PELAKSANAAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN (P2) DBD DAN KEJADIAN DBD DI WILAYAH BINAAN PUSKESMAS SAMBUNGMACAN I SRAGEN JAWA TENGAH TAHUN 2013 Oleh Sulistyoning Rahayu & Budi Haryanto Program Studi Kebidanan Komunitas Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
ABSTRAK Dengue adalah infeksi yang ditularkan melalui nyamuk yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Sejak tahun 1962 di Indonesia sudah ditemukan penyakit yang menyerupai demam berdarah dengue (DBD) yang terjadi di Filipina pada tahun 1953 dan Muangthai pada tahun 1958. Dan baru pada tahun 1968 dibuktikan dengan pemeriksaan serologis untuk pertama kalinya. Sejak saat itu terlihat jelas kecenderungan peningkatan penderita yang tersangka DBD. Demikian juga dengan semakin meluasnya penyakit tersebut yang semula hanya di perkotaan sekarang sudah sampai pada daerah pedesaan. Di wilayah binaan Puskesmas Sambungmacan I termasuk daerah sporadic DBD, namun ada peningkatan kasus dari tahun 2011 sebanyak 2 kasus menjadi 19 kasus dengan 1 kematian. Karena hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan (P2) DBD dan kejadian DBD di wilayah binaan Puskesmas Sambungmacan I. Rancangan studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional dan teknik sampling yang digunakan adalah stratified random sampling dengan jumlah sampel 275 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara pada responden menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan bermakna dengan kejadian DBD adalah fogging focus (p=0,00), penyelidikan epidemiologi (p=0,00), penemuan dan pertolongan penderita DBD (p=0,00) dan penyuluhan (p=0,00). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan DBD yang mencakup fogging focus, penyelidikan epidemiologi, penyuluhan, penemuan dan pertolongan penderita dengan kejadian DBD.
Kata Kunci: Demam Berdarah Dengue (DBD); P2 DBD
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
ABSTRACT Name Program of Study Title
: Sulistyoning Rahayu : Community midwifery : Implementation of the Prevention and Combating Dengue Hemorrhagic Fever and Dengue Hemorrhagic Event in Regional Health Center Patronage Sambungmacan I Sragen Central of Java
Dengue is a mosquito borne infection in the tropic and subtropic around the world. Since 1962 in Indonesia has found the disease resembles dengue hemorrhagic fever (DHF), which occurred in the Philippines in 1953 and Thailand in 1958. And the new in 1968 is evidenced by serological examination for the first time. Since then it is clear that an increasing trend of people with suspected dengue. From then it cleary visible that an increasing trend of people with suspected dengue. Likewise, the spread of the disease which was originally only in urban areas now have come to the rural areas. In the target area, including local health center Sambungmacan I is sporadic DHF, but there is an increase in the cases of the year 2011 as many as 2 cases to 19 cases with 1 death. Because of these conditions, this study aims to determine the implementation of prevention and eradication (P2) DHF and dengue incidence in the target area Health Center of Sambungmacan I. Study design used in this study is cross-sectional and sampling technique used was cluster sampling with a sample of 275 respondents. The data was collected by conducting interviews with respondents usinga questionnaire. The results showed that the variables significantly associated with the incidence of dengue is fogging focus (p=0,00), epidemiological investigation (p=0,00), the discovery and rescue of DHF patients (p=0,00) and education (p=0,00). It can be concluded that there is a significant correlation between the implementation of prevention and eradication of dengue include fogging focus, epidemiological investigations, education, inventions, discovery and patient help with the incidence of dengue.
Keywords DHF; Prevention and Combating DHF
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
PENDAHULUAN Dengue adalah infeksi yang ditularkan melalui nyamuk yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Lebih dari 2,5 miliar orang dan lebih dari 40% dari populasi dunia sekarang beresiko terkena demam berdarah. Sejak tahun 1962 di Indonesia sudah ditemukan penyakit yang menyerupai demam berdarah dengue yang terjadi di Filipina pada tahun 1953 dan Muangthai tahun 1958. Tahun 1968 dibuktikan dengan pemeriksaan serologis untuk pertama kalinya. Sejak saat itu terlihat jelas kecenderungan peningkatan penderita yang tersangka DBD. Semula penyakit ini hanya ditemukan di beberapa kota besar saja, kemudian menyebar hampir ke semua kota besar di Indonesia bahkan sampai ke pedesaan dengan penduduk yang padat dalam kurun waktu yang relatif singkat. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai resiko untuk kejangkitan penyakit DBD karena nyamuk penularnya (Aedes aegypti) tersebar luas di seluruh pelosok tanah air, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1.000 meter di atas permukaan air laut. Sejak berjangkitnya penyakit DBD di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, penyakit ini cenderung semakin menyebar luas ke berbagai wilayah. Pada saat ini penyakit DBD telah tersebar di semua provinsi, bahkan telah endemis di 650 kecamatan di 116 Dati II (Depkes RI, 1995). Berdasarkan Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2011 jumlah kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 65.432 kasus. kasus meninggal akibat DBD mencapai 595 orang dengan case fatality rate (CFR) 0.91%. Di Jawa Tengah tahun 2011 mencapai 4.474 kasus dan jumlah kematian akibat DBD 44 orang. Angka kesakitan (incidence rate/ IR) DBD di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 sebesar 15,27/ 100.000 penduduk. Angka kematian akibat DBD (Case Fatality Rate/ CFR) di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 sebesar 0,93%, lebih rendah dibandingkan tahun 2010 sebesar 1,29% dan sudah lebih rendah jika dibandingkan dengan target nasional yaitu kurang dari 1%. Kabupaten Sragen merupakan daerah endemis DBD yang tiap tahun selalu ada kasus DBD. Data dari bidang P2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen menyebutkan bahwa pada tahun 2009 terdapat 602 kasus DBD, tahun 2010 ada 660 kasus DBD dan tahun 2011 mengalami penurunan yaitu terdapat 200 kasus DBD dengan incidence rate (IR) 2,12%. Sepanjang tahun 2012 yaitu antara bulan Januari sampai Oktober sudah terdapat 203 kasus DBD dengan jumlah kematian akibat DBD sebanyak 4 orang dengan IR 2,15% dan case fatality rate (CFR) 2%.
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
Wilayah binaan puskesmas Sambungmacan I termasuk daerah sporadis DBD yang selama tahun 2012 yaitu dari bulan Januari sampai Oktober terdapat 19 kasus DBD dimana ada 1 orang meninggal akibat DBD, dengan IR 7,74% dan CFR 5%. Hal ini mengalami peningkatan yang cukup tinggi jika dibandingkan tahun 2011 yang hanya terdapat 2 kasus DBD dengan IR 0,81%. Hasil pencapaian dari cakupan Angka Bebas Jentik (ABJ) Ae. aegypti Puskesmas Sambungmacan I baru mencapai 55,23% dari target yang telah ditetapkan yaitu ≥ 95%. Pencapaian rumah sehat untuk wilayah binaan Puskesmas Sambungmacan I juga masih rendah yaitu 55,2% (Profil Puskesmas Sambungmacan I Tahun 2011). Situasi ini perlu segera diatasi agar indikator kinerja/ target pengendalian DBD yang tertuang dalam dokumen Rancangan Pembanguna Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu IR DBD pada tahun 2014 adalah 51/ 100.000 penduduk, serta ABJ sebesar ≥ 95% dapat tercapai (Kemenkes RI, 2011). Pengendalian DBD terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian vektornya. Pengendalian vektor DBD di hampir semua negara dan daerah endemis tidak tepat sasaran, tidak berkesinambungan dan belum mampu memutus rantai penularan. Hal ini disebabkan metode yang diterapkan belum mengacu kepada data/ informasi tentang vektor, disamping itu masih mengandalkan kepada penggunaan insektisida dengan cara penyemprotan dan larvasidasi (Sukowati, 2010). Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus (Menguras, Mengubur dan Menutup). Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi (Kemenkes RI, 2011). Upaya pengendalian DBD di wilayah binaan Puskesmas Sambungmacan I dilakukan dengan pelaksanaan Pencegahan dan Pemberantsan DBD (P2 DBD) yang meliputi penyelidikan epidemiologi, penemuan dan pertolongan penderita, abatisasi selektif, penyuluhan, fogging focus, kegiatan yang dilakukan oleh Pokja DBD, pemeriksaan jentik berkala dan penggerakkan masyarakat untuk melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang gambaran kejadian DBD di wilayah binaan Puskesmas Sambungmacan I Sragen, mengetahui pelaksanaan P2 DBD di wilayah binaan Puskesmas Sambungmacan I Sragen dan mengetahui hubungan antara pelaksanaan P2 DBD dan kejadian DBD di wilayah binaan Puskesmas Sambungmacan I Sragen.
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD) DHF (Dengue Haemorrhagic Fever) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengan ciri-ciri demam dan manifestasi perdarahan (Sudarti, 2010). Penyebab DBD Penyebab DBD adalah virus dengue yang sampai sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk dalam group B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Keempat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue-4 (Depkes RI, 2005). Tanda dan gejala DBD Menurut (Rampengan, 2008) tanda dan gejala DBD di antaranya yaitu: 1. Panas Panas biasanya langsung tinggi dan terus-menerus, dengan sebab yang tidak jelas dan hampir tidak bereaksi terhadap pemberian antipiretik (mungkin hanya turun sedikit kemudian naik lagi). Panas ini biasanya berlangsung 2-7 hari dan bila tidak disertai syok, panas akan turun dan penderita akan sembuh sendiri ( self limiting). Selain panas, penderita juga mengeluh malaise, mual, muntah, sakit kepala, anoreksia dan kadang-kadang batuk. 2. Tanda-tanda perdarahan a. Karena manipulasi • Uji Tourniquet/ rumple leed test positif, yaitu dengan mempertahankan manset tensimeter tekanan antara sistole dan diastole selama 5 menit, kemudian dilihat apakah ada petekie atau tidak pada daerah volar lengan bawah. • Kriteria (+) bila jumlah petekie ≥ 20 (±) bila jumlah petekie 10-20 (-) bila jumlah petekie ≤ 10 b.
Perdarahan spontan
3. Pembesaran hepar 4. Laboratorium a. Hematokrit/ PCV (packet cell volume) meningkat sama atau lebih dari 20%.
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
Normal: PCV/Hct=3xHb b. Trombosit menurun, sama atau kurang dari 100.000/mm³ c. Leukopeni, kadang-kadang lekositosis ringan d. Waktu perdarahan memanjang e. Waktu protrombin memanjang Diagnosis Demam Berdarah Dengue Menurut (Depkes RI, 2005) berdasarkan kriteria WHO (1997) diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi: 1. Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bifasik. 2. Terdapat minimal satu manifestasi perdarahan berikut: a. Uji bendung positif b. Petekie, ekimosis atau purpura c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi) atau perdarahan dari tempat lain. d. Hematemesis atau melena 3. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/µl) 4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut: a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan saat dalam keadaan awal/ konvalesen. b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya c. Influenza d. Chikungunya e. Leptospirosis f. Malaria Dengan menggunakan kriteria WHO di atas ketepatan diagnosis berkisar 70-90%. Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi dan sangat erat kaitannya dengan pengelolaan dan prognosis, WHO (1975) membagi DBD dalam 4 derajat setelah kriteria laboratorik terpenuhi, yaitu: a. Derajat I
: Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif. b. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan di kulit atau perdarahan yang lain.
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
c. Derajat III : Derajat II ditambah kegagalan sirkulasi ringan yaitu denyut nadi cepat, lemah dengan tekanan nadi yang menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi (sistolik ≤80 mmHg) disertai dengan kulit yang dingin, lembab dan penderita gelisah. d. Derajat IV : Derajat III ditambah syok berat dengan nadi yang tak teraba dan tekanan darah yang tidak terukur dapat disertai dengan penurunan kesadaran, sianosis dan asidosis. Derajat I dan II disebut DHF/ DBD tanpa renjatan, sedangkan derajat III dan IV adalah DHF/ DBD dengan renjatan atau DSS (Rampengan, 2008). Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian DBD Dalam penularan penyakit DBD sama halnya dengan penyakit menular lainnya yang merupakan perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Faktor tersebut yaitu lingkungan (environment), agen penyebab penyakit (agent) dan penjamu (host). Pada prakteknya seseorang menjadi sakit akibat faktor-faktor berikut: 1. Lingkungan 1) Lingkungan Fisik a. Keadaan geografis (dataran tinggi/ rendah, persawahan dan lain-lain). b. Kelembaban udara Sebagian besar vektor penular penyakit dan agen penyebab penyakit lebih menyukai lingkungan
yang
lembab.
Nyamuk
Ae.
aegypti
biasanya
mencari
tempat
perkembangbiakan yang teduh dan terlindung dari sinar matahari. c. Temperatur Di negara tropis seperti Indonesia, temperatur yang lebih rendah lebih disukai oleh vektor dan agen penyebab penyakit dibandingkan temperatur yang tinggi. d. Lingkungan tempat tinggal Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan penyakit. Rumah dengan pencahayaan yang kurang memudahkan perkembangan sumber penyakit. 2) Lingkungan Non Fisik Lingkungan non fisik meliputi lingkungan sosial dan ekonomi. 2. Agen penyebab penyakit Agen penyebab penyakit diantaranya adalah bahan kimia, mekanik, biologi dab psikologis. Penyakit menular biasanya disebabkan oleh agen biologi seperti bakteri, virus, parasit atau jamur.
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
3. Penjamu Karakteristik penjamu meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan (Widoyono, 2010). 4. Mobilitas Penduduk Mobilitas penduduk yang untuk terkena DBD minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD berisiko lebih besar disbanding yang tidak melakukan mobilitas minimal periode 2 minggu sebelum kejadian DBD (Azizah dan Faizah, 2010). Cara Penularan DBD Penularan DBD dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu manusia, virus dan vector perantara. 1. Virus dengue ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti, Ae. albopictus, Ae. polinesiensis dan beberapa jenis vector lainnya namun kurang berperan. 2. Nyamuk aedes menularkan kepada manusia secara langsung yaitu setelah menggigit manusia yang viremia tidak langsung setelah melalui masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari. 3. Pada nyamuk sekali virus masuk ke dalam tubuhnya maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia penularan hanya dapat terjadi saat tubuh dalam keadaan viremia antara 5-7 hari (Sucipto, 2011). Morfologi dan Lingkaran Hidup Ae. aegypti 1. Morfologi Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil dibanding nyamuk lainnya, warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki. Kepompong berbentuk seperti koma, lebih besar namun lebih ramping dan lebih kecil dibanding pupa nyamuk lain. Jentik/ larva ada 4 tingkat/ instar yaitu instar 1 berukuran 1-2 mm, instar 2 berukuran 2,58 cm, instar 3 lebih besar sedikit dibanding instar 3 dan instar 4 paling besar 5 mm. Telur berwarna hitam dengan ukuran ± 0,80 mm, berbentuk oval dan mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih atau menempel pada dinding tempat penampungan air. 2. Lingkaran Hidup Nyamuk aedes mengalami metamorphosis sempurna yaitu dari telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air. Telur menetas pada
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
umur ± 2 hari setelah terendam air. Stadium jentik berlangsung 6 – 8 hari dan stadium kepompong 2 – 4 hari. Sedangkan umur nyamuk betina bisa mencapai 2 – 3 bulan. Perilaku Nyamuk Dewasa Nyamuk Ae. aegypti jantan menghisap sari bunga sedangkan nyamuk aedes betina menghisap darah manusia (antropofilik). Waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur mulai dari menghisap darah sampai dikeluarkannya telur bervariasi antara 3 – 4 hari yang biasa disebut siklus gonotropik (gonotropik cycle). Nyamuk betina biasa menggigit pada siang hari dengan puncak aktifitas pada pukul 09.00 – 10.00 dan sore hari pada pukul 16.00 – 17.00. Nyamuk Ae. Aegypti ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang kali (multiple bites). Setelah menggigit nyamuk ini hinggap di tempattempat gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah menunggu prose pematangan telurnya. Pada saat prose pematangan telur selesai maka nyamuk aedes ini akan meletakkan telurnya sedikit di atas permukaan air dan akan menetas sekitar 2 hari setelah terendam air. Sekali bertelur nyamuk ini bisa menghasilkan telur sebanyak sekitar 100 butir telur dan dapat bertahan pada suhu -2ºC sampai 42ºC. Penyebaran Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter hingga 100 meter. Namun secara pasif karena terbawa angin atau kendaraan nyamuk ini dapat terbang lebih jauh lagi. Nyamuk ini bisa berkembangbiak pada ketinggian ± 1000 meter di atas permukaan air laut. Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Ae. aegypti Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti diantaranya adalah tempat penampungan air untuk keprluan sehari-hari, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, tempat penampungan air alamiah seperti lubang pohon, lubang batu, tempurung kelapa dan lain-lain. Tempat Potensial bagi Penularan DBD 1. Wilayah yang banyak kasus DBD (endemis) 2. Tempat-tempat umum tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah (sekolah, RS/ Puskesmas, tempat umum lainnya seperti hotel, pertokoan, pasar dan lain-lain) 3. Pemukiman baru di pinggir kota
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
Cara Pencegahan dan Pemberantasan DBD Pemberantasan nyamuk Ae. aegypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk memberantas DBD dan cara yang dilakukan adalah terhadap nyamuk dan jentiknya.
Nyamuk dewasa
Jentik
Dengan insektisida (fogging/ ULV) Fisik Kimia Biologi Gambar 2.1 Bagan cara pemberantasan DBD
Pemberantasan terhadap sarang nyamuk DBD terdiri dari: 1) Fisik Cara ini dikenal dengan “3M” Plus yaitu menyikat dan menguras bak mandi, WC dan lain-lain. 2) Kimia Pemberantasan jentik Ae. aegypti dengan menggunakan bubuk larvasida dan penyemprotan menggunakan insektisida. 3) Biologi Dengan memanfaatkan ikan pemakan jentik seperti nila, cupang/ tempalo. Pelaksanaan P2 DBD Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan DBD di antaranya adalah sebagai berikut (gambar 2.2):
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
Penderita Demam Dengue Penyelidikan Epidemiologi (PE) Pencarian suspek infeksi dengue lainnya dan pemeriksaan jentik di lokasi tempat tinggal penderita dan rumah bangunan lainnya dengan radius 100 m (minimal 20 rumah/ bangunan secara random)
Positif: • Bila ditemukan 1 atau lebih penderita DBD, dan/ atau • ≥3 orang suspek infeksi dengue lainnya dan ditemukan jentik(=5%) 1. 2. 3. 4.
Negatif: Jika tidak memenuhi 2 kriteria positif 1. PSN DBD 2. Larvasidasi selektif 3. Penyuluhan
PSN DBD Larvasidasi selektif Penyuluhan Fogging radius 200 m (2 siklus interval 1 minggu)
Gambar 2.2 Bagan Penyelidikan Epidemiologi (Kemenkes RI, 2011) METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan studi cross sectional dengan populasi masyarakat wilayah binaan Puskesmas Sambungmacan I yang berusia antara 15 samapi 65 tahun. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 275 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified random sampling. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh responden dan data sekunder diperoleh melalui studi dokumen (profil Puskesmas Sambungmacan dan bidang P2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen). Pada penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah Kejadian DBD dan yang menjadi variabel independen adalah P2 DBD. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat menggunakan uji chi-square. HASIL PENELITIAN Dari hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah kejadian DBD ada 21 (7,6%) dan yang tidak DBD 254 (92,4%). Distribusi responden yang berumur 17-35 tahun ada 132 (48%) dan 36-65 tahun ada 143 (52%). Jenis kelamin laki-laki ada 88 (32%) dan perempuan ada 187 (68%). Pendidikan dasar ada 156 (56,7%), pendidikan menengah ada 108 (39,3%) dan
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
pendidikan tinggi ada 11 (4 %). Sedangkan pekerjaan yang tergolong swasta ada 262 (95,3%) dan pegawai pemerintah ada 13 (4,7%). Distribusi responden yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat ada 241 (87,6%) yang tidak memenuhi syarat ada 34 (12,4%). Pencahayaan yang memenuhi syarat ada 268 (97,5%) dan yang tidak memenuhi syarat ada 7 (2,5%). Sedangkan tempat penampungan air yang memenuhi syarat ada 218 (79,3%) dan yang tidak memenuhi syarat ada 57 (20,7%). Gambaran dari pelaksanaan P2 DBD menunjukkan bahwa kejadian DBD yang dilakukan penyelidikan epidemiologi ada 17 (6,2%) dan yang tidak dilakukan penyelidikan epidemiologi ada karena bukan kasus ada 258 ( 93,8%). Yang pernah dilakukan penyuluhan ada 119 (43,3%) dan yang tidak pernah dilakukan penyuluhan ada 156 (56,7%). Rumah responden yang dilakukan pemeriksaan jentik berkala ada 58 (21,1%) dan yang tidak dilakukan pemeriksaan jentik berkala ada 217(78,9%). Responden yang melakukan gerakan PSN ada 268 (97,5%) dan yang tidak melakukan PSN ada 7 (2,5%). Yang dilakukan abatisasi selektif ada 68 (24,7%) dan yang tidak dilakukan abatisasi selektif ada 207 (75,3%). Responden yang tahu adanya Pokja DBD ada 72 (26,2%) dan yang tidak tahu adanya Pokja DBD ada 203 (73,8%). Kasus DBD yang dilakukan fogging focus ada 14 (5,1%) dan yang tidak dilakukan fogging focus ada 261 (94,9%). Penemuan dan pertolongan penderita oleh petugas ada 20 (7,3%) dan yang tidak dilakukan oleh petugas karena bukan kasus DBD ada 255 (92,7%). Analisis hubungan antara karakteristik responden dengan kejadian DBD menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian DBD adalah variabel umur. Hasil analisis antara variabel umur dengan kejadian DBD adalah 15 (11,4%) responden dengan umur 17-35 menyatakan ada kejadian DBD dan 117 (88,6%) menyatakan tidak terjadi DBD. Sedangkan 6 (4,2%) responden pada umur 36-65 menyatakan ada kejadian DBD dan 137 (95,8%) menyatakan tidak ada kejadian DBD. Hasil analisis dengan uji chi-square diperoleh nilai p=0,04 yang artinya bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian DBD. Hasil analisis hubungan antara kondisi lingkungan tempat tinggal dengan kejadian DBD menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kondisi lingkungan tempat tinggal dengan kejadian DBD pada nilai p>0,05. Analisis hubunngan antara pelaksanaan P2 DBD dengan kejadian DBD menunjukkan bahwa di antara 8 variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian DBD adalah penyelidikan epidemiologi yaitu 17 (100%) kasus dilakukan penyelidikan
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
epidemiologi dan 4 (1,6%) tidak dilakukan penyelidikan epidemiologi dengan nilai p=0,00, penemuan dan pertolongan penderita 20 (100%) kasus ditemukan atau melapor ke petugas kesehatan dan 1 (0,4%) tidak melapor ke petugas kesehatan dengan nilai p=0,00, sedangkan dari 119 responden yang pernah diberikan penyuluhan tentang DBD ada 16(13,4%) menderita DND/ disangka DBD dan dari 156 responden yang tidak pernah diberikan penyuluhan tentang DBD ada 5 (3,2%) menderita DBD/ disangka DBD dengan nilai p=0,00 dan dari 14 kasus DBD/ disangka DBD sebanyak 14 (100%) dilakukan fogging focus dan ada 7 (2,7%) kasus DBD tidak dilakukan fogging focus dengan nilaip=0,00. PEMBAHASAN 1) Keterbatasan penelitian Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan diantaranya adalah penentuan kasus DBD hanya berdasarkan informasi responden tanpa ada pemeriksaan laboratorium, pengambilan sampel dibantu oleh kader sehingga ada kemungkinan terjadi bias informasi, wawancara dilakukan tanpa melihat langsung kondisi lingkungan tempat tinggal responden, penelitian hanya dilakukan pada pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan DBD, variable umur tidak dilakukan pembahasan karena pada pengisian kuesioner yang diisi adalah umur responden bukan umur penderita DBD/ disangka DBD. 2) Hubungan pelaksanaan P2 DBD dengan kejadian DBD Dari 8 variabel pelaksanaan P2 DBD diperoleh hasil yang berhubungan bermakna dengan kejadian DBD adalah variabel penyuluhan, fogging focus, penyelidikan epidemiologi dan penemuan dan pertolongan penderita. Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa 17 (6,2%) kejadian DBD, dilakukan penyelidikan epidemiologi. Sesuai dengan teori yang ada, penyelidikan epidemiologi adalah, kegiatan pencarian penderita DBD atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat tinggal penderita dan rumah atau bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter (Kemenkes RI, 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erdinal (1995-1999) yang menyatakan bahwa hasil kegiatan penyelidikan epidemiologi dan fogging focus mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD. Pelaksanaan dari P2 DBD lainnya yang berhubungan bermakna dengan kejadian DBD adalah penemuan dan pertolongan penderita. Hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa ada 20 (7,3%) kejadian DBD yang ditemukan/ melapor ke petugas kesehatan. Dari
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
hasil uji chi-square diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara penemuan dan pertolongan penderita dengan kejadian DBD. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain. Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan kasus termasuk merujuk ke unit pelayanan kesehatan (UPK) terdekat. Upaya ini dilakukan untuk mencegah akibat dari DBD yang bisa menyebabkan kematian (Widoyono, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambar Wahdini (2008) yang menyatakan bahwa pelaksanaan program P2 DBD di Puskesmas Kecamatan Tanah Abang sudah berjalan dengan baik sehingga mampu menurunkan angka kejadian DBD. Yang dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah penemuan dan pertolongan penderita DBD. Variabel P2 DBD lainnya yang dilakukan penelitian adalah penyuluhan, dari hasil penelitian didapatkan bahwa 119 (43,3%) dari responden pernah diberi penyuluhan tentang DBD. Hasil analisis chi- square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara adanya penyuluhan dengan kejadian DBD. Penyuluhan yang dilakukan hanya pada rumah yang ada di sekitar kejadian DBD sehingga kejadian DBD lebih banyak pada responden yang pernah mendapat penyuluhan dibandingkan dengan responden yang tidak pernah mendapat penyuluhan. Penyuluhan ini mencakup kegiatan penyampaian informasi tentang gejala awal penyakit, pencegahan dan rujukan penderita (Widoyono, 2008). Penyuluhan ini juga memegang peran penting dalam upaya mencegah dan memberantas DBD karena dengan adanya penyuluhan akan meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga akan menimbulkan kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap kejadian DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tri Rahayu (2011) yang menunjukkan bahwa pelaksanaan P2 DBD belum berjalan dengan baik sehingga pencapaian indikator P2 DBD belum bisa tercapai. Untuk mengatasi hal ini maka perlu dilakukan upayaupaya diantaranya adalah: 1.
Kerjasama dengan kepala desa, RT/ RW untuk ikut serta menggerakkan masyarakat dalam upaya pemberantasan DBD
2.
Kerjasama dengan pemegang program P2 DBD, Promkes dan tenaga Kesehatan Lingkungan untuk menyampaikan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan DBD Variabel lain yang berhubungan dengan kejadian DBD adalah fogging focus. Penelitian
yang dilakukan mendapatkan hasil bahwa 14 (5,1%) kejadian DBD dilakukan fogging focus.
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
Dari hasil analisis dengan uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara fogging focus dengan kejadian DBD. Dalam hal ini yang dilakukan fogging focus adalah hanya rumah yang terkena DBD dan rumah/ bangunan sekitarnya dalam radius 200 m dari rumah penderita yang positif DBD. Sesuai dengan teori yang ada yaitu fogging focus, adalah kegiatan menyemprot dengan insektisida (malathion). Penyemprotan dengan insektisida dilakukan di rumah penderita DBD dan rumah/ bangunan sekitarnya dalam radius 200 meter (Kemenkes RI, 2011). Fogging focus ini hanya memberantas nyamuk dewasa dan tidak sampai pada sarangnya (jentik-jentik nyamuk). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erdinal (1995-1999) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara fogging focus dengan kejadian DBD. Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Helly Oktaviani (20002002) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara ke empat program penanggulangan penyakit demam berdarah (PE, FM, FF dan PJB). Mengingat pentingnya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD maka perlu diadakan upaya-upaya sebagai berikut: 1.
Meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa penanggulangan DBD bukan hanya dengan penyemprotan/ pengasapan.
2.
Pengasapan/ penyemprotan dengan insektisida dilakukan sesuai dengan prosedur sehingga tidak terjadi resistensi nyamuk terhadap insektisida.
3.
Menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
3) Hubungan lingkungan tempat tinggal dengan kejadian DBD Dalam penelitian ini variabel lingkungan tempat tinggal yang diteliti meliputi 3 variabel yaitu ventilasi, pencahayaan dan tempat penampungan air bersih. Dari hasil analisis uji chi-square menunjukkan bahwa diantara ketiga variabel tersebut tidak ada yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD. Dari teori yang didapat mengatakan bahwa sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan penyakit. Rumah dengan pencahayaan yang kurang memudahkan perkembangan sumber penyakit (Widoyono, 2008). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyono et, al yang menyebutkan bahwa pencahayaan dan ventilasi mempunyai pengaruh terhadap kejadian DBD (Buletin Jendela Epidemiologi, 2010, Vol.2)
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
4) Hubungan karakteristik individu dengan kejadian DBD Kejadian DBD dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor yang diantaranya adalah karakteristik individu. Dalam penelitian ini variabel karakteristik individu yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Teori mengatakan bahwa jenis kelamin berpengaruh pada perbedaan prevalensi seseorang untuk terserang penyakit, yang biasanya disebabkan oleh gaya hidup (life style). Pekerjaan juga mempunyai pengaruh pada status kesehatan seseorang, dimana pekerjaan mempunyai hubungan dengan penyakit menular yang dialami seseorang. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan seseorang adalah pendidikan, dalam hal ini pendidikan berhubungan dengan kemampuan masyarakat untuk menerima informasi dari media massa atau petuas kesehatan (Widoyono, 2008). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasyimi, M dkk yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan masyarakat yang tinggal di daerah endemis dengan kejadian DBD. KESIMPULAN Sebanyak 17 (100%) kejadian DBD yang ada dilakukan penyelidikan epidemiologi dan sebanyak 4 (1,6%) tidak dilakukan penyelidikan epidemiologi. Dari 20 (100%) kejadian DBD yang ada ditemukan/ melapor ke petugas kesehatan dan 1 (0,4%) kejadian DBD tidak melapor ke petugas kesehatan. Terdapat 16 (13,4%) kejadian DBD dari 119 responden yang pernah dilakukan penyuluhan dan 5 (3,2%) kejadian DBD dari 156 responden yang tidak pernah mendapat penyuluhan. Ada 7 (2,7%) kejadian DBD yang tidak dilakukan fogging focus dan 14 (100%) kejadian DBD yang dilakukan fogging focus. Terdapat hubungan yang bermakna antara P2 DBD yang mencakup penyelidikan epidemiologi, penemuan dan pertolongan penderita, penyuluhan dan fogging focus terhadap kejadian DBD. SARAN Masih diperlukannya penelitian lebih lanjut tentang pelaksanaan P2 DBD menurut masyarakat. Perlunya upaya-upaya promotif dan preventif dalam rangka pengendalian penyakit DBD serta adanya kerjasama yang baik antara Dinas Kesehatan dan masyarakat untuk pencegahan dan pemberantasan DBD.
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
KEPUSTAKAAN Ariawan, Iwan, 1998. Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Depok, FKM UI Erdinal, 2000. Hubungan program pemberantasan vector penyakit demam berdarah dengue dengan angka insiden DBD di Kotamadya Pekanbaru tahun 1995 – 1999. Skripsi FKM – UI . Hasyimi M, et al, 2011. Hubungan tempat penampungan air dan faktor lainnya dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di provinsi DKI Jakarta dan Bali. Jakarta. Badan Litbangkes. Media Litbangkes vol. 21 no. 2 Hidayat, 2009. Pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan. Jakarta: Salemba Medika Kemenkes RI, 2011. Modul pengendalian demam berdarah dengue. Jakarta. Ditjen P2PL Mahsuna, Eliha, 2010. Hubungan antara program P2 DBD dengan IR DBD di kabupaten Kediri tahun 2005-2009. Skripsi FKM-UI Ngastiyah, 2005. Perawatan anak sakit. Jakarta: EGC Nursalam et al, 2008. Asuhan keperawatan dan bayi dan anak (untuk perawatan dan bidan). Jakarta: Salemba Medika Oktaviani, Helly, 2003. Gambaran efektifitas pelaksanaan program pemberantasan penyakit demam berdarah (P2 DBD) di kecamatan Makassar Jakarta Timur tahun 2000-2002. Skripsi FKM – UI Patimah, Siti, 2001. Evaluasi hasil program pemberantasan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di kota Bogor tahun 1997 – 2000. Skripsi FKM – UI. Rampengan, 2008. Penyakit infeksi tropic pada anak. Jakarta: EGC Rahayu,Tri, 2012. Evaluasi pelaksanaan program P2 DBD di wilayah kerja puskesmas Ketapang 2. Jurnal Kesmas vol.1 no.2, hal. 479-492 Sucipto, 2011. Vektor penyakit tropis. Yogyakarta: Gosyen Publishing Sudarti, 2010. Kelainan dan Penyakit pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika Sukowati, Supratman, 2010. Masalah vektor demam berdarah dengue dan pengendaliannya di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan, Kemenkes RI Widoyono, 2002. Penyakit tropis. Jakarta: Erlangga ____________, 2012. Profil dinkes jateng 2011. Jakarta ____________, 2012. Profil data kesehatan Indonesia tahun2011. Jakarta ____________, 2012. Profil dinas kesehatan Sragen tahun 2011. Sragen
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013
____________, 2012. Profil puskesmas Sambungmacan I tahun 2011. Sambungmacan, Sragen _____________.(2012, January). Dengue and severe dengue. N 117. November 12, 2012. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en
Pelaksanaan pencegahan..., Sulistyoning Rahayu, FKM-UI, 2013