PBB Sebagai Sumber Penerimaan Daerah Dan Alat Pengendali Penggunaan Tanah
Oleh : Surjanti Abstraksi : Kepastian hukum dari data atau obyek pajak yang dihimpun dari pengenaan pajak yang berasal dari pendaftaran tanah lebih dpat diandalkan (akurasinya tinggi) mengingat penerimaan negara yang berasal dari PBB semakin berperan khususnya sebagai sumber penerimaan pemerintah daerah. Fungsi pajak tanah (PBB) yang mengatur (reguleren) di Indonesia bertujuan sebagai alat pengendali agar penggunaan tanah sesuai dengan potensi dan optimalisasi. A. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada dasarnya merupakan proses pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, yang tentunya dalam proses tersebut disamping memerlukan sumbert daya alam dan sumber daya manusia, serta teknologi dan ilmu pengetahuan, juga tidak kalah penting peranannya adalah sumber dana yang tersedia yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pembangunan tersebut. Pada umunya dana-dana pembangunan disediakan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), apabila pembanguna tersebut mencakup skala yang luas, yaitu pembangunan nasional; dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) apabila kegiatan tersebut menyengkut skala yang lebih kecil, yaitu daerah. Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah
dihimpun dari berbagai sumber pendapatan negara /daerah, baik yang
bersifat tetap diperoleh diantaranya melalui pajak dan retribusi, seperti parkir dan berbagai jenis retribusi yang lain; kemudian pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Tontonan, Pajak Hiburan dan Pajak Restoran, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bea balik Nama (PBBN), dan pajak-pajak lain yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain. Menurut Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, dikatakan bahwa “Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan barsama”.
1
Pajak sebenarnya merupakan hutang anggota masyarakat kepada masyarakat yang lain, artinya bahwa pajak merupakan peralihan uang (harta) dari sektor swasta (individu) ke 1
.Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2000, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakaarta, h. 2
sektor masyarakat yang dibayarkan melalui pemerintah, tanpa mendapat jasa timbal secara langsung kepada pembayar pajak. Secara filosofis pajak merupakan kewajiban seseorang terhadap apa yang dimilikinya dan dinikmatinya selama ini, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu seseorang patut menyerahkan sebagian pendapatnnya untuk kesejahteraan sesama anggota masyarakat.. Cort van der Linden menjelaskan bahwa “Pajak aalah kewajiban penduduk negara untuk dapat menetap serta berusaha dalam negara itu dan memperoleh perlindungan”.
2
Setiap negara yang mengaku sebagai negara hukum selalu mengedepankan aturan/norma yang dicerminkan dalam perundang-undangan, maka setiap tindakan pemerintah termasuk dalam bidang perpajakan harus memiliki dasar hukum yang jelas dan pasti. Keharusan penggunaan dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia aecara konstitusinal sudah diatur didalam Undang Undang Dasar 1945 dalam Pasal 23A, yang selengkapnya dirumuskan : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian, kepastian hukum subyek pajak, obyek pajak serta berapa besar pajak yang harus dibayar wajib dituangkan dalam bentuk undang – undang dalam arti harus mendapat persetujuan dari rakyat dahulu melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Berkaitan denag ini maka kebijakan pengenaan pajak tanah dan kebijakan pertanahan jika dilaksanakan secara selaras (sinkron), pajak tanah tidak saja merupakan sumber penerimaan negara, yang khususnya untuk membiayai pengeluaran pemerinyah daerah, tetapi hal tersebut juga dapat dipakai sebagai alat untuk mencegah adanya manipulasi dan spekulasi dalam bidang pertanahan,
3
serta mendorong para pemilik tanah untuk mengusahakanb
tanahnya lebih produktif sehingga pemerintah sebagai pemegang kekuasaan atas bumi, air dan ruang angkasa sesuai dengan Pasal 2 Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Pasal 2 Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) merumuskan dengan tepat apa yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berb unyi sebagai berikut : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung diudalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
2 3
.Bohari, 2004, Pengantar Hukum Pajak, PT Rajawali Pers, Jakarta, H. 21
.Robinson, Dennis, 1991, Integrating Land-Based and Land Policies, makalah dalam International Conference on Property Taxation and its interaction with Tax Policies, Cambridge, Massaschusetts, h. 14
Menurut sejarah, sejak jaman Romawi, pemungutan pajak tanah selalu dikaitkan dengan hubungan antara manusia
dengan tanah serta kepemilikan/penguasaan tanah.
Pungutan pajak atas tanah selalu dikaitkan dengan kepemilikan atau penguasaan tanah. Oleh karena itu pajak yang dikenakan atas pengoperan harta tetaop/tanah (bea balik nama) dapat diterapkan kembali agar kebijaksanaan pengenaan pajak tganah dan kebijaksanaan pertanahan dilaksanakan secara selaras dan bersamaan. Dengan demikian pajak dapat diarahkan secara optimal dan pemanfaatan tanah yang juga secara optimal dapat membantu kesejahteraan rakyat dalam upaya mewujudkan keadilan soaial. Pengenaan pajak juga harus sesuai dengan kemampuan masyarakat dalam membayar pajak.
B. Pajak Bumi Dan Bangunan sebagai Pajak Tanah di Indonesia Sejak Januari 1986, pemerintah Indonesia menetapkan undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1986, undang undang tersebut menggantikan : 1. Pajak Rumah Tangga 1908 sebagaimana telah beberapa diubah dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 1961, telah ditetapkan menjadi Undang Undang. 2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Staatblad 1931 Nomor 168. 3. Ordonansi Verponding 1928, sebagaimana telah diubah beberapa kali, dan terakhir dengan Undang Undang Nomor 29 Tahun 1959. 4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, sebagaimana telaah diubah beberapa kali, dan terakhir dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1967. 5. Ordonansi Pajak Jalan 1942, sebagaimana telah diubah beberapa kali, dan terakhir dengan Rechtspleging Oorlogsmisdrijven Sttatsblad 1946 Nomor 47. 6. Undang Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah Pasal 14 huruf j, k, dan l; yang dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi Undang Undang. 7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi yang dirubah dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1961 sebagai Undang Undang. Tujuan pemerintah mengadakan perubahan secara menyeluruh atas perundangundangan pajak di Indonesia adalah untuk meningkatkan penerimaan keuangan negara, dengan mengadakan :
1. Penyederhanaan jumalh pajak dan jenis pajak; 2. Penhyederhanaan tarif pajak; 3. Penyederhanaan tata cara perpajakan; 4. Penyederhanaan aparatur perpajakan dalam hal : a. Prosedur perpajakan; b. Disiplin; c. Mental pegawai.
4
Adanya penyempurnaan perundang-undangan perpajakan oleh pemerintah karena adanya bermacam-macam pajak yang dikenakan pada obyek yang berupa tanah dan bangunan dengan dasar pengenaan pajak yang berlainan, tarif yang bermacam-macam dan dikenakan baik oleh pemerintah pusat, daerah tingkat I maupun daerah tingkat II, sehingga seluruh sistem dari perpaqjakan atas tanah dan bangunan tersebut menjadi sangat komplek serta penerimaan dari hasil pajakpun sangat rendah. Selain itu juga sangat memberatkan masyarakat wajib pajak. Terjadinya tunggakan pajak yang tinggi diakibatkan karena adanya beberapa faktor penghambat, seperti kurangnya petugas yang handal, administrasi yang sudah tidak memadai sehingga perlu pendataan lagi. Kurangnya kesadaran masyarakat merupakan faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, sedangkan sanksi yang diterapkan terhadap wajib pajak yang melalaikan kewajibannya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dengan
adanya
Tax
Reform,
pemerintah
memperoleh
kewenangan
untuk
memberlakukan Undang Undang PBB 1986, yang hanya mengenal satu macam satu macam tarif pajak serta dikenalan atas nilai jual obyek pajak. Dengan demikian dapat daiharapkan : 1. Meningkatkan sumber penerimaan negara untuk kepentingan pembiayaan pemerintah; 2. Memenuhi rasa keadilan, dengan mewajibkan kepada mereka yang memperoleh keuntungan atas tanah dan bangunan untuk memberikan sebagian kenikmatan yang diperolehnya kepada yang memerlukan dengan jalan membayar pajak. 3. Memberikan kepasrian hukum serta penyederhanaan sistem perpajakan yang dikenakan atas tanah dan bangunan. Undang Undang Pajak Bumi dan Bangunan merupakan dasar bagi pembaruan sistem pungutan pajak tanah dan bangunan Indonesia. Penyederhanaan jenis pajak, pemberlakuan tarif pajak sepadan, yaitu tarif dengan persentase yang tidak berubah, mengakibatkan jumlah 4
.Rachmat Soemitro , 1985, Pajak Penghasilan 1986, PT Eresco, Bandung , h. 4
5
pajak yang harus dibayar berubah menurut jumalh yang dipergunakan sebagai dasa , yaitu 0,5%. Jumlah tersebut dihitung berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang dalam hal ini merupakan nilai tanah, sedangkan dasar atau ratio perhitungan ditetapkan antara 20% sampai dengan 100%. Besarnya prosentase untuk menghitung Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi. Perhitungan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 1986, tanggal 26 Desember 1985 ratio penghitungan ditetapkan sebesar 20% sehingga tarif efektif yang berlaku adalah 0,1% (0,50% x 20%) Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual tanah dan bangunan sehingga serendahrendahnya pajak yangn harus dibayar bergantung pada tinggi rendahnya nilai jual tanah dan bangunan tersebut. Dengan demikian, Pajak Bumi Bangunan bersifat responsif terhadap pertumbuhan ekonomi. Didalam undang undang secara jelas disebutkan bahwa pemerintah dapat lebih memfokuskan pada perbaikan administrasi pajak, baik berupa pendataan obyek pajak, penilaian, pemungutan pajak, sanksi terhadap kelalaian wajib pajak maupun petugas pajak, upaya hukum yang diberikan kepada wajib pajak apabila tehadapnya dikenakan pajak yang tidak sesuai.
C. Pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan Penerapan Undang Undang Pajak Bumi dan Bangunan tidak dapat dolepaskan dari sistem peprajakan yang berlaku di Indonesia. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam hukum administrasi perpajakan (tax administration) yang dilakukan oleh aparatur perpajakan terkait dengan kebijaksanaan perpajakan pemerintah (land based tax Policy) dan udang undang Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan peraturan dasar tentang pengenaan pajak atas bumi dan bangunan. Yang termasuk dalam administrasi Pajak Bumi bangunan adalah : 1. Pendataan obyek kena pajak, subyek pajak; 2. Penilaian obyek kena pajak; 3. Penetapan pajak; 4. Penerimaan, penagihan; 5. Keberatan; 5 h. 37
.Rachmat Soemitro, 1974, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak pendapatan, PT Eresco, Bnadung,
6. Perubahan atau mutasi nama kepemilikan/ penguasaan tanah dan bangunan. Prosedur pelaksanaan PBB merupakan suatu tata kerja yang telah ditetapkan oleh Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan dan Undang Undang PBB berikut peratran pelaksanaannya yang wajib dipatuhi baik oleh aparatur perpajakan dan oleh masyarakat wajib pajak. Besarnya pajak terutang dan cara penagihannya dengan menentukan lebih dahulu obyek pajaknya yang didalam UUPBB diebut dengan Obyek Kena Pajak. Dalam hal ini yang paling menentukan adalah tempat atau lokasi obyek pajak. Sedangkan si pembayar pajak merupakan subyek pajak PBB. Obyek pajak bumi bangunan menurut Pasal 2 ayat 1 UUPBB adalah bumi dan/atau bangunan. Pengertian bumi dan bangunan diatur dalam Pasal 1 UUPBB, yang dikelompokkan dalam klasifikasi bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terhutang. 1. Letak, 2. Luas tanah, 3. Peruntukan, 4. Pemanfaatan, 5. Kondisi lingkungan, dan lain-lain. Sedang faktor yang menentukan kladifikasi bangunan adalah : 1. Bahan yang digunakan, 2. Rekayasa, 3. Letak, 4. Kondisi Lingkungan, dan lain-lain. Tanah (bumi) dan bangunan dinilai secara terpisah sehingga sesuai dengan asas horinzontal yang merupakan asas dlam UUPA. Dalam hal ini tidak keslitan dalam memnentukan cara penghitungan besar pajak yang tehutang maupun siapa wajib pajaknya karena tidak semua pemilik bangunan juga pemilik tanah dimana bangunan itu didirikan. Sedangkan memgenai rumah susun atau apartemen yang pemilik setiap unit nya berlaian , maka asas perlekatan (natreking) yang berlaku dalam KUHPerdata (BW) tidak dipakai lagi , karena untuk pengaturannya berlaku bahwa tanah dipisahkan dari segala 6
sesuatu yang melekat padanya yang dapat dibuktikan dengan sertifikat yang terpisah pula . 6
.Djuhaendah Hasan, 1995, Penetapan Asas Pemisahan Horizontal pada Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda yang melekat pada Tanah dalam Perjanjian Kredit Indonesia.
Pabila konsisten menerapkan asas horizontal maka dapat dibuat 2 Surat Ketetapan Pajak yang terpisah, yaitu untuk bumi dan bangunan dibuat sendiri-sendiri. Penentuan subyek pajak PBB dapat dilakukan setelah obyek pajak kena pajak ditetukan, dan UUPBB tidak terikat dengan pengertian kepemilikan sebagaimana diatur dalam UUPA, tetapi memberikaj pengertian sendiri yang cukup luas. Subyek pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi. Dan/atau memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat atas bangunan. Proses yang dilaksanakan setelah obyek pajak dan subyek pajak ditentukn merupakan serangkaian kegiatan sebagia berikut : 1. Pendataan, yaitu kegiatan mengumpulkan data baik tentang obyek maupun subyek pajaknya, 2. Penilaian, yaitu kegiatan menilai obyek pajak berdasarkan klasifikasi dengan dinjang oleh data yang diperolah dibagian endataan. Pada saat ini penilaian yang digunakan PBB adlah massal yaitu dengan memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri pajaknya (self assesment). 3. Penetapan, yaitu kegitan yang menetapkan jumlah pajak ang terhutang yang didasarkan pada klasifikasi yang ada yang jumlahnya merupakan pajak yang terutang yang dibuktikan dengan dikeluarakannya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). 4. Pemungutan, penagihan dan keberatan.
D. Upaya Peningkatan Peran PBB Garis Garis Besar Haluan negara (GBHN) telah mengamanatkan suatu kerangka landasan pembangunan yang kokoh, yaitu suatu pembangunan yang daerah yang diarahkan utnuk memacu pemerataan pembangunan dengan hasil-hasilnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat serta meningkatka pendayagunaan potnsi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata da dinamis, serasi dan bertanggungjawab serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Perwujudan kerngka landasan pembangunan tersebut memerlukan dana pembangunan yang cukup besar, yang dapat dihimpun melalui mobilisasi dana masyarakat untuk investasi atau melalui APBN da APBD tingkat I dan II. Tingkat keberhasilan pemerintah daerah dapat dilihat dari mobilisasi dananya yang merupakan perimbangan Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) yaitu penjumlahan PAD dengan hasil PBB yang semakin meningkat. Peningkatan PDS menunjukkan kemampuan daerah
dalam menggali potensi PAD dan PBB. Hal terebut dapat menunjukkan peningkatan kemandirian daerah dibidang pembiayaan tugas-tigas ekonomi. Daerah pengembangan otonomi dititikberatkan di daerah Tingkat II yang dalm pelaksanaannya membutuhkan nilai yang cukup besar da terus meningkat dari tahun ke tahun. Adapun keberhasilan tersebut tidak dapat terlepas dari upaya perbaikan administrasi perpajakan PBB yang menerapkan penggunaan Sistem Manjemen Informasi Obyek Pajak (SISMIOP). Walaupun obyek pajak yang merupakan pusat informasi adalah tanah, yang idealnya ditangani oleh BPN, Direktorat Jendral Pajak yang bertugas menghimpun dana untuk negara, telah melakukan langkah-langkah mengoptimalkan penerimaan pajak dengan cara menghimpun data-data yang dapat meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak serta mempersempit ruang gerak bagi mereka yang ingin menghindari pajak dengan tidak memberikan data yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
E.
Penggunaan System Informasi Pertanahan Sebagai Data Obyek Pajak Tanah selain menjadi obyek PBB, juga sebagai titik sentral bagi segala kegiatan dari
berbagai kehidupan manusia. Bagi instansi pemerintah yang terkait dengan masalah tanah ini menyebabkan setiap instansi mencoba untuk menyajikan dengan cara tersendiri mengadakan pengumpulan dan pengurusan data pertanahan yang disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing. Adanya kekurangan dalam hal koordinasi pada kegiatan trsebut mengakibatkan terjadinya tumpang tindih (overlapping) pembiayaan serta mengakibatkan kurang lancarnya pelayanan kepada pembayar pajak atau masyarakat yang membutuhkan data tentang pertanahan tersebut. Pembangunan telah mengakibatkan berubahnya fungsi serta kepemilikan dari bidangbidang tanah. Indikasi mengenai hal tersebut dapat kita lihat dengan banyaknya mutasi tanah yang diakibatkan oleh adanya peristiwa hukumatau perbuatan hukum yang jika tidak diwaspadai dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi kondisi sosial, ekonomi atau politik. Adapun peristiwa hukum atau perbuatan hukum tersebut mengakibatkan beralihnya hak atas tanah. Adapun peralihan tersebut harus melalui suatu proses pendaftaran yang menyangkut kegiatan : 1. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah, 2. Pendaftaran dan peralihan hak-hak atas tanah, 3. Pemberian tanda bukti hak atas tanah.
Jika dikembangkan data yang diperoleh dari kegiatan tersebut diatas merupakan data yang valid karena penerbitan sertifikat serta recordingnya (salinannya) dilaksanakan dengan cermat sebagai pertimbangan atas akibat hukum yang ditimbulkan karena adanya penerbitan sertifikat tersebut. Sistem informasi tanah menyajikan data kepada masyarakat secara benar, lengkap, tepat dan mutakhir. Dan kegiatan yang menyangkut berbagai departemen dan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah harus merupakan sistem informasi lintas sektoral sehingga tidak terjadi benturan program. Pembangunan dan arus globalisasi menyebabkan kebutuhan akan informasi pertanahan yang lengkap, handal, akurat dan mutakhir semakin meningkat karena dampak pembangunan tersebut telah mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi dalam sistem pemilikan tanah. Hal terssebut dpat dilihat dari banyaknya mutasi tanah, misalnya konversi tanah yang dahuunya kosong (perkebunan) menjadi tanah pemukiman karena jual beli, pelepasan hak,atau penyewaan. Informasi pertanahan yang sekarang ada dikantor-kantor pertanahan, baik kodya maupun kabupaten di Indonesia meliputi : 1. Data obyek tanah, yaitu tentang letak (lokasi), dan batas-batas dari setiap bidang tanah serta hak-hak yang terdpat diatasnya, 2. Data subyek pemegang hak dari hak-hak tersebut diatas merupakan data proyek PBB mengingat tingkat akurasinya yang tinggi. Namu karena kendala-kendala tersebut diatas, Direktorat Jendral Pajak Bumi dan Bangunan tidak dapat menunggu perolehan informasi data tentang tanah karena dana yang berasal PBB sangat dibutuhkan bagi penerimaan kas daerah. Oleh karena itu SISMIOP dibuat dengan tidak menghilangkan peranan BPN dalam mensuplai data tentang obyek dan subyek pajak. Beberapa terminologi yang berkaitan dengan sistem informasi pertanahan, antara lain: - Land Information System ( LIS), -
Multipurpose Cadastre (MPC),
-
Geographic Information System (GIS).
LIS dan MPC yang dikenal sebagai Cultural LIS lebih mengacu kepada masalahmasalah hukum (kepemilikan) administrasi pertanahan data tentang nama pemilik, luas, batas, lokasi serta nilai jual tanah. Sistem tersebut merupakan informasi yang multiguna (multi purpose) jika didesain untuk mengumpulkan data, penyimpanan karena dapat
menyediakan data tanah (dari segi legal) dan perpajakan (nilai jual) tanah berikut informasiinformasi lainnya yang terkait. GIS yang dikenal sebagai Natural LIS adalah sistem informasi geografis yang bidang kajiannya melingkupi inventarisasi sumber daya alam yang mengacu pada karakteristik fisik bumi, seperti tanah, daya dukung, sumber mineral, serta tumbuh-tumbuhan yang hidup di areal tanah yang bersangkutan. Sistem informasinpertanahan dibutuhkan dalam upaya mengantisipasi keadaan dinegara berkembang yang
mempunyai permasalahana dengan tanah dan sumber daya
alamnya yang semakin kurang baik karena penggunaan maupun karena erosi tanah, juga pertambahan penduduk yang mingkat dengan pesat menimbulkan permasalahan serius. Permasalahan tersebut mengakibatkan : 1. Timbulnya tekanan terhadap tanah, 2. Tingkat kemiskinan pada sektor pertanian yang kecil, 3. Tidak ada kepastian tentang kepemilikan tanah, 4. Administrasi pertanahan yang menyangkut lembaga manajemen pertanahannya tidak terorganisasi dengan baik. Untuk mengatasi hal tersebut diatas, Bank Dunia (World Bank) bekerja sama dengan lembaga United States Agency For International Development (USAID) membantu negara berkembang dengan mengadakan program dengan nama CLIS (Cadastre Based Land Information System) untuk lebih memberi jaminan kepemilikan tanah dengan jalan : 1. Membentuk suatu lembaga yang diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah tersebut, 2. Memberikan informasi dengan menjelaskan dasar hukum, situasi kepemilikan tanah di areal tertentu, 3. Mempergunakan teknologi untuk mengumpulkan serta menggunakan analisis dan pengaruh sifat data kepemilikan tanah, 4. Menyiapkan
prosedural,
standardisasi
dan
pembentukan
lembaga
yang
menyiapkan hak-hak atas tanahnya. Untuk itu diadakan pengidentifikasian serta penentuan langkah untuk mengadakan valuasi yang berguna serta merencanakan suatu kerangka kerja pembuatan dokumentasi di CLS dan selanjutnya mengevaluasi sistem tersebut.
F. Sistem Manajemen Dan Informasi Pajak Peningkatan sumber penerimaan negara yang berasal dari PBB dilakukan oleh Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan, Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan dengan memperkenalkan suatu sistem pengelolaan administrasi PBB yang sederhana, sistematis dan efisien. Sistem ini mencangkup pengumpulan data (pendaftaran, pendataan dan penilaian), pemberian identitas obyek pajak dengan Nomor Obyek Pajak (NOP),, pemeliharaan data (up dating) sampai dengan pencetakan hasil pengeluaran berupa SPPT, STTS, dan Daftar Himpunan Ketetapan Pajak (DHKP) yang berkaitan dengan program sistem tempat pembayaran, sistem pelaporan (SISLAP), serta peningkatan pelayanan kepada wajib pajak. Dalam pelaksanaannya diusahakan juga pengadaan data dan sarana pendukung lainnya. Peta desa/kelurahan diperlukan ntuk penentuan blok dlam pembuatan konsep Zona Nilai Tanah (ZNT) serta pemberian NJOP. Pembuatan ZNT didasarkan pada data harga jual yang sudah ada dan masih sesuai dengan keadaan mutakhir. Jika data harga jua tanah belum diperoleh maka dilakukan kegiatan : 1. Pengumpulan data harga jual, 2. Penentuan NIR (Nilai Indikasi Rata-rata), 3. Penentuan batas ZNT dan pencantuman angka NIR dalam peta kerja. Data dari kegiatan tersebut kemudian diolah bersama dengan data masukan yang berasal dari wajib pajak (SPOP). Bila terjadi perubahan data dilapangan pada waktu terjadi proses pembentukan basis data , pemutakhiran data harus dilakukan, kemudian baru kemudian dilakukan penilaian secara masal. Pembentukan basis data didasarkan atas kegiatan pengumpulan data obyek dan subyek pajak dilapangan. Setiap obyek pajak diberi identitas permanen dan standar yang dikenal dengan Nomor Obye Pajak sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Dijen Pajak Nomor SE-28/P/.6/1992 tanggal 12 Juni 1993 tentang Petunjuk Teknis NOPPBB . Pengelolaan informasi yang akan disajikan dalam rangka pelaksanaan PBB haruslah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu : relevan, tepat waktu, handal dan mutakhir.
G. Prospek PBB Sebagai Alat Pengendali Penggunaan Tanah UUPBB yang berlaku tanggal 1 Januari 1986, merupakan suatu kesatuan dalam reformasi peraturan perpajakan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Reformasi struktur perpajakan di Indonesia, bertujuan untuk menaikkan penerimaan negara dengannmenerpkan prinsip-prinsip kesederhanaan.
Melihat pelaksanaan PBB sebagai jenis pajak yang sifatnya obyektif, obyek pajak memegang peranan penting dalam pengenaan PBB. Prospek PBB sebagai alat pengendali pengguanaan lahan, dapat dilihat dari bebrabgai aspek permasalahan, baik permasalahan mengenai sistem maupun permasalahan yang dijumpai dilapangan serta permasalahan penggunaan tanah itu sendiri. Permasalahan sistem PBB merupakan permasalahan yang menyangkut perangkat hukum dan ketentuan-ketentuan pelaksanaannya yang berupa proses dan prosedur PBB, seperti pendataan, metode penilaian obyek PBB, penetapan termasuk cara menghitung besarnya pajak yang terhutang. Sedangkan permasalahan dalam praktik adalah masalahmasalah yang ditemui dalam pelaksanaan PBB di lapangan. Jika ditinjau dari aspek kebijaksanaan penggunaan tanah, jika ditinjau dari aspek kebijaksanaan penggunaan tanah, belum ada usaha dari pemerintah untuk memanfaatkan PBB sebagai alat pengendali. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa adanya pembangunan infrastruktur yang mengubah suatu wilayah maupun adanya perencanaan tata ruang/tata kota mengakibatkan perubahan dalam nilai jual tanah. Besarnya PBB yang harus dibayar kadang-kadang memang mempengaruhi seseorang dalam mengusahakan tanahnya, upaya PBB menerapkan PBB sebagai alat pengendali pembangunan tanah relatif masih kecil. Sebagai contoh sistem pendataan yang belum sempurna mempengaruhi jumlah pokok PBB yang ditetapkan kepada masyarakat. Permasalahan yang menyangkut peraturan PBB tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pengendalian tanah. Sebagai contoh kualifikasi obyek bumi yang rinci sampai 50 kelas. Walaupun dimaksudkan untuk meningkatkan keadilan namun idak sesuai dengan pola klasifikasi niali jual tanah, sedangkan nilai jual tanah sangat berpengaruh terhadap besarnya pajak yang terhutang. Tidak adanya persesuaian pendapat antara instansi yang melaksanakan PBB dengan para pengambil keputusan dan para perencana (palnner) terhadap ketentuan-ketentuan PBB, mengakibatkan fungsi lain dari PBB, yaitu sebagai alat pengendali pengguanaan tanah, pemerataan pendapatan tidak bisa dilaksanakan. Direktorat Jenderal Pajak C.q. Direktorat PBB menganggap PBB sebagai sumber penerimaan uang saja. Demikian pula pandangan yang dimiliki oleh instansi terkait, misalnya pemerintah daerah yang ikut merencanakan tata ruang daerah, misal PBB membutuhkan data tentang obyek pajak, hanyalah kondisi obyek pajak pada saat itu saja. Jika hal tersebut tidak dikaitkan tidak dikaitkan dengan pengendalian penggunaan tanah, maka tentunya dibutuhkan data mengenai kondisi obyek pajak di masa yang akan
datang, sehubungan dengan adanya kegiatan perencanaan pembangunan. Jika PBB hendak diterapakan sebagai alat guna pengendali penggunaan tanah, maka harus diadakan persamaan persepsi di antara instansi terkait. Perlu adanya mekanisme koordianasi yang baik antar instansi pelaksana PBB dengan instansi yang menangani masalah perencanaan di perkotaan/pedesaan sehingga fungsi budgeter dan fungsi reguleren dari PBB dapat terlaksana. Pada saat ini anatara instansi yang bergerak dibidang perencanaan seperti Bappeda, Dinas Tata Kota, Dinas Pengawasan Bangunan dan Kantor Pelayanan PBB masing-masing pihak cenderung untuk bekerja sendiri-sendiri. Demikian pula sampai saat ini belum ada mekanisme yang baik antara kantor Pelayanan PBB denag instansi terkait seperti Panitia Penetapan Harga Dasar tanah, walaupun Kepala Kantor PBB merupakan salah satu anggota kepanitiaan, untuk menetapkan harga dasar tanah juga diperhatikan NJOP terakhir, masih terdapat perbedaan yang besar antara nilai jual obyek pajak yang ditetapkan oleh Kantor Pelayanan PBB dengan harga dasar yang ditetapkan oleh daerah yang bersangkutan dalam rangka ganti rugi untuk pembebasan tanah. . H. Kesimpukan Kepastian hukum dari data atau obyek pajak yang dihimpun dari pengenaan pajak yang berasal dari pendaftaran tanah lebih dpat diandalkan (akurasinya tinggi) mengingat penerimaan negara yang berasal dari PBB semakin berperan khususnya sebagai sumber penerimaan pemerintah daerah. Fungsi pajak tanah (PBB) yang mengatur (reguleren) di Indonesia bertujuan sebagai alat pengendali agar penggunaan tanah sesuai dengan potensi dan optimalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bohari, 2004, Pengantar Hukum Pajak, PT Rajawali Pers, Jakarta Dennis,Robinson, 1991, Integrating Land-Based and Land Policies, makalah dalam International Conference on Property Taxation and its interaction with Tax Policies, Cambridge, Massaschusetts Efendie, Bahtiar, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Perturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung Hasan, Djuhaendah, 1995, Penetapan Asas Pemisahan Horizontal pada Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda yang melekat pada Tanah dalam Perjanjian Kredit Indonesia Janin, Arif, Keuangan Negara, Universitas Indonesia, Jakarta, 1985. Soemitro, Rachmat, 1985, Pajak Penghasilan 1986, PT Eresco, Bandung ............., 1974, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak pendapatan, PT Eresco, Bandung Supriatna, Akhmad, at all, PBB (Pajak Bumu dan Bangunan) Potensi dan Permasalahannya, Multi Komunika Harmora, Jakarta, 1994 Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2000, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakaarta