬﻳﻬ ﻳﺄﹶ (۷۷:۲۲/)ﺍﳊﺞ 5
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,(Jakarta:Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h.163 6
Ibid., h. 23-24
49
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, rukulah kamu, sujudlah kamu, sembahlah tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan”(Qs: Al-Haj/22:77)
)ﺍﻝﻢﻴﻠ ﻋ ﺑﹺﻪﺀٍ ﻓﹶﺈﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﻰ ﺷﻦﻘﹸﻮﺍ ﻣﻔﻨﺎ ﺗﻣﻮﻥﹶ ﻭﺒﺤﺎ ﺗﻤﺍ ﻣﻘﹸﻮﻔﻨﻰ ﺗﺘﺮ ﺣ ﺎ ﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺒﹺﻨ ﺗﻟﹶﻦ (۹۲:۳/ﻋﻤﺮﻥ Artinya: “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan(yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”.(QS al-Imran/3:92)
ﻣﺎﹾﺋﹶﺔﹸ ﻠﹶﺔﺒﻨﻰ ﻛﹸﻞﱢ ﺳﺎﺑﹺﻞﹶ ﻓﻨ ﺳﻊﺒ ﺳﺖﺘﺒ ﺃﹶﻧﺔﺒﺜﹶﻞﹺ ﺣ ﻛﹶﻤﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺒﹺﻴﻰ ﺳ ﻓﻢﺍﻟﹶﻬﻮﻥﹶ ﺍﹶﻣﻘﹸﻮﻔﻳﻨ ﻳﻦﺜﹶﻞﹸ ﺍﻟﱠﺬﻣ (۲٦١:۲/ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﻢﻴﻠ ﻋﻊﺍﺳ ﻭ ﺍﻟﻠﱠﻪﺂ ﻭﺸﻴﻨﻤ ﻟﻒﻌﻳﻀ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﺔﺒﺣ Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipat gandakan(ganjaran) bagi siapa saja yang dia kehendaki. Dan Allah maha kuasa(karunianya) Lagi Maha Menngetahui”.(QS al- Baqarah/2:261) Pemahaman konteks atas ajaran wakaf juga diambilkan dari beberapa Hadits Nabi yang menyinggung masalah shadaqah jariyah. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad saw disebutkan bahwa :
ﻦ ﺍﺑﺫﹶﺍ ﻣﺎﹶ ﺕﺍ:ﻠﹶﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﹶ ﻝﹶ ﻝﹶ ﺍﷲ ﺻﻮﺳ ﺍﹶﻥﱠ ﺭﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺓﹶ ﺭﻳﺮﺮ ﻫ ﺍﹶ ﺑﹺﻲﻦﻋ ﻟﹶﻪﻮﻋﻳﺪ ﺢﹴ ﺻﺎﹶﻟﻟﹶﺪ ﻭ ﺍﹶﻭ ﺑﹺﻪﺘﻔﹶﻊﻳﻨ ﻠﹾﻢﹴ ﻋ ﺍﹶﻭ,ﻳﺔِ ﺟﺎﹶﺭﹺﻗﹶَﺔﺪ ﺻ, ﺛﹶﻼﹶ ﺙﻦﻻﱠ ﻣ ﺍﻠﹸﻪﻤ ﻋﻘﹶﻄﹶﻊﻧ ﺍﻡﺍﹶﺩ ٧ ()ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ 7
Imam Abu al-Husain Muslim al-Hijaj, Shahih Muslim, (Mesir: Dar al-Hadits al-Qahirah, 1994), jilid 6, cet.ke-1, h.95.
50
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Apabila anak adam(manusia) meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga hal yaitu shadaqah jariah(wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya”. (HR. Muslim) Adapun penafsiran shadaqah jariyah dalam hadits tersebut dikemukakan didalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf. Sebab pahala wakaf akan tetap mengalir walaupun pewakaf tersebut telah meninggal dunia selama harta wakaf tersebut masih ada dan digunakan sesuai dengan keinginan si wakif.8 Selain ada hadits Nabi yang dipahami secara tidak langsung terkait masalah wakaf, ada beberapa hadits Nabi yang secara tegas menyinggung dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di khabair:
ﺍﷲﻠﻰ ﺻﺒﹺﻲﻲ ﺍﻟﻨ ﻓﹶﺄﹶﺗﺮﺒﻴﺿﺎﹶ ﺑﹺﺨ ﺍﹶﺭﺮﻤ ﻋ ﺍﹶ ﺻﺎﹶ ﺏ: ﻤﺎﹶ ﻗﺎﹶ ﻝﹶﻬﻨ ﺍﷲ ﻋﻲ ﺿ ﺭﺮﻤﻦﹺ ﻋﺑ ﺍﻦﻋ ﻣﺎﹶ ﻻﹶﺐ ﺍﹸﺻ ﻟﹶﻢﺮﺒﻴﺿﺎﹰ ﺑﹺﺨ ﺍﹶﺭﺖﺒﻲﹺ ﺍﹶﺻ ﻧﻝﹶ ﷲُ ﺍﻮﺳﻳﺎﹶ ﺭ:ﻬﺎﹶ ﻓﹶﻘﺎﹶ ﻝﹶﻴ ﻓﻩﺮﺄﹾ ﻣﺘﻳﺴ ﻠﱠﻢ ﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻋ ﻥﹾ ﺍ: ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢﻠﻰﻝﹶ ﺍﷲ ﺻﻮﺳ ﺭ ﻓﹶﻘﺎﹶﻝﹶ ﻟﹶﻪﱐﹺ ﺑﹺﻪﺮﺄﹾﻣ ﻓﹶﻤﺎﹶ ﺗﻪﻨ ﻣﺪﻱﻨ ﻋﻔﹶﺲ ﺍﹶﻧﻮﻗﹶﻂﱡ ﻫ ﺎﻉﺘﻳﺒﻻﻠﹸﻬﺎﹶ ﻭ ﺍﹶﺻﺒﺎﹶﻉ ﻻﹶﻳﻪ ﺃﹶﻧﺮﻤ ﺑﹺﻬﺎﹶﻋﻕﺪﺼ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻓﹶﺘ. ﺑﹺﻬﺎﹶﻗﹾﺖﺪﺼﺗﻠﹶﻬﺎﹶ ﻭ ﺍﹶﺻﺖﺴﺒ ﺣﺌﹾﺖﺷ ِﻞﹺ ﺍﷲﺒﹺﻴﰱﹺ ﺳﻗﹶﺎﹶﺏﹺ ﻭﰱﹺ ﺍﻟﺮ ﻭﰉﰱﹺ ﺍﻟﻘﹸﺮﺍﺀِ ﻭ ﺍﻟﻔﹸﻘﹶﺮﻲ ﻓﺮﻤ ﻋﻕﺪﺼ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻓﹶﺘ.ﺐﻳﻬﻻﹶﺙﹸ ﻭﻳﺮﻻﹶﻭ ﻢﻳﻄﹾﻌ ﺍﹶﻭ ﻑﺮﻌﻟﹾﻤﻬﺎﹶ ﺑﺎﻨﻳﺄﹾﻛﹸﻞﹶ ﻣ ﻬﺎﹶ ﺍﹶﻥﹾﻴﻟ ﻭﻦ ﻣﻠﻰ ﻋﺎﺡﻨ ﻻﹶ ﺟﻒﻴﺍﻟﻀﻞﹺِ ﻭﺒﹺﻴﻦ ﺍﻟﺴﺍﺑﻭ ٩ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﻪﻴﻝﹴ ﻓﻮﺘ ﻣﻘﺎﹰ ﻏﹶﲑﻳﺪَﺻ 8
9
Imam Muhammad Ismail Kahlani, Subulus Salam, (Bandung:Dahlan, 1982) jilid 3 h 87.
Muhammad Nashirudin al-Albani, Mukhtasar Shahih Muslim, (Beirut:al-Maktab alIslami,t.t) no hadits 1003, h. 701.
51
Artinya: “ Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. Memperoleh sebidang tanah di khabair, kemudian dia menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah saya mendapatkan sebidang tanah di khabair, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan sedekah hasil tanah tersebut dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual, tidak boleh dibeli, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar : Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik(sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta dan memberimakan kepada temannya sekedarnya”. (HR. Muslim). Dalam sebuah hadits lain disebutkan:
ﻲ ِﻲ ﻟﻢﹺ ﺍ ﻟﹶﺘﻬﺎ ﺋﹶﺔﹶ ﺷﻥﹶﱠ ﻣ ﺍﻠﱠﻢ ﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲ ﻋﺒﹺﻲﹺ ﺻﻠﻨ ﻟﺮﻤ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻋ: ﻗﹶﺎﹶ ﻝﹶﺮُﻤ ﺍﹶﺑﹺِْﻰ ﻋﻦﻋ ﻠﹶﻲﺒﹺﻲ ﺻ ﻓﹶﻘﹶﺎ ﻝﹶ ﺍﻟﻨ,ﺎ ﺑﹺﻬﻕﺪﺗﺼ ﺍﹶﻥﹾ ﺍﹶﺕﺩ ﺍﹶﺭﻬﺎﹶ ﻗﹶﺪﻨ ﻣﻟﹶﻲ ﺍﺠﹺﺐﺎﻟﹶﺎ ﻗﹶﻂﹾ ﺍﹸﻋ ﻣﺐ ﺍﹸﺻ ﻟﹶﻢﺮﺒﻴﺑﹺﺨ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺮﻱ ﻭ ﻣﺴﻠﻢﻪ ﺗﺮﻞﹾ ﺛﹶﻤﺒ ﺳﺎ ﻭﻠﹶﻬ ﺍﹶﺻﺒﹺﺲﺣ ﺍ:ﻠﹶﻢ ﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﺍﷲ ﻋ Artinya: Dari Ibnu Umar, ia berkata : “Umar mengatakan kepada Nabi SAW, saya mempunyai seratus dirham saham di khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkan. Nabi SAW mengatakan kepada umar: tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah fi sabilillah”.(HR. Bukhari dan Muslim).10 Dilihat dari beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang menyinggung tentang wakaf tersebut Nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber hukum tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihâdi, bukan 10
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia, h.26.
52
ta’âbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain Oleh sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad seperti qiyâs, maslahah mursalah dan lain-lain. Khusus pada skripsi ini metode ijtihad yang digunakan adalah maslahah mursalah.11 Sedangkan mengenai dasar hukum wakaf menurut undang-undang no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan dalam Bab II Dasar-dasar wakaf pasal 2 dan pasal 3 yang bunyinya sebagai berikut: pasal 2 wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah. Pada pasal 3 wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar hukum wakaf Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf sesuai dengan dasar hukum menurut hukum Islam yang telah dipaparkan diatas. B. Rukun dan Syarat Wakaf Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun wakaf. Perbedaan tersebut merupakan implikasi dari perbedaan mereka dalam memandang subtansi wakaf. Pengikut Hanafi memandang bahwa rukun wakaf hanyalah sebatas shigat (lafal) yang menunjukan makna/subtansi wakaf. Karena itu, Ibn Najm pernah
11
Ibid., h. 27.
53
mengatakan bahwa rukun wakaf adalah lafal-lafal yang menunjukan terjadinya wakaf.12 Berbeda dengan Hanafiyah. Pengikut Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah memandang bahwa rukun wakaf terdiri dari:13 1. Waqif (orang yang berwakaf) 2. Mauquf ‘alaih (orang yang menerima wakaf) 3. Harta yang diwakafkan 4. Lafal atau ungkapan yang menunjukan proses terjadinya wakaf Berkaitan dengan hal ini, Al-Khurasyi mengatakan bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu barang yang diwakafkan, shigat (lafal), wakif, dan mauquf alaih. Sedangkan menurut Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dalam pasal 6 disebutkan bahwa wakaf dilaksanakan apabila telah memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: 1. Wakif 2. Nazhir 3. Harta benda wakaf 4. Ikrar wakaf 5. Peruntukan harta benda wakaf 6. Jangka waktu. 12
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf:Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta, Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf diterjemahkan dari Hikam al-Waqf Fi al-Syari’ah Islamiyah, (Jakarta:IIMaN, 2004), cet. ke-1, h.86 13
Ibid., h.87
54
a. Wakif Para ulama mazhab sepakat bahwa, sehat akal merupakan syarat sah melakukan wakaf. Selain itu mereka juga sepakat bahwa, baligh merupakan persyaratan lainnya. Ditambah lagi dengan syarat orang yang merdeka (bukan budak) dan memiliki kemampuan untuk bertindak hukum atas harta (cakap hukum)14. Wakaf juga harus dilakukan secara suka rela, tidak karena dipaksa.15 Menurut
Undang-undang no. 41 tahun 2004, pasal 1 ayat (2), yang
dimaksud dengan wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya, wakif meliputi: 1) Perseorangan Wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: a. Dewasa b. Berakal sehat c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum d. Pemilik sah harta benda wakaf 2) Organisasi
14
Juhaya S. Praja, perwakafan di Indonesia: Perkembangannya, ( Bandung: Yayasan Piara, 1995), h. 54 15
Sejarah,
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta:Wijaya, 1954), h. 304-305
Pemikiran,
Hukum
dan
55
Wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan 3) Badan hukum Wakif badan hukum hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. b. Nazhir Pasal 1 ayat (4) mengatakan bahwa, yang disebut sebagai nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nazhir meliputi: a) Perseorangan Perseorangan hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan: 1. Warga Negara Indonesia 2. Beragama Islam 3. Dewasa 4. Amanah 5. Mampu secara jasmani dan rohani 6. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum b) Organisasi Organisasi hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
56
1. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan 2. Organisasi yang bergerak dibidang social, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam c) Badan hukum Badan hukum hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan: 1. Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan 2. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 3. Badan
hukum
yang
bergerak
dibidang
social,
pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam c. Harta Benda Wakaf Dalam pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa, harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Disyaratkan pula dalam pasal 15 bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah. d. Ikrar wakaf Menurut pasal 1 ayat (3), yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
57
Sedangkan dalam pasal 17di katakan bahwa, ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 orang saksi dan dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. Dalam ikrar wakaf, saksi harus memenuhi persyaratan: 1. Dewasa 2. Beragama Islam 3. Berakal sehat 4. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum e. Peruntukan Harta Benda Wakaf Dalam pasal 22 undang-undang wakaf disebutkan bahwa, dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi: a. Sarana kegiatan ibadah b. Sarana dan kegiatan pendidikan dan kesehatan c. Bantuan kepada fakir miskin, anak telantar, yatim piatu, beasiswa d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan C. Macam-macam, Fungsi dan Tujuan Wakaf 1. Macam-macam Wakaf Sepanjang perjalanan sejarah Islam, Wakaf terbagi kepada dua macam, yaitu wakaf Ahli yang disebut juga wakaf keluarga, dan wakaf Khairi atau wakaf umum.
58
a. Wakaf Ahli Wakaf ahli adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf jenis ini (wakaf ahli) diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri.16 Pada perkembangannya selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan
manfaat bagi kesejahteraan umum,
karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahkan harta wakaf. Dibeberapa
negara
tertentu, seperti Mesir, Turki, Maroko dan Al-jazair, wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dan berbagai segi, tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini dinilai tidak produktif.17 Untuk itu, dalam pandangan Ahmad Azhar Basyir bahwa keberaadaan jenis wakaf ahli ini sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapuskan.18 b. Wakaf Khairi Yang dimaksud dengan wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntukan untuk amal kebaikan secara umum atau maslahah ‘ammah, yakni wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum). 16
Sayyid Sabiq, Fiqhu sunnah, (Lebanon:Dar al-Arabi,1971), h 378
17
Majalah pembimbing, No. 13/1977, h. 31 lihat juga Asaf AA Fyzee, 1966 h.79
18
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI. Fiqih Wakaf, (Jakarta:Depag RI, 2006), h.15
59
Wakaf ini di tujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaanya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan lain-lain. Misalnya mewakafkan sebidang tanah untuk membangun masjid, rumah sakit, panti asuhan, atau mewakafkan suatu harta untuk kepentingan sosial ekonomi orang-orang yang membutuhkan seumpama fakir miskin, anak yatim, dan sebagainya. Dan jika ditinjau dari penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. 2. Fungsi wakaf Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 5 dijelaskan bahwa fungsi wakaf adalah mewujudkan
potensi dan manfaat
ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Wakaf merupakan tindakan hukum suka rela yang amat dianjurkan sebagai manifestasi rasa syukur atas anugerah rezeki yang diterima oleh seseorang dan difungsikan untuk kepentingan sosial dan keagamaan. Dalam pelaksanaannya, agar fungsi wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, maka objek wakaf hendaknya didaya gunakan dengan sebaik-baiknya dalam pengelolaannya. Untuk itu
60
diperlukan nazhir yang professional dibidangnya dengan mengedepankan prinsip ajaran Islam. Dengan adanya nazhir yang professional tersebut diharapkan objek wakaf yang masih banyak terbengkalai serta belum optimal pemanfaatannya dapat lebih produktif sehingga dapat memberikan sumbangan bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan bangsa serta dapat mencegah timbulnya permaslahan atau sengketa yang dapat timbul di kemudian hari. 3. Tujuan wakaf Wakaf adalah berdasarkan ketentuan agama
dengan tujuan taqarrub
kepada Allah SWT untuk mendapatkan kebaikan dan ridha-Nya. Mewakafkan harta benda jauh lebih utama dan lebih besar pahalanya dari pada bersedekah biasa, karena sifatnya kekal dan manfaatnya pun lebih besar, pahalanya akan terus mengalir kepada wakifnya meskipun dia telah meninggal. Peranan harta wakaf sangat besar bagi pembangunan Negara.19 Tujuan wakaf berdasarkan hadits yang berasal dari ibnu Umar ra. Dapat dipahami ada dua macam yakni: pertama, untuk mencari keridhaan Allah SWT. Kedua, untuk kepentingan masyarakat. Sedangkan tujuan wakaf yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang dijelaskan pada pasal 4, bahwa wakaf bertujuan untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
19
ke-2, h.45
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,(Jakarta:UI Press, 1998), cet.
61
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf ditambahkan dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi: a. Sarana dan kegiatan ibadah b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan c. Bantuan kepada fakir misikn, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat ; dan atau e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, penetapan peruntukan harta benda wakaf dilakukan oleh wakif pada saat pelaksanaan ikrar wakaf. Sedangkan dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. D. Sejarah Singkat Lahirnya Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 Gagasan dasar Undang-undang ini lahir pada awalnya dilatar belakangi atas bergulirnya wakaf tunai yang digagas dan didengungkan oleh Prof. M. A. Mannan (pakar ekonomi Bangladesh), dimana wakaf tunai sebagai financial instrument, social
62
finance and voluntary sector bangking.20 Wacana wakaf tunai ini kemudian berbuah inisiatif dari Derektorat pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI untuk kemudian mengirim surat bernomor: Dt.III/5/BA.03.2/2772/2002 tertanggal 26 April 2002 kepada MUI mengenai perihal istifta tentang wakaf tunai. Pada tanggal 11 Mei 2002 MUI mengeluarkan fatwa bahwa wakaf tunai/uang hukumnya jawaz (boleh.21) Pasca lahirnya fatwa MUI tentang wakaf uang, pengembangan wakaf semakin mendapat peluang legitimasi, paling tidak pada tataran landasan hukum keagamaan ditandai dengan dimulainya wacana keberanjakan wakaf modern dari fiqh klasik, bahkan dalam tataran lingkungan birokrasi pemerintahan yang ditandai dengan political will dari Depag RI, dalam hal ini Derektorat Pengembangan Zakat dan Wakaf kemudian mengusulkan pembentukan Badan wakaf Indonesia(BWI).22 Ide pembentukan BWI diusulkan oleh Mentri Agama secara langsung kepada Presiden RI pada waktu itu, Hj. Megawati Soekarnoputri melalui surat No. MA/320/2002 tertanggal 5 september 2002. Inisiatif pembentukan BWI berbuah usulan dari Sekretariat Negara agar Depag RI mengirim surat izin prakarsa untuk menyusun draft RUU Wakaf.
20
Direktorak Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama, Proses Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. (Jakarta:DEPAG RI, 2006),h.1. 21
Ibid.,h.9-15.
22
Ibid.,h.15-16.
63
Langkah yang kemudian disiapkan oleh Direktorat Pengembangan zakat dan wakaf cq. Mentri Agama adalah mengirim surat bernomor: MA/451/2002 tanggal 27 Desember 2002 kepada Mentri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia perihal izin prakarsa RUU Wakaf. Di samping itu Mentri Agama juga mengirimkan surat kepada Presiden bernomor: MA/25/2003 tertanggal 24 Januari 2003 perihal permohonan perersetujuan prakarsa RUU Wakaf. Baik MenKehHAM pada tanggal 10 Februari 2003 maupun Presiden pada tanggal 7 Maret 2003, menyetujui prakarsa RUU Wakaf tersebut.23 Pengajuan RUU Wakaf Kepada Presiden Setelah semua konsep RUU Wakaf disempurnakan, maka RUU Wakaf dikirim ke Presiden RI tahap pertama tanggal 18 juni 2003 dan tahap kedua tanggal 5 Januari 2004. Dua tahap ini terjadi akibat dalam prosesnya di Seketariat Negara beberapa kali RUU Wakaf ini dikembalikan untuk digodok dan dikaji ulang, agar lebih matang sebelum diajukan ke DPR RI. Dalam surat yang pertama, Mentri Agama menyampaikan telah disiapkannya RUU Wakaf oleh Tim yang terdiri dari unsur Depag, Depkeh , HAM, Sekretariat Negara, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Bank Indonesia (BI), Universitas Indonesia (UI), dan para pakar diberbagai bidang. Kemudian dalam surat yang kedua disebutkan RUU Wakaf telah disiapkan oleh Tim yang lebih lengkap dengan tambahan: Mahkamah Agung, Depkeu (Ditjen Pajak), Depdagri, Depsos,
23
Ibid.,h.20-35.
64
Menko Kesra, PBNU, PP Muhamadiyah dan MUI Pusat. Setelah semua konsep RUU Wakaf dirumuskan ulang dan dikirim kembali ke Presiden RI, Presiden kemudian mengeluarkan amanatnya berdasarkan surat nomor: R.16/PU/VII/2004 tertanggal 9 Juli 2004 yang ditunjukan kepada Depag RI, dan menugaskan Mentri Agama RI, Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al- Munawar, MA. Guna mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU Wakaf di DPR RI.24 Proses Pembahasan dan Pengesahan di DPR RI DPR RI, dalam hal ini panitia kerja (panja) dari komisi VI25yang ditugaskan menggodok RUU Wakaf, melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ormas Islam; MUI Pusat, NU, Muhammadiyah, Persis, dan Al-Washliyah, tanggal 26 agustus 2004. 2. Rapat Dengar Pendapat umum (RDPU) dengan BAZNAS/LAZNAS; BAZNAS, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Al-Falah, LAZ Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU). 3. Rapat Kerja dengan Menag RI, tanggal 6 September 2004.26 Pembahasan di Tingkat Panja Komisi VI DPR RI Peserta pembahasan RUU wakaf terdiri dari tiga unsur: 1) Anggota Panja Komisi VI DPR RI; 2) Pihak pemerintah adalah Depag RI, dalam hal ini adalah
24
Ibid.,h.79-83
25 Salah satu komisi di DPR RI periode 1999-2004 yang membidangi pendidikan,social kemasyarakatan, dan olah raga. 26
Ibid.,h.85-99.
keagamaan,
65
Direktorat Jendral Pengembangan Zakat dan Wakaf (Bangzawa), dan Kepala subdit Direktorat Pemberdayaan Wakaf; 3) Tim pendamping pemerintah; NU, Muhammadiyah, MUI Pusat, Universitas Indonesia, Depkeh HAM, Bank Indonesia, Badan pertanahan Nasional, notaries, dan ahli bahasa.27 Dalam setiap pembahasan dipimpin oleh salah seorang dari unsur pimpinan komisi VI, yaitu: H. Taufiqurrahman saleh, SH (Ketua Komisi), Prof. Dr. H. Anwar Arifin, Dra. Hj. Soepami, dan Dra. Hj. Khadijah Saleh (Wakil Ketua). Mekanismenya adalah pimpinan rapat membacakan pasal perpasal dan ayat per ayat untuk kemudian memberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk berpendapat atau memberikan usulan. Namun, jika dalam proses perdebatan fraksi-fraksi mengalami perselisihan yang membutuhkan penjelasan, maka pimpinan sidang mempersilahkan wakil pemerintah untuk menguraikan maksud dan subtansi yang dimaksud.28 Berikut beberapa isu yang menjadi perdebatan diantara para anggota fraksi: a.
Posisi pemerintah yang tidak boleh berperan terlalu besar;
b.
Wakaf ahli/dzurri dan Wakaf khairi;
c.
Syarat-syarat nazhir yang berbentuk organisasi;
d.
Benda wakaf bergerak berupa uang dan selain uang;
e.
Peran LKS;
f.
Peran notaries;
g.
Hak istimewa BWI; 27
Untuk lebih rinci lagi lihat ibid.,h.116-117.
28
Ibid.,h.117-118
66
h.
Pembinaan dan pegawasan;
i.
Ketentuan pidana
Rapat Paripurna DPR RI dalam Pengambilan Keputusan RUU Wakaf Berikut penulis lampiran pandangan berbagai fraksi dalam rapat paripurna DPR RI terhadap RUU Wakaf; Fraksi-fraksi yang setuju RUU Wakaf menjadi UU, adalah: Fraksi Partai Golkar(FPG), Fraksi Partai Demokrasi Indonesi Perjuangan (FPDIP), Faraksi Partai Persatuan Pembanguna (FPP), Fraksi Reformasi (FR), Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB), Fraksi TNI/POLRI, Fraksi Persatuan Daulat Umat (FPDU), Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia (FKKI). Adapun Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) menyatakan setuju, dengan beberapa catatan.29 Pengundang Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf ini disahkan oleh Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 27 Oktober 2004 dan diundangkan oleh Mensesneg, Prof. Dr. Yusril Ihza mahendra yang dicatat dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor kepemimpinan,159.30Undang-Undang ini selama proses penyusunan, penyempurnaan, pengajuan, pembahasan di DPR RI, dan pengesahan oleh Presiden RI memakan waktu selama satu setengah tahun dengan proses pembahasan sebanyak 48 kali. 29
Catatan dari FKB:1) Masalah pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf harus mendapatkan perhatian yang serius;2) semua pihak yang terelibat dan berkompeten dengan urusan wakaf , dapat meneysuaikan diri dengan ketenyuan yang baru;3)Pemerintah segera mensosialisasikan UU ini; 4) Diperlukan keterlibatan dan partisipasi dari semua pihak kalangan professional. Ibid.,h.196197. 30
Ibid., h.217.
67
BAB IV KANDUNGAN MASLAHAH MURSALAH
A. Orientasi Maslahah Sebagaimana telah di kemukakan dalam pendahuluan skripsi ini, bahwa materi dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf banyak mengandung unsur siyasah syar’iyyah yang berlandaskan istislâh (metode maslahah mursalah), hal mana Undang-Undang wakaf ini memuat aturan-aturan yang tidak secara tegas di tunjukan oleh nash, baik al-Qur’an maupun sunnah, juga tidak didapati dalam literatur fiqh. Secara materil pasal-pasal tersebut hanya didasarkan pada pertimbangan dalam rangka mewujudkan dan memelihara kemaslahatan semata. Setelah penulis mempelajari dan menganalisa pasal-pasal dalam UndangUndang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, maka penulis mendapatkan beberapa pasal yang berorientasi kepada maslahat tersebut, yaitu: 1. Penentuan persyaratan nazhir (pasal 10 ) 2. Persyaratan dua orang saksi dalam ikrar wakaf (pasal 17 ayat (1) ) Pencatatan ikrar wakaf ( pasal 17 ayat (2) ) dan (pada pasal 21) 3. Peruntukan harta benda wakaf (pasal 22) 4. Bentuk benda yang dapat diwakafkan (pasal 16) Wakaf uang dan sertifikat wakaf uang (pasal 28 dan pasal 29) 5. Sertifikasi tanah wakaf (pendaftaran tanah wakaf) pada pasal 32
67
68
6. Perubahan Status Tanah Wakaf (pasal 41) 7. Lahirnya lembaga wakaf BWI (Badan Wakaf Indonesia) pasal 47 B. Maslahah Mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf Secara konsepsi ajaran, wakaf di lihat dari beberapa ayat al-Quran dan Sunnah Nabi tidak ada secara eksplisit menyebut tentang ajaran wakaf. Jika ada bersifat umum. Sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihâdi, bukan ta'âbbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.1 Meskipun demikian, ayat al-Quran dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidun sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihâd) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihâd, dengan menggunakan metode ijtihâd seperti qiyâs, maslahah mursalah dan lain-lain.2 Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihâdi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap
1
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia,(Jakarta:Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h.26. 2
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,(Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h.63.
69
penafsiran-penafsiran baru, dinamis, futuristik (berorientasi pada masa depan). Sehingga dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari mua’malah yang memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah.3 Keterlibatan pemerintah untuk mengatur masalah perwakafan dalam bentuk perundang-undangan yakni Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf adalah merupakan keniscayaan atas dasar kepentingan kemaslahatan (almaslahah al-mursalah). Karena hal tersebut sudah menyangkut kepentingan umum (masyarakat banyak) jika tidak akan menimbulkan ketidaktertiban, ini sesuai dengan kaidah fiqih “Pemerintah berkewajiban mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan kemaslahatan.” begitu pula materi dalam UndangUndang ini yang banyak dimasuki unsur siyasah syar’iyyah yang berlandaskan istislâh (maslahah mursalah) yang akan dibahas lebih lanjut.4 Sebagaimana telah disebutkan bahwa orientasi maslahat dalam UndangUndang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf meliputi: 1. Adanya persyaratan nazhir. Kehadiran nadzhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf sangatlah penting. Walaupun pada 3
4
Ibid., h.63-64.
Abdul Salam, Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, artikel diakses pada 20 Desember 2009 dari http://www.pkesinteraktif.com/content/view/2330/36/lang,ar/
70
umumnya, kitab-kitab fiqh tidak mencantumkan nazhir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf. Ini dapat dimengerti, karena wakaf adalah ibadah tabarru’ (perbuatan derma), namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf, baik yang bersifat perorangan maupun kelembagaan (badan hukum)5 Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya benda wakaf tergantung dari nazhir itu sendiri. Untuk itu sebagai instrument penting dalam perwakafan, nazhir harus memenuhi syaratsyarat yang memungkinkan, agar wakaf bisa diberdayakan sebagaimana mestinya.6 Dalam kitab al-fiqh al-Islâmî wa a’dillâtuhû, Wahbah Zuhaili mengemukakan syarat-syarat nazhir adalah:adil, cakap (mampu melakukan perbuatan hukum) dan Islam. Sedangkan menurut al-Khatib as-Sarbini dalam kitabnya fathul mu’în syarat-syarat nazhir wakaf itu adalah: adil, dan mampu. Memang mengenai syarat nazhir sudah dibahas oleh ulama fiqih terdahu Namun syarat-syarat yang disebutkan oleh ulama fiqh terdahulu jika mengacu pada konteks kekinian kurang relevan karena jika syarat nazhir hanya itu tanpa dibekali dengan kemampuan yang cukup maka belum mencukupi agar nazhir wakaf bisa menjadi nazhir professional yang direkrut berdasarkan keahlian 5 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia., h.50. 6
Ibid., h.50
71
dalam bidang masing-masing yang akan mengembangkan wakaf. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf di atur syarat-syarat nazhir baik yang berbentuk perseorangan, organisasi atau badan hukum pada pasal 10 Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf7. Untuk lebih jelasnya, persyaratan nadzhir wakaf itu dapat diungkapkan sebagai berikut:8 (a). Syarat moral Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun perundang-undangan Negara RI Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual (b). Syarat manajemen Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership Visioner Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual social dan pemberdayaan
7
8
Untuk lebih jelasnya lihat Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 10.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia, h.52.
72
Professional dalam bidang pengelolaan harta Ada masa bakti nazhir Memiliki program kerja yang jelas (c). Syarat Bisnis Mempunyai keinginan Mempunyai pengalaman dan atau siap untuk dimagangkan Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrepreneur Dari persyaratan yang telah di kemukakan di atas menunjukkan bahwa nazhir menempati pada pos yang sangat sentral dalam pengelolaan harta wakaf, dan dengan dipenuhinya syarat-syarat yang di sebutkan di atas diharapkan nazhir wakaf yang selama ini tradisional mengarah pada nazhir professional yang direkrut berdasarkan keahlian dalam bidang masing-masing.9 2. Adanya 2(dua) orang saksi wakaf dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar wakaf. Disamping nazhir wakaf, hal yang tidak banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh adalah mengenai masalah pentingnya saksi dalam wakaf dan pencatatan wakaf. Boleh jadi pertimbangan para ulama, memandang wakaf adalah ibadah tabarru’(derma), yang tidak perlu disaksikan oleh orang banyak. Mengenai masalah pencatatan wakaf tidak/belum mendapat perhatian para
9
Ibid., h.53.
73
ulama fiqh terdahulu ini dapat dipahami karena problema hukum waktu itu tidak seperti kenyataan pada saat ini.10 Kebiasaan masyarakat Indonesia sebelum adanya UU No. 5 tahun 1960, PP No. 28 tahun 1977, KHI buku III, dan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, dalam ikrar wakaf hanya menggunakan pernyataan lisan saja yang didasarkan pada adat kebiasaan keberagaman yang bersifat lokal, umat Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafiiyah sebagaimana mereka mengikuti mazhabnya, menurut pandangan as-Syafi’i pernyataan lisan secara jelas (sharih) termasuk bentuk dari pernyataan wakaf yang sah, pernyataan wakaf harus menggunakan kata-kata yang jelas seperti waqaftu, habastu atau sabbaltu atau kata-kata kiasan yang di barengi dengan niat wakaf secara tegas, sedang ulama fiqh yang lainnya tidak mensyaratkan pernyataan wakaf secara lisan. Namun dari pandangan as-Syafi’i tersebut kemudian ditafsirkan secara sederhana bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan saja, namun bukan berarti orang yang hendak mewakafkan hartanya dengan tulisan wakafnya tidak syah justtru pernyataan tulisan mewakafkan sesuatu bisa menjadi bukti yang kuat bahwa si wakif telah melakukan wakafnya.11
10
Didin Najmudin, Tinjauan Kaidah fiqhiyyah tentang konsep maslahat dalam Kompilasi hukum Islam di Indonesia(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 200), h.74-75. 11
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia, h.38-39.
74
Dalam konteks kehidupan saat ini, suatu tindakan hukum seperti wakaf, apabila tidak dibuktikan dengan surat-surat atau akta otentik, akan membuka peluang yang lebih besar untuk disalah gunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, sudah seharusnya wakif memperhatikan upaya-upaya
tertib
hukum
dan
administrasi
dalam
rangka
lebih
mengoptimalkan niat dan pelaksanaan wakaf itu sendiri yang sudah diatur dalam Undang-Undang wakaf no. 41 tahun 2004 pada pasal 17 dan 21. Urgensi saksi ini, pada hakekatnya untuk mengatantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari yang pada gilirannya dapat merugikan semua pihak yang terkait dalam masalah wakaf. 3. Peruntukan harta benda wakaf. Secara garis umum, pihak yang menerima wakaf adalah kebajikan umum dan tidak ditentukan secara lebih jelas oleh nash, begitu pula halnya dengan peruntukan harta wakaf, namun wakaf itu sendiri harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan oleh syariat.12 Dalam kitab fiqih terdahulu tidak ada aturan mengenai peruntukan harta wakaf, harta wakaf hanya ditujukan untuk kebajikan. Pada umumnya wakaf di Indonesia digunakan untuk sarana ibadah seperti masjid, musholla, sekolah, ponpes, yatim piatu, makam dan sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi 12
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia., h.58.
75
pihak-pihak yang memerlukan khususnya kaum fakir miskin. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal tersebut tanpa diimbangi dengan wakaf yang dikelola secara produktif, maka kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang diharapkan dari lembaga wakaf, tidak akan dapat terealisasi dengan optimal, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf mengenai peruntukan harta wakaf.13 Dapat terlihat dengan jelas dalam Undang-Undang ini bahwasanya peruntukan harta wakaf tidak hanya terbatas untuk sarana kegiatan ibadah saja, tetapi juga untuk yang lainnya, wakaf juga bisa dijadikan sebagai lembaga ekonomi yang potensial untuk dikembangkan selama bisa dikelola secara optimal. Karena institusi perwakafan merupakan salah satu aset kebudayaan nasional dari aspek sosial yang perlu mendapat perhatian sebagai penopang hidup dan harga diri bangsa.14 4. Berkembangnya bentuk benda yang dapat diwakafkan, bolehnya wakaf uang dan sertifikat wakaf tunai, berbicara mengenai benda yang di wakafkan. Dalam prakteknya wakaf pada sebagian besar umat Islam baru terbatas pada perwakafan benda tak bergerak yang lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan konsumtif, seperti tanah yang diperguanakan untuk bangunan
13
14
UU Wakaf No. 41 tahun 2004, pasal 22.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,h.3.
76
masjid, tempat pendidikan, rumah sakit, dan lain-lain atau hasil tanah itu untuk pemeliharaan bangunan-bangunan tersebut.15 Mereka mempunyai pendirian yang kuat bahwa benda wakaf itu haruslah benda yang tidak habis pakai, yang kekal abadi (tidak hancur). Mereka berpendirian seperti itu karena sebagian besar umat Islam Indonesia berpegang pada
mazhab
Syafi’i,
walaupun
Ulama’
Syafi’iyah
pada
dasarnya
memperbolehkan wakaf berupa benda bergerak dan tidak bergerak asal tidak cepat habis (hancur) jika digunakan.16 Namun seiring dengan berkembangnya zaman saat ini sedang berkembang wacana wakaf bergerak, seperti wakaf uang, logam mulia, saham atau surat-surat berharga lainnya, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai ketentuan syariah, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf.17 Pada saat ini, obyek wakaf, baik itu berupa wakaf benda tetap atau benda tak tetap, sudah saatnya untuk lebih diberdayakan agar lebih produktif, misalnya wakaf yang berupa tanah atau rumah diberdayakan untuk disewakan, wakaf hewan untuk diternakkan, dan wakaf uang untuk modal investasi, sehingga diharapkan kelaknya dapat menciptakan kemaslahatan umat yang lebih luas jika disertai
pengelolaan
nazhir
yang
profesional.
15
Hasilnya
untuk
dana
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia., h.102. 16
Abu Zahra, Ushul Fiqh I, h.104.
17
UU Wakaf No. 41 tahun 2004, pasal 16 yat (1,2 dan 3)
77
pembangunan seperti untuk pembangunan jalan-jalan, selokan, tempat ibadah, memajukan dunia pendidikan, dan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat.18 Subtansi wakaf tunai sebenarnya telah lama muncul, bahkan dalam kajian fiqh klasik sekalipun seiring dengan munculnya ide revatilisasi fiqh muamalah dalam perspektif maqâsid al-syarî’ah (filosofi dan tujuan syarit) yang dalam pandangan Umar Capra bermuara pada maslahah mursalah (kemaslahatan universal) termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.19 Wakaf dalam bentuk uang di kalangan ahli fiqih klasik merupakan persoalan ikhtilaf (masih diperdebatkan). Perdebatan ini tidak terlepas dari kebiasaan yang lazim ditengah masyarakat. Ketika itu wakaf hanya menyangkut harta/benda yang tetap saja. Ibn Abidin (1994) mengungkapkan, berdasarkan kebiasaan yang lazim, sebahagian ulama masa silam merasa aneh saat mendengar Muhammad bin Abdullah al-Anshari berfatwa tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang tunai baik dalam bentuk dinar atau dirham. Bahkan dalam bentuk komiditas yang ditimbang atau ditakar (seperti bahan sandang dan bahan pangan) juga boleh diwakafkan. Lebih lanjut al-Anshari
18
Nur Kholis, Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporer(kajian terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali) h. 4 artikel diakses pada tanggal 27 Feb 2010 07:35:39 http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/antisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematikakontemporer/ 19
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h.112.
78
menambahkan dana wakaf itu diinvestasikan dengan cara mudhârabah, dan labanya dishadaqahkan. Sedangkan komoditas dijual, dan harga penjualan yang diperoleh diinvestasikan dan hasilnya dishadaqahkan.20 Disamping itu Ibnu Qudamah (tt), menemukan pendapat yang tidak membuka peluang sama sekali untuk berwakaf dalam bentuk uang. Ibnu Qudamah mengemukakan, sebahagian besar ulama yang tidak membolehkan wakaf uang beralasan bahwa uang akan lenyap ketika dibayarkan. Sehingga tidak ada lagi wujud asli wakaf tersebut. Ibnu Qudamah juga mendapati alasan lain tidak dibolehkannya wakaf uang. Beliau mengemukakan dengan mempersewakan uang untuk ditarik manfaatnya sama halnya dengan merubah fungsi utama uang sebagai alat tukar. Sama pula halnya mewakafkan pohon untuk jemuran, padahal fungsi utama pohon bukan untuk tempat menjemur pakaian.21 Mengenai kebolehan wakaf dalam bentuk uang ini diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah (2000) dalam karyanya berjudul Majmu’ al Fatawa. Ibnu Taimiyah mendapati ada satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang secara tegas membolehkan wakaf dalam bentuk uang. Pendapat serupa ditemukan oleh Imam Bukhari (1994). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al20 Suharwardi K Lubis, Wacana Wakaf Produktif dan Wakaf Uang. Artikel di akses pada 20 januari 2010 dari http://suhrawardilubis.multiply.com/journal/item/19, h.1 21
Ibid., h.2
79
Hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy, ”Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham”22. Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam melegitimasi wakaf tunai. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Anwar Ibrahim menjelaskan bahwa MUI Pusat telah mengesahkan wakaf uang berdasarkan keputusan Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002. dalam fatwanya dikemukakan bahwa wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum, dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Hukum wakaf dengan uang itu dibolehkan (jaiz) asalkan nilai pokok wakaf uang itu
22
109
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.108-
80
tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan dan penggunaannya harus untuk hal-hal yang dibolehkan oleh syara’.23 Selanjutnya dalam kaitan ini, bahkan M. Anwar Ibrahim lebih menekankan pemberdayaan wakaf dengan uang, karena manfaatnya lebih besar dari pada wakaf tradisional yang berupa benda tak bergerak atau benda bergerak. Di samping itu, wakaf dengan uang lebih banyak dapat dilakukan. Jika wakaf uang dapat dikelola secara profesional oleh nazhir sebagai lembaga pengelola wakaf, maka akan menjadi modal usaha yang besar.24 Dengan demikian diaturnya benda wakaf bergerak seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 15-16 dan pengaturan wakaf uang pada pasal 28-31, diharapkan bisa menggerakkan seluruh potensi wakaf untuk kesejahteraan masyarakat luas. 5. Sertifikasi tanah wakaf (pendaftaran tanah wakaf), pada mulanya syariat Islam tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pendaftaran tanah wakaf. Begitu juga dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, belum adanya aturan pemerintah untuk pendaftaran tanah wakaf.
23
Nur Kholis, Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporer(kajian terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali) h. 4 artikel diakses pada tanggal 27 Feb 2010 07:35:39 http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/antisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematikakontemporer/ 24
Sebagaimana dikutip Barmawi Mukri dari Tabloid Jumat yang terbit tanggal 4 April 2003, hlm. 4 dalam “Peranan Maslahah Mursalah dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia”, Jurnal UNISIA, No. 48/XXVI/II/2003. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, h.208.
81
Sebelum adanya peraturan peundang-undang wakaf, perubahan status tanah yang diwakafkan dapat dilakukan secara sepihak oleh nazhirnya, hal ini disebabkan karena adanya beraneka ragam bentuk perwakafan,25 dan tidak adanya keharusan mendaftarkan harta kepada pemerintah. Selain itu dalam kondisi dimana nilai dan penggunaan tanah semakin besar dan meningkat, maka tanah wakaf yang tidak memiliki surat-surat dan tidak jelas secara hukum, sering mengundang kerawanan dan peluang terjadinya penyimpangan dan hakikat dari tujuan perwakafan sesuai dengan ajaran agama.26 Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan zaman yang kian pesat dan atas dasar pertimbangan kemaslahatan, maka hukum perwakafan di Indonesia menuntut keharusan pendaftaran tanah wakaf. sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 32-39 , Pendaftaran tanah wakaf ini bertujuan untuk mewujudkan ketertiban administrasi perwakafan sehingga tanah-tanah wakaf tersebut memiliki status hukum yang jelas dan dapat menjadi bukti otentik yang bisa menguatkan secara adminstratif (hukum) apabila terjadi sengketa dikemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Pendaftaran tanah wakaf sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya praktik wakaf, karena untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan
25
Beraneka ragam bentuk perwakafan yang dimaksud adalah:wakaf keluarga, dan wakaf
umum. 26
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h.90-91.
82
dikemudian hari, yang pada akhirnya merugikan salah satu pihak yang bersengketa.27 6. Perubahan status tanah wakaf, dalam hal ini pertukaran benda wakaf, mengenai boleh tidaknya pertukaran benda wakaf terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Golongan Malikiyah berpendapat “tidak boleh” menukar harta wakaf yang terdiri dari benda tak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Tapi sebagian dari mereka ada yang “boleh” asal diganti dengan benda tak bergerak lainnya jika dirasakan bahwa benda itu sudah tidak bermanfaat lagi. Sedangkan untuk benda bergerak, golongan Malikiyah “membolehkan”, sebab dengan adanya pertukaran maka benda wakaf itu tidaka akan sia-sia.28 Imam Syafi’i berpendapat “tidak boleh” menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. Tapi golongan Syafi’iyah berbeda pendapat tentang benda wakaf benda tak bergerak yang tidak memberikan manfaat sama sekali: sebagian menyatakan “boleh” ditukar agar harta wakaf itu ada manfaatnya, dan sebagian lain menolaknya.29 Sementara itu kalangan mazhab Hanbali memperbolehkan penukaran harta wakaf dalam kondisi yang sangat diperlukan. Yakni apabila hasil harta wakaf itu telah berkurang dan ada kemungkinan untuk ditukarkan dengan yang lain
27
Ibid., h.92.
28 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h.67. 29
Ibid .,h.67-68.
83
yang lebih bermanfaat dan produktif, tetapi tetap tidak boleh dijual. Dalam kondisi lain, mereka membolehkan menjual masjid yang tidak memenuhi kapasitas jumlah jamaah, sudah hancur, tidak dipergunakan lagi dan hasil penjualannya dipergunakan untuk membangun masjid yang lain yang lebih baik.30 Sedangkan mazhab Hanafi memperbolehkan penukaran harta wakaf. Pendapat Imam Malik beserta pendukungnya dan Imam Syafi’i, nampaknya menyebabkan kurang fleksibelnya pandangan masyarakat Indonesia yang sampai saat ini banyak yang bersikukuh memeganginya. Akibatnya, banyak benda wakaf yang hanya dijaga eksistensinya tanpa pengelolaan yan baik, meskipun telah usang dimakan usia atau karena tidak strategis dan tidak memberi manfaat apa-apa kepada masyarakat.31 Padahal kalau kita mau meninjau ulang terhadap maksud hadits Nabi s.a.w yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari ibn Umar bahwa “harta wakaf tidak boleh dijual atau ditukarkan, dihibbahkan dan diwariskan kepada orang lain (ahli waris)” adalah agar bagaimana harta yang telah disedekahkan (diwakafkan) dapat memberikan manfaat untuk kepentingan masyarakat banyak. Seperti pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, yang membolehkan menukar atau menjual harta wakaf yang sudah tidak memilki nilai manfaat. Sehingga memberikan peluang terhadap
30
31
Hasbi, Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, ( Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h.149-150
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,h.68
84
pemahaman baru, bahwa wakaf itu seharusnya lebih tepat disandarkan pada aspek kemanfaatannya untuk kebajikan umum dibandingkan hanya menjaga benda-benda tersebut tanpa memiliki kemanfaatan lebih nyata.32 Mengamati sejumlah pendapat diatas, pada prinsipnya para ulama sependapat bahwa harta wakaf itu boleh ditukar atau di jual jika keadaan menghendakinya, hanya saja di antara mereka ada yang membatasi secara ketat yakni Imam Malik beserta pendukungnya dan juga kalangan Syafi’iyah, dan ulama yang membatasi secara longgar yaitu mazhab Hanbali, sedangkan kalangan Hanafiyah memberikan kelonggaran secara luas.33 Menurut PP No. 28 Tahun 1977 Bab IV Bagian Pertama, Pasal 11 ayat (2) dan ditegaskan lagi dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab IV Pasal 41 sebenarnya memberikan legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf setelah terlebih dahulu meminta ijin dari Mentri Agama RI dengan dua alasan yaitu: karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan demi kepentingan umum. Secara subtansial, benda-benda wakaf boleh diberdayakan secara optimal untuk kepentingan umum dengan jalan tukar menukar.34 Dan pada dasarnya kebolehan penukaran wakaf ini didasarkan pada prinsip kemaslahatan (maslahah) yaitu meninggalkan ketentuan sunnah yang
32
33
34
Ibid.,h.68-69. Hasbi, Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, h.150-151.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesi, h.99-100.
85
menegaskan larangan menjual, atau menukarkan, menghibahkan atau mewariskan, dan pengamalan prinsip-prinsip umum maqâsid al-syarî’ah yakni memperbolehkan menjual barang wakaf untuk kepentingan yang lain lebih manfaat, dan sesuai dengan situasi yang ada. At-Tuhfi dalam teori maslahahnya menegaskan bahwa, apabila nash atau ijma bertentangan dengan kepentingan masyarakat (maslahah) maka didahulukan maslahah dengan cara takhsis nash tersebut (pengkhususan hukum) dan bayan (perincian dan penjelasan).35 7. Lahirnya Lembaga Wakaf Indonesia (BWI), jika selama ini wakaf hanya di kelola oleh nazhir baik perseorang atau badan hukum, kali ini pemerintah dalam hal ini yang tertuang dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 Wakaf, membuat suatu inovasi
membentuk lembaga wakaf nasional yang disebut
dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang telah diatur dalam UndangUndang ini dari pasal 47-61. BWI yang diamanatkan Undang-Undang merupakan lembaga independen, yang akan berkedudukan di ibukota dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan.36 Pembentukan BWI bertujuan untuk menyelenggarakan administrasi pengelolaan secara nasional untuk membina para Nazhir yang sudah ada agar lebih profesional, mengelola sendiri harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, 35
36
Hasbi, Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, h.151-152.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h. 97.
86
dan promosi program yang diadakan oleh BWI dalam rangka sosialisasi kepada umat Islam dan masyarakat. Sehingga BWI kelak akan menduduki peran kunci, selain Nazhir wakaf yang telah ada, dalam pengembangan wakaf di tanah air.37 Dari kesemua reformulasi konsep wakaf, pengembangan dan pembaharuan yang telah dilakukan bukan berarti keluar dari koridor dan frame syariat. Reformulasi yang demikian kalau mengutip pendapatnya Tahir Mahmood disebut sebagai refurmulasi kategori extra doctrinal reform, yakni melakukan pengembangan dan pembaharuan hukum Islam yang beranjak dari fiqh Mazhab dengan mengutamakan prinsip al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan) dan siyasah syar’iyah (investasi negara).38 C. Analisis Penulis Salah satu poin dari keistimewaan hukum Islam adalah bahwa hukum Islam itu diterapkan berdasarkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun diakhirat. Penalaran ijtihad yang menggunakan corak maslahah mursalah atas dasar kemaslahatan yang tidak diakui dan juga tidak di tolak keberadaannya ini banyak terjadi dalam masyarakat, sehingga seorang mujtahid dituntut untuk menyelesaikan persoalan sebagai upaya pengembangan hukum. Maslahah mursalah diakui jika berkaitan dengan maqâsid syarî’ah seperti syarat yang ditetapkan oleh imam al-Ghazali, bahwa harus ada kesesuaian antara keduanya, 37
38
Ibid., h.104-105
Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, (New Delhi: The Indian Law Institute, 1972). h. 267-269 lihat juga M. Atho Muadzar dan Khairuddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern.h.208
87
dan maslahah itu harus logis dan bertujuan menghilangkan kesulitan umat manusia. Masyarakat berkembang selalui mengikuti perubahan zaman, karena itu untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan masyarakat, Islam datang membawa ajaran dan prinsip dasar yang bisa ditafsirkan dan dikembangkan, agar hukum Islam mampu merespon dan memelihara kemaslahatan hidup masyarakat yang menjadi tujuan syariat Islam. Sebaliknya jika ajaran dan prinsip itu tidak bisa dikembangkan dan ditafsirkan pada perkembangan masyarakat, maka hukum Islam akan terkesan statis. Wakaf diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihâdi, bukan ta'abbûdi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain. Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihâdi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis, futuristik (berorientasi pada masa depan). Sehingga dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah. Dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, terdapat banyak paradigma baru mengenai wakaf yang didasarkan kepada kemaslahatan, yang
88
mungkin dalam kitab-kitab fiqh terdahulu belum diatur mengenai peraturannya dikarenakan belum berkembangnya, aspek wakaf itu sendiri. Sebagaimana telah disebutkan diawal pembahasan bab ini pada dasarnya hadirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf itu sendiri merupakan penerapan dari maslahah mursalah, oleh karena itu penulis ingin mencoba membahas beberapa kandungan maslahah mursalah dalam UU Wakaf ini yang didasarkan atas asas maslahah (kemaslahatan). Adanya persyaratan nazhir. Seperti telah disebutkan sebelumnya nazhir wakaf merupakan pos yang sangat sentral dalam pengelolaan harta wakaf. oleh karena itu dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf hal tersebut diatur dan diperketat dengan persyaratan nazhir yang tercantum pada pasal 10 tentang Nazhir. Menurut penulis adanya nazhir serta persyaratannya merupakan ijtihâd ulama indonesia yang berlandaskan maslahah mursalah karena memang tidak terdapat dalam nash secara ekplisit yang mengatur hal tersebut. Sama halnya dengan persyaratan nadzir tidak ada nash atau hadits yang mengatur mengenai masalah pentingnya adanya 2 orang saksi dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar wakaf, serta tidak banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh. Namun Islam juga tidak melarang adanya peraturan tersebut, dalam Undang-Undang Wakaf ini diatur pada pasal 17 ayat (1) dan (2) dan pada pasal 21. Adanya aturan tersebut berlandaskan atas prinsip kemaslahatan, dan pada hakekatnya agar mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari
89
yang pada gilirannya dapat merugikan semua pihak yang terkait dalam wakaf. sehingga terjadinya tertib hukum dan administrasi dalam perwakafan Tidak jauh berbeda dengan syarat 2 orang saksi dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar wakaf Sertifikasi tanah wakaf, atau pendaftaran tanah wakaf dalam kitab-kitab fiqh terdahulu belum diatur. Kemungkinan besar, para ulama’ pada saat itu belum menganggap pendaftaran tanah wakaf itu penting dan bermanfaat. Di sisi lain, pendaftaran tanah wakaf tidak dilarang dalam Islam, bahkan mendatangkan maslahat yang banyak seperti untuk ketertiban administrasi dan, kepastian hukum dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari yang pada gilirannya dapat merugikan semua pihak yang terkait dalam wakaf Dalam hal syarat 2 orang saksi dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar wakaf, penulis berpendapat ini merupakan ijtihâd ulama agar terjadinya tertib hukum dalam perwakafan berlandaskan maslahah mursalah karena memang tidak terdapat dalam nash secara ekplisit yang mengatur hal tersebut. Peruntukan harta wakaf, berkembangnya objek wakaf membawa dampak pula bagi peruntukan harta wakaf, pada dasarnya tidak ada aturan secara jelas dalam fiqh tentang peruntukan harta wakaf, sebagaimana telah diuraikan pada point sebelumnya, dalam fiqh peruntukan harta wakaf selama untuk kebajikan dan tidak keluar dari koridor syariat Islam itu dibolehkan, akan tetapi karena objek wakaf dulu yang terkesan hanya berupa tanah atau bangunan (benda tidak bergerak) maka peruntukan harta wakaf hanya bisa digunakan untuk sarana
90
ibadah saja seperti, mushola, masjid, madrasah, pesantren dan sebagainya. Padahal jika kita lihat dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 22. Peruntukan harta wakaf telah diatur dengan jelas sehingga harta wakaf bisa berguna tidak hanya untuk aspek ibadah saja melainkan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan ekonomi, dll, dan adanya peraturan peruntukan harta wakaf ini tidak dilarang oleh Islam, bahkan mendatangkan maslahat yang banyak, sehingga penulis menganggap adanya peraturan peruntukan harta wakaf ini merupakan ijtihâd ulama Indonesia (pembuat UU Wakaf) yang berlandaskan maslahah mursalah. Berkembangnya bentuk benda yang dapat di wakafkan serta kebolehannya wakaf uang dan sertifikat wakaf uang. Permasalahan seperti ini dalam ayat alQur’an dan Hadits tidak diatur secara ekplisit tetapi dalam pandangan ulama fiqh termasuk yang di ikhtilafkan, alasan boleh tidak bolehnya wakaf tunai berkisar pada wujudnya, apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan masih ada seperti semula, terpelihara, dan menghasilkan keuntungan lagi pada jangka waktu yang lama atau tidak, sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa penulis sendiri setuju dengan dasar berkembangnya objek wakaf yakni benda bergerak dan dibolehkannya wakaf uang (cash waqf), tentu saja ini merupakan terebosan yang cukup signifikan dalam dunia perwakafan karena wakaf seperti uang, saham atau surat berharga lainnya merupakan variable penting dalam pengembangan ekonomi, dan dengan melihat kenyataan masyarakat perkotaan saat ini tidak mungkin banyak tanah, maka dengan tidak
91
menunggu sebagai tuan tanah dulu, sehingga aturan ini membuka peluang bagi mereka untuk mudah mewakafkan sebagian harta mereka, dan menurut penulis adanya aturan ini berlandaskan atas kemaslahatan yang dalam kajian ushul fiqhnya disebut maslahah mursalah. Perubahan status tanah wakaf. Baik pertukaran benda wakaf ataupun pertukaran fungsi dari benda wakaf itu sendiri. Mengenai hal ini dalam ayat alQur’an tidak dijelaskan secara ekplisit, namun dalam hadits hadits Nabi s.a.w dijelaskan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari ibn Umar bahwa “harta wakaf tidak boleh dijual atau ditukarkan, dihibbahkan dan diwariskan kepada orang lain (ahli waris)” akan tetapi dalam pandangan fiqh termasuk yang di ikhtilafkan, namun seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya jika ditinjau ulang maksud dari hadits tersebut adalah agar bagaimana harta yang telah disedekahkan (diwakafkan) dapat memberikan manfaat untuk kepentingan masyarakat banyak, oleh karena itu penulis setuju dengan adanya pengecualian bolehnya berubahnya status tanah wakaf baik itu bertukarnya benda wakaf ataupun berubahnya fungsi dari benda wakaf itu sendiri, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 41 tentang pengecualian perubahan status tanah wakaf, dalam hal ini ulama indonesia (pembuat UU Wakaf) dalam membuat aturan ini, mengambil jalan dengan teori kebolehan sebagai jalan kemaslahatan. Sehingga menurut penulis bahwa rumusan yang dikemas oleh para ulama ini berlandaskan atas dasar maslahah mursalah.
92
Lahirnya Lembaga independen wakaf, jika selama ini wakaf hanya di kelola oleh nazhir baik perseorang atau badan hukum, kali ini pemerintah membuat suatu inovasi membentuk lembaga wakaf nasional yang disebut dengan Badan Wakaf Indonesia(BWI) yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dari pasal 47-61. Pada dasarnya pembentukan lembaga ini tidak ada aturannya dalam fiqh ataupun dilarang oleh Islam, atas dasar itu penulis menganggap hadirnya lembaga indevenden ini justru akan membawa banyak maslahat bagi perkembangan perwakafan indonesia. Dari beberapa paradigma baru dalam wakaf yang terdapat dalam UndangUndang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf No. 41 tahun 2004 diatas, menurut hemat penulis banyak dimasuki oleh unsur siyasah syariyyah, yang berlandaskan maslahah mursalah, sehingga dapat disimpulkan banyak terdapat penerapan konsep maslahah mursalah dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf. Dengan demikian, tindakan pemerintah yang mengatur masalah wakaf yang dituangkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ini banyak didasari pada semangat maslahah pada prinsipnya sejalan dengan kaidah fiqhiyyah yang universal yaitu:
ﻑ ﺍﻟﻺ ﻣﺎ ﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﻋﻴﺘﻪ ﻣﻨﻮﻁ ﺑﺎﳌﺼﻠﺤﺔﺗﺼﺮ Artinya: “segala kebijakan Imam (pemerintah) terhadap rakyat yang dipimpinnya, ِterkait sepenuhnya dengan kemaslahatan.”
93
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah memaparkan seluruh pembahasan, maka di bagian akhir skripsi ini , penulis menyimpulkan isi seluruh pembahasan tersebut sebagai berikut: 1. Salah satu metode pembentukan hukum yang banyak berperan dalam pembentukan/perumusan undang-undang (qanun) dalam konteks nation state adalah metode maslahah mursalah, maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang keberadaannya tidak disinggung oleh dalil-dalil tertentu, baik dalil-dalil yang mendukungnya maupun yang menolaknya secara rinci, namun demikian kemaslahatan tersebut sejalan dengan tujuan syara’ dan makna dari sekumpulan
nash
(al-Qur’an
atau
al-Hadits).
Sedangkan
mengenai
kedudukan maslahah mursalah, pada dasarnya jumhur ulama sepakat bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’ walaupun mereka berbeda pendapat dalam penerapan dan penempatan syarat maslahah mursalah tersebut. 2. Adapun pasal-pasal Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang didasari atas maslahah mursalah baik itu pemalingan hukum dari Qiyâs yaitu perubahan status tanah wakaf (pertukaran benda wakaf ataupun pertukaran fungsi benda wakaf) dan adanya wakaf tunai. Serta memang dalam nash atau dalam kitab-kitab fiqh terdahulu belum diatur mengenai aturan tersebut, yaitu
93
94
meliputi adanya nazhir dan persyaratannya, adanya 2 orang saksi dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar wakaf, berkembangnya objek benda wakaf, sertifikasi tanah wakaf, dan lahirnya Lembaga Wakaf Indonesia, yang disebut BWI (Badan Wakaf Indonesia). 3. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf secara materiil banyak dimasuki unsur siyasah syar’iyyah yang berlandaskan maslahah mursalah, oleh karena itu perlu ditinjau secara kritis, bagaimana penerapan maslahah mursalah dalam materi undang-undang ini, dan dalam tinjauan tersebut ternyata pasal-pasal Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf memang didasarkan kemaslahatan (maslahah mursalah), dan mendapat pengukuhan dan dukungan
normatif
untuk di aplikasikan
dan
di
implementasikan. B. Saran Dalam bagian akhir skripsi ini, penulis ingin memberikan saran-saran sehubungan dengan kehadiran Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf ditengah masyarakat Islam Indonesia serta dalam mewarnai pembangunan hukum nasional di Indonesia. Saran-saran ini penulis tunjukan kepada berbagai pihak baik perumus Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, para hakim Pengadilan Agama, civitas akademis, maupun masyarakat Islam secara umum, yaitu: 1. Sebagai peraturan yang diciptakan manusia, sudah pasti Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengandung kekurangan dan kelemahan. Oleh
95
karena itu, kepada para perumus Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, baik Mahkamah Agung, Pemerintah c.q. Departemen Agama, maupun para ulama yang terlibat dalam perumusan Undang-Undang ini, seyogyanya dapat meninjau kembali materi (pasal-pasal) dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf secara keseluruhan, serta merevisinya jika memang dianggap perlu dan mungkin untuk dilaksanakan demi kesempurnaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf serta kemaslahatan umat Islam Indonesia. 2. Kepada para hakim Pengadilan Agama, hendaknya dapat semaksimal mungkin menjadikan UU Wakaf sebagai rujukan dalam perkara yang menjadi kewenangannya (perwakafan), hal ini penting agar demi terciptanya unifikasi dan terciptanya kepastian hukum. 3. Kepada selutuh civitas akademika, khususnya Fakultas Syari’ah baik UIN maupun perguruan tinggi swasta, hendaknya lebih concern terhadap UndangUndang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, melalui seminar maupun kajiankajian
lainnya
demi
mendapatkan
metode
yang
efektif
dalam
mensosialisasikan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf di tengah masyarakat Islam Indonesia. 4. Diperlukan evaluasi secara intensif keefektifan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf oleh Departemen Agama khususnya dan umat Islam umumnya.
96
5. Perlu adanya sosialisasi mengenai Undang-Undang N0. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf kepada masyarakat, baik dari media elektronik maupun cetak, ataupun melalui seminar-seminar dan penyuluhan, karena sampai saat ini belum banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui adanya peraturan Perundang-undangan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Baharuddin. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008. Aji, Ahmad Mukri. Pandangan al-Ghazali Tentang Ahkam, IV,No. 08, (Jakarta:2002): h 37-45
Maslahah Mursalah, Jurnal
al-Albani, Muhammad Nashirudin. Mukhtasar Shahih Muslim. Beirut: al-Maktab alIslami,t.t al-Buthi, Said Ramadhan. Dwabit al-Maslahah Fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Beirut: Muassah al-Risalah,1997. Cet. III. al-Ghazali, al-Mustashfa, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press, 1998. Cet. II Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta:Paramuda Advertising, 2008. Cet. I. Daly, Peunoh dan Shihab,Quaraisy, (ed), Ushul Fiqh, Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad(Metode Penggalian Hukum Islam). Jakarta:Dirjen Bimas Islam Depag, 1986 Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : Depag, 1985 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka, 1996. Cet. II. Djazuli, A. kaidah-kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta : Kencana, 2007. Cet. II Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI. Fiqih Wakaf, Jakarta: Depag RI ,2006 -------------, Proses Lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Jakarta: Depag RI, 2006
97
98
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 -------------, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 Dzarqa, Al-, Musthafa Ahmad Alih Bahasa: Ade Dedi Rohaya . Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Jakarta: Riora Cipta, 2000 Fathi, Osman, Mohamed. Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan. Jakarta: Yayasan Paramadina, 2006, Firdaus. Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta:Zikrul Hakim,2004. . Cet. I Hasan, Bisri, Cik. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999 Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Ciputat: Logos Publishing House, 1996. Cet. I. Hijaj, al-,Imam Abu al-Husain Muslim. Shahih Muslim, Mesir: Dar al-Hadits alQahirah, 1994, jilid 6. Cet.I. Kahar,Wahidul, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’”, Thesis. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ,Jakarta: 2003 Kahlani, Imam Muhammad Ismail. Subulus Salam, Bandung: Dahlan, 1982, jilid 3 Khabisi, al-,Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta, Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf diterjemahkan dari Hikam Al-Waqf Fi AlSyari’ah Islamiyah. Jakarta:IIMaN, 2004, Cet. I. Khalaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Gema Risalah Press, 1996. Cet. VII. Kholis,
Nur. Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporer(kajian terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali) Artikel diakses pada 30 Oktober 2009 dari http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/antisipasi-hukum-islam-dalam-menjawabproblematika-kontemporer/
99
Mahmasani, Sobhi. alih bahasa:Ahmad Sudjono Filsafat Hukum dalam Islam. Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1976 Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006. Munawar, Said Agil Husin Al-. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Penamadani, 2004. Cet. I Najib,Tuti A. dan al-Makassary, Ridwaan. Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perpektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Center for the Study of religion and Culture (CSRC), 2006. Praja, Juhaya S. Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara, 1995. Qardhawi, Yusuf alih bahasa Zuhairi Misraw, M. Imdadun Rahmah. Fikih Taysir Metode Praktis Mempelajari Fikih . Jakarta: Pustaka Al-Kutsar , 2001. Cet. I Qardhawi, Yusuf. Keluwesan dan Keluasan Syari’at Islam: Dalam Menghadapi Perubahan Zaman. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Cet I Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Wijaya, 1954 Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet.I Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, alih bahasa oleh kamaluddin A., Marzuki, dkk. Bandung : Al-Ma’arif, 1996. Jilid ke-14. Cet. VIII Sabiq, Sayyid. Fiqhu as-sunnah, Lebanon : Dar al-Arabi,1971 Suramaputra, Ahmad Munif. filsafat Hukum Islam al-Ghazali Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999. Syah, Ismail Muhammad, dkk. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Cet. II al-Syatibi, Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad. Al-Muwafaqat fi Ushul alSyariah, Dar ibn Affan, 1997, jilid 2.
100
Umar, Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Pers ,2007. Cet. I Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996 Usman, Rachmadi, Hukum Perwakafan Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Madzhab Negara Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : LKIS, 2001 Zahra, Muhammad Abu Penerjemah Saefullah Ma’shum, dkk.. Ushul Fiqh. Penerjemah Saefullah Ma’shum, dkk. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008. Cet, XI. Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al Islam, Bairut, London: Dar al-Fikr a muasir,1986