Terorisme Dalam Perspektif Fiqih Siyasah Dahyul Daipon Abstract: Sejak peristiwa serangan terhadap World Trade Center New York, maka isu teroris mulai digencarkan oleh Amerika Serikat. Berbagai upaya dilakukannya untuk mendukung gerakan anti terorisme ini. Negara yang berjulukan polisi dunia ini, memanfaatkan negara-negara yang tergabung dengan PBB sebagai “kaki tangannya” dalam rangka mengantisipasi teror-teror berikutnya yang mungkin akan terjadi, termasuk mengangkat isu sentral yaitu pelanggaran terhadap hakhak asasi manusia. Belum ada defenisi yang baku terhadap terorisme ini, sehingga masing-masing negara mendefenisikan menurut kepentingan dan keyakinan mereka sendiri untuk mendukung kepentingan nasionalnya. Menurut Louis P. Pojman, terorisme diartikan sebagai kekerasan yang menimbulkan ketakutan serta kepanikan, yang ditujukan kepada masyarakat sipil atau non kombatan, dengan didasari pada kepentingan politik atau agama. “Dalam konteks Islam: tindakan terorisme jelas merupakan perlawanan terhadap unsur pokok yang kedua dan kelima; (hifz an-nafs dan hifz al-māl) dari al-khamsah ad-dharuriyah. Dengan demikian tindakan terorisme ini perlu dicegah. Menurut siyasah syar’iyyah, Dalam al-Qur’an tindakan teroris ini disinyalir oleh Allah SWT dalam surat al-Maidah (5): ayat 33. Dalam konteks Indonesia, pemerintah dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya: Pertama, UU no. 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pengganti UU nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kedua, undang-undang No: 09 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana dan pendanaan teroris ini. Key words: Terorisme, Fiqih Siyasah
1
Abstract: Since the events of the attack on the World Trade Center of New York, the terrorist issues ranging intensified by the United States. Various attempts were done to support the anti-terrorism movement. State police were nicknamed the world, utilizing the countries that joined with the United Nations as "accomplice" in anticipation of the next terror that might occur, including the lifting of the central issues is a violation of human rights. There is no standard definition for terrorism, so that each country define according to their own interests and beliefs to support its national interests. According to Louis P. Pojman, terrorism is defined as violence that cause fear and panic, which is directed against civilians or noncombatants, to be based on political or religious interests. "In the context of Islam: terrorism is clearly a fundamental element of resistance against the second and fifth; (Hifz and hifz an-nafs al-mal) of al-khamsah ad-dharuriyah. Thus this act of terrorism needs to be prevented. According siyasah syar'iyyah, In the Qur'an this terrorist act allegedly by Allah in the letter of al-Maidah (5): paragraph 33. In the context of Indonesia, the government in this case the House of Representatives has issued several regulations, including: First, Law no. 15 2003 On Establishment Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2002 on Combating Criminal Acts of Terrorism. Second, the law No: 09 of 2013 concerning the prevention and eradication of the crime and this terrorist financing. Key words: Terorisme, Fiqih Siyasah
2
A. Pendahuluan Isu terorisme mulai menjadi perhatian dunia sejak peristiwa 11 September 2001 atau 9/11, di Amerika Serikat. Terdapat empat serangan yang terjadi pada hari itu; dua serangan di World Trade Center New York, satu menyerang Pentagon di Arlington, Virginia, dan terakhir menyerang White House atau Gedung Putih di Washington D.C dekat Pennyslavenia. Pelaku dibalik serangan yang secara tidak sengaja adalah golongan Arab Muslim, mengaku bahwa mereka merupakan bagian dari Al-Qaeda (sebuah kelompok yang awalnya dibentuk oleh AS dan Osama bin Laden untuk memukul mundur pasukan Uni Soviet dari Afgan, namun saat ini balik menyerang AS). Peristiwa 9/11 ini, menjadi puncak perkembangan isu terorisme dalam dunia Internasional. Namun, pada hakekatnya terorisme itu sendiri sudah ada sejak tahun 19681. Peristiwa atau insiden yang dilakukan oleh kelompok teroris ini, mulai peristiwa bom Bali 1 dan 2, tragedi WTC 11 September 2001, pemboman di Madrid, sampai bom bunuh diri di kereta bawah tanah di London, itu bukti nyata bahwa kelompok teroris ini memiliki jaringan yang sangat luas. Indikasi serta fakta membuktikan bahwa disinyalir pelaku dari aksi-aksi terorisme yang disebutkan di atas tadi, memiliki karakteristik yang sama yakni kelompok teroris berlabel agama. Implikasinya adalah setiap negara sekarang memiliki prinsip bahwa musuh utama negara mereka adalah terorisme. Prinsip sederhana semacam ini sudah mulai berkembang menjadi sebuah perjanjian atau konvensi-konvensi yang secara khusus membicarakan dan mencari solusi untuk melawan terorisme ini baik tingkat regional atau global. Berkaitan dengan aksi-aksi yang ditunjukkan oleh para kelompok terorisme ini sudah tentu akan melihat dampak dari aksi itu. Para teroris tersebut melakukan tindakan yang tidak pandang bulu serta tidak berperikemanusiaan. Pengeboman, penyanderaan, serta perlawanan senjata tentunya akan menimbulkan banyak korban jiwa baik dari para warga sipil ataupun dari kelompok teroris tersebut. Namun hal itu hanya sebagian efek dari aksi-aksi teroris itu, dampak yang lebih luasnya justru berkaitan dengan stabilitas keamanan baik itu dari level negara, kawasan regional ataupun global2.
1
http://mmuyamin.blogspot.com/2011/06/terorisme-internasional-dalam.html, Diakses: Senin, 21
2
ibid
Des 2014 3
Pada dasarnya istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada negara yang ingin dituduh mendukung terorisme atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok terorisme. Tidak ada pula negara yang mau dituduh tindak terorisme karena menggunakan kekuatan militer. Ada pula yang mengatakan seseorang bisa disebut teroris sekaligus juga sebagai pejuang kebebasan. Hal ini tergantung dari sisi mana memandangnya. Itulah sebabnya, sampai saat ini tidak (belum) ada defenisi terorisme yang dapat diterima secara universal. Masing-masing negara mendefenisikan terorisme menurut kepentingan dan keyakinan mereka sendiri untuk mendukung kepentingan nasionalnya. Amerika Serikat (AS) negara yang pertama mendeklarasikan “perang melawan terorisme” (war on terorism) belum memberikan defenisi yang gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa dilandasi keraguan tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan. Kejelasan defenisi diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap dan berakibat merugikan kepentingan banyak pihak, disamping demi kepentingan atau target meresposi hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya wajib dihormati oleh semua orang atau bangsa beradab. Ketiadaan defenisi hukum Internasional mengenai terorisme tidak serta merta berarti meniadakan defenisi hukum tentang terorisme. Menurut hukum nasional masingmasing negara, disamping bukan berarti meniadakan sifat jahat perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa para pelaku terorisme bebas dari tuntutan hukum. Dalam Islam apa yang disebut dengan amal siyasi (aktifitas politik) merupakan bagian integral dari amal Islami. Sedangkan aktifitas politik yang dilakukan seorang Muslim hendaknya selalu melekat (inheren) dengan aktifitas keislamannya. Kenyataan ini semakin memperjelas pentingnya amal siyasi bagi setiap Muslim dan setiap pergerakan Islam.
Sehubungan
dengan
ini
seorang
tokoh
pergerakan
Hasan
al-Banna
menegaskan,”Kita adalah para politikus, dengan pengertian bahwa kita memperjuangkan urusan bangsa kita”. Pada bagian yang lain beliau menyatakan: “Seorang Muslim tidak akan sempurna keislamannya, kecuali bila ia menjadi seorang politikus yang memiliki wawasan luas dalam memikirkan urusan bangsanya, menaruh perhatian besar kepada kepentingan mereka dan mempunyai rasa kepekaan terhadap kehormatan mereka.”3
3
Risalah Tarbawiyah, Edisi 1/Tahun I/2008, h. 1 4
Lebih lanjut Hasan al-Banna mengatakan,”Politik adalah hal memikirkan tentang persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat.” Internal politik adalah mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hakhaknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan, dan dikritik jika mereka melakukan kekeliruan.” Sedangkan yang dimaksud dengan eksternal politik adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya ditengah-tengah bangsa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya4. Berdasarkan kenyataan dan teori di atas, nampaknya antara dua titik ekstrim tersebut (terorisme pada satu sisi dan amal siyasi disisi yang lain) perlu dimediasi sehingga terjadi harmonisasi yang pada akhirnya berujung yang namanya kemaslahatan umat. Kemaslahatan dan kebaikan adalah tujuan yang paling hakiki dalam syariat Islam. Pada kesempatan yang baik ini, penulis ingin membahas terorisme ini secara khusus, bagaimana konsepnya jika ditinjau dalam perspektif fiqih siyasah. A. Pembahasan 1. Pengertian Teroris dan Bentuk-Bentuknya. Secara etimologi, perkataan “teror” berasal dari bahasa Latin “terrere” yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dalam perkataan “to fright”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “menakutkan” atau “mengerikan”.5 Sedangkan terorisme sebagai kata kerja adalah the use of violence, intimidation, to gain and end; especially, a sistem of government rulling by terror; penggunaan kekerasan ancaman dan sejenisnya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan akhir / tujuan, teristemewa sebagai suatu sistem pemerintahan yang ditegakkan dengan teror. Dalam bentuk kata kerja transitif, maka terrorize (-ized, izing) adalah, to fill with dread or terror; terify, mengisi dengan kekuatan atau teror, mengerikan, menakutkan. To intimidate or coerce by terror or by threas of terror, mengancam atau memaksa dengan teror.6
4
ibid Mardenis, Pemberantasan Terorisme; Politik International dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 85. Ungkapan ini terpetik dalam OC. Kaligis, “Terorisme Tragedi Umat Manusia”, (Jakarta: OC. Kaligus & Associates, 2003), h. 6 6 Ibid. Dikutip dari Bala Reddy, Singapore’s Legislation Against Terrorism, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional: Hakikat dan Kebijakan Kriminal Kejahatan Terrorisme, 21-22 Mei 2003, Surabaya, h. 2 5
5
Kamus Webster’s New School and Office Dictionary oleh Noah Webster, A Fawcett Crest Book, menyebutkan bahwa teror sebagai kata benda berarti: Extreme afaer, ketakutan yang amat sangat One who excites extreme afaer, atau seorang yang gelisah dalam ketakutan yang amat sangat. The ability to cause such afaer, kemampuan menimbulkan ketakutan7. Secara terminologi, terdapat berbagai macam definisi yang diberikan oleh para ahli dalam menafsirkan terorisme ini. Menurut Louis P. Pojman, terorisme diartikan sebagai kekerasan yang menimbulkan ketakutan serta kepanikan, yang ditujukan kepada masyarakat sipil atau non kombatan, dengan didasari pada kepentingan politik atau agama8. Menurut James D. Kiras, terorisme merupakan suatu karakteristik penggunaan kekerasan, kekerasan tersebut berupa penyanderaan, pembajakan, pengeboman dan serangan-serangan tanpa pandang bulu lainnya, biasanya target serangan adalah masyarakat sipil9. Adapun ahli lain yang menafsirkan bahwa terorisme merupakan kegiatan yang terencana dengan matang dan beroperasi secara rahasia di dalam suatu negara yang berdaulat. Dengan demikian, terorisme secara umum dapat diartikan sebagai kekerasan yang didasarkan pada politik atau keagamaan, yang telah direncanakan secara matang dan beroperasi secara rahasia, biasanya target serangan ditujukan pada masyarakat sipil atau non kombatan10. Sedangkan dalam kamus hukum ditemui defenisi teroris yaitu: seseorang atau sekelompok orang yang terorganisir dengan menggunakan kekerasan baik secara fisik maupun psikis untuk menimbulkan rasa takut atau korban nyawa terhadap sekelompok orang atau masyarakat sipil guna mencapai tujuan-tujuannya. Aksi teroris ini mempunyai skala yang lebih kecil dari pada perang11. Kejadian-kejadian dan aksi-aksi terorisme yang tengah menimpa manusia sangatlah banyak dan beraneka ragam sesuai dengan kondisi dan keadaan yang diharapkan oleh para pelakunya guna meraih sasaran dan target mereka.Namun menurut catatan 7
Harian Kompas, edisi 11 Maret 2003 ibid 9 ibid 10 ibid 11 Rocky Marbun, dkk, Kamus Hukum Lengkap Mencakup Istilah Hukum & Perundang-Undangan Terbaru, (Jakarta: Visi Media, 2012), Cet, Ke-1, h. 308 8
6
sejarah dan berbagai kejadian yang melanda umat saat ini bahwa seluruh kejadian dan aksi tersebut tidaklah keluar dari dua perkara12; Terorisme fisik. Yaitu peristiwa-peristiwa yang sekarang
a.
menjadi puncak sorotan manusia; peledakan, pemboman, penculikan, bom bunuh diri, pembajakan dan seterusnya.Berbagai kejadian pahit dari terorisme fisik ini telah tercatat dalam sejarah.Perang secara fisik tentunya ini adalah tugas pihak yang berwenang dan wajib atas kaum muslimin yang mengetahui keberadaan para teroris tersebut untuk kerjasama dengan pihak yang berwenang dalam rangka tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan dan sebagai upaya untuk menjaga keamanan manusia. Terorisme ideologi (pemikiran/pemahaman). Terorisme jenis
b.
ini jauh lebih berbahaya dari terorisme fisik.Sebab, seluruh bentuk terorisme fisik yang terjadi bersumber dari dorongan ideologi para pelakunya, baik itu dari kalangan orangorang kafir yang merupakan sumber terorisme di muka bumi ini, atau dari kalangan kaum muslimin yang telah menyimpang pemikirannya dari jalan Islam yang benar.Perang secara ideologi,yaitu dengan menjelaskan segala pemikiran menyimpang dan menyempal dari tuntunan yang benar. Sebab, ideologi-ideologi tersebut merupakan cikal bakal munculnya teror fisik dan apabila tidak diberantas akan senantiasa menjadi ancaman serius di masa mendatang. 2. Tipe-Tipe Teroris Zuhairi Misrawi dalam sebuah artikelnya mengatakan bahwa sejauh yang kita amati sampai detik ini, terorisme diartikulasikan dalam tiga bentuk13: Pertama, terorisme yang bersifat personal. Aksi-aksi terorisme dilakukan perorangan. Biasanya, dalam pengeboman bus seperti di Kairo merupakan sebuah aksi personal. Pengeboman mal-mal dan pusat perbelanjaan, juga dapat dikatagorikan sebagai terorisme yang dilakukan secara personal. Kedua, terorisme yang bersifat kolektif. Para teroris melakukannya secara terencana. Biasanya, terorisme semacam ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi. Bentuk ini sering disebut-sebut dengan jaringan al-Qaeda. Sasaran terorisme dalam katagori ini adalah simbol-simbol kekuasaan dan pusat-pusat perekonomian. Ketiga, terorisme yang dilakukan negara. Istilah ini tergolong baru, yang biasa disebut dengan “terorisme (oleh) negara” (state terorism). Penggagasnya adalah Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad dalam hajatan OKI terakhir. Menurutnya, 12 13
http://antonmuzaenisyukur.blogspot.com, Diakses: Senin, 21 Desember 2014 http://islamlib.com. islam-dan-terorisme, Diakses: Senin, 21 Desember 2014 7
terorisme yang dikerahkan negara, tidak kalah dahsyatnya dari terorisme personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk terdahulu dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terorisme yang dilakukan sebuah negara dapat dilihat secara kasat mata. Ketiga-tiganya mempunyai titik temu, yaitu sama-sama mencari tumbal dan korban. Namun yang mencolok dalam terorisme adalah “balas dendam”. Karenanya, terorisme identik dengan kenekatan dan keterpanggilan untuk melawan secara serampangan. Pokoknya ada korban. Di sinilah sebenarnya ranah problematis terorisme. Terorisme ibarat singa yang selalu haus mangsa. Sebagaimana singa, terorisme tidak bisa mengambil “jalan tengah”, melainkan menempuh “jalan pintas”. Sebab para teroris, biasanya melandaskan pada kebutuhan untuk membangun sebuah menara yang disebut “identitas yang tunggal”. Terorisme mengandaikan adanya “absolutisme”, baik dalam tataran suprastruktur maupun struktur. Terorisme sebagai gerakan yang membawa ambisi kebenaran, menggunakan pelbagai kendaraan. Ada yang menggunakan kendaraan agama, politik dan ekonomi. Apapun kendaraannya, terorisme menampilkan wataknya yang serba hegemonik, anarkis dan radikal. Inilah kesan yang bisa ditangkap mengenai terorisme. Hampir seluruh gambarannya buruk dan tidak manusiawi. Menurut Audrey Kurth Cronin, saat ini terdapat empat tipe kelompok teroris yang beroperasi di dunia, yakni14: a. Teroris sayap kiri atau left wing terrorist, merupakan kelompok yang menjalin hubungan dengan gerakan komunis; b. Teroris sayap kanan atau right wing terrorist, menggambarkan bahwa mereka terinspirasi dari fasisme; c. Etnonasionalis atau teroris separatis, atau ethnonationalist/separatist terrorist, merupakan gerakan separatis yang mengiringi gelombang dekoloniasiasi setelah perang dunia kedua; d. Teroris keagamaan atau “ketakutan”, atau religious or “scared” terrorist, merupakan kelompok teroris yang mengatasnamakan agama atau agama menjadi landasan atau agenda mereka.
14
http://mmuyamin.blogspot.com/2011/06/terorisme-internasional-dalam.html, Diakses: Senin, 21
Des 2014 8
Kemudian dalam hal lain, pemetaan penyebaran terorisme Internasional dapat dilihat dari sudut pandang levelnya, maka terorisme dapat dibagi menjadi level atau tahapan sebagai berikut15: a. Level negara atau state, kelompok teroris ini berkembang pada level negara dan keberadaannya mengancam negara tersebut seperti, Irish Republican Army (IRA) bekerjasama dengan separatis Basque, Euzkadi Ta Askatasuna (ETA) pada 1969 membajak sebuah skyrocket, Japanese Red Army (JRA) melakukan serangan bunuh diri pada tahun 1972 di Israel, pada 1972 terjadi penyanderaan saat Olimpiade di Munich yang dilakukan oleh kelompok Black September (BS), adapun kelompok lainnya German Red Army Faction (gRAF/RAF) dan Italian Red Brigades (iRB/RB); b. Level kawasan atau regional, kelompok teroris ini berkembang pada level regional dan keberadaanya tidak hanya mengancam suatu negara tapi juga mengancam negara lain yang menjalin kerjasama dengan negara tersebut seperti, di Indonesia dalam kurun waktu 2002-2009, terjadi 6 kali pemboman yang dilakukan oleh anggota Jemaah Islamiyah, pada April 1983 terjadi pemboman di gedung kedutaan, berasal dari kelompok Islamic Jihad Organization (IJO), pada Desember 1975 “Carlos the Jackal”(CJ) menyerang organisasi OPEC di Austria; c. Level internasional atau global, kelompok teroris yang berkembang pada level International ini, bukan hanya mengancam suatu negara tapi juga mengancam kestabilan dunia Internasional, seperti kelompok Al-Qaeda. Gerakan terorisme di berbagai negara lahir disebabkan karena ketidakadilan global dan ketidakpuasan atas fenomena politik di masing-masing negaranya. Serta, para anggota gerakan terorisme ini menilai bahwa sistem politik yang digunakan saat ini di negaranegara muslim tidak sesuai dengan syariat Islam. Sehingga para anggota tersebut memperjuangkan untuk mengubah sistem politik yang ada agar sejalan dengan Islam yaitu dengan mendirikan negara Islam dan menerapkan syariat Islam yang merupakan cita-cita perjuangan dari gerakan terorisme ini16. Selain itu para anggota terorisme ini melihat kebijakan luar negeri negara-negara Barat telah menyengsarakan umat Islam. Hal ini terlihat dalam sengketa perbatasan antara Israel dan Palestina yang telah menelan banyak korban jiwa yang berasal dari masyarakat 15 16
ibid ibid 9
sipil Muslim sehingga mendorong gerakan ini untuk menunjukkan solidaritasnya sesama kaum Muslim. Dan gerakan ini telah termotivasi untuk bangkit melawan dan mengubah keadaan yang ditimbulkan oleh politik luar negeri negara-negara Barat di negara-negara Muslim. Hal ini disebabkan karena gerakan tersebut menilai bahwa kebijakan luar negeri AS bukan hanya penjajahan atas sumber daya ekonomi, tetapi juga memiliki misi untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslim. Oleh karena itu, gerakan ini lebih memilih berjuang melawan segala bentuk kezaliman tersebut dengan segala kekuatan termasuk perang bersenjata17. Di dalam buku “Aku Melawan Teroris”, karya Imam Samudra terpidana mati bom Bali I tergambarkan kekecewaan umat Islam terhadap sikap Barat yang lebih memihak dan mendukung Israel yang akhirnya menimbulkan dendam. Sedangkan menurut Karen Armstrong dalam buku “The Battle of God” menjelaskan lahir dan berkembangnya organisasi Islam garis keras dilatarbelakangi kekecewaan terhadap modernisasi yang diterapkan penguasa Muslim. Karena para penguasa Muslim memodernisasikan negaranya dengan berpusat ke Barat dan proses modernisasi ini penuh pergolakan dengan menelan banyak korban dan ketidakseimbanggan spritual yang akhirnya akan membawa pada kehancuran agama. Seperti yang terjadi di Iran, Mesir, dan Turki18. Lahirnya terorisme Internasional juga dilatar belakangi dari rasa ketertindasan dari kaum Muslim yang membutuhkan pembelaan, keterjajahan membutuhkan pembebasan, keternodaan memanggil penyucian, keterhinaan menuntut kemuliaan. Hal tersebut sesuai dengan konsep jihad karena jihad wajib dilakukan agar umat Islam tak lagi terpuruk dan jihad merupakan obat bagi segala kesakitan dan kepedihan yang dirasakan oleh kaum Mukmin. Karena akibat kekecewaan yang mendalam inilah, maka terjadi gerakan terorisme Internasinal19.
3. Pengertian Fiqh Siyasah Fiqh siyasah terdiri atas dua kata yang berasal dari bahasa Arab; yaitu fiqh dan siyasah. Agar diperoleh pemahaman yang tepat apa yang dimaksud dengan fiqh siyasah, perlu dijelaskan pengertian masing-masing kata dari segi bahasa dan istilah.
17
ibid ibid 19 ibid 18
10
Kata fiqh berasal dari faqaha-yafqahu-fiqhan. Secara bahasa pengertiannya berarti paham yang mendalam. Imam al-Turmuzi, seperti dikutip Amir Syarifuddin, menyebutkan “fiqih tentang sesuatu” berarti mengetahui bathinnya sampai kepada kedalamannya20. Dalam pengertian, pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. Kata “faqaha” diungkapkan dalam al-Qur’an sebanyak 20 kali, 19 kali diantaranya digunakan untuk pengertian” kedalaman ilmu yang dapat diambil manfaat darinya21. Secara istilah, fiqh menurut ulama fiqh, adalah22:
َِﺠْﻣﻤُﻮْ ﻋَﺔ ُ اﻷ َﺣْ ﻜَﺎمِ اﻟﺸﱠﺮْ ﻋِ ﯿﱠﺔِ اﻟْﻌَﻤَ ﻠ ِﯿﱠﺔ ِ اﻟْﻤُﻜْ ﺘ َ َﺴﺒ َﺔِ ﻣِﻦْ أ َدِﻟ ﱠﺘ ِﮭ َﺎ اﻟﺘ ﱠﻔْﺼِ ﯿْﻠ ِﯿﱠﺔ “Sekumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan yang diambil dari dalildalil syara yang terperinci”. Dari definisi ahli fiqh terlihat bahwa fiqh itu merupakan produk ijtihad, yaitu merupakan hukum-hukum dari hasil ijtihad. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, fiqh adalah23:
ِاﻟﻌِ ﻠْﻢُ ﺑ ِﺎﻷ َﺣْ ﻜَﺎمِ اﻟﺸﱠﺮْ ﻋِ ﯿﱠﺔِ اﻟْﻌَﻤَ ﻠ ِﯿﱠﺔِ اﻟْﻤُﻜْ ﺘ َﺴَﺐُ ﻣِﻦْ أ َدِﻟ ﱠﺘ ِﮭ َﺎ اﻟﺘ ﱠﻔْﺼِ ﯿْﻠ ِﯿﱠﺔ “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.” Definisi ini sebenarnya mengadopsi rumusan Imam as-Syafi’i dan merupakan definisi fiqh yang populer hingga sekarang. Dari definisi para ahli ushul fiqh di atas terlihat bahwa fiqh itu berarti ilmu tentang hukum-hukum yang diperoleh melalui ijtihad. Dalam pengertian ini tercakup pula aktifitas ijtihad, karena hukum-hukum tersebut di istimbath kan (disimpulkan) dari dalil-dalil syara yang terperinci. Fiqih mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Disamping mencakup pembahasan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya (ibadah), fiqh juga membicarakan aspek hubungan antara sesama manusia secara luas (muamalah). Aspek muamalah inipun dapat dibagi lagi menjadi jinayah (pidana), munakahat (perkawinan), 20
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 13. Lihat juga Louis M’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, (Bairut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 383 21 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Medika Pratama, 2001), Cet, Ke-1, h. 2-3 22 Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet, Ke-1, h. 9 23 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr, 1957), h. 26. Lihat juga, Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet, Ke-1, h. 4 11
mawarits (kewarisan), murafa’at (hukum acara), siyasah (politik/ketatanegaraan) dan alahkam al-dualiyah (hubungan International)24. Dari gambaran di atas jelaslah bahwa fiqih siyasah adalah bagian dari pemahaman ulama mujtahid tentang hukum syari’at yang berhubungan dengan permasalahan kenegaraan. Adapun kata siyasah ( )ﺳﯿﺎﺳﺔadalah mashdar (infinitive) bagi kata ُﺳَﺎسَ ﯾ َﺴُﻮْس. Berarti mengatur, mengurus dan memerintah atau pemerintahan, politik dan pembuatan kebijaksanaan25. Pengertian kebahasaan ini mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu. Dalam bahasa Arab, kata saasa sebenarnya mempunyai dua pola26. Pertama, saasa-yasuusu-sausan ()ﺳَﺎسَ ﯾ َﺴُﻮْسُ ﺳَﻮْ ﺳًﺎ. Kedua, saasa-yasuusu-siyasatan ( ُﺳَﺎسَ ﯾ َﺴُﻮْس ً )ﺳِ ﯿ َﺎﺳَﺔ. Jadi, akar kata saasa bermakna ganda yaitu kerusakan sesuatu dan tabiat atau sifat dasar. Dari makna yang pertama diperoleh makna leksikal menjadi rusak atau banyak kutukan, sedangkan dari makna kedua diperoleh makna memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan, mengatur atau memelihara urusan. Jadi, kata siyasah secara harfiyah berarti mengatur, memerintah, mengendalikan, mengurus atau membuat keputusan. Contoh dalam penggunaan kalimat27:
ْﺳَﺎسَ ْاﻟﻘ َﻮْ مَ َدﺑﱠﺮَ ھ ُﻢْ وَ ﺗ َﻮَ ﻟ ﱠﻰ أ َﻣْﺮَ ھ ُﻢ Saasa al-Qaum maknanya mengatur dan memimpin urusan mereka. Berdasarkan pengertian harfiyah, kata as-siyasah berarti: pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasaan dan arti-arti lainnya. Dalam hadis, kata siyasah digunakan oleh Rasulullah SAW ketika menyebut kepemimpinan atas Bani Israil oleh para Nabi.
َﻻ َﻧ َﺒ ِﻲﱠ ﺑ َﻌْﺪِيْ وَ َﺳﯿ َﻜُﻮْ نُ ﺧُ ﻠ َﻔ َﺎ ُء ﻓ َﯿ َﻜْ ﺜ ُﺮُوْ ن ُﻧ َْﺖ ﺑﻛَﻨَﺎُﻮْ ا ِﺳْﺮَ اﺋ ِ ﯿْﻞَ ﺗ َﺴُﻮْ ُﺳﮭُﻢُ ا ْﻷ َﻧْﺒ ِ ﯿ َﺎ ُء ﻛُﻠ ﱠﻤَ ﺎ ھ َﻠ َﻚَ ﻧ َﺒ ِﻲﱞ ﺧَ ﻠ َﻔ َﮫُ ﻧ َﺒِﻲﱞ وَ ا ِﻧ ﱠﮫ ﻗ َﺎﻟﺄ ُﻮْْﻣُا ُﺮﻓﻧَﻤََﺎﺎﻓﺗ َُﻮْ ا ﺑ َﯿْﻌَ ﺔ َ ا ْﻷ َ وﱠلِ ﻓ َﺎﻷ َ وﱠلِ وَ أ َﻋْﻄ ُﻮْ ھ ُﻢْ ﺣَ ﻘ ﱠﮭُﻢْ ا َﻟ ﱠﺬِي ﺟَ ﻌَﻠ َﮭُﻢُ ﷲ ُ ﻟ َﮭُ ْﻢ ﺎﻓ َِنﱠ ﷲ َ ﺳَﺎﺋ ِﻠ ُﮭُﻢْ َﻋﻤﱠﺎ ْﺳﺘ َﺮْ ﻋَﺎھ ُﻢْ – رواه اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ-ا 24
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, op.cit, h. 3 Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, (Bairut: Dar al-Shadr, 1968), Juzu’ 6, h. 108 26 http://pemudapersisjabar.wordpress.com, Diakses: Senin, 21 Des 2014. 27 ibid 25
12
“Adalah Bani israil (dulu) dipimpin oleh para nabi, setiap nabi wafat diganti oleh nabi yang berikutnya, dan sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. Akan datang banyak pemimpin” Mereka (para sahabat) bertanya, “Apa yang Engkau perintahkan kepada kami (apabila keadaan seperti itu)?” (Nabi bersabda) Kalian harus berbai’at kepada yang pertama lalu kepada yang berikutnya dan berikan kepada mereka haknya yang Allah telah berikan kepada mereka, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinan mereka” H.r Al-Bukhari dan Muslim (Lihat, al-Jam’ bain as-Shahihain alBukhari wa Muslim, III:134) Kata siyasah digunakan pula oleh Asma putri Abu Bakar terkait dengan pemeliharaan kuda milik az-Zubair (suaminya)
ِﻛُﻨْﺖُ أ َﺧْ ﺪُمُ اﻟﺰﱡ ﺑ َﯿْﺮَ زَ وْ ﺟَ ﮭَﺎ وَ َﻛﺎنَ ﻟ َﮫُ ﻓ َﺮَ سٌ ﻛُﻨْﺖُ أ َﺳُﻮ ُﺳﮫُ وَ ﻟ َﻢْ ﯾ َﻜُﻦْ ﺷَﻲْ ٌء ﻣِﻦْ اﻟْﺨِ ﺪْﻣَ ﺔِ أ َ َﺷ ﱠﺪ ﻋَﻠ َﻲﱠ ﻣِﻦْ ﺳِ ﯿ َﺎﺳَﺔ س ِ َْاﻟﻔ َﺮ “Aku melayani az-Zuber (suaminya), dan ia punya kuda yang aku pelihara. Dan tidak ada bentuk pelayanan yang lebih atasku daripada memelihara kuda” H.r. Ahmad, Musnad Ahmad , tahqiq Dr. Syu’aib al-Arnauth, XXXXIV:533, No. hadis 26.972 Secara tersirat, dalam pengertian as-siyasah terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama lain28: (a) “tujuan” yang hendak dicapai melalui proses pengendalian, (b) “cara” pengendalian menuju tujuan tersebut. Oleh karena itu, as-siyasah pun diartikan:
اﻟﻘ ِﯿﺎمُ ﻋﻠﻰ اﻟﺸْﻲءِ ﺑﻤﺎ ﯾُﺼْ ﻠ ِ ُﺤﮫ Memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemaslahatan. (Lihat, Taj al‘Arus Min Jawahir al-Qamus, XVI:157) Secara terminologis, beberapa ulama mengungkapkan pendapatnya, diantaranya adalah: a. Abdul Wahhab Khallaf mendefenisikan bahwa siyasah adalah “pengaturan perundangan yang diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan29. 28
ibid 13
b. Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang dinukilkan oleh Ibn ‘Aqil memberikan defenisi siyasah adalah suatu perbuatan yang membawa manusia dekat kepada kemaslahatan dan terhindar dari kebinasaan, meskipun perbuatan tersebut tidak ditetapkan oleh Rasulullah SAW atau diwahyukan oleh Allah SWT30. c. Defenisi ini senada dengan rumusan yang dibuat oleh Ahmad Fathi Bahansi yang menyatakan bahwa siyasah adalah “pengurusan kepentingan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara’31. Dua defenisi pertama bersifat umum, yaitu siyasah yang tidak memperhatikan nilai-nilai syari’at agama sekalipun tujuannya untuk mewujudkan kemaslahatan. Corak siyasah ini dikenal dengan istilah siyasat wadh’iyat, yaitu siyasah yang berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat serta hasil oleh pemikiran manusia dalam mengatur hidup manusia bermasyarakat dan bernegara. Namun tidak semua siyasat wadha’iyat ditolak selama ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dan ruh Islam32. Sedangkan defenisi terakhir bersifat khusus, yaitu siyasah yang berorientasi kepada nilai-nilai kewahyuan atau syari’at. Corak siyasah ini dikenal dengan istilah siyasah syar’iyah atau fiqih siyasah (dua istilah yang berbeda tapi mengandung pengertian yang sama), yaitu siyasah yang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang berlandaskan etika agama dan moral dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum syari’at dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan bernegara33. Berdasarkan pengertian-pengertian yang diberikan oleh para ulama di atas dapat ditarik benang merah bahwa fiqih siyasah merupakan salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Dalam fiqih siyasah ini, mujtahid menggali sumber-sumber hukum Islam baik al-Qur’an maupun sunnah, untuk mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya serta hubungannya dengan 29
Abdul Wahhab Khallaf, Al-Siyasah al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Anshar, 1977), h. 4-5 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syari’ah (Kairo: Mu’assasah al-‘Arabiyah, 1961), h. 16 31 Ahmad Fathi Bahansi, Al-Siyasah al-Jinayah fi al-Syari’at al-Islam, (Mesir: Maktabah Dar al‘Umdah, 1965), h. 61 32 Abdul Rahman Taj, Al-Siyasat al-Syari’at wa al-Fiqh al-Islami, (Dar al-Ta’lif, Mishr, 1953), h. 10-11 33 J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), Ed. I, Cet, Ke-1, h. 24-25 30
14
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sebagai hasil penalaran kreatif, pemikiran para mujtahid tersebut tidak “kebal” terhadap perkembangan zaman dan sangat bersifat debatable (masih bisa diperdebatkan) serta menerima perbedaan pendapat34. Sebagai ilmu ketatanegaraan dalam Islam, fiqih siyasah antara lain membicarakan tentang siapa sumber kekuasaan, siapa pelaksana kekuasaan, apa dasar dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya dan kepada siapa pelaksana kekuasaan mempertanggungjawabkan kekuasaannya35. Pengertian harfiah tidak menjelaskan hal ihwal fiqh siyasah yang sesungguhnya. Tujuan apa yang dicapai dengan pengendalikan menurut fiqh siyasah? Cara apa yang akan dipakai untuk mencapai tujuan tersebut menurut fiqh siyasah? Dalam keadan demikian, pengertian teknis-akademis mengenai siyasah dipandang perlu. Berkenaan dengan kebutuhan ini, para ulama telah memberikan berbagai definisi siyasah, baik secara khusus maupun secara umum. a. Makna Siyasah Secara Khusus Yaitu berkaitan dengan uqubah (sanksi pidana). Dalam konteks ini dapat dikemukakan definisi siyasah sebagaimana dinyatakan oleh Zainuddin Ibn Nujaim alHanafi (w. 970 H):
وَ إ ِنْ ﻟ َﻢْ ﯾ َِﺮ ْد ﺑ ِﺬَﻟﻚَِ اﻟ ْﻔ ِﻌْﻞ دَﻟ ِﯿ ٌﻞ ﺟُﺰْ ﺋ ِﻲﱞ، ﻓ ِﻌْﻞ ﺷَﻲْ ءٍ ﻣِﻦَ اﻟْﺤَ ﺎﻛِﻢِ ﻟ ِﻤَﺼْ ﻠ َﺤَ ﺔ ٍ ﯾ َﺮَ اھ َﺎ Siyasah adalah kebijakan yang diambil hakim untuk mewujudkan kemaslahatan yang diyakininya. Sekalipun kebijakannya itu tidak ada dalilnya secara khusus. (Lihat, al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq, V:11) b. Makna Siyasah Secara Umum Yaitu
berkaitan
dengan daulah
(kenegaraan/pemerintahan)
dan sulthah
(kekuasaan). Dalam konteks ini dapat dikemukakan definisi siyasah sebagai berikut: 1. Ibn ‘Aqil, ahli fiqh bermadzhab Hanbali (w. 513 H), sebagaimana dikutip Ibn alQayyim, mendefinisikan: 34
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, op.cit, h. 4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1991), h. 2-3 35
15
ِﺼﻼ َح ِ وَ أ َ ﺑْﻌَ َﺪ ﻋ َِﻦ ْاﻟﻔ َﺴَﺎدِ وَ إ ِنْ ﻟ َ ْﻢ ﯾ َﻀَ ْﻌﮫُ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮْ ُل وَ ﻻ َ ﻧ َﺰَلَ ﺑ ِﮫ ﻣَ ﺎ ﻛَﺎنَ ﻓ ِﻌْﻼ ًْ نُﯾ ﻣََﻜُﻮﻌَ ﮫُ اﻟﻨ ﱠﺎسُ أ َﻗْﺮَ بَ إ ِﻟ َﻰ اﻟ ﱠ ٌوَ ﺣْ ﻲ Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah swt tidak menentukannya.( Lihat, at-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, hal. 29) Dalam I’lam al-Muwaqqi’ien, IV: 372, digunakan redaksi
ْﺚ ﯾ َﻜُﻮْاﻟﻨنُﱠﺎسُ ﻣَ ﻌَ ﮫُ أ َﻗْﺮَ بَ إ ِﻟ َﻰ اﻟﺼﱠ ﻼ َح ِ وَ أ َ ﺑْﻌَ َﺪ ﻋ َِﻦ ْاﻟﻔ َﺴَﺎدِ وَ إ ِنْ ﻟ َ ْﻢ ﯾ َﺸْﺮَ ﻋْ ﮫُ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮْ ُل ُ ﻣَ ﺎ ﻛَﺎنَ ﻣِﻦَ اﻷ َﻓْﻌَﺎلِ ﺑ ِﺤَ ﯿ ُوَ ﻻ َ ﻧ َﺰَلَ ﺑ ِﮫِ اﻟْﻮَ ﺣْ ﻲ 2. Ibn ‘Abiddin, ahli fiqh bermadzhab Hanafi (w. 1252 H) memberi batasan:
َِﮭِﻲ ﻣِﻦْ ْاﻷَﻧْﺒ ِ ﯿ َﺎءِ ﻋَﻠ َﻰ اﻟْﺨَﺎﺻﱠﺔ َ ﯾﻖ اﻟْﻤُ ﻨ َﺠﱢ ﻲ ﻓ ِﻲ اﻟْﻌَﺎﺟِ ﻞ وَ اﻵْﺟِ ﻞ ﻓ ِ اﺳْﺘ ِﺼْ ﻼ َ ُح اﻟْﺨَ ﻠ ِْﻖ ﺑ ِﺈ ِرْ ﺷَﺎدِھِﻢْ إ ِﻟ َﻰ اﻟﻄ ِﱠﺮ ْ وَ ﻣِﻦ، ﯿﻦ وَ اﻟْﻤُﻠ ُﻮكِ ﻋَﻠ َﻰ ﻛُﻞﱟ ﻣِﻨْ ﮭُﻢْ ﻓ ِﻲ ظ َﺎھِﺮِهِ َﻻ َﻏ ْﯿ ُﺮ ِ ِ وَ ﻣِﻦْ اﻟﺴ َﱠﻼط، ْوَ اﻟْﻌَﺎﻣﱠﺔِ ﻓ ِﻲ ظ َﺎھ ِﺮِھِﻢْ وَ ﺑ َﺎطِ ﻨ ِﮭِﻢ ْاﻟﻌُﻠ َﻤَ ﺎءِ وَ رَ ﺛ َﺔِ ْاﻷَﻧْﺒ ِ ﯿَﺎءِ ﻋَﻠ َﻰ اﻟْﺨَﺎﺻﱠﺔِ ﻓ ِﻲ ﺑ َﺎطِ ﻨ ِﮭِﻢْ َﻻ َﻏ ْﯿ ُﺮ Siyasah adalah kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyasah berasal daripada Nabi, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir maupun secara batin. Segi lahir siyasah berasal dari para pemegang kekuasaan (para sulthan dan raja) bukan dari ulama; sedangkan secara batin siyasah berasal dari ulama pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan. (Lihat, Hasyiah Ibn Abiddin atau Hasyiah Radd al-Mukhtar ala ad-Dar al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar Fiqh Abu Hanifah, IV:15) 3. Dr. Ahmad Fathi Bahansi mendefinisikan secara ringkas:
ِ ﺗ َﺪْﺑ ِ ْﯿ ُﺮ ﻣَﺼَ ﺎﻟ ِﺢ ِ اﻟْﻌِ ﺒ َﺎدِ ﻋَﻠ َﻰ وَ ِﻓْﻖ اﻟﺸﱠﺮْ ع Siyasah adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara. (Lihat, al-siyasah al-jinaiyyah fi al-syari’ah al-Islamiyah, hal. 25) Aspek fiqh dari siyasah syar’iyyah tampak pada batasan yang diajukan oleh Prof. Dr. Abd Wahab al-Khalaf:
ﻖ اﻟْﻤَﺼَ ﺎﻟ ِﺢ ِ وَ دَﻓْ َﻊ اﻟْﻤَﻀَ ﺎرﱢ ﻣِ ﻤﱠﺎ ﻻ َ ﯾ َﺘ َﻌَ ﺪﱠى ُﺣﺪُوْ َد َ اﻹ ْﺳﻼ َﻣِ ﯿﱠﺔِ ﺑ ِﻤَ ﺎ ﯾ َﻜْﻔ ُ ُﻞ ﺗ َﺤْ ﻘ ِ ْﯿ ِ ِﺗ َﺪْﺑ ِ ْﯿ ُﺮ اﻟﺸﱡﺌ ُ ْﻮ ِن اﻟْﻌَﺎﻣﱠﺔِ ﻟ ِﻠﺪﱠوْ ﻟ َﺔ َإ وَِنْ ﻟ َﻢْ ﯾ َﺘ ﱠﻔ ِﻖْ أ َﻗْﻮَ الَ اﻷ َﺋ ِﻤﱠﺔ ِ اﻟْﻤُﺠْ ﺘ َﮭِﺪِ ﯾْﻦ،َ اﻟﺸﱠﺮﯾْﻌَﺔِ وَ أ ُﺻُﻮْ ﻟ َ ﮭَﺎ اﻟْﻜُﻠ ِﯿﱠﺔ ِ 16
Siyasah syar’iyyah ialah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara yang menjamin perwujudan kemaslahatan dan penolakan kemadlaratan dengan tidak melampaui batas-batas syari’ah dan pokok-pokok syari’ah yang kully, meskipun tidak sesuai dengan pendapat ulama-ulama Mujtahid. (Lihat, as-Siyasah as-Syar’iyyah karya Abd Wahab al-Khalaf, hal.15) Maksud masalah umum negara antara lain adalah; 1. Pengaturan perundangan-undangan negara 2.
Kebijakan dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan.
3. Penetapan hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan 4.
Urusan dalam dan luar negeri. Maksud dari perkataan:
َوَ إ ِنْ ﻟ َﻢْ ﯾ َﺘ ﱠﻔ ِﻖْ أ َﻗْﻮَ الَ اﻷ َﺋ ِﻤﱠﺔِ اﻟْﻤُﺠْ ﺘ َﮭِﺪِ ﯾْﻦ “sekalipun tidak sejalan dengan para alim mujtahid” adalah mengambil kebijaksanaan politik (siyasah syar’iyyah) bukan hanya tugas para ulama terdahulu saja. Bahkan setiap alim ulama yang luas ilmunya boleh berijtihad dalam memecahkan problematika yang sedang dihadapi umat dengan batasan-batasan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu Abdul Wahhab Khallaf mengatakan: “Siyasah syar’iyyah termasuk usaha mewujudkan maslahat mursalah. Karena maslahat mursalah adalah maslahat yang tidak ditetapkan secara khusus oleh agama”. Berdasarkan pembahasan atas ayat 58 dan 59 surat an-Nisa’, Ibn Taimiyah mengisyaratkan unsur-unsur yang terlibat dalam proses siyasah. Ayat 58 dan 59 selengkapnya berbunyi:
17
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. 59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Ulama menyatakan, bahwa ayat pertama (an-Nisa’: 58) berkaitan dengan pemegang kekuasaan, yang berkewajiban menyampaikan amanat kepada yang berhak dan menghukumi dengan cara yang adil; sedangkan ayat kedua (an-Nisa’: 59) berhubungan dengan rakyat, baik militer maupun non militer (Lihat, as-Siyasah as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyyah, hal. 4) Berbagai definisi di atas menunjukkan bahwa siyasah syar’iyyah mengisyaratkan dua unsur yang berhubungan secara timbal balik, yaitu: (1) pihak yang mengatur; (2) pihak yang diatur. Dilihat dari unsur-unsur yang terlihat dalam proses siyasah syar’iyyah, maka ilmu ini “mirip” dengan ilmu politik, seperti dikatakan Wirjono Prodjodikoro: Dua unsur penting dalam bidang politik yaitu: (1) negara yang pemerintahannya bersifat eksklusif dan (2) unsur masyarakat. Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsi, siyasah syar’iyyah berbeda dengan politik. Siyasah syar’iyyah tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan (ishlah). Sebaliknya politik (politique) dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah) bukan pengarahan (ishlah). Perbedaan demikian tampak manakala disadari bahwa pelaksanaan ketatanegaraan berdasarkan perspektif fiqh Islam terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai dengan 18
syara’, sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syari’ah yang kully. Oleh karena itu, dikalangan kaum muslimin, politik yang bertumpu pada adat-istiadat atau pengalaman hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi semata dikenal dengan istilah siyasah wadh’iyyah. Perbedaan antara siyasah syar’iyyah dipihak yang satu dengan siyasah wadh’iyyah dipihak yang lain, tentu saja tidak harus difahami secara dikotomis. Dalam banyak kasus, siyasah wadh’iyyah yang tidak bertentangan, sekalipun tidak sama dengan siyasah syar’iyyah, diterima keberadaannya oleh kaum muslimin. Singkatnya, tidak semua siyasah wadh’iyyah atau politique bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Sebagaimana disimak dari pernyataan Ibn al-Qayyim, siyasah syar’iyyah adalah siyasah mengacu kepada syara’. Berarti mekanisme pengendalian dan pengarahan kehidupan umat, terkait keharusan moral dan politis untuk senantiasa mewujudkan keadilan, keramahan, kemaslahatan, dan kehikmahan. Hal ini merupakan akibat langsung dari ciri-ciri yang melekat pada syariat Islam itu sendiri, yaitu: Seluruhnya adil, rahmat, mashlahat, dan mengandung hikmah; setiap masalah yang keluar dari keadilan menjadi kezhaliman, dari rahmat menjadi laknat, dari mashlahat menjadi mafsadat, dari yang mengandung hikmah menjadi sia-sia bukanlah syari’ah. Hal yang sama berlaku pula pada bidang siyasah. Tanpa prinsip-prinsip itu, ihwal pengendalian dan pengarahan kehidupan umat tidak dapat disebut sebagai siyasah syar’iyyah. Dari uraian tentang pengertian fiqh dan siyasah, baik secara harfiah (etimologis) maupun istilah (terminologis) dapat disimpulkan bahwa pengertian Fiqh Siyasah atau Siyasah Syar’iyah ialah “ilmu yang mempelajari hal-ihwal, seluk-beluk pengaturan urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, pengaturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasan yang sejalan dengan dasar-dasar syariat Islam untuk mewujudkan kemaslahatan umat.”36 Terorisme Dalam Perspektif Fiqih Siyasah Dalam fikih Islam klasik, tidak mengenal istilah tindak terorisme, hal ini karena istilah terorisme tidak lahir dari dunia Islam. Akan tetapi bisa dianalogikan dengan tindak 36
http://pemudapersisjabar.wordpress.com, Diakses: Senin, 21 Des 2014 19
pidana hirabah karena keduanya memiliki kesamaan usur dan kriteria. Yakni keduanya sama-sama memiliki unsur perbuatan yang mengancam struktur kedamaian hidup masyarakat luas, dan juga minimbulkan berbagai ketakutan, kerusakan baik secara materil maupun immateril, serta menimbulkan berbagai korban jiwa. Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar dalam bukunya “Maqashid Syari’ah” berpendapat bahwa tindakan teroris ini bisa dianalogikan kepada kelompok pelaku hirabah yaitu keluarnya sekelompok orang atau seseorang yang memiliki kekuatan menuju jalanan umum dengan tujuan untuk menghalangi perjalanan, merampas harta, menganiaya jiwa dan nyawa, atau menakut-nakuti orang-orang yang ada dalam perjalanan tersebut, dengan mengandalkan kekuatan37. Ketentuan hirabah ini terdapat dalam al-Qur’an surat al-Maidah (5): ayat 33 yang berbunyi sebagai berikut:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik38, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya), yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka. Maka ketahuilah bahwasanya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS: Al-Maidah: 33-34)
37
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari’ah, Penj: Khikmawati ( Kuwais ), Judul Asli: Maqashid al-Syari’ah Fi al-Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet, Ke-1, h. 199 38 Maksudnya ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan. 20
Dari ayat di atas ada dua kata yang secara bahasa bisa dipahami dengan teroris ini, yaitu: ﯾﺤﺎرﺑﻮنdan ﻓﺴﺎدا. Dari kedua kata tersebutlah para ulama menjelaskan tentang hukum hirabah ini. Berikut pendapat mufassir tentang kedua kata tersebut: 1) ﯾﺤﺎرﺑﻮن, yaitu memerangi orang muslim dan selainnya di negara Islam. Kata “haraba” lawan maknanya adalah keselamatan dan keamanan terhadap jiwa dan harta, sehingga makna asalnya adalah melakukan keonaran dan merampas harta seseorang39. Firman Allah SWT: “" ﯾﺤﺎرﺑﻮن ﷲ
menurut Abu Bakar ra mengandung makna majaz
bukan hakikat, karena Allah SWT mustahil untuk bisa diperangi. Ada 2 kemungkinan kandungan maknanya, yaitu: pertama, orang-orang yang keluar untuk menghalanghalangi orang-orang yang hijrah dengan menggunakan senjata. Kedua, memerangi para wali-wali Allah dan Rasul-Nya40. 2) ﻓﺴﺎدا, merupakan lawan dari kemashlahatan (kebaikan), juga berarti setiap sesuatu yang keluar dari mashlahah dan manfaat. Maksudnya adalah melakukan penyamunan dengan cara menakut-nakuti dan dengan melakukan penyerangan terhadap jiwa dan harta41. Secara umum mufassir berpendapat bahwa dari ayat di atas terdapat dua (2) hukum yang bisa diambil dari hirabah ini, yaitu: pertama, hukuman tentang pelaku hirabah. Kedua, hukum tentang pelaku hirabah yang bertaubat. Mengenai hukum pelaku hirabah ada beberapa pendapat diantaranya adalah; Ibnu Abbas42 yang diriwayatkan oleh Mijlaz, An-Nakha’iy, dan ‘Ata’ al-Khurasaniy mengatakan:” bahwa dia dihukum sesuai perbuatan yang mereka lakukan. Maka jika menakuti-nakuti ditengah jalan dan mengambil harta maka dipotong tangan dan kakinya secara berselang. Jika mengambil harta dan membunuh, maka dipotong tangan dan kakinya lalu disalib. Apabila membunuh dan tidak mengambil harta maka dibunuh. Jika tidak mengambil harta dan tidak membunuh, maka mereka dibuang”. Abu Yusuf berkata: “Apabila dia mengambil harta dan membunuh, maka dia disalib dan dibunuh atas kayu”. Abu Hanifah berpendapat apabila dia membunuh maka dia dibunuh pula, apabila mengambil harta dan tidak membunuh maka dipotong tangan dan kakinya dengan berselang. Apabila mengambil harta dan membunuh, maka sulthan memilih mana yang lebih baik. Apakah memotong tangan dan kaki atau dibunuh dan 39
Wahbah Zuhailiy, Tafsir al-Munir Fi ‘Aqidah wa Syari’ah wal-Minhaj, (Bairut: Dar al-Fikr alMa’aashir, 1991), Cet-1, jilid 6, h. 161 40 Abi Bakar Ahmad al-Razi al-Jashas, Ahkam al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), Jilid 2, h. 570-571 41 Loc. Cit 42 Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qhurthubiy, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Bairut: Maktabat al-‘Asriyyah, 2005), jilid 3, h. 151 21
disalib. Imam Syafi’i berpendapat bahwa apabila dia mengambil harta, maka dipotong tangannya yang kanan. Jika masih mengambil harta, maka dipotong kakinya yang kiri. Sebab hal ini sama saja dengan mencuri cuma saja hirabah ini dilakukan dengan kekerasan. Apabila dia membunuh, maka dia dihukum bunuh. Apabila mengambil harta dan membunuh, maka dibunuh dan disalib43. Ada 3 syarat pada hirabah, yaitu: 1) Mereka mempunyai kekuatan, senjata dan menghalang-halangi, 2) bahwa perbuatan itu dilakukan di negeri Islam, 3) bahwa mengambil harta dengan cara kekerasan44. Adapun hukum terhadap pelaku yang bertaubat, jika sebelum ditetapkan hukumnya oleh pengadilan, maka hukuman gugur bila berkaitan dengan hak-hak Allah. Namun yang berkaitan dengan hak-hak manusia, maka harus ada hak ma’af dari wali dan mengganti harta yang sudah dilenyapkan45. Dalam perumusannya, hukum Islam mempunyai tujuan utama yaitu untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok (maqāşhid asy-syarīah) yaitu: perlindungan terhadap agama (hifz-ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifz-an-nafs), perlindungan terhadap akal (hifz al-aql), perlindungan terhadap keturunan (hifz-an-nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifz-al-mal)46 Tindakan terorisme jelas merupakan perlawanan terhadap unsur pokok yang kedua dan kelima; hifz an-nafs dan hifz al-māl. Tindak terorisme ini bukan merupakan kejahatan biasa karena dampak yang ditimbulkannya sungguh sangat merusak yakni dapat meninmbulkan suasana teror, ketakutan amat sangat secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang, mengakibatkan kerusakan terhadap obyek-obyek vital dan strategis seperti lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas Internasional47. Zuhairi Misrawi mengatakan bahwa potensi-pontensi bagi terbentuknya pemahaman keagamaan yang menjurus pada terorisme dalam tradisi Islam bisa didapatkan dengan mudah. Ini biasanya disebabkan pandangan tekstual terhadap kitab suci. Kamal Abul Madjid (2000) dalam “al-Irhab wa al-Islam” (Islam dan Terorisme) membenarkan,
43
Ibid Wahbah Zuhiliy, Op. Cit, h. 165-166 45 Ibid, h. 167 46 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.60-63. 44
47
http://digilib.uin-suka.ac.id, Diakses, Senin, 21 Des 2014 22
bahwa terorisme dalam tradisi Islam terbentuk melalui pandangan keagamaan yang mengancam dan menakutkan (al-tahdid wa al-takhwif)48. Terorisme dalam bahasa Arab disebut al-irhab. Istilah tersebut digunakan alQuran untuk melawan “musuh Tuhan” (QS.8:60. Karenanya, kalau kita mencermati gerakan Islam Politik, pandangan fundamentalistik dan gerakan radikalistik seringkali digunakan untuk melawan “musuh Tuhan”. Bagi mereka, Barat disebut sebagai salah satu simbol musuh Tuhan49. Dalam mengidentifikasi musuh, Islam politik menggunakan tiga pandangan mendasar. Pertama, politik sebagai bagian dari Islam. Berpolitik praktis merupakan kewajiban (fardlu) bagi setiap muslim. Ini mengakibatkan setiap muslim harus terlibat dalam politik guna melawan “politik kafir”. Kedua, Islam sebagai komunitas yang paling benar, sedangkan yang lain dianggap murtad. Ketiga, kecenderungan untuk memaksakan pandangan dengan “tangan besi”, kekerasan, pembunuhan dan perang, yang biasa disebut dengan jihad fi sabililillah. (Sa’id Asymawi: 1996: 297)50. Di sini, letak problematikanya, tatkala Islam dijadikan sebagai lanskap politik, karena tidak mampu mengakomodasi “pandangan lain” dan “kelompok lain”. Karenanya, pandangan tersebut berdampak negatif, tidak hanya bagi “orang lain”, akan tetapi bagi Islam sendiri yang diamanatkan Tuhan menjadi agama rahmatan li al-‘alamien. Sementara dalil hirabah ini dalam hadis adalah sebagai berikut: a. Ibnu Umar meriwayatkan bahwasanya Nabi SAW Bersabda:
ﻣﻦ ﺣﻤﻞ ﻋﻠﯿﻨﺎ اﻟﺴﻼح ﻓﻠﯿﺲ ﻣﻨﺎ “Barang siapa yang membawa senjata untuk (menakuti-nakuti) kami, maka dia bukanlah golongan kami.” (H.R: Al-Bukhari dan Muslim) b. Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwasanya Nabi SAW bersabda:
ﻣﻦ ﺧﺮج ﻣﻦ اﻟﻄﺎﻋﺔ وﻓﺎرق اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻓﻤﺎت ﻣﯿﺘﺔ ﺟﺎھﻠﯿﺔ “Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari golongan, lalu dia mati, maka mayatnya adalah jahiliah.” Dalam konteks Negara Indonesia, pemerintah dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat telah mengeluarkan undang-undang No: 09 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana dan pendanaan teroris ini. UU ini merupakan hasil ratifikasi 48
http://islamlib.com. islam-dan-terorisme, Diakses: Senin, 21 Desember 2014 ibid 50 ibid 49
23
dari International Convention For The Supression of The Financing Of Terorrism, 1999 (Konvensi International Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999). Usaha pemerintah dalam melahirkan Undang-Undang Anti Terorisme ini, nampaknya mengundang kontroversial. Apakah kehadiran undang-undang ini benar-benar merupakan kebutuhan penting dan mendesak dalam rangka menjawab krisis sesuai ekonomi dan politik, atau sekedar “latah” karena menjawab isu terorisme yang telah menjadi kepedulian dan kepentingan negara adidaya. Bagi mereka yang setuju, terutama pemerintah dalam hal ini, dengan adanya UU anti teroris ini, bisa dijadikan jalan pintas pemulihan ketertiban dan keamanan masyarakat, bantuan ekonomi International dan sorotan masyarakat International. Sedangkan bagi mereka yang tidak setuju, UU ini bukanlah alternatif yang direkomendasikan. Hal tersebut dianggap mendorong terciptanya system kekuasaan yang represif. Bagi mereka UU ini lebih terkesan bermuatan politis daripada bermuatan hukum, yaitu mendukung kampanye Amerika Serikat51. Sebagai siyasah wadh’iyah (kreasi manusia), undang-undang ini tidak bisa lepas dari pro dan kontra apalagi dikaitkan dengan isu politik. Pasca serangan 11 September 2001 maka struktur politik masyarakat International terbelah menjadi dua. Pertama, radikalisme dan terorisme yang dialamatkan masyarakat Barat terhadap umat Islam. Kedua, gerakan anti terorisme yang diwakili masyarakat Barat terus menjadi pemicu lahirnya resistensi kaum radikalis, lantaran sikap Negara adidaya dan Perserikatan BangsaBangsa yang tidak peduli terhadap ketidakadilan yang terus menerus berlangsung52. Seperti ungkapan Niccolo Machiaveli, “politik penuh dengan kepentingan dan persaingan, dimana moral dan kemanusiaan tidak diperlukan”. Untuk menghindarkan diri dari hubungan yang anarkis tersebut, balance of power mutlak diperlukan. Dari segi konten hukum UU ini cukup idealis bagi terciptanya suasana yang kondusif bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Suasana damai dan hidup dalam ketaraturan merupakan impian bagi semua orang. Akan tetapi dari segi aplikasi dan penegakkan hukumnya, secara kasat mata bagi kebanyakan orang, efektifitas keberadaan undang-undang ini perlu dipertanyakan. Barangkali penegakkan hukum yang tidak pandang bulu mutlak diperlukan sehingga UU ini cukup berwibawa dimata masyarakat baik regional maupun International.53
51
Jawahir Thontowi, Islam, Politik Dan Hukum, Esai-Esai Ilmiah Untuk Pembaruan, ( Islam, Politik Dan Hukum, Esai-Esai Ilmiah Untuk Pembaruan, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), Cet, Ke-1, h. 63 52 ibid 53 http://www.damailahindonesiaku.com, Diakses: Selasa, 23 Desember 2014 24
Guna merumuskan konsepsi pencegahan dan penanggulangan terorisme dalam rangka menjaga tetap tegaknya keutuhan NKRI secara komprehensif dan integral, diperlukan analisis dari berbagai aspek tinjauan yang terkait dan saling mempengaruhi54. 1. Tinjauan dari aspek politik. Aksi teror tidak mengenal diskriminatif target, membuat keharusan membangun sistem keamanan terhadap manusia dan obyek vital baik militer maupun non militer di banyak negara. Dampak terorisme di bidang politik, antara lain: Gangguan terhadap kehidupan demokrasi, roda pemerintahan tidak berjalan lancar, pemerintah yang lemah bisa jatuh. Berbagai kerja sama Internasional dikembangkan untuk mendesak langkah kooperatif dalam melawan terorisme. Perang melawan terorisme, perdebatan politik terjadi di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, antara upaya membangun sistem keamanan dengan pembatasan kebebasan di satu sisi dan antara sistem keamanan Nasional dengan multi Nasional di sisi lainnya. Lepas dari pertarungan politik dalam dan luar negeri, sentimen baru melawan terorisme telah membuka babak baru perkembangan arah poltik dunia. Indonesia perlu mewaspadai dan harus ada upaya pencegahan adalah ketika para teroris Internasional memanfaatkan kondisi politik atau sosial budaya dalam negeri saat ini, masih rentan terhadap SARA, keniscayaan kebhinnekaan NKRI terancam. Perdebatan tentang adanya bahaya terorisme berlangsung diwarnai nuansa politis. Hal demikian masih dalam kewajaran, karena masyarakat Indonesia sedang dalam transisi perubahan menuju masyarakat yang demokratis, bebas menyatakan pendapatnya. Wacana politik apapun yang terjadi, yang penting adalah politik kontrol tidak membiarkan peredaran bahan peledak, pengawasan keimigrasian dan kepabeanan merupakan langkah politik praktis yang tepat pada saat ini serta di masa datang. 2. Tinjauan dari aspek ekonomi. Jaringan teroris sangat memerlukan sumber dana maupun sumber daya manusia untuk melakukan aksinya. Dana merupakan satu hal penting, bukan hanya untuk pembelian senjata, alat-alat penghancur bahan peledak untuk bom, tetapi juga untuk mempertahankan hidup sel-sel pengikutnya. Dana didapatkan dari kegiatan ilegal perdagangan, prostitusi, judi dan sebagainya. Melalui pencucian uang hasil kejahatan komersial, penyelundupan dan korupsi, dana menjadi bersih asal usulnya, sah dan sulit ditelusuri. Mengingat sangat kompleksnya masalah pencucian uang karena terkait dengan pendeteksian dini dan harus dilakukan secara tertutup, maka
54
ibid 25
institusi intelijen sangat diperlukan di dalam perumusan pencegahan terhadap kejahatan terorganisir. 3. Tinjauan dari aspek sosial budaya dan agama. Aksi terorisme belum dapat dihentikan, artinya sekalipun perang melawan terorisme gencar dilaksanakan dan agenda hubungan Internasional untuk komitmen bersama melawannya, serangan terorisme terus berlangsung. Terorisme tegas dinyatakan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, karena semua agama mengutuk terorisme. Namun untuk melawan terorisme tidak salah bila menggunakan metoda lain yaitu menggunakan soft power persuasif antara lain mengikut sertakan tokoh-tokoh agama dalam upaya menetralisir pembibitan dan penyebaran ajaran radikalisme. Keberhasilan Indonesia dalam membongkar sejumlah aksi teror selama ini, tidak berarti pada kesimpulan akhir bahwa penganut agama Islam memiliki pemikiran sama terhadap pemahaman terorisme yang berkembang di Indonesia. Perang melawan terorisme harus dilihat sebagai perang gagasan yang mengarah pada memenangkan pikiran dan hati masyarakat untuk tidak simpati dan tidak mendukung gagasan para teroris. Hal demikian harus dilaksanakan secara serempak dengan memusatkan faktor-faktor terkait seperti kemiskinan, pendidikan dan masalah sosial lainnya. Gerakan reformasi politik dan ekonomi sedang berlangsung di Indonesia, namun hasilnya belum maksimal bahkan aksi-aksi ketidakpuasan terhadap tatanan politik dan ekonomi bermunculan berupa unjuk rasa anarkis. 4. Tinjauan dari aspek kemajuan teknologi. Bagi kaum teroris menjalin komunikasi dengan dunia luar melalui internet, merupakan sarana utamanya, melalui pembuatan situs online maka komunikasi lintas negara dapat dilakukan dengan leluasa tanpa diketahui siapa, apa dan bagaimana, kecuali hanya kelompok jaringannya yang dapat mengerti. Teknologi cyber (dunia maya) dimanfaatkan untuk tindak kejahatan cyber crime dengan istilah hacking, carding dan hosting serta penyebar luasan artikel melalui situs jihad. Sebagai contoh carding, pencurian data dan dana kartu kredit melalui jaringan internet. Inilah yang disebut pergeseran modus dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Untuk mencegah cyber crime antara lain dapat dilakukan dengan cyber patrol di dunia maya juga. Namun hingga kini, aparat keamanan dan intelijen masih banyak kekurangan yang dihadapi, belum memiliki pegangan security management, termasuk peralatan pengamanannya. Disamping itu kelemahan lain yang harus ditinggalkan yaitu belum adanya konsistensi dan keseriusan dalam mencegah terjadinya aksi terorisme oleh semua pihak. Sinergitas instansi lainnya seperti bea cukai,
26
imigrasi, perhubungan dan keuangan/perbankan sangat diperlukan guna pencegahan terorisme di Indonesia. 5. Tinjauan dari aspek kebijakan. Untuk melawan terorisme membutuhkan sebuah kebijakan penanggulangan terorisme yang bersifat komprehensif baik dalam tataran kewenangan maupun pelaksanaan kontra terorisme yang bersifat umum dan menyeluruh. Diperlukan cakupan dua bidang kebijakan namun bersamaan dalam melawan terorisme di Indonesia, yaitu : a. Kebijakan utama yang merupakan pencegahan untuk menghilangkan peluang bagi tumbuh suburnya terorisme di dalam sendi kehidupan masyarakat pada aspek keadilan, demokrasi, kesenjangan, pengangguran, kemiskinan, budaya KKN, kekerasan dan sebagainya. Kebijakan yang melahirkan aturan-aturan untuk mempersempit peluang terjadinya aksi teror dalam artian mempersempit ruang maupun sumber daya teroris. b. Kebijakan yang merupakan instrumen yang menitik beratkan pada aspek penindakan diwujudkan dalam deteksi dini, cegah dini dan respon cepat terhadap indikasi dan aksi-aksi teror, yang menuntut profesionalitas dan proporsionalitas bagi instrumen penindak yang diberi wewenang. Penindakan terhadap teror harus dilakukan, namun tetap menjunjung tinggi regulasi mengenai code of conduct atau rule of engagement, sehingga apapun tindakan yang dilakukan melawan terorisme akan terbebas dari persoalan pro dan kontra dalam opini masyarakat. c. Kebijakan, strategi, metoda, teknik, taktik dan pendekatan untuk mengatasi terorisme yang diterapkan tentunya akan berbeda dari satu negara dibanding negara lainya, mengingat adanya perbedaan pula bentuk atau style kelompok teroris yang disebabkan oleh adanya motif-motif terorisme seperti separatis, anarkis, dissidents, Nasionalis, marxist revolusioner atau religius. Perbedaan penanganan juga disebabkan oleh perbedaan kondisi daerah, budaya, adat/istiadat, hukum, sumber daya serta kemampuan satuan anti teror yang tersedia. Indonesia dalam memerangi terorisme harus mempertimbangkan kondisi yang berlaku terutama bidang hukum, sosial dan budaya bangsa, bila tidak justru akan menciptakan kondisi yang kontra produktif.
27
6. Tinjauan
dari
aspek
implementasi penanggulangan
terorisme.
Impelementasi
memerangi aksi terorisme dilakukan melalui upaya-upaya represif, preventiv, preemitif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infra struktur pendukung. Terdapat beberapa hambatan dalam pemberantasan terorisme: a. Langkah-langkah operasional penindakan terhadap aksi teror di kawasan khususnya Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat merupakan skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi. b. Adanya trauma masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sistem hukum untuk menangani terorisme untuk kepentingan kelompok penguasa dalam rangka mengembalikan kekuasaan otoriter seperti sebelumnya. Kedua hal tersebut menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik memerangi terorisme. Diperlukan resosialisasi, reintegrasi dan sekaligus keteladanan: a. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah adalah tidak diskriminatif. b. Perang melawan terorisme adalah kebutuhan mendesak untuk melindungi WNI sesuai tujuan Nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. c. Kerja sama dengan pihak asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan agar tidak timbul korban yang tidak berdosa. Sebaliknya diperlukan keberanian masyarakat luas untuk segera melaporkan bila menemukan indikasi atau kejadiankejadian yang mengarah pada tindakan terorisme. Bertolak dari berbagai kegiatan yang dilakukan dalam implementasi strategi serta besaran, luas dan kompleksitas dampal teorisme, untuk dapat mengatasinya dipersyaratkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh Pemerintah dan Organisasi/Satuan Anti Teror. Bahwa perang melawan terorisme perlu dilakukan secara terkoordinasi lintas instansi, lintas Nasional dan secara simultan bersifat represif, preventif, preemtif maupun rehabilitasi.
28
3. Penutup Upaya mewujudkan masyarakat yang sadar dengan keharmonisan, terciptanya tatanan kehidupan yang penuh dengan keteraturan, nampaknya segala rintangan dan hambatan yang menuju kearah tersebut perlu mendapatkan perhatian. Teroris yang berusaha untuk membuat keonaran dan kekacauan mutlak diberanguskan. Syari’ dalam hal ini Allah SWT dan Rasul melalui nash-nash sucinya-Nya, telah mengajarkan bagaimana mencegah dan memperlakukan tindakan anarkis tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah perlu pula untuk mencoba bagaimana mengkreasi aturan sehingga bisa ada efek jera bagi pelaku sendiri maupun oknum lain yang kebetulan mempunyai niat yang sama. NKRI yang mempunyai berbagai macam suku dan agama (multi kultural), keberadaan UU anti Terorisme yang dimilikinya patut diupayakan berjalan sebagaimana mestinya. Kata kuncinya tidak lain adalah penegakkan dan kepastian hukum.
29
DAFTAR KEPUSTAKAAN A. Buku Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990 Ahmad Fathi Bahansi, Al-Siyasah al-Jinayah fi al-Syari’at al-Islam, Mesir: Maktabah Dar al-‘Umdah, 1965 Abdul Wahhab Khallaf, Al-Siyasah al-Syari’ah, Kairo: Dar al-Anshar, 1977 Abdul Rahman Taj, Al-Siyasat al-Syari’at wa al-Fiqh al-Islami, Dar al-Ta’lif, Mishr, 1953 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari’ah, Penj: Khikmawati (Kuwais), Judul Asli: Maqashid al-Syari’ah Fi al-Islam, Jakarta: Amzah, 2009, Cet, Ke-1 Abi Bakar Ahmad al-Razi al-Jashas, Ahkam al-Qur’an, Bairut: Dar al-Fikr, 1993, Jilid 2 Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Bairut: Dar al-Shadr, 1968, Juzu’ 6 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syari’ah Kairo: Mu’assasah al-‘Arabiyah, 1961 Jawahir Thontowi, Islam, Politik Dan Hukum, Esai-Esai Ilmiah Untuk Pembaruan, Islam, Politik Dan Hukum, Esai-Esai Ilmiah Untuk Pembaruan, Yogyakarta: Madyan Press, 2002, Cet, Ke-1 J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999, Ed. I, Cet, Ke-1 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008 Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, Bairut: Dar al-Masyriq, 1986 Mardenis, Pemberantasan Terorisme; Politik International dan Politik Hukum Nasional Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Medika Pratama, 2001, Cet, Ke-1 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr, 1957 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1991 Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qhurthubiy, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Bairut: Maktabat al-‘Asriyyah, 2005, jilid 3 Rocky Marbun, dkk, Kamus Hukum Lengkap Mencakup Istilah Hukum & PerundangUndangan Terbaru, Jakarta: Visi Media, 2012, Cet, Ke-1
30
Risalah Tarbawiyah, Edisi 1/Tahun I/2008 Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, Cet, Ke-1, h. 4 Wahbah Zuhailiy, Tafsir al-Munir Fi ‘Aqidah wa Syari’ah wal-Minhaj, Bairut: Dar al-Fikr al-Ma’aashir, 1991, Cet-1, jilid 6 Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, Cet, Ke-1
B. Internet dan Surat Kabar http://digilib.uin-suka.ac.id, Diakses, Senin, 21 Des 2014 http://islamlib.com. islam-dan-terorisme, Diakses: Senin, 21 Desember 2014 http://pemudapersisjabar.wordpress.com, Diakses: Senin, 21 Des 2014 http://mmuyamin.blogspot.com/2011/06/terorisme-internasional-dalam.html, Diakses: Senin, 21 Des 2014 http://antonmuzaenisyukur.blogspot.com, Diakses: Senin, 21 Desember 2014 http://islamlib.com. islam-dan-terorisme, Diakses: Senin, 21 Desember 2014 http://mmuyamin.blogspot.com/2011/06/terorisme-internasional-dalam.html, Diakses: Senin, 21 Des 2014 http://pemudapersisjabar.wordpress.com, Diakses: Senin, 21 Des 2014. http://www.damailahindonesiaku.com, Diakses: Selasa, 23 Desember 2014 Harian Kompas, edisi 11 Maret 2003
31