PELANGGARAN ATAS HAK PENDIDIKAN Oleh: Eko Prasetyo1 Sebuah negara boleh saja berhemat pengeluaran Tapi jangan berhemat kalau itu menyangkut pendidikan (Lenin) Kita tak ingin menjadi negara yang menindas hak hidup buruh, anak dan melukai martabat manusia. Kita tak mau jadi negara yang hanya berpikir untuk menaikkan pendapatan, kita musti jadi negara yang memprioritaskan kehidupan rakyat (Hugo Chavez)
Bagian dari tanggung jawab negara yang terpenting adalah pendidikan. Dalam istilah Lenin, kalau mau perubahan mulailah dari pendidikan. Castro dan Guevara mendirikan pendidikan gratis untuk menuntaskan revolusi Kuba2. Iran sejak di bawah Khomeini memulai pendidikan gratis untuk semua sekolah milik pemerintah. Dimanapun negara, tampaknya soal pendidikan jadi urusan paling vital. Tak terkecuali di Indonesia. Sejak Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, Muhammadyah membuat sekolah: pendidikan telah jadi bagian perjuangan pembebasan melawan kolonial. Bagi negara membuat pendidikan yang bisa dijangkau adalah salah satu mandatnya. Karena negara punya tugas wajib untuk mencerdaskan rakyatnya. Untuk menunaikan tugas negara itulah maka semua sistem negara dikerahkan untuk ‘menyelenggarakan’ pendidikan. Diantara yang terpenting adalah kebijakan. Sejumlah produk perundangundangan menjadi pengantar bagi dunia pendidikan. Amanat 20% tentang alokasi budget memberi petunjuk tertulis akan ‘komitmen’ negara. Begitu juga 1 Kepala Divisi Program Pusham UII dan penulis berbagai buku pendidikan: Orang Miskin Dilarang Sekolah (Resist 2004) Pengumuman tak Ada Sekolah Murah (Resist 2005) Guru: Mendidik itu Melawan (Resist 2006) 2 Castro adalah seorang Presiden yang tak mau dipanggil dengan sebutan ‘yang terhormat-beliauanda’ sebaliknya ia lebih suka dipanggil dengan ‘kamu, dia, kawan Castro’. Sebagai Presiden seumur hidup ia membuat berbagai proyek pembaharuan sosial yang fantastis: menggratiskan pendidikan sehingga Kuba terkenal sebagai negara yang angka buta hurufnya terendah di seluruh dunia. Tingkat melek huruf Kuba mencapai 96% dan ini prestasi yang bisa mengalahkan negaranegara maju. Kesehatan juga gratis sehingga wabah dan segala jenis penyakit rendah (macam TBC, panu, kadas dan kurap) hampir tak ada. Imunisasi di Kuba sampai siswa menginjak usia SLTP. Castro mengembangkan prinsip pelayanan pada filsafat ‘mencintai kehidupan’ sehingga tak ada arus komersialisasi yang liberal berjalan di Kuba. Lih Eko Prasetyo, Inilah Presiden Radikal, Resist Book, 2006
1
pemberlakuan UN yang menambang kritik dan pujian. Melalui perantaraan fungsi legislasi, negara menyusun dasar-dasar pendidikan. Peran legislasi inilah yang kerapkali memunculkan masalah. Terlebih sekarang ini negara tidak berperan utama dan terdepan dalam pendidikan. Pada UU Pendidikan Nasional pendidikan adalah tanggung jawab ‘negara dan masyarakat’. Istilah masyarakat ini sedikit kabur. Tafsir yang kemudian berkembang menjadi ‘kepentingan ekonomi pendidikan’. Ada yang bilang, masyarakat adalah orang tua peserta didik. Ada yang katakan mereka itu kaum swasta. Jika tafsir masyarakat itu adalah kelompok bisnis tentu pendidikan akan dikenai hukum pasar. Walau ini mencemaskan. Tapi kenyataanya dunia pendidikan, banyak dikritik mengalami, ‘cedera sosial’. Keadaan yang membuat fungsi sosial pendidikan kemudian roboh. Padahal pendidikan adalah kewajiban negara. Hak untuk memperoleh pendidikan adalah hak dasar semua warga. Lebih-lebih di negeri yang angka buta hurufnya menakjubkan. Terutama negeri yang masih dipenuhi wabah. Pendidikan adalah tangga untuk mobilitas kelas. Bersama dengan pendidikan seseorang merubah nasibnya. Pendidikan juga sebaiknya melatih kemampuan solidaritas dan kepekaan. Karena dampak sosial yang besar itulah, pendidikan memiliki peran penting. Hanya tak selamanya pendidikan diurus secara baik. Berbagai kasus suram yang menimpa pendidikan memberi petunjuk negatif. Tingginya angka putus sekolah membuat pendidikan jauh dari akses mereka yang tak mampu. Genangan masalah yang membanjir itulah membuat pendidikan jadi urusan yang tak sederhana. Pelanggaran atas hak-hak pendidikan membawa pengaruh atas pemenuhan hak-hak yang lain. Pelanggaran atas hak pendidikan akan membawa akibat panjang. Dengan tingkat buta huruf yang tinggi maka kualitas sumber daya manusia tentu rendah. Dengan banyaknya bangunan sekolah yang rusak pasti membawa dampak pada kualitas pembelajaran. Juga alokasi budget yang rendah akan membuat beban pembiayaan pendidikan terus-terusan ditanggung oleh masyarakat. Negara yang ditunjuk sebagai pengemban tugas pencerdasan mulai tak mampu berperan. Kini negara hanya memasrahkan pendidikan pada arena pasar sosial yang buas. Pasar identik dengan wilayah dimana hukum jual belilah yang berlaku. Melalui perantaraan pasar maka tangan-tangan sosial negara digantikan oleh ‘daya beli dan kemampuan menjual’. Negara diam-diam dikarantina oleh kepentingan ekonomi yang berburu laba. Pendidikan tak lebih berfungsi sebagai alat produksi bahkan komoditi yang memuaskan kepentingan konsumen, bukan rakyat.
2
Tanggung Jawab yang Ter-abaikan! Jika penunaian tanggung jawab itu berkait dengan alokasi anggaran maka negeri ini berada di posisi buncit. Dalam soal alokasi dana kita masih jauh ketinggalan. Sebagai perbandingan Malaysia mengalokasikan biaya pendidikan sebesar 5,2% dari GNP, Singapura 3,0%, Thailand 4,1% dan Australia mencapai 5,6%. Sedang Indonesia hanya 1,4%. Angka yang sangat keterlaluan. Lebih-lebih kalau diukur dari rata-rata pengeluaran negara: untuk negara-negara belum maju mencapai 3,5%, negara berkembang 3,8% dan negara maju mencapai 5,1%. Dengan alokasi dana pendidikan yang mencapai 1,4% dari GNP yang bernilai 225 milliar dollar Indonesia hanya mampu membiayai sekitar 45 juta; sementara Jepang yang mengalokasikan 3,6% dari GNP yang bernilai sekitar 4.815 dapat untuk membantu 25 juta anak. Singkatnya tiap anak Jepang rata-rata mendapat biaya pendidikan sebesar 99 atau 100 kali lipat daripada anak Indonesia3. Konsekuensinya budget pendidikan kita sangat kecil. Untuk tahun 2006 hanya 8,6% dari ‘angka wajib’ 20%. Persentase sebesar ini yang membuat sektor pendidikan hanya mendapat jatah sekitar Rp 36 triliun dari total anggaran yang mustinya dialokasikan sebesar Rp 425 trilliun. Dana segitu masih dipotong pula oleh Dana Bantuan Operasional Sekolah yang besarnya Rp 12 triliun. Sialnya BOS ini bawa masalah4. Sejumlah riset mengidentifikasi problem seputar BOS, pertama pengawasan atas penggunaan dana BOS yang minim dan keberadaan komite sekolah sering dipakai untuk bersekongkol menyelewengkan penggunaan dana BOS, kedua pemberian dana BOS tambah tidak membuat gratis melainkan menambah biaya sebab alokasi APBD untuk sekolah sering dihilangkan karena sudah ada BOS, ketiga penggunaan dana BOS tidak sesuai dengan APBS (Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) dan malahan sebagian kembali ke pusat karena adanya pengenaan pajak pembelian barang. Dana pendidikan yang rendah dan budaya korupsi membawa rumit persoalan pendidikan. Dengan dukungan pendanaan rendah maka yang menjadi korban pertama adalah kualitas infrastruktur sekolah. Sejumlah gedung sekolah, terutama SD mengalami kondisi fisik yang memprihatinkan. Tabel di bawah ini menunjukkan bagaimana dari tahun ke tahun jumlah bangunan fisik yang baik, khususnya SD mengalami penurunan.
Lih Ki Supriyoko, Pembiayaan Pendidikan di Indonesia, dalam Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas, 2004 4 Sebetulnya sudah ada skenario menuju pemenuhan anggaran 20% tersebut, dimana alokasi 20% akan terwujud pada tahun 2009. Asumsinya tahun 2004, alokasi Rp 16,8 triliun (atau 6,6% dari APBN); tahun 2005 Rp 24,9 triliun (9,3%); tahun 2006 Rp 33,8 triliun (12,0%) tahun 2007 Rp 43,4 triliun (14,7%); tahun 2008 Rp 54,0 triliun (17,4%) dan tahun 2009 Rp 65,5 triliun (20,1%) giliran mendapat kesempatan merancang APBN 2006, pemerintah SBY-JK malah menurunkan persentase (dari 12 menjadi 8-10 persen) padahal dalam RUU APBN kewenangan dominant ada pada pemerintah. Lih Kompas 29 Desember 2005 3
3
Perkembangan Persentase Ruang Kelas Baik 1998/1999 – 2002/2003 Jenjang Pendidikan
TK SD SLTP SLTA
Persentase Ruang Kelas Baik 1998/1999 1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003 83,40 81,69 81,86 81,38 82,67 79,00 39,42 41,04 41,62 41,79 92,79 85,99 85,07 87,50 82,29 93,42 93,46 93,32 93,13 93,07
Sumber Data: Dikdasmen, 2004 Dibanding dengan daya tahan bangunan sekolah kolonial, bangunan pendidikan sekarang jauh tak bermutu. Itu sebabnya dana bantuan banyak digunakan untuk pembangunan fisik sekolah. Alokasi dana untuk pembangunan fisik yang besar, menurut Darmaningtyas punya dua makna: pertama memang memberi petunjuk buruknya bangunan sekolah dasar dan kedua sebagai cara untuk membagi proyek dimana kontraktornya kebanyakan kerabat pegawai pendidikan5. Proyek inilah yang membuat pengelolaan pendidikan rawan korupsi. Hampir dalam setiap jaring pendidikan gejala pemborosan dana terjadi. Pengadaan buku misalnya, telah menyeret banyak aparat dinas pendidikan ke meja peradilan. Begitu pula dengan pelaksanaan Ujian Nasional yang dikeluhkan banyak orang tua karena memakan biaya tidak sedikit. Tabel di bawah ini merupakan rekaman biaya besar yang dihabiskan karena proyek Ujian Nasional. Apalagi ‘tanda kelulusan’ sangat menentukan nilai jual sebuah sekolah, sehingga tiap sekolah berlomba-lomba untuk melatih dan meningkatkan ketrampilan siswanya. Dan untuk ini semua tentu butuh-lagi-lagi-biaya. PERINCIAN PERUNTUKAN BIAYA UAN Biaya bimbel di luar sekolah Rp 2 juta/anak Biaya bimbel di sekolah Rp 500 ribu/anak Biaya tryout sekolah Rp 10 ribu/anak Biaya pelaksanaan ujian Rp 200 ribu/anak Biaya buku dan soal ujian Rp 100 ribu/anak Biaya perpisahan kelas Rp 300 ribu/anak Biaya perpisahan Sekolah Rp 500 ribu/anak Total Rp 3.610.000/anak Sumber: Audita (Aliansi Orang Tua Peduli Transparansi Pendidikan) Lih Darmaningtyas, Sarana Pendidikan, Potret Buram Wajah Pendidikan, dalam Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas, 2004 5
4
Dengan dalih keterbatasan anggaran itulah banyak sekolah kemudian memeras siswa. Beban pungutan ini berjalan dengan buas karena memang tak ada aturan yang mengendalikan wewenang sekolah menarik biaya. Dalih yang selalu diajukan adalah demi pencerdasan dan peningkatan kemampuan siswa. Bahkan di beberapa sekolah penarikan biaya ini tanpa melalui persetujuan orang tua maupun kalangan yang terkait lebih dulu. Di beberapa lembaga pendidikan tak standar baku berapa besar biaya normal dapat diterapkan. Akibatnya pendidikan menjadi lembaga yang mahal. Sebagai contoh tabel di bawah ini. Ini adalah jenisjenis pembiayaan yang dipungut oleh lembaga pendidikan tiap tahun ajaran baru, yang tentunya sangat memberatkan pada kalangan yang tak mampu: Sumber Pungutan Orang Tua Siswa
Sekolah
Bentuk Pungutan -Biaya formulir -Biaya OSIS -Pendaftaran -Biaya ekstra kurikuler -Biaya gedung -Biaya hari besar -Biaya Seragam -Biaya ujian tahunan -Biaya komputer -Usaha Kesehatan Sekolah -Biaya Keagamaan -Dana Taktis Sekolah -Perawatan Sekolah -Pembelian Buku -Biaya Pendalaman Materi -Perpustakaan -Biaya Operasi Komite Sekolah Iuran PGRI Iuran Musyawarah Kepala Sekolah (MKS) Transportasi rapat MKS Iuran Masyarakat kepala tata usaha Korpri Pajak Ganda Pungutan Subsidi Beras
Sumber: Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah (Resist 2004)
Melihat tabel diatas menunjukkan betapa besarnya beban masyarakat dalam menanggung biaya pendidikan. Hal ini sesuai dengan laporan Balitbang Depdiknas yang menyatakan, bahwa hingga kini masyarakat masih menanggung 53,74-73,87 persen total biaya pendidikan, termasuk penyelenggaraan sekolah swasta. Sementara pemerintah hanya menanggung biaya pendidikan sekitar 26,13 sampai 42,26% dari keseluruhan biaya pendidikan. Ini artinya, ikhtiar pemerintah untuk membuat program wajib belajar jadi sia-sia. Apalagi gagasan wajib belajar yang ditetapkan pemerintah sangat berbeda dengan wajib belajar yang secara normal diterapkan di beberapa negara maju. Perbedaanya menyangkut tentang kemampuan dan kewenangan negara untuk melakukan pemaksaan. Sebuah
5
perbedaan yang membuat kita percaya akan gagalnya negara menyekolahkan rakyatnya. Program Wajib Belajar Indonesia Tidak bersifat paksaan melainkan persuasif Tidak ada sanksi hukum dan yang lebih menonjol aspek moral dimana orang tua maupun peserta didik terpanggil untuk mengikuti pendidikan dasar Tidak diatur dengan undang-undang tersendiri Keberhasilan diukur dengan angka partisipasi dalam pendidikan
Program Wajib Belajar Negara Maju Ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah Ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah Diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar Tolak ukur keberhasilan wajib belajar adalah tiadanya orang tua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah
Sumber: Utomo Dananjaya, Sekolah Gratis, Paramadina, 2005
Korban-Korban Pendidikan Kebijakan wajib belajar yang longgar membuat angka buta huruf masih begitu tinggi. Ini tampak dari, satu tahun masa pemerintahan SBY penurunan angka buta huruf hanya mencapai angka 1,2 % atau dari 10,20% menjadi 9%. Angka buta huruf terkosentrasi di 8 provinsi. Tiga terbesar di Jawa Timur (29%) Jawa Tengah (21%) Jawa Barat (10,6%) selebihnya Banten, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Irian Jaya Barat dan Papua. Keadaan ini sangat memalukan jika mengingat usia kemerdekaan yang kita jalani. Kondisi menyedihkan jika membaca kembali apa yang tertuang dalam UU Pendidikan Nasional mengenai wajib belajar6. Dengan rekor buta huruf yang tinggi tentu konsekuensi produktivitas dan kemampuan daya saing sumber daya manusia kita jauh tertinggal. Berkaca dengan negara-negara lain tampak bagaimana tingginya persentase buta huruf yang ada di Indonesia. Di bawah ini terlihat bagaimana tidak kompetitifnya kita dengan negara-negara lain dalam prosentase melek huruf.
Pasal 5 (1) UU Sisdiknas menyebutkan, setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Setiap warga Negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 ayat 1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberi layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 ayat 1) serta Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai lima belas tahun (Pasal 11 ayat 2) 6
6
Persentase Melek Uruf Penduduk Beberapa negara Asean di atas 15 Tahun 92,5 79,5
87,9
Indonesia
1990
88,7 80,7
Malaysia
93,9
88,8
Singapura
92,6
85,5 91,7
Brunei
Filipina
2000 - 2004
Sumber: Litbang Kompas
DIDIE SW
Kalau angka melek huruf rendah tentu partisipasi pendidikan juga kecil. Kenyataan yang tak sesuai dengan harapan para pendiri bangsa ini. Program wajib belajar yang tidak tuntas ini karena rendahnya komitmen pemerintah. Seakanakan urusan pendidikan bukan bagian dari tanggung-jawabnya. Terlebih ketika dunia international melihat pendidikan memiliki potensi pasar strategis. Bukan pemerintah mulai serius merumuskan program wajib belajar, tetapi sibuk membikin sekolah unggulan. Sekolah yang bisa dan mampu kompetitif di arena global. Bangunan proyek sekolah unggulan ini kemudian dipermulus oleh gagasan untuk memberi sangkar Badan Hukum untuk semua jenjang lembaga pendidikan. Walau masih kontroversi tapi RUU BHP membuat kecemasan baru tentang komersialisasi. Dengan penetapan status badan hukum yang terkena dampak pertama adalah pembiayaan. Tapi pendidikan tak hanya soal biaya, melainkan penerapan kurikulum yang terus-terusan bermasalah. Ada baiknya kita menengok keberadaan kurikulum. Tak bisa disangkal kurikulum yang diterapkan selama ini telah memenjarakan kemampuan potensial banyak siswa. Disana-sini muncul ungkapan, ganti menteri ganti kurikulum. Dan pergantian selalu memakan ongkos yang tak sedikit. Selama kurun kemerdekaan, paling tidak sudah delapan kurikulum diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kurikulum 1947, kurikulum 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1974, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang mulai diuji-cobakan tahun 2004. Tahun 1999 sempat pula keluar suplemen penyempurnaan kurikulum 1994. Dan kini berorientasi pada KTSP dimana guru lebih diberi banyak kebebasan untuk mengembangkan materi.
7
Pergantian yang tidak berdasar atas kebutuhan dan lebih mengikuti kepentingan pragmatis menyebabkan pendidikan kehilangan essensinya. Kurikulum kemudian menambang banyak kritik: bias gender7, Jawa sentris, otoriter dan pengelabuan masa lalu. Kekacauan kurikulum ini yang menyulut beragam kontroversi. Dari sisi jam pembelajaran saja kita makin tak menghargai hak anak. Indonesia sendiri, di mata banyak kalangan, memiliki jam sekolah terpanjang. Dalam setahun jam pelajaran anak SD hingga SMA di Indonesia ternyata lebih dari 1.000 jam per tahun. Angka ini terlama di dunia padahal, jumlah jam sekolah di Negara-negara Asia Pasifik (yang bukan termasuk Negara maju) hanya 900-960 jam per tahun8. Jam pelajaran yang panjang ditambah dengan beban buku yang banyak. Rata-rata tiap murid SD kelas 3 sampai kelas 6 di Indonesia dalam setiap kuartal mempelajari sejumlah buku yang bila ditimbang mencapai 43 kilogram. Padahal rata-rata berat seorang murid SD tak mencapai segitu! Keadaan ini membawa pesan yang serius, betapa kita ingin memacu kemampuan anak melebihi potensinya. Situasi yang kemudian membawa lembaga pendidikan menjadi sarang dari serangkaian aktivitas kekerasan dan berimbas pada praktek pelanggaran HAM. Kekacauan kurikulum membuat pendidikan tak mampu menghargai anak. Mereka yang bodoh sering tidak dihargai. Lebih-lebih menjamurnya kelas-kelas akselerasi membuat lembaga pendidikan tidak mengajarkan kebersamaan. Mereka yang pintar berada di kelas khusus. Istilahnya yang punya bakat cerdas perlu dibedakan dengan yang bodoh. Tindakan yang sama dilakukan untuk mereka yang miskin. Bagi yang tak mampu membayar SPP sekolah kadang menegur anaknya, bukan orang tuanya. Kejadian yang tertera di bawah ini membenarkan fakta diatas. Dimana pendidikan telah mengabaikan ketidak-mampuan ekonomi siswa. Mereka yang tidak mampu bukan dijamin tapi dikeluarkan dari lingkunganya. Dampak paling tragis adalah bunuh diri. Kurikulum yang tak memberi anak proses pembelajaran yang berbasis harapan akan memudahkan anak frustasi. Di bawah ini hanya kasus-kasus yang diberitakan di media. Data ini adalah sinyal betapa buruknya penanganan pendidikan disini.
Logdson (1985) Diarsi (1990) dan Rostiawati (1999) melakukan kajian pada buku PMP dan Bahasa Indonesia yang sangat bias gender. Logsdon mengemukakan peran jender perempuan yang ditampilkan dalam buku pelajaran itu mengadopsi model peran perempuan dalam buku buku pelajaran dari Negara Barat yang mengacu pada prinsip ekonomi dan pembangunan yang tak mencerminkan realitas perempuan yang sesungguhnya. Sedangkan Rostiawati dimana sosok lakilaki lebih banyak dijumpai ketimbang perempuan dalam buku pelajaran PPKn maupun pelajaran Bahasa Indonesia. 8 Lih Eko Prasetyo, Guru Mendidik itu Melawan, Resist Book, 2005 7
8
No
Nama Anak
Usia
Pendidikan
Daerah
Alasan bunuh diri
Tindakan
Keterangan
1
Bunyamin
17
Kelas II SMK
Tegal
Gantung diri
Meninggal
2
Eko Haryanto
15
Kelas VI SD
Tegal
Gantung diri
Selamat
3
Supriyoko
12
Kelas VI MI
Tegal
Malu menunggak SPP Menjelang ujian akhir menunggak SPP selama 10 bulan Tidak diberi uang jajan
Selamat
4
Jarwanto
16
Kelas III SMP
Wonogiri
Makan mie instan dicampur racun tikus Gantung diri
5
Fiti Kusrini
14
Kelas II SMP
Bekasi
6
Heryant0
12
Kelas VI SD
Garut
7
Mashudi
19
Kelas III SMA
Kendal
8
Nurul
16
Kelas II SMK
Bekasi
Malu menunggak SPP Malu menunggak SPP Tak punya duit bayar kegiatan ekstra Tak lulus Ujian Akhir Nasional Tak naik kelas
Meninggal
Gantung diri
Meninggal
Gantung diri
Selamat
Bunuh Diri memotong pembuluh arteri pada tangan Menenggak racun anti serangga
Selamat
Selamat
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Kejadian diatas adalah bukti dari gagalnya sekolah. Pendidikan yang seharusnya melindungi hak-hak anak malah jadi tempat penganiayaan. Sekolah yang sebaiknya merawat etika dan akal budi malah jadi tempat pembodohan. Ini belum terhitung berapa banyak kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Kekerasan, frustasi dan bunuh diri menjadi perangai yang umum dilakukan oleh para pelajar. Mereka seakan dipacu untuk menjadi yang terbaik dengan kepungan materi pembelajaran yang padat dan tidak masuk akal. Pembelajaran yang membuat miskin kreativitas dan mengabaikan empati akan membawa siswa terdidik menjadi egois. Pendidikan yang tidak menghargai perbedaan dan kurang melatih kepekaan sosial menjadi tidak manusiawi dan keji. Keadaan ini akan membuat pendidikan terjerembab dalam siklus kekerasan. Negara, ringkasnya, telah mengabaikan hak-hak dasar pendidikan. Kebijakan negara yang tidak mengenakan persepektif HAM diawali dari fokus kebijakan yang gagal. Fokus kurikulum yang tidak emansipatoris, kebijakan rekruitmen yang tidak berbasis pemerataan dan kurang dihargainya profesi guru. Cacat kebijakan
9
inilah yang kemudian membawa kegagalan pendidikan lebih serius. Upaya untuk mengatasi semua masalah ini tak bisa diletakkan dalam perspektif regulasi saja melainkan memerlukan campur tangan yang berdasar atas pengukuhan peran negara. Apa yang tertera di bawah ini memberikan gambaran utuh mengenai kegagalan pendidikan dalam semua lini pengelolaan.
Kebijakan
Kegagalan Pemerintah Dalam Dunia Pendidikan Problem
Dampak
Kurikulum
-Pergantian yang berulang-ulang tanpa pernah dievaluasi9 -Perubahan yang tidak memahami kebutuhan dan kemampuan peserta didik -Perubahan yang selalu saja membawa resiko peningkatan pembiayaan dan beban itu ditanggung oleh orang tua peserta didik
-Peserta didik terbebani baik karena perubahan yang terlalu cepat maupun konsekuensi biaya yang ditanggung -Orang tua menjadi kesulitan untuk ikut terlibat dalam proses pembelajaran karena perubahan yang drastis dan cepat -Pendidikan menjadi sasaran kelompok bisnis yang memanfaatkan perubahan kurikulum
Pengelolaan Guru
-Penempatan guru yang tidak merata sehingga di sejumlah daerah muncul problem kelangkaan dan kualitas -Program peningkatan kualitas pengajar selalu memerlukan penambahan biaya dan
-Diskriminasi perlakuan baik yang bersangkutpaut dengan guru pedalaman dengan guru di perkotaan, guru swasta dengan negeri, khususnya dalam bidang kesejahteraan maupun pelatihan
9 Paling tidak sudah tujuh kurikulum diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kurikulum 1947, kurikulum 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1974, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang mulai diuji-cobakan tahun 2004. Tahun 1999 sempat pula keluar suplemen penyempurnaan kurikulum 1994. Kompas 30 Desember 2004
10
Managemen Pendidikan
memberatkan bagi sejumlah guru kawasan terpencil -Kurang melibatkan guru dalam perumusan kebijakan pendidikan bahkan dalam pengelolaan guru sekalipun -Diskriminasi dan status yang berbeda-beda, seperti guru negeri, guru swasta, guru tidak tetap, guru honorer dll -Sedikit sekali kebebasan yang diberikan pada guru, sehingga lebih mirip sebagai pegawai pemerintah ketimbang pendidik yang independen
-Guru jadi sasaran kebijakan tanpa pernah dilibatkan dalam berbagai perumusan kebijakan yang membawa dampak langsung kemudian pada pendidikan. -Guru kemudian dikarantina baik oleh kurikulum maupun buku paket yang didesain untuk kepentingan di luar kebutuhan guru -Guru bukan profesi pendidik tapi kadang dipaksa untuk berperan sebagai pedagang sejumlah buku yang diedarkan oleh pihak penerbit -Kreativitas guru yang terbatas dimana indikasi yang paling menyolok adalah sedikitnya budaya menulis di kalangan guru
-Prinsip pengalokasian uang dan perencanaan sangat tergantung pada kebijakan sekolah setempat -Prinsip keuangan yang tidak transparan dan akuntabel bahkan sangat sedikit sekolah yang
-Potensi pembiayaan yang besar dan pemborosan sering terjadi dimana-mana. Mulai muncul berbagai pungutan yang 10 memberatkan siswa -Peluang terbukanya aktivitas korupsi yang
10 Salah satu contoh adalah ujian nasional dimana anggaran pemerintah yang tidak mencukupi membuat sekolah kemudian bertindah untuk mencari anggaran sendiri. Ada berbagai jenis pungutan pada ujian nasional, seperti 1. Sumbangan uang perpisahan siswa 2. sumbangan pembinaan pendidikan bagi siswa kelas III (SMP/SMA) 3. Anggaran dan pendapatan belanja sekolah 4 Dana gotong royong
11
melaksanakan fungsi audit -Pengalokasian biaya pendidikan yang porsinya lebih besar ke pembelian sejumlah barang atau pendirian bangunan dan tidak pada kebutuhan-kebutuhan strategis pendidikan (seperti buku atau peningkatan kesejahteraan guru) -Mekanisme kemitraan lembaga pendidikan dengan pihak luar tidak melalui mekanisme tender yang melibatkan semua komponen
membuat penyelenggaraan pendidikan kemudian mengalami infesiensi dan salah kelola -Pendidikan menjadi lembaga megah dan mewah tapi tanpa penguatan sumber daya manusia yang berarti -Lembaga pendidikan menjadi sasaran eksploitasi, penindasan dan berbagai praktek curang perdagangan yang dijalankan oleh banyak pelaku bisnis pendidikan -Pendidikan bukan melayani kepentingan peserta didik tetapi memberi pelayanan pada pelaku bisnis atau politik pendidikan
Masyarakat memang tak pernah diam melihat persoalan pendidikan. Inisiatif perubahan sudah dilakukan oleh banyak kalangan. Hak semua warga untuk mendapat pendidikan diwujudkan melalui ide sekolah gratis. Di beberapa tempat kini kebijakan mengenai itu mulai bermunculan. Inisiatif beberapa orang atau kelompok tentang sekolah murah juga mulai menjamur. Tentu gagasan ini sebaiknya mendapat dukungan. Pemerintah juga diharapkan menempuh berbagai cara untuk terus memperluas dan mempermudah akses orang miskin untuk bisa sekolah. Memperluas dengan lebih banyak dibangun sekolah bermutu di daerahdaerah terpencil. Bukan tambah mengganti lahan sekolah untuk dijadikan tempat bisnis. Tidak malah berusaha menggabungkan sekolah yang tak bisa meraih siswa. Depdiknas sebaiknya memberikan pendampingan dan memfasilitasi kebutuhan sekolah di daerah-daerah terpencil. Mempermudah dengan membuat layanan yang tidak berbelit-belit dan memberi aturan standar pembiayaan. Aturan yang membuat sekolah bisa terkontrol dalam penarikan biaya. Di Yogyakarta, sejumlah pemerhati pendidikan bahkan membuat semacam panduan untuk orang tua
12
peserta didik ketika berhadapan dengan sekolah. Bekal yang akan membuat orang tua tidak terlampau ‘ditekan’ pembiayaan karena awam informasi. Pendidikan pada dasarnya adalah hak dasar semua warga. Jika pemerintah memang tak mampu membuat kurikulum yang baik, setidaknya mau melakukan kebijakan yang membuat semua anak bersekolah. Gagasan tentang pajak pendidikan yang disandarkan pada perusahaan atau sekolah International sangatlah berarti. Kebutuhan pendanaanya bisa disandang dari sana. Juga pemerintah wajib dituntut jika melakukan pengabaian atas hak-hak pendidikan. Misalnya kemenangan beberapa kalangan atas alokasi budget 20%. Putusan MK yang menjatuhkan kesalahan pada pemerintah memberi sugesti yang kuat akan pentingnya advokasi. Tak hanya itu. Gerakan membela nasib dunia pendidikan juga dilakukan oleh para guru. Forum Guru Independen adalah salah satu organisasi guru yang cukup progresif. Jaringan antar gerakan yang melihat pendidikan merupakan salah satu problem dasar, perlu diperkuat dengan melibatkan dan mengaktifkan masyarakat sebagai bagian dari korban. Karena dengan tekanan publik yang besar, pemerintah semustinya mulai berpaling dan berkaca pada sejarah: bahwa pendidikan sajalah yang sesungguhnya mampu melahirkan bangsa ini kembali. Sebuah bangsa yang dulu pernah punya nama besar dan dipimpin oleh orang besar. Sebuah bangsa yang sebaiknya bisa percaya bahwa kemajuan terletak pada meratanya pendidikan. Fidel Castro, Hugo Chavez, Morales dan Akhmadinedjad adalah pemimpin yang telah melakukan itu. Kita mau kapan?
13
Kepustakaan Buku Acep Zamzam Noor, Dongeng dari Negeri Sembako, 2001, Aksara Indonesia, Yogyakarta Al Andang dll (editor), Keadilan Sosial, 2004 A Mustofa Bisri, Negeri Dongeng, 2002, Bentang, Yogyakarta Brigitta Isworo, Proses Pelapukan: Tantangan Indonesia Merdeka, 2006, Kompas, Jakarta Chinua Achebe, Sosok Seorang Pejuang, YOI,1998, Jakarta Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, Galang Press, 2004, Yogyakarta Pendidikan Rusak-Rusakan, LkiS, 2004, Yogyakarta David C Korten, The Post Corporate World, Kehidupan setelah Kapitalisme, YOI, 2002, Jakarta Dewi Fortuna Anwar, Rogen Tol dll, Konflik Kekerasan Internal, 2005, YOI, Jakarta Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah, 2004 Resist Book Orang Miskin Dilarang Sakit, 2005, Resist Book Orang Miskin Tanpa Subsidi, 2005, Resist Book Pengumuman Tak Ada Sekolah Murah, 2005, Resist Book Awas Penguasa Tipu Rakyat, 2005, Resist Book Guru: Mendidik Itu Melawan, 2006, Resist Book Inilah Presiden Radikal, 2006, Resist Book Ignatius Haryanto, Penghisapan Rezim HAKI, Kreasi Wacana & Debt Wach, 2002, Yogyakarta I Wibowo (pengantar), Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan, Cindelaras, Pustaka Rakyat Cerdas, 2001, Yogyakarta I Wibowo & Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, Cindelaras, 2003, Yogyakarta Ivan A Hadar, Utang, Kemiskinan dan Globalisasi, Lapera & Infid, 2004, Yogyakarta Joze Rizal, El Filibusterismo (Merajalelanya Keserakahan), 1994, Pustaka Jaya, Jakarta Jeremy Seabrook, Para Perintis Perubahan, 1998, YOI, Jakarta Martin Staniland, Apakah Ekonomi Politik itu?, Grafitti Press, 2003, Jakarta Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalisasi adalah Mitos, YOI, 2001, Jakarta Paul Omerod, Matinya Ilmu Ekonomi, KPG, 1997, Jakarta Rita Abrahamsen, Sudut Gelap Kemajuan, Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan, Lafadl, 2000, Yogyakarta Rizal Malarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, KPG, 2002, Jakarta Dr Sritua Arief, Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia, CPSM, 1998, Jakarta Tony D Widiatono (ed), Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas, 2004, Jakarta 14
Tom Morris, Sang CEO bernama Aristoteles, Mizan, 2003, Bandung Tonny d Widiatono, Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas, 2004, Jakarta Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru, Indonesia Tera, 2000, Yogyakarta Koran, Jurnal & Majalah Jurnal Prisma Jurnal Demokrasi, Forum LSM DIY Media Kerja Budaya (MKB) Majalah Basis Mingguan Tempo Mingguan Gatra Majalah SWA sembada Harian Kompas Harian Republika Harian Bernas Harian Radar Jogja Harian Kedaulatan Rakyat Harian Tempo Film Catatan Akhir Sekolah Korupsi Pendidikan Dokumen KBK Deads Poets Society School of Rock
15