el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
PELACUARAN DAN PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH KONTEMPORER Moch. Azis Qoharudin
Pendahuluan Pelacuran dan perjuadian telah terjadi sepanjang sejarah manusia, di manapun dan kapanpun manusia berada. Sebagian ahli sejarah bahkan berpendapat bahwa umur kedua jenis kegiatan terlarang tersebut sama tuanya dengan usia peradaban manusia itu sendiri. Meskipun memiliki banyak dampak negative dan menyebabkan berbagai macam kehancuran, tak dapat dipungkiri bahwa pelacuran dan perjudian akan selalu ada, dan tak dapat hilang dari sejarah perjalanan manusia. Termasuk juga manusia di bumi pertiwi Indonesia. Terlepas dari fakta sejarah tersebut, pada dasarnya manusia hidup harus senantiasa berpegang pada aturan dan norma, salah satunya adalah aturan agama. Sepanjang penelusuran yang penulis laksanakan, tidak ada satupun ajaran agama yang pernah ada di dunia ini yang melegalkan terjadinya pelacuran dan perjudian. Dengan alasan dan dasarnya masing-masing, seluruh agama melarang (mengharamkan) praktek pelacuran dan perjudian, tak terkecuali agama Islam. Khusus di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pelacuran dan perjudian juga marak terjadi. Hampir di setiap kota terdapat praktik prostitusi yang berlabel lokalisasi sebagai tempat resmi perbuatan haram tersebut. Bahkan ada beberapa ulama Islam yang berfatwa bahwa lokalisasi boleh didirikan. Padahal hal tersebut mengandung pemahaman terjadinya legalisasi pelacuran yang jelas-jelas diharamkan oleh agama. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana sebenarnya hukum Islam menyikapi praktik pelacuran dan perjudian tersebut? Juga apa dasar para ulama memfatwakan bahwa lokalisasi boleh didirikan? 1
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Berangkat dari permasalahan di ataslah makalah ini penulis susun. Pada intinya, makalah ini di susun untuk menelaah konsepsi-konsepsi agama tentang pelacuran dan perjudian, khususnya agama Islam. Lebih spesifik lagi adalah praktek legalisasi pelacuran dalam rupa tempat lokalisasi menurut tinjauan hukum Islam. Pembahasan 1.
Sejarah Pelacuran dan Perjudian Pelacuran terjadi hamper di seluruh belahan muka bumi ini, tanpa
tersekat oleh batas Negara dan ruang waktu. Khusus di Indonesia, sejarah pelacuran dapat dirunut mulai dari masa kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan di pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari kasta rendah secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur. Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara. Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan tersedia dan terjadinya aktivitas pelacuran. Terutama karena banyak keluarga pribumi yang menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para saudagar. 2
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Kondisi sebagaimana tersebut di atas terus berkembang dan bertahan hingga abad modern ini. Entah dengan alasan himpitan ekonomi, memburu kesenangan ataupun alasan lainnya, praktek pelacuran menjadi semakin marak dan semakin sulit pula untuk diberantas. Di beberapa daerah bahkan praktik pelacuran dilegalisasi dalam bentuk pendirian lokalisasi. Seperti di kawasan Doly Surabaya misalnya, yang diklaim sebagai tempat pelacuran terbesar di Indonesia, keberadaannya dilegalkan dan bahkan dilindungi. Demikian pula halnya dengan perjudian, yang sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan secara tepat kapan perjudian mulai dikenal oleh manusia. Namun menurut Cohan (1964), perjudian sudah ada sejak jaman prasejarah. Perjudiaan bahkan seringkali dianggap seusia dengan peradaban manusia. Dalam cerita Mahabarata dapat diketahui bahwa Pandawa menjadi kehilangan kerajaan dan dibuang ke hutan selama 13 tahun karena kalah dalam permainan judi melawan Kurawa. Di dunia barat perilaku berjudi sudah dikenal sejak jaman Yunani kuno. Alice Hewing (dalam Stanford & Susan, 1996) dalam bukunya
Something for Nothing: A History of Gambling mengemukakan bahwa orang-orang Mesir kuno sangat senang bertaruh dalam suatu permainan seperti yang dimainkan oleh anak-anak pada masa kini dimana mereka menebak jumlah jari-jari dua orang berdasarkan angka ganjil atau genap. Orang-orang Romawi kuno menyenangi permainan melempar koin dan lotere yang dipelajari dari Cina, serta permainan dadu. Para Raja seperti Nero dan Claudine menganggap permainan dadu sebagai bagian penting dalam acara kerajaan. Namun permainan dadu menghilang bersamaan dengan keruntuhan kerajaan Romawi, dan baru ditemukan kembali beberapa abad kemudian di sebuah Benteng Arab bernama Hazart, semasa perang salib. Setelah dadu diperkenalkan lagi di Eropa sekitar tahun 1100an oleh para bekas serdadu perang salib, permainan dadu mulai merebak lagi. Banyak kerabat kerajaan dari Inggris dan Perancis yang kalah bermain judi ditempat yang disebut Hazard (mungkin diambil dari nama tempat dimana dadu 3
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
tersebut diketemukan kembali). Sampai abad ke 18, Hazard masih tetap populer bagi para raja dan pelancong dalam berjudi. Pada abad ke 14, permainan kartu juga mulai memasuki Eropa, dibawa oleh para pelancong yang datang dari Cina. Kartu pertama yang dibuat di Eropa dibuat di Italia dan berisi 78 gambar hasil lukisan yang sangat indah. Pada abad 15, Perancis mengurangi jumlah kartu menjadi 56 dan mulai memproduksi kartu untuk seluruh Eropa. Pada masa ini Ratu Inggris, Elizabeth I sudah memperkenalkan lotere guna meningkatkan pendapatan negara untuk memperbaiki pelabuhan-pelabuhan. Seiring dengan dilakukannya pelayaran dan perdagangan serta ditemukannya beberapa benua baru, maka anekaragam jenis permainan judi turut serta disebarluaskan oleh para pedagang dan pelancong. Kondisi ini semakin memperbanyak pilihan permainan judi karena jenis permainan yang dibawa oleh para pedagang dan pelancong tersebut sebenarnya hanya merupakan tambahan dari jenis yang sudah dikenal oleh komunitas masyarakat setempat. Dengan keanekaragaman jenis permainan judi dan kemudahan teknik permainannya maka perjudian dengan mudah dan cepat menyebar keseluruh penjuru dunia. Dewasa ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terangterangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian masyarakat sudah cenderung permissif dan seolah-olah memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan. Sehingga yang terjadi di berbagai tempat sekarang ini banyak dibuka agen-agen judi togel dan judi-judi lainnya yang sebenarnya telah menyedot dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar. Sementara itu di sisi lain, memang ada kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah perjudian ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa tempat perjudian disinyalir mempunyai backing dari oknum aparat keamanan.
4
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Sebuah catatan sejarah kelam tentang perjudian ini sebenarnya sudah berlangsung di Jakarta, yakni setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah kita di ahkir tahun 1950, mulai nampak kegiatan perjudian di Jakarta. Hal ini bermula dari pesta-pesta yang dilakukan masyarakat dan jenis judinya adalah dadu sintir, dadu koplok, main domino, gaple, cemek dan dikalangan keturunan Tionghoa: mahyong, paykiu dan kartu ceki. Jenis perjudian tersebut berlangsung hampir pada setiap ada hajatan di kampung-kampung. Para lurah pun biasanya ikut main! Ini sudah dianggap biasa, malahan mungkin sudah tertradisi. Kemudian berkembang dilihat dari sudut jenis permainan judi. Hampir segala permainan judi “modern” mulai ada yang mengambil inisiatif. Mulailah diadakan judi gelap yang mencakup jenis rulet, bakarat, blackjack, keno, dadu; ditambah lagi dengan mesin jackpot. Baru pada jaman ORBA ditambah lagi dengan mesin micky mouse hingga sekarang. Namun perjudian yang bersifat modern di Jakarta, diawali oleh kelompok-kelompok judi di beberapa wilayah Jakarta. Mereka terdiri dari beberapa kelompok yang dibedakan satu dengan lainnya berdasarkan wilayah kegiatannya. Ada tiga kelompok yang menonjol disekitar tahun 60-an yang merupakan benih pengembangan perjudian sampai ke tingkat kasino modern. Kelompok ini terdiri dari tokoh-tokoh dunia perjudian yang bermukim di sekitar wilayah Pasar Senen seperti Tanah Tinggi, sekitar bioskop Rialto (sekarang jadi tempat wayang orang), Bungur Besar dll. Namun yang menonjol ketika itu adalah KENG TO, MEHE, TJENG KIN, kemudian yang lebih muda: ONG, U-U, SEK KWIE (Setan Kecil) yang jika bicara gagap, dengan para asisten mereka yang memang dibesarkan di kalangan “kang ouw” Senen. Perjudian segala jaman, selalu ada dedengkot yang merupakan God
Father-nya. Nah, ditahun 1960-an dan seterusnya yang menjadi “pelindung” adalah Kapten Iman Syafiie, yang sangat terkenal dengan panggilan “Pak PIIE”. Pak Pi-ie ini pernah menjadi menteri dalam kabinet terakhir Bung 5
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Karno dalam rangka “Kabinet 100 Menteri”. Sedangkan dua kelompok lainnya adalah “Kelompok Pasar Baru” dan “Kelompok Kota”. Tokoh yang paling menonjol dari kelompok Pasar Baru adalah FUK SEN yang bertempat tingal di jalan Kartini, Jakarta Pusat. Dedengkot “kelompok Kota” adalah dua APIANG: APIANG dan APIANG JINGGO di Mangga Besar. Pada tahun-tahun itu, penyelenggaraan judi masih “gelap”, karena memang tidak ada ijin resmi dari Pemerintah. Pelaksanaan kasino gelap dengan jenis permainan, terutama rulet, diselenggarakan di Batu Ceper/Batutulis, Jakarta Pusat. Ketika itu yang menjadi "pelindung" adalah Kolonel AHMADI, yang juga merupakan tokoh Angkatan 45. 2. Pelacuran dalam Beberapa Pengertian dan Pemaknaan Dalam situasi apa pun, pelacuran selalu saja hadir, dari yang mengendap-endap hingga yang terang-terangan. Sulit dielak, pelacuran telah beringsut dan menggurita menjadi industri seks yang tak pernah sepi dari hiruk-pikuk konsumen sehingga keberadaannya menjelma bagai "benang ruwet". Sebab, pelacuran selalu saja berimpitan dengan wilayah sosial, kekuasaan politik, dan ekonomi, bahkan lembaga keagamaan.1 Namun juga, pelacuran berkaitan dengan watak dan tabiat manusia yang seolah menjadikannya sebagai bagian dari hidup. Tak ayal, soal pelacuran sama saja dengan mengunyah masalah yang paling purba di muka bumi ini. Atau, seperti kata Helen Buckingham, Ketua Prostitution Laws Are Non-Sense, pelacuran adalah profesi wanita paling purba, tempat untuk pertama kalinya seorang wanita memperoleh penghasilan yang modalnya adalah tubuhnya sendiri. Pelacuran adalah sebentuk wajah dari seksualitas manusia. Seksualitas sendiri tentunya sudah berjalan semenjak manusia ada, terutama untuk maksud- maksud reproduksi. Seiring dengan berjalannya waktu dan makin merumitnya kebudayaan, maka melebar pula jangkauan 1
Tam Dam Truong, Sex, Money and Morality, Terj. Ade Armado, (Jakarta: LP3ES, 1992)
6
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
seksualitas. Demikian pula kehadiran pelacuran bersetangkup dengan tersimpuhnya impuls-impuls erotisme yang secara fitrah ada dalam diri manusia. Erotisme merupakan salah satu aspek dari kehidupan batin manusia, suatu aspek langsung dari pengalaman batin yang membedakan dengan seksualitas binatang. Watak dari erotisme adalah kemenyatuan gairah yang melampaui segala penghalang seperti tabu-tabu yang dikonstruksi secara sosial. Menurut George Bataille, pelacuran adalah salah satu corak kehidupan sosial yang melanggar normalitas sosial. Di dalam pelacuran sesungguhnya aspek kesucian dan pantangan dalam hubungan seksual tetap berpadu dalam diri sang pelakunya, hanya saja ia menerabas batas.2 Lahirnya pelacuran yang semata karena kuatnya pertukaran komersialBataille menyebutnya dengan “Low Prostitution”3 –disebabkan oleh faktor kemiskinan daripada penjelajahan terhadap tabu-tabu. Kemiskinan menjadi sebab-sebab lain yang membebaskan dari larangan sosial, tetapi bukan melanggar, hanya penampakan dari rasa ketakberdayaan secara sosial ekonomi. Dan, ini bertalian dengan dunia kerja dalam “iron cage” kapitalisme. Secara sosiologis, suasana lalu lalang pelacuran acap kali menjerat pandang masyarakat yang berstandar ganda. Pelacuran dipandang sebagai kehinaan sehingga dimasukkan dalam patologi sosial. Di sisi lain-menyitir kata-kata Dr J Verkuyl –pelacuran diterima sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Apakah itu pelacur yang berjulukan Hetaerae yang cerdas, anggun, dan terhormat di zaman Yunani Kuno, ataukah itu Meretrice yang hina dan dipaksa memakai wig, melata, dan bergelandang di pojok kota dalam masyarakat bawah Romawi. Beragam
pandangan
orang
terhadap
kehidupan
pelacuran
mengental dalam dimensinya masing-masing, mengutuk atau bersimpati George Bataille, Erotism, Death And Sensuality, (San Francisco: City Light Books, 1986), 132-133 3 Ibid, . 135 2
7
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
terhadap mereka yang melata dan menggelepar menangguk lembaranlembaran rupiah dengan modal tubuh itu. Penilaian inilah yang akan melahirkan posisi sosial seorang penjaja seks. Tak urung-menyitir MAW Brouwer-masyarakat bisa terjebak pada sikap munafik. Ini yang dirasakan Nidal dalam pergulatan profesinya di Baghdad: “Laki-laki memang makhluk paling munafik di dunia. Mereka mencemooh, tetapi diam-diam mereka datang”. Apa pun bentuk penilaian dan tindakan, kegiatan penjajaan seks sebagai komoditas akan tetap berlangsung terus. Secara post-factum, bisa dikatakan bahwa pelacuran yang dianggap sebagai “penyimpangan moral agama” sudah merupakan bagian integral dalam kehidupan manusia, berdampingan dengan jalan normalitas. Dalam kata-kata Thomas Aquinas yang mencuplik St. Agustinus, pelacuran ibarat sebuah “selokan” di dalam sebuah istana. Mungkin, tanpa selokan sebuah istana indah nan megah, lambat laun akan mesum karena tidak ada jalan untuk membuang kotoran yang terdapat di dalamnya.4 3. Pelacuran dalam Perspektif Hukum Negara dan Hukum Islam Berdasarkan hukum Negara Indonesia, tidak ada satu pun pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara tegas mengancam hukuman pidana kepada pelacur. Hanya ada tiga pasal yang memberikan ancaman pidana kepada siapa pun yang mata pencahariannya atau kebiasaannya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain (germo). Ini diancam dengan Pasal 296 KUHP. Kemudian, yang memperniagakan perempuan (termasuk laki-laki) yang belum dewasa disebut dalam Pasal 297 KUHP. Dan, yang terakhir adalah pelindung yang berperan sebagai perantara atau calo dalam mempertemukan
pelacur
dengan
pelanggannya
serta
mengambil
keuntungan dari pelacuran diancam dalam Pasal 506 KUHP.5 Dengan
4 5
Tjahyo Purnomo dan Ashadi Siregar, Dolly, (Jakarta: Graffiti Press, 1985), 9 R. Susilo, KUHP, (Bogor: Politeia, 1964)
8
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
demikian, si pelacur sendiri tidak secara tegas diancam oleh hukum pidana karena memang “Prostitution it Self is Not Crime”, seperti kata Dennise Winn. Di tengah kenyataan yang menyemak belukar ini, kaum agamawan pun jelas- jelas tertimpuk oleh persoalan krusial sekaligus dilematis. Praktik pelacuran yang merupakan kata lain dari perzinahan sudah jelasjelas diharamkan. Di antara dalil yang dipergunakan sebagai dasar keharaman itu adalah: a. Al-Qur’an (QS al-Isra>’: 32)
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk b. Al-Qur’an (Q.S al-Nisa:> 24)
Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. c. Hadis Nabi: 9
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
- “Berwasiat-wasiatanlah kamu terhadap perempuan dengan sebaikbaiknya. Karena kamu mengambilnya jadi isteri ialah sebagai amanat dari Allah, dan barulah halal kehormatannya bagi kamu setelah dihalalkan dengan kalimat Allah”. Namun begitu, pelacuran menjadi hal yang problematis karena ia berada pada grey area, wilayah abu-abu yang remang. Di satu sisi, dalam stigma ajaran agama, pelacuran merupakan kemungkaran (Munkarat wa
al-Jari>mah). Sementara di sisi lain, pelacuran sulit diberantas, bahkan kian mewabah dengan segala hal yang melatarinya. Demikian pula hukum agama dalam hal sulitnya menindak pelacuran. Agama tidak bisa langsung bertindak sebagai “lembaga inkuisisi” dengan menjatuhkan sanksi (‘uqu>bat) terhadap pelacuran. Dalam fikih Islam sendiri terdapat ragam beda pendapat, misalnya dalam kasus pelacuran. Menurut Abu Hanifah, perbuatan seks dengan wanita bayaran tidak bisa dikenai hukum Hadd karena hukum transaksinya (al-
Ija>rah) masih samar (syubhat), sedangkan pelaksanaan hukum Hadd, seperti disabdakan nabi, harus bebas dari segala kesamaran.6 Pemikiran fikih ini tampak pula dari hasil penjelajahan hukum (istinbath) KH. Sahal Mahfudz yang kini menjadi Ketua MUI. Khusus mengenai pelacuran, KH. Sahal Mahfudz lebih menggunakan “paradigma jalan tengah”. Sempat terjadi polemik ketika KH. Sahal Mahfudz mendukung sentralisasi lokasi pelacuran di Jawa Tengah yang diusulkannya untuk ditempatkan di Nusakambangan dan Karimunjawa. Menurut KH. Sahal Mahfudz, pelacuran bagaimanapun tidak dapat dihapuskan, yang bisa dilakukan adalah meminimalisasi. Dalam kata-kata KH. Sahal Mahfudz, “Apabila pelacuran dipandang sebagai sebuah dosa, maka perluasan industri seks baik melalui turisme seks atau lainnya harus pula dipandang sebagai refleksi kegagalan Sirajuddin Abu Hafsh, Al-Ghurrah al-Munifah, (Beirut: Maktabah Imam Abu Hanifah, 1988), 169-170, Cet. II 6
10
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
untuk mempertahankan tindakan moral yang ideal. Sebab, apalah artinya ’membenci dosa’, tapi mencintai ’pelaku dosa’. Dengan demikian, penanganan industri seks harus dilihat dari berbagai aspek dan perlu melibatkan banyak pihak.”7 Pada tataran teoretis bisa lebih dijelaskan bahwa dalam hukum Islam terdapat istilah hukum pokok (al-Ahka>m al-As}liyyah), yaitu intiinti ajaran hukum yang terdapat dalam syariah dan hukum pendukung (al-
Ah}ka>m al-Muayyidah). Kasus hukum rajam bagi pelaku zina, umpamanya, bukanlah inti ajaran yang dikehendaki syariah. Yang inti adalah larangan perbuatan zina. Adapun hukum rajam adalah hukum pendukung dalam menegakkan larangan zina. Jadi, cukup hukum pokok saja yang diakomodir. Karena, seperti dinyatakan oleh Wahbah Zuhailli, hukum pendukung tidak selamanya bisa dilaksanakan di tempat dan waktu yang berbeda.8 Maka, hukum rajam tersebut tidak harus dipaksakan keberlakuannya. Yang penting, tidak bertentangan dengan inti ajaran syariah, yang berarti win-win solution dalam rangka pemeliharaan agama dan kemaslahatan dunia (Haratsah al-Di>n wa Siya>sah al-Dunya). Hal ini membuktikan bahwa fikih dengan pluralisme pendapat
(qaul) tidak bisa langsung dijadikan sebagai hukum positif negara. Artinya, fikih bukan sebagai “kebenaran ortodoksi”, tetapi lebih sebagai “pemaknaan sosial” dan “alat rekayasa sosial” sekaligus sebagai “etika sosial”. Dengan demikian, masalahnya adalah bagaimana meramu hukum Islam agar kehadirannya tidak bertentangan dengan modernitas, tetapi sejalan dengan semangat dan ruh wahyu sebagai sumber fikih. Kalau dikaitkan dengan persoalan dosa dan iman, kita bisa menengok kembali pada teologi Islam yang pernah menjadikan persoalan tersebut sebagai perdebatan teologis yang seru. Perdebatan ini kemudian Sumanto al-Qurthubi, KH MA Sa Mahfudz: Era Baru Fikih Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999), 101-102 7
8
Wahbah Zuhailli, Al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Darul Fikr, 1986), 280, juz IV
11
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
melahirkan sekte-sekte (firqah) yang masing-masing berpegang pada argumennya. Kelompok Khawarij menganggap bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa besar berarti layak dikafirkan. Sementara itu, kelompok Sunni mendasarkan pandangan bahwa orang mukmin tersebut masih tetap dalam bingkai mukmin, bukan kafir. Sementara kelompok Murji’ah tidak memberikan sikap yang pasti: apakah mereka tetap mukmin atau kafir. Mereka beralasan bahwa permasalahan tersebut merupakan wilayah otoritatif dan hak prerogatif Tuhan. Berarti, keputusannya menunggu nanti di akhirat yang akan dihakimi sendiri oleh Tuhan. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa di dalam Islam tindakan pengafiran (takfi>r), lebih-lebih pengafiran secara akidah, tidak boleh dilakukan secara gegabah karena masih menjadi lapangan ijtihadi. Tegasnya, yang dibutuhkan saat ini dalam meretas apa yang kerap disebut sebagai “problem modernitas” adalah fikih sosial, bukan konstitusionalisasi hukum Islam yang dioperasikan secara paksa. Fungsi fikih sosial ini sangatlah progresif, di antaranya menjadi “counter
discourse” terhadap hegemoni pola pemikiran lama yang konservatif. Sebab, konsep kunci seluruh pemikiran hukum dalam Islam adalah
Mas}alih al-‘Ammah, kebaikan universal. Dengan cara pandang dan wacana fikih sosial ini, maka penyikapan yang dilakukan secara radikal terhadap segala bentuk patologi sosial, termasuk pelacuran, tidak akan terjadi. Sebaliknya, akan mewujud penyikapan secara moderat (tawasut}), bijaksana (tawa>zun), dan selalu memberikan jalan pemecahan, tidak tergesa melakukan tindakan yang justru bisa membawa pada dampak destruktif yang berkesinambungan. 1. Perjudian dalam Beberapa Pengertian dan Pemaknaan Pada
hakekatnya
perjudian
merupakan
perbuatan
yang
bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Meskipun demikian, berbagai macam dan bentuk 12
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
perjudian dewasa ini sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Mengingat masalah perjudian sudah menjadi penyakit akut masyarakat, maka perlu upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, tidak hanya dari pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga dari kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dan bahu membahu menanggulangi dan memberantas semua bentuk perjudian. Dewasa ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian masyarakat sudah cenderung permissif dan seolah-olah memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan. Sehingga yang terjadi di berbagai tempat sekarang ini banyak dibuka agen-agen judi togel dan judi-judi lainnya yang sebenarnya telah menyedot dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar. Sementara itu di sisi lain, memang ada kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah perjudian ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa tempat perjudian disinyalir mempunyai becking dari oknum aparat keamanan. Perjudian adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Dari sinilah kita bisa mengatakan bahwa 13
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
perjudian juga merupakan salah satu penyakit masyarakat yang menunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi kegenerasi ternyata tidak mudah diberantas. Oleh karena itu perlu diupayakan agar masyarakat menjauhi melakukan perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya dan terhindarnya ekses-ekses negatif yang lebih parah untuk akhirnya dapat berhenti melakukan perjudian. Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, bahkan merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Namun demikian Indonesia bukanlah negara Islam, maksudnya bukan negara yang segala produk hukumnya bersumber dari ajaran-ajaran Islam (al-Qur'an dan al-
Sunnah). Sebagai negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia dan sebuah negara demokratis, maka dengan sendirinya produk-produk hukum Indonesia banyak diwarnai ummat Islam. Karena demokrasi adalah identik dengan kekuasaan mayoritas terhadap minoritas. Keberadaan kelompok minoritas dari pemeluk agama-agama lain inilah yang membedakan ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di Semenanjung Arabia pada umumnya. Meskipun demikian bukan berarti eksistensi kelompok minoritas tersebut menghalangi ummat Islam Indonesia untuk memunculkan produk-produk hukum islami. Karena Islam sendiri adalah agama yang menjamin hak-hak minoritas di tengah mayoritas muslim. Namun
demikian
terkadang
produk-produk
mencerminkan
eksistensi
mayoritas
serasa
hukum
membatasi
yang
kebebasan
kelompok minoritas yang hidup bersama dalam satu tanah air. Jika produk hukum yang lahir secara demokratis dan mayoritas sentris itu tidak bersumber dari ajaran Islam yang sebenarnya, atau jika kelompok mayoritas yang mengegolkan produk-produk hukum itu tidak memahami wacana spirit Islam dengan baik. Sebagaimana lontaran pernyataan 14
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Ahmad Sumargono tentang UU perjudian yang dibawa anggota-anggota DPR dari Mesir di atas. Pelegalan bentuk perjudian di Republik ini tidak mungkin, karena negeri ini mayoritas penduduknya beragama Islam, sedang Islam mutlak melarang pemeluk-pemeluknya berjudi. Sedangkan pemberantasan judi dari dulu hingga kini tidak pernah berhasil. Karena itu perjudian di Republik ini semenjak dahulu bagai buah simalakama. Pemberantasan perjudian hanya tergantung pada niat baik rezim penguasa. Jika rezim penguasa sedang mencari dukungan rakyat, maka ia akan aktif memberantas judi. Jika tidak aparat-aparat negara bahkan menjadi beking utama judi. Bahkan pada masa Orde Baru rezim penguasa dapat bermuka dua, melarang judi namun melegalkan permainan-permainan yang mengarah pada judi seperti NALO, TSSB, KSOB, PORKAS, terakhir SDSB. Semenjak empatbelas abad silam, agama Islam mengharamkan judi secara mutlak bagi pemeluk-pemeluknya. Bahkan dalam hukum Islam jika seorang muslim tertangkap sedang berjudi, maka ia akan menghadapi tuntutan pidana (uqu>bat), baik cambuk maupun penjara (ta’zi>r) oleh peradilan Islam. Meski demikian pemerintah Islam tidak dapat memaksa pengharaman judi bagi pemeluk agama-agama lain di luar Islam, karena Islam menjamin dan melindungi hak-hak minoritas nonIslam yang hidup dalam satu negara. Karena ummat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas hidup berdampingan dengan pemeluk agama-agama lain yang minoritas, maka produk-produk hukum ummat Islam haruslah memberikan kebebasan, keadilan, dan keamanan bagi kelompok minoritas. Termasuk diantaranya produk-produk hukum yang berhubungan dengan RUU perjudian yang kelak akan diangkat ke parlemen. Dalam sebuah negara Islam, Islam tidak melarang pemeluk agama lain melakukan hal-hal yang diharamkan Islam, selagi agama yang ia 15
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
peluk membolehkannya. Karena itu negara Islam harus menyediakan tempat penjualan miras, daging babi, dan tempat perjudian bagi kaum minoritas di luar Islam, namun harus mengawasinya dengan ketat dari jangkauan orang-orang Islam. Sebenarnya, legalisasi dan lokalisasi perjudian diperlukan untuk pengawasan di samping agar perjudian tidak merambah ke tempat pemuki! man hingga membahayakan masyarakat luas. Karena perjudian yang terselubung mempunyai dampak bahaya lebih besar. Dalam kaidah fikih Islam “jika ada dua bahaya, maka harus diambil salahsatu bahaya yang beresiko kecil”, “Menolak bahaya harus didahulukan, daripada mengambil manfaat”. Islam memang melarang pemeluknya berjudi dan minum-minuman keras, namun Islam juga memberikan solusi bagi pemeluk agama lain yang menghalalkannya yang hidup bersama dalam masyarakat kaum muslimin. Karena itu pernyataan sebagian pemimpin Islam ummat Indonesia terkadang tidak berdasar dan kurang dapat dipertanggungjawabkan serta memberi kesan kepada pemeluk agama lain seakan-akan Islam agama penindas, memerangi hak-hak minoritas, serta mengancam demokrasi, khususnya demokrasi di Tanah Air yang baru bersemi. Bahkan pernyataan-pernyataan tersebut hanya sekedar melarang, tanpa memberi jalan keluar bagi kelompok beragama lain, sebuah hal yang bertentangan dengan Islam itu sendiri. 2. Perjudian dalam Perspektif Hukum Dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Mengenai batasan perjudian sendiri diatur dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP sebagai berikut: “Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung 16
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”. Ancaman pidana perjudian sebenarnya sudah cukup berat, yaitu dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah). Pasal 303 KUHP jo. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1974 menyebutkan: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barangsiapa tanpa mendapat ijin: 1. Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu. 2. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara. 3. Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencaharian. (2) Kalau
yang
bersalah
melakukan
kejahatan
tersebut
dalam
menjalankan pencahariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian itu. Meskipun masalah perjudian sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi baik dalam KUHP maupun UU No. 7 tahun 1974 ternyata masih mengandung beberapa kelemahan. Adapun beberapa kelemahannya adalah: 1. Perundang-undangan hanya mengatur perjudian yang dijadikan mata pencaharian, sehingga kalau seseorang melakukan perjudian yang bukan sebagai mata pencaharian maka dapat dijadikan celah 17
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
hukum yang memungkinkan perjudian tidak dikenakan hukuman pidana. 2. Perundang-undangan hanya mengatur tentang batas maksimal hukuman, tetapi tidak mengatur tentang batas minimal hukuman, sehingga dalam praktek peradilan, majelis hakim seringkali dalam putusannya sangat ringan hanya beberapa bulan saja atau malah dibebaskan. 3.
Pasal 303 bis ayat (1) angka 2, hanya dikenakan terhadap perjudian yang bersifat ilegal, sedangkan perjudian yang legal atau ada izin penguasa sebagai pengecualian sehingga tidak dapat dikenakan pidana terhadap pelakunya. Dalam praktek izin penguasa ini sangat mungkin disalahgunakan, seperti adanya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dengan pejabat yang berwenang. Mengingat masalah perjudian sudah menjadi penyakit yang akut
masyarakat, maka perlu upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, tidak hanya dari pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga dari kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dan bahu membahu menanggulangi dan memberantas semua bentuk perjudian. 3. Perjudian dalam Fiqh Kontemporer Fiqh tidak semata diamalkan sebagai “hukum positif”, tetapi berfungsi sebagai “pemaknaan sosial”. Di sinilah arti penting maslahah atau kepentingan umum. Para ulama fiqih klasik, seperti Najmuddin athThufi dan asy-Syatibi, menyebut perlunya independensi rasio dan pembuktian empiris untuk menemukan maslahah dan mafsadah dalam suatu kasus hukum. Sehingga dengan pendekatan seperti ini, menyikapi kasus judi seperti ini dapat menghasilkan sikap yang proposional (sya>mil). Selama ini penilaian kaum agamawan terhadap judi dan jenis kemaksiatan lainnya tidak selalu menghasilkan suatu bentuk kemaslahatan publik. Sebaliknya, malah berpotensi melahirkan tindakan anarkis. Hal ini 18
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
dikhawatirkan akan memicu konflik sosial. Dan ini jelas berpunggungan atau berseberangan dengan cita syariat Islam, yakni demi mengedepankan kebajikan dan kepentingan umum (maslah}ah al-‘ammah). Larangan judi dalam Islam memang bersifat tegas (qath’iy at-
dila>lah). Soalnya, mengutip al-Jurjawi dalam hikmah at-tasyri’ wa falsafatuh, judi melawan kodrat manusia untuk mencari penghidupan dengan kerja keras. Namun, pergerakan dan dinamika yang namanya judi ini nyatanya menjadi masalah krusial sekaligus dilematis. Di satu sisi, judi merupakan ukuran moralitas seseorang. Tapi, disisi lain, ia memberikan sumbangan yang tidak sedikit positifnya bagi negara, dalam bentuk pajak, penciptaan lapangan kerja dan sebagainya. Adanya “benang ruwet” antara judi dan kekuasaan itu menyebabkan upaya penghapusan mengalami hambatan serius. Hambatan ini tidak hanya datang dari kekuasaan, tetapi juga dari watak dan tabiat manusia itu sendiri yang menjadikan judi sebagai bagian hidup dari mereka. Dalam pandangan fiqih sosial, dua cara terbaik menanggulangi perjudian yang dapat ditawarkan; pertama, melalui sentralisasi lokasi judi. Kebijakan ini bisa mengambil sampel kebijakan pemerintah malaysia yang memusatkan lokasi judi di Genting Highland. Cara pertama ini dimaksukan sebagai jalan tengah dari dua arus pemikiran, yaitu kubu yang tetap menghendaki perjudian seperti “apa adanya” dan kubu yang bersikeras untuk menghapuskannya. Kedua pola pikir tersebut sama-sama menimbulkan madharat. Dan itu berarti harus dihindari. Kaidah fiqih menyebutkan,
Madlarat itu tidak dapat dihilangkan dengan madlarat Yakni tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri dan juga pada orang lain.
19
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Pola pikir pertama yang menghendaki judi tetap jalan, jelas punya mudarat. Karena itu berarti sama saja dengan merestui “lembaga kemaksiatan”. Padahal dalam fiqih ada kaidah yang menyebutkan, “rela terhadap sesuatu berarti rela terhadap sesuatu yang dilahirkannya”, artinya, berdiam diri dari perjudian berarti merelakan berbagai ekses negatif perjudian. Demikian pula pola pikir kedua yang menuntut penghapusan total perjudian, juga tidak mampu menyelesaikan masalah. Pasalnya, ada banyak elemen masyarakat yang nasibnya begnatung pada sektor bisni seperti ini. Karena itu, dibutuhkan “saluran resmi” perjudian. Bagaimanapun, perjudian mustahil dienyahkan, tapi hanya bisa diminimalisir dengan ikhtiar sentralisasi lokasi judi. Seperti halnya lokalisasi pelacuran, lokalisasi judi pun menjadi pilihan rasional. Kebijakan ini berdasar pada kaidah fiqih:
Manakala berkumpul dua bahaya, maka ambillah yang lebih ringan
Manakala dua mafsadah b erkumpul, maka ambillah yang lebih ringan daripadanya”. Yaitu mengambil sikap resikonya paling kecil dari dua macam bahaya atau mudarat. Kesimpulan Pelacur yang saya jelaskan pertama merupakan pelacur yang sebenarbenarnya pelacur; artinya mereka sebenarnya tidak ada problem terhadap kondisi ekonomi, akan tetapi mentalitas mereka juga telah menjadi mentalitas pelacur. Pelacur seperti ini yang biasanya susah bahkan mustahil untuk dientaskan apalagi 20
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
diberantas, mereka akan terus menjalar kemana-mana. Sementara pelacur yang kedua, adalah pelacur yang hanya terkena imbas dari keadaan ekonomi (apalagi sekarang dikenal istilah kemiskinan struktural) sehingga tidak ada pilihan kerja lain selain menjual diri. Mereka menduga bahwa tidak butuh modal yang banyak, hanya modal tubuhnya saja mereka bisa mendapatkan uang. Jika kondisi ekonomi mereka menjadi mapan maka tidak mungkin mereka akan melacurkan diri, karena kebutuhan hidupnya telah terpenuhi. Karena itu baik hukum positif (hukum negara kalau ada dan diterapkan dengan maksimal) maupun hukum Agama “seharusnya” lebih memilah penghukuman keras atas pelacur, tidak disamakan begitu saja. Apalagi persolannya hanya “bagaimana” menekan atau meminimalisir pelacuran yang sampai
saat
ini
berkembang
dengan
pesatnya.
Saya
tidak
hendak
menyederhanakan atau mereduksi persoalan pelacuran, akan tetapi pelacuran tersebut tuntas kalau kita menemukan akar persoalan yang mendasarinya. Baik itu persolan ekonomi, atau sengaja “dimapankan” oleh pihak-pihak tertentu atau karena mentalitas seorang perempuan sendiri yang menikmati tubuh dan kehormatannya dijajah oleh orang lain. Tapi bagaimana lagi, mendekat saja kita dilarang, karena itu “mustahil” untuk menemukan akar persoalan sehingga nantinya akan ditemukan formula solusi yang cerdas. Akibatnya kita cenderung untuk memangkas akar persoalan tersebut dari tengah keatas; artinya kita terlalu gegabah—kalau tidak bisa dikatakan ngawur—menerapkan solusi yang sebenarnya akan menambah runyam persoalan pelacuran. Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, bahkan merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Namun demikian Indonesia bukanlah negara Islam, maksudnya bukan negara yang segala produk hukumnya bersumber dari ajaran-ajaran Islam (Al-Qur'an dan AsSunnah). Sebagai negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia dan sebuah negara demokratis, maka dengan sendirinya produk-produk hukum Indonesia banyak diwarnai ummat Islam. Karena demokrasi adalah identik dengan kekuasaan mayoritas terhadap minoritas. 21
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Namun demikian terkadang produk-produk hukum yang mencerminkan eksistensi mayoritas serasa membatasi kebebasan kelompok minoritas yang hidup bersama dalam satu tanah air. Jika produk hukum yang lahir secara demokratis dan mayoritas sentris itu tidak bersumber dari ajaran Islam yang sebenarnya, atau jika kelompok mayoritas yang mengegolkan produk-produk hukum itu tidak memahami wacana spirit Islam dengan baik. Sebagaimana lontaran pernyataan Ahmad Sumargono tentang UU perjudian yang dibawa anggota-anggota DPR dari Mesir di atas. Larangan judi dalam Islam memang bersifat tegas (qath’iy at-dilalah). Soalnya, mengutip al-Jurjawi dalam hikmah at-tasyri’ wa falsafatuh, judi melawan kodrat manusia untuk mencari penghidupan dengan kerja keras. Namun, pergerakan dan dinamika yang namanya judi ini nyatanya menjadi masalah krusial sekaligus dilematis. Di satu sisi, judi merupakan ukuran moralitas seseorang. Tapi, disisi lain, ia memberikan sumbangan yang tidak sedikit positifnya bagi negara, dalam bentuk pajak, penciptaan lapangan kerja dan sebagainya. Adanya “benang ruwet” antara judi dan kekuasaan itu menyebabkan upaya penghapusan mengalami hambatan serius. Hambatan ini tidak hanya datang dari kekuasaan, tetapi juga dari watak dan tabiat manusia itu sendiri yang menjadikan judi sebagai bagian hidup dari mereka. Dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Mengenai batasan perjudian sendiri diatur dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP sebagai berikut: “Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir.
22