Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu Diedit oleh Chad Vickery
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
International Foundation for Electoral Systems
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Disunting oleh Chad Vickery International Foundation for Electoral Systems
2011
Setiap pendapat, temuan, kesimpulan atau rekomendasi yang diungkapkan dalam publikasi ini merupakan pandangan para penulis dan tidak mencerminkan pandangan International Foundation for Electoral Systems.
Pedoman untuk Memahami, Menangani dan Memutus Sengketa Pemilu Disunting oleh Chad Vickery Diterjemahkan oleh Ay San Harjono Penyunting naskah terjemahan Aria Suyudi, SH, LLM © 2011 IFES. Hak cipta dilindungi Undang-undang. International Foundation for Electoral Systems 1850 K Street, NW Fifth Floor Washington, D.C. 20006 USA Pemberitahuan hak cipta Hak cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan bagian-bagian dari laporan ini dalam bentuk apapun atau cara apa pun tanpa izin dari penerbit Dicetak di Amerika Serikat ISBN: 1-931459-62-2
Penghormatan untuk fotografi: Sampul depan— REUTERS/Cheryl Ravelo Pendahuluan — Aileen Tangonan Bab 1 — ANTARA/Ampelsa Pasa Bab 2 — Foto AP /David Longstreath Bab 3 — Foto AP /Visar Kryeziu Bab 4 — Foto AP /Gregory Bull Bab 5 — Foto dari Badan Bersama Penyelenggara Pemilu (Joint Electoral Management Body) Afghanistan Bab 6 — IFES/Bradley Austin
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
PENGANTAR WAKIL KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Indonesia semenjak reformasi tahun 1998 terus berkembang maju menjadi Negara yang lebih demokratis. Setelah reformasi rakyat tidak lagi terbelenggu oleh suatu rezim, euphoria kebebasan untuk memilih semakin mengemuka. Reformasi menjadi tujuan bersama yang salah satu amanatnya adalah Pemilu yang demokratis. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pelaksanaan Pemilu tahun 1999 di Indonesia meskipun masih terdapat berbagai kekurangan, namun dapat dinilai berhasil, karena berlangsung dalam suasana yang kondusif tanpa gesekan yang berarti. Kehidupan demokratisasi di Indonesia semakin berkembang ditandai dengan adanya pemilihan Presiden secara langsung tahun 2004 setelah selama puluhan tahun rakyat Indonesia tidak diberikan hak untuk memilih langsung Presidennya. Pada Tahun 2005 langkah baru demokratisasi direntas oleh bangsa Indonesia dengan pelaksanaan Pemilhan Kepala Daerah secara langsung. Kini rakyat Indonesia menikmati hak untuk memilih dan dipilih yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum tertinggi, karena itu tidak boleh ada seorangpun yang menghalangi. Mahkamah Konstitusi sebagai guardian of constitution diberi kewenangan oleh konstitusi untuk mengawal demokrasi, salah satunya melalui kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi telah menjalankan kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu sejak Pemilu tahun
i
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
2004, sementara pelaksanaan kewenangan menyelesaikan Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah dilimpahkan dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008. Berbagai fakta hukum yang terungkap dalam proses ajudikasi, dan berbagai terobosan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil pemilu menjadi pertanda bahwa proses demokratisasi di Indonesia terus berkembang, dan dengan adanya lembaga yang bertugas menyelesaikan perselisihan hasil pemilu masyarakat semakin dituntut untuk lebih cerdas dalam berdemokrasi, dan menyikapi perselisihan pemilu. Meningkatnya kesadaran berdemokrasi akan meningkatkan pula jumlah sengketa/perselisihan hasil pemilu yang diajukan kepada lembaga adjudikasi pemilu. Integritas hasil pemilu bukan hanya dilihat dari tahapan-tahapan yang dilakukan penyelenggara pemilu, tetapi juga dari penyelesaian sengketanya pada lembaga ajudikasi pemilu, baik mekanisme maupun prosesnya. Faktor keberhasilan atau pencapaian kualitas yang terdapat dalam sebuah pemilu ditentukan dengan adanya mekanisme peradilan yang baik dan benar terhadap hasil pemilu. Mekanisme tersebut juga harus menjadi pemutus dalam setiap perbedaan pendapat tentang hasil pemilu agar tidak terjadi berbagai konflik politik-sosial secara horizontal di tengah warga yang dapat meletup misalnya dalam bentuk aksi unjuk rasa yang anarkis. * IFES adalah lembaga yang berkomitmen terhadap perkembangan demokratisasi khususnya Pemilu di berbagai Negara. Kiprahnya sejak tahun 1987 telah memberikan kontribusi besar kepada perkembangan kehidupan berdemokrasi di berbagai Negara. Indonesia sebagai salah satu Negara yang terus membangun kehidupan bernegara yang lebih demokratis merupakan bagian dari aktifitas IFES dalam mengembangkan kehidupan berdemokrasi. Saya menyambut baik buku “Pedoman Untuk Memahami, Mengajudikasi Dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu” yang dikeluarkan oleh IFES ini. Buku ini akan memberi manfaat besar, bukan hanya untuk masyarakat,
ii
namun bagi peserta Pemilu, penyelenggara Pemilu, pengawas Pemilu, dan Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang wewenang ajudikasi dalam perselisihan hasil Pemilu di Indonesia. Pada Bab I buku ini dijabarkan mengenai standar Internasional dalam penyelesaian pemilu. Pembaca disadarkan bahwa terdapat standar internasional dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu. Perserta pemilu berhak mengajukan pengaduan ke hadapan sebuah badan penyelesaian Pemilu yang tidak memihak, yang memutus secara cepat, dengan standar pembuktian yang jelas, sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan perbaikan yang efektif. Pada Bab II buku ini diuraikan mengenai mekanisme hukum dalam sistem ajudikasi pengaduan pemilu yang efektif. Bab ini menggambarkan masalahmasalah dalam membangun system pemeriksaan perselisihan hasil pemilu. Juga menganalisa berbagai system ajudikasi yang ada di beberapa Negara dengan memperlihatkan efektifitasnya dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu. Pada Bab III buku ini disuguhkan mengenai pelatihan ajudikasi dalam pengaduan perselisihan hasil pemilu. Dalam bab ini tampak pentingnya pelatihan yang efektif untuk menjamin system ajudikasi pengaduan pemilu yang efisien, komprehensif, dan bekerja dengan baik. Pelatihan yang tidak hanya ditujukan kepada penyelenggara pemilu, tapi juga peserta pemilu. Pada Bab IV buku ini menyajikan studi kasus yang dapat dijadikan rujukan bagi para ajudikator pemilu dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu. Disajikan pengalaman di beberapa Negara yang pernah mengadakan pelatihan ajudikator pemilu. Pada Bab V buku ini diuraikan berbagai pendekatan dalam mendidik pemilih untuk meningkatkan peranan dan partisipasi masyarakat sipil. Bab ini menggambarkan betapa pentingnya informasi publik dan pendidikan pemilih untuk proses ajudikasi pengaduan pemilu. Pada Bab akhir buku ini dijabarkan mengenai peranan alternatif penyelesaian sengketa pemilu. Digambarkan beberapa variasi system
iii
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
penyelesaian sengketa pemilu pada berbagai situasi Negara, di mana mekanisme Alternatif penyelesaian sengketa menjadi bagian di dalamnya. Buku ini begitu kaya dan sarat akan panduan baik secara teknis maupun gambaran pelaksanaan ajudikasi pemilu di beberapa belahan dunia. Buku ini sangat direkomendasikan kepada pihak yang berkepentingan dalam pemilu, baik peserta pemilu, penyelenggara, pengawas, maupun lembaga ajudikasi. Akhir kata, besar harapan saya agar buku ini bukan hanya menjadi rujukan tetapi juga dapat menjadi evaluasi bagi pelaksanaan ajudikasi dan penyelesaian perselisihan Pemilu di Indonesia, dengan melakukan perbandingan dengan standar internasional yang ada, dan praktik ajudikasi pemilu di Negara lain. Semuanya untuk mencapai tujuan kehidupan berdemokrasi yang lebih baik, sebagaimana diamanatkan konstitusi UUD 1945.
Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi,
Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H.
iv
Sambutan dari Presiden/CEO Sejak tahun 1987, International Foundation for Electoral System telah mendukung pertumbuhan stabilitas demokrasi di seluruh dunia, utamanya dengan memfokuskan pada peningkatan kredibilitas dan efektivitas administrasi pada hari Pemilu. Seiring dengan makin terhubungnya komunitas global (inter-connected), dan berbagai peristiwa Pemilu yang terjadi mulai dari Florida sampai Afganistan serta dari Minnesota sampai Pantai Gading telah merebut perhatian masyarakat umum, kebutuhan untuk memastikan bahwa Pemilu dilangsungkan secara bebas, adil dan dikelola dengan kredibel terus bertambah. Untuk mencapai ini, proses penanganan keberatan (complaint adjudication) Pemilu haruslah transparan dan dapat diandalkan, serta hasil akhirnya harus dapat diterima oleh seluruh pihak yang kalah, media, dan tentu saja para pemilih. Pedoman untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu (Guidelines for Understanding, Adjudicating, and Resolving Disputes in Elections /GUARDE) diilhami dan ditulis dengan tujuan tersebut. Kami berharap bahwa pedoman ini akan membekali para petugas Pemilu dan pemangku kepentingan kunci lainnya dengan informasi mengenai standar internasional dan praktik terbaik tentang penanganan keberatan untuk memastikan bahwa proses tersebut kredibel dan dapat diterima oleh publik. GUARDE merupakan titik puncak dari upaya IFES selama dua-tahun, yang dibiayai oleh United States Agency for International Development (USAID) sebagai bagian dari program kepemimpinan teknis oleh Konsorsium untuk Penguatan Pemilu dan Proses Politik (Consortium for Election and Political Process Strengthening (CEPPS)). Sebagai anggota CEPPS, IFES bekerja dengan menggunakan teknik-teknik yang inovatif untuk mendukung para mitra yang berupaya untuk mewujudkan agenda pembaruan mereka. Penting bagi tercapainya tujuan-tujuan ini diantaranya adalah kebutuhan untuk memiliki perangkat yang praktis untuk memastikan bahwa proses peradilan Pemilu dijalankan dengan cara yang adil, efektif dan kredibel.
v
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Terima kasih yang sepenuh hati saya tujukan kepada tim penulis, para penyunting dan peninjau ahli yang antusias yang telah memproduksi buku panduan ini. Dedikasi mereka untuk membahas masalah yang penting dan rumit ini telah memastikan bahwa publikasi ini akan memiliki manfaat yang dapat bertahan lama bagi para pemangku kepentingan pemilihan di seluruh belahan dunia.
Bill Sweeney Presiden IFES / CEO
vi
Pengantar Publikasi dari panduan ini merupakan hasil dari pekerjaan bertahun-tahun dan dedikasi yang luar biasa dari suatu tim besar yang terdiri dari para ahli, penyunting, peneliti dan peninjau. Saya percaya bahwa kami telah mencapai tujuan kami untuk memberikan para praktisi dengan justifikasi normatif maupun perangkat praktis yang yang diperlukan oleh para praktisi dalam merancang, menjustifikasi dan melaksanakan program penegakan Undang-undang Pemilu (electoral justice) secara efektif. Dalam Bab 1, kami menyajikan tujuh standar berdasarkan kewajiban hukum publik internasional yang akan memberikan pondasi normatif atau rambu-rambu kepada para praktisi dan pemangku kepentingan lainnya yang diperlukan untuk merancang berbagai Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang transparan, konsisten dan efektif. Beberapa orang telah berkontribusi untuk merancang bab ini dengan menyumbangkan sejumlah besar penelitian, pedoman dan perdebatan yang sangat baik tentang definisi dari standar-standar tersebut serta berbagai argumen yang mendukung setiap standar tersebut. Tim ini termasuk Typhaine Roblot, Jeremy Hunt, Jennifer Mishory, Erica Shein, dan Bob Dahl. Bab 2 menawarkan komponen hukum dasar yang perlu dipertimbangkan oleh mereka yang terlibat dalam merancang maupun menganalisis kerangka hukum penanganan keberatan Pemilu. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bob Dahl yang menuangkan dalam tulisan, kemampuan unik beliau untuk menganalisis baik isu-isu makro yang harus dipertimbangkan ketika melakukan tinjauan hukum, maupun sikap penghargaan beliau terhadap implikasi praktis dari pembaruan yang dapat diajukan dalam keadaan tertentu. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Mike Clegg atas nasihatnya yang bijaksana, beberapa tambahan yang penting dan tinjauan menyeluruh atas bab ini yang telah membantu kami mengkontekstualisasikan serta memperkaya pembahasan. Bab 3 berupaya untuk memberikan beberapa perangkat untuk merancang dan melaksanakan program pelatihan penanganan keberatan Pemilu yang efektif. Saya harus mengucapkan terima kasih kepada Steven Gray
vii
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang telah menyediakan kerangka kerja yang didukung dengan suatu metodologi pelatihan yang solid. Saya juga berterima kasih kepada Linda Edgeworth yang telah meninjau dan menambahkan beberapa elemen dalam bab ini yang akan membantu untuk memusatkan perhatian pada program-program pelatihan tentang berbagai kekhususan yang terkait dengan berbagai sistem penanganan keberatan Pemilu. Mengingat penting dan uniknya sifat pelatihan arbiter dalam proses keberatan Pemilu, bab keempat menggunakan studi-studi kasus dan analisis komparatif untuk memberikan informasi yang perlu dipertimbangkan oleh para praktisi dalam merancang dan melaksanakan program-program pelatihan arbiter. Secara khusus, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para penulis kami dari Mexican Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federación (TEPJF) yang telah membahas pengalaman internasional mereka yang unik dan luas. Saya juga ingin berterima kasih kepada Luie Guia dan Vincent Yambao yang telah mendokumentasikan proses tersebut di Filipina. Kedua contoh tersebut memberikan contoh studi-studi kasus kepada mereka yang bekerja di arena ini untuk menginformasikan, membandingkan dan memperlihatkan perbedaan dengan pengalaman mereka sendiri. Bab 5 memusatkan perhatian pada pendidikan kewarganegaraan dan pemilih, sebuah topik yang seringkali diabaikan oleh para donor, praktisi, tribunal dan badan penyelenggara Pemilu, walaupun merupakan topik yang sama pentingnya dengan elemen yang lain, yang biasanya dibahas sehubungan dengan berbagai sistem penanganan keberatan yang efektif. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para penulis bab ini, Catherine Barnes dan Grant Kippen, yang telah berhasil menggabungkan bertahuntahun pengalaman pengembangan internasional dengan pemahaman mendalam terhadap pemrograman pendidikan kewarganegaraan yang efektif dan pengetahuan dari pengalaman langsung tentang berbagai tantangan yang dihadapi oleh mereka yang duduk badan-badan penanganan keberatan Pemilu. Saya juga ingin berterima kasih kepada Catherine yang telah mengembangkan suatu daftar periksa bagi para praktisi di akhir bagian ini yang berfungsi sebagai sebuah model yang kami terapkan di semua bab lainnya.
viii
Bab terakhir, memfokuskan pada berbagai pendekatan alternatif untuk penanganan keberatan Pemilu, yang dalam banyak hal masih merupakan sebuah perjalanan awal dan kita tidak tahu kemana hasil akhirnya. Dengan pemikiran tersebut, saya berhutang budi kepada John Hardin Young yang memandu diskusi ini dengan pengetahuannya yang mendalam tentang penyelesaian sengketa alternatif, hukum administrasi dan hukum Pemilu; David Kovick atas kontribusi pengalaman internasional-nya yang luas tentang penyelesaian sengketa alternatif; dan Vincent Tohbi yang mengaitkan berbagai pendekatan teoritis kami ke dalam contoh dunia yang nyata. Dalam tahap akhir dari upaya ini, kami mengumpulkan sebuah panel ahli untuk melakukan tinjauan akhir yang menyeluruh terhadap GUARDE: Barry Weinberg, Linda Edgeworth, dan Ms. María del Carmen Alanis Figueroa, Magistrate-President dari TEPJF. Tiga orang peninjau ini telah memberikan pandangan dan nasihat yang sangat penting, berdasarkan pengalaman mereka yang luas di bidang ini, yang telah membantu kami menjernihkan isu-isu yang mengundang perdebatan. Berbagai tinjauan mereka juga telah melakukan pemeriksaan yang tidak ternilai terhadap kualitas pekerjaan kami. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Mary Kelly, Michael Svetlik dan Bill Sweeney atas dukungan mereka yang gigih terhadap proyek ini melalui proses yang amat panjang dan Laura Osio yang membantu membentuk naskah menjadi sebuah dokumen yang siap dipublikasikan sebagai sebuah teks. Akhirnya, walaupun telah disebutkan di atas, Saya ingin sekali lagi mengucapkan terima kasih saya kepada Erica Shein, Jeremy Hunt, dan Typhaine Roblot. Mereka telah berkontribusi pada proses ini dengan berbagai cara, dengan membantu saya membentuk ide-ide abstrak menjadi sebuah kerangka kerja yang nyata, merancang tiap bagian, meneliti titik-titik hukum yang kabur, mendukung pekerjaan para penulis kami, menyunting sejumlah rancangan dokumen dan menyelesaikan naskah untuk publikasi. Dapat saya katakan dengan keyakinan penuh bahwa GUARDE tidak akan dipublikasikan tanpa masukan dari otak cemerlang dan kreatif mereka, keuletan mereka dalam mendorong proses ini dan
ix
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kesabaran mereka dalam bekerja dengan penyunting yang sangat sibuk dan kadang teralih perhatiannya. Saya berharap pekerjaan kami – sebagaimana disajikan dalam pedoman ini- akan memberikan kontribusi positif pada perdebatan seputar berbagai standar yang berlaku di sistem-sistem keberatan terkait Pemilu dan akan membantu para praktisi mengembangkan dan melaksanakan berbagai program pengadilan Pemilu yang efektif dan berkelanjutan.
Chad Vickery Direktur IFES, Eropa & Asia
x
Tentang Para Penulis Penyunting Chad Vickery adalah ahli hukum dan administrasi Pemilu internasional dengan 17 tahun pengalaman dalam berbagai proyek di bidang penguatan demokrasi dan tata kelola dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi. Ia memiliki pengalaman yang luas dalam merancang dan mengelola berbagai program penanganan keberatan Pemilu, memberikan analisis perbandingan hukum, dan bekerja pada program Pemilu dan pembaruan hukum di Asia Selatan, Asia Tenggara, Eurasia dan Timur Tengah. Ia memiliki gelar Magister dalam Hubungan Internasional dari Georgetown University, Juris Doctorate dari Catholic University of America dengan konsentrasi dalam hukum perbandingan dan internasional, dan gelar Sarjana dalam Ilmu Politik dari University of Washington. Ia adalah anggota dari Washington State Bar.
Bab 2 Robert Dahl adalah konsultan Pemilu swasta yang tinggal di Washington, D.C. Ia telah menjadi praktisi dan penasihat dalam bidang hukum Pemilu sejak tahun 1985. Setelah menduduki jabatan di Komisi Pemilu Federal Amerika Serikat (U.S. Federal Elections Commission), dengan cepat ia menjadi pakar yang diakui dalam pembaharuan hukum Pemilu, demokratisasi, dan administrasi Pemilu, baik di Amerika Serikat maupun di luar negeri. Selama karirnya, Tuan Dhal telah bekerja di proyek-proyek reformasi di bekas Uni Soviet dan negara-negara Blok Timur demikian juga China, Indonesia dan Thailand. Dia telah menjadi konsultan reguler IFES semenjak tahun 1993. Michael Clegg adalah ahli dalam tinjauan hukum dan perancangan perUndang-undangan. Ia telah terlibat dalam proses tersebut dalam waktu lebih dari tiga dekade, setelah menghabiskan sebagian karirnya bekerja pada Canadian House of Commons and Senate sebagai Parliamentary Counsel dan sebagai pengacara swasta. Dia telah bekerja sebagai administrator dan pemantau Pemilu sejak akhir tahun 1980-an, dan telah menjadi konsultan untuk IFES di Irak dan Afganistan sejak tahun 2005.
xi
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Bab 3 Steven Gray berpengalaman lebih dari 20 tahun dalam pelatihan dan 30 tahun pengalaman dalam pemantauan dan evaluasi Pemilu. Ia telah mengembangkan dan melaksanakan berbagai program pemantauan Pemilu dan pelatihan di empat benua, telah menjadi konsultan IFES sejak tahun 1995. Sekarang ia menjabat sebagai Chief of Party untuk IFES Moldova dan telah merancang dan melaksanakan berbagai program pelatihan untuk komisi Pemilu di Bangladesh, Albania, Yaman, Macedonia, Indonesia, Afganistan, Pakistan dan Moldova. Linda Edgeworth berpengalaman hampir 30 tahun dalam seluruh aspek proses Pemilu, termasuk perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan berbagai persyaratan teknis; menyiapkan dan melaksanakan berbagai perubahan prosedural; dan mengkoordinasikan sosialisasi dan pelatihan dengan badan-badan pemerintah dan masyarakat umum. Ia telah terlibat dalam Pemilu dalam negeri di Amerika Serikat, serta tiga lusin negara di seluruh dunia dalam lebih dari satu dekade sebagai seorang spesialis administrasi Pemilu IFES.
Bab 4 Gerardo de Icaza Hernández telah menjadi Kepala Hubungan Internasional Pengadilan Pemilu Federal Meksiko (Federal Electoral Court of Mexico) sejak tahun 2007. Sebelum itu, ia adalah Asisten Hakim (Law Clerk) untuk Hakim Salvador Nava Gomar, dan Wakil Direktur Hukum untuk Mexican Vote Abroad di Institut Pemillihan Umum Federal (Federal Electoral Institute (IFE)). Ia adalah penulis bersama (co-author) dari sebuah buku teks tentang Hukum Internasional Publik (Derecho Internacional Público) yang diterbitkan oleh IURE, dan penulis sejumlah artikel dan makalah penelitian tentang isu-isu Pemilu, pencabutan hak pilih (disenfranchisement), hukum perbandingan, hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia. Ernesto Ramos Mega berpengalaman lebih dari 12 tahun sebagai pejabat Pemilu, dimana dia telah mengkoordinasikan persiapan dan penerbitan berbagai buku, pusat data, manual pelatihan, presentasi, buku teks dan situs web mengenai beragam topik hukum Pemilu. Ia adalah Kepala Unit Pelatihan Electoral Judicial Training Center di Electoral Court of the Federal Judiciary (TEPJF). Ia bertanggung jawab mengkoordinasikan berbagai
xii
kegiatan pelatihan, baik untuk staf pengadilan maupun untuk petugas Pemilu dan partai dari seluruh penjuru negeri Sejak tahun 2001 ia telah menjadi anggota Mexican Society of Electoral Studies. Luie Tito F. Guia dan Vincent Pepito F. Yambao, Jr. merupakan anggota Libertás, sebuah organisasi masyarakat madani di Filipina yang terdiri dari para pengacara dan profesional bidang hukum yang terlibat dalam pekerjaan advokasi, termasuk pembaruan politik dan Pemilu, tata kelola yang transparan dan akuntabel, akses terhadap keadilan, promosi hak asasi manusia. Dengan dukungan IFES, Libertás merintis Proyek Pembaruan Penanganan Sengketa Pemilu (Election Adjudication Reform) pada tahun 2007 untuk merekomendasikan pembaruan kebijakan dan hukum dalam penyelesaian sengketa Pemilu kepada berbagai badan penanganan keberatan Pemilu. Tn. Yambao adalah manager proyek Libertás untuk berbagai proyek reformasi pengadilan Pemilu, sementar Tn. Guia membuka praktik pengacara Pemilu dan konsultan hukum Pemilu di Libertás untuk proyek-proyek pembaruan Pemilu.
Bab 5 Catherine Barnes telah mengerjakan proyek demokrasi dan tata kelola di 24 negara sejak tahun 1990. Semenjak ia memulai bidang tersebut, ia menjadi anggota staf baik IFES dan International Republican Institute (IRI). Sebagian besar pekerjaan Ny. Barnes di negara-negara bekas Uni Soviet dan Yugoslavia, tetapi ia juga telah bekerja secara meluas di Asia Timur dan Tenggara. Ny. Barnes merupakan konsultan independen dari Frederick, Maryland dan menyediakan konsultasi untuk sejumlah luas klien swasta dan publik, termasuk IFES. Grant Kippen telah bekerja di bidang pengembangan Pemilu dan demokrasi selama 30 tahun terakhir. Tn. Kippen ditunjuk pertama kalinya oleh Badan PBB untuk Komisi Keberatan Pemilu Afganistan (United Nations to the Electoral Complaints Commission of Afghanistan) pada tahun 2005 dan selanjutnya ditunjuk kembali pada tahun 2009; keduanya dipilih sebagai ketua melalui konsensus para anggotanya. Ia telah bekerja dengan beberapa pemerintah, korporasi dan LSM di Amerika Utara, Eropa, Asia dan Timur Tengah. Sejak tahun 2003, ia telah sangat terlibat dalam reformasi Pemilu dan pembentukan masyarakat madani di Afganistan.
xiii
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Ia juga telah bekerja dengan IFES di Pakistan, Mesir, Moldova, Georgia, Kosovo dan Timor-Leste. Tn. Kippen tinggal di Ottawa, Ontario.
Bab 6 David Kovick adalah Senior Associate pada Consensus Building Institute. Pekerjaannya
termasuk
mengajarkan
keterampilan
negosiasi
dan
penyelesaian sengketa, perencanaan strategis untuk berbagai organisasi internasional yang besar, dan mediasi serta fasilitasi sengketa publik yang kompleks. Sebelum bergabung CBI, David menghabiskan lima tahun bekerja di pengembangan politik internasional dengan National Democratic Institute for International Affairs (NDI), sebagai perwakilan di Zimbabwe dan Asia Tenggara. Ia juga adalah dosen paruh waktu pada Program Penyelesaian Sengketa di University of Massachusetts (Boston). John Hardin Young telah bekerja dalam hukum Pemilu sejak tahun 1970-an, ketika dia bekerja sebagai Penasihat untuk Badan Pemilihan Negara Bagian Virginia (Virginia State Board of Elections). Ia telah terlibat secara aktif dalam beberapa penghitungan ulang (recount) yang penting, termasuk perebutan kursi Gubernur Virginia 1989 antara Douglas Wilder dan Marshall Coleman dan penghitungan ulang Pemilu presiden di Florida tahun 2000. Tn. Young duduk sebagai Komite Penasihat untuk Program Hukum Pemilu (Election Law Program) di William & Mary School of Law, dimana dia juga menjabat sebagai asisten dosen. Saat ini ia merupakan advokat pada firma hukum Sandler, Rieff & Young, P.C. di Washington, D.C. Irie Vincent Tohbi adalah seorang ahli dalam bidang administrasi Pemilu di wilayah Sub-Sahara Afrika. Ia menjabat sebagai konsultan dan direktur regional Electoral Institute of Southern Africa (EISA) sejak tahun 2003. Sebagai Direktur Nasional di Republik Demokratik Kongo, ia telah mengawasi berbagai program pelaksanaan pendidikan Pemilu, pemantauan Pemilu dan mediasi dalam sengketa Pemilu.
xiv
Panel Peninjau Linda Edgeworth berpengalaman hampir 30 tahun dalam seluruh aspek proses pemilihan, termasuk perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan berbagai kebutuhan teknis; menyiapkan dan melaksanakan berbagai perubahan prosedural; dan mengkoordinasikan proses sosialisasi dan pelatihan dengan badan-badan pemerintah dan masyarakat umum. Ia telah terlibat dalam Pemilu dalam negeri di Amerika Serikat, serta tiga lusin negara di seluruh dunia dalam lebih dari satu dekade sebagai seorang spesialis administrasi Pemilu IFES. María del Carmen Alanis Figueroa telah mejabat sebagai MagistratePresident pada Pengadilan Pemilu Pengadilan Federal Meksiko (Mexico’s Electoral Court of the Federal Judiciary/TEPJF) sejak Agustus 2007. Ia berpengalaman lebih dari dua dekade di sektor publik, bekerja dengan TEPJF, Institut Pemilu Federal (Federal Electoral Institute (IFE)), dan sebelumnya, Pengadilan Pemilu Federal (Federal Electoral Court). Sejak tahun 2010, Ny. Alanis ditunjuk sebagai perwakilan Meksiko pada Komisi Venesia (Venice Commission–suatu Komisi dibawah Komisi Eropa untuk Demokrasi melalui Hukum), serta merupakan seorang ahli internasional yang sangat terpandang dalam hukum Pemilu, sistem manajemen dan administrasi, pengadilan Pemilu, pendidikan kewarganegaraan, dan politik Pemilu Meksiko. Ia mengajar pada Fakultas Hukum di National Autonomous University Meksiko dan telah bekerja sebagai konsultan bagi organisasi Negara America (Organization of American States) pada topik manajemen, analisis dan desain database informasi Pemilu. Barry H. Weinberg merupakan mantan Pejabat Ketua Bagian Pemungutan Suara (Voting Section) Departemen Kehakiman Amerika Serikat (U.S. Department of Justice). Ia telah menjadi konsultan IFES pada berbagai proyek sejak pertengahan 1990-an. Tn. Weinberg telah memiliki pengalaman yang luas dalam perkara hukum pencabutan hak untuk memilih dalam Pemilu (voting disenfranchisement) dan kasus-kasus diskriminasi, dan ia telah mengkoordinasikan penegakan hukum “Motor Voter”. Ia adalah pengarang The Resolution of Election Disputes: Legal Principles that Control Election Challenges, sebuah publikasi IFES yang merinci isu-isu penyelesaian sengketa Pemilu dalam Undang-undang Amerika Serikat, saat ini dalam cetakan kedua.
xv
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Tentang IFES International
Foundation
for
Electoral
Systems
(IFES)
adalah
organisasi non-pemerintah terdepan dalam asistensi Pemilu dan mempromosikan demokrasi. IFES mempromosikan stabilitas demokrasi dengan memberikan bantuan teknis dan menerapkan penelitian berbasis lapangan terhadap siklus Pemilu di seluruh dunia untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan memperkuat masyarakat sipil, tata kelola dan transparansi. Seluruh proyek IFES didukung oleh staf nasional dan internasional dengan bermitra dengan berbagai badan penyelenggara Pemilu lokal dan organisasi masyarakat madani. Pendekatan yang didasarkan kepada pengembangan berbasis negara asal menjamin bahwa keahlian yang ditawarkan oleh IFES akan sesuai dengan kebutuhan negara atau klien dan manfaat asistensi tersebut melampaui dari jangka waktu proyek. Pekerjaan kami bersifat non-partisan dan termasuk berbagai proyek yang: •
Membantu warganegara berpartisipasi dalam demokrasi
•
Meningkatkan akuntabilitas para politisi bagi para pemilih
•
Memperkuat lembaga-lembaga pemerintah
Semenjak didirikan pada tahun 1987, IFES telah bekerja lebih dari 100 negara – dari demokrasi yang masih berkembang hingga yang sudah matang. IFES terdaftar di Amerika Serikat sebagai organisasi berdasarkan pasal 501(c)(3).
xvi
Daftar Isi Tentang IFES
xvi
Kata Pengantar
xix
Pendahuluan 1 Bab 1 Standar-Standar Internasional
11
Bab 2 Berbagai Kerangka Hukum Untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu Yang Efektif
113
Bab 3 Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
151
Bab 4 Studi Kasus Terkait Dengan Pelatihan Arbiter Dalam Keberatan Pemilu
183
Bab 5 Berbagai Pendekatan Untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
231
Bab 6 Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
259
Lampiran A Kutipan Berbagai Traktat dan Konvensi Internasional dan Regional
295
Lampiran B Kutipan Berbagai Konstitusi, Peraturan dan Perundang-undangan Nasional Terpilih
335
xvii
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
xviii
Kata Pengantar Dalam sebuah demokrasi, bukan pemungutan suara yang penting, melainkan penghitungannya.” Tom Stoppard, Jumpers (1972) (Act I) Di seluruh dunia, seruan untuk melakukan pembaruan dan membentuk pemerintahan yang demokratis terus berlanjut tanpa surut sepanjang melewati dekade pertama dari Abad ke-21. Ketika kita memasuki dekade kedua, berbagai permintaan ini menjadi semakin melengking jika tidak dapat dapat disebut bergemuruh, menderu. Beberapa gerakan reformasi telah berhasil menyingkirkan beberapa rezim yang telah bertahan dalam jangka panjang dan sangat mapan yang tanpa diragukan lagi bersifat tidak demokratis. Namun dilema yang tak dapat dihindari oleh orangorang yang memimpin gerakan pembaruan ini — apa yang terjadi selanjutnya? Kenyataannya adalah yang terjadi selanjutnya seringkali sulit — pembentukan pemerintah yang demokratis. Sebuah analogi dari kehidupan keluarga mungkin berguna untuk menjelaskan poin ini. Seringkali jauh lebih mudah bagi para anggota keluarga untuk menyetujui meruntuhkan rumah lama mereka daripada menyetujui desain untuk rumah baru mereka. Tantangan yang dihadapi oleh gerakan reformasi yang sukses adalah bagaimana merancang sebuah pemerintahan demokratis yang berhasil. Seringkali debat yang terjadi melibatkan hal-hal dasar seperti definisi sebuah demokrasi. Debat seperti ini, jika tidak diselesaikan dengan segera, dapat mengakibatkan kegagalan. Pemerintahan demokratis adalah: “Pemerintahan oleh rakyat, baik secara langsung ataupun melalui perwakilan yang dipilih oleh rakyat,” Black’s Law Dictionary, 497 (Edisi ke-9. 2009).Intinya adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Beberapa prinsip umum bersifat mutlak untuk demokrasi. Prinsip-prinsip tersebut termasuk bahwa semua manusia diciptakan sama/setara dan bahwa semua manusia dikaruniai hak-hak atau kebebasan tertentu yang tidak dapat disingkirkan (unalienable rights). Salah satu dari kebebasan yang paling mendasar adalah hak untuk memilih mereka yang dimana masyarakat menyerahkan kekuasaan
xix
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kedaulatan (sovereign power). Manusia ingin hidup di dalam masyarakat yang sipil, tertib dan demokratis dengan hukum-hukum yang adil yang ditegakkan secara seragam. Untuk mencapai tujuan ini di dalam sebuah demokrasi, orang bersedia untuk menyerahkan beberapa kebebasan pribadinya. Mereka bersedia untuk memberikan beberapa hak pribadi mereka kepada orang-orang yang mereka pilih untuk menduduki posisi yang memiliki kekuasaan kedaulatan (contohnya, para pejabat publik). Kesediaan untuk menyerahkan kekuasaan kedaulatan kepada mereka yang memiliki jabatan publik merupakan sebuah aspek kunci dari seluruh demokrasi perwakilan. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Lord Acton lebih dari satu abad yang lalu,” Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut akan pasti korup. (Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely)”1 Dengan demikian, keberhasilan sebuah demokrasi tidak hanya harus memiliki sistem yang melembaga untuk menyerahkan kekuasaan kedaulatan kepada petugas publik, tetapi sama pentingnya adalah, harus memiliki cara untuk dapat secara damai menarik kembali kekuasaan terbatas yang telah diberikan tersebut. Sistem semacam itu diharapkan akan mencegah korupsi sebagaimana dikhawatirkan oleh Lord Acton. Pertanyaannya kemudian menjadi, bagaimana sebuah masyarakat yang demokratis membentuk suatu sistem yang memungkinkan pelaksanaan perubahaan yang damai, atau pada intinya, bagaimana sebuah masyarakat dapat melembagakan kemampuan untuk membuat revolusi yang teratur dan damai secara periodik. Jawabannya adalah pembentukan sebuah sistem Pemilu yang teratur, bebas, dan adil dimana masyarakat dapat memberikan suara kepada mereka yang dikehendaki oleh masyarakat untuk memberikan kekuasaan kedaulatannya. Hak pilih menjamin hak untuk berpartisipasi bagi masyarakat di dalam pemerintahan mereka. Pemilu yang jujur tidak hanya menjamin warga negara hak untuk berbicara, tetapi lebih penting lagi, menjamin hak warga negara untuk didengar. Sebuah sistem Pemilu yang bebas dan adil mengantisipasi kebutuhan untuk perubahan. Pemilu memungkinkan penyesuaian dalam pembagian kekuasaan dan memberikan sebuah metode bagi masyarakat untuk memperbaiki berbagai 1 Surat untuk Uskup Mandell Creighton, 3 April 1887, dalam Louise Creighton, Life and Letters of Mandell Creighton (1904) vol. 1, bab 13; cf Pitt 576; 22.
xx
kesalahan. Dengan demikian, agar sebuah demokrasi dapat berkembang, harus terdapat cara yang sah untuk membenarkan hak pribadi setiap warga negara yang paling penting — yaitu hak untuk memilih. Telah lama diakui di Amerika Serikat bahwa “hak untuk memilih secara bebas kandidat pilihan seseorang, merupakan inti dari sebuah masyarakat demokratis dan setiap hambatan terhadap hak tersebut bertentangan dengan landasan pemerintahan representatif.” Reynolds v. Sims, 377 U.S. 555, 84 S.Ct. 1362, 12 L.Edisi Ke-2 500 (1964). Hak pilih ini sangat berharga. Hakim Pengadilan Palm Beach Circuit Jorge Labarga, salah satu hakim yang terlibat dalam sengketa Pemilu presiden Bush v. Gore pada tahun 2000, mengatakannya dengan baik dalam salah satu opini yang diberikannya selama tahap-tahap awal kontes Pemilu tersebut. Hakim Labagra menulis:
“ . . . hak pilih adalah sama berharganya dengan hidup itu sendiri bagi mereka yang telah menjadi korban dari kekejaman perang, bagi mereka yang kerabat dekatnya dilarang menggunakan hak pilihnya hanya karena alasan ras atau gender mereka, dan mereka yang telah mempertaruhkan.” Charles L. Zeldon, Bush v. Gore: Exposing the Hidden Crisis in American Democracy, 76 (2010)
Setiap masyarakat yang ingin memiliki sebuah sistem Pemilu yang teratur, bebas dan adil harus mengakui bahwa Pemilu seperti itu tidak dapat terjadi tanpa adanya komitmen terhadap konsep negara hukum (rule of law). Pemerintahan yang demokratis dapat hidup dan tumbuh dengan subur dalam berbagai bentuk yang berbeda, bentuk yang kerap kali disesuaikan dengan norma-norma sosial, kebutuhan kultural dan tradisi dari individu yang membentuk masyarakat tersebut. Namun, bagaimanapun bentuknya, suatu demokrasi tidak dapat bertahan kecuali terdapat sebuah komitmen terhadap negara hukum (rule of law). Suatu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat tidak dapat berkembang apabila segelintir orang diposisikan diatas hukum.
xxi
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Di bawah sebuah sistem yang tunduk kepada konsep negara hukum (rule of law), berbagai sistem dan prosedur dapat disiapkan sebelum Pemilu yang dapat menjamin bahwa aspirasi para pemilih akan tercermin secara akurat dalam hasil pemilihan. Peraturan perUndang-undangan disiapkan sebelum Pemilu merupakan suatu pedoman untuk berbagai sistem dan prosedur ini. Para pemilih dapat dididik tentang bagaimana memberikan suara mereka secara semestinya. Para pekerja Pemilu dapat dilatih tentang penggunaan praktik-praktik terbaik untuk memastikan hak suara masyarakat dapat dilakukan dan dihitung sebagaimana mestinya. Langkah keamanan yang diperlukan dapat disiapkan untuk mengamankan surat suara segera setelah mereka diberikan. Akuntabilitas dari para petugas pemilihan dapat ditingkatkan dengan memiliki berbagai sistem yang dapat mendorong keterbukaan. Pengalaman telah mengajarkan saya bahwa komponen yang mutlak bagi akuntabilitas dalam sebuah Pemilu adalah sebuah surat suara tertulis. Dengan surat suara tertulis, maksud pemilih dapat diuji kebenarannya. Jika pilihan pemilih dapat diuji kebenarannya secara mandiri, ketika dan jika terjadi penghitungan ulang atau tinjauan terhadap prosedur Pemilu, akuntabilitas dari para petugas Pemilu dapat ditingkatkan dan kemungkinan kecurangan berkurang. Walaupun seluruh Undang-undang, aturan dan peraturan perUndangundangan telah disiapkan untuk mempromosikan Pemilu yang teratur, bebas dan adil, tidak pernah ada suatu Pemilu yang sempurna. Akan selalu ada hal yang tidak berjalan semestinya. Hal-hal yang tidak diharapkan malah terjadi. Mesin pemungutan suara tidak berfungsi, terjadi pemadaman listrik, orang membuat kesalahan, dan ketika Pemilu ditutup, gugatan terhadap Pemilu akan terjadi. Akan tetapi, fakta bahwa Pemilu tidak berjalan sempurna bukan berarti Pemilu tidak dapat menjadi adil. Jika terdapat persiapan, pendidikan yang memadai dan ketika berbagai standar yang jelas telah siap sebelum Pemilu, akan terdapat keterbukaan dan akuntabilitas. Jika suatu kebudayaan telah mapan dimana orang-orang baik diberdayakan untuk melakukan hal-hal yang benar, sebagian besar masalah pemililhan umum dapat diselesaikan dengan cara dimana setiap pemilih percaya bahwa mereka memiliki kesempatan untuk menyuarakan suara mereka dengan memberikan suara dan bahwa suara tersebut dihitung sebagaimana mestinya.
xxii
Hal ini mengantar saya menuju poin akhir tentang Pemilu dalam demokrasi yang partisipatif. Tidak hanya seorang warga negara harus dapat berbicara (melalui pemungutan suara), tetapi bahwa warga negara tersebut juga musti didengar (agar suaranya dihitung sebagai mana mestinya). Dalam suatu demokrasi, hak seseorang agar suara yang diberikannya secara sah dihitung sebagaimana mestinya adalah sama pentingnya dengan tindakan memberikan suara itu sendiri. Hak suara dapat saja dengan mudah ditolak, diabaikan, dihilangkan karena kegagalan dalam melakukan penghitungan suara secara benar. Sebagaimana penulis drama Tom Stoppard menulis,” Dalam sebuah demokrasi, bukan pemungutan suara yang penting; namun penghitungannya.” Pada intinya, memastikan bahwa seorang pemilih dapat berbicara dan didengar adalah isi dari buku berjudul Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu (Guidelines for Understanding, Adjudicating, and Resolving Disputes in Elections) ini. Buku ini akan membantu memberikan pendidikan, prosedur dan keterampilan yang diperlukan untuk memungkinkan orang-orang baik untuk melakukan hal-hal yang benar — untuk menjamin bahwa tidak hanya pemilih dapat menyuarakan dengan memberikan suara yang sah tetapi mereka akan didengar dengan cara pilihan mereka dicatat sebagaimana mestinya ketika suara mereka dihitung. Dengan jaminan ini, sebuah masyarakat yang demokratis tidak hanya dapat bertahan, tetapi akan berkembang. Paul H. Anderson Hakim Anggota, Pengadilan Tinggi Minnesota (Associate JusticeMinnesota Supreme Court)
xxiii
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Ketika keadilan suatu Pemilu dipertanyakan, kita memerlukan sebuah proses penyelesaian keberatan yang efektif untuk menyaring fakta-fakta dan menentukan apakah prosedur Pemilu yang semestinya telah dipatuhi sebagaimana diatur dalam peraturan perUndang-undangan. Jika sudah, maka hasil Pemilu mencerminkan keinginan masyarakat. Jika tidak, maka tindakan perbaikan yang semestinya akan digunakan untuk memastikan bahwa kehendak masyarakat akan diikuti. IFES telah memberikan dukungan teknis dan logistik dalam melaksanakan Pemilu yang demokratis untuk negara-negara di seluruh dunia. Bagian yang penting dari pekerjaan ini adalah pelatihan anggota-anggota komisi, advokat, hakim, kelompok masyarakat madani dan media dalam aspek hukum dan praktis tentang penyelesaian sengketa Pemilu di bawah negara hukum (rule of law). IFES bekerja secara berdampingan dengan para perwakilan dari berbagai badan administratif, legislatif dan yudikatif negara-negara tersebut dan menyajikan informasi melalui sebuah panel yang terdiri dari para ahli dalam hukum Pemilu internasional, serta para pemimpin kelompok kepentingan dan profesional yang ada pada negara tersebut, agar para pemangku kepentingan dapat mempertimbangkan berbagai evaluasi interaksi antara standar internasional dan mekanisme hukum dan administrasi pada penyelesaian keberatan pemilihan dari negara-negara tersebut. Presentasi tersebut dan diskusi lanjutannya, memberikan kepada pemangku kepentingan sebuah pemahaman yang jelas bagaimana mengantisipasi permasalahan yang mungkin muncul dalam Pemilu mendatang, dan bagaimana mengatasinya ketika hal tersebut terjadi. Dimulai pada tahun 1965, pekerjaan saya dengan Pemilu melibatkan penegakan Undang-undang Hak Pilih Amerika Serikat (U.S. Voting Rights Act) dan Undang-undang hak pilih Amerika Serikat lainnya. Sejak tahun 1995, Saya telah bekerja sebagai pemantau Pemilu internasional, serta telah terlibat dalam berbagai presentasi dan pelatihan tentang hak pilih, prosedur hukum dan penyelesaian keberatan Pemilu di banyak negara di empat benua. Berbagai upaya tersebut telah dipublikasi oleh IFES, The Resolution of Election Disputes pada tahun 2006, yang sudah memasuki edisi kedua pada tahun 2008.
xxiv
Dengan latar belakang ini saya dengan senang hati menyambut Guidelines for Understanding, Adjudicating, and Resolving Disputes in Elections (GUARDE) IFES yang baru. Buku panduan GUARDE memberikan pembaca semacam pemahaman penyelesaian sengketa Pemilu yang hanya anda dapatkan dari pengalaman pelaku langsung. Berbagai tujuan, isu, masalah dan teknik penyelesaian keberatan Pemilu ditata dan dijelaskan secara mahir. Dari gambaran umum setiap topik untuk menyakinkan berbagai ilustrasi praktik dan prosedur yang spesifik, GUARDE menerapkan berbagai standar internasional terhadap persoalanpersoalan praktis. Dengan melakukan hal tersebut, GUARDE menyoroti topik-topik yang paling sesuai dengan penyelesaian keberatan Pemilu, dan memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang seharusnya ditanyakan oleh para administrator, arbiter dan hakim Pemilu. Singkatnya, saya berpendapat bahwa GUARDE menyediakan suatu himpunan yang sempurna dari perangkat-perangkat penting untuk menciptakan sistem yang dapat dapat menerapkan prinsip-prinsip penyelesaian keberatan Pemilu yang merupakan inti dari buku saya. Barry H. Weinberg Mantan Pejabat Ketua, Divisi Hak-Hak Sipil Bagian Pemungutan Suara (Voting Section of the Civil Rights Division), Departemen Kehakiman Amerika Serikat (United States Department of Justice)
xxv
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
xxvi
PENDAHULUAN
Kotak-kotak suara yang berisi surat suara yang diberikan pada Pemilu di Filipina bulan Mei tahun 2009, saat ini merupakan obyek sengketa kasus keberatan Pemilu, disegel dan diambil untuk dibawa ke Manila guna ditinjau oleh Tribunal Pemilu Dewan Perwakilan
Pengantar
Pendahuluan Berangkat dari pengalaman 22 tahun dalam Pemilu, International Foundation for Electoral Systems (IFES) telah mengumpulkan berbagai sumber daya, ahli dan data untuk mengumpulkan suatu pedoman bagi penanganan keberatan Pemilu. Pedoman ini berupaya untuk meningkatkan kepemimpinan teknis United States Agency for International Development (USAID) dan Consortium for Elections and Political Processes Support (CEPPS) dalam bidang ini. Panduan ini dapat dimanfaatkan untuk mendidik para administrator Pemilu, peradilan dan komunitas hukum, donor, dan para pemangku kepentingan Pemilu mengenai berbagai mekanisme yang efektif untuk menyelesaikan berbagai sengketa dan keberatan Pemilu baik melalui mekanisme penyelesaian formal maupun alternatif. Karena sangat beragamnya proses penanganan keberatan Pemilu yang ada di seluruh dunia, setiap pemeriksaan dari sebuah mekanisme yang spesifik harus dimulai dengan kajian tentang bagaimana sistem negara tersebut diselenggarakan, dan bagaimana hal tersebut terkait dengan seluruh proses Pemilu. Setiap lembaga pemeriksa sengketa dapat berbentuk yudikatif, legislatif atau administratif, atau beberapa campuran di antara ketiganya. Badan tersebut dapat berupa entitas yang permanen, atau dibentuk sebagai antisipasi dari atau sebagai respon dari setiap Pemilu bilamana diadakan. Badan itu dapat merupakan badan independen terhadap organ pemerintah lainnya, atau dapat berupa pengadilan khusus atau badan administratif di dalam pemerintahan. Setiap pertimbangan ini dapat mewarnai bagaimana lembaga penanganan akan berinteraksi dengan hukum Pemilu dan sistem secara keseluruhan. Terkadang dibutuhkan fleksibilitas dan kreativitas dalam proses penanganan keberatan Pemilu untuk menghadapi jenis keberatan Pemilu yang berbeda-beda. Aplikasi standar internasional dalam penanganan keberatan Pemilu adalah sangat krusial; namun, seringkali beberapa keadaan luar biasa memerlukan fleksibilitas yang besar dalam pelaksanaannya sepanjang mereka tetap berada dalam batas minimum standar-standar internasional. Terdapat beberapa penyimpangan dalam semua Pemilu yang besar, tetapi tidak terlalu serius sehingga mengancam hasil Pemilu tersebut. Tetapi jika cacat tersebut berkembang hingga ke tingkat yang dapat membahayakan kredibilitas
3
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dan legitimasi Pemilu tersebut, maka langkah-langkah perbaikan harus diambil sesegera mungkin dengan cara yang paling efektif. Oleh karena itu, pedoman ini juga membantu menarik perhatian terhadap kebutuhan untuk menangani masalah penanganan sengketa Pemilu guna meningkatkan kredibilitas Pemilu itu sendiri. Pembaca panduan ini seharusnya mengingat dua perbedaan yang mempengaruhi penanganan keberatan Pemilu: sifat dan bobot keberatan. Apakah sebuah keberatan terkait dengan masalah berskala besar, seperti hasil Pemilu, tuduhan terjadinya tindak pidana, kecurangan yang tersebar luas atau penyimpangan kecil, atau pelanggaran yang lebih kecil seperti aturanaturan kampanye, sertifikasi kandidat, pendaftaran pemilih, atau penempatan poster, maka proses penanganan keberatan Pemilu akan berbeda. Secara khusus, berbagai pertimbangan tentang sifat dan bobot sebuah gugatan akan berdampak pada derajat keseimbangan yang akan dipertahankan antara kebutuhan untuk melaksanakan suatu proses hukum yang berlaku atau suatu penyelesaian yang cepat. Berbagai perbedaan ini dapat juga membutuhkan sebuah badan penanganan untuk mempercepat atau memprioritaskan penyelesaian gugatan tertentu, dan hal tersebut dapat mempengaruhi sifat badan yang memiliki kewenangan untuk menanganinya. Sistem peradilan yang efektif tidak hanya memberikan legitimasi dan kredibilitas pada sebuah Pemilu, tetapi juga berfungsi sebagai alternatif damai bagi berbagai respon pasca-Pemilu yang pada negara demokrasi yang baru berkembang biasanya penuh dengan kekerasan. Sebuah mekanisme yang kuat telah membuktikan kemutlakannya dalam menangkal malapetaka dalam Pemilu tahun 2007 di Nigeria, demikian juga Pemilu di Afganistan pada tahun 20071. Timor-Leste juga merupakan contoh yang penting tentang bagaimana sebuah sistem keberatan Pemilu yang transparan dan efektif digunakan sebagai cara 1 Grant Kippen, Electoral Complaints Adjudication: An Object Lesson from Afghanistan, Monday Developments, Mar. 2010, hal.17. Pentingnya menghindari kekerasan dalam demokrasi yang baru berkembang juga digarisbawahi oleh situasi di Irak: “‘Di Barat, ketika hak anda dirampas, anda pergi ke pengadilan. Tetap di Irak berbeda — ketika hak anda dirampas, (anda) mencari jalan kekerasan.’” Lara Jakes, Iraq’s Sunnis Bracing for Chaos After Election, Associated Press, 2 Mar, 2010 (mengutip Wakil Gubernur Satu Propinsi Anbar Hikmat Jasim ZaIdan yang berkomentar tentang Pemilu parlementer yang akan terjadi, dijadwalkan pada tanggal
4
Pengantar
untuk menghindari kekerasan terkait dengan Pemilu. Satu tahun sebelum Pemilu nasional, ketidakpuasan yang tidak ditangani dengan baik di antara kalangan militer negara tersebut telah memicu krisis yang sangat mengguncang kepercayaan publik di demokrasi yang masih muda di Timor-Leste. Karena tegangnya situasi politik sebelum pemilihan presiden and parlemen tahun 2007, sangat mendesak kebutuhan untuk penanganan ketidakpuasan terkait Pemilu yang absah dan mengkomunikasikan berbagai keputusannya kepada para pengadu2. Menanggapi ketiadaan proses keberatan formal, IFES membantu Komisi Pemilu Nasional (National Elections Commission (CNE)) untuk merancang dan melaksanakan sebuah sistem penanganan keberatan yang efektif. Upaya untuk memperkuat kinerja proses keberatan ini merupakan langkah yang penting untuk mencegah berbagai ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu menjadi penggerak kekerasan dan kerusuhan. Sebaliknya, kekerasan di Kenya menyusul pemilihan presiden tahun 2007 menunjukkan tidak memadainya mekanisme keberatan Pemilu3. Konstitusi dan hukum Pemilu Kenya tentang pemilihan presiden dan parlemen mengatur mekanisme untuk menggugat hasil pemilihan, namun secara prosedural, gugatan tersebut baru dapat dilaksanakan ketika hasil Pemilu telah diumumkan. Lebih jauh lagi, seperti halnya negara-negara Persemakmuran (Commonwealth countries), pengadilan Kenya memiliki yurisdiksi untuk mengadili keberatan Pemilu, tetapi lambatnya putusan, korupsi dan kurangnya kompetensi teknis secara keseluruhan menggerogoti kepercayaan publik terhadap peradilan. Banyak kekerasan mungkin dapat dihindari jika berbagai prinsip dan prosedur untuk menerima dan mendengar tuduhan penyimpangan dan kecurangan telah tersedia4.
2 Mary Lou Schramm et al., IFES, Timor-Leste: Conflict Resolution and Electoral Assistance 11-13 (2008). 3 Independent Review Commission on the General Elections, Kenya National Dialogue and Reconciliation (“Kriegler Commission”), Laporan Komisi Peninjau Independen tentang Pemilu yang diadakan di Kenya pada 27 Desember 2007 141 (2008) [setelah ini disebut Kriegler Commission Report] (“[Sebuah] kontributor material ditujukan untuk ketegangan di KICC, disiarkan secara langsung di seluruh negeri, atas ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu yang efektif untuk menyelesaikan tantangan yang menumpuk terhadap integritas hasil dari kubu Kibaki.”), dapat dilihat di di http://www. dialoguekenya.org/docs/FinalReport_consolIdated.pdf; lihat juga Christopher Fomunyoh, Center for Humanitarian Dialogue, Mediation des Conflits Electoraux [Mediation of Electoral Conflicts] 13-14 (2009) (didiskusikan pada Pemilu presiden Republik Demokratik Kongo tahun 2006), dapat dilihat di https://www.ndi.org/files/Mediation_des_Conflits_ Electoraux_FRE.pdf. 4 Kriegler Commission Report, supra note 3, at 139.
5
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Meskipun pentingnya struktur hukum untuk menangani keberatan Pemilu bersifat universal, namun asal mula sistem-sistem ini bervariasi antara satu dengan negara lainnya. Beberapa negara, seperti Ethiopia, menanggapi dengan cepat melalui upaya-upaya sementara (ad hoc) untuk mempertahankan integritas Pemilu setelah konflik tiba-tiba mulai bermunculan. Pemilu di Ethiopia tahun 2005 terjebak dalam tuduhan berbagai penyimpangan, dan otoritas Pemilu menanggapinya melalui pembentukan komite-komite untuk memeriksa keberatan dan menyelidiki berbagai tuduhan yang berpotensi memiliki alasan yang sah. Pemilu Republik Dominika tahun 1994 nyaris berujung pada bencana yang kemudian menghasilkan implementasi segera dari suatu sistem keberatan Pemilu yang kemudian menciptakan Pemilu yang lebih stabil pada tahun 19965. Negara demokrasi yang lain seperti, Uruguay dan Brazil, telah mengambil pendekatan jangka panjang, mengakui keprihatinan terhadap korupsi dalam Pemilu dalam sejarah awal mereka, kemudian negaranegara tersebut menggunakan menggunakan momentum konstitusional atau legislasi utama mereka untuk mengkodifikasi mekanisme keberatan Pemilu yang lebih bersifat jangka panjang6. Pedoman ini membahas tujuh standar penanganan keberatan Pemilu yang dapat memperkuat penanganan yang adil terhadap ketidakpuasan, pada pada akhirnya melindungi hak publik terhadap partisipasi politik dan perwakilan demokrasi. Setelah mengembangkan tujuh standar ini, pedoman ini akan bergerak dari tataran kerangka teoritis ke tataran kerja lapangan praktis, beralih pada para ahli dalam bidang penanganan keberatan Pemilu internasional untuk membahas isu-isu programatik untuk melaksanakan standar-standar ini. Diharapkan bahwa pembahasan prinsip dan praktik ini akan dapat berfungsi sebagai sumber penting bagi para perancang Undang-undang dan 5 National Democratic Institute for International Affairs (NDI) & The Carter Center, The 1996 Presidential Election in the Dominican Republic 45-46 (1998), tersedia di http:// aceproject.org/regions-en/countries-and-territories/DO/reports/Final_Report_Dominican_ Republic_1996.pdf/view . 6 Di Uruguay, contohnya, hukum Pemilu yang menyediakan lembaga Pemilu yang bebas, dirancang pada tahun 1924 dan dimasukkan dalam Konstitusi 1932, menjadikannya sebagai sistem yang paling tua di Amerika Latin. Sara Staino, Uruguay: The Electoral Court — A Fourth Branch of Government? 1-2 (2006), tersedia di http://aceproject.org/ero-en/ regions/americas/UY/Uruguay_The%20Electoral%20Court%20-%20A%20Fourth%20 Branch%20of%20Government.pdf. Di Brazil, Superior Electoral Court, lembaga tertinggi peradilan Pemilu, dibentuk pada 24 Februari 1932, namun Konstitusi (Constitution of the New State), dibuat oleh Getúlio Vargas pada tahun 1937, menghapuskan Peradilan Pemilu tersebut. Dan pada 28 Mei, 1945, Surat Keputusan N0.7586/1945 (Decree Law 7586/1945) membentuk kembali Pengadilan Pemilu Superior. Sejarah Pengadilan Pemilu Superior, http://www.tse.gov.br/internet/ingles/institucional/o_tse.html (terakhir dikunjungi 6 Jan, 2011) [setelah ini disebut Brazil Superior Electoral Court].
6
Pengantar
administrator Pemilu ketika mereka mempertimbangkan proses penanganan keberatan Pemilu mereka sendiri dan merancang berbagai inisiatif yang baru untuk memperkuat proses keberatan Pemilu sebagai pilar penting dari sistem Pemilu.
Catatan tentang Istilah Di sepanjang buku ini, para penulis menggunakan beberapa kata untuk menggambarkan berbagai lembaga dan prosedur yang digunakan dalam demokrasi untuk melakukan penanganan atas sengketa, keberatan, sanggahan yang terkait dengan Pemilu serta tuduhan pelanggaran hukum Pemilu. Penyebutan penyelesaian sengketa Pemilu (Election Dispute Resolution atau EDR namun dalam publikasi ini akan disebut sebagai ‘penyelesaian sengketa pemilu’) untuk menggambarkan topik ini telah mendapat pendukung secara internasional. Namun kata sengketa (dispute) menyiratkan ketidaksepakatan dan terhadap gugatan itu mungkin hanya membutuhkan seorang arbiter atau mediator untuk menyelesaikannya. Sengketa semacam itu hanya sebagian kecil dari ketidakpuasan terkait dengan Pemilu, walaupun merupakan bagian yang penting. Sengketa dalam penyelesaian sengketa Pemilu dapat juga diartikan sebagai bantahan terhadap hasil Pemilu, ketika hasil pemilihan resmi disanggah. Hal menjadi tantangan yang signifikan bagi setiap sistem penyelesaian sengketa Pemilu. Seringkali, pengadilan-pengadilan tingkat superior (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi ataupun pengadilan Pemilu khusus lainnya) merupakan forum untuk menyelesaikan berbagai gugatan tersebut, walaupun di beberapa negara, suatu badan administratif yang terpisah dari pengadilan ditunjuk melakukan tugas tersebut. Di beberapa negara lainnya, secara langsung mengajukan gugatan terhadap hasil Pemilu tidak diizinkan, dimana seluruh gugatan dan keberatan terhadap Pemilu ditangani oleh sistem pengadilan pidana biasa. Sengketa Pemilu lainnya cenderung sering kurang penting, seperti penentuan partai politik mana yang diizinkan untuk berkampanye di hari tertentu atau lokasi tertentu menurut peraturan Pemilu. Sengketa yang kurang serius ini dapat diputuskan oleh komisi Pemilu di tingkat lokal.
7
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Frase penanganan keberatan (dalam publikasi ini akan ditulis sebagai penanganan keberatan) merupakan istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan proses penanganan ketidakpuasan yang diajukan oleh partai politik, kandidat, pemilih ataupun peserta Pemilu lainnya. Keberatan yang muncul pada fase awal dalam sebuah Pemilu, dalam periode pra kampanye, ataupun pada hari pemilihan pada umumnya merupakan keberatan terhadap tuduhan penolakan hak (bisa meliputi pendaftaran pemilih atau pengesahan kandidat) atau berbagai tuduhan tindakan pelanggaran (pelanggaran hukum Pemilu, peraturan ataupun prosedur) ketimbang hanya sekedar perselisihan biasa atau gugatan bersaingan. Pengaduan-keberatan jenis ini seringkali menimbulkan masalah yang lebih besar bagi otoritas Pemilu, pengadilan ataupun badan lainnya yang membentuk sistem penyelesaian sengketa pemilu karena jumlahnya yang banyak dan mendesaknya keberatan karena singkatnya jangka waktu pemilihan. Untuk sebagian besar, “penanganan keberatan Pemilu” dapat dilihat memiliki arti yang sama dengan penyelesaian sengketa pemilu, tetapi mencakup serangkaian situasi yang lebih luas dan lebih fokus pada proses peradilan formal atau proses administratif dalam penyelesaiannya. Keberatan atas penyimpangan berat yang masuk kepada pelanggaran pidana hukum Pemilu (atau Undang-undang terkait) mungkin layak dipertimbangkan untuk diteruskan ke tahap penuntutan pidana, Tuduhan penyimpangan berat hampir selalu ditujukan kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk penyelidikan dan kemungkinan penuntutan— diluar sistem administratif bagi penyelesaian sengketa pemilu — walaupun badan khusus keberatan pemilihan (special electoral complaint bodies) atau tribunal yudisial yang dibentuk dapat juga memiliki kewenangan untuk memeriksa tindak pidana atas pelanggaran Undang-undang di dalam yurisdiksinya. Bab-bab berikut ini akan kerap merujuk pada Badan Penyelenggara Pemilu (Electoral Management Bodies atau biasa disingkat EMB, namun untuk publikasi ini akan dipakai istilah ‘Badan Penyelenggara Pemilu’) sebuah istilah yang mewakili semua untuk badan atau lembaga pemerintah bertanggung jawab untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan dan mengawasi proses pemilihan. Sifat detail suatu Badan Penyelenggara Pemilu akan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya — Badan Penyelenggara Pemilu di satu negara dapat berbentuk badan independen, atau merupakan bagian dari kementerian ataupun departemen yang lebih besar. Mungkin terdapat
8
Pengantar
satu Badan Penyelenggara Pemilu yang mengawasi seluruh pemilihan di satu negara, atau semua propinsi, negara bagian atau preferektur memiliki badan penyelenggaranya sendiri. Badan Penyelenggara Pemilu bisa juga hanya bertangggung jawab semata-mata atas adminsitrasi Pemilu, atau juga ditugaskan dengan hasil penghitungan dan melakukan penanganan keberatan. Secara umum, ketika para penulis merujuk pada Badan Penyelenggara Pemilu, mereka berbicara mengenai badan yang mengurusi Pemilu, yang secara umum diasumsikan berbeda dari badan penanganan keberatan Pemilu (karena berbagai perbedaan fungsi yang akan dibahas dalam buku ini).
9
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
10
1
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
STANDAR-STANDAR INTERNASIONAL
Petugas Pemungutan suara di Banda Aceh menghitung suara di hadapan pemantau pemilihan dalam Pemilu 11 Legislatif Indonesia tahun 2009
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
12
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Berbagai Standar Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Pemilu Suatu perangkat penting pengamanan integritas Pemilu terletak pada penyelesaian keberatan yang efektif… Proses Pemilu tidak hanya terbatas pada memberikan suara pada saat pemilihan dan kemudian pengumuman hasilnya setelah itu. Terdapat serangkaian proses lainnya, seperti pembagian negara menjadi daerah pemilihan, pendaftaran pemilih yang memenuhi syarat, pendaftaran partai politik, penyelenggaraan sistem pemungutan suara secara keseluruhan untuk mengelola dan melaksanakan pemilu yang diakhiri dengan pengumuman hasilnya, dan seterusnya7. Lady Justice Georgina T. Wood, Ketua Mahkamah Agung Ghana Selama dua dekade terakhir, IFES telah mendedikasikan diri untuk memberikan bantuan teknis Pemilu untuk negara-negara di seluruh dunia. Selama itu juga, semakin jelas bahwa pernyataan Lady Justice Wood adalah benar adanya: sebuah penyelesaian keberatan yang efektif merupakan kesatuan yang utuh dalam menjamin integritas dan legitimasi suatu sistem Pemilu. Dalam usaha untuk membimbing para penyelenggara, pelaksana, donor serta para pemangku kepentingan Pemilu untuk menyelesaikan keberatan Pemilu secara efektif, IFES berdasarkan praktik-praktik global internasional telah mengidentifikasi tujuh prinsip standar dalam penanganan keberatan Pemilu. Standar-standar ini berangkat dari hak fundamental yang telah diakui secara luas, yaitu hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan pada gilirannya berbagai standar ini berfungsi sebagai sebuah metode untuk melindungi dan menegakkan hak partisipasi yang bersifat menyeluruh ini. Komunitas hak asasi manusia telah mengidentifikasi beberapa aspek hak asasi manusia sebagai hak tidak dapat dipisahkan (inalienable), termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan serta, yang paling 7 Lady Justice Georgina T. Wood Ketua Mahkamah Agung Republik Ghana, Kata Pengantar untuk Mahkamah Agung Ghana, Manual and Statutes on Elections Adjudicating in Ghana (2008) [setelah ini disebut Ghana Manual], dapat dilihat di http://www.judicial.gov.gh/c.i/ content/forward.htm.
13
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
sesuai dengan kebutuhan kita, yaitu hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan melalui perwakilan yang dipilih secara adil. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Amerika (American Commission on Human Rights), “hak-hak politik adalah hak asasi manusia yang penting sehingga penghentiannya merupakan hal yang terlarang.”8 Hak-hak politik yang mendasar ini memberikan landasan bagi tata kelola yang memiliki legitimasi, yang dapat dicapai dengan pelaksanaan Pemilu. Bahkan Pemilu memang merupakan peristiwa hak asasi manusia;9 karena Pemilu merupakan alat bagi orang untuk menyatakan kemauan politik mereka. Pemilu merupakan mekanisme yang paling penting dan paling umum bagi pelaksanaan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan juga diabadikan dalam setiap konvensi internasional utama hak asasi manusia. Berbagai konvensi ini, yang mengakui berbagai standar internasional dalam bidang hak asasi manusia, secara khusus menyoroti dan membahas pentingnya partisipasi politik dan Pemilu. Pasal 21 ayat 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa,“ setiap orang memiliki hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan di negaranya baik secara langsung ataupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas.”10 Selain itu kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) menyatakan bahwa: Setiap warganegara memiliki hak dan kesempatan, tanpa ada pembedaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak masuk akal (a) mengambil bagian dalam pelaksanaan berbagai urusan publik, secara langsung ataupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, (b) untuk memilih dan dipilih pada periode pemililhan umum yang sebenarnya yang wajib berupa
8
astanéda Gutman v. Mexico, Case 12.525, Inter-Am. Comm’n H.R. Report No. 113/06. C ¶¶ 92, 140 (2008). 9 Pusat Hak Asasi Manusia PBB, Professional Training Series No. 2, Human Rights and Elections: A Handbook on the Legal, Technical and Human Rights Aspects of Elections, at v (1994) [setelah ini disebut Human Rights and Elections Handbook], tersedia di http:// www.ohchr. org/Documents/Publications/training2en.pdf. 10 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), G.A. Res. 217 (III) A, art. 21, U.N. Doc. A/ RES/217(III) (10 Des, 1948) [setelah ini disebut UDHR], tersedia di http://www.un.org/en/documents/udhr/.
14
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
hak pilih yang bersifat universal dan setara dan wajib diadakan dengan surat suara yang bersifat rahasia, yang menjamin kebebasan menyatakan kehendak dari si pemilih.11 Prinsip ini menegakkan gagasan Pemilu yang demokratis dan memastikan kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, berserikat dan berekspresi. Selain itu, secara implisit dan terkait dengan hak-hak ini adalah larangan terhadap diskriminasi yang telah diakui secara luas.12 Pengakuan hak-hak politik ditemukan di dalam berbagai traktat internasional – baik untuk tata kelola yang bersifat partisipatif dan menentang diskriminasi yang tidak masuk akal. – yang lebih lanjut ditopang oleh dukungan yang serupa di dalam hampir setiap traktat utama hak asasi manusia regional.13 Baik sistem hak Asasi Inter-Amerika dan Afrika memberikan warga
11 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), G.A. Res. 2200 (XXI) A, art. 25, U.N. GAOR, 21st Sess., Supp. No. 16, U.N. Doc. A/6316, at 52 (16 Des, 1966), 999 U.N.T.S. 171 (berlaku mulai 23 Maret 1976) [setelah ini disebut ICCPR], dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/ english/law/ccpr.htm; ICCPR, supra, art. 2, ¶ 1; International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, G.A. Res. 2200 (XXI) A, art. 2, ¶ 1, U.N. GAOR, 21st Sess., Supp. No. 16, U.N. Doc. A/6316, at 49 (16 Desember 1966), 993 U.N.T.S. 3 (berlaku mulai 3 Jan, 1976) [setelah ini disebut ICESCR], dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/English/law/cescr.htm. 12 Kovenan Internasional tentang Pemberantasan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, G.A. Res. 2106 (XX), art. 5(c), U.N. GAOR, 20th Sess., Supp. No. 14, U.N. Doc. A/6014, at 47 (Dec. 21, 1965), 660 U.N.T.S. 195 (berlaku mulai 4 Jan, 1969) [setelah ini disebut CERD] (melarang diskriminasi dalam menikmati hak politik), dapat dilihat di http://www2. ohchr.org/english/law/cerd.htm; U.N. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, G.A. Res. 34/180, art 7, U.N. GAOR, 34th Sess., Supp. No. 46, U.N. Doc. A/34/46, at 193 (18 Des, 1979) [setelah ini disebut CEDAW], dapat dilihat di http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/text/econvention.htm; ICCPR, supra note 11, art. 22; UDHR, supra note 10, art 20. 13 Penting untuk dicatat bahwa Komisi Hak Asasi Manusia ASEAN (Association of Southeast Asian Nations Human Rights Commission) yang baru mengecewakan dalam hal ini. Deklarasi ASEAN tidak membuat sedikitpun referensi mengenai hak asasi manusia atau hak berpartisipasi dalam pemerintahan. ASEAN, Bangkok Declaration (8 Agus, 1967), dapat dilihat di http://www.aseansec.org/1212.htm. Namun, dalam Rancangan Perjanjian tentang Pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia ASEAN (Draft of Agreement on the Establishment of the ASEAN Human Rights Commission), pasal 2 menyatakan bahwa “inspirasi dapat diambil dari hukum internasional mengenai hak asasi manusia . . . . Instrumen hukum internasional yang relevan termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Deklarasi PBB tentang Hak untuk Pembangunan 1986 (United Nations Declaration on the Right to Development), Deklarasi Vienna dan Program Aksi Konferensi Dunia tentang Hak asasi Manusia 1993 (1993 Vienna Declaration and Programme of Action of the World Conference on Human Rights), serta traktat yang telah diaksesi oleh Negara-negara Penandatangan (Contracting States).” ASEAN, Draft of Agreement on the Establishment of the ASEAN Human Rights Commission, art. 2, dapat dilihat di http:// www.aseanhrmech.org/downloads/draft-agreement.pdf
15
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
negara hak untuk berpartisipasi di dalam pemerintahan.14 Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kekebasan Dasar (European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms) menyatakan bahwa “Pihak yang menandatangani (High Contracting Parties) melaksanakan Pemilu yang bebas dengan interval waktu yang masuk akal, dengan surat suara yang rahasia, di bawah kondisi yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat dalam memilih orangorang yang akan duduk pada lembaga pada lembaga legislatif.”15 Meskipun demikian, tidak ada persyaratan bahwa oleh negara-negara yang berdaulat harus melaksanakan bentuk proses Pemilu tertentu.16 Malahan, penegakan perjanjian tersebut biasanya dilakukan melalui pengadilan domestik dan internasional, dengan menggunakan berbagai standar internasional untuk menafsirkan berbagai kewajiban yang timbul dari traktat tersebut dan memastikan bahwa sebuah proses Pemilu berjalan sesuai dengan hak asasi manusia yaitu partisipasi politik.17 Sebagai contoh, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights) selama ini telah sangat proaktif dalam menafsirkan luasnya istilah hak-hak politik, yang menafsirkan ketentuan yang dinyatakan diatas dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar (European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms) untuk mengabadikan sebuah prinsip
14 Pasal 23 Konvensi Amerika (American Convention) menyatakan “semua warga negara mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.” Inter-American Convention on Human Rights, art. 23, 22 Nov, 1969, O.A.S.T.S. No. 36 [setelah ini disebut American Convention], dapat dilihat di http://www.oas.org/jurIdico/English/treaties/b-32.html. Piagam Afrika (African Charter) menjamin bahwa setiap warga negara memiliki “hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam pemerintahan negaranya.” African Charter on Human and Peoples’ Rights, art.13, 27 Juni, 1981, OAU Doc. CAB/LEG/67/3 rev. 5, 21 I.L.M. 58 (diberlakukan 21 Okt, 1986) [setelah ini disebut African Charter], dapat dilihat di http:// www1.umn.edu/humanrts/instree/z1afchar.htm. 15 Protokol Nomor 1 dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar (Protocol No. 1 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms), art. 3, Mar. 20, 1952, C.E.T.S. No. 9 (berlaku 18 Mei, 1954), dapat dilihat di http://conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Html/009.htm. 16 Lihat juga Yumak v. Turkey, Eur. Ct. H.R., App. No. 10226/03, Keputusan 8 Juli 2008, ¶ 110- 11. 17 The Georgian Labour Party v. Georgia, Eur. Ct. H.R., App. No. 9103/04, Keputusan 8 Okt 2008, ¶ 104 (“[Sementara mengakui kebebasan Negara dalam mengorganisasikan administrasi Pemilu-nya, Pengadilan harus menetapkan apakah terdapat Undang-undang khusus komisi Pemilu
16
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
yang mendasar untuk demokrasi politis yang efektif.18 Karena itu Konvensi Eropa tersebut merupakan hal yang amat penting dalam sistem konvensi. Secara umum, sistem-sistem internasional dan regional ini membantu mempertahankan aplikasi prinsip-prinsip ini dalam berbagai sistem Pemilu. Prinsip-prinsip universal digunakan untuk menafasirkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suatu sistem, tanpa mendikte desain dari sistem tersebut. Dengan demikian sementara berbagai negara menikmati serangkaian pilihan yang luas dalam implementasi hak Pemilu, Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar mengakui, sebagai
Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar (European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms) Pasal 1, Ayat 3 “Pihak yang menandatangani (High Contracting Parties) melaksanakan pemilu yang bebas dengan interval waktu yang masuk akal, dengan surat suara yang rahasia, di bawah kondisi yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat dalam memilih orang-orang yang akan duduk pada lembaga pada lembaga legislatif
contoh, bahwa pada saat penegakan ketentuan yang relevan yang menjamin Pemilu yang bebas dan adil, yaitu “pada tingkat akhir adalah kewenangan pengadilan apakah [negara tersebut telah tunduk pada] persyaratan
18 Mathieu-Mohin v. Belgium, Eur. Ct. H.R., Series A no. 113, Keputusan 2 Maret 1987, ¶ 47. Pengadilan bertindak jauh melampaui kasus dan mengakui bahwa pasal “Pemilu yang bebas”melindungi hak warga negara untuk memilih dan dipilih demikian juga seseorang memiliki hak untuk menggugat. Jurij Toplak, European Parliament Elections and the Uniform Election Procedure 6 (International Association of Constitutional Law, Makalah untuk VIIth World Congress, 11-15 Juni, 2007), dapat dilihat di http://www.enelsyn. gr/papers/w3/Paper by Jurij Toplak.pdf. Dalam Krasnov v. Russia, Pengadilan kembali menegaskan bahwa pasal 3 dari Protokol No. 1 secara tersirat mengakui hak untuk dipilih dalam Pemilu. Krasnov v. Russia, Eur. Ct. H.R., App. Nos. 17864/04 dan 21396/04, Keputusan 19 Juli 2007, ¶ 40
17
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 3 Protokol No. 1.”19 Sehingga, negara dapat membangun sistem penanganan keberatan Pemilu mereka sendiri sepanjang dalam analisis akhirnya mereka tetap berada dalam batas-batas standar minimum ini.20 Apakah keberatan Pemilu diselesaikan oleh sebuah mahkamah konstitusi, tribunal independen, suatu badan legislatif atau komisi keberatan Pemilu, prinsip-prinsip standar internasional akan sama berlaku terhadap lembagalembaga yang berbeda ini.21 Badan-badan penanganan keberatan Pemilu seharusnya memperhitungkan standar-standar ini untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak terjebak pada tataran teoritis atau ilusif namun harus bersifat praktis dan efektif.22 Hak-hak politik didefinisikan melalui konvensi, statuta dan putusan pengadilan dan lebih lanjut ditafsirkan melalui panduan, pedoman perilaku (code of conduct) dan laporan-laporan yang ditulis oleh lembaga antarpemerintah dan non-pemerintah. Walaupun berbagai dokumen ini tidak bersifat mengikat, mereka memperjelas tujuh standar internasional yang akan didiskusikan sepanjang publikasi ini. Setiap pedoman yang berupaya mencakup serangkaian permutasi yang berasal dari pelaksanaan standar yang beragam harus juga menganalisis 19
umak v. Turkey, Eur. Ct. H.R., App. No. 10226/03, Keputusan 8 Juli 2008, ¶¶ 74, 110Y 115, 147-148 (“Ambang batas sebesar 4 persen dibutuhkan untuk memilih 25 persen anggota Majelis Rendah (Chamber of Deputies) lainnya dan bahkan “sebuah sistem yang menetapkan ambang batas yang relatif tinggi dapat diterima oleh banyak pihak ambang batas tersebut tidak dapat dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 3 of Protocol No. 1 yang cukup mendorong pemikiran yang berkembang saat ini dan memungkinkannya untuk menghindari fragmentasi parlementer yang berlebihan.” (mengutip Magnago v. Italy, App. No. 25035/94, Eur. Comm’n H.R., Dec. of 15 Apr. 1996, DR 85-A, p. 116) (mengutip Partija “Jaunie Demokrāti” v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. Nos. 10547/07 dan 34049/07, Keputusan 29 Nov. 2007)); lihat juga Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Keputusan16 Maret 2006, ¶ 115; Mathieu-Mohin v. Belgium, Eur. Ct. H.R., Series A no. 113, Keputusan 2 Maret 1987, ¶ 54. 20 Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Keputusan16 Maret 2006, ¶ 115 (“[Hal ini] bagi Pengadilan untuk menentukan sebagai the last resort apakah persyaratan Pasal 3 dari Protokol No. 1 telah terpenuhi.”). 21 Constitución Política de la República Oriental del Uruguay [Political Constitution of the Eastern Republic of Uruguay] 15 Feb, 1967, pasal 322(c) (membentuk Pengadilan Pemilu yang otonom dan mandiri “ untuk menentukan keputusan akhir terhadap semua permohonan dan gugatan yang muncul, dan memutuskan jabatan-jabatan yang dipilih berdasarkan plebisit dan referendum”); lihat juga Constitution of the Hashemite Kingdom of Jordan Jan, 1 1952, pt. II, art. 71 (“Setiap pemilih berhak mengajukan gugatan kepada Sekretariat Majelis Rendah dalam lima belas hari setelah pengumuman hasil Pemilu dalam daerah pemilihannya yang menetapkan dasar hukum untuk membatalkan pemilihan Majelis Rendah. Tidak ada Pemilu yang dapat dinyatakan tidak sah kecuali telah disetujui oleh mayoritas dua-pertiga dari Anggota Majelis.”). 22 Lihat Krasnov v. Russia, Eur. Ct. H.R., App. Nos. 17864/04 dan 21396/04, ¶ 42; lihat juga United Communist Party of Turkey v. Turkey, Eur. Ct. H.R, App. No. 133/1996/752/951, Keputusan 30 Jan. 1998, ¶ 33.
18
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
sejumlah proses Pemilu dan praktik-praktik negara. Walaupun terdapat berbagai keterbatasan praktis dari upaya ini, seperti kegagalan negaranegara tersebut untuk mempublikasikan atau menerjemahkan berbagai keputusan domestik untuk konsumsi yang lebih luas,23 pedoman ini berusaha untuk memaparkan semua sumber daya yang tersedia untuk sebaik mungkin memberikan dukungan bagi pelaksanaan prinsip-prinsip yang akan disebutkan di bawah. Terdapat banyak kesepakatan mengenai partisipasi dalam tata kelola sebagai hak dasar, yang termasuk didalamnya hak memilih dan dipilih. Terdapat juga bagian dari standar yang berhubungan dengan hak individu dalam proses peradilan, serta berbagai hak individu dan entitas di bawah proses keberatan Pemilu, dan badan yang menangani sengketa-sengketa tersebut. Pada bagian berikutnya kami akan menggambarkan titik temu antara standar-standar ini dan bagaimana mereka menerapkannya untuk penanganan keberatan Pemilu, dan pedoman apa yang mereka sajikan bagi rancangan dan administrasi sistem penanganan keberatan. Tujuh standar internasional yang akan seringkali dirujuk oleh buku ini adalah: 1. Hak
untuk
memperoleh
Pemulihan
pada
keberatan
dan
sengketa Pemilu
2. Sebuah rezim standar dan prosedur Pemilu yang didefinisikan
3. Arbiter yang tidak memihak dan memiliki pengetahuan
4. Sebuah sistem peradilan yang mampu menyelesaikan putusan
secara jelas
dengan cepat
5. Penentuan beban pembuktian dan standar bukti yang jelas
6. Ketersediaan tindakan perbaikan yang berarti dan efektif
7. Pendidikan yang efektif bagi para pemangku kepentingan
23 Secara khusus, “hasil dari kasus umumnya tidak dipublikasikan atau tersedia di internet, dan jarang diterjemahkan dari bahasa aslinya.” Robert A. Dahl, Legal Policy Advisor, IFES, Dinyatakan sebelum Sidang Umum Association of Asian Election Authorities: Electoral Complaint Adjudication and Dispute Resolution (22 Juli, 2008), dapat dilihat di http://210.69.23.129/d_6.html (ikuti tautan atau teks lengkap dari keynote speech).
19
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
1. Hak Untuk Memperoleh Pemulihan pada Keberatan Dan Sengketa Pemilu Ketentuan publik tentang cara yang jelas untuk memperoleh perbaikan atas berbagai penyimpangan Pemilu adalah krusial untuk mempertahankan sistem penanganan keberatan Pemilu yang secara memadai mendukung partisipasi publik dalam pemerintahan. Karena kepercayaan publik akan memberikan pemenang pemilihan, legitimasi yang diperlukan untuk memerintah, kepercayaan dalam proses
tersebut
mutlak
memelihara demokrasi.
24
untuk
membangun,
memulihkan
atau
Kepercayaan ini, pada gilirannya memerlukan
sebuah cara yang transparan untuk dapat mengajukan gugatan dan mengupayakan pemulihannya.
A. Tujuan Fungsi utama sebuah badan keberatan Pemilu adalah untuk menjaga kredibilitas dan keandalan melalui tersedianya suatu hak tindakan hukum yang jelas bagi perorangan dan pihak-pihak yang relevan.25 Mekanisme ini harus mencakup hak dasar untuk memperoleh pertimbangan yudisial dengan harapan tercapainya suatu perbaikan yang efektif — sebuah standar dasar yang diakui oleh kebanyakan traktat dan peraturan internasional dan domestik.26 Jaminan hak untuk memperoleh pemulihan harus dinyatakan secara jelas dalam Undang-undang dan diketahui oleh masyarakat umum; ketika berhadapan dengan berbagai penyimpangan Pemilu di dalam sebuah pemilihan yang gagal, “publik harus dapat memahami mengapa pemilihan tersebut gagal serta kemudian menerima bagaimana hal tersebut akan diperbaiki.”27 Hal ini khususnya menjadi penting ketika yang dipertaruhkan adalah hasil Pemilu yang sebenarnya. Secara khusus, masyarakat sipil, partai politik dan perorangan perlu mengetahui: 1) lembaga mana yang 24 Grant Kippen, Afghanistan Research and Evaluation Unit, Elections in 2009 and 2010: Technical and Contextual Challenges to Building Democracy in Afghanistan 3, 19 (2008), dapat dilihat di http://www.unhcr.org/refworld/docId/492c0e5b2.html. 25 Steven H. Huefner, Remedying Election Wrongs, 44 Harv. J. on Legis. 265, 291 (2007). 26 UDHR, supra note 10, art.8; ICCPR, supra note 11, art. 2, § 3(a),(c); African Charter, supra note 14, art. 7, § 1; European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, art. 13, 4 Nov, 1950, C.E.T.S. No. 5 (diberlakukan 3 September, 1953) [setelah ini disebut Konvensi Eropa], dapat dilihat: http://conventions.coe.int/Treaty/ en/Treaties/ Html/005.htm. 27 Huefner, supra note 25, at 291-92.
20
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
akan bertanggung jawab terhadap gugatan mereka; 2) proses kronologis untuk mengajukan gugatan tersebut; dan 3) aturan prosedural dan aturan substantif mana yang akan mengatur keberatan mereka.28
B. Proses Hak untuk memperoleh pemulihan memerlukan proses yang memadai untuk mengupayakan gugatan tersebut. Kebutuhan ini semestinya menyadarkan negara untuk memberikan pedoman yang jelas mengenai proses yang tersedia untuk mengajukan suatu gugatan dalam sebuah sistem keberatan Pemilu, karena kurangnya transparansi yang mendasar dapat, dan seringkali, menyebabkan ditolaknya gugatan penyimpangan yang sebenarnya memiliki dasar. Menyediakan proses ini seringkali menjadi tantangan bagi demokrasi pemula. Pemililihan umum parlemen dan dewan provinsi tahun 2005 di Afganistan memberikan kita suatu contoh tentang proses keberatan Pemilu dalam sebuah negara pasca-konflik. Komisi Keberatan Pemilu (Election Complaints Commission/ECC) membatalkan banyak gugatan atas dasar gugatan tersebut tidak termasuk dalam kategori pelanggaran Pemilu atau tidak terdokumentasi secara baik. Banyaknya pembatalan ini menunjukkan kurangnya informasi yang diberikan kepada masyarakat umum mengenai proses keberatan. Menyikapi hal tersebut, International Crisis Group merekomendasikan bahwa ECC seharusnya “menciptakan sebuah proses keberatan yang lebih terbuka dengan melaksanakan sebuah kampanye kesadaran publik yang bersifat high-profile dan melaksanakan pelatihan bagi organisasi masyarakat sipil untuk membantu pemahaman mengenai dasar memasukkan gugatan dan standar bukti yang diperlukan.”29 ECC memberikan tanggapan sebelum Pemilu presiden tahun 2009 dengan: menerbitkan sebuah dokumen yang menggambarkan sistem manajemen keberatan; menyediakan aturan-aturan prosedurnya, pedoman perilaku yang dianut oleh anggota komisi, dan formulir keberatan di situs internetnya; dan menjelaskan kepada warga negara Afganistan kemana mereka 28 Constitutional Court of the Republic of Indonesia, Handbook on Election Result Dispute Settlement 1, 9 (2004), dapat dilihat di http://aceproject.org/ero-en/topics/electoraldisputeresolution/Handbook_Election_Result_Dispute_Settlement.pdf/view; UU No. 24/2003, pasal. 74(1) (Indon.), Regulasi No. 04/PMK/2004 (Indon.). 29 International Crisis Group, Asia Report No. 171, Afghanistan’s Election Challenges, at ii (2009) [setelah ini disebut Afghanistan Challenges], dapat dilihat di http://www.crisisgroup. org/en/regions/asia/south-asia/afghanistan/171-afghanistans-election-challenges.aspx.
21
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
seharusnya memasukkan gugatan mereka dan proses yang dilalui oleh gugatan tersebut setelah dimasukkan.30 Namun, kasus-kasus di Afganistan, parahnya masalah dan tingginya jumlah gugatan-gugatan tersebut membuat sulit untuk memberikan informasi yang tepat waktu mengenai status dari penanganan keberatan tersebut. Terlebih lagi, memastikan bahwa publik bisa memperoleh akses terhadap informasi yang diperlukan untuk mengerti proses penanganan keberatan memerlukan sumber daya yang tidak selalu tersedia bagi otoritas Pemilu.31
C. Transparansi Transparansi dalam sistem dan proses penanganan keberatan Pemilu akan membangun kepercayaan publik yang pada akhirnya akan melegitimasi hasil dari keberatan. Untuk menjamin efektivitas atas hak untuk memperoleh perbaikan, para pemilih, partai politik, kandidat dan media harus mengetahui lembaga mana yang memiliki yurisdiksi untuk menangani gugatan dan keberatan terhadap Pemilu, bagaimana hal itu dibentuk, otoritas mana yang menunjuk atau mencalonkan para anggotanya, dan bagaimana untuk mengajukan gugatan. Karena terdapat beragam mekanisme untuk melakukan penanganan keberatan Pemilu yang ada di seluruh dunia, setiap negara harus menyediakan informasi yang diperlukan untuk mengerti dan mengakses sistem penanganan yang unik kepada masing-masing warga negara-nya. Terlebih lagi, transparansi mempersyaratkan badan keberatan Pemilu untuk memberikan informasi terkini (update) kepada penggugat tentang status gugatan mereka, termasuk memberitahukan tentang sidang berikutnya
30 Electoral Complaints Commission, Narrative Description of the Complaints Management System 1 (2009) (“Mengembangkan dan melaksanakan sebuah sistem manajemen keberatan yang efektif dan transparan mungkin merupakan satu [langkah] terpenting dalam menentukan apakah Pemilu sebuah negara dapat dilihat sebagai Pemilu yang bebas, adil dan sah oleh para pemilih sebuah negara.”). 31 Id. at 3-5. Memang setelah Pemilu Afganistan, NDI menekankan “minimnya informasi yang tepat waktu tentang status keberatan menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan tentang proses dan efektivitas-nya.” NDI, Preliminary Statement of the NDI Election Observer Delegation to Afghanistan’s 2009 Presidential and Provincial Council Elections 9 (22 Agust, 2009), dapat dilihat di http://www.ndi.org/files/Afghanistan_EOM_Preliminary_ Statement.pdf.
22
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
atau putusan.32 Hak untuk memperoleh pemulihan mencakup hak untuk menempuh proses hukum yang berlaku (due process), dan informasi dasar seperti pemberitahuan yang sifatnya mutlak bagi proses tersebut. Sayangnya hal ini tidak selalu mudah untuk dilaksanakan, namun ketika ada berbagai penyimpangan yang bersifat serius, lembaga penanganan seharusnya menjadwalkan suatu sidang dan memungkinkan para penggugat untuk mengetahui sepenuhnya tentang status gugatan mereka. Suatu hak untuk memperoleh pemulihan yang transparan memerlukan partisipasi aktif dari sisi negara untuk memastikan bahwa penggugat akan berhasil ketika gugatan mereka memiliki nilai. Hal ini mengharuskan negara untuk menyediakan berbagai dokumen atau materi yang relevan yang diperlukan untuk mendukung gugatan ke tribunal Pemilu.33 Dalam istilah praktis, dokumen-dokumen tersebut dapat berupa Undang-undang Pemilu, daftar pemilih, jadwal kampanye, tata tertib pengajuan gugatan, status gugatan, atau pedoman tata tertib yang digunakan oleh para petugas Pemilu. Sebagai contoh di Pakistan, Komisi Pemilu (Election Commission/ ECP) mendistribusikan Buku Panduan Penyelesaian Sengketa Pemilu (Election Dispute Resolution Handbook) kepada pusat-pusat informasi Majelis Provinsi (Provincial Assembly resource centers) dan langsung kepada para anggota Majelis Nasional dan Senat.34 Selain itu, ECP menerbitkan formulir yang dapat diunduh dalam situs internetnya dan juga informasi terkini tentang laporan harian mengenai penanganan keberatan, termasuk daftar jumlah angka keberatan yang diterima Sekretariat Federal, dibagi menurut provinsi dan sifat keberatan, serta formulir dan instruksi gugatan.35 Berbagai upaya semacam itu telah menyumbangkan transparasi
32 International Crisis Group, Asia Report No. 101, Afghanistan Elections: Endgame or New Beginning?, at iii (2005) (merekomendasikan “mempublikasikan pelanggaran Pemilu dan kriteria kelayakan kandidat bersama standar bukti yang dibutuhkan agar keberatan dikabulkan, dan menerbitkan update berkala terhadap status keberatan tersebut”), dapat dilihat di http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-asia/afghanistan/101_ afghanistan_elections_endgame_or_new_beginning.ashx. National Electoral Commission (Liberia) mengatur tentang keberatan dan banding yang akan menginformasikan keberatan tersebut dan partai yang terdampak jika sidang pembuktian diperlukan. National Electoral Commission, Regulation on Complaints and Appeals 9 (2005), dapat dilihat dihttp:// www.aceproject.org/ero-en/topics/ vote-counting/Liberia_Regulations on Complaints and Appeals 2005.pdf. 33 Afghanistan Challenges, supra note 29, at 25. 34 Chad Vickery, IFES, Pakistan: Post-Election Community-Based Mediation and Adjudication Program 9, 13, 16 (2009), dapat dilihat di http://www.ifes.org/publication/bf80e511e7130f 75f¬4cfcc90d6eb87e3/IFES_PakistanFinalReportNarrative.pdf. 35 Id.
23
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang lebih baik mengenai proses keberatan dan membangun kepercayaan para pemangku kepentingan.36 Transparansi mempersyaratkan bahwa badan-badan penanganan keberatan untuk mempublikasikan putusan-putusan mereka. Publikasi meningkatkan kepercayaan publik, meringankan beban calon penggugat, dan mengklarifikasi setiap tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan penggugat.37 European Commission, dalam laporannya tentang Pemilu di Nikaragua tahun 2006, menyatakan bahwa rendahnya publikasi putusan-putusan sebagai “tidak sesuai dengan standar-standar internasional manapun, dan menggambarkan kurangnya transparansi, rendahnya formalitas yudisial, serta juga tidak memadainya tingkat argumentasi hukum yang menyeluruh dalam peradilan Pemilu”38 Beberapa negara melangkah lebih jauh. Sebagai contoh, Armenia, Moldova dan Uzbekistan mengakui Konvensi Standar Pemilu Demokratis, Hak dan Kebebasan Pemilu (Convention on the Standards of Democratic Elections, Electoral Rights and Freedoms) yang menyatakan bahwa “peraturan perUndang-undangan dan putusan terkait dengan hak pilih, kebebasan dan kewajiban warga negara tidak dapat diterapkan jika tidak dikomunikasikan secara resmi kepada publik.”39 Selama Pemilu Afganistan 2009, ECC memenuhi kewajibannya untuk mempublikasikan putusan-
36 Lihat juga Schramm et al., supra note 2, at 11-12 (“Transparansi proses keberatan meningkat melalui penerbitan informasi yang lebih rinci tentang gugatan pada tahap dini. Ringkasan setiap keberatan kampanye diumumkan di situs web CNE. Selain itu, salinan keberatan dengan identifikasi pemohon keberatan disamarkan dapat dapat dilihat dan diperiksa oleh masyarakat di kantor yang mengurus keberatan CNE”) 37 National Election Committee (Kamboja) merancang seperangkat hukum acara untuk penanganan keberatan terkait persoalan Pemilu. Panduan ini jelas menyatakan kewajiban untuk mempublikasikan keputusan National Election Committee di setiap tahap proses keberatan. Apakah itu merupakan Commune/Sangkat Election Commission, Regional Election Commission, atau National Election Commission, tanggal keberatan tersebut akan diselesaikan atau telah diselesaikan, tanggal dan waktu sidang pembacaan gugatan atau pembelaan (hearing) serta keputusan akhir atau banding seharusnya dipublikasikan. National Election Committee, Manual: Procedures for Handling Complaints Relating to the Violations on the Law, Regulations and Procedures During the Electoral Campaign, Voting, Ballot Counting and Result Announcement Period, pts. I. B., II.B, II.D.2.5, II.D.2.6, dapat dilihat di http://www.necelect.org.kh/English/voterReg/Complaint_Manual.pdf. 38 European Union (E.U.) Election Observation Mission, Final Report: Presidential and Parliamentary Elections Nicaragua 23, 63-64 (2006) [setelah ini disebut, E.U. Nicaragua Report], dapat dilihat di http://ec.europa.eu/external_relations/human_rights/election_ observation/nicaragua/ final__report_en.pdf. 39 European Commission for Democracy Through Law (“Venice Commission”), Convention on the Standards of Democratic Elections, Electoral Rights and Freedoms in the Member States of the Commonwealth of Independent States, art. 7, § 3, Opinion No. 399/2006 (22 Jan, 2007) [setelah ini disebut Commonwealth Convention], dapat dilihat di http://www. venice.coe.int/ docs/2006/CDL-EL(2006)031rev-e.pdf.
24
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
putusannya.40 ECC memang menerbitkan informasi substantif di situs webnya meliputi seluruh proses investigasi dan penanganan perkara. Hal yang serupa juga dilakukan Komisi Pemilu Pusat (Central Election Committee) di Georgia yang membuat sebuah database keberatan Pemilu yang berbasis web dalam bahasa Georgia dan Inggris yang tertaut di situs web mereka.41 Ketersediaan informasi tentang keberatan Pemilu semacam ini yang meningkatkan transparansi dan kepercayaan dalam proses Pemilu.
D. Hak Mengajukan Gugatan (Standing) Terakhir, dan mungkin yang paling penting, negara harus jelas mengenai siapa yang memiliki hak (standing) untuk mengajukan gugatan. Penyimpangan Pemilu memiliki lingkup yang luas seperti kelayakan kandidat, penghitungan ulang surat suara, atau kecurangan, yang seluruhnya dapat melibatkan berbagai kepentingan atau keterlibatan para kandidat, partai politik dan perorangan. Penentuan siapa yang memiliki hak untuk memperoleh pemulihan berbagai situasi tersebut dapat, dalam pengertian praktis, menjadi aspek yang paling penting dari sistem tersebut. Namun, tampaknya tidak terdapat kesepakatan umum tentang standar-standar yang harus diikuti. Secara teoritis, seluruh aktor yang relevan yang memiliki pengetahuan tentang terjadinya penyimpangan Pemilu seharusnya memiliki hak untuk mengajukan keberatan, tanpa memandang kerugian yang terjadi. Hakekat pentingnya menjaga sebuah sistem Pemilu yang adil, yang mendorong penerapan ketentuan persyaratan hak mengajukan gugatan yang luas, jika dalam beberapa kasus menimbulkan kekhawatiran bagi efisiensi hukum dapat menyebabkan ketentuan hak mengajukan gugatan yang bersifat lebih sempit. Namun, suatu hak mengajukan gugatan yang bersifat luas dapat menyebabkan beban perkara yang luar biasa dan memancing gugatan yang bersifat sembarangan yang akan membahayakan efisiensi sistem keberatan Pemilu. Dengan demikian sebuah hak mengajukan gugatan yang bersifat lebih terbatas untuk memasukkan keberatan mungkin lebih diinginkan kecuali satu jenis keluhan khusus dipertaruhkan.42 Pada 40 Keputusan pengecualian, denda yang dikenakan, keberatan yang dibatalkan didaftarkan di situs website ECC selama siklus Pemilu 2009, tetapi telah dicabut pada akhir 2010. 41 Permohonan Banding/ Pernyataan/Keberatan, Central Election Commission of Georgia, http://sachivrebi.cec.gov.ge/eng/ (terakhir dikunjungi 6 Jan, 2011). 42 Carter Center, Electoral Dispute Resolution Experts’ Meeting 2, 10 (2009), dapat dilihat di http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/peace/democracy/des/electoral-disputeresolutionmeeting.pdf.
25
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
umumnya, Undang-undang Pemilu menyatakan bahwa gugatan seharusnya dibatasi hanya kepada perorangan yang secara langsung terdampak oleh sebuah pelanggaran.43 Bahkan, fakta bahwa para pemilih, kandidat, partai politik dan organisasi non pemerintah semuanya adalah peserta dalam proses Pemilu tidak cukup untuk mengajukan sebuah keberatan. Dalam kasus dimana terdapat kebutuhan yang jelas untuk mewakili masyarakat luas, hak untuk mengajukan gugatan yang lebih luas mungkin menjadi diperlukan. Di dalam Kode Praktik Terbaik dalam Urusan Pemilu (Code of Good Practice in Electoral Matters), Venice Commission menyatakan dalam istilah umum bahwa, “hak menggugat dalam persoalan sengketa Pemilu harus diberikan seluas mungkin.44 Tetapi pedoman ini juga merinci bahwa walaupun jika setiap pemilih dalam daerah pemilihan seharusnya memiliki hak untuk mengajukan gugatan, “sebuah kuorum yang masuk akal, dapat dikenakan untuk permohonan banding oleh para pemilih terhadap hasil pemilihan.45
Komisi Venice Kode Praktik Terbaik (Code of Good Practice) dalam Urusan Kepemiluan Pasal 3.3, Paragraf 92 Jika ketentuan Undang-undang pemilu lebih dari sekedar katakata bisu, maka ketidakpatuhan terhadap Undang-undang pemilu harus terbuka untuk digugat di badan banding. Hal ini berlaku pada khususnya terhadap hasil-hasil pemilu: warga negara perorangan dapat menggugat hasil pemilu dengan dasar penyimpangan dalam tata tertib pemungutan suara. Hal ini juga berlaku untuk berbagai keputusan yang diambil sebelum pemilu, khususnya sehubungan dengan hak pilih, daftar pemilih dan hak maju dalam pemilu, keabsahan kandidat, kepatuhan terhadap aturan yang mengatur kampanye pemilu dan akses pada media atau pendanaan partai.
43 Avery Davis-Roberts, International Obligations for Electoral Dispute Resolution 10-11 (Carter Center, Makalah Diskusi untuk Rapat Tim Ahli, 24-25 Feb, 2009), dapat dilihat di http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/peace/democracy/des/edr-approach-paper. pdf. 44 Venice Commission, Code of Good Practice in Electoral Matters: Guidelines and Explanatory Report 31 (2002) [setelah ini disebut Venice Commission Code] (“Hak untuk gugatan seperti ini harus diberikan seluas mungkin. Hak tersebut harus bersifat terbuka untuk semua pemilih di daerah pemilihan dan berlaku untuk setiap kandidat yang ikut dalam pemilihan untuk mengajukan gugatan. Kuorum yang masuk akal, namun, mungkin akan diberlakukan untuk gugatan oleh para pemilih terhadap hasil Pemilu.”), dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/docs/2002/CDL-AD(2002)023rev-e.asp. 45 Id.
26
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Walaupun jika akses yang hampir universal atas hak untuk memperoleh pemulihan hukum tampaknya tidak mungkin dilaksanakan dalam praktik, pertanyaan tentang hak menggugat secara luas diakui dalam pada kasus Mahkamah Agung Israel baru-baru ini. Selama masa kampanye untuk Pemilu Knesset ke enambelas (cat: Knesset adalah nama dari badan Legislatif di Israel) Januari 2003, Komite Pemilu Pusat (Central Elections Committee) mendiskualifikasi porsi siaran kampanye Pemilu dari Ra’am dan Balad, dua partai politik yang bersaing dalam Pemilu, dengan alasan bahwa bendera Palestina muncul dalam siaran tersebut. Walaupun kedua partai politik tersebut tidak memulai sebuah gugatan untuk pemulihan, Asosiasi Hak-hak Sipil (Association for Civil Rights) di Israel melakukannya. Kedua partai tersebut dimasukkan sebagai tergugat ke dalam gugatan oleh Pengadilan. Jaksa Agung pertama-tama berargumen bahwa para pemohon gugatan tidak punya hak menggugat (legal standing). Namun, Mahkamah Agung Israel berpendapat bahwa dalam masalah Pemilu, para pemohon publik mempunyai hak menggugat walaupun perorangan yang mengajukan gugatan tersebut tidak secara khusus dirugikan (specifically injured).46 Dengan pandangan tersebut, integritas proses Pemilu menjadi perhatian semua warga negara; pengadilan seharusnya mengakui definisi yang luas tentang kerugian yang dapat memberikan hak bagi sederet pihak yang berkepentingan. Dengan melakukan hal tersebut, perorangan, partai politik dan kandidat akan memiliki peluang untuk mengupayakan penanganan atas penyimpangan Pemilu, meningkatkan peluang bahwa penyimpangan akan digugat sebagaimana mestinya. 46 Mahkamah Agung Israel “berpendapat bahwa pemohon gugatan memiliki hak sebagai penggugat publik. Secara umum, hak penggugat publik belum diakui dimana terdapat perorangan tertentu yang telah dirugikan dan memiliki hak gugat yang umum. Pengadilan berpendapat bahwa dalam konteks hukum Pemilu, hak menggugat publik harus diakui,[sic] walaupun eksistensi perorangan tertentu yang memiliki hak. Pengadilan menegaskan bahwa perluasan hak menggugat seharusnya diakui [sic] mengingat pentingnya Pemilu yang teratur dan layak bagi proses demokrasi. Menurut Pengadilan, keteraturan proses Pemilu menjadi kepentingan publik secara keseluruhan dan melampaui kepentingan perorangan yang langsung dirugikan oleh tindakan pemerintah. . . . Hak-hak pemilih, karena itu, terhubung dengan para kandidat yang maju dalam Pemilu.” Venice Commission, Supreme Court of Israel: Working Document for the Circle of Presidents of the Conference of European Constitutional Courts 19-20 (2006) (discussing HCJ 651/03 Association for Civil Rights in Israel v. Chairman of the Central Election Committee 57(2) PD 62 [2003] (Isr.)), dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/docs/2006/CDLJU(2006)036-e. pdf. Komisi Pemilu Irak, yang bernama Independent High Electoral Commission, juga memberikan hak menggugat yang luas. Lembaga ini mengaku bahwa setiap pemilih atau organisasi, selain peninjau referendum dan Pemilu, yang mengajukan keberatan atau sengketa terkait proses Pemilu dan referendum, memiliki hak untuk mengajukan keberatan. Electoral Complaints and Disputes (Regulation No. 2 of 2008), § 3(1) (Irak); lihat juga Independent High Electoral Commission (UU No. 11 of 2007), art. 4, § 8 (Irak).
27
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Memang banyak sistem keberatan Pemilu yang tidak mengakui hak gugat seluas yang diakui oleh Mahkamah Agung Israel, dan beberapa negara mungkin melangkah begitu jauh hingga hanya mengizinkan kandidat atau partai politik yang mengajukan gugatan atas hasil Pemilu. Di Amerika Serikat, prinsip umum gugatan mempersyaratkan bahwa pihak yang mengajukan gugatan mengalami kerugian nyata yang dapat dilacak kepada kerugian yang dituduhkan dan dapat dipulihkan oleh pengadilan melalui persidangan. Namun, karena Pemilu Amerika diatur oleh Undang-undang negara bagian, negara bagian seringkali membatasi secara khusus hak gugat untuk para pemilih dan kandidat di dalam kasus yang berupaya membatalkan Pemilu karena penyimpangan penghitungan suara.47 Lebih lanjut warga dari satu negara tidak dapat mengajukan gugatan terhadap hukum Pemilu di yurisdiksi yang lain.48 Sama halnya, ketiadaan Undangundang gugatan kepentingan publik warga negara (public interest citizen suit), warga negara dapat berkurang haknya untuk menggugat ketentuan Undang-undang Pemilu seperti pembatasan suara narapidana, dengan teori bahwa ketentuan ini mempengaruhi warga negara secara merata dan dengan demikian tidak menyebabkan kerugian yang khusus bagi pemilih manapun.49 Di sisi lain, hak gugat tidak terlalu ketat dalam hal Undangundang pembiayaan kampanye yang memungkinkan akses informasi terhadap pidato politik.50
2. Sebuah Rezim Standar dan Prosedur Pemilu yang Didefinisikan secara Jelas Tindakan
legislatif
yang
diperlukan
harus
diambil
dalam
rangka
mendefinisikan hak hukum untuk memperoleh pemulihan dan secara cukup melaksanakan Pemilu berkala, yang bebas dan adil.51 Langkah-langkah ini harus ditulis secara jelas dan dapat diakses dalam rangka memberikan 47 Lihat, e.g., Potts v. Fitzgerald, 784 N.E.2d 420, 423 (Ill. App. Ct. 2003); Morse v. Dade Cnty. Canvassing Bd., 456 So. 2d 1314, 1315 (Fla. Dist. Ct. App. 1984); Rogers v. Shanahan, 565 P.2d 1384, 1387 (Kan. 1976). 48 Antosh v. Fed. Election Comm’n, 664 F. Supp. 5, 8-9 (D.D.C. 1987). 49 Wesley v. Collins, 791 F.2d 1255, 1257—58 (6th Cir. 1986) 50 Lihat, e.g., Fed. Election Comm’n v. Akins, 524 U.S. 11, 18-26 (1998). 51 Violaine Autheman, The Resolution of Disputes Related to Election Results: A Snapshot of Court Practice in Selected Countries Around the World 6 (IFES Rule of Law Conference Series, Indonesian Constitutional Court Workshop Paper, February 2004) (“agar sengketa Pemilu diselesaikan secara memadai dan efektif, berbagai aturan, peraturan dan tata tertib yang formal sebagaimana mestinya harus tersedia.”), dapat dilihat di http://www.ifes.org/ publication/3555a974dd aed52619f7772358e930af/ConfPaper_Indonesia_FINAL.pdf.
28
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
pemberitahuan dan proses yang memadai kepada perorangan, partai politik dan masyarakat sipil. Badan hukum yang substantif ini harus diperluas dengan mekanisme prosedural yang terkodifikasi untuk menangani berbagai konflik yang muncul. Namun, kodifikasi yang terlalu rumit terhadap berbagai standar dan prosedur akan menciptakan berbagai rintangan untuk menangani perbaikan Pemilu yang pada gilirannya berbenturan secara langsung dengan prinsip dasar partisipasi politik universal. Sebaliknya, sebuah sistem yang sama sekali tidak mengkodifikasi berbagai standar dan prosedur memungkinkan terjainya pelaksanaan mekanisme keberatan yang sewenang-wenang. Penyusunan berbagai standar dan prosedur yang mengatur Pemilu dapat meminimalkan kemungkinan litigasi (gugatan hukum) pasca Pemilu.52 Sebuah rezim yang terdefinisi jelas juga merupakan kunci untuk menghindari upaya pengajuan gugatan ke lembaga yang lebih mungkin mengabulkan gugatan (forum shopping) yang bisa berbahaya. Seorang pemohon yang ingin mengadukan penyimpangan, tergantung dari sifatnya, akan harus mengajukan gugatannya hanya kepada sebuah badan khusus. Hal ini dapat menghindari skenario dimana pemohon mengajukan keberatan yang sama di beberapa forum berbeda untuk mendapatkan keputusan yang paling menguntungkan baginya. Terlebih lagi, jika beberapa lembaga memiliki kewenangan terhadap keberatan Pemilu, berbagai aturan yang jelas tentang subyek yurisdiksi tertentu dari setiap lembaga dapat memberikan konsistensi dalam penafsiran hukum. Sebagai contoh, proses penanganan keberatan warga Negara Libanon melibatkan beberapa lembaga yang mempunyai kewenangan yang sama terhadap beberapa isu-isu yang spesifik. Memang tiga jenis badan dalam administrasi Pemilu memiliki kewenangan untuk menerima dan memproses keberatan: Kementerian Dalam Negeri dan Kota (Ministries of Interior and Municipalities), Komisi Pengawas Kampanye Pemilu (Supervisory Commission on the Electoral Campaign), dan Komite Pendaftaran dan Komite Pendaftaran Tinggi (Registration Committees and Higher Registration Committees). Terlebih lagi, Pengadilan Pemililhan Umum (Electoral Courts) juga menangani persoalan Pemilu dan mengikuti proses mereka yang biasa untuk menentukan kewenangan yang menjadi 52 Huefner, supra note 25, at 288.
29
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
bidang mereka (Dewan Negara/State Council, Court of Publication, Dewan Konstitusi/Constitutional Council) dan Pengadilan Militer/Military Court).53 Hal ini menciptakan kebingungan yang sangat bagi para penggugat. Terdapat kebutuhan yang jelas bagi keseragaman dan kejelasan dalam Undang-undang ketika menangani penanganan keberatan Pemilu.
A. Kodifikasi Sebuah mekanisme gugatan Pemilu yang efektif akan mengkodifikasi baik kerangka struktural untuk penanganan sengketa, maupun pedoman prosedural yang spesifik bagi para pemangku kepentingan dalam menjalankan kerangka ini. Kodifikasi Undang-undang Pemilu secara substantif merupakan hal yang mutlak bagi para aktor untuk mengajukan gugatan mereka dalam dalam hal terjadi penyimpangan. Dengan demikian, sebuah sistem penanganan keberatan hanya dapat berfungsi dengan baik jika sejalan dengan Undang-undang Pemilu, peraturan dan aturan hukum acara yang didefinisikan secara jelas. Badan-badan internasional telah mengakui pentingnya memulai proses keberatan dari batang tubuh Undang-undang yang jelas dan dapat diakses. Dalam Deklarasi Tentang Kriteria untuk Pemilu yang Bebas dan Adil (Declaration on Criteria for Free and Fair Elections) tahun 1994, Dewan untuk Organisasi Internasional Antar Parlement Parlemen (Inter-Parliamentary Council of the International Organization of Parliaments) menetapkan sebuah daftar komprehensif pedoman legislatif dan administratif dalam rangka menjamin penyelesaian sengketa yang adil.”54 Dewan menyatakan negara seharusnya “menyusun sebuah prosedur yang efektif, tidak memihak dan non-diskriminatif untuk pendaftaran pemilih….kriteria yang jelas bagi pendaftaran pemilih, seperti usia, kewarganegaraan dan tempat tinggal,” dan “memberikan bentuk dan fungsi yang bebas dari partai politik...” Negara dan badan penyelenggara
53 Gaelle Deriaz, The 2009 Mechanisms for Handling Electoral Complaints and Appeals in Lebanon 16 (2009) (“Sampai dengan Juli 2009, 142 gugatan telah dimasukkan ke SCEC; dua putusan pengadilan telah diberikan oleh State Council dalam masalah pemilihan presiden tahun 2009, termasuk satu gugatan terhadap keputusan SCED; enam kasus telah diputuskan di bawah PEL dan yang lainnya berada di bawah tata tertib yang oleh Court of Publications; dan dua kasus diselidiki berturut-turut oleh penuntut pidana dan militer. Sembilan belas gugatan telah diajukan ke Dewan Konstitusi (Constitutional Council).”). 54 Inter-Parliamentary Council (sekarang disebut Governing Council), Declaration on Criteria for Free and Fair Elections, 54th Sess., art. 4, § 1, C.P. 330 (26 Maret, 1994) [setelah ini disebut Declaration on Elections], dapat dilihat di http://www.ipu.org/cnl-e/154-free.htm; lihat juga International Organization of Parliaments, http://www.ipu.org/english/whatipu. htm (terakhir dikunjungi 6 Jan, 2011).
30
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Pemilu seharusnya mempertimbangkan seluruh elemen proses Pemilu dan kemudian menentukan aturan yang jelas untuk setiap elemen. Sama halnya Pengadilan Antar Amerika tentang Hak-Hak Asasi Manusia (InterAmerican Court on Human Rights) pada kasus Castañeda Gutman v. Mexico mengkaitkan terpenuhinya kewajiban positif negara di bawah hukum internasional dengan “pembentukan berbagai aspek penyelenggaraan dan kelembagaan dari proses Pemilu” dan “pengesahan norma-norma dan adopsi beberapa jenis tindakan yang berbeda.”55 Pengadilan melangkah lebih jauh, mengakui bahwa “jika tidak terdapat kode atau Undangundang Pemilu, daftar pemilih, partai politik, propaganda media dan mobilisasi, tempat pemungutan suara, badan Pemilu, tanggal dan waktu untuk memberikan suara, hak tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sekali lagi negara negara tidak dipersyaratkan untuk mengadopsi aturan Pemilu yang spesifik; sebagai gantinya, Pengadilan “mempersyaratkan Meksiko untuk mengambil tindakan sebagaimana mestinya dalam waktu yang masuk akal untuk menyesuaikan Undang-undang domestiknya dengan Konvensi tersebut.”56 Tidak ada model yang sempurna dari penanganan keberatan Pemilu yang wajib dibentuk oleh negara-negara; mereka bebas untuk membentuk sebuah sistem yang sesuai dengan tradisi hukum dan kebiasaan mereka. Memang, “sebuah Pemilu didefinisikan tidak hanya oleh aturan Pemilu tetapi juga oleh nilai-nilai sosial, politik, agama, sejarah dan budaya masyarakatnya.”57 Namun, ketika negara meratifikasi konvensi hak asasi manusia internasional, mereka wajib untuk menghormati standarstandar Pemilu yang diperhitungkan di dalamnya, termasuk tangggung jawab untuk menyediakan sebuah perbaikan yang efektif.58 Jelas baik perjanjian/traktat dan pengadilan yang menjalankannya telah mengakui bahwa berbagai pedoman substantif dan prosedural yang dapat diakses merupakan hal yang mutlak bagi penegakan hak politik dasar. Namun, tindakan membuat seperangkat pedoman yang jelas dan memberikan mereka dengan kekuatan hukum hanya merupakan langkah pertama. Negara harus juga mengkodifikasi berbagai langkah prosedural 55 Castañeda Gutman v. Mexico, Case 12.535, Inter-Am. Comm’n H.R., Report No. 113/06, ¶159 (2008). 56 Id. ¶ 231. 57 Electoral Institute of Southern Africa, Preventing and Managing Violent Election Related Conflicts in Africa 31 (2009), dapat dilihat di http://eisa.org.za/PDF/symp09cp.pdf. 58 Id.
31
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang diperlukan untuk menjalankan berbagai pedoman substantif tersebut secara konsisten. Berbagai prosedur ini harus menjawab dengan baik melalui mekanisme dimana keberatan akan ditangani maupun jangka waktu untuk mengesahkan Undang-undang substantif yang baru atau perubahan struktural. Sebagai tambahan, badan penanganan keberatan Pemilu seharusnya diberdayakan, secara tersurat ataupun tersirat, untuk menganut peraturan perUndang-undangan apapun yang diperlukan dan layak untuk melaksanakan sistem tersebut. Contoh utama dari hal ini adalah sebuah situasi dimana Undang-undang Pemilu memberikan sistem peradilan umum wewenang/yurisdiksi keberatan Pemilu, tetapi tidak mengatur prosedurnya. Dalam kasus ini, para hakim seharusnya terlibat dalam merancang berbagai aturan prosedural untuk pengauan Pemilu. Hakim secara umum merupakan pakar dalam prosedur beracara, dan merupakan pemangku kepentingan yang paling memenuhi syarat yang dapat menentukan sistem mana yang akan bekerja dengan baik untuk Pemilu, tanpa menyimpang jauh dari proses yang normal. Sebagai contoh, prosedur banding perkara umum dapat menghasilkan penundaan yang mungkin dapat diterima dalam perkara kontrak atau perkara perbuatan melawan hukum, namun tidak dapat diterima untuk keberatan Pemilu yang bersifat sensitif terhadap waktu. Secara umum, badan-badan penanganan keberatan Pemilu seharusnya diizinkan untuk memutuskan berbagai aturan tata tertib mereka sendiri, kecuali peraturan yang ada mengatur bahwa hal tersebut harus ditetapkan dalam Undang-undang. Penggunaan kekuatan oleh hakim juga membuat mereka nampak lebih mandiri di mata publik. Setelah Pemilu Afganistan tahun 2009, Komisi Keberatan Pemilu (Electoral Complaints Commission), yang diberdayakan untuk menganut aturan tata tertibnya sendiri,59 menjalankan standar bukti yang jelas dan meyakinkan (clear and convincing), tapi tidak mengklarifikasi arti yang tepat dari persyaratan untuk memenuhi standar tersebut. Terlebih lagi, terkait proses audit dan penghitungan kembali, RCC memerintahkan Komisi Pemilu Independen (Independent Electoral Commission/IEC) untuk membatalkan sejumlah persentasi tertentu dari suara setiap kandidat di enam kategori terpisah. Metodologi audit statistik untuk melaksanakan 59 Electoral Law, art. 56 (2005) (Afg.) (“Komisi dapat menerbitkan Peraturan, Prosedur dan Pedoman yang terpisah untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang ini dengan lebih baik.”).
32
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
audit dan penghitungan kembali di seluruh tempat pemungutan suara memenuhi dua kriteria: dalam hal jumlah suara yang diberikan di dalam tempat pemungutan suara berjumlah 600 atau lebih besar atau dimana satu kandidat menerima lebih dari 95 persen dari suara di tempat pemungutan suara dimana 100 suara atau lebih diberikan. ECC dan IEC menentukan ukuran sampel dan margin error yang dipandang cukup untuk mencerminkan perilaku kotak suara yang lebih besar secara akurat. Namun, metode statistical sampling ini tidak menyatakan bagaimana hasil dari sampling tersebut dapat menjadi sebuah jawaban yang bersifat ajudikatif serta hal ini mungkin memerlukan lebih banyak waktu dan evaluasi untuk dapat menjadi sebuah metodologi audit yang efisien. Di contoh tertentu pada kecurangan massal di Afganistan, ECC melaksanakan metode sampling sebagai solusi praktis untuk merespon sebuah situasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan rumit. Dalam situasi yang bersifat lebih sederhana, adalah mutlak untuk melakukan penghitungan suara ulang, Pemilu putaran kedua, atau sebuah pembatalan sebuah surat suara tertentu bersifat jelas, transparan, dan mudah dimengerti sebelum Pemilu berlangsung.60 Indonesia memberikan sebuah ilustrasi dari konsekuensi berbahayanya ketidakjelasan dalam Undang-undang Pemilu dan kegagalan untuk memperbaikinya sebelum Pemilu.61 Penyimpangan di dalam Undangundang Pemilu untuk Pemilu Legislatif 2009 menyebabkan proses alokasi kursi terbuka terhadap penafsiran dan gugatan hukum. Walaupun masalah telah diketahui sebelum Pemilu, Komisi Pemilu (KPU) dan aktor-aktor lainnya gagal untuk menghapus ambiguitas secara memadai melalui peraturan atau klarifikasi sedini mungkin. Setelah pengumuman KPU
60 E.U. Election Observation Mission, Mexico Presidential and Parliamentary Elections Final Report 50 (2006) [setelah ini disebut E.U. Mexico Report], dapat dilihat di http:// aceproject.org/regionsen/countries-and-territories/MX/reports/mexico-Presidential-andparliamentary-elections/; lihat juga John Hardin Young, Recounts, dalam International Election Principles: Democracy and the Rule of Law 301 (John Hardin Young ed., 2009). 61 IFES, A Free, Fair and Credible 2009 Election in Indonesia Through Targeted Election Management Assistance 5, 19 (2009); Law on Legislative Elections (2008) (Indon.).
33
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
tangal 24 Mei 2009 tentang alokasi kursi, gugatan hukum yang berbeda dibawa baik oleh Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung.62 Kedua Mahkamah ini menerbitkan keputusan-keputusan yang bertentangan mengenai alokasi kursi dan pada 1 September 2009, Mahkamah Konstitusi yang memiliki otoritas akhir untuk menyelesaikan gugatan Pemilu (terkait dengan sengketa hasil Pemilu), menyelesaikan sengketa tersebut. Kandidat yang kecewa memasukkan berkasnya meminta permohonan pengujian Undang-undang atas Undang-undang yang mengatur kekuasaan yudisial Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, mengklaim bahwa Undang-undang Indonesia memberikan kedua Mahkamah tersebut kewenangan yang sama dan oleh karenanya menciptakan ketidakpastian hukum. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut pada awal 2010, menyatakan bahwa hal ini adalah masalah yang harus diputuskan oleh para legislator.63 Ambiguitas dalam Undang-undang Pemilu dan keputusan mahkamah yang bertentangan menyebabkan penundaan dalam menentukan komposisi anggota DPR, dan merusak kepercayaan publik dalam sistem Pemilu.64 Kegagalan para pemangku kepentingan Pemilu untuk menangani isu-isu ini sebelum Pemilu menempatkan KPU dan badan-badan penanganan keberatan Pemilu berada dalam posisi sulit setelah Pemilu. Ketidakpuasan banyak pihak ini diperkuat oleh pernyataan ahli Pemilu Indonesia Hadar Gumay yang mengamati “peraturan tidak dapat diubah begitu saja setelah Pemilu berakhir dan hasilnya dihitung. 62 Id. di 20-21. Sengketa yang muncul dari penghilangan kata “suara sisa (remainder)” dalam hukum Pemilu yang membuka ketidakpastian hukum. KPU tidak menangani isu ini secara langsung sebelum Pemilu, sehingga gugatan tersebut ditujukan pada manfaat dari menafsirkan secara harfiah bahasa yang cacat yang menggugat Peraturan KPU No. 15 yang menyatakan bahwa mereka tidak menafsirkan Undang-undang tersebut dengan benar. Dari sudut pandang administrasi Pemilu, pendekatan KPU dalam Peraturan No. 15 penafsiran yang baik terhadap Undang-undang. Pihak pemohon keberatan meminta Mahkamah Agung untuk menafsirkan Undang-undang dengan cara yang bertentangan dengan aturan satu orang-satu suara. Mahkamah Agung terus melanjutkan penafsiran mentah-mentah tentang Undang-undang ini walaupun salah dari sudut pandang teknis. Mahkamah Konstitusi kemudian mengubah putusan Mahkamah Agung tersebut. Id. 63 Arghea D. Hapsari, Court Rejects Judicial Review Request Of Election Law, The Jakarta Post, 9 Februari, 2010, dapat dilihat di http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/09/ courtrejects-judicial-review-request-election-law.html; Arghea D. Hapsari, Court Annuals Judicial Review Filed Against Own Power, The Jakarta Post, 2 Feb , 2010 (“’jika pengadilan meninjau pasal-pasal yang diminta, maka lembaga tersebut lembaga tersebut harus juga meninjau [beberapa pasal] di dalam [Konstitusi] . . . pasal-pasal tersebut di dalam Konstitusi dibuat atas pilihan pembuat peraturan perundangan-undangan dan pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk menghakimi pilihan mereka,’ Ketua MK Mahfud MD mengatakan hal tersebut dalam sebuah sidang [Mahkamah Konstitusi].”). 64 Candidates Anxious, Frustrated Over Legal, Political Uncertainty, The Jakarta Post, 26 Agustus, 2009.
34
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Pada akhirnya hal ini menjadi semacam ambisi politik, bukan sebuah arena dimana untuk mengupayakan keadilan.”65 Contoh ini menyoroti kebutuhan dilakukannya kodifikasi Undang-undang Pemilu terkait proses Pemilu dan untuk penanganan gugatan secara memadai sebelum Pemilu berlangsung. Kodifikasi proses Pemilu dan mekanisme gugatan Pemilu tidak perlu dijelaskan secara detail. Di Nigeria, Tribunal Pemilu (Election Tribunals) diberikan mandat di bawah Konstitusi66 dan Undang-undang Pemilu No. 2 yang menjelaskan mekanisme penanganan keberatan Pemilu. Undangundang tersebut menyatakan bahwa gugatan Pemilu yang muncul dari pelaksanaan Pemilu presiden ditangani oleh Pengadilan Banding (Court of Appeal) dan gugatan Pemilu lainnya ditangani oleh Tribunal Gugatan Pemilu (Election Petition Tribunal).67 Pengadilan Banding dan Mahkamah Agung (Supreme Court) juga dapat memiliki yurisdiksi banding (appellate jurisdiction).68 Perujukan kepada sistem peradilan menjamin bahwa Komisi Pemilu Nasional Independen (Independent National Electoral Commission/ INEC) tidak hanya berdiam diri saja dan baik pemilih maupun partai politik mendapat kompensasi yang cukup dalam hal Komisi gagal dalam menjalankan tugas-tugasnya.”69 Di Brasil, Konstitusi juga menyatakan mekanisme penanganan keberatan Pemilu.70 Terdapat Pengadilan Tinggi Pemilu (Superior Electoral Court), Pengadilan Daerah Pemilu (Regional Electoral Court) di ibu kota masingmasing negara bagian dan satu di tingkat Distrik Federal (Federal District), hakim Pemilu tingkat kota di kota-kota besar dan dewan Pemilu lokal di kota-kota kecil. Konstitusi Brasil merinci komposisi Pengadilan Pemilu dan
65 Yandi M.R. & Iqbal Muhtarom, Fighting for Seats, Majalah Tempo, 4-10 Agustus, 2009. 66 Constitution of the Federal Republic of Nigeria (1999), § 285(1) (“Seharusnya untuk Federasi, dibentuk satu atau dua pengadilan Pemilu yang dikenal sebagai Pengadilan Pemilu Nasional/ National Assembly Election Tribunals yang akan, memiliki yurisdiksi yang sebenarnya untuk mendengar sidang pembacaan gugatan atau pembelaan dan memutuskan gugatan . . . .”), dapat dilihat di http://www.nigeria-law.org/ConstitutionOfTheFederalRepublicOfNigeria. htm#ElectionTribunals/; Political Constitution of the Republic of Costa Rica Nov. 8, 1949, arts. 99-104 (“Organisasi, arahan dan pengawasan dari Undang-undang terkait dengan hak pilih merupakan fungsi eksklusif Pengadilan Tinggi Pemilu (Supreme Electoral Tribunal), yang memiliki kebebasan dalam kinerja tugas-tugasnya. Seluruh organ Pemilu merupakan bawahan (subordinate) dari Pengadilan (Tinggi).”). 67 Electoral Act 2010, § 133 (Nigeria), dapat dilihat di di http://placng.org/Electoral Act 2010as Gazetted.pdf. 68 Id. § 75(1). 69 Id. Supplemental Transitional Provisions 3, 4. 70 Constituição Federal [C.F.] [Constitution] arts. 118-121 (Braz.).
35
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menyatakan bahwa sebuah peraturan perUndang-undangan tambahan harus disusun untuk mendefinisikan “organisasi dan kompetensi pengadilan Pemilu, hakim dan dewan.”71 Ketentuan konstitusional dan Undang-undang parlemen yang menetapkan berbagai lembaga gugatan Pemilu membantu melindungi hak untuk memperoleh penyelesaian yudisial dalam persoalan terkait dengan Pemilu.72 Memang konstitusi dan Undang-undang legislatif biasanya tidak mudah diamandemen dan mereka merupakan pengawal yang lebih kuat untuk hak pemulihan daripada sekedar sebuah peraturan administratif serta memberikan stabilitas dalam hukum Pemilu, dan secara khusus dalam sistem penanganan keberatan Pemilu. Jelas tidak semua negara menggunakan model yang sama untuk sistem peradilan formal. Beberapa negara memasukkan tradisi kesukuan dan keagamaan ke dalam proses pemerintahan.73 Kodifikasi dari hukum keberatan Pemilu yang bersifat substantif dan prosedural harus mempertimbangkan tradisi hukum dan kebiasaan, termasuk praktik-praktik tradisional terkait penyelesaian gugatan, seperti penggunaan mediasi atau arbitrase (dibandingkan dengan penanganan melalui sengketa (adversarial). Contohnya di Afganistan, komunitas lanjut usia memiliki otoritas yang sangat besar dalam komunitas mereka dan sangat dihormati. Jika para usia lanjut mengerti proses keberatan Pemilu dan mampu berpartisipasi di dalamnya, maka berbagai keputusan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat umum. Penggunaan tradisi semacam ini dapat “memberikan manfaat dalam jangka pendek dan panjang, dan dapat meningkatkan berbagai upaya menegakkan kembali negara hukum (rule of law).”74 Kerjasama antara sistem peradilan formal dan para aktor penyelesaian sengketa tradisional dapat memberikan kredibilitas dan keabsahan pada badan penanganan keberatan Pemilu; jika aturan dirasakan tidak asing dan
71 Id. art. 121 72 Lihat, e.g., Constitution of the Republic of Liberia 6 Jan, 1986, art. 83(c) (“Setiap partai atau kandidat yang mengajukan keberatan terhadap cara pelaksanaan atau hasil Pemilu tersebut berhak untuk menggugat ke Komisi Pemilu/Elections Commission.”) , dapat dilihat di http://www.necliberia.org/content/legaldocs/laws/theconstitution.pdf . Konstitusi Liberia juga menyatakan sebuah mekanisme banding: “Komisi Pemilu dalam tujuh hari setelah diterimanya bukti gugatan, harus meneruskan semua berkas perkara kepada Mahkamah Agung.” Id. 73 Thomas Barfield et al., United States Institute of Peace, The Clash of Two Goods, State and Non-State Dispute Resolution in Afghanistan 2 (2006), tersedia di http://www.usip. org/files/ file/clash_two_goods.pdf. 74 Id. at 23.
36
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
dapat diterima secara kultural, publik dan partai-partai politik akan lebih mungkin untuk memahaminya.75 Satu elemen terakhir untuk mempertimbangan tujuan kodifikasi adalah pembedaan antara tuntutan pidana dan administratif (non-pidana). Sangat penting untuk membuat perbedaan antara dua jenis tuntutan ini. Memang perbedaan apakah gugatan Pemilu masuk ke ranah administratif atau pidana memiliki konsekuensi yang penting dalam menentukan otoritas mana yang akan memiliki yurisdiksi, beban dan standar pembuktian, serta sanksi dan hukuman. Sebagai contoh, ketika gugatan administratif terkait hari pra-pemungutan suara dan hari pemungutan suara jelas didefinisikan oleh Undang-undang, menjadi mungkin halnya untuk mengkategorikan gugatan ini agar ditangani oleh badan administrasi dengan otoritas peradilan semu (quasi-judicial authority). Dengan asumsi bahwa staf yang ada dapat dipercaya, tidak memihak dan tidak korup, lembaga ini dapat bertindak sebagai penyaring (filter) untuk membatalkan berbagai gugatan yang tidak lengkap, tidak perlu dan tidak didukung oleh bukti yang cukup. Hal ini akan memungkinkan badan penanganan keberatan untuk hanya menangani keberatan yang serius dan dengan dalam waktu yang tepat. Pakistan merupakan contoh yang bagus untuk pembahasan ini: sistem Pakistan mengelompokkan seluruh keberatan Pemilu (termasuk pelanggaran pra-Pemilu) sebagai pelanggaran bersifat pidana, sehingga menyebabkan melambungnya jumlah tuntutan pidana bahkan hanya untuk peyimpangan kecil Pemilu selama periode kampanye atau pada saat pemungutan suara.76 Menjadi hal yang amat penting agar otoritas legislatif mengerti apa yang dimaksud “keberatan,” (“complaints”), “penanganan” (“adjudication,”) dan “penyelesaian” (“resolution”) di luar arena hukum pidana, sehingga hukuman yang terlalu keras melalui proses pidana tidak membuat sistem tidak bekerja dan tidak adil.
75 Id. Di Afganistan, ketiadaan-pengakuan dan ketiadaan-kerjasama antara lembaga peradilan formal dan praktik-praktik non-negara menyebabkan cacatnya penegakan berbagai putusan. “Karena sistem formal tidak mengakui praktik-praktik tradisional, maka praktik tersebut tidak dalam posisi mengawasinya. Sebagai akibatnya hukum adat berupaya untuk menutupi sengketa dan hasilnya dari otoritas negara sebagai sebuah cara untuk mengisolasi komunitas mereka dari kontrol atau eksploitasi negara.” Id. 76 Farrah Naz, Improving Pakistan’s Election Complaints System, IFES (13, Mei 2009), http://www.ifes.org/Content/Publications/Opinions/2009/May/Improving-PakistansElectionComplaints-System.aspx (mendiskusikan konferensi yang didiskusikan IFES, Evolving Principles and Practices for Resolving Election Complaints: Pre-poll and Polling Day (5-6 Apr, 2009)).
37
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
B. Pembaruan Satu elemen yang penting untuk memastikan kepastian hukum di dalam demokrasi yang masih muda adalah bagi negara untuk mendefinisikan cara-cara dimana standar internasional dapat menginformasikan dan menuntun upaya-upaya pembaruan. Pembaruan hukum amat disarankan jika tujuannya adalah untuk memperbaiki sistem Pemilu; namun perubahan yang terlalu sering atau tidak berpola akan membingungkan para pemilih dan petugas yang bertanggung jawab melaksanakan Pemilu yang bebas dan adil. Penjadwalan merupakan hal mutlak dalam kodifikasi atau pembaruan kerangka kerja Pemilu. Masyarakat, kandidat dan staf badan penyelenggara Pemilu seharusnya memiliki waktu yang cukup untuk membiasakan dengan Undang-undang sebelum Pemilu berlangsung. Setelah setiap Pemilu, negara seharusnya melaksanakan analisis asesmen untuk mengidentifikasi berbagai celah dan tantangan yang ada di Undangundang Pemilu dan kinerja lembaga penanganan keberatan Pemilu. Audit pasca-Pemilu dan evaluasi akan memberikan para pemangku kepentingan sebuah peluang untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat selama Pemilu77 dan memberikan waktu untuk memperbaiki kekurangan serta membuat pembaruan hukum sebelum Pemilu mendatang. Pada tahun 2002, Venice Commission mengadopsi suatu Kode Praktik Terbaik dalam Urusan Pemilu (Code of Good Practice in Electoral Matters), yang menegaskan bahwa “stabilitas hukum merupakan hal yang mutlak bagi kredibilitas proses Pemilu,” dan menyatakan bahwa dalam tahap pembaruan Undang-undang Pemilu, “sistem yang lama akan berlaku di Pemilu selanjutnya — paling sedikit jika pemilihan berlangsung di tahun mendatang — dan Undangundang yang baru akan berlaku setelahnya.”78 Mungkin yang lebih penting, negara seharusnya mengkodifikasi bahasa yang mampu menjaga prinsipprinsip fundamental dalam kerangka hukumnya.79 Pemilu presiden di Ukraina tahun 2010 menjadi contoh pentingnya aspek waktu dalam mengadopsi sebuah Undang-undang Pemilu yang baru. 77 Kriegler Commission Report, supra note 3, at 139 (“Audit merupakan alat yang efektif untuk membangun kepercayaan publik dalam hasil Pemilu karena mereka dapat mendeteksi kesalahan manusia dan dapat memperbaikinya.”). 78 Venice Commission Code, supra note 44, at 26. 79 id
38
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Pada Juli 2009, enam bulan sebelum Pemilu, sebuah Undang-undang Pemilu baru disahkan oleh Parlemen Ukraina. Banyak ketentuan yang bertentangan dengan standar-standar internasional; contohnya tindakan untuk mengajukan pengauan dan gugatan hanya bersifat terbatas dan dibatasi. Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa ketentuan Undang-undang yang sangat parah, tetapi tetap mempertahankan beberapa ketentuan lainnya. Para ahli internasional menyerukan berbagai perubahan baru sebelum putaran pertama Pemilu presiden pada 17 Januari. Namun, Parlemen — dan pihak lain yang mendukung kandidat penantang— mengadopsi berbagai perubahan baru terhadap Undangundang Pemilu pada 4 Februari, di antara Pemilu putaran pertama dan Pemilu putaran kedua.80 Petahana (Incumbent) menyerukan “dukungan internasional untuk menghalangi perubahan Undang-undang terkait Pemilu yang mendadak yang akan memuluskan jalan bagi permainan suara.”81 Para ahli terkait Pemilu menekankan bahwa ketentuan baru hanya memodifikasi elemenelemen prosedural yang minor dari Undang-undang tersebut dan tidak akan mempengaruhi hasil Pemilu. Kandidat penantang memenangkan Pemilu, dan para pemimpin baru mengakui kemenangannya dan proses terkait Pemilu yang bebas dan adil, walaupun kenyataannya pembaruan tersebut dilaksanakan di tengah-tengah Pemilu. Walaupun banyak yang mempertimbangkan Pemilu ini berhasil, potensi kekacauan politis yang mungkin terjadi menyusul berbagai perubahan ini menekankan pentingnya penjadwalan proses pembaruan. Penjadwalan yang baik adalah mutlak ketika mengesahkan atau memperbaharui Undang-undang terkait Pemilu, dan juga amat penting ketika berbagai tantangan muncul untuk mengubah sistem terkait Pemilu secara signifikan. Seringkali pengadilan, bukan badan perwakilan rakyat adalah penggerak utama dari pembaruan. Indonesia merupakan contoh dampak negatif yang ditimbulkan oleh sebuah pembaruan ketika terlalu terlambat dijalankan di dalam proses terkait Pemilu. Pada akhir Desember
80 Roman Olearchyk, Ukraine Premier Attacks Poll Law Changes, Financial Times, 4 Feb, 2010, dapat dilihat di http://www.ft.com/cms/s/0/7fea275e-1146-11df-a6d6-00144feab49a. html. 81 Id.
39
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
2008 (empat bulan sebelum Pemilu legislatif), Mahkamah Konstitusi Indonesia membatalkan sistem pemungutan suara dengan daftar semitertutup dan cenderung ke pemungutan suara dengan daftar terbuka.82 Banyak pengamat berpendapat bahwa hal ini adalah peraturan yang progresif, namun juga telah menciptakan tantangan yang sangat berat bagi badan penyelenggara Pemilu yang sudah berjuang dan untuk partai-partai politik dan kelompok-kelompok perempuan yang telah membangun strategi terkait Pemilu mereka dan pendidikan kewarganegaraan di sekitar sistem yang tidak berfungsi. Dengan demikian, kebutuhan untuk memperbaiki Undang-undang atau aturan prosedur yang mengatur Pemilu yang meliputi proses penanganan keberatan terkait Pemilu harus diseimbangkan dengan kebutuhan untuk memiliki aturan yang mapan dan pasti dengan sisa waktu yang ada sebelum Pemilu selanjutnya. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, negara tidak diwajibkan untuk mengikuti secara spesifik dan rinci aturan prosedur tertentu; standar internasional memungkinkan pilihan diambil dari beragam proses Pemilu yang luas. Namun, dalam beberapa kasus, pengadilan internasional dan domestik, serta badan pengawas menyediakan pedoman tentang penafsiran terbaik atas suatu standar yang akan berguna dalam menjamin bahwa penafsiran tersebut dapat diterima diterapkan seooptimal mungkin. Sebagai contoh, Komite HAM PBB dalam Komentar Umum no. 25 menegaskan bahwa “hak orang untuk maju dalam Pemilu seharusnya tidak dibatasi secara tidak masuk akal dengan mewajibkan para kandidat menjadi anggota partai atau anggota partai tertentu.”83 Pengadilan-pengadilan regional telah membuat berbagai uji untuk menjamin bahwa negara-negara memenuhi standar minimum dalam melindungi hak partisipasi politik. Sebagai contoh, Pengadilan Hak Asasi Manusia 82 USAid, IFES, A Free, Fair And Credible 2009 Elections In Indonesia Through Targeted Election Management Assistance: Final Report 6, 19 (2009). 83 UN Human Rights Comm., Covenant on Civil and Political Rights (CCPR) General Comment No. 25, Art. 25: The Right to Participate in Public Affairs, Voting Rights and the Right of Equal Access to Public Service, ¶ 17, CCPR/C/21/Rev.1/Add.7 (12 Juli, 1996) [setelah ini disebut CCPR General Comment No. 25] (“Jika seorang kandidat diwajibkan mendapatkan dukungan sejumlah minimum seharusnya bersifat masuk akan dan tidak bersifat menghalangi pencalonan.”), dapat dilihat di http://www.unhcr.org/refworld/ docId/453883fc22.html; Declaration on Elections, supra note 54, art. 4, § 9 (“Negara seharusnya menjamin bahwa pelanggaran hak asasi manusia dan keberatan yang terkait proses Pemilu ditentukan secara efektif oleh otoritas yang independen dan tidak memihak, seperti komisi Pemilu atau pengadilan.”).
40
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Eropa (European Court of Human Rights/ECtHR) telah menafsirkan hak untuk maju dalam Pemilu sebagai sebuah prinsip yang secara tersirat termasuk dalam hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. ECtHR telah memfokuskan terutama pada dua kriteria utama untuk menentukan apakah sebuah negara telah menjunjung tinggi hak ini: kesewenangwenangan atau kurangnya proporsionalitas; dan apakah terdapat campur tangan dalam kebebasan berpendapat terhadap masyarakat. Dalam keputusannya dalam kasus Zdanoka v. Latvia, sebuah kasus yang diajukan oleh seorang pemohon yang tidak diperkenankan maju dalam Pemilu parlemen Latvia, Pengadilan merinci uji yang digunakan untuk memeriksa kepatuhannya dengan hak untuk maju dalam sebuah Pemilu. Perempuan pemohon tersebut telah didiskualifikasi, menurut Undang-undang Pemilu Parlementer Latvia (Latvian Parliamentary Elections Act 1995), atas dasar alasan bahwa ia telah “berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan Partai Komunis Latvia/CPL) setelah 13 Januari 1991.84 Dalam keputusannya, Pengadilan tersebut pertama-tama merinci bahwa standar yang diturunkan dari Pasal 3 dari Protokol No. 1 Konvensi Eropa (European Convention) tidak seketat standar yang diterapkan di bawah Pasal 8 hingga 11 dari Konvensi.85 Pengadilan tersebut berpendapat bahwa negara-negara tidak dikekang oleh sebuah daftar tertentu dari “tujuan-tujuan yang sah” untuk menjustifikasi pembatasan terhadap prinsip Pemilu yang bebas dan adil.86 Terlebih lagi, uji-uji tradisional atas “kebutuhan” atau “kebutuhan sosial yang mendesak” tidak berlaku disini.87 Pengadilan juga menegaskan bahwa legislasi terkait Pemilu seharusnya ditafsirkan dalam kerangka untuk menjelaskan evolusi politik dari negara yang bersangkutan. Dalam kasus ini, Pengadilan menyatakan bahwa berbagai persyaratan untuk maju dalam Pemilu mungkin lebih ketat daripada persyaratan 84 Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Keputusan 16 Maret 2006, ¶ 155(b). 85 European Convention, supra note 26, arts. 8-11 (menetapkan hak untuk dihargai kehidupan pribadi dan keluarganya; hak berpendapat, beragama; kebebasan berekspresi; kebebasan berkumpul secara damai; dan kebebasan berserikat dengan yang lainnya, dan menjamin bahwa kebebasan berkumpul dan berserikat,“tidak ada pembatasan yang diberlakukan terhadap hak-hak ini selain daripada yang diatur oleh Undang-undang dan yang perlu dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional atau keselamatan publik, untuk mencegah kekacauan atau kriminalitas, untuk perlindungan kesehatan atau moral atau untuk perlindungan hak dan kebebasan dari yan lain,” walaupun menolak untuk “mencegah dikenakannya pembatasan-pembatasan berdasarkan hukum dalam pelaksanaan hak-hak ini oleh anggota angkatan bersenjata, polisi atau administrasi Negara”). 86 Toplak, supra note 18, at 7. 87 Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Keputusan 16 Maret 2006, ¶ 112(c).
41
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
untuk
memilih.88
Pengadilan
memeriksa
kesesuaian
pembatasan
tersebut dengan prinsip negara hukum (rule of law) dan berbagai tujuan umum Konvensi (Kemerdekaan Negara, Orde yang Demokratis dan keamanan nasional).89 Kemudian, Pengadilan melihat apakah tindakannya proporsional, sewenang-wenang, dan apakah kategori orang-orang yang dipengaruhi oleh keputusan ini dapat didefinisikan secara jelas.90 Pengadilan juga menyatakan bahwa pembatasan seharusnya dinilai dengan konteks historis dan politik yang sangat khusus dan seharusnya di bawah tinjauan terus menerus dengan tujuan untuk menghapus pembatasan sesegera mungkin.91 Dalam kasus ini, posisi pemohon terdahulu di dalam CPL dan berbagai pandangan anti demokrasi lainnya selama periode perjuangan Latvia untuk “demokrasi melalui kemerdekaan” pada tahun 1991 memberikannya pengecualian untuk maju dalam pemilihan.92 Karena ancaman bahwa berbagai pandangannya dapat mempengaruhi orde demokratis Latvia, Pengadilan mempertimbangkan otoritas yudikatif dan legislatif untuk menyeimbangkan pengecualian dengan kebutuhan untuk membangun kepercayaan dalam lembaga-lembaga demokratis yang baru dengan cara yang memadai. Berdasarkan semua elemen yang telah disebutkan sebelumnya, Pengadilan berpendapat bahwa Latvia tidak melanggar wide margin of appreciation93 serta tidak ada pelanggaran dari hak untuk dipilih dalam Pemilu. Namun, Pengadilan menyoroti kebutuhan bagi Parlemen untuk meninjau secara berkala pembatasan dari Undangundang untuk maju dalam Pemilu,” dengan maksud untuk mempercepat berakhirnya (pembatasan).”94
88 Id. ¶ 115(e). 89 Id. ¶ 118. 90 Id. ¶¶ 120, 128. 91 Id. ¶¶ 121, 135. 92 Id. ¶ 132. 93 “Margin of Appreciation” merupakan sebuah konsep yang dikembangkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa ketika mempertimbangkan apakah negara penandatangan dari European Convention on Human Rights telah melanggar konvensi tersebut atau tidak. “Margin of appreciation merujuk pada kekuasaan sebuah Negara Penandatangan dalam menilai situasi faktual, dan dalam menerapkan ketentuan yang tercermin dalam instrumen hak asasi manusia. Margin of appreciation berdasarkan pada gagasan bahwa setiap masyarakat berhak atas keleluasaan tertentu dalam menyeimbangkan antara hak perorangan dan kepentingan nasional, serta menyelesaikan konflik yang timbul sebagai akibat prinsip moral yang berbeda.” Onder Bakircioglu, The Application of the Margin of Appreciation Doctrine in Freedom of Expression and Public Morality Cases, 8 German L.J. 711, 711 (2007), dapat dilihat di http://www. germanlawjournal.com/pdfs/Vol08No07/PDF Vol 08 No 07 711-734 Articles Bakircioglu. pdf. 94 Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Keputusan 16 Maret 2006, ¶ 135.
42
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Sama halnya dengan sebuah kasus baru-baru ini tentang penyimpangan Pemilu ulang parlementer, ECtHR memutuskan bahwa Georgia telah melanggar Pasal 3 Protokol 1 Konvensi Eropa. Pengadilan membuat keputusannya dengan dasar hukum hak Partai Buruh Georgia (Georgian Labour Party’s) untuk maju dalam Pemilu.95 Pengadilan memutuskan bahwa keputusan Komisi Pemilu Pusat (Central Electoral Commission) tanggal 2 April 2004 untuk membatalkan hasil Pemilu di distrik pemilihan Khulo dan Kobuleti tidak dibuat dengan cara yang transparan dan konsisten. Komisi tersebut tidak menunjukkan alasan yang relevan dan memadai untuk mendukung keputusannya, serta tidak menyediakan pengamanan prosedural yang cukup terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Melalui keputusan ini dan lainnya, ECtHR telah merangkum berbagai standar umum yang berlaku bagi proses penanganan terkait Pemilu.
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) Pasal 14.1 Setiap orang akan berkedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan tribunal. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan bersifat terbuka untuk umum, yang dilaksanakan oleh tribunal yang kompeten, independen dan tidak memihak yang dibentuk oleh Undang-undang. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) Pasal 10 Setiap orang berhak atas persidangan yang adil dan terbuka untuk umum dengan yang dilaksanakan oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak, dalam penentuan hak dan kewajibannya dan setiap tuntutan pidana yang dituduhkan kepadanya.
95 Pihak pemohon di dalam kasus ini mengajukan keberatan tentang pelaksanaan Pemilu legislatif ulang pada 28 Maret, 2004 dimana para pemilih Khulo dan Kobuleti voters telah diambil haknya untuk memilih. Georgian Labour Party v. Georgia, Eur. Ct. H.R., App. No. 9103/04, Keputusan 8 Okt. 2008, ¶ 104.
43
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Berdasarkan hal-hal ini dan contoh-contoh lainnya, masuk akal jika dapat disimpulkan bahwa negara seharusnya membuat berbagai Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang mendefinisikan baik kerangka kerja proses keberatan terkait Pemilu dan aturan-aturan prosedural yang dapat diterapkan untuk menangani sengketa semacam itu, dan bahwa mereka akan mematuhi berbagai kewajiban internasional mereka. Walaupun negara-negara mempertahankan kebebasan yang cukup besar dalam struktur organisasi tertentu dari proses keberatan terkait Pemilu mereka, negara harus menjamin bahwa rezim yang didefinisikan secara jelas memberikan jaminan minimum tersebut. Terlebih lagi, ketika merancang Undang-undang baru atau meninjau Undang-undang yang telah ada, negara seharusnya mempertimbangkan kemungkinan beberapa Undang-undang yang saling bertentangan, konteks historis negara mereka, tradisi hukum mereka, dan mencoba untuk memenuhi berbagai kewajiban internasional yang memfasilitasi sistem penanganan keberatan Pemilu yang adil, transparan dan efektif.
3. Arbiter yang Tidak Memihak dan Memiliki Pengetahuan 96
Pengakuan terhadap kepenting universal atas keberadaan arbiter yang tidak memihak dan memiliki kemampuan sangat relevan ketika diterapkan pada keberatan Pemilu, yang pada umumnya bersifat sensitif dan kontroversial secara politik.97 Jika negara mencampuri pelaksanaan kerja pengadilan atau komisi yang independen, hal ini akan mengurangi kemandirian dan ketidakberpihakan (impartiality) dari badan tersebut dan cenderung menjadikan penanganan keberatan Pemilu menjadi bias. Selain memiliki independensi yang efektif, seorang hakim atau arbiter yang menangani
96 Walaupun bahasa dalam bagian ini seringkali merujuk pada “hakim” dan “pengadilan” atau “badan peradilan”, berbagai standar yang sama berlaku untuk setiap pejabat resmi yang menjalankan kekuasaan negara melalui sebuah sidang formal atau prosedur lainnya untuk menentukan keabsahan (validity) dan hasil dari sebuah keberatan Pemilu. Ini dapat berupa anggota komite, petugas administratif atau seorang hakim. Sebaliknya, sebagian besar standar yang sama dari ketidakberpihakan juga akan diterapkan pada hakim dan pejabat resmi lainnya yang bertindak dalam konteks selain dari Pemilu. 97 ICCPR, supra note 11, art. 14, § 1. Bahasa yang digunakan dalam ICCPR ditelusuri kembali di pasal 10 dari UDHR. Lihat supra note 10, art. 10. American Convention memberikan jaminan yang sama yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan sidang yang adil oleh “sebuah pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak.“ American Convention, supra note 14, art. 8, § 1; lihat juga European Convention, supra note 26, art. 6, § 1; Venice Commission Code, supra note 44, art. 26.
44
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
berbagai keberatan Pemilu seharusnya mengetahui peraturan perUndangundangan terkait Pemilu yang telah ada, dan memiliki kapasitas yang memadai untuk menilai, menyelidiki dan menyelesaikan berbagai keberatan yang terkait dengan bidang khusus dari Undang-undang tersebut.
A. Arbiter yang Tidak Memihak Peran penting yang dipegang para arbiter yang tidak memihak dalam menjaga kepatuhan terhadap hak asasi dasar manusia sekali lagi disebut secara tersurat dalam traktat. ICCPR menyatakan kebutuhan untuk sebuah “pengadilan yang adil (fair) dan bersifat umum (public) oleh sebuah pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak yang dibentuk berdasarkan Undang-undang,”98 dan Komite HAM PBB menjelaskan lebih lanjut bahwa “mekanisme-mekanisme administratif khususnya dibutuhkan untuk memberikan dampak terhadap kewajiban umum . . . melalui badan-badan yang independen dan tidak memihak.”99 Komisi tersebut menegaskan bahwa “sebuah otoritas Pemilu yang independen seharusnya dibentuk untuk mengawasi proses Pemilu dan menjamin bahwa Pemilu dilaksanakan secara adil, tidak memihak, dan sesuai hukum yang telah dibuat yang selaras dengan Kovenan tersebut,”100 Sebagai komponen kunci dari keseluruhan proses Pemilu, setiap orang yang menangani penanganan keberatan Pemilu seharusnya berupaya untuk menjalankan standar ini. Banyak instrumen regional juga menekankan pentingnya hakim yang
98 ICCPR, supra note 11, art. 14. § 1. 99 UN Human Rights Comm., CCPR General Comment No. 31 [80], Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant, ¶¶ 15-16, CCPR/C/21/Rev.1/ Add. 13 (26 Mei, 2004) [setelah ini disebut CCPR General Comment No. 31]. 100 CCPR General Comment No. 25, supra note 84, ¶ ¶ 17,20,25. Sebuah kasus Uganda menggambarkan pentingnya kepatuhan terhadap hak untuk pengadilan jujur (fair), ketika sebuah pengadilan menyatakan bahwa “untuk mengoperasionalkan ketentuan konstitusional ini [Pasal 28 Undang-undang: Hak untuk Pengadilan yang Adil] terkait penyelesaian pihak yang bersengketa dalam Pemilu di antara para kontestan, aturan 4 dari Aturan Pemilu Parlementer (Gugatan Pemilu) dibuat dibawah $93 Hukum Pemilu Parlementer.” Pengadilan kemudian mengingat bahwa hak terhadap pengadilan yang adil tidak dapat dihilangkan dan “amat sangat penting dalam penanganan sengketa masalah di antara para pihak.” Ketentuan Undang-undang mencerminkan berbagai standar internasional dan menjadi basis hukum untuk melaksanakan jaminan di dalam proses penyelesaian sengketa Pemilu. Electoral Commission v. Bakireke, (2009) U.G.C.A. 12 (Ct. App.) (Uganda), dapat dilihat di http://lawviatheinternet.org/ug/cases/UGCA/2009/12.html.
45
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
otonom dan tidak memihak dalam sebuah sistem peradilan.101 Berbagai kewajiban tersebut juga dapat diperluas penerapannya untuk menegaskan kebutuhan
bagi
ketidakberpihakan
sebuah
lembaga
penanganan
keberatan Pemilu. Seseorang tidak dapat membahas ketidakberpihakan sebuah arbiter Pemilu tanpa mengetahui sebuah hambatan utama bagi proses penanganan keberatan yang adil yaitu korupsi. Korupsi merongrong independensi arbiter dan hakim, legitimasi Undang-undang Pemilu, dan hak untuk sebuah tindakan koreksi yang efektif (effective remedy). Korupsi merupakan ancaman utama terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia, negara hukum (rule of law), dan membahayakan stabilitas lembaga-lembaga demokrasi.102 Pertarungan untuk meminimalkan dan memberantas korupsi dalam proses gugatan Pemilu perlu bersifat multidisipliner, termasuk urusan administratif, penunjukan hakim, tingkat gaji merupakan sebagian diantaranya.103 Berbagai tindakan koruptif seperti menerima suap dapat membahayakan akses yang setara terhadap keadilan, penunjukan para arbiter yang adil dan independen, atau bahkan ketidakberpihakan putusan dalam suatu kasus. Diperlukan upaya untuk menjamin bahwa para hakim dan arbiter yang melakukan penanganan gugatan Pemilu memiliki etika,” khususnya di negara-negara yang pengadilannya dirongrong oleh dominasi eksekutif yang tidak kompeten dan korupsi yang sistemik.”104
101 European Association of Judges, Judges’ Charter in Europe, art. 1 (20 Maret, 1993); 6th Conference of Chief Justices of Asia and the Pacific Region, Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the LAWASIA Region (Agustus 1995), dapat dilihat di http://lawasia.asn.au/objectlibrary/147?filename=Beijing Statement.pdf; Ibero-American Summit of Presidents of Supreme Justice Tribunals and Courts, Caracas Declaration (4-6 Maret, 1998); Conference on the Judiciary in the Arab Region and the Challenges of the 21st Century, Recommendations of the First Arab Conference on Justice (“Beirut Declaration”) (14-16 Juni, 1999). 102 Council of Eur., Conf. of European Ministers of Justice, Res. No. 1, 21st Conf. (10-11 Juni,1997). 103 Council of Eur., European Comm. of Ministers, Res. No, (97) 24, 101st Sess., pmbl (6 Nov,1997). 104 Keith Henderson & Violaine Autheman, IFES, Global Best Practices, Rule of Law White Paper Series, A Model State of the Judiciary Report: A Strategic Tool For Promoting, Monitoring and Reporting on Judicial Integrity Reforms at the Country, Regional and Global Levels 16 (2004); Dr. Marcin Walecki, IFES, Political Money and Political Corruption: Consideration for Nigeria 6, tbl. 1 (2003), dapat dilihat di http://www.ifes.org/publication/9 8dac604e5ef5ec603e632890259160d/Money_Corruption_Nigeria.pdf
46
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
i. Uji untuk Ketidakberpihakan
Menentukan apa yang termasuk “tidak memihak” tidak selalu merupakan sebuah proses yang mudah. Namun, beberapa pengadilan telah membuat berbagai standar yg berguna yang dapat dianut oleh berbagai negara di seluruh dunia. Sebagai contoh, Kovensi Eropa menyerukan sebuah sidang yang adil dalam waktu yang masuk akal oleh sebuah pengadilan yang independen dan tidak memihak yang dibentuk oleh Undang-undang,105 dan Pengadilan Eropa telah menghasilkan banyak putusan penting dalam hal hak atas pengadilan yang adil (fair trial) — termasuk beberapa keputusan yang berhubungan dengan proses penyelesaian sebuah keberatan Pemilu. Dalam perkara Salov v. Ukraine, Pengadilan tersebut menemukan hakim yang akan memutuskan tersebut tidak memenuhi persyaratan ketidakberpihakan, karena tidak terdapat perlindungan legislatif dan finansial yang memadai terhadap tekanan dari luar terhadap hakim yang menangani kasus.106 Pengadilan menyatakan bahwa “dalam rangka membentuk apakah sebuah pengadilan dapat dikatakan ‘independen’ . . . harus diberikan perhatian tambahan kepada cara penunjukkan anggotaanggota (majelis) dan masa jabatan mereka, keberadaan pengamanan terhadap tekanan-tekanan dari luar dan pertanyaan apakah ini mewakili penampilan kemandirian.”107 Keputusan menunjukkan bahwa melindungi ketidakberpihakan para hakim dan arbiter membutuhkan sejumlah upaya. Memang, negara seharusnya menguji seluruh elemen yang dibahas dalam alinea di bawah ini untuk merangkai sebuah sistem yang akan menghalau korupsi atau bias dalam badan peradilan. Hal ini membutuhkan badan legislatif yang relevan untuk merancang sistem penanganan keberatan sehubungan dengan seluruh faktor yang dapat secara potensial melemahkan ketidakberpihakan. Keputusan Pengadilan Eropa ini juga mengembangkan sebuah tes yang terdiri dari dua bagian untuk pertanyaan ketidakberpihakan. Pengadilan pertama-tama melihat pada aspek subyektif “pengakuan pribadi dan perilaku dari hakim tertentu dalam kasus yg ada”.108 Pengadilan kemudian meninjau fakta-fakta obyektif yang dapat diketahui yang dapat menimbulkan
105 106 107 108
European Convention, supra note 26, art. 6§1. Salov v. Ukraine, Eur. Ct. H.R., App. No. 65518/01, Keputusan 6 Des. 2005, ¶¶ 78-98. Id. ¶ 80. Id. ¶ 81
47
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keraguan terhadap ketidakberpihakan ajudikator. Uji ini dilakukan melalui sebuah analisis serangkaian elemen; apakah rangkaian persidangan telah tidak memihak dan independen; proses penunjukan hakim; dan pengaruh terhadap pengadilan yang lebih rendah dari pengadilan yang dipermasalahkan. Uji tersebut juga mengevaluasi keberadaan “berbagai kriteria dan prosedur yang jelas untuk promosi, kewajiban kedisiplinan, penilaian dan pengembangan karir para hakim; batas kewenangan yang dimiliki oleh ketua pengadilan yang lebih tinggi; jaminan finansial dan legislatif atas berfungsinya badan-badan peradilan.”109 Elemen-elemen ini menyediakan sebuah struktur yang berguna untuk menganalisis ketidakberpihakan sebuah badan yang melakukan penanganan.
ii. Penunjukan dan pemberhentian
Proses penunjukan dan pemberhentian seorang hakim yang bertanggung jawab dalam memeriksa keberatan Pemilu juga harus ditetapkan dengan memperhatikan ketidakberpihakan. Sebuah sistem checks and balances seharusnya tersedia untuk menjamin ketidakberpihakan dari putusannya.110 Jika hakim dan arbiter ditunjuk oleh lembaga nasional seperti eksekutif, suatu proses peninjauan seharusnya dibentuk untuk memantau proses penunjukan tersebut. Pencalonan hakim atau arbiter oleh kepala negara seharusnya membutuhkan konfirmasi atau konsultasi dengan pihak legislatif. Namun, jika partai politik yang sama menguasai kedua cabang (kekuasaan) ini, maka memberlakukan persyaratan mayoritas dua-pertiga dapat melindungi kepentingan kaum minoritas dalam rekrutmen atau pencopotan anggota komisi (commissioners) dan hakim Pemilu.111 Sebuah sistem checks and balances menjadi amat penting untuk mencegah 109 Id. ¶¶ 82-86. 110 Constitución Política de la República Oriental del Uruguay [Political Constitution of the Eastern Republic of Uruguay] Feb. 15, 1967, art. 324 (“Lima petahana (incumbents) dan penggantinya ditunjuk oleh Majelis Umum yang memenuhi kedua majelis dengan dua-pertiga jumlah suara, haruslah para warga negara yang jabatannya di dalam politik, dijamin tidak berpihak. Empat anggota sisanya, perwakilan Matches, dipilih oleh Majelis Umum dengan sistem pemungutan suara ganda, suara ini bernilai dua suara pada daftar mayoritas keputusan hakim yang memperoleh suara terbanyak dan dua dari mayoritas daftar keputusan hakim berikutnya yang memperoleh suara lebih kecil.”) 111 Election Law No. 13, art. 19(a), (b) (2001) (Yaman) (mengkodifikasikan Komisi Tertinggi untuk Pemilu dan Referendum (Supreme Commission for Elections and Referendum/ SCER), yang terdiri dari 7 anggota yang ditunjuk oleh Keputusan Presiden dari daftar 15 nama yang dicalonkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives), yang harus memenuhi daftar dengan mayoritas dua-pertiga anggota Dewan); lihat juga IFES, Election Law Reform In Yemen: Supplementary Report 9 (2005), dapat dilihat di http:// www.ifes.org/publication/3545312a460b9359a9b16a35f027be3f/FINALSupplRoLReport English.pdf
48
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
potensi korupsi dan pengaruh yang ada di antara lembaga-lembaga yang bertanggungjawab terhadap penunjukan tersebut. Dalam kultur politik tertentu, menyediakan seorang arbiter yang tidak memihak mungkin memerlukan berbagai tindakan yang lebih ketat untuk menjamin independensinya. Di Nikaragua, tujuh anggota komisi ditunjuk oleh Majelis Nasional dengan mayoritas 60 persen yang memenuhi syarat, memimpin Consejo Supremo Electoral (CSE), suatu badan penanganan untuk keberatan non-pidana Pemilu. Presiden dan Majelis Nasional bersama-sama mengajukan pencalonan untuk posisi anggota komisi “dengan berkonsultasi dengan masyarakat sipil”112 Meskipun dengan mekanisme checks and balances ini, partai politik justru membahayakan posisi independensi CSE dan memilih komisaris yang memiliki profil politik yang sangat kuat. Di Brasil, Pengadilan Tinggi Pemilu (Superior Electoral Court/Tribunal Superior Eleitoral/TSE) menggunakan tata tertib penunjukan lain yang menarik.113 TSE memiliki yurisdiksi atas seluruh aspek Pemilu dan mengatur berfungsinya partai politik. Konstitusi mengatur sangat spesifik tentang komposisi Pengadilan Tinggi Pemilu.114 Ada tujuh orang hakim: tiga hakim dipilih dari anggota-anggota Mahkamah Agung Federal (Federal Supreme Court); dua hakim dipilih dari anggota-anggota Pengadilan Tinggi (Superior Court of Justice); dan dua hakim dicalonkan oleh Presiden, yang dipilih di antara enam praktisi hukum yang terkenal pengetahuan hukumnya dan memiliki reputasi moral yang baik yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung Federal. Untuk mempertahankan karakter non-politis pengadilan Pemilu, para hakim menjabat selama jangka waktu dua tahun dan tidak dapat menjabat lebih dari dua periode berturut-turut.115
112 Constitución Política de Nicaragua [Political Constitution of Nicaragua] Jan. 1, 1987, art. 138, § 7; art. 150, § 14; E.U. Nicaragua Report, supra note 38, at 23. 113 Brazil Superior Electoral Court, supra note 6. 114 Constituição Federal [C.F.] [Constitution] art. 119 (Braz.). 115 Id. art. 121, § 1; lihat juga, contohnya, Ruben Hernandez Valle, Costa Rica: A Powerful Constitutional Body, Case Study 1 (“TSE terdiri dari tiga hakim reguler dan enam hakim pengganti. . . . Penunjukan mereka dilakukan lewat dua-pertiga anggota Hakim Mahkamah Agung.”), dapat dilihat di http://www.Idea.int/publications/emd/upload/EMD_CS_Costa_ Rica. pdf.
49
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Sistem Brasil yang jelas dan transparan, yang membantu menjamin ketidakberpihakan, dapat dibandingkan dengan proses yang terjadi di Yordania dan Libanon. Konstitusi Yordania menyatakan bahwa Parlemen yang baru terpilih merupakan sebuah lembaga yang diberdayakan untuk menangani gugatan terhadap hasil Pemilu Parlemen.116 Di Libanon, proses penanganan keberatan secara khusus, dan peradilan secara umum, kurangnya independensi baik dari sisi eksekutif maupun legislatif. Hal ini paling jelas terbukti selama Pemilu parlement tahun 1996,” Kementerian Dalam Negeri menolak untuk memberikan catatan rapat dan berbagai dokumen asli yang memungkinkan lembaga ini menjalankan tugasnya, kepada Dewan Konstitusi, badan yang yang bertanggung jawab terhadap pengawasan Pemilu karena beberapa dokumen ini terbakar.”117 Terlebih lagi pada bulan Agustus tahun 2003, mandat lima dari sepuluh anggota Dewan Konstitusi telah habis waktunya tanpa penunjukan yang baru, sehingga menyebabkan lumpuhnya secara de facto lembaga tersebut hingga tahun 2009.118 Konflik kepentingan dan campur tangan para politisi dalam pekerjaan badan-badan penanganan di negara-negara ini jelas menjauhkannnya dari persyaratan adanya arbiter yang tidak memihak dan independen. Proses pencopotan para hakim dan arbiter juga merupakan sebuah komponen kunci dalam menciptakan sebuah sistem penanganan yang tidak memihak, dan harus menyeimbangkan antara kebutuhan untuk mengisolasi para ajudikator dari pengaruh politik jangka pendek, di lain pihak juga tetap memberikan jalan untuk mencopot hakim yang benarbenar korup. Sebagai contoh, di Brasil, Konstitusi menyatakan bahwa hakim dari Mahkamah Agung Pemilu (Electoral Supreme Court) dan Pengadilan Negeri (Regional Court) tidak dapat dicopot selama menjabat.119 Ketentuan ini menjamin bahwa seorang hakim tidak akan dicopot secara sewenang-wenang berdasarkan manipulasi politis atau pengaruh yang tidak semestinya. Namun, Undang-undang Pemilu atau aturan prosedural 116 C onstitution of the Hashemite Kingdom of Jordan Jan. 1, 1952, art. 71; lihat juga Democracy Reporting International, Al-Urdun Al-Jadid Research Center, Assessment of the Electoral Framework: The Hashemite Kingdom of Jordan 2, 26 (2007) [setelah ini disebut Jordan Electoral Assessment], dapat dilihat di http://www.democracy-reporting. org/files/dri_report_jordan.pdf. 117 Jordan Electoral Assessment, supra note 117, at 2, 26. 118 Id. at 30. 119 Constituição Federal [C.F.] [Constitution] art. 121, § 1 (Bras.).
50
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
seharusnya menata aturan yang jelas dan transparan untuk mendisiplinkan atau memecat anggotanya jika mereka bertindak tidak semestinya atau jika mereka gagal dalam menjalankan tugas-tugas mereka.120 Aturan semacam itu seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan setiap agenda pembaruan dan dapat mengurangi jumlah putusan yang dibuat dengan cara yang sewenang-wenang atau di bawah tekanan politik. Berbagai prinsip ketidakberpihakan ini lebih lanjut menjadi lebih rumit karena tingkat stabilitas politik sebuah negara. Komisi Keberatan Pemilu (Electoral Complaints Commission/ECC) di Afganistan merupakan contoh kuat sebuah negara pasca-konflik dalam mempertahankan persyaratan ketidakberpihakan, sementara juga menunjukkan keterbatasan mekanisme tersebut. Pada Pemilu tahun 2009, Komisi termasuk tiga komisioner internasional yang ditunjuk oleh Perwakilan Khusus PBB dari Sekretaris Jenderal untuk Afganistan, satu komisaris yang ditunjuk oleh Komisi Independen Hak Asasi Manusia Afganistan (Afghan Independent Human Rights Commission) dan satu komisaris yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung Afganistan. Pada mulanya, alasan pembentukan ECC adalah untuk menjamin dukungan dari komunitas internasional melalui kehadiran para ahli Pemilu internasional dan untuk menjamin ketidakberpihakan melalui kehadiran warga negara Afganistan. Terdapat berbagai kritik yang substansial mengenai keseimbangan antara jumlah warga negara Afganistan dan warga negara asing. Namun, jika staf ECC hanya warga negara Afganistan saja, mungkin sulit untuk menjamin independensi dan ketidakberpihakan karena tingginya tingkat korupsi yang masih ada di antara lembagalembaga Afganistan. Terlebih lagi, keterlibatan para ahli internasional di
120 USAID Office of Democracy and Governance, Technical Publication Series, Guidance for Promoting Judicial Independence and Impartiality 20 (2002) [setelah ini disebut USAid Guidance] (“Ketika proses-proses disiplin bekerja dengan benar, mereka melindungi integritas peradilan dan independensinya. Namun, proses rangkaian proses disiplin mungkin dibuat untuk alasan politis atau untuk menghukum para hakim yang menyerahkan keputusannya yang bertentangan dengan pandangan atasan mereka. Perbedaan substantive yang seharusnya diselesaikan oleh kasus banding ke pengadilan yang lebih tinggi dapat membentuk basis untuk tindakan kedisiplinan. Bukan tidak umum, proses disiplin dipotong secara keseluruhan dalam mencopot hakim dari jabatannya. Sebuah prosedur disiplin yang terstruktur dengan baik mengurangi kerentanan terhadap penyalahgunaan yang mempengaruhi independensi peradilan,” dapat dilihat di http:// www.usaId.gov/our_work/democracy_and_governance/publications/pdfs/pnacm007.pdf.
51
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
ECC menjadi penting untuk mencoba mengatasi ketegangan antar etnis yang masih ada di Afganistan. Dalam persiapan untuk Pemilu Parlemen 2010, pemerintah Afganistan mengesahkan suatu Undang-undang Pemilu yang baru121 yang tidak secara eksplisit mengharuskan komisaris ECC adalah warga negara Afganistan, namun menyatakan bahwa mereka seharusnya ditunjuk oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan kedua kamar perwakilan dan Ketua Mahkamah Agung. Presiden juga menunjuk para anggota Komisi Keberatan Pemilu tingkat Provinsi (Provincial Electoral Complaints Commissions/ PECC). Undang-undang ini tidak mengatur tentang kualifikasi atau jumlah komisaris baik PECC maupun ECC. Berbagai perubahan ini tidak membawa banyak perubahan dalam menangani risiko keberpihakan dalam pencalonan para hakim atau arbiter, atau kurangnya kepercayaan dalam komposisi ECC. Sementara ketidakberpihakan arbiter dalam penanganan keberatan Pemilu merupakan hal yang amat penting, dalam situasi luar biasa dibutuhkan fleksibilitas dan berbagai pendekatan pragmatis dalam pelaksanaan standar-standar internasional di dalam sistem tertentu.
iii. Remunerasi, purna-waktu dan permanen
Faktor-faktor lain dapat mempengaruhi pembentukan mekanisme keberatan Pemilu yang tidak memihak, adalah termasuk tingkat remunerasi, dimana posisi penuh-waktu atau paruh-waktu, apakah badan tersebut permanen atau sementara. Dalam sebuah badan penyelenggara Pemilu yang memiliki sumber daya yang memadai, para hakim atau arbiter idealnya dilarang menjalankan pekerjaan lain dan diharuskan memegang posisi penuh-waktu untuk mempertahankan sebaik-baiknya sistem penanganan yang independen dan tidak memihak. Namun, pada praktiknya, para hakim bertindak sebagai arbiter Pemilu seringkali juga menjadi hakim biasa yang menangani perkara umum— mungkin di bawah prosedur administratif khusus, ataupun ditugaskan sementara untuk menjalankan tugas Pemilu, ataupun pensiunan hakim yang ditugaskan sementara. Hanya sedikit 121 Electoral Law, art. 61 (2004) (Afg.); President of Islamic Republic of Afghanistan, Decree on the Appointment of Election Complaints Commission Members, 18 April, 2010, dapat dilihat di http://www.ecc.org.af/en/images/stories/pdf/16Apr10 Pres Decree est ECC.pdf.
52
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
negara yang memiliki pengadilan Pemilu yang penuh-waktu dan permanen. Dengan demikian, sementara model yang memiliki sumber daya yang memadai yang disebutkan di atas mungkin tidak ada dalam praktik, namun pentingnya mendirikan sebuah badan arbiter yang paling tidak mengetahui banyak tentang Undang-undang Pemilu dan penanganan keberatan Pemilu merupakan hal yang jelas. Remunerasi, tidak umum dibahas atau tidak cukup ditangani oleh programprogram bantuan pembangunan internasional, juga merupakah elemen yang penting dalam badan peradilan yang tidak berpihak dan independen. Remunerasi yang memadai bagi para hakim Pemilu juga membantu mencegah tekanan finansial dari luar yang secara potensial bersifat koruptif terhadap para hakim atau arbiter.122 Tentu saja, ketika budaya suap telah tertanam di dalam sebuah negara, kenaikan dalam remunerasi mungkin tidak akan menghapus korupsi sepenuhnya. Namun, gaji dan berbagai tunjangan mungkin akan mempengaruhi sikap para pegawai dan juga menarik para pelamar yang paling memenuhi syarat. Merancang sebuah sistem penanganan yang adil juga membutuhkan ketetapan untuk menentukan apakah pengadilan atau komisi keberatan Pemilu akan bersifat permanen atau sementara. Sifat permanen sebuah badan penanganan dapat menjamin keberlangsungan pekerjaan para arbiter dan staf dan memungkinkannya untuk menilai berbagai kesalahan, tantangan dan keberhasilan setelah pelaksanaan Pemilu. Hal ini juga dapat mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan para arbiter dalam Undang-undang Pemilu. Namun, struktur permanen seperti itu memerlukan dukungan finansial yang ekstensif dan pada selang waktu antara Pemilu tidak terlalu dibutuhkan hakim atau arbiter yang bertugas. Sebagai contoh, di Meksiko, keberatan Pemilu ditangani oleh Tribunal Pemilu permanen (satu federal dan beberapa regional) yang memperoleh manfaat dari pendanaan pemerintah yang konsisten untuk menjalankan tugas penanganannya. Pengadilan ini juga terlibat dalam beberapa 122 USAid Guidance, supra note 121, at 52, 62 (mencatat bahwa “rendahnya tingkat remunerasi biasanya menarik perhatian sebagai sumber utama perilaku korupsi” dan “sejumlah upaya telah dilakukan untuk meminimumkan korupsi di antara para hakim,” termasuk “saran yang paling sering disuarakan . . . meningkatkan gaji hakim”); Central Council of the International Association of Judges , Universal Charter of the Judge, art. 13 (17 Nov , 1999) (“Hakim harus menerima remunerasi yang memadai untuk mengamankan independensi ekonomi yang sejati.”).
53
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
aktivitas extra kurikuler seperti mempromosikan model Pemilu Meksiko di luar negeri atau memberikan bantuan teknis kepada demokrasi yang sedang berkembang.123 Pengadilan Pemilu Uruguay (Corte Electoral) juga merupakan badan penanganan keberatan permanen. Walaupun model Meksiko telah terbukti sangat efektif, di beberapa negara dengan sumber daya yang lebih sedikit dan tradisi hukum yang berbeda, suatu badan penanganan keberatan sementara dapat sama efisiennya dengan yang permanen selama para staf-nya dicalonkan atau ditunjuk dengan waktu yang memadai untuk persiapan sebelum Pemilu. Penerapan fungsi ganda seorang arbiter akan menimbulkan argumen yang sama yang terletak pada pembahasan mengenai sifat permanen dan remunerasi. Karena melarang seorang hakim atau arbiter untuk memegang posisi yang lain dapat menyebabkan tingkat ketidakberpihakan yang lebih tinggi, di negara demokrasi yang baru berkembang, negara kerapkali tidak memiliki sumber daya untuk menawarkan remunerasi yang cukup untuk memungkinkan para arbiter hanya menjabat satu posisi. Untuk memastikan ketidakberpihakan para arbiter, beberapa negara sebagai gantinya melarang dukungan mereka (para arbiter) terhadap sebuah partai politik. Sebagai contoh, konstitusi Uruguay tidak mengizinkan para anggota Pengadilan Pemilu (Electoral Court) “untuk bertidak sebagai pejabat partai politik atau terlibat dalam propaganda Pemilu politis.”124 Secara umum, para arbiter yang menangani keberatan Pemilu baik yang merupakan hakim reguler dari peradilan, ataupun mereka yang bekerja pada komisi Pemilu dan penanganan keberatan Pemilu merupakan salah satu bagian dari pekerjaan mereka. Meskipun demikian, larangan menjalankan tugas lainnya sangat direkomendasikan, minimal selama periode Pemilu.
123 Constitución Política de la República Oriental del Uruguay [Political Constitution of the Eastern Republic of Uruguay] Feb. 15, 1967, art. 322 (menetapkan Pengadilan Pemilu/ Electoral Corte yang otonom dan independen “untuk memutuskan keputusan akhir seluruh banding dan gugatan yang muncul dan memutuskan seluruh jabatan yang memerlukan pemilihan dari plebisit atau referendum”). 124 Id. art. 77, § 5.
54
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
iv. Berbagai tantangan dan rintangan dalam demokrasi yang sedang berkembang
Batasan sistem domestik dan pembatasan yang tercipta oleh praktikalitas sehari-hari dalam demokrasi yang sedang berkembang seharusnya juga diakui. Untuk menyiapkan seorang arbiter yang tidak memihak di dalam sistem keberatan Pemilu, negara harusn mematuhi standar-standar mengenai penunjukan, pencopotan atau remunerasi para hakim dan arbiter, sebagaimana diuraikan di atas. Namun, negara-negara berkembang seringkali berhadapan dengan isu-isu internal tambahan seperti terbatasnya tenaga terampil atau sumber daya finansial yang terbatas. Sebagai contoh, kesulitan yang muncul di Armenia tahun 2006, ketika Mahkamah Konstitusi memutus perkara benturan kepentingan yang berkaitan
dengan
badan
penyelenggara
Pemilu
dan
administrasi
peradilan.125 Kitab Undang-undang Pemilu Armenia menyertakan pedoman Komisi Venisia (Venice Commission) tahun 2002, yang menyatakan bahwa komisi Pemilu seharusnya terdiri dari paling sedikit satu anggota dari peradilan.126 Namun, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa sebagai negara yang sedang dalam masa transisi, Armenia mengalami kekurangan hakim yang dapat menangani bahkan untuk kasus-kasus sepele. Dengan demikian, jika beberapa hakim ditunjuk melakukan peran administratif sebagai anggota komisi Pemilu, mereka juga tetap harus melaksanakan fungsi kehakiman lainnya. Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa melaksanakan kedua fungsi tersebut akan mengurangi ketidakberpihakan sebuah komisi, karena peran administratif dan yudisial akan dengan mudah menjadi konflik. Kasus ini menekankan tantangan yang dapat muncul bagi negara-negara berkembang yang sedang berupaya untuk mematuhi standar-standar internasional, serta kenyataan yang tidak menguntungkan 125 Advisory Opinion on the Compliance of Article 35.1.3, Second Sentence, Article 35.1.4, dan Article 36.1 of the Armenian Electoral Code with the Armenian Constitution, (2006) D.C.C. 664 (Const. Ct. Arm.) (“[Peran komisi Pemilu yang tidak berpihak dan independen merupakan hal yang mutlak, tetapi di dalam ‘negara transisi’ kekuasaan peradilan yang sangat penting. Karena inilah Pasal 98 Konstitusi tersebut melarang hakim memegang jabatan yang tidak relevan dengan tugas-tugas resminya, sebagaimana yang ditetapkan oleh Kitab Hukum Pemilu (Electoral Code), yang bertentangan dengan administrasi peradilan, independensi peradilan, meningkatkan konflik kepentingan, dan melemahkan ketidakberpihakan para hakim dan pengadilan ketika menyelesaikan sengketa Pemilu.”), catatan dapat dilihat di http://www.concourt.am/english/decisions/common/doc/english_ codices/664.htm. 126 Kitab Undang-undang Pemilu Armenia (Armenian Electoral Code) rmempersyaratkan penunjukan satu hakim di dalam komisi Pemilu. Electoral Code, pasal. 35, 36 (2005) (Arm.), dapat dilihat di http://www.venice.coe. int/docs/2007/CDL-EL(2007)010-e.pdf.
55
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
bahwa semakin ketat pedoman yang memaksa prinsip ketidakberpihakan mungkin tidak selalu dapat diterapkan. Walaupun ketegangan ini penting untuk diperhatikan, keterbatasan sistem peradilan seharusnya tidak digunakan sebagai alasan atau memperbolehkan penanganan keberatan Pemilu yang menghasilkan berbagai keputusan yang sewenang-wenang ataupun tidak adil.127 Selama perancangan sistem penanganan keberatan, para perancang seharusnya menyinggung berbagai rintangan praktis ini dan mengupayakan solusi-solusi alternatif. Namun, terlepas dari kelangkaan sumber daya, baik manusia maupun finansial, pembuatan keputusan yang tidak memihak harus diterapkan untuk menghindari berbagai keputusan yang sewenangwenang, kurang seimbang, dan berbagai pembatasan yang mencampuri kebebasan berekspresi.128
B. Arbiter yang Memiliki Pengetahuan yang Memadai Karena keterbatasan waktu dan pengetahuan khusus yang diperlukan untuk memutus gugatan dan keberatan Pemilu, para arbiter seharusnya kompeten dan memiliki pengetahuan dalam bidang khusus penanganan keberatan Pemilu. Standar-standar ini mempersyaratkan bahwa orang yang ditunjuk memiliki kualifikasi yang dibutuhkan pada saat penunjukkannya, serta persyaratan pendidikan berkelanjutan untuk mempertahankan pemahamannya dengan perubahan terhadap rezim hukum.
i. Seorang hakim atau arbiter yang memenuhi persyaratan
Arbiter dari setiap lembaga ajudikator sengketa Pemilu seharusnya memiliki berbagai keterampilan dan sumber daya yang diperlukan untuk mengerti sepenuhnya proses Pemilu. Ketika meninjau kualifikasi hakim atau komisioner yang potensial, latar belakang kewarganegaraan dan kelembagaan kandidat tersebut menjadi pertimbangan, bukan koneksi politik mereka. Venice Commission mengakui tingkat keahlian teknis yang dibutuhkan, menyatakan bahwa para anggota komisi Pemilu “seharusnya merupakan para ahli hukum, ilmu politik, matematika atau orang lain yang
127 Id. 128 Zdanoka v. Latvia, Eur. Ct. H.R., App. No. 58278/00, Putusan 16 Maret 2006, ¶ 115 (b),( c),( e).
56
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
memiliki pemahaman yang baik tentang isu Pemilu.”129 Namun pendidkan yang baik dan pengalaman yang memadai dalam urusan Pemilu merupakan hal yang perlu namun bukan merupakan karakteristik yang cukup untuk dipandang sebagai hakim atau arbiter yang memenuhi syarat. Dalam laporan penilaian pra-Pemilu IFES di Thailand, para ahli menyerukan Komisi Pemilu (Electoral Commission/ECT) untuk memperhatikan bahwa “pada waktu meningkatnya ketegangan politik, akan menjadi penting khususnya untuk menjamin bahwa proses rekrutmen bersifat kompetitif dan bahwa para kandidat disaring secara semestinya.”130 Penilaian tersebut menyatakan bahwa dalam rangka ditunjuk sebagai anggota dari panitia tempat pemungutan suara atau Pemilu, para kandidat seharusnya memenuhi syarat dan dikenal netral secara politik.131 Para pengamat mencatat, sebagai contoh, beberapa petugas Pemilu di Thailand merupakan petugas kepolisian mengacaukan prinsip ketidakberpihakan. Namun, seharusnya diakui bahwa sistem penanganan keberatan di Thailand berbeda dengan negara-negara kebanyakan, karena justru ECT-lah yang memiliki fungsi sebagai lembaga penanganan keberatan.
ii. Pelatihan dasar dan pelatihan yang berkelanjutan
Undang-undang Pemilu seringkali kompleks dan kerap berubah, dan dengan demikian mempertahankan badan penyelenggara yang memiliki pengetahuan dan memenuhi syarat bisa menjadi lebih sulit daripada hal sama di bidang lainnya. Akibatnya, prasyarat keterampilan yang diperlukan hanyalah sekedar ambang batas kualifikasi; dan seharusnya juga tersedia pendidikan yang berkelanjutan bagi semua anggota.132 Penunjukan yang tidak serentak dari tribunal atau komisi Pemilu dapat memungkinkan mantan hakim atau arbiter Pemilu untuk membantu pelatihan para anggota yang baru ditunjuk. Pendidikan berkelanjutan penting bagi para 129 Venice Commission Code, supra note 44, at 28. Dalam putusan yang lain, Mahkamah Agung di Ghana juga mengakui pentingnya hakim yang kompeten dalam urusan Pemilu. Pada November 2008, Pengadilan merancang sebuah Petunjuk dan Statuta tentang penanganan keberatan Perkara Pemilu di Ghana. Pada kesempatan ini, Lady Justice Georgina T. Wood menggarisbawahi bahwa salah satu tujuan dari prakarsa ini adalah “untuk membantu para hakim di dalam pekerjaannya . . . melaksanakan penanganan sengketa Pemilu.” Kata Pengantar Ghana Manual, supra note 7. 130 Robert A. Dahl et al., IFES, Thailand: 2007 Pre-Election Technical Assessment, Report of Findings and Recommendations 37 (2007), dapat dilihat di http://aceproject.org/ero-en/ regions/asia/TH/IFESPreelectionAssesment.pdf/view. 131 Id. 132 USAid Office of Democracy and Governance, Technical Publication Series, Guidance for Promoting Judicial Independence and Impartiality 27 (2002), dapat dilihat di http://www. usaid.gov/our_work/democracy_and_governance/publications/pdfs/pnacm007.pdf.
57
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
hakim dan arbiter. Di Brasil, mekanisme penanganan keberatan telah mempertimbangkan dibutuhkannya pendidikan berkelanjutan bagi para arbiter. Sebuah Ajaran Hukum Pemilu (Electoral Legal School) dikaitkan dengan Pengadilan dan bertujuan untuk memberikan pendidikan berkelanjutan ataupun yang pendidikan tidak rutin bagi para hakim yang memutus atau akan memutus berbagai keberatan Pemilu.133 Lebih lanjut, untuk menjamin penerapan Undang-undang sebagaimana mestinya dan kepatuhan terhadap pelatihan yang diberikan, para hakim dan arbiter dalam urusan Pemilu harus dapat mempertanggungjawabkan Komisi Keberatan Pemilu Republik Islam Afganistan Pedoman perilaku bagi Komisioner dan Staf ECC Komisioner dan staf ECC wajib: • Mematuhi Konstitusi, Undang-undang Pemilu, dan Keputusan, Peraturan dan Prosedur yang berlaku, dan melaksanakannya dengan cara yang tidak berpihak, non-partisan dan netral secara politis; • Mempertahankan standar-standar tertinggi dalam efisiensi, kompetensi dan integritas; • Dengan kemampuan terbaik mereka, menjamin agar hak-hak dasar semua orang yaitu kebebasan berpendapat dan berekspresi, berorganisasi, berkumpul, berserikat dan melakukan pergerakan terlindungi di seluruh tahap proses Pemilu; • Memperlakukan para pemilih, kandidat dan agen, anggota pers atau media, serta semua entitas atau perorangan yang berpartisipasi dalam proses Pemilu dengan cara yang menghormati, tidak memihak dan netral secara politis; • Tidak mengkomunikasikan kepada setiap orang atau sumber lainnya setiap informasi atau dokumen yang diketahui mereka yang karena tugasnya mereka mengetahui atau seharusnya mengetahui yang belum dipublikasikan, kecuali sebagaimana mestinya dalam pelaksanaan tugas mereka yang normal atau lewat otorisasi dari Komisi; • Tidak menyimpan dokumen-dokumen lebih lama daripada yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas mereka. Kewajiban ini tidak berhenti setelah berakhirnya tugas mereka dengan ECC; • Tidak menunjukan melalui busana, kepemilikan barang, atau tidakan, sikap, atau pidato yang mendukung salah satu partai politik atau kandidat;
133 Brazil Superior Electoral Court, supra note 6.
58
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
• Melaksanakan tugas dan membuat keputusan dengan jujur dan transparan dengan bekerjasama sejauh yang diperbolehkan dalam Undang-undang dengan para Pengamat, Perwakilan, Pemilih, Kandidat dan anggota pers atau media; • Tidak memanfaatkan atau berupaya memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, dan tidak mengupayakan atau menerima berbagai instruksi dari para pejabat atau otoritas pemerintah dan non-pemerintah, kecuali diizinkan oleh Undang-undang; • Mengumumkan setiap kepentingan pribadi yang terkait dan berbenturan dengan dengan tugas mereka di ECC dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan semua konflik tersebut agar selaras dengan tugas-tugas mereka; • Menghormati kerahasiaan surat suara; • Melindungi privasi setiap orang atau informasi yang bersifat rahasia; • Membiasakan mereka dengan seluruh Undang-undang Pemilu, peraturan, aturan dan tata tertib ECC yang relevan, dan Komisaris wajib, kapan pun memungkinkan menghadiri rapat-rapat ECC.
kesalahan prilaku dan malpraktik. Efisiensi para hakim dan arbiter tergantung kepada berbagai keterampilan dan pelatihan yang mereka jalani, tetapi tim arbitrase juga memperoleh manfaat dari staf pendukung yang memenuhi syarat. Sebuah proyek IFES di Timor-Leste memusatkan perhatian pada merekrut dan mempertahankan staf pendukung dengan serangkaian keterampilan yang dibutuhkan. IFES merekomendasikan Komisi Pemilu Nasional (National Elections Commission) untuk mempekerjakan staf yang memenuhi syarat dan, lebih khusus lagi, bahwa tim yang menangani keberatan mempekerjakan seorang ahli teknologi informasi, pengacara dan satu pegawai administrasi.134 Badan penanganan seharusnya mengatur perilaku stafnya, dan seharusnya mengadopsi pedoman perilaku (code of conduct) bagi para hakim dan komisioner-nya (lihat kotak di halaman sebelumnya untuk sebuah pedoman perilaku yang disusun oleh Komisi Keberatan Pemilu Afganistan [Afghanistan Electoral Complaints Commission]). Anggota staf harus diberikan sanksi seperti halnya hakim jika mereka melakukan kesalahan yang sebanding. Hal ini akan menciptakan tanggung jawab yang sepadan dengan tugas sipilnya. Para arbiter seharusnya bertanggung jawab 134 IFES, Timor-Leste: Development of a National Electoral Framework 26-27 (2008) (setelah ini disebut IFES Timor-Leste Report).
59
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
terhadap pelanggaran mereka dalam memproses suatu gugatan. Mereka seharusnya bertanggung jawab terhadap para pihak dan pemerintah yang mengharuskan mereka menjadi lebih waspada ketika menguji sebuah keberatan. Sebuah studi tentang Pengadilan Pemilu (Electoral Court) di Uruguay, telah mengungkapkan bahwa para anggotanya dicalonkan berdasarkan keterampilan profesional mereka dan bahwa staf yang ada pada umumnya terlatih dengan baik, namun kekurangan sumber daya yang layak untuk menjalankan suatu sistem yang efisien.135 Dengan adanya beberapa kebutuhan yang saling bersaing atas sumber daya domestik, ini adalah pintu masuk utama bagi bantuan komunitas donor internasional; namun seluruh bantuan seharusnya dirancang dengan tujuan akhir menciptakan sistem yang berkelanjutan dengan sendirinya.
4. Sebuah Sistem Mampu Mempercepat Putusan secara Yudisial Karena legitimasi keseluruhan pemerintah terletak pada keabsahan hasil Pemilu, proses penanganan keberatan harus dilakukan secara cepat. Pentingnya jadwal telah diakui secara luas oleh berbagai konvensi dan traktat internasional, walaupun bahasanya mungkin berbeda. Sebagai contoh, sifat penyelesaian keberatan yang sensitif terhadap waktu membutuhkan rangkaian proses yang berlangsung “dalam waktu yang masuk akal” atau “tanpa penundaan yang tidak semestinya”.136
A. Proses Persidangan Yang Cepat Pentingnya tindakan perbaikan yang tepat waktu telah diakui oleh pengadilan sebagai hal yang tidak dapat lepas keterkaitannya dengan partisipasi publik yang adil dalam pemerintahan dan Pemilu. Harus terdapat batas waktu untuk menyelesaikan keberatan Pemilu.137
135 Staino, supra note 6, at 1-2. 136 ICCPR, supra note 11, art. 14, § 1 (c) ; American Convention, supra note 14, art. 8; European Convention, supra note 26, art 6, § 1; lihat juga Autheman, supra note 51, at 6. 137 SADC Parliamentary Forum, Norms and Standards for Elections in the SADC Region 15 (2001) [setelah ini disebut SADC Norms], dapat dilihat di http://aceproject.org/ero-en/ regions/africa/regional-resources-africa/sadcpf_electionnormsstandards.pdf/view.
60
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Dalam perkara Kwiecien v Poland, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights) mengakui legalitas proses sumir yang dilakukan dibawah Undang-undang Pemilu daerah, menyatakan bahwa “rangkaian proses perkara seperti ini dilaksanakan dalam batas waktu yang sangat pendek… tindakan perbaikan sederhana semacam itu selama periode kampanye Pemilu (lokal dan nasional) berlaku sebagai tujuan yang absah dalam memastikan keadilan dalam proses Pemilu dan karenanya tidak dapat dipertanyakan dari sudut pandang Konvensi.”138 Ketepatan waktu mempersyaratkan negara untuk mengupayakan dua langkah: (1) memastikan bahwa Undang-undang secara substantif dan prosedural mengatur masalah waktu tersebut; dan (2) memberikan pengadilan atau komisi yang bertanggung jawab terhadap penanganan keberatan Pemilu dengan kemampuan dan sumber daya untuk memenuhi batas waktu sebagaimana dinyatakan di dalam Undang-undang. Sementara ahli internasional setuju bahwa tenggat waktu untuk mengajukan atau memutuskan sebuah keberatan atau gugatan seharusnya ditetapkan dalam Undang-undang Pemilu atau peraturan yang semestinya. Kerangka waktu dapat dibuat singkat asalkan sidang pembacaan keberatan Pemilu dapat memastikan tersedianya jadwal selama jangka waktu Pemilu atau memprioritaskan secara efektif kasus-kasus terkait Pemilu. Penundaan dalam proses penanganan keberatan dapat merusak kepercayaan publik dan mendelegitimasi sebuah pemerintahan. Sebagai contoh, di Nigeria sebuah sengketa Pemilu muncul terkait pemilihan gubernur tanggal 14 April 2007 di Negara Bagian Ekiti, setelah INEC mengumumkan Tn. Olusegun Oni dari People’s Democratic Party sebagai pemenang. Kandidat partai oposisi, Dr. Kayode Fayemi dari Action Congress mengugat Pemilu tersebut di Tribunal Gugatan Pemilu (Election Petition Tribunal) dan menuduhnya melakukan malpraktik, dalam bentuk surat suara ganda dan manipulasi daftar pemilih.139 Walaupun persyaratan Bagian 148 dari Undang-undang Pemilu (Electoral Act) 2006, yang menyebutkan bahwa “sebuah gugatan Pemilu dan banding yang muncul dari gugatan tersebut … wajib diberikan sidang pembacaan gugatan/
138 Kwiecien v. Poland, Eur. Ct. J. R., App. No. 51744/99, Putusan 9 Januari 2007, ¶ 55. 139 Oni v. Fayemi, [2009] (C.A.) (Nigeria); lihat juga Demola Akinyemi et al., Court Secks Oni, Orders Fresh Polis in Ekiti, Vanguard, 18 Feb 2009, dapat dilihat di http://allafrica.com/ stories/200902180002.html.
61
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
pembelaan (hearings) yang dipercepat dan wajib diprioritaskan diatas seluruh kasus atau urusan lainnya di hadapan Sidang atau Pengadilan,”140 sistem pengadilan Nigeria membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk menyelesaikan sengketa ini.141 Baru pada tanggal 17 Februari 2009, Pengadilan Banding memerintahkan Pemilu ulang di beberapa daerah dari negara tersebut. Selama waktu itu, Gubernur Oni telah dua tahun menjabat. Menyusul keputusan Pengadilan Banding, negara bagian Ekiti menyelenggarakan Pemilu ulang pada bulan April 2009; namun, tingkat kehadiran pemilih rendah dan gugatan Pemilu lainnya diajukan kepada badan penanganan keberatan Pemilu terkait Pemilu ulang. Menurut para pengamat, penundaan terkait keberatan Pemilu tahun 2007 telah menciptakan krisis legitimasi dan kredibilitas yang mendalam di negara Bagian Ekiti. Walaupun konsekuensi penundaan dua tahun, namun keputusan hakim dipandang oleh beberapa pihak sebagai batu loncatan yang lain dari peradilan Nigeria, yang menyatakan optimisme dimana demokrasi negara tersebut akan terus membaik cepat ataupun lambat.”142 Harus juga dicatat bahwa sistem penanganan keberatan Pemilu di Nigeria telah mengalami kemajuan yang berarti dari waktu ke waktu. Pada Pemilu 1999 dan 2003, dibutuhkan waktu kira-kira lima tahun bagi sebuah gugatan untuk ditangani. Dalam kasus lainnya, beberapa keberatan hanya diabaikan begitu saja oleh hakim. Setelah Pemilu 2003, para pemangku kepentingan domestik dan ahli internasional melakukan upaya yang sangat besar untuk memperkuat proses penanganan keberatan Pemilu di Nigeria. Para ahli Pemilu internasional berpartisipasi dalam pelatihan para hakim untuk Tribunal Banding Pemilu (Electoral Petition Tribunals) pada tahun 2006 dan 2007 dan memperkenalkan teknik-teknik manajemen perkara, termasuk prosedur pra-peradilan.143 Awalnya, para ahli Pemilu menghadapi penolakan dari para hakim Nigeria. Untuk mengatasi penolakan ini, para ahli harus
140 Electoral Act 2010 § 142 (Nigeria), dapat dilihat di http://placng.org/Electoral Act2010asGazetted.pdf. 141 Ketentuan dari Undang-undang Pemilu ini menyerukan bagian 294 (1) dari Konstitusi Nigeria yang menyatakan bahwa “setiap pengadilan yang didirikan di bawah Konstitusi ini wajib menyampaikan keputusannya secara tertulis tidak lebih dari sembilan puluh hari setelah bukti terkumpul dan keputusan diambil.” Constition of the Federal Republic of Nigeria (1999) § 294 (1). 142 Akinyemi et al,. supra note 140. 143 IFES, Support to the Electoral Process in Nigeria: Final Report 35-39 (2009). Barry Weinberg dan Judge Nikki Ann Clark berpartisipasi dalam pelatihan para hakim untuk Pengadilan Banding Pemilu pada tahun 2006 dan 2007, Id.
62
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
mengatasi tingkat akseptabilitas dari penundaan yang berkepanjangan yang menyengsarakan proses gugatan Pemilu. Karena upaya kerjasama Ketua Pengadilan Banding (President of the Court of Appeals) YM Umaru Abdullahi, CON, pembaruan diundangkan yang memperbaiki proses penanganan keberatan. Menyusul Pemilu tahun 2007, dibutuhkan waktu dua tahun bagi tribunal Pemilu untuk memutuskan kasus yang disebutkan di atas, tetapi lebih dari 85 persen dari keberatan yang masuk dapat diselesaikan sampai bulan Mei 2008. Bahkan jika masih terdapat penundaan dalam penanganan keberatan di Nigeria, keberhasilan tersebut seharusnya digarisbawahi. Perbaikan proses penanganan keberatan di Nigeria telah membawa dampak positif yang jelas bagi kepercayaan publik dalam sistem Pemilu secara keseluruhan. Gugatan Pemilu presiden 2001 di Republik Zambia juga menggambarkan kebutuhan penanganan keberatan yang tepat waktu. Setelah Pemilu, sebelas partai politik yang maju dalam Pemilu presiden menghadap ke Pengadilan Zambia menggugat adanya penyimpangan. Baru pada tanggal 16 Februari 2005 Mahkamah Agung menerbitkan keputusan akhirnya dan mempertahankan bahwa Pemilu presiden tahun 2001 adalah sah walaupun jika beberapa surat suara cacat.144 Meskipun begitu, langkah-langkah positif telah diambil oleh negara untuk menghindari berulangnya penundaan yang lama seperti itu dalam proses penanganan keberatan Pemilu. Pada tahun 2006, Undang-undang Pemilu diubah untuk memasukkan ketentuan bahwa “sebuah gugatan Pemilu wajib diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi dalam seratus delapan puluh hari setelah keberatan ini diterima.”145
144 U.N. Human Rights Comm, Zambia’s Responses to the List of Issues From the Human Rights Committee Relating to the Periodic Report on the International Covenant on Civil and Political Rights 18 [setelah ini disebut Respons Zambia] (“Pihak negara ingin mengakui fakta bahwa suatu penundaan memang terjadi dalam penyelesaian kasus tersebut dan alasannya adalah, pertama-tama Undang-undang pada saat itu tidak memberikan kerangka waktu berapa lama gugatan Pemilu harus ditangani dan kedua, terdapat banyak penundaan yang timbul dari kedua belah pihak yang berperkara.” Dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrc/docs/AdvanceDocs/zambia_replies90. pdf; U.S. Department of State, Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, Zambia: 2005 Report (2006), dapat dilihat di http://www.state.gov/g/drl/rls/hrrpt/2005/61599.htm. 145 Hukum Pemilu No. 12 (2006), § 102(1) (Zam.) (“Suatu gugatan Pemilu wajib disidangkan dan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi dalam sebuah sidang terbuka, dalam waktu seratus delapan puluh hari sejak pendaftaran gugatan Pemilu sebagaimana dinyatakan dalam bagian sembilan puluh tujuh: Jika gugatan Pemilu tidak disidangkan dan diputuskan dalam jangka waktu yang disebutkan dalam sub-bagian karena kegagalan pemohon gugatan untuk secara aktif memperkarakan gugatan, Pengadilan Tinggi akan membatalkan gugatan untuk penuntutan.”). dapat dilihat di http://aceproject.org/ero-en/region/africa/ ZM/ElectoralAct2006.pdf.
63
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Republik Zambia menjelaskan reformasi ini dalam sebuah laporan kepada Komite Hak Asasi Manusia PBB (U.N. Human Rights Committee) untuk menunjukkan kepatuhannya pada ICCPR.146 Contoh lain dari penundaan dalam memutuskan masalah keberatan Pemilu terlihat dalam sistem penanganan keberatan Pemilu di Pakistan. IFES melaksanakan sebuah proyek untuk memantau proses penanganan keberatan Pemilu di Pakistan dari Februari hingga November 2008, dan menemukan bahwa secara kasar 39 dari 220 gugatan Pemilu diajukan pada Pemilu 2002 tetap tidak terselesaikan pada tahun 2008.147 Sementara Undang-undang Pemilu menetapkan batas waktu empat bulan untuk menyelesaikan penanganan suatu keberatan Pemilu, dalam praktiknya beberapa keberatan tetap tidak terselesaikan lima tahun sesudahnya, menjadikannya berlarut-larut. Jelas bahwa Pakistan belum memenuhi kewajibannya di bawah berbagai traktat dan konvensi internasional yang mengikatnya namun, ECP nampaknya telah mengupayakan dengan iktikad baik untuk menanggapi isu ini dan telah memperhitungkan pentingnya menghindari penundaan yang berkepanjangan dalam penanganan keberatan Pemilu. Secara khusus, ECP mengadakan lokakarya pembaruan Pemilu di bulan Juni 2008 untuk membahas, beberapa masalah diantaranya, isu penyelesaian gugatan oleh pengadilan Pemilu yang melebihi jangka waktu yang ditetapkan.148 Ahli hukum IFES membuat pengamatan yang serupa terkait penundaan dalam sidang keberatan dari Pemilu 2004 di Filipina. Laporan penilaian IFES menyatakan bahwa keberatan dan proses penanganan berisi “pengamanan proses hukum yang substansial”, namun “rumit, sangat lambat, dan terbebani oleh berbagai keberatan yang tidak perlu.”149 Laporan tersebut merangkum berbagai faktor berbeda yang menjelaskan penundaan dalam gugatan Pemilu (electoral contest), seperti tumpukan
146 Zambia Response, supra note 145, at 18. 147 Peter Lepsch, IFES, Pakistan, Post-Election Community-Based Mediation and Adjudication Program: Election Tribunal Monitoring Project, Laporan Akhir 6 fase satu dan dua (2008). 148 IFES dan Pakistan Election Commission melaksanakan lokakarya National Electoral Reform, Aceproject.org, http://aceproject.org/today/feature-articles/ifes-and-pakistanelection-commission-host(terakhir dikunjungi 8 Jan, 2011). 149 Peter Erben et al., IFES, CEPPS Philippines Election Observation Program: Strengthening the Electoral Process, Final Report 1, 26-29 (2004), dapat dilihat di http://www.ifes.org/pu blication/899bba68af1bc80415544d96cce580a9/Philippines_2004_ElectionReport.pdf.
64
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
kasus yang ditangani atau pengabaian tenggat waktu yang ditetapkan legislatif. Karena ketidakpercayaan yang menjadi endemik di antara para pemangku kepentingan Pemilu, banyak keberatan yang tidak tulus dan dimaksudkan hanya untuk mengganggu kandidat lainnya.150 Terlebih lagi, tidak ada mekanisme untuk menghindari gugatan yang sembarangan atau memprioritaskan gugatan yang paling penting.151 Elemen-elemen ini merupakan faktor-faktor yang dapat mendorong rangkaian kasus Pemilu yang panjang. Berlimpahnya kasus gugatan dan kurangnya sumber daya untuk menangani atau membatalkan kasus tersebut juga merupakan penyebab yang jelas dari tertundanya penyelesaian keberatan Pemilu. Mahkamah Agung Di Ghana juga telah menekankan dibutuhkannya penetapan pedoman waktu yang jelas bagi para hakim dan publik. Hakim Georgina T. Wood, Ketua Mahkamah Agung Ghana, menyatakan pada Juli 2008 bahwa dia “menghargai fakta serius bahwa faktor pengaman yang penting dari integritas Pemilu terletak pada penyelesaian yang efektif dari keberatan dan banding dengan waktu penundaan sesedikit mungkin,”152 dan menjelaskan bahwa “peradilan memiliki berada pada posisi yang baik dan telah dilengkapi untuk menangani semua sengketa Pemilu dalam waktu yang masuk akal dengan cara yang kompeten, cepat dan efisien”.153 Terlebih lagi, Mahkamah Agung Ghana mengakui “pertanyaan terpenting tentang jadwal untuk membuat rujukan ke Pengadilan Tinggi”.154 Dalam perkara Republic v High Court, Pengadilan berpendapat bahwa “ketika tidak terdapat perselisihan fakta yang dipersengketakan, baik untuk sebuah keputusan tentang apakah ada sebuah pertanyaan yang sesungguhnya untuk ditafsirkan telah muncul, atau untuk suatu formulasi isu-isu untuk pertimbangan, maka pertimbangan tersebut harus dibuat tanpa penundaan.”155 Pengadilan harus dilaksanakan dengan jadwal yang mengakomodasi pentingnya waktu dalam penyelesaian keberatan Pemilu.
150 Id, di 27. 151 Id, at 27-29. 152 Kata Pengantar Ghana Manual, supra note 7. 153 Id. 154 Republic v. High Court (Fast Track Division) Accra, (2006), S.C.G.L.R. 514, 539 (Ghana), dapat dilihat di http://www.judicial.gov.gh/c.i/content/EXPARTEELECpercent20CIMMI(METTLE-NUOO,htm. 155 Id.
65
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pengadilan bukan satu-satunya lembaga yang mengakui pentingnya penjadwalan dalam urusan Pemilu. Apakah keberatan Pemilu diselesaikan oleh sistem peradilan ataupun oleh lembaga independen, Undang-undang Pemilu seharusnya memberikan proses yang cepat. Memang Komisi Pemilu Tinggi Independen (Independent High Electoral Commission) di Irak, dalam Pasal 7 § 2 dari Undang-undang Pemilunya, menyatakan bahwa “Dewan wajib mengundangkan prosedur yang diperlukan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, termasuk prosedur untuk mengajukan suatu gugatan dan melaksanakan penyelidikan faktual yang dipercepat, dan dapat mendelegasikan kewenangan penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan tingkat pertama pada Administrasi Pemilu (Electoral Administration).156 Hakim atau arbiter seharusnya kemudian melakukan berbagai upaya yang diperlukan untuk menyelesaikan isu tersebut secepat mungkin. Para sarjana dan organisasi non-pemerintah terus menerus menekankan pentingnya proses penanganan perkara yang cepat dalam penanganan keberatan Pemilu.157 Pada tahun 1994, National Democratic Institute merancang beberapa rekomendasi terkait sengketa hasil Pemilu di Namibia, yang menyatakan bahwa “prosedur untuk menggugat hasil Pemilu … dapat membuat kontestan politik dan pemilih dalam situasi ketegangan yang tidak mudah, terkait keabsahan hasil Pemilu bagi kabinet yang akan digugat. Oleh karena itu, mungkin akan lebih layak 156 Independent High Electoral Commission of Iraq, Coalition Provisional Authority, Order No. 92. Art 7 § 2, 31 Mei, 2004, dapat dilihat di http://www.ihec.iq/download/cpa_92_ieci_ en.pdf. 157 Robert Dahl, IFES legal policy advisor, menegaskan bahwa “hampir seluruh demokrasi menyediakan beberapa bentuk upaya hukum terkait masalah Pemilu, baik melalui hirarki peradilan yang normal atau tinjauan yang dipercepat oleh pengadilan-pengadilan tingkat yang lebih tinggi.” Robert A. Dahl, IFES, Electoral Complaints Adjudication and Dispute Resolution: Key Issues and Guiding Principles 3 (2008) dapat dilihat di http://210.69.23.129/ download/d_6/IFES.doc. Carter Center menangani isu yang sama setelah Pemilu Presiden Ghana tahun 2008, yang menemukan bahwa “rintangan utama terkait penyelesaian sengketa Pemilu di Ghana adalah rendahnya kepercayaan rakyat pada kemampuan pengadilan untuk memberikan respon yang tepat terhadap keberatan terkait Pemilu.” Preliminary Report, Carter Center Finds Ghana’s Presidential Run-Off Elections Credible and Peaceful, The Carter Center (30 Des, 2008), http://www.cartercenter.org/news/pr/ ghana_prelim_123008.html [setelah ini disebut Carter Center Ghana Report]. Tetapi Ghana nampaknya telah memahami pentingnya penjadwalan. Memang misi peninjau Pemilu EU di Ghana mengakui bahwa “walaupun salah satu kekurangan dari sistem permohonan banding (appeal) adalah tidak adanya tenggat waktu yang diharuskan oleh Undangundang.” Chief of Justice memprioritaskan “kasus terkait Pemilu di dalam pengadilan.” E.U. Election Observation Mission, Final Report: Presidential and Parliamentary Election 2008 Ghana, at 27 (2009). Carter Center menambahkan bahwa sebagai contoh pengadilan mendirikan cabang-cabang khusus untuk menyidangkan kasus, dan menyetujui “jam kerja di akhir minggu bagi pengadilan.” Carter Center Ghana Report, supra.
66
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
untuk mempertimbangkan berbagai mekanisme untuk menerima dan memproses keberatan-keberatan tersebut dengan cara yang lebih cepat.”158 Situasi ketegangan ini dapat langsung menyebabkan runtuhnya sistem-sistem demokrasi; tenggat waktu yang spesifik dan sumber daya yang memadai harus tersedia untuk mendukung prosedur penanganan perkara yang dipercepat sebagai bagian dari sistem keberatan Pemilu yang berfungsi dengan baik.159 Selain prosedur yang menyulitkan, keberatan yang sembarangan, atau ketidakmampuan untuk memprioritaskan dan mendahulukan keberatan yang paling parah, suatu putusan yang diproses melalui percepatan dapat dibatasi faktor struktural lain dalam badan penanganan, termasuk tidak cukupnya jumlah staf dan sumber-sumber daya yang ketinggalan zaman atau terbatas.160 Dalam rangka memutus tanpa penundaan yang berlebihan, seorang arbiter akan memerlukan teknologi dan logistik yang memadai serta dukungan staf penuh, yang memenuhi syarat.161 Ketika merancang proses keberatan Pemilu, penting juga untuk menghindari pemecahan tahap penanganan keberatan Pemilu secara berlebihan. Makin banyak lembaga terlibat dalam proses keberatan Pemilu, makin besar peluang penundaan. Memang jika entitas lain, seperti polisi, diberi mandat untuk menyelidiki keberatan tersebut, maka badan penyelenggara Pemilu secara umumnya akan berkurang kontrolnya terhadap proses penjadwalan. Dalam demokrasi yang sedang berkembang, badan penanganan keberatan biasanya tidak memiliki sumber-sumber daya yang diperlukan untuk mengambil langkah-
158 NDI, Comments on the Namibian Presidential and National Assembly Elections 8 (1994), dapat dilihat di http://www.accessdemocracy.org/files/150_na_comments.pdf. 159 Lihat National Democratic Institute & Carter Center, Statement of the NDI/Carter Center Pre-Election Delegation to Liberia’s 2005 Election 2 (9 September 2005) (“Untuk membangun kepercayaan publik dalam ketidakberpihakan proses keberatan Pemilu, NEC seharus nya merangkum dan mempublikasikan metodologinya untuk menyelesaikan berbagai keberatan terkait Pemilu. Jadwal NES seharusnya tidak digunakan untuk mengganggu proses Pemilu. Sumber daya yang mencukupi seharusnya didedikasikan untuk menjamin bahwa jumlah keberatan potensial dapat diproses dengan tidak memihak dan dengan basis dipercepat dengan transparansi yang memadai sesuai dengan persyaratan due process dan kesetaraan di hadapan hukum.”) dapat dilihat di http://www. ndi.org/files/1907_lr_statememt_090905.pdf. 160 Vickery, supra note 34, at 15, 25. 161 Organization of African Unity, Declaration on the Principles Governing Democratic Elections in Africa, 38th Ordinary Sess., arts II(4), III (c ), AHG/decl. 1 (xxxviii) (8 Juli 2002) [setelah ini disebut African Elections Declaration], dapat dilihat di:///www.au2002.gov.za/ docs/summit_council/oaudec2.htm.
67
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
langkah dalam proses penanganan keberatan.162 Dalam beberapa kasus dimana beberapa pihak terlibat, dibutuhkan penyusunan mekanisme pengamanan dan akuntabilitas yang akan menghindari penundaan yang berlebihan atau kesalahan pengelolaan keberatan. Pengadilan Pemilu atau komisi keberatan harus menyediakan prosedur yang cepat dalam urusan Pemilu, karena terdapat hubungan yang jelas antara prosedur tersebut dan legitimasi pemerintah yang akan datang.163 Namun, mempertahankan prosedur yang tepat memerlukan kesimbangan yang hati-hati antara kebutuhan untuk bertindak secara cepat dan kebutuhan untuk menilai secara hati-hati apakah keadilan telah ditegakkan, sebagaimana akan dibicarakan di bawah.
B. Keseimbangan Kepentingan: Pelaksanaan Peradilan yang Baik Seperti setiap standar hukum, pentingnya tenggat waktu yang sensitif memiliki keterbatasan. Keputusan yang cepat tidak dapat dibuat untuk mencederai hak atas suatu pengadilan yang adil dan kemampuan untuk mempersiapkan pembelaan. Administrasi peradilan yang baik memerlukan prinsip-prinsip seperti kesetaraan di muka pengadilan, hak seseorang untuk didengarkan dalam pembelaannya dan hak untuk menjalani pengadilan terbuka yang kompeten, independen dan tidak memihak.164 Konsep proses hukum yang berlaku (due process) menjunjung seluruh hak dan prinsip ini dijamin dalam konvensi hak asasi manusia internasional dan regional utama.165 Konsep ini juga dikenal dalam rezim hukum domestik; sebagai contoh Mahkamah Agung Ghana menyatakan bahwa Pengadilan perlu untuk bertindak “dalam kepentingan utama untuk keadilan untuk mencegah ilegalitas dan kegagalan pengadilan dan juga juga memastikan keadilan 162 IFES, The Kingdom of Thailand, Analysis and Issues for Consideration: The Organic Act on Election of Members of the House of Representatives and Installation of Senators and the Organic Act on the Election Commission 10-11 (2008) [setelah ini disebut Kingdom of Thailand Report]. 163 Editorial, Nigeria: Ekiti Re-Run Tribunal – Against Endless Proceedings, Daily Indep. (Lagos, Nigeria), 28 Juli 2009, dapat dilihat di http://allafrica.com/stories/200907280196. html 164 U.N. Human Rights Comm., CCPR General Comment No. 13, Art. 14: Equality Before The Court and The Right To A Fair and Public Hearing By An Independent Court Established By Law, U.N. Doc. HRI/GEN/1/Rev.1 at 14 (1994) [setelah ini disebut CCPR General Comment No. 13], dapat dilihat di http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/0/bb722416a295f264c12563ed 0049dfbd?Opendocument. 165 ICCPR, supra note 11, art. 10, 11, 14, 15, 16; African Charter, supra note 14, arts, 6,7,25.
68
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
dan memfasilitasi penyelesaian kasus secara cepat.166 Dengan demikian, secara umum diakui bahwa penanganan perkara yang dipercepat sangat penting dalam penanganan keberatan Pemilu, tetapi seharusnya tidak secara drastis mengurangi jaminan untuk pelaksanaan proses hukum. Para ahli hukum juga mengaku pentingnya pelaksanaan proses hukum dan keterbatasan yang terjadi dalam pembuatan keputusan yang dipercepat, sebagaimana diakui dalam pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dalam Electoral Commission v Bakireke (Pengadilan Banding Uganda).167 Hakim S.B.K Kavuma menekankan bahwa “yang dimaksud waktu yang ‘memadai’ [hak terhadap waktu dan fasilitas yang memadai bagi persiapan pembelaan] akan tergantung sifat persidangan dan situasi faktual dalam sebuah kasus. Faktor-faktor yang perlu diperhitungkan termasuk kompleksitas kasus tersebut, akses tergugat terhadap bukti, batas waktu yang diberikan Undang-undang domestik untuk beberapa tindakan dalam rangkaian persidangan (proceedings), dll.”168 Hakim Kavuma merujuk pada Pedoman Pengadilan yang Adil dari Amnesti Internasional (Amnesty International Fair Trial Manual) yang menyatakan,” hak untuk pengadilan dalam waktu yang masuk akal dapat diimbangi dengan hak untuk waktu yang memadai untuk mempersiapkan sebuah pembelaan.”169 Di kasus Uganda, pemohon banding, diberikan waktu hanya 20 hari untuk menanggapi tuduhan dari kesaksian tertulis sementara tergugat memiliki lima bulan untuk mengumpulkan bukti yang kemudian dibawa ke pengadilan. Sementara penanganan keberatan Pemilu yang cepat merupakan kunci keefektifan proses tersebut, elemen yang menjamin sebuah administrasi
166 British Airways v. Att’y Gen. [1996-97] S.C.G.L.R. 547, 552-53, 554 (Ghana); lihat juga Constitution of the Republic of Ghana, 28 April 1992, pasal 135. 167 Electoral Commission v. Bakireke, (2009) U.G.C.A. 12 (Ct. App.) (Uganda), dapat dilihat di http://lawviatheinternet.org/ug/cases/UGCA/2009/12.html. 168 Id. (Kavuma, J,. dissenting) (mengutip Lawyers Committee for Human Rights, Basic Guide to Legal Standards and Practice 16 (2000), dapat dilihat di http://www.humanrightsfirst. org/pubs/descriptions/fair_trial.pdf). 169 Id (mengutip Amnesty International, Fair Trials, Manual § A, ch. 8 (1998), dapat dilihat di http://www/amnesty.org/en/library/asset/POL30/002/1998/en/94799f9-d9b1-11dd-af2bb1f6023af0c5/pol300021998en.html).
69
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
peradilan yang layak, seperti hak untuk menyiapkan sebuah pembelaan, seharusnya dipertimbangkan dan seharusnya tidak dirongrong.170 Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa berbagai persyaratan ini harus dipenuhi secara cukup ketika melaksanakan upaya-upaya penanganan yang cepat. Sebagai contoh, setelah Pemilu 2009 di Afganistan, ECC – karena luasnya cakupan kecurangan yang dituduhkan dan terbatasnya waktu untuk mengadakan putaran kedua sebelum musim dingin – memilih untuk menggunakan metode sampling untuk penghitungan ulang dalam rangka memperoleh hasil cepat. Pendekatan ini dilakukan untuk mengatasi situasi khusus yang dihadapi badan penanganan keberatan dalam sebuah negara pasca-konflik dan mungkin telah mencegah krisis konstitusional dan kericuhan politik; namun semenjak dibuatnya keputusan ini, ECC telah menghadapi pertanyaan tentang kredibilitas dan legitimasinya. Singkatnya, karena Pemilu adalah peristiwa politik yang sensitif terhadap waktu yang membagi kekuasaan negara dan memberikan legitimasinya kepada pemerintah, sebuah penyelesaian keberatan yang tepat waktu merupakan hal yang amat penting. Persyaratan ini telah dicatat secara teratur oleh berbagai konvensi internasional, putusan pengadilan, laporan LSM dan para sarjana. Namun, dengan mempertimbangkan pertaruhan yang dilibatkan dan sebagaimana telah ditunjukkan oleh kasus-kasus yang telah dibahas, badan penanganan seharusnya melakukan setiap upaya untuk menemukan keseimbangan yang layak antara penyelesaian perkara secara cepat dan keadilan proses penanganan keberatan itu sendiri.
5. Penentuan Beban Pembuktian dan Standar Pembuktian Prinsip pedoman lainnya dalam melakukan penanganan keberatan Pemilu adalah penentuan beban pembuktian dan standar pembuktian yang adil. 170 Lihat juga Boddaert v. Belgium, 16 Eur.Ct. H.R. 242 ¶ 39 (1992) (“Article 6 of the European Convention) memerintahkan bahwa rangkaian proses peradilan haruslah singkat, tetapi juga meletakkan prinsip yang lebih umum dari administrasi peradilan yang baik.” Pengadilan menegaskan bahwa gagasan pada tahun 2007, yang menyatakan bahwa “meskipun pemeriksaan sengketa terkait Pemilu yang cepat adalah sangat diinginkan, hal tersebut seharusnya tidak menghasilkan pengurangan yang berlebihan dari jaminan prosedural yang layak bagi para pihak seperti rangkaian proses persidangan khususnya bagi si tergugat.” Kwiecie v. Poland, Eur.Ct.H.R.,App. No 51744/99, Keputusan 9 Jan. 2007, ¶ 55. See also Boddaert v. Belgium, 16 Eur. Ct. H.R. 242 ¶ 39 (1992)
70
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Pedoman-pedoman ini harus dibentuk jauh sebelum terjadinya keberatan, sehingga para pihak yang terlibat akan telah memperhatikan dan memiliki pemahaman yang masuk akal tentang apa yang dibutuhkan kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut.171 Adalah negara yang memilih untuk mendefinisikan standarnya, definisi ini harus dapat diketahui oleh kedua belah pihak dan tribunal sebelum sidang dimulai, dan lebih baik lagi jika dapat diketahui sebelum Pemilu diadakan. Sekali ditetapkan, standar ini harus ditaati pada selama proses persidangan (proceedings). Melakukan hal yang sebaliknya – sebagai contoh, dengan menerapkan standar sementara (ad hoc) ketika pengadilan digelar atau memberlakukan standar yang berbeda terhadap pengadu yang berbeda dalam masalah yang sama– akan menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan ketidakberpihakan tribunal, dan akan menimbulkan keraguan tentang legitimasi keseluruhan proses (dan bisa jadi Pemilu secara keseluruhan), terlepas dari hasil dari seluruh rangkaian persidangan.
A. Beban Pembuktian Dalam hampir semua sistem hukum, beban pembuktian merupakan tanggung jawab dari pihak yang mengajukan tuduhan.172 Sebagai contoh, di Inggris merupakan hal yang “adil untuk menempatkan beban pembuktian kepada orang yang secara positif menyatakan sebuah keadaan tertentu, daripada orang yang menolak keadaan tersebut terjadi, mengingat kesulitan yang timbul karena bukti yang berlawanan diperlukan.”173 Pengadilan mengakui bahwa prinsip ini bersifat umum dalam setiap tindakan hukum perdata.174 Pada gugatan Pemilu, beban pembuktian pada umumnya akan jatuh pada orang yang menggugat hasil Pemilu atau menuduh pelanggaran dari pihak lainnya. Struktur ini menyiratkan adanya praduga keteraturan di pejabat
171 Hal ini merupakan ungkapan yang benar dalam hampir semua sistem hukum, dan hal tersebut jarang disinggung oleh para komentator dan pengadilan, bahkan dalam pernyataan resmi. Untuk contoh pengadilan yang membahas isu ini dalam sebuah konteks hukum non-Pemilu, lihat Panovits v. Cyprus, Eur.Ct.H.R., App. No. 4268/04, Putusan 11 Des 2008 ¶ 60. 172 Black’s Law Dictionary 196 (6th ed 1991) 173 McVicar v. United Kingdom, Eur. Ct. H.R., App. No. 46311/99, Keputusan 7 Mei 2002, ¶ 40. 174 Id. ¶ 41.
71
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
berwenang dan tindakan resminya.175 Ketika satu pihak menegaskan bahwa beberapa aspek Pemilu harus dibatalkan, para penggugat dapat untuk secara masuk akal diharapkan untuk membawa bukti untuk membuktikan tuduhan mereka. Mengharuskan pihak yang digugat untuk membuktikan secara tegas bahwa tidak terjadi pelanggaran atau penyimpangan merupakan undangan bagi kandidat atau partai yang kalah untuk melakukan gugatan sebagai sebuah bentuk pelecehan. Partai yang menang akan dipaksa untuk berusaha keras membuktikan keabsahan sebuah Pemilu dalam sidang yang berulang-ulang atau menghadapi kemungkinan bahwa hasil Pemilu yang sah terpaksa dibatalkan karena sulitnya membuktikan sebaliknya. Tetapi paling sedikit terdapat satu argumen yang mendukung beban pembuktian sebagai tanggung jawab pihak yang digugat: dalam kasus dimana kubu partai yang berkuasa atau pemerintah digugat oleh kaum minoritas, atau gugatan melawan badan penyelenggara Pemilu itu sendiri, pihak penggugat mungkin akan kekurangan sumber daya untuk mempertahankan gugatannya yang sah sebagaimana mestinya sementara pihak tergugat memiliki sumber daya untuk membuktikan Pemilu yang sah. Dalam kasus seperti itu, mungkin sudah sepantasnya untuk membagi beban pembuktian sengketa tersebut kepada pihak yang lebih kuat. Meskipun begitu, hal ini adalah tugas tidak biasa dari beban pembuktian untuk alasan yang disebutkan diatas, dan tidak terlalu didukung oleh prinsip negara hukum (rule of law) yang paling umum manapun. Singkatnya, dalam sebagian besar gugatan terkait keberatan Pemilu, beban pembuktian seharusnya berada pada pihak yang menuduh bahwa telah terjadi suatu kecurangan atau penyelewengan. Ini adalah cara umum bagaimana memahami implementasi beban pembuktian, dan beban tersebut hanya dibebankan kepada pihak tergugat, hanya dalam keadaan yang ekstrim atau untuk membuktikan suatu pembelaan diri afirmatif.
B. Standar Pembuktian Selain untuk menentukan pihak di dalam sengketa yang menanggung beban untuk membuktikan kasusnya, Undang-undang Pemilu seharusnya 175 Barry H. Weinberg, The Resolution of Election Disputes: Legal Principles That Control Election Challenges 16 (Edisi ke-2, 2008).
72
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
juga mendefinisikan sampai dimana pihak tersebut harus membuktikan kasusnya untuk meyakinkan arbiter atau pencari fakta bahwa pihak tersebut yang benar. Hal ini biasanya disebut sebagai “standar pembuktian”.Terdapat banyak standar yang berbeda yang diterapkan dalam sistem hukum di seluruh dunia, dan yang digunakan tergantung banyak faktor, termasuk tradisi hukum yang unik dari negara tersebut, tingkat keseriusan tuduhan yang diajukan, tingkat keseriusan tindakan perbaikan yang diupayakan, dan sifat pembuktian yang diajukan dalam persidangan. Saat ini tidak terdapat konsensus internasional tentang standar pembuktian yang harus dipenuhi penggugat dalam menuduh kecurangan atau pelanggaran Pemilu lainnya. Namun, terdapat tiga standar yang seringkali diterapkan dalam kasus-kasus Pemilu: preponderance of the evidence (bukti yang sangat kuat); evidence beyond a reasonable doubt (bukti yang sangat kuat dan tidak dapat dibantah); dan clear and convincing evidence (bukti yang jelas dan meyakinkan).176 “Preponderance of the evidence” juga disebut bukti yang lebih berbobot (greater weight of the evidence) atau keseimbangan atas kemungkinan (balance of probabilities), dan merupakan sebuah gagasan bahwa satu pihak telah memberikan bukti yang tampaknya lebih mungkin benar daripada tidak sama sekali. Ini merupakan standar umum yang diterapkan pada gugatan perdata, jika tidak pada sebagian besar sistem hukum.177 Karena keberatan Pemilu biasanya diperlakukan sebagai kasus perdata (ketimbang pidana), hal ini memungkinkan sebuah standar baku yang masuk akal untuk diterapkan dalam kasus Pemilu. Namun, terdapat beberapa kelemahan yang mungkin terjadi dalam penggunaan standar preponderance, karena mungkin membuktikan terlalu mudahnya sebuah standar yang harus dipenuhi penggugat dalam berbagai keberatan Pemilu. Sebagai sebuah persoalan praktis dan filosofis, untuk menegakkan negara hukum (rule of law), hasil Pemilu resmi telah memiliki praduga keabsahan dan harus tidak dibatalkan hanya karena terlihat ada suatu faktual yang cenderung mendukung si penggugat. Hasil Pemilu berdasarkan proses hukum dan 176 Lihat secara umum Huefner, supra note 25, at 313-14. 177 Id. Lihat juga Prodan v. Moldova, Eur. Ct. H.R., App. No. 49806/99, Keputusan 25 April 2006 (membahas seluruh tiga standar yang digunakan dalam hukum internasional): Dalam re Gen. Election 605 A 2d 1164 (N.J Super Ct Law Div. 1992) (membandingkan penggunaan sebagian besar pembuktian dan standar pembuktian yang jelas dan meyakinkan yang diusulkan di dalam kasus Pemilu A.S.).
73
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
administratif komplekslah yang seharusnya akan bertahan; jika tidak, hal ini akan menyebabkan ketidakpastian yang amat sangat tentang hasil Pemilu dan kewenangan pemerintah untuk terus menjalankan fungsinya.178 Di ujung spektrum yang lain, standar pembuktian beyond a reasonable doubt pada umumnya adalah standar yang wajib dipenuhi pada penuntutan pidana, dan jarang dipakai dalam kasus perdata. Di bawah standar ini, para pemohon diwajibkan untuk melampirkan bukti yang meyakinkan sehingga dapat diandalkan dan mengambil tindakan atasnya tanpa keraguan. Tetapi tidak berarti hal tersebut merupakan kepastian mutlak.179 Dalam setidaknya satu kasus Pemilu AS, pengadilan menerapkan standar “a reasonable doubt” ketika sebuah standar yang lebih ketat daripada “preponderance of the evidence” diperlukan.180 Penggunaan standar “a reasonable doubt” dalam kasus Pemilu merupakan hal yang layak ketika tindakan perbaikan sedang diupayakan bersama-sama dengan penuntutan pidana, khususnya di negara-negara seperti Nigeria yang mempersyaratkan standar“a reasonable doubt” bahkan dalam perkara perdata, jika gugatan perdata tersebut akan menimbulkan pertanyaan pelanggaran pidana.181 Tetapi sementara ahli hukum dan hakim di Nigeria telah mengingatkan bahwa, ”persentasi kasus-kasus Pemilu yang layak diajukan yang telah ditolak oleh pengadilan dan sidang (negara) kami dengan dasar…..bahwa penggugat gagal untuk membukti gugatannya dengan standar “beyond a reasonable doubt” adalah sangat mengkhawatirkan“.182 Dengan kata lain, standar “reasonable doubt” mungkin terlalu ketat untuk diterapkan dalam kasus-kasus Pemilu.
178 Lihat Huefner, supra note 25,at 314. 179 Lord Denning menunjukkan dalam Miller v. Minister of Pensions bahwa beyond a reasonable doubt tidak “perlu mencapai kepastian, tetapi harus mengandung probabilitas yang tinggi”. Pembuktian beyond a reasonable doubt tidak berarti pembuktian beyond the shadow of a doubt. Miller v. Minister of Pensions, [147] 2 All E.R.. 372, 372-74. 180 Roger v. Holder, 636 So, 2d 645 (Miss. 1994). 181 Lihat, contohnya, Evidence Act (1990), Cap. (112), § 138(1) (Nigeria) (“Jika kejahatan oleh satu pihak terhadap sebuah prosedur yang langsung dipertanyakan di sidang perdata atau pidana, hal tersebut harus dibuktikan dengan beyond a reasonable doubt.”), dapat dilihat di http://www.nigeria-law.org/EvidenceAct.htm#ProductionAndEffectOfEvidence. 182 Mimiko’s Case and The Issues of Burden and Standard of Proof in Election Petitions, Compass Nigeria, 17 Februari 2010, dapat dilihat di http://www.compasnewspaper. com/~compas/NG/index.php?option=com_content&view=article&Id=41516:mimikoscase-and-the-issues-of-burden-and-standard-of-proof-in-election-petition&catId=44:law&I temId=6990.
74
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Di beberapa negara, satu-satunya tindakan perbaikan yang tersedia atas pelanggaran Undang-undang Pemilu adalah sanksi pidana bagi pelanggar, yang menegaskan isu teknis dihadapkan dengan keadilan.183 Secara khusus, penanganan keberatan Pemilu yang adil seharusnya tidak boleh dikacaukan hanya karena mematuhi formalitas: “hukum acara seharusnya digunakan sebagai alat bantu dari keadilan bukan untuk mengalahkan keadilan tersebut.184 Sebagai contoh, di Pakistan Undang-undang tidak membedakan secara jelas antara gugatan administratif dan pidana dalam pelanggaran Pemilu. Pengadilan mengikuti Undang-undang hukum pidana dan menerapkan standar “beyond reasonable doubt” sebagai beban pembuktian untuk sebagian besar kasus Pemilu yang mereka tangani. Dalam sebuah sistem dimana fokus tuntutan pidana untuk pelanggaran Undang-undang Pemilu adalah hukuman terhadap pihak yang bersalah daripada tindakan perbaikan terhadap Pemilu yang cacat, setiap tindakan untuk menggugat hasil sebuah Pemilu akan memerlukan pembentukan suatu proses terpisah untuk menangani keberatan Pemilu.185 Standar ketiga, “clear and convincing evidence” merupakan titik tengah antara standar lainnya. Hal ini berarti pengajuan bukti harus menunjukkan secara substansial gugatan yang diajukan lebih mungkin benar daripada tidak.186 Apa yang dimaksud dengan kata substansial tidak dijelaskan secara rinci, tetapi secara universal diterima menjadi lebih ketat daripada “preponderance of the evidence” dan lebih longgar daripada bukti “beyond a reasonable doubt.” Pada yurisprudensi Amerika Serikat, standar “clear and convincing” berasal dari standar pembuktian dalam kasus perdata yang menuduh tindakan kecurangan atau kuasi pidana oleh tergugat, dan telah diperluas hingga kasus-kasus yang menyangkut hak asasi manusia dan banyak keadaan dimana kehilangan hak tersebut akan menyebabkan 183 Lihat, contohnya, Law No. 73 of 1956 (Law on the Exercise of Political Rights) Al-Jarlda Al Rasmiyya, 1956 pasal 39-51 (Mesir); lihat juga President of the Arab Republic of Egypt Legislative Decree No. 220 of 1994 (To Amend Certain Provisions of Act No. 73 of 1956 to Regulate the Exercise of Political Rights), Al-Jarlda Al-Rasmiya, 27 Oktober 1994, volume 37, No. 43 (Supp.), hal 3-5 (Mesir). 184 YM. Lady Justice Constance K. Byamugisha, Justice of the Court of Appeal of Uganda. Greenwatch, Administering Justice Without Undue Regard to the Technicalities (2003), dapat dilihat di http://greenwatch.or.ug/pdf/news/Administering_Justice_Without_Un_ Due_Regard_to_Technic.pdf. 185 Craig C. Dosanto et al., Federal Prosecution of Election Offenses (Edisi ke-7 2007) 186 Lihat, contohnya, Grogan v. Garner, 498 U.S. 279 (1991) Definisi modern clear and convincing evidence berevolusi di sistem hukum A.S., tetapi telah diadopsi dalam konteks internasional juga.
75
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
tergugat menderita kerugian non-moneter yang tidak dapat diperbaiki.187 Sebagai contoh, standar “clear and convincing evidence” telah diterapkan di kasus-kasus Pemilu AS yang melibatkan pembatasan tentang iklan kampanye dan dana kampanye karena tindakan badan pengatur berdampak pada pembatasan awal terhadap hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.188 Di Thailand, Undang-undang Organik untuk pemilihan anggotaanggota Parlemen dan Senat menyatakan bahwa Komisi Pemilu akan mencari bukti yang meyakinkan untuk memutuskan jika, sebagai contoh, terjadi pelanggaran aturan pengeluaran belanja Pemilu dan alat kampanye Pemilu, atau jika ada kandidat yang telah melaksanakan Pemilu yang tidak jujur dan tidak adil.189 Standar dengan kalimat yang sama telah diadopsi di banyak kasus internasional terkait hak asasi manusia.190 Standar Clear and convincing tampaknya telah menjadi sebuah standar dalam pembuktian dalam hukum perdata internasional.191 Dalam artikelnya tahun 2007 mengenai penanganan keberatan Pemilu, Steven Huefner merekomendasikan Amerika Serikat untuk mengadopsi standar clear and convincing untuk kasus Pemilu, yang telah diterapkan secara berbeda-beda oleh negara-negara bagian yang menggunakan seluruh tiga standar.192 Ia mengemukakan bahwa standar ini akan layak digunakan pada sengketa Pemilu karena proses Pemilu AS, walaupun tidak sempurna, telah “mendapat praduga kuat atas kebenarannya”. 187 Brandt Distrib. Co. v. Fed. Ins. Co., 247 F3d 822 (8th Cir. 2001); Rodriguez v. Suzuki Motor Corp., 936 S.W.2d 104 (Mo. 1996). 188 Fulani v. Fed. Elections Comm’n, 147 F3d 924 (D.C. Cir. 1998); Briggs v. Ohio Elections Comm’n, 61 F3d 487 (6th Cir. 1995); Pestrak v. Ohio Elections Comm’n, 926 F.2d 573 (6th Cir. 1991) 189 Organic Act on the Election of Members of the House of Representatives and the Installation of Senators, pasal 57, 103, 107 (2007) (Thailand) (“Dalam kasus dimana selama periode waktu di bawah Bagian 49 terdapat bukti yang meyakinkan seseorang memberikan, menawarkan untuk memberi atau menjanjikan untuk memberi uang atau benda lainnya yang bermanfaat bagi seorang pemilih untuk memilih kandidat atau partai politik tertentu…”). 190 Terminologi yang sinonim dengan clear and convincing evidence yang digunakan oleh berbagai pengadilan internasional termasuk referensi untuk kebutuhan pembuktian adalah “clear and cogent” atau “cogent and compelling” juga aturan bahwa pengadilan juga perlu “meyakinkan”. Lihat contohnya HCJ6659/06 Anonymous v. The State of Israel (2008) (lsr.) (mempersyaratkan “clear, convincing and unambiguous evidence”): Military and Paramilitary Activities in and Against Nicarague (Nicar. V. US), 1986 I.C.J 14 (27 Juni) (menerapkan sebuah standar tanpa nama antara reasonable doubt dan preponderance of the evidence), dapat dilihat di http://www.icj-cij.org/docket/files/70/6503.pdf. 191 Louis Henkin, How Nations Behave: Law and Foreign Policy 142 (2d ed. 1979); Dinah Shelton, Judicial Review of State Action by International Courts, 12 Fordharm Int’l LJ. 361 (1989); Christopher Greenwood, International Law and the United States’ Air Operation Against Libya, 89 W. Va. L. Rev. 933 (1987). 192 Huefner, supra note 25, at 314.
76
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Dengan demikian praduga yang dapat disangkal untuk membatalkan atau mengubah sebuah hasil Pemilu seharusnya memerlukan lebih dari 51 persen probabilitas bahwa “hasil Pemilu yang resmi tidak dapat dipercaya.” (“the official certification is not trustworthy”)193 Huefner menjustifikasi keberpihakannya pada standar uji “clear and convincing” untuk membuktikan penyimpangan dan untuk membuktikan bahwa penyimpangan tersebut mengubah hasil Pemilu atau sedikitnya membuatnya menjadi tidak pasti. Ia mengatakan: “Menerima clear and convincing evidence bahwa hasilnya tidak dapat diandalkan akan memungkinkan perbaikan terhadap cacat dalam Pemilu tanpa menimbulkan ketidakstabilan sistem, tetapi kemudian proses ini membutuhkan pedoman yang jauh lebih besar…..tentang tindakan perbaikan apa yang dapat diberikan.”194 Standar yang dinaikkan seperti ini dapat membantu menjamin bahwa badan-badan penanganan keberatan tidak akan membatalkan Pemilu yang sah karena kesalahan penafsiran atas sebagian kecil bukti yang tersedia secara umum, atau hasil dari keberatan mengganggu yang dimasukkan oleh pihak kalah yang merasa kesal, dimana keduanya mungkin menggunakan standar yang lebih rendah. Di sisi lain, standar yang dinaikkan juga tetap akan memungkin seorang penggugat untuk membuktikan suatu perkara, walaupun ia tidak harus memiliki akses terhadap bukti yang telah disembunyikan atau dihancurkan oleh pihak yang melakukan kecurangan, hal yang mungkin jauh lebih sulit jika tindakan yang dibutuhkan standar beyond a reasonable doubt. Standar clear and convincing memberikan keseimbangan untuk menjamin bahwa sistem penanganan keberatan bersifat adil dan dapat diakses. Selain itu, standar clear and convincing sebagaimana yang saat ini digunakan di seluruh dunia berlaku dengan baik jika keberatan Pemilu ditafsirkan sebagai tindakan kecurangan (sebagaimana penerapan standar di Inggris dan AS), atau persoalan hak asasi manusia (dimana standar tersebut bersifat umum di negara-negara lain). Komisi Keberatan Pemilu Afganistan menggunakan
193 Id. 194 Id.
77
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
clear and convincing evidence sebagai standar keberatan dalam Pemilu Afganistan 2009.195 Namun, dalam berbagai situasi, standar clear and convincing juga dapat merusak proses penanganan keberatan Pemilu. Memang, dalam praktiknya, penggugat dapat menghadapi kesulitan yang amat besar dalam memperoleh bukti, dan harus berjuang untuk mengumpulkan faktafakta untuk membuktikan tuduhan mereka, khususnya di demokrasi yang sedang berkembang, yang membutuhkan sebuah sistem penanganan keberatan yang efektif. Para petugas Pemilu, komisi Pemilu atau partai politik oposisi akan memiliki akses untuk pembuktian tersebut, tetapi para pengadu akan mungkin tidak memilikinya. Dengan demikian, sebagaimana yang telah dibahas di atas, standar preponderance of evidence barangkali sudah menjadi beban yang amat sulit dipikul para penggugat, dan standar clear and convincing dapat mengaburkan gugatan yang layak. Seperti yang Hakim Pengadilan Tinggi Nigeria, Kayode Eso, tegaskan dalam kasus Chinwendu v. Mbamali. “ hendaknya berhati-hatilah untuk tidak mengorbankan keadilan di altar hal-hal teknis. Tidak ada waktu lagi tersedia ketika sengketa ditangani dengan hal-hal teknis dan tidak berdasarkan masalahnya.”196 Dengan menggunakan standar yang dinaikkan, gugatan yang sah dapat dibatalkan dan penyimpangan tidak dapat dikoreksi bahkan jika hasil Pemilu dipertaruhkan. Pembatalan gugatan yang sah seperti itu dapat menyebabkan suatu ketidakpercayaan yang tinggi terhadap proses Pemilu. Pada akhirnya, pilihan standar pembuktian seringkali tergantung aturan hukum acara dari sistem hukum pada sebuah negara. Di beberapa negara, Undang-undangnya tidak membedakan antara gugatan administratif dan keberatan pidana sehingga, standar pembuktiannya tetap sama terlepas dari sifat khusus dari sengketa tersebut. Dengan demikian, standar pembuktian yang berbeda dapat digunakan dalam penanganan keberatan Pemilu di seluruh dunia. Sebuah standar yang seragam mungkin tidak akan memadai untuk menangani tiap jenis keberatan Pemilu, dan bisa berbahaya
195 Rules of Procedure of the Electoral Complaints Commission, §§ 72, 172 (2009) (Afg) 196 Chukeudi Nwokoye, Burden of Proof in Election Petitions, Nigeria Village Square (29 Des 2008), http://www.nigeriavillagesquare.com/articles/chukwudi-nwokoye/burden-of-proofin-election-petitions.html.
78
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
untuk hanya menerapkan satu standar belaka. Dengan pertimbangan ini, sebuah lembaga penanganan keberatan seharusnya telah siap untuk memberlakukan ambang batas yang berbeda untuk pembuktian yang harus disiapkan oleh penggugat tergantung sifat dari gugatan yang diajukan.197 Sebagai contoh, terdapat perbedaan yang amat besar antara suatu kasus dimana seorang penggugat menuntut untuk membatalkan hasil Pemilu di seluruh negeri, dan sebuah gugatan mengenai surat suara dalam sebuah Tempat Pemungutan Suara di tempat terpencil, dan standar pembuktian yang diperlukan agar gugatan tersebut dapat mencerminkan berbagai perbedaan praktis tersebut. Pilihan standar apa yang diterapkan untuk setiap jenis gugatan Pemilu dapat dibuat oleh badan penyelenggara Pemilu, ditetapkan oleh peraturan perUndang-undangan atau bahkan diamanatkan di dalam konstitusi nasional. Terlepas dari standar yang pasti yang akan diterapkan, dalam setiap kasus tertentu seharusnya diajukan dalam sebuah sidang dengar pendapat daripada dipilih oleh seorang arbiter atas dasar kasus per kasus.198 Tingkat fleksibilitas yang diizinkan dalam standar yang didefinisikan secara jelas akan tergantung dari jenis gugatan yang diajukan. Sebagaimana ditulis oleh Lord Denning dalam Bater v. Bater, sebuah pengadilan perdata yang memutuskan tuduhan kecurangan dengan sendirinya membutuhkan tingkat probabilitas yang lebih tinggi daripada yang seharusnya jika memutuskan tuduhan kelalaian. Sebagai contoh, di dalam keputusannya pada gugatan Pemilu presiden Zambia tahun 2001 melawan Presiden Levy Mwanawasa, Mahkamah Agung Zambia merujuk pada kasus sebelumnya Lewanika v. Chiluba, yang menegaskan bahwa “bukan menjadi masalah apakah gugatan Pemilu parlemen secara umum memerlukan pembuktian dengan standar yang lebih tinggi daripada sekedar hanya keseimbangan kemungkinan belaka.”199 Sama halnya, gugatan Pemilu presiden dimana
197 Bater v. Bater, [1951] P. 35,37 (C.A.) (U.K) (“Tingkat probabilitas dalam kasus perdata tergantung dari subyek persoalan yang digugat.” Alasan yang sama juga digunakan untuk mendukung standar pidana berikutnya dalam Preston-Jones v. Preston-Jones, [1951] A.C. 391, [1951] 1 All E.R. 124 (H.L.) (U.K) (menentukan legitimasi gugatan untuk hak pengasuhan anak dalam perceraian berdasarkan gugatan perzinahan); lihat juga, In re Doherty, House of Lords, [2008] UKHL 33 (banding diambil dari N. Ir.). 198 Lihat supra Bagian 2 (menggambarkan standar internasional dari rezim standar dan tata tertib Pemilu yang dirinci secara jelas) 199 Lewanika v. Chiluba (1998) ZLR 86 [SC] (Zam), dapat dilihat di http://www.saflii. org/zm/cases/ZMSC/1998/11.pdf; lihat juga Mazoka v. Mwanawasa, (2002) S.C.Z./ EP/01/02/03/2002 (Zam.).
79
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keputusan pengadilan dapat mempengaruhi tata kelola negara dan penggunaan kekuasaan dan kewenangan konstitusional,” sebuah tingkat kejelasan yang lebih meyakinkan jelas diperlukan.”200 Keseriusan dan kepentingan publik atas beberapa isu tertentu terkait keberatan dapat mewajibkan agar standar pembuktian dinaikkan.201 Tidak ada standar pembuktian yang dapat diterima atau diharuskan secara universal; dalam sebuah kerangka rezim hukum pembuktian, legislatif, hakim dan arbiter mempunyai kebebasan untuk menurunkan atau menaikkan standarnya tergantung sifat gugatan yang diajukan. Masingmasing dari tiga standar yang paling umum dibahas di atas dapat menjadi berguna atau dapat diterapkan di sistem penanganan keberatan Pemilu suatu negara, dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya. Ketika menyusun atau memperbaiki sistem penanganan keberatan Pemilu, sangatlah penting untuk memastikan bahwa seluruh faktor diatas dimasukkan ke dalam pertimbangan sebelum menetapkan standar yang akan digunakan.
6. Tersedianya Mekanisme Perbaikan yang Berarti dan Efektif Suatu mekanisme keberatan yang berfungsi harus mampu memberikan solusi perbaikan yang efektif, tepat waktu dan dapat dilaksanakan. Berbagai konvensi hukum internasional menyepakati bahwa, ketika satu negara telah memberikan hak yang memadai dan menyusun prosedur yang memadai, maka proses untuk menghasilkan keluaran yang layak merupakan komponen yang wajib dalam perlindungan hak-hak dasar secara umum. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia mencatat pentingnya “hak untuk memperoleh tindakan perbaikan yang efektif oleh pengadilan nasional yang kompeten atas tindakan pelanggaran hak dasar
200 Mazoka v. Mwanawasa, (2002) S.C.Z./EP/01/02/03/2002 (Zam.) 201 Bater v. Bater [1951] P.35, 37 (C.A) (U.K).
80
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh Undang-undang.”202 Bahasa ini tercermin pada hampir seluruh dokumen hukum internasional. Walaupun mereka mungkin menggunakan istilah yang berbeda, banyak sistem hak asasi manusia regional memberikan individu dengan hak-hak yang sama.203 Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter Amerika memberikan contoh yang kuat tentang hak untuk memperoleh perbaikan yang efektif dan berbagai komponennya. Dalam Miyawa v. Peru, Pengadilan menyidangkan gugatan pelanggaran Pasal 23 dan 25 Konvensi Amerika.204 Secara khusus, pemohon menuduh bahwa Badan Pemilu Nasional (National Election Board) telah secara sewenang-wenang dan tidak sah mengambil hak penggugat untuk maju dalam Pemilu sebagai calon independen, dan lebih lanjut pelanggaran ini telah menyebabkan penolakan hak untuk memilih bagi ratusan ribu warga negara Peru. Dalam putusannya, Pengadilan mempertegas pentingnya sebuah perbaikan yang memadai, dengan berpegang pada prinsip kewajiban negara tidak terbatas hanya pada eksistensi pengadilan dan tribunal atau kemungkinan mengakses pengadilan, tetapi juga harus menyediakan “kemungkinan yang nyata untuk mengajukan tindakan perbaikan,” sebuah pendapat mengenai nilai dari kasus tersebut dan kewenangan pengadilan untuk memulihkan hakhak yang dipermasalahkan.205
202 UDHR, supra note 10, art. 8. ICCPR memastikan jaminan yang sama bagi individu dalam Pasal 2 § 3 dan menambahkan bahwa “otoritas yang kompeten harus menegakkan tindakan perbaikan ketika diberikan.” ICCPR, supra note 11 art. 2, § 3 (a), (c). Ketika menafsirkan Pasal 2 § 3 Komite Hak Asasi Manusia mempertimbangkan bahwa, “mekanisme administratif khususnya diperlukan untuk memberikan pengaruh kepada kewajiban umum untuk memeriksa tuduhan pelanggaran dengan segera, menyeluruh dan efektif melalui badan-badan yang independen dan tidak memihak.” General Comment CCPR No. 31, supra note 100 ¶ 15. Terlebih lagi, Komite melihat Pasal 2 § 3 sebagai menciptakan kewajiban bagi “Pihak Negara untuk membuat perbaikan kepada perorangan yang hak-hak Kovenan-nya telah dilanggar.” Id ¶ 16. 203 Pasal 25 Konvensi Amerika memberikan setiap orang “hak meminta ganti rugi sederhana dan segera, kepada pengadilan yang kompeten… dan otoritas yang kompeten wajib menegakkan tindakan perbaikan ketika diberikan.” American Convention, supra note 14, art 25. Pasal 13 konvensi Eropa merujuk pada hak “ perbaikan yang efektif dari otoritas nasional.” European Convention, supra note 26, art. 13. 204 Miyagawa v. Peru, Case 11428 Inter-Am. Comm’n H.R., Report No. 199/99, OEA/ Ser.L./V/II.106, doc 3 rev ¶ 1262 (1999), dapat dilihat di http://www1umn.edu/humanrts/ cases/119-99.html. 205 Gugatan memunculkan konstitusionalitas hak politik dan lebih khusus lagi, hak untuk mendaftarkan sebagai calon independen. Castaneda Gutman v. Meksiko, Kasus 12.535, Inter-Am. Comm’n H.R., Laporan No. 113/06, ¶¶ 92, 140 (2008).
81
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pengadilan
hak
asasi
manusia
regional
dan
internasional
dapat
menyidangkan keberatan Pemilu dan memberikan tindakan perbaikan yang efektif kepada penggugat setelah habisnya seluruh tindakan perbaikan yang ada dan efektif di tingkat domestik. Dalam Petkov v. Bulgaria, ECtHR menafsirkan hak tindakan perbaikan yang efektif dan menegaskan bahwa “ruang lingkup kewajiban Negara-Negara Penandatangan bervariasi tergantung sifat keberatan pemohon.”206 Pengadilan menambahkan bahwa tindakan perbaikan harus “efektif dalam praktik sebagaimana juga dalam Undang-undang dalam artian dapat mencegah pelanggaran yang dituduhkan atau memberikan perbaikan terhadap situasinya atau memberikan tindakan penyelesaian yang memadai bagi setiap pelanggaran yang telah terjadi.207 Dalam kasus ini, para pemohon membawa gugatan ke ECtHR dan berargumen bahwa otoritas Pemilu Bulgaria tidak mematuhi putusan akhir yang dikeluarkan oleh pengadilan domestik dan oleh karenanya telah menghalangi hak pemohon untuk dipilih dalam Parlemen. Pemerintah Bulgaria berargumen bahwa tindakan perbaikan domestik belum habis, dengan demikian gugatan pemohon seharusnya dibatalkan. Pengadilan memutuskan mengabulkan permohonan keberatan dan berkesimpulan bahwa mereka “tidak memiliki tindakan perbaikan yang efektif yang tersedia sehubungan dengan keberatan mereka di bawah Pasal 3 Protokol 1… dan berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran Pasal 13 Konvensi.”208 Satu cara untuk memberikan tindakan perbaikan yang efektif terhadap penyimpangan Pemilu adalah dengan mengubah Undang-undang Pemilu dan lebih khususnya ketentuan yang berkaitan dengan penanganan keberatan. Sebagai contoh, dalam Pemilu presiden di Ukraina, sistem pengadilan dibanjiri oleh keberatan dan Mahkamah Agung berdasarkan besarnya jumlah tuduhan penyimpangan Pemilu, memerintahkan agar dilakukan Pemilu ulang. Sebelum Pemilu presiden 2010, dibuat perubahan terhadap Undang-undang Pemilu untuk mencegah terulangnya masalah pada Pemilu tahun 2004.
206 P etkov v. Bulgaria, Eur. Ct. H.R., App nos. 77568/01, 178/02 dan 505/02, Keputusan 11 Juni 2009, ¶ 74. 207 Id. 208 Id. ¶ 83.
82
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Contoh Ukraina juga menunjukkan kesulitan dalam memutuskan apakah tindakan perbaikan yang efektif memang tersedia, khususnya di negara demokrasi yang sedang berkembang, dan diantara negara yang secara politik penuh dengan konflik Pemilu. Pada malam Pemilu presiden 2010, “para ahli mengingatkan bahwa Undang-undang Pemilu presiden Ukraina begitu cacatnya sehingga memungkinkan berbagai kecurangan skala besar yang berulang.” yang dapat memicu Revolusi Oranye.”209 Tetapi pada putaran kedua 7 Februari peninjau Pemilu internasional melaporkan bahwa Pemilu berlangsung bebas dan adil dan para pemimpin dunia menerima pemenang.210 Meskipun ada pengesahan ini, petahana (incumbent) yang dikalahkan Yulia Tymoshenko, menuduh lawannya mengenai kecurangan dan menggugat hasil Pemilu di Pengadilan Administratif Tingkat Tinggi Ukraina.211 Oleksandr Turchynow, yang menjalankan kampanye Tymoshenko, “meminta penghitungan kembali di lebih dari 900 tempat pemungutan suara, menggugat bahwa ‘pemalsuan’ mempengaruhi hasil Pemilu.”212 Menjawab klaim tersebut, ketua Komite Pemilih (Voters Committee) independen Ukraina, Oleksandr Chernenko, menyatakan bahwa setiap gugatan terhadap Pemilu harus menyangkut pelanggaran sistemik yang dapat secara teoritis mempengaruhi hasil pemilihan dan menambahkan bahwa tidak ada bukti terjadinya pelanggaran sistemik yang benar-benar dapat membatalkan Pemilu seluruhnya.213 Persyaratan “pelanggaran sistemik” yang disoroti oleh Chernenko dapat membatasi jumlah keberatan dan mengurangi gugatan yang sembarangan. Namun, perubahan atau pembatasan tersebut dalam Undang-undang seharusnya tidak digunakan untuk menurunkan semangat para penggugat untuk mengajukan gugatannya yang sah. Dua minggu setelah Pemilu ulang 7 Februari, Perdana Menteri Tymoshenko mengakui Pemilu presiden dengan 209 Mark Rachkevych, Can Ukraine’s Presidential Election Be Stolen Again? Kyiv Post, 26 Nov, 2009, dapat dilihat di http://www.kyivpost.com/news/politics/detail/53728/. 210 Luke Bake, NATO, EU Follow U.S. Welcome Ukraine’s Yanukovich, Washington Post, 12 Feb, 2010, dapat dilihat di http://postchronicle.com/cgi-bin/artman/exec/view. cgi?archive=184&num=284224. 211 Peter Fedynsky, Tymoshenko Refuses to Concede Ukraine Election Defeat, VOAnews, 11 Februari 2010, dapat dilihat di http://www1.voanews.com/english/news/europe/ Tymoshenko-Refuses-to-Concede-Ukraine-Election-Defeat-84113287.html; lihat juga James Marson, Ukraine Opposition to Form Coalition, Wall St. J., 12 Feb 2010, dapat dilihat di http://online.wsj.com/article/SB1000142052748703525750609234718766374. html?mod=googlenews_wsj. 212 Daryna Krasnolutska, Timoshenko Weighs Conceding Ukraine Presidency to Stay Premier, Business Week, 10 Feb 2010, dapat dilihat di http://wwwbusinessweek.com/news/201002-10/timoshenko-weighs-conceding-ukraine-presidency-to-stay-premier.html. 213 Fedynsky, supra note 212.
83
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menarik gugatan hukumnya, dan menyatakan dia tidak percaya bahwa dia akan mendapatkan sidang yang adil dan bahwa Pengadilan sama biasnya dengan Komisi Pemilu Pusat (Central Electoral Commission). Contoh baru-baru ini di Ukraina menggambarkan kesulitan membuat perbedaan yang jelas antara tuduhan yang politis murni dan keberatan Pemilu yang benar serta adil. Beberapa kandidat mungkin menolak untuk menerima kekalahan mereka dan membuat gugatan sembarangan dan tidak berdasar, sementara yang lainnya memiliki dasar dan bukti yang sah untuk menjustifikasi keberatan. Walaupun terdapat kesulitan yang jelas dalam menentukan apakah sebuah sistem memberikan tindakan perbaikan yang memadai untuk merespon penyimpangan Pemilu, sebuah lembaga penanganan keberatan Pemilu yang memberikan jaminan penyelesaian putusan secara tepat waktu, justifikasi hukum, putusan yang tidak lagi dapat dibanding, serta kewenangan untuk menjatuhkan sanksi dan hukuman, akan menjadi jalan panjang untuk menyediakan tindakan perbaikan yang efektif.
A. Hak untuk Banding Hak untuk mengajukan banding adalah merupakan sebuah komponen kunci dalam menjamin akses terhadap tindakan perbaikan yang memadai. Seluruh konvensi hak asasi manusia internasional, mengakui, baik secara implisit maupun eksplisit, nilai fundamental dari mekanisme banding.214 Pasal 14, § 5 ICCPR memberikan hak tersebut dibawah persoalan pidana dan Komite PBB untuk Hak Asasi Manusia telah menggarisbawahi bahwa jaminan sebuah banding tidak dibatasi hanya untuk pelanggaran yang paling serius.215 Hasil keberatan Pemilu juga menjadi sangat penting dan proses bandingnya dapat memperkuat hak untuk sebuah tindakan perbaikan yang efektif, khususnya dalam gugatan yang lebih serius dimana hasil Pemilu
214 ICCPR, supra note 11, art. 14 § 5, American Convention, supra note 14, art. 8(2)(h); Protocol No. 7 European Convention for the Protection of Human Righst and Fundamental Freedoms, art. 2, 22 Nov, 1984, C.E.T.S No. 117 (diberlakukan tanggal 1 No. 1988), dapat dilihat di http://conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Html/117.htm; African Charter, supra note, 14, art. 7(a); Constitutional Rights Project v. Nigeria, African Comm’n on Human and Peoples’ Rights, Comm. No. 60/91 (1995); UN Human Rights Comm, CCPR General Comment No. 32, Art. 14: Right to Equality Before Courts and Tribunals And To A Fair Trial, ¶¶ 47-50, U.N. Doc. CCPR/C/GC/32 (23 Agus, 2007) [setelah ini disebut CCPR General Comment No. 32]. 215 ICCPR, supra note 11, art. 14 § 5,CCPR General Comment No. 32, supra note 215, ¶¶ 47-50; CCPR General Comment No. 13, supra note 165, ¶ 17.
84
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
dipertaruhkan. Komisi Eropa untuk Demokrasi melalui Hukum (European Commission for Democracy through Law) juga mengakui melalui kode praktik yang baiknya bahwa sebuah sistem banding diperlukan untuk memberikan sebuah tindakan perbaikan yang efektif. Warga negara perorangan dan kandidat seharusnya dapat sepenuhnya menggugat setiap penyimpangan Pemilu di pengadilan Pemilu, komisi Pemilu, atau mahkamah konstitusi.216 ECtHR juga menekankan bahwa “sebuah sistem banding Pemilu yang efektif merupakan mekanisme pengaman yang penting terhadap kesewenang-wenangan dalam proses Pemilu.”217 Undang-undang Pemilu harus menyediakan secara jelas mekanisme peninjauan. Di Nikaragua, Undang-undang Pemilu hanya menyatakan hak banding terhadap putusan CSE pada saat masalahnya adalah pembatalan pendaftaran partai politik.218 CSE adalah badan penyelenggara Pemilu yang bertanggung jawab terhadap berbagai keberatan awal, dan juga merupakan tingkat peradilan tingkat akhir tentang penyimpangan Pemilu. Selain kejahatan Pemilu yang berada di dalam yurisdiksi pengadilan pidana biasa, tidak ada saluran banding yang independen; proses hukum yang dikerdilkan ini memiliki potensi konflik yang nyata jika para penggugat merasa bahwa gugatan mereka tidak ditangani secara memadai di tingkat CSE.219 Membentuk mekanisme yang independen untuk meninjau keberatan Pemilu, atau memberikan pengadilan umum yurisdiksi yang lebih luas untuk menerima banding terkait keberatan Pemilu, dapat memperbaiki celah tersebut. Di Brasil, konstitusi memberikan hak untuk mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Pemilu Regional (Regional Electoral Courts) kepada Pengadilan Pemilu Banding (Superior Electoral Court). Hak banding ini dibatasi hanya untuk: putusan yang diberikan bertentangan dengan ketentuan cepat pada Konstitusi atau suatu Undang-undang; situasi dimana terdapat perbedaan penafsiran sebuah Undang-undang antara dua atau lebih pengadilan Pemilu; dan ketika keputusan terkait ketidaklayakan atau 216 Venice Commission Code, supra note 44,at 29-30. 217 Petkov v. Bulgarian, Eur. Ct. H.R., App nos. 77568/01, 178/02 dan 505/02, Keputusan 11 Juni 2009, ¶ 63. 218 CSE adalah keputusan tingkat akhir untuk semua keberatan terkait Pemilu. E.U. Nicaragua Report, supra note 38, at 23. 219 Id. At 20.
85
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
penerbitan pengesahan kemenangan Pemilu di tingkat federal atau negara bagian.220 Namun, “keputusan Pengadilan Pemilu Banding tidak dapat dibanding, kecuali untuk putusan yang bertentangan dengan Konstitusi ini dan yang menolak habeas corpus atau writs of mandamus.”221 Brasil merupakan sebuah contoh hak banding yang terkodifikasi yang menjaga penafsiran yang jelas dan koheren mengenai Undang-undang yang relevan. Banding (appeals) jangan disamakan dengan rujukan (referrals). Ketika suatu pengadilan memiliki yurisdiksi, badan tindakan perbaikan pascaPemilu regional atau provinsi tidak dapat merujuk sebuah kasus ke lembaga nasional tanpa pertama-tama memutuskan kasus tersebut. Undang-undang Pemilu seharusnya juga mendefinisikan keputusan yang bersifat final dan berkekuatan hukum tetap. Sebagai contoh, di Filipina, berbagai keberatan terkait Pemilu bagi Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) dan Senat disidang oleh pengadilan khusus. Badan ini akan menerbitkan keputusan yang dapat dibanding ke Pengadilan Tinggi (Supreme Court) tetapi hanya dalam konteks meminta petunjuk (on certiorari).222 Sistem Nikaragua mengatur proses peninjauan oleh badan penyelenggara Pemilu (CSE) terkait berbagai gugatan dan penyimpangan Pemilu di tempat pemungutan suara. CSE tidak menyediakan jalur banding. Namun, pelanggaran Pemilu pidana akan ditangani oleh pengadilan pidana biasa yang menyediakan mekanisme dibanding. Dengan demikian, karena proses banding tidak selalu ada di dalam seluruh kasus, banding menjadi komponen yang penting dalam memberikan pihak perorangan
220 Constituicao Federal [C.F] [Constitution] art. 121 § 4 (Bras). 221 Id. Art 121 § 3. 222 “Certiorari” adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti “diberitahukan, atau diberikan kepastian mengenai sesuatu.” Hal tersebut juga merupakan nama yang diberikan rangkaian persidangan tertentu untuk pemeriksaan kembali tindakan-tindakan pengadilan, atau pengadilan banding yang lebih rendah. Sebuah “write of certiorari” dapat didefinisikan sebagai perintah dari pengadilan tingkat yang lebih tinggi kepada pengadilan atau otoritas publik tingkat yang lebih rendah untuk mengirimkan catatan perkara yang diberikan untuk peninjauan. Erben et al., supra note 150, at 27.
86
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
dan partai politik dengan cara yang lebih efektif untuk mengakses tindakan perbaikan.223
B. Kerangka Waktu yang Terbatas untuk Peninjauan Sebagaimana telah dibahas di atas, menetapkan batas waktu yang jelas untuk peninjauan terhadap pendaftaran awal dan penentuan seluruh banding yang diperlukan sangatlah diperlukan untuk memperlancar proses pemeriksaan perkara.224 Lebih lanjut, peninjauan gugatan oleh tribunal Pemilu atau komisi keberatan Pemilu seharusnya cepat dan efektif. Kerangka waktu yang spesifik seharusnya memperhitungkan dibutuhkannya penanganan gugatan dalam kerangka waktu proses Pemilu yang terbatas,225 untuk tindakan perbaikan yang dilaksanakan dalam kerangka waktu yang serupa dan keputusan yang diterbitkan secara tepat waktu. Memang, banding seharusnya tidak digunakan untuk menunda pengesahan hasil atau untuk melecehkan partai atau kandidat lawan. Batas waktu untuk memasukkan dan memutuskan banding haruslah sangat pendek. Komisi Eropa untuk Demokrasi melalui Hukum (European Commission for Democracy through Law), contohnya, telah menetapkan standar tiga hingga lima hari dari setiap perkara pada tingkat pertama.226 Hal ini mengingatkan and mendukung prinsip umum rangkaian persidangan yang dipercepat dalam penanganan keberatan Pemilu.
C. Pertimbangan Hukum dari Putusan Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, sebuah hak untuk memperoleh pemulihan yang transparan mempersyaratkan bahwa penggugat harus diberitahukan mengenai alasan mengapa gugatannya dibatalkan atau ditolak. Dengan demikian, badan penanganan keberatan Pemilu seharusnya menyatakan secara jelas dasar hukum yang digunakan atau keputusan faktual yang dibuat ketika ia memutuskan kasus tertentu, berdasarkan 223 Human Rights and Election Handbook, supra note 9, at 16 (Hak menggugat hasil Pemilu dan bagi partai yang tidak puas untuk mengupayakan tindakan perbaikan seharusnya diatur oleh Undang-undang. Proses gugatan seharusnya menetapkan ruang lingkup peninjauan, tata tertib untuk memulainya dan kekuasaan badan peradilan yang independen yang bertanggung jawab terhadap tinjauan tersebut. Tingkat peninjauan yang bertingkat, dimana semestinya, seharusnya digambarkan juga.”). 224 Organization for Security and Co-operation in Europe, Office for Democratic Institutions and Human Rights, Republik Kazakhstan: Review of the Election Legislation for Election Disputes, Appeals and Penalties 2 (2001) [selanjutnya disebut Kazakhstan Report] dapat dilihat di http://www.osce.org/odihr/elections/kazakhstan/item/14597. 225 Commonwealth Convention, supra note 39, pasal 10, § 2 (f). 226 Venice Commission Code, supra note 44, at 30.
87
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
penjelasan yang jelas tentang pelanggaran Pemilu yang mungkin di dalam Undang-undang. Bahkan lebih penting untuk memberikan penjelasan untuk setiap putusan apabila tidak tersedia mekanisme untuk banding, atau pilihan dalam tindakan perbaikan.227 Dengan demikan, hakim atau jaksa haruslah sangat rinci dalam menulis pertimbangan hukum putusannya, sebagai contoh, di tingkat proses Pemilu mana pelanggaran dilakukan, siapa yang melakukan pelanggaran, dan apakah pelanggaran mempengaruhi atau tidak mempengaruhi hasil Pemilu.228 Para hakim dan jaksa seharusnya memberikan cara-cara agar para pihak yang relevan supaya mereka bisa mengerti alasan di balik keputusan mereka. Tribunal atau komisi seharusnya juga menampilkan pendapat hukum yang mendukung, maupun yang bertentangan (dissenting opinions) dari hakim atau arbiter. Hal ini akan memungkinkan transparansi mengenai alasan dimana arbiter dapat memutuskan seperti itu dan setiap pandangan hukum pribadi yang menjadi bagian dari putusan. Justifikasi hukum untuk sebuah keputusan akan memfasilitasi penegakan keputusan dan membantu membentuk legitimasi hasil akhir Pemilu.
D. Pemulihan Hak-Hak yang Dilanggar Hak untuk tindakan perbaikan juga termasuk hak untuk pemulihan untuk kerugian yang dialami oleh penggugat. Sebagai contoh, dalam Petkov v. Bulgaria, tiga pemohon menuduh bahwa hak mereka untuk maju dalam Pemilu parlementer 2001 telah dibatalkan secara tidak adil.229 Koalisi para pemohon menarik namanya dari daftar kandidat karena keterkaitannya dengan mantan badan keamanan Negara.230 Mahkamah Agung Administrasi (Supreme Administrative Court) memutuskan memenangkan mereka dan menyatakan bahwa tindakan pencoretan penggugat dari daftar kandidat, adalah tidak sah dan dibatalkan. Namun otoritas Pemilu gagal melaksanakan putusan yang final dan mengikat ini dan dengan demikian, para pemohon membawa kasus tersebut ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights). Mereka menyatakan 227 Lihat E.U. Nicarague Report, supra note 38, at 63 (“Hal ini khususnya serius mengingat penyelesaian ini adalah tingkat terakhir dan tidak ada banding lebih lanjut yang mungkin). 228 Kazakhstan Report, supra note 225, at 5. 229 Petkov v. Bulgaria, Eur. Ct. H.R., App. Nos. 77568/01, 178/02 dan 505/02, Keputusan 11 Juni 2009, ¶¶ 55-82. 230 Id, ¶ 60.
88
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
bahwa hak untuk sebuah tindakan perbaikan telah ditolak karena penolakan otoritas Pemilu untuk mencantumkan kembali mereka di dalam daftar kandidat.”231 Pengadilan Eropa mengakui kegagalan di pihak otoritas Pemilu dan menyatakan bahwa hal tersebut mengakibatkan pelanggaran Pasal 3 dan 13 dari Protokol Tambahan No. 1 dari Konvensi Eropa. Pengadilan menambahkan bahwa bahkan jika otoritas tidak menyetujui temuan pengadilan (karena keputusan atau tindakan yang salah di luar yurisdiksinya), mereka tidak dapat menolak untuk mematuhi keputusan tersebut di dalam sebuah masyarakat demokratis yang mematuhi negara hukum (rule of law). Hak untuk sebuah tindakan perbaikan memerlukan otoritas yang relevan untuk mematuhi keputusan dan berupaya untuk menghapus seluruh dampak keputusan yang menyatakan tidak sah dan dibatalkan. Pengadilan juga mendiskusikan jenis tindakan perbaikan yang seharusnya diberikan kepada pemohon di dalam kasus ini. Berbagai tindakan dan kealpaan yang disengaja oleh otoritas Pemilu yang menghalangi kandidat parlementer untuk maju dalam Pemilu tidak dapat diperbaiki secara eksklusif dengan sebuah kompensasi.232 Jika pelanggaran tidak dapat diperbaiki sebelum Pemilu, sebuah saluran tindakan perbaikan pasca-Pemilu harus dicari sebagai konsekuensi pelanggaran ini terhadap hasil Pemilu dan dalam kasus yang paling serius, badan ini bahkan dapat membatalkan hasil Pemilu, seluruhnya atau sebagian.233
E. Berbagai sanksi dan Hukuman Sebuah tindakan perbaikan yang efektif secara tersirat termasuk adanya sanksi dan hukuman, seperti surat peringatan kepada pelanggarnya (termasuk partai-partai politik), pengenaan denda atau hukuman pidana, pembatalan calon, diskualifikasi sebuah partai politik, pemberhentian hak untuk berkampanye, pembatalan surat suara, atau perintah sebuah penghitungan ulang atau Pemilu ulang.234 Berbagai pelanggaran dan sanksi
231 Id. ¶¶ 67, 83. 232 Id. ¶ 79 233 Id. ¶¶ 80, 81 (menemukan bahwa, dalam kondisi kasus tertentu, rangkaian persidangan di Mahkamah Konstitusi, yang telah menyimpulkan pelanggaran yang serius dari hak penggugat tidak mengharuskan pembatalan Pemilu, tidak memberikan tindakan perbaikan yang memadai untuk para pemohon) 234 Electoral Law, art. 54, § 1 (2004) (Afg.); Electoral Reform Law, §§ 22-25 (2004) (Liber.) (menghukum kecurangan pendaftaran dan penyuapan), dapat dilihat di http:/// necliberia.org/content/legaldocs/laws/elereformlaw.pdf; The New Elections Law, § 10.25 & 10.26 91986) (Liber.), dapat dilihat di http://necliberia.org/content/legaldocs/ laws/1986electionlaws.pdf.
89
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang didefinisikan secara jelas di dalam kerangka peraturan dan undangundang pemilu akan mencegah pemberian hukuman yang sewenangwenang (atau kegagalan untuk mengenakan hukuman tersebut). Begitupun, sanksi dan hukuman seharusnya dibuat dengan cara yang akan mencegah para kandidat dan pihak yang lain melanggar undang-undang kepemiluan. Hak pemulihan tidak dapat efektif sepenuhnya jika mereka yang berhubungan dengan pemilihan dan kandidat tidak mengetahui sanksi -sanksi bagi pelanggaran yang ada. Walaupun kewenangan diberikan untuk menerapkan sanksi, hakim atau arbiter seharusnya memastikan bahwa hukumannya sepadan dengan keseriusan pelanggara235 Hukumannya akan tergantung dari laporan yang dituduhkan, karakter, sikap, kepentingan publik dan keseriusan pelanggaran. Sebagai contoh, sebuah Pemilu ulang seharusnya tidak diperintahkan kecuali terjadi pelanggaran standar Pemilu yang serius. Memang, sekali kehendak rakyat telah diekspresikan secara bebas dan demokratis, pilihan tersebut seharusnya tidak diragukan, kecuali adanya dasar pemaksaan terhadap tatanan demokratis.236 Undang-undang seharunys memberikan sebuah jenjang (gradation) dalam sanksi yang mungkin yang dapat diterapkan pada perorangan atau partai politik. Contohnya, bulan April 2007 dan Mei 2008, ahli hukum IFES menerbitkan analisis yang menyeluruh tentang kerangka undang-undang Pemilu Thailand, dan menyarankan negara untuk mengubah hukum organiknya tentang partai politik dan pembiayaan politik.237 Analisis ini menekankan dibutuhkannya sanksi yang proporsional terhadap derajat pelanggaran dan derajat kesalahan (disengaja, kelalaian atau kesalahan). Para ahli juga merekomendasikan sanksi perdata atas pelanggaran administratif, seperti secara sewenang-wenang menolak atau menarik pengesahan kandidat, juga sanksi pidana. Sistem penanganan keberatan Filipina juga memberikan sebuah contoh atas luasnya ragam saksi bagi pelanggaran Pemilu. Pada tahun 2004, IFES melaporkan bahwa hukuman yang dilaksanakan oleh otoritas Pemilu
235 Kazakhstan Report, supra note 225, at 3. 236 Petkov v. Bulgaria, Eur. Ct. H.R., App. Nos. 77568/01, 178/02 dan 505/02, Keputusan 11 Juni 2009, ¶ 81. 237 Dhal et al., supra note 131, at 22; Kingdom of Thailand Report, supra note 163.
90
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Filipina sangatlah keras dan tidak proporsional terhadap pelanggaran yang dilakukan. Sanksi yang keras bisa membuat masyarakat enggan melakukan keberatan; calon penggugat mungkin tidak membuat seorang petugas tempat pemungutan suara dipenjara (sanksi yang diatur oleh Undang-undang) hanya karena melakukan sebuah pelanggaran seperti tidak mengirimkan daftar pemilih di lokasi yang benar,238 untuk waktu yang dihabiskan di penjara (sanksi yang diatur dalam Undang-undang). IFES merekomendasikan agar otoritas legislatif dapat memutuskan keterkaitan antara Undang-undang Pemilu dan pidana serta menerapkan sanksi yang lebih layak untuk pelanggaran yang dimaksud, seperti denda, kehilangan akses media, pembatasan kampanye dan permonohan maaf di depan publik.239 Apakah itu ditetapkan di Undang-undang Pemilu atau di dalam peraturan internal, sanksi dan hukuman harus menjadi bagian dari rezim penanganan keberatan Pemilu dan harus jelas serta proporsional terhadap pelanggaran itu sendiri.
F. Mekanisme Penegakan Hak untuk memperoleh perbaikan tidak akan efektif apabila sanksinya tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Penegakan dimulai pada saat selesainya sebuah gugatan hukum; yaitu ketika suatu kasus telah selesai ditangani, dan tidak ada pihak dapat mengajukan banding lebih lanjut terhadap putusan tersebut. Pada laporan tahun 2001, yang meninjau proses penanganan keberatan Pemilu di Republik Kazakhstan, OSEC menggarisbawahi bahwa penegakan tidak dapat dilaksanakan hingga seluruh upaya hukum domestik telah habis dan keputusan akhir telah dicapai.240 Contohnya, sebuah Pemilu ulang tidak dapat diperintahkan oleh pengadilan jika keputusannya masih bisa dibanding. Terlebih lagi, penegakan putusan memerlukan kerjasama dari berbagai otoritas yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan putusan administratif atau peradilan. Otoritas Pemilu, penuntut dan polisi seharusnya memahami keputusan yang diambil oleh badan penanganan 238 Erben et al., supra note 150, at 28-29. 239 Id. 240 Kazakhstan Report, supra note 225, at 6.
91
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keberatan dan seharusnya melaksanakan sanksi dan hukuman.241 Pengadilan Eropa Hak Asasi Manusia dalam Petkov v. Bulgaria menekankan bahwa “prinsip negara hukum –salah satu prinsip dasar dari masyarakat yang demokratis – melibatkan sebuah tugas di sisi Negara dan otoritas publik agar mematuhi perintah pengadilan mematuhi putusan yang dibuat terhadapnya.”242 Namun, apakah ini karena kurangnya sumber daya finansial atau kurangnya kemauan, penegakan sanksi dan hukuman tidak selalu efektif dalam demokrasi yang sedang berkembang. Situasi yang buruk ini dapat menyebabkan penolakan terhadap hak untuk tindakan perbaikan yang efektif yang harus ditangani jika proses Pemilu ingin dihargai oleh para pemilih dan peserta di dalam proses demokratis.
7. Pendidikan Para Pemangku Kepentingan yang Efektif Sebagaimana disebutkan di atas, kepercayaan publik merupakan sebuah elemen kunci di dalam suatu proses Pemilu yang efektif. Negara berkewajiban untuk “menjamin bahwa mereka yang bertanggung jawab terhadap berbagai aspek yang beragam dari Pemilu dilatih.”243 Negara seharusnya melaksanakan program-program pelatihan bagi petugas Pemilu, dan juga berbagai program pendidikan kewarganegaraan nasional yang akan memungkinkan masyarakat menjadi terbiasa dengan prosedur dan isu Pemilu.244 Berbagai program ini melibatkan sosialisasi skala besar untuk menjelaskan kewenangan dan keterbatasan sistem keberatan, juga pelatihan untuk asosiasi ahli hukum, organisasi hak-hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil, Badan Penyelenggara Pemilu, partai politik, kandidat, setiap orang lainnya yang mempunyai hak untuk mengajukan gugatan dan keberatan.245 Adalah penting bahwa masyarakat menerima informasi 241 Petkov v. Bulgaria, Eur. Ct. H.R. App. Nos. 77568/01, 178/02 dan 505/02, Keputusan 11 Juni 2009, ¶ 55 (“ Pemohon mengajukan keberatan terhadap penolakan otoritas Pemilu untuk mematuhi keputusan akhir Mahkamah Agung Administratif yang menyatakan penghapusan mereka dari daftar Pemilu tidak sah dan dibatalkan, dan yang mengakibatkan ketidaklayakan mereka untuk maju di Pemilu legislatif pada 17 Juni 2001.”) 242 Id, at ¶ 62; lihat juga Hornsbu v. Greece, Eur. Ct. H.R., App. No. 18357/91, Keputusan 19 Mar. 1997, ¶¶ 40-41. 243 Declaration on Elections, supra note 54, art. 4, § 2. 244 Id. § 4 (1). 245 Afghanistan Challenges, supra note 29, at 25.
92
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
mengenai Pemilu secara menyeluruh dan dapat secara mudah diakses secara umum, tetapi khususnya tentang hak mereka untuk tindakan perbaikan bagi pelanggaran Pemilu. Para pemangku kepentingan yang terlibat di dalam proses penanganan keberatan Pemilu mempunyai kebutuhan pendidikan yang berbeda. Memang, para pengacara dan arbiter perlu untuk memahami keseluruhan proses gugatan; pihak yang memiliki hak menggugat; beban pembuktian yang diperlukan; kemungkinan upaya hukum banding; serta sanksi dan hukuman. Di lain pihak, partai politik, kandidat dan badan penyelenggara Pemilu perlu mengetahui bagaimana mereka memasukkan gugatan, lembaga mana yang memiliki yurisdiksi untuk menangani gugatan tersebut, serta elemen pembuktian yang seharusnya mereka kumpulkan untuk mendukung gugatan mereka. Pemahaman mengenai gugatan dan keberatan juga dapat meringankan beban kerja badan-badan penanganan keberatan, yang akan harus berhadapan dengan para pemangku kepentingan Pemilu yang berupaya untuk menghindari akuntabilitas. Mengingat beragamnya para pemangku kebutuhan dan kebutuhannya, berbagai program dan pelatihan seharusnya menargetkan masing-masing kelompok, dengan tujuan keseluruhan untuk meningkatkan pemahaman umum mengenai proses penanganan keberatan Pemilu.
A. Pendidikan Masyarakat Umum Pendidikan kewarganegaraan dan pemilih dapat mendorong warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses-proses demokrasi.246 Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menekankan bahwa pendidikan pemilih dan kampanye pendaftaran untuk menjamin pelaksanaan hak untuk berpartisipasi di dalam pemerintahan yang efektif.”247 Sebagaimana dibahas di sepanjang buku pedoman ini, kepercayaan masyarakat adalah merupakan faktor yang penting untuk stabilitas, dan akan lebih memberikan legitimasi kepada pemerintah, legislatif dan pejabat lokal yang terpilih. Program-program pendidikan seharusnya menjelaskan proses Pemilu secara keseluruhan, dari pendaftaran pemilih hingga proses penanganan 246 U.N. Development Program, Democratic Governance Group, Bureau for Development Policy, Civic and Voter Education: Electoral Assistance Implementation Guide 42 (2007), dapat dilihat di http://www.undp.org/governance/docs/UNDP-Electoral-AssitanceImplementation-Guide.pdf 247 CCPR, General Comment No. 25, supra note 84, ¶ 11.
93
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keberatan Pemilu, dan memastikan warga negara memiliki komisi Pemilu nasional dan daerah yang mempunyai integritas dan tidak memihak.248 Di Timor Leste, contohnya IFES menyediakan masyarakat dengan bahan tentang keberatan Pemilu via media (pertunjukan TV dan radio).249 IFES juga merekomendasikan Komisi Pemilu Nasional melaksanakan kampanye pendidikan Pemilu yang memadai, termasuk proses keberatan Pemilu.250 Proyek ini, bertujuan untuk mendidik pemilih tentang proses penanganan keberatan sehingga berbagai alternatif yang dapat dipercaya oleh pertikaian politik dapat mereka pahami, sehingga mengakibatkan hasil-hasil yang positif. Jelas, kepercayaan publik dan pemahaman penanganan keberatan Pemilu merupakan faktor yang penting untuk stabilitas negara. Lebih lanjut, “materi pendidikan pemilih seharusnya sederhana, lugas, dan dapat dikelola dalam artian kemampuan pemilih untuk menyerap, memahami dan mengingat informasi.”251 Jika Organisasi Non Pemerintah dan partai politik mengadakan pelatihan pendidikan Pemilu, negara seharusnya
memfasilitasi
pelaksanaan
program
tersebut,
seperti
menyediakan lokasi pelatihan pada bangunan publik tersedia secara gratis. Jika dilaksanakan sebagaimana mestinya, pendidikan pemilih dapat menyebabkan peningkatan transparansi di dalam sistem dan peningkatan aksesibilitas terhadap penanganan pelanggaran Pemilu. Perhatian khusus seharusnya diberikan kepada kaum perempuan, minoritas dan penduduk asli, penyandang cacat dan penduduk di pedesaan yang mungkin kurang dilayani dalam kampanye pendidikan. Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB (UN Committee on Elimination of Racial Discrimination/CERD) melarang setiap bentuk diskriminasi dalam pelaksanaan hak-hak politik dan “khususnya hak untuk berpartisipasi dalam Pemilu.”252 Komiten Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita 248 Dahl et al., supra note 131, at 6. 249 IFES Timor-Leste Report, supra note 135, at 10-11. Sebagai bagian dari kegiatan pendidikan kewarganegaraan, CNE, Radio Televisi Timor-Leste dan IFES memproduksi sebuah enam serial program interaktif radio dan televisi, yang dinamakan Klabis, yang disiarkan di dalam dua minggu sebelum Pemilu legislative. Id. 250 Id, at 27. 251 Dahl et al., supra note 131, at 7. 252 CERD, supra note 12, art 5(c); U.N. Human Rights Comm., Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD), Gen. Rec. No. 23, Indigenous Peoples, 51st Sess., § 4(d) (18 Ag, 1997), dapat dilihat di http://www.unhcr.ch/tbs/doc.nsf/(Symbol)/73984290dfea02 2b902565160056fe1c.
94
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
(Committee on the Elimination of Discrimination Against Women/CEDAW) menggarisbawahi mutlaknya peran wanita di dalam masyarakat.253 dan outreach Pemilu seharusnya mencerminkan konvensi tersebut dan memastikan bahwa perempuan memiliki hak-hak yang sama seperti kaum pria dalam kehidupan politik.254 CEDAW mendorong partisipasi perempuan di publik, badan-badan terpilih juga LSM dan asosiasi yang terkait isuisu politik. Undang-undang Pemilu dapat mengalokasikan kursinya berdasarkan gender atau memberikan kuota dalam daftar kandidat partai politik, contohnya. Pada tahun 2002, Congreso de la Union (Kongres Meksiko) mereformasi Undang-undang Pemilu untuk mempersyaratkan bahwa tidak lebih dari 70 persen kandidat untuk jabatan Deputi dan Senator merupakan gender yang sama.255 Tujuannya adalah untuk membuat kedudukan perempuan di dalam struktur pemerintahan yang ada mencerminkan rasio gender yang lebih baik dalam penduduk.256 Saat ini, tidak lebih dari 60 persen kandidat untuk jabatan Deputi dan Senator seharusnya memiliki gender yang sama, tapi tidak ada satupun dari Camara de Senadores ataupun Camara de Diputados yang telah memenuhi persyaratan tersebut. Terlepas dari apakah pendekatan seperti ini digunakan atau tidak, berbagai tindakan khusus seharusnya juga dilakukan terkait partisipasi kaum perempuan di kehidupan politik, dan kaum perempuan seharusnya diberitahukan hak-hak mereka untuk tindakan perbaikan ketika hak-hak Pemilu mereka dilanggar. Petugas Pemilu perempuan seharusnya dilatih untuk menerima, menyelidiki dan menangani gugatan. Mereka seharusnya diajukan bagaimana untuk mengakses proses keberatan dan bagaimana untuk memasukkan sebuah gugatan. Beberapa konvensi hak asasi manusia mendesak hak minoritas untuk bisa berpartisipasi secara efektif di dalam kehidupan kultural, beragama, sosial,
253 CEDAW, supra note 12, art 7; ICCPR, supra note 11, art. 12;UHDR, supra note 10, art. 20. 254 CEDAW, supra note 12, art. 7,9. 255 30 Essential Questions, Instituto Federal Electoral, Question 15 (Mexico), http://www. ife.org.mx/portal/site/ifev2/30_essential_questions/ (terakhir dikunjungi 12 Jan, 2011) [setelah ini disebut 30 Essential Questions]. 256 CEDAW, supra note 12, art 8: E.U. NEEDS Project, Benchmark For Electoral Standards: A Guide for European Union Election Observation Missions 12 (2005), dapat dilihat di http:// www.pedz.uni-mannheim.de/datem/edz-h/az/05/guide_for_eu_elections_observation_ missions.pdf.
95
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
ekonomi dan publik.257 Ketika menyusun program pendidikan pemilih, Ornop, partai politik atau badan-badan negara seharusnya menyertakan sebuah fokus khusus tentang kelompok yang kurang beruntung dan kurang terwakilkan ini. Sebagai contoh di Guatemala, bahkan dimana beberapa kemajuan telah dicapai, tingkat kehadiran (turn out rate) penduduk asli yang termarginalisasi masih jauh dibandingkan dengan bobot demografi mereka.258 Terlebih lagi, bahan-bahan Pemilu seharusnya diterjemahkan ke bahasa inggris untuk memastikan pemahaman yang sepenuhnya tentang proses keberatan Pemilu. Tingkat buta aksara diantara kaum minoritas dan penduduk asli menunjukkan tantangan tambahan untuk diperhitungkan ketika menyusun bahan pendidikan. Lebih lanjut, beberapa kelompok mungkin menghadapi intimidasi ketika berusaha mengajukan gugatan atau mengakses proses keberatan Pemilu. Sebuah perwakilan yang setara dan adil dari seluruh kelompok di dalam sebuah Pemilu dapat menjaga atau membawa stabilitas suatu negara; memfokuskan pada berbagai kelompok ini dan akses mereka untuk tindakan perbaikan bagi pelanggaran Pemilu akan lebih mendorong tujuan ini.
B. Partai-Partai Politik Partai-partai politik merupakan berbagai instrumen yang sangat mutlak bagi partisipasi demokratis dan mengambil bagian “dalam manajemen urusan publik oleh perwakilan kandidat.”259 Sebagaimana dinyatakan secara jelas oleh National Democratic Institute, “dengan bersaing di dalam Pemilu dan memobilisasi warga negara di belakang visi tertentu dari masyarakat juga melalui kinerja mereka di dalam badan legislatif, partaipartai menawarkan warga negara pilihan yang berarti dalam tata kelola,
257 CERD, supra note 12, art 5(c); U.N.Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic Religious and Linguistic Minorities, G.A. Res. 47/135, art 2(2), U.N. Doc.A/RES/47/135 (18 Des, 1992), dapat dilihat di http:www.un.org/documents/ga/res/47/ a47r135.htm:Venice Commission Code, supra note 44, at 19. 258 E.U. Election Observation Mission, Guatemala General Elections Final Report XV (2007) [setelah ini disebut E.U. Guatemala Report]; E.U. Mexico Report, supra note 60, di XXIII. 259 Venice Commission, Report on the Participation of Political Parties in Elections 4 (2006), dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/docs/2006/CDLADpercent282006percent29025-e. asp; lihat juga Venice Commission, Guidelines and Explanatory Report on Legislation on Political Parties: Some Specific Issue (2004), dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/ docs/2004/CDLAD2004percent29007-e.asp.
96
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
saluran untuk partisipasi politik, dan kesempatan untuk membentuk masa depan negara mereka.”260
i. Pelatihan
Partai-partai politik seharusnya menerima pelatihan tentang bagaimana berpartisipasi di dalam Pemilu secara efektif, juga bagaimana merespon ketika mereka merasa bahwa prosesnya tidak dilaksanakan dengan cara yang bebas dan adil. Partai-partai politik seharusnya tahu, contohnya, bagaimana mengajukan keberatan ke badan penanganan keberatan Pemilu. Karena seringkali mereka terlibat di dalam keberatan, mereka seharusnya mengerti sepenuhnya proses sehingga mereka akan terima dan menghargai putusan final. Partai-partai politik seharusnya diberikan pelatihan tentang pentingnya memperhitungkan pertimbangan partisipasi kaum perempuan,261 pemilih muda, kaum religius dan etnik minoritas.262 Sebagai contoh, dalam persiapan untuk pemilihan kota di Georgia 2010, pengacara dari 18 partai politik menerima pelatihan tentang tata Pemilu, berbagai amandemen yang baru, mengajukan dan menguji keberatan, dan sumber-sumber daya administratif. Pelatihan ini memberikan pemahaman yang lebih besar kepada partai-partai politik tentang proses Pemilu juga kemampuan untuk memasukkan keberatan secara efektif.
ii. Pedoman perilaku
Partai-partai politik seharusnya didorong untuk mengadopsi pedoman perilaku
untuk
mengatur
kegiatan
dan
perilaku
mereka
selama
berkampanye, dan selama masa Pemilu secara keseluruhan, termasuk pemungutan suara.263 Di sedikit negara, badan penyelenggara Pemilu telah mengadopsi pedoman perilaku untuk ditandatangani oleh partai politik264 dan, di beberapa diantaranya, pedoman perilaku tersebut memiliki tanggung jawab yang dapat ditegakkan. Pedoman perilaku ini seharusnya 260 Political Parties, National Democratic Institute, http://www.ndi.org/political _parties(terakhir dikunjungi 8 Jan, 2011). 261 African Elections Declaration, supra note 162, art III (j). 262 CEPPS/International Republican Institute, Quarterly Report-Liberia: Political Party Empowerment Program 5 (2005) [setelah ini disebut CEPPS/IRI Liberia Report], dapat dilihat di http://pdf.dec.org/pdf_docs/PDACF452.pdf. 263 SADC Norms, supra note 138, at 13-14. 264 Election Commission of Pakistan, Code of Conduct for Candidates: General Elections, 2007-08, No.F2(1)/2007-Cord. (20 Nov, 2007), dapat dilihat di http://www.ecp.gov.pk/ Misc/COCFinal.pdf.
97
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menetapkan sebuah standar minimum perilaku yang dapat diterima bagi partai politik dan para pendukungnya.265 Pedoman semacam itu tidak akan ditegakkan oleh badan penanganan keberatan kecuali mereka dimasukkan di dalam peraturan berbasis Undang-undang dan ketidakpatuhan terhadap Pedoman perilaku didefinisikan sebagai pelanggaran. Partai politik juga dapat menyusun otoritas dispiliner mereka sendiri dan menangani sengketa internal mereka sendiri. Ketika menangani gugatan seperti pemilihan utama, rangkaian kegiatan pencalonan, komposisi yang layak dan membagikan daftar, panitia partai politik atau badan kedisiplinan lainnya dapat menangani kasus-kasus semacam itu dan dengan demikian, mengurangi beban kerja badan-badan penanganan keberatan. Di Sierra Leone, di akhir 2006, Komisi Pendaftaran Partai Politik (Political Parties Registration Commission/PPRC) yang baru dibentuk dan partaipartai politik mengadopsi sebuah Pedoman perilaku yang antara lain mengatur tentang pendirian komite pengawasan.266 Komite-Komite ini menawarkan para pemangku kepentingan Pemilu utama (para pihak, PPRC, masyarakat sipil dan polisi) sebuah forum untuk mendiskusikan dan menyelesaikan sengketa yang dapat menyebabkan kekerasan di tingkat lokal. Semenjak Pemilu presiden dan legislatif tahun 2007, IFES telah memberikan bantuan kepada Komite Pengawasan Pedoman perilaku pada 14 distrik untuk membantu kerja mereka untuk mengurangi ketegangan dan konflik.267 Partai-partai politik seharusnya melakukan berbagai tindakan yang transparan yang dapat mengurangi korupsi atau pengaruh yang tidak benar. Kelompok pemantau E.U merekomendasikan ke Nikaragua setelah Pemilu 2007 (presiden, legislatif dan kota) untuk membangun “mekanisme yang transparan dan akuntabel untuk merekam, mengungkapkan dan melakukan audit terhadap sumbangan yang masuk ke partai-partai politik dan pengeluaran mereka selama kampanye Pemilu.”268 Reformasi Pemilu 265 CEPPS/IRI, supra note 263, at 4, 8, 11-17. 266 Lihat pada umumnya About Us, Political Parties Registration Commission of Sierra Leone, http://www.pprcsl.info/index.php?option=com_content&task=view&Id=13&ItemId=30 (terakhir dikunjungi 8 Jan, 2011). 267 Lihat Sierra Leone: Strengthening Sierra’s Capacity to Regulate Political Parties, IFES, http://www.ifes.org/Content/Projects/Africa/Sierra-Leone/Strengthening-Sierra-LeoneCapacity-to-Regulate-Political-Parties.aspx (terakhir dikunjungi 8 Januari, 2011). 268 E.U. Nicaragua Report, supra note 38, at 67.
98
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
pada 2007 di Meksiko juga memperhitungkan elemen transparansi pendanaan dan membangun di antara Lembaga Pemilu Federal (Instituto Federal Electoral) sebuah entitas otonom dan khusus yang bertanggung jawab terhadap pengawasan keuangan partai politik. Dengan demikian partai-partai politik harus mengungkapkan seluruh informasi tentang asal, jumlah, tujuan dan penggunaan dana yang diterima oleh sumber mana pun.269 Masalah keuangan politik patut dibahas secara terpisah dan dalam diskusi yang lebih fokus yang tidak dapat dikembangkan secara luas di dalam pedoman ini.270 Tindakan seperti ini akan mendorong transparansi dalam jangka panjang terhadap sistem Pemilu dan untuk menghindarkan berbagai sengketa yang berhubungan dengan aktivitas partai politik juga.
iii. Penyebarluasan informasi kepada masyarakat umum
Partai-partai politik seharusnya juga menyebarluaskan informasi yang sama kepada masyarakat umum. Seharusnya para petahana (incumbent) terhadap partai-partai untuk meningkatkan pendidikan pemilih dan pemahaman terhadap proses penanganan keberatan.271 Partai-partai politik seharusnya berupaya untuk memobilisasi dan memberikan pelatihan kepada para pemilih yang akan memberitahukan kepada masyarakat yang lebih luas tentang sistem keberatan. Pelatihan tentang proses keberatan Pemilu yang diselenggarakan oleh partai dapat menjadi bagian dari program umum tentang pendidikan pemilih, dan alat-alat pencegahan dan penyelesaian konflik, sebagai contoh, di Timor-Leste, tujuan program IFES adalah untuk menyelesaikan dan mencegah konflik dengan memperbaiki penanganan keberatan Pemilu bersama dengan pengawasan kekerasan Pemilu. IFES mendidik partai politik dan kandidatnya tentang isi dan problem potensial di dalam Undang-undang Pemilu yang diterbitkan pada bulan Desember 2006. Lebih lanjut, IFES memberikan pelatihan dan memberikan materi pengarahan kepada partai-partai politik dan kandidat tentang proses keberatan Pemilu.272 Hasilnya, partai-partai politik dan kandidat dilengkapi dengan lebih baik untuk menyebarluaskan informasi yang relevan kepada masyarakat umum.
269 30 Essential Questions, supra note 256, Question18. 270 Lihat Magnus Ohman & Hani Zainulbahi, IFES, Political Finance Regulation: The Global Experience (2009). 271 CEPPS/IRI Liberia Report, supra note 263, at 1. 272 IFES Timor-Leste Report, supra note 135 at 27.
99
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
C. Aktor-Aktor dengan Peran Teknis: Pejabat Pemilu, Pengacara dan Arbiter Untuk memberikan tindakan yang efektif dalam kasus penyimpangan Pemilu, seluruh aktor yang terlibat di dalam proses penanganan keberatan seharusnya memahami proses penanganan keberatan Pemilu dan peran mereka di dalamnya. Proses penanganan keberatan beragam di berbagai negara demikian juga peran atau sejauh mana keterlibatan peradilan, komisi Pemilu atau entitas penanganan keberatan yang terpisah lainnya. Seluruh pegawai yang bekerja di organisasi dan melaksanakan Pemilu, termasuk staf daerah atau provinsi, tim penyelidikan dan panitia tempat pemungutan suara, seharusnya diberikan pendidikan mengenai proses keberatan. Lebih lanjut, para pengacara juga merupakan aktor yang penting dalam penanganan suatu keberatan. Mereka seharusnya memahami sepenuhnya hukum dan aturan prosedur serta mereka seharusnya dapat menerangkan secara jelas proses tersebut kepada klien mereka. Apakah lembaga penanganan berupa pengadilan atau tidak, para arbiter dan hakim seharusnya memiliki pengetahuan tentang bagaimana menerapkan dan menafsirkan hukum yang relevan dengan masalah yang disengketakan. Para petugas Pemilu seharusnya menerima pelatihan yang terstandarisasi tentang penanganan keberatan di seluruh tingkat administrasi Pemilu.273 Beberapa staf tidak akan terlibat secara langsung dalam menyelesaikan keberatan Pemilu, tetapi staf yang lainnya memiliki peran yang khusus sehingga mereka akan memerlukan pelatihan yang khusus tentang proses gugatan, investigasi dan penanganan. Ekspektasi akan lebih tinggi terhadap para arbiter pada badan ajudikatif, tetapi staf administrasi seharusnya juga menyadari tentang berbagai aturan dan prosedur yang harus diikuti dalam penyelesaian keberatan Pemilu. Negara seharusnya mengalokasikan sumber-sumber daya yang memadai untuk badan penyelenggara Pemilu untuk memberikan pelatihan yang berkelanjutan bagi staf mereka untuk meningkatkan kualifikasi
273 Venice Commission Code, supra note 44, at 28; Declaration on Elections, supra note 54, art 4 § 6 (“Penghitungan suara dilakukan oleh pegawai yang terlatih dengan pemantauan dan/atau pemeriksaan yang tidak memihak”).
100
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
profesional mereka.274 Badan penyelenggara Pemilu seharusnya juga memfokuskan pada mendidik para kandidat dan masyarakat umum tentang proses keberatan Pemilu. Pada bulan April 2009, Komisi Pemilu Pakistan, berkolaborasi dengan IFES mengadakan sebuah lokakarya untuk menginformasikan dan melatih para hakim dan staf Pemilu tentang berbagai prinsip dan praktik penyelesaian keberatan Pemilu.275 Maksud dari pertemuan tersebut adalah meningkatkan kesadaran dari sistem tersebut, serta menyediakan titik awal untuk menstandarisasi dan menyederhanakan proses penanganan keberatan.276 Badan penyelenggara Pemilu seharusnya juga merencanakan dan menyusun pelatihan tersebut sehingga dapat memberikan petugas dan masyarakat umum dengan informasi yang diperlukan tentang hak untuk tindakan pemulihan.277 Sebuah contoh akhir-akhir ini adalah bantuan yang diberikan IFES kepada Komisi Pemilu Pusat Ukraina pada tahun 2009 dalam sebuah program pelatihan untuk Pemilu presiden 2010 dan Pemilu mendatang.278 IFES mengembangkan berbagai strategi pelatihan, metodologi pelatihan dan menawarkan serangkaian rekomendasi bagi pelatihan untuk staf dari Komisi Pemilu Pusat (Central Election Commision/ CECs), Komisi Pemilu Distrik (District Election Commissions/DECs) dan Komisi Pemilu Daerah (Precinct Election Commissions/PECs). Berbagai rekomendasi ini mendorong Komisi Pemilu Pusat untuk menyusun sebuah buku petunjuk yang menyertakan tugas-tugas komisi Pemilu dalam
274 Commonwealth Convention, supra note 39, art.19 § 2 (i). 275 Vickery, supra note 34, at 14, lihat juga Farrah Naz, Improving Pakistan’s Election Complaints System, IFES (13 Mei, 2009), http://www.ifes.org/Content/Publications/ Opinions/2009/Mei/Improving-Pakistans-Election-Complaints-System.aspx. 276 Vickery, supra note 34, at 15. 277 Grant Kippen, Election in 2009 and 2010: Technical and Contextual Challenges to Building Democracy in Afghanistan 10 (2008) (“Tantangan ECC yang paling berarti selama Pemilu 2005 adalah kurangnya waktu dan sumber daya untuk perencanaan dan pengelolaan yang efektif dari banyak kegiatan programnya. Kuncinya adalah untuk memulai siklus perencanaan secara dini, serta memberikannya independensi sepenuhnya dan sumbersumber daya yang diperlukan untuk memenuhi mandatnya.” (kutipan internasional dihilangkan), dapat dilihat di http://www.unhcr.org/refworld/docId/492c0e5b2.html. 278 IFES, Ukraine Election Management Body Training Assessment Report (2009) (“IFES melaksanakan sebuah studi pada bulan Mei dan Juni mengenai program pelatihan di masa lalu dan yang saat ini direncanakan untuk mempersiapkan para anggota komisi sebelum Pemilu di Ukraina. Laporan tersebut merangkum strategi, metodologi dan materi pelatihan dan menawarkan serangkaian rekomendasi untuk program pelatihan.”, dapat dilihat di http://www.ifes.org/publication/7b42caa0658b67bc7b4dd1cd963bfb70f/ TNA_Ukrane_Eng.pdf.
101
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
aturan umum untuk menangani keberatan, penanganan keberatan di Hari Pemungutan Suara di PEC, serta penanganan keberatan pada DEC.279 Pelatihan aktor-aktor kunci dalam proses penanganan keberatan Pemilu seharusnya jelas menyertakan para arbiter, hakim dan pengacara. Di Timor Timur tahun 2007, kredibilitas proses Pemilu dibantu oleh enam pengacara Timor yang disewa, digaji dan dilatih oleh IFES sebagai petugas keberatan dan yang bekerja untuk menilai keberatan dan menyiapkan rekomendasi untuk Komisi.280 IFES juga telah melaksanakan proyek-proyek yang penting di Nigeria dan Filipina untuk melatih para hakim secara efektif. Selain itu, di Georgia, IFES telah melatih para pengacara dari 18 partai politik dan para ketua dan pengacara dari 73 Komisi Pemilu Distrik. Pelatihan ini mencakup pengajuan keberatan, penggunaan sumber-sumber daya administratif, protokol tentang pelanggaran administratif. Perlu juga disebut bahwa Pengadilan Pemilu Meksiko (Mexican Electoral Tribunal) memberikan bantuan teknis kepada pengadilan lain atau kepada entitas penanganan keberatan di luar negeri terkait pelatihan para arbiter mereka.281
D. Media Media juga merupakan komponen yang penting dari organisasi dan pelaksanaan sebuah Pemilu. Media memiliki sebuah tanggung jawab untuk mencakup topik keberatan Pemilu secara akurat, dan sebuah kewajiban kewarganegaraan untuk melaporkan berbagai pelanggaran dan masalah yang muncul dari sebuah Pemilu. Media dapat “mengaktualisasikan diri tentang proses Pemilu dan mengekspos korupsi atau aktivitas tidak sah lainnya.”282 Media juga bertanggung jawab untuk memahami dan mematuhi berbagai peraturan yang mengatur peran media di dalam sebuah proses Pemilu (contohnya, alokasi waktu siaran, menghindari berita yang tidak
279 Id, at 1,7 (menjelaskan isi dari materi pelatihan, termasuk peraturan perundang-undangan Ukraina, buku saku, deskripsi tugas komisi Pemilu, berbagai aturan umum untuk melakukan penanganan keberatan Pemilu dan banding, memelihara daftar pemilih, mempersiapkan pemungutan suara, penghitungan suara, dan lainnya 280 IFES Timor-Leste Report, supra note 135, at 25; lihat juga Schramm et. Al, supra note 2, at 11-13. 281 International Activities 2008-2009, Instituto Federal Electoral, http://www.ife.org.mx/ portal/site/ifev2/International_Activity_2008_2009/#2 (terakhir dikunjungi 10 Januari, 2011). 282 IMPACS, Media+Election: An Election Handbook Report 12 (2004) [setelah ini disebut IMPACS Report].
102
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
akurat atau bias), dalam rangka menghindari tersulutnya konflik atau menjadi obyek sebuah keberatan Pemilu. Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa menggarisbawahi bahwa “komunikasi bebas tentang informasi dan ide mengenai isu-isu publik dan politik di antara para warga negara, kandidat dan perwakilan yang dipilih merupakan hal yang mutlak.”283 Negara seharusnya mendorong pengembangan atau pemeliharaan tayangan media yang akan memberikan liputan politik yang tidak memihak dan terpercaya.284 Jika media dikendalikan pemerintah, negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin liputan yang tidak partisan.285 Badan penyelenggara Pemilu seharusnya menyusun berbagai aturan atau pedoman perilaku untuk menyesuaikan dengan kebebasan pers dan untuk menghukum sensor atau pembatasan yang sewenang-wenang oleh pemerintah. Badan Penyelenggara Pemilu seharusnya membatasi liputan media dari perilaku yang dapat mengintimidasi atau memaksa para pemilih, atau secara salah campur tangan dengan proses pemungutan suara yang sah.286 i. Pelatihan Media seharusnya dilatih bagaimana untuk meliput berbagai keberatan Pemilu dan isu Pemilu dasar dengan cara yang adil dan akurat.287 Liputan media yang seimbang terhadap proses persidangan pengadilan Pemilu amat sangat penting dan para reporter hukum seharusnya dilatih secara semestinya di dalam beberapa hukum dasar untuk menjamin diterbitkannya informasi yang jujur, adil dan akurat. Di Pakistan, ECP dengan bantuan IFES, merancang sebuah Pamflet Penyelesaian Keberatan Pemilu yang memberikan media sebuah panduan untuk “memahami beragam dan tumpang tindihnya proses penyelesaian sengketa di bawah Undang283 CCPR General Comment No. 25, supra note 84, ¶¶17, 20, 25. 284 Declaration on Election, supra note 54, art. 3, § 4; Human Rights and Elections Handbook, supra note 9, at 16. 285 Council of Eur., European Comm. Of Ministers, Measures Concerning Media Coverage of Election Campaigns, Recommendation No. R (99) 15, 678th Mtg. of Ministers’ Deputies, §§ I(2), II(1), (9 Sept, 1999) (“Menggarisbawahi bahwa liputan Pemilu oleh media penyiaran seharusnya adil, seimbang dan tidak memihak.” dapat dilihat di https://wcd.coe. int/ViewDoc.jsp?Id=419411: lihat juga SADC Norms, supra note 138, at 9. 286 Declaration on Elections, supra note 54, art. 4 § 2 (mendesak negara-negara untuk “mendorong para pihak, kandidat dan media untuk menerima dan mengadopsi pedoman perilaku untuk mengatur kampanye Pemilu dan periode pemungutan suara.”) 287 Communique, IFES, Nigeria: Two Day Seminar Organised for Election Tribunal Petition Tribunal Judges by the Court of Appeal in Collaboration With the International Foundation for Electoral Systems pada 6 & 7 Mei 2008 4-5 (4 Juni, 2008) (ada di arsip IFES)
103
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
undang Pemilu.”288 Buku pedoman ini khususnya memfokuskan pada tata tertib pasca-Pemilu. Buku ini diberikan kepada sejumlah aktor dengan bantuan terjemahan dalam Bahasa Urdu dan Sindhi yang didistribusikan secara luas oleh badan media dan club pers regional. Lebih lanjut, di Nigeria, IFES berkolaborasi dengan Pusat Pertahanan Hukum (Legal Defense Centre), menyelenggarakan sebuah konsultasi tentang penyelesaian keberatan Pemilu untuk memfasilitasi diskusi di antara para pemangku kepentingan untuk mengawasi dan melaporkan aktivitas Pengadilan Pemilu (Election Tribunals)289 Empat puluh dua perwakilan dari organisasi masyarakat sipil, media, peradilan dan Asosiasi Pengacara Nigeria menghadiri konsultasi tersebut, dimana para moderatornya menyajikan sebuah latar belakang yang menyeluruh tentang penanganan keberatan dan proses pembaruannya.290 Timor-Leste juga memberikan mereka sebuah contoh yang kuat tentang peran media dalam proses penanganan keberatan. Setelah kritik yang kuat dari dalam negeri maupun masyarakat internasional tentang masalah sosialisasi publik dan kurang netralnya Komisi Pemilu Nasional (National Election Commission/ CNE) di Timor Leste. IFES menempatkan seorang penasihat media untuk juru bicara NCE sebelum dan selama siklus Pemilu legislatif.291 IFES membantu memproduksi sebuah serial interaktif program radio dan TV yang memasukkan topik-topik tentang keberatan Pemilu dan menyusun ringkasan seluruh keberatan dan sebuah Laporan Analisis Keberatan mingguan yang dapat diakses masyarakat dan media.292 Peran media adalah untuk memberikan informasi yang akurat dan imparsial bagi masyarakat.293 Setiap kandidat dan partai politik “wajib memiliki kesempatan yang setara untuk memperoleh akses pada media, khusunya media komunikasi massa, dalam rangka memajukan pandangan politik mereka.”294 Pemilu presiden 2004 di Ukraina memberikan sebuah contoh yang berguna tentang bias dalam media yang dibiayai negara.
288 Vickery, supra note 34, at 16-17. 289 Almami Cyllah, IFES, Support to the Electoral Proses in Nigeria 37 (2009). 290 Id. 291 IFES Timor-Leste Report, supra note 135, at 9-10. 292 Id, at 11. 293 IMPACS report, supra note 283, at 12. 294 Declarations on Elections, supra note 54, art. 3 § 4.
104
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Seperti yang ditunjukkan oleh John Hardin Young dalam International Election Principles, lebih banyak waktu tayang dan liputan positif diberikan kepada Viktor Yanukovyvh, Perdana Menteri petahana295. Pemimpin oposisi Viktor Yuschenko berada dalam posisi yang tidak menguntungkan secara tidak adil. Praktik-praktik media seperti itu melemahkan integritas dan ketidakberpihakan proses Pemilu. Tuduhan liputan yang tidak berpihak bersama dengan tuduhan kecurangan dapat menyebabkan kurangnya kepercayaan dalam proses Pemilu dan protes pasca-Pemilu besar-besaran. Setelah Pemilu Guatemala terakhir, Misi Observasi E.U merekomendasikan Guatemala untuk “merevisi pembatasan yang berlaku terhadap jumlah waktu dan ruang yang dapat digunakan di media untuk tujuan propaganda Pemilu (agar sesuai dengan standar-standar internasional untuk Pemilu demokratis yang sudah mapan).296 Undang-undang Pemilu Afganistan juga memberikan pedoman tentang peran media selama periode kampanye Pemilu. Ketentuan tersebut berhubungan dengan akses terhadap informasi yang tidak bias dan adil bagi masyarakat.297 Saluran media didorong untuk menetapkan berbagai aturan dan pedoman perilaku mereka untuk menjamin penghormatan terhadap prinsip-prinsip tersebut dalam meliput Pemilu.298
ii. Pedoman Perilaku
Badan penanganan keberatan Pemilu seharusnya memiliki kewenangan untuk melakukan penanganan terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh atau terhadap media selama Pemilu, memberikan sebuah tindakan perbaikan yang dapat ditegakkan yang efektif, dapat diprediksi dan tepat waktu dalam kasus pelanggaran media sebagaimana diatur dalam Undangundang Pemilu.299 Beberapa negara memberikan beberapa komisi media
295 Young, supra note 60, at 296. 296 E.U. Guatemala Report, supra note 259, at 65. 297 Electoral Law, art. 50, §§ 1, 2 (2005) (Afg.) (“Media yang dijalankan pemerintah wajib mempublikasikan dan menyebarluaskan sebagaimana yang disetujui dengan Komisi mengenai platform, pandangan dan tujuan para kandidat dengan cara yang adil dan tidak bias.”). 298 Id, art 50 § 3 (Media yang dimiliki negara wajib menetapkan, sebagaimana diperlukan, berbagai tujuan, kebijakan dan tata tertib untuk memastikan liputan Pemilu yang adil dan melaksanakan ketentuan sub pasal (1) dan (2)”). 299 E.U. Mexico Report, supra note 60, at 53.
105
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang independen untuk mengambil peran tersebut.300 Sebagai contoh, terdapat sebuah Komisi Independen Pemantauan Media yang diatur di bawah dukungan Komisi Pemilu Guyana sejak tahun 2006.301 Organisasi media menyetujui pembantukan Komisi Pengawasan Media Pemilu (MC) yang menangani “keberatan tentang kinerja dalam melaporkan dan liputan peristiwa selama kampanye Pemilu.”302 Komisi memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi pada pelanggaran Pedoman Perilaku dan penetapan mekanisme tersebut telah sangat efektif dalam mengubah nuansa liputan media. Perangkat akuntabilitas seharusnya dibangun sehingga “media tidak digunakan untuk mendistorsi opini publik.”303 Eksistensi hak tindakan perbaikan yang efektif akan menghalangi para jurnalis melakukan pelanggaran. Mereka harus paham terhadap aturan yang mengikat mereka.
E. Pemantau Pemilu Dalam rangka mendorong Pemilu yang bebas dan adil, para pemantau lokal dan internasional berupaya untuk menentukan apakah proses Pemilu dilaksanakan sesuai dengan standar-standar internasional.304 Kehadiran para pemantau Pemilu berkontribusi pada kesadaran dan keterbukaan Pemilu, karena berbagai temuan yang dilaporkan oleh para pemantau seharusnya memberikan informasi yang akurat, tidak memihak dan dapat diandalkan.305 Berbagai temuan ini bahkan menjadi lebih penting jika sengketa muncul terkait dengan hasil Pemilu.306 Misi pemantau didorong untuk berkomunikasi dengan seluruh pihak yang berhubungan dengan proses Pemilu untuk mencoba memperoleh informasi tentang integritas Pemilu.307
300 Electoral Law, art. 50, §§ 1, 2 (2005) (Afg.) (“MC wajib memantau pelaporan dan liputan yang adil masa kampanye Pemilu dan wajib menangani keberatan terkait pelanggaran pelaporan atau peliputan kampanye politik yang adil, atau pelanggaran terhadap Tata Perilaku Media Massa, Banding yang dapat diajukan ke Komisi.”). 301 Lihat umumnya Guyana Elections Commission, http://www.gecom.org.gy/elections_ commission.html (terakhir dikunjungi 10 Jan, 2011). 302 Media Code of Conduct Roundtable, A Media Code of Conduct for Reporting and Covering of Elections in Guyana in 2001, art. III(8) (9 Okt, 2000), dapat dilihat di http://www.anfrel. org/resources/others/mediacodeofconduct.pdf. 303 Dahl et al, supra note 131, at 24. 304 Venice Commission Code, supra note 44, at 29. 305 Commonwealth Convention, supra note 39, art. 15 § 1. 306 U.N. Declaration of Principles for International Election Observation and Code of Conduct for International Election Observers, § 5 (27 Okt, 2005) [setelah ini disebut, Election Observation Declaration], dapat dilihat di http://www/accessdemocracy.org/files/1923_ declaration_102705.pdf. 307 Id. § 15 (a), (b).
106
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Banyak negara dan badan penyelenggara Pemilu telah menekankan pentingnya kehadiran para pemantau dalam pelaksanaan Pemilu dan juga telah menyiapkan peraturan perUndang-undangan untuk mendefinisikan lebih baik, kegiatan-kegiatan mereka. Uni Afrika misalnya, mewajibkan Negara-negara anggotanya untuk “mengumpulkan dan mengelola sebuah daftar (roster) dari Ahli Afrika dalam bidang pemantauan Pemilu”.308 Daftar tersebut dapat digunakan untuk menempatkan para pemantau yang kompeten dan profesional309 yang dilengkapi dengan berbagai keterampilan yang diperlukan untuk mengawasi seluruh aspek proses pemungutan suara. Sama halnya, Organisasi Negara-Negara Amerika (Organization of American States/OAS) telah menyusun pedoman untuk memastikan bahwa tim pemantau dikelola oleh para profesional yang pengalaman.310 Salah satu tujuan khusus upaya pemantauan Pemilu internasional OAS adalah “untuk membantu, dengan kehadiran mereka, dalam membujuk orang untuk tidak melakukan pelanggaran yang potensial “Pada Hari Pemungutan Suara.”311 Para pemantau internasional, oleh karena itu, perlu untuk memahami secara jelas proses Pemilu, termasuk penanganan keberatan, dalam rangka melaporkan kecurangan atau pelanggaran Pemilu lainnya apapun, yang mereka saksikan.
Deklarasi Prinsip-Prinsip Pemantauan Pemilu Internasional Pemantauan Pemilu internasional telah menjadi semakin diterima secara luas di dunia dan memainkan peranan yang penting dalam memberikan penilaian yang akurat dan tidak memihak tentang keadaan proses Pemilu. Pemantauan Pemilu internasional yang akurat dan tidak memihak memerlukan metodologi yang kredibel dan kerjasama dengan otoritas nasional, para kompetitor politik nasional (partai politik, kandidat dan pendukung posisi Pemilu), organisasi pemantauan Pemilu domestik dan organisasi pemantau Pemilu internasional yang dapat dipercaya lainnya, di antaranya …
308 African Elections Declaration, supra note 162, art. VI(e). 309 Id. 310 General Secretariat Organization of American States, Best Practices in OAS Electoral Observation, 2004-2007, at 28-29 (2008) [setelah ini disebut GS/OAS Best Practices]. 311 Id, at 7,22.
107
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Komisi Independen Pemilu Afganistan menerbitkan sebuah Pedoman Perilaku bagi para pemantau yang menyatakan bahwa “seluruh tindakan yang diperlukan harus diambil untuk memastikan bahwa perwakilan terbiasa dan mengikuti Undang-undang Pemilu, Pedoman Perilaku, instruksi terkait pelanggaran Pemilu, dan berbagai petunjuk, informasi, pedoman, atau instruksi lainnya dan pemberitahuan IEC, Komisi Keberatan Pemilu atau Sekretariat IEC.”312 OAS dalam pedomannya untuk pemantau mendesak dipertahankannya kebijakan netralitas absolut di dalam misi pemantauan, mencegah para pemantau mengintervensi atau memberikan dukungan pada bagian apapun terhadap proses Pemilu.313 Bagaimanapun, di negara seperti Etiopia, para pemantau internasional dapat bertanya sepanjang mereka tidak mengganggu pemilih dan dapat mengadukan pelanggaran yang mereka lihat menjadi perhatian petugas Pemilu di tempat pemungutan atau tempat penghitungan suara.314 Jika Undangundang Pemilu banyak negara hanya mengizinkan para pemantau untuk mengadukan pelanggaran kepada petugas Pemilu, sedikit negara, seperti Bosnia dan Herzegovina, Kosovo dan Georgia, telah melangkah lebih jauh, dengan mengizinkan para pemantau untuk mengajukan keberatan formal.315 Tetapi seharusnya disoroti bahwa pada umumnya pemantau tidak diizinkan untuk berkomentar secara publik tentang pemantauan mereka selama pelaksanaan Pemilu, memberikan instruksi kepada petugas
312 Independent Electoral Commission of Afghanistan, Code of Conduct of Observers (2008), dapat dilihat di http://www.iec.org.af/pdf/code_of_conduct/english/observers_ coe_of_conduct.pdf; lihat juga Islamic Republic of Afghanistan, Independent Election Commission Secretariat, Fact Sheet: Agents and Observers, dapat dilihat di http://www. iec.org.af/assets/pdf/factsheet/eng/fs8E.pdf. 313 GS/OAS Best Practices, supra note 311, at 7. 314 National Electoral Board of the Federal Democratic Republic of Ethiopia, Code of Conduct of International Election Observers, § 3 (c) (g) [setelah ini disebut Ethiopia Code of Conduct] (“Para pemantau Pemilu dapat mengadukan setiap kecurangan yang mungkin mereka lihat kepada para petugas Pemilu di tempat pemungutan suara atau penghitungan suara.”). 315 Official Gazette of Bosnia and Herzegovina (23/01) art. 16.9 (Bosn& Herz). Versi terkini Undang-undang ini lebih sedikit lebih berhati-hati tentang posisi ini dengan menyatakan bahwa para pemantau dapat mengirim pemberitahuan kepada otoritas yang berwenang yang dapat diperlakukan seperti halnya sebuah keberatan yang dapat diajukan oleh partai politik. Id. Art. 179; lihat juga Law on General Elections (No.03-L073), art. 56.2 (5 Juni, 2008) (Kos) (“Selama proses Pemilu, termasuk proses pendaftaran pemilih, seorang pemantau yang terakreditasi dapat memasukkan sebuah keberatan pelanggaran apapun terkait Peraturan, Petunjuk Administrasi, Aturan Pemilu, atau Tata Tertib Administrasi yang berlaku kepada CED sesuai dengan tata tertibnya.”) Election Code, pasal 70.77 (Geor.) (mengizinkan para pengamat untuk memasukkan keberatan untuk sebuah keputusan banding Komisi Pemilu Daerah Pemilihan dan Distrik).
108
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Pemilu, membatalkan keputusannya atau mengajukan sebuah keberatan.316 Apakah mereka domestik atau internasional, para pemantau seharusnya menunjukkan tingkat kompetensi, ketidakberpihakan dan obyektivitas yang tinggi selama proses Pemilu.317
i. Panduan dan Pedoman Perilaku
Pada umumnya, negara menetapkan aturan untuk memilih pemantau Pemilu. Meksiko mewajibkan sebuah periode waktu untuk mendaftar menjadi seorang pemantau, dan pemantau tidak boleh memiliki afiliasi partai. Para pengamat juga diminta untuk menghadiri berbagai kursus pelatihan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemilu Federal (Instituto Federal Electoral) atau berbagai organisasi pemantau.318 Dalam rangka untuk menjamin netralitas sepenuhnya dan kinerja optimal, OAS memiliki beberapa aturan yang dapat menuntun penyeleksian para pemantau, pemantau mungkin saja bukan merupakan penduduk negara yang melaksanakan Pemilu dan mereka harus bukan warga negara yang memiliki potensi konflik.319 Terkait berbagai keterampilan dan kompetensi, pedoman tersebut mempersyaratkan para pengamat untuk memiliki “pendidikan dan pengalaman profesional dalam bidang ilmu sosial”320 dan pengetahuan serta pengalaman lapang di bidang politik dan Pemilu juga akan direkomendasikan. Dengan demikian, merupakan hal yang mutlak bagi para pengamat untuk memiliki pengetahuan dan/atau diberikan pelatihan tentang proses Pemilu keseluruhan di negara tersebut dimana misi berlangsung, yang seharusnya mencantumkan informasi tentang penyimpangan pra-Pemilu, Hari Pemungutan Suara dan pasca-Pemilu. 316 O SCE/ODHIR, Election Observation Handbook 21 (5th ed. 2007) (“Para pemantau akan menjalankan tugas mereka dengan cara yang tidak mencolok dan tidak akan melakukan intervensi dalam proses Pemilu. Para pemantau dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada petugas Pemilu dan mengadukan berbagai pelanggaran, tetapi mereka tidak boleh memberikan instruksi atau membatalkan keputusan mereka.”), dapat dilihat di http:// www.osce.org/publications/odihr/2005/04/14004_240_en.pdf; Venice Commission Code, supra note 44, at 29 (“Pada umumnya, para pemantau internasional dan nasional harus mewawancara orang yang hadir, mencatat dan melaporkan kepada organisasi mereka, tetapi mereka seharusnya menahan diri dari membuat komentar.”) 317 Ethiopia, Code of Conduct, supra note 315 § 4 (d). 318 30 Essential Questions, supra note 256, Question 24. 319 GS/OAS Best Practice, supra note 311, at 29. Secara khusus, ”Merupakan hal yang penting untuk memastikan bahwa kewarganegaraan pemantau tidak menciptakan ketegangan atau ketidakpercayaan di antara warga negara di negara penyelenggara Pemilu. Merupakan hal yang penting untuk memastikan bahwa pemantau tidak berasal dari negara-negara yang telah mengalami ketegangan politik atau diplomatik dengan negara tuan rumah Pemilu.” Id 320 Id.
109
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Negara-negara didorong untuk mengadopsi pedoman perilaku untuk para pemantau Pemilu mereka, dalam rangka mempertahankan panduan yang konsisten tentang persyaratan sikap dan untuk akuntabilitas dalam kasus adanya pelanggaran.321 E.U. telah mengadopsi suatu Pedoman Perilaku Pemantau Pemilu yang diberikan pada pelatihan pra-Pemilu untuk para pengamat.322 Aturan tersebut juga mempersyaratkan ketidakberpihakan dan kepatuhan terhadap Undang-undang nasional dan peraturan di negara tuan rumah. Pemantau Pemilu memiliki tugas untuk melaporkan pelanggaran apapun terhadap Undang-undang Pemilu atau aturan prosedur dan mereka seharusnya melandaskan kesimpulan mereka dengan bukti yang terdokumentasi dengan baik, faktual dan dapat diverifikasi.323 Mereka juga didorong untuk meningkatkan penghapusan hambatan yang tidak sah atau intervensi yang berlebihan yang dapat membahayakan integritas proses Pemilu.324 Dengan demikian, para pemantau dapat memainkan peranan kunci baik dalam memfasilitasi maupun mendorong tindakan pemulihan untuk pelanggaran Undang-undang Pemilu. Ketika sebuah negara menerbitkan panduan atau pedoman perilaku bagi para pemantau Pemilu, haruslah dibuat pembedaan antara pemantau internasional dan nasional. Sebagai contoh, aturan tentang hak menggugat terkait pengajuan sebuah keberatan dapat berbeda. Sebagai contoh, di Ukraina, Undang-undang membuat sebuah pembedaan antara pemantau nasional dan internasional, yang memberikan yang pertama hak untuk memasukkan keberatan, namun tidak untuk yang terakhir.325 Idealnya, para pemantau seharusnya tidak diizinkan untuk mengajukan keberatan, hal tersebut akan membuat mereka menjadi peserta pada Pemilu, dan misi mereka seharusnya dibatasi pemantauan dan pelaporannya. Jika mereka berpatisipasi dalam proses Pemilu, maka akan terjadi konflik kepentingan dan mengurangi independensi mereka.
321 Ethiopia Code of Conduct, supra note 315, § 4(d) (“Para pemantau Pemilu dapat mengadukan kepada petugas Pemilu di tempat pemungutan suara atau penghitungan suara penyimpangan apa pun yang mereka pantau.”). 322 European Union Election Observers Code of Conduct, pursuant to Council of Europe Dec. No. 9262/98, PESC 157, COHOM 6, dapat dilihat di http://www.eueom-afghanistan.org/ EN/PDF.EU_documents/Code_of_Conduct.pdf. 323 Id. 324 Election Observation Declaration, supra note 307, § 15 (d). 325 Law of Ukraine on Elections of People’s Deputies of Ukraine (Act. No. 2777-IV), arts. 59-61 (2005).
110
Bab 1: Berbagai Standar Internasional
Di Pemilu Afganistan tahun 2009, ECC setuju untuk menerima keberatan dari kelompok pemantau nasional utama, Yayasan Pemilu Bebas dan Adil Afganistan (Free and Fair Election Foundation of Afghanistan). Namun, ECC tidak menerima keberatan dari para pemantau Pemilu internasional. Ketidakpercayaan yang hakiki di banyak negara mengenai adanya pihak luar (outsiders) yang berpartisipasi di dalam Pemilu domestik mengharuskan para pemantau internasional seharusnya bersifat non-partisipan di dalam proses penanganan keberatan Pemilu. Mereka seharusnya tidak bertemu dengan hakim atau arbiter yang terlibat di dalam penanganan keberatan atau pengajuan keberatan. Namun, selama investigasi dan penanganan, badan penanganan keberatan Pemilu seharusnya diizinkan untuk mendengarkan pembuktian dari saksi manapun yang tersedia, termasuk para pemantau Pemilu dan organisasi yang mensponsori misi pemantauan seharusnya menghadirkan para pemantaunya di hadapan pengadilan jika diminta. Pendidikan kewarganegaraan dan pemilih bagi para pemilih, partai politik, petugas Badan Penyelenggara Pemilu, dan para pemantau merupakan hal yang amat penting untuk menjamin pemahaman yang jelas tentang proses penanganan keberatan Pemilu. Tanpa upaya semacam itu, sistem penanganan keberatan akan sulit dipahami, tidak digunakan sepenuhnya, dapat menyebabkan salah sasaran pemberian informasi dan ketidakefektifan dalam mencapai tujuan yang dinyatakannya.
Standar-Standar Internasional: Kesimpulan Tema Ketujuh standar internasional yang dibahas di dalam bab ini telah diterapkan secara luas dan ditafsirkan secara rinci baik pada pengadilan internasional dan domestik. Dengan berkembangnya putusan badan peradilan tentang keberatan Pemilu, prinsip-prinsip ini menjadi semakin sempurna, bermanfaat dan diterapkan secara konsisten. Hal ini akan menjadi tantangan yang lebih besar untuk memastikan, bahwa prinsip-prinsip keberatan Pemilu ini berhasil di demokrasi yang sedang berkembang. Babbab lainnya akan merangkum pengalaman pemrograman dari para praktisi hukum Pemilu yang memiliki pengalaman dalam menyusun, memperbaiki dan menyempurnakan suatu sistem keberatan Pemilu yang berakar dari
111
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
standar-standar ini. Dalam laporannya pada Pemilu presiden tahun 2007 di Kenya, Komisi Kriegler mengatakan bahwa, ”Penanganan sengketa Pemilu memerlukan fleksibilitas dan pragmatisme, dengan alasan desakan politik, terkadang bahkan dengan mengorbankan legalisme yang ketat.326 Kutipan ini menggambarkan berbagai tantangan dasar dalam mengadopsi sebuah pendekatan yang praktis untuk penanganan keberatan. Di bab-bab lain pedoman ini, para pakar IFES akan menguji penerapan dari standarstandar ini dalam kasus di seluruh dunia, untuk memberikan manual praktik-praktik global bagi para praktisi Pemilu dan perorangan yang tertarik lainnya. Sebuah pemahaman yang menyeluruh terhadap standarstandar internasional, harus mendasari keseluruhan proses Pemilu. Adalah juga penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor lainnya seperti tradisi hukum dan kebiasaan, serta serjarah dan kebudayaan dari negara tertentu. Pendeketan ekspansif ini akan menghasilkan mekanisme penyelesaian keberatan Pemilu yang memenuhi standar-standar internasional secara memadai dan sesuai dengan kebutuhan satu negara tertentu. Dalam memperhatikan standar yang dibahas di dalam bab ini, para ahli IFES akan meninjau bidang program berikut dan bagaimana mereka berkontribusi terhadap proses penanganan keberatan Pemilu; tinjauan dan nasihat hukum; pelatihan pihak-pihak yang bersengketa (Badan Penyelenggara Pemilu, Partai Politik dan masyarakat sipil); pelatihan para hakim dan arbiter; pendekatan pendidikan pemilih dan masyarakat sipil; serta berbagai mekanisme penyelesaian sengketa alternatif.
326 Kriegler Commission Report, supra note 3, at 142.
112
2
BERBAGAI KERANGKA HUKUM UNTUK SISTEM PENANGAN KEBERATAN PEMILU YANG EFEKTIF Oleh Robert Dahl dengan kontribusi dari Michael Clegg
Para pendukung Mantan Perdana Menteri terguling Thaksin Shinawatra mengibarkan bendera selama aksi turun ke jalan pada 13 Desember 2008 di Bangkok, Thailand
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
Pendahuluan Sebuah struktur Pemilu yang kuat harus memiliki kapasitas untuk menyelesaikan berbagai keberatan dan sengketa yang muncul selama Pemilu melalui sebuah proses yang adil, transparan dan efisien. Demokrasi yang berhasil mengakui dibutuhkannya kapasitas seperti itu, dengan menciptakan sebuah sistem ajudikatif untuk keberatan Pemilu. Permohonan keberatan Pemilu yang tidak semestinya dan tidak diproses dengan cepat memperlemah dedikasi masyarakat baik untuk negara hukum (rule of law) maupun Pemilu yang jujur. Sengketasengketa yang berkelanjutan menciptakan sebuah lingkungan yang penuh ketidakpercayaan dan kecurigaan secara politis yang dapat merongrong legitimasi Pemilu dan pemerintah terpilih. Peningkatan jumlah negara demokrasi baru dan tengah berkembang, serta lingkungan politiknya yang kompetitif, telah meningkatkan kesadaran terhadap permasalahan dalam arena penanganan keberatan Pemilu. Otoritas Pemilu pada umumnya menjadi lebih kompeten dalam memenuhi berbagai kewajiban dasar mereka dalam menyelenggarakan Pemilu. Aspek-aspek penyelenggaran Pemilu yang lebih rumit dan sulit sekarang sedang dihadapi. Berbagai Undang-undang Pemilu sekarang menjadi lebih komprehensif, dan berbagai pengalaman global dalam bidang ini sekarang dapat dibagi dengan lebih mudah. Sebagaimana disajikan di Bab 1, standarstandar internasional telah disusun untuk mengevaluasi keadilan dan keefektifan berbagai sistem penanganan keberatan Pemilu. Pembahasan tentang penanganan keberatan Pemilu saat ini telah bergeser melampaui prinsip-prinsip pernyataan yang sederhana menjadi terfokus pada berbagai pertimbangan praktis untuk pelaksanaan yang efektif. Keberatan Pemilu menimbulkan tantangan yang serius bagi para petugas Pemilu, pengadilan serta badan-badan lainnya yang berwenang untuk memeriksa dan menyelesaikannya. Berbagai otoritas ini jarang menerima pujian, serta seringkali disalahkan ketika mencoba menyelesaikan ratusan
115
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
atau ribuan sengketa dan keberatan dalam jangka waktu yang pendek.327 Beberapa sengketa mewakili berbagai persoalan yang sangat signifikan yang melibatkan kepekaan politis yang kuat dan membawa konsekuensi potensial yang serius. Beberapa keberatan lainnya seringkali tidak signifikan, salah, tidak perlu atau duplikatif. Mungkin tantangan terbesar adalah untuk menciptakan sebuah sistem penanganan keberatan yang dapat secara cepat membedakan antara keberatan yang penting dan tidak penting, dan dapat secara efisien membagi waktu dan sumber daya untuk menyelesaikannya. Masalah penanganan keberatan dan sengketa Pemilu adalah kepentingan khusus saat ini baik di antara negara demokrasi yang sedang berkembang dan yang sudah maju karena signifikansi proses penanganan yang kredibel untuk membuat hasil Pemilu yang stabil.328 Namun, hanya tersedia sumber daya yang minim bagi para praktisi pembangunan ketika merancang dan melaksanakan program-program bantuan yang menangani kebutuhan ini. Bab ini menggambarkan beberapa isu kunci untuk dipertimbangkan oleh para praktisi pembangunan ketika meninjau kerangka hukum dan administratif penanganan keberatan Pemilu dalam demokrasi yang baru atau yang sedang berkonsolidasi. Pembahasan dimulai dengan serangkaian karakteristik kunci bagi sistem yang berhasil, dan merangkum peran berbagai pemangku kepentingan dalam proses penanganan (termasuk badan penyelenggara Pemilu, komisi keberatan dan pengadilan). Studistudi kasus dari seluruh dunia memberikan contoh-contoh peran dari badan-badan ini. Pada kesimpulan bab ini, sebuah daftar periksa yang
327 Satu contoh dari isu ini adalah penyelidikan tahun 2010 Komisi Pemilu Independen Afganistan (Afghanistan Independent Election Commission/IEC) dan Komisi Keberatan Pemilu (Electoral Complaint Commission/ECC) oleh Kantor Kejaksaan Agung Afganistan (Afghan Office of the Attorney General). Setelah tindakan IEC dan ECC mendiskualifikasi kandidat yang menang pada Pemilu 18 September karena kecurangan, pada Desember 2010 Kejaksaan Agung menuduh petugas IEC dan ECC bersekongkol untuk melakukan kecurangan dan meminta Mahkamah Agung membatalkan hasil Pemilu. Pada saat penulisan buku ini, penyelidikan Jaksa Agung terhadap IEC dan ECC ditunda, dan dilakukan secara tertutup. Lihat Yaroslav Tromfirmov, Afghan Supreme Court Asked to Vold Election, Wall St. J. (12 Des 2010), dapat dilihat di http:/online.wsj.com/article/SB10001424052748 703380104576014981538748112.html. 328 The Carter Center, International Obligations for Electoral Dispute Resolution 3-10 (2009), dapat dilihat di http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/peace/democracy/des/edrapproach-paper.pdf. Lihat juga Rafael Lopez-Pintor, Assessing Electoral Fraud in New Democracies: A Basic Conceptual Framework, IFES Electoral Fraud White Paper Series (2010).
116
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
rinci akan membantu menjamin bahwa para praktisi memiliki sumber daya yang memadai untuk mengembangkan program bantuan teknis dan meninjau kerangka hukum dan administratif bagi sistem-sistem penanganan keberatan. Adalah sulit untuk melakukan generalisasi dalam bidang penanganan keberatan karena kurangnya praktik-praktik yang didokumentasikan dan contoh-contoh pengambilan keputusan di luar demokrasi yang sudah mapan. Dan, di dalam seluruh aspek pengembangan demokrasi, kerangka Pemilu dan praktik-praktik administratif untuk penanganan keberatan Pemilu harus didasarkan kepada tradisi budaya, politik dan hukum yang unik di masing-masing negara. Tidak ada pendekatan tunggal atau satu model yang berhasil dimana-mana. Sebagaimana digambarkan oleh contoh-contoh negara yang diberikan selanjutnya di dalam bab ini, keberhasilan dalam penanganan keberatan Pemilu memerlukan sebuah komitmen serius yang secara khusus dari aset organisasional, kemauan politik dan kegigihan.
Masalah-masalah Kunci dan Pertimbangan Dalam Membangun Sistem Pemeriksaan Keberatan Peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem penanganan keberatan harus secara jelas menjabarkan tanggung jawab untuk menerima dan menangani berbagai jenis keberatan dan sengketa; “pintu masuk” (“point of entry”) dan pemeriksaan awal; penyelidikan; penanganan awal dan proses banding; dan untuk penyelesaian proses pengambilan keputusan dalam menyelesaikan sengketa yang terkait dengan Pemilu. Kejelasan dalam Undang-undang Pemilu dan peraturan pelaksanaannya sangatlah penting. Kerangka hukum tersebut harus menyebut dan memberdayakan lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti pengadilan dan Badan Penyelenggara Pemilu, atau lembaga-lembaga baru seperti komisi keberatan atau pengadilan Pemilu, untuk dapat menangani berbagai keberatan dan sengketa ini secara cepat dan semestinya. Yurisdiksi yang tidak jelas dan bertentangan antara pengadilan dan badan-
117
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
badan administrasi akan menimbulkan kebingungan dan menjadi tidak adil bagi partai politik, kandidat, media dan pemilih. Peraturan perUndang-undangan Pemilu juga harus mengatur dengan jelas aturan dan prosedur mengenai dimana, kapan, bagaimana dan dalam bentuk apa keberatan atau permohonan tersebut harus diajukan, termasuk standar mengenai persyaratan pembuktian. Tenggat waktu yang masuk akal tetapi ketat dan batas waktu harus ditentukan bagi bagi para pengadu dan bagi badan penanganan yang menangani perkara-perkara tersebut. Persyaratan terkait dengan format maupun persyaratan formal bagi keberatan perkara Pemilu sedianya diatur dengan jelas dan dirinci di dalam Undang-undang Pemilu atau dalam peraturan pelaksanaannya yang disusun oleh otoritas Pemilu. Suatu formulir resmi yang dapat diperoleh dengan mudah (melalui internet, tetapi juga dalam bentuk cetak yang sederhana) merupakan sebuah awal yang baik untuk memastikan bahwa keberatan yang masuk telah disusun dengan baik dan komprehensif dalam penjabaran fakta-fakta yang ada, tuduhan dan dasar hukumnya. Jika keberatan sudah relatif lengkap ketika diajukan, maka akan menurunkan beban badan-badan penanganan sengketa untuk melakukan pencarian fakta secara independen dan akan mampu untuk menilai atau menyelesaikan persoalan tersebut secara lebih cepat. Peraturan pelaksanaan Pemilu seharusnya menjelaskan persyaratan yang diperlukan terkait dengan kekuatan dan kecukupan barang bukti. Undang-undang Pemilu biasanya mengharuskan bahwa pernyataan dibuat dibawah sumpah dan ditandatangani oleh para pengadu dan para saksi, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu yang dapat membahayakan keselamatan para saksi. Keseimbangan harus dicari antara mengupayakan catatan faktual yang kokoh tanpa terlalu membebani dan menciptakan ketidakadilan bagi si pengadu. Peraturan tersebut harus memberikan peluang yang adil kepada pengadu untuk merevisi dan menambahkan keterangan mereka jika pada awalnya dianggap tidak cukup oleh otoritas keberatan. Selain itu, obyek keberatan (seringkali disebut “teradu”) juga harus diberi kesempatan yang cukup untuk memberikan jawaban terhadap tuduhan-tuduhan yang diajukan dalam keberatan tersebut. Pelaksanaan sidang mungkin akan bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, tetapi tidak
118
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
seharusnya dipandang sebagai hak mutlak atau sebuah keharusan dalam penanganan keberatan. Undang-undang harus mengatur dengan jelas siapa yang dapat mengajukan keberatan dan siapa yang berhak mengupayakan penyelesaian administratif atau yudisial (untuk informasi lebih lanjut mengenai masalah kedudukan dan kepentingan untuk mengajukan keberatan, lihat bagian 1.D dari Bab 1: Standar-Standar Internasional). Hal itu bisa mencakup, merinci bahwa hanya partai politik atau para kandidatlah yang berhak untuk mengajukan keberatan mengenai beberapa masalah, atau bahwa pengadu harus memiliki pengetahuan pribadi atas fakta tersebut dan/atau kepentingan pribadi (personal stake) terhadap hasil dari keberatan tersebut (misalnya seorang warga negara sebenarnya berhak namun namanya tidak ada dalam daftar pemilih atau mengetahui secara pribadi ada orang yang seharusnya tidak ada dalam daftar tersebut). Transparansi dalam proses penerimaan dan penyelesaian keberatan harus didorong. Kebutuhan untuk kerahasiaan selama penyelidikan dan pengambilan keputusan internal dalam badan penanganan sengketa dapat dimengerti. Namun, proses penanganan sengketa seharusnya terbuka, sejauh informasi dasar tentang sifat dan kemajuan kasus dapat diungkapkan, selama proses belum selesai, untuk memungkinkan para peserta politik dan masyarakat untuk memantaunya, dan untuk menghindari berkembangnya desas desus yang tidak benar dan teori konspirasi. Yang lebih penting adalah, proses tersebut harus menyediakan transparansi penuh setelah proses penanganan sengketa berakhir, meliputi pertimbangan hukum dan bukti-bukti penunjangnya. Putusanputusan badan penanganan sengketa dan pertimbangan hukum mereka harus dijelaskan, dipublikasikan dan tersedia di internet. Pendidikan kewarganegaraan dapat memainkan sebuah peranan penting dalam menyempurnakan proses keberatan dan mendorong warga negara, masyarakat madani dan peserta Pemilu untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam memusatkan perhatian terhadap keberatan yang mereka ajukan dan menyatakan tuduhan-tuduhannya. Pemahaman publik terhadap berbagai aturan dan prosedur, serta kepercayaan publik terhadap keadilan dan keterbukaan proses penanganan sengketa, merupakan hal yang
119
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
mendasar untuk menjamin penerimaan yang luas dari legitimasi hasil Pemilu (untuk informasi lebih lanjut tentang peran pendidikan kewarganegaraan dalam proses penanganan keberatan, lihat Bab 5: Berbagai Pendekatan Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil). Berbagai hukuman dan sanksi bagi pelanggaran Undang-undang Pemilu haruslah beralasan dan sebanding dengan tingkat keseriusan pelanggaran dan kesalahan pelanggar tersebut (kesalahan, kelalaian, kesengajaan atau perilaku yang berulang). Hukuman untuk pelanggaran pemilihan yang setara seharusnya dijatuhkan secara konsisten; penalti dan sanksi tidak boleh diputuskan dengan cara yang sewenang-wenang atau bias. Sebagaimana dinyatakan di atas, harus dibedakan antara pelanggaran serius yang benarbenar layak diperlakukan sebagai tindak pidana dan pelanggaran lainnya yang secara adil dapat dikategorikan (dan secara efisien ditangani) sebagai pelanggaran yang bersifat administratif. Sanksi politik yang dikenakan terhadap partai politik dan kandidat dapat merupakan suatu metode penghukuman yang efektif sekaligus untuk menangkal kemungkinan terjadinya kesalahan perilaku yang semestinya tidak perlu terjadi. Jenis-jenis sanksi seperti ini (seperti pemberhentian kampanye, tidak disahkannya kandidat, diskualifikasi partai dari Pemilu atau, pada kasus ekstrim, pembubaran partai politik), seringkali berseberangan dengan kekuasaan politik dalam sistem demokrasi yang sedang berkembang. Sanksi-sanksi politik juga membawa risiko penegakan yang semena-mena dan manipulasi politik jika otoritas Pemilu atau pengadilan berada di bawah pengaruh partisan. Dengan demikian, sanksi politik seharusnya tidak disalahgunakan. Warga negara seharusnya tidak diingkari kebebasannya untuk bergabung dalam partai politik ataupun organisasi lainnya untuk advokasi politik. Mereka seharusnya tidak dihalangi untuk memilih pemimpin partai politik atau mengusulkan kandidat yang lebih mereka sukai. Kebebasan ini seharusnya hanya dibatasi jika dalam situasi khusus yang mengancam integritas mendasar dari proses pemilihan atau keamanan dan ketertiban masyarakat. Walaupun begitu, sanksi-sanksi politik berfungsi sebagai hukuman antara-yang berguna diantara penalti administratif dan penuntutan pidana.
120
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
Tuduhan pelanggaran pidana seringkali ditujukan ke polisi dan kejaksaan lokal, atau diteruskan kepada para petugas oleh Badan Penyelenggara Pemilu. Mekanisme ini cukup dianggap baik, namun untuk kepentingan akuntabilitas, maka sebaiknya catatan atas daftar keberatan tersebut harus pertama-tama (atau juga) dibuat di tingkat Badan Penyelenggara Pemilu. Badan Penyelenggara Pemilu tertinggi seharusnya diberitahu tentang tuduhan pelanggaran luas yang dilakukan para petugas Pemilu, atau keberatan yang dapat menyebabkan pengenaan sanksi pidana atau administratif yang berat, atau sanksi politik bagi kontestan Pemilu (seperti denda yang besar, pembubaran partai politik atau diskualifikasi kandidat). Perbaikan secara administratif mungkin juga digunakan sebagai hak memohon ganti rugi untuk jenis-jenis kasus tertentu dimana sanksi dan penalti tidak dapat menawarkan penyelesaian yang layak, khususnya dalam fase hari pra-pemilihan dari keseluruhan proses Pemilu. Jenis-jenis tindakan perbaikan dapat berupa koreksi kealpaan atau kesalahan dalam daftar pemilih, penerimaan kembali kandidat atau partai yang ditolak secara keliru, memberikan tambahan waktu tayang media kepada para kandidat atau partai yang sebelumnya kurang atau memberikan lokasi rapat untuk kelompok-kelompok yang telah ditolak izinnya secara salah. Pemilu ulang tidak harus mencerminkan maksud dari pemilih pada hari Pemilu yang semula dan seharusnya tidak dilaksanakan tanpa justifikasi yang kuat. Pemilu ulang bukan merupakan cara menghukum yang baik bagi pelanggaran Undang-undang Pemilu kecuali pelanggaran tersebut benarbenar menimbulkan keraguan atas keabsahan hasil pemungutan suara. Mengadakan Pemilu ulang adalah tidak tepat, khususnya jika digunakan secara kolektif untuk menghukum para pemilih karena perilaku yang buruk (sebagai contoh dugaan keterlibatan dalam jual beli suara). Pemilu dimaksudkan untuk memberikan saluran bagi kehendak rakyat. Hasil Pemilu seharusnya tidak diabaikan dengan mudah atau entengnya. Hasil Pemilu seharusnya hanya dibatalkan dalam situasi yang luar biasa, dimana terdapat bukti ketidakabsahan, ketidakjujuran, ketidakadilan, korupsi, atau perilaku menyimpang lainnya yang jelas dan, lebih penting lagi, dimana perilaku tidak pantas tersebut telah mendistorsi hasil Pemilu.
121
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Tanpa adanya situasi-situasi yang luar biasa tersebut, para kandidat dan partai yang kalah dalam Pemilu seharusnya menerima hasil Pemilu daripada terus menerus menggugat bahwa Pemilu dan legitimasi pemerintah yang dihasilkan (dari Pemilu). Mekanisme penanganan keberatan tidak boleh dimanipulasi untuk melanjutkan pertempuran politik pasca Pemilu dan untuk melemahkan hasil akhir Pemilu yang resmi. Orang-orang yang melanggar hukum masih dapat dijangkau melalui proses administratif dan pidana tanpa menunda hasil Pemilu.
Area Kunci pada Keberatan Pemilu Walaupun setiap sistem penanganan keberatan akan menghadapi tantangan yang unik, terdapat beberapa pelajaran penting tentang area kunci pada keberatan Pemilu. Secara khusus, berbagai tantangan dan keberatan Pemilu seringkali muncul di bidang-bidang berikut: •
Penyusunan daftar pemilih. Sebagai landasan dari akuntabilitas seluruh komponen penyelenggaraan Pemilu dan hari Pemilu, akurasi dan ketepatan waktu dari daftar pemilih seringkali menjadi sebuah titik uji yang amat penting bagi legitimasi sebuah Pemilu. Sebagai aturan umum, Undang-undang mengakomodasi proses “keberatan” dengan memverifikasi data tentang mereka dalam dafar pemilih sementara. Dalam beberapa situasi, para pihak dapat mengajukan keberatan tentang daftar pemilih. Walaupun merupakan hal yang normal untuk menggugat daftar pemilih, daftar tersebut seringkali digugat ketika ketidakakuratannya dipandang sangat serius atau tersebar luas. Keberatan yang paling umum berpusat pada penghilangan jumlah pemilih dalam jumlah yang signifikan, kegagalan untuk membersihkan nama pemilih yang telah meninggal dari daftar, kontrol yang tidak mencukupi terhadap para pemilih yang telah meminta perubahan tempat pemungutan suaranya pada hari pemilihan, adanya daftar pemilih ganda (duplicate entry), serta penempatan pemilih ke tempat pemungutan suara yang keliru. Penyelesaian keberatan pada umumnya dicerminkan untuk perencanaan Pemilu-Pemilu berikutnya, dan bukan hanya sebagai tindakan perbaikan atau sanksi atas Pemilu yang baru saja diadakan. Namun, gugatan tidak harus selalu diajukan
122
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
ke pengadilan untuk mendapatkan perubahan yang besar. Terkadang “pengadilan opini publik” juga akan begitu kuat dan begitu tersebar luas untuk mendorong pembaruan, serta di beberapa negara telah mendorong dicetuskannya kampanye daftar pemilih untuk menyusun kembali daftar pemilih dari nol. •
Gugatan terhadap para kandidat. Pada awalnya, seharusnya terdapat sebuah proses yang dapat diakses dan kredibel untuk memungkinkan diajukannya gugatan terhadap para kandidat. Beberapa faktor diskualifikasi utama termasuk: keterlibatan dalam kegiatan milisi ilegal; bukan penduduk di daerah pemilihan (non-residency); memiliki catatan kriminal; dan memegang jabatan senior pemerintah atau lembaga militer atau keamanan. Dalam rangka menentukan gugatan, badan penyelesaian harus memiliki sebuah struktur yang dapat dilaksanakan, direncanakan dengan baik dan independen, karena badan tersebut harus membuat berbagai keputusan yang sulit dan kontroversial. Proses gugatan juga harus tepat waktu untuk menghindari sebuah periode pra-Pemilu yang berkepanjangan.
•
Penunjukan
Badan
Penyelenggara
Pemilu
dan
Panitia
Pemungutan Suara sementara. Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat yang lebih rendah terkadang ditunjuk untuk jangka waktu lebih dari satu tahun (multi-year terms), walaupun dalam banyak konteks mereka ditunjuk untuk melayani Pemilu khusus seperti halnya panitia pemungutan suara. Proses penunjukan dapat menjadi subyek gugatan dan keberatan, khususnya dalam konteks dimana Undang-undang mewajibkan bahwa keanggotaan komisi semacam itu harus berdasarkan perwakilan partai yang berimbang. Jika partai diizinkan untuk mengajukan calon, maka partai kecil seringkali tidak dapat menyediakan jumlah nama yang cukup dan seringkali partaipartai besar akan mendominasi keanggotaan. Berbagai keberatan dan gugatan tentang potensi bias dan ketidakadilan, yang biasanya diatur melalui saluran-saluran Badan Penyelenggara Pemilu yang lebih tinggi (tingkat pusat), dapat menjadi benang kusut yang menunda selesainya proses penunjukan dan secara serius menunda persiapan proses Pemilu. Dalam banyak kasus penundaan tersebut menyebabkan penunjukan para petugas yang mendadak yang belum sempat dilatih.
123
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
•
Intimidasi. Intimidasi kampanye dapat bersifat pasif, pribadi atau dengan kekerasan. Masalah surat ancaman kepada pemilih paling baik ditangani melalui keberatan. Intimidasi pada saat aksi turun ke jalan paling baik ditangani dengan pencegahan, melalui perencanaan pawai yang hati-hati, sistem perizinan untuk mencegah bentrokan, dan kehadiran polisi yang tidak berlebihan. Intimidasi melalui kunjungan ke rumah-rumah jauh lebih sulit untuk dikontrol.
•
Pelanggaran kampanye. Dalam masa pra-Pemilu, bukan tidak lazim jika keberatan diajukan oleh pihak yang tidak kecewa dan para kandidat yang percaya bahwa mereka telah dirugikan oleh berbagai tindakan yang telah dilakukan oleh pihak yang berwenang atau media, atau taktik kampanye yang tidak adil dan tidak beretika yang dilaksanakan oleh lawan mereka. Berbagai keberatan semacam itu biasanya berhubungan dengan berbagai pelanggaran kampanye, misalnya dalam lingkungan dimana pembiayaan kampanye, alokasi waktu media, persetujuan pemerintah tentang fasilitas untuk acara publik dan aksi turun ke jalan, serta peruntukkan tempat-tempat umum bagi poster dan papan reklame (billboard) yang diatur secara ketat dalam berbagai Undang-undang dan peraturan lokal. Salah satu tantangan utama dalam menyelesaikan keberatan sejenis ini adalah bahwa mereka seringkali diperiksa oleh badan-badan lain selain pengadilan atau Badan Penyelenggara Pemilu, seperti komisi media dan tim penggalangan dana kampanye (media commissions and campaign finance committee). Badan-badan sejenis ini sering tidak dipersiapkan secara memadai untuk menangani kasus-kasus tersebut, atau tidak memiliki otoritas penegakan ketika sebuah keputusan dibuat. Demikian juga tindakan perbaikan seringkali terlalu terlambat dan sanksi terhadap para pelanggar tidak membuat para pengaju keberatan “puas”.
•
Pelanggaran pemungutan dan penghitungan suara. Mayoritas keberatan tertuju pada pelanggaran pada hari pemungutan suara. Pelanggaran tersebut biasanya terkait dengan pembatasan akses, panjangnya antrian atau kemacetan, daftar pemilih yang tidak akurat, penolakan oleh petugas pemungutan suara untuk memberikan surat suara kepada pemilih yang potensial, penghitungan suara ganda,
124
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
pemilih di bawah umur, intimidasi terhadap pemilih, kampanye di atau dekat tempat pemungutan suara, pemindahan kotak suara dari tempat yang dapat dilihat publik, merusak segel kotak suara atau memasukkan surat suara palsu. Dalam banyak kasus, proses keberatan tidak akan menghasilkan tindakan perbaikan atau koreksi, walaupun hukuman kepada pelanggaran akan terjadi. Dalam kasus yang ekstrim, sebuah kotak suara tertentu dapat dibatalkan. Penyelidikan yang tepat waktu, menyeluruh dan profesional tentang pelanggaran pemungutan suara dan penghitungan suara khususnya diperlukan untuk mempertahankan kepercayaan publik dalam proses dan penyelesaian berbagai keberatan Pemilu dengan cara yang efisien. •
Pelanggaran tabulasi dan alokasi kursi. Peluang terbesar untuk memanipulasi hasil Pemilu ada di tahap ini. Namun, transparansi, proses kontrol yang ketat, dan kedatangan para penasihat internasional dan tim pemantau yang berpengalaman pada umumnya akan efektif dalam mencegah hal ini. Proses mengumumkan hasil penghitungan secara lokal juga memungkinkan partai dan kandidat untuk menyimpan catatan rekaman mereka sendiri serta meminta penjelasan jika ada perbedaan.
Karakteristik Sistem Pemeriksaan Keberatan yang Berhasil A. Struktur dan Fleksibilitas Jenis dan variasi keberatan dan gugatan terkait Pemilu memiliki konsekuensi praktis bagi sistem penanganan yang dirancang dengan baik. Beberapa jenis keberatan Pemilu yang berbeda – tergantung sifat, keseriusan, penjadwalan, lokasi dan faktor-faktor lainnya – memerlukan penggunaan lembaga-lembaga yang berbeda serta aturan, proses, kerangka waktu atau tingkat otoritas pembuat keputusan yang berbeda. Seperti halnya pelaksanaan seluruh kewenangan yudisial atau yudisial semu (quasijudicial), mekanisme penanganan keberatan Pemilu seharusnya sesuai dan dapat disesuaikan dengan karakteristik persoalan yang sedang diputuskan.
125
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Sebagaimana
disebutkan
di
atas,
ketentuan
tindakan
perbaikan
administratif untuk berbagai keberatan Pemilu tertentu dapat mengurangi beberapa beban dari sistem penanganan keberatan. Perlunya berbagai keberatan diselesaikan di tingkat tertinggi badan penyelenggara atau komisi keberatan Pemilu dapat dikurangi dengan tindakan administratif yang diambil untuk menyelesaikan isu ketika terjadi. Kehati-hatian hendaknya harus diterapkan untuk membangun sebuah sistem yang menggunakan sumber daya kelembagaan untuk menangani serangkaian luas keberatan dan sengketa terkait Pemilu dengan cara yang efektif, tidak berpihak dan cepat. Pengalaman menunjukkan bahwa implementasi terkadang dapat menimbulkan gangguan terhadap suatu sistem penanganan keberatan dalam demokrasi yang sudah maju. Ketika menciptakan atau memperbaiki berbagai sistem ini dalam demokrasi yang sedang berkembang, pendekatan yang multi-aspek (multi-faceted) akan mungkin diperlukan, dengan tujuan memproduksi sebuah sistem yang tidak terlalu rumit ataupun terlalu sederhana untuk mengakomodasi beragam ketidakpuasan Pemilu. Berbagai masalah implementasi harus diantisipasi dan proses hukum secara hati-hati dirancang untuk mengakomodasi kondisi budaya dan politik yang unik pada sebuah negara.
B. Keadilan dan Ketepatan Waktu Perkara-perkara Pemilu melibatkan kombinasi dua elemen penting. Pertama adalah hak dasar partisipasi demokrasi. Hal ini termasuk hak untuk: berserikat secara politik melalui partai politik; mencalonkan diri sebagai kandidat; mendukung partai politik dan kandidat selama masa Pemilu; dan untuk memberikan suara (untuk lebih rinci, lihat Bab 1 StandarStandar Internasional). Elemen kedua adalah kendala waktu. Sebagian besar sengketa dan keberatan Pemilu perlu diselesaikan dengan jadwal yang diamanatkan secara legal dan dipadatkan dari berbagai tahap proses Pemilu, yang paling terlihat adalah selama proses pemungutan suara dan penghitungan suara atau segera setelah hari pemungutan suara. Sebuah sistem penanganan keberatan yang berhasil harus menyeimbangkan standar sesuai proses hukum yang berlaku (due process) dengan tekanan untuk otoritas dan pengadilan Pemilu agar bertindak secara cepat, tergantung dari keseriusan ketidakpuasan Pemilu. Tenggat waktu dan jadwal yang masuk akal bagi prosedur penanganan harus disusun di dalam
126
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
Undang-undang untuk memungkinkan sebuah proses penanganan yang adil namun cepat. Sebagaimana didiskusikan secara luas pada Bab 1, komunitas bantuan demokrasi internasional telah sejak lama mengupayakan untuk menyusun berbagai standar internasional di bidang penanganan keberatan Pemilu. Namun, upaya terdahulu untuk mengumpulkan berbagai standar internasional cenderung menekankan peran lembaga peradilan dan jaminan proses hukum yang berlaku (due process), termasuk sebuah hak dengar pendapat (hearing) serta jalan untuk mengajukan banding, namun dengan mengorbankan ketepatan waktu pemutusan. Hak meminta ganti rugi melalui lembaga peradilan dan atribut “proses hukum yang berlaku” (“due process”) merupakan hal yang amat penting ketika hak dasar terancam dan legitimasi Pemilu jelas-jelas diragukan. Berbagai standar internasional yang menetapkan standar yang tinggi untuk proses hukum dalam penanganan keberatan Pemilu tentu saja merupakan hal yang benar sejauh mereka menangani kasus-kasus yang amat serius seperti pelanggaran dan penyimpangan, khususnya terkait tindakan otoritas Pemilu yang tidak sah atau curang. Tetapi kebanyakan (mungkin sebagian besar) keberatan dan gugatan yang diajukan selama masa Pemilu tidak muncul sampai ke tingkat seperti itu. Mengingat singkatnya kerangka waktu dalam kalender Pemilu, sebuah sistem yang mengharuskan seluruh keberatan pantas mendapatkan seluruh perlindungan menurut proses hukum yang berlaku, tentu saja akan membuat sistem yang ada kewalahan dengan kasus-kasus tersebut. Dalam keadaan seperti itu, bahkan sebuah kasus yang relatif sederhana tidak akan diputuskan sampai Pemilu selesai atau tidak diputus sama sekali. Hal ini sesuai dengan ungkapan penundaan pengadilan adalah penolakan keadilan (“justice delayed is justice denied”). Tidak ada pemangku kepentingan yang memperoleh manfaat dari sebuah sistem penanganan keberatan Pemilu yang tidak dapat mencapai hasil ajudikatif dengan cara yang tepat waktu dan efisien. Sebuah isu terkait adalah kecenderungan dalam demokrasi yang baru berkembang untuk mengkriminalisasikan seluruh pelanggaran Undangundang Pemilu, termasuk pelanggaran dan penyimpangan kecil dalam
127
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
prosedur Pemilu. Biasanya mereka memaksa seluruh keberatan dan sengketa terkait Pemilu dibawa ke sistem pengadilan, yang memicu seluruh persyaratan hukum yang berlaku (termasuk jaminan mengadakan pembacaan gugatan atau pembelaan) dan menghasilkan penanganan keberatan yang lambat yang seharusnya dapat ditangani dengan lebih cepat. Pelanggaran Pemilu yang relatif ringan seharusnya diperlakukan sebagai pelanggaran non-pidana (administratif), di luar wewenang Undangundang yang mengatur pelanggaran Pemilu yang bersifat pidana. Pembedaan seperti ini akan meringankan beban dan mempercepat proses bagi tinjauan awal dan penanganan, yang memungkinkan sebuah proses administratif untuk mengurangi penalti bagi pelanggaran ringan dengan denda yang kecil (atau teguran), mengupayakan tindakan perbaikan untuk memperbaiki masalah, dan mendorong pengakuan para pelanggar (yang akan diselamatkan dari vonis bersalah atas tuduhan perbuatan kriminal dalam catatan mereka). Pedoman perilaku untuk partai politik dan kandidat, walaupun seringkali bersifat saran, dapat juga bermanfaat dalam mengupayakan kepatuhan secara sukarela terhadap norma-norma kampanye yang tidak mendukung pengkodifikasian ke dalam Undangundang Pemilu (yang didorong oleh penyelidikan LSM, media dan lawanlawan politik. Komunitas pembangunan demokrasi internasional telah mulai mengakui bahwa pelaksanaan sistem penanganan keberatan dalam konteks Pemilu yang lebih luas seharusnya tidak dikenakan standar hukum ketat yang berlaku pada perkara administratif dan pidana serius yang berdampak pada hak-hak dasar dan legitimasi Pemilu itu sendiri. Pada awal 2009, Carter Center mengadakan rapat dengan para ahli untuk membahas kriteria untuk menilai penyelesaian sengketa Pemilu sebagai bagian dari proses Pemilu yang demokratis. Laporan pasca-rapat memasukkan butir-butir kesepakatan para anggota rapat, termasuk observasi sebagai berikut:329 Sengketa-sengketa yang tidak terkait dengan pelanggaran atas hak dasar, atau yang melibatkan tindakan negara yang bersifat non329 The Carter Center, Electoral Dispute Resolution Experts’ Meeting 1 (2009), dapat dilihat di http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/peace/democracy/des/electoral-disputeresolution-meeting.pdf.
128
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
diskriminatif, dapat dipertimbangkan informal sifatnya dan tidak harus memerlukan proses hukum yang penuh untuk diselesaikan. Badanbadan administratif dapat bertindak sebagai arbiter tunggal dan final terhadap sengketa seperti itu. Namun, jika tindakan tersebut melibatkan tuduhan pelanggaran hak-hak dasar, bersifat diskriminatif, atau telah diputuskan dengan cara yang sewenang-wenang, para pengadu harus memiliki akses terhadap sebuah pengadilan. Selain itu, jika sengketa administratif tidak diselesaikan secara memadai, dapat menjadi lebih formal di tingkat penanganan berikutnya dan memerlukan tinjauan oleh suatu Tribunal. Tersedianya banding ke pengadilan yang lebih tinggi terhadap sengketa terkait dengan proses Pemilu yang memerlukan penyelesaian oleh tribunal harus dipertimbangkan sebagai suatu praktek terbaik (best practice), ketimbang suatu kewajiban…. Hak untuk mengajukan banding tidak dijamin dalam penanganan suatu sengketa, dan banding bisa dibatasi atau ditolak dalam rangka menghormati kebutuhan untuk efektivitas dan efisiensi dari penyelesaian sengketa Pemilu.
C. Kredibilitas Persyaratan utama untuk sebuah sistem penanganan keberatan adalah bahwa sistem tersebut mendukung kredibilitas proses Pemilu. Jika proses Pemilu dianggap tidak kredibel oleh penduduk, baik kandidat yang kalah maupun pemilih tidak akan mau menerima hasil pemilihan tersebut. Proses Pemilu sendiri akan dianggap sebagai kesalahan tata kelola pemerintah: disfungsi kelembagaan, atau pemerintahan yang buruk dan pertumbuhan ekonomi yang lamban. Apatisme akan berkembang dan dapat menyebabkan keresahan masyarakat. Kurangnya kredibilitas juga mempengaruhi hubungan internasional dan mengurangi penanaman modal asing karena kurangnya kepercayaan para investor. Terdapat dua aspek utama kredibilitas: •
Penilaian yang luas oleh masyarakat tentang kondisi umum tata kelola dan kecenderungan untuk menghubungkan kegagalan lainnya dengan proses Pemilu; dan
129
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
•
Isu-isu kepercayaan publik yang lebih khusus dalam proses Pemilu itu sendiri.
Sikap masyarakat seringkali merupakan gabungan dari kedua aspek tersebut. Jika Pemilu secara umum tidak dipandang kredibel – adil atau tidak– seluruh proses Pemilu akan merupakan pemborosan sumber daya, karena tidak adanya fondasi yang nyata bagi kewenangan atau akuntabilitas pemerintahan.
Isu-isu Kredibilitas dalam Proses Pemilu Jika pengecualian terhadap para pelamar yang tidak memenuhi syarat telah dijalankan sebagaimana mestinya, tetapi kualitas para kandidat masih saja buruk, badan legislatif yang dihasilkan mungkin tidak dapat berfungsi dengan baik. Masalah ini akan dapat diminimalkan dengan sebuah proses gugatan yang efektif untuk mengecualikan para pelamar yang paling banyak korup dan memiliki latar belakang tindak pidana. Jika para kandidat tidak diorganisasikan ke dalam partai atau kelompok lainnya (baik sebelum atau pun sesudah Pemilu), hal ini dapat menyulitkan badan legislatif untuk berfungsi secara efektif. Hal ini tidak secara langsung dipengaruhi oleh proses Pemilu, tetapi dapat ditangkal dengan sebuah sistem Pemilu yang mendorong pengembangan struktur partai. Sebuah media yang benar-benar independen merupakan cara yang terbaik untuk mencegah situasi dimana pemerintah atau partai yang sedang berkuasa memperoleh porsi liputan yang paling banyak oleh seluruh media. Jika media tidak cukup independen, bahkan sebuah Pemilu yang berjalan baik dapat menghasilkan sebuah hasil yang tidak memuaskan, karena pilihan para pemilih tidak akan diketahui dengan baik (well-informed). Hal ini dapat diminimalisir dengan desakan internasional terhadap dan dukungan untuk media yang independen.
Pemilih cenderung berharap terlalu banyak dari Pemilu. Sebuah Pemilu adalah peristiwa yang sangat penting dan diatur secara rinci. Oleh karena itu, komunitas internasional dan pemberitaan media cenderung untuk memfokuskan pada Pemilu dari perspektif jangka pendek, hanya memberikan analisis yang dangkal mengenai keberhasilan Pemilu sebelum mengalihkan perhatian mereka ke masalah lainnya. Kecenderungan
130
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
ini menjanjikan untuk memperbesar harapan bahwa Pemilu tersebut akan membawa perdamaian dan kesejahteraan dengan segera. Hal ini akan memiliki dua implikasi khusus bagi proses Pemilu. Pertama, berarti seluruh upaya harus dilakukan untuk mencegah cacat dalam proses, karena setiap kesalahan yang terlihat akan dibesar-besarkan dan dilimpahkan ke hal-hal yang negatif lainnya. Kedua, jika hasil pemilihan tidak memuaskan, masyarakat akan menyalahkan proses Pemilu, dan bukan yang terpilih. Proses Pemilu yang diatur secara rinci, dipadukan dengan sistem penanganan keberatan yang efisien, transparan dan adil serta pendidikan publik yang semestinya dapat mengurangi masalah ini dan akan mengurangi ekspektasi publik bahwa Pemilu akan menyelesaikan semua masalah nasional.
Sistem Pemeriksaan Keberatan: Lingkup Kewenangan 1. Badan Penyelenggara Pemilu (Election Management Bodies) Proses untuk merancang aturan untuk mengajukan keberatan atau sengketa harus menekankan pentingnya pertanyaan kebijakan mengenai memasukkan dimana dan lembaga mana yang seharusnya berperan sebagai pintu masuk dan badan ajudikator awal. Keberatan yang mempersengketakan hasil Pemilu resmi sebagaimana diumumkan oleh badan penyelenggara Pemilu secara umum harus ditujukan ke pengadilan setelah Pemilu. Namun dalam bidang keberatan pra-Pemilu yang menuduh penyelewengan dalam proses Pemilu atau melanggar Undang-undang Pemilu, badan penyelenggara Pemilu seringkali memainkan peranan awal yang penting atau bahkan peran utama. Sistem yang memungkinkan pengadu untuk memilih antara Badan Penyelenggara Pemilu, badan administratif lainnya, atau pengadilan tingkat pertama untuk mengajukan keberatan pra-Pemilu (sebagaimana terjadi di negara demokrasi yang baru di Eropa Timur atau negara-negara bekas Uni Soviet) akan menimbulkan risiko duplikasi keberatan atau proses banding yang ganda, serta bahkan dapat mendorong persaingan antar lembaga. Berbagai pilihan tersebut akan memungkinkan terjadinya apa yang disebut “forum shopping” (kecenderungan penggugat untuk mengajukan keberatannya ke badan
131
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang dianggap paling menguntungkan) yang akan berisiko mendorong korupsi di tingkat lokal.330 Badan Penyelenggara Pemilu dan petugas Pemilu diberikan tugas berat untuk melaksanakan Pemilu. Lebih lanjut, keputusan (atau kurangnya tindakan) oleh otoritas Pemilu seringkali menjadi obyek keberatan atau gugatan. Menempatkan tanggung jawab untuk mengpenanganan seluruh tahap keberatan kepada struktur penyelenggara Pemilu, akan menimbulkan masalah konflik kepentingan dan kurangnya akuntabilitas. Namun, mengandalkan lembaga peradilan sebagai satu-satunya cara penanganan keberatan Pemilu hanya akan mengarahkan seluruh keberatan dan gugatan terkait Pemilu ke sebuah sistem yang biasanya tidak terbiasa dengan pelaksanaan Undang-undang Pemilu serta pada hakikinya akan lambat untuk prosesnya (karena kepatuhan yang wajar terhadap proses hukum yang diterapkan dalam sistem peradilan atau melulu karena banyaknya tunggakan perkara yang ada. Pengadilan tidak dirancang untuk menyaring secara cepat (berbagai keberatan tidak berdasar atau tidak substansial) dan, oleh karena itu, tidak akan mampu menyelesaikan keberatan Pemilu dengan cepat. Selain itu, melibatkan pengadilan di dalam tahap awal penanganan membebani mereka dengan tekanan politis dan kemungkinan penyelewengan. Ketiadaan suatu lembaga yang sepenuhnya terpisah dan didedikasikan untuk menerima dan menangani keberatan dan gugatan Pemilu (sebagaimana dibahas di bawah), menyebabkan banyak negara menunjuk Badan Penyelenggara Pemilu – di tingkat yang sesuai dengan lokasi, sifat dan keseriusan keberatan – sebagai pintu masuk bagi berbagai seluruh keberatan terkait Pemilu (selain daripada sengketa pasca-Pemilu tentang hasil Pemilu resmi, atau tuduhan serius terhadap Badan Penyelenggara Pemilu itu sendiri). Undang-undang Pemilu seharusnya merinci ruang lingkup yurisdiksi dan kewenangan komisi Pemilu. Beberapa alasan mendukung pendekatan ini:
330 Forum shopping adalah istilah informal yang diberikan kepada praktek dimana penggugat mencari forum atau pengadilan yang dia pikir akan paling memberikannya putusan yang lebih menguntungkan dalam memutus perkaranya
132
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
•
Badan Penyelenggara Pemilu ditunjuk dengan asumsi melalui sebuah proses yang terbuka yang mengupayakan baik independensi atau multipartisan para anggota komisi Pemilu. Diharapkan, para anggota telah dipilih dan dilatih dengan baik untuk meninjau dasar fakta dan hukum terhadap keberatan dan membuat putusan awal. Melalui pengalaman mereka, anggota komisi Pemilu mengembangkan keahlian mereka dalam Undang-undang Pemilu dan peraturan pelaksanaannya. Walaupun para hakim lokal tentu dapat membaca dan menerapkan Undang-undang ini serta juga dapat mengembangkan keahlian, Badan Penyelenggara Pemilu lokal juga akan memberikan manfaat jika memberikan pandangan awal serta mengurangi tumpukan perkara pada komisi atau pengadilan yang lebih tinggi dalam menangani sidang keberatan banding.
•
Masalah Pemilu dapat melibatkan sengketa antara peserta Pemilu, keberatan tentang petugas Pemilu atau petugas publik lainnya, atau tuduhan pelanggaran Undang-undang atau peraturan Pemilu. Di seluruh perkara, sangat bermanfaat bagi sebuah Badan Penyelenggara Pemilu segera mulai menyiapkan rekaman faktual dan mengumpulkan bukti seperti pernyataan para saksi. Jika perkara diajukan ke pengadilan, pengadilan tersebut harus bertanggung jawab mencari fakta. Mengingat keterbatasan waktu, lebih baik jika dalam proses Pemilu, pengadilan tidak harus mulai dari permulaan, dan juga lebih baik untuk melindungi pernyataan saksi dan bukti. Adalah penting untuk menyusun sebuah catatan faktual awal yang kuat sedini mungkin, dan Badan Penyelenggara Pemilu merupakan tempat yang paling efisien untuk memulai proses tersebut. Untuk itu, Badan Penyelenggara Pemilu memerlukan pendanaan dan kapasitas yang mencukupi untuk menyelidiki berbagai gugatan secara profesional dan efisien.
•
Jika keberatan adalah tentang tindakan administrasi atau ketiadaan tindakan dari Badan Penyelenggara Pemilu, seperti penolakan daftar pemilih oleh komisi tingkat kebupaten/kota atau penolakan pengesahan kandidat oleh Badan Penyelenggara Pemilu tingkat daerah, maka akan menjadi layak untuk membolehkan badan tersebut untuk pertama-tama mempertimbangkan kembali kebijakannya atau memperbaiki berbagai kesalahannya. Jika tidak memenuhi kepuasan
133
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
para pengaju keberatan, banding terhadap keputusan administratif kemudian akan ditinjau kembali oleh badan penyelenggara Pemilu yang lebih tinggi, dengan kemungkinan peninjauan kembali oleh pengadilan untuk memutuskan jika telah terjadi ketidakadilan. •
Keberatan yang menuduh terjadinya pelanggaran atau kecurangan disengaja yang dilakukan oleh Badan Penyelenggara Pemilu, khususnya tentang pemungutan suara atau penghitungan suara, harus pertamatama ditujukan kepada Badan Penyelenggara Pemilu tertinggi untuk ditinjau, dengan sebuah hak banding ke pengadilan. Pengadilan seharusnya memiliki kebebasan untuk menguatkan keputusan Badan Penyelenggara Pemilu tanpa memulai kembali kasus tersebut.
•
Menunjuk pengadilan lokal sebagai pintu masuk untuk sebagian besar keberatan terkait Pemilu menempatkan terlalu banyak beban bagi pengadilan dan menggunakan mereka secara tidak efisien. Pengecualian harus ada, tentunya, untuk situasi yang amat mendesak, seperti pendaftaran pemilih atau masalah pemungutan suara pada saat hari Pemilu, dimana pengadilan lokal harus mendengar berbagai keberatan, memutuskan dan bertindak secepatnya untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Dengan risiko menjadi lebih rumit, Undang-undang dan peraturan Pemilu harus memberikan ruang bagi intervensi awal atau khusus oleh pengadilan.
•
Berbagai keberatan yang muncul dari Pemilu seringkali tidak dapat dibuktikan dan lebih berdasarkan desas-desus atau rumor. Terkadang beban kolektif dari banyak tuduhan yang menyebabkan paling banyak kontroversi dalam sebuah lingkungan Pemilu, dibandingkan dengan substansi sebuah tuduhan khusus atau sebuah bukti yang meyakinkan (show of evidence).331 Memberikan Badan Penyelenggara Pemilu peran awal yang lebih kuat akan memungkinkan Pemilu terkait berbagai kasus akan lebih cepat ditinjau karena keseriusan dan substansinya, serta memungkinkan komisi untuk menyaring persoalan yang tidak perlu atau tidak penting, dan untuk memprioritaskan penyelidikan kasus-kasus yang serius (yang dapat dijadikan alasan untuk banding).
331 Lihat umumnya John Hardin Young, Recounts, dalam Internasional Election Principles: Democracy and the Rule of Law 301 (John Hardin Young ed., 2009).
134
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
Pengadilan harusnya mampu untuk menolak untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh dan menguatkan tindakan atau putusan otoritas Pemilu ketika otoritas-otoritas tersebut telah disiapkan untuk melakukan tinjauan yudisial. Selanjutnya Badan Penyelenggara Pemilu tidak hanya sekedar mengumpukan bukti lebih cepat, namun juga bersikap sebagai filter untuk menyaring di tahap awal tuduhan-tuduhan yang sembarangan atau tidak berdasar, dan untuk memprioritaskan perkara-perkara yang lebih serius (perkara yang dapat dibanding).
A. Contoh Negara: Thailand
332
Di banyak negara, otoritas Badan Penyelenggara Pemilu nasional dan komisi-komisi di bawahnya dalam melakukan penanganan sengketa dan keberatan terkait dengan Pemilu seringkali tidak jelas di bawah Undangundang Pemilu. Sebaliknya, Komisi Pemilu Thailand (Election Commission of Thailand/ECT) telah memberikan kewenangan yang luar biasa untuk penanganan keberatan sebagai badan independen yang dibentuk oleh Konstitusi. ECT diberikan hak oleh Undang-undang untuk menjalankan kewenangan yang luas untuk penyelidikan, penanganan dan menjatuhkan penalti yang berat untuk menghukum para pelanggar Undang-undang Pemilu berdasarkan titik berat yang dipertahankan terus menerus secara historis untuk mencegah “jual beli suara”. ECT menggunakan kekuasaannya untuk membatalkan hasil Pemilu sebagai cara utama untuk menghukum dan, kemungkinan juga upaya penjera (terhadap pelanggaran Pemilu). Pemilu ulang akan diperintahkan dalam hal dimana Pemilu dipandang tidak adil karena adanya tuduhan pelanggaran yang tersebar luas, khususnya karena jual beli suara, tanpa memandang apakah pelanggaran menunjukkan telah mengubah hasil Pemilu. Tradisi ECT untuk memerintahkan Pemilu ulang dan mengeluarkan “kartu merah” (melarang kandidat tertentu untuk keterlibatan lebih lanjut dalam Pemilu) dan “kartu kuning” (menuduh kandidat tertentu atas kemungkinan pelanggaran) akan berdasar kepada tinjauan terhadap tuduhan telah menjadi mendarah daging di sistem Thailand sebagai sanksi utama untuk pelanggaran Pemilu. Mekanisme ini mengakibatkan suatu penalti 332 Robert A. Dahl, Adjudication of Election Complaints: Overview and Assesment of the Legal Framework and Process, Presentasi di sebuah Konferensi yang disponsori oleh Komisi Pemilu Thailand (Election Commission of Thailand) (Juni, 2008).
135
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang berat bagi kandidat yang dipandang telah melakukan, berkolaborasi atau mengabaikan berbagai pelanggaran Pemilu (dengan potensi adanya konsekuensi yang berat bagi partai politik mereka, yaitu kemungkinan pembubaran jika pimpinan partai tersebut diputuskan sebagai telah terlibat dalam pelanggaran). Praktik-praktik yang dijalankan di Thailand mungkin tidak akan dapat dengan mudah dilaksanakan pada masyarakat dan sistem politik yang lain. Hanya sedikit pemerintah di dunia ini yang mau untuk memberikan Badan Penyelenggara Pemilu mereka dengan kewenangan ajudikatif dan penegakan yang sedemikian besar, yang juga menimbulkan tanggung jawab dan beban yang sangat besar bagi Badan Penyelenggara Pemilu itu sendiri dan mengundang korupsi. Berbagai peristiwa yang terjadi barubaru ini membuktikan bahwa kekuasaan luar biasa yang diberikan kepada ECT dapat menimbulkan atau memperburuk ketegangan politik yang serius, terlepas dari seberapa adil dan baiknya maksud putusan tersebut diambil. Sebuah badan penyelenggara Pemilu sekuat ECT mungkin bukan merupakan model yang ideal untuk negara-negara lain, karena diberlakukannya kekuasaan ini (atau kegagalan untuk melakukannya) merupakan salah satu pencetus dari kericuhan politik di Thailand dari 2008 hingga 2010.333
2. Komisi Keberatan Pemilu Di
banyak
negara,
sebagaimana
telah
diperhatikan,
mekanisme
tradisional bagi Badan Penyelenggara Pemilu adalah untuk melaksanakan fungsi sebagai badan penanganan keberatan utama, tergantung pada mekanisme banding yang diajukan ke pengadilan. Berbagai butir yang dirangkum dalam bagian sebelumnya menunjukkan bahwa hal ini bukanlah merupakan solusi yang buruk, asalkan Undang-undangnya jelas dalam menentukan yurisdiksi, tata tertib dan penjadwalan untuk melaksanakan kewenangan ini. Namun, banyak ahli yang akan tidak setuju dengan ide Badan Penyelenggara Pemilu terus melaksanakan peran utama dalam penanganan keberatan. 333 Lihat, sebagai contoh., Democrats Under Fire After Ruling, Bangkok Post (13 April 2010), dapat dilihat di http://www.bangkokpost.com/news/politics/36012/democrats-under-fireafter-ruling.
136
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
Pemikiran progresif dalam bidang ini telah cenderung mendukung argumentasi untuk membentuk badan-badan khusus untuk menangani berbagai keberatan dan gugatan Pemilu. Sebagaimana telah dibahas di atas, Badan Penyelenggara Pemilu sudah sangat disibukkan dengan beban yang berat menyelenggarakan Pemilu, dan mungkin mereka sendiri adalah obyek keberatan. Pengadilan juga disibukkan dengan tugas-tugas rutinnya, dan mengirim seluruh keberatan dan gugatan terkait Pemilu ke pengadilan umum biasanya prosesnya berjalan lambat dan tidak efisien. Namun, beberapa negara telah membentuk lembaga yang benar-benar khusus untuk penanganan keberatan Pemilu. Beberapa negara yang lahir dari konflik telah didorong untuk mengadopsi badan penyelenggara Pemilu, seperti Komisi Penyelesaian dan Banding Pemilu Kosovo (Kosovo’s Elections Complaints and Appeals Commission/ECAC). Namun, pengalaman Kosovo menunjukkan bahwa lembaga-lembaga in seringkali terlibat di dalam perang antar lembaga antara Badan Penyelenggara Pemilu maupun pengadilan, karena yurisdiksi mereka yang tidak jelas dan kewenangan kuasi yudisial mereka dipertanyakan. Di Indonesia, lembaga Bawaslu (dahulu Panwaslu, telah ada sebelum reformasi pasca rezim Suharto tahun 1998) mengandalkan otoritas moral ketimbang kewenangan penanganan keberatan konkrit lainnya. Di kedua negara ini, badan keberatan khusus ini, sangat kurang pendanaannya oleh pemerintah, dan posisinya bersaing dengan badan penyelenggara Pemilu lainnya dalam mendapatkan sumber daya yang cukup. Model yang berhasil untuk mendirikan suatu tribunal penanganan keberatan yang khusus di dalam negara-negara non-konflik akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini, juga di dalam Bab 4: Studi-studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter dalam Keberatan Pemilu, termasuk pendirian Pengadilan Pemilu Federal (Federal Electoral Tribunal/TEPJF) Meksiko.
A. Contoh Negara: Pakistan
334
Di bawah struktur hukum Pakistan, suatu Tribunal Pemilu sementara didirikan untuk berbagai gugatan terhadap hasil Pemilu setelah hasil Pemilu diumumkan. Pada awal proses Pemilu, penentuan banding oleh anggota tribunal (Returning Officers) dalam menerima atau menolak surat 334 IFES, Pakistan ECA Conference Report (November 2009) (dokumen rancangan).
137
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
pencalonan kandidat ditangani oleh tribunal banding. Dengan demikian, mekanisme telah tersedia bagi sengketa yang muncul dari kedua fase dari dua ujung proses Pemilu. Namun, di bawah sistem Pakistan, terdapat prosedur yang kurang jelas bagi penyelesaian keberatan Pemilu yang diajukan selama periode kampanye pra-Pemilu dan pada saat hari pemungutan suara, khususnya bagi tuduhan yang tidak merupakan pelanggaran pidana berat dan pada hari pemilihan. Sistem tersebut menawarkan prosedur alternatif dan beberapa pintu masuk untuk mengajukan keberatan selama beberapa tahap tersebut. Tanggung jawab untuk menerima, menyelidiki dan menyelesaikan keberatan pra-Pemilu nampaknya tidak jelas dan tersebar luas. Sedikit keberatan yang diselesaikan, termasuk yang terkait tindak pidana. Banyak keberatan dan gugatan terkait Pemilu terbenam di tengah birokrasi atau baru diputuskan lama setelah Pemilu berakhir. Komisi Pemilu Pakistan (Election Commission of Pakistan/ECP) dan petugas lainnya seringkali secara tidak adil disalahkan untuk hasil dari suatu sistem yang pada hakekatnya sudah cacat. Para peserta Pemilu dan masyarakat umum di Pakistan kurang percaya pada kapasitas sistem penyelesaian sengketa untuk dapat berfungsi atau kurang memahami bagaimana mereka dapat mengakses sistem tersebut dengan baik. Prosedur untuk melaksanakan proses penyelesaian harus diperjelas dan
dirasionalkan.
Kewenangan
dan
kekuasaan
lembaga-lembaga
yang bertanggung jawab terhadap penanganan keberatan pra-Pemilu dan hari pemungutan suara harus dinyatakan dengan tegas. Komisi Pemilu Pakistan telah mengakui dibutuhkannya reformasi di bidang ini dan telah menunjukkan komitmennya yang tegas untuk memperbaiki tata tertib melalui Proyek Reformasi Penyelesaiakan Keberatan Pemilu ECP (ECP’s Election Complaint Adjudication/ECA Reform Project). Sebuah usulan solusi yang muncul dari Proyek Reformasi ECA adalah proposal untuk membentuk “Komite Penyelidikan Distrik” (“District Enquiry Committees”) di administrasi Pemilu tingkat menengah untuk memasukkan dan menyelesaikan berbagai keberatan dan gugatan dengan cara yang lebih cepat. Komite ini akan menyediakan “pintu masuk” bagi berbagai keberatan dan gugatan selama periode pra-Pemilu dan pada saat pemungutan suara (bersama dengan ECP).
138
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
B. Contoh Negara: Ghana
335
Di Ghana, putusan Komisi Pemilu dapat diajukan banding ke pengadilan, termasuk kasus-kasus yang melibatkan pendaftaran pemilih dan pencalonan kandidat. Penyelesaian berbagai gugatan bagi permohonan untuk mendaftar sebagai pemilih berada di bawah tanggung jawab Komite Peninjauan Pendaftaran Distrik (District Registration Review Committee) dan keputusannya dapat diajukan banding ke Ketua Pendaftaran Pemilu/ Hakim Pengadilan Tinggi dari wilayah tersebut. Untuk keperluan pelaksanaan sidang terkait dengan pendaftaran yang digugat pada saat pendaftaran, Komite Peninjauan Pendaftaran Distrik (DRCC) didirikan di setiap distrik, terdiri dari para perwakilan partai politik aktif yang berada di dalam suatu distrik dan tidak lebih dari empat orang lokal yang diketahui netral dan mampu bersikap adil. Sekretaris Komite Peninjau Pendaftaran Tingkat Distrik adalah Petugas Pemilu Distrik (District Electoral Officer) dan Komisi (Pemilu) dengan syarat bahwa Petugas Pendidikan Distrik (District Education Officer), Petugas Polisi Distrik (District Police Officer) dan seorang wakil dari otoritas tradisional di dalam distrik juga harus menjadi anggota. Komisi lebih lanjut mengatur bahwa Hakim Pengadilan Tinggi Pengawas (Supervising High Court Judge) dari setiap provinsi (region) seharusnya adalah Ketua Petugas Peninjau Pendaftaran (Chief Registration Review Officer) untuk tingkat provinsi dan seharusnya menentukan gugatan banding (appeal) dari pemilih yang tidak puas dengan keputusan dari Komite Peninjauan Pendaftaran tingkat Distrik.336 Sanggahan atau keberatan terkait daftar pemilih sementara diselesaikan oleh Petugas Perbaikan Pendaftaran Distrik (District Registration Revising Officer) yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri (Magistrate of the District Court) dan keputusan dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi (High Court). Keabsahan Pemilu legislatif dapat digugat melalui permohonan yang diajukan ke Pengadilan Tinggi dalam waktu 21 hari setelah tanggal publikasi dalam Lembaran Resmi Publikasi hasil Pemilu. Namun, jika sebuah permohonan mempertanyakan Pemilu atas dasar praktik korup yang melibatkan pembayaran uang, maka hal itu dapat diajukan ke 335 European Union Election Observation Mission, Ghana Final Report: Presidential and Parliamentary Elections 2008 27 (Februari 2009), dapat dilihat di http:www.eueomghana. org/EN/PDF/Final_report/EU_EOM_Final_Report_Ghana.pdf. 336 Lihat Electoral Commission of Ghana, Electoral Reform, http://www.ec.gov.gh/node/10.
139
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pengadilan Tinggi sebelum hasil Pemilu diumumkan secara resmi pada lembar publikasi hasil Pemilu.
C. Contoh Negara: Wilayah Palestina
337
Berdasarkan Undang-undang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Local Council Elections Law) (Nomor 10 Tahun 2005) (LCEL) untuk Wilayah Palestina, Komisi Pemilu Pusat (Central Election Commission) bertanggung jawab untuk menanggapi keberatan secara administratif dalam dua bidang khusus: 1) tuduhan ketidakuratan daftar pemilih; dan 2) keberatan terhadap pendaftaran kandidat dan pencalonan kandidat. Putusan-putusan CEC diatas adalah dapat diajukan banding yudisial ke Pengadilan Tingkat Pertama (Courts of First Instance/FICs). Pengadilan ini ditunjuk oleh LCEL Tahun 2005 sebagai “pengadilan yang memiliki kewenangan” untuk mengajukan banding terhadap berbagai keputusan CEC (atau melalui cabang-cabang di bawahnya) terhadap berbagai keberatan mengenai ketidakakuratan dalam daftar Pemilu dan penolakan terhadap pendaftaran kandidat dan pencalonan kandidat. FIC juga diberi wewenang yurisdiksi yang sangat signifikan untuk mendengar gugatan yang menguji hasil Pemilu yang telah diumumkan secara resmi. Lebih penting lagi, LCEL mengatur bahwa putusan FIC tentang berbagai gugatan terhadap keputusan CEC dan keberatan hasil Pemilu adalah bersifat final. Sebelum dilakukannya Pemilu lokal di wilayah Palestina, CEC nampaknya siap untuk berkoordinasi dengan FICs untuk memastikan bahwa kasus yang masuk ke FIC telah disiapkan sebagaimana mestinya, dan terlibat dalam pelatihan gabungan. Sayangnya, LCEL tidak memberikan pedoman mengenai proses bagi CEC atau pengadilan untuk menangani jenis keberatan Pemilu seperti, penyimpangan Pemilu dan penghitungan suara, pelanggaran tata tertib kampanye oleh para pendukung kandidat, ketidaksesuaian daftar Pemilu pada hari pemungutan suara, dan tuduhan tindak pidana Undang-undang Pemilu. Kekosongan ini akan mengancam keberlangsungan dan persepsi
337 IFES, Technical Assistant to Strengthen the Complaints and Appeals Process for Local Council Elections in the Palestinian Territories (April 2010) (makalah konsep).
140
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
publik tentang proses penanganan keberatan secara keseluruhan di Palestina, serta membutuhkan perhatian CEC.338
3. Tribunal Pemilu Demokrasi di seluruh dunia telah menunjukkan kecerdikan/kemampuan kreatifnya (ingenuity) dalam menciptakan berbagai lembaga penanganan keberatan Pemilu yang sesuai dengan tradisi kultural, politik dan legal yang unik. Contoh-contoh berikut ini menunjukkan bahwa pembentukan berbagai lembaga baru, dan praktik pelaksanaannya telah menghasilkan gabungan yang baik antara tugas-tugas administrasi Pemilu dan penanganan keberatan Pemilu, termasuk berbagai tanggung jawab khusus lainnya. Negara-negara Amerika Latin tercatat telah merintis kombinasi praktik-praktik institusional yang menggabungkan tanggung jawab administrasi Pemilu dengan pemahaman terhadap kewajiban untuk memberikan mekanisme penanganan keberatan Pemilu.
A. Contoh Negara: Brasil
339
Brasil dipandang sebagai negara yang memiliki sistem penanganan keberatan yang efektif yang berdasarkan ketentuan yang kuat dalam Konstitusi dan Undang-undang Pemilunya. Sistem penanganannya menggunakan Pengadilan Pemilu Tingkat Tinggi (Tribunal Superior Electoral, TSE), sebuah Pengadilan Pemilu tingkat Negara Bagian (Regional Electoral Court) di ibukota setiap negara bagian, ditambah satu di tingkat federal (Federal District). Kota-kota yang lebih besar memiliki hakim-hakim Pemilu tingkat kota, dan kota-kota yang lebih kecil memilih dewan pengawas Pemilu daerah. Konstitusi Brasil merinci komposisi Pengadilan Pemilu dan menyatakan bahwa sebuah Undang-undang tambahan seharusnya dibuat untuk mendefinisikan “organisasi dan kewenangan pengadilan, hakim dan badan pengawas Pemilu”. Ketentuan konstitusional dan Undang-undang yang mendirikan lembaga-lembaga penanganan keberatan membantu melindungi hak peninjauan yusidial dalam masalah Pemilu.
338 FES, Election Complaint Appeals Process in Palestine: Assessment and Recommendation (April 2010). 339 IFES, penelitian internal, Juni 2010. Lihat:http://www/v-brazil.com/government/laws/ titleIV-Justice.html.
141
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
TSE dibentuk pada tahun 1932340 dan memiliki yurisdiksi luas yang mencakup seluruh aspek Pemilu dan mengatur berfungsinya partai-partai politik. TSE merupakan badan penanganan dan juga badan penyelenggara Pemilu yang utama untuk Brazil. Kewenangannya meliputi mengawasi konvensi partai dan Pemilu internal; menyetujui atau membatalkan pendaftaran partai; mendaftarkan kandidat dan mengesahkan mereka yang terpilih; mengatur dan mengawasi akses partai terhadap akses waktu nirbayar pada televisi dan radio selama Pemilu; dan mendaftarkan para pemilih. Sebagai contoh, selama Pemilu presiden putaran kedua 2010 antara Dilma Rousseff dan Jose Serra, TSE melakukan intervensi dengan mengharuskan manajer kampanye Rousseff untuk menarik kembali komentar yang telah dia buat lewat jejaring sosial Twitter yang meragukan integritas kampanye Serra.341 TSE juga merupakan contoh yang baik tentang badan penanganan keberatan yang kuat dan independen: badan ini menetapkan anggarannya sendiri, dan pengawasan para anggotanya dilakukan oleh presiden dan lembaga peradilan, sementara audit pengeluaran dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat dan lembaga peradilan.342
B. Contoh Negara: Kosta Rika
343
Tribunal Agung Pemilu (Supreme Electoral Tribunal, TSE) Kosta Rika didirikan sebagai sebuah badan independen tahun 1946. Sebelum itu, administrasi Pemilu merupakan tanggung jawab sekretaris urusan internal, yang merupakan bagian dari pemerintah eksekutif. TSE dimasukkan ke dalam konstitusi baru tahun 1949 sebagai badan konstitusional dengan kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan Pemilu. Semenjak itu badan ini telah menjadi satu dari lembaga yang paling bergengsi di Kosta Rika. TSE memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan, melaksanakan dan mengawasi seluruh Pemilu, termasuk Pemilu presiden, legislatif dan pilkada. Lembaga ini melayani mekanisme penanganan keberatan Pemilu. 340 TSE dibubarkan menyusul diadopsinya sebuah konstitusi baru pada tahun 1937, tetapi kemudian didirikan kembali pada tahun 1945 dan terus berlangsung keberadaannya sejak saat itu. Sejarah Pengadilan Pemilu Tingkat Tinggi (Superior Electoral Court), http://www. tse.gov.br/internet/ingles/institucional/o-tse.htm (terakhir dikunjungi 3 Januari 2011). 341 Brazil: The Superior Court Intervenes Over Offenses to Jose Serra, Momento24, 30 Okt, 2010, http://momento24.com/en/2010/10/30/brazil-the-superior-electoral-court-intervenesover-offenses-to-jose-serra/ (terakhir dikunjungi 3 Januari 2011). 342 Brazil Comparative Data, ACE Electoral Knowledge Network, http://aceproject.org/epicen/CDCountry?country=BR&set_language=en (terakhir dikunjungi 3 Januari 2011). 343 IFES, penelitian internal, Juni 2010. Lihat:http://www/v-brazil.com/government/laws/ titleIV-Justice.html.
142
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
Konstitusi mengatur bahwa TSE bertanggung jawab terhadap kewenangan penafsiran baik norma konstitusional dan legislatif terkait urusan Pemilu. Hal ini berarti bahwa konstitusi memberikan kekuasaan konstitusional, legislatif dan yudikatif kepada TSE. Putusan dan resolusi TSE tidak dapat diajukan banding. Hal ini merupakan atribut yang luar biasa dan penting, karena tidak ada yang dapat menggugat hasil Pemilu di pengadilan. Selama periode kampanye Pemilu, yang berlangsung tiga bulan, TSE memiliki kontrol langsung terhadap Pertahanan Sipil (Civil Guard) (bagian dari pasukan keamanan nasional). Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa Pemilu menjadi bebas dan tanpa campur tangan dari otoritas politik. Kongres tidak dapat mengundangkan Undang-undang apapun mengenai Pemilu kurang dari enam bulan sebelum hari pemungutan suara atau lebih cepat dari enam bulan setelah hari pemungutan suara. TSE harus dimintai konsultasinya di muka dalam memajukan semua usulan untuk peraturan perUndang-undangan terkait Pemilu; jika hal ini tidak dipatuhi, Undang-undang yang dihasilkan akan tidak sah dan batal. Agar Badan Legislatif dapat mengUndang-undangkan peraturan perUndang-undangan yang bertentangan dengan pendapat TSE, mayoritas dua pertiga dari anggota diperlukan. Partai politik pada umumnya memiliki kepercayaan penuh terhadap kemandirian dan ketidakberpihakan TSE, utamanya karena kemampuan TSE untuk melaksanakan Pemilu sesuai dengan jadual dan tetap netral dan transparan selama proses pemilihan. Pandangan kelompok masyarakat sipil tentang kualitas hubungan kerjasama dengan TSE sangatlah positif. Hubungan mereka dengan TSE selalu terbuka dan berdasarkan saling percaya satu sama lain.
C. Contoh Negara: Uruguay
344
Undang-undang Pemilu Tahun 1924 membentuk sebuah badan Pemilu yang otonom, independen dan permanen di Uruguay. Penyelenggaraan 344 Sara Staino, Uruguay: The Electoral Court – A Fourth Branch of Government 1-2, dapat dilihat di http://aceproject.org/ero-en/regions/america/UY/Uruguay_TheElectoralCourtpercent 20-AFourthBranchofGovernment.pdf/view?searchterm=uruguayelectoralpercent-20court.
143
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pemilu dihimpun di bawah yurisdiksi Pengadilan Pemilu (Corte Electoral). Pada tahun 1934, eksistensi dan kekuasaan Pengadilan Pemilu dinyatakan di dalam konstitusi. Keanggotaan pengadilan bersifat campuran, dengan lima anggota “yang tidak berpihak secara politik” yang semuanya dipilih oleh badan legislatif, dan empat perwakilan dari partai politik dengan suara terbanyak yang dipilih oleh anggota dari setiap partai dalam badan legislatif. Pengadilan Pemilu kemudian mengawasi Badan Pengawas Pemilu yang permanen, yang bertindak sebagai Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat departemen. Kewenangan Pemilu pengadilan termasuk tanggung jawab pengelolaan tradisional, seperti pendaftaran Pemilu dan pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Selain itu, hal ini juga mengawasi Pemilu internal partai politik dan Pemilu di perguruan tinggi di seluruh negeri. Pengadilan tersebut juga berfungsi sebagai pengadilan tertinggi mengenai urusan terkait Pemilu, termasuk penanganan berbagai sengketa dan gugatan Pemilu. Dengan jumlah mayoritas enam dari sembilan anggota, dimana paling sedikit tiga anggotanya harus tidak berpihak secara politik, Pengadilan Pemilu memiliki kewenangan untuk menyelidiki secara formal hasil seluruh Pemilu dan referendum, untuk menolak hasil Pemilu dan mengumumkan hasilnya tidak sah dan batal, serta untuk mengadakan penyelidikan terhadap hasil suara suara. Lebih lanjut, pengadilan tersebut memiliki hak khusus untuk menerbitkan Undang-undang yang bersifat administratif, yudikatif dan pengaturan, dan tidak ada Undang-undang tersebut yang dapat dirubah oleh cabang dari pemerintah manapun. Kekuasaan terakhir ini merupakan hal yang unik dalam pemerintahan Uruguay – tidak ada badan yang dapat mengeluarkan berbagai aturan dan Undang-undang dalam bidang keahliannya yang tidak dapat ditinjau oleh lembaga pemerintahan lainnya. Indenpendensi politik dan kewenangan yang mutlak ini membuat Pengadilan Pemilu Uruguay menjadi sebuah badan penanganan yang kuat, tidak seperti badan penanganan keberatan Pemilu lainnya.
D. Contoh Negara: Nigeria
345
Di Nigeria, Pengadillan Pemilu diberi kewenangan oleh Konstitusi dan Undang-undang Pemilu No. 2 Tahun 2006 juga mengatur mekanisme 345 IFES, Election Tribunal Assesment in Nigeria (Mei 2008) (laporan).
144
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
penanganan keberatan Pemilu. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa gugatan Pemilu yang muncul dari pelaksanaan Pemilu Presiden ditangani oleh Pengadilan tingkat Banding dan gugatan Pemilu lainnya ditangani oleh Tribunal Gugatan Pemilu (Election Petition Tribunal). Pengadilan Banding dan Mahkamah Agung juga dapat memiliki kewenangan memeriksa banding. Dalam Pemilu tahun 1999 dan 2003, diperlukan waktu kira-kira lima tahun untuk mengpenanganan sebuah gugatan, dan terkadang keberatannya diabaikan begitu saja oleh para hakim. Setelah Pemilu 2003, sebuah upaya yang sangat besar untuk memperkuat proses penanganan keberatan di Nigeria dilakukan. Teknik-teknik pengelolaan perkara yang diikuti oleh Pengadilan Gugatan Pemilu termasuk prosedur pra-peradilan, memungkinkan para hakim pengadilan untuk memaksa pihak-pihak yang bersengketa untuk memfokuskan hanya pada isu-isu yang relevan, untuk membatasi saksi hanya mereka yang relevan, tidak ada kesaksian kumulatif (non-cumulative testimony), untuk bertukar bukti tertulis sesuai proses persidangan, dan untuk menghindari penundaan sidang, kecuali diperlukan.
E. Contoh Negara: Meksiko
346
Pedoman Federal atas Lembaga dan Prosedur Pemilu tahun 1990 (Federal Code of Electoral Institutions and Procedures) memberikan Badan Penyelenggara Pemilu (Instituto Federal Electoral, IFE) dan Tribunal Pemilu Federal (Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federacion, TEPJF) tanggung jawab bersama untuk penegakan Undang-undang Pemilu. Tribunal Pemilu Federal mengawasi proses Pemilu secara keseluruhan, menyelesaikan sengketa dan mengesahkan keabsahan hasil Pemilu. Tribunal ini terdiri dari tujuh anggota Kamar Superior (Superior Chamber) permanen, dan lima Kamar Daerah (Regional Chambers). Tribunal ini sangat dihormati dan efektif, serta kepercayaan terhadap lembaga ini sangat penting dalam memutuskan Pemilu Presiden tahun 2006 yang hanya berselisih suaranya tipis. Namun model ini memerlukan komitmen sumber daya dan kemauan politik yang amat besar yang hanya sedikit negara yang dapat memenuhinya. Sistem ini dicakup jauh lebih rinci dalam Bab 4 dan 5 dari buku ini.
346 Lihat Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federacion, http://www/trife.org.mx/ingles/ index.asp (Englishpage).
145
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Penyelesaian Sengketa Pemilu di Bidang OSCE: Menuju sebuah Sistem Pengawasan Sengketa Pemilu yang Standar (Laporan OSCE, 2000) ...Beragam pendekatan dan mekanisme, yang ditempa oleh tradisitradisi legal dan politik yang berbeda, digunakan oleh pemerintah dalam penyelesaian sengketa Pemilu. Sistem yang dipilih terutama diturunkan dari kerangka Pemilu keseluruhan, tergantung dari berbagai lembaga dan prosedur yang terlibat di dalam proses... Terdapat juga beragam model proses hukum dimana sengketa Pemilu ditangani. Berbagai keputusan final tentang gugatan dapat tetap berada di hirarki Badan Penyelenggara Pemilu, dapat ditangani oleh sistem pengadilan biasa secara khusus atau dapat juga diberikan kepada mahkamah konstitusi, yang bertindak sebagai pengadilan Pemilu. Selain itu, tindakan perbaikan yang berbeda dapat diberikan, termasuk di antaranya tindakan administratif lainnya oleh negara dan atau petugas Pemilu untuk memperbaiki sebuah masalah, dan tuntutan kriminal sebuah tuduhan kecurangan Pemilu... Jelas tidak ada satu metode tunggal yang cocok untuk semua negara. Model mana yang akan disahkan sangat tergantung dari tingkat konsolidasi yang dicapai dalam proses demokrasi. Namun, sebuah kebebasan negara dalam mengambil pilihannya bukan tidak terbatas dan harus diterapkan secara konsisten dengan standarstandar internasional. Hak untuk sebuah tindakan perbaikan bagi pelanggaran hak asasi manusia adalah sebuah hak asasi manusia itu sendiri...
Daftar Periksa Rekomendasi Sebuah tema sentral dalam membentuk atau meningkatkan sistem untuk penanganan sengketa keberatan Pemilu adalah pentingnya untuk mengenali keragaman sifat dan keseriusan dari jenis keberatan dan gugatan yang muncul dari Pemilu. Suatu sistem penanganan keberatan yang efektif harus mengembangkan fleksibilitas dalam menggunakan lembaga dan prosedurnya untuk mengpenanganan berbagai ketidakpuasan yang timbul dari Pemilu dan untuk menjatuhkan penalti dan sanksi. Bab ini telah menekankan (dan contoh-contoh negara telah digambarkan)
146
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
perlunya berbagai mekanisme yang sesuai dengan tradisi kultural, politik dan hukum tertentu di tiap negara. Selanjutnya daftar periksa berikut ini menyajikan isu-isu kunci bagi para praktisi untuk dipertimbangkan dalam menyusun atau meninjau berbagai kerangka legal dan administratif bagi penanganan keberatan :
√ Pembentukan badan keberatan Pemilu: Badan penanganan keberatan Pemilu biasanya merujuk pada sebuah Komisi, Tribunal, Pengadilan, Panel atau nama lainnya yang mencerminkan karakter kuasi yudisialnya. Pemilihan nama seharusnya mencerminkan cara bagaimana istilah tersebut digunakan dan dipahami di tingkat lokal. Ada kalanya, keberatan ditangani oleh Badan Penyelenggara Pemilu sendiri. Peraturan perUndang-undangan yang membentuk badan keberatan juga harus merinci jumlah, metode penunjukan dan jangka waktu anggotanya, independensinya, yurisdiksi dan kekuasaannya. √ Yurisdiksi yang jelas: Penyusunan peraturan perUndang-undangan untuk badan penanganan keberatan Pemilu haruslah jelas dan haruslah mendefinisikan hal-hal sebagai berikut: hak untuk menggugat; beban pembuktian keberatan yang diperlukan serta sifat dan kecukupan bukti; dan yurisdiksi badan yang menangani beragam aspek proses Pemilu. √ Independensi: Perwujudan dan realitas independensi suatu otoritas keberatan Pemilu berasal dari ketentuan Undang-undang yang membentuknya;
metode
penunjukan
anggotanya;
pengalaman
profesional dan reputasi para anggotanya; jaminan anggaran yang diterima; kemampuann untuk mempekerjakan dan menjaga staf profesional yang kompeten yang mendukung independensinya; dan penghormatan publik yang diperolehnya dari kredibilitas proses Pemilu. Dimasukkannya kata “independen” dalam ketentuan yang membentuk otoritas keberatan Pemilu adalah yang paling penting. √ Keanggotaan: Para anggota idealnya ditunjuk untuk memastikan bahwa
mereka
non-partisan,
atau,
jika
hal
tersebut
tidak
memungkinkan, maka pengaruh politis harus seimbang. Pencalonan oleh partai politik mau tidak mau akan menyebabkan politisasi dan
147
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
oleh karenanya tidak direkomendasikan. Calon yang layak termasuk: dari pengadilan; asosiasi perguruan tinggi; organisasi hak asasi manusia yang mapan; asosiasi hukum; asosiasi bisnis nasional; atau organisasi buruh nasional. √ Jangka waktu penunjukan: Jangka waktu penunjukan haruslah memadai untuk mencakup persiapan dan pelatihan sebelum Pemilu sampai kebutuhan waktu untuk keberatan setelah Pemilu. Pada rentang waktu diantara Pemilu, para anggota harus hadir setiap hari dengan tugas antara lain untuk menyetujui laporan dan membuat keputusan terkait staf tetap. Keberlangsungan catatan dan keahlian staf akan dipertahankan dengan sedikit staf kunci yang akan terus ada. √ Karakteristik anggota: Karena otoritas keberatan Pemilu memiliki peran kuasi yudisial, para anggotanya biasanya adalah hakim atau pengacara senior. Di banyak negara, waktu yang diperlukan untuk pekerjaan ini tidak akan menghalangi seorang hakim atau pengacara mengambil posisi ini sambil mempertahankan posisi permanen sebagai seorang hakim atau pengacara. Di negara-negara lain, jangkauan dan kompleksitas Pemilu akan mengharuskan anggota untuk mengambil cuti. √ Pendanaan: Otoritas keberatan Pemilu seharusnya dibiayai melalui anggaran tahunan yang ditetapkan lembaga legislatif dan seharusnya tidak dialokasikan melalui Kementerian Keuangan. Hal ini menghalangi partai berkuasa yang memiliki pengaruh yang berlebihan mengenai anggaran dan menempatkan tinjauannya di hadapan sebuah komite yang terbuka, umum dan multi-partai. √ Kejelasan tata tertib: Prosedur yang dibentuk untuk otoritas keberatan Pemilu seharusnya jelas tentang aturan untuk mengajukan sebuah gugatan dan memberikan sebuah definisi yang jelas tentang hak gugat dan beban pembuktian untuk tuduhan-tuduhan yang khusus. √ Legitimasi: Jika suatu otoritas keberatan Pemilu berfungsi dengan baik, menerbitkan laporan yang jelas dari keputusan yang adil, menerapkan sanksi yang semestinya dan melaporkan kasus-kasus
148
Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Keberatan Pemilu yang Efektif
serius untuk penuntutan, maka akan mendapatkan penghargaan publik yang merupakan dukungan terbaik bagi kemandiriannya. Hal ini mengingatkan kembali tentang peran pelaporan dan informasi publik yang dijalankan oleh staf permanen utama selama rentang waktu antar Pemilu. √ Keberlanjutan di tahun non-Pemilu: Fungsi staf permanen di antara waktu Pemilu seharusnya adalah untuk melengkapi dan mempublikasikan catatan keputusan keberatan di Pemilu yang lalu, meninjau dan memperbaiki berbagai prosedur dan sistem untuk menangani keberatan; berpartisipasi dalam program informasi publik mengenai Pemilu, menginformasikan perubahan dalam proses Pemilu; menyelenggarakan pelatihan tidak tetap (occasional) bagi staf tidak tetap yang mereka inginkan untuk bekerja kembali di Pemilu berikutnya; dan menyiapkan Pemilu-Pemilu yang berikutnya. √ Pengalaman yudisial para anggota: Proses penanganan keberatan pada hakikatnya merupakan sebuah proses penilaian dan penentuan yudisial. Pengalaman seorang hakim atau mungkin seorang pengacara senior sangat dan mungkin relevan dengan tugas tersebut. Sebuah majelis hakim, pensiunan hakim atau pengacara senior akan menjamin bahwa aspek-aspek kunci dari penentuan tersebut ditangani secara profesional. √ Pengakuan saksi: Terdapat kecenderungan anggota partai politik untuk memasukkan keberatan berdasarkan laporan dari orang-orang simpatisan partainya (“party agents”). Undang-undang, peraturan atau prosedur seharusnya jelas sehingga otoritas keberatan Pemilu harus menerima secara langsung dan pribadi, bukti dari orang yang menyaksikan pelangggaran terhadap Undang-undang atau pelanggaran sebuah peraturan yang dapat menjadikan alasan pengajuan keberatan, atau yang memiliki pengetahuan pribadi untuk mendukung gugatan terhadap seorang kandidat. Laporan tidak langsung dari anggota partai merupakan kabar angin dan tidak dapat ditindaklanjuti. √ Batas waktu: Undang-undang, peraturan dan aturan prosedur hasus menentukan batas waktu untuk memasukan sebuah gugatan atau
149
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keberatan. Terkait keberatan tentang tindak pidana atau pelanggaran, batas waktu 24, 48 atau 72 jam setelah pelanggaran disaksikan adalah memadai. Tidak perlu diberikan waktu untuk dilakukannya suatu keputusan politis dibuat apakah perlu mengajukan keberatan. Pertanyaan batas waktu yang harus dipatuhi otoritas keberatan Pemilu adalah problematik. Batas lima atau bahkan lima belas hari setelah menerima keberatan dapat mengakibatkan keputusannya diabaikan dan mendorong penundaan oleh tergugat. Berbagai keberatan yang kritis mungkin melibatkan investigasi yang rumit. Kecepatan merupakan hal yang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan keadilan. √ Sanksi yang masuk akal: Otoritas keberatan Pemilu harus memiliki kekuasaan untuk menerapkan sanksi yang diatur oleh Undang-undang; yang bersifat masuk akal, yang sebanding dengan pelanggaran; berbeda-beda berdasarkan situasi yang berbeda; diterapkan secara konsisten; tidak secara berlebihan dibatasi oleh ketentuan minimum yang menghapus diskresi; termasuk sanksi yang berguna dalam kasus dimana tindakan hukuman yang sesuai dan juga korektif sifatnya, dimana memungkinkan; termasuk diskualifikasi kandidat atau pencopotan staf Pemilu untuk pelanggaran serius; termasuk rujukan untuk penuntutan pidana; dan jika diterapkan mengecualikan hukuman tambahan bagi tindak pidana yang dituduhkan. √ Publikasi catatan yang baik: Suatu ringkasan putusan yang diambil harusnya diterbitkan secara teratur selama periode keberatan dan gugatan. Hal ini akan mendongkrak kredibilitas proses tersebut. Di lain pihak, ekspektasi juga harus dikelola. Selama waktu memungkinkan, sebuah laporan penuh seharusnya dipublikasikan, termasuk rincian keputusan yang lebih penting. Hal ini sebuah tugas yang dapat diselesaikan staf setelah hasil akhir.
150
3
PELATIHAN PENANGANAN KEBERATAN PEMILU BAGI BADAN PENYELENGGARA PEMILU DAN PARTAI POLITIK Oleh Steven Gray dan Linda Edgeworth
Seorang wanita lanjut usia Kosovo memasukkan surat suaranya di tempat pemungutan suara di desa Trstenik, Kosovo Tengah, pada hari Minggu, 9 Januari 2011. Petugas Pemilu mengatakan pemungutan suara dibuka di lima daerah di Kosovo dimana para pemilih akan melakukan pemungutan suara ulang setelah otoritas yang berwenang menemukan kecurangan yang dilakukan pada Pemilu 12 Desember 2010.
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
Pendahuluan Berbagai langkah diperlukan untuk menjamin adanya suatu sistem penanganan keberatan Pemilu yang efisien, komprehensif dan bekerja dengan baik (sebagaimana dibahas di dalam Bab 2: Kerangka Hukum untuk Sistem Penanganan Pengaduan Pemilu yang Efektif). Badan legislatif harus membentuk suatu kerangka hukum yang sesuai untuk menyelesaikan keberatan Pemilu yang memenuhi standar domestik dan internasional. Pihak eksekutif harus tegas dalam niatnya untuk menegakkan berbagai ketentuan tersebut. Terakhir, para pemangku kepentingan yang diharapkan dipandu oleh sistem tersebut harus memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk mematuhi mandatnya. Bab ini akan memfokuskan pada penyusunan program-program pelatihan yang akan menyiapkan para anggota Badan Penyelenggara Pemilu dan partai politik agar mereka dapat melaksanakan dan menggunakan proses penanganan keberatan negara mereka secara efektif. Bab ini akan disajikan dalam tiga bagian, diikuti oleh sebuah kesimpulan dan rekomendasi bagi para praktisi pembangunan yang akan membantu negara-negara yang mengembangkan program penanganan keberatan. Bagian pertama akan mencakup beberapa prinsip dan konsep mendasar yang keduanya sama relevansinya dalam menyusun setiap program pelatihan yang efektif. Pentingnya penetapan tujuan pelatihan, pemilihan metodologi pelatihan yang paling sesuai, dan pelaksanaan evaluasi pelatihan juga dicakup dalam bagian awal ini. Bagian kedua akan memfokuskan pada pendekatan dan tantangan dalam mengembangkan suatu program penanganan keberatan Pemilu bagi Badan Penyelenggara Pemilu. Bagian ketiga akan menawarkan saran-saran mengenai penyusunan program pelatihan yang serupa untuk partai-partai politik.
Prinsip-Prinsip Umum Pelatihan yang Efektif A. Gambaran Umum Prinsip-prinsip berikut merupakan prinsip fundamental untuk menyusun program pelatihan yang efektif, tanpa memandang karakter para peserta dan keterampilan yang akan dicakup. 153
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
i. Pelatihan harus berbasis kompetensi (competency-based)
Tujuan keseluruhan dari suatu program pelatihan adalah agar para peserta memperoleh kemampuan untuk menyelesaikan keberatan Pemilu secara efektif dan adil menurut prosedur yang dirangkum di dalam peraturan perUndang-undangan Pemilu. Di sepanjang bab ini, istilah “kompetensi” digunakan untuk merujuk pada keterampilan, pengetahuan atau sikap yang harus diperoleh peserta setelah meninggalkan program pelatihan. Sebuah program pelatihan tidak hanya memerlukan upaya untuk mengalihkan kompetensi, tetap seharusnya juga termasuk metode untuk menentukan apakah itu sudah efektif. Dengan cara apa lagi para pelatih atau Badan Penyelenggara Pemilu mengetahui bila pelatihannya berhasil?
ii. Harus Menggunakan Model pembelajaran bagi Orang Dewasa yang Efektif
Adalah penting untuk memahami target para peserta di dalam program pelatihan. Tanpa memandang latar belakang mereka, para peserta merupakan orang dewasa dengan pengalaman yang beragam dalam bidang penanganan keberatan. Mengingat keterbatasan waktu, mungkin sesi harus dibatasi, pemikiran serius harus dilakukan untuk memilih model pelatihan yang terbaik yang memungkinkan para pesertanya untuk menyerap banyak informasi baru secara cepat. Kuliah-kuliah yang panjang seharusnya diabaikan dan digantikan dengan presentasi yang pendek, dipadukan dengan metode pembelajaran yang lebih aktif dan praktis.
iii. Kreativitas mungkin diperlukan untuk mengatasi sumber daya yang terbatas
Salah satu tantangan terbesar dalam menyusun program pelatihan yang efektif biasanya adalah kurangnya sumber daya. Bahan-bahan rujukan biasanya langka, dan laporan-laporan yang merinci kasus-kasus pada masa lalu atau sejarah sebuah negara mengenai keberatan Pemilu seringkali tidak dapat diakses atau pun tidak ada. Di sinilah kreativitas akan diperlukan. Menjadi hal yang sulit untuk membuat daftar materi yang pasti yang akan diperlukan untuk melaksanakan pelatihan. Di beberapa negara, suatu sesi pelatihan dapat diadakan di luar ruangan. Di negara yang lainnya, akan tersedia teknologi yang lebih canggih seperti presentasi Power Point pada layar proyektor. Mungkin sumber daya terbesar yang dapat digunakan dalam menyusun konsep dan isi dari program pelatihan adalah
154
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
Badan Penyelenggara Pemilu, pemangku kepentingan yang relevan dan lainnya yang telah memiliki pengalaman untuk memulai, menyidangkan, menyelidiki atau menangani berbagai keberatan Pemilu.
iv. Penggunaan kasus-kasus yang nyata akan menambah relevansi
Menyertakan contoh-contoh dari kasus aktual akan membuat pelatihan menjadi lebih nyata dan relevan bagi para peserta, walaupun jika kasuskasus tersebut harus disamarkan untuk melindungi identitas atau privasi perorangan yang terlibat. Penggunaan kasus-kasus aktual juga akan memberikan para peserta suatu petunjuk untuk mengidentifikasi ketika mereka harus menyelidiki atau memutuskan kasus. Kasus-kasus ini juga membantu mengumpulkan lagi prinsip-prinsip atau keterampilan yang didapat selama pelatihan.
B. Tujuan Pelatihan Pentingnya penulisan tujuan pelatihan berbasis kompetensi secara khusus tidak dapat diremehkan. Kekhususan merupakan hal yang penting, namun tujuan yang paling penting adalah tujuan-tujuan yang memenuhi kriteria SMART. SMART adalah singkatan dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk mengingatkan kita tentang karakteristik tertentu dimana seluruh tujuan tercakup, sebagaimana digambarkan di dalam kotak di bawah. Jika tujuan pelatihan adalah SMART dan berbasiskan kompetensi yang diperlukan oleh para peserta, maka akan menjadi mungkin untuk menentukan keberhasilan program. Pada akhirnya, keberhasilan seharusnya diukur dengan sejauh mana para peserta dapat meraih kompetensi dalam mengajukan keberatan yang sah, atau dalam menyelidiki atau menangani keberatan Pemilu dengan cara yang adil dan bijaksana. Beberapa topik yang disarankan untuk pelatihan para peserta dalam manajemen keberatan Pemilu diurutkan di bawah ini. Topik-topik ini tidak diurutkan dengan urutan tertentu, juga tidak menyeluruh. Namun, diharapkan semuanya adalah tujuan-tujuan yang SMART. Mereka yang memiliki tanggung jawab untuk menyusun sebuah program yang relevan, tidak diragukan lagi akan mampu untuk menentukan tujuan-tujuan lainnya yang lebih sesuai, khususnya dengan lingkungan hukum mereka.
155
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Tujuan pelatihan SMART seharusnya meliputi: Specific (khusus): Tujuan pelatihan ditargetkan untuk mencapai hasil yang nyata dan jelas rinciannya. Measurable (dapat diukur): Data dapat diperoleh untuk menentukan apakah tujuannya telah tercapai atau tidak. Attainable (dapat dicapai): Tujuannya realistik dan sesuai dengan sumber daya program pelatihan. Relevant (sesuai): Berhubungan dengan berbagai masalah, kebutuhan atau keinginan para pemangku kepentingan kunci. Time-bound (dibatasi waktu): Terdapat penetapan batas waktu sampai kapan tujuan akan dicapai.
Untuk menambah kekhususan dan kejelasan pada tujuan pelatihan, seharusnya diasumsikan bahwa masing-masing tujuan diawali dengan sebuah frase, “di akhir pelatihan, para peserta akan mampu untuk:”
• Menjelaskan pentingnya konsistensi, netralitas dan keadilan dalam penyelesaian keberatan Pemilu;
• Mengidentifikasi dan merujuk pada Undang-undang yang relevan yang mengatur proses keberatan Pemilu;
• Mengidentifikasi badan-badan yang bertanggung jawab terhadap menangani keberatan Pemilu;
• Merangkum kategori umum keberatan yang dapat diajukan dan mengidentifikasi badan penanganan berwenang yang harus mereka rujuk;
• Mengidentifikasi individu atau badan-badan yang mempunyai hak
• Menjelaskan tenggat waktu, kapan keberatan harus diajukan dan
• Daftar jenis-jenis keberatan yang dapat dimasukkan:
di bawah Undang-undang untuk mengajukan keberatan Pemilu; jangka waktu kapan keberatan tersebut harus diputuskan;
- selama pendaftaran partai dan kandidat;
- terkait pendaftaran pemilih;
- selama masa kampanye;
- pada hari pemungutan suara;
156
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
- selama penghitungan dan tabulasi hasil;
• Mengisi seluruh formulir terkait dengan keberatan Pemilu tanpa kekeliruan atau kesalahan;
• Menunjukkan pemahaman terhadap prinsip-prinsip dasar terkait penyelidikan kasus-kasus keberatan Pemilu;
• Memahami beban pembuktian yang dibutuhkan agar suatu keberatan dapat dikabulkan;
• Menunjukkan pemahaman tindakan perbaikan administratif yang dapat diterapkan oleh Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat tempat pemungutan suara, tingkat Distrik atau Daerah dan tingkat Pusat;
• Mengenali situasi dimana penghitungan ulang dapat dilakukan, hasil dapat dibatalkan, atau Pemilu ulang dilakukan;
• Membedakan antara keberatan administratif dan pidana;
• Menyebutkan
• Menyebutkan tiga tindakan yang dapat diambil partai politik untuk
• Merasa lebih percaya diri mengenai kemampuan mereka untuk
tiga
tindakan
yang
dapat
diambil
Badan
Penyelenggara Pemilu untuk mengurangi jumlah keberatan Pemilu; mengurangi jumlah keberatan Pemilu; dan mengisi tanggung jawab menangani keberatan Pemilu mereka. Satu tantangan utama dalam menyusun program pelatihan yang efektif adalah waktu. Jumlah bahan yang dapat dicakup seringkali dibatasi oleh ketersediaan waktu pelatihan. Tentu saja, lebih banyak yang dapat dicapai dalam pelatihan lima-hari daripada program pelatihan satu-hari. Untuk mencapai seluruh tujuan di atas, dipastikan butuh pelatihan empat atau lima hari. Hal ini dengan asumsi bahwa para peserta adalah anggotaanggota baru dalam badan yang terkait, atau setidaknya belum pernah mengikuti pelatihan tanggung jawab keberatan Pemilu. Kerangka waktu yang lebih pendek memungkinkan, khususnya bagi peserta yang lebih berpengalaman atau jika tujuan pelatihan yang ingin dicapai memang lebih sedikit. Dilema program pelatihan yang lebih pendek adalah mereka membatasi waktu yang tersedia bagi para peserta untuk bekerja sama dalam membahas contoh-contoh keberatan Pemilu. Selain itu, menjadi hal yang lebih sulit bagi para peserta untuk menyerap dan mengerti secara penuh keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa mereka telah mencapai kompetensi yang diinginkan.
157
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
C. Metode Pelatihan Sebuah
program
pelatihan
aktif
menggunakan
berbagai
metode
untuk memberikan pengetahuan dan membantu para peserta untuk memperoleh kompetensi. Sesi kuliah yang panjang seharusnya dihindari dalam sebuah program pelatihan yang aktif, karena paling kurang efektif untuk memberikan informasi yang akan terus diingat. Sebagai gantinya, dimana memungkinkan, para peserta seharusnya belajar lewat kegiatan yang praktek langsung. Beberapa metode perkuliahan masih tidak dapat dihindari. Di bawah ini adalah penjelasan pendek tentang berbagai metode pelatihan yang berbeda yang paling berguna dalam merancang model yang aktif dan praktis.
• Kuliah mini: Kuliah tidak lebih dari 15-20 menit tanpa istirahat, dapat digunakan untuk menyampaikan sejumlah informasi yang banyak dengan waktu yang relatif pendek.
• Studi kasus: Penyampaian fakta tentang situasi nyata diambil dari pengalaman Badan Penyelenggara Pemilu. Melalui penggunaan informasi studi kasus, para peserta akan mengidentifikasi wacana tindakan yang dapat diambil dan membuat keputusan berdasarkan isi atau proses yang dipelajari selama pelatihan.
• Permainan tukar peran (Role play): Sebuah permainan peran yang terstruktur atau serangkaian peran yang melibatkan dua orang atau lebih. Para peserta ditugaskan peran-peran yang memungkinkan mereka untuk menunjukkan atau mempraktikkan keterampilan interpersonal terkait tujuan atau hasil pelatihan.
• Diskusi kelompok: Sebuah diskusi antara para peserta tentang topik yang disetujui yang akan difasilitasi oleh pelatih. Diskusi kelompok merupakan cara yang baik untuk mendapatkan masukan mengenai sebuah topik dari sekelompok orang dalam waktu yang relatif pendek.
Berbagai metode ini dapat dipadukan dan disesuaikan dengan sesi-sesi yang telah dijelaskan di atas. Sebagai contoh, sebuah sesi dapat dimulai dengan kuliah mini 10-15 menit dan kemudian dilanjutkan dengan sebuah diskusi kelompok atau sebuah role play. Sebuah kegiatan role play dapat digunakan untuk memancing diskusi kelompok kecil. Sebuah presentasi
158
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
studi kasus dapat diikuti oleh diskusi kelompok tentang cara terbaik untuk menyelesaikan keberatan yang disajikan.
D. Mengevaluasi Pelatihan Satu bagian terpenting dari proses pelatihan yang biasanya diabaikan adalah evaluasi program pelatihan dan dampaknya kepada para peserta. Beberapa pertanyaan yang dapat dijawab adalah: Apa yang benar-benar dipelajari peserta? Seberapa jauh para peserta dapat menerapkan pengetahuan yang diperolehnya selama pelatihan? Apakah para peserta menggunakan kompetensi yang diperolehnya ketika menyelidiki atau menangani keberatan Pemilu? Bagaimana pelatihan dapat membantu mereka dalam aspek lain dari pekerjaan atau kehidupan mereka? Sementara seluruh pertanyaan ini memiliki kebaikan, tantangannya adalah memfokuskan pada pertanyaan evaluasi. Apa yang sedang kita upayakan untuk pelajari? Apakah kita mengukur jumlah kompetensi yang diperoleh? Bagaimana kita menilai bahwa pelatihnya adalah pelatih yang baik? Apakah kita tertarik dengan jumlah keberatan yang diselesaikan oleh Badan Penyelenggara Pemilu? Apakah kita ingin mengetahui jika para peserta puas dengan pelatihan ini? Masing-masing pertanyaan ini berbeda dalam tujuan (tone) dan maksudnya, dan mereka membutuhkan metode yang berbeda dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Teknik evaluasi yang paling umum meliputi:
• Daftar pertanyaan yang harus diisi oleh para peserta di akhir sesi pelatihan;
• Ujian pra- dan pasca-pelatihan;
• Wawancara dan studi tindak-lanjut termasuk kegiatan berikut ini:
- menentukan keputusan keberatan
- meninjau penyelidikan; dan
- melaksanakan FGD dengan Badan Penyelenggara Pemilu dan hakim, serta partai-partai peserta.
159
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Melatih Badan Penyelenggara Pemilu dalam Penanganan Pengaduan Pemilu A. Gambaran Umum Badan Penyelenggara Pemilu terdiri dari berbagai individu yang berbeda dalam pengalaman, keterampilan dan motivasi. Dalam sebagian besar kasus, para anggota Badan Penyelenggara Pemilu bukanlah profesional pakar Pemilu, tetapi memiliki pengalaman dalam pekerjaannya. Para anggota Badan Penyelenggara Pemilu di hirarki tingkat atas biasanya menjabat secara permanen, sementara di hirarki tingkat bawah Badan Penyelenggara Pemilu seringkali dibentuk sebelum Pemilu dan hanya sampai hasil Pemilu disahkan. Di beberapa negara, anggota Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat pusat ditunjuk oleh badan legislatif berdasarkan pencalonan yang diajukan oleh partai politik yang bersaing. Terkadang cara penunjukan seperti ini akan menyebabkan pertentangan atau persaingan antar anggota. Di negaranegara lainnya, anggota Badan Penyelenggara Pemilu ditunjuk dari hakim. Hanya di sedikit negara, anggota Badan Penyelenggara Pemilu adalah pegawai negeri sipil yang bertindak sebagai petugas Pemilu profesional dan bekerja penuh-waktu mengkoordinasikan dan melaksanakan proses Pemilu. Di tingkat tempat pemungutan suara, para anggota Badan Penyelenggara Pemilu direkrut di antara sejumlah nama yang diajukan oleh dewan pimpinan daerah partai, dari berbagai lembaga publik seperti sekolah/perguruan tinggi negeri atau dinas pemerintah daerah atau dari para sukarelawan. Para guru sekolah seringkali dipilih karena mereka dihormati di dalam masyarakat dan dipandang adil dan jujur. Sebagai akibat dari keragaman ini, tugas pertama dari setiap program pelatihan, baik pada penanganan keberatan Pemilu ataupun bagian lainnya dari operasional Pemilu, adalah untuk memahami siapa peserta yang menjadi sasarannya dan apa yang mereka ketahui atau tidak ketahui. Hampir selalu, tantangan terbesar yang dihadapi dalam pelatihan adalah kompetensi harus dicapai dalam jangka waktu yang singkat.
160
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
Sebelum memfokuskan pada tugas pelatihan Badan Penyelenggara Pemilu dalam penanganan keberatan Pemilu, adalah suatu keharusan untuk memahami berbagai tantangan yang dihadapi dalam menyusun program pelatihan untuk para petugas Pemilu pada umumnya, khususnya di negara-negara dimana sistem Pemilu yang demokratis masih belum sepenuhnya matang.
B. Tantangan
i. Sistem penanganan keberatan Pemilu masih dalam perkembangan
Disiplin manajemen keberatan Pemilu masihlah terus berkembang. Keberatan Pemilu telah bertahun-tahun merupakan wilayah sistem hukum. Hal ini memiliki kelemahan, khususnya di negara-negara dimana sistem hukumnya tidak dihormati atau dinodai secara berlebihan oleh kepentingan politik yang bertentangan dengan gagasan “keadilan”. Di dalam beberapa situasi, para pemimpin oposisi sering merasa mereka tidak dapat memperoleh sebuah sidang yang adil karena kurangnya obyektivitas dari sisi hakim yang ditunjuk secara politis. Selain itu, pengadilan sering bergerak lambat. Pengadilan memiliki sistem sesuai hukum yang berlaku (due process) yang keliru dari sisi kelengkapan/kesempurnaan dan terkadang dapat menyebabkan tidak sesuai untuk penyelesaian kasuskasus yang cepat. Hal yang tidak menguntungkan ketika sebuah Pemilu tidak dapat diprediksi hasilnya. Sebagai akibat dari faktor-faktor ini, banyak negara yang berpindah ke sistem dimana lebih banyak keberatan Pemilu ditangani oleh pengadilan khusus Pemilu, oleh Badan Penyelenggara Pemilu atau oleh komisi yang secara khusus dibentuk untuk memutuskan kasus Pemilu. Berbagai lembaga tersebut lebih menangani urusan administratif ketimbang pidana, sementara sistem pengadilan tetap menjadi saluran untuk menangani banding. Beberapa contoh menggambarkan keanekaragaman sistem yang ada di banyak negara yang menerapkan sistem campuran.
• Di Latvia, berbagai keberatan dan banding diatur oleh beberapa Undang-undang dan dilaksanakan oleh sejumlah badan peradilan dan administratif. Keputusan Komisi Pemilu Kota (Municipal Election Commissions) dan Kelompok Penyelenggara Pemilu Setempat (KPPS) (Polling Station Committees) dapat dibanding
161
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
ke Komisi Pemilu Pusat (Central Election Commission/CEC). Kemudian keputusan CEC dapat dibanding ke Pengadilan Administratif Distrik (District Administrative Court). Keputusan CEC mengenai hasil Pemilu dapat digugat ke Mahkamah Agung (Supreme Court).
• Yunani telah mendirikan Mahkamah Agung Khusus Pemilu (Supreme Special Electoral Court) untuk mendengarkan kasus yang menyangkut kepatuhan terhadap Undang-undang yang berlaku dengan prinsip-prinsip konstitusional yang menjadi pedoman Pemilu, pelanggaran Undang-undang Pemilu, larangan untuk maju dalam Pemilu, sampai diskualifikasi pejabat terpilih. Kasuskasus lain mengikuti rantai dari tingkat tempat pemungutan suara hingga ke pengadilan tingkat pertama di distrik yang relevan. Isuisu media terkait masa kampanye dipantau oleh Dewan Nasional Radio dan Televisi (National Council of Radio and Television/NCRT). NCRT diatur oleh sebuah panel yang terdiri dari presiden Dewan, Wakil Presiden dan lima anggota yang dicalonkan oleh Konferensi Presiden (Conference of Presidents).
• Portugis
sangat
mengandalkan
keanekaragaman
Undang-
undang dan peraturan serta lembaga penanganan keberatan yang berbeda tergantung kepada masalah yang dihadapi. Komisi Pemilu Nasional (National Election Commission/NEC) telah menyusun berbagai aturan dimana keberatan dapat diajukan. NEC kemudian memutuskan apakah keberatan tersebut memenuhi syarat dan apakah tindakan atau keputusan berikutnya diperlukan. Keputusan NEC dapat dibanding ke Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
• Di Kosovo, sebuah Komisi Keberatan dan Banding Pemilu (Election Complaints and Appeals Commission) khusus telah dibentuk, sementara di Indonesia Badan Pengawas ditunjuk oleh lembaga-lembaga di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Badan pengawas ini bertanggung jawab meninjau seluruh keberatan dan memutuskan keberatan tersebut diteruskan untuk ditangani. Mereka juga dipandang sebagai badan pemantau yang mengawasi pekerjaan komisi Pemilu dibawah yurisdiksinya.
162
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
Keanekaragaman tersebut menunjukkan pentingnya menjamin Badan Penyelenggara Pemilu dan para peserta politik diberitahukan sepenuhnya bagaimana proses di negara mereka dan badan penanganan mana yang memiliki kewenangan.
ii. Pelatihan non-ahli hukum adalah berbeda
Implikasi memindahkan keberatan Pemilu kepada domain Badan Penyelenggara Pemilu adalah bahwa keberatan ditinjau dan paling tidak pada awalnya ditangani oleh bukan ahli hukum. Mungkin ada satu atau dua orang ahli hukum di Badan Penyelenggara Pemilu, tetapi sebagian besar, seperti yang telah disebutkan di awal, merupakan perwakilan partai politik, guru, pegawai negeri sipil atau anggota masyarakat. Tugas untuk melatih Badan Penyelenggara Pemilu yang beranggotakan warga negara biasa sangat berbeda dengan melatih Badan Penyelenggara Pemilu yang terdiri dari para ahli hukum dan hakim, karena anggota kerapkali kurang dalam pelatihan hukum, tepatnya proses penanganan keberatan Pemilu yang berbasiskan pembuktian.
iii. Pelatihan seharusnya berdasarkan prosedur
Terkait dengan konsep ini adalah perlunya untuk membangun rasa hormat terhadap proses dan untuk melatih Badan Penyelenggara Pemilu agar mematuhi prosedur secara akurat dan konsisten. Konsistensi dan keadilan merupakan cara terbaik untuk menghapus persepsi bias. Pada umumnya, ketika tindakan atau keputusan Badan Penyelenggara Pemilu berbeda atau menyimpang dari aturan prosedur, maka satu pihak dapat berargumen bahwa partai atau kandidat lawan telah diuntungkan. Badan Penyelenggara Pemilu harus diingatkan bahwa tindakan, penyelidikan, sidang atau putusan mereka dapat ditinjau serta dapat diajukan banding ke otoritas yang lebih tinggi. Persidangan pada umumnya terbuka untuk umum atau, paling sedikit, kepada pihak lawan yang ada dalam keberatan. Badan Penyelenggara Pemilu perlu hati-hati untuk mengikuti prosedur dengan cermat, yang akan membantu menjamin sebuah proses yang adil dan bijaksana.
iv. Terbatasnya Waktu pelatihan
Sebagaimana disebutkan di atas, seringkali waktu terbatas untuk mengadakan pelatihan. Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat daerah
163
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
atau di tingkat tempat pemungutan suara seringkali tidak ditunjuk sampai periode pemilihan dimulai. Di sebagian besar negara mungkin sampai 60 hari atau bahkan 20 hari sebelum waktu Pemilu. Hal ini berarti program pelatihan harus sudah siap untuk dilaksanakan pada saat Badan Penyelenggara Pemilu dibentuk. Selain itu, para anggota Badan Penyelenggara Pemilu seringkali segera disibukkan dengan tanggung jawab Pemilu yang lain seperti memeriksa kebenaran daftar pemilih atau membuat pemisahan batas daerah pemilihan. Menemukan waktu untuk melatih para anggotanya selama masa yang sibuk ini seringkali merupakan tantangan terbesar.
v. Para pemangku kepentingan seharusnya dilibatkan
Setiap program pelatihan seharusnya dikoordinasikan dengan para pemegang kepentingan kunci yang lain dalam proses penanganan keberatan Pemilu. Para pemangku kepentingan termasuk perwakilan dari partai politik, petugas administrasi lokal dan/atau pengadilan daerah (negeri) atau nasional (tinggi). Jika sebuah program pelatihan dirancang secara bersama dengan para pemangku kepentingan, hal tersebut memungkinkan kepentingan mereka dapat dipertimbangkan. Kerjasama dan keterlibatan di dalam menyusun, mengatur atau berpartisipasi di dalam sesi pelatihan mendorong persetujuan (buy-in) mereka,
vi. Kesempatan pelatihan tidak selalu diberikan kepada Badan Penyelenggara Pemilu
Para anggota Badan Penyelenggara Pemilu akan seringkali terbiasa untuk menghadiri program pelatihan yang menyeluruh. Seringkali, “pelatihan” anggota Badan Penyelenggara Pemilu yang diterima bersifat pengarahan yang singkat dan dalam kelompok yang besar dimana mereka diberikan kuliah singkat oleh seorang hakim atau anggota komisi Pemilu nasional, dan diberikan salinan pedoman Pemilu (electoral code) negara. Pelatihan sejenis ini menyampaikan sedikit informasi tanpa membangun kompetensi. Akibatnya, para anggota mungkin akan merasa kesal ketika menghadiri program pelatihan menyeluruh pertamanya, karena hal itu mungkin membutuhkan jumlah waktu yang lebih banyak (dan satu atau dua hari meninggalkan rumah dan pekerjaan) serta mungkin perlu melakukan perjalanan ke ibu kota negara atau provinsi. Cara terbaik untuk menekan hal ini dan tantangan yang tidak diperkirakan lainnya adalah
164
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
untuk melibatkan dalam proses perencanaan untuk merancang undangan pelatihan secara hati-hati dan melibatkan para pemangku kepentingan utama. Semakin seluruh pihak memahami tujuan pelatihan potensi keberatan Pemilu, dan alasan memiliki proses keberatan Pemilu, maka semakin mungkin proses tersebut akan dihormati ketika para pihak tidak menyetujui keputusan tersebut. Satu contoh dari program pelatihan yang dirancang dengan hati-hati dan menyeluruh untuk para anggota Badan Penyelenggara Pemilu adalah BRIDGE (Building Resources in Democracy, Governance, and Elections). BRIDGE adalah program pengembangan profesional moduler dengan fokus khusus tentang proses Pemilu, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran yang khusus, seperti proses penanganan keberatan.347 BRIDGE telah digunakan oleh IFES, sebagai contoh, di Nepal sejak tahun 2008 untuk melatih staf Komisi Pemilu (Election Commission) dalam serangkaian topik Pemilu. Program di Nepal dirancang untuk memberikan gambaran umum yang intensif tentang berbagai standar internasional dan penerapan praktis tentang proses Pemilu, dengan sesi-sesi khusus untuk penegakan hukum Pemilu (electoral justice) serta penanganan keberatan. Beberapa tahun pelaksanaan BRIDGE yang berhasil terhadap lebih dari 350 peserta di Nepal telah memperkokoh program tersebut dalam proses pelatihan Badan Penyelenggara Pemilu Nepal. Contohnya, Sekretariat Bersama Komisi Pemilu Nepal (Nepalese Election Commission Joint Secretary), Shyam Sharma, mengatakan bahwa “program BRIDGE telah menjadi sentral bagi strategi pelatihan Komisi Pemilu. Staf Komisi Pemilu berasal dari pegawai negeri sipil dan banyak yang memiliki latar belakang umum. Untuk melaksanakan pekerjaan kami secara efektif, merupakan hal yang mutlak untuk mengembangkan keterampilan staf kami… dan
347 BRIDGE mewakili prakarsa yang unik dimana lima organisasi terdepan (IFES, Australian Election Commission, International IDEA, UNDP dan United Nations Electoral Assistance Division) di bidang demokrasi dan tata kelola (governance) yang secara bersama-sama berkomitmen menyusun, melaksanakan dan mempertahankan kurikulum dan paket lokakarya yang paling menyeluruh yang tersedia, yang dirancang untuk digunakan sebagai alat dalam kerangka pengembangan kapasitas yang lebih luas. Untuk informasi lebih lanjut, lihat di www.bridge-project.org.
165
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kurikulum BRIDGE dalam artian isi dan metodologi memainkan peranan kunci dalam mencapai hal ini.”348
C. Struktur Materi Pelatihan Sebuah sampel struktur materi dirangkum di bawah ini. Setiap sesi harus dirancang untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang disebutkan di atas. Bagi setiap sesi, suatu perencanaan sesi harus ditulis untuk memberikan para pelatih dengan pedoman tentang apa yang seharusnya dicakup dalam sesi ini dan bagaimana tujuan pelatihan seharusnya dicapai. Daftar sesi di dalam kotak di bawah menggambarkan bagaimana banyaknya topik yang berbeda seharusnya dicakup selama kursus pelatihan bagi para anggota Badan Penyelenggara Pemilu tentang penanganan keberatan Pemilu; namun itu bukan merupakan daftar yang menyeluruh. Sebagai contoh, mungkin perlu untuk membahas penyelesaian sengketa alternatif (lihat Bab 6: Berbagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif) atau bagaimana untuk bekerja sebaik-baiknya dengan pemohon keberatan yang berlawanan (antagonistic). Topik-topik inilah yang dapat dibahas dalam pelatihan awal jika waktunya mencukupi, atau dalam pelatihan tambahan. Harus diingat bahwa ini bukan pelatihan yang berorientasi
Struktur Komisi Pemilu – Sesi ini akan memberikan pengantar tentang komisi Pemilu nasional dan departemen serta tanggung jawabnya. Struktur komisi Pemilu nasional, regional dan provinsi juga akan dibahas. Peran dan Tanggung Jawab Badan Penyelenggara Pemilu – Sesi ini akan memberikan pengantar tentang peran Badan Penyelenggara Pemilu dalam menangani keberatan Pemilu dan bagaimana tanggung jawab tersebut terkait dengan peran lain Badan Penyelenggara Pemilu (sebagai contoh pendaftaran Pemilu, operasional tempat pemungutan suara, dll). Pengenalan Undang-undang dan Peraturan – Sesi ini akan mencakup beberapa pasal kunci tentang Konstitusi, Pedoman Pemilu dan peraturan komisi Pemilu berkaitan dengan keberatan.
348 Katie, Ryan, IFES, BRIDGE Training by the Snow-Capped Himalayas, dapat dilihat di http:// www.ifes.org/Content/Publications/News-in-Brief/2010/BRIDGE-Training-by-the-SnowCapped-Himalayas.aspx, 2010.
166
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
Konsep Pemilu yang Bebas dan Adil – Sebuah pengenalan dasar tentang konsep Pemilu bebas dan adil serta berbagai standar untuk mengevaluasi sejauh mana Pemilu memenuhi uji ini. Etika dalam Administrasi Pemilu – Sesi ini akan menguji sumber-sumber pedoman perilaku (ethical conduct) dan berbagai studi kasus dilema etika. Sesi ini akan menanyakan kepada para peserta untuk memikirkan tentang siapa pemangku kepentingan Badan Penyelenggara Pemilu dan bagaimana bertanggung jawab terhadapnya. Pelanggaran Pemilu – Sebuah tinjauan yang berkaitan dengan pasalpasal dari Tata Pemilu. Penanganan Keberatan Pemilu – Sesi ini akan memberikan gambaran umum tata tertib keberatan serta langkah-langkah proses penanganan keberatan Pemilu, termasuk hak gugat (standing) dan persyaratan beban pembuktian serta penjadwalan selama proses tersebut. Sanksi dan Hukuman – Sesi ini akan mencakup pasal-pasal yang berkaitan dengan Pedoman Pemilu dan mendiskusikan bagaimana Badan Penyelenggara Pemilu dapat menerapkan berbagai sanksi dan hukuman untuk berbagai pelanggaran Pemilu. Pemantauan dan Pengawasan Pemilu – Sesi ini akan memberikan uraian singkat tentang peran peninjau dan perwakilan kandidat yang dimainkan di dalam proses Pemilu dan berbagai hak dan tanggung jawab mereka terkait pengajuan keberatan. Bekerja sama dengan Media – Sebuah sesi singkat tentang media dalam proses Pemilu dan bagaimana Badan Penyelenggara Pemilu seharusnya menangani berbagai pertanyaan media tentang kerja mereka. Bekerja Sepanjang Prosedur Keberatan - Tinjauan langkah-langkah yang rinci dalam proses penanganan keberatan Pemilu, termasuk berbagai formulir yang digunakan dalam proses dan bagaimana untuk mengisinya. Proses Keberatan Media – Jika relevan, merupakan hal yang perlu untuk menjamin bahwa Badan Penyelenggara Pemilu memahami bagaimana keberatan terhadap pemberitaan media (TV, radio dan surat kabar) ditangani. Studi Kasus Keberatan – Para anggota Badan Penyelenggara Pemilu diberikan berbagai keberatan yang aktual dan harus mengerjakannya melalui studi kasus, termasuk mengisi seluruh formulir komisi Pemilu.
167
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Hari Pemilu – Sebuah gambaran umum tata tertib pemungutan suara di Hari Pemilu dan sebuah kesempatan untuk menggugat Badan Penyelenggara Pemilu agar dapat memikirkan bagaimana mereka seharusnya menangani keberatan pada Hari Pemilu. Tanya Jawab – Sesi ini memberikan kesempatan kepada perwakilan Badan Penyelenggara Pemilu untuk menjawab berbagai pertanyaan tambahan dari pelatihan.
akademis dimana teori dan sejarah diuji. Melainkan, ini adalah program pelatihan yang dirancang untuk mempersiapkan para anggota Badan Penyelenggara Pemilu mengambil tugas yang seringkali menantang dan penuh perdebatan dalam penyelesaian keberatan Pemilu.
D. Penyusunan Pelatihan Singkat untuk Petugas Pemungutan Suara Pelatihan Badan Penyelenggara Pemilu mungkin tidak selalu dapat dilayani dengan sebaik-baiknya lewat pendekatan “satu ukuran untuk semua”. Ada saat dimana tujuan dapat lebih baik dicapai dengan merencanakan sesi pelatihan yang khusus sesuai fungsi dimana petugas Pemilu di berbagai tingkat hirarki bertanggung jawab, serta otoritas dimana mereka diperbolehkan untuk mengambil tindakan. Bagi Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat tempat pemungutan suara, khususnya sebuah pelatihan yang lebih singkat mungkin lebih sesuai. Idealnya, suatu pelatihan dasar tentang bagaimana menangani keberatan dapat diakomodasi selama sesi pelatihan petugas pemungutan suara yang biasa. Di tingkat tempat pemungutan suara, sebagai contoh, petugas pemungutan suara bertanggung jawab terhadap pendirian tempat pemungutan suara dan pelaksanaan prosedur yang semestinya untuk melakukan pemungutan suara di Hari Pemilu. Mereka juga bertanggung jawab untuk melengkapi dokumen-dokumen secara akurat untuk mempertanggungjawabkan penerimaan dan penggunaan surat suara dan berbagai materi sensitif lainnya, mendokumentasikan kejadian atau peristiwa yang tidak biasa di tempat pemungutan suara dan mengemas kembali materi dan kotak suara untuk dikembalikan ke Badan Penyelenggara Pemilu daerah atau distrik. Di banyak negara, penghitungan suara ditangani di tempat penghitungan
168
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
yang tersentralisir; di banyak tempat lainnya, petugas pemungutan suara juga bertanggung jawab melakukan proseur penghitungan suara setelah penghitungan suara ditutup dan menyiapkan laporan hasilnya. Sesuai dengan cakupan kerja yang dilaksanakan di tempat pemungutan suara, ketua biasanya berkewajiban untuk menanggapi setiap keprihatinan atau keberatan yang muncul dari perwakilan partai atau kandidat atau pemantau, serta mengambil tindakan korektif yang segera dimana dipandang layak. Cara keberatan ditangani oleh seorang petugas Pemilu dapat menjadi faktor penentu keputusan pemohon keberatan untuk memasukkan keberatannya secara lebih formal di tingkat yang lebih tinggi atau mengupayakan proses litigasi. Tujuan kunci yang seharusnya dipenuhi selama pelatihan petugas pemungutan suara terkait dengan penyelesaian keberatan Pemilu seharusnya
memastikan
bahwa
petugas
pemungutan
suara
kompeten untuk :
• Menjamin perlakuan yang setara, adil, tepat waktu, dan netral kepada seluruh pemilih, perwakilan dari partai politik peserta Pemilu dan pemantau yang berwenang yang mungkin hadir di tempat pemungutan suara;
• Memahami secara penuh sejauh mana dan batas kewenangan mereka untuk memutuskan dan jenis tindakan perbaikan yang kompeten yang dapat mereka lakukan;
• Mempertahankan sikap yang kooperatif dengan setiap pemohon keberatan yang mungkin mengajukan keprihatinan atau keberatan terhadap cara bagaimana tata tertib dilaksanakan;
• Mampu mengamati cara bagaimana prosedur dilaksanakan oleh petugas pemungutan suara dan menentukan apakah suatu keberatan dapat dibenarkan;
• Mengambil tindakan korektif segera dimana jelas terjadi tata tertib yang tumpang tindih atau kesalahan telah terjadi;
• Secara percaya diri menjelaskan kepada pemohon keberatan dimana terjadi kesalahpahaman dalam kasus dimana keberatan tidak dapat dibenarkan;
169
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
• Menasihati seorang yang mengajukan keberatan yang tidak puas dengan tindakan yang diambil mengenai bagaimana dia dapat mengajukan banding tentang keputusan yang diambil ke otoritas yang lebih tinggi; dan
• Memastikan bahwa keberatan, tindakan yang diambil dan setiap pengakuan dari pihak yang mengajukan keberatan didokumentasikan secara penuh.
Menyiapkan Partai Politik dalam Penanganan Pengaduan Pemilu A. Gambaran Umum Satu dari aspek paling menantang dari penyiapan dan pelaksanaan Pemilu adalah mempertahankan hubungan yang adil, kooperatif dan responsif dengan partai politik dan kandidat di tengah-tengah lingkungan politik yang saling bermusuhan. Walaupun seluruh upaya terbaik dan komitmen yang didedikasikan untuk menyelenggarakan proses Pemilu secara adil dan kompeten, Badan Penyelenggara Pemilu seringkali menghadapi keberatan yang bertubi-tubi dari para peserta Pemilu yang terjepit di panasnya persaingan politik. Dengan begitu banyaknya yang dipertaruhkan, tidak sulit untuk memahami mengapa mereka seringkali begitu suka menuntut. Mereka telah menaruh komitmen sumber daya, energi dan masa depan mereka dalam persaingan untuk memperoleh kepercayaan dan dukungan dari para pemilih pada komunitas mereka. Bagi mereka, banyak sekali investasi dilakukan terhadap hasil dari Pemilu. Ketika penyimpangan muncul dalam Pemilu, satu partai politik mempunyai kepentingan untuk menjamin bahwa penyimpangan ini tidak mencemari hasilnya. Mengajukan keberatan adalah respon yang umum. Seringkali frustrasi berasal dari ekspektasi yang tidak realistis, dan kegagalan untuk memahami secara penuh proses keberatan Pemilu dan berbagai hak dan kewajiban terhadapnya. Bagi suatu partai untuk mengisi fungsi ini secara efektif, pelatihan mungkin perlu diberikan. Materi berikut ini dirancang untuk menghadapi tantangan
170
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
yang mungkin dihadapi dan sebuah format program yang dapat digunakan untuk pelatihan seperti itu bagi partai politik.
B. Tantangan
i. Undang-undang keberatan Pemilu yang belum teruji atau belum berkembang
Undang-undang
dan
peraturan
keberatan
Pemilu
yang
belum
dikembangkan menimbulkan masalah yang signifikan dalam merancang program pelatihan, karena substansi yang diperlukan untuk pelatihan tidak memadai atau hilang sama sekali. Penyelenggara dapat merasa kebutuhan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam mengatasi tantangan tersebut. Merupakan hal yang amat penting bahwa seluruh opini yang interpretatif dari penyelenggara yang ditawarkan, diperkenalkan apa adanya. Sebuah skenario yang terkait muncul ketika Undang-undang dituliskan dengan jelas, tetapi belum secara menyeluruh diuji dalam praktik. Dalam situasi ini terdapat sebuah kemungkinan bahwa badan legislatif meninggalkan celah yang memerlukan sebuah penafsiran atau opini oleh badan peradilan, sehingga menyebabkan turunnya prediktabilitas dari hasil proses tersebut. Pada beberapa kesempatan, hukum tertulis dan praktikpraktik tradisional tidak sepenuhnya berkaitan, sehingga menyebabkan kebingungan tentang saluran yang semestinya untuk mengupayakan penanganan penuh (untuk contoh yang terkemuka mengenai isu ini, lihat studi kasus Filipina dalam Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter dalam Keberatan Pemilu). Situasi seperti ini harus diakomodasi dengan sangat hati-hati dalam menentukan bagaimana untuk mendekati mereka selama pelatihan dan dalam setiap materi tertulis yang dibagikan. Merupakan hal yang amat penting bahwa penyelenggara pelatihan tidak dipandang sebagai menawarkan nasihat hukum. Pada setiap kesempatan, para peserta seharusnya diingatkan bahwa mereka seharusnya mencari nasihat hukum yang semestinya dari ahli hukum dan pengecualian tertulis (disclaimer) harus disertakan tidak hanya dalam presentasi lisan, namun juga pada seluruh materi tertulis yang dibagikan kepada para peserta.
ii. Munculnya bias
Tidak seperti Badan Penyelenggara Pemilu, yang diharapkan menjaga netralitas politik, partai politik pada hakikatnya adalah lembaga partisan. Oleh karena itu, setiap perbedaan antara sesi dan materi pelatihan yang
171
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
diberikan kepada partai-partai secara terpisah akan ditafsirkan sebagai sebuah upaya untuk memberikan manfaat kepada satu pihak di atas yang lain. Penyelenggara program pelatihan harus berhati-hati terhadap potensi munculnya bias ketika merencanakan dan melaksanakan setiap program pelatihan yang akan disajikan kepada partai politik yang berbeda. Menawarkan sebuah program satu kali dan membuatnya tersedia untuk seluruh pihak secara setara merupakan sebuah metode yang optimal untuk menghindari adanya bias, walaupun mungkin terlalu banyak partai yang ikut serta dalam Pemilu untuk membuat opsi ini dapat dilaksanakan. Dalam kesempatan dimana satu program pelatihan tunggal bukan merupakan hal yang memungkinkan, sebuah upaya yang signifikan untuk memberikan informasi yang konsisten selama seluruh program pelatihan merupakan hal yang paling penting.
iii. Penjadwalan pelatihan partai di waktu yang tepat
Pemilihan waktu terbaik untuk melaksanakan sesi informatif bagi partai politik mengenai hak-hak mereka terkait penyelesaian keberatan Pemilu merupakan hal yang amat sulit. Sangat mungkin tergoda untuk mengasumsikan bahwa waktu terbaik untuk melaksanakan program tersebut adalah sebelum Pemilu. Kepentingan sedang tinggi, partai sedang aktif-aktifnya dan sempitnya jadwal Pemilu menyarankan agar informasi yang diberikan dapat tepat waktu. Pada kenyataannya, itu mungkin merupakan waktu yang paling kurang efektif. Rentang waktu antara pengumuman tanggal Pemilu, tenggat waktu bagi pendaftaran partai dan kandidat serta Hari Pemilu dapat jadi cukup singkat. Penambahan rencana dan pelaksanaan program semacam itu dapat menambahkan beban yang signifikan terhadap Badan Penyelenggara Pemilu ketika kapasitas mereka telah dibebani dalam penyiapan Pemilu dan perekrutan serta pelatihan petugas Pemilu. Selama periode ini, partai dan kandidat sedang disibukkan oleh kampanye dan dapat menjadi hal yang sangat sulit untuk menarik minat mereka. Banyak partai yang memilih melewatkan kesempatan yang sarat informasi ini, dan lebih memilih mendukung upaya kegiatan kampanye mereka. Bila partai-partai memilih untuk berpartisipasi, hampir tidak mungkin perwakilan lengkap dari seluruh partai akan siap. Terkadang peristiwa tersebut hanya menarik perwakilan partai-partai yang kecil, karena partai-partai yang
172
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
lebih besar, dan khususnya partai yang ada di parlemen mungkin percaya mereka tidak perlu memperoleh penyegaran dalam proses keberatan dan penanganan keberatan Pemilu. Jika pihak-pihak utama gagal datang, acara tersebut dapat dipandang sebagai direncanakan untuk “oposisi.” Perwakilan partai yang datang tidak selalu mereka yang memimpin secara aktual upaya pihak untuk mengajukan keberatan.
iv. Kompetensi awal yang berbeda
Tantangan lain yang muncul ketika anggota partai politik yang datang ke program pelatihan memiliki kompetensi awal yang berbeda saat dimulainya pelatihan. Beberapa anggota partai yang datang mungkin memiliki pengetahuan dalam peraturan perUndang-undangan terkait dengan keberatan, sementara yang lainnya akan mengandalkan pelatihan itu sendiri untuk membangun basis pemahaman. Skenario ini menempatkan para pelatih dalam posisi menyiarkan informasi yang mungkin terlihat seperti pengulangan dan berlebihan bagi beberapa yang hadir, sementara secara bersamaan sangat penting bagi yang lainnya. Memberikan sebuah outline yang luas tentang proses penanganan keberatan dalam bentuk hand-out akan membantu menuntun anggota partai yang kurang pengetahuannya. Informasi dasar dapat diambil dari dokumen-dokumen, karena akan dapat menjawab berbagai pertanyaan yang tidak memerlukan keahlian yang mendalam. Informasi yang disajikan secara lisan selama sesi pelatihan akan menambah lebih banyak substansi pada lapisan dasar ini.
v. Masalah-masalah tambahan
Diasumsikan bahwa pada akhir pelatihan, para peserta akan fasih dalam prosedur untuk menggugat hasil Pemilu. Keprihatinan yang seringkali tidak diajukan adalah bahwa pelatihan itu sendiri memberikan para anggota partai, alat yang dibutuhkan, dan mungkin malah menjadi pendorong untuk menunda atau mendiskreditkan hasil Pemilu dengan berbagai gugatan yang tidak perlu. Fakta “ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya” (self-fulfilling prophecy) tidak berarti dapat diukur atau dikuantifikasi secara akurat, tetapi itu sangat mungkin terjadi di beberapa kesempatan. Menanamkan pengertian kepada peserta tentang pentingnya integritas dan perlunya mengikuti kehendak para pemilih adalah satu-satunya penangkal bagi masalah yang potensial ini, karena satu-satunya alternatif adalah tidak melanjutkan pelatihan partai politik tentang bagaimana untuk
173
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
melakukan fungsi yang penting. Hukuman yang diberikan kepada pihakpihak yang menggugat Pemilu dengan prasangka burukmemerlukan keputusan subyektif yang dapat menyebabkan efek menakutkan yang tidak diinginkan, dimana para pihak yang memiliki dasar untuk sebuah gugatan akan gagal untuk mengikutinya karena ketakutan konsekuensi ekonomi yang potensial. Dengan demikian memfokuskan pada titik berat dari pelaksanaan fungsi partai politik adalah penangkal terbaik untuk mengatasi masalah-masalah tambahan ini.
C. Struktur Materi Pelatihan Di bawah ini adalah beberapa saran yang untuk materi sesi pelatihan. Rancangan yang sebenarnya dikembangkan dan digunakan oleh para pelatih dan penyelenggara seharusnya memperhitungkan kondisi di lapangan, dan oleh karena itu mungkin sangat berbeda dari materi-materi yang diberikan.
Pengenalan Undang-undang dan Peraturan – Sesi ini akan merinci Undang-undang dan peraturan yang terkait yang berfungsi sebagai dasar untuk penanganan keberatan Pemilu. Putusan pengadilan, jika tersedia, seharusnya digunakan sebagai contoh untuk memperjelas hukum menurut Undang-undang (statutory law), dan untuk menunjukkan secara jelas hukum yang berlaku dalam praktik. Berbagai Hak dan Tanggung Jawab Partai Politik – Sesi ini akan merinci secara jelas fungsi yang diemban partai politik dan hubungannya dengan struktur demokrasi. Para peserta akan diingatkan mengenai hak hukum partai sepanjang proses Pemilu, dengan fokus yang khusus tentang keberatan pasca-Pemilu. Pada kesimpulan sesi ini, para peserta seharusnya mampu membedakan hak-hak mana yang mereka punya dan tidak punya ketika melindungi kepentingan partai mereka dan kandidat dari partai mereka. Pelanggaran Pemilu dan Penyimpangan Pemilu – Sesi ini akan mencakup gambaran umum jenis pelanggaran atau penyimpangan terhadap beragam fase pada siklus Pemilu, dan perbedaan antara keberatan administratif dan pidana serta hasilnya. Prosedur Keberatan Pemilu – Bagian pelatihan ini akan memberikan tinjauan menyeluruh yang rinci tentang proses keberatan, jenis keberatan yang dapat diajukan, siapa yang memiliki dasar hukum untuk mengajukan gugatan, dan badan penanganan yang mana untuk memasukkan gugatan berdasarkan subyek persoalan.
174
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
Menyiapkan Permohonan (Keberatan) – Sesi ini akan membiasakan para peserta dengan formulir-formulir yang dibutuhkan, tengat waktu kapan keberatan harus dimasukkan, bagaimana untuk menghindari pembatalan gugatan karena masalah teknis, dan apa yang termasuk bukti yang memadai untuk mendukung gugatan (beban pembuktian diperlukan). Prosedur Banding – Terakhir, pelatihan seharusnya merangkum saluran banding dalam hal keberatan ditolak atau keputusan yang berlawanan ditetapkan.
Daftar topik-topik sesi di atas tidaklah dimaksudkan untuk menyeluruh. Sebagai contoh, informasi tentang strategi sebelum, atau pemulihan persepsi publik setelah pemilihan, mempersengketakan sebuah Pemilu tidak dimasukkan. Keprihatinan ini tidak diragukan lagi, merupakan faktor pertimbangan utama bagi partai politik untuk memutuskan apakah menggugat hasil Pemilu; namun, sesi pelatihan ini dimaksudkan untuk hanya menyampaikan tingkat pengetahuan dasar diperlukan untuk memulai atau menjalankan proses keberatan, bukan bagaimana untuk menentukan apakah akan terlibat sepenuhnya atau tidak. Suatu program pelatihan terpisah yang merinci keprihatinan politik sepanjang siklus Pemilu mungkin merupakan sebuah opsi yang menarik bagi partai-partai untuk menghadirinya.
Kesimpulan A. Pelajaran Umum yang Dapat Diambil Pemilu di seluruh dunia akan semakin melibatkan litigasi. Di negaranegara dimana proses penyelesaian keberatan masih dalam proses pengembangan, jumlah keberatan dan gugatan yang diajukan cenderung jauh melebih jumlah kasus yang sebenarnya disidang dan ditindak sampai menghasilkan suatu tindakan perbaikan. Banyak keberatan dan gugatan yang dibatalkan atas alasan teknis, dan atas dasar bahwa mereka dimasukkan ke lembaga yang salah, atau atas dasar dimasukkan lewat waktu. Terdapat juga beberapa tren yang tidak menguntungkan seperti memasukkan kasus sembarangan dengan motivasi politik dan dimaksudkan untuk mengeruhkan proses Pemilu dan menghambat pengesahan hasil.
175
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Sifat tindakan perbaikan yang dapat diharapkan dalam kasus dimana keputusan badan penanganan memenangkan pemohon keberatan seringkali disalahartikan oleh mereka. Terlalu sering keberatan diajukan oleh para pemangku kepentingan yang percaya bahwa pelanggaran yang mereka laporkan harus mempengaruhi hasil Pemilu, tanpa memahami bahwa membuktikan kausalitas seringkali sangat sulit. Menjadi hal yang sulit untuk membuktikan bahwa hasil Pemilu telah terpengaruh, contohnya, oleh kegagalan petugas Pemilu untuk secara konsisten memastikan dicegahnya pemungutan suara yang diwakili oleh pihak keluarga (family voting), atau beberapa pemilih tampaknya telah diizinkan memilih tanpa menunjukkan kartu identitasnya. Sama halnya, pengaruh aktual pelanggaran kampanye tertentu terhadap hasil Pemilu tidak mungkin dibuktikan dengan tingkat kepastian apapun. Mungkin terdapat fakta bahwa poster politik dirusak dengan sengaja, sebagai contoh, tetapi menunjukkan pengaruh perusakan tersebut terhadap hasil Pemilu merupakan hal yang hampir tidak mungkin dilihat dengan kepastian hukum tingkat apa pun. Terdapat juga harapan yang tidak realistik bahwa jika pengadu memenangkan kasus, maka hasil Pemilu akan dibatalkan, atau bahwa sebuah Pemilu akan diulang seluruhnya atau sebagian. Dalam banyak kasus-kasus besar, tidak ada skenario seperti itu yang mungkin. Pada akhirnya, banyak tindakan perbaikan yang tersedia yang tidak memiliki dampak apapun terhadap partai yang tidak puas dan mengajukan keberatan. Permohonan keberatan seringkali gagal untuk mepahami atau membedakan menurut jenis pelanggaran dengan tindakan perbaikan yang tersedia terhadapnya. Dalam kasus yang melibatkan tindak pidana, hukuman penjara atau denda dapat dikenakan terhadap pelaku, tetapi tindakan perbaikan tersebut tidak memberikan manfaat khusus apapun kepada partai atau kandidat yang melakukan keberatan. Pelanggaran kampanye dapat menyebabkan sanksi kepada partai politik atau penyiar (juru kampanye) tanpa ada kepuasan yang berharga atau pengaruhnya terhadap status pemohon keberatan. Seringkali, keberatan diajukan terkait keputusan atau tindakan dari Badan Penyelenggara Pemilu atau tindakan atau kegagalan bertindak di pihak anggota Badan Penyelenggara Pemilu. Keberatan ini seringkali terkait kegagalan untuk mematuhi rincian prosedur. Bahkan dimana kegagalan di pihak penyelenggara Pemilu tersebut berhasil dibuktikan,
176
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
mereka biasanya tidak dianggap lebih penting dari hak pemilih untuk menyatakan kehendaknya. Kebijaksanaan konvensional adalah bahwa pemilih seharusnya tidak dicabut hak pilihnya karena petugas gagal untuk mengamati prosedur yang ada di Undang-undang. Seringkali, tindakan perbaikan administratif menjadi mungkin. Pertimbangan kembali dokumen pendaftaran kandidat yang ditolak dapat menyebabkan dibatalkannya keputusan untuk menolak kandidat, contohnya. Suatu banding terkait penghilangan sebuah nama dari daftar pemilih biasanya dapat diperbaiki. Kegagalan kandidat independen untuk memberikan jumlah tanda tangan yang cukup untuk mengajukan pencalonan dapat diatasi jika Undangundang atau peraturan memberikan jangka waktu bagi kandidat untuk menyelesaikan kekurangan tersebut. Tindakan perbaikan administratif seharusnya selalu diupayakan untuk menghindari proses litigasi lebih lanjut. Undang-undang di negara yang berbeda akan sangat bervariasi dalam perlakuan mereka tentang gugatan hasil Pemilu. Di beberapa yurisdiksi, Badan Penyelenggara Pemilu pusat diberi kewenangan untuk membatalkan hasil di tempat pemungutan suara secara independen berdasarkan audit prosedur internal mereka sendiri, atau berdasarkan sebuah keberatan. Dalam konteks ini, hukum biasanya cukup spesifik terkait dengan situasi yang mendorong penghitungan kembali suara di tempat pemungutan suara yang relevan, ketika suara hendak dikecualikan dari hasil Pemilu, atau ketika sebuah Pemilu ulang harus diadakan. Di negara lainnya, pembatalan hasil Pemilu mempersyaratkan sebuah keputusan dari badan penanganan yang ditunjuk atau oleh pengadilan. Tanpa memandang ekspektasi partai atau kandidat bahwa mereka dapat membatalkan hasil Pemilu jika mereka menang di pengadilan, pada umumnya merupakan standar yang diterima bahwa hasil Pemilu hanya dapat dibatalkan jika keseriusan dan besaran pelanggaran sedemikian signifikan sehingga hasilnya tidak dapat lagi ditentukan. Di sebagian besar yurisdiksi terdapat keengganan untuk membatalkan hasil, dan pendekatan bagi perlakuan suara yang cacat adalah berdasarkan prinsip universal, bahwa mereka hanya dapat dibatalkan jika jumlah suara rusak lebih besar daripada selisih jumlah suara antara pemenang dan pihak yang kalah. Bahkan jika di sebuah tempat pemungutan suara keseluruhannya dibatalkan, suatu Pemilu ulang untuk tempat pemungutan suara tersebut tidak dapat dilakukan jika jumlah surat suaranya, tidak mencukupi untuk mengubah hasil untuk distrik
177
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pemilu keseluruhan. Untuk kasus-kasus dimana bukti mengkonfirmasikan pelaku kecurangan, seperti kelalaian yang amat parah dan kesalahan yang disengaja lah, yang akan lebih mungkin untuk menghasilkan pembatalan hasil atau pengulangan hasil Pemilu. Adalah selalu penting untuk memastikan bahwa hak partai dan kandidat untuk memasukkan keberatan yang sah dijaga dan para pemangku kepentingan ini memiliki akses terhadap proses penanganan keberatan dimana mereka dijamin. Menjadi hal yang penting bahwa setiap pelatihan untuk partai dan kandidat di bidang penanganan keberatan Pemilu mencantumkan informasi yang memadai tentang kenyataan ini. Informasi yang akurat dan harapan yang realistis tentang manfaat apa yang dapat dicapai melalui gugatan yang berhasil dapat sangat mempengaruhi dalam membantu partai dan kandidat memutuskan untuk mengupayakan kasusnya atau tidak.
B. Pertimbangan Kebijakan dan Praktis untuk Pelatihan Partai Politik Istilah “pelatihan” seharusnya tidak dipakai secara sempit untuk menggantikan atau menghalangi peluang lainnya untuk mempersiapkan partai
politik
memahami
dan
melaksakan
hak
mereka.
Badan
Penyelenggara Pemilu memiliki posisi yang terbaik untuk meredakan berbagai keraguan dan kontroversi yang mungkin muncul ketika partai politik mencurahkan perhatiannya untuk proses keberatan Pemilu. Ini bisa membuat badan penyelenggara Pemilu merasa tidak nyaman harus menghadapi berondongan keberatan. Namun, sebagai pengawal proses dan yang diberi tanggung jawab dan kewenangan untuk menjamin kondisi yang setara bagi partai dan kandidat, Badan Penyelenggara Pemilu harus menemukan cara untuk meningkatkan keyakinan dan kepercayaan di dalam sistem. Salah satu tujuan yang paling penting dari upaya mereka seharusnya adalah untuk menjamin bahwa seluruh kandidat dan partai memiliki akses yang setara terhadap jenis-jenis informasi dan sumber daya yang akan mereka perlukan untuk mengerti sepenuhnya proses keberatan. Persiapan sebuah buku saku tentang proses penanganan keberatan Pemilu menawarkan sebuah peluang yang sempurna untuk mengisi tujuan tersebut. Idealnya,
178
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
buku semacam itu dapat memberikan sebuah gambaran umum sekilas mengenai informasi berikut ini:
• Ketentuan yang relevan tentang hukum yang berlaku mengenai subyek ini;
• Garis besar tentang proses yang harus diikuti;
• Kalender yang mengidentifikasi tenggat waktu dan jadwal
• Contoh-contoh formulir yang relevan dan bagaimana mereka diisi;
• Nama, alamat dan informasi kontak untuk berbagai badan yang
yang relevan;
memegang peranan dalam penanganan keberatan, termasuk Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat daerah, propinsi dan pusat.
• Dimana para pembaca dapat mencari bantuan; dan
• Informasi lain yang dipandang relevan dan berguna.
Buku saku seperti itu diterbitkan setiap saat selain ditengah-tengah panasnya persiapan Pemilu khusus. Buku saku tersebut juga akan memberikan peluang kepada Badan Penyelenggara Pemilu untuk menjamin bahwa informasi yang seragam diberikan di bawah persyaratan yang dikendalikan untuk seluruh partai secara setara. Menyiapkan sebuah buku saku seperti ini memiliki beberapa manfaat sampingan. Hal ini mendorong penyelenggara Pemilu untuk menempatkan diri mereka pada posisi partai peserta Pemilu. Dari sudut pandang ini, Badan Penyelenggara Pemilu dapat mengerti isu-isu apa yang akan menjadi signifikan bagi para kandidat dan rincian prosedur seperti apa yang mungkin tidak cukup jelas. Melihat proses Pemilu dari sudut pandang partai juga dapat menjadi alat bantu yang berguna dalam menentukan dimana kecacatan sistem dan dimana pelatihan tambahan diperlukan. Akhirnya, menerbitkan buku saku diantara siklus Pemilu memungkinkan Badan Penyelenggara Pemilu untuk menghindari hal-hal yang mengejutkan. Sebagai target potensial untuk gugatan hukum, penerbitan buku saku ini memberikan Badan Penyelenggara Pemilu kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka untuk menerima keberatan ketika keberatan tersebut diterima.
179
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Daftar Periksa Rekomendasi Sebagaimana telah dibahas dalam bab ini, berbagai tujuan, topik dan metodologi pelatihan untuk program pelatihan yang efektif baik bagi Badan Penyelenggara Pemilu maupun partai politik seharusnya dipertimbangkan dengan hati-hati. Para praktisi pembangunan dapat memainkan peranan penting dalam merancang berbagai program ini dan memberi nasihat kepada Badan Penyelenggara Pemilu. Serangkaian rekomendasi berikut ini dapat membantu para praktisi dalam peran ini.
√ Karakteristik dasar pelatihan: agenda berbasis kompetensi; penggunaan model pembelajaran bagi orang dewasa yang efektif; penggunaan kreativitas untuk mengatasi keterbatasan sumber daya; dan penggunaan studi kasus dalam pelatihan untuk meningkatkan relevansi kepada para peserta. √ Tujuan pelatihan SMART: Tujuan pelatihan seharusnya bersifat khusus, dapat diukur, dapat dicapai, relevan dan terikat waktu. √ Metode sesi: untuk efektivitas yang optimal, sesi seharusnya termasuk kombinasi kuliah mini, studi kasus, role playing; dan diskusi kelompok. √ Evaluasi: Program pelatihan yang efektif seharusnya termasuk evaluasi pasca-pelatihan. Hal ini dapat berbentuk uji perbandingan pradan pasca- pelatihan, daftar pertanyaan, dan studi serta wawancara lebih lanjut. √ Topik-topik untuk program pelatihan bagi Badan Penyelenggara Pemilu: Suatu program pelatihan dasar bagi Badan Penyelenggara Pemilu dapat mencakup struktur komisi Pemilu; peran dan tanggung jawab Badan Penyelenggara Pemilu; berbagai pasal kunci pada Konstitusi, Pedoman Pemilu dan peraturan yang berhubungan dengan keberatan Pemilu; konsep Pemilu yang bebas dan adil; etika dalam penyelenggaraan Pemilu; pelanggaran Pemilu; penanganan keberatan Pemilu; sanksi dan hukuman untuk pelanggaran Pemilu;
180
Bab 3: Pelatihan Penanganan Keberatan Pemilu Bagi Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik
peran pemantau dan pengawas Pemilu; bekerja dengan media; tinjauan yang rinci mengenai prosedur keberatan; proses keberatan media; studi kasus keberatan; serta tanya jawab. Akan dapat berguna untuk merancang sesi pelatihan khusus dan singkat bagi Badan Penyelenggara Pemilu di tingkat tempat pemungutan suara. Idealnya, pelatihan dasar mengenai bagaimana menangani keberatan dapat diakomodasi selama sesi pelatihan rutin petugas Pemilu. √ Topik-topik untuk program pelatihan bagi partai politik: Suatu program pelatihan dasar bagi partai politik dapat mencakup pengantar pada peraturan perUndang-undangan; hak dan tanggung jawab partai politik; pelanggaran dan penyimpangan Pemilu; Prosedur keberatan Pemilu; persiapan keberatan; dan prosedur banding. Program pelatihan terpisah lainnya dapat menjadi pilihan yang baik untuk memperbaiki masalah-masalah politik yang tidak masuk dalam program pelatihan yang komprehensif. √ Sumber daya tambahan: Suatu buku saku tentang keberatan Pemilu, dapat dibagikan oleh Badan Penyelenggara Pemilu sebelum Hari Pemilu, dapat menjadi sumber daya yang tak ternilai bagi partai politik dan kandidat.
181
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
182
4
STUDI KASUS TERKAIT DENGAN PELATIHAN ARBITER DALAM KEBERATAN PEMILU Kasus 1: Pengalaman Meksiko oleh Gerardo de Icaza, Hernández dan Ernesto Ramos Mega Kasus 2: Pengalaman Filipina oleh Luie Tito , F Guia dan Vincent Pepito, F Yambao, Jr.
Seorang petugas Pemilu menunjukkan surat suara yang salah selama penghitungan ulang sebagian pada Pemilu tanggal 2 Juli di Mexico City, Meksiko Agustus 2006.
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
Pendahuluan Pada inti dari sebagian besar sistem penanganan keberatan Pemilu, berdiri seorang hakim atau arbiter yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengambil keputusan yang kompeten. Bentuk sebuah badan keberatan Pemilu bisa sangat beragam, ia dapat mengambil bentuk yudisial atau kuasi yudisial, legislatif atau administratif, purna waktu- atau paruh-waktu, permanen atau sementara, dan independen atau ditunjuk. Peran seorang arbiter juga bisa bervariasi bentuknya. Pengambilan keputusan bisa berbentuk hakim tunggal dari pengadilan umum yang memeriksa keberatan Pemilu atau bisa saja berbentuk majelis yang terdiri dari beberapa anggota yang khusus didedikasikan untuk menangani kasus tersebut. Apa pun sifat dari anggota-anggota badan penanganan, adalah sangat penting untuk memahami peran dan kekuasaan mereka di dalam proses penanganan sejak keberatan diterima hingga penyelesaian dari isu tersebut. Dengan cara yang sama, badan penyelenggara Pemilu nasional harus melaksanakan pelatihan para hakim secara serius jika ingin memastikan tercapainya hasil efektif yang dapat mendorong penyelesaian keberatan Pemilu yang adil, konsisten dan akurat. Berbagai prosedur dan aturan keberatan Pemilu mungkin berbeda dari perkara perdata, pidana atau administratif lainnya (informasi lebih lanjut, lihat Bab 1: Standar-Standar Internasional). Suatu program pelatihan yang dikelola dengan baik yang menjamin kompetensi setiap anggota, diperlukan bagi terciptanya suatu sistem penanganan keberatan Pemilu yang adil dan tidak memihak. Program pelatihan untuk para hakim atau arbiter harus berupaya mengacu pada suatu pemahaman yang menyeluruh dan mengikuti perkembangan terkini tentang proses penanganan keberatan Pemilu nasional dan status terkini dari berbagai peraturan perUndang-undangan, termasuk seluruh tata tertib yang relevan bagi penyelidikan dan penanganan perkara Pemilu. Idealnya, pelatihan perlu bertujuan untuk meningkatkan baik profesionalisme dan efisiensi para hakim atau arbiter dalam kasus-kasus terkait Pemilu dan juga meningkatkan pemahaman mereka terhadap praktik-praktik terbaik internasional sebagai kerangka kerja untuk aturan domestik. Berbagai pelatihan ini seharusnya mampu mempromosikan
185
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
penerapan hukum Pemilu yang seragam dan transparan melalui penyusunan pedoman yang informal tetapi otoritatif. Pendeknya, pelatihan hakim dan arbiter akan menginformasikan seluruh pembuat kebijakan yang relevan di dalam sebuah kerangka kerja bersama, sehingga menghasilkan keputusan hukum yang dapat diprediksi dan baik. Bab ini akan menghimpun dua contoh pelatihan badan penanganan sengketa Pemilu yang berbeda. Pertama, Pengadilan Pemilu pada Pengadilan Federal (Electoral Court of the Federal Judiciary) Meksiko akan membagi pengalaman uniknya, dengan menjelaskan sejarah organisasinya dan pendekatan yang mereka pakai ketika merancang dan melaksanakan pelatihan bagi badan penanganan keberatan Pemilu di negara-negara lainnya. Pengadilan Meksiko telah diundang untuk menyusun program pelatihan
peradilan
di
banyak
tempat
karena
capaiannya
dalam
mengembangkan pengadilan Pemilu yang independen. Di bagian kedua dari bab ini, Libertás, sebuah asosiasi pengacara yang terkenal di Filipina membagi pengalamannya dalam mengkoordinasikan pelatihan penanganan keberatan Pemilu pada Pemilu Filipina 2010.349 Pelatihan ini merupakan pengalaman pertama Libertás dengan pelatihan peradilan untuk Pemilu, dan pelajaran yang diperoleh (lessons learned) dalam proses tersebut menyumbangkan pandangan yang cemerlang tentang pentingnya program pelatihan yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik.
Kasus 1: Pengalaman Meksiko Latar Belakang A. Evolusi Struktur Peradilan untuk Penanganan Pengaduan Pemilu Selama 20 tahun terakhir, pendekatan penyelesaian keberatan Pemilu di Meksiko telah berubah secara substansial dari sistem yang didominasi oleh sistem politik menjadi suatu sistem yang sepenuhnya berbasis peradilan. Pada tahun 1987, Tribunal Pemilu pertama (Tribunal de lo Contencioso 349 Libertás (Lawyers League for Liberty) merupakan sebuah asosiasi pembaruan dan individu yang berwawasan kewarganegaraan yang memiliki komitmen terhadap pembaruan hukum dan keadilan, peningkatan demokrasi dan hak asasi manusia, serta advokasi tata kelola yang baik di Filipina.
186
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
Electoral, TRICOEL) di Meksiko dibentuk dengan kewenangan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang berasal dari Pemilu federal baik untuk kedua badan legislatif (chambers of Congress) maupun presiden. Meskipun demikian, Meksiko mempertahankan sistem peradilan Pemilu campuran, dimana putusan Pengadilan dapat dirubah dengan keputusan yang dibuat oleh Electoral Colleges pada kedua kamar pada Kongres. Lembaga-lembaga inilah yang diberikan kewenangan untuk menyatakan pembatalan suatu Pemilu. Pada tahun 1990, Pengadilan Pemilu Federal (Federal Electoral Court/ Tribunal Federal Electoral, TRIFE) dibentuk sebagai lembaga peradilan otonom, tetapi sifat campuran sistem tersebut tetap ada. Keputusan TRIFE dapat diperbaiki dan diubah melalui dua-pertiga suara Kongres yang hadir sebagai Electoral College. Pada tahun 1993, dua amandemen konstitusional yang substantif dilakukan. Pertama, TRIFE menjadi “otoritas peradilan tertinggi dalam urusan Pemilu.” Pada saat yang bersamaan, peraturan perUndangundangan
diterbitkan
menggantikan
sistem
evaluasi-mandiri
yang
memungkinkan Electoral Colleges pada Kongres untuk meninjau Pemilu. Namun, sistem campuran ini masih ada pada saat Pemilu Presiden tahun tersebut, karena perubahannya belum disahkan oleh Majelis Rendah (Chamber of Deputies) (majelis tingkat lebih rendah dari Kongres). Pada tahun 1996, sebagai hasil dari reformasi konstitusional yang menyeluruh, Pengadilan Pemilu pada Pengadilan Federal (Electoral Court of the Federal Judiciary, Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federacion, TEPJF) dibentuk. Semenjak itu, keputusannya mengenai keberatan Pemilu legislatif dan presiden bersifat final dan berkekuatan hukum tetap. TEPJF juga diberdayakan untuk menyelesaikan berbagai kontroversi yang mungkin muncul dari Pemilu Presiden, untuk melaksanakan penghitungan suara akhir, dan mengesahkan Pemilu. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa reformasi tersebut memiliki dampak yang amat besar terhadap sistem Pemilu Meksiko. TEPJF dibagi menjadi Majelis Tinggi (High Chamber) dan lima Majelis Daerah (Regional Chambers). Majelis Tinggi adalah badan permanen yang berkedudukan di ibukota, Mexico City dan terdiri dari tujuh orang Hakim
187
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pemilu. Sejak tahun 1996, para Hakim diusulkan oleh Mahkamah Agung Meksiko dan dipilih berdasarkan suara dari dua-pertiga dari anggota Senat. Setelah Reformasi Konstitusi pada tahun 2007, Hakim Pemilu ditugaskan untuk masa jabatan sembilan tahun. Ketua Pengadilan Pemilu dipilih di antara anggota-anggota Majelis Tinggi untuk masa empat tahun dan dapat dipilih kembali untuk jangka waktu tambahan. Majelis Daerah merupakan badan Pemilu permanen yang berkedudukan di kota-kota Guadalajara, Monterrey, Xalapa, Mexico City dan Toluca. Kota-kota ini mewakili lima daerah pemilihan dimana negara ini dibagi untuk memilih anggota-anggota kongresnya di bawah sistem perwakilan proporsional. Setiap Majelis Daerah terdiri dari tiga Hakim Pemilu, yang ditugaskan dengan cara yang sama dengan Hakim dalam Majelis Tinggi.
B. Sistem Penyelesaian Keberatan Pemilu yang Saat Ini Berlaku Keberatan Pemilu dikelola di beberapa tingkat. Majelis Tinggi TEPJH diberdayakan untuk menyidangkan keberatan tentang pemilihan presiden, pemilihan gubernur dan pemilihan anggota kongres (dari anggota kongres yang dipilih lewat perwakilan proporsional). Majelis ini juga menyelesaikan berbagai gugatan para pihak terhadap keputusan Lembaga Pemilu Federal (Federal Electoral Institute-‘IFE’). Majelis Daerah diberdayakan untuk menyelesaikan keberatan yang terkait Pemilu legislatif (legislator yang dipilih oleh mayoritas) juga dewan kota dan kepala pemerintahan administratif dan politik pada pemerintah daerah di wilayah yurisdiksi mereka. Konstitusi
Federal,
Undang-undang
Peradilan
Federal,
Peraturan
Penyelenggaraan Pemilu Federal dan Undang-undang Penyelesaian Keberatan Pemilu memberikan kewenangan kepada TEPJF untuk mengpenanganan keberatan Pemilu. Melalui sebuah Non-conformity Proceeding, Pengadilan dapat menyelesaikan keberatan dalam Pemilu legislatif federal dan Pemilu presiden. Pihak-pihak yang berkentingan dapat menggugat hasil yang terdaftar di distrik pemungutan suara tertentu dalam waktu paling lama empat hari setelah setiap distrik menyelesaikan penghitungan suara. Pemilu presiden secara keseluruhan hanya dapat digugat dalam waktu maksimal empat hari dari pengumuman hasil Pemilu yang dikeluarkan IFE. TEPJF dapat menyelesaikan gugatan banding terhadap tindakan dan keputusan yang dikeluarkan oleh IFE. Sebagian
188
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
besar dari keputusan ini berhubungan dengan sanksi ekonomi terhadap partai politik. Berbagai gugatan terhadap berbagai aturan dan keputusan yang diterbitkan oleh otoritas negara yang kompeten untuk menyelenggarakan, mengevaluasi atau menyelesaikan keberatan di pemilihan kepala daerah yang dapat menghasilkan keputusan mempengaruhi pengembangan suatu proses Pemilu ataupun hasil akhir Pemilu dapat ditinjau oleh Tinjauan Konstitusional Pemilu (Electoral Constitutional Review). Dalam rangka menangani gugatan-gugatan terhadap berbagai tindakan dan keputusan yang melanggar hak-hak politik warga negara untuk memilih, maju di dalam Pemilu, berserikat secara politik, dan bergabung dengan suatu partai politik, sebuah gugatan untuk Perlindungan Hak Politik dan Pemilu Warga Negara (Proceeding for the Protection of the Political and Electoral Rights of Citizens) dapat diajukan ke Pengadilan Pemilu. TEPJF juga memiliki kewenangan untuk mengpenanganan keberatan tenaga kerja antara TEPJF sendiri dan para pegawainya, juga antara IFE and para pegawainya. Terakhir, menjadi hal yang penting untuk menyebutkan bahwa Pengadilan memiliki kekuasaan untuk melaksanakan tinjauan konstitusional dan memastikan kepatuhan hukum Pemilu dengan Konstitusi Federal. Bagian sebelumnya memberikan gambaran umum tentang sejarah, reformasi dan evolusi Pengadilan Pemilu Federal Meksiko (Federal Electoral Court of Mexico) dengan menyoroti berfungsinya proses penanganan keberatan Pemilu Meksiko. Namun, Pengadilan tidak hanya memeriksa keberatan Pemilu, pengadilan namun juga memberikan pelatihan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sebagaimana dibahas di bagian selanjutnya.
Pelatihan oleh Pengadilan Pemilu pada Peradilan Federal Selama bertahun-tahun, Pengadilan Pemilu Federal Meksiko telah membangun suatu kapasitas kelembagaan yang kuat dan keahlian dalam memberikan pelatihan kepada para profesional Pemilu internasional. Mekanisme penanganan keberatan Pemilu Meksiko yang unik telah
189
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
memancing keingintahuan dan ketertarikan dari lembaga-lembaga Pemilu pada negara lain dan telah membawa Pengadilan tersebut untuk membagi pengalamannya, melatih para hakim dan petugas Pemilu asing, serta mengadvokasi model kerjanya di luar negeri. Pengadilan juga menggunakan berbagai keahlian dan sumber dayanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para hakim dan petugas Pemilu nasionalnya tentang masalah penanganan keberatan Pemilu.
A. Pelatihan Internasional bagi Badan-Badan Pemilu
i. Pelatihan
internasional
dalam
Masalah
Penanganan
Pengaduan Pemilu Pada tahun 2008, Lembaga Pemilu Federal Meksiko (Federal Electoral Institute of Mexico/IFE), Pengadilan Pemilu Federal (Electoral Court of the Federal Judiciary/TEPJF) dan United Nations Development Program (UNDP) membuat suatu prakarsa bersama yang berbasis Meksiko untuk suatu aktivitas pelatihan internasional bagi komisi Pemilu asing. Pelatihan dimulai dengan sebuah program percontohan yang dikoordinasikan antara IFE dan Pengadilan Pemilu yang diadakan di Mexico City. Proyek tersebut dirancang untuk Komisi Pemilu Pusat Bosnia dan Herzegovina. Karena keberhasilan program percontohan tersebut, proyek ini diformalisasikan pada tahun 2009 dengan dibentuknya Proyek Pelatihan dan Penelitian Pemilu Internasional (International Training and Electoral Research Project). Semenjak program percontohan tersebut, Pengadilan Pemilu Federal, IFE dan UNDP telah memberikan pelatihan kepada badan penyelenggara Pemilu dari berbagai negara dalam sejumlah subyek Pemilu, termasuk penanganan keberatan Pemilu. Proyek pelatihan internasional ini merupakan bagian dari sebuah rencana yang mempertimbangkan pendekatan siklus Pemilu oleh UNDP, yang secara luas memfokuskan pada seluruh fase proses Pemilu, tidak hanya pada Hari Pemungutan Suara. Program ini didanai oleh UNDP’s Global Program for Electoral Cycle Support, TEPJF, IFE dan menganut perspektif “selatan-selatan” untuk kerjasama bagi pembangunan. Pelatihan berlangsung di Mexico City dan sesi-sesinya dibawakan oleh para ahli internasional, juga pejabat tinggi Pengadilan dan IFE. Tujuan proyek adalah untuk memperkuat lembaga-lembaga demokratis di seluruh dunia dengan memberikan informasi dan “pengetahuan” yang diperlukan untuk mengelola badan-badan Pemilu yang berhasil.
190
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
Bantuan Teknis untuk Mahkamah Agung Pemilu Guatemala (Maret 2009) TEPJF memberikan bantuan teknis kepada Mahkamah Agung Pemilu Guatemala (Tribunal Supremo Electoral, TSE) dan membangun sebuah program pelatihan tentang sejumlah topik yang luas, termasuk pendanaan dan pengadaan bagi partai politik dan kampanye, penggabungan DPT menjadi DPT Nasional dan pemutakhiran daftar pemilih, peraturan pra-kampanye dan kampanye pemilu, pendidikan kewarganegaraan dan strategi pelatihan bagi petugas pemilu dan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara. Bantuan Teknis bagi Pelaksana Pemilu dari Kementerian Informasi Libanon (Maret-April 2009) Lokakarya diajarkan kepada tujuh ahli yang berkolaborasi dengan Kementerian Informasi Libanon. Tema-temanya mencakup perspektif internasional tentang metode peningkatan obyektivitas liputan media langsung tentang proses pemilu, mekanisme untuk memastikan keterwakilan yang adil dan setara bagi kandidat perorangan pada media demikian juga pembedaan antara propaganda dan informasi serta antara berita dengan opini selama liputan pemilu. Lokakarya ini dirancang sesuai kepentingan khusus lembaga-lembaga pemilu Libanon.
Menyambung awal yang sukses, TEPJF secara teratur menerima permintaan bantuan dari beragam pemangku kepentingan Pemilu. Terkadang permintaan ini datang melalui UNDP, Organisasi Negara-Negara Amerika (Organization of American States/OAS), atau Asosiasi Pejabat Pemilu Eropa (Association of European Election Officials/ACEEEO). TEPJF memiliki suatu Nota Kesepahaman dengan seluruh organisasi yang disebutkan sebelumnya. Selain itu TEPJF juga menerima permintaan langsung dari pengadilan Pemilu, kementrian dalam negeri atau komisi Pemilu baik melalui Kantor Urusan Internasionalnya (Office of International Affairs) atau kantor-kantor pemerintah Meksiko di luar negeri. TEPJF mengerjakan program pelatihan hanya berdasarkan permintaan, dan tidak memilih suatu negara berdasarkan pertimbangan geopolitik atau ekonomi. TEPJF telah membentuk suatu jaringan pengelola Pemilu, dan memfokuskan diri kepada suatu metodologi yang efektif untuk bekerja dengan institusiinstitusi relevan sebagai mitra yang setara. TEPJF memiliki hubungan aktif
191
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dengan hampir semua Badan Penyelenggara Pemilu di Amerika Latin, dan juga memperoleh manfaat dari suatu jaringan multilateral melalui OAS, Persatuan Organisasi Pemilu Inter-Amerika (Inter-American Union of Electoral Organizations (UNIORE)) dan misi-misi pengamatan Pemilu. Setelah menerima permintaan, TEPJF bekerjasama dengan peminta kerjasama, dengan mempertimbangkan kapasitas dan kebutuhannya untuk sebaik mungkin menyusun suatu program yang cocok dengan kebutuhan negara tersebut. Sebagai hasilnya, agenda pelatihan dapat sangat beragam dari topik luas seperti seminar tentang peradilan Pemilu, sampai kepada topik sempit seperti lokakarya tentang transisi demokratis atau hasil Pemilu.
Bantuan Teknis Komisi Pemilu Zambia (April 2009) TEPJF memberikan bantuan teknis kepada Komisi Pemilu Zambia (Electoral Commission of Zambia). Lokakarya mencakup subyek-subyek sebagai berikut: badan Pemilu dan misi mereka dalam pemerintahan yang demokratis, daftar pemilih, pemetaan dan pembagian distrik Pemilu, pendidikan kewarganegaraan, pemungutan suara dari luar negeri, penegakan hukum Pemilu dan perencanaan strategis pada lembaga Pemilu.
Walaupun lokakarya bisa mencakup isu yang luas, program-program pelatihan cenderung memfokuskan pada topik yang lebih spesifik: diskusi tentang organisasi dan administrasi Pemilu; penegakan undang-undang Pemilu; penanganan keberatan Pemilu; dan komunikasi sosial sebagai faktor penguat dalam badan Pemilu. Subyek-subyek ini kemudian dibagi menjadi dua bidang yang lebih khusus. TEPJF selalu melaksanakan penilaian awal proses Pemilu terhadap negara yang meminta bantuan. Lebih lanjut, Pengadilan menilai perkembangan demokrasi negara tersebut dalam rangka menerapkan satu dari tiga tingkat pelatihan: demokrasi yang sedang berkembang; demokrasi yang lebih terkonsolidasi yang berupaya untuk memperkokoh lembaga-lembaga Pemilu mereka; dan beberapa bidang masalah pada demokrasi yang matang. Sebuah proyek pelatihan biasanya dilaksanakan dengan cara seminar satu minggu di dalam sebuah format meja bundar: satu atau dua ahli memberikan presentasi pendek, diikuti oleh sesi tanya jawab. Para peserta dalam pelatihan dipilih oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang
192
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
meminta bantuan. Presentasi seminar diberikan mengenai proses penyelesaian keberatan Pemilu Meksiko, mandat dan kekuasaan TEPJF, serta kriteria yang digunakan untuk menyelidiki dan menangani keberatan.
Bantuan Teknis Bagi Komisi Pemilu Filipina (Electoral Commission of the Philippines/COMELEC) (Agustus 2009) Sebelum pemilu Mei 2010 di Filipina, TEPJF dan Komisi Pemilu Filipina (COMELEC) menyetujui upaya bersama untuk mempertajam lebih lanjut keterampilan pemilu mereka. Dua pejabat senior COMELEC melakukan perjalanan ke Meksiko pada bulan Agustus 2009 untuk bertukar informasi dan ide dengan 24 otoritas pemilu Meksiko dan para ahli internasional. IFES juga mengambil bagian di dalam prakarsa ini dan bertindak sebagai jembatan untuk membawa komisi pemilu dari seluruh negara untuk bertukar pengalaman dan menerima pelatihan dengan otoritas pemilu Meksiko. Pertukaran ini memberikan kesempatan kepada komisi-komisi pemilu asing untuk belajar dari sistem pemilu Meksiko, salah satu yang paling canggih di dunia. Kemudian, komisi-komisi asing memberikan IFE kesempatan untuk terus mengembangkan keahlian pemilunya menjadi lebih terbiasa dengan sistem-sistem yang berbeda di seluruh dunia. TEPJF mengadakan sebuah lokakarya yang membahas beberapa subyek, seperti pendanaan pemilu, daftar pemilih, penegakan undang-undang pemilu di Meksiko, teknologi pemilu dan pemungutan suara elektronik, dan program pendidikan kewarganegaraan serta pelatihan pemilu. Delegasi Filipina dan Meksiko menyadari bahwa mereka menghadapi tantangan yang serupa yang timbul dari latar belakang geografis dan sosial politik dan isu-isu yang yang disajikan oleh penyelenggaraan pemilu yang modern yang serupa. Penyaji dari Meksiko menjelaskan kepada delegasi COMELEC tentang kegagalan di masa lalu, apa yang mereka telah lakukan untuk mengatasinya, dan dalam banyak kasus, apa yang masih mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan dalam sistem yang terus menerus.
Walaupun agenda pelatihan dibuat berdasarkan permintaan khusus dari badan Pemilu, TEPSF menggunakan kesempatan yang disediakan dalam pertemuan ini untuk mengadvokasi pendirian lembaga administratif yang menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilu, dengan badan peradilan terpisah yang diberdayakan untuk menangani keberatan Pemilu.
193
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Para pelatih seringkali adalah ahli internasional atau pejabat tinggi IFE atau TEPJF (misalnya pelatih dari Pusat Pelatihan). Pelatih membuat materi mereka sendiri untuk para peserta, yang kemudian diterjemahkan, sebagian besar ke bahasa peserta. Mitra khusus untuk suatu proyek akan beragam, walaupun OAS, IFE dan UNDP umumnya bermitra dengan Pengadilan tersebut untuk pelatihan Badan Penyelenggara Pemilu. Akhirnya, pada akhir proyek pelatihan, para peserta pelatihan diminta untuk mengisi lembar evaluasi dengan umpan balik dan rekomendasi tentang pekerjaan TEPJF. Penyelenggaraan dari kegiatan pelatihan ini di berbagai negara tentunya mempunyai berbagai keterbatasan praktis. Hambatan bahasa adalah masalah yang paling nyata, walaupun Pengadilan Pemilu telah berhasil mengatasi tantangan ini. Di Eropa Timur contohnya, Pengadilan mempekerjakan dua orang penerjemah simultan untuk menerjemahkan dari bahasa Macedonia ke Bahasa Inggris dan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Spanyol. Namun bahasa hanya merupakan puncak dari gunung es masalah jika dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dalam pelatihan; selalu dibutuhkan pertimbangan faktor-faktor lain seperti sejarah dan kebudayaan negara-negara tertentu, juga tradisi hukum dan kebiasaan. Namun, berbagai perbedaan hukum sebenarnya merupakan masalah yang lebih kecil dibandingkan dengan celah, ketidakjelasan atau ketidakselarasan yang mungkin ada di kerangka hukum dari demokrasi tertentu. Namun, tidak seperti beberapa bidang hukum lainnya, tampaknya ada sebuah konsesus tentang prinsip-prinsip Pemilu internasional yang sedang dibangun. Lokakarya Internasional Administrasi Pemilu untuk Komisi Pemilu Republik Macedonia dan Komis Pemilu Pusat Bosnia dan Herzegovina (Februari 2010) TEPJF menyelenggarakan sebuah lokakarya internasional yang dihadiri oleh Komisi Pemilu Republik Macedonia dan Komisi Pemilu Pusat Bosnia dan Herzegovina. Lokakarya membahas penanganan keberatan Pemilu dan penegakan undang-undang Pemilu, juga diskusi tentang perspektif perbandingan sistem-sistem Pemilu, otoritas Pemilu dan tata kelola demokratis, pemungutan suara dari luar negeri, materi Pemilu tentang organisasi, logistik dan mekanisme pemungutan suara, pendidikan kewarganegaraan, pelatihan Pemilu dan pegawai negeri pada Badan Penyelenggara Pemilu, serta modernisasi dan teknologi Pemilu.
194
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
Walaupun sumber daya seringkali menjadi isu di dalam pembaruan Pemilu, sumber daya finansial umumnya bukanlah kendala bagi Pengadilan Pemilu. TEPJF memiliki sumber daya yang baik untuk melaksanakan pelatihanpelatihan internasional ini dan juga membagi biayanya dengan OAS, UNDP dan pihak yang meminta pelatihan. Lebih jauh lagi, seluruh sesi pelatihan diadakan di Meksiko, dimana infrastuktur tersedia luas untuk pelatihan dalam urusan Pemilu. Tentu saja, pelatihan ini juga memberikan manfaat kepada Pengadilan Pemilu dan pemerintah Meksiko. Pelatihan internasional tentang penegakan undang-undang Pemilu dan penanganan keberatan Pemilu memperkuat jalur kerjasama TEPJF sambil berkontribusi kepada pengembangan proyek-proyek Pemilu di negara lain. Mereka mendorong berbagi dan bertukar pengalaman dan pengetahuan dengan para mitra di bidang yang menjadi kepentingan bersama, dan demikian TEPJF memperoleh manfaat baik dari pengembangan demokrasi di dunia dan peningkatan harmonisasi hukum internal dan internasional dalam putusan-putusan penanganan keberatan Pemilu. Selagi para hakim, arbiter Pemilu dan pejabat Pemilu lainnya bekerja untuk meningkatkan dan/atau memperbaharui sistem penanganan keberatan Pemilu mereka benarbenar dapat memperoleh dukungan yang sangat besar dan panduan dari pengalaman Meksiko sendiri, tidak hanya dalam pekerjaan pengadilan Pemilu internasional.
ii. Jenis pelatihan lainnya yang diperlukan oleh tribunal Pemilu
Walaupun tidak diragukan lagi bahwa suatu tribunal Pemilu sangat memerlukan pelatihan penegakan hukum dan penanganan keberatan Pemilu, namun sebuah lembaga yang kuat yang melayani demokrasi modern memerlukan pengetahuan pada berbagai bidang yang berbeda. Di bawah premis ini, Pengadilan Pemilu Meksiko telah memberikan bantuan kepada beberapa lembaga Pemilu di dalam bidang-bidang yang sifatnya dukungan. OAS dan TEPJF menandatangani Nota Kesepahaman pada tahun 2009350, dan sejak itu telah bekerja sama dengan lima misi bantuan teknis. Tiga dari misi tersebut di bidang strategi komunikasi, satu didedikasikan untuk
350 Nota Kesepahaman ditandatangani antara Pengadilan Pemilu Federal (Electoral Court of the Federal Judiciary) dan Sekretaris Jenderal OAS pada tanggal 26 Juni 2009.
195
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
teknologi informasi (TI) dan satu difokuskan pada audit dan gugatan terhadap daftar pemilih. Dua misi pertama dilaksanakan pada Februari 2009 untuk Dewan Pemilu Nasional (National Electoral Council) dan Tribunal Pemilu (Electoral Tribunal) Ekuador. Kedua lembaga ini mengalami reorganisasi dan diberikan fungsifungsi yang baru setelah amandemen konstitusi tahun 2008. Hal ini menciptakan tantangan yang sangat besar dalam tingkat pengakuan dan kepercayaan publik, dan misi pertama difokuskan pada pembuatan strategi komunikasi untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut lebih dikenal dan untuk meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Misi kedua dimaksudkan untuk melakukan implementasi seluruh kebutuhan Teknologi Informasi yang diperlukan oleh lembaga yang baru dibentuk ini. Direktur TI dan Komunikasi Pengadilan Pemilu Meksiko mengunjungi Ekuador, dibiayai oleh OAS untuk merancang strategi pembaruan pada bidang-bidang ini. Tim Kerja Kerjasama Selatan-Selatan kemudian menjuluki pengalaman tersebut sebagai “kisah sukses”. TEPJF melaksanakan misi bantuan teknis ketiga di San José, Kosta Rika bulan Januari 2010 bagi Mahkamah Agung Pemilu Kosta Rika (Supreme Electoral Tribunal Costa Rica). Misi penilaian ini memiliki suatu tema sentral, yaitu penyusunan strategi komunikasi. Strategi tersebut sangat berbeda dengan Kosta Rika, karena Mahkamah Agung Pemilu adalah lembaga yang mapan tetapi telah dituduh oleh sementara pemantau Pemilu sebagai berpihak pada partai politik yang berkuasa. Tujuan misi berikutnya adalah menyusun norma dan pelaksanaan proses audit pendaftaran pemilih untuk Pengadilan Tinggi Pemilu Paraguay (High Court of Electoral Justice of Paraguay). Misi ini terdiri dari pengiriman panitera yang dengan spesialisasi di bidang keberatan pendaftaran pemilih untuk membantu para legislator Paraguay untuk merancang sebuah sistem yang memungkinkan partai politik dan perorangan untuk menggugat daftar pemilih. Terakhir, OAS menerima sebuah permintaan bantuan untuk menyusun suatu strategi komunikasi untuk Juri Nasional Pemilu (National Jury of Elections) di Peru. Nasihat diberikan oleh pejabat tinggi TEPJF kepada Juri Nasional
196
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
Pemilu dibawah kerangka perjanjian kerjasama kelembagaan antara badan Pemilu tersebut dan TEPJF. Misi ini berlangsung pada bulan April 2010. Bantuan teknis diberikan oleh TEPJF kepada berbagai badan Pemilu, atas permintaan OAS, merupakan sebuah cara yang efektif untuk memperkuat demokrasi di kawasan tersebut. Dengan berkembangnya profesionalisme, pengetahuan dan efisiensi di berbagai lembaga tersebut, begitu juga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi demokrasi mereka. Fakta bahwa dukungan diberikan tidak hanya dalam bidang penegakan undang-undang Pemilu, tetapi juga dalam fungsi-fungsi dukungannya, merupakan sebuah indikasi bagaimana suatu lembaga Pemilu modern harus terlatih dengan baik dalam berbagai bidang. Terlepas dari berbagai pelatihan internasional dan pertukaran pengalaman profesional dengan berbagai lembaga Pemilu lain, Pengadilan juga berkomitmen untuk membiasakan para hakim Pemilu, pejabat Pemilu dan masyarakat umum Meksiko dengan proses penanganan keberatan Pemilu negara mereka sendiri.
B. Pelatihan Nasional Di dalam negeri, TEPJF memberikan pelatihan melalui Pusat Pelatihan Pengadilan Pemilu (Electoral Judicial Training Center/Centro de Capacitacion Judicial Electoral, CCJE) yang memiliki misi untuk berkontribusi kepada perbaikan administrasi penegakan undang-undang Pemilu secara terus menerus. Fungsi pelatihan CCJE dibagi menjadi empat divisi: pelatihan eksternal (ditujukan pada badan Pemilu lain dan partai politik); pelatihan internal (memfokuskan pada pegawai pengadilan dari Pengadilan Pemilu sendiri); pelatihan manajemen (memfokuskan pada pengembangan keahlian teknis dan administratif untuk staf administrasi TEPJF); dan pembelajaran jarak jauh (melalui penggunaan teknologi kependidikan, yang ditujukan untuk pejabat dan masyarakat umum). Setiap fungsi ini membutuhkan tingkat keterlibatan CCJE yang berbeda-beda, dengan pelatihan internal dan eksternal membutuhkan paling keterlibatan yang paling banyak, dalam hal sumber daya dan perencanaan. Bagian berikut akan memfokuskan pada bagaimana CCJE memenuhi tugasnya dalam pelatihan internal dan eksternal dan bagaimana ia
197
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
mengembangkan pelatihan yang dapat mengoptimalkan kinerja pejabat Pemilu internal dan eksternal kepada TEPJF. Proyek yang akan dibahas di sini telah dirancang dan dilaksanakan sejak restrukturisasi CCJE tahun 2009. Untuk membandingkan dan memfasilitasi sebuah pemahaman tentang perkembangan di bidang tersebut, hasil sebagian besar proyekproyek ini, disajikan lewat perbandingan dengan restrukturisasi tahun 2009.
i. Pelatihan eksternal untuk otoritas lokal
Pelatihan eksternal paling banyak membutuhkan sumber daya dalam pengertian pegawai dan keahlian. CCJE memberikan pelatihan khusus dalam persoalan Pemilu kepada pengadilan dan lembaga Pemilu dari 32 lembaga lokal yang bertanggung jawab menyelenggarakan Pemilu pada setiap negara bagian dan di Mexico City, juga kepada Lembaga Pemilu Federal (Federal Electoral Institute/IFE), partai politik, kelompok politik, lembaga akademis dan masyarakat umum. Karena pentingnya tugas tersebut, beragamnya peserta, dan tingginya permintaan akan pengetahuan, pada tahun 2009 administrasi baru CCJE mulai merancang sebuah pendekatan yang inovatif terhadap pelatihan eksternal yang akan memperbaiki hasil-hasilnya. Pendekatan ini memerlukan pekerjaan di tiga bidang: pengelolaan kursus, organisasi tematik dan materi pelatihan. Pengelolaan kursus Mengingat rumitnya sifat pelatihan bagi kelompok eksternal yang berbeda, pemrograman kursus yang efektif merupakan hal yang paling penting. CCJE merancang sebuah program pangkalan data (database) untuk menyimpan catatan seluruh program yang ditawarkan dari waktu sebuah lembaga memintanya351 hingga diploma untuk para peserta diberikan. Program tersebut menjajaki ketersediaan para pengajar, profil dari kelompok yang akan dilatih dan pertukaran-pertukaran sebelumnya dengan setiap lembaga. Sistematisasi proses tersebut memungkinkan untuk segera memperoleh laporan statistik untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan peserta, bidang pelatihan yang memerlukan perhatian khusus dan informasi praktis pelatihan lainnya seperti potensi konflik jadwal. Penyederhanaan pemrograman kursus juga memungkinkan
351 CCJE menerima aplikasi untuk kursus pelatihan melalui situs web mereka, http://www. te.gob.mx/ccje/capacitation_externa/Intro.html.
198
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
pemberitahuan tanggal pelatihan dilakukan lebih awal, yang berujung pada efisiensi, seperti biaya transportasi dan biaya materi yang lebih murah. Metode untuk mengevaluasi instruktur juga merupakan suatu topik kunci. Akhir-akhir ini, formulir evaluasi dirancang ulang untuk memasukkan beberapa pertanyaan yang lebih mampu mencerminkan kinerja para pelatih dan kualitas materi kursus dengan skala 0 sampai 5, dimana 5 mewakili peringkat terbaik dan 0 terburuk. Formulir-formulir ini sekarang mulai dimasukkan ke dalam sistem database pada berkas setiap pelatih, sehingga memungkinkan CCJE untuk menilai kinerja pelatih sepanjang waktu. Sebagai contoh, laporan kinerja bulanan dan kuartalan dihasilkan dan dianalisis oleh para petugas yang bertanggung jawab dalam kursus pemrograman. Penilaian ini dapat digunakan untuk memilih para pelatih yang terbaik untuk topik tertentu, menyarankan bidang-bidang perbaikan untuk masing-masing pelatih, dan memberikan dukungan untuk perbaikan dengan merujuk pelatih yang kurang terampil kepada mereka yang berhasil. Organisasi Tematik Perbaikan program-program CCJE juga memerlukan penyusunan kursus yang tematik. Sebelum 2009, kursus diajarkan berdasarkan permintaan dari setiap lembaga tanpa menawarkan sebuah kemajuan sistematik yang konsisten. Oleh karena itu, semenjak tahun 2009, dan berdasarkan kompetensi serta tugas Pengadilan Pemilu, CCJE telah merancang sebuah katalog berisi 26 subyek yang dibagi menjadi tiga tingkat: umum; lanjutan; dan spesialisasi. Subyek-subyek umum dirancang untuk masyarakat yang luas yang hanya tertarik dengan isu-isu Pemilu, atau para peserta yang memiliki pengetahuan dasar tentang Undang-undang Pemilu. Kursus di tingkat ini membahas topik-topik seperti rezim demokrasi, pembaruan Pemilu di Meksiko dan budaya demokrasi serta budaya penegakan undang-undang Pemilu.352 Subyek-subyek ini dimaksudkan untuk membangun sebuah dasar yang kuat bagi konsep menyeluruh yang lebih rumit di masa mendatang dalam Undang-undang Pemilu dan diajarkan oleh pelatih CCJE. 352 Subyek-subyek umum: rezim demokrasi; hukum Pemilu Meksiko; perkembangan historis lembaga Pemilu di Meksiko; reformasi Pemilu di Meksiko; sistem Pemilu dan sistem partai; partai politik; lembaga Pemilu di Meksiko; budaya demokrasi dan budaya penegakan hukum Pemilu.
199
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Subyek-subyek yang lebih maju dirancang bagi para peserta yang memiliki pengetahuan yang kuat dalam isu-isu Pemilu, juga petugas Pemilu dan anggota partai. Mahasiswa yang mengambil kursus ini mempelajari tentang penanganan keberatan Pemilu, yurisprudensi Pemilu dan Undangundang prosedur Pemilu. Kursus-kursus ini menjadi sangat penting untuk mengembangkan sebuah pengertian penuh tentang proses penanganan keberatan Pemilu, dan juga diajarkan oleh pelatih CCJE.353 Kategori tematik terakhir adalah subyek-subyek spesialis. Kursus-kursus ini ditujukan bagi peserta yang merupakan pejabat Pemilu pada posisi menengah dan tinggi dengan maksud untuk memutakhirkan mereka dengan bidang yang terkait erat dengan tugas-tugas mereka. Untuk mengambil kursus ini, para peserta harus mendemonstrasikan kecakapan dalam subyek yang umum dan lanjutan. Subyek spesialis utamanya diajarkan melalui studi kasus sehingga memberikan, baik teori maupun praktik, tentang masalah tersebut. Kursus ini memberikan pengetahuan yang perlu dimiliki seorang hakim atau arbiter Pemilu. Kurikulumnya mencakup banding Pemilu, tinjauan konstitusional di dalam persoalan Pemilu, pembatalan hasil Pemilu, analisis terhadap ketidakpuasan dan perancangan Undang-undang Pemilu.354 Karena rumitnya kategori tematik ini, materi diajarkan baik oleh para pelatih CCJE ataupun oleh panitera (law clerks). Kemajuan kursus tematik yang baru diterima dengan baik oleh para penerima pelatihan, dan berujung pada meningkatnya permintaan terhadap kursus oleh pengadilan dan lembaga Pemilu federal Meksiko. Materi pelatihan Perbaikan juga telah dibuat dalam merancang materi pelatihan. Sebelum tahun 2009, para pelatih menghadapi keterbatasan karena merekalah 353 Subyek-subyek lanjutan: pemeriksaan keberatan Pemilu; yurisprudensi Pemilu; hukum Pemilu; reformasi konstitusional dan hukum Pemilu 2007-2008; proses Pemilu federal; hak kaum penduduk asli di dalam hukum Pemilu Meksiko. 354 Subyek-subyek spesialis: revisi Pemilu; banding Pemilu; gugatan non-conformity; pertimbangan Pemilu; prosedur perlindungan hak-hak politik dan Pemilu warga negara; tinjauan konstitusi dalam urusan Pemilu; prosedur keberatan dalam bidang ketenagakerjaan pada lembaga Pemilu federal; sistem pembatalan hasil Pemilu; sanksi dalam hukum Pemilu administratif; penafsiran hukum dan argumentasi dalam urusan Pemilu; pembuktian dalam hukum Pemilu; analisis ketidakpuasan; dan perancangan hukum Pemilu.
200
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
sendiri yang harus memutuskan bagaimana menyajikan materi mereka, baik dalam pengertian apa aspek yang menjadi subyek untuk diajarkan dan bagaimana titik berat yang diterima oleh setiap aspek. Materi disusun berdasarkan pengetahuan para pelatih tentang subyek tersebut, gaya pelatihan mereka sendiri, dan sumber daya materi yang tersedia. Hasilnya adalah suatu variasi yang signifikan dalam kualitas materi pendukung, baik dalam bentuk maupun isinya. Kursus yang sama diajarkan oleh pelatih yang berbeda dapat menggunakan materi yang berbeda sama sekali. Untuk menanggapi isu-isu ini, CCJE menciptakan materi pelatihan yang konsisten. Untuk tiap-tiap subyek dari 26 subyek, CCJE telah membuat tiga produk: sebuah silabus, presentasi PowerPoint dan sebuah petunjuk pelatihan untuk para peserta. Silabus berisi gambaran dari setiap topik yang dibahas dalam setiap kursus dan menekankan bagian mana akan diberi penekanan. Selain itu, silabus berisi tujuan yang akan dicapai pada akhir kursus dan suatu justifikasi singkat tentang mengapa suatu topik dianggap penting. Untuk subyek-subyek yang dapat ditawarkan baik sebagai sebuah kursus ataupun sebuah lokakarya, silabus tersebut juga menjelaskan tahap-tahap studi kasus yang akan dikembangkan dalam tiap-tiap kelas. Untuk presentasi PowerPoint, pengadilan merancang sebuah template menggunakan citra korporasi (corporate image) dan ditetapkan sebuah pedoman yang minimum. Dalam tidak lebih dari 40 slide (dengan antispasi bahwa kelas akan berlangsung rata-rata empat jam), presentasi seharusnya menggambarkan ide utama yang akan dikembangkan dalam setiap subyek, sehingga memberikan kesempatan pengajar untuk menjelaskan dan mendiskusikan topik dengan peserta kursus. Lebih lanjut, isi seharusnya memfokuskan secara ketat untuk memenuhi tujuan pembelajaran sebagaimana ditetapkan di dalam silabus kursus. CCJE juga memilih untuk mendorong penggunaan diagram, grafik, dan butir-butir pikiran ketimbang paragraf dan deskripsi yang panjang, yang cenderung mengalihkan perhatian daripada memberikan penjelasan bagi para peserta. Produk akhir dalam pengembangan untuk meningkatkan materi pelatihan adalah buku petunjuk pelatihan. Buku ini dirancang untuk membantu para peserta memperoleh wawasan terhadap setiap topik melampaui apa yang telah dicakup di dalam kelas. Buku petunjuk mengembangkan
201
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
ide-ide mendalam yang muncul selama presentasi, serta termasuk tesistesis yang relevan dan putusan pengadilan yang terkait subyek tersebut. Walaupun masih dalam pengembangan, materi pelatihan tersedia di situs web Pengadilan Pemilu untuk dikonsultasikan oleh mereka yang menghadiri kursus dan masyarakat umum yang tertarik dengan urusan Pemilu.355
ii. Pelatihan internal Pengadilan Federal
Pelatihan internal ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para panitera dan pejabat pengadilan lainnya yang bertanggung jawab membuat rancangan pertimbangan hukum para hakim, juga cukup sulit. Pelatihan internal mendukung baik Majelis Tinggi dan lima Majelis Daerah dari Pengadilan Pemilu. Upaya untuk meningkatkan pelatihan ini sejak tahun 2009 telah memfokuskan diri pada peningkatan jumlah topik pelatihan, meningkatkan dialog terbuka antara pejabat Pemilu dan akademisi terkemuka serta mensistematisasikan kegiatan ini sehingga staf internal dan masyarakat umum dapat mengaksesnya dengan mudah. Mencerminkan struktur pengadilan, seluruh aktivitas pelatihan dijalankan melalui sesi yang berlangsung di TEPJF dan ditransmisikan ke majelismajelis daerah pada saat yang sama (real time). Sementara staf Majelis Tinggi berinteraksi dengan presenter secara langsung (live), staf Majelis Daerah dapat bertukar pandangan secara simultan lewat videoconference atau lewat surat elektronik; cara ini, dimana semua staf menghadiri kursus, baik yang hadir secara fisik maupun dari jauh, dapat berkomunikasi dengan spesialis pelatihan dalam waktu yang bersamaan. Anggota staf yang tidak dapat menghadiri sebuah peristiwa yang tertentu dapat berkonsultasi kursus dan materi terkait yang direkam di situs web CCJE.356 Subyek pelatihan internal dapat disajikan dengan berbagai format dan tidak harus terkait Undang-undang Pemilu. Tujuannya adalah untuk memberikan staf Pengadilan Pemilu dengan pelatihan yang memperluas wawasan mereka baik tentang administrasi pengadilan di dalam rezim yang demokratis maupun membela hak politik. Pelatihan internal telah 355 Materi pelatihan dapat dilihat di http://www.te.gob.mx/ccje/unIdad_capacitacion/ materiales_capacitacion.html. 356 Anggota staf dapat berkonsultasi dengan rekaman atau bahan kursus terkait lainnya melalui tautan internet berikut: http://www.te.gob.mx/ccje/material_audiovisual/ derechos_poli.html dan http://www.te.gob.mx/ccje/capacitacion_interna/Intro.html
202
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
memasukkan diploma (kursus bersertifikat) dalam analisis politik dan strategis, kursus tentang pengambilan keputusan berperspektif gender, seminar tentang penanganan dalil-dalil Pemilu dan studi kasus hukum Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights), teori John Rawls tentang keadilan dan demokrasi serta lokakarya tentang peran baru hakim di Amerika Latin. Proyek pelatihan internal (in-house) juga termasuk program pasca sarjana yang dirancang untuk melatih para profesional dalam Undang-undang Pemilu. Pada tahun 2009, CCJE menawarkan Spesialiasi dalam Hukum Pemilu dan Program Magister Hukum bekerjasama dengan National Autonomous University of Mexico. CCJE juga menyediakan program khusus dalam Penegakan Undang-undang Pemilu melalui moda pelatihan in-house hingga tahun 2009. Sejak tahun 2010 ke atas, program itu telah disampaikan sebagai modul pembelajaran jarak jauh (distance learning) untuk memenuhi permintaan para petugas Pemilu di seluruh negeri. Seperti halnya di pelatihan eksternal, seluruh spesialis yang terlibat dalam pelatihan internal juga kursusnya sendiri dievaluasi oleh para peserta dengan formulir yang terstandarisasi. Informasi yang diperoleh membantu CCJE untuk memutuskan bagaimana pemrograman kursus di masa depan. CCJE juga mengubah format penyampaian untuk sebagian kursus yang ditawarkan secara internal. Sebagian besar aktivitas pelatihan untuk pejabat Pengadilan Pemilu diberikan di meja konferensi dan tidak lagi melalui podium kuliah kepada peserta, sehingga baik pembicara dan para peserta berada di tingkat yang sama, dan oleh karena itu menjaga dialog berkelanjutan yang mendorong pertukaran pengetahuan.
Kesimpulan Pelatihan yang memadai menjamin para hakim dan arbiter untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menangani gugatan dan keberatan Pemilu secara efisien. Sepanjang pekerjaannya sebagai pelatih penanganan keberatan Pemilu, TEPJF telah memperoleh pengalaman yang luas dalam menyelenggarakan seminar baik bagi hakim dan arbiter Meksiko dan maupun asing. Selagi mengembangkan dan melaksanakan program-program ini, Pengadilan Pemilu telah mempelajari
203
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
baik dari keberhasilan maupun kegagalannya. Demokrasi telah mencapai tingkat konsolidasi yang berbeda di setiap negara; oleh karena itu seminar pelatihan harus mempertimbangkan beberapa faktor. Salah satu elemen yang amat penting yang harus diingat dalam seluruh penciptaan kemitraan adalah pelatihan internasional hanya dapat dilaksanakan secara sukarela. Tidak ada pusat pelatihan atau pelatih independen yang memaksa sebuah komisi atau tribunal Pemilu untuk menerima bantuan mereka. Kedua belah pihak seharusnya berperan sebagai mitra yang setara dan harus berpartisipasi bersama dalam rancangan program pelatihan. Subyek yang diajarkan dalam sesi pelatihan seharusnya merespon kebutuhan setiap lembaga Pemilu, yang merupakan pendekatan yang lebih berguna ketimbang suatu silabus atau buku pedoman umum tentang proses penanganan keberatan Pemilu. Beberapa negara memfokuskan, contohnya, pada pendaftaran pemilih dan pengamanan di Hari Pemungutan Suara, sementara negara lainnya menghadapi masalah penanganan keberatan, pembiayaan kampanye politik dan Undang-undang tentang media. Berbagai Kepentingan dan isu yang berbeda-beda ini memunculkan potensi program pelatihan yang ditargetkan menjadi lebih terarah yang pada akhirnya akan terbukti lebih berhasil. Pelatihan bagi tribunal-tribunal ini seharusnya tidak memfokuskan pada Undang-undang Pemilu, penegakan hukum atau penanganan keberatan Pemilu, tetapi seharusnya melebarkan cakupan agenda dan memasukkan, sebagai contoh, pembentukan suatu strategi komunikasi dalam rangka meningkatkan transparansi dan membangun tingkat kepercayaan sosial lebih lanjut di dalam proses Pemilu. Lembaga-lembaga tersebut harus dilatih dengan baik di bidang-bidang lainnya yang mendukung aktivitas inti tribunal. Pendekatan baru yang diadopsi oleh pekerjaan CCJE, menyusul restrukturisasi yang dilakukan, telah berujung pada berbagai perubahan substantif dalam kinerja fungsi pelatihan mereka. Pertama, badan ini berubah filosofi kerjanya secara signifikan dalam artian tujuan akhir tentang pelaksanaan fungsifungsinya. Berbagai upaya sekarang jelas memfokuskan pada transmisi pengetahuan. Perubahan ini berarti bahwa upaya utama dan komitmen dalam kualitas dan metodologi dimana tugas akademis telah dijalankan.
204
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
Perbaikan utama dalam kinerja tugas pelatihan eksternal dan internal dari Pengadilan Pemilu disebabkan oleh perhatian yang diberikan kepada tiga elemen: (1) definisi yang jelas tentang tujuan kelembagaan; (2) perencanaan strategis; dan (3) sistematisasi informasi dan prosedur. Elemen-elemen ini terdapat dalam setiap proyek yang ditetapkan di dalam program akademik tahunan CCJE, yang dapat diakses daring (online).357 Metode pelatihan eksternal CCJE sekarang termasuk adanya suatu katalog item yang diurutkan berdasarkan tingkat spesialiasi mereka dan dari sanalah hal tersebut memungkinkan untuk merancang kursus bagi peserta yang berbeda-beda. Dengan demikian, hal ini juga mendorong alih pengetahuan yang efektif tentang isu-isu yang secara langsung terkait dengan maksud dan kompetensi Pengadilan Federal. Statistik dari kursus yang diajarkan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kegunaan. Pada tahun 2008, CCJE mengajarkan 43 kursus kepada pengadilan Pemilu lokal, 31 kursus kepada lembaga Pemilu lokal, 15 kursus kepada kelompok dan partai politik. Sampai dengan tahun 2009, jumlah kursus meningkat dari 65 untuk pengadilan, 56 untuk lembaga Pemilu dan 63 untuk kelompok dan partai politik. Selama tahun 2009, CCJE melatih lebih dari 30.000 orang melalui penyediaan pelatihan eksternal. Perlu diperjelas bahwa proses inovasi masih belum selesai. Di satu sisi, CCJE melanjutkan untuk memperbaiki dan menyesuaikan silabus, presentasi dan buku petunjuknya untuk memenuhi kebutuhan para peserta. Pada saat yang sama, CCJE melanjutkan pengembangan proyek lainnya untuk memperbaiki pelatihan eksternal. Perbaikan berlanjut dalam persiapan staf akademik Pusat Pelatihan Pengadilan Pemilu (Electoral Judicial Training Center) yang masih berjalan, rancangan evaluasi khusus untuk mengukur kesenjangan pembelajaran dan transformasi beberapa buku petunjuk menjadi buku teks yang sedang berlangsung. Perbaikan yang terakhir adalah untuk membantu dalam pengajaran persoalan Pemilu sementara secara simultan memperluas kesempatan belajar dan pengetahuan spesialis bagi petugas Pemilu, aktivis partai politik dan warga negara yang berminat dengan isu-isu Pemilu. 357 C entro de Capacitacion Judicial Electoral, Programa Academico 2010 (2010), dapat dilihat di http://te.gob.mx/Archivos/programa_academico_anual.pdf.
205
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Kasus 2: Pengalaman Filipina Latar Belakang Kabarnya tidak ada seseorangpun yang kalah di dalam sebuah Pemilu di Filipina; hanya ada pemenang atau yang dicurangi. Oleh karena itu, keberatan terkait pelaksanaan Pemilu sangat dibutuhkan, dan pada umumnya diterima sebagai bagian atau paket dari proses Pemilu Filipina. Selama lebih dari satu abad,358 Filipina bertahan dengan proses Pemilu yang sulit dan kasar yang telah dipandang secara luas sebagai rentan terhadap kecurangan dan penipuan. Pemungutan suara, penghitungan manual dan prosedur konsolidasi suara yang digunakan di Filipina telah melahirkan kecurigaan yang sangat dari warga negara terhadap hasil Pemilu. Bagi kandidat dan partai yang memiliki dana yang cukup untuk mendukung perkara hukum yang berkepanjangan dan mahal, kecurigaan atas insiden kecurangan dapat menjadi pertarungan hukum yang sengit melalui sebuah tindakan yang dinamakan “protes Pemilu.”359 Sebagaimana
sebuah
mekanisme
penanganan
keberatan
Pemilu,
protes Pemilu memberikan sebuah tindakan perbaikan pasca-Pemilu di Filipina bagi mereka yang mempertanyakan hasil Pemilu. Mekanisme ini berupaya untuk menentukan kebenaran kehendak rakyat360 dengan memeriksa ulang surat suara, hasil Pemilu, serta dokumen dan materi lainnya yang digunakan di dalam Pemilu. Mekanisme ini mungkin akan menguatkan atau membatalkan hasil Pemilu, dan dengan demikian, hal ini dapat baik mengkonfirmasikan atau meragukan kredibilitas keseluruhan proses Pemilu.
358 Filipina menyelenggarakan Pemilu pertamanya di Baliuag, Bulacan di bawah pengawasan gubernur jenderal militer Amerika Arthur McArthur, 6 Mei, 1899. 359 Sebuah protes Pemilu adalah sengketa diantara kandidat yang dikalahkan dan yang menang atas dasar kecurangan dan penyimpangan dalam pemberian dan penghitungan suara, atau dalam persiapan keputusan hasil Pemilu. Hal ini menimbulkan pertanyaan siapa sebenarnya yang memperoleh mayoritas suara yang sah dan karena itu berhak menjabat. Lihat Samad v. COMELEC, 224 S.C.R.A 631 (16 Juli, 1993) (Fil). 360 Maksud dari protes Pemilu adalah untuk mengetahui apakah kandidat yang dinyatakan dipilih oleh para pendukungnya adalah merupakan pilihan para pemilih yang sah. Lihat De Castro v Ginete, 27 S.C.R.A 623 (28 Mar, 1969) (Fil).
206
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
Filipina memberanikan negaranya mencoba otomatisasi Pemilu di seluruh negeri pertama kalinya pada 10 Mei 2010 dengan tujuan untuk memperbaiki kecacatan dan kerentanan proses pemungutan dan penghitungan suara secara manual. Otomatisasi Pemilu diharapkan menghasilkan hasil yang lebih dapat dipercaya dan dapat diterima, dengan demikian memperkecil, jika tidak menghapus sepenuhnya, kebutuhan untuk prosedur protes Pemilu.361 Sistem Otomasi yang dipilih oleh Komisi Pemilu (Commission on Election-COMELEC) melibatkan penggunaan mesin Pemindai Otomatis Penghitungan Daerah Pemilihan (Precinct Count Optical Scanning/PCOS), yang memindai dan merekam suara yang ditandai oleh para pemilih di tempat yang semestinya di surat suara. Hasil dari setiap daerah pemilihan kemudian ditransmisikan secara elektronik kepada pusat penghitungan suara dimana mereka dikonsolidasikan bersama hasil daerah lainnya secara elektronik. Penghitungan Pemilu akhir akan dihasilkan selama rangkaian kegiatan penghitungan oleh sebuah sistem penghitungan dan konsolidasi elektronik (canvassing and consolidation system/CCS). Proses otomatisasi ini merupakan perpindahan yang mendadak dari sebuah sistem yang biasa. Pemilu sebelumnya menggunakan sebuah sistem pemungutan suara “menuliskan” (“write-in”) dimana para pemilih menuliskan nama dari kandidat pilihan mereka di atas surat suara. Setelah periode pemungutan suara362, suara yang tertulis di surat suara kemudian dibacakan dengan suara keras di setiap tempat pemungutan suara, dan secara manual dihitung hasilnya. Hasil Pemilu dari beberapa daerah pemilihan yang berbeda, kemudian dibaca dan dihitung di dokumen kertas lainnya yang dinamakan pernyataan suara (statement of votes/SOV) berdasarkan penghitungan suara di tingkat kota. Suara yang tercermin dalam SOV kemudian ditambahkan secara manual untuk menentukan kandidat pemenang.
361 Merupakan hal yang menarik untuk dicatat bahwa laporan awal dari Komisi Pemilu dan Dewan Perwakilan Rakyat, Pengadilan Pemilu menunjukkan bahwa ada lebih banyak gugatan Pemilu yang diajukan di bawah Pemilu terotomatisi daripada di bawah sistem manual. Terdapat juga sejumlah substansial gugatan Pemilu yang diajukan ke pengadilan reguler, walaupun data belum lengkap. 362 Dalam sebagian besar kasus, periode pemungutan suara di Hari Pemungutan Suara adalah antara pukul 7:00 pagi sampai 3:00 sore.
207
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Bagaimana penanganan perkara Pemilu melaksanakan penghitungan ulang atau peninjauan ulang keabsahan surat suara selama rangkaian protes baik dalam sistem otomatis maupun manual terlihat dari prosedur yang dirangkum secara singkat di atas. Sebagaimana dinyatakan, proses Pemilu manual selalu melahirkan kecurigaan terhadap integritas penghitungan suara. Namun, Pemilu ter-otomasi juga menghasilkan pertanyaan yang sah yang tumbuh menjadi keberatan Pemilu. Kandidat wakil presiden yang kalah dalam Pemilu baru-baru ini memulai suatu keberatan penting Pemilu terhadap yang pemenang pemillihan umum.363 Walaupun COMELEC mengandalkan manfaat yang coba diraih dari otomasi Pemilu, namun ternyata mereka belum cukup siap dalam sistem penanganan keberatan yang menyediakan tindakan perbaikan yang memadai, transparan, terpercaya dan tepat waktu bagi mereka yang mempertanyakan hasil Pemilu. Dengan kepercayaan bahwa diterapkannya sistem Pemilu terotomatisasi akan menghapuskan kecurangan Pemilu, adopsi aturan tata tertib baru tentang sengketa Pemilu yang sesuai dengan sistem yang baru diterapkan belum diprioritaskan. Dengan demikian, amandemen terhadap hukum acara yang memasukkan persyaratan untuk sistem Pemilu yang terotomatisasi diterbitkan hanya nyaris sebulan sebelum Pemilu. Oleh karena itu, tidak terdapat waktu yang memadai untuk melatih para ajudikator tentang penanganan dan penyelesaian keberatan Pemilu di bawah prosedur Pemilu yang baru. Namun, sebagaimana dibahas kemudian di bagian ini, seminar untuk hakim dilaksanakan untuk paling tidak, membiasakan mereka dengan fitur dasar sistem Pemilu yang terotomasi. Dalam rangka memahami secara memadai persiapan yang dilaksanakan di Filipina untuk melengkapi para hakim dengan kompetensi yang diperlukan untuk menangani penanganan keberatan Pemilu, merupakan hal yang mutlak untuk pertama-tama menghormati lingkungan Pemilu Filipina.
363 Kandidat Wakil Presiden Manuel Roxas, pasangan Presiden Benigno Aquino III, menyampaikan keberatan Pemilu terhadap yang dinyatakan pemenang, Jejomar Binay, yang menuduh bahwa penghitungan suara dipertanyakan karena Roxas memantau banyaknya suara “tidak sah” (suara yang tidak diberikan kepada kandidat manapun) di daerah dimana Binay menang.
208
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
A. Pemilu di Filipina Posisi jabatan yang mensyaratkan Pemilu (elective) di Filipina meliputi: presiden, wakil presiden; 24 senator (majelis tinggi dewan perwakilan rakyat/upper house of the bicameral legislature); satu perwakilan dari setiap 222 daerah pemilihan legislatif dari seluruh daerah; satu partai untuk sistem perwakilan party-list di Kongres Filipina;364 gubernur provinsi, wakil gubernur, anggota dewan (perwakilan rakyat daerah); walikota; wakil walikota dan dewan perwakilan kota (councilors); pimpinan Barangay (Desa) dan dewan perwakilan tingkat desa (council members). Dengan pengecualian pada jabatan desa, seluruh posisi ini dipilih serentak (“synchronized elections”). Pemilu diselenggarakan setiap tiga tahun, walaupun presiden, wakil presiden dan senator dipilih untuk jangka waktu enam tahun. Dua belas senator akan menyelesaikan jangka waktu enam tahunnya setiap tiga tahun bergantian bersama 12 lainnya. Karena Pemilu yang diserentakkan, hingga 33 posisi akan dipilih dalam Pemilu melalui surat suara tunggal. Konsolidasi hasil Pemilu untuk posisi nasional melewati sebuah proses perhitungan suara secara bertahap. Hasil tempat pemungutan suara atau daerah pertama-tama dikonsolidasikan ke tempat penghitungan suara tingkat kota. Hasil kota kemudian dikonsolidasikan di tingkat provinsi. Perhitungan tingkat nasional, merupakan hasil dari konsolidasi penghitungan suara tingkat provinsi.365 Penghitungan beberapa tahap ini merupakan prosedur wajib bahkan di bawah sistem Pemilu terotomatisasi. Pemenang Pemilu harus memperoleh pluralitas; suatu mayoritas suara
tidak
diperlukan.
Dengan
demikian,
suara
tunggal
dapat
secara teori menghasilkan kemenangan Pemilu di setiap posisi yang memerlukan Pemilu.
364 Juga disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. 365 Hasil dari kota yang dipertimbangkan sebagai kota yang memiliki tingkat urbanisasi sangat tinggi, ditransmisikan secara langsung ke penghitungan national, dan tidak melewati penghitungan provinsi manapun.
209
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
B. Komisi Pemilu Filipina (Philippine Commission on Elections/COMELEC) COMELEC berperan sebagai badan penyelenggara Pemilu di Filipina. Dibentuk melalui Konstitusi Filipina, COMELEC diberikan kewenangan untuk menegakkan dan mengatur seluruh Undang-undang dan peraturan tentang pelaksanaan Pemilu dan pelaksanaan Pemilu terkait lainnya.366 Badan ini memiliki wewenang untuk memutuskan seluruh pertanyaan yang mempengaruhi Pemilu, termasuk pendaftaran partai politik, tetapi bukan pertanyaan yang terkait hak pilih.367 Badan ini memiliki otoritas untuk memilih sistem Pemilu terotomatisasi yang layak dalam setiap Pemilu.368 Selain
dari
kekuasaan
administratif
untuk
melaksanakan
Pemilu,
COMELEC juga diberikan kekuasaan kehakiman untuk menyidangkan dan memutuskan seluruh gugatan terkait Pemilu, hasil pemilu, dan kualifikasi seluruh pejabat yang dapat dipilih melalui Pemilu di tingkat daerah, provinsi, dan kota serta untuk memeriksa banding terhadap seluruh gugatan menyangkut pejabat-pejabat kota dan desa.369 COMELEC terdiri dari seorang ketua dan enam anggota yang ditunjuk oleh Presiden untuk jangka waktu tujuh tahun tanpa dapat dipilih kembali.370 Ketika melakukan penanganan keberatan Pemilu, anggota COMELEC dapat melibatkan seluruh anggotanya atau dibagi menjadi dua divisi yang masing-masing berangotakan tiga anggota.371 Konstitusi mengizinkan paling banyak tiga anggota COMELEC adalah bukan ahli hukum, tetapi dalam praktiknya hanya ahli hukum yang ditunjuk. Seluruh anggota COMELEC saat ini adalah ahli hukum, tiga diantaranya pensiunan hakim. COMELEC beroperasi dari kantor pusat di Manila, tetapi dia memiliki kantor di seluruh kota dan provinsi. Walaupun kehadirannya tersebar luas di seluruh negeri, COMELEC memutuskan persoalan Pemilu secara sentral di kantornya di Manila. 366 Const, Pasal IX-C, sec 2(1) (Fil) 367 Const, Pasal IX-C, sec 2(3) (Fil) 368 Sebuah Undang-Undang Yang Mengamandemen Undang-Undang Modernisasi Pemilu, Act Republic Act 9369 (2007) (Fil). 369 Const, Pasal IX-C, sec 2(2) (Fil) 370 Const, Pasal IX-C, sec 1 (Fil). 371 Const, Pasal IX-C, sec3 (Fil).
210
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
C. Jenis-jenis Keberatan Pemilu di Filipina Protes Pemilu bukanlah satu-satunya jenis keberatan Pemilu yang terjadi di Filipina. Keberatan Pemilu di Filipina dapat diklasifikasikan menjadi (1) yang terkait dengan hak pilih dan pendaftaran pemilih; (2) yang terkait dengan kualifikasi kandidat dan partai politik; (3) yang terkait pelaksanaan Pemilu; (4) yang melibatkan pelanggaran pidana Undang-undang Pemilu; dan (5) yang terkait integritas hasil Pemilu. Keberatan terkait dengan hak pilih dianggap sebagai isu pengadilan dan dengan demikian merupakan bahan pertimbangan dan diselesaikan oleh lembaga peradilan. Di bawah Undang-undang Pendaftaran Pemilih Filipina,372 pengadilan tingkat pertama memeriksa permohonan untuk dimasukkan atau dikeluarkannya para pemilih dalam daftar pemilih. Pendaftaran seorang warga negara untuk mendaftar sebagai pemilih sebenarnya dibahas pertama kalinya oleh sebuah badan di setiap kota bernama Dewan Pendaftaran Pemilu (Election Registration Board/ERB).373 Tindakan ERB juga dapat diadukan ke pengadilan,374 dasar penyebab tindakan untuk memasukkan atau mengeluarkan para pemilih muncul hanya karena sebuah aplikasi untuk pendaftaran telah dimasukkan secara keliru atau secara keliru dikeluarkan dari dalam daftar pemilih. Disisi lain COMELEC, memiliki yurisdiksi terhadap sejumlah masalah tentang kualifikasi kandidat dan pendaftaran partai politik, juga yang terkait dengan pelaksanaan Pemilu.375 Yurisdiksi COMELEC di bawah jenis-jenis keberatan ini termasuk menentukan apakah seorang kandidat seharusnya didiskualifikasi untuk pelanggaran perilaku yang diperlukan bagi seorang kandidat.376 COMELEC juga diberikan wewenang untuk memeriksa prosedur “preproclamation controversies” (pertanyaan terhadap dewan penghitungan suara). Substansi penghitungan suara bukan merupakan isu di dalam
372 Voter Registration Act, Rep. Act 81189 (1996). 373 Id, §§ 32-35. 374 Id, §§ 17. 375 Const, Pasal IX-C, sec 2 (3) (Fil). 376 Sebagai contoh, tindakan yang disebut dalam Bagian 68 dari Batas Pambansa Blg. 881 (Omnibus Election Code) dapat menyebabkan diskualifikasi seorang kandidat dari melanjutkan pencalonannya, tanpa mempertimbangkan kemungkinan penuntutan pidana.
211
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
“pre-proclamation controversies”; isu-isunya terbatas pada keabsahan prosedur penghitungan dan keaslian documen Pemilu yang diajukan untuk dihitung.377 Dengan demikian, sepanjang proses penghitungan dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur, dan dokumen yang disajikan untuk perhitungan tampak asli, sertifikasi hasil atau pengumuman kandidat pemenang akan mengikuti sebagai suatu keniscayaan. Tindakan perbaikan untuk mereka yang dituduh melakukan kecurangan di dalam penghitungan suara hanya gugatan pasca-pengumuman hasil Pemilu. Pelanggaran pidana aatas Undang-undang Pemilu akan diselidiki dan dituntut oleh COMELEC dan oleh badan pemerintah yang melakukan fungsi penuntutan.378 Namun, ketika ditemukan bahwa seorang tergugat melakukan pelanggaran setelah penyelidikan baik oleh COMELEC ataupun oleh penuntut pemerintah, maka tergugat berhadapan dengan pengadilan tingkat kedua (Pengadilan Daerah/Regional Trial Court) seperti halnya pada sistem penuntutan pidana.379 Penyelesaian keberatan kualifikasi kandidat, isu pendaftaran partai politik, dan pre-proclamation controversies berada dalam yurisdiksi administratif COMELEC.
D. Protes Pemilu Sebagaimana telah dibahas di bagian pendahuluan, protes Pemilu merupakan sebuah gugatan antara kandidat yang kalah dan yang menang atas dasar kecurangan dan penyimpangan di dalam pemungutan dan penghitungan suara, atau dalam persiapan hasilnya.380 Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya memperoleh mayoritas suara sah dan oleh karenanya berhak menduduki jabatan.381 Dalam protes Pemilu, rangkaian kegiatannya pada intinya memiliki karakter peradilan, karena berbeda dari rangkaian kegiatan lainnya yang bersifat administratif di COMELEC. Lebih lanjut, seorang pemenang yang telah diumumkan, walaupun dengan proses keberatan yang masih berjalan, diperbolehkan 377 Omnibus Election Code, B.P.Blg 881, § 68 (1985) (Fil). 378 Sebuah Undang-Undang yang Mengamandemen Election Modernization Act, Rep. Act 9369 § 42 (2007) (Fil). 379 B.P.Blg 881, § 268 (1985) (Fil) 380 Samad v. COMELEC, 224 S.C.R.A. 631 (16 Juli, 1993) (Fil). 381 Id.
212
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
untuk menjalankan kekuasaan dan fungsi jabatannya sebagai pihak yang dianggap menang dan dapat dicopot kembali jika prosedur protes kemudian menentukan bahwa ada orang lain yang memperolah jumlah suara tertinggi. Protes ditangani oleh badan penanganan yang berbeda tergantung posisi yang digugat. Jika menyangkut posisi presiden dan wakil presiden maka berada dalam yurisdiki ekslusif dari Mahkamah Agung Filipina (Philippine Supreme Court) yang berfungsi sebagai Tribunal Pemilu Presiden (Presidential Electoral Tribunal/PET).382 Gugatan menyangkut senator (Majelis Tinggi Kongres) dan perwakilan (dari Majelis Rendah/Lower House of Congress) ditangani masing-masing oleh Tribunal Pemilu Senat (Senate Electoral Tribunal/SET) dan Pengadilan Pemilu Dewan Perwakilan (Pengadilan Pemilu Majelis Rendah/House of Representatives Electoral Tribunal/HRET).383 COMELEC melaksanakan yurisdiksi asli yang eksklusif terhadap protes Pemilu menyangkut posisi regional, provinsi dan kota,384 dan yurisdiksi banding terhadap gugatan menyangkut pejabat walikota dan pejabat desa yang diputuskan, di tingkat pertama, oleh masing-masing di pengadilan tingkat kedua (Regional Trial Courts), dan pengadilan tingkat pertama (Municipal or Metropolitan Trial Courts).385 Keputusan COMELEC (baik untuk kasus asli dan banding) serta pengadilan Pemilu adalah final dan tidak dapat dimintakan banding. Namun, Mahkamah Agung dapat mengambil alih gugatan yang mempertanyakan keputusan COMELEC atau tribunal dalam hal gugatan yang diajukan menuduh adanya kesalahan yurisdiksi atau penyalahgunaan diskresi yang serius. Pada proses Pemilu “manual”, suatu protes Pemilu biasanya menyangkut penghitungan kembali suara dari pihak yang mengajukan protes dan pihak yang menjadi obyek protes (pihak yang telah diumumkan sebagai pemenang atau mereka yang memiliki sejumlah suara lebih banyak daripada pihak yang mengajukan keberatan), dan suatu peninjauan ulang suara sebagaimana ditulis di surat suara. Dengan Pemilu yang tersinkronisasi 382 383 384 385
Const. Pasal VII, sec. 4, par 7 (Fil). Const. Pasal VI, sec. 17 (Fil). Const. Pasal IX-C, sec. 2 (2) (Fil). Id
213
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dan proses pemungutan suara yang dengan menulis (“write in”), para ajudikator tidak hanya diwajibkan menghitung suara suara di setiap daerah, tetapi membacakan tulisan tangan dari surat suara. Karena proses yang membosankan ini, sebagian besar gugatan-jika tidak semua baru bisa diselesaikan, mendekati akhir masa jabatan posisi yang diperebutkan. Sistem Pemilu terotomatisasi yang dilaksanakan dalam Pemilu barubaru ini, menimbulkan tantangan baru bagi para ajudikator. Tidak seperti pada sistem manual, surat suara di bawah sistem baru telah berisi nama kandidat yang telah dicetak. Pemilih hanya tinggal memberikan tanda yang berada di sebelah nama kandidat yang dia pilih. Dengan demikian, keberatan maksud pemilih yang memerlukan penafsiran tulisan tangan di surat suara tidak lagi diperlukan, serangkaian aturan penentuan maksud pemilih baru diperlukan. Lebih lanjut, tidak seperti dalam proses Pemilu manual dimana surat suara diterima sebagai dokumen yang dianggap asli, mesin PCOS mungkin menolak surat suara, walaupun surat tersebut asli dan diisi oleh pemilih yang sah, karena beberapa situasi. Termasuk diantaranya karena adanya kelembaban, penanganan surat suara yang tidak layak, dan lubang atau robek yang tidak disengaja pada surat suara. Surat suara yang ditolak merupakan dasar yang paling sering dipakai untuk mempertanyakan hasil Pemilu 2010. Tantangan terbesar di bawah sistem baru ini berasal dari relatif kurangnya transparansi dalam proses penghitungan dan konsolidasi surat suara. Di bawah proses Pemilu manual, para pihak dapat mengawasi pembacaan dan penghitungan suara yang diberikan di tingkat daerah. Konsolidasi suara di setiap tingkat penghitungan suara, juga dapat diawasi. Dengan mesin PCOS yang melakukan “peninjauan keabsahan” surat suara dan penghitungan suara dan CCS yang melaksanakan konsolidasi hasil pemilu, dapat dimengerti jika para kandidat dan pengamat yang terbiasa dengan proses manual yang relatif transparan, tidak dapat dengan mudah menerima hasil Pemilu yang dihasilkan oleh mesin. Oleh karena itu, perubahan paradigma, baik di sisi para pihak yang berperkara dan para ajudikator, tidak dapat dihindarkan. Bagi seseorang,
214
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
masalah prosedural dan substansi yang dapat muncul dalam konteks otomatisasi Pemilu dapat secara radikal berbeda dengan isu yang muncul di Pemilu manual. Barang bukti yang diperlukan untuk mendukung tuduhan kecurangan atau bahkan suatu kesalahan penghitungan yang tidak disengaja akan bervarisasi, dan keterbiasaan dengan berbagai aturan pembuktian elektronik akan menjadi hal yang wajib. Pastinya, peninjauan keabsahan dari suara, dipastikan akan menjadi aspek yang berbeda.
Praktik Dahulu dan Saat Ini dalam Pelatihan Ajudikator Pemilu Sebagaimana telah disebutkan di atas, berbagai tribunal yang menangani protes Pemilu di Filipina tergantung dari posisi yang digugat. Namun, tidak ada program pelatihan khusus di COMELEC, PET, SET dan HRET yang dimaksudkan untuk menyiapkan para ajudikator Pemilu untuk menangani keberatan Pemilu. Di COMELEC, anggota komisi diasumsikan sebagai para ahli dalam bidang hukum dan prosedur Pemilu. Demikian juga PET, SET, dan HRET.386 Dengan demikian dipercaya bahwa tidak diperlukan pelatihan. Namun, kepala sekretariat SET maupun HRET, telah menyatakan bahwa bagaimanapun juga, mereka telah mengadakan pengarahan singkat bagi setiap anggota baru untuk membiasakan mereka dengan berbagai aturan dan tata tertib protes Pemilu. Hanya pengadilan reguler yang melaksanakan pelatihan terstandarisasi. Secara organissasi, semua pengadilan berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung Filipina. Berbagai prosedur mereka dibuat melalui aturan-aturan yang diundangkan oleh Mahkamah Agung dan sebagian besar beban perkara mereka terdiri dari perkara perdata dan pidana biasa. Mereka tidak diharapkan berpengalaman di dalam subyek yang terspesialisasi pada Undang-undang Pemilu, dan oleh karena itu dianggap memerlukan pelatihan khusus tentang perkembangan berbagai Undangundang dan tata tertib Pemilu dimuka. Para hakim di Filipina dipersiapkan dan dilatih oleh badan pemerintah yang dibentuk untuk maksud tersebut, Akademi Peradilan Filipina (the Philippine 386 PET sebenarnya Mahkamah Agung. SET dan HRET masing-masing terdiri dari tiga Hakim Mahkamah Agung dan enam Senator, enam Anggota DPR berturut-turut.
215
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Judicial Academy atau PHILJA).387 Badan ini diberikan mandat oleh akta pembentukannya untuk memberikan pelatihan awal kepada calon hakim. Untuk mempersiapkan hakim untuk menangani perkara undang-undang Pemilu PHILJA memiliki sebuah modul pelatihan khusus tentang Undangundang Pemilu, tetapi belum digunakan secara konsisten di seluruh pelatihan pra peradilan.388 Dimulai awal tahun 2007 dan dalam persiapan Pemilu pada 14 Mei tahun tersebut, Mahkamah Agung, di bawah kepemimpinan Ketua Reynato S Puno, memulai serangkaian reformasi bagi sebuah “keputusan kasus Pemilu yang cepat, tidak mahal dan adil di muka pengadilan.” Pertamatama, ia menerbitkan Administrative Matter No. 07-4-15-SC, yang dikenal sebagai Aturan Prosedur yang Berhubungan dengan Pejabat Kota dan Barangay.389 Selain itu, Pengadilan tinggi menerbitkan Administrative Matter Order No. 54-2007390 yang memandatkan 111 pengadilan Pemilu khusus di antara Pengadilan Daerah (Regional Trial Court/RTC) di seluruh negeri untuk menyidangkan dan memutuskan gugatan terkait pejabat kota dalam Pemilu Mei. Pengadilan Tinggi kemudian menerbitkan Administrative Order No 129-2007391 yang memandatkan 76 pengadilan tingkat pertama untuk menyidangkan dan memutuskan gugatan Pemilu menyangkut pejabat desa dalam pemilihan barangay 29 Oktober 2007. Sebelumnya, tidak ada pengadilan Pemilu khusus semacam itu. Menurut Chief of Justice Puno, Aturan tersebut mengusulkan “perubahan-perubahan radikal” yang “menangani dua masalah utama – pertama masalah penghapusan kasus yang tidak memiliki dasar, dan kedua, masalah penyederhanaan sistem sehingga penyelesaian perkara-perkara semacam ini dapat dipercepat.”392 Mendukung prakarsa tersebut, Mahkamah Agung menugaskan PHILJA untuk melakukan pelatihan khusus bagi hakim pengadilan tentang aturan387 Akademi awalnya dibentuk oleh Mahkamah Agung (Administrative Order No. 35-96 12 Maret, 1996), dan akhirnya diberi mandat oleh R.A. 8557 pada 26 Februari, 1998. Undangundang melembagakan PHILJA sebagai sebuah “sekolah pelatihan untuk para hakim, pegawai pengadilan, pengacara dan calon yang menduduki posisi peradilan”. 388 Pelatihan pra-peradilan merupakan pelatihan para hakim sebelum mereka menjabat dan melepaskan fungsi-fungsi kehakimannya. 389 Aturan baru diberlakukan pada 15 Mei, 2007. 390 Diedarkan oleh Mahkamah Agung pada 11 Mei, 2002 391 Diedarkan oleh Mahkamah Agung pada 15 Agustus, 2007. 392 Jay B. Rempillo, SC to Create Special Election Courts, http://sc.judiciary.gov.ph/news/ courtnewsflash/2007/04/04200701.php (terakhir dikunjungi 3 Januari 2011).
216
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
aturan ini. PHILJA393 melaksanakan serangkaian sesi pelatihan satu hari untuk hakim pengadilan Pemilu khusus. Pengadilan tingkat kedua dibagi menjadi lima kelompok dan seminar satu hari penuh dilaksanakan.394 Sementara itu, untuk hakim pengadilan tingkat pertama dan panitera pengadilan, seminar diadakan satu hari, tanggal 8 Januari 2008 di Manila.395 Di dalam seminar-seminar ini, para hakim diberikan gambaran umum tentang Undang-undang dan yurisprudensi gugatan Pemilu, termasuk diskusi tentang : (1) Peraturan Prosedur dalam Gugatan Pemilu di muka Pengadilan Menyangkut Jabatan Kota dan Barangay 2007; (2) Prosedur COMELEC; (3) Edaran-edaran COMELEC; (4) Yurisprudensi Mahkamah Agung; dan (5) yurisprudensi RTC dan Pengadilan Tingkat Pertama. Mereka juga diinstruksikan berbagai aturan terkait peninjauan dan penilaian surat suara. Berbagai lokakarya juga diselenggarakan untuk memperlengkapi para peserta dengan kemampuan untuk mengidentifikasi: (1) surat suara yang telah ditandai; (2) surat suara palsu; (3) surat suara hilang; (4) pasangan atau kelompok surat suara yang ditulis oleh satu orang atau satu surat suara yang ditulis oleh dua atau lebih orang; dan (5) surat suara yang suaranya secara keliru tidak diakui untuk kandidat manapun. Menimbang bahwa sesi-sesi pelatihan dikonsentrasikan pada 111 pengadilan Pemilu tingkat kedua dan 76 pengadilan Pemilu tingkat pertama, banyak pengadilan tersebut yang sebenarnya menerima penanganan kasus Pemilu setelah Pemilu nasional dan Pemilu daerah Mei 2007 dan Pemilu desa Oktober 2007 tidak dapat ikut serta dalam pelatihan-pelatihan PHILJA.396 Data yang dikumpulkan dari Kantor Administrasi Pengadilan pada Mahkamah Agung mengungkapkan bahwa dari 135 pengadilan tingkat kedua yang menangani gugatan Pemilu Mei 2007,397 hanya sekitar 59 (atau 44 persen) yang merupakan pengadilan khusus Pemilu.398 Sama halnya 312 pengadilan tingkat pertama yang menangani gugatan Pemilu 393 Dengan dukungan dari International Foundation on Electoral System (IFES) dan United States Agency for International Development (USAID). 394 30 April 2007 (Baguio City); 2 Mei, 2007 (Manila); 3 Mei ,2007 (Cebu); 4 Mei, 2007 (Davao), 2 Agustus, 2007 (Manila). Pemilu diadakan pada Mei 2007. 395 Pemilihan kepada desa diadakan Oktober 2007. 396 Libertas Adjudication of Election Contests Before the Trial Courts: A Second Look at A.M. No. 07-4-15-SC dan the Designation of Election Courts 30 (2008). 397 Terdapat total 263 kasus yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama pada Pemilu Mei 2007. 398 Libértas, supra note 48, di 26.
217
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
terkait Pemilu desa Oktober 2007,399 hanya 36 (12 persen) yang merupakan pengadilan Pemilu.400 Fakta bahwa pengadilan non-Pemilu ditugaskan menangani kasus-kasus Pemilu disebabkan kurangnya antisipasi mengenai kemungkinan lokasi keberatan Pemilu. Namun, hal ini merupakan subyek yang berada di luar cakupan makalah ini.
Sebuah Mekanisme Penanganan Keberatan yang Efektif untuk Pemilu Yang Terotomatisasi Sebagaimana dinyatakan di atas, adopsi sistem Pemilu yang terotomatisasi menimbulkan berbagai tantangan baru untuk penanganan keberatan Pemilu di Filipina. Metode untuk menentukan maksud pemilih telah berubah, semenjak sistem “menuliskan” (“write-in”) digantikan dengan penggunaan surat suara yang sudah dicetak nama seluruh kandidatnya, dengan para pemilih memberikan suaranya dengan cara menandai surat suara pada tempat yang disediakan. Kontroversi “pre-proclamation” juga telah mengambil bentuk yang baru, karena tindakan perbaikan telah dihapus secara substansial oleh aturan-aturan baru yang diadopsi oleh COMELEC. Lebih lanjut, sistem Pemilu yang baru mewajibkan pengundangan aturanaturan baru untuk mengatur pre-proclamation controversies dan protes Pemilu. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa setiap tribunal Pemilu memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri prosedurnya terkait dengan gugatan Pemilu yang diajukan kepadanya, dan mempertimbangkan lebih lanjut bahwa perubahan Undang-undang Pemilu yang lama telah gagal untuk memberikan petunjuk bagaimana protes Pemilu di bawah sistem baru seharusnya diselesaikan, badan penanganan keberatan Pemilu dapat mengadopsi berbagai aturan yang sangat berbeda satu sama lain. Dapat terdapat banyak sekali aturan, atau bahkan prinsip-prinsip niat pemilih, sebanyak tribunal yang ada. Menyadari kebutuhan untuk menyiapkan kerangka penanganan yang akan responsif terhadap sistem Pemilu terotomatisasi yang dibentuk oleh COMELEC, dan untuk menyiapkan ajudikator Pemilu untuk menangani keberatan Pemilu di bawah sistem yang baru dengan menggunakan 399 811 gugatan diajukan ke pengadilan tingkat pertama Pemilu desa Oktober 2007. 400 Libértas, supra note 48, di 26.
218
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
standar yang seragam, Libertás mengambil inisiatif dalam mengadvokasi COMELEC dan tribunal Pemilu lainnya untuk menyiapkan keberatan Pemilu. Dengan dukungan IFES dan American Bar Association – Rule of Law Initiative (ABA-ROLI),401 Libertás bermitra dengan PHILJA402 untuk mengkonseptualisasikan sebuah program pelatihan untuk hakim pengadilan untuk melengkapi mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menangani keberatan Pemilu. Dengan memperhatikan hasil pengamatan sebelumnya tentang kelayakan pelatihan tersebut, Libertás mengusulkan sebuah program pelatihan untuk pengadilan tingkat kedua untuk Pemilu 10 Mei 2010 dan berkomitmen untuk membantu merancang kurikulum pelatihan dan menyusun modul pelatihan untuk setiap sesi. Seluruh pengadilan tingkat kedua menjalani pelatihan, dengan tidak lebih dari 30 sampai 40 peserta per kelompok pelatihan untuk memungkinkan sesi interaktif lebih lanjut dan untuk memastikan pemahaman yang lebih baik. Idenya adalah bahwa pelatihan tidak hanya memperkenalkan sistem Pemilu baru kepada para hakim tetapi juga meningkatkan keterampilan penanganan keberatan mereka. Libertás juga menitikberatkan adopsi segera aturan prosedur baru yang disesuaikan dengan Pemilu terotomatisasi sehingga perbaikan yang memadai dan efektif atas keberatan tersedia dan dapat diakses. Sekitar setahun sebelum Pemilu Mei 2010, diskusi meja bundar diselenggarakan oleh Libertás, yang mengumpulkan perwakilan dari COMELEC, sistem pengadilan, SET, HERT, dan penasihat undang-undang Pemilu untuk membahas isu-isu seperti menentukan niat pemilih, menimbang pembuktian - termasuk perbedaan antara bukti elektronik dan bukti cetak– dan “pre-proclaimed controversies” di bawah sistem terotomatisasi. Diskusi juga dimaksudkan untuk mengumpulkan masukan dari para pemangku kepentingan Pemilu yang mungkin akan berguna dalam proses merancang aturan-aturan yang diperlukan. Pada Oktober 2009, enam bulan sebelum Pemilu, Libertás menyerahkan kepada COMELEC sebuah rancangan kerja Aturan Tata Tertib untuk “pre-proclaimed controversies”
401 United States Agency for International Development (USAID) memberikan dana 402 PHILJA adalah sebuah badan di bawah Mahkamah Agung Filipina, yang terdiri dari pensiunan juri ternama dan profesor bidang hukum, yang diberi kewenangan untuk memberikan pelatihan dan pendidikan lebih lanjut kepada hakim pengadilan.
219
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dan gugatan Pemilu di bawah sistem Pemilu terotomatisasi PCOS sehinga COMELEC dapat memiliki titik awal untuk menyusun serangkaian aturan final yang nantinya dapat disahkan dan dilaksanakan. Diharapkan bahwa pengadilan lainnya akan menangkap isyarat dari COMELEC terkait kebutuhan mereka untuk merevisi aturan mereka sendiri. Namun, baru pada 22 Maret 2010, kira-kira sebulan sebelum Hari Pemungutan Suara, COMELEC mengadopsi Resolusi No. 8804 (Aturan Prosedur tentang Keberatan dalam Sistem Pemilu Terotomatisasi Terkait Pemilu 10 Mei 2010).403 Mengambil fitur-fitur dasar Resolusi COMELEC No. 8804, Mahkamah Agung404 menerbitkan A.M. No. 10-4-1-SC (Aturan Prosedur dalam Gugatan Pemilu di hadapan Pengadilan Terkait dengan Pemilihan Jabatan Kota 2010) pada 27 April 2010. PET di sisi lain, merubah Aturan, A.M. No. 10-4-29-C, pada 4 Mei 2010. Namun, hingga saat ini, HRET dan SET belum merubah hukum acara lama mereka, yang masih berdasarkan proses Pemilu manual. Tertundanya adopsi aturan-aturan baru untuk mengatur keberatan Pemilu di dalam Pemilu terotomatisasi juga menunda rencana pelatihan bagi para hakim. Dalam program pelatihan PHILJA yang dirintis oleh Libertás, pelatihan para hakim yang semula ditargetkan untuk dilaksanakan pada bulan Januari 2010, baru bisa dilaksanakan pada minggu kedua April 2010.
Pelatihan untuk Pemilu Terotomatisasi Sebelum pelaksanaan pelatihan, Libertás melaksanakan sebuah Analisis Kebutuhan Pelatihan (Training Needs Analysis/TNA) dengan membagikan sebuah kuesioner survei kepada sekitar 100 orang hakim pengadilan tingkat kedua. Kuesioner TNA berupaya untuk menentukan: (1) pengalaman para hakim dalam menangani kasus-kasus Pemilu dan jenis-jenis keberatan yang mereka tangani; (2) kesadaran umum para hakim dan keterbiasaannya dengan sistem Pemilu terotomatisasi (automated election system/AES) 403 Harus ditekankan bahwa pedoman pelaksanaan untuk penyelenggaraan Pemilu terotomatisasi muncul agak terlambat, oleh karena itu, juga menunda konseptualisasi dan adopsi aturan yang semestinya untuk keberatan Pemilu. 404 Di bawah Konstitusi Filipina, Mahkamah Agung mengawasi sistem pengadilan secara keseluruhan di negara ini dan diberdayakan untuk mengedarkan aturan yang akan mengatur rangkaian persidangan pengadilan. Lihat Const, Art VIII, sec 5 (5) (Fil).
220
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
PCOS; (3) seminar/pelatihan tentang AES yang telah dihadiri oleh para hakim ; (4) keterbiasaan para hakim dengan subyek khusus terkait AES; dan (5) kebutuhan para hakim untuk pelatihan tentang permasalahan khusus yang akan membantu mereka menyelesaikan keberatan di bawah sistem AES secara efisien dan dapat dipercaya. Hasil survei menunjukkan bahwa 74 persen dari hakim yang disurvei sebelumnya telah menangani kasus-kasus Pemilu, baik sebagai hakim, sebagai praktisi Pemilu, ataupun dalam kapasitas lainnya. Sebagian besar kasus yang ditangani oleh para hakim ini terkait dengan gugatan Pemilu. Sementara itu 72 persen dari para hakim telah mendengar tentang AES PCOS, hanya 10 persen yang telah menghadiri pelatihan atau seminar tentang sistem Pemilu terotomatisasi. Dengan demikian, pada skala 1 hingga 5 (1 adalah terendah dan 5 adalah tertinggi), hakim menilai pemahaman mereka tentang sistem Pemilu yang baru pada skala 1,78. Dengan menggunakan skala yang sama, para hakim membuat peringkat pemahaman mereka terhadap subyek tertentu terkait dengan AES, sebagai berikut: Masalah
Rating
Kerangka Hukum AES PCOS
1,58
Bagaimana AES PCOS bekerja
1.52
Dokumen-dokumen pada AES PCOS
1,50
Penangangan Protes Pemilu di bawah AES PCOS
1,45
Aturan tentang Pembuktian Elektronik
2,39
Para hakim dengan tegas menyatakan kebutuhan untuk dilatih mengenai subyek tersebut, dan 94 persen menyatakan bahwa mereka juga cenderung untuk memilih agar Panitera Pengadilan juga menghadiri pelatihan. Dari data yang dipilih dari TNA, Libertás menyusun sebuah rancangan desain pelatihan dan mempersiapkan modul-modul untuk setiap sesi sebagai berikut:
• Sesi 1: Kerangka Hukum Otomatisasi Pemilu
221
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
• Sesi 2: Precinct Count Optical Scan (PCOS), Automated Election
• Sesi 3: Penanganan Gugatan Pemilu pada AES PCOS
• Sesi 4: Aturan Pembuktian Elektronik
• Sesi 5: Pelanggaran Pemilu
System (AES) dan Simulasi Hari Pemungutan Suara
Pada 15 April 2010, Libertás menyajikan proposal desain pelatihan dan modul kurikulum tersebut kepada sekelompok pengajar PHILJA dan ahli hukum Pemilu. Aktivitas ini juga berfungsi sebagai sarana orientasi bagi calon pelatih yang prospektif. Selain gambaran umum tentang COMELEC dan demonstrasi sistem PCOS, pelatihan juga termasuk simulasi Pemilu (mock election). Pada akhirnya, para ahli secara substansial mengadopsi modul-modul pelatihan yang disusun oleh Libertás sebagai modul PHILJA bagi Undang-undang Pemilu. Akhirnya, untuk alasan penjadwalan, para hakim dikelompokkan menjadi lima kelompok, yang setiap kelompoknya terdiri dari 130 hingga 200 peserta, dan seminar diadakan dalam lima gelombang, mencakup sekitar 900 hakim pengadilan dari seluruh wilayah di Filipina.405
Penilaian dan Evaluasi Pelatihan Sementara pelatihan yang dilaksanakan telah memberikan pengetahuan dasar tentang AES yang baru bagi pihak pengadilan, hal tersebut belum cukup untuk mempersiapkan mereka secara memadai untuk menangani berbagai isu dan gugatan yang muncul dari sistem yang baru tersebut. Sebagian ini dikarenakan Mahkamah Agung belum mengundangkan aturan yang diperlukan, namun hanya mengandalkan rancangan dokumen. Masih banyak isu-isu yang belum terselesaikan ketika pelatihan dilaksanakan. Hal ini termasuk metode pengesahan surat suara yang disengketakan untuk diperiksa kembali. Pertanyaan tentang prosedur penghitungan kembali dan niat pemilih dimunculkan, namun tidak ada kebijakan pasti yang diambil. Pada waktu penulisan buku ini, bahkan proses
405 Pelatihan diadakan sebagai berikut: 19 April, 2000 di Cebu City mencakup hakim-hakim dari Daerah 6, 7, dan 8; pada 23 April, 2010 di Baguio City mencakup hakim dari Daerah 1, 2, dan 3; pada 27 April 2010 di Davao City mencakup hakim-hakim dari Daerah 4 dan 5; dan pada 4 Mei, 2010 di Pasay City mencakup hakim dari Daerah Ibu Kota Nasional.
222
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
gugatan Pemilu yang ditunda penyelesaiannya karena isu prosedural tertentu, khususnya yang terkait otentikasi surat suara, yang belum berhasil diselesaikan. Saat ini Libertás tengah dalam proses mengevaluasi keefektifan aturan yang baru diadopsi tersebut dan pelatihan yang dilaksanakan untuk para hakim. Libertás telah menyelenggarakan diskusi meja bundar mengenai pasca-Pemilu di antara para hakim dan praktisi Pemilu untuk memunculkan opini mereka. Dengan restu Mahkamah Agung, kuesioner survei dibagikan kepada hakim yang menangani keberatan Pemilu untuk memperoleh pandangan mereka terkait kasus-kasus yang telah ditangani atau masih ditangani. Hasil evaluasi akan termasuk laporan yang diselesaikan oleh Libertás dan diserahkan kepada IFES, ABA, dan PHILJA, juga kepada para pembuat kebijakan, COMELEC, Mahkamah Agung dan tribunal Pemilu, pada kuartal pertama 2011. Umpan balik awal yang dikumpulkan dari diskusi meja bundar mengungkapkan bahwa para hakim lebih menginginkan untuk mempelajari penyelesaian praktis terhadap masalah melalui studi kasus ketimbang melalui metode kuliah. Walaupun begitu, mereka menghargai kesempatan untuk mempelajari tentang dasar-dasar proses Pemilu PCOS, yang pasti mereka tidak akan memiliki kesempatan mempelajarinya tanpa adanya pelatihan PHILJA tersebut (untuk informasi lebih lanjut tentang prinsipprinsip dasar pelatihan, lihat Bab 3: Pelatihan Penanganan Pemgaduam untuk Badan Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik). Situasi pelatihan, bersama fakta bahwa AES merupakan sebuah hal baru di Filipina pada tahun 2010, secara substansial membatasi kapasitas program pelatihan untuk mengantisipasi seluruh masalah keberatan Pemilu yang muncul. Sebagaimana disebutkan di atas, para pembuat kebijakan, termasuk COMELEC, tidak mengharapkan banyaknya jumlah gugatan Pemilu yang muncul, dan oleh karenanya tidak mempersiapkan secara memadai, karena mereka memandang AES merupakan sebuah obat mujarab yang dapat mengobati semua permasalahan Pemilu. Kebalikan dengan ekspekstasi ini, lebih banyak protes Pemilu kepada COMELEC dan HRET di bawah sistem Pemilu terotomatisasi daripada
223
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pemilu yang baru-baru ini yang menggunakan proses manual. Di COMELEC, terdapat 95 gugatan Pemilu yang diajukan pada tahun 2010, dibandingkan dengan 72 kasus pada tahun 2007, 65 pada tahun 2004, 65 pada tahun 2001, dan 101 pada tahun 1998. Di HRET, terdapat 40 protes Pemilu yang diajukan pada tahun 2010, dibandingkan dengan 28 kasus pada tahun 2007, 16 pada tahun 2004, 33 pada tahun 2001, 27 pada tahun 1998, 27 pada tahun 1995, 22 pada tahun 1992, dan 40 pada tahun 1987. Data yang tersedia dari Kantor Administrator Mahkamah Agung mengindikasikan bahwa para pembuat kebijakan telah membuat asumsi yang keliru tentang kemudahan pelaksanaan sistem yang baru. Asumsiasumsi yang keliru ini, akhirnya menyebabkan para pembuat kebijakan memprioritaskan kembali persiapan untuk sebuah sistem penanganan keberatan yang baik.
Kesimpulan A. Pelajaran yang Diperoleh Keefektifan pelatihan yang dilaksanakan di Filipina untuk mempersiapkan para hakim guna menangani keberatan Pemilu di dalam sistem Pemilu yang terotomatisasi sangat dibatasi oleh kurangnya persiapan dan pemikiran ke depan dari sisi para pembuat kebijakan. Terbukti bahwa permasalahannya lebih mendasar daripada hanya sekedar isu metodologi pelatihan dan prosedur. Oleh karena itu, untuk memperbaiki sistem, diperlukan peninjauan masalah-masalah dasar ini dan bagaimana mengatasinya secara baik.
B. Pertimbangan Kebijakan dan Praktis Sebagaimana disebutkan sebelumnya, memahami pengalaman Filipina memerlukan pengetahuan tentang konteks Pemilu yang unik. Namun, terdapat berbagai prinsip umum yang dapat dipetik dari pengalaman Filipina yang akan berguna untuk yurisdiksi lain. •
Kerangka hukum yang mendefinisikan jenis sistem Pemilu seharusnya juga mempertimbangkan bagaimana keberatan akan diselesaikan. Kerangka tersebut seharusnya. Paling sedikit berisi standar-standar yang jelas tentang: (1) isu yurisdiksi; (2) prosedur penghitungan kembali;
224
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
(3) tata tertib pengesahan surat suara; (4) isu penentuan niat pemilih; (5) proses banding dan ketersediaan peninjauan kembali; dan (6) kompetensi yang diperlukan oleh para ajudikator dan arbiter keberatan Pemilu. Standar-standar ini seharusnya menyertakan standar-standar yang diakui secara internasional bagi sebuah sistem penanganan keberatan Pemilu yang baik dan efektif. Terlebih lagi, sebuah kerangka hukum tersebut seharusnya juga mempertimbangkan opsi untuk metode penyelesaian sengketa alternatif (ADR) (untuk informasi lebih lanjut tentang ADR, lihat Bab 6: Berbagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif). •
Badan Penyelenggara Pemilu (atau badan yang mengundangkan peraturan
Pemilu)
harus
memutuskan
jenis
sistem
secara
cukup dini sehingga cukup memungkinkan seluruh pemangku kepentingan – termasuk para pemilih, kandidat, partai politik, dan ajudikator– kesempatan yang cukup untuk membiasakan diri dengan sistem tersebut. •
Tribunal-tribunal
Pemilu
harus
mengadopsi
peraturan-peraturan
prosedur dan perubahannya jauh dimuka sebelum pemilihan dilakukan. •
Pelatihan para ajudikator seharusnya merupakan suatu kegiatan yang teratur dan harus melibatkan latihan-latihan yang bersifat interaktif dan praktis. Lebih lanjut, para pelatih seharusnya juga dilatih untuk melaksanakan pelatihan, selain hanya metode perkuliahan dan memiliki kapasitas dan keterampilan untuk mengelola pelatihan mereka
menggunakan
metodologi
pelatihan
lainnya.
Analisis
Kebutuhan Pelatihan (TNA) dan juga evaluasi pasca-pelatihan seharusnya diwajibkan untuk mempengaruhi persiapan pelatihan supaya lebih baik. Akhirnya, terlepas dari apa yang mungkin dikatakan tentang hasil program pelatihan yang digunakan di dalam Pemilu yang lalu di Filipina, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah peran penting dan vital yang dimainkan oleh masyarakat sipil. Lembaga-lembaga pemerintah yang relevan, khususnya COMELEC dan Mahkamah Agung, mengadopsi pendekatan laissezfaire untuk persiapan sebuah sistem penanganan keberatan yang sesuai
225
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dengan sistem Pemilu terotomatisasi yang baru diberlakukan. Prakarsa Libertás lah yang mendorong para pembuat kebijakan untuk mempercepat aksi mereka terhadap persoalan tersebut. Hal itu merupakan sebuah demonstrasi sejauh mana kemitraan dan kerja sama pemerintah-warga negara dapat berjalan dalam melaksanakan proyek-proyek yang berhasil. Jika hanya untuk ini, proyek seluruhnya dapat dipertimbangkan sebagai sebuah keberhasilan dan berfungsi sebagai basis dan contoh untuk kolaborasi masa mendatang..
Daftar Periksa Rekomendasi Di bawah ini adalah berbagai rekomendasi untuk dipertimbangkan oleh para praktisi ketika merancang program-program pelatihan peradilan. Penting untuk diperhatikan bahwa proyek-proyek pelatihan seharusnya selalu dirancang dengan mempertimbangkan tujuan akhir pelatihan, yaitu memberikan pengetahuan kepada hadirin yang ditargetkan. Berbagai subyek yang disebutkan sebelumnya seharusnya diterapkan secara seragam untuk strategi atau rancangan apapun untuk pelatihan. Sebagaimana diperhatikan para pembaca, banyak dari prinsip-prinsip ini yang dimasukkan ke dalam daftar periksa ini diterapkan dalam programprogram pelatihan dewasa secara umum, dan serupa dengan isu yang dilontarkan di dalam Bab 3.
Penyelenggaraan dan Pengembangan √ Persiapan yang matang: Program-program pelatihan seharusnya disusun dengan baik, jauh sebelum Hari Pemungutan Suara. Idealnya, berbagai program tersebut akan diciptakan berdampingan dengan perancangan atau direvisi peraturan Pemilu, dalam rangka untuk memastikan pelatihan mengikuti perkembangan zaman (up-to-date) dan tersedia segera setelah Undang-undang disahkan. Program yang tidak direncanakan dengan baik atau ad-hoc memiliki risiko gagal memberikan para hakim dan arbiter tingkat keahlian yang diperlukan. √ Integrasi: Program pelatihan untuk hakim dapat dipandang sebagai sebagai suatu bagian kecil dari program pelatihan untuk para pihak
226
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
dan masyarakat yang dibahas di Bab 3. Jika pelatihan “umum” dan “lanjut” adalah memadai untuk membiasakan para pihak dan masyarakat dengan proses penanganan keberatan, keahlian yang diperlukan oleh para hakim dan arbiter membutuhkan pelatihan “khusus” selain yang tersedia untuk segmen lain dalam masyarakat.. √ Sistematisasi dan penggunaan sumber-sumber daya yang efisien: Dalam rangka memaksimalkan sumber-sumber daya yang terbatas, menjadi penting untuk mensistematisasikan berbagai prosedur dan merencanakan aktivitas sebagaimana mestinya. Sebuah program pelatihan yang diselenggarakan dan dapat diulangi sebagaimana mestinya atau serangkaian program merupakan penggunaan waktu dan uang secara lebih efisien daripada sesi-sesi individual yang tidak direncanakan dengan baik. √ Tujuan: Untuk menghindari perangkap dari penetapan tujuan yang tidak dapat dicapai, tujuan pembelajaran yang konkrit seharusnya dirancang dalam rangka memberikan kepastian kepada para peserta tentang tema-tema khusus dan subyek yang akan mereka pelajari. √ Tradisi budaya dan hukum: Selain untuk membiasakan diri dengan sistem hukum khusus yang dibahas, pelatihan seharusnya menetapkan suatu fokus lokal dan mempertimbangkan sejarah, budaya, tradisi hukum dan kebiasaan negara. Prosedur dan tujuan seharusnya mempertimbangkan apakah pelatihan berlangsung di negara demokrasi yang sedang berkembang merupakan bagian dari penyempurnaan berkelanjutan dalam demokrasi terkonsolidasi; atau dirancang untuk menangani penyesuaian-penyesuaian pada demokrasi yang sudah matang. √ Penyertaan para mitra: Apakah pelatihan diselenggarakan secara internal atau eksternal, menyertakan masukan dari berbagai organisasi mitra dapat membantu untuk mencakup topik-topik relevan yang mungkin dihilangkan oleh program pelatihan peradilan yang terisolasi. Contoh pelatihan yang termasuk dalam bab ini dari TEPJF mendemonstrasikan bagaimana berbagai organisasi dan perwakilan transnasional dari negara-negara asing dapat bekerjasama dengan
227
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menciptakan program-program yang efektif, sementara pengalaman Libertás menunjukkan bagaimana kemitraan publik-privat dapat mendorong proses pelatihan peradilan. √ Pemahaman terhadap peserta: Pelatihan seringkali dibatasi hanya isu-isu Pemilu. Para pejabat Pemilu yang sangat khusus tidak harus memerlukan pelatihan tentang topik-topik yang terkait subyek Pemilu atau peradilan. Sebaliknya, isu-isu yang lebih luas dapar menawarkan mereka perspektif yang lebih dalam ketika menganalisis kasus-kasus khusus (kursus dalam analis kebijakan strategis, strategi komunikasi, sistem hukum Anglo Saxon (common law), pilihan rasional dan game theory, di antaranya).
Isi dan Evaluasi √ Partisipasi: Dalam rangka menjamin internalisasi yang layak dari materi yang dibahas selama sesi pelatihan, metode yang mengandalkan hanya kepada serangkaian perkuliahan seharusnya dihindari. Perkuliahan dengan diikuti sesi tanya jawab atau pembagian kelompok-kelompok
kecil
lebih
diinginkan
untuk
menjawab
ketidakjelasan. Bahkan pelatihan yang lebih kuat dapat berasal dari penyelenggaraan sebagian besar atau seluruh sesi di dalam bentuk diskusi meja bundar, termasuk hakim yang dilatih dalam “perkuliahan” dari permulaan. √ Transmisi pengetahuan: Dalam banyak kasus, para peserta kurang pengetahuan akan subyek-subyek dasar yang diajarkan. Program pelatihan seharusnya mempertimbangkan termasuk hal-hal dasar yang mencakup pengetahuan minimum yang dapat mempersiapkan para peserta untuk isu-isu yang lebih kompleks. √ Materi pelatihan: Penjadwalan memerlukan sesi-sesi yang cukup pendek dan tidak memasukkan tinjauan dari pengetahuan yang diperoleh. Oleh karena itu, materi yang diberikan kepada para peserta seharusnya berfungsi sebagai sebuah panduan untuk kursus, juga sebagai referensi untuk tinjauan lebih lanjut sesuai kecepatan yang diinginkan oleh peserta. Buku petunjuk seharusnya bersifat menyeluruh
228
Bab 4: Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter Dalam Pengaduan Pemilu
dan berguna sebagai referensi setelah sesi. Untuk menghindari pemberian informasi yang berlebihan jumlahnya, penggunaan presentasi PowerPoint sebagai materi pendukung pelatihan harus diminimalkan. Rancangan harus mengkomunikasikan isi dan bukan menjadi sesuatu yang mengalihkan perhatian (distraction). √ Evaluasi: Dalam rangka mempertahankan tingginya kualitas program pelatihan yang sedang berlangsung, para pelatih seharusnya menutup pelatihan dengan mengupayakan umpan balik dari peserta pelatihan. Hal ini dapat berbentuk esai reaksi atau survei numerik sederhana. Terlepas dari format, umpan balik seharusnya digunakan untuk merevisi dan memperbaiki program pelatihan untuk siklus Pemilu selanjutnya.
229
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
230
5
BERBAGAI PENDEKATAN UNTUK PENDIDIKAN PEMILIH DAN PERAN MASYARAKAT SIPIL Oleh Catherine Barnes dan Grant Kippen
Sebelum Pemilu legislatif Afganistan dilaksanakan tanggal 18 September 2005, IFES mendidik warga negara Afganistan tentang dasar-dasar demokrasi melalui lokakarya tatap muka (face-to-face) di seluruh Kabul dan ibu kota provinsi. Menggunakan poster, brosur dan serial radio serta sosialisasi kepada para wanita, IFES mencoba untuk menjangkau sebanyak mungkin warga negara Afganistan
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
Pendahuluan Ketiadaan upaya penyediaan informasi publik yang memadai untuk mendidik para pemangku kepentingan Pemilu dan pemilih tentang hak-hak mereka, aturan yang mengatur proses politik dan Pemilu, apa yang merupakan pelanggaran dan mekansime serta prosedur untuk memperoleh perbaikan, menjadikan sistem penanganan keberatan mungkin kurang dimengerti, tidak dimanfaatkan secara maksimal atau bahkan dimanipulasi. Dalam situasi semacam ini, sistim penanganan menjadi rentan terhadap peniadaan informasi yang bermotif politik, atau penyalahgunaan yang disengaja terhadap proses (penyelesaian) untuk mendapatkan suatu keuntungan dalam “pengadilan opini publik” atau untuk menunda pengumuman resmi hasil Pemilu dengan maksud memunculkan keraguan terhadap kredibilitas proses Pemilu dan legitimasi hasilnya. Sebagaimana yang telah disinggung pada bab pertama buku ini, jika pemohon keberatan yang telah memenuhi persyaratan tidak menyadari hak mereka untuk mengajukan perkara atau bagaimana melakukannya sebagaimana mestinya, atau jika lembaga penanganan sengketa terlalu dibebani dan dilemahkan oleh litigasi tidak perlu dan menjengkelkan yang diajukan oleh sementara orang, maka kepatuhan terhadap berbagai standar dan praktik terbaik internasional akan gagal gagal, terlepas dari kualitas yang ditampilkan oleh sistem tersebut. Saat ini, informasi publik, pelatihan dan program pendidikan pemilih dalam hal penanganan keberatan seringkali diperlakukan – jika sama sekali - sebagai pemikiran tambahan oleh lembaga penanggung jawab, komunitas donor internasional, dan organisasi pelaksana. Bab ini mengelaborasi beberapa upaya yang saat ini ada untuk memperlakukan pendidikan pemilih dalam hal penanganan keberatan secara proaktif dan dengan cara yang lebih menyeluruh oleh badan-badan resmi dan masyarakat sipil. Diskusi ini mengidentifikasi praktik-praktik terbaik untuk diikuti, pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik, dan perangkapperangkap yang harus dihindari.
233
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Upaya-upaya oleh Badan-Badan Resmi A. Gambaran Umum Partisipasi yang luas oleh para pemilih dalam proses Pemilu adalah suatu tujuan yang penting bagi demokrasi manapun. Sebagai pengawal dari proses Pemilu, merupakan suatu hal yang sangat penting bagi Badan Penyelenggara Pemilu (Election Management Bodies) untuk tidak hanya mengurus proses administrasi secara transparan dan profesional, akan tetapi juga memastikan bahwa berbagai macam kelompok pemangku kepentingan – pemilih, kandidat, partai politik, media, kelompok pemantau, dan pelaku masyarakat sipil lainnya – memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk berpartisipasi secara penuh dan layak di dalam proses tersebut. Tanggung jawab ini juga meluas sampai kepada hal yang menjadi aspek paling kontroversial dari sengketa Pemilu: penanganan keberatan. Proses Pemilu secara alamiah menghasilkan lebih banyak pihak yang kalah ketimbang pihak yang menang dan, dengan demikian situasi semacam ini secara pasti menjamin bahwa akan lebih banyak keberatan terhadap baik cara di mana proses Pemilu dilaksanakan maupun hasil akhir Pemilu tersebut. Beberapa kandidat yang kalah tampaknya cenderung percaya bahwa hal ini tidak terhindarkan. Dan, ketika keberatan terhadap hasil Pemilu mungkin terkait dengan kasus yang menarik perhatian publik, mereka hanyalah satu sumber dari berbagai keberatan di sepanjang siklus Pemilu. Keberatan terhadap kriteria persyaratan yang dihadapi oleh para kandidat, perilaku para kandidat dan perilaku partai politik sepanjang periode kampanye dan pada saat Hari Pemungutan Suara, penyertaan atau pengecualian pemilih dari pendaftaran pemilih, dan masalah pembiayaan kampanye juga merupakan sumber keberatan yang umum. Sementara Undang-undang Pemilu biasanya menjelaskan secara presisi apa yang termasuk ke dalam pelanggaran Pemilu, dibutuhkan juga keberadaan suatu proses yang dapat dipercaya dan transparan yang siap untuk penyelesaian keberatan. Pendekatan untuk penanganan keberatan sangat beragam antar negara dan tanggung jawab mungkin terletak dalam sistem peradilan, kombinasi dari komisi Pemilu dan pengadilan, hanya komisi Pemilu, atau badan penanganan Pemilu yang terpisah.
234
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
Terlepas dari dimana tanggung jawab untuk penanganan keberatan Pemilu ditempatkan atau bagaimana sistem tersebut distrukturkan, semua sistem ini mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan Pemilu tentang hak-hak politik dan Pemilu mereka, aturan main, dan bagaimana mereka dapat mengupayakan tindakan perbaikan jika hak-hak tersebut dan/atau aturan dilanggar. Diskusi selanjutnya akan melihat dari bagaimana berbagai jenis sistem penanganan keberatan – apakah dalam suatu negara rapuh, situasi konflik, atau demokrasi yang sudah mapan – mendekati masalah informasi publik dan pendidikan pemilih. Studi kasus mencakup Komisi Pemilu Pakistan (Election Commission of Pakistan/ECP), Komisi Keberatan Pemilu (Electoral Complaints Commission/ECC) Republik Islam Afghanistan, dan Pengadilan Pemilu tingkat Federal Meksiko (Federal Electoral Court of Mexico), yang juga telah dibahas secara lebih rinci dalam Bab 4 buku ini. Ketiga negara memiliki pengalaman yang berbeda-beda: •
Di Pakistan, terdapat suatu sistem penyelesaian keberatan campuran dimana ECP dan pengadilan memiliki tanggung jawab khusus tergantung jenis pelanggaran yang dituduhkan dan titik proses mana keberatan tersebut diajukan.
•
Di Afganistan, ECC merupakan lembaga Pemilu yang sepenuhnya independen, terpisah dari Komisi Pemilu Independen (Independent Election Commission/IEC). Lembaga ini memiliki mandat tunggal untuk menyelidiki dan menangani gugatan dan keberatan Pemilu, meskipun lembaga tersebut beroperasi secara sementara. Pengadilan tidak memainkan peranan apapun dalam penanganan keberatan.
•
Di Meksiko, suatu pengadilan Pemilu yang terpisah bertanggung jawab untuk menangani keberatan Pemilu dan telah sangat berhasil hingga saat ini pengadilan tersebut menyediakan bantuan teknis - termasuk rancangan dan penerapan strategi komunikasi dan sosialisasi (outreach) – terhadap tribunal Pemilu lain di Amerika Latin.
235
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Setiap model dibahas secara lebih rinci di bawah ini.
B. Komisi Pemilu Pakistan (Election Commission of Pakistan/ECP) Sebelum Pemilu 2007, ECP dihadapkan dengan tantangan untuk memperbaiki penanganan keberatan Pemilu dalam sebuah lingkungan yang sarat kritik publik dan keraguan yang meluas terhadap penanganan keberatan yang dilaksanakannya. Meskipun ECP mencoba untuk menjamin bahwa lembaga tersebut sudah mengikuti hukum yang berlaku, proses penanganan sengketa Pemilu seringkali digambarkan sebagai sesuatu proses yang membingungkan, kurang transparan dan tidak memenuhi standar internasional. Dalam upayanya untuk mengakhir krisis kepercayaan, ECP, dengan bantuan IFES, melakukan beberapa upaya khusus yang diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan pemahaman atas proses penanganan keberatan di antara kelompok pemangku kepentingan kunci baik dari dalam maupun dari luar. Kelompok-kelompok ini termasuk kandidat, partai politik, masyarakat sipil, kelompok pemantau, media dan pemilih, juga pegawai ECP di kantor pusat dan di tingkat provinsi. Tujuan dari upaya-upaya ini adalah untuk: meningkatkan informasi, pengetahuan dan tanggung jawab untuk mengajukan keberatan yang sah, dan meningkatkan transparansi dan kredibilitas dari proses penanganan keberatan, terutama selama masa kampanye. Untuk mencapai tujuan ini, ECP melakukan upaya informasi publik yang multi-aspek, termasuk: •
Pengembangan buku petunjuk yang menjelaskan proses dan prosedur terkait. Buku petunjuk menyoroti ketentuan yang berlaku dari Undangundang Pemilu dan mencantumkan bahasa yang sederhana dan lugas yang mudah dimengerti oleh para pengguna. Buku petunjuk dibagikan secara gratis kepada para kandidat, partai-partai politik, pengawas Pemilu , dan kelompok masyarakat sipil. ECP menyediakan ratusan salinan cetak dalam bahasa Urdu, Sindhi dan Inggris serta mengunggah buku petunjuk tersebut di situs web mereka.
•
Pembuatan Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Announcement/ PSA) untuk radio. PSA ditujukan untuk pendengar yang lebih luas dan
236
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
diputar selama masa kampanye. PSA dirancang untuk meningkatkan kesadaran para pemilih tentang jenis pelanggaran Pemilu dan tindakantindakan apa yang dapat ditempuh oleh pemilih jika mereka melihat terjadinya penyimpangan. PSA juga dimaksudkan untuk mengakhiri persepsi publik yang bias dengan menunjukkan bahwa ECP adalah organisasi yang independen, profesional yang berkomitmen untuk mengambil pendekatan yang proaktif untuk penyelesaian keberatan yang layak dan transparan. •
Memperbaiki penggunaan situs web ECP untuk menunjukkan bagaimana penanganan keberatan bekerja. Dalam rangka untuk menghadirkan referensi buku petunjuk pengajuan keberatan dengan tiga bahasa di atas, ECP juga menyediakan formulir pengajuan keberatan resmi dalam versi yang dapat diunduh. Situs web juga menghadirkan rangkuman-rangkuman terkini dari jumlah dan jenis keberatan yang diajukan kepada ECP. Pemohon dapat mencari status perkara mereka di situs web. Cara penggunaan situs web ECP ini meningkatkan transparansi dari proses penyelesaian sengketa, sementara juga menyediakan tingkat kredibilitas dan profesionalisme tidak pernah ada sebelumnya.
•
Pengenalan terhadap paket lokarya dan pengarahan singkat tentang informasi untuk media lokal. Lokakarya tentang informasi - yang pertama kalinya dilaksanakan dimaksudkan untuk mempersiapkan para jurnalis untuk memberikan liputan yang lebih informatif dan akurat berkenaan dengan penanganan keberatan dan untuk meningkatkan profil dari proses ini di antara pendengarnya. Umpan balik dan evaluasi yang diterima dari perwakilan media sehubungan dengan lokakarya tersebut adalah sangat positif dan suatu analisis terhadap liputan media atas penanganan keberatan selanjutnya menunjukkan nilai dan hasil dari kegiatan ini.
Secara keseluruhan, pendekatan informasi publik ECP dapat diterima dengan baik oleh para kandidat, partai politik, media, pemantau dan kelompok masyarakat sipil. Melalui upaya ini, ECP mampu mendemonstrasikan langkah-langkah yang nyata dan positif dalam menghadapi proses proses keberatan yang lebih transparan dan terpercaya. Misi pemantau Uni Eropa (European Union/EU) memberikan catatan terhadap kemajuan ini,
237
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menunjuk secara spesifik dalam laporan akhir mereka yaitu tentang upayaupaya informasi publik ECP terhadap penanganan keberatan yang diajukan.
C. Komisi Keberatan Pemilu Complaints Commission/ECC)
Afganistan
(Electoral
ECC merupakan suatu badan penanganan keberatan yang independen yang didirikan di bawah Undang-undang Pemilu Republik Islam Afghanistan. Tidak seperti rekanannya - IEC, ECC adalah lembaga Pemilu sementara yang mandatnya berlangsung sampai dengan 30 hari setelah sertifikasi hasil akhir Pemilu yang dikeluarkan oleh IEC. Baik untuk Pemilu 2005 dan 2009, ECC dibentuk sangat terlambat yaitu menjelang dimulainya siklus Pemilu. Hal ini membuat ECC menghadapi sejumlah tantangan operasional yang siginifikan, termasuk ketidakmampuan untuk melaksanakan kampanye informasi bagi publik dan pemilih yang memadai dan komprehensif sebelum permulaan kalender Pemilu. ECC pertama kali dibentuk sebelum Pemilu Parlemen dan Dewan Provinsi tahun 2005. Karenanya sangat sedikit, jikapun ada, pemahaman atas mandatnya di antara pemangku kepentingan Pemilu sebelum dimulainya kampanye. Hal ini berarti bahwa ECC menghadapi berbagai tantangan. Pertama, ECC harus mengembangkan kampanye informasi publik untuk memberikan sebuah informasi dasar mengenai peran dan tanggung jawab ECC di dalam proses Pemilu, sehingga seluruh kelompok pemangku kepentingan akan memiliki suatu kepercayaan dasar dalam proses keberatan. Kedua, ECC harus mendidik pemangku kepentingan tersebut tentang proses pengajuan keberatan sehingga mereka dapat menyiapkan diri mereka sendiri apabila mereka menyaksikan pelanggaran Pemilu. Karena itu, ECC menyusun upaya terpadu untuk dapat menjangkau seluas mungkin pendengar dari kalangan pemangku kepentingan dalam jangka waktu yang singkat sebelum Pemilu. ECC menggunakan sejumlah produk-produk media dan komunikasi, termasuk kampanye iklan layanan masyarakat (PSA) untuk radio, iklan cetak di sejumlah surat kabar dan majalah nasional, dan poster-poster. ECC juga mengkomunikasikan pesan-pesan melalui wawancara dengan media. Sebagai tambahan, ECC mengembangkan situs webnya sendiri, yang mana telah terbukti menjadi alat yang efektif di antara kelompok elit
238
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
meskipun penerapan yang lebih luasnya dibatasi oleh tingkat penggunaan internet yang rendah di negara tersebut. Berdasarkan pengalamannya di tahun 2005, ECC, di dalam laporan akhirnya, mengakui bahwa upaya informasi publiknya jauh dari apa yang dapat dianggap sebagai ideal dan merekomendasikan agar pada siklus Pemilu yang akan datang, ECC harus dibentuk jauh sebelum kampanye Pemilu agar dapat memberikan kampanye informasi publik dan pemilih yang layak. Sayangnya, pelajaran pada tahun 2005 tidak diterapkan secara penuh pada tahun 2009. Lagi-lagi, pembentukan ECC dilakukan sangat terlambat dalam rangkaian proses Pemilu sehingga ECC kehilangan banyak kesempatan untuk mendapatkan lompatan permulaan pada kampanye informasi publik yang komprehensif sebelum Pemilu presiden dan dewan provinsi. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dalam Pemilu 2005, bagaimanapun juga, ECC telah mengembangkan kampanye informasi publik yang jauh lebih canggih dan mampu menerapkannya, meski dengan kerangka waktu yang terbatas. Kampanye
informasi
publik
tahun
2009
terdiri
dari
komponen
sebagai berikut: •
ECC memulai dengan sosialisasi kepada media-media terpilih dengan memasukkan pelaksanaan konferensi pers reguler dan penunjukan para komisioner untuk berpartisipasi dalam wawancara baik dengan media nasional maupun internasional. ECC juga menugaskan 2 orang dari tim hubungan masyarakat/media (satu orang dari tingkat nasional dan satu dari tingkat internasional) dengan kemampuan dan kontak yang dibutuhkan untuk menghasilkan minat dan pelaporan isu-isu terkait dengan ECC. Hal-hal ini merupakan langkah-langkah awal yang amat penting mengingat perkembangan media nasional (terutama media swasta) sejak tahun 2005 yang telah memberikan dampak yang besar terhadap peliputan Pemilu di seluruh negeri. Hal ini berpengaruh secara positif terhadap upaya-upaya ECC dalam menginformasikan populasi pemilih berkenaan dengan peran dan mandat-nya dalam proses Pemilu.
239
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
•
ECC mengembangkan iklan layanan masyarakat baik untuk radio maupun televisi dan mendistribusikan produk ini ke pelosok negeri. Namun, oleh karena keterlambatan pembentukan ECC, iklan layanan masyarakat tersebut mengudara hanya sesudah periode kampanye dimulai.
•
Komisi juga mencetak brosur dan mendistribusikannya di seluruh pelosok negeri. Brosur-brosur dibagikan secara efektif kebanyakan di wilayah perkotaan oleh karena tingkat baca tulis yang terbatas di wilayah desa dan daerah terpencil.
•
Dalam inovasinya sejak tahun 2005, para Komisioner ECC telah bepergian ke sejumlah pusat provinsi/daerah di seluruh negeri selama kampanye Pemilu 2009. Melalui kunjungan ini, ECC mengupayakan untuk: (1) meningkatkan profil media ECC di dalam pasar lokal (melalui konferensi pers dan wawancara); (2) melakukan sosialisasi kepada kandidat Dewan provinsi untuk menjelaskan proses pengajuan keberatan dan bagaimana dapat diakses jika diperlukan; dan (3) untuk bertemu dengan staf ECC provinsi. Kunjungan-kunjungan ini membuktikan sebuah keberhasilan yang sangat, khususnya dari sudut pandang media, dan juga memperkokoh persepsi bahwa ECC adalah organisasi yang independen, transparan yang berkomitmen untuk memperlakukan seluruh keberatan dengan cara yang profesional dan tidak memihak.
Mengingat proses audit dan penghitungan ulang dilakukan bagi Pemilu presiden setelah Hari Pemungutan Suara dan kemudian ditemukan kecurangan yang serius, maka pekerjaan informasi publik ECC, khususnya kunjungan ke daerah, memainkan peranan kunci dalam menjamin bahwa ECC dapat dipandang sebagai memiliki kredibilitas dan legitimasi yang memadai oleh sejumlah luas pemangku kepentingan Pemilu. Jika ECC tidak mampu melaksanakan upaya multi aspeknya terkait dengan informasi publik terlepas karena kendala waktu, menjadi hal yang sulit untuk meyakinkan para pemilih dan kandidat bahwa ECC dapat melaksanakan pekerjaannya dengan cara yang non-partisan, terbuka dan kompeten.
240
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
D. Pengadilan Pemilu Federal Meksiko (Federal Electoral Court of Mexico) Pengadilan khusus Pemilu telah didirikan di beberapa negara di Amerika Latin, dengan menggunakan Pengadilan Pemilu Federal di Meksiko (Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federación, TEPJF) tidak hanya sebagai model, tetapi juga sebagai sumber kepemimpinan dan bantuan teknis di dalam kawasan dan di luar kawasan. TEPJF adalah sebuah tribunal Pemilu permanen yang terpisah dari badan penyelenggara Pemilu, dengan sebuah kantor pusat nasional dan lima majelis daerah (regional chambers). TEPJF memiliki sebuah strategi komunikasi komprehensif berdasarkan survei-survei opini publik reguler dan menangani baik Pemilu federal, yang diadakan setiap tiga tahun, dan pemilihan lokal yang dilaksanakan setiap tahun. Komponen-komponen dari strategi ini termasuk penyediaan informasi yang akurat dan dapat dipahami pada media massa dan publisitas kelembagaan serta pembangunan kepercayaan yang ditujukan pada para pemilih dan pemangku kepentingan Pemilu. Selain siaran, konferensi dan pengarahan pers untuk dan wawancara dengan media massa, TEPJF juga melakukan berbagai pelatihan reguler bagi para jurnalis. Selain itu, TEPJF juga menyampaikan informasi melalui: •
Iklan layanan masyarakat (Public Service Announcement-PSAs) untuk radio dan televisi;
•
Beragam program televisi, termasuk acara Different Points of View, dimana para politisi, akademisi dan jurnalis membahas kebijakan publik dan hukum (Entre Argumentos); Debating Decisions, dimana para ahli hukum menganalisis putusan peradilan (Sentencias a Debate); dan program khusus Pemilu seperti Decision 2010, dimana para pejabat dan politisi membahas situas Pemilu;
•
Situs web resmi Tribunal406 dimana putusan diunggah dalam waktu 24 jam dan ringkasan putusan tersebut tersedia dalam bentuk jumlah dan jenis perkara, status perkara-perkara tersebut, siapa yang mengajukan keberatan atau memohon banding, dan siapa yang menjadi kuasanya;
406 Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federación, www.te.gob.mx (terakhir dikunjungi 3 Januari, 2011).
241
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
•
Media baru dan situs jejaring sosial termasuk Facebook dan Twitter; dan
•
Sesi-sesi publik yang ditransmisikan di saluran publik (Canal Judicial), serupa dengan C-SPAN, yang didedikasikan untuk proses peradilan, dan juga lewat internet. Sesi lima majelis daerah juga disiarkan lewat internet (saja).
Selain dari berbagai mekanisme dan produk komunikasi yang ditujukan untuk pemirsa yang lebih luas, TEPJF juga terlibat dalam penyediaan komunikasi dan informasi internal yang ditujukan pada personel hukum dan administratif. Melalui publikasi reguler di tingkat federal dan negara bagian, TEPJF memberikan situasi terkini mengenai pembaruan politik dan perubahan peraturan dan perUndang-undangan juga komentar hukum serta artikel tentang tema penanganan keberatan yang terpilih. Untuk secara berkelanjutan menilai kesadaran dan tingkat kepercayaan serta kebutuhan informasi juga untuk mengevaluasi keefektivan dan dampak dari strategi komunikasinya, TEPJF melakukan survei opini publik setiap kuartal. Berdasarkan kecanggihan informasi publik TEPJF dan upaya pendidikan pemilih, Organisasi untuk Negara-Negara Amerika (Organization for American States/OAS) telah mulai untuk melibatkan TEJPF dalam memberikan nasihat kepada tribunal Pemilu dan badan penyelenggara Pemilu lainnya. TEPJF telah memberikan bantuan kepada Ekuador, Kosta Rika dan Peru. TEPJF memulai bantuan tersebut dengan melakukan diagnostik kebutuhan yang memperhitungkan karakteristik sistem penanganan keberatan. Sebagai contoh, diagnostik kebutuhan menentukan apakah badan yang bertanggung jawab untuk penyelesaian keberatan adalah suatu badan baru atau sudah ada terlebih dulu, apakah badan tersebut bersifat sementara atau permanen, independen atau sebuah komponen dari suatu Badan Penyelenggara Pemilu, juga kebutuhan informasi para pemangku kepentingan Pemilu dan pemilih. Berdasarkan penilaian ini, TEPJF kemudian bekerja dengan mitranya untuk merancang sebuah strategi komunikasi yang dirancang secara khusus dan merekomendasikan pelaksanaannya. Pekerjaan sosialisasi dan pelatihan ini dirinci secara lebih rinci di dalam Bab 4 dari buku ini.
242
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
Keterlibatan Masyarakat Sipil A. Gambaran Umum Bagian awal dari bab ini menelusuri kegiatan informasi publik dan pendidikan pemilih oleh badan-badan resmi terkait penyelesaian keberatan Pemilu. Masyarakat sipil juga dapat memainkan peranan penting dalam berbagai bidang, contohnya: •
Penilaian dan pemantauan proses penanganan keberatan;
•
Advokasi isu yang bertujuan untuk melakukan pembaruan atas proses penanganan keberatan, pelanggaran Pemilu dan sistem penghukuman;
•
Kegiatan pendidikan dan pelatihan hukum untuk para hakim, pengacara, pejabat dan staf Pemilu;
•
Pendidikan pemilih tentang hak pilih, proses penanganan keberatan dan tindakan penyelesaian secara hukum;
•
Bantuan hukum pro bono untuk para pemilih yang tidak puas;
•
Persiapan
berkas-berkas
perkara
untuk
mendukung
Badan
Penyelenggara Pemilu; dan •
Pelatihan
media
tentang
masalah
penanganan
keberatan
dan prosesnya. Bagian pada bab ini melihat lebih dekat berbagai pendekatan ini melalui beragam aktor masyarakat sipil, termasuk asosiasi profesional pengacara dan hakim, sekolah-sekolah hukum, kelompok pemantau, kelompok advokasi, dan LSM lainnya, apakah bekerja sama dengan – atau independen dari – badan-badan resmi. Filipina merupakan contoh yang penting untuk pembahasan sepanjang sisa bab ini karena memberikan contoh multi-aspek, dan masih berlangsung mengenai keterlibatan masyarakat sipil dalam isu dan proses penanganan keberatan yang mencakup banyak pendekatan yang disinggung di atas. Filipina juga berfungsi untuk memamerkan hasil-hasil yang dapat dicapai melalui kerjasama yang efektif antara masyarakat sipil dan badan-badan resmi. Pengalamannya selama siklus Pemilu presiden 2010 juga memiliki nilai khusus, mengingat masyarakat sipil telah mengupayakan untuk menangani penanganan keberatan di dalam konteks pembaruan Pemilu
243
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang signifikan yang ditujukan pada modernisasi.407 Secara khusus, Lawyer League for Liberty (Libertás) melaksanakan sejumlah kegiatan untuk mengatasi konsekuensi sistem Pemilu terotomatisasi yang baru (automated election system/AES) untuk pengawasan dan penanganan.408 AES digunakan secara luas di seluruh negeri untuk pertama kalinya selama Pemilu Mei 2010. Berbagai kegiatan di Filipina akan disajikan di bawah ini bersama dengan pembahasan tentang pendekatan komparatif dari konteks yang lain (untuk pembahasan yang lebih lengkap tentang sistem penanganan keberatan di Filipina, lihat Bab 4: Studi-Studi Kasus Terkait Pelatihan Arbiter dalam Keberatan Pemilu).
B. Melakukan Pendekatan Proaktif: Pengalaman Libertás di Filipina
i. Penilaian dan pemantauan proses penanganan keberatan
Komponen yang amat penting dalam pemantauan penanganan keberatan – juga upaya untuk mengevaluasi dampak upaya advokasi terkait, upayaupaya pembaruan, dan peningkatan kapasitas – adalah penetapan suatu kondisi dasar (baseline). Sebelum siklus Pemilu 2007, Libertás melakukan sebuah baseline study tentang kondisi penanganan keberatan Pemilu di Filipina. Studi ini didasarkan kepada 20 tahun pengalaman Pemilu (19872007) untuk berbagai jabatan dan tingkat yang berbeda. Studi melibatkan tinjauan atas seluruh peraturan perUndang-undangan yang relevan, proses dan prosedur yang diterapkan untuk menyelesaikan keberatan Pemilu. Studi ini juga menggunakan focus group discussion untuk mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi publik terhadap kredibilitas berbagai badan penanganan keberatan Pemilu.409 Penilaian menggunakan beberapa indikator kunci, yang dirinci di dalam kotak di bawah ini.
407 Kegiatan yang disajikan di dalam studi kasus ini dimungkinkan lewat bantuan kepada Libertás dari IFES melalui programnya yang didanai oleh USAID/Philippines. 408 Untuk informasi lebih lanjut tentang Libertás dan perannya dalal sistem Pemilu Filipina, lihat Bab 4. 409 Termasuk pengadilan, Komisi Pemilu (Commission on Elections/COMELEC), Pengadilan Pemilu Dewan Perwakilan (House of Representatives Electoral Tribunal/HRET), Pengadilan Pemilu Senat (Senate Electoral Tribunal/SET) dan Mahkamah Agung.
244
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
Indikator Kunci Penilaian Pemilu Libertás (1987-2007) Kemandirian dan Ketidakberpihakan Studi menilai: (a) kemandirian operasional dan keuangan; (b) komposisi; (c) cara memilih dan menunjuk para pejabat; (d) tingkat paparan (exposure) politik; dan (e) mekanisme untuk memeriksa perilaku pejabat. Aksesibilitas Masalah aksesibilitas termasuk: (a) lokasi sidang atau persidangan; dan (b) biaya yang diperlukan untuk melakukan keberatan Pemilu Efisiensi Studi mempertimbangkan (a) tata tertib; (b) volume keberatan; (c) waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan keberatan; dan (d) jumlah kasus terkait Pemilu yang diselesaikan sebelum habisnya masa jabatan yang disengketakan. Penerimaan dan Kualitas Putusan Sebagai contoh, studi melihat pada (a) persentase keberatan yang dibanding; dan (b) rasio menang/kalah dari banding. Transparansi Proses Persidangan dan Rekaman Studi mempertimbangkan (a) prosedur dan praktik untuk memberikan transparansi proses penanganan keberatan ; dan (b) mekanisme untuk memastikan pengelolaan catatan. Integritas Pembuktian Integritas pembuktian termasuk: (a) aturan dan prosedur untuk melindungi integritas barang bukti; dan (b) kapasitas badan ajudikatif untuk mengidentifikasi ketika pembuktian telah dirubah.
Libertás menindaklanjuti baseline study ini dengan melakukan pemantauan berkelanjutan terhadap kemajuan dan kinerja Komisi Pemilu (Commission on Elections/COMELEC), tribunal khusus Pemilu (DPR, Senat dan Presiden) serta pengadilan tingkat pertama dan penanganan serta penyelesaian kasus terkait Pemilu selama siklus Pemilu 2007. Libertás mengunggah hasil studi penilaian, tinjauan, dan laporan pemantauannya pada situs web penanganan keberatan Pemilunya410 dan membagikan salinannya kepada arbiter Pemilu, penyusun kebijakan, dan kelompok advokasi dan pengawas (watchdog). Berbagai temuan dan rekomendasi yang disajikan di dalam berbagai publikasi ini juga menjadi bahan bagi advokasi, pembaruan 410 Libertás ELECTION ADJUDICATION Project, http://www.libertas-election-adjudication. blogspot.com/ terakhir dikunjungi 3 Januari, 2011).
245
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
hukum, pengembangan kapasitas, dan upaya informasi publik dan juga pemantauan domestik oleh berbagai kelompok masyarakat sipil.
ii. Pendidikan dan pelatihan hukum
Libertás telah lama berperan sebagai sumber daya pendidikan dan pelatihan bagi Undang-undang Pemilu dan penanganan keberatan Pemilu untuk para hakim, pengacara Pemilu, pekerja Pemilu dan kelompok advokasi dan pengawas terdepan tentang isu-isu terkait hak pilih, Undangundang Pemilu, dan sistem peradilan. Mulai tahun 2009, bekerjasama dengan COMELEC dan beberapa sekolah hukum yang terkemuka, Libertás mengadakan serangkaian acara yang didedikasikan untuk tema Masa Depan Penanganan (Sengketa) Pemilu di dalam sebuah Sistem Pemilu Terotomatisasi (The Future of Election Adjudication in an Automated Election System/AES). Segmen-segmen pada pelatihan didedikasikan untuk AES termasuk sebuah gambaran umum tentang proses, prosedur dan isu-isu yang baru terkait otomatisasi dan sebuah pembahasan tentang jenis keberatan yang mungkin muncul di bawah sistem yang baru. Para ahli juga membagi pandangan dan pengalaman yang didapat juga pelajaran yang dapat dipetik dari uji coba AES di Daerah Otonomi Muslim Mindanao (Autonomous Region of Muslim Mindanao/ARMM) dan kegagalan otomatisasi Pemilu di masa lalu. Selain itu, kerjasama mereka dengan Libertás dalam pendidikan dan pelatihan hukum, IFES dan Asosiasi Pengacara Amerika (American Bar Association/ABA) juga bermitra dengan Akademi Peradilan Mahkamah Agung Filipina (the Philippine Supreme Court’s Judicial Academy) untuk melatih para hakim pengadilan daerah tentang penanganan kasus-kasus Pemilu di bawah AES.
iii. Advokasi
sistem
penanganan
keberatan,
aturan
dan
tindakan perbaikannya Sebagai hasil dari kegiatan pendidikan dan pelatihan hukum yang disinggung diatas dan pembahasan tentang bagaimana menangani keberatan yang berasal dari AES, menjadi jelas bahwa penyesuaian khusus terhadap aturan di Filipina diperlukan untuk memajukan proses penyelesaian sengketa Pemilu secara efektif. Terbukti juga bahwa aturan baru penanganan perlu dirancang dan dipublikasikan sedini mungkin untuk menciptakan sebuah arena yang jelas untuk berbagai gugatan hukum dan menghalangi skenario gugatan bebas bagi semua (free-for-all) dalam
246
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
masa pasca-Pemilu yang dapat memperlemah kredibilitas proses dan/atau legitimasi hasilnya. Para pengacara dan ahli Pemilu Libertás bekerja dengan COMELEC untuk merancang sebuah kertas kerja tentang Usulan Hukum Acara Sementara tentang Pengaturan Keberatan Pemilu COMELEC dalam Sistem Pemilu Terotomatisasi PCOS (Proposed Interim Rules of Procedure of COMELEC Governing Election Complaints in a PCOS-Automated Election System). Rancangan tersebut telah disajikan dalam focus group discussion dan roundtable discussion dengan anggota dan petugas lapangan COMELEC, tribunal Pemilu, para hakim, dan pengacara Pemilu untuk mengumpulkan masukan lebih jauh. Diskusi terpisah dilaksanakan dengan Ketua Mahkamah Agung dan Panitia Bersama Kongres tentang Pengawas Otomatisasi Pemilu (Joint Congressional Oversight Committee on Automation of Elections). Diskusi ini juga menghadirkan para ahli dari IFES dan ABA yang menekankan bahwa baik di dalam sistem Pemilu manual dan otomatisasi, standar negara hukum, seperti proses hukum, perlindungan yang setara dan keadilan, seharusnya menjadi pertimbangan utama. Mereka juga menekankan pentingnya pendidikan pemilih dan peran para pemantau di dalam memantau Pemilu dan mencegah kecurangan di setiap tingkat proses Pemilu terotomatisasi yang secara potensial dapat berujung pada keberatan Pemilu. Atas dasar diskusi-diskusi ini, Libertás merevisi kertas kerjanya dan menyerahkannya kembali kepada COMELEC. Pada akhirnya Komisi, secara aklamasi mengadopsinya sebagai rancangan resmi di dalam proses penyiapan Instruksi Umum tentang Penanganan keberatan Pemilu (General Instruction on the Adjudication of Election Complaints). Produk akhir dari proses ini adalah Resolusi Nomor 8804 tentang Hukum Acara COMELEC dalam Keberatan pada Sistem Pemilu Terautomatisasi terkait dengan Pemilu 10 Mei 2010, yang memasukkan mayoritas rekomendasi yang dimuat dalam makalah tersebut.
iv. Informasi publik dan pendidikan pemilih
Untuk memfasilitasi terbentuknya pemahaman yang lebih baik tentang hak pilih dan hak untuk memperoleh pemulihan. Libertás menyiapkan sebuah buku petunjuk tentang hak pilih dan tindakan perbaikan berjudul
247
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
A Quick Guide on Your Right to Vote (Suatu Pedoman Singkat tentang Hak Anda untuk Memilih). Buku petunjuk ini memfokuskan secara khusus pada proses pendaftaran pemilih dan tentang proses hukum dan tindakan perbaikan yang dapat digunakan untuk menegakkan atau menggugat hak pilihnya. Hal ini termasuk pedoman tentang penyertaan atau pengecualian persidangan yang terkait dengan daftar pemilih dan bagaimana cara menggugat keputusan Dewan Pendaftaran Pemilu (Election Registration Board/ERD). Buku petunjuk disajikan dalam bentuk tanya jawab yang mudah digunakan yang membahas pertanyaan-pertanyaan berikut: •
Apakah tersedia tindakan perbaikan bagi para pemohon yang tidak setuju dengan temuan ERB dalam aplikasi mereka?
•
Mengapa pengadilan kota memiliki yurisdiksi atas persidanganpersidangan ini dan bukan komisi Pemilu?
•
Apa aturan yang mengatur gugatan untuk disertakan dan dikecualikan?
•
Siapa yang dapat mengajukan gugatan?
•
Apa saja langkah-langkah yang saya harus ambil jika saya ingin mengajukan sebuah gugatan?
•
Berapa lama seharusnya pengadilan dapat memutus perkara saya?
•
Apa yang terjadi jika gugatan saya dikabulkan?
•
Apa yang dapat saya lakukan jika gugatan saya ditolak?
•
Dapatkah putusan pengadilan diajukan banding?
Selain pemberian jawaban dan instruksi langkah demi langkah, buku petunjuk juga memberikan diagram alur proses gugatan dan banding serta seluruh formulir yang harus dilengkapi oleh pengadu. Buku petunjuk dibagikan melalui COMELEC dan mitra masyarakat sipilnya dan secara daring (dalam jaringan/on-line) melalui situs web penanganan keberatan Pemilu Libertás. Sebagai bagian dari kegiatan pendidikan pemilihnya, Libertás juga menerbitkan dua buku petunjuk lainnya yang berjudul “Primer on Disqualification of Electoral Candidates” dan “Primer on Pre-Proclamation Controversy and Election Protest” yang tersedia di situs web mereka.411 Situs web ini dibuat untuk menyoroti berbagai kegiatan, temuan, dan hasil proyek Pembaruan Penanganan Sengketa 411 Id.
248
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
Pemilu mereka dan terus berkembang dengan juga memasukkan informasi dan materi rujukan yang merangkum dan menjelaskan berbagai pengadilan Pemilu, liputan media yang menghadirkan kasus-kasus Pemilu, dan hukum dasar serta hukum acara pada berbagai badan penanganan yang berbeda.
C. Pendekatan Lainnya
i. Layanan Dukungan Hukum
Di Ukraina, pada siklus Pemilu presiden tahun 2004, ABA Central European and Eurasian Law Initiative (CEELI) memfasilitasi pembentukan klinik hukum mahasiswa yang memberikan pelayanan bantuan hukum pro bono kepada para pemilih yang mengajukan keberatan kepada pengadilan atau komisi Pemilu territorial (territorial election commissions/TECs). Banyak kasus-kasus ini yang berhubungan dengan masalah pendaftaran pemilih yang terjadi selama tiga putaran pemungutan suara. Lembaga ini juga membantu pemilih melalui sebuah jaringan pusat advokasi Pemilu yang berafiliasi dengan LSM-LSM terkemuka termasuk Komite Pemilih Ukraina (Committee of Voters of Ukraine). LSM di dalam jaringan membantu para pemilih, komisioner Pemilu, dan perwakilan kandidat serta beberapa kelompok terlibat dalam kasus-kasus pengadilan yang sangat penting. Selain nasihat hukum dan bantuan yang diberikan melalui klinik dan sejumlah Ornop advokasi, CEELI juga menyediakan sebuah nomor telepon bebas bea (toll-free hotline) yang merespon pertanyaan-pertanyaan masyarakat, dimana banyak diantara mereka adalah terkait dengan Pemilu. Nomor telepon tersebut menangani berbagai pelanggaran terkait dengan prosedur pemberian suara sebelum hari Pemilu (absentee voting), pendaftaran pemilih, kualitas Daftar Pemilih (Voters’ List/VL) , hasil kerja komisi Pemilu, banding dari keputusan dewan pemungutan suara, pencopotan komisioner Pemilu, keterlibatan militer di dalam proses pemungutan suara, jual beli surat suara, pemaksaan oleh pemberi kerja, pemungutan suara ganda, dan perusakan atau penghilangan materi Pemilu. Mengingat masalah pendaftaran Pemilu selama Pemilu 2004, maka CEELI, bekerjasama dengan OSCE memfasilitasi proses koreksi pada hari yang sama terhadap daftar pemilih dengan menempatkan staf pengadilan dan TEC bersama dengan pengacara, mahasiswa piket pada klinik hukum, dan
249
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
aktivis LSM, dalam rangka membantu pemilih yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perbedaan. Setiap orang yang memberikan bantuan dilatih dan diberikan materi rujukan yang diakui oleh Komisi Pemilu Pusat (Central Election Commission). Lewat berbagai intervensi ini, puluhan ribu pemilih yang merasa dirugikan telah menerima bantuan.
Kesimpulan Maksud dari bab ini adalah untuk membahas pentingnya informasi publik dan pendidikan pemilih untuk proses penanganan keberatan Pemilu. Pendekatan pendidikan pemilih dan informasi publik digunakan oleh berbagai Badan Penyelenggara Pemilu, badan penanganan keberatan, dan kelompok masyarakat sipil di beberapa negara yang berbeda telah disoroti dengan maksud memberikan gambaran dan perbandingan. Perlu diperhatikan bahwa bahwa kegiatan informasi publik, pendidikan pemilih, masyarakat sipil secara khusus ditujukan untuk penyelesaian sengketa pemilu tampaknya kurang umum, kurang proaktif, dan relatif kurang sumber daya ketika dibandingkan dengan kegiatan Pemilu lainnya dan bentuk-bentuk bantuan untuk demokrasi, seperti yang ditujukan kepada sektor administrasi Pemilu, kampanye untuk mendongkrak partisipasi pemilih (get-out-the-vote campaign), pendidikan pemilih secara umum, dan pemantauan domestik.412 Terlalu sering, bahwa suatu apresiasi penuh tentang kebutuhan informasi publik dan pendidikan pemilih yang lebih besar tentang penyelesaian sengketa pemilu datang hanya ketika hasil Pemilu dipertanyakan dan transisi kekuasaan yang mulus, lancar, atau damai berada diambang kekacauan. Untuk lebih menjamin hasil Pemilu yang sah dan transisi kekuasaan yang efektif juga untuk memenuhi maksud standar-standar internasional yang dinyatakan melalui pembaruan hukum atau prosedural, upaya-upaya mendukung penyelesaian sengketa pemilu – termasuk informasi publik, pelatihan dan pendidikan pemilih yang memadai – seharusnya dimasukkan dan diintegrasikan ke program bantuan teknis Pemilu yang lebih luas daripada semula.
412 Pengecualian terhadap kecenderungan ini di negara-negara dengan pengadilan atau komisi keberatan Pemilu khusus, seperti di Amerika Latin, atau di negara-negara yang berlatar belakang konflik dimana keberatan Pemilu dan cara mereka menanganinya dapat menjadi pemicu kekerasan. Dalam kasus-kasus ini, sumber-sumber daya yang signifikan telah ditujukan untuk pendidikan pemilih tentang EDR.
250
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
A. Pelajaran yang Diperoleh Karena setiap Pemilu dan konteks dimana Pemilu tersebut dilaksanakan memiliki implikasi unik terhadap kebutuhan dan tantangan informasi publik, adalah mungkin untuk menyusun seperangkat pelajaran yang diperoleh (Lesson Learned) dan isu-isu untuk dipertimbangkan agar penyedia (pelatihan) lainnya di dalam bidang yang sama dapat memperoleh manfaat ketika mereka menyusun strategi dan rencana kerja mereka. Pelajaranpelajarannya termasuk, tetapi tidak terbatas pada:
• Aspek-aspek hukum dan teknis dari penyelesaian sengketa pemilu seringkali melebihi pentingnya menjamin informasi publik dan kampanye pendidikan pemilih yang layak tentang proses keberatan. Aspek-aspek ini tidak saling berdiri sendiri, tetapi kenyataannya melengkapi satu sama lain, khususnya terkait dengan transparansi.
• Pemberian informasi yang relevan dan tepat dengan bahasa yang sederhana dan lugas dan bentuk yang mudah digunakan merupakan kunci untuk menjamin bahwa proses penyelesaian sengketa pemilu berfungsi dengan cara yang teratur dan efisien untuk memenuhi persyaratan hukum juga standar-standar internasional dan norma-norma demokratis.
• Satu tujuan utama dari strategi informasi publik dan pelatihan terkait serta upaya pendidikan pemilih seharusnya adalah untuk memastikan bahwa seluruh kelompok pemangku kepentingan dan para pemilih memiliki kesadaran dan pengetahuan yang memadai untuk memahami hak-hak mereka dan berpartisipasi di dalam proses. Pendekatan seperti itu akan sangat meningkatkan transparansi, yang selanjutnya akan berkontribusi pada kepercayaan publik yang lebih besar dan kepercayaan terhadap sistem.
• Menjadi penting untuk membentuk sebuah tim hubungan masyarakat/media yang memenuhi syarat atau kantor di dalam lembaga-lembaga yang bertanggung jawab, menugaskan siapa yang harus berbicara tentang isu penyelesaian sengketa pemilu dan kepada pendengar yang mana. Pengembangan pesan yang jelas juga sangat berguna dalam menjamin komunikasi yang konsisten dan efektif dari tim hubungan masyarakat/media.
• Penundaan dalam memulai informasi publik dan pendidikan
251
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pertimbangan Kebijakan dan Praktis untuk Kampanye Informasi Publik
Pemilu berlangsung di negara yang berlatar belakang pasca-konflik atau negara gagal dimana keberatan Pemilu dapat menjadi pemicu kekerasan.
√
√
Para pemilih sangat terpolarisasi dimana selisih hasil Pemilu yang tipis diharapkan terjadi dan hasil akhirnya mungkin diputuskan oleh pengadilan.
√
Terdapat kekhawatiran bahwa pihak yang kalah tidak akan mengakui dan menggunakan litigasi yang berlebihan dan melelahkan untuk menunda hasilnya.
√
Terdapat krisis kepercayaan terhadap keadilan pada proses penyelesaian sengketa pemilu dan/atau netralitas/kemandirian arbiter.
√
Terdapat sejarah kecurangan Pemilu atau penanganan keberatan Pemilu yang bias.
√
√
√
Hak pemungutan suara telah diperluas hingga mencakup segmen populasi yang sebelumnya dicabut hak pilihnya.
√
Terdapat isu dalam akses terhadap keadilan/kesamaan di hadapan hukum yang dapat melemahkan legitimasi proses penyelesaian sengketa pemilu.
√
Terdapat perubahan yang besar-besaran dalam Undang-undang Pemilu/proses Pemilu yang dapat mengakibatkan munculnya jenisjenis keberatan atau gugatan yang baru.
Pelatihan Hakim/Arbiter
Membangun Kapasitas Komunikasi BadanBadan penyelesaian sengketa pemilu
Advokasi Reformasi penyelesaian sengketa pemilu (legal, struktural, prosedural)
Konteks Pemrograman
Penilaian Kebutuhan Informasi/Kapasitas penyelesaian sengketa pemilu
Kebutuhan/Opsi Bantuan
√ √ √
√
√
√
√
√
√
Sistem penyelesaian sengketa pemilu sendiri telah baru saja diperbaharui, contohnya berbagai mekanisme, aturan atau tata tertib atau perubahan yang baru terhadap pelanggaran/hukuman.
√
√
√
Suatu komisi khusus keberatan Pemilu atau tribunal Pemilu baru saja dibentuk.
√
√
√
Para Hakim, Anggota Komisi Pemilu, pengacara, dan/atau penyelidik tidak memahami Undang-undang Pemilu dan peraturan pidana/ administratif yang berlaku.
√
√
√
Para pemangku kepentingan sedikit memahami atau tidak memiliki pemahaman tentang hak-hak mereka untuk menerima tindakan perbaikan hukum/administratif atau bagaimana proses itu bekerja.
√
√
Para arbiter keberatan Pemilu memiliki kewenangan untuk melakukan pendidikan pemilih tentang penyelesaian sengketa pemilu
√
√
Para arbiter keberatan Pemilu kekurangan sumber daya/kapasitas untuk mendedikasikan pendidikan pemilih tentang penyelesaian sengketa pemilu
√
√
Para pemantau Pemilu memiliki hak untuk memantau fase perkembangan penyelesaian sengketa pemilu dan menerima informasi Terdapat asosiasi pengacara atau kelompok pengacara yang dapat memberikan bantuan hukum kepada para pemilih yang merasa dirugikan atau pendidikan hukum atau pelayanan hukum lainnya Terdapat mitra masyarakat sipil yang memenuhi syarat untuk melaksanakan advokasi, pendidikan atau pengawasan penyelesaian sengketa pemilu. Media massa telah gagal untuk meliput proses dan hasil penyelesaian sengketa pemilu dengan cara yang akurat dan netral Sektor media (termasuk media swasta) telah berekspansi sangat luas sejak Pemilu terakhir dengan konsekuensi terhadap liputan penyelesaian sengketa pemilu
252
√
√
√
√ √
√
√ √
√ √
√
√
√
√ √
√ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √
√
Pengawasan/ Pemantauan Proses penyelesaian sengketa pemilu
Pelatihan untuk Peninjau tentang isu penyelesaian sengketa pemilu
Program Pendidikan Pemilih Masyarakat Sipil
Informasi Publik Resmi/ Program Pendidikan Pemilih
Jasa Dukungan Hukum
Pelatihan/Pengarahan untuk Media
Pelatihan untuk Kampanye/Pengacara Pihak-Pihak
Pelatihan Pejabat/ Staf Pemilu tentang penyelesaian sengketa pemilu
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √
√ √
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
253
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
pemilih tentang penyelesaian sengketa pemilu sampai setelah masa kampanye Pemilu telah mulai dapat berarti bahwa para pemangku kepentingan tidak akan memiliki informasi yang mereka perlu pahami dan mekanisme penggunaan penyelesaian sengketa pemilu serta proses untuk keberatan yang muncul di awal masa kampanye. Hal ini juga akan mengakibatkan para pemilih tidak memiliki tingkat kesadaran dan pengetahuan yang memadai pada waktu keberatan muncul di hari pemungutan suara atau setelah diterbitkannya hasil Pemilu.
• Perencanaan dimuka dan sumber daya yang layak merupakan hal yang amat penting. Beberapa kegiatan (termasuk pelatihan) yang akan dilakukan dengan cara bertahap, juga program kontak langsung, merupakan kegiatan yang padat sumberdaya dan membutuhkan siklus pengembangan yang lebih lama untuk alasan operasional dan logistik.
• Berbagai
strategi
komunikasi
dan
rencana
pelaksanaan
berdasarkan informasi konkrit yang dikumpulkan selama periode diagnostik/penilaian dan secara khusus dirancang dan ditujukan untuk kebutuhan spesifik bagi kelompok pemangku kepentingan yang beragam dan para pemilih (atau segmen-segmennya) akan meningkatkan efektivitas dan dampak upaya informasi publik dan pendidikan pemilih.
• Program-program informasi publik multi-aspek yang mendayagunakan beragam outlet dan produk komunikasi, melibatkan sejumlah
pelaku
dan
kelompok
pengguna,
serta
yang
mempengaruhi kegiatan Pemilu lainnya, dan program-program yang berkontribusi untuk menyampaikan pesan ke pada para pemangku kepentingan dan pemilih seluas mungkin. Mengulangi pesan dan memperkuatnya melalui sumber-sumber berganda akan membantu dalam memastikan pemahaman dan penerapan.
• Sehubungan dengan mitra masyarakat sipil dan pendidikan pemilih tentang penyelesaian sengketa pemilu, menjadi sangat penting untuk melibatkan paduan yang tepat antara talenta kreatif dan talenta hukum/teknis. Berbagai perusahaan komunikasi dan LSM berorientasi pendidikan telah sangat mengambil peran penting dalam merancang pesan yang dapat dipahami oleh pemilih secara umum. Keterlibatan asosiasi pengacara atau LSM yang berorientasi
254
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
hukum telah memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang Undang-undang Pemilu dan seluruh ketentuan yang relevan tentang peraturan pidana dan administratif serta hukum acara peradilan. Keahlian ini berkontribusi pada pedoman yang akurat dan relevan dan dapat membantu menfasilitasi kerjasama yang konstruktif dengan pengadilan, badan penyelenggara Pemilu, atau komisi keberatan.
• Pengawasan dan evaluasi seluruh prakarsa informasi publik merupakan hal yang penting untuk menentukan keefektivan dan dampak dari upaya tersebut untuk menyempurnakan mereka pada Pemilu berikutnya. Menyediakan komunikasi dua arah memungkinkan dikumpulkannya umpan balik dan penerapan pelajaran yang diperoleh tentang langkah-langkah yang seharusnya diambil untuk memperbaiki proses siklus Pemilu yang berikutnya.
• Menempatkan
tanggung
jawab
pada
seluruh
pemangku
kepentingan Pemilu juga sangat penting karena mereka perlu mengakui bahwa berbagai pernyataan dan tindakan mereka akan berdampak pada kredibilitas proses Pemilu- termasuk penyelesaian sengketa pemilu – dan legitimasi hasil Pemilu. Dimana berbagai upaya untuk memperbaiki pengetahuan, transparansi dan kesadaran akan proses penyelesaian sengketa pemilu, terdapat lebih sedikit peluang bagi para pemangku kepentingan Pemilu, khususnya partai atau kandidat yang kalah, untuk mengklaim bahwa proses Pemilu cacat atau dimanipulasi.
B. Pertimbangan Kebijakan dan Praktis Sebelum melakukan penyusunan sebuah strategi dan perencanaan implementasi untuk kegiatan penyelesaian sengketa pemilu, beberapa hal harus dipertimbangkan untuk konteks pemrograman dan kebutuhan bantuan serta pilihan-pilihan ketika menangani informasi publik, pendidikan pemilih dan keterlibatan masyarakat sipil. Beberapa pertimbangan kebijakan dan praktis disajikan di dalam tabel di halaman sebelumnya. Secara
ideal,
sebuah
diagnostik/penilaian
menyeluruh
seharusnya
dilakukan untuk menyusun sebuah strategi dan rencana implementasi yang dirancang sebaik-baiknya untuk karakterisik khusus pada suatu sistem
255
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
penyelesaian sengketa pemilu, kapasitas beragam pelaku dan kebutuhan informasi dari seluruh pemangku kepentingan dan pemilih.
Daftar Periksa Rekomendasi Meskipun tidak ada pendekatan “satu ukuran untuk semua” (“one size fits all”) untuk melaksanakan pendidikan pemilih tentang sistem penanganan keberatan, terdapat dasar-dasar tertentu yang dapat diterapkan para praktisi ketika menyusun strategi informasi publik dan pendidikan publik. Dasar-dasar ini bersifat universal dalam kepentingan dan penerapannya pada berbagai strategi. Daftar periksa berikut ini termasuk dasar-dasar utama yang harus dipertimbangkan para praktisi:
√ Strategi Komunikasi: Strategi komunikasi seharusnya menyertakan baik informasi publik maupun pendidikan pemilih, dan sebuah rencana pelaksanaan adalah merupakan komponen yang sangat penting dari setiap proses penanganan keberatan Pemilu. Para praktisi seharusnya memastikan bahwa mereka meluangkan waktu untuk menyusun strategi dan rencana pelaksanaan sebaik-baiknya, serta kemudian mengidentifikasi sumber-sumber daya (manusia, uang dan waktu) yang diperlukan untuk melaksanakan rencana tersebut. Komunikasi teratur dengan berbagai kelompok pemangku kepentingan merupakan sebuah komponen yang penting untuk membangun kepercayaan dan memastikan bahwa proses ini merupakan sesuatu yang transparan. Para praktisi seharusnya memastikan bahwa pendekatan mereka memperkuat pesan di seluruh tahap siklus Pemilu, tidak hanya satu atau dua diantaranya. √ Penilaian kebutuhan: Baik strategi maupun rencana pelaksanaan seharusnya dirancang sesuai dengan karakteristik khusus dari sistem penyelesaian sengketa pemilu di negara tertentu dan mencerminkan kebutuhan informasi para pemangku kepentingan kunci Pemilu dan pemilih. Secara ideal, rencana tersebut seharusnya dibuat berdasarkan suatu penilaian kebutuhan (need assessment). √ Penyediaan informasi: Badan-badan yang bertanggung jawab terhadap penyelesaian sengketa pemilu seharusnya mengambil
256
Bab 5: Berbagai Pendekatan untuk Pendidikan Pemilih dan Peran Masyarakat Sipil
pendekatan yang proaktif terhadap kebutuhan pendidikan pemilih. Sebagai contoh, pemasangan pengumuman informasi terkait keberatan yang tepat waktu dan situasi terkini tentang status dan penyelesaian kasus-kasus di situs web badan penanganan keberatan merupakan hal yang sangat membantu. Berkaitan dengan buku petunjuk tata tertib, butir-butir pembicaraan dan petunjuk lainnya seharusnya diunggah untuk dilihat atau diunduh daring (on-line). √ Masukan dari pemangku kepentingan: Ketika menyusun rencana, para praktisi seharusnya melihat peluang untuk meningkatkan pengaruh kerja-kerja yang telah dilakukan kelompok lainnya, seperti asosiasi pengacara, pemantau Pemilu dan perwakilan partai, pengacara kampanye, akademisi dan media massa. √ Penjadwalan: Mulai lebih awal (jauh lebih awal dari dimulainya kampanye Pemilu) untuk menjamin bahwa kebutuhan informasi seluruh kelompok pemangku kepentingan telah dipertimbangkan secara penuh dan untuk mengantisipasi keberatan yang mungkin terjadi di awal proses, seperti kasus-kasus yang berhubungan dengan pembatasan daerah pemilihan, pendaftaran kandidat, pendaftaran Pemilu, pembiayaan kampanye dan kegiatan kampanye. √ Gaya kampanye: Informasi publik dan kampanye pendidikan pemilih seharusnya dibangun dari sudut pandang pengguna. Strategi dan rencana implementasi seharusnya menggunakan media, produk dan aktivitas komunikasi dengan spektrum yang lengkap. Pesan-pesan seharusnya disederhanakan menjadi terpisah-pisah dan potonganpotongan informasi yang dapat dipahami dengan mudah. √ Pemantauan dan evaluasi: Umpan balik dan pemantauan serta evaluasi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan efektivitas pesan dan berbagai saluran komunikasi relatif bagi setiap target pendengar, termasuk pemangku kepentingan kunci dan pemilih pada umumnya. Sama halnya, evaluasi ini akan memungkinkan penerapan pelajaran yang diperoleh untuk informasi publik dan program
257
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
pendidikan pemilih mendatang. diskusi kelompok terfokus dan survei opini publik khususnya berguna dalam hal ini. √ Pembentukan kemitraan: Tanggung jawab untuk proses penanganan keberatan yang transparan dan dapat dipercaya terletak pada semua mitra, tidak hanya badan penanganan keberatan. Kerjasama antara berbagai lembaga resmi dan masyarakat sipil, serta informasi publik dan upaya pendidikan pemilih yang saling menguatkan mungkin memberikan hasil yang terbaik.
258
6
MEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Oleh David Kovick dan John Hardin Young
Para pemilih menunggu antrian di tempat pemungutan suara di Kibera, Nairobi, Kenya pada 27 Desember 2007. Kibera adalah satu dari beberapa lokasi dari kekerasan terburuk yang terjadi setelah pengumuman hasil Pemilu.
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pendahuluan Bab ini membicarakan potensi peran dan penggunaan mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) sebagai bagian dari sebuah kerangka kerja penanganan keberatan. Secara khusus, bab ini akan menggambarkan berbagai mekanisme ADR yang umumnya ada pada sistem hukum eropa kontinental (civil law system), dan menjajaki cara agar ADR dapat melengkapi mekanisme penanganan keberatan Pemilu formal. Hal ini kemudian diikuti oleh beberapa contoh dari mekanisme aktual ADR Pemilu yang digunakan di beberapa negara. Secara singkat, ADR merujuk pada semua metode yang dapat digunakan para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan, selain penanganan formal melalui pengadilan. Hal ini dapat mencakup baik sistem hukum administrasi formal, dimana lembaga pengaturan terkait menyusun aturan dan prosedur khusus untuk menyelesaikan sengketa dan keberatan, serta proses negosiasi dan mediasi ad hoc untuk kasus tertentu (case-specific), dimana para pihak mengupayakan untuk mencapai kesepakatan sukarela untuk menyelesaikan sengketa mereka, seringkali dengan bantuan dari pihak ketiga yang tidak memihak. Menggunakan ADR untuk menyelesaikan keberatan Pemilu merupakan sesuatu hal yang baru di seluruh dunia. Hal ini umumnya disebabkan karena mekanisme ADR biasanya dipandang sebagai sebuah metode bagi pihak yang berpotensi mengajukan gugatan untuk mencapai sebuah penyelesaian yang dapat diterima bersama (atau “mendekati benar”), daripada hasil kaku “ya-atau-tidak sama sekali” (all-or-nothing) dari pengadilan. Pemilu, di lain pihak seharusnya secara pasti mempunyai pemenang dan pihak yang kalah sebagai sumber kepercayaan publik kepada legitimasi pemerintah yang dihasilkannya. Tujuan-tujuan ini bisa jadi sulit untuk ditemukan, namun seperti yang akan ditunjukkan pada bab ini, terdapat berbagai kondisi dimana menerapkan ADR ke sistem keberatan Pemilu dapat menjadi layak dan efektif. Tugas kunci bagi para praktisi adalah untuk memastikan bahwa sistem ADR mendukung realisasi tujuh standar internasional bagi penanganan keberatan yang diusulkan di dalam bab pertama buku pedoman ini.
261
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Berbagai faktor kontekstual akan menjadi kunci untuk menentukan apakah mekanisme ADR layak untuk negara dan situasi tertentu. Berbagai analisis dan studi kasus dalam bab ini akan memungkinkan pemberi bantuan teknis untuk mengevaluasi kelayakan sistem tersebut untuk negara dimana mereka bekerja, dan untuk menentukan apa yang seharusnya dicakup di dalam rancangan sebuah sistem yang efektif.
A. Gambaran Umum Bidang penanganan keberatan Pemilu bukanlah sesuatu hal yang baru. Penghitungan ulang suara dan gugatan maupun penanganan terkait partisipasi dan hak pilih, memiliki sejarah yang panjang dalam perkembangan lembaga-lembaga demokratis.413 Walaupun perkembangan hak pilih universal dan hak untuk berpartisipasi dalam proses Pemilu dijamin oleh berbagai konvensi internasional,414 penegakan hak-hak ini menjadi tanggung jawab masing-masing negara,415 yang dapat, dimana layak dan sesuai dengan norma-norma nasional dan internasional, melaksanakan saluran alternatif atas penyelesaian yudisial. Penerapan proses–proses tersebut oleh negara untuk menyelesaikan sengketa adalah bervariasi seperti halnya sistem hukum dan politik di masing-masing negara tersebut. Terlepas dari beragamnya pendekatan, terdapat beberapa sifat yang umum ditemukan. Utamanya, sebagian besar sistem penanganan keberatan, menggunakan definisi yang longgar tentang konsep “negara hukum” (“the rule of law”), yang berupaya untuk memberikan “aturan yang dapat diprediksi, yang diturunkan dari prinsipprinsip yang sudah mapan untuk menentukan hasil Pemilu.”416 Standar-
413 Lihat, contohnya, International Election Principles: Democracy and the Rule of Law (John Hardin Young, ed. 2009) [Setelah ini disebut IEP]. 414 Lihat umumnya Universal Declaration of Human Rights, G.A. Res 217 (III) A, pasal 21, U.N. Doc.A/RES/217(III)(10 Des, 1948) [setelah ini disebut UDHR], dapat dilihat di http:// www/un.org/en/documents/undhr/; International Covenant on Civil and Political Rights, G.A. Res. 2200 (XXI) A, pasal 25, U.N. GAOR, 21st Sess, Supp. No. 16, U.N. Doc. A/6316, di 52 (16 Des, 1966), 999, U.N.T.S. 171 (diberlakukan 23 Mar, 1996) [setelah ini disebut ICCPR], dapat dilihat di http://www2.ohcr.org/english/law/ccpr.htm. 415 ICCPR, supra note 2, pasal 2 (2) & (3); Vienna Convention on the Law of Treaties pasal 26, diberlakukan 27 Jan, 1980, 1155 U.N.T.S 331 (“Setiap traktat yang berlaku mengikat para pihak dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik”); lihat Benjamin E. Griffith & Michael S. Carr, Effective, Timely, Appropriate, and Enforceable Remedies, dalam IEP, supra note 1, 374-381. Lihat juga UN Human Rights Committee, General Comment No. 31, The Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant CCPR/C/21/Rev.1/Add. 13 (26 Mei, 2004). 416 John Hardin Young, Recounts, dalam IEP, supra note 1, 285 & nn 6-9.
262
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
standar yang lain digunakan untuk penanganan keberatan termasuk: penyusunan aturan sebelum pelaksanaan Pemilu dan prediktabilitas permohonan mereka; transparansi dan keterbukaan dari proses tersebut; penyelesaian keberatan oleh seorang arbiter yang tidak memihak dengan tepat waktu; dan pembentukan tindakan-tindakan perbaikan yang dapat ditegakkan sebagai hasil dari proses tersebut.417 Standar-standar ini, dan lainnya, telah dirangkum dengan sangat rinci dalam Bab 1: StandarStandar Internasional. Penanganan keberatan formal terkait erat dengan prinsip negara hukum. Hal ini paling sesuai di negara-negara dengan tingkat pendidikan formal dan literasi yang relatif tinggi, dan dimana terdapat tradisi yang relatif panjang tentang pemisahan kekuasaan antara yudikatif, legislatif dan eksekutif. Efektivitas sistem ini mengandalkan kepada persepsi publik kepada lembaga peradilan sebagai instrumen peraturan dalam urusan perdata dan pidana yang dapat diakses oleh seluruh warga negara tanpa rasa takut. Secara historis, penanganan keberatan akan paling berhasil di negaranegara dengan “demokrasi yang lengkap” (“complete democracies”), seperti di Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru, di negara-negara demokrasi yang stabil, seperti Brazil, India, Meksiko dan sebagian Eropa Timur, dan beberapa negara Afrika tertentu temasuk Afrika Selatan, Mauritius dan Botswana. Situasinya berbeda ketika berbicara tentang negara-negara pascakonflik, negara demokrasi yang rapuh atau “baru” dan negara-negara “non-demokratis” dimana pengadilan manapun membangkitkan pikiran ketakutan pada warga negara biasa atau ingatan tentang hukuman penjara yang tidak adil, penyiksaan, penyuapan dan korupsi. Warisan dari beberapa dasawarsa tirani, kediktatoran, ketiadaan prinsip negara hukum, pelanggaran hak asasi manusia, dan perang dapat menyebabkan ketidakpercayaan warga negara yang sangat mendasar terhadap sistem hukum. Dalam situasi ini, badan peradilan adalah lemah dan dipandang 417 UDHR, supra note 2, pasal 10 (hak untuk suatu sidang yang “adil dan terbuka”); ICCPR, supra note 2, pasal 2.3 (akses terhadap pengadilan yang tidak berpihak). UDHR, supra note 2, pasal 8. ICCPR dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) mempersyaratkan hal tersebut dalam rangka menjamin “Pemilu yang murni.” Proses penghitungan ulang harus mencakup transparansi dan penyelesaian yang tepat waktu oleh arbiter yang tidak berpihak yang memberikan tindakan perbaikan yang efektif dan dapat ditegakkan.
263
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
sebagai tidak independen. Lebih lanjut, potensi tingginya biaya proses hukum (legal action) seringkali membuatnya tidak terjangkau bagi sebagian besar warga negara. Tidak hanya dipandang represif, badan peradilan juga sering mengalami kekurangan berbagai struktur, keterampilan dan cara yang diperlukan untuk mengelola perailan di seluruh negeri untuk merespon kebutuhan dan permintaan warga negara. Mengingat potensi kekerasan terkait Pemilu dan tantangan lainnya yang menghadang negara-negara yang lahir dari konflik atau dalam transisi, berbagai mekanisme alternatif untuk menyelesaikan konflik Pemilu perlu dipertimbangkan. Berbagai mekanisme ADR dapat menciptakan peluang bagi para pemangku kepentingan untuk terlibat di dalam proses Pemilu ketika mereka akan terpinggirkan oleh model penanganan keberatan tradisional. Walaupun penanganan keberatan merupakan hal yang vital untuk mendorong negara hukum, hal itu mungkin lebih krusial bagi negaranegara pasca-konflik dan rapuh untuk memfokuskan pada penyelesaian sengketa Pemilu secara cepat dan adil agar dapat menjinakkan situasi yang berpeluang menjadi berbahaya. Komite Hak Asasi Manusia PBB menegaskan bahwa prinsip-prinsip nondiskriminasi dan kesetaraan mempersyaratkan akses yang setara terhadap pengadilan.418 Sebagaimana telah disorot di bawah ini dalam dokumen seperti Komentar Umum (General Comment) No. 32, Komite Hak Asasi Manusia menafsirkan hak ini bahwa setiap orang berhak atas akses terhadap tribunal yang kompeten, tidak memihak dan mandiri di dalam proses tersebut.419 Namun, pernyataan ini tidak berarti bahwa metode ADR tidak mendorong penyelesaian sengketa yang adil dan efisien. Walaupun banyak proses ADR, atau bahkan berbagai keputusan badan penyelenggara Pemilu, yang mungkin tidak memenuhi kriteria Komentar Umum No. 32, atau persyaratan sebuah “tribunal yang kompeten, independen dan tidak memihak” di dalam pasal 14 ICCPR, sebagian besar proses ADR dimaksudkan untuk menghindari konflik melalui cara-cara yang disetujui oleh para pihak. Dalam hal yang melibatkan hak-hak dasar (fundamental rights), proses ADR mungkin membantu menghindari konflik aktual, selama para pihak yang dikecewakan yang tidak mencapai kesepakatan 418 General Comment No. 32 ¶¶ 8 & 9; ICCPR, supra note 2, pasal. 14. 419 General Comment No. 32 ¶ 18.
264
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
memiliki sebuah hak untuk mengupayakan penyelesaian cara yudisial untuk memperjuangkan isu-isu hak dasar.
Komentar Umum No. 32 Komite Hak Asasi Manusia PBB Hak kesetaraan di muka pengadilan dan tribunal dan (hak atas) peradilan yang adil merupakan elemen kunci perlindungan hak asasi manusia dan berfungsi sebagai cara prosedural untuk mengamankan prinsip negara hukum. Pasal 14 Kovenan bertujuan untuk memastikan administrasi keadilan yang semestinya, dan pada tahap ini menjamin serangkaian hak-hak khusus…
B. Mekanisme ADR sebagai Pelengkap Mekanisme Penanganan Pemgaduan Formal Sementara sistem yudisial atau administratif nasional formal dapat dan seharusnya tetap menjadi saluran utama untuk menyelesaikan berbagai keberatan dan sengketa Pemilu, pendekatan-pendekatan ADR dapat memainkan peranan pelengkap kunci dalam meningkatkan legitimasi proses Pemilu. Sebagai contoh, bagaimana jika dalam sebuah konteks transisional, legitimasi lembaga negara masih diragukan, atau lembaga tersebut lemah dan tidak efektif? Bagaimana jika sistem peradilan nasional dipandang bias atau korup, khususnya yang menguntungkan salah satu dari partai politik yang bersaing? Bagaimana jika mayoritas sengketa terjadi di tingkat lokal, sementara akses ke pengadilan dipusatkan di ibu kota negara atau provinsi? Bagaimana jika pengadilan membutuhkan waktu bermingguminggu, berbulan-bulan atau lebih lama untuk memutus perkara, dimana Pemilu mungkin memerlukan kerangka waktu yang lebih cepat? Bagaimana jika tindakan perbaikan yang benar-benar diperlukan pada sebuah kasus tertentu ternyata berada diluar kewenangan pengadilan untuk memberikannya, karena hal tersebut membutuhkan komitmen timbal balik dari kedua belah pihak? Bagaimana jika sebuah sistem Pemilu mengupayakan cara untuk mencegah, ketimbang hanya menyelesaikan keberatan Pemilu - sebelum keberatan itu muncul?
265
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Di dalam setiap situasi ini, sistem yudisial atau administratif formal dapat ditantang untuk memberikan seluruh fungsi penyelesaian sengketa yang dipersyaratkan oleh standar-standar yang diidentifikasi di atas. Pendekatanpendekatan ADR secara khusus dapat dirancang untuk konteks Pemilu seperti itu untuk membantu menutupi celah dan meningkatkan kredibilitas Pemilu (persyaratan untuk pendekatan ADR seperti itu akan dirangkum di bawah.) Walaupun ini mungkin benar di dalam konteks hukum yang lebih matang, hal ini menjadi relevan dalam demokrasi yang sedang berkembang, dimana komitmen penuh pemangku kepentingan terhadap prinsip negara hukum melalui lembaga-lembaga negara masih dalam tahap perkembangan.
C. Kapan dan Dimana ADR Layak Dipakai? Sebagaimana akan disorot dalam diskusi di bawah ini, terdapat beberapa pertanyaan ambang batas yang bisa menunjukkan apakah dan bagaimana ADR dapat berguna dan layak dalam konteks Pemilu tertentu. Namun, lebih penting lagi, kami mencatat bahwa seringkali kurang pertanyaan tentang apakah ADR layak, dan lebih banyak pertanyaan tentang rancangan. Setiap sistem ADR berfungsi di dalam konteks Pemilu nasional dengan elemen-elemen khusus yang mereka rancang sendiri, termasuk cakupan mekanisme ADR, siapa yang memiliki hak/kedudukan untuk mengajukan gugatan, transparansi putusan yang diambil atau dibuat, dan lebih penting lagi, apakah hak untuk banding ke ranah formal yudisial tersedia. ADR dapat digunakan untuk hampir semua konteks apapun, untuk mengatasi hampir seluruh pertanyaan, jika ADR dirancang sebagaimana mestinya. Pada saat yang sama, membuat rancangan yang keliru dapat membuat ADR menjadi tidak layak sama sekali. Beberapa pertanyaan ambang batas yang penting untuk dipertimbangkan ketika menentukan kelayakan sebuah mekanisme ADR termasuk:
• Apakah
hak-hak
dasar,
yang
dijamin
oleh
hukum
internasional, dilaksanakan? Jika demikian, ADR mungkin tidak layak, kecuali jika pendekatan ADR bersifat sukarela dimana para pihak memegang penuh kendali terhadap hasil dan tersedia upaya hukum banding yudisial.
266
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
• Apakah preseden hukum yang mengikat lebih diinginkan? Apakah hal yang dipersengketakan memunculkan isu-isu, yang dari sisi kebijakan publik, memerlukan pernyataan penafsiran hukum yang jelas dan tegas? Jika demikian, ADR mungkin menjadi tidak cocok.
• Dapatkah sistem pengadilan menyediakan keputusan yang tepat waktu dan dapat dipercaya mengenai pertanyaanpertanyaan yang muncul selama proses Pemilu? Apakah pengadilan dipandang oleh masyarakat luas sebagai aktor yang dapat dipercaya? Dapatkah proses pengadilan memproduksi hasil yang efisien dan semestinya? Apakah pengadilan dapat diakses oleh mayoritas pemangku kepentingan Pemilu? Jika tidak, maka ADR mungkin dapat membantu meningkatkan kredibilitas proses Pemilu.
• Dapatkah para pihak dipengaruhi oleh hasil Pemilu secara efektif diwakili dalam proses ADR? Jika pengadilan memiliki kewajiban untuk melihat dampak publik yang lebih luas dalam setiap putusannya, pendekatan ADR mungkin tidak. Jika penyelesaian sebuah sengketa khusus mungkin memiliki dampak terhadap masyarakat luas, namun tidak semua pihak yang terdampak dapat diwakili secara efektif, maka mungkin lebih layak untuk membiarkan pengadilan yang menangani gugatan tersebut.
• Apakah penegakan atau pelaksanaan keputusan diragukan dalam konteks ini? Jika pelaksanaan atau penegakan keputusan diragukan, mekanisme ADR (yang dirancang dengan benar) dapat membantu mendorong penegakan yang lebih mandiri oleh para pihak, melalui komitmen yang bersifat suka rela.
• Apakah ada tradisi atau lembaga perundingan dan mediasi di luar lembaga hukum yang sudah ada? Di negara yang tidak memiliki sejarah ADR yang berarti, pelaksanaan sebuah sistem seperti itu di dalam situasi yang sekontroversial seperti Pemilu, dapat menyebabkan terlalu banyak penolakan untuk menjadikannya efektif.420
• Apakah lingkungan sosial dan politik saat itu secara keseluruhan tegang atau tenang? Sebuah negara yang
420 Contoh lembaga-lembaga yang sudah ada termasuk Grande Mediature di Perancis dan Office of the Ombudsman di banyak negara-negara Afrika.
267
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
sedang dalam konflik mungkin memiliki kesulitan melaksanakan berbagai perubahan yang radikal seperti sebuah sistem baru ADR, sementara sebuah negara yang damai mungkin tidak memerlukan mekanisme ADR sama sekali.
• Apakah ada pihak negara atau non-negara terpercaya yang dapat menjalankan ADR? Mengingat ketidakpercayaan terhadap badan peradilan yang mewabah di banyak negara pasca-konflik, kurangnya orang-orang yang dihormati untuk menjadi pelaksana badan ADR terbukti sama berbahayanya dengan mencoba mendapatkan kepercayaan publik pada pengadilan.
Proses penentuan kesesuaian ADR Pemilu di dalam konteks tertentu bukanlah merupakan suatu ilmu pasti, dan keputusan untuk melaksanakan sistem seperti itu harus memperhitungkan realitas kultural dan politik di sebuah negara hingga ke tingkat dimana hal tersebut tidak dipersyaratkan oleh sistem penanganan keberatan tradisional. Dengan mengasumsikan ADR dipandang sesuai, maka kemudian perlu untuk menentukan metode ADR apa yang paling sesuai dengan kebutuhan Pemilu suatu negara.
Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam Konteks Pemilu A. Berbagai Pendekatan untuk Penyelesaian Sengketa Alternatif ADR merujuk pada serangkaian pendekatan – mulai dari perundingan, ke mediasi, ke mekanisme pencarian fakta, ke forum pengambilan keputusan semi-privat seperti arbitrase yang mengikat – yang dimaksudkan untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan. Mekanisme ADR melengkapi dan meningkatkan proses formal yudisial suatu negara, melalui pemberian sebuah saluran alternatif bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketasengketa mereka. Seperti yang telah dibahas di awal bab ini, ADR merujuk pada semua mekanisme
ekstra-yudisial
yang
digunakan
untuk
menyelesaikan
berbagai sengketa dan keberatan. Oleh karena itu menjadi penting untuk membedakan berbagai rangkaian pendekatan ADR yang digunakan di
268
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
berbagai negara. Dalam artian yang lebih luas, program-program ADR dapat dibedakan berdasarkan gugatan seperti apa yang akan diajukan dan diselesaikan, serta siapa yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan dalam memutus gugatan-gugatan tersebut. Contoh salah satu jenis pendekatan ADR memfokuskan kepada penentuan hak-hak, seperti halnya sistem pengadilan formal:
• Dalam proses arbitrase formal, para pihak setuju kepada otoritas yang mengikat dari pihak ketiga netral, yang akan memainkan peranan pencari fakta dan ajudikator, yang pada hakikatnya seperti hakim yang dipilih-secara privat. Seperti halnya proses pengadilan, pertanyaan yang utama sebelum memutuskan adalah pihak mana, yang menurut hak atau hukum, berhak atas terpenuhinya suatu kondisi tertentu. Dalam kasus seperti itu, para pihak seringkali mengabaikan hak mereka untuk memperoleh penanganan melalui pengadilan, walaupun banding melalui pengadilan tetap dipertahankan.421 Manfaat utama jenis pendekatan seperti ini adalah efisiensi: para pihak dapat menerapkan aturan pembuktian dan keputusan serupa dengan proses pengadilan, tetapi menghindari penundaan yang seringkali ada pada pengambilan keputusan yudisial.
• Dalam
arbitrase
yang
tidak
mengikat,
para
pihak
tidak
dipersyaratkan untuk mengikuti putusan yang dihasilkan. Maksud dari arbitrase yang tidak mengikat adalah untuk membantu para pihak untuk lebih mengetahui mengenai keputusan tentang apakah atau bagaimana mereka akan melanjutkan gugatan mereka – baik melalui diskusi penyelesaian ataupun melanjutkan melalui jalur pengadilan– melalui pemahaman bagaimana kemungkinan hasil akhir dari perkara mereka. Para pihak masih bebas untuk mengupayakan gugatan mereka, tetapi mereka melakukan hal tersebut dengan pengetahuan tambahan tentang bagaimana pihak ketiga mungkin akan memutuskan gugatan mereka. 421 ICCPR, supra note 2, pasal 14, § 5; General Comment No. 32, ¶¶ 47-50, Semua konvensi hak asasi manusia internasional mengakui, secara tersirat atau tersurat, nilai dasar sebuah mekanisme banding. Pasal 14 § 5 ICCPR memberikan hak tersebut dalam kasus pidana dan Komite Hak Asasi Manusia menggarisbawahi bahwa jaminan untuk sebuah banding tidak hanya terbatas hanya untuk pelanggaran yang sangat serius.
269
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Rangkaian kedua pendekatan ADR yang memfokuskan pada proses pencarian fakta:
• Dalam pencarian fakta, para pihak yang bersengketa dapat menunjuk pihak ketiga yang tidak berpihak – terkadang seorang ahli - hanya untuk menentukan tentang berbagai pertanyaan faktual yang menyangkut sebuah kasus, tanpa meminta pihak ketiga untuk memberikan pendapat siapa yang benar, bagaimana sengketa seharusnya diselesaikan, atau kemungkinan hasilnya. Menyelesaikan berbagai pertanyaan mengenai fakta dapat membantu mempercepat proses persidangan, dengan mengurangi kasus menjadi hanya suatu proses untuk menentukan hak hukum atau tindakan perbaikan, dan dengan membantu para pihak untuk memahami kekuatan dan kelemahan relatif perkara mereka.
Rangkaian ketiga mekanisme ADR memfokuskan pada pendekatan berbasis-kepentingan, dimana proses berjalan untuk mencapai kebutuhan yang melandasi setiap pihak, tanpa memandang hak yang berasal dari hakhak khusus atau sebagai suatu masalah hukum. Tujuan proses seperti itu adalah mengupayakan hasil yang lebih baik bagi seluruh pihak daripada alternatif yang mereka rasakan:
• Dalam negosiasi berbasis-kepentingan, para pihak mengupayakan untuk mencapai kesepakatan sukarela melalui komitmen timbal balik, dengan memfokuskan pada apa yang paling menjadi perhatian masing-masing pihak. Pendekatan ini sering berujung pada komitmen yang lebih besar untuk dilaksanakan karena para pihak telah melaksanakan komitmen secara sukarela dan, sebagai gantinya, kebutuhan mereka terpenuhi. Pendekatan ini memungkin para pihak untuk memperluas cakupan isu-isu, dan memungkinkan mereka untuk menangani isu-isu yang penting yang mungkin menjadi akar sengketa atau keberatan, bahkan jika isu-isu tersebut tidak menimbulkan gugatan hukum yang kredibel.
• Dalam mediasi, pihak ketiga yang tidak berpihak membantu pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian yang bersifat sukarela; namun, tidak seperti arbitrase, pihak yang bersengketa memegang kendali penuh pengambilan keputusan,
270
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
dan setiap keputusan yang dicapai hanya dengan persetujuan para pihak. Mediator menggunakan keterampilan fasilitasi dan penyelesaian masalah (problem solving) untuk membantu pihak yang bersengketa memahami lebih baik berbagai kepentingan kunci dari masing-masing pihak dan melakukan penyelesaian masalah secara bersama. Dalam contoh yang lain, mediator bertindak sebagai kekuatan yang positif untuk menyelesaikan dan mendorong para pihak untuk mempersempit berbagai perbedaan mereka dan mencapai kesepakatan. Beberapa negosiasi dapat juga termasuk pihak ketiga yang tidak memihak yang dinamakan “penengah” (“neutral”) yang memfasilitasi komunikasi dan menjaga negosiator untuk tetap fokus tanpa melakukan tindakan aktif sebagaimana seorang mediator penuh.
• Dalam pencapaian konsensus, beberapa pihak bekerja sama untuk mencapai keputusan bersama atau untuk melakukan tindakan
bersama
mengenai
serangkaian
isu
yang
telah
ditentukan. Seringkali, terdapat lebih banyak pihak yang terlibat, lebih banyak isu, dan lebih tinggi derajat kerumitan isu tersebut. Dalam negosiasi peraturan, contohnya, sebagai contoh, badan administratif sering melaksanakan proses pencapaian konsensus sebagai cara untuk membawa seluruh pemangku kepentingan bersama di dalam proses menyusun peraturan administratif. Melalui sebuah pendekatan yang terstruktur, proses tersebut mengupayakan peraturan berbasiskan konsensus yang memiliki tingkat kepercayaan yang lebih besar dari seluruh pemangku kepentingan yang relevan dan oleh karena itu, dapat menekan jumlah gugatan peradilan.
• Dalam konsiliasi (atau jasa baik (good offices)), pihak ketiga yang netral dengan derajat kekuasaan tertentu diatas para pihak digunakan untuk membantu sebagai perantara dialog antara para pihak yang bersengketa.
Diagram berikut ini menyajikan cara lain untuk memvisualisasikan bagaimana ADR terkait dengan metode penanganan sengketa tradisional. Berbagai metode ADR disusun dalam sebuah kerangka yang berkelanjutan (continuum) terkait waktu dan sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan sengketa, dengan metode yang semakin kompleks ketika
271
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
diagram tersebut bergerak dari kiri ke kanan. seiring dengan bertambahnya investasi waktu dan sumber daya, kekuasaan para pihak di dalam proses menurun, dimulai dari para pihak mencapai keputusan mereka sendiri hingga mendapatkan keputusan yang diputus oleh otoritas di luar mereka.
Diskusi Informal Fasilitasi
Pencarian Fakta
Negosiasi Mediasi
Tindakan Para Pihak
Arbitrase Tidak Mengikat Pengadilan Kecil
ADR Membantu Para Pihak
Arbitrase Mengikat
Gugatan Pengadilan Penanganan Ajudikasi Administrasi
Putusan NonPihak
Pengorbanan waktu dan sumber daya yang semakin besar
B. Pelembagaan Sistem Manajemen Sengketa Terlepas dari kegunaan pendekatan ADR, dan apakah itu berbasis hak, pencarian fakta atau berbasis-kepentingan, sebuah sistem sengketa dapat dirancang untuk mengidentifikasi, mencegah dan menangani potensi sengketa. Dalam konteks Pemilu, hal ini berarti suatu program manajemen sengketa, rapat dibawah koordinasi LSM atau lembaga penyelenggara Pemilu, yang menyatukan seluruh pemangku kepentingan kunci di dalam sebuah forum berkala untuk memfasilitasi komunikasi dan penyelesaian masalah. Atau alternatifnya, berarti kode perilaku (code of conduct) di antara para kandidat atau partai politik, dengan struktur yang ada untuk memfasilitasi komunikasi dan penyelesaian sengketa yang mungkin muncul dalam pelaksanaan berbagai aturan dan peraturan perundangundangan Pemilu.
C. Cakupan yang Pantas untuk ADR dalam Konteks Pemilu Dalam arena Pemilu global, sedikit sekali tersedia pengalaman dari berbagai lembaga Pemilu nasional yang memasukkan pendekatan ADR secara formal. Namun, pendekatan tersebut semakin terintegrasi dengan kerangka Pemilu nasional. Khususnya, hal ini terjadi dalam konteks transisional, dimana legitimasi lembaga-lembaga nasional dipertanyakan,
272
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
atau akses terhadap lembaga-lembaga tersebut di seluruh negeri masih sulit. Karena pendekatan tersebut menjadi semakin umum, menjadi semakin penting untuk mengidentifikasi beberapa batasan cakupan yang pantas bagi ADR dalam konteks Pemilu. Sebagai contoh, ADR mungkin tidak layak digunakan dimana hak dasar yang dinyatakan di dalam hukum internasional dan negara, dipertanyakan. Hal ini termasuk:
• Hak untuk bergabung dalam partai politik;422
• Hak untuk berkumpul secara damai,423 dan hak bergerak bebas untuk berkampanye;424
• Hak untuk bebas dari paksaan atau ancaman kekerasan selama proses politik;425
• Hak untuk kebebasan berekspresi;426
• Hak universal untuk memilih dan dipilih pada Pemilu berkala yang sebenarnya; dan427
• Hak untuk memiliki akses terhadap pelayanan publik.428
Banyak dari hak tersebut harus dijamin oleh intervensi yudisial. Oleh karena itu merupakan hal yang tidak semestinya untuk mempersyaratkan isu-isu yang menyangkut hak-hak ini diselesaikan melalui ADR, jika banding yudisial tidak dijamin sebagai bagian dari pendekatan ADR. Namun, sementara hak-hak ini sendiri tidak dapat dinegosiasikan, pelaksanaan hak-hak ini memang harus dinegosiasikan oleh para pihak terkait Pemilu, yang mungkin menjadi subyek yang sesuai untuk mekanisme ADR. Sebagai contoh, partai politik melalui sebuah pedoman perilaku yang dinegosiasikan dapat menyetujui pembatasan suka rela atas hak mereka untuk berkumpul atau berkampanye. Contohnya, pada satu waktu, partai-partai di Republik Demokratik Kongo secara aktif mencegah 422 423 424 425 426 427 428
UDHR, supra note 2, pasal 20: ICCPR, supra note 2, pasal 21. UDHR, supra note 2, pasal 20: ICCPR, supra note 2, pasal 22. UDHR, supra note 2, pasal 13: ICCPR, supra note 2, pasal 12. UDHR, supra note 2, pasal 3, 7 & 21(1): ICCPR, supra note 2, pasal 9,17,25. UDHR, supra note 2, pasal 19 & 21: ICCPR, supra note 2, pasal 19 & 25. UDHR, supra note 2, pasal 25(2). UDHR, supra note 2, pasal 25(3).
273
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
para warga negaranya untuk menghadiri rapat pihak oposisi mereka. Mediator membantu mengatur sebuah kesepakatan di antara para partai untuk memperbolehkan orang untuk menghadiri pawai pilihan mereka dan untuk menjamin rute yang aman bagi para pendukung pihak oposisi. Sama halnya, di Afrika Selatan pada tahun 1999, para mediator mampu membuat kelompok oposisi untuk menyetujui bahwa para pendukung mereka tidak akan melakukan intervensi terhadap upaya kampanye pihak lain. Di negaranegara yang kurang memiliki lembaga-lembaga demokratis yang sehat (seperti Swaziland, dimana partai-partai politik tidak diakui dan tidak dapat dibentuk), maka tidak ada tempat bagi ADR atau bentuk penyelesaian sengketa ekstra yudisial lainnya, tetapi jika ada gerakan menuju masyarakat yang demokratis, maka ADR mungkin menjadi sebuah mekanisme yang efektif untuk menghindari konflik, pertikaian dan intimidasi. ADR bisa menjadi layak bagi banyak aspek proses Pemilu sepanjang terdapat kemungkinan terjadinya suatu sengketa, area yang hukumnya belum mapan atau yang meninggalkan persoalan pada diskresin Badan Penyelenggara Pemilu atau kebijakan pemerintahan, dan dibutuhkannya sebuah keputusan cepat yang dapat disetujui oleh para pihak. Potensi penggunaan ADR termasuk dalam situasi/isu berikut ini:
• Pengakuan hak partai politik dan kandidat untuk maju dalam Pemilu dimana terdapat kebutuhan bagi para pihak yang berkepentingan untuk bersepakat dan hukumnya belum benar-benar mapan;
• Penyelesaian oleh kelompok kepentingan mengenai hambatan terhadap
daftar
pemilih
termasuk
proses
pendaftaran,
pemeliharaan daftar pemilih, verifikasi pemilih, pemberhentian dan pemulihan dalam waktu yang tepat tanpa beban administratif dan yudisial yang tidak perlu;
• Pententuan penggunaan surat suara yang tidak dipilih tanpa kehadiran pemilih (absentee ballot), jika surat tersebut akan digunakan, demikian juga prosedur penerbitan (issuance) dan penghitungan suara;
• Pengaturan tentang pemungutan suara dini (early voting) dan prosedur pemungutan suara jarak jauh (remote voting);
• Kesepakatan
tentang
aturan-aturan
tertentu
mengenai
pelaksanaan Pemilu itu sendiri, termasuk penyelesaian sengketa
274
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
tentang bagaimana pejabat Badan Penyelenggara Pemilu dilatih dan diseleksi, serta bagaimana petugas pemungutan suara diseleksi dan ditugaskan;
• Penyelesaian isu-isu individual di tingkat pemungutan suara, khususnya terkait kualifikasi pemilih untuk memberikan suara di TPS tertentu (penyelesaian masalah tempat pemungutan suara ini seharusnya dapat diajukan upaya hukum ke pengadilan);
• Pertanyaan tentang surat suara, desain surat suara, perlengkapan, pemeriksaan pra-pemungutan suara, pengamatan proses tersebut sehingga pelaksanaannya transparan, pengumpulan surat suara, sistem pemungutan terkomputerisasi dan mekanis lainnya, audit surat suara, keamanan fisik, dan tersedianya tindakan perbaikan pada hari pemungutan suara; dan
• Penyelesaian berbagai prosedur untuk penghitungan ulang, standar apa yang akan digunakan untuk menentukan dimungkinkannya penghitungan ulang, serta berbagai metode yang digunakan untuk menjamin bahwa suara tersebut merupakan perwakilan dari suara yang diberikan pada Hari Pemilu dan tidak dimanipulasi oleh pejabat pemerintah, entitas politik atau kandidat.
Menyusun Prosedur ADR dalam Proses Pemilu: Perangkat untuk Pelaksanaan A. Tujuan yang Semestinya untuk ADR Sebuah pertanyaan yang bersifat ambang batas (threshold) dalam merancang sistem ADR apapun adalah – apakah ini berada di ranah penanganan keberatan ajudikasi pengaduan Pemilu, atau berada dibawah sektor lainnya – untuk menentukan apa maksud dan tujuan (-tujuan) yang ingin dilayani oleh proses ADR. Atau dengan kata lain, apa masalah atau kekurangan dalam proses penyelesaian sengketa yang saat ini ada yang akan disempurnakan oleh sistem ADR? Dalam penanganan keberatan, ajudikasi pengaduan Pemilu, jalur tradisional untuk penyelesaian sebuah sengketa seringkali melibatkan sistem penanganan ajudikasi hukum formal negara tersebut, umumnya pengadilan. Proses ADR dapat digunakan untuk mencapai sejumlah tujuan
275
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang berbeda, yang mungkin tidak ditangani dengan baik oleh sistem pengadilan, karena sejumlah alasan. Sebagai contoh:
• Penyelesaian yang lebih tepat waktu: Proses ADR dapat meningkatkan penyelesaian potensi keberatan pengaduan Pemilu secara lebih tepat waktu, segera setelah keberatan pengaduan atau isu muncul, karena sistem pengadilan dianggap lambat atau rumit.
• Akses lokal yang lebih besar: Mekanisme ADR dapat dirancang untuk maksud memberikan akses lokal yang lebih besar atau untuk keberatan pengaduan yang muncul di lapangan dan di tempat pemungutan suara, dimana para pihak yang relevan ada untuk melakukan pemeriksaan dan penyelesaian.
• Dialog dan komitmen timbal balik: ADR dapat juga digunakan untuk memberikan penyelesaian yang lebih sesuai dan lebih berpeluang untuk berlanjut, serta memberikan kesempatan untuk dialog yang membangun dan/atau komitmen timbal balik di antara para pemangku kepentingan yang terpengaruh, dimana berbagai komitmen tersebut diinginkan atau diperlukan untuk penyelesaian yang berkelanjutan. Hal ini mungkin terjadi pada kasus dimana isu yang dipersengketakan adalah pelaksanaan kampanye dua partai politik yang bersaing.
• Legitimasi yang lebih Baik: Di dalam banyak konteks transisional, proses ADR dapat digunakan sebagai langkah membangun kepercayaan diri untuk meningkatkan kredibilitas proses Pemilu. Hal ini bisa terjadi dalam konteks dimana pihak yang bersaing menggugat legitimasi atau anggapan ketidakberpihakan lembagalembaga negara formal tersebut. Dalam kasus tersebut, proses ADR dapat dirancang untuk memungkinkan pihak ketiga netral yang dipandang oleh seluruh pemangku kepentingan dianggap sebagai sah dan dapat dipercaya.
Masing-masing hal tersebut, dan mungkin yang lainnya, merupakan potensi tujuan yang sah dari sebuah sistem ADR dalam penanganan keberatan, ajudikasi pengaduan Pemilu. Namun, agar dapat efektif dan layak, rancangan sistem ADR harus didorong oleh suatu tujuan khusus yang ditentukan oleh kebutuhan pemangku kepentingan dan konteks
276
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
nasional. Terlebih lagi, para pemangku kepentingan yang relevan harus menyatakan secara jelas dan menyepakati tujuan-tujuan ini, dalam rangka menjamin bahwa seluruh pemangku kepentingan akan mengetahui bahwa proses ADR sah dan dapat dipercaya. Langkah pertama adalah untuk menentukan apa tujuan yang akan dilayani oleh sistem ADR dan memastikan bahwa tujuan-tujuan tersebutlah yang mengarahkan rancangan proses ADR.
B. Pembentukan Proses-proses ADR sebagai Bagian dari Penanganan Ajudikasi Pengaduan Pemilu Sama halnya dengan setiap ketentuan infrastruktur Pemilu sebuah negara, proses ADR juga perlu untuk diundangkan oleh badan pembuat Undangundang formal (seringkali melalui sebuah Undang-undang Parlemen atau Kongres, atau terkadang oleh keputusan eksekutif). Namun, hal ini mungkin problematik dalam konteks transisional, dimana kredibilitas, ketidakberpihakan atau legitimasi dari berbagai lembaga pembuat Undang-undang tersebut sendiri dapat digugat. Dalam konteks seperti itu, proses ADR tidak hanya perlu bagi penanganan keberatan, ajudikasi pengaduan, tetapi juga diperlukan untuk pembentukan peraturan Pemilu itu sendiri. Contohnya, peraturan mungkin perlu disusun dan disahkan oleh sebuah forum yang dipandang kredibel dan mewakili oleh seluruh pemangku kepentingan yang bersaing, bahkan jika forum tersebut bersifat tidak tetap (ad hoc atau interim). Penyelesaian yang diusulkan oleh forum seperti itu masih akan perlu diadopsi secara formal oleh badan pembuat Undang-undang negara, tetapi pertama-tama perlu konsensus dari seluruh pemangku kepentingan yang relevan.
C. Siapakah Para Pemangku Kepentingan? Keefektifan sistem ADR seringkali tergantung pada kredibilitas dan legitimasi yang dirasakan, khususnya jika dibandingkan dengan opsi penyelesaian sengketa tradisional (seringkali adalah, sistem pengadilan formal). Di dalam dunia ADR, para pemangku kepentingan seringkali ditentukan sebagai: (1) mereka yang memiliki kekuasaan membuat keputusan; (2) mereka yang memiliki kekuasaan untuk memblokir atau membuka blokir keputusan (secara formal atau informal); (3) mereka yang memiliki sumber daya yang diperlukan untuk pelaksanaan (apakah sumber
277
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
daya organisasional, finansial, teknis, atau politik); (4) mereka yang secara langsung dipengaruhi oleh hasil; dan (5) mereka yang paling dipercaya dan dipandang tidak memihak (lembaga ataupun individu) adalah beberapa diantara mereka yang dapat mendorong proses ADR. Lalu, siapakah para pemangku kepentingan dalam penanganan keberatan, ajudikasi pengaduan Pemilu? Paling sedikit, mereka mungkin termasuk badan-badan negara pembuat Undang-undang yang relevan, pengadilan yang menafsirkan Undang-undang tersebut (dan seringkali memainkan peranan sebagai arbiter final), serta badan penyelenggara Pemilu negara. Pemangku kepentingan juga mungkin termasuk partai-partai politik besar yang bersaing. Tergantung konteksnya, mereka mungkin juga termasuk organisasi masyarakat sipil yang relevan (seperti pemantau Pemilu domestik). Mereka juga dapat termasuk para pemilih perorangan yang dipengaruhi oleh peraturan Pemilu, yang haknya (dan kemampuan untuk menggugat hak tersebut) dapat dipengaruhi oleh revisi terhadap proses penanganan keberatan, ajudikasi pengaduan. Dan, secara potensial, mereka juga dapat termasuk berbagai organisasi internasional yang mungkin mengamati proses Pemilu dan membantu membiayai Pemilu nasional, tergantung pada pengamanan Pemilu tertentu. Bagaimana mendefinisikan para pemangku kepentingan ini akan tergantung sepenuhnya pada konteks nasional dan isu-isu yang sedang dibahas.
D. Siapa yang Mengumpulkan Para Pemangku Kepentingan? Jika proses untuk membentuk suatu sistem ADR sebagai bagian dari kerangka penanganan keberatan, ajudikasi pengaduan Pemilu dimaksudkan untuk bersifat partisipatoris, maka dialog tersebut perlu diselenggarakan oleh beberapa entitas atau organisasi. Seringkali, ini mungkin adalah suatu badan negara yang memiliki tanggung jawab atas isu-isu ini. Namun, dimana kredibilitas atau ketidakberpihakan lembaga-lembaga negara tersebut dipertanyakan, sebuah dialog multi pihak mungkin perlu diselenggarakan oleh beberapa aktor non-negara. Penyelenggara mungkin LSM lokal, perguruan tinggi, pemimpin lokal, kepala suku, pimpinan agama, mantan politisi papan atas, pegawai negeri sipil senior yang terkemuka atau pengusaha atau aktor internasional. Kriteria kunci untuk penyelenggara adalah hanya bahwa para pihak yang akan hadir memandang bahwa
278
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
penyelenggara mempunyai legitimasi untuk menyerukan sebuah dialog. Dalam beberapa kesempatan, mungkin perlu bagi pelaksanaan dialog semacam itu adanya pendamping penyelenggara, dalam rangka mencapai legitimasi yang diperlukan pada seluruh spektrum pemangku kepentingan yang terlibat. Lebih penting lagi, peran menyelenggarakan sebuah dialog ini terpisah dan berbeda dengan peran memfasilitasi dialog. Fasilitator suatu dialog harus dipandang netral oleh seluruh pihak, dengan keterampilan untuk membangun-konsensus (consensus-building) yang diperlukan untuk membantu para pemangku kepentingan mencapai suatu kesepakatan (contohnya seorang profesional, pihak netral). Penyelenggara mungkin tidak dapat dipandang sebagai netral, namun dirasakan memiliki legitimasi untuk memainkan peranan tersebut. Sebagai contoh, partai oposisi mungkin tidak dapat dipandang sebagai penyelenggara yang sah untuk suatu dialog tentang pembaruan Pemilu oleh pihak yang sedang berkuasa atau pemerintah. Namun, sebuah komisi Pemilu negara dapat dipandang sebagai penyelenggara yang kredibel untuk dialog tersebut. Pada saat yang sama, partai oposisi mungkin tidak dapat memandang lembaga negara sebagai netral atau tidak memihak. Mereka mungkin kredibel untuk menyelenggarakan dialog tersebut, tetapi tidak untuk memfasilitasi dialog tersebut. Dalam konteks yang sangat terpolitisasi, mungkin perlu bagi lembaga-lembaga internasional (seperti Perserikatan Bangsa Bangsa atau LSM internasional lainnya) untuk bertindak sebagai penyelenggara dan/atau fasilitator. Namun, bahkan legitimasi mereka untuk memainkan peran-peran tersebut dapat digugat oleh pemerintah yang berdaulat.
E. Penilaian Pemangku Kepentingan Bagian sebelumnya memunculkan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab dengan benar dalam rangka membangun konsensus seputar pembaruan peraturan Pemilu, termasuk peran yang dapat dimainkan oleh ADR dalam penanganan keberatan Pemilu. Apa yang seharusnya menjadi tujuan sebuah sistem ADR? Siapa yang perlu dikonsultasikan? Siapa yang dapat menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi suatu dialog? Apa cakupan isu yang dibahas? Apa yang mungkin menurut pemangku kepentingan dapat diterima? Bagaimana kesepakatan yang dicapai oleh kelompok informal dapat diadopsi secara formal menjadi Undang-undang?
279
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Isu-isu ini harus ditangani di muka, jika tidak, suatu proses dialog yang bahkan dengan maksud yang paling baik-pun dapat berubah menjadi hambatan yang substansial. Sebagai contoh, satu pemangku kepentingan mungkin akan menolak berpartisipasi jika pemangku kepentingan lainnya diundang. Pemangku kepentingan lainnya mungkin akan menolak untuk berpartisipasi jika suatu lembaga tertentu bertindak sebagai penyelenggara dan/atau fasilitator. Beberapa pemangku kepentingan mungkin bersedia datang, hanya untuk belakangan mengetahui bahwa satu pemangku kepentingan yang utama tidak ingin berpartisipasi. Berbagai pemangku kepentingan mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang isu-isu yang dibahas. Para pemangku kepentingan mungkin mencapai kesepakatan, namun ternyata belakangan tahu bahwa tindak-lanjut diperlukan oleh pemangku kepentingan lainnya yang tidak hadir di saat perundingan dalam rangka menetapkan kesepakatan mereka menjadi peraturan atau Undang-undang yang mengikat. Satu cara membuat isu-isu ini dapat ditangani secara efektif adalah melalui sebuah perangkat yang dikenal sebagai penilaian pemangku kepentingan atau penilaian situasi. Dalam proses ini, pihak yang netral secara rahasia mewawancarai seluruh pemangku kepentingan kunci, untuk guna berbagai perspekif terhadap isu-isu ini, baik dari sisi proses maupun substansi. Pihak netral kemudian menyiapkan sebuah laporan rangkuman untuk seluruh pemangku kepentingan, meringkas berbagai perspektif tanpa mengaitkan komentar kepada individu-individu pemangku kepentingan, sebagai basis untuk dialog. Singkatnya, kegunaan instrumen penilaian pemangku kepentingan– apakah dilaksanakan secara informal atau formal – adalah untuk menyiapkan jadual untuk dialog konstruktif, yang mungkin diperlukan guna pembentukan proses ADR untuk keberatan Pemilu.
F. Pertimbangan Rancangan untuk Penanganan Pengaduan Pemilu
ADR
dalam
Seluruh sistem ADR harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu tentang rancangan dalam pengertian bagaimana mereka akan berfungsi, yang semuanya akan memiliki hubungan langsung dengan sejauh mana “pengguna” potensial dari sistem akan menggunakannya sebagai suatu alternatif yang efektif terhadap penyelesaian sengketa tradisional melalui pengadilan.
280
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
Dalam arena penanganan keberatan Pemilu, beberapa pertanyaan khusus muncul, terlepas dari jenis sistem ADR yang diadopsi sebagai bagian dari kerangka kerja Pemilu. Banyak dari pertanyaan tersebut yang berevolusi seputar fakta bahwa setiap individu pemilih, dalam beberapa hal, dipengaruhi secara langsung oleh hasil dari suatu keberatan, bahkan hanya dalam bentuk dilusi minimum terhadap bobot suara mereka. Dengan demikian, jika sekelompok pemangku kepentingan mencapai kesepakatan terhadap keberatan Pemilu tertentu, maka penyelesaian tersebut dapat mempengaruhi para pihak yang tidak terwakili dalam proses ADR. Hal ini mungkin dibandingkan dengan sistem pengadilan formal, yang mengeluarkan putusan dalam konteks dampak publik yang lebih luas dan sifat keputusan hukum yang mengacu pada putusan sebelumnya untuk kasus yang serupa (precedent-setting). Pelaksanaan sistem ADR Pemilu memunculkan banyak tantangan sama yang muncul ketika menyusun sistem penanganan keberatan formal yang mengikuti tujuh standar internasional yang digambarkan di dalam Bab 1: Standar-Standar Internasional. Sementara standar-standar ini pada umumnya adalah paling relevan ketika diterapkan ke sistem penanganan formal, hak dasar yang dilindungi adalah sama pentingnya dengan hak yang dilindungi di bawah sistem ADR.429 Kehatian-hatian harus diterapkan ketika melaksanakan sebuah sistem ADR untuk memastikan bahwa standarstandar tersebut dipenuhi sejauh mungkin. Akhirnya
beberapa
pertanyaan
desain
yang
mungkin
perlu
dibahas termasuk:
• Pihak yang memiliki hak: Siapa yang memiliki hak untuk mengajukan gugatan melalui prosedur ADR? Partai politik? Pemantau Pemilu domestik? Pemilih perorangan? Jawabannya akan sangat tergantung rangkaian isu yang khusus yang ingin dicapai melalui proses ADR.430
• Pihak yang tidak terwakili: Untuk prosedur ADR yang bersifat tidak-memutus
(non-ajudikatif-contohnya,
prosedur
selain
arbitrase yang mengikat), penyelesaiannya seringkali berbentuk kesepakatan sukarela diantara para pihak. Namun, jika tidak semua pihak yang terkena dampak terwakili dalam proses ADR, 429 Lihat supra note 10-16 dan teks yang mengikuti. 430 Lihat Bab 1 pedoman ini untuk informasi lebih lanjut tentang hak menggugat.
281
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
maka hak mereka dapat dipengaruhi oleh penyelesaian tanpa persetujuan mereka.
• Transparansi putusan: Sering, proses ADR berlangsung dalam tatanan rahasia, dalam rangka memungkinkan pertukaran yang jujur antara para pihak dengan prioritas dan kepentingan yang berbeda. Untuk sebuah proses publik seperti Pemilu, kerahasiaan semacam ini mungkin tidak semestinya.
• Sifat pembentukan presenden atas Hasil dari ADR: Kerapkali, proses ADR tidak membentuk preseden yang mengikat. Memang, kerapkali hal itu merupakan salah satu keuntungan yang dirasakan. Namun, dalam sebuah konteks Pemilu, dimana konsistensi dalam bagaimana keberatan serupa ditangani mungkin menjadi penting, hal ini mungkin tidak layak.
• Interaksi dengan sistem hukum formal: Sistem ADR kerap kali memberikan jalan kepada sistem pengadilan sebagai sebuah forum untuk banding final. Di bawah kesempatan tersebut, apa yang menjadi standar untuk peninjauan? Apakah kesepakatan yang dicapai oleh dua pemangku kepentingan terhadap keberatan tertentu dapat digugat oleh pihak lainnya?
• Pemilihan mediator atau penengah (neutral): Peran penengah atau mediator adalah berbeda dengan hakim atau arbiter, karena mediator/penengah ditugaskan untuk memfasilitasi komunikasi dan membantu para pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian yang dapat diterima oleh mereka sendiri, sementara hakim atau arbiter diharapkan untuk mengeluarkan keputusan berdasarkan argumen dan bukti yang disajikan. Namun, langkah-langkah seharusnya diambil untuk menjamin bahwa seorang mediator atau penengah sebagaimana mestinya tidak memihak, karena bias apapun masih dapat menyebabkan negosiasi atau mediasi yang tidak adil.
• Tindakan perbaikan dan penegakan: Proses ADR seharusnya memungkinkan suatu mekanisme untuk menegakkan keputusan yang telah dicapai. Sementara negosiasi dan mediasi kerap kali mengandalkan kepatuhan yang sukarela dari kedua belah pihak, berbagai metode yang lebih ketat seperti arbitrase mungkin memerlukan pembuatan sebuah kontrak atau perintah pengadilan untuk memaksakan kepatuhan. Bahkan jika proses dan hasilnya bersifat rahasia atau ditutupi, kesepakatan untuk mempublikasikan
282
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
penyelesaian
dapat
memungkinkan
para
peserta
untuk
mengandalkan tekanan sosial ketimbang tekanan pemerintah untuk mendorong kepatuhan kedua belah pihak.
• Beban pembuktian dan standar pembuktian: Proses pengadilan dalam rangka pelaksanaan sistem adversary mereka (cat: adversary system adalah suatu sistem beracara di pengadilan dimana modus untuk menemukan kebenaran adalah melalui “benturan” argumentasi dari pihak-pihak yang berperkara di pengadilan dengan bukti-bukti pendukung yang diajukan para pihak tersebut di hadapan pihak netral yang akan menentukan fakta dan menerapkan hukum berdasarkan pemaparan oleh kedua belah pihak) -pengalokasian beban pembuktian yang harus dipikul oleh setiap pihak agar dapat dimenangkan di bawah sistem pembuktian tersebut. Pengambilan keputusan yudisial atas suatu sengketa Pemilu, contohnya, mungkin membutuhkan pembelaan yang substansial terhadap fakta yang mendukung tuduhan “kecurangan” atau “pelanggaran pemungutan suara”.431 Begitu pula halnya, rangkaian persidangan mempersyaratkan bahwa bukti harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat diterima.432 Kecuali untuk jenis arbitrase semi-pengadilan yang paling formal, proses penanganan keberatan informal tidak melibatkan beban pembuktian secara formal atau kepatuhan yang kaku terhadap hukum pembuktian, termasuk utamanya, aturan terhadap desas desus kecuali hal itu secara spesifik dikecualikan dalam Undang-undang.
Penanganan keberatan dalam proses informal, bagaimanapun juga, harus memiliki dasar yang kuat dan didukung oleh fakta-fakta. Meskipun hukum pembuktian formal tidak diperlukan, pengadu harus menunjukkan fakta yang menunjukkan bahwa suatu kejadian “lebih mungkin terjadi daripada tidak terjadi sama sekali.” Lebih jauh lagi, kepentingan yang ingin ditegaskan dalam setiap proses informal haruslah sungguh-sungguh, bagi proses ADR untuk dapat mencoba menyelesaikan masalahnya. Persyaratan ini mencakup penggunaan komisi administratif dan tribunal yang terlibat dalam penyelesaian sengketa. Pentingnya untuk menentukan catatan
431 Lihat Steve Bickerstaff, Contesting the Outcome of Election, dalam IEP, supra note 1, 315317. 432 Id, Lihat juga Barry H. Weinberg, The Resolution of Election Disputes: Legal Principles That Control Election Challenges (2006).
283
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
faktual yang akurat tidak hanya mempengaruhi proses ADR, namun juga proses pemeriksaan oleh pengadilan.
Keunggulan dan Kelemahan ADR Akhirnya, banyak alasan untuk menggunakan ADR, tetapi beberapa merupakan
alasan
menyelesaikan
yang
sengketa.
membuat
ADR
Faktor-faktor
ini
sangat
berguna
termasuk:
dalam
hubungan
berkelanjutan antara para pihak yang bersengketa, pengaruh penengah terhadap pandangan para pihak yang bersengketa tentang konflik; sejauh mana hukum yang mengatur telah ditetapkan dan mapan; serta kemampuan di luar pihak sengketa untuk meredam permusuhan yang mungkin ada di antara para pihak yang bersengketa. Terlebih lagi, jika sengketa utamanya adalah ketidaksepakatan terhadap fakta-fakta dasar, ADR dapat membantu pihak ketiga untuk melihat fakta sebenarnya yang menyebabkan sengketa. ADR tentu saja tidak selalu ideal sebagai suatu metode penyelesaian sengketa. Beberapa faktor, jika ada, akan membuat penggunaan ADR menjadi kurang menguntungkan. Faktor pertama yang perlu dipertimbangkan adalah apakah penyelesaian sengketa diperlukan dalam rangka membentuk suatu preseden terhadap sengketa yang sama di masa depan. Karena ADR kerapkali bukanlah suatu mekanisme yang bersifat membentuk preseden (a nonprecedent-setting mechanism), sehingga ADR kurang sesuai untuk situasi ini. Kedua, dimana sengketa mempunyai sifat berulang dan terdapat kebutuhan untuk memperoleh konsistensi di antara sengketa-sengketa yang serupa, ADR mungkin tidak dikehendaki. Ketiga, ADR menjadi kurang bernilai sebagai suatu alat, ketika sengketa atau penyelesaiannya akan mempengaruhi pihak-pihak diluar proses sampai tingkat yang substansial. Akhirnya, ADR mungkin tidak disarankan dimana terdapat kebutuhan yang khusus untuk sebuah rekaman penyelesaian sengketa, yang tersedia untuk dapat diakses publik. Namun, dalam konteks Pemilu, pengecualian dapat dibuat untuk ketentuan pencatatan publik, sehingga membuat pertimbangan ini kurang penting untuk menentukan apakah ADR merupakan sebuah mekanisme penyelesaian yang layak.
284
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
Keunggulan Sistem ADR
Kelemahan Sistem ADR
Efisiensi Biaya yang lebih rendah bagi pihak yang bersengketa untuk mengajukan gugatan
Biaya memainkan peranan penting untuk menyaring gugatan yang sembarangan
Mengurangi penundaan dalam menyelesaikan sengketa
Mengasumsikan akses terhadap nara sumber ADR yang memenuhi syarat
Fleksibel, tidak ada aturan yang kaku, dapat menyesuaikan diri terhadap situasi dan normanorma lokal
Meningkatkan keprihatinan tentang penerapan hukum yang dapat diprediksi dan konsisten
Peningkatan Akses terhadap Keadilan Dapat menghindari pengadilan yang dipandang tidak efektif, partisan atau korup
Pembuat keputusan non-pengadilan mungkin juga menghadapi kemungkinkan gugatan tentang legitimasinya
Membuka akses yang lebih besar bagi masyarakat lokal
Kurangnya konsistensi dalam pengambilan keputusan
Dapat diakses oleh orang awam yang mungkin terintimidasi oleh pengadilan formal
Hukum acara pengadilan formal dapat melindungi para pihak dari ketidakadilan kekuatan sosial
Meningkatnya Kepuasan terhadap Proses dan Hasil Berbasis pada kewajaran (equity) membuat keputusan dapat dimengerti oleh orang awam
Keputusan berdasarkan kewajaran (equity), daripada berdasarkan hukum dapat melemahkan prinsip negara hukum
Dapat meredakan ketegangan dan konflik dengan memfasilitasi dialog dan komitmen timbal balik diantara para pemangku kepentingan
Kurangnya kekuasaan untuk memaksakan partisipasi dimana pengadilan pengadilan tradisional memiliki kekuasaan tersebut.
Meningkatkan kemungkinan kepatuhan terhadap keputusan yang sukarela
Keputusan mungkin kurang otoritasnya untuk ditegakkan
Melengkapi dan Mendukung Proses dan Upaya Pembaruan Penanganan keberatan Tradisional
Dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa berat yang mungkin jika tidak melalui ADR bisa menyebabkan runtuhnya keseluruhan sistem (contohnya mediasi antara partai-partai politik militan)
Mengganggu upaya pembaruan ketika program ADR menyerap uang, talenta, dan perhatian dari badan penanganan keberatan tradisional.
Dapat menjaga penanganan keberatan di tingkat lokal, mempertahankan relevansi masyarakat lokal dalam pertumbuhan masyarakat sipil yang demokratis
Keputusan di tingkat lokal untuk berbagai masalah yang dihadapi di seluruh negara dapat menyebabkan inkonsistensi.
Manfaat Sosial yang Luas Dapat mendukung upaya sosial yang luas (contohnya penyelesaian dialog atau konflik antar-kelompok)
Tidak dapat menangani ketidakadilan sistemik yang menyeluruh (hanya berfungsi dengan basis kasus per kasus)
Dapat meningkatkan partisipasi dalam proses Pemilu
Melemahkan kehendak rakyat dengan menaruh hasil di tangan para pihak ketimbang di tangan hukum
Dapat meningkatkan kepercayaan publik dalam proses Pemilu, dan dengan meningkatkan legitimasi pemerintah terpilih
Seringkali kurang pengaruh yang bersifat mendidik, serta pengaruh yang bersifat menghukum dan mencegah seperti pada pengadilan tradisional
285
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Tabel di halaman sebelumnya merinci keuntungan dan kerugian sistem ADR dalam menyelesaikan keberatan Pemilu.
Contoh Program-Program ADR Beragam bentuk penyelesaian sengketa digunakan di sistem-sistem hukum di seluruh dunia, tetapi sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan konflik Pemilu ADR secara historis tidak umum dilakukan di luar Sub-Sahara Afrika. Contoh-contoh dari pengalaman Afrika dengan ADR menunjukkan bahwa sistem yang serupa mungkin diimplementasikan, dan bahkan diinginkan, di negara-negara pasca-konflik dan transisional. Mekanisme ADR dalam konteks transisional atau pasca-konflik dilihat menurut “bahaya” yang ditimbulkan dari situasi itu, atau potensi kekerasan. Akibatnya, ADR biasanya bukan sebuah mekanisme yang berdiri sendiri, namun melengkapi berbagai mekanisme penyelesaian konflik lainnya. Sangat jarang untuk menemukan suatu mekanisme ADR yang menargetkan baik elit politik tingkat atas dan tingkat masyarakat akar rumput dalam proses yang sama. Selain itu, tidak ada dari contoh-contoh ini yang merupakan sebuah pelaksanaan langsung dari sistem-sistem ADR yang dibahas sebelumnya dalam bab ini; melainkan masing-masing dapat dilihat sebagai mengintegrasikan elemen dari berbagai jenis mekanisme ADR ke dalam proses penyelesaian unik yang dirancang khusus untuk sistem Pemilu negara itu.
A. ADR Pemilu Tingkat Elit Di negara-negara yang baru bangkit dari konflik, aksi masyarakat internasional dan dukungannya terhadap proses Pemilu kerap kali diperlukan. Dukungan ini dapat berbentuk finansial, teknis, material dan bantuan lain dari organisasi seperti Perserikatan Bangsa Bangsa, Uni Afrika, Uni Eropa, berbagai organisasi regional, negara-negara yang bertindak secara bilateral serta berbagai lembaga dan organisasi internasional lainnya. Mekanisme internasional pencegahan dan manajemen konflik Pemilu juga dapat berbentuk aksi sukarela, komite yang terdiri dari perwakilan yang secara khusus dipilih dari berbagai negara, atau sebuah kelompok sementara (ad hoc) mantan atau pejabat kepala negara.
286
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
i. Komite Internasional yang Dikoordinasikan oleh PBB (UN Coordinated International Committees)
Badan-badan ini dibentuk setelah munculnya krisis politik atau militer tertentu, dan mewakili suatu kumpulan seluruh negara dan lembagalembaga internasional yang memiliki kepentingan dalam penyelesaian krisis dan dalam proses Pemilu yang mengikutinya. Beberapa contoh termasuk Republik Demokratik Kongo, Comite International d’Appui a la Transition (CIAT), yang terdiri dari 14 negara. Yang lebih baru lagi, komite yang dinamakan serupa dibentuk untuk menangani krisis di Pantai Gading pada tahun 2004-06.
ii. Misi Pemantau Khusus PBB (UN Special Observer Missions)
Misi-misi ini dibentuk untuk meningkatkan kredibilitas Pemilu dan untuk memungkinkan dialog antara Divisi Pemilu PBB (UN Electoral Division) yang mendukung proses Pemilu, pemerintah dan badan penyelenggara Pemilu nasional. Suatu contoh dari misi-misi ini adalah di Sudan, dimana PBB memantau referendum pemisahan pada Januari 2011.
iii. Panel atau Komite Para Orang Bijak (Panels or Committees of the Wise)
Kelompok seperti ini sangat umum di Sub-Sahara Afrika, dan termasuk utusan khusus yang mengawasi Pemilu dan memungkinkan dialog antara para pemimpin partai politik dan kandidat. Umumnya, panel atau komite ini terdiri dari mantan kepala negara. Panel terlibat di Afrika Selatan 1994, Burundi 2005, Republik Afrika Tengah 2005, Liberia 2005-6, Republik Demokratik Kongo 2006, Sudan 2009-10, dan Pantai Gading 2010.
iv. Program ADR Komisi Pemilu Federal AS (U.S. Federal Election Commission ADR Program)
Komisi Pemilu Federal Amerika Serikat (Federal Election Commission/ FEC) telah membentuk sebuah sistem ADR domestik dimana tuduhan pelanggaran Undang-undang Pemilu Federal kerap kali diselesaikan. Para pihak yang kasusnya dirujuk oleh beberapa lembaga dibawah Komisi diberikan kesempatan untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui ADR. Jika pihak memilih untuk terlibat di dalam ADR, mereka menyetujui untuk berpartisipasi dengan niat baik, sepakat untuk menunda ketentuan
287
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kadaluarsa keberatan selama proses tersebut,433 dan berpartisipasi di dalam perundingan dan mediasi berbasiskan kepentingan. ADR dimulai dari negosiasi dimana pihak dan seorang Spesialis ADR pada Komisi
Pengalaman Burundi Burundi menawarkan sebuah pandangan yang unik terhadap potensi ADR dalam menyelesaikan sengketa Pemilu. Burundi memiliki sebuah tradisi kuat “kaum bijak” lokal yang sangat dihormati yang disebut Bashingantah yang mengawasi penyelesaian sengketa dan mempertahankan perdamaian di antara masyarakat. Walaupun konsepnya serupa, Bashingantah berbeda dari “panel kaum bijak” (“panel of the wise”) di tingkat atas yang difokuskan pada perorangan lokal yang berpengaruh, yang menjaga penyelesaian sengketa dan memfokuskan pada kota ketimbang dipaksakan dari pemerintah pusat. Sementara tradisi Bashingantah mulai pada abad ke-17, tradisi tersebut runtuh ketika negara ini berada di bawah jajahan kolonial dan tetap tidak aktif selama masa perang saudara. Akhir-akhir ini upaya telah dibuat untuk menghidupkan kembali institusi ini dan untuk memberinya kekuasaan yudisial terbatas. Sebagai suatu mekanisme ADR, Bashingantah merupakan sebuah gabungan mediasi dan arbitrase. Sebagaimana dalam mediasi, tujuan utama Bashingantah adalah untuk bekerjasama dengan para pihak untuk mencapai hasil yang disepakati dengan damai dan melibatkan dua belah pihak. Tidak seperti mediasi, Bashingantah seringkali menyelipkan “kebijaksanaan” mereka sendiri ke dalam proses dan berupaya untuk membujuk para pihak untuk mencapai penyelesaian tertentu. Jika terjadi kebuntuan, disarankan Bashingantah diberikan wewenang untuk mengambil keputusan yang mengikat para pihak yang bersengketa seperti halnya arbitrase tradisional. Kelompok penyelesaian sengketa tradisional yang serupa ada di negara-negara tetangga seperti Rwanda dan Republik Demokratik Kongo.
membahas sengketa dan berupaya untuk mencari sebuah penyelesaian. Fokus penyelesaian bersifat korektif dan tujuan dari proses tersebut adalah untuk memastikan kepatuhan di masa datang terhadap Undang-undang Pemilu federal. Jika Spesialis dan pihak mencapai sebuah penyelesaian, 433 “Menunda” menghitung mundur tenggat waktu (kadaluarsa) untuk memasukkan gugatan formal ke pengadilan. Tolling the statute of limitations selama proses ADR mencegah satu pihak yang bersengketa untuk menggunakan ADR sebagai taktik untuk menunda yang mencegah pihak lainnya mengajukan gugatan hukum dalam batas waktu yang ditetapkan oleh undang-undang. Jika proses ADR gagal untuk mencapai hasil yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka penghitungan untuk tenggat waktu memasukkan gugatan dimulai lagi.
288
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
maka kasus tersebut ditutup dengan persetujuan Komisi. Jika mereka tidak mampu mencapai penyelesaian, maka beberapa kasus berlanjut ke mediasi. Mediasi melibatkan seseorang yang tidak memihak yang memfasilitasi negosiasi di antara perwakilan komisi dan tergugat. Komisi menyiapkan sebuah daftar usulan mediator dan tergugat dipersilahkan untuk memilih satu di antaranya. Mediasi sendiri umumnya berlangsung satu hari dan mengharuskan mediator untuk berunding dengan tergugat dan Spesialis ADR dari Komisi secara masing-masing dan/atau bersama-sama. Jika semua pihak menolak mediasi, maka kasus dirujuk kembali ke proses penegakan hukum tradisional. Lebih penting lagi, setiap informasi yang diungkapkan oleh tergugat selama sesi negosiasi atau mediasi tidak dapat digunakan untuk melawannya di dalam rangkaian persidangan mendatang. Setiap penyelesaian menjadi catatan publik dan bersifat tidak membentuk preseden (non- precedential).
B. ADR Pemilu Tingkat Akar Rumput Sejumlah penyelesaian sengketa alternatif dan mekanisme manajemen tersedia, selain mediasi, yang dapat diperkenalkan secara efektif kepada tingkat akar rumput untuk berkontribusi pada hasil Pemilu yang dapat dipercaya dan damai.
i. Komite Penghubung Partai (Party Liaison Committee /PLC)
Di banyak negara, lembaga-lembaga publik dibentuk untuk meningkatkan arus komunikasi di antara para pihak, dan di antara para pihak dan badan penyelenggara Pemilu. Mereka memberikan ruang gerak kepada partai politik untuk menyelesaikan sengketa terkait Pemilu. Penting untuk diperhatikan bahwa PLC hanya bersifat konsultatif dan keputusan akhir tetap ada pada Badan Penyelenggara Pemilu, yang kerap kali merupakan sebuah lembaga yang independen dan independen secara resmi dari pengaruh partai politik. Negara-negara seperti Afrika Selatan, Burundi dan Republik Demokratik Kongo menggunakan pendekatan ini.
ii. Panel Manajemen Sengketa -Institut Pemilu Untuk Demokrasi Berkelanjutan (The Electoral Institute for the Sustainability of Democracy in Africa (EISA) Conflict Management Panel-CMP)
Panel Manajemen Konflik (Conflict Management Panel ‘CMP’) merupakan alat pencegahan konflik akar rumput dimana para pemimpin masyarakat,
289
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
wanita, generasi muda dan kaum beragama serta masyarakat tradisional diberikan pelatihan keterampilan manajemen konflik untuk memungkinkan mereka untuk mencegah, menyelesaikan dan mengelola konflik. Pilihan mediator melibatkan proses konsultatif dengan para pemangku kepentingan Pemilu. Dalam beberapa kesempatan tertentu, partai politik menunjuk atau menyetujui orang yang dipilih. Badan Penyelenggara Pemilu mengkoordinasikan CMP sementara memberikan mediator kemandirian untuk melaksanakan programnya. Mediator merupakan penjaga pencegahan sengketa Pemilu yang efektif (‘watchdog’) karena umpan balik mareka tentang konflik atau potensi konflik memungkinkan Badan Penyelenggara Pemilu untuk mengantisipasi atau segera merespon resiko konflik yang potensial. Mediator diturunkan sebelum, selama dan setelah Pemilu, dan secara khusus siap pada Hari Pemungutan Suara untuk bergerak ke berbagai tempat pemungutan suara serta tempat umum seperti pasar untuk campur tangan dalam potensi konflik. Mediator menggunakan teknik mediasi, negosiasi dan fasilitasi untuk menyelesaikan konflik. Menggunakan mediasi di tingkat akar rumput memerlukan sebuah pendekatan yang kreatif dan kesensitifan publik terhadap manfaat lingkungan yang damai dimana Pemilu dapat diselenggarakan. Penggunaan teknologi, termasuk telepon atau telepon genggam, pesan singkat, laporan tertulis atau lisan, faksimili, surat eletronik, dan radio memungkinkan para mediator untuk merespon konflik Pemilu dengan segera. Mediator juga melakukan pemetaan dan menganalisis konflik yang berlangsung yang membantu mengidentifikasi titik-titik panas (hot spot) potensial. CMP merupakan kombinasi dari pencegahan konflik, manajemen konflik dan sebuah sistem peringatan dini. Model ini telah dilaksanakan secara luas dan berhasil di Afrika Selatan, Lesotho, Republik Demokratik Kongo, Burundi dan Somalia dan saat ini sedang berlangsung di Kenya. Dalam masa pasca-Pemilu, mediator juga dilatih dan siap untuk mengambil bagian dalam sengketa sosial yang lebih sederhana termasuk sengketa tanah, konflik rumah tangga dan isu-isu pembangunan lokal.
290
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
Kesimpulan A. Pelajaran yang Diperoleh Pada negara-negara pasca-konflik, penggantian ADR secara bertahap dengan penanganan keberatan formal akan berkontribusi pada proses pendalaman proses-proses demokratis. Walaupun selalu akan ada tempat bagi ADR, suatu masyarakat yang menghargai perbedaan pendapat akan memanfaatkan sistem peradilan ketimbang mengandalkan mediasi baik di tingkat atas ataupun akar rumput. ADR melengkapi sistem peradilan, dan dalam beberapa situasi pada negara-negara rapuh, ADR menggantikan kegagalan
atau
ketidakpercayaan
yang
meluas
terhadap
proses
peradilan. Suatu penurunan terhadap kebutuhan ADR Pemilu tidak hanya menunjukkan bahwa konteks politiknya kurang diwarnai kekerasan tetapi juga menunjukkan bahwa masyarakat bergerak menuju kenormalan dalam pengertian menciptakan ruang bagi pandangan yang berbeda dan lembaga demokratis yang menyelesaikan konflik melalui penyelesaian keberatan menjadi lebih kuat.
B. Pertimbangan Politik dan Praktis Seperti yang telah dibahas di dalam bab ini, tidak seluruh sengketa layak diselesaikan lewat mekanisme ADR. Penyelesaian hak-hak yang dijamin (hak-hak dasar) harus selalu menjadi dibanding ke pengadilan banding yang independen. Sifat ekstra-yudisial ADR juga dapat membuat kecurigaan terhadap orang dan lembaga yang tidak terlibat di dalam proses. Hal ini dapat menjadi bagian dari tawar menawar yang mengecualikan pihakpihak di luar proses. Namun, ketika sistem ADR bersifat transparan dan dapat dipertanggungjawabkan serta memungkinkan peran serta yang maksimum, maka kelemahan ini dapat diatasi secara memadai.
291
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Kelayakan Sistem ADR Pemilu Faktor Pendukung ADR • Pemilu dilaksanakan dalam lingkungan pasca-konflik atau negara gagal dimana sengketa Pemilu dapat menjadi pemicu kekerasan. Hal ini khususnya terjadi pada Pemilu yang melibatkan partai-partai politik yang mayoritas beraliansi etnik, agama atau bahasa daripada ideologi. • Terdapat ketimpangan yang kuat antar politik atau budaya kota/desa atau daerah/ pusat. • Terdapat ketidakpercayaan yang kuat terhadap peradilan atau terdapat isu akses yang melemahkan legitimasi sistem pengadilan. • Terdapat tradisi berbentuk semacam ADR yang ada di negara tersebut untuk menghadapi berbagai sengketa non-politik seperti, sengketa lahan, konflik keluarga, warisan, atau kejahatan kecil. • Pemilu adalah untuk memilih jabatan tunggal atau menggunakan model pemenang mengambil semua (winner-take-all) dimana pihak yang kalah akan sebagian besar atau sama sekali tidak terwakili. Sama halnya, isu-isu yang melibatkan pembagian secara adil/proporsional dan perwakilan (apportionment and delineation). • Risiko utama pencabutan hak pilih, kecurangan atau intimidasi pemilih berasal dari tindakan perorangan pribadi atau partai politik daripada melalui tindakan pejabat pemerintah, penyelenggara atau birokrasi. • Penegakan hasil ADR adalah melalui tindakan sukarela pihak yang bersengketa.
Faktor Penentang ADR • Negara memiliki sistem peradilan atau sistem administrasi yang kuat, dapat dipercaya dan mandiri yang dapat diandalkan untuk menyidangkan atau menyelesaikan keberatan Pemilu dengan cara yang adil dan tepat waktu. • Pihak yang bersengketa memilih untuk memperoleh putusan formal yang memiliki kekuatan preseden secara formal. Sebagian besar metode ADR melihat presenden sebagai persuasif ketimbang mengikat, dan memperlakukan hasil mereka seperti itu. • Sengketa melibatkan hak politik dasar atau hak asasi manusia yang telah dilanggar oleh tindakan pemerintah atau lembaga. • Para pihak akan perlu untuk mengandalkan pemerintah untuk menegakkan keputusan secara administratif atau melalui penggunaan kekuasaan kepolisian. Hal ini termasuk mengandalkan pemerintah untuk secara sukarela menegakkan keputusannya. • Para pihak yang bersengketa tidak dapat diwakili secara memadai di dalam proses ADR.
292
Bab 6: Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
Daftar Periksa Rekomendasi Daftar periksa berikut ini akan memungkinkan para pemberi bantuan teknis untuk memahami faktor-faktor yang seharusnya dimasukkan dalam rancangan sebuah sistem ADR yang efektif.
√ Identifikasi
pemangku
kepentingan:
Adalah
perlu
untuk
menentukan pertama-tama siapa yang dapat berpartisipasi dalam proses ADR dan bagaimana para pemangku kepentingan dapat dikumpulkan dalam sebuah sesi ADR √ Identifikasi dan pelatihan mediator: Adalah penting untuk menentukan siapa yang akan memenuhi syarat untuk mengawasi proses ADR, dan pelatihan apa yang mereka terima sebelum Pemilu. Akankah mediator atau penengah konflik ditunjuk oleh pemerintah nasional, dipilih oleh pemerintah daerah, atau dipekerjakan dari perusahaan mediasi swasta? √ Penilaian pemangku kepentingan: Sebuah sistem harus dibangun untuk mengevaluasi hasil proses ADR dalam rangka meningkatkan, memperluas,
atau
jika
diperlukan,
menghapus
kerangka
ADR seluruhnya. √ Hukum Acara: Para pembuat kebijakan seharusnya menciptakan aturan hukum acara bagi sesi ADR sehingga para pemangku kepentingan mengetahui apa yang dapat diharapkan sebelum sesi dan sehingga mediator atau penengah tidak akan harus membuat aturan dan keputusan sementara (ad hoc). ADR tidak perlu memiliki aturan seketat atau seformal pengadilan, tetapi seharusnya memiliki suatu struktur dalam rangka memberikan arti dan legitimasi terhadap prosesnya. √ Cakupan: Para pembuat kebijakan seharusnya menentukan topik, materi, saksi dan masalah apa yang dapat dibahas dalam sebuah sesi ADR dan apa yang akan dihilangkan.
293
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
√ Hak gugat: Penting untuk menentukan siapa para pemangku kepentingan yang dapat menggunakan sistem ADR (partai politik, pemantau dan petugas Pemilu domestik, atau pemilih perorangan), juga jika media, pemantau internasional atau pihak ketiga diizinkan untuk memulai sesi ADR di antara dua pemangku kepentingan lainnya. √ Pihak-pihak yang tidak terwakili: Di dalam prosedur ADR non-pengadilan (contohnya prosedur selain arbitrase mengikat), penyelesaian kerapkali berbentuk kesepakatan sukarela di antara para pihak. Jika tidak seluruh pihak yang terwakili di dalam proses ADR, maka hak mereka dapat dipengaruhi oleh penyelesaian tanpa persetujuan mereka. √ Transparansi: Proses ADR kerapkali dilakukan secara rahasia untuk memungkinkan pertukaran yang jujur tentang berbagai prioritas dan kepentingan antara para pihak yang bersengketa. Untuk sebuah proses publik, seperti halnya Pemilu, kerahasiaan seperti ini ini mungkin tidak layak. √ Preseden: Proses ADR sejatinya tidak berujung pada preseden yang mengikat. Pada kenyataanya, hal ini kerap menjadi salah satu keuntungan yang dirasakan. Namun, dalam konteks Pemilu hal ini mungkin tidak layak, karena sebagian pembentukan prinsip negara hukum mungkin termasuk memastikan bahwa keberatan yang serupa akan ditangani dengan cara yang sama di masa mendatang. √ Interaksi dengan pengadilan: Sistem ADR sering memberikan opsi kepada sistem pengadilan sebagai forum untuk banding terakhir. Di bawah kondisi seperti itu, menjadi penting untuk menentukan apa yang menjadi standar untuk peninjauan, dan apakah kesepakatan yang dicapai oleh dua pemangku kepentingan terhadap keberatan tertentu dapat digugat oleh pihak lainnya. √ Beban pembuktian dan standar pembuktian: Proses ADR biasanya tidak mengatur rincian aturan pembuktian atau menempatkan beban pembuktian khusus pada masing-masing pihak yang bersengketa. Jika terdapat sebuah proses banding terhadap sistem pengadilan formal, penentuan bagaimana kurangnya konsep ini diterjemahkan menjadi sangat penting.
294
A Lampiran
Kutipan berbagai traktat dan konvensi internasional dan regional
Appendix A
Berbagai Traktat dan Deklarasi Badan Perserikatan Bangsa Bangsa Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia
1
Pasal 8 Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari tribunal nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh undang-undang.
Pasal 10 Setiap orang dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh tribunal yang mendiri dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.
Pasal 11 (1) Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu sidang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya. (2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang bukan merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.
Pasal 20 (1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan. (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.
1 Universal Declaration of Human Rights, G.A.. Res. 217 (III) A, U.N. Doc. A/RES/217 (III) (10 Des, 1948), dapat dilihat di http://www/un/org/en/documents/udhr.
297
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 21 (1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas. (2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negaranya. (3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilu yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.
Kovenan Internasional Hak Hak Sipil dan Politik
2
Pasal 2 (1) Setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa perbedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status sosial lainnya. (2) Apabila belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lainnya yang ada, setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan proses konstitusinya dan dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini. (3) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji;
(a) Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi;
(b) Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga
2 International Covenant on Political Rights, G.A. Res. 2200(XXI) A, U.N. GAOR, 21st Sess., Supp. No. 16, di 52 (16 Des, 1966), 999 U.N.T.S. 171 (diberlakukan pada 23 Mar, 1996), dapat dilihat di http://www2.ohcr.org/english/law/ccpr.htm.
298
Appendix A
peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan;
(c) Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan melaksanakan penyelesaian demikian apabila dikabulkan.
Pasal 9 (1) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorangpun dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. (2) Setiap
orang
yang
ditangkap
wajib
diberitahu
pada
saat
penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya. (3) Setiap orang yang ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian. (4) Setiap
orang
yang
telah
dirampas
kebebasannya
melalui
penangkapan atau penahanan, berhak untuk membawa masalahnya ke pengadilan, supaya pengadilan dapat memutuskan tanpa adanya penundaan, keabsahan dari penahanan tersebut dan memerintahkan pembebasanya apabila penahanan tidak sah.
Pasal 10 (1) Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. (2) (a) Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan sangat khusus, harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan
299
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana;
(b) Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
(3) Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan rehabilitasi sosial dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka.
Pasal 11 Tidak
seorangpun
dapat
dipenjara
semata-mata
atas
dasar
ketidakmampuannya untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian.
Pasal 14 (1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan tribunal. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan hukum, setiap orang berhak atas persidangan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu tribunal yang berwenang, mandiri dan tidak memihak serta dibentuk oleh undang-undang. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila atas nama kepentingan pribadi dari para pihak benar-benar diperlukan, atau sampai sampai kepada tingkatan dianggap amat diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan yang khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan itu sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. (2) Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut undang-undang.
300
Appendix A
(3) Dalam pemeriksaan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dengan persamaan penuh:
(a) untuk diberitahukan secepatnya dengan secara rinci dalam bahasa yang dipahaminya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya;
(b) untuk
diberi
waktu
dan
fasilitas
yang
memadai
untuk
mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri;
(c) untuk diadili tanpa penundaan yang semestinya;
(d) untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan pembela ditunjuk kepadanya, dalam hal diperlukan demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayarnya;
(e) untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksisaksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya.
(f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan;
(g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.
(4) Dalam
kasus
dibawah
umur,
prosedur
yang
dipakai
harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk mendorong rehabilitasi bagi mereka. (5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh tribunal yang lebih tinggi sesuai dengan undang-undang. (6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses penegakan keadilan, maka orang yang telah menderita hukuman
301
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
sebagai akibat dari penuntutan tersebut harus diberi ganti rugi menurut undang-undang, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau sebagian disebabkan karena dirinya sendiri. (7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana dimana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan undang-undang dan hukum acara pidana di masing- masing negara.
Pasal 15 (1) Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindakan pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketentuan yang lebih ringan hukumnya, maka pelaku harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut. (2) Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang dapat merugikan persidangan dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi masih merupakan suatu tindak pidana menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Pasal 16 Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dimanapun ia berada.
Pasal 22 (1) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya. (2) Tidak diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak ini, kecuali yang telah diatur oleh undang-undang, dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari
302
Appendix A
orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah diberikannya pembatasan yang sah bagi anggota angkatan bersenjata dan kepolisian dalam melaksanakan hak ini. (3) Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan kepada Negara Pihak pada Konvensi Organisasi Buruh Internasional tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berserikat untuk mengambil tindakan legislatif atau menerapkan hukum sedemikian rupa, sehingga dapat mengurangi jaminan-jaminan yang diberikan dalam Konvensi tersebut.
Pasal 25 Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk :
(a) Ikut serta dalam urusan pemerintahan, baik secara langsung
(b) Memlilih dan dipilih pada pemilu berkala yang murni, dan dengan
maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan untuk menyatakan keinginan dari para pemilih.
(c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum.
Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial 3
Pasal 5 Sesuai dengan kewajiban-kewajiban dasar yang ditetapkan dalam pasal 2 Konvensi ini, maka Negara Peserta berusaha melarang dan menghapus diskriminasi rasial dalam segala bentuknya dan menjamin hak setiap orang dimuka hukum, tanpa pembedaan mengenai ras, warna kulit, atau asalusul khususnya, dalam menikmati hak-hak berikut:
(a) Hak atas perlakuan yang sama di depan tribunal dan semua organ lain yang melaksanakan peradilan;
3 International Convention o the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, G.A. Res. 2106 (XX), U.N. GAOR, 20th Sess., Supp. No. 14, U.N. Doc. A/6014, di 47 (21 Des, 1965), 660 U.N.T.S. 195 (diberlakukan 4 Jan, 1969), tersedia di http://www2.ohcr.org/english/law/ cerd.htm.
303
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
(b) Hak atas keamanan pribadi dan perlindungan oleh Negara terhadap kekerasan atau pelanggaran atau kerugian materi, apakah ditimbulkan oleh pejabat pemerintah atau oleh kelompok individu atau lembaga mana pun;
(c) Hak-hak politik, terutama hak-hak untuk ikut serta dalam pemilihan – untuk memberikan suara dan menjadi calon dalam pemilihan – atas dasar hak pilih yang universal dan sama, untuk ikut serta dalam Pemerintahan dan juga dalam melaksanakan urusan-urusan Negara pada tingkat apa pun dan mempunyai akses yang sama terhadap pelayanan umum;
(d) Hak-hak sipil lainnya, terutama:
(i) Hak atas kebebasan bergerak dan bertempat tinggal di dalam perbatasan Negara;
(ii) Hak untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri, dan kembali ke negaranya;
(iii) Hak atas kewarganegaraan
(iv) Hak atas perkawinan dan memilih suami/istri;
(v) Hak untuk memiliki harta kekayaan baik sendirian dan juga dalam berhimpun dengan orang-orang lain;
(vi) Hak untuk menerima warisan;
(vii) Hak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama;
(viii) Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi;
(ix) Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat dengan damai;
(e) Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terutama:
(i) Hak-hak atas pekerjaan, pemilihan pekerjaan dengan bebas, syarat-syarat pekerjaan yang adil dan menguntungkan, perlindungan terhadap pengangguran, atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, atas penggajian yang adil dan menguntungkan;
(ii) Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat sekerja;
(iii) Hak atas perumahan;
(iv) Hak atas kesejahteraan umum, perawatan kesehatan, jaminan sosial dan pelayanan sosial;
(v) Hak atas pendidikan dan pelatihan;
(vi) Hak untuk berpartisipasi yang sama dalam aktivitasaktivitas kebudayaan;
304
Appendix A
(vii) Hak atas akses ke tempat mana pun atau pelayanan apa pun yang ditujukan untuk penggunaan oleh khalayak umum, seperti pengangkutan, hotel, restoran, kafe, gedung bioskop dan taman.
Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 4
Pasal 2 (1) Setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini, berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang memungkinkan, termasuk khususnya pengambilan langkah-langkah legislatif. (2) Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hakhak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. (3) Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan hak asasi manusia dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh mereka dapat menjamin hak-hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini kepada warga negara asing.
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 5
Pasal 7 Negara-negara peserta wajib melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik
4 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, G.A. Res. 2200 (XXI) A, U.N. GAOR, 21st Sess, Supp. No. 16, U.N. Doc. A/6316, di 49 (16 Des, 1966) 993 U.N.T.S. 3 (diberlakukan 3 Jan, 1976), dapat dilihat di http://www2.ohchr.org/English/law/cesr.htm. 5 U.N. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, G.A. Res, 34/180, U.N. GAOR, 34th Sess, Supp No. 46, U.N. Doc A/34/46, di 193 (18 Des, 1979), dapat dilihat di http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/text/convention.htm.
305
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak:
(a) untuk memilih pada seluruh pemiliu dan referendum publik dan
(b) untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah
untuk dapat dipilih pada semua badan publik yang dipilih; dan pelaksanaannya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat;
(c) untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan perkumpulan non-pemerintah yang bergerak dalam bidang kehidupan publik dan politik negara
Pasal 8 Negara-negara peserta wajib melakukan upaya-upaya yang tepat untuk memastikan kesempatan bagi perempuan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat international dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi international atas dasar persamaan dengan laki-laki tanpa suatu diskriminasi.
Pasal 9 (1) Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan
kewarganegaraannya.
Negara-negara
peserta
khususnya wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan isteri, menjadikannya tidak berkewarganegaraan atau memaksakan kewarganegaraan suaminya kepadanya. (2) Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki berkenaan kewarganegaraan anak-anak mereka.
306
Appendix A
Komentar Umum Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Kovenan Internasional Hak Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Komentar Umum No. 13 Pasal 14 Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa 6
11. Subayat 3 (g) menentukan bahwa si tertuduh tidak dapat dipaksa agar memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengakui kesalahannya. Dalam mempertimbangkan jaminan ini, ketentuan-ketentuan pasal 7 dan pasal 10, ayat 1, harus diingat kembali. Guna memaksa si tertuduh untuk mengakui kesalahannya atau memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, seringkali digunakan metode-metode yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut. Undang-undang harus menentukan bahwa bukti-bukti yang diperoleh dengan cara-cara tersebut atau bentuk-bentuk pemaksaan lain tidak dapat diterima sama sekali. 17. Pasal 14, ayat 5, menentukan bahwa setiap orang yang dijatuhi hukuman pidana berhak untuk memperoleh banding terhadap putusan atau hukumannya oleh tribunal yang lebih tinggi, sesuai dengan undang-undang. Perhatian khusus diberikan pada istilah lain dari kata “kejahatan” (“pelanggaran/infraction”, “delito”, prestuplenie”) yang menunjukkan bahwa jaminan ini tidak sepenuhnya terbatas pada kejahatan yang paling serius. Dalam hal ini, Negara-negara Pihak belum memberikan informasi yang cukup mengenai prosedur banding, khususnya akses terhadap dan kewenangan tribunal banding, persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengajukan banding atas suatu putusan, serta bagaimana prosedur tribunal banding mempertimbangkan persyaratan mengenai persidangan yang adil dan terbuka sesuai dengan pasal 14 ayat 1.
6 U.N. Human Rights Comm., CCPR General Comment No. 13, Pasal. 14: Equality Before The Courts and The Right to A Fair and Public Hearing By An Independent Court Established By Law, U.N. Doc. HRI/GEN/1/Rev. 1 di 14 (1994) (13 April, 1984) (digantikan oleh General Comment No. 32), dapat dilihat di http://www/unhcr.ch/tbs/doc.nsf/0/ bb722416a295f-264c12563ed0049dfbd.
307
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa, Komentar Umum No. 25 tentang Pasal 25
7
11. Negara wajib melakukan tindakan perbaikan yang efektif untuk menjamin bahwa setiap orang yang memiliki hak pilih dapat melaksanakan haknya tersebut. Jika pendaftaran pemilih diharuskan, hal tersebut seharusnya difasilitasi dan berbagai hambatan terhadap pendaftaran tersebut, tidak seharusnya dibebankan. Jika persyaratan kependudukan diterapkan pada pendaftaran, persyaratan tersebut harus masuk akal, dan tidak seharusnya dibebankan dengan cara yang dapat mengecualikan tuna wisma dari hak pilih. Setiap intervensi yang berlebihan terhadap pendaftaran atau pemungutan suara demikian juga intimidasi atau pemaksaan terhadap pemilih seharusnya dilarang oleh undang-undang pidana dan undang-undang tersebut seharusnya ditegakkan dengan tegas. Pendidikan pemilih dan kampanye pendaftaran merupakan hal yang wajib untuk menjamin pelaksanaan hak yang efektif pasal 25 oleh masyarakat yang memiliki pengetahuan. 17. Hak seseorang untuk maju dalam pemilu seharusnya tidak dibatasi secara tidak masuk akal dengan mewajibkan calon untuk menjadi anggota partai atau partai tertentu. Jika calon ini diwajibkan untuk memiliki sejumlah minimum pendukung untuk pencalonannya, persyaratan ini seharusnya masuk akal dan tidak menjadi penghambat bagi pencalonannya. Tanpa praduga terhadap ayat (1) pasal 5 dari Kovenan, opini politik tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk menghalangi seseorang dari hak untuk maju dalam pemilu. 20. Sebuah otoritas pemilu yang independen harus dibentuk untuk mengawasi proses pemilu dan untuk menjamin bahwa hal tersebut dilaksanakan secara adil, tidak memihak dan sesuai dengan undangundang yang telah ada yang sesuai dengan Kovenan. Negara seharusnya mengambil tindakan untuk menjamin persyaratan kerahasiaan pemungutan suara selama pemilu, termasuk suara orang yang tidak hadir, dimana sistem tersebut ada. Hal ini berarti para pemilih seharusnya dilindungi dari setiap bentuk pemaksaan atau 7 UN Human Rights Comm., Covenant on Civil and Political Rights (CCPR) General Comment No. 25, Pasal 25: The Right to Participated in Public Affairs, Voting Rights and the Rights of Equal Access to Public Service, CCPR/C/21/Rev.1/Add.7 (12 Juli, 1996), dapat dilihat di http://www.unhcr.org/refworld/docId/453883fc22.html.
308
Appendix A
keterpaksaan untuk mengungkapkan bagaimana mereka bermaksud memilih atau bagaimana mereka memilih, dan dari setiap intervensi yang melanggar hukum atau sewenang-wenang dengan proses pemungutan suara. Pengabaian hak ini tidak sesuai dengan pasal 25 Kovenan. Keamanan kotak suara harus dijamin dan suara harus dihitung dengan kehadiran para kandidat atau perwakilannya. Seharusnya juga terdapat pemeriksaan independen dari proses pemungutan dan penghitungan suara untuk banding yudisial atau proses lainnya yang setara sehingga para pemilih memiliki kepercayaan dalam keamanan surat suara dan penghitungan surat suara. Bantuan yang diberikan kepada para penyandang cacat, tuna netra atau tuna aksara seharusnya bersifat independen. Pemilih seharusnya diberitahukan sepenuhnya mengenai jaminan ini. 25. Komunikasi bebas atas informasi dan ide tentang isu-isu publik dan politik diantara warga negara, para calon dan perwakilan terpilih merupakan hal yang mutlak. Hal ini membuktikan pers yang bebas dan media yang lain dapat berkomentar tentang isu-isu publik tanpa sensor atau pembatasan dan untuk menginformasikan opini publik.
Komentar Umum No. 31 tentang Pasal 2 Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa 8
15. Pasal 2 ayat 3 mewajibkan bahwa, sebagai tambahan atas perlindungan efektif atas hak-hak yang diakui dalam Kovenan, Negaranegara Pihak harus menjamin bahwa individu-individu juga memiliki akses terhadap upaya-upaya pemulihan yang efektif guna menuntut hak-hak tersebut. Upaya-upaya pemulihan tersebut harus disesuaikan dengan mempertimbangkan kondisi kerentanan khusus beberapa kategori orang-orang, termasuk anak-anak pada khususnya. Komite menekankan pentingnya bagi Negara-negara Pihak untuk membentuk mekanisme-mekanisme yudisial dan administratif dalam hukum nasional guna menangani pengaduan-pengaduan terkait dengan pelanggaran hak-hak tersebut. Komite mencatat bahwa pemanfaatan atas hak-hak yang diakui oleh Kovenan dapat dijamin secara efektif 8 U.N. Human Rights Committee, General Comment No. 31 [80] Nature of the General Legal Obligation Imposed on State Parties to the Covenant, 26 Mei, 2004, CCPR/C/21/ Rev.1/Add. 13, dapat dilihat di http://www.unhcr.ch/tbs/doc.nsf/(Symbol)/CCPR.C.21.Rev 1. Add 13. En
309
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
oleh sistem peradilan (judiciary) dalam berbagai cara yang berbeda, termasuk penerapan Kovenan secara langsung sebagai hukum nasional, penerapan konstitusi atau ketentuan-ketentuan hukum lain yang setara, atau penafsiran dampak Kovenan dalam penerapan hukum nasional. Secara khusus, mekanisme-mekanisme administratif dibutuhkan guna memberikan dampak pada kewajiban umum untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan akan pelanggaran dengan segera, menyeluruh, dan efektif melalui badan-badan yang bersifat mendiri dan tidak memihak. Institusi-institusi hak asasi manusia nasional, yang diberikan kewenangan yang selayaknya, dapat melakukan hal tersebut. Kegagalan suatu Negara Pihak untuk menyelidiki tuduhantuduhan pelanggaran adalah suatu pelanggaran terhadap Kovenan. Penyelesaian terhadap pelanggaran yang terus-menerus berlangsung merupakan unsur penting dari hak atas upaya pemulihan yang efektif. 16. Pasal 2 ayat 3 mewajibkan Negara-negara Pihak untuk memberikan kompensasi bagi individu-individu yang hak-haknya sebagaimana diatur Kovenan telah dilanggar. Tanpa pemberian kompensasi kepada individu-individu yang hak-haknya telah dilanggar tersebut, maka kewajiban untuk menyediakan upaya pemulihan yang efektif, yang penting bagi efektivitas penerapan pasal 2 ayat 3, belum dilaksanakan. Sebagai tambahan bagi pemberian kompensasi yang dinyatakan secara tegas di pasal 9 ayat 5 dan pasal 14 ayat 6, Komite mempertimbangkan bahwa Kovenan menentukan tentang pemberian kompensasi yang selayaknya. Komite mencatat bahwa pemberian kompensasi dapat berupa restitusi, rehabilitasi, dan langkah-langkah yang memuaskan seperti misalnya permintaan maaf secara publik, peringatan umum, jaminan bahwa pelanggaran tidak akan diulangi, dan perubahan terhadap hukum dan praktik yang berkaitan, serta membawa para pelaku pelanggaran hak asasi manusia ke hadapan pengadilan.
310
Appendix A
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa Komentar Umum No. 32 tentang Pasal 14 9
47. Pasal 14, ayat 5 dilanggar tidak hanya jika keputusan oleh pengadilan di tingkat pertama bersifat final, tetapi juga dimana vonis bersalah dijatuhkan oleh pengadilan banding atau pengadilan tingkat final, setelah divonis bebas oleh pengadilan yang lebih rendah, menurut undang-undang domestik, tidak dapat ditinjau oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dimana pengadilan tertinggi dari sebuah negara bertindak sebagai yang pertama dan satu-satunya, ketiadaan hak untuk meninjau oleh tribunal yang lebih tinggi tidak digantikan oleh fakta bahwa kasus tersebut diproses tribunal tinggi (supreme tribunal) dari Negara pihak yang berkepentingan; sistem tersebut tidak sesuai dengan Kovenan tersebut, kecuali pihak Negara yang berkepentingan telah membuat penolakan terhadap efek ini. 48. Hak untuk memvonis orang bersalah dan dihukum ditinjau oleh tribunal yang lebih tinggi di bawah Pasal 14, ayat 5, membebankan pihak negara suatu tugas untuk meninjau vonis bersalah dan hukuman, secara substantif, baik atas dasar kecukupan bukti atau undangundang, penuntutan dan penghukumannya, sehingga prosedurnya memungkinkan pertimbangan sifat dari kasusnya. Sebuah peninjauan yang terbatas pada aspek formal atau legal tanpa pertimbangan fakta sedikitpun tidak memadai di bawah Kovenan ini. Namun, pasal 14, ayat 5 tidak mengharuskan dilakukannya persidangan ulang secara penuh atau sebuah “sidang” selama tribunal melaksanakan peninjauan dapat melihat dimensi faktual dari kasus. Dengan demikian, jika sebuah pengadilan tingkat yang lebih tinggi melihat tuduhan terhadap orang yang bersalah dengan sangat rinci, mempertimbangkan bukti yang diajukan ke pengadilan dan merujuk kepadanya pada saat banding, dan menemukan bahwa terdapat bukti yang mencukupi untuk menjustifikasi temuan bersalah dalam kasus khusus, Kovenan tidak dilanggar. 49. Hak untuk meninjau vonis bersalah seseorang hanya dapat dilaksanakan secara efektif jika orang yang bersalah tersebut diberikan 9 CCPR General Comment No. 32, Pasal 14: Right to Equality Before Courts and Tribunals And To A Fair Trial, U.N. Doc. CCPR/C/GC/32 (23 Ag, 2007) (catatan kaki dihilangkan), dapat dilihat di http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G07/437/71/PDF/G0743771.pdf
311
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang semestinya terhadap, keputusan tertulis dari pengadilan, dan paling sedikit pengadilan banding pertama dimana undang-undang domestik memberikan beberapa tingkat banding, juga dokumen lainnya, seperti transkrip persidangan, yang diperlukan untuk mendapatkan pelaksanaan hak banding yang efektif. Keefektifan hak ini juga dilemahkan, dan pasal 14 ayat 5 dilanggar, jika tinjauan oleh pengadilan tingkat yang lebih tinggi ditunda secara berlebihan yang melanggar ayat 3 (c) dari ketentuan yang sama. 50. Sebuah sistem peninjauan pengawasan yang hanya berlaku untuk hukuman yang eksekusinya telah dimulai tidak memenuhi persyaratan pasal 14, ayat 5, tanpa memandang apakah tinjauan tersebut diminta oleh orang yang bersalah atau tergantung kekuasaan diskresi seorang hakim atau jaksa.
Berbagai Traktat dan Piagam Regional Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar 10
Pasal 6 – Hak untuk pengadilan yang adil (1) Dalam menentukan berbagai hak dan kewajiban sipil atau setiap tuntutan pidana yang dituduhkan terhadap seseorang, setiap orang berhak mendapatkan pengadilan yang adil dan terbuka dengan dalam jangka waktu yang masuk akal oleh tribunal yang independen dan tidak memihak yang dibentuk oleh undang-undang. Keputusan wajib diumumkan secara publik tetapi pers dan masyarakat luas dapat dikecualikan dari seluruh atau sebagian pengadilan atas kepentingan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional di dalam masyarakat demokratis, dimana kepentingan generasi muda atau perlindungan terhadap kehidupan pribadi dari pihak-pihak diperlukan, atau sejauh diperlukan secara ketat dalam opini pengadilan dalam keadaan khusus dimana publisitas dapat menimbulkan prasangka terhadap kepentingan keadilan.
10 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 4 Nov 1950, C.E.T.S No. 5 (diberlakukan 3 Sept, 1953), dapat dilihat di http://conventions. coe.int.Treaty/en/Html/005.htm.
312
Appendix A
(2) Setiap orang yang dituduh melakukan tindakan pidana harus diduga tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah menurut undang-undang. (3) Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana memiliki hak minimum sebagai berikut: (a) untuk
diberitahukan
segera,
dalam
bahasa
yang
dapat
dimengertinya dan secara rinci mengenai sifat dan akibat tuduhan terhadapnya; (b) untuk
memiliki
waktu
dan
fasilitas
yang
cukup
untuk
mempersiapkan pembelaannya;
(c) untuk melakukan pembelaan sendiri atau melalui pembelaan yang dipilihnya sendiri, atau jika ia tidak memiliki sumber yang mencukupi untuk membayar bantuan hukum, maka diberikan secara cuma-cuma dimana dibutuhkan oleh kepentingan keadilan;
(d) untuk memeriksa atau telah memeriksa para saksi meringankan dan memperoleh kehadiran dan pemeriksaan para saksi yang meringankan dengan kondisi yang sama dengan para saksi yang memberatkan;
(e) mendapatkan bantuan cuma-cuma seorang penerjemah jika dia tidak dapat mengerti atau berbicara bahasa yang digunakan di dalam pengadilan.
Pasal 8 – Hak untuk dihormati kehidupan pribadi dan keluarganya (1) Setiap orang memiliki hak untuk dihormati kehidupan pribadi dan keluarganya, rumahnya dan korespondensinya. (2) Tidak ada campur tangan dari otoritas publik dalam pelaksanaan hak ini kecuali yang sesuai dengan hukum dan diperlukan di dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional, keselamatan masyarakat atau kesejahteraan ekonomi negara, untuk pencegahan ketidaktertiban atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan atau moral, atau untuk perlindungan hak dan kebebasan lainnya.
Pasal 9 – Kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama (1) Setiap orang memiliki hak kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama; hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaannya, baik sendiri ataupun bersama-sama dengan yang
313
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
lainnya dan secara umum atau pribadi, untuk mewujudkan agama atau kepercayaannya dalam ibadah, ceramah, praktik dan kepatuhan. (2) Kebebasan untuk mewujudkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi jika diatur oleh hukum dan diperlukan di dalam
masyarakat
demokratis
untuk
kepentingan
keamanan
nasional, keselamatan masyarakat atau kesejahteraan ekonomi negara, untuk pencegahan ketidaktertiban atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan atau moral, atau untuk perlindungan hak dan kebebasan lainnya.
Pasal 10 – Kebebasan Berekspresi (1) Setiap orang memiliki hak untuk kebebasan berekspresi. Hak ini wajib termasuk kebebasan berpendapat dan untuk menerima dan mengirimkan informasi dan ide tanpa campur tangan dari otoritas publik dan terlepas dari batasan-batasan. Pasal ini tidak menghalangi Negara dari mempersyaratakan perizinan untuk perusahaan penyiaran, televisi atau sinema. (3) Pelaksanaan kebebasan ini sesuai tugas dan tanggung jawabnya, dibatasi oleh tata tertib, persyaratan atau hukuman sebagaimana diatur oleh hukum dan diperlukan di dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional, keselamatan masyarakat atau kesejahteraan ekonomi negara, untuk pencegahan ketidaktertiban atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan atau moral, atau untuk perlindungan hak dan kebebasan lainnya, untuk mencegah pengungkapan
informasi
yang
diterima
secara
rahasia,
atau
mempertahankan otoritas dan ketidakberpihakan sistem peradilan.
Pasal 11 – Kebebasan berkumpul dan berserikat (1) Setiap orang memiliki hak kebebasan berkumpul secara damai dan kebebasan untuk berserikat dengan yang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat perdagangan untuk perlindungan kepentingannya. (2) Tidak ada pembatasan yang diterapkan terhadap pelaksanaan hak-hak ini kecuali yang diatur oleh hukum dan diperlukan di dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional, keselamatan masyarakat atau kesejahteraan ekonomi negara, untuk pencegahan ketidaktertiban atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan atau
314
Appendix A
moral, atau untuk perlindungan hak dan kebebasan lainnya. Pasal ini tidak mencegah diberlakukannya pembatasan yang sah terhadap pelaksanaan hak-hak ini oleh anggota-anggota angkatan bersenjata, polisi atau administrasi Negara.
Pasal 13 – Hak untuk Memperoleh Pemulihan yang Efektif Semua orang yang hak dan kebebasannya diatur dalam Konvensi ini dilanggar wajib memperoleh pemulihan yang efektif dimuka otoritas nasional meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh seseorang yang bertindak dalam kapasitas resmi.
Protokol No. 1 dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar 11
Pasal 3 – Hak untuk Pemilu yang bebas Pihak Penandatangan melaksanakan pemilu yang bebas dengan rentang waktu yang masuk akal dengan surat suara yang rahasia, di bawah persyaratan yang menjamin kebebasan ekspresi yang bebas dari opini seseorang memilih legislatif.
Protokol No. 7 dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar 12
Pasal 2 – Hak mengajukan banding dalam Perkara Pidana (1) Setiap orang yang dihukum karena tindak pidana oleh suatu tribunal, berhak agar hukumannya ditinjau oleh tribunal yang lebih tinggi. Pelaksanaan hak ini termasuk landasan pelaksanaannya, wajib diatur oleh hukum. (2) Hak ini mungkin dikecualikan jika terkait pelanggaran yang bersifat minor, yang diatur oleh hukum , atau di dalam kasus dimana orang
11 Protocol No. 1 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 20 Mar 1952, C.E.T.S No. 9 (diberlakukan 18 Mei, 1954), dapat dilihat di http:// conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Html/009.htm 12 Protocol No. 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 22 Nov 1984, C.E.T.S No. 117 (diberlakukan 1 Nov, 1954), dapat dilihat di http:// conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Html/117.htm
315
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
yang terkait disidang tingkat pertama oleh tribunal tertinggi atau dihukum menyusul sebuah banding melawan vonis bebas.
Konvensi Antar-Amerika tentang Hak Asasi Manusia 13
Pasal 1 (1) Pihak Negara dari Konvensi ini menghargai hak-hak dan kebebasan yang diakui di sini dan memastikan kapada semua orang sesuai dengan yurisdiksinya pelaksanaan hak-hak dan kebebasan tersebut dengan bebas dan sepenuhnya tanpa adanya diskriminasi dengan alasan-alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politis atau opini lainnya, asal kewarganegaraan, atau status sosial ekonomi, kelahiran atau kondisi sosial lainnya apapun. (2) Untuk maksud Konvensi ini, “orang” berarti setiap manusia.
Pasal 2 Dimana pelaksanaan setiap hak-hak atau kebebasan yang dirujuk di dalam Pasal 1 tidak siap dijamin oleh lembaga legislatif atau ketentuan lainnya, Pihak Negara akan mengusahakan untuk mengadopsi, sesuai dengan proses konstitusional mereka dan ketentuan dari Konvensi ini, seperti tindakan-tindakan legislatif atau yang lainnya yang mungkin diperlukan untuk memberikan pengaruh terhadap hak-hak atau kebebasan tersebut.
Pasal 8 (1) Setiap orang memiliki hak untuk sebuah sidang, dengan jaminan dan dalam waktu yang masuk akal, oleh sebuah tribunal yang kompeten, mandiri dan tidak memihak, yang sebelumnya dibentuk oleh undangundang dalam pemeriksaan setiap tuduhan yang bersifat kriminal terhadapnya atau untuk penentuan hak dan kewajibannya yang bersifat sipil, ketenagakerjaan, fiskal atau yang lainnya. (2) Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana memiliki hak praduga tidak bersalah selama kesalahannya belum terbukti menurut undang-undang. Selama proses persidangan, setiap orang berhak, dengan kesetaraan yang penuh, jaminan minimum berikut ini: 13 Inter-American Convention on Human Rights, pasal 23, 22 Nov, 1969, O.A.S.T.S, No. 36, dapat dilihat di http://www.oas.org/juridico/English/treaties/b-32.html.
316
Appendix A
(a) hak tertuduh untuk dibantu tanpa dikenakan biaya oleh penerjemah, jika ia tidak mengerti atau tidak berbicara bahasa yang digunakan pada tribunal atau pengadilan;
(b) pemberitahuan
sebelumnya
secara
rinci
kepada
tertuduh
mengenai tuduhan kepadanya;
(c) waktu dan alat yang memadai untuk mempersiapkan pembelaannya;
(d) hak tertuduh untuk membela dirinya secara pribadi atau dibantu oleh penasihat hukum yang dipilihnya sendiri, dan untuk berkomunikasi secara bebas dan pribadi dengan penasihatnya;
(e) hak yang tidak dapat dipisahkan untuk dibantu oleh penasihat yang disediakan oleh negara, dibayar ataupun tidak sebagaimana diatur oleh hukum domestik, jika tertuduh tidak membela dirinya secara pribadi atau melibatkan penasihatnya dalam waktu yang diatur oleh undang-undang;
(f) hak pembela untuk memeriksa para saksi yang hadir di pengadilan dan untuk memperoleh kemunculan baik para saksi, ahli ataupun orang-orang lainnya yang dapat menjelaskan mengenai faktafaktanya;
(g) hak untuk tidak dipaksakan menjadi saksi melawan dirinya sendiri
(h) hak untuk mengajukan banding keputusan ke pengadilan yang
atau untuk mengaku bersalah; lebih tinggi. (3) Pengakuan bersalah oleh tertuduh hanya sah jika dibuat tanpa paksaan apapun juga. (4) Tertuduh yang divonis bebas oleh sebuah keputusan yang tidak dapat dibanding, tidak dapat diajukan ke sidang yang baru untuk alasan yang sama. (5) Rangkaian persidangan pidana wajib dibuat terbuka; kecuali sepanjang diperlukan untuk melindungi kepentingan keadilan.
Pasal 23 (1) Setiap warga negara berhak atas hak-hak dan kesempatan sebagai berikut:
(a) Untuk ikut serta dalam melaksanakan urusan publik, secara langsung atau tidak langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas;
317
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
(b) Untuk memilih atau dipilih dalam pemilihan berjangka yang murni, yang akan dilakukan melalui hak memilih yang universal dan setara dan melalui surat suara rahasia yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat dan keinginan para pemilih; dan
(c) Untuk memiliki akses, berdasarkan persyaratan umum kesetaraan, terhadap pelayanan publik di negaranya.
(2) Undang-undang
dapat
mengatur
pelaksanaan
hak-hak
dan
kesempatan yang dimaksud dalam ayat sebelumnya hanya atas dasar usia, kebangsaan, domisili, bahasa, pendidikan, kapasitas sipil dan mental, atau hukuman yang diputuskan oleh pengadilan yang berwenang dalam suatu persidangan pidana.
Pasal 25 (1) semua orang berhak untuk memperoleh penyelesaian perkaranya dengan singkat dan segera, atau penyelesaian perkara lain yang efektif, ke pengadilan atau tribunal yang kompeten untuk perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasarnya yang dijamin oleh konstitusi atau undang-undang negara tersebut atau oleh Konvensi ini, meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh seseorang yang bertindak dalam kapasitas resmi. (2) Negara pihak berupaya:
(a) untuk memastikan bahwa setiap orang yang menuntut pemulihan ini akan memperoleh pemeriksaan atas haknya oleh otoritas yang kompeten yang disediakan oleh sistem hukum negara yang bersangkutan;
(b) untuk mengembangkan kemungkinan untuk suatu pemulihan melalui pengadilan; dan
(c) untuk
memastikan
bahwa
otoritas
yang
kompeten
menegakkan pemulihan tersebut, ketika diberikan.
318
akan
Appendix A
Piagam Afrika Tentang Hak Manusia dan Rakyat
14
Pasal 6 Setiap individu memiliki hak untuk kebebasan dan keamanan dirinya. Tidak ada individu yang dapat dirampas kebebasannya kecuali untuk berbagai alasan dan persyaratan yang sebelumnya diatur oleh undang-undang. Khususnya, tidak ada yang dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.
Pasal 7 (1) Setiap individu memiliki hak alasannya didengar. Hal ini terdiri dari:
(a) hak untuk mengajukan banding ke organ nasional yang kompeten terhadap tindakan yang melanggar hak-hak dasarnya yang diakui dan dijamin oleh berbagai konvensi, undang-undang, peraturan dan kebiasaan yang berlaku;
(b) hak praduga tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah oleh
(c) hak untuk membela diri, termasuk hak untuk dibela oleh penasihat
(d) hak untuk disidang dalam waktu yang masuk akal oleh pengadilan
pengadilan tribunal yang kompeten; hukum yang menjadi pilihannya; dan atau tribunal yang tidak berpihak. (2) Tidak ada seorang pun yang dapat dihukum atas tindakan atau kealpaannya yang tidak temasuk pelanggaran yang dapat dihukum menurut hukum pada saat perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada hukuman yang dapat dikenakan atas sebuah pelanggaran dimana tidak ada ketentuan yang dibuat pada saat perbuatan tersebut dilakukan. Hukuman bersifat pribadi dan hanya dapat dikenakan pada pelanggarnya.
Pasal 13 (1) Setiap warga negara berhak untuk secara bebas ikut serta dalam pemerintah negaranya, baik secara langsung atau tidak langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas sesuai dengan ketentuan hukum.
14 African Charter on Human and People’s Rights, 27 Juni, 1981, OAU Doc. CAB/LEG/67/3rev. 5, 21 I.L.M.58 (diberlakukan 21 Okt, 1986), dapat dilihat di http://www.1.umn.edu/ humanrts/instree/z1afchar.htm
319
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
(2) Setiap warga negara berhak atas akses yang sama terhadap pelayanan publik di negaranya. (3) Setiap perorangan berhak atas akses terhadap kepemilikan umum dan pelayanan yang setara secara mutlak dari semua orang di hadapan hukum.
Pasal 25 Para pihak Negara di dalam Pagam ini memiliki tugas untuk mempromosikan dan menjamin melalui pengajaran, pendidikan dan publikasi, penghormatan terhadap berbagai hak dan kebebasan yang dimuat di dalam Piagam ini dan untuk menjaga bahwa berbagai kebebasan dan hak ini serta kewajiban dan tugasnya dapat dipahami.
Deklarasi Persatuan Antar-Parlemen tentang Kriteria Pemilu yang Bebas dan Adil 15
Pasal 3 Pencalonan, Partai dan Hak-hak dan Tanggungjawab Kampanye (1) Setiap orang berhak untuk ikut serta dalam pemerintah negara mereka dan harus memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi calon dalam pemilihan. Kriteria untuk keikutsertaan dalam pemerintah ditentukan sesuai dengan konstitusi nasional dan undang-undang serta tidak boleh bertentangan dengan kewajiban internasional Negara. (2) Setiap orang berhak untuk bergabung dengan, atau bersamaan dengan orang lain untuk mendirikan, suatu partai politik atau organisasi untuk maksud bersaing dalam pemilihan. (3) Setiap orang baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan orang lain berhak:
• Untuk menyatakan pendapat politik tanpa campur tangan
• Untuk mencari, menerima dan memberikan keterangan dan untuk
• Untuk bergerak secara bebas dalam negara untuk melakukan
(orang lain); membuat suatu pilihan berdasarkan pengetahuan; kampanye pemilihan; 15 Inter-Parliamentary Council (sekarang disebut Governing Council), Declaration on Criteria for Free and Fair Elections, 54th Sess, C.P. 330 (26 Mar, 1994), dapat dilihat di http://ipu. org/cnl-e/154-free.htm.
320
Appendix A
• Untuk berkampanye atas dasar kesetaraan dengan partai politik lainnya, termasuk dengan partai yang membentuk pemerintahan yang sedang berkuasa.
(4) Setiap kandidat pemilu dan partai politik memiliki kesempatan yang sama atas akses terhadap media, khususnya media komunikasi massa, untuk menyampaikan pendapat politik mereka. (5) Hak para calon atas keamanan dalam kaitannya dengan hidup dan hak milik mereka harus dihormati dan dilindungi. (6) Setiap individu dan setiap partai politik berhak atas perlindungan hukum dan berhak terhadap tindakan hukum untuk pelanggaran atas hak-hak politik dan pemilihannya. (7) Hak-hak di atas hanya bisa dibatasi oleh sesuatu yang luar biasa sifatnya, sesuai dengan undang-undang dan diperlukan secara wajar dalam suatu masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum (public order), perlindungan kesehatan atau moral umum atau perlindungan hak-hak dan kebebasan orang lain dan dengan ketentuan bahwa itu semua sesuai dengan kewajiban Negara berdasarkan hukum internasional. Pembatasan yang diperkenankan atas pencalonan, pendirian dan kegiatan partai politik dan hak kampanye tidak dapat diberlakukan jika melanggar prinsip nondiskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal usul nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. (8) Setiap individu atau partai politik yang pencalonannya, hakhak partai atau kampanyenya ditolak atau dibatasi berhak untuk mengajukan banding kepada pihak yang berwenang untuk meninjau kembali keputusan tersebut dan dengan segera dan secara efektif memperbaiki kesalahannya. (9) Hak-hak pencalonan, partai dan kampanye membawa tanggung jawab kepada masyarakat. Pada khususnya, calon atau partai politik dilarang untuk melakukan kekerasan. (10) Setiap calon dan partai politik yang bersaing dalam suatu pemilihan harus menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain. (11) Setiap calon dan partai politik yang bersaing dalam suatu pemilihan harus menerima hasil dari pemilihan yang bebas dan adil.
321
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 4 Hak dan Tanggung Jawab Negara (1) Negara seharusnya mengambil langkah-langkah legislatif dan tindakan lainnya yang diperlukan yang sesuai dengan proses konstitusional mereka, untuk menjamin hak-hak dan kerangka institusional untuk pemilu yang berkala dan murni, bebas dan adil, sesuai dengan kewajiban mereka di bawah hukum internasional. Khususnya, negara harus:
- Menyusun sebuah prosedur yang efektif, tidak memihak dan non-
- Menyusun kriteria yang jelas untuk pendaftaran pemilh, seperti
diskriminatif untuk pendaftaran pemilih; usia, kewarganegaraan dan tempat tinggal, serta menjamin bahwa ketentuan tersebut diterapkan tanpa pembedaan apa pun;
- Mengijinkan pembentukan partai pelaksanaan fungsi bebas dari partai politik, mungkin saja mengatur pendanaan partai politik dan kampanye pemilu, memastikan pemisahan partai dan negara, serta menyusun persyaratan kompetisi dalam pemilu legislatif dengan secara adil;
- Merintis atau memfasilitasi program-program nasional pendidikan kewarganegaran, untuk memastikan bahwa penduduk terbiasa dengan prosedur dan isu pemilu;
(2) Selain itu, Negara seharusnya mengambil keputusan dan langkah kelembagaan yang diperlukan untuk menjamin pencapaian yang progresif dan konsolidasi tujuan demokrasi, termasuk pembentukan mekanisme
manajemen
pemilu
yang
netral,
tidak
memihak
atau seimbang.
Dengan melakukan hal itu, mereka seharusnya antara lain:
- Memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab terhadap aspek yang beragam dari pemilu telah terlatih dan bertindak tidak memihak, serta prosedur pemungutan suara yang koheren disusun dan diberitahukan kepada masyarakat pemilih;
- Memastikan pendaftaran pemilih, memutakhirkan daftar pemilih dan prosedur surat suara, dengan asistensi pemantau nasional dan internasional sebagaimana mestinya;
- Mendorong para pihak, kandidat dan media untuk menerima dan mengadopsi Pedoman Perilaku (Code of Conduct) untuk mengatur masa kampanye pemilu dan pemungutan suara;
322
Appendix A
- Menjamin integritas suara suara melalui tindakan yang semestinya untuk mencegah pemungutan suara ganda atau pemungutan suara oleh mereka yang tidak berhak;
- memastikan integritas proses penghitungan suara melalui upayaupaya untuk mencegah suara berganda atau suara diberikan oleh orang pemilih yang berhak.
-
Memastikan integritas proses penghitungan surat suara.
(3) Negara wajib menghormati dan menjamin hak-hak asasi setiap individu dalam teritori mereka dan tergantung pada yurisdiksinya. Pada waktu pemilu, Negara dan organ-organnya seharusnya menjamin:
- Bahwa kebebasan bergerak, berkumpul, berserikat dan berekspresi
- Bahwa partai dan kandidat bebas untuk mengkomunikasikan
dihormati, khususnya dalam konteks pawai dan rapat politik; pandangan mereka kepada pemilih, dan bahwa mereka menikmati kesetaraan akses terhadap media Negara dan pelayanan publik; - Bahwa
diambil
langkah-langkah
yang
diperlukan
untuk
menjamin liputan yang non-partisan di dalam media Negara dan pelayanan publik, (4) Agar membuat pemilu adil, Negara seharusnya melakukan berbagai tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa para pihak dan kandidat menikmati peluang yang wajar untuk menampilkan platform pemilu mereka. (5) Negara seharusnya melakukan semua tindakan yang diperlukan dan semestinya untuk menjamin bahwa prinsip kerahasiaan surat suara dihormati, dan pemilih dapat melakukan pemungutan suara dengan bebas, tanpa rasa takut atau intimidasi. (6) Lebih lanjut, otoritas Negara seharusnya memastikan bahwa pemungutan suara dilakukan sedemikian rupa sehingga menghindari kecurangan atau tindakan illegal lainnya, bahwa keamanan dan integritas proses dijaga, serta penghitungan surat suara dilakukan oleh petugas yang terlatih, dengan pemantauan dan/atau pemeriksaan yang tidak memihak. (7) Negara seharusnya melakukan semua tindakan yang diperlukan dan layak untuk menjamin transparansi proses pemilu secara keseluruhan, termasuk, contohnya melalui kehadiran perwakilan para pihak dan pemantau yang terakreditasi sebagaimana mestinya. (8) Negara seharusnya melakukan berbagai tindakan yang diperlukan untuk
323
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
menjamin bahwa para pihak, kandidat dan pendukung mendapatkan keamanan yang adil, dan bahwa otoritas Negara mengambil langkahlangkah yang diperlukan untuk mencegah kekerasan pemilu. (9) Negara seharusnya menjamin bahwa pelanggaran hak asasi manusia dan pengaduan terkait proses pemilu diputuskan dengan segera dalam kerangka waktu proses pemilu dan secara efektif oleh otoritas yang independen dan tidak memihak, seperti komisi pemilu atau pengadilan.
Deklarasi Prinsip-Prinsip Pengaturan Pemilu yang Demokratis di Afrika 16
Pasal II – Prinsip-Prinsip Pemilu yang Demokratis (1) Pemilu yang demokratis merupakan basis dari otoritas pemerintah berdasarkan perwakilan mana pun; (2) Pemilu berkala merupakan elemen kunci proses demokratisasi dan oleh karenanya, merupakan hal yang amat penting untuk tata kepemerintahan yang baik, prinsip negara hukum, penegakan dan peningkatan perdamaian, keamanan, stabilitas dan pembangunan; (3) Mengadakan pemilu yang demokratis merupakan dimensi yang penting dalam pencegahan, manajemen dan penyelesaian konflik; (4) Pemilu yang demokratis seharusnya dilaksanakan:
(a) secara bebas dan adil;
(b) di bawah konstitusi yang demokratis dan memenuhi instrumen hukum yang mendukung;
(c) di bawah sebuah sistem pemisahan kekuasaan yang memastikan secara khusus, kemandirian sistem peradilan;
(d) dilaksanakan pada rentang waktu berkala sebagaimana diatur dalam Konstitusi Nasional;
(e) oleh lembaga pemilu yang tidak memihak, kompeten yang memiliki staf yang terlatih dengan baik dan dilengkapi dengan logistik yang memadai;
16 Organization of African Unity, Declaration on the Principles Governing Democratic Elections in Africa, 38th Ordinary Sess,. AHG/decl. 1 (xxxviii) (8 Juli, 2002), dapat dilihat di http://www.au2002.go.za/docs/summit_council/oaudec2.htm.
324
Appendix A
Pasal III – Tanggung Jawab untuk Negara Anggota Kami berkomitmen pemerintahan kami untuk:
(a) melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memastikan pelaksanaan yang seksama tentang prinsip-prinsip di atas, yang sesuai dengan proses konstitusional negara masing-masing;
(b) membentuk (jika belum ada), lembaga-lembaga yang semestinya ada dimana isu-isu seperti pedoman perilaku, persyaratan kewarganegaraan, kediaman, persyaratan usia untuk pemilih, kompilasi pendaftaran pemilih, dll akan ditangani;
(c) membangun suatu badan pemilu nasional yang tidak memihak, merangkul semua pihak (all-inclusive), dan akuntabel yang diisi dengan staf yang memenuhi syarat, serta lembaga hukum yang kompeten, termasuk pengadilan konstitusional yang efektif untuk melakukan arbitrase dalam sengketa-sengketa yang muncul dari pelaksanaan pemilu;
(d) mengamankan kebebasan manusia dan sipil dari seluruh warga negara
termasuk
kebebasan
untuk
bergerak,
berkumpul,
berserikat, berekspresi, dan berkampanye serta akses terhadap media di seluruh bagian pemangku kepentingan, selama proses pemilu;
(e) mempromosikan pendidikan kewarganegaraan dan pemilih dalam berbagai prinsip dan nilai demokratis bekerjasama erat dengan kelompok masyarakat sipil dan pemangku kepentingan yang relevan lainnya;
(f) melakukan berbagai tindakan dan pencegahan yang diperlukan untuk mencegah tindak kecurangan, persekongkolan atau praktikpraktik tidak sah lainnya sepanjang keseluruhan proses pemilu, dalam rangka menjaga kedamaian dan keamanan;
(g) memastikan ketersediaan logistik dan sumber daya yang memadai untuk melaksanakan pemilu yang demokratis, juga menjamin tersedianya pendanaan yang memadai bagi seluruh partai politik yang terdaftar yang memungkinkan mereka mengorganisasikan pekerjaan mereka, termasuk partisipasi dalam proses pemilu;
(h) memastikan bahwa keamanan yang memadai diberikan kepada
(i) memastikan transparansi dan integritas keseluruhan proses
seluruh pihak yang berpartisipasi di dalam pemilu; pemilu dengan memfasilitasi penggunaan perwakilan partai politik
325
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
dan kandidat perorangan di tempat pemungutan dan penghitungan suara dan oleh pengamat/pemantau nasional yang terakreditasi;
(j) mendorong partisipasi perempuan-perempuan Afrika dalam seluruh aspek proses pemilu yang sesuai dengan undangundang nasional.
Pasal VI – Peran dan Mandat Sekretaris Jenderal Lebih lanjut meminta Sekretaris Jenderal OAU untuk melakukan seluruh tindakan yang diperlukan untuk memastikan pelaksanaan Deklarasi ini dengan melaksanakan, khususnya, kegiatan-kegiatan berikut:
(a) Memperkuat perannya dalam pengamatan dan pemantauan pemilu dengan kerangka hukum negara bersangkutan, yang sesuai dengan nota kesepahaman yang dicapai dengan negara tersebut;
(b) Memobilisasi dana anggaran tambahan untuk memperluas basis sumber daya kantor Sekretaris Jenderal sehingga dapat memfasiltiasi pelaksanaan dari Deklarasi ini;
(c) Melaksanakan studi kelayakan tentang pembentukan Dana Bantuan Demokratisasi dan Pemilu (Democratization and Electoral Assistance Fund), untuk memfasilitasi keberhasilan pelaksanaan Deklarasi ini;
(d) Melakukan studi kelayakan tentang pembentukan Unit Monitoring Demokratisasi dan Pemilu di dalam Sekretaris Jenderal OAU yang akan juga menangani isu-isu tata kepemerintahan;
(e) Mengumpulkan dan mengelola daftar para ahli Afrika dalam bidang pengamatan dan pemantauan pemilu dan demokratisasi secara umum dalam rangka menugaskan para pengamat yang kompeten dan profesional yang siap setiap saat ketika mereka diperlukan. Negara Anggota diminta untuk membantu dengan mengajukan nama-nama ahli mereka kepada Sekretaris Jenderal;
(f) Meningkatkan standar prosedur, persiapan dan perlakuan yang lebih baik kepada pegawai yang dipilih ditunjuk untuk melaksanakan misi pengamatan OAU;
(g) Mempromosikan kerjasama dan kemitraan dengan Organisasi Afrika dan Organisasi Internasional, juga berbagai lembaga nasional, organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat sipil yang terlibat di dalam pekerjaan pengamatan dan pemantauan pemilu;
326
(h) Menerbitkan dan menyiapkan Laporan Sekretaris Jenderal tentang
Appendix A
pengamatan/pemantauan pemilu dan kegiatan terkait lainnya yang terbuka untuk seluruh Negara Anggota dan masyarakat luas, sebagai alat untuk mengkonsolidasikan proses pemilu dan demokratisasi di benua ini.
Konvensi Standar Pemilu Demokratis, Hak dan Kebebasan Pemilu di Negara-Negara Anggota Persemakmuran dari NegaraNegara Independen (Member States of the Commonwealth of Independent States) 17
Pasal 7 – Pemilu yang Terbuka dan Transparan (1) Persiapan dan pelaksanaan pemilu wajib dilaksanakan secara terbuka dan dimuka publik. (2) Keputusan-keputusan badan pemilu, otoritas negara dan pemerintah lokal, yang dibuat dalam kerangka kompetensi mereka yang terkait dengan penetapan jangka waktu, persiapan dan pelaksanaan pemilu, untuk memberikan dan melindungi hak pilih dan kebebasan warganegara, dalam cara yang wajib, haruslah dilakukan dengan publikasi resmi, atau dipublikasikan dengan cara yang lain, yang sesuai dengan prosedur dan yang diatur oleh undang-undang. (3) Tindakan dan keputusan hukum terkait hak pilih warga negara, kebebasan dan kewajiban tidak dapat dilaksanakan jika hal tersebut tidak dikomunikasikan ke publik secara resmi. (4) Badan pemilu di dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan pemilu, wajib, dalam perangkat persnya atau media massa lainnya, mempublikasikan informasi tentang hasil pemilu serta data orang-orang yang terpilih. (5) Pengamatan terhadap prinsip keterbukaan dan publisitas pemilu seharusnya membentuk dasar bagi pelaksanaan pemantauan pemilu oleh badan publik dan internasional.
17 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Convention on the Standards of Democratic Elections, Electoral Rights dan Freedom in the Member States of the Commonwealth of Independent States, Opinion No. 339/2006 (22 Jan, 2007), dapat dilihat di http://www.venice.coe.int/docs/2006/CD-EL(2006)031rev-e.pdf.
327
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 10 – Pemilu yang Adil (1) Kepatuhan terhadap prinsip pemilu yang adil seharusnya mendukung pembentukan persyaratan hukum yang setara bagi seluruh peserta proses pemilu. (2) Selain melaksanakan pemilu yang adil, hal-hal yang harus dijamin:
(a) Hak pilih yang universal dan setara;
(b) Peluang yang setara untuk setiap kandidat atau setiap partai politik (koalisi) untuk berpartisipasi dalam kampanye pemilu, termasuk akses terhadap media dan perangkat telekomunikasi;
(c) Pembiayaan yang adil dan terbuka terkait dengan pemilu, kampanye pemilu para kandidat, partai politik (koalisi);
(d) Kejujuran
ketika
melakukan
pemungutan
suara
dan
penghitungannya, komunikasi yang penuh dan cepat tentang hasil pemungutan suara dengan menerbitkan seluruh hasil secara resmi;
(e) Pelaksanaan proses pemilu oleh badan pemilu yang tidak memihak, yang bekerja dengan terbuka dan bersifat publik di bawah sebuah pemantauan yang efektif oleh badan-badan publik dan internasional;
(f) Suatu pemeriksaan yang cepat dan efektif oleh pengadilan dan badan lain yang diberikan kekuasaan untuk melakukan hal tersebut atas pengaduan tentang pelanggaran hak pilih dan kebebasan warga negara, kandidat, partai politik (koalisi) dalam kerangka waktu pada setiap tahap pada proses pemilu, pemberian hak kepada warga negara untuk mengajukan permohonan ke badan peradilan internasional untuk memperoleh perlindungan dan penggantian atas hak dan kebebasan suara mereka sesuai dengan prosedur yang diatur oleh norma-norma hukum internasional.
(3) Para kandidat dapat diajukan oleh pemilih dari distrik pemilu yang relevan dan/atau mencalonkan dirinya sendiri untuk pemilu. Kandidat dan/atau daftar kandidat juga dapat diajukan oleh partai politik (koalisi), organisasi publik lainnya dan mereka yang memiliki hak untuk mengajukan kandidat dan/atau daftar kandidat, yang disebutkan di dalam Konstitusi, dan undang-undang.
328
Appendix A
Pasal 15 – Status dan Kekuasaan Pemantau Internasional (1) Para pihak dengan ini berangkat dari asumsi bahwa kehadiran para pemantau pemilu internasional meningkatkan keterbukaan dan transparansi pemilu dan memastikan kepatuhan komitmen internasional dari negara-negara. Mereka akan berusaha untuk meningkatkan akses pemantau pemilu terhadap proses pemilu yang dilaksanakan di tingkat yang lebih rendah dari tingkat nasional, termasuk tingkat kabupaten. (2) Kegiatan para pemantau internasional diatur oleh undang-undang negara dimana pemantau bertugas, oleh Konvensi ini, dan dokumen internasional lainnya. (3) Para pemantau internasional pemilu wajib meminta izin untuk memasuki teritori sebuah negara sesuai dengan prosedur yang diatur oleh undang-undang, dan mereka diakreditasi oleh badan pemilu yang relevan saat menunjukkan undangan tersebut. Undangan dapat dikirim oleh badan-badan yang diberi kewenangan oleh undangundang dengan publikasi resmi keputusan tentang pelaksanaan pemilu. Proposal untuk mengirim undangan dapat dikirimkan oleh badan resmi dari Negara-Negara Anggota Persemakmuran NegaraNegara Independen. (4) Suatu badan pemilu pusat akan menerbitkan sebuah sertifikat atau akreditasi dari pola yang mapan untuk seorang pemantau internasional. Sertifikasi itu memberi pemantau internasional hak untuk melaksanakan pemantauan di dalam masa persiapan dan pelaksanaan pemilu. (5) Seorang pemantau internasional wajib, selama tinggal di wilayah negara yang didatanginya, berada di bawah perlindungan negara yang bersangkutan. Badan Pemilu, badan pemerintah dan pemerintah lokal diwajibkan memberikan mereka bantuan yang diperlukan dalam cakupan kompetensinya. (6) Seorang pemantau internasional wajib melaksanakan aktivitasnya secara mandiri dan independen. Penyediaan materi dan keuangan dari aktivitas pemantau internasional dilakukan atas biaya pihak yang telah menugaskan pemantau, atau atas biaya mereka sendiri. (7) Pemantau internasional tidak dapat menggunakan status mereka untuk melaksanakan aktivitas yang tidak terkait dengan pemantauan
329
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kampanya pemilu. Para Pihak di sini memiliki hak untuk mencabut akreditasi para pemantau internasional yang melanggar undangundang, prinsip-prinsip yang diterima umum dan standar internasional. (8) Para pemantau internasional memiliki hak:
(a) untuk memiliki akses terhadap seluruh dokumen (yang tidak melanggar batas kepentingan keamanan nasional) yang mengatur proses pemilu, untuk menerima informasi yang relevan dari badan pemilu dan salinan dari dokumen pemilu yang disebut dalam undang-undang nasional;
(b) untuk menghubungi partai politik, koalisi, kandidat, perorangan, pekerja badan pemilu;
(c) untuk mengunjungi secara bebas seluruh tempat pemungutan suara, juga pada hari pemungutan suara;
(d) untuk memantau pemungutan suara, penghitungan suara dan tabulasi hasil pemilu di bawah persyaratan yang diberikan untuk transparansi penghitungan suara;
(e) untuk mengetahui hasil pertimbangan atas pengaduan (pernyataan) dan gugatan terkait pelanggaran undang-undang pemilu;
(f) untuk
memberitahukan
perwakilan
badan
pemilu
tentang
pemantauan dan rekomendasi mereka tanpa campur tangan dalam pekerjaan badan-badan pelaksana pemilu;
(g) untuk menyajikan opini mereka secara publik tentang persiapan dan pelaksanaan pemilu setelah pemungutan suara dilaksanakan;
(h) untuk menyerahkan kesimpulan pemantauan mereka kepada petugas
pemilu,
badan
pemerintah
dan
petugas
yang
relevan lainnya; (9) Para pemantau pemilu berkewajiban:
(a) untuk mematuhi ketentuan Konvensi ini, konstitusi dan undangundang negara yang didatangi dan dokumen internasional lainnya;
(b) untuk memperoleh kartu akreditasi pemantau internasional, yang diterbitkan sesuai prosedur yang diatur oleh negara yang didatanginya, dan menunjukkannya berdasarkan permintaan petugas pemilu;
(c) untuk memenuhi fungsi mereka berdasarkan prinsip-prinsip netralitas, ketidakberpihakan, non-ekspresi terhadap preferensi apapun atau penilaian terhadap badan-badan pemilu, pemerintah, dan lainnya, petugas, peserta proses pemilu;
330
Appendix A
(d) tidak campur tangan dalam proses pemilu;
(e) untuk merumuskan seluruh kesimpulan mereka dengan dasar pemantauan mereka dan materi yang faktual.
Pasal 19 –Hak dan Kewajiban Negara Penandatangan Konvensi (1) Pihak Negara penandatangan Konvensi ini berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah legislatif dan lainnya dalam rangka mengkonsolidasikan jaminan hak pilih dan kebebasan dengan tujuan untuk mempersiapkan dan melaksanakan pemilu yang demokratis, untuk melaksanakan ketentuan Konvensi ini. Standar-standar pemilu yang demokratis, hak pilih dan kebebasan warga negara yang dinyatakan diatas dijamin dengan cara dicantumkan di dalam konstitusi dan undang-undang. (2) Pihak Negara dari Konvensi ini berkomitmen untuk:
(a) menjamin perlindungan berbagai prinsip demokrasi dan standar hak pilih dalam kerangka yang diterima berbagai prinsip dan standar hukum internasional, sifat demokratis pemilu, kebebasan menyatakan kehendak oleh warga negara selama pemilu, justifikasi persyaratan terkait pengakuan atas pemilu telah dilaksanakan secara nyata dan sah;
(b) melakukan berbagai tindakan yang diperlukan yang bertujuan mengadopsi keseluruhan kerangka hukum pemilu oleh badan legislatif nasional dan bahwa norma-norma hukum tersebut memastikan pelaksanaan pemilu seharusnya tidak dimulai oleh suatu keputusan kekuasaan eksekutif;
(c) bertujuan bahwa seluruh atau sebagian mandat deputi kamar kedua (deputy mandates of the second chamber) dari badan legislatif nasional menjadi obyek dari persaingan bebas antar kandidat dan/atau daftar kandidat dalam pemilu skala nasional yang diatur oleh undang-undang;
(d) berjuang untuk menciptakan sebuah sistem jaminan hukum, organisasi dan informasi untuk menjamin hak pilih dan kebebasan warga negara selama masa persiapan dan pelaksanaan pemilu di setiap tingkat, untuk melaksanakan berbagai tindakan legislatif yang diperlukan yang bertujuan memberikan hak wanita dengan adil dan nyata, setara dengan kaum laki-laki, kemungkinan
331
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
untuk melaksanakan hak untuk memilih dan dipilih dalam badan legislatif dan ke jabatan elektif baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari partai politik (koalisi) dengan ketentuan yang sesuai dengan prosedur yang diatur oleh Konstitusi, undang-undang dan ditujukan untuk menciptakan tambahan jaminan dan persyaratan bagi partisipasi dalam pemungutan suara oleh orang dengan kelemahan fisik (penderita cacat, dsb);
(e) melakukan pendaftaran pemilu dengan basis prosedur yang non-diskriminatif dan efektif yang dibentuk oleh legislatif yang
memperkirakan
parameter
pendaftaran
seperti
usia,
kewarganegaraan, tempat tinggal, dokumen mendasar yang mensahkan identitas warga negara;
(f) mengatur dalam undang-undang mengenai tanggung jawab orang yang memberikan informasi tentang pemilih terkait dengan keaslian informasi, kelengkapan informasi yang relevan, dan ketepatan waktu penyerahan informasi tersebut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sifat kerahasiaan data pribadi;
(g) memfasilitasi pembentukan partai politik dan aktivitas bebas mereka yang sah, untuk mengatur dalam pengertian peraturan perundang-undangan pembiayaan partai politik dan proses pemilu, untuk menjamin bahwa hukum dan kebijakan pemerintah menyatakan
pemisahan
antara
partai
dan
negara,
untuk
melaksanakan kampanye pemilu dalam atmosfir kebebasan dan keadilan yang memungkinkan partai dan kandidat untuk menyatakan dengan bebas pandangan dan penilaian mereka, agenda (platform) pemilu, serta memungkinkan para pemilih untuk mengenal mereka, untuk mendiskusikannya dan untuk memilih atau tidak memilih mereka dengan bebas, tanpa takut hukuman atau tuntutan apapun;
(h) menjamin pelaksanaan tindakan yang mengatur ketidakberpihakan dalam peliputan kampanye pemilu oleh mass media, termasuk internet, meniadakan kemungkinan untuk membuat hambatan legal atau administratif yang dapat mencegah akses ke media berdasarkan prinsip non-diskriminatif untuk partai politik dan kandidat, untuk membentuk bank data informasi berdasarkan hasil survei opini publik terkait pemilu, yang datanya akan disajikan kepada peserta proses pemilu serta para pemantau internasional
332
Appendix A
berdasarkan permintaan mereka untuk meminta informasi tersebut atau membuat salinannya, untuk melaksanakan teknologi informasi yang baru yang memberikan karakter pemilu yang terbuka, peningkatan tingkat kepercayaan pemilih dalam hasil pemungutan suara dan pemilu;
(i) untuk mengadopsi program nasional dan mengambil bagian dalam mengembangkan dan mengadopsi program-program antar negara tentang pendidikan kewarganegaraan, untuk memberikan kondisi bagi warga negara dan peserta lainnya di dalam proses pemilu untuk mengenal dan terlatih dalam prosedur dan aturan pemilu dalam rangka meningkatkan budaya hukum mereka dan untuk memperbaiki kualifikasi profesional para petugas pemilu;
(j) untuk memastikan pembentukan badan pemilu yang mandiri dan tidak memihak, untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis, bebas, adil, otentik dan berkala yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional dari negara tersebut dan selaras dengan komitmen internasional negara tersebut;
(k) untuk memberikan kepada kandidat yang menerima sejumlah suara yang diperlukan sebagaimana diatur oleh undang-undang, kemungkinan untuk mengambil jabatan mereka dan untuk tetap berada dalam jabatan mereka sampai habis masa jabatan mereka atau sampai habisnya masa jabatan dalam cara yang lain yang diatur oleh undang-undang;
(l) untuk melakukan upaya-upaya untuk memperkenalkan peraturan tentang daftar pelanganggaran hak pilih dan kebebasan warga negara demikian juga dasar dan prosedur meminta tanggung jawab orang yang menghalangi, dengan cara kekerasan, penipuan, ancaman, pemalsuan, atau dengan cara lain bagi warga negara untuk melaksanakan haknya memilih dan dipilih secara bebas untuk melaksanakan hak pemilu dan kebebasan yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang dengan sanksi pidana, administratif atau yang lainnya.
(m) memfasilitasi pembentukan bank data (informasi) terpadu antar negara tentang peraturan perundang-undangan pemilu nasional, peserta proses pemilu (dengan memperhatikan fakta bahwa data pribadi memiliki sifat rahasia), penegakan hukum dan praktik peradilan, proposal legislatif tentang pengembangan sistem
333
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
pemilu, serta informasi lainnya yang terkait penyelenggaraan proses
pemilu
dengan
tujuan
pertukaran
informasi
dan
penggunaan bersama;
(n) meningkatkan kerjasama antara badan pemilu dari Negara Pihak dari Konvensi ini, termasuk pembentukan dan/atau perluasan mandat dari asosiasi antar negara badan-badan pemilu yang ada.
334
B Lampiran
Kutipan berbagai konstitusi, peraturan dan perundang-undangan nasional terpilih
Appendix B
Konstitusi Nasional Brasil
1
Pengadilan dan Hakim Pemilu Pasal 118. Berikut adalah Badan-badan Pengadilan Pemilu:
I – Pengadilan Pemilu Tinggi (Superior Electoral Court);
II – Pengadilan Pemilu Daerah (Regional Electoral Court);
III – Hakim Pemilu (Electoral Judges)
IV – Dewan Pemilu (Electoral Boards)
Pasal 119. Pengadilan Pemilu Tinggi paling sedikit terdiri dari tujuh anggota yang dipilih:
I – melalui pemilu, dengan pemungutan suara tertutup:
a) tiga hakim dari Hakim-Hakim Mahkamah Agung Federal (Supreme Federal Court); b) dua hakim dari Hakim-Hakim Pengadilan Tinggi (Superior Court of Justice);
II – melalui penunjukan oleh Presiden Republik, dua hakim di antara enam ahli hukum yang memiliki pengetahuan yang baik dalam bidang hukum dan reputasi moral yang baik, dicalonkan oleh Pengadilan Tinggi Federal.
Paragraf tunggal – Pengadilan Tinggi wajib memilih Ketua dan Wakil Ketua-nya di antara Hakim-Hakim Mahkamah Agung Federal, dan Corregidor Electoral-nya di antara Para Hakim Pengadilan Tinggi.
Pasal 120. Terdapat Pengadilan Pemilu Daerah di ibu kota setiap negara bagian dan di Distrik Federal. § 1 – Pengadilan Pemilu Daerah terdiri dari:
I – melalui pemilu, dengan pemungutan suara tertutup:
1 Constituicão Federal [C.F] [Constitution] art. 121, § 1 (Bras, 1988) (sebagaimana diamandemen).
337
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
a) dua hakim dipilih dari hakim-hakim Pengadilan (Court of Justice) b) dua hakim dipilih oleh Pengadilan di antara hakimhakim pengadilan;
II – seorang hakim Pengadilan Daerah Federal yang berkedudukan di ibu kota sebuah negara bagian atau di Distrik Federal atau, jika tidak ada, seorang hakim federal dipilih oleh Pengadilan Daerah Federal yang bersangkutan;
III – melalui penunjukan oleh Presiden Republik, dua hakim dicalonkan oleh Pengadilan dari enam ahli hukum yang memiliki pengetahuan yang baik dalam bidang hukum dan reputasi moral yang baik.
§ 2 – Pengadilan Pemilu Daerah wajib memilih Ketua dan Wakil Ketuanya dari antara hakim-hakimnya. Pasal 121. Sebuah undang-undang tambahan harus mengatur organisasi dan kompetensi pengadilan pemilu, hakim pemilu dan dewan pemilu. § 1 – Anggota-anggota pengadilan, hakim-hakim pengadilan, anggotaanggota dewan pemilu, selama menjabat dan sepanjang dapat diterapkan pada mereka, wajib memperoleh jaminan penuh dan tidak dapat dicopot. § 2 – Hakim Pengadilan Pemilu, kecuali untuk alasan yang dapat dibenarkan, menjabat selama paling sedikit dua tahun, dan tidak pernah lebih dari dua ‘dua-tahun’ periode berturut-turut, dan penggantinya dipilih pada saat yang sama dan melalui prosedur yang sama, dengan jumlah yang sama untuk setiap kategori. § 3 – Keputusan-keputusan Pengadilan Pemilu Tinggi tidak dapat diajukan banding, kecuali yang bertentangan dengan Konstitusi ini dan yang menyangkal asas habeas corpus atau writs of mandamus. § 4 – Keputusan Pengadilan Pemilu Daerah hanya dapat diajukan banding jika:
I – mereka memutus bertentangan dengan sebuah ketentuan yang dinyatakan secara spesifik dari Konstitusi ini atau dari sebuah undang-undang;
II – terdapat perbedaan penafsiran sebuah undang-undang di antara dua atau lebih pengadilan pemilu;
338
Appendix B
III – mereka berhubungan dengan ketidaklayakan atau penerbitan pengesahan kemenangan pemilu pada pemilu federal atau pemilu-pemilu negara bagian;
IV – mereka membatalkan pengesahan kemenangan pemilu atau menyatakan kekalahan pada pemilihan jabatan federal atau negara bagian;
V – mereka menyangkal habeas corpus, writs of mandamus, habeas data atau writs of injunction.
Kosta Rika
2
Tribunal Agung Pemilu (Supreme Electoral Tribunal) Pasal 99. Organisasi, arah dan pengawasan dari tindakan yang berhubungan dengan hak pilih adalah fungsi eksklusif dari Tribunal Agung Pemilu, yang memiliki kemandirian dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Seluruh organ pemilu lainnya di bawah Tribunal tersebut.
Pasal 100. Tribunal Agung Pemilu biasanya terdiri dari tiga anggota tetap dan enam tidak tetap, yang ditunjuk oleh Hakim pada Mahkamah Agung (Supreme Court Justice) dengan suara tidak kurang dari dua pertiga dari seluruh anggota-anggotanya. Mereka memiliki kualifikasi yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama dengan hakim-hakim Mahkamah Agung. Dari satu tahun sebelum dan enam bulan sesudah penyelenggaraan pemilu untuk memilih Presiden Republik atau anggota Majelis Legislatif, Tribunal Agung Pemilu menambah jumlah anggotanya dengan dua dari anggota tidak tetapnya dalam rangka menjadi lima anggota untuk menjabat selama periode tersebut. Dimana dimungkinkan, anggota-anggota Tribunal Agung Pemilu wajib patuh pada kondisi kerja dan hari kerja minimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang Struktural Cabang Yudikatif (Structural Law of the Judicial 2
Political Constitution of the Republic of Costa Rica (1949) (sebagaimana diamandemen).
339
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Branch) untuk hakim-hakim Majelis Banding (Appellate Chamber). Mereka juga menerima kompensasi yang sama yang ditetapkan untuk hakimhakim tersebut.
Pasal 101. Anggota-anggota Tribunal Agung Pemilu menjabat selama enam tahun. Masa jabatan dari satu anggota tetap dan dua tidak tetap harus diperbaharui setiap dua tahun, tetapi mereka dapat dipilih kembali. Hakim-hakim Tribunal Agung Pemilu akan memiliki kekebalan dan hak prerogatif yang sama dengan yang dimiliki oleh anggota-anggota Mahkamah Agung
Pasal 102. Tribunal Agung Pemilu memiliki fungsi-fungsi berikut ini:
1. Menyelenggarakan pemilu;
2. Menunjuk anggota-anggota Dewan Pemilu (Electoral Boards),
3. Menafsirkan, dengan pengaruh eksklusif dan mengikat, seluruh
4. Mengadakan sidang pembacaan gugatan melawan keputusan yang
5. Menyelidiki sendiri atau melalui delegasinya dan menyerahkan
sesuai dengan undang-undang; ketentuan konsitusi dan hukum tentang persoalan pemilu; diterbitkan oleh Catatan Sipil (Civil Registry) dan Dewan Pemilu berbagai keputusannya tentang gugatan apapun yang diajukan oleh para pihak terhadap keberpihakan politik pejabat Negara dalam menjalankan tugas-tugasnya atau tentang aktivitas politik yang dilakukan oleh para pejabat yang sebenarnya mereka dilarang untuk terlibat di dalamnya. Keputusan bersalah yang dinyatakan oleh Tribunal merupakan dasar yang mengikat bagi pencopotan dan wajib mendiskualifikasi pihak yang bersalah yang memegang jabatan publik untuk jangka waktu tidak kurang dari dua tahun, tanpa praduga tuduhan bersalah yang dapat dijatuhkan. Namun, jika penyelidikan yang dilakukan termasuk tuduhan terhadap Presiden Republik, Menteri Kabinet, Diplomat (Diplomatic Ministers), Pengawas atau Asisten Pengawas Republik (Comptroller General or Assistant Comptroller of the Republic), hakim Mahkamah
340
Appendix B
Agung (Supreme Court), Tribunal wajib melaporkan temuan penyelidikannya kepada Majelis Legislatif.
6. Mengadopsi, sehubungan dengan kekuasaan publik, langkahlangkah terkait untuk memastikan bahwa pemilu diselenggarakan di bawah kondisi kebebasan dan jaminan yang tidak dibatasi. Dalam kasus dimana rekrutmen militer diperintahkan, Tribunal juga mengadopsi langkah-langkah yang sesuai untuk menjamin bahwa proses pemilu tidak diganggu, sehingga seluruh warga negara dapat secara bebas memberikan suaranya. Tribunal dapat menegakkan langkah-langkah ini sendiri atau melalui delegasi yang ditugaskan.
7. Melaksanakan penghitungan suara resmi dalam pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, anggota Majelis Legislatif, anggota Pemerintahan Kota, dan Perwakilan Majelis Konstitusi (Representatives to Constitutional Assemblies);
8. Menerbitkan deklarasi resmi pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam tiga puluh hari setelah tanggal pemilu, dan jabatan-jabatan lain yang disebutkan dalam sub bagian yang mendahului di dalam periode yang ditetapkan oleh undang-undang.
9. Fungsi-fungsi lainnya yang dipercayakan kepadanya oleh Konstitusi atau oleh undang-undang.
Pasal 103. Tidak ada banding melawan keputusan Tribunal Agung Pemilu, kecuali untuk tindakan-tindakan yang melanggar tugas publik.
Pasal 104. Catatan sipil (Civil Registry) secara eksklusif berada di bawah yurisdiksi Tribunal Agung Pemilu, dan fungsi-fungsinya adalah:
1. Menyimpan Daftar Induk Status Perkawinan (Main Register of Marital Status) dan menyiapkan daftar pemilih;
2. Memutuskan permohonan untuk memperoleh atau memulihkan kewarganegaraan Kosta Rika juga kasus-kasus kehilangan kewarganegaraan (*); menegakkan penyelesaian Pengadilan yang menunda kewarganegaraan dan menerbitkan penyelesaian tentang
prosedur
yang
dilakukan
untuk
memulihkannya.
Keputusan yang diserahkan oleh Catatan Sipil, sesuai dengan
341
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kekuasaan yang diperolehnya di bagian ini, dapat dibanding ke Tribunal Agung Pemilu;
3. Menerbitkan kartu identitas;
4. Kekuasaan lainnya yang diperolehnya dari Konstitusi dan undangundang ini.
Yordania
3
Pasal 71. Majelis Deputi (Chamber of Deputy) memiliki hak untuk menentukan keabsahan pemilhan anggota-anggotanya. Setiap pemilih memiliki hak untuk mengajukan suatu permohonan kepada Sekretariat Majelis dalam waktu lima belas hari setelah pengumuman hasil pemilu di daerah pemilihannya yang meletakkan dasar hukum untuk membatalkan pemilu deputi manapun. Tidak ada pemilu yang dapat dipertimbangkan tidak sah kecuali telah dideklarasikan oleh mayoritas dua-pertiga anggotaanggota Majelis.
Liberia
4
Partai Politik dan Pemilu Pasal 77.
(a) Karena hakikat demokrasi adalah persaingan bebas atas ide-ide yang diekpresikan oleh partai-partai politik dan kelompok politik juga perorangan, para pihak dapat secara bebas mengadvokasi opini politik rakyat. Undang-undang, peraturan, keputusan atau
tindakan-tindakan
yang
mungkin
memiliki
pengaruh
menciptakan negara satu-pihak (one-party state) harus dinyatakan tidak konstitusional.
(b) Seluruh pemilu wajib menggunakan surat suara yang bersifat rahasia yang ditentukan oleh Komisi Pemilu (Election Commission), dan setiap warga negara Liberia tidak kurang dari 18 tahun, memiliki hak untuk terdaftar sebagai pemilih dan untuk memilih dalam pemilu serta referendum di bawah Konstitusi ini. Dewan
3 4
342
Constitution of the Hashemite Kingdom of Jordan (1952) (sebagaimana diamandemen). Constitution of the Republic of Liberia (1986) (sebagaimana diamandemen).
Appendix B
Perwakilan Rakyat wajib mengesahkan undang-undang yang mengindikasikan kategori warga negara Liberia yang tidak boleh membentuk atau menjadi anggota partai politik.
Pasal 78. Sebagaimana digunakan di dalam Bab ini, kecuali konteks mempersyaratkan sebaliknya, sebuah “asosiasi” berarti badan dari sejumlah orang, perusahaan atau lainnya, yang bertindak bersama-sama untuk maksud yang sama, dan termasuk sekelompok orang yang diorganisasikan untuk tujuan etnik, sosial, kultural, pekerjaan atau agama apapun; sebuah “partai politik” adalah asosiasi dengan keanggotaan tidak kurang dari lima ratus pemilih yang memenuhi syarat, masing-masing paling sedikit di enam negara, yang aktivitasnya mencakup kampanye untuk suara tentang isuisu publik apapun atau mendukung seorang kandidat untuk jabatan publik; dan seorang “kandidat independen” adalah seseorang mengupayakan jabatan yang dipilih dengan atau tanpa organisasinya, yang bertindak secara independen dari partai politik.
Pasal 79. Tidak ada asosiasi yang apapun namanya disebut, berfungsi sebagai partai politik, juga seorang warga negara adalah kandidat independen untuk pemilihan untuk jabatan publik, kecuali:
a) Asosiasi atau kandidat independen dan organisasinya memenuhi persyaratan pendaftaran minimum yang dipersyaratkan oleh Komisi Pemilu dan terdaftar. Persyaratan pendaftaran termasuk menyerahkan kepada Komisi Pemilu, sebuah salinan anggaran asar asosiasi dan pedoman kandidat independen dan organisasinya serta pegawainya dengan sebuah pernyataan yang rinci tentang nama dan alamat asosiasi dan para pegawainya atau kandidat independen dan para pegawai dari organisasinya, dan pemenuhan ketentuan sub-bagian (b), (c), (da) dan (3). Pendaftaran dari setiap asosiasi atau kandidat independen dan organisasinya oleh Komisi Pemilu wajib membuat entitas atau kandidat dan organisasinya, terdaftar sebagai pribadi secara hukum, dengan kapasitas untuk mempunyai kepemilikan, sendiri, nyata, pribadi atau campuran, untuk menuntut atau dituntut dan bertanggung jawab dan untuk memiliki rekening. Penolakan pendaftaran atau kegagalan oleh
343
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Komisi Pemilu untuk mendaftarkan pemohon manapun dapat digugat oleh pemohon di Mahkamah Agung (Supreme Court);
b) Keanggotaan asosiasi atau organisasi kandidat independen terbuka untuk semua warga negara Liberia, tanpa memandang jenis kelamin, latar belakang agama atau etnik, kecuali disebutkan lain di dalam Konstitusi ini.
c) Kantor
pusat
asosiasi
atau
kandidat
independen
dan
organisasinya berada:
(i) di ibukota Republik dimana asosiasi berada atau dimana kandidat independen mengupayakan pemilu untuk jabatan Presiden atau Wakil Presiden;
(ii) di ibukota negara dimana kandidat independen mengupayakan pemilu sebagai senator; dan
(iii) di pusat pemilu di wilayah pemilihan dimana kandidat mengupayakan pemilu sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau jabatan publik lainnya;
d) Nama, tujuan, lambang atau moto organisasi bersifat bebas dari konotasi agama apa pun atau dampak etnik yang memecah belah serta bahwa kegiatan asosiasi atau kandidat independen tidak dibatasi untuk kelompok khusus, atau dalam kasus asosiasi, dibatasi di wilayah geografis tertentu dari Liberia;
e) Anggaran Dasar dan anggaran rumah tangga partai politik wajib mematuhi ketentuan Konstitusi ini, yang mengatur pemilihan demokratis dari pejabat dan/atau badan pemerintahan paling sedikit sekali setiap enam tahun, dan menjamin petugas pemilu dari sebanyak mungkin wilayah dan kelompok etnik. Seluruh perubahan terhadap Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga partai politik didaftarkan ke Komisi Pemilu tidak lebih dari sepuluh hari setelah tanggal efektif amandemen tersebut.
Pasal 80.
a) partai atau organisasi yang, dengan alasan tujuannya atau perilaku para pengikutnya, mengupayakan untuk melemahkan atau menghapuskan masyarakat demokratis bebas Liberia atau untuk membahayakan eksistensi Republik wajib ditolak pendaftarannya.
b) Partai atau organisasi yang mempertahankan, menyelenggarakan, melatih atau melengkapi orang atau kelompok orang untuk
344
Appendix B
menggunakan atau memamerkan kekuatan fisik atau pemaksaan dalam mempromosikan tujuan atau kepentingan politik apapun, atau membangkitkan kekhawatiran yang masuk akal bahwa mereka begitu teroganisasi, terlatih atau dilengkapi, wajib ditolak pendaftarannya, atau jika didaftarkan, pendaftarannya wajib dibatalkan.
c) Setiap warga negara Liberia memiliki hak untuk terdaftar di suatu wilayah pemilihan, dan untuk memilih di dalam pemilu hanya di dalam wilayah pemilihannya, dan untuk memilih di pemilu dimana dia terdaftar, baik secara pribadi atau dengan surat suara orang yang tidak hadir; dengan syarat warga negara tersebut memiliki hak untuk mengubah daerah pemilihannya sebagaimana diatur oleh Badan Legislatif.
d) Setiap daerah pemilihan memiliki populasi yang sama yaitu kirakira 20,000, atau sejumlah warga negara yang diatur oleh badan legislatif untuk mengikuti pertumbuhan dan pergerakan penduduk yang diungkapkan oleh sensus nasional; dengan syarat bahwa jumlah daerah pemilihan di Republik tidak melebihi seratus.
e) Segera setelah sensus nasional dan sebelum pemilu berikutnya, Komisi Pemilu wajib membagi kembali daerah pemilihan sesuai dengan figur populasi yang baru sehingga setiap daerah pemilihan menjadi semirip mungkin dengan populasi penduduk, namun dengan syarat bahwa daerah pemilihan harus hanya ada di dalam negeri.
Pasal 81. Setiap warga negara, partai politik, organisasi atau asosiasi manapun, yang berkedudukan di Liberia, memiliki kewarganegaraan atau berasal dari Liberia, dan tidak didiskualifikasi di bawah ketentuan Konstitusi ini dan undang-undang, memiliki hak untuk meminta dukungan suara dari partai politik atau kandidat manapun di pemilu manapun, dengan syarat bahwa perusahaan dan organisasi bisnis serta serikat buruh dikecualikan dari
kampanye baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam
bentuk apapun.
345
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 82.
a) Setiap warganegara, asosiasi atau organisasi partai politik yang berkewarganegaraan atau berasal dari Liberia, memiliki hak untuk menyumbangkan dana atau pengeluaran pemilu dari partai politik atau kandidat manapun; dengan syarat bahwa perusahaan dan organisasi bisnis dan serikat buruh dikecualikan dari memberikan kontribusi dana atau pengeluaran partai politik manapun. Badan Legislatif menurut undang-undang memberikan pedoman tentang kondisi dimana kontribusi tersebut dapat diberikan dan jumlah maksimum yang dapat disumbangkan.
b) Tidak ada partai politik atau organisasi yang menguasai atau memiliki dana atau aset diluar Liberia; juga mereka atau kandidat independen tidak boleh menahan dana atau aset yang diberikan kepada mereka di luar Liberia kecuali yang dikirimkan oleh warga negara Liberia yang bermukim di luar negeri. Dana atau aset apapun yang diterima secara langsung atau tidak langsung yang melanggar pembatasan ini harus dibayarkan atau ditransfer kembali ke Komisi Pemilu dalam waktu dua puluh satu hari dari tanggal penerimaan. Informasi tentang seluruh dana yang diterima dari luar negeri dilaporkan segera ke Komisi Pemilu.
c) Komisi Pemilu berwenang untuk menguji dan memerintahkan audit
yang
bersertifikasi
dari
transaksi
keuangan
partai
politik dan kandidat independen serta organisasinya. Komisi merekomendasikan jenis-jenis catatan yang harus disimpan dan cara mereka disimpan. Audit bersertifikasi wajib dilakukan oleh akuntan publik yang bersertifikat, yang bukan merupakan anggota partai politik manapun.
Pasal 83.
a) Pemungutan suara untuk Presiden, Wakil Presiden, anggota Senat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat wajib dilaksanakan di seluruh Republik pada hari selasa minggu kedua bulan Oktober setiap tahun pemilu.
b) Seluruh pemilu jabatan publik ditentukan oleh mayoritas absolut suara yang diberikan. Jika tidak ada kandidat yang memperoleh mayoritas absolut di putaran pertama, pemungutan suara kedua wajib dilakukan pada hari Selasa minggu kedua berikutnya. Dua
346
Appendix B
kandidat yang menerima jumlah suara terbesar di pemungutan suara pertama dapat mengikuti pemilu putaran kedua.
c) Hasil pemilu wajib dideklarasikan oleh Komisi Pemilu tidak lebih dari lima belas hari setelah pemungutan suara. Setiap pihak atau kandidat yang mengajukan pengaduan tentang cara pemilu dilaksanakan atau yang menggugat hasilnya memiliki hak untuk mengajukan pengaduan pada Komisi Pemilu. Pengaduan tersebut harus diajukan tidak lebih dari tujuh hari setelah pengumuman hasil pemilu.
Komisi Pemilu wajib, dalam tiga puluh hari dari diterimanya pengaduan, melaksanakan pemeriksaan yang tidak memihak dan menyerahkan keputusan yang berisi penolakan pengaduan atau pembatalan pemilihan kandidat. Partai politik atau kandidat independen manapun yang dipengaruhi oleh keputusan tersebut tidak lebih dari tujuh hari
dapat mengajukan banding kepada
Mahkamah Agung (Supreme Court). Komisi Pemilu wajib, dalam tujuh hari dari diterimanya permohonan banding, meneruskan seluruh catatan kasus kepada Mahkamah Agung, tidak lebih dari tujuh hari sesudahnya, mengadakan sidang pembacaan pembelaan dan membuat keputusannya. Jika Mahkamah Agung membatalkan atau meneruskan pembatalan pemilihan kandidat, maka untuk alasan apapun, Komisi Pemilu dalam waktu enam puluh hari dari keputusan Pengadilan, wajib melaksanakan pemilu ulang untuk mengisi kekosongan. Jika Pengadilan mempertahankan pemilihan seorang kandidat, Komisi Pemilu wajib bertindak mempengaruhi mandat Pengadilan.
d) Setiap partai politik wajib, pada tanggal 1 September setiap tahunnya, dan setiap kandidat partai politik tersebut dan setiap kandidat independen, dalam waktu tidak lebih dari tiga puluh hari sebelum diselenggarakannya pemilu dimana ia adalah kandidatnya, mempublikasikan dan menyerahkan kepada Komisi Pemilu pernyataan aset dan hutang secara rinci. Hal ini termasuk perhitungan sumber-sumber dana dan aset lainnya, ditambah daftar pengeluaran. Walaupun penyerahan pernyataan semacam itu dibuat di tahun pemilu, setiap partai politik dan kandidat
347
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
independen diwajibkan menyerahkan kepada Komisi Pemilu pernyataan tembahan yang rinci tentang seluruh dana yang diterima dan pengeluaran dari tanggal pengajuan pernyataan asli hingga tanggal pemilu. Partai politik atau kandidat independen manapun yang berhenti berfungsi wajib mempublikasikan dan menyerahkan pernyataan keuangan akhirnya kepada Komisi Pemilu.
Pasal 84. Badan legislatif diwajibkan oleh undang-undang memberikan hukuman bagi pelanggaran terhadap ketentuan yang relevan dari Bab ini, dan mensahkan peraturan dan perundang-undangan yang berkelanjutan tidak lebih dari 1986, dengan syarat hukuman, undang-undang atau peraturannya tidak tak konsisten dengan ketentuan dari Konstitusi ini.
Nigeria
5
Tribunal-tribunal Pemilu Pasal 285.
(1) Harus dibentuk untuk Federasi, satu atau lebih badan pengadilan pemilu
yang
dikenal
sebagai
Majelis
Nasional
Tribunal
Pemilu (National Assembly Election Tribunals) yang, dengan pengecualian dari tribunal lain manapun, memiliki yurisdiksi asli untuk mengadakan sidang pembacaan gugatan/pembelaan dan memutuskan gugatan – (a) Seseorang
yang
dipilih
secara
sah
sebagai
anggota
Majelis Nasional; (b) Masa
jabatan
seseorang
yang
di
bawah
Konstitusi
telah berakhir;
(c) Kursi anggota Senat atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang kosong;
(d) Pertanyaan atau gugatan yang dibawa dihadapan pengadilan pemilu yang telah dibawa secara layak ataupun tidak layak.
(2) Harus dibentuk di setiap Negara Bagian dari Federasi satu atau lebih Tribunal Pemilu yang dikenal sebagai Tribunal Pemilu Legislatif
5
348
Constitution of the Federal Republic of Nigeria (1999) (sebagaimana diamandemen).
Appendix B
dan Kegubernuran (Governorship and Legislative Houses Election Tribunals) yang, dengan pengecualian dari pengadilan atau tribunal manapun, memiliki yurisdiksi asli untuk menyidangkan dan memutus gugatan/pembelaan dan memutuskan gugatan seseorang telah secara sah dipilih sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur atau sebagai anggota dewan perwakilan lainnya.
(3) Komposisi Majelis Nasional Tribunal Pemilu, Pengadilan Pemilu Legislatif dan Kegubernuran ditetapkan lampiran Ke-enam Konstitusi ini.
(4) Kuorum Tribunal Pemilu ditetapkan dibawah bagian ini adalah Ketua (Chairman) dan dua anggota lainnya.
Peraturan Perundang-undangan Nasional Afganistan Undang-undang Pemilu 2004 Pemilu Selama Masa Transisi Pasal 61. Untuk persiapan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan proses pemilu pertama, yang akan menandai selesainya masa transisi, Negara Transisi Islam Afganistan telah meminta dukungan Perserikatan Bangsa Bangsa melalui pendirian Badan Manajemen Pemilu Bersama (Joint Electoral Management Body) dengan partisipasi ahli-ahli internasional yang ditunjuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diatur dalam Keputusan No. 110, 18 Februari 2004. Hingga akhir masa transisi, Badan Penyelenggara Pemilu Bersama telah menggunakan kekuasaan dari IEC sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. IEC, setelah pembentukannya, akan menggantikan Komisi Pemilu Sementara (Interim Election Commission) di dalam Badan Penyelenggara Pemilu Bersama. Setelah berakhirnya masa transisi, IEC akan mengambil seluruh kekuasaan IEC di bawah undangundang ini. Hingga saat itu, pembuatan keputusan di Badan Penyelenggara Pemilu Bersama dan hak pilih anggota-anggota internasional akan tetap sebagaimana didefinisikan di dalam Keputusan No. 110.
349
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Undang-undang Pemilu 2005 Pasal 50. Publikasi serta Penyebarluasan Ide yang Adil dan Netral
(1) Untuk keperluan informasi publik selama masa kampanye pemilu, media massa (radio, televisi dan pers), wajib mempublikasikan dan menyebarluaskan platform, pandangan dan tujuan kandidat dengan cara yang adil dan tidak bias, sesuai dengan Pedoman Perilaku yang dibentuk oleh Komisi.
(2) Kandidat wajib memiliki akses, seluas mungkin, terhadap media. Untuk maksud informasi publik selama masa kampanye pemilu, media yang dikuasai negara wajib mempublikasikan dan menyebarluaskan platform, pandangan dan tujuan dari kandidat dengan cara yang adil dan tidak bias, sebagaimana yang disetujui Komisi.
(3) Media yang dimiliki negara wajib menetapkan, sebagaimana diperlukan, berbagai tujuan, kebijakan dan tata tertib untuk menjamin liputan pemilu yang adil dan melaksanakan ketentuan sub artikel (1) dan (2).
Pasal 51. Komisi Media
(1) Komisi wajib mendirikan Komisi Media (Media Commission/MC), paling sedikit 60 hari sebelum tanggal pemilu. MC wajib memantau laporan dan liputan masa kampanye pemilu yang adil dan wajib menangani berbagai pengaduan terkait pelanggaran laporan dan liputan kampanye politik yang adil, atau pelanggaran Pedoman Perilaku Media Massa. Banding dapat diajukan ke Komisi.
(2) Komposisi, tanggung jawab dan kewenangan MC ditentukan oleh Komisi.
Hukum Acara Komisi Pengaduan Pemilu (2009) Pasal 7. Keputusan tentang Pengaduan
7.1. Suatu PECC atau ECC dapat membatalkan sebuah Pengaduan yang bukan merupakan kasus yang langsung terlihat nyata “prima
350
Appendix B
facie” atau dimana Pengaduan secara jelas tidak memiliki basis faktual, atau tidak memenuhi persyaratan minimum sebuah Pengaduan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4.6 Hukum Acara ini.
7.2. Sebuah PECC atau ECC akan menguji semua bukti yang diserahkan dalam waktu singkat. Berdasarkan bukti ini dan bukti lainnya, PECC atau ECC yang terkait dapat memilih untuk mencatat, PECC atau ECC yang terkait wajib mempertahankan Pengaduan:
(a) Dimana buktinya jelas dan meyakinkan bahwa sebuah tindakan telah terjadi; dan (b) Dimana tindakan yang dituduhkan melanggar Konstitusi, Undang-undang administratif
pemilu,
Peraturan,
atau
aturan
atau
ECC
pemilu
keputusan,
arahan
lainnya
dalam
di
yurisdiksi ECC.
7.3. Ketika
PECC
mempertahankan
sebuah
Pengaduan, lembaga ini dapat memperhitungkan sifat dan keseriusan pelanggaran.
(a) Menerbitkan sebuah peringatan untuk, atau memerintahkan, perorangan atau organisasi yang melanggar, untuk melakukan tindakan perbaikan.
(b) Memberlakukan denda tidak lebih dari 100.000 Afganis.
(c) Sebelum pengesahan hasil, memerintahkan penghitungan kembali surat suara atau mengulangi pemungutan suara.
(d) Menghapus seorang kandidat dari daftar kandidat, jika ada alasan yang dapat dibenarkan;
(e) Membatalkan surat suara yang tidak memenuhi persyaratan keabsahan,
atau
memerintahkan
penghitungan
atau
penghitungan kembali sebuah surat suara atau sekelompok surat suara.
(f) Melarang perorangan yang melanggar untuk menjabat posisi administrasi pemilu untuk masa tidak lebih dari 10 tahun.
7.4. Dimana PECC atau EEC mengenakan sanksi kepada partai politik atau kandidat atas pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh anggota atau pendukungnya, keputusan tersebut harus mempertimbangkan bukti yang menunjukkan bahwa partai politik atau kandidat tersebut telah melakukan upaya yang masuk
351
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
akal untuk mencegah anggota dan pendukungnya melakukan pelanggaran pemilu.
7.5. Ketika menentukan sanksi dan hukuman, setiap PECC dan ECC wajib menjamin bahwa sanksinya seimbang dengan sifat dan keseriusan pelanggaran. Seluruh keputusan yang dibuat oleh PECC wajib ditinjau oleh ECC.
7.6. Dalam hal PECC atau ECC memerintahkan tindakan perbaikan atau menerbitkan sebuah peringatan, perintah tersebut berlaku dengan segera kecuali dinyatakan sebaliknya di Keputusan.
7.7. Dalam hal PECC mengenakan denda, menghapus seorang kandidat dari daftar kandidat, memerintahkan penghitungan kembali atau pemungutan suara ulang atau menerbitkan larangan terhadap perorangan untuk menjadi petugas pemilu, keputusan tersebut tidak dilaksanakan sampai ditinjau oleh ECC.
7.8. Setiap PECC atau ECC wajib, jika layak, menggunakan upaya terbaiknya dalam mengumumkan keputusannya kepada Pihak yang mengajukan pengaduan dan kepada Tergugat secara tertulis, merinci tenggat waktu untuk mematuhi sanksi yang memaksa.
7.9. Setiap keputusan PECC atau ECC wajib dipublikasikan dalam Bahasa Inggris, Dari dan Pashto, dan wajib dibuat tersedia untuk masyarakat melalui situs web EEC dan di setiap kantor IECS. Keputusan dapat
juga dipublikasikan ke dalam bahasa yang
lainnya dimana dipandang layak oleh ECC.
Pasal 17. Keputusan Tentang Respon terhadap Gugatan
17.1. ECC dapat secara sederhana menolak sebuah gugatan yang bukan merupakan kasus yang “prima facie” atau dimana Gugatan secara jelas tidak memiliki basis faktual.
17.2. ECC akan menguji semua pembuktian yang diajukan dalam waktu yang tepat. Berdasarkan bukti ini dan bukti lainnya, dimana dapat dipilih untuk diperhatikan oleh ECC, ECC wajib menguatkan gugatan dimana buktinya jelas dan meyakinkan bahwa seorang kandidat yang dicalonkan tidak memenuhi persyaratan dan kriteria kelayakan untuk pencalonan.
352
Appendix B
17.3. Ketika ECC menguatkan sebuah Gugatan melawan seorang kandidat yang dicalonkan, ECC wajib mengarahkan IEC untuk mencabut kandidat yang dicalonkan dari daftar kandidat.
17.4. Setelah penyelesaian seluruh tanggapan terhadap gugatan, ECC wajib melaporkan nama calon kandidat yang secara definitif dihapuskan dari daftar kandidat kepada IEC. ECC wajib, ketika diperlukan, menggunakan upaya terbaiknya dengan memberitahukan secara tertulis, keputusannya kepada para penggugat dan kandidat.
Armenia Undang-undang Pemilu Republik Armenia (2005) (sebagaimana diamandemen) Pasal 35. Prosedur
untuk
Pembentukan
Komisi
Pemilu
Pusat
(Central
Electoral Commission)
1. Komisi Pemilu Pusat terdiri dari:
1) Satu anggota dari setiap pihak atau aliansi dengan sebuah faksi di dalam Majelis Nasional (National Assembly), yang ditunjuk oleh keputusan badan permanen dari pihak tersebut atau, dalam hal aliansi, keputusan bersama dari badan-badan para pihak permanen di dalam aliansi, yang disetujui oleh suara mayoritas. Jika para pihak (aliansi) gagal untuk mencalonkan kandidat mereka dalam periode yang ditetapkan oleh undangundang ini untuk pembentukan Komisi Pemilu Pusat, sesuai dengan persyaratan sub-ayat 1 dari ayat ini, maka lowongan Komisi diisi oleh faksi yang layak;
2) Satu anggota yang ditunjuk oleh Presiden Republik Armenia;
3) Satu anggota yang ditunjuk oleh keputusan kelompok parlementer yang diumumkan di sesi pertama petahana (incumbent) Majelis Nasional. Setelah pemilu Majelis Nasional menyusul diundangkannya undang-undang ini, juga dalam hal pembubaran kelompok parlementer yang beroperasi pada Majelis Nasional, kekuasaan untuk menunjuk anggota Komisi
353
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pemilu Pusat di bawah sub-ayat ini akan dialihkan ke Dewan Pimpinan Pengadilan Republik Armenia (Board of Chairmen of the Republic of Armenia Courts), dari antara hakim-hakim pengadilan Republik Armenia dari yurisdiksi umum.
4) Satu hakim dari Pengadilan Kasasi (Cassation Court) yang ditunjuk oleh Pengadilan Kasasi.
2. Informasi tentang anggota Komisi Pemilu Pusat harus diserahkan kepada Staf Presiden Republik Armenia pada jam 18:00, tidak lebih awal dari 40 hari, namun tidak lebih dari 10 sebelum berakhirnya masa jabatan Komisi Pemilu Pusat. Entitas yang disebutkan di dalam ayat 1 dari pasal ini wajib diberitahukan tentang berakhirnya masa jabatan Komisi Pemilu Pusat oleh Pimpinan Komisi Pemilu Pusat, tidak lebih dari 50 hari sebelum berakhirnya masa jabatan. Komisi Pemilu Pusat yang baru harus dibentuk dan mengambil alih kekuasaannya pada hari ke-60 setelah pembukaan sesi Majelis Nasional yang baru. Komisi Pemilu Pusat yang baru akan dianggap terbentuk, jika paling sedikit dua pertiga dari jumlah anggota-anggotanya telah ditunjuk. Jika jumlah minimum anggota Komisi belum ditunjuk pada saat tenggat waktu pembentukan Komisi Pemilu Pusat, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan di dalam ayat 1 Pasal ini, maka mereka ditunjuk oleh Presiden Republik Armenia dari hakim-hakim Pengadilan Kasasi hingga jumlah minimum tercapai.
3. Komposisi Komisi Pemilu Pusat harus disetujui oleh Keputusan Presiden Republik Armenia atas dasar pencalonan yang dilakukan oleh lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembentukan Komisi Pemilu Pusat.
4. (dihapuskan 03.07.02 HO-406-N)
5. (dihapuskan 03.07.02 HO-406-N)
6. Kegiatan Komisi Pemilu Pusat akan dikendalikan oleh Ketua Komisi atau, sebagaimana ditugaskan olehnya, Wakil Ketua. Ketua Komisi Pemilu Pusat, Wakil Pimpinan dan Sekretaris dipilih oleh Komisi Pemilu Pusat pada sidang sesi pertamanya. Sesi pertama Komisi Pemilu Pusat diadakan pada pukul 12:00 (siang) pada hari Komisi dibentuk, dan dapat berlangsung hingga pukul 24:00. Sesi tersebut akan diadakan di gedung administratif Komisi Pemilu
354
Appendix B
Pusat. Sesi pertama dipimpin oleh Ketua Komisi Pemilu Pusat periode sebelumnya.
7. Hak untuk mencalonkan kandidat untuk posisi Ketua Komisi
8. Jika hanya ada satu calon untuk posisi Ketua Komisi Pemilu
Pemilu Pusat menjadi hak anggota Komisi Pemilu Pusat. Pusat yang dipilih, calon tersebut dapat dikatakan terpilih, jika dia menerima lebih dari setengah dari jumlah suara yang ada.
9. Jika dua calon untuk posisi Ketua Komisi Pemilu Pusat yang dipilih, maka calon yang menerima suara yang lebih daripada yang lainnya yang dikatakan terpilih menjabat Ketua Komisi Pemilu Pusat.
10. Jika terpilih lebih dari dua calon untuk jabatan Ketua Komisi Pemilu Pusat yang dipilih, dan tidak ada dari mereka yang menerima lebih dari setengah dari jumlah suara yang diberikan, maka akan diadakan pemilihan putaran kedua untuk calon-calon yang menerima suara terbanyak.
11. Jika Komisi Pemilu Pusat gagal untuk memilih seorang Ketua selama sesi pertamanya, sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, maka dalam waktu tiga hari pemerintah wajib menunjuk seorang Ketua di antara anggota-anggota Komisi Pemilu Pusat.
12. Pemilihan Wakil Ketua dan Sekretaris Komisi Pemilu Pusat diadakan sesuai dengan prosedur untuk pemilihan pada Komisi Pemilu Pusat sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal ini (amendemen dari 19.03.99 HO-286, 03.07.02 HO-406-N, 19.05.05 HO-101-N)
Pasal 36. Tata tertib Pembentukan Komisi Pemilu Teritorial (Territorial Electoral Commissions)
1. Anggota Komisi-komisi pemilu Teritorial ditunjuk oleh anggota Komisi Pemilu Pusat, berdasarkan prinsip “ satu anggota Komisi Pemilu Teritorial setiap satu anggota Komisi Pemilu Pusat,” dari antara orang-orang yang berpartisipasi di dalam pelatihan profesional dan menerima kualifikasi yang layak, dengan pengecualian bahwa anggota Komisi Pemilu Pusat, ditunjuk oleh Pengadilan Kasasi (Cassation Court) dan Badan Pimpinan Pengadilan Republik Armenia (Board of Chairmen of the Republic Armenia Courts), yang akan menunjuk anggota Komisi-Komisi pemilu Teritorial di antara hakim-hakim pengadilan umum. Komisi-Komisi pemilu
355
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Teritoral akan dibentuk dan mengambil alih kekuasaan mereka 15 hari setelah Komisi Pemilu Pusat mengalihkan kekuasaannya. Komisi-Komisi Pemilu Teritorial wajib dibentuk jika paling sedikit dua pertiga jumlah anggota telah dibentuk. Jika jumlah minimum anggota-anggota Komisi belum ditunjuk pada saat tenggat waktu untuk pembentukan sebagaimana ditetapkan dalam ayat 1 Pasal ini, maka mereka akan ditunjuk oleh Presiden Republik Armenia dari antara hakim-hakim pengadilan umum Republik Armenia, hingga jumlah minimum tercapai. Komposisi Komisi-komisi pemilu Teritorial disetujui oleh sebuah keputusan Preseiden Republik Armenia berdasarkan pencalonan yang dibuat oleh lembaga yang bertanggung jawab membentuk Komisi-Komisi Pemilu Teritorial.
2. Informasi tentang anggota Komisi-Komisi pemilu Teritorial wajib diserahkan kepada Komisi Pemilu Pusat paling sedikit sepuluh hari sebelum Komisi-Komisi pemilu Teritorial dibentuk; Komisi Pemilu Pusat wajib meneruskan informasi kepada Staf Presiden Republik Armenia dalam waktu dua hari.
3. Kegiatan Komisi-Komisi pemilu Teritorial akan dikendalikan oleh Para Ketua Komisi atau Para Wakil Ketua Komisi, sebagaimana ditugaskan oleh Para Pimpinan.
4. Para Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris dari tiap-tiap Komisi Pemilu Teritorial wajib dipilih oleh anggota-anggota Komisi Pemilu Teritorial di antara anggota-anggota Komisi, di sesi pertama Komisi Pemilu Teritorial. Sesi pertama Komisi Pemilu Teritorial berlangsung pada pukul 12:00 (siang) pada hari Komisi Pemilu Teritorial dibentuk. Sesi pertama dipimpin oleh Ketua Komisi Pemilu Teritorial sebelumnya.
5. Hak untuk mencalonkan kandidat untuk posisi Ketua sebuah Komisi Pemilu Teritorial ada pada anggota Komisi Pemilu Teritorial itu sendiri.
6. Para Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Komisi Pemilu Teritorial akan dipilih sesuai dengan prosedur untuk memilih Ketua Komisi Pemilu Pusat.
7. Jika sebuah Komisi Pemilu Teritorial gagal untuk memilih Ketua sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dan dalam kerangka waktu yang dipersyaratkan, maka Pemerintah dalam waktu tiga hari akan menunjuk seorang Ketua, di antara anggota-anggota Komisi Pemilu Teritorial.
356
Appendix B
8. (dihapuskan 03.07.02 HO-406-N) (amandemen 03.07.02 HO-406-N, 19.05.05 HO-101-N).
Georgia Undang-undang Pemilu Terpadu (2001) (sebagaimana diamandemen) Pasal 70. Hak Para Pemantau
1. Seorang pemantau memiliki hak:
a)
b) Berada di tempat pemungutan suara kapan pun pada saat
Menghadiri dan mengawasi sesi komisi-komisi pemilu; pemungutan suara, berpindah ke wilayah pemilihan tanpa dibatasi dan mengawasi seluruh tahap proses pemungutan suara dari setiap titik daerah pemilihan; (12.10.2004.N488)
c) Menggantikan, kapan pun pada hari pemungutan suara, perwakilan organisasi terdaftar lainnya (dalam hal dimana perwakilan tersebut ada);
d) Mengambil bagian dalam pemeriksaan kotak-kotak suara, sebelum mereka disegel dan setelah mereka dibuka;
e) Mengawasi pendaftaran pemilih di daftar pemilih, penerbitan surat suara dan amplop khusus serta verifikasinya, tanpa mengganggu proses pemungutan suara;
f) Menghadiri
prosedur
penghitungan
suara
dan
suara
melalui
kotak
dalam
kondisi
yang
menjumlahkan hasilnya; g) Mengawasi
proses
pemungutan
suara bergerak; h) Mengawasi
penghitungan
suara
memastikan dapat dilihatnya surat suara;
i) Mengawasi proses komisi pemilu mengumpulkan ringkasan
j) Membahas dengan Pimpinan DEC mengenai permohonan/
protokol hasil pemilu dan berbagai dokumen lainnya; keberatan terkait isu-isu yang berhubungan dengan tata tertib pemungutan suara, dimana ia meminta reaksi dalam kasus identifikasi sebuah pelanggaran tertentu;
357
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
k) Meminta pemilih untuk menunjukkan berapa banyak surat suara dan amplop khusus yang ia pegang (14.08.2003 N 2965-rs);
l) Melakukan banding terhadap tindakan komisi pemilu kepada komisi pemilu yang lebih tinggi atau pengadilan;
m) Mengawasi kotak suara, memasukkan amplop khusus ke dalam surat suara, membuka kotak suara, menghitung surat suara dan mengumpulkan protokol;
n) Memahami ringkasan protokol pemungutan suara dan hasil pemilu, yang dikumpulkan oleh komisi-komisi pemilu.
2. Seorang pemantau tidak berhak untuk:
a) Melakukan intervensi dalam fungsi dan aktivitas komisikomisi pemilu;
b) Mempengaruhi kebebasan berekspresi kehendak pemilih;
c)
Melakukan agitasi mendukung atau melawan subyek pemilu;
d) Memakai
simbol-simbol
atau
tanda-tanda
subyek
pemilu manapun;
e) Berada di tempat pemungutan suara tanpa tanda pengenal pada hari pemungutan suara. (12.10.2004 488-IIs)
f) Melanggar berbagai persyaratan lainnya di dalam undangundang ini.
3. Tanggung jawab untuk pelanggaran hak yang diberikan oleh undangundang yang berlaku terhadap pemantau domestik/internasional, subyek pemilu, perwakilan media massa atau intervensi dalam aktivitas mereka didefinisikan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan pemilu, administratif, dan/atau pidana Georgia (28.12.2009.N2525).
4. Pelanggaran oleh pemantau, subyek pemilu dan perwakilan media massa terhadap berbagai persyaratan sub ayat (a) (d) dari ayat 2 dari pasal ini melibatkan tanggung jawab mereka sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan pemilu (28.12.2009.N2525).
Pasal 77. Prosedur Banding dan Kerangka Waktu:
1. Pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu dapat diajukan banding ke komisi pemilu yang relevan. Keputusan komisi pemilu
358
Appendix B
dapat dibanding hanya ke komisi pemilu yang lebih tinggi dan hanya setelah pengadilan tersebut, sesuai dengan berbagai aturan dan kerangka waktu yang ditentukan oleh pasal yang ada, kecuali didefinisikan lain oleh undang-undang saat ini.
2. Keputusan Komisi Pemilu Wilayah (Precinct Election Commission) dapat diajukan banding oleh komisi dalam 2 hari kalendar ke Komisi Pemilu yang relevan, biasanya menguji pengaduan dalam waktu 1 hari. Keputusan Komisi Pemilu Distrik (District Election Commission) dapat diajukan banding ke Pengadilan Distrik/Kota dalam 2 hari kalendar setelah keputusan dibuat. Pengadilan Distrik/Kota mengadili pengaduan yang dimasukkan dalam 2 hari kalender. Keputusan Pengadilan Distrik/Kota dapat diajukan banding ke Pengadilan Banding dalam waktu 2 hari kalender sejak keputusan dibuat. Pengadilan Banding membuat keputusan dalam 2 hari kalender setelah dimasukkannya banding. Keputusan Pengadilan Banding bersifat final dan tidak dapat diajukan dibanding (28.12.2009.N2525).
3. Berdasarkan pengajuan banding keputusan Komisi Pemilu Wilayah, dalam kasus pengajuan banding keputusan Komisi Pemilu Distrik ke CEC, permohonan/keberatan tetap tidak dipertimbangkan (28.12.2009.N2525).
4. Komisi dapat mengajukan banding terhadap keputusan Komisi Pemilu Distrik ke CEC, dalam waktu 2 hari kalender setelah keputusan dibuat. CEC akan memeriksa pengaduan dalam 1 hari kalender. Setelah keputusan CEC dibuat, keputusan tersebut dapat dibanding ke Pengadilan Kota Tbilisi dalam 2 hari kalender. Pengadilan Kota Tbilisi wajib mempertimbangkan pengaduan dalam 2 hari kalender. Keputusan Pengadilan Kota Tbilisi dapat dibanding ke Pengadilan Banding (Court of Appeal) dalam 2 hari kalender setelah keputusan dibuat. Setelah dimasukkan pengaduan, Pengadilan Banding wajib membuat keputusan dalam 2 hari kalender. Keputusan Pengadilan Banding bersifat final dan tidak dapat diajukan banding (28.12.2009.N2525).
5. Keputusan CEC dapat diajukan banding ke Pengadilan Kota Tbilisi dalam 2 hari kalender setelah keputusan dibuat. Pengadilan memeriksa pengaduan dalam 2 hari kalender. Keputusan Pengadilan Kota Tbilisi wajib dibuat dalam 2 hari kalender
359
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
setelah pengaduan dimasukkan, yang dapat diajukan banding ke Pengadilan Banding (Appelate Court) dalam 2 hari kalender. Keputusan Pengadilan Banding bersifat final dan tidak dapat diajukan banding (28.12.2009.N2525).
6. Dalam hal pengajuan keberatan/gugatan ke pengadilan, pengadilan pertama-tama berkewajiban, untuk memberitahukan Komisi Pemilu Pusat/Distrik tentang penerimaan permohonan/keberatan dan kedua, memberitahukan Komisi mengenai keputusan yang dibuat. Keputusan Pengadilan Distrik/Kota seharusnya dikirimkan kepada pihak-pihak yang terlibat sebelum pukul 12:00 keesokan harinya.
7. Selama sidang pembacaan gugatan/pembelaan, jika pihak yang terlibat tidak hadir, pengadilan membuat keputusan dengan menyelidiki materi yang termasuk dalam perkara, dan menurut ketentuan pasal-pasal 4, 17, 19 Undang-Undang Prosedur Administrasi (Administrative Procedural Code) Georgia.
8. Permohonan/gugatan/keberatan yang dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Komisi Pemilu atau kepada Pengadilan setelah didaftarkan di Komisi Pemilu yang relevan atau di Pengadilan yang bersangkutan.
9. Pengajuan permohonan/gugatan/keberatan kepada Komisi Pemilu atau Pengadilan tidak menghentikan proses keputusan yang sedang diajukan banding.
10. Merupakan hal yang dilarang untuk memperpanjang jangka waktu banding dan penyelesaian pengaduan, jika UndangUndang tidak mempertimbangkan selain daripada periode waktu yang ditentukan.
11. Permohonan/gugatan/keberatan tentang sengketa pemilu yang disebutkan pasal 771, yang dimasukkan ke komisi pemilu atau ke pengadilan oleh orang-orang yang tidak ditetapkan oleh pasal yang sama, tidak akan diperiksa.
12. Kerangka waktu dan aturan untuk mengajukan banding atas keputusan komisi pemilu dan pelanggaran undang-undang pemilu, juga kerangka waktu mengatur pertimbangan dan proses pengambilan keputusan dari permohonan/keberatan dan akhirnya orang-orang yang berhak membawa gugatan, ditentukan
360
Appendix B
oleh peraturan perundang-undangan Georgia, kecuali diberikan sebaliknya di dalam undang-undang saat ini (21.03.08.N6013)
13. Selama pemilu diadakan di bawah kewenangan Komisi Tinggi Pemilu (High Election Commission) dari republik yang otonom, jika pelanggaran undang-undang pemilu terjadi, pengertian dan kerangka waktu sebuah banding terhadap pelanggaran tersebut dapat ditangani oleh prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sebuah republik yang otonom (15.07.2008 N231).
14. Sejak pengumuman hari pemilu hingga berakhirnya, pengajuan permohonan/keberatan dimungkinkan dari pukul 10:00 hingga 20:00 hari kalender (28.12.2009. N2525).
Kosovo Undang-undang Pemilu (No.03-L073) (2008) (sebagaimana diamandemen) Pasal 56. Hak dan kewajiban Pemantau:
56.1. Seorang pemantau memiliki hak untuk:
a) mengawasi tanpa halangan persiapan dan pelaksanaan Pemilu, termasuk rapat-rapat pasca-pemilu, sidang dan aktivitas terkait pemilu, pengaduan dan banding terhadap hasil pemilu, dan penentuan kandidat yang menang;
b) memasukkan komentar secara tertulis kepada komisi pemilu
c) mengawasi pengemasan, transfer, pengiriman, penanganan,
d) memperoleh
dan panitia pemungutan suara; penghitungan, penyimpanan, dan pengrusakan surat suara; salinan
berbagai
keputusan,
protokol,
tabulasi, catatan rapat dan dokumen pemilu lainnya selama keseluruhan proses pemilu, termasuk proses sebelum dan sesudah pemilu.
56.2. Selama proses pemilu, termasuk proses pendaftaran pemilih, seorang pemantau yang terakreditasi dapat memasukkan pengaduan
pelanggaran
berbagai
Aturan,
Keputusan
Administratif, Aturan Pemilu atau Tata Tertib Administratif yang berlaku kepada CEC sesuai dengan prosedurnya.
361
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
56.3. Seorang pemantau memiliki kewajiban untuk:
a) menghormati berbagai persyaratan menurut undang-undang ini dan aturan CEC;
b) mengenakan kartu identitas pemantau di tempat yang mudah dilihat ketika pemantau terlibat dalam kegiatan pemantauan;
c) tidak
mengenakan
tanda-tanda
yang
menyolok
yang
dapat berfungsi sebagai alat propaganda atau yang dapat mempengaruhi kehendak para pemilih atau mengidentifikasi mereka dengan entitas politik atau kandidat tertentu; dan
d) tidak melakukan pelanggaran hak pemilih untuk surat suara yang rahasia dan yang menghambat proses pemungutan suara dan administrasi pemilu.
56.4. Sebuah organisasi pemantau dapat mengirimkan satu pemantau ke rapat-rapat CEC dan MEC.
Nigeria Undang-undang Pemilu (2010) Pasal 75. Sertifikat Hasil
(1) Sertifikat Hasil yang disegel di sebuah pemilu dalam bentuk yang disetujui wajib diterbitkan dalam 7 hari kepada setiap kandidat yang memenangkan pemilu di bawah Undang-Undang ini:
Dengan syarat bahwa dimana Pengadilan Banding (Court of Appeal) atau Mahkamah Agung (Supreme Court) sebagai Pengadilan Banding (Appelate Court) terakhir dalam gugatan pemilu manapun karena putusannya mungkin akan membatalkan Sertifikasi Hasil kandidat manapun, Komisi wajib dalam 48 jam setelah diterimanya perintah Pengadilan tersebut menerbitkan kandidat yang berhasil dengan Sertifikat Hasil yang sah. (2) Dimana
Komisi
menolak
dan,
atau
mengabaikan
untuk
menerbitkan sertifikat hasil, sebuah salinan sertifikat asli dari Perintah Pengadilan Yurisdiksi yang Berkompeten, ipso facto, adalah memadai untuk maksud pengucapan sumpah kandidat yang dideklarasikan sebagai pemenang oleh Pengadilan tersebut.
362
Appendix B
Pasal 133. Prosedur untuk Menguggat sebuah Pemilu
(1) Tidak ada pemilu dan hasil sebuah pemilu di bawah UndangUndang ini yang dipertanyakan dengan cara selain daripada lewat sebuah gugatan yang pemilu yang tidak perlu atau hasil yang tidak perlu (di Undang-Undang ini dirujuk sebagai “gugatan pemilu”) yang diajukan ke Tribunal atau pengadilan yang kompeten sesuai dengan ketentuan Konstitusi atau Undang-Undang ini, dimana orang yang dipilih atau hasilnya tergabung sebagai satu pihak.
(2) Di bagian ini “Tribunal atau pengadilan” berarti –
(a) dalam kasus pemilu Presiden atau Gubernur, pengadilan tingkat banding (court of Appeal); dan
(b) Dalam kasus pemilu lainnya di bawah Undang-Undang ini, tribunal pemilu yang ditetapkan di bawah Konstitusi atau Undang-Undang ini.
(3) Badan Pengadilan Pemilu wajib –
(a) Dibentuk tidak lebih dari 14 hari sebelum pemilu; dan
(b) ketika
dibentuk,
membuka
kepaniteraannya
7
hari
sebelum pemilu.
Pasal 134. Waktu untuk Mengajukan Gugatan Pemilu
(1) Sebuah gugatan pemilu harus diajukan dalam waktu 21 hari setelah tanggal pengumuman hasil pemilu;
(2) Tribunal Pemilu wajib menyampaikan keputusannya secara tertulis dalam 180 hari dari tanggal dimasukkannya gugatan;
(3) Sebuah banding dari keputusan Tribunal atau pengadilan pemilu wajib disidangkan atau ditolak dalam waktu 90 hari dari tanggal penyampaian keputusan Tribunal;
(4) Pengadilan dalam seluruh banding dari Tribunal Pemilu dapat mengadopsi praktik pertama-tama memberikan keputusannya dan menulis pertimbangan hukumnya belakangan;
Pasal 142. Sidang Gugatan Pemilu yang Dipercepat Tanpa praduga ketentuan bagian 294 subbagian (1) dari Konstitusi Republik Federal Nigeria sebuah gugatan pemilu dan banding yang muncul di
363
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
bawah Undang-Undang ini akan ditangani melalui sidang yang dipercepat dan akan menjadi preseden bagi seluruh kasus lainnya di hadapan Tribunal atau pengadilan.
Thailand Undang-undang Organik tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Penetapan Senator (2010) §57. Tidak ada Pejabat Negara yang, dengan melaksanakan fungsinya secara tidak sah, melakukan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan kepada kandidat atau partai politik. Pelaksanaan fungsi yang tidak sah di bawah paragraf satu harus tidak termasuk kinerja tugas dalam sebuah posisi biasa suatu pejabat negara atau nasihat atau bantuan dalam sebuah pemilu kandidat atau partai politik yang tidak relevan dengan kinerja tugas-tugasnya, terkait apakah tindakan tersebut menguntungkan atau tidak menguntungkan kandidat atau partai politik manapun. Dalam hal dimana tampaknya terdapat bukti yang meyakinkan dari pelanggaran apapun dari ketentuan paragraf satu, Komisi Pemilu wajib, jika menjadi opini bahwa ada tindakan apapun bisa menguntungkan atau tidak menguntungkan bagi kandidat atau partai politik manapun, memiliki kekuasaan untuk memerintahkan pejabat Negara untuk menghentikan atau menunda aksi tersebut. Untuk maksud ini, komisi pemilu wajib memberitahukan
atasan
atau
pengawas
pejabat
tersebut
untuk
memerintahkan bahwa pejabat tersebut wajib melepaskan jabatannya sementara atau wajib melampirkan ke Kementerian, Sub-Kementerian, Departemen, kantor pusat Changwat atau kantor Amphoe di dalam atau di luar konstituensi atau untuk melarang orang tersebut untuk memasuki konstituensi manapun.
§103. Sebelum pengumuman hasil pemilu, jika Komisi Pemilu mempertimbangkan bahwa, setelah penyelidikan dan pemeriksaan, terdapat bukti bahwa
364
Appendix B
seorang kandidat melakukan pelanggaraan terhadap Undang-Undang Organik, Peraturan atau Pemberitahuan Komisi Pemilu, atau situasi menunjukkan bahwa seorang kandidat menyebabkan orang lainnya untuk melakukan tindakan tersebut, mendukung atau berkomplot melakukan tindakan tersebut, mengetahui dan tidak menghentikan tindakan tersebut, dan jika Komisi Pemilu mempertimbangkan bahwa tindakan tersebut mungkin menyebabkan pemilu menjadi tidak jujur dan tidak adil, maka Komisi Pemilu wajib memerintahkan penghapusan hak pencalonan untuk setiap kandidat yang melakukan tindakan tersebut untuk periode satu tahun efektif dari tanggal perintah Komisi Pemilu. Jika tampak bukti yang meyakinkan bahwa seorang pemimpin atau anggota Komite Eksekutif dari partai politik berkomplot atau mengabaikan atau telah mengetahui tetapi tidak menghapuskan atau memperbaiki, untuk tujuan pemilu yang jujur dan adil, tindakan dibawah ayat satu, partai politik akan dianggap telah melakukan melakukan sebuah tindakan untuk memperoleh kekuasaan untuk menguasai negara dengan cara yang tidak sesuai dengan modus operandi sebagaimana diatur dalam Konstitusi. Dalam kasus tersebut, Komisi Pemilu akan, di bawah UndangUndang Organik tentang Partai-Partai Politik, mengajukan mosi kepada Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan partai politik. Dalam kasus dimana Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembubaran partai politik, Mahkamah Konstitusi wajib menghapuskan hak pencalonan pimpinannya dan anggota Komite Eksekutif dari partai politik tersebut untuk periode lima tahun efektif dari tanggal perintah pembubaran. Dalam hal dimana tampak bagi Komisi Pemilu bahwa terdapat pelanggaran di bawah ayat satu, terlepas dari tindakan yang dilakukan oleh perorangan manapun, jika Komisi Pemilu memandang bahwa seorang kandidat atau partai politik memperoleh manfaat dari tindakan tersebut, Komisi Pemilu memiliki kekuasaan untuk memerintahkan kandidat atau partai politik menghentikan atau meneruskannya dalam rangka memperbaiki ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam batas waktu yang disarankan. Dalam kasus dimana kandidat atau partai politik, tanpa alasan yang masuk akal, gagal untuk melaksanakan perintah Komisi Pemilu, harus diasumsikan bahwa kandidat merupakan pendukung tindakan tersebut atau partai politik berkomplot melakukan tindakan tersebut, kecuali kasus dimana
365
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
kandidat atau partai politik membuktikan bahwa mereka tidak berkomplot melakukan hal tersebut. Penyelesaian Komisi Pemilu untuk menghapus hak pencalonan di bawah Bagian ini harus sesuai dengan Undang-Undang Organik tentang Komisi Pemilu. Ketika terdapat perintah untuk menghapus hak pencalonan dari seorang kandidat atau Mahkamah Konstitusi memerintahkan penghapusan hak pencalonan bagi seorang pemimpin atau anggota Komite Eksekutif partai politik, dimulainya prosedur pidana terhadap kandidat, pemimpin atau anggota Komite Eksekutif partai politik juga bisa dipertimbangkan. Dalam kasus tersebut, wajib dipandang bahwa Komisi Pemilu adalah orang yang dirugikan di bawah Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Criminal Procedure Code). Dalam hal dimana sebuah perintah untuk menghapuskan hak pencalonan di bawah Bagian ini dilakukan setelah hari pemungutan suara tetapi sebelum hari pengumuman hasil pemilu dan kandidat yang memiliki hak pencalonan dihapuskan, merupakan kandidat di basis daerah pemilihan yang menerima sejumlah suara yang mencukupi untuk dipilih di daerah pemilihan tersebut, Komisi Pemilu akan memerintahkan sebuah pemilu baru agar daerah pemilihan tersebut memiliki jumlah kandidat terpilih yang mencukupi.
§107. Dalam hal dimana selama periode di bawah Bagian 49 terdapat bukti yang meyakinkan bahwa seseorang memberikan, menawarkan untuk memberikan atau berjanji untuk memberikan uang atau harta benda untuk kepentingan mendorong seorang pemilih untuk memilih kandidat atau partai politik tertentu atau untuk abstain dari memberikan suara kepada kandidat atau partai politik atau menyiapkan uang atau harta benda untuk perbuatan tersebut, Komisi Pemilu memiliki kekuasaan untuk menyita uang atau harta benda orang tersebut secara sementara hingga pengadilan menerbitkan sebuah keputusan.
366
Appendix B
Komisi Pemilu akan mengajukan sebuah mosi kepada Pengadilan Changwat atau Pengadilan Perdata yang yurisdiki penyitaannya berlangsung dalam tiga hari dari tanggal penyitaan di bawah ayat satu. Ketika Pengadilan menerima mosi, Pengadilan wajib melaksanakan penyelidikan ex parte yang harus selesai dalam lima hari dari tanggal mosi diterima. Jika Pengadilan mempertimbangkan bahwa uang atau harta benda di dalam mosi secara tidak sah digunakan untuk pemilu, pengadilan akan memerintahkan penyitaan uang atau harta benda hingga pengumuman hasil pemilu.
Ukraina Undang-undang Ukraina tentang Pemilu Wakil Rakyat Ukraina (People’s Deputies of Ukraine) (2007) Pasal 59. Deposit Moneter
1. Deposit moneter berbentuk dua ribu kali gaji minimum dan dibayarkan oleh pihak (blok) dalam bentuk tunai kepada rekening khusus Komisi Pemilu Pusat (Central Election Commission).
2. Jika Komisi Pemilu Pusat mengadopsi sebuah keputusan untuk menolak pendaftaran seluruh kandidat untuk wakil, deposit moneter yang dibayarkan akan ditransfer ke rekening pihak (blok) dalam waktu lima hari setelah keputusan tersebut dikeluarkan.
3. Ketika sebuah keputusan tentang pendaftaran seluruh kandidat untuk wakil, termasuk daftar pemilih suatu pihak (blok) sesuai dengan paragraf empat Pasal 62 dan paragraf sepuluh Pasal 63 Undang-Undang ini, dibatalkan, deposit moneter akan ditransfer ke Anggaran Negara Ukraina dalam lima hari setelah keputusan dikeluarkan.
4. Deposit moneter akan dikembalikan ke para pihak (blok-blok), yang mengambil bagian dalam pembagian mandat wakil.
5. Deposit moneter, yang dibayarkan suatu pihak (blok) yang tidak mengambil bagian dalam pembagian mandat wakil, akan ditransfer ke Anggaran Negara Ukraina dalam waktu delapan hari setelah pengumuman resmi hasil pemilu.
367
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
Pasal 60. Pengumuman Kekayaan dan Penghasilan Kandidat untuk Wakil Rakyat
1. Pengumuman kekayaan dan penghasilan seorang kandidat untuk wakil pada tahun sebelum dimulainya proses pemilu harus dilakukan sendiri oleh kandidat tersebut.
2. Menteri Keuangan Ukraina harus menyetujui format deklarasi kekayaan dan penghasilan seorang kandidat untuk wakil tidak lebih dari seratus tiga puluh hari sebelum hari pemungutan suara.
3. Komisi Pemilu Pusat dapat meminta informasi ke Kantor Administrasi Pajak Negara (State Tax Administration) dan menunjuknya untuk memverifikasi informasi yang dibuat dalam deklarasi kekayaan dan penghasilan seorang kandidat untuk wakil.
4. Kesalahan dan ketidakakuratan yang terungkap di dalam deklarasi harta benda dan penghasilan dapat diperbaiki dan bukan menjadi alasan untuk penolakan pencalonan seorang kandidat untuk wakil.
Pasal 61. Prosedur Pendaftaran Kandidat untuk Wakil
1. Para kandidat untuk wakil yang termasuk dalam daftar suatu pihak (blok) akan didaftarkan oleh Komisi Pemilu Pusat dengan kondisi penyerahan dokumen yang diatur oleh Pasal 58 UndangUndang ini.
2. Penyerahan berbagai dokumen untuk pendaftaran kandidat untuk wakil ke Komisi Pemilu Pusat harus selesai tidak lebih dari delapan puluh lima hari sebelum hari pemungutan suara.
3. Seseorang yang dimasukkan ke dalam daftar kandidat untuk wakil oleh suatu pihak (blok), yang pada hari partai (blok) tersebut menyerahkan pernyataan tentang pendaftaran kandidat untuk wakil, gagal untuk menyerahkan pernyataan yang memberikan izin untuk maju sebagai kandidat untuk wakil dari partai (blok) tersebut, akan dipertimbangkan untuk dikecualikan dari daftar kandidat partai (blok) tersebut sejak hari pihak (blok) tersebut menyerahkan pernyataan menurut sub-ayat 1 dari ayat satu dari Pasal 58 Undang-Undang ini. Sebuah pernyataan dari orang ini, yang memberikan izin untuk maju, yang diserahkan setelah partai (blok) tersebut telah menyerahkan pernyataan tentang pendaftaran para kandidat untuk wakil, tidak dapat diterima.
368
Appendix B
4. Seseorang yang termasuk dalam daftar kandidat pada suatu partai (blok) memiliki hak untuk menarik kembali pernyataan persetujuannya untuk maju sebagai kandidat sebagai wakil sampai hari pendaftaran. Dari saat ketika Komisi Pemilu Pusat menerima sebuah pernyataan untuk menarik persetujuan untuk maju sebagai kandidat untuk wakil, orang tersebut akan dianggap dikecualikan dari daftar partai (blok). Komisi Pemilu Pusat akan memberitahukan partai (blok tersebut) secara tertulis tentang penerimaan pernyataan tersebut paling lambat satu hari setelah penerimaaan pernyataan tersebut. Sebuah pernyataan ulang dari persetujuan seseorang untuk maju sebagai kandidat untuk wakil dari suatu pihak (blok), tidak dapat diterima.
5. Seseorang yang termasuk dalam beberapa daftar pemilu partai-partai (blok-blok) menurut pernyataan tertulis tentang persetujuannya maju sebagai kandidat untuk wakil atas nama pihak-pihak ini, harus dikeluarkan dari seluruh daftar dimana dia dimasukkan melalui keputusan Komisi Pemilu Pusat.
6. Dalam hal pelaksanaan pemilu reguler dari wakil rakyat, Komisi Pemilu Pusat akan, dalam waktu tidak lebih dari hari ke-17 setelah penerimaan sebuah pernyataan dan berbagai dokumen yang diperlukan yang terlampir tentang pendaftaran kandidat untuk wakil, mengeluarkan keputusan untuk mendaftarkan kandidat untuk wakil atau menolak pendaftaran (Paragraf enam dari Pasal 61 dengan amandemen yang dibuat sesuai dengan UU No 1114-V pada 01.06.2007)
7. Daftar dan urutan kandidat untuk wakil dalam daftar kandidat ditentukan oleh suatu partai (blok) tidak dapat diubah setelah pendaftaran mereka oleh Komisi Pemilu Pusat, kecuali untuk pengecualian beberapa kandidat tertentu dari daftar dalam kasus sebagaimana digambarkan oleh Undang-Undang ini.
8. Jika para kandidat untuk wakil didaftarkan, perwakilan partai (blok) di Komisi Pemilu Pusat harus diberikan pengesahan kandidat untuk wakil dalam bentuk yang ditetapkan oleh Komisi Pemilu Pusat, bersama dengan salinan keputusan untuk mendaftarkan kandidat dalam tiga hari setelah keputusan yang terkait dikeluarkan. Daftar kandidat untuk wakil suatu partai (blok) bersama dengan
369
Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu
keputusan tentang pendaftaran harus dipublikasikan di surat kabar Holos Ukruayiny dan Uriadovyy Kuryer dalam waktu yang sama
9. Jika Komisi Pemilu Pusat mengungkapkan tanda-tanda adanya pelanggaran ayat satu dari Pasal 37 Konstitusi Ukraina dalam dokumen, yang diserahkan oleh suatu partai (blok), ia berkewajiban untuk menyampaikannya ke Kementerian Kehakiman Ukraina tentang dimasukkannya permohonan tersebut ke Mahkamah Agung Ukraina terkait pelarangan aktivitas partai tersebut. Pertimbangan isu pendaftaran kandidat untuk para wakil dari partai (blok) ini harus ditunda hingga keputusan pengadilan memiliki dampak hukum.
Zambia Undang-undang Pemilu (2006) §102. Pengadilan Gugatan Pemilu
(1) Suatu gugatan pemilu dapat disidangkan dan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi lewat sidang terbuka, dalam waktu seratus delapan puluh hari dari pendaftaran gugatan pemilu sebagaimana diatur di bawah bagian sembilan puluh tujuh:
Dengan syarat bahwa dimana sebuah gugatan pemilu tidak disidangkan dan diputuskan dalam masa yang dirinci di dalam sub bagian ini karena kegagalan dari pihak penggugat secara aktif memperkarakan gugatannya, Pengadilan Tinggi wajib membatalkan gugatan tersebut untuk diperkarakan.
(2) Pengadilan Tinggi dapat menunda sidang gugatan pemilu dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
(3) Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini, Pengadilan Tinggi dalam hal sidang sebuah gugatan pemilu, dapat melaksanakan kewenangannya
dalam
yurisdiksi
perdata,
sebagaimana
dipandang layak.
(4) Pada sidang sebuah gugatan pemilu, sebuah verbatim (detail) dari seluruh bukti yang diberikan secara lisan di dalam pengadilan harus diambil dan ditranskrip, dan catatan tersebut harus disampaikan kepada Komisi oleh Pencatat, pada akhir persidangan.
370
“Dari gambaran umum yang luas tentang setiap topik hingga ilustrasi yang meyakinkan dari berbagai praktik dan prosedur khusus, GUARDE menerapkan standarstandar internasional untuk berbagai persoalan praktis. Dengan melakukan hal tersebut, GUARDE menyoroti topiktopik yang paling relevan yang termasuk penyelesaian keberatan Pemilu, dan memberikan berbagai jawaban untuk berbagai pertanyaan yang seharusnya ditanyakan oleh administrator, arbitrator dan hakim Pemilu”
Barry H. Weinberg Mantan Pejabat Ketua, Seksi Pemilu, Divisi Hak Sipil Departemen Kehakiman Amerika Serikat (Former Acting Chief, Voting Section of the Civil Rights Division United States Department of Justice)
International Foundation for Electoral Systems 1850 K Street, NW Fifth Floor Washington, D.C. 20006 USA Tel: +1.202.350.6700 Fax: +1.202.350.6701 www.IFES.org © IFES 2011