PELESTARIAN MARKAS TENTARA PETA (PEMBELA TANAH AIR) KOTA BLITAR Afandi, Antariksa, Septiana Hariyani Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 – Telp. (0341) 567886 e-mail:
[email protected]
AB STRAK Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik kawasan dengan menggunakan metode deskriptif (observasi lapangan dan data sekunder); serta menganalisis perkembangan kawasan dengan menggunakan metode deskriptif evaluatif (sinkronik diakronik). Hasil yang diperoleh dari studi tersebut, yaitu (1) Penggunaan lahan kawasan pada tahun 2007 sebagai kawasan pendidikan dengan kondisi kawasan yang kurang teratur karena pembangunan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pendidikan dan mengabaikan keberadaan bangunan bersejarah; (2) Perkembangan kawasan studi terbagi menjadi lima periode, yaitu tahun 1910-1942 berfungsi sebagai kawasan pendidikan MULO (setingkat SMP), tahun 1942-1945 berfungsi sebagai Kawasan Markas Tentara PETA, tahun 1945-1965 berfungsi sebagai kawasan pendidikan (Sekolah Guru), tahun 1965-1998 berfungsi sebagai kawasan pendidikan yang mengalami beberapa pergantian instansi pengelola (Sekolah Teknik, Sekolah Kesejahteraan Keluarga Pertama, SMP) dan tahun 1998-2007 tetap berfungsi sebagai kawasan pedidikan untuk tiga SMP (SMPN 3, SMPN 5, SMPN 6) dan SMKN 3. Kata kunci: pelestarian, sinkronik diakronik
ABSTRACT The aims of this study, first is to identify the character area uses descriptive method (observation data and secondary data). Second, to analyze the development of the area uses evaluative descriptive method (synchronic, diachronic). Finally, to analyze and determine the direction of conservation area uses development method (measurement of cultural meaning and the public opinion). The results of this study: (1) In 2007, the land use on area as a school area where the condition has not been restored because the aim of development has only to fulfill the education facilities needs and has been ignored these historical buildings; (2) The development of the area can be grouped into five periods with the following details: 1910-1942 the function of the development of area is as MULO (same level of Junior High School) school area. In 1942-1945, as army sation (PETA). In 1945-1965, as a school area for teaching proffesion. In 1965-1998, as school area with changes of the organizer for several times (Engineering Profession School, Family Prosperity School, Junior High School). In 1998-2007, the function is still as school area for Junior High School (3rd State Junior High School, 5th State Junior High School, 6th State Junior High School) and 3rd State Vocation. Keywords: conservation, synchronic, diachronic
Pendahuluan Selama ini, Kota Blitar lebih dikenal sebagai kota proklamator, kota yang merawat makam salah satu proklamator Indonesia, Ir. Soekarno. Namun, sebenarnya tidak hanya itu. Di kota ini terdapat salah satu saksi bisu sejarah yang kurang terdengar oleh masyarakat luar Kota Blitar, yaitu Markas Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Sepanjang sejarah kolonial di Indonesia telah terjadi puluhan pemberontakan, besar maupun kecil, sebagai protes terhadap sistem dan praktek-praktek kolonial itu. Salah satu di antaranya ialah pemberontakan yang dilancarkan oleh anggota-anggota Tentara Pembela Tanah Air, Daidan Blitar terhadap Pemerintah Pendudukan Jepang. Pemberontakan itu meletus
206
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
pada saat praktek-praktek kolonial sedang berada pada puncak yang paling menekan kehidupan bangsa. Tepatnya tanggal 14 Februari 1945, pukul 03.30 WIB meletuslah pemberontakan PETA di Blitar dipimpin oleh Sudanco Soepriyadi. Sejarah tersebut masih meninggalkan jejaknya di kawasan Markas Tentara PETA yang saat ini berada di Jalan Sudanco Supriyadi Kota Blitar (http://www.kotablitar.go.id/wisata/[25 Sept 2007]). Keberadaan Kawasan Markas Tentara PETA sebagai salah satu aset cagar budaya Kota Blitar semakin lama cenderung semakin memudar seiring dengan meningkatnya pembangunan kota untuk memenuhi kebutuhan sarana prasarana bagi kehidupan masyarakat. Kawasan Markas Tentara PETA yang difungsikan sebagai kompleks pendidikan dalam perkembangannya lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan sarana pendidikan yang menempati kawasan tersebut. Hal ini cenderung semakin melemahkan fungsi kawasan sebagai “tetenger” peristiwa masa lalu, peristiwa bersejarah yang memiliki nilai tidak hanya lokal, namun skala nasional (Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Sejarah Kawasan Monumen PETA, 2007:1). Menurut Kwanda (2004:108), kawasan pelestarian merupakan suatu alat yang paling efektif digunakan untuk perlindungan bangunan bersejarah dan permukiman tradisional (kampung), dengan petimbangan: o Memberi waktu yang relatif cukup untuk mengidentifikasi tiap-tiap bangunan yang perlu dilestarikan agar kecepatan pembangunan tidak menghancurkan pusaka budaya o Pentingnya mempertahankan struktur kota (urban fabric), dan tiap kota memiliki pola penggunaan lahan yang berbeda, bentuk arsitektur lanskap, dan aktifitas kehidupan sehari-hari yang membenttuk karakter suatu kota menjadi berbeda dan unik. Kiranya perlu dipahami bahwa keberadaan bangunan bersejarah adalah penting karena dapat memberikan identitas atau karakeristik dari suatu kota terhadap sejarah masa lalunya. Kekurangan-kekurangan dari Kawasan Markas Tentara PETA bukan merupakan alasan untuk meruntuhkan dan merobohkan kawasan cagar budaya tersebut namun sebagai alasan kuat mengapa pelestarian perlu dilakukan terhadap kawasan seluas 4,7 Ha. Satu kelemahan lagi dari Kawasan ini adalah belum adanya kebijakan (SK Walikota, apalagi Perda) yang melindungi bangunan-bangunan maupun kawasan bersejarah. Beranjak dari hal-hal itulah, dikhawatirkan akan semakin melemahkan citra kawasan, sehingga perlu adanya pelestarian terhadap Kawasan Markas Tentara PETA. Sebagai pihak akademisi, dirasakan perlu untuk mempertebal kepedulian akan hal pelestarian bangunan dan kawasan. Dimulai dengan menyusun inventarisasi bangunan di kawasan tersebut merupakan salah satu kontrol terhadap Pemerintah Kota yang akan berlangsung lebih efektif. Pada sisi lain, mereka akan dengan otomatis menjaga apa yang menjadi kepentingan bersama dari kerusakan. Program tersebut diharapkan dapat mempertegas Pemerintah Kota Blitar dalam perlindungan hak milik bersejarah, bahkan diharapkan dapat merangsang kesadaran Pemerintah Kota tentang betapa pentingnya Surat Keputusan (bahkan Perda) untuk melindungi bangunan dan Kawasan Markas Tentara PETA lengkap dengan pendanaan pelestarian. Oleh karena itu, perlu disusun studi tentang Pelestarian Kawasan Markas Tentara PETA di Kota Blitar sebagai kawasan bersejarah yang dapat memberikan informasi tentang pengidentifikasian karakteristik Kawasan Markas Tentara PETA (Pembela Tanah Air) Kota Blitar ditinjau dari aspek fisik dan non fisik kawasan; analisis perkembangan kawasan yang terjadi pada kawasan tersebut sekaligus arahan bagi pengembangan/pelestarian fisik dan non fisik yang ada di kawasan tersebut. Diharapkan dengan adanya studi ini nantinya dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan kesadaran masyarakat terhadap peninggalan bangunan bersejarah, kelestarian objek budaya itu sendiri sebagai salah satu kawasan bersejarah berkarakter lokal di Kota Blitar serta temuan-temuan yang dapat menambah kekuatan hukum untuk mengakomodasi pelestarian kawasan Markas Tentara PETA sebagai wujud mempertahankan identitas kawasan bersejarah di Kota Blitar. Beberapa permasalahan yang diangkat dalam studi Pelestarian Markas Tentara PETA adalah: (1) Bagaimana karakteristik bangunan dan kawasan Markas Tentara PETA
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
207
(Pembela Tanah Air) Kota Blitar sebagai kawasan bersejarah? (2) Bagaimana perkembangan bangunan dan kawasan Markas Tentara PETA (Pembela Tanah Air) Kota Blitar sebagai kawasan bersejarah? Dari beberapa rumusan masalah tersebut, studi Pelestarian Markas Tentara PETA bertujuan untuk menjawab permasalahan di atas, yaitu (1) Mengidentifikasi karakteristik bangunan dan kawasan Markas Tentara PETA (Pembela Tanah Air) Kota Blitar sebagai kawasan bersejarah; (2) Menganalisis perkembangan bangunan dan kawasan Markas Tentara PETA (Pembela Tanah Air) Kota Blitar yang dapat memperkuat kawasan tersebut sebagai kawasan bersejarah.
Metode Penelitian Pembahasan pada studi ini secara umum dilakukan dengan penjabaran/deskripsi. Studi pelestarian ini bermaksud untuk mengidentifikasi karakteristik kawasan studi serta mengevaluasi perkembangan kawasan studi o Metode deskriptif. Aspek-aspek yang akan dianalisis dengan menggunakan metode ini adalah, kondisi fisik kawasan yang meliputi penggunaan lahan, usia bangunan dan fungsi bangunan. o Metode deskriptif evaluatif pada studi ini digunakan untuk menjabarkan serta mengevaluasi perkembangan kawasan studi. Metode yang digunakan untuk menilai kinerja tersebut dibedakan menjadi tiga, yaitu analisis sinkronik-diakronik, serta evaluasi perubahan dan kerusakan bangunan & lingkungan bersejarah.
Hasil dan Pembahasan Penggunaan lahan terkait dengan fungsi bangunan di dalam kawasan. Penggunaan lahan di kawasan bersifat homogen, yaitu kawasan pendidikan. Hampir seluruh kawasan difungsikan sebagai fasilitas pendidikan, kecuali pelataran depan yang masih dipertahankan untuk ruang terbuka. Perbedaan yang ada pada kawasan adalah tingkat pendidikan. Terdapat tiga kawasan yang digunakan untuk pendidikan SMP (SMPN 3, SMPN 5 dan SMPN 6) dan dua kawasan yang digunakan satu instansi pendidikan, yaitu SMKN 3. Kriteria yang digunakan untuk menentukan objek yang perlu dilestarikan, yaitu (Nurmala, 2003:48) Undang-undang Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992, pasal 1: a. Berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun. b. Mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun. c. Mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam objek pelestarian adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Pada wilayah studi, terdapat 21 bangunan bersejarah (Gambar 1) yang perlu dilestarikan sesuai dengan UU cagar budaya No. 5 Tahun 1992. Berdasarkan hasil studi Nurmala (2003:167-168), disebutkan bahwa menurut pandangan para pakar perencanaan kota arsitek, dan pengamat bangunan bersejarah dalam upaya pelestarian untuk fungsi bangunan antara lain: a. Fungsi bangunan mengacu pada Undang-Undang Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992, untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. b. Fungsi yang diberikan kepada bangunan kuno harus fleksibel, tidak hanya terkait dengan fungsi semula. Fungsi bisnis sangat memungkinkan, karena keuntungan dapat digunakan untuk biaya perawatan bangunan. c. Fungsi yang dapat menjamin bangunan kuno sebagai identitas, sehingga fungsi tersebut dapat berbeda dengan yang terdahulu, selain itu fungsi yang dapat memberikan pendapatan untuk pemeliharaan bengunan tersebut. Fungsi yang
208
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
diberikan sebaiknya adalah fungsi yang menonjolkan keberadaan bangunan dan produktif. d. Fungsi bangunan kuno sebaiknya mengikuti fungsi yang ada sekarang, tetapi yang penting dilestarikan adalah fungsi beberapa kawasan tertentu.
Gambar 1. Lokasi bangunan bersejarah di Kawasan Markas Tentara PETA. Secara umum, fungsi bangunan pada kawasan Markas Tentara PETA adalah sama, yaitu fungsi sebagai fasilitas pendidikan. Fungsi untuk masing-masing bangunan relatif sama antara masing-masing sekolah. Suprijanto (2001:109) mengungkapkan bahwa metode sinkronik dan diakronik merupakan suatu pendekatan yang dinilai baik jika digunakan untuk mengkaji perkembangan (arsitektur dan kota), mengingat pada analisis tersebut mengkaji keterkaitan akan perubahan ruang terhadap waktu, serta peristiwa yang berpengaruh. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Thoflson (1967) dalam Suprijanto (2001:109), bahwa salah satu dari tiga unsur pendekatan sejarah adalah penekanan pada perubahan (change) yang dalam hal ini perubahan akan lebih jelas bila menggunakan analisis sinkronik dan diakronik.
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
209
Periode 1910-1942 Kawasan studi mulai terbentuk ketika tahun 1910, saat itu fungsi lahan kawasan sebagai kawasan pendidikan yaitu MULO. Fungsi lahan tersebut bertahan hingga tahun 1942. (Gambar 2.) o
Legenda : Batas Kawasan Studi Jalan Persil Bangunan Bangunan yang dibangun tahun 1910
U
Skala :
0
10
20
40 m
Permukiman Dinas Pengajar MULO
Sumber : Hasil Wawancara dengan Kadin Pendidikan & Ir. Handinoto, 2008
Gambar 2. Kawasan studi periode 1910-1942 Aspek politik: Pada periode 1910-1942, bangsa Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Bangsa Indonesia belum mempunyai kekuatan untuk merebut kemerdekaan, meskipun telah berulang kali terjadi pemberontakan dimana-mana. Seluruh kebijakan yang berkaitan dengan bangsa ini, diatur langsung oleh Pemerintahan Belanda tanpa memikirkan kepentingan rakyat Indonesia. Belanda hanya memeikirikan keuntungan bangsa mereka sendiri. Hal tersebut dilakukan meski harus mengorbankan rakyat Indonesia. Kebijakan yang berkaitan langsung dengan Kota Blitar hanyalah pembentukan Gementee Blitar pada tahun 1906. selain itu, terdapat ebijakan mengenai pendidikan, yaitu penempatan fasilitas pendidikan MULO di Kota Blitar, tepatnya di daerah Bendogerit. Aspek ekonomi: Masyarakat dipaksa bercocok tanam, dan hasilnya akan dibeli Belanda dengan harga yang sangat murah, bahkan hasil pertanian kadang-kadang dirampas tanpa diberikan ganti rugi. Hal tersebut juga terjadi di Gementee Blitar, sebab wilayah tersebut terkenal dengan perkebunannya yang terhempar luas di bagian utara. Aaspek sosial budaya: Dengan kondisi bangsa yang sedang dijajah, masyarakat cenderung tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima kebijakan dan perlakuan yang diberikan oleh Pemerintah Belanda. Kebijakan pendidikan yang diterapkan di Blitar, yaitu penempatan sekolah setingkat SLTP (MULO), ternyata juga tidak berpihak pada rakyat kecil. Sekolah tersebut diperuntukkan bagi bangsa Eropa serta orang pribumi yang mempunyai kekayaan serta jabatan. Periode 1942-1945 Periode tahun 1942-1945, kawasan tersebut berubah fungsi menjadi kawasan militer yaitu kawasan Markas Tentara PETA, yaitu tentara sukarela bentukan Pemerintah Jepang. (Gambar 3)
o
210
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
Le g en da : B ata s K aw asa n S tu di Ja la n P ersil B a ng una n B an g un an ya ng diba ng u n ta hu n 19 10 B an g un an ya ng diba ng u n ta hu n 19 42
U
S kala :
0
10
20
40 m
P erm ukim an D inas T entara Jepang
S um ber : H asil W aw ancara dengan K orps T entara P E T A B litar, 2008
Gambar 3. Kawasan studi periode 1942-1945. Aspek politik: Pada masa tersebut, Jepang memang gencar melakukan invasi untuk menguasai dunia. Setelah kekusaan dipegang oleh Jepang, Indonesia mengalami masa penjajahan untuk yang kedua kalinya. Penindasan Jepang terhadap bangsa Indonesia lebih kejam daripada Belanda. Hal tersebut dilakukan karena posisi Jepang yang semakin terdesak oleh serangan balik dari negara-negara sekutu. Beberapa kebijakan yang dilakukan di Blitar Shi (Kota Blitar) adalah pembuatan parit-parit pertahanan di Blitar selatan serta pembentukan Daidan PETA di Blitar. Daidan (batalyon) PETA di Blitar ditempatkan di daerah Bendogerit, tepatnya di lokasi eks sekolah MULO. Aspek ekonomi: Kondisi perekonomian bangsa Indonesia ketika dijajah Jepang tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan Belanda. Masyarakat tetap dirugikan dengan perampasan hasil pertanian. Jepang memaksa masyarakat untuk menyediakan bahan makanan untuk tentara mereka sekaligus untuk Tentara PETA, meskipun masyarakat sendiri tidak pernah makan, bahkan benyak terjadi kelaparan di wilayah Blitar Shi. Aspek sosial budaya: Dengan adanya kebijakan pembuatan parit-parit pertahanan di Blitar, masyarakat Blitar dipaksa untuk menjadi kuli. Masyarakat yang dijadikan pekerja tidak pernah diberi makan oleh Jepang sehingga di Blitar selatan banyak terjadi kematian. Tentara PETA yang dibentuk di Blitar, sebagian dari mereka tiap hari harus menjadi pengawas para pekerja di Blitar selatan. Melihat kondisi masyarakat yang semkain tertindas, Tentara PETA di Blitar berencana untuk melakukan pemberontakan agar bangsa ini terlepas dari cengkraman Jepang. Rencana tersebut dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 1945 pukul 03.30 WIB. Meskipun pemberontakan tersebut dapat digagalkan, namun peristiwa tersebut menjadi pelecut semangat bagi rakyat Indonesia untuk berjuang merebut kemerdekaan. Periode 1945-1965 Ketika Indonesia merdeka, kawasan tersebut berubah fungsi seperti semula, yaitu kawasan pendidikan, tepatnya sebagai Sekolah Guru A dan Sekolah Guru B. o
Aspek politik: Pemerintahan pertama kali (orde lama) dipimpin oleh Ir. Soekarno. Salah satu kebijakan dari orde lama yang berkaitan dengan Kota Blitar adalah adanya pengalihfungsian kawasan eks Markas Tentara PETA menjadi kawasan pendidikan, yaitu untuk Sekolah Guru. Bung Karno menganggap sistem pendidikan yang diberikan penjajah hanya untuk orang-orang kaya, sehingga Bung Karno menganggap perlu untuk membenahi sistem pendidikan dengan cara membangun sekolah-sekolah guru untuk mencetak tenaga-tenaga pendidik yang baru. Keadaan negara yang belum memiliki
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
211
cukup dana untuk membangun gedung-gedung baru, maka Pemerintah menjadikan kawasan eks Markas Tentara PETA menjadi Sekolah Guru. (Gambar 4) Legenda : Batas Kawasan Studi Jalan Persil Bangunan
Permukiman Dinas Tentara
Bangunan yang dibangun tahun 1910 Bangunan yang dibangun tahun 1942
U
Skala :
0
10
Sumber : Hasil Wawancara dengan Kadin Pendidikan Kota Blitar, 2008
40 m
20
Gambar 4. Kawasan studi periode 1945-1965. Aspek ekonomi: Sebagai negara yang baru saja merdeka, maka perekonomian bangsa sedang belajar untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Tidak ada kebijakan perekonomian khusus yang berkaitan dengan Kota Blitar. Aspek sosial budaya: Masyarakat Blitar bagian selatan sangat gembira menyambut kemerdekaan. Mereka tidak lagi bekerja membuat parit-parit pertahanan di pantai selatan. Sebagai kota kecil, Kota Blitar terkesan “adem ayem” tanpa adanya gangguan atau peristiwa-peristiwa lain. Periode 1965-1998 Pada periode tahun 1965-1998, kawasan tersebut tetap berfungsi sebagai kawasan pendidikan, hanya berganti institusi yang mengelola, di antaranya Sekolah Teknik (ST), Sekolah Kesejahteraan Keluarga Pertama (SKKP), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). (Gambar 5)
o
Legenda : Batas Kawasan Studi
Bangunan yang dibangun tahun 1942
Jalan
Bangunan yang dibangun tahun 1965-1979
Persil Bangunan
Bangunan yang dibangun tahun 1979-1998
ah nP
la w
an
Permukiman Dinas Tentara
Jala nD
ipon ego
ro
Bangunan yang dibangun tahun 1910
J a la
J a la
U
nP ra
m uk
a
Skala :
0
10
20
40 m
Sumber : Hasil Wawancara dengan Pihak SMPN 3, SMPN 5, SMPN 6 dan SMKN 3, 2008
Gambar 5. Kawasan studi periode 1965-1998. Aspek politik: Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Soeharto (orde baru). Pemerintahan yang bersifat otoriter menjadikan bangsa Indonesia benar-benar dikendalikan oleh Pemerintah pusat, dan selama itu pula tidak terdapat kebijakan yang berkaitan dengan kawasan eks Markas Tentara PETA. Kawasan tersebut tetap berfungsi sebagai kawasan pendidikan, hanya berganti pengelola (instansi) saja.
212
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
Aspek ekonomiI: Keadaan perekonomian pada masa orde baru tidak jauh bereda dengan masa orde lama, hingga pada akhirnya terjadi krisis moneter pada tahun 1998 yang sekaligus menunjukkan berakhirnya masa kepemimpinan Soeharto. Aspek sosial budaya: Keadaan masyarakat Kota Blitar tetap “adem ayem” tanpa ada pergolakan apapun, bahkan masyarakat Kota Blitar juga cenderung melupakan peristiwa penting pada tanggal 14 Februari sebagai hari terjadinya pemebrontakan PETA kepada Jepang. Kawasan eks Markas Tentara PETA juga lebih dikenal sebagai kompleks pendidikan karena dipakai untuk beberapa sekolah (SMPN 3, SMPN 5, SMPN 6 dan SMKN 3) Periode 1998-2007 Hingga pada periode tahun 1998-2007 kawasan ini digunakan oleh 3 SMP dan 1 SMK. Untuk lebih jelas mengenai perkembangan lahan mulai tahun 1910-2007, dapat dilihat pada Gambar 6. o
Legenda : Batas Kawasan Studi
Bangunan yang dibangun tahun 1942
Jalan
Bangunan yang dibangun tahun 1965-1979 Bangunan yang dibangun tahun 1979-1998
Bangunan yang dibangun tahun 1910
Bangunan yang dibangun tahun 1998-2007
J a la
n
nco
Sup
riy a
di
Perm ukim an Dinas Tentara
Jala
nD
ipon
eg o
ro
Persil Bangunan
a S ud
J a la
U
nP ar
to h
a rd
jo n o
S kala :
0
10
20
40 m
Sum ber : Hasil W awancara dengan Pihak SM PN 3, SM PN 5, SM PN 6 dan SM KN 3, 2008
Gambar 6. Kawasan studi periode 1998-2007. Aspek politik: Masa reformasi yang telah mengalami pergantian Presiden empat kali merupakan masa yang bukan singkat. Selam itu pula tidak terdapat kebijakan apapun yang berkaitan dengan Kawasan Markas Tentara PETA. Pada tahun 2006, Pemerintah Kota Blitar melakukan sedikit perhatian terhadap peristiwa bersejarah pada tanggal 14 Februari 1945. Pemerintah Kota Blitar menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari PETA. Aspek ekonomi: Tidak terdapat kejadian perekonomian penting yang berkaitan dengan kawsan. Aspek sosial budaya: Hari PETA yang mulai diperingati ketika tanggal 14 Februari 2006 menjadikan Kota Blitar memeiliki budaya baru. Peringatan tersebut disemarakkan dengan adanya drama kolosal pemberontakan PETA. Dengan adanya budaya tersebut, masyarakat diingatkan kembali bahwa kawasan kompleks sekolah merupakan kawasan bersejarah yang harus dilestarikan. Dari berbagai penelitian, terdapat beberapa indikator terjadinya perubahan lingkungan dan bangunan bersejarah, antara lain: a. Tekanan pembangunan ekonomi yang amat kuat. Ledakan pertumbuhan bangunan kantor, hotel, pusat perbelanjaan, departement store yang menjulang tinggi, dapat dilihat dengan jelas pada kebanyakan kota besar, bersamaan dengan hilangnya bangunan dan kawasan kuno bersejarah dari kota, termasuk lingkungan dan
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
213
komunitas lama yang hubungan antar masyarakatnya sangat kental (Budihardjo, 1997: 204). b. Kurangnya perangkat hukum dan peraturan mengenai konservasi (Budihardjo, 1997: 204). c. Adanya perombakan bangunan-bangunan bersejarah karena bahan bangunan yang tidak kuat lagi menahan beban bangunan (Nurmala, 2003:81). d. Adanya tuntutan pelebaran jalan akibat kurangnya prasarana jalan yang memadai untuk menampung beban kegiatan (Nurmala, 2003:1). e. Perbedaan kepentingan untuk melestarikan bangunan dan lingkungan kuno/kawasan bersejarah dengan tuntutan kebutuhan jaman akan bangunan/lingkungan kuno/kawasan modern (Setyawan, 2005: 32). f. Karakteristik jenis bangunan yang sebagian besar berbahan kayu menyebabkan rumah tradisional relatif lebih sulit perawatan dan perbaikannya dibandingkan dengan bangunan dari tembok. Aspek pemeliharaan dan semakin langkanya bahan baku kayu yang berkualitas menyebabkan banyak rumah tradisional yang kurang terawat (Setyawan, 2005:129). g. Perubahan-perubahan pada bangunan bersejarah disebabkan oleh beberapa aspek, yaitu adanya penambahan jumlah anggota keluarga, keinginan untuk merubah warna cat karena sudah kusam, genting sudah lapuk, arsitektur bangunan tidak sesuai dengan selera pemilik bangunan, tidak sesuai dengan keamanan pemilik dan mendapatkan keuntungan ekonomis (Risbiyanto, 2005:45) Beberapa perubahan bangunan yang mengirngi perkembangan kawasan di antaranya: 1. Kantor Kepala SMKN 3 (Gambar 7)
Gambar 7. Bangunan tahun 1910 dan 2007. - Fungsi bangunan, awalnya (1910) sebagai Kantor Direktur Pendidikan MULO, kemudian tahun 1942 berubah fungsi menjadi Kantor Kempetai (Polisi Militer Jepang). Setelah itu berubah fungsi menjadi Kantor Depdikbud dan akhirnya sekarang digunakan sebagai Kamtor Kepala SMKN 3. - Terdapat penambahan pintu dan jendela pada teras bangunan, hal tersebut dilakukan sekitar tahun 1980-an untuk menambah ruang tamu. - Bagian barat bangunan terdapat owning yang menutupi fasade bangunan - Bagian timur terdapat penambahan 2 kamar mandi yang menempel pada dinding karena ruangan bagian timur digunakna untuk simulasi perhotelan 2. Kantor Administrasi SMKN 3 Perkembangan bangunan: - Pada tahun 1910, bangunan in didirikan dan digunakan sebagai ruang jaga/piket bagi Kantor Direktur Pendidikan. Ketika Jepang berkuasa, bangunan ini tetap berfungsi sebagai ruang jaga, tetapi untuk Kempetai. Sekarang berfungsi sebagai kantor administrasi SMKN 3. - Tampilan bangunan masih asli, dan terawat hingga tahun 2007. Namun, keadaan interior telah berubah untuk memenuhi kebutuhan sarana pendidikan. Bagian belakang gedung ini telah dijebol untuk kemudian dibuat pintu guna memudahkan
214
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
akses staf administrasi untuk menuju ke selatan. Perubahan tersebut dilakukan pada tahun 2002. (Gambar 8)
Gambar 8. Kantor Adminstrasi SMKN 3. 3. Gudang SMKN 3 Perkembangan bangunan: - Bangunan ini didirikan pada tahun 1940 dan berfungsi sebagai mess pegawai direktur pendidikan, ketika tahun 1942 beralih fungsi menjadi barak bagi para Kempetai. - Ketika tahun 2002, bangunan ini dijadikan sebagai gudang perlengkapan oleh pihak sekolah. Namun, karena tidak adanya batasan pembangunan dan kurang tegasnya Pemerintah Kota, pihak sekolah membelah gedung ini menjadi dua bagian untuk membangun mushola sekolah tengah-tengah perpotongan barak. (Gambar 9)
Gambar 9. Proses perombakan eks barak Kempetaitahun 2004. - Tampilan bangunan eks barak bagian utara tidak terlihat karena tertutup oleh owning yang dibangun di depan bangunan tersebut, bahkan salah satu interior barak dijadikan kamar mandi bagi pegawai dan guru. Untuk barak bagian selatan terlihat tidak terawat, namun keadaan interior masih asli tanpa ada perubahan. Begitu juga dengan pintu dan jendela barak, masih asli peninggalan jaman colonial (Gambar 10).
Gambar 10. Keaslian fasade dan interior bangunan. 4. Bangunan tidak terpakai SMKN 3 Perkembangan bangunan: - Bangunan yang ikut menjadi saksi sejarah ini dibangun pada tahun 1910. Pada waktu itu, bangunan ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan mess bagi pengurus
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
215
pelajar MULO dan berubah fungsi menjadi dapur ketika digunakan sebagai markas tentara PETA. Ketika dikelola oleh SMK 3, bangunan ini kurang mendapat perhatian, terbukti bangunan ini tidak dipakai untuk ruangan sama sekali, hingga pada tahun 2007, bangunan ini terhimpit oleh dua bangunan dua lantai yang sedang dibangun. - Fasade-nya juga tertutup oleh bangunan di sampingnya. Pada bagian selatan, keadaan dinding sangat kotor dan kondisi atapnya juga mulai rapuh. - Bangunan ini masih mempertahankan keaslian arsitekturnya, mulai dari dinding, atap, genteng, pintu dan jendela. Ada hal yang sangat disayangkan, yaitu penggatian salah satu pintu asli dengan pintu yang baru, padahal apabila dilihat kekuatannya, pintu yang lama masih layak dan kuat untuk dipertahankan. Tampilan pintu yang baru pun berbeda dengan pintu yang lama. Keadaan interior bangunan ada yang mengalami perubahan yaitu dijadikan kamar mandi (Gambar 11).
Gambar 11. Keadaan bangunan. 5. Kantor PerintisKemerdekaan Perkembangan bangunan: - Salah satu bangunan bersejarah yang dibangun pada tahun 1910 adalah bangunan yang digunakan sebagai Kantor Perintis Perjuangan 1945. Pertama kali dibangun, gedung ini berfungsi sebagai Kantor Administrasi MULO. Ketika Indonesia berada dalam genggaman Jepang, bangunan ini difungsikan sebagai Kantor Pusat Kyodo Buoi Cyu Gun di Blitar (Kantor Pengawas Tentara PETA dari Pusat) - Apabila dilihat tampilan bangunan dari depan, bangunan ini masih terlihat megah dengan keasliannya, hanya mengalami penambahan berupa penutupan ronggarongga teras depan bagian timur. Hal itu bisa dilihat kesamaannya dengan Kantor Kepala SMKN 3. - Selain itu, kaca jendela yang pecah juga tidak mendapat perhatian dari pihak sekolah. Di bagian sudut bangunan bagian selatan timur terdapat gangguan berupa pembatasan pagar/tembok setinggi 2 meter, sehingga mengakibatkan fasade bagian timur terlihat tertutupi dengan adanya tembok tersebut. - Fasade bagian barat tidak terlihat karena jarak antar bangunan hanya satu meter dan bangunan di sebelah bangunan ini merupakan bangunan baru yang sedang dibangun 2 lantai. Pembangunan terkesan mengabaikan bangunan bersejarah tersebut, terbukti dari atap pondasi lantai 2 yang langsung menyentuh atap bangunan ini. Begitu juga dengan dinding bangunan ini bagian barat, sempat dijadikan sarana untuk mempermudah pembangunan, sehingga terllihat bekasbekas paku dan pukulan terhadap bangunan ini. Untuk fasade bagian selatan, terlihat sangat tidak terawat. Hal itu dapat terlihat dari proses pengecatan pintu dan jendela yang belum sempurna, atap peneduh yang rusak 70%, sehingga terlihat sangat rapuh dan di belakang bangunan tersebut digunakan sebagai penumpukan
216
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
bekas-bekas material bangunan yang dapat menurunkan kualitas bangunan ini. Untuk keadaan interior, masih terlihat asli, tanpa perubahan. (Gambar 12).
Gambar 12. Keadaan bangunan. 6. Kantor Kepala SMPN 3 dan ruang kesiswaan SMPN 3. Perkembangan bangunan: - Bangunan ini didirikan pada tahun 1910, hal tersebut terlihat dari papan yang terpampang pada bagian atap. Fungsi bangunan ketika pertama kali digunakan adalah sebagai Kantor Pengurus Mess Pelajar MULO. Kemudian ketika Jepang menduduki Negara Indonesia, bangunan tersebut berubah fungsi menjadi Gudang Senjata yang menyatu dengan barak Tentara PETA di bagian barat. Sekarang telah digunakan sebagai ruang kesiswaan SMP 3, di antaranya adalah ruang OSIS, ruang perlengkapan olahrga, dan lain sebagainya. Bangunan ini tidak mengalami perubahan sama sekali, hanya berubah pada bagian utara yang dipakai Kantor Kepala SMP 3. - Berdasarkan narasumber, bangunan ini masih asli bagian atap dan hanya mengalami perubahan di bagian dasar. Dahulu, bagian dasar hanya berupa lorong, namun ketika tahun 1980-an, lorong tersebut ditutup dan mulai difungsikan untuk Kantor Kepala SMP 3. (Gambar13)
Gambar 13. Penutupan lorong; fasade bangunan. 7. Tempat tidur penjaga SMPN 3 Perkembangan bangunan: - Bangunan ini dibangun tahun 1942 untuk menambah barak bagi tentara PETA meskipun hanya dua barak. Pada akhirnya barak ini mempunyai peranan penting bagi pemberontakan Tentara PETA sebab salah satu barak tersebut digunakan sebagai tempat rapat rahasia untuk merencanakan pemberontakan, tepatnya pada barak Bundancho Halir di bagian selatan. Setelah dialihfungsikan sebagai kawasan pendidikan, bangunan tersebut digunakan sebagai tempat tidur bagi penjaga sekolah. - Bangunan ini masih asli tanpa perubahan, baik fasade maupun interior. Lokasinya di ujung barat daya SMP 3, sehingga bangunan ini kurang terlihat dan fasadenya tertupi oleh bangunan barak yang berada tepat di utaranya. (Gambar 14).
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
217
Gambar 14. Keadaan bangunan. 8. Kamar Mandi SMPN 3 Perkembangan bangunan: - Bangunan yang berada pada bagian selatan dari SMPN 3 ini dibangun pada tahun 1910. Bangunan sama sekali tidak mengalami perubahan fungsi, yaitu tetap digunakan sebagai kamar mandi. Fasade bangunan ini tidak terlihat karena tertutup oleh adanya tembok setinggi 1,5 meter yang berada di depan kamar mandi. Keadaan interior telah disesuaikan dengan model kamar mandi saat ini sehingga bangunan ini hanya menyisakan dinding serta pintu yang masih asli. (Gambar 15).
Gambar 15. Keadaan bangunan. 9. Ruang kelas SMPN 3 bagian selatan Perkembangan bangunan: - Bangunan ini dibangun pada tahun 1910. Bangunan tersebut dahulu berfungsi sebagai mess pelajar MULO, yang kemudian dipakai oleh Jepang untuk barak Tentara PETA. Seiring dengan perkembangannya, gedung ini digunakan untuk ruang kelas bagi SMP 3. Bangunan tersebut mirip dengan beberapa bangunan di Markas Tentara PETA, yaitu dengan ruang kkelas SMP 5, SMK 5 serta SMP 6. Dahulu bangunan-bangunan tersebut terdiri dari dua bagian yang membujur dari barat ke timur. Setelah digunakan sebagai kawasan pendidikan, bangunan tersebut terbelah sesuai pemakainya. Hingga pada akhirnya, ketika tahun 1994, bangunan ini mengalami perubahan besar. Dengan dalih pemenuhan kebutuhan ruang kelas, pihak sekolah SMP 3 membelah bangunan ini sekitar 9 meter, kemudian merombak bangunan, yaitu dinding bagian depan dirobohkan, diperlebar dan dimajukan, sehingga ruangan menjadi lebih lebar (Gambar 16). -
Gambar 16. Proses perombakan bangunan tahun 1994.
218
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
- Tampilan dari bangunan ini sudah tidak terlihat keasliannya. Hanya terlihat sebagai bangunan yang didirikan pada dekade 1990-an. Setelah diidentifikasi, bangunan tersebut masih menyimpan sedikit keaslian bangunan, di antaranya adalah dinding bagian belakang yang tidak mengalami perubahan, hanya sedikit penyesuaian dengan bentuk bangunan yang baru. Selain itu, pintu yang dipakai bangunan ini ternyata masih menggunakan pintu asli (Gambar 16).
Gambar 16. Sisa perombakan dan tampilan baru bangunan. 10. Ruang kelas SMPN 3 bagian timur Perkembangan bangunan: - Bangunan ini didirikan pada tahun 1910. bangunan ini dibangun satu kesatuan dengan dua bangunan lain yang berada di SMK 3 dan SMP 5. Namun, karena digunakan sebagai kawasan pendidikan, maka bangunan tersebut digunakan oleh tiga sekolah yang berbeda. Pertama kali dibangun, bangunan ini berfungsi sebagai ruang kelas pelajar MULO, kemudian digunakan sebagai perkantoran Tentara PETA pada tahun 1942-1945. dan terakhir digunakna sebagai ruang kelas SMP 3. - Banyak perubahan yang terjadi pada bangunan ini, khususnya setelah dijadikan sebagai fasilitas pendidikan. Pihak pengelola hanya berkepentingan untuk memenuhi kebutuhannya saja tanpa menghiraukan keaslian bangunan. Mulai dari pos satpam yang dibangun dengan menutup lorong yang ada pada bagian depan bangunan. Begitu juga dengan ruang wakil kepala SMPN 3 yang merupakan hasil perombakan yaitu penutupan lorong. - Bagian timur bangunan yang juga berfungsi sebagi batas antara SMP 3 dan SMK 3 ternyata tidak lepas dari proses perombakan bangunan, yaitu penutupan loronglorong sepanjang 20 meter. Namun, terlepas dari perubahan tersebut, bangunan ini masih menyisakan wujud aslinya yang berupa atap, lorong bagian barat, pintu serta jendela (Gambar 17).
Gambar 17. Keadaan bangunan. 11. Ruang kelasSMKN 3 bagian selatan Perkembangan bangunan: - Bangunan yang dibangun pada tahun 1910 ini difungsikan sebagai mess untuk pelajar MULO. Ketika dijajah Jepang, bangunan ini beralih fungsi menjadi barak Tentara PETA
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
219
- Bangunan tersebut seharusnya tergabung dengan barak yang ada di SMP 3 yang telah mengalami pemotongan bangunan. Bangunan ini terlihat sempit dan kecil. Apabila dilihat tampilan bangunan dari depan, atap bangunan tersebut terlihat rapuh. Hal tersebut terlihat dari kayu penyangga genting yang sudah mulai melengkung. Keadaan interior ruangan masih terlihat asli tanpa perubahan, hanya terdapat penambahan kaca jendela untuk menambah pencahayaan pada ruangan yang digunakan untuk ruang kelas ini (Gambar 18).
Gambar 18. Keadaan bangunan. 12. Ruang kelas SMKN 3 dan SMPN 5 bagian utara Perkembangan bangunan: - Bangunan yang dibangun pada tahun 1910 ini berada pada bagian paling depan dari Markas Tentara PETA. Pertama kali dibangun, bangunan ini difungsikan sebagai ruang belajar mengajar untuk pelajar MULO. Ketika dijajah Jepang, bangunan ini beralih fungsi menjadi perkantoran Markas PETA, dan dikenal sebagai Gedung Honbu. - Apabila dilihat tampilan bangunan berdasarkan perbandingan foto dahulu dan hasil survey primer, bangunan ini masih asli, utuh dan terawat hingga tahun 2007. Hanya terdapat beberapa tambahan di antaranya adalah penambahan pagar di depan bangunan karena bangunan tersebut digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Keadaan atap bagian depan mengalami kerusakan dan belum diganti oleh pihak sekolah. Selain itu, ruangan bagian tengah yang dijadikan aula untuk SMP 5 mengalami penyesuaian, di antaranya kaca jendela yang rusak hanya ditutup oleh kain dan triplek dari dalam. Lorong di bagian belakang digunakan untuk dinding sebuah bangunan baru sehingga terdapat penutupan lorong seperti pada bangunan yang lain (Gambar 19).
Gambar 19. Keadaan bangunan dan kawasan sekitar. 13. Ruang kelas SMKN 3 dan SMPN 5 bagian selatan Perkembangan bangunan: - Bangunan yang ikut menjadi saksi - Bangunan yang berfungsi sebagai barak ketika kawasan berfungsi sebagai Markas Tentara PETA ini menyimpan kenangan bahwa salah satu barak pernah ditempati oleh Sudancho Soeprijadi. Bangunan ini didirikan pada tahun 1910 untuk mess para pelajar MULO. Setelah kemerdekaan, bangunan ini dirombak menjadi ruang kelas yang masih digunakan hingga sekarang. - Bangunan tersebut memiliki interior ruangan yang berbeda dengan barak yang lain. Bangunan yang membujur dari utara ke selatan tersebut terbagi menjadi dua di
220
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
tengah-tengahnya, sehingga dapat digunakan untuk dua kompleks barak, yaitu bagian barat dan timur. Ketika beralih fungsi menjadi kawasan pendidikan, dinding antara dua barak dijebol untuk kemudian digunakan menjadi ruangan kelas sebab satu barak hanya berukuran 2 m x 1,5 m. - Tampilan bangunan tersebut pada bagian utara dan selatan tidak terlihat lagi. Untuk bagian utara telah tertutup oleh salah satu bangunan baru yang dibangun tepat bergandeng dengan barak ini. Untuk bagian selatan telah berubah menjadi kantin sekolah. Bagian selatan tersebut seharusnya berupa lorong yang menghubungkan barak yang berada pada bagian barat dan timur. Hal tersebut terlihat dari penutupan lorong yang meninggalkan bukti berupa lengkung lorong yang terlihat ditutup dengan semen ataupun diganti modelnya menjadi sebuah pintu dengan model persegi panjang (Gambar 20).
Gambar 20. Keaslian fasade dan interior serta bukti penutupan lorong. 14. Ruang kelas SMPN 5 Perkembangan bangunan: - Bangunan yang mirip dengan ruang kelas SMP 3 bagian timur ini merupakan bangunan yang didirikan tahun 1910. bangunan tersebut juga memiliki persamaan fungsi sejak didirikan hingga sekarang, yaitu gedung belajar mengajar MULO, kemudian perkantoran Markas Tentara PETA serta ruangan kelas untuk sekolah. Perbedaan dengan gedung di SMP 3 hanya warna dan proses perombakan bangunan. - Tampilan bangunan ini terlihat asli, dengan lorong sebagai ciri khas pada bangunan tersebut. Keadaan interior ruangan yang digunakan sebagai kelas sekolah tersebut juga masih terjaga, mulai dari pintu, jendela dan atap. Hanya terdapat tambahan berupa pemasangan keramik pada setengah bagian dinding. Ketika era 1990-an, pembangunan difokuskan untuk menambah ruangan guna memenuhi kebutuhan ruangan bagi sekolah. Beberapa penambahan ruangan yang mnyangkut dengan bangunan ini terletak pada bagian selaan bangunan. Beberapa di antaranya adalah penutupan lorong di bagian timur untuk melengkapi kebutuhan ruang bagi Pramuka, PMR, serta kegiatan kesiswaan lainnya. Tidak hanya itu, di selatan bangunan yang sudah mengalami perubahan fasade berupa penutupan lorong, pihak sekolah juga membangun owning untuk parkir kendaraan guru. Untuk bagian barat bukan penutupan lorong, melainkan pembangunan gudang yang menempel pada tiangtiang lorong (Gambar 21).
Gambar 21. Beberapa hasil perombakan bangunan.
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
221
15. Ruang kelas SMPN 5 bagian selatan Perkembangan bangunan: - Bangunan ini didirikan pada tahun 1910. Fungsi bangunan ketika pertama kali digunakan adalah sebagai mess pelajar MULO. Kemudian ketika Jepang menduduki Negara Indonesia, bangunan tersebut berubah fungsi menjadi barak bagi Tentara PETA. Untuk selanjutnya bangunan ini digunakan sebagi ruang kelas untuk kerja praktik. - Tampilan bangunan pertama kali yang terlihat adalah owning. Tampilan bangunan bersejarah tersebut sama sekali tidak terlihat karena tertutup oleh owning yang berada di depannya. Setelah identifikasi bangunan, ternyata bangunan tersebut mengalami banyak perubahan dan yang masih terlihat keasliannya adalah atap interior ruangan, pintu serta jendela. Beberapa perubahan yang terjadi adalah pembongkaran sekat antar barak yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan ruang sehingga ada pula yang mengalami penambahan sekat ruangan. Hal tersebut terlihat dari tembok tambahan yang masih terlihat di antara jendela bangunan. Untuk menambah bangunan di bagian selatan dari bangunan tersebut, diperlukan akses untuk menuju ke selatan hingga pada tahun 1990-an (Gambar 22 dan 23).
Gambar 22. Penjebolan salah satu barak untuk jalan tahun 1990-an.
Gambar 23. Fasade yang tertutupi owning. 16. Kantor Kepala SMPN 6 Perkembangan bangunan: - Bangunan ini didirikan pada tahun 1911, dan berfungsi sebagai kantor pengajar MULO. Kemudian ketika Jepang menduduki Negara Indonesia, bangunan tersebut berubah fungsi menjadi Kantor Daidancho Tentara PETA (Komandan Batalyon) yang akhirnya digunakan sebagai Kantor Kepala SMP 6 Kota Blitar. - Apabila dilihat tampilan bangunan berdasarkan perbandingan foto dahulu dan hasil survey primer, bangunan ini masih asli, utuh dan terawat hingga tahun 2007. Begitu juga dengan keadaan interior, masih asli dan tidak mengalami perubahan, hanya terdapat penyesuaian karena bangunan ini difungsikan sebagai Kantor Kepala SMPN 6. Untuk tampilan muka bangunan bagian utara sedikit terganggu akibat adanya pagar yang berada di depan bangunan ini. Pada bagian barat terlihat bekas penutupan teras bangunan yang terlihat dari adanya jendela di dalam ruangan. (Gambar 24).
222
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
Gambar 24. Perbandingan foto tahun 1910 dan 2007. 17. Ruang kelas SMPN 6 Perkembangan bangunan: - Bangunan ini dibangun pada tahun 1911. Hal tersebut dapat diketahui pada papan yang terpampang pada dinding bangunan. Bangunan ini mempunyai dua bagian, yaitu bagian utara yang dulu berfungsi sebagai kantor pengurus MULO, kemudian gudang senjata Tentara PETA, lalu berubah fungsi menjadi kantor administrasi dengan semua perombakannya. Bagian selatan digunakan sebagai ruang kelas SMPN 6 yang sebelumnya digunakan sebagai mess pelajar MULO serta barak Tentara PETA. Perlu diketahui bahwa bangunan ini mirip dengan bangunan yang berada pada SMPN 3. - Bagian yang mengalami banyak perubahan adalah bagian gudang senjata. Bagian yang seharusnya berupa lorong tersebut telah ditutup dengan tembok setelah dialihfungsikan menjadi bangunan fasilitas pendidikan. Lorong yang ditutup tersebut sudah tidak terlihat lagi keasliannya, hanya terlihat tembok mendatar yang menopang atap bangunan. Ruangan ini digunakan sebagai ruang komputer SMPN 6. selain itu, pada bagian barat tiang lorong juga terdapat tambahan ruang, yaitu ruang OSIS SMPN 6. - Bagian selatan yang berfungsi sebagi ruang kelas masih menunjukkan keaslian dan kemegahannya pada fasade bagian barat, sedangkan fasade bagian timur telah tertutup oleh adanya bangunan yang didirikan tepat menempel dengan bangunan ini. Bangunan yang menempel tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan kelas SMPN 6. Interior bangunan bersejarah tersebut masih asli, baik pada bagian atap maupun dindingnya, hanya saja terdapat kerusakan pada atap baik di dalam maupun di luar ruangan. Selain itu, juga terjadi perombakan barak, yaitu penjebolan sekat anatar dua barak agar kelas menjadi lebih luas (Gambar 25).
Gambar 25. Keadaan bangunan. 18. Gudang SMPN 6 bagian selatan Perkembangan bangunan: - Bangunan ini didirikan pada tahun 1910. Fungsi bangunan ketika pertama kali digunakan adalah sebagai mess pelajar MULO. Kemudian ketika Jepang menduduki Negara Indonesia, bangunan tersebut berubah fungsi menjadi barakTentara PETA.
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
223
- Tampilan bangunan terlihat kumuh, sebab sebagian besar atap sudah rapuh dan kurang terawat. Beberapa perubahan yang terjadi pada bangunan ini adalah perombakan bangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan ruangan, sehingga terjadi penjebolan dinding maupun penambahn sekat dinding antar barak. Selain itu, juga terjadi perombakan pada interior ruangan, yaitu pengalihfungsian ruangan dari gudang menjadi kamar mandi. Namun, pengalihfungsian tersebut tidak merusak fasade depan bangunan. Bangunan ini seharusnya menjadi satu dengan barak yang ada di SMPN 5, namun karena berbeda pengeola maka batas antar sekolah tersebut dilakukan dengan menutup salah satu bagian lorong (Gambar 26).
Gambar 26. Kerusakan atap dan penutupan lorong. 19. Aula SMPN 6 Perkembangan bangunan: - Bangunan yang dibangun pada tahun 1942 untuk memenuhi kebutuhan kamar sakit bagi Markas Tentara PETA ini terlihat masih sangat kokoh. Meskipun dari luar terlihat kecil dan catnya yang sudah lusuh, tetapi konstruksi kayu di dalamnya masih sangat kuat untuk menopang bangunan tersebut. - Bangunan tersebut hanya mengalami kerusakan pada bagian atap bangunan serta beberapa pintu. Saat ini bangunan tersebut digunakan untuk aula SMPN 6, sehingga intensitas penggunaannya tidak terlalu padat (Gambar 27).
Gambar 27. Interior bangunan dan kerusakan pada atap. 20. Bangunan tidak terpakai SMKN 3 Perkembangan bangunan: - Bangunan bersejarah ini mengalami beberapa masa transisi, mulai tahun 1911 digunakan sebagai mess pengurus pelajar MULO. Kemudian pada kependudukan Jepang digunakan sebagi dapur untuk Markas Tentara PETA. Dan terakhir digunakna sebaga gudang oleh SMPN 6. - Atap, dinding, pintu, jendela terlihat masih terawat dengan baik. Namun ketika melihat fasade bagian timur terlihat tidak terawat, hal tersebut terlihat dari pengelupasan cat dinding. Selain itu, atap pada bagian barat yang berada di depan dinding sudah mengalami kerusakan karena hanya terbuat dari anyaman bambu. Keadaan interior ruangan masih asli, namun terdapat perombakan pada bagian selatan yaitu pengalihfungsian menjadi kamar mandi (Gambar 28).
224
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
Gambar 28. Fasade; perombakan interior serta keadaan fasade bagian timur. 21. Kamar Mandi SMPN 6 Perkembangan bangunan: - Bangunan ini dibangun pada tahun 1911. Bangunan tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan fungsi, yaitu tetap digunakan sebagai kamar mandi. Fasade bangunan ini terlihat seperti bangunan baru karena terdapat penambahan berupa keramik pada bagian dinding kamar mandi. Keadaan interior telah disesuaikan dengan model kamar mandi saat ini. sehingga bangunan ini hanya menyisakan dinding serta pintu yang masih asli. Dinding pada bagian timur bangunan ini terlihat tidak terawat karena mengelupasnya cat dinding (Gambar 29).
Gambar 31. Keadaan bangunan.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan yang dapat diambil sebagai hasil akhir dari pembahasan studi ini adalah sebagai berikut o Karakteristik Kawasan Markas Tentara PETA • Penggunaan lahan kawasan tersebut ketika tahun 2007 adalah kawasan pendidikan • Pada kawasan studi terdapat 71 bangunan yang terbagi atas 21 bangunan bersejarah (terkait dengan Markas Tentara PETA dan berumur lebih dari 50 tahun) dan 50 bangunan lainnya (usia bangunan kurang dari 50 tahun) yang dibangun dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pendidikan. o Perkembangan Kawasan Markas Tentara PETA • Perkembangan fungsi guna lahan di Kawasan Markas Tentara PETA mengalami perubahan fungsi tiga kali. Pertama, tahun 1910-1942 digunakan sebagai kawasan pendidikan MULO, kemudian tahun 1942-1945 sebagai Kawasan Markas Tentara PETA dan tahun 1945-2007 sebagai kawasan pendidikan lagi, hanya beerubah instansi yang mengelolanya. Ketika tahun 1945-1965, kawasan digunakan untuk kawasan Sekolah Guru, kemudian tahun 1965-1979 beribah instansi pengelola yaitu Sekolah Teknik, SMP dan SKKP. Dan terakhir tahun 1979-2007 digunakan sebagai kawasan SMPN 3, SMPN 5, SMPN 6 dan SMKN 3. • Secara umum bangunan bersejarah yang berada pada kawasan masih menunjukkan karakter fasade aslinya, meskipun mengalami penambahan atau
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008
225
penyesuaian dengan kondisi sebagai fasilitas pendidikan. Dari 21 bangunan bersejarah hanya terdapat satu bangunan bersejarah yang mengalami perubahan total pada tampilan muka bangunan, yaitu bangunan bekas barak yang berada pada SMPN 3 (bagian selatan) Beberapa saran yang dapat diberikan terkait dengan hasil studi adalah sebagai berikut : 1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi kawasan sekitar Markas Tentara PETA sehingga terwujud kawasan bersejarah yang dapat dijadikan kawasan pariwisata. 2. Penelitian tentang aspek politik, ekonomi dan sosial budaya yang terkait langsung dengan kawasan perlu dilakukan lebih lanjut. 3. Pentingnya penelitian lebih lanjut mengenai perubahan dan kerusakan bangunanbangunan bersejarah, sehingga penentuan tindakan pelestarian tidak salah sasaran.
Daftar Pustaka Anonim. (2005). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Cagar Budaya. Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan departemen Pendidikan dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Kota Blitar. 2007. Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Sejarah Kawasan Monumen PETA. Blitar Badan Perencanaan Pembangunan Kota Blitar. 2007. Rencana Umum Tata Ruang Kota Blitar. Blitar Budihardjo. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jakarta: Penerbit Djambatan Kwanda. 2004. Desain Bangunan Baru Pada Kawasan Pelestarian di Surabaya”, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. XII (2). 102:109 Nurmala. 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Tua/Bersejarah di Kawasan PecinanPasar Baru Bandung, Tesis Tidak Diterbitkan. Bandung: Institut Teknologi Bandung Suprijanto. 1996. Fenomenologi Melalui Sinkronik–Diakronik Suatu Alternatif Pendekatan Untuk Menjelajah Esensi Arsitektur Nusantara. SIMPOSIUM NASIONAL dalam Rangka Dies Natalis 34 Arsitektur – FTSP. Surabaya: ITS. http://www.kotablitar.go.id/wisata, diakses tanggal 25September 2007
Copyright © 2000 by Antariksa
226
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008