J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 J. Hort. 19(3):334-343, 2009
Patogenisitas Jamur Entomopatogen terhadap Stadia Telur dan Larva Hama Kubis Crocidolomia pavonana Fabricius Hasyim, A.1), Nuraida2), dan Trizelia3)
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu 517 Lembang, Bandung 40391 2) Staf Pengajar Fak. Pertanian Univ. Al-Azhar, Medan 20142 3) Staf Pengajar Fak. Pertanian Univ. Andalas, Padang 25163 Naskah diterima tanggal 6 Mei 2008 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 17 November 2008 1)
ABSTRAK. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi dan Fitopatologi Universitas Andalas Padang dari bulan Mei sampai September 2006. Tujuan penelitian untuk mengetahui patogenisitas isolat-isolat jamur entomopatogen terhadap stadia telur dan larva hama kubis Crocidolomia pavonana. Penelitian ditata dalam rancangan acak lengkap pola faktorial dengan 2 faktor, yaitu 7 isolat ditambah 1 kontrol dan 5 stadia larva hama kubis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas masing-masing isolat jamur entomopatogen berbeda nyata terhadap berbagai stadia telur dan larva hama ulat kubis. Hasil uji patogenisitas menunjukkan bahwa jamur Beauveria (isolat BAP5 dan BPP1), Nomuraea (isolat NAP3), Metarhizium (isolat MAP1), Paecilomyces (isolat PPP4), dan Fusarium (isolat FPP3) adalah jamur yang virulen terhadap telur dan larva C. pavonana. Jamur B. bassiana mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai agens pengendali hama kubis pada masa mendatang. Katakunci: Brassica oleracea; Jamur entomopatogen; Patogenisitas; Crocidolomia pavonana; Stadia telur dan larva; Mortalitas ABSTRACT. Hasyim, A., Nuraida, and Trizelia. 2009. Pathogenicity of Entomopathogenic Fungi Isolates to Eggs and Larvae of Cabbage Head Caterpillar, Crocidolomia pavonana F (Lepidoptera: Pyralidae). This study was carried out at Entomology and Phytopathology Laboratory Faculty of Agriculture, Andalas University from May to September 2006. The objectives of this study were to assess the pathogenicities of the entomopathogenic fungi isolates to eggs and larvae of C. pavonana. A completely randomized design with 2 factors i.e. 7 isolates of entomophatogenic fungi with a control and 5 larvae stages of cabbage caterpillars were used. The results showed that there were significant difference in infectivity of all isolates tested to eggs and larvae stages of the caterpillar. The isolates of Beauveria (isolate BAP5 and BPP1), Nomuraea (isolate NAP3), Metarhizium (isolate MAP1)w, Paecilomyces (isolate PPP4), and Fusarium (isolate FPP3) were more virulence to eggs and larva stages of C. pavonana. Beauveria bassiana was potential for controlling C. pavonana in near future. Keywords: Brassica oleracea; Entomophatogen fungi; Pathogenicity; Crocidolomia pavonana; Immature stages; Mortality.
Hama kubis, Crocidolomia pavonana F (Lepidoptera: Pyralidae) sebelumnya dikenal dengan nama ilmiah C. binotalis Zeller, merupakan salah satu hama penting pada tanaman sayuran dari famili Brasicaceae (kubis, brokoli, kubis bunga, sawi, dan lobak) (Saucke et al. 2000, Smyth et al. 2003 a, b). Kerusakan oleh hama ini dapat mencapai 100% terutama bila tidak dilakukan tindakan pengendalian. Sampai kini pengendalian C. pavonana masih bertumpu pada penggunaan insektisida sintetik, karena cara ini lebih mudah dilaksanakan dan hasilnya dapat dilihat secara langsung. Cara pengendalian lain yang efektif belum ditemukan (Fulerton 1979). Aplikasi insektisida dilakukan secara berkala seminggu sekali, bahkan 2 atau 3 kali seminggu. Hal ini memicu terjadinya resistensi dan akumulasi residu insektisida 334
pada tanaman. Pengendalian hayati dengan memanfaatkan mikroba patogen, terutama jamur entomopatogen, berpotensi sebagai satu alternatif untuk menggantikan insektisida sintetik (Lacey et al. 2001, Neuman dan Elzen 2004). Jamur entomopatogen merupakan salah satu agens hayati yang potensial untuk mengendalikan berbagai jenis hama, antara lain Ostrinia nubilalis (Hubner) (Feng et al. 1985 dan 1988), beberapa jenis hama yang menyerang kubis (Butt et al. 1994), belalang (Brinkmann et al. 1997, Bidochka dan Khachatourians 1990), aphid (Vandenberg 1996, Vandenberg et al. 1998), kumbang Leptinotarsa decemlineata (Say) (Hajek et al. 1987, Poprawski et al. 1997, Anderson et al. 1988, Champell et al. 1985), beberapa jenis hama gudang (Rice dan Cogburn 1999), hama penggerek buah kopi (De la Rosa et al. 1997, 2000), hama rayap (Sun et
Hasyim, A. et al.: Patogenisitas Jamur Entomopatogen thd. Stadia ... al. 2003), penggerek batang tebu Eureuma oftini (Dyar) (Legaspi et al. 2000), hama wereng coklat, Nilaparvata lugens (Rombach et al. 1986, Aguda et al. 1987), dan hama penggerek bonggol (Gold dan Messiaen 2000, Nankinga dan Latigo 1996 a, Hasyim dan Azwana 2003, Bell dan Hamalle 1970, Hasyim 2006). Pemanfaatan jamur entomopatogen untuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan cukup prospektif karena efektivitasnya yang cukup tinggi terhadap hama utama. Mortalitas serangga hama yang disebabkan jamur entomopatogen dapat mencapai 100% pada hama jagung O. nubilalis, hama rayap Coptotermes sp., hama kumbang akar Sitona lepidus Gyllenhal (Coleoptera: Curculionidae), dan hama kubis Plutella xylostella (Ibrahim dan Low 1993). Jamur entomopatogen B. bassiana efektif membunuh hama penggulung daun Choristoneura rosaceana Harris (Lepidoptera: Tortricidae) dengan mortalitas 85% (Gutierrez et al. 2003), hama wereng coklat dengan mortalitas 70-90%, hama penggerek bonggol dengan mortalitas berkisar antara 8095% (Hasyim 2007), dan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei) dengan mortalitas 86,6% (Junianto dan Sulistyowati 1994). Kendala pemanfaatan jamur entomopatogen sebagai faktor mortalitas hama secara hayati antara lain kurangnya pengetahuan petani tentang hama yang akan dikendalikan dan manfaat pengendalian, rendahnya pemahaman terhadap produk-produk hayati, serta kurang intensifnya sosialisasi produk jamur entomopatogen kepada petani. Dalam rangka pemanfaatan jamur entomopatogen sebagai agens pengendali hayati hama C. pavonana, pemilihan jenis dan isolat jamur entomopatogen yang virulen terhadap hama C. pavonana, merupakan hal yang penting. Jamur entomopatogen yang virulen dapat diisolasi, baik secara langsung dari serangga target, maupun secara tidak langsung dari rizosfir tanah pada ekosistem pertanaman. Tanah merupakan reservoir alami bagi kelangsungan hidup jamur entomopatogen (Ko 1982, Milner et al. 1998, Sajap et al. 1997). Penggunaan jamur entomopatogen yang terdapat secara alami merupakan hal yang utama dalam program PHT (Nankinga dan Latigo 1996 b. Ferron 1981, Gutierrez et al. 2003). Agar dapat digunakan sebagai agens pengendali hayati hama
C. pavonana, maka informasi tentang keberadaan dan keanekaragaman jamur entomopatogen pada ekosistem habitat sangat diperlukan. Secara umum keberadaan jamur entomopatogen dipengaruhi oleh beberapa faktor abiotik dan biotik, termasuk cara budidaya (olah tanah dan tanpa olah tanah) (Gaugler et al. 1989, Sosa-Gomez dan Moscardi 1994). Di samping itu, faktor lain yang memengaruhi keanekaragaman jamur dalam tanah antara lain kandungan air tanah, kandungan bahan organik tanah, dan suhu tanah (Sosa-Gomez dan Moscardi 1994). Di Indonesia informasi tentang keberadaan alami dan keanekaragaman jenis jamur entomopatogen pada rizosfir pertanaman kubis masih sangat terbatas. Informasi ini penting dalam upaya optimalisasi pemanfaatan agens hayati lokal untuk pengendalian hama C. pavonana. Di samping itu, efektivitas jamur entomopatogen ditentukan juga oleh stadia serangga target. Penelitian bertujuan mengetahui patogenisitas isolat-isolat jamur entomopatogen terhadap stadia pradewasa hama krop kubis, C. pavonana. BAHAN DAN METODE Jamur entomopatogen yang digunakan diambil dari rizosfir pertanaman kubis di Padang Panjang (Desa Kayu Tanduk Air Angek, Kecamatan Padang Panjang Timur) (1.242 m dpl.) dan Alahan Panjang (Desa Air Batumbuk, Kecamatan Lembah Gumanti) (1.293 m dpl.). Sebanyak 6 sampel tanah, masing-masing 400 g, diambil dari lokasi tersebut. Isolat jamur entomopatogen yang berasal dari tanah diperoleh dengan menggunakan metode umpan serangga (insect bait method) (Goetel dan Inglish 1997, Zimmermann 1986). Serangga yang digunakan sebagai perangkap umpan adalah larva Tenebrio molitor L. (mealworm) yang biasa digunakan sebagai pakan burung di Sumatera Barat. Larva T. molitor instar ketiga yang baru berganti kulit (kulit biasanya berwarna putih bersih) dimasukkan ke dalam kotak yang berisi tanah, masing-masing sebanyak 10 ekor. Larva ini kemudian ditutupi dengan selapis tanah dan dilembabkan dengan menyemprotkan akuades steril di atasnya. Selanjutnya kotak ditutupi dengan potongan kain furing hitam dengan ukuran 25x25 cm yang juga telah dilembabkan. 335
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 Larva-larva yang terinfeksi jamur entomopatogen ditandai dengan matinya larva dan dari bagian segmen tubuh muncul miselium jamur. Setiap larva yang mati diambil dengan pinset steril, kemudian disterilisasi bagian permukaan tubuhnya dengan natrium hipoklorit selama 3 menit, selanjutnya dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali dan dikeringanginkan. Setelah itu larva diletakkan dalam cawan petri berisi kertas tisu lembab steril dan diinkubasikan untuk merangsang pertumbuhan jamur. Konidia jamur entomopatogen yang keluar dari tubuh larva yang terinfeksi diambil dengan jarum ose dan dipindahkan pada medium sabauraud dextrose agar + yeast extract (SDAY) dengan komposisi (dekstrosa 40 g, pepton 10 g, yeast extract 2,0 g, agar 15 g, dan akuades 1 l) (Samuels et al. 2002) selanjutnya diinkubasi selama 7 hari pada temperatur 23-25oC (Rice dan Cogburn 1999). Jamur yang tumbuh, diidentifikasi dan dikarakterisasi secara makroskopis dan mikroskopis (Humber 1997). Karakterisasi masing-masing jamur dilakukan dengan mengamati sifat-sifat morfologi dan fisiologi (daya kecambah konidia, laju pertumbuhan koloni, dan sporulasi) dari jamur tersebut (Humber 1997). Setiap jenis isolat jamur entomopatogen yang telah diidentifikasi diberi label. Isolat jamur entomopatogen yang sudah diidentifikasi, dimurnikan kembali pada media SDAY sebagai sumber jamur entomopatogen untuk pengujian pada hama target (telur dan stadia larva) C. pavonana. Identifikasi dan karakterisasi jamur entomopatogen tersebut dilakukan di Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang dan Laboratorium Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok. Patogenisitas Jamur Entomopatogen terhadap Stadia Telur Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan, 1 kontrol, dan 7 isolat jamur entomopatogen. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, bila berbeda nyata diuji lanjut dengan DMRT pada taraf nyata 5%. Telur C. pavonana yang berumur 1 hari disusun dalam cawan petri, untuk masing-masing perlakuan menggunakan 2 kelompok telur 336
kemudian direndam dalam suspensi konidia jamur entomopatogen selama 60 detik. Konsentrasi larutan jamur entomopatogen yang digunakan untuk masing-masing jamur entomopatogen adalah 10 8 konidia/ml. Selanjutnya telur dimasukkan ke dalam cawan petri yang diberi alas kertas saring lembab. Pengamatan terhadap telur yang terinfeksi jamur entomopatogen dilakukan setiap hari dengan menghitung mortalitas telur (jumlah telur yang tidak menetas) yang terinfeksi jamur entomopatogen. Telur yang terinfeksi dapat diamati dengan melihat perubahan warna telur menjadi keabu-abuan dan ditumbuhi miselia. Patogenisitas Jamur Entomopatogen terhadap Stadia Larva C. pavonana Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan pola faktorial terdiri atas 2 faktor, yaitu 7 isolat jamur entomopatogen dan 4 perlakuan berupa stadia larva dan 1 kontrol, masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (diuji F), bila berbeda nyata maka uji dilanjutkan dengan DMRT pada taraf nyata 5%. Dalam penelitian ini digunakan jamur entomopatogen yang terbaik hasil screening pendahuluan, yaitu BAP5, BPP1, NAP 3, MAP 1, FAP 5, FPP 3, dan PPP4 dengan konsentrasi masing-masing 107 konidia/ml. Sebanyak 10 ekor larva dengan instar yang sama dimasukkan ke dalam kotak plastik berdiameter 10 cm. Inokulasi jamur entomopatogen dilakukan dengan cara menyemprotkan suspensi konidia di bagian dorsal dan ventral tubuh larva. Kemudian larva diberi makan daun kubis segar yang dicuci bersih dengan akuades. Mortalitas larva diamati setiap hari hingga 7 hari setelah diaplikasi jamur entomopatogen. Persentase mortalitas larva dihitung menggunakan rumus: M=A/Dx100% Keterangan : M = Persentase mortalitas A = Jumlah serangga yang mati terinfeksi jamur D = Jumlah serangga yang diuji Persentase mortalitas yang diperoleh kemudian dikoreksi menggunakan rumus Abbott’s:
Hasyim, A. et al.: Patogenisitas Jamur Entomopatogen thd. Stadia ...
P =
P0-Pc 100-Pc
x100%
Keterangan : P = Persentase serangga uji yang mati setelah dikoreksi P0 = Persentase serangga uji yang mati pada perlakuan Pc = Persentase serangga yang mati pada kontrol. Persentase mortalitas tersebut kemudian ditransformasi ke dalam analisis probit menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 6,12, sehingga diperoleh patogenisitas jamur entomopatogen yang terbaik dengan waktu yang dibutuhkan oleh jamur entomopatogen untuk dapat mematikan 50% serangga uji (LT50). HASIL DAN PEMBAHASAN Patogenisitas Jamur Entomopatogen terhadap Stadia Telur Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa mortalitas telur C. pavonana setelah inokulasi jamur berbeda nyata (F=16,90, db=7,16, p<0,0001) (Tabel 2). Mortalitas telur C. pavonana paling tinggi ditemukan pada aplikasi jamur Beauveria (isolat BAP5) yaitu 51,95%, sedangkan yang paling rendah diperoleh pada infeksi jamur Metarhizium (isolat MAP1), yaitu 12,36%. Selain jamur Beauveria (isolat BAP5) yang ditemukan efektif menekan penetasan telur, ada jamur lain yang efektivitasnya tidak berbeda nyata dengan Beauveria (isolat BAP5), yaitu jamur Beauveria (isolat BPP1), Nomuraea (isolat NAP3), dan Fusarium (isolat FAP5) dengan persentase mortalitas, masing-masing 26,90, 28,42, dan 23,49%, sedangkan jamur Fusarium (isolat FPP3), walaupun pada uji sebelumnya efektif terhadap larva instar 2 Paecilomyces (isolat PPP4), dan Metarhizium (isolat MAP1) tidak efektif jika diaplikasikan pada telur. Hal ini terlihat dengan rendahnya persentase mortalitas telur yang dihasilkan bertut-turut, yaitu 16,88, 16,045, dan 12,36%. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan efektivitas tabung kecambah konidia masing-masing jamur entomopatogen yang
Tabel 1. Rerata mortalitas telur C. pavonana setelah aplikasi dengan konsentrasi 107 konidia/ml (Eggs mortality of C. pavonana after being applied with entomopathogen fungi isolates 107 conidia/ml concentration) Jenis isolat (Various of isolate)
Mortalitas telur±SD (Eggs mortality) %
BAP5
51,95±15,63 a
BPP1
26,90±14,38 ab
PPP4
16,04± 8,09 b
NAP3
28,42±16,73 ab
FAP5
23,49± 6,91 ab
FPP3
16,88± 5,64 b
MAP1
12,36±18,17 bc
Kontrol 0,00±0,00 c BAP5 = Beauveria (asal A. Panjang), BPP1 = Beauveria (asal P. Panjang), PPP4 = Paecilomyces (asal P. Panjang), NAP3 = Nomuraea (asal A. Panjang), FAP5 = Fusarium (asal A. Panjang), FPP3 = Fusarium (asal P. Panjang), MAP1 = Metarhizium (asal A. Panjang), (BAP5 = Beauveria (from A. Panjang), BPP1 = Beauveria (from P. Panjang), PPP4 = Paecilomyces (from P. Panjang), NAP3 = Nomuraea (from A. Panjang), FAP5 = Fusarium (from A. Panjang), FPP3 = Fusarium (from P. Panjang (asal P. Panjang), MAP1 = Metarhizium (from A. Panjang)).
menembus kulit telur C. pavonana, menginfeksi, dan mematikan larva yang berada di dalam telur. Secara umum kematian telur C. pavonana yang disebabkan oleh jamur entomopatogen relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian AngelSahagun et al. (2005) yang melaporkan bahwa infeksi jamur entomopatogen M. anisopliae, P. fumosoroseus, dan B. bassiana pada telur Haematobia irritans menyebabkan terjadinya penurunan daya tetas telur sekitar 7%. Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa telur terinfeksi jamur entomopatogen tidak dapat menetas dan larva tersebut tetap berada di dalam telur hingga mengering, sedangkan telur yang menetas bagian kerabangnya tetap berwarna putih (Gambar 1). Mortalitas Larva Instar Hasil pengamatan mortalitas larva instar 1, 2, 3, dan 4 pada 7 hari setelah inokulasi jamur entomopatogen berbeda nyata, sedangkan interaksi antara kedua faktor ini tidak menunjukkan perbedaan nyata (Tabel 2). Larva C. pavonana yang 337
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009
A B
Gambar 1. A. Telur C. pavonana yang terinfeksi jamur entomopatogen tidak berhasil menetas dan larva tetap berada di dalam telur hingga mengering. B. Telur yang menetas dan kerabang telur berwarna putih (A. Infected eggs of C. pavonana by entomopathogen fungi and larvae located in eggs did not hach till drying. B. Eggs hatched and the eggshell is white color) Tabel 2. Mortalitas larva C. pavonana setelah diaplikasi jamur entomopatogen dengan konsentrasi 107 konidia /ml (The mortality percentage of C. pavonana after treated with entomopathogen fungi of 107 konidia /ml concentration) Isolat-isolat (Isolates)
Rerata mortalitas instar larva (Mean mortality of larvae stages), % 1
2
3
4
Mortalitas larva (Mortality of larvae) %
BAP5
90,00
66,67
43,33
43,33
60,83 a
BPP1
86,67
70,00
20,00
50,00
56,67 a
NAP3
90,00
63,33
26,67
26,67
51,67 ab
MAP1
83,33
56,67
30,00
33,33
50,83 ab
FAP5
80,00
46,67
26,67
36,67
47,50 abc
FPP3
60,00
46,67
20,00
43,33
42,50 bc
PPP4
73,33
26,67
20,00
26,67
36,67 c
Kontrol (Control) Pengaruh stadia larva (Effect of larva stages)
0,00
0,00
0,00
0,00
70,42 A
47,08 B
23,33 D
32,50 C
mati akibat infeksi beberapa jamur entomopatogen ditandai dengan adanya miselia dan konidia yang tumbuh di permukaan tubuh larva. Satu hari setelah serangga mati, miselia mulai menembus 338
0,00 d
kutikula keluar dari tubuh serangga terutama di bagian ekor dan ruas antarsegmen. Selanjutnya miselium berkembang sampai akhirnya menutupi seluruh permukaan tubuh serangga dengan konidia
Hasyim, A. et al.: Patogenisitas Jamur Entomopatogen thd. Stadia ... yang berwarna beragam sesuai dengan jenis cendawan yang menginfeksi (Gambar 2). Dari Tabel 2 terlihat bahwa mortalitas larva instar 1 tergolong tinggi untuk semua jamur, yaitu rerata 70,42% yang berbeda nyata dengan larva instar 3 dan 4, berturut-turut 23,33 dan 32,50%, sedangkan untuk seluruh instar jamur yang paling baik adalah Beauveria (isolat BAP5) dengan rerata mortalitas paling tinggi, yaitu 60,83%, tidak berbeda nyata dengan jamur (isolat) lainnya. Kecuali dengan isolat FFP3= Fusarium (asal P. Panjang) dan PPP4= Paecilomyces (asal P. Panjang). Adanya perbedaan tingkat mortalitas antara masing-masing instar ini mungkin disebabkan oleh kerentanan larva tersebut, di mana stadia larva instar 1 yang baru menetas dari telur sangat rentan karena masih lemah dan lapisan kutikulanya masih sangat tipis dan lunak, sehingga
berpeluang besar bagi jamur entomopatogen untuk masuk ke dalam tubuh serangga, demikian juga dengan larva instar 2. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Prayogo et al. (2005) bahwa larva instar 1 Spodoptera litura paling rentan terhadap jamur M. anisopliae, dibandingkan dengan larva instar 4. Secara umum serangga dapat terinfeksi oleh konidia jamur entomopatogen melalui kontak dengan kutikula, atau melalui celah di antara segmen-segmen tubuhnya (Vey et al. 1982). Larva instar 1 dan 2 (larva muda) mempunyai lapisan kutikula yang sangat tipis dan lunak sehingga memudahkan jamur entomopatogen melakukan penetrasi ke dalam tubuh larva serangga (Boucias et al. 1988, Fransen et al. 1987, Ibrahim dan Low 1993, Bell dan Hamale 1970, Vandenberg 1996, Vandenberg et al. 1998). Selanjutnya Hasyim dan Harlion (2002) melaporkan bahwa stadia instar
A
B
C
D
E
F
G
H
Gambar 2. Larva instar 2 C. pavonana yang mati akibat infeksi beberapa jamur entomopatogen. A. Larva terinfeksi Metarhizium, B dan H. Larva terinfeksi Paecilomyces, C. Larva terinfeksi Fusarium, D dan G. Larva terinfeksi Beauveria, E. Larva terinfeksi Nomuraea, dan F. Larva yang baru mati setelah terinfeksi jamur entomopatogen (Infected second instar larvae of C. pavonana died after several entomopathogenic fungi infection in the bodies covered by micellium, A. Infected larva caused by Metarhizium, B and H. Infected larvae caused by Paecilomyces, C. Infected larvae caused by Fusarium, D and G. Infected larvae caused by Beauveria, E. Infected larvae caused by Nomuraea, and F. New dead larvae after infected by entomopathogen fungi)
339
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 1 dan 2 (larva muda) hama penggerek bonggol pisang C. sordidus, lebih rentan terhadap jamur B. bassiana dibanding stadia 4 (larva tua). Hal ini disebabkan karena lapisan kutikula masih tipis dan lunak sehingga penetrasi jamur ke dalam tubuh larva serangga lebih mudah. Kutikula dengan komponen utama chitin akan menghambat penetrasi jamur entomopatogen. Kekerasan kutikula akan meningkat setiap pergantian kulit (moulting) serangga, sehingga masing-masing stadia akan berbeda kerentanannya terhadap jamur entomopatogen. Akibatnya infeksi jamur entomopatogen lebih efektif pada larva muda dibandingkan dengan larva tua (Fransen et al. 1987, Nankinga dan Latigo 1996 b). Berdasarkan nilai LT 50 terlihat adanya perbedaan antarjenis jamur entomopatogen yang berasal dari 2 daerah pertanaman kubis (Tabel 3). Perbedaan nilai LT50 ini berhubungan dengan faktor patogenisitas dari masing-masing jamur entomopatogen, lokasi pengambilan, dan stadia serangga uji. Nilai LT 50 yang paling singkat untuk mematikan 50% serangga uji (larva instar 1 dan 2) ditemukan pada jamur Nomuraea (isolat NAP3), berturut-turut yaitu 1,34 dan 3,66 hari. Hal ini menunjukkan bahwa jamur Nomuraea (isolat NAP3) untuk dapat mematikan 50% serangga uji larva instar 1 dan 2 C. pavonana dibanding dengan jamur entomopatogen lain. Hal ini sesuai
dengan penelitian Altre et al. (1999) bahwa waktu kematian serangga dipengaruhi oleh stadia serangga, dosis, inokulum, dan virulensi dari masing-masing jamur entomopatogen. Pada stadia larva instar 3, nilai LT50 yang paling singkat ditemukan pada inokulasi jamur Beauveria (isolat BAP5), yaitu 6,76 hari, sedangkan nilai LT 50 larva instar 4 yang paling singkat akibat inokulasi jamur Beauveria (isolat BPP1) yaitu 5,82 hari. Adanya perbedaan lamanya waktu mematikan 50% serangga uji disebabkan oleh perbedaan patogenisitas (virulensi) jamur entomopatogen. Masing-masing jenis jamur entomopatogen membutuhkan proses untuk dapat menginfeksi sampai mematikan serangga. Infeksi dimulai dari penempelan konidia pada tubuh serangga, perkecambahan, penetrasi, dan invasi, serta kolonisasi dalam haemocoel, jaringan, dan organ. Patogenisitas jamur entomopatogen berkorelasi positif dengan kemampuan jenis jamur entomopatogen untuk melakukan penetrasi, invasi, dan berkembang pada tubuh serangga serta adanya kemampuan dari serangga untuk mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh jamur entomopatogen (Kaijiang dan Robert 1986, Rath et al. 1996, Clarkson dan Charnley 1996).
Tabel 3. Nilai LT50 beberapa jamur entomopatogen terhadap larva C. pavonana (LT50 value of different stages of C. pavonana after treated with entomopathogen fungi) Isolat-isolat (Isolates) BAP5
340
I 1,71 (1,27-2,10)
Nilai LT50 berbagai stadia larva C. pavonana (LT50 value of different stages of C. pavonana larvae) 2
4,34 (3,80- 4,98)
3
6,76 (5,54-
9,68)
4 6,94 (5,73- 9,86)
BPP1
2,17 (1,59-2,70)
4,10 (3,58- 4,71)
13,21 (8,73- 65,70)
5,82 (4,99- 7,34)
NAP3
1,34 (0,80-1,79)
3,66 (2,98- 4,47)
8,55 (7,06- 14,19)
10,66 (7,47-28,72) 10,03 (6,87-27,60)
MAP1
1,47 (0,87-1,96)
4,31 (3,44- 5,72)
8,41 (6,90- 13,56)
FAP5
2,24 (1,63-2,79)
6,07 (4,50- 8,37)
9,86 (7,32- 21,59)
8,70 (6,45-17,39)
FPP3
3,74 (2,68-5,46)
6,18 (4,99- 8,90)
17,01 (9,57-179,82)
6,61 (5,70- 8,53)
PPP4
1,80 (0,86-2,53)
13,82 (8,16-95,15)
9,82 (7,70- 24,51)
10,30 (7,41-25,01)
Hasyim, A. et al.: Patogenisitas Jamur Entomopatogen thd. Stadia ... KESIMPULAN 1. Jamur Beauveria (isolat BAP5 dan BPP1), Nomuraea (isolat NAP3), Metarhizium (isolat MAP1), Paecilomyces (isolat PPP4), dan Fusarium (isolat FPP3) adalah jamur yang virulen terhadap telur dan larva C. pavonana. 2. Patogenisitas jamur entomopatogen bergantung pada stadia serangga uji dan virulensi dari masing-masing jamur. Stadia larva instar 1 adalah stadia yang paling rentan terhadap infeksi jamur entomopatogen. PUSTAKA
9. Butt, T.M., L. Ibrahim, B.W. Ball, and S.J. Clark. 1994. Pathogenicity of the Entomogenous Fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana Against Crucifer Pests and Honey Bee. Biocontrol Sci. Technol. 4:207-214. 10. Champell, R.R., T.E. Anderson, M. Semel, and D.W. Roberts. 1985. Management of the Colarado Potato Beetle Population using the Entomogenous Fungus Beauveria bassiana. Am. Potato J. 61:29-37. 11. Clarkson, J.M. and A. K. Charnley. 1996. New Insights Inito the Mechanisms of Fungal Pathogenesis In Insects. Trends in Microbiol. 4(5):197-203. 12. De la Rosa, W., R. Alatorre, J. Trujillo, and J. F. Barrera. 1997. Virulence of B. bassiana (Deutromycetes) Strain Againts the Coffee Berry Borer (Coleoptera : Scolytidae). J. Econ. Entomol. 90:1534-1538. 13. _____________________, J. E Barrera, and C. Toricllo. 2000. Effect of B.bassiana and M. anisopliae (Deuteromycetes) Upon the Coffee Berry Borer (Coleoptera : Scolytidae) under Field Condition. J. Entomol. 93(5):1409-1414.
1. Aguda, R.M., Rombach, M.C., Im, D.J., and Shepard, B.M. 1987. Suppression of Populations of the Brown Planthopper, Nilaparvata lugens (Stal.) (Hom: Delphacidae) in Field Cages by Entomogenous Fungi (Deuteromycotina) on Rice in Korea. J. Appl. Entomol. 104:167-172.
14. Feng, Z., R.I. Carruthers, D.W. Roberts, and D.S. Robson. 1985. Age Specific Dose Mortality Effects of Beauveria bassiana (Deuteromycotina; Hyphomycetes) on the European Corn Borer, Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae). J. Invertebr. Pathol. 46:259-264.
2. Altre, J.A., J.D. Vandenberg, and F. A. Cantone. 1999. Patogenicity of Paecilomyces fumosoreseus Isolate to Diamondback Moth Plutella xylostella; Correlation with Spora Size, Germination Speed, and Attachment To Cuticle. J. Invertebr. Pathol. 73:332-338.
15. ___________________, T.S. Larkin, and DW. Roberts 1988. A Phenology Model and Field Evaluation of Beauveria bassiana (Deuteromycotina; Hyphomycetes) Mycosis of the European Corn Borer, Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae). Can. Entomol. 120:133-144.
3. Anderson, T.E.A., Robert, D.W., and Soper, R.S. 1988. Use of Beauveria bassiana for Suppression of Colarado Potato Beetle Population in New York State (Coleoptera: Chrysomelidae). Environ. Entomol. 17:140-145.
16. Ferron, P. 1981. Pest Control by The Fungi Beauveria bassiana and Metarrhizium. In Microbial Control of Invertebr. Pathol. 15:447-450.
4. Angel-Sahagun, C.A., R. Lezama-Guterrez, J. MolinaOchoa, E. Galindo-Velasco, M. Lopez-Edwards, O. Rebolledo-Dominguez, C. Cruz-Vazquez, W.P. Reyes-Velazquez, S.R. Skoda, and J.E. Foster. 2005. Susceptibility of Biological Stages of The Horn Fly, Haematobia irritans, to Entomopathogenic Fungi (Hypomycetes). J. Insect Sci. 5(50):1-13. 5. Bell, V. J. and R. Hamale. 1970. Three Fungi Tested for Curculio, Chalodermus aeneus. J. Invertebr. Pathol. (15):447-450. 6. Bidochka, M.J. and G. Khachatourians. 1990. Identification of Beauveria bassiana Extracellular Protease as a Virulence Factor in Pathogenicity Toward the Migratory Grasshopper, Melanophus sanguinipos. J. Inv. Pathol. 56:362-370.
17. Fransen, J.J., K. Winkelman, and J.C. Van Lenteren. 1987. The Differential Mortality at Various Life Stages of the Greenhouse Whitefly, Trialeurodes vaporariorum (Homoptera; Aleyrodidae) by Infection the Fungus Aschersonia aleyrodis (Deuteromycotina; Coelomycetes). J. Inverteb. Pathol. 50(2):158-165. 18. Fulerton, R.A. 1979. Use of the Syntetic Pytretroids Fenvalerate and Cypermethrin to Control Diamondback Moth Plutella xylostella (L.) and the Large Cabbage Moth, C. binotalis (Zeller.) in Rarotonga, Cook Island. Fiji Agric. J. 41:49-51. 19. Gaugler, R., S.D. Costa, and J. Lashomb. 1989. Stability and Efficacy of Beauveria bassiana Soil Inoculations, Environ. Entomol. 18:412-417. 20. Goettel, M.S. and G.D. Inglish. 1997. Fungi: Hyphomycetes. In Lacey, L.A. (Ed). Biological Techniques. Manual of Technuques in Insect Pathology. Academic Press. London. p.213-249.
7. Boucias, D.G. , J.C. Pendland, and J.P. Ladge. 1988. Non Specific Factor Involved in Attachment of Entomopathogenis Deuteromycetes to Host Insect Cuticle. J. Appl. and Environ. Microbiol. 54(7):17951805.
21. Gold, C.S. and S. Messiaen. 2000. The Banana Weevil Cosmopolites sordidus. Musa Pest Fact Sheet No. 4 INIBAP. p. 1-4.
8. Brinkmann, M.A., B.W. Fuller, and M.B. Hildret. 1997. Effect of Beauveria bassiana on Migratory Grasshoppers (Orthoptera: Acrididae) in Spraytower Bioassay. J. Agric. Entomol. 14:121-127.
22. Gutierrez, F.P., Y.S. Osorio, C.O. Jaime, and S.U. Soto. 2003. Susceptibility of Rhodnius pallescens (Hemiptera: Reduviidae) of Fifth Instar Nymph to the Action of Beauveria spp. Entomotropica 18(3):163-168.
341
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 23. Hajek, E.A., R.S. Soper, D.W. Roberts, T.E. Anderson, K.D. Biever, D.N. Fero, R.A. Lebrun, and R.H. Storch. 1987. Foliar Applications of Beauveria bassiana Vuillemin for Control of the Colorado Potato Beetle, Leptinotarsa decemlineata (Say) (Coleoptera: Chrysomelidae). Can. Entomol. 119:959-974. 24. Hasyim, A. dan Harlion. 2002. Patogenisitas Isolat Beauveria bassiana Bals. dalam Mengendalikan Hama Penggerek Bonggol Pisang Cosmopolites sordidus. Germar di Sumatera Barat. Indonesia. Farming. 1(1): 53-57. 25. _________. dan Azwana. 2003. Patogenisitas Isolat Beauveria bassiana dalam Mengendalikan Hama Penggerek Bonggol Pisang, Cosmopolites sordidus Germar. J. Hort. 13(2):120-130. 26. _________. 2006. Evaluasi Bahan Carrier dalam Pemanfaatan Jamur Entomopatogen, B. bassiana (Balsamo) Vuillemin untuk Mengendalikan Hama Penggerek Bonggol Pisang, Cosmopolites sordidus Germar. J. Hort. 16(3):202-210. 27. _________. 2007. Peningkatan Infektivitas Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuill. dengan Menggunakan Berbagai Bahan Carrier untuk Mengendalikan Hama Penggerek Bonggol Pisang, Cosmopolites sordidus GERMAR di Lapangan. J. Hort. 17(4):335-342. 28. Humber, R.A. 1997. Fungi: Identification. In Lacey, 1.A. (Ed.). Biological Techniques. Manual of Techniques in Insect Pathology. Academic Press London. 152-185. 29. Ibrahim, Y.B. and W. Low. 1993. Potential of Mass Production and Field Efficacy of Isolates of the Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana and Paecilomyces fumosoroseus against Plutella xylostella. J. Pest Management 39:288-292. 30. Junianto, Y.D, and E. Sulistyowati. 1994. Virulence of Several B. bassiana Bals. Vuill. Isolates on Coffee Berry Borer (Hypothenemus hampei Ferr.) Under Various Relative Humidities. Pelita Perkebunan 10(2):81-86. 31. Kaijiang, L. and D.W. Roberts. 1986. The Production of Destruxins by the Entomogenous Fungus Metarhizium anisopliae var Major. J. Inverteb.Pathol. 47 (1):120122. 32. Ko, W. H. 1982. The Nature of Soil Pernicious to Coptotermes formosanus. J. Invertebr. Pathol. p.39:38-40. 33. Lacey, L.A. 1997. Initial Handling and Diagnosis of Diseases Insect. In Lacey, L.A. (Ed.) Insect Pathology an Advanced Teatise. Academic Press. New York. p.233- 271. 34. ________, J.S. Rosa, N.O. Simoes, J.J. Amaral, and H.K. Kaya. 2001. Comparative Dispersal and Larvicidal Activity Ofexotic and Azorean Isolates of Entomopathogenic Nematodes Against Popillia japonica (Coleoptera: Scarabaeidae) Euro. J. Entomol. 98:439444. 35. Legaspi, J.C., T.J.Poprowski, and B.C. Legaspi, JR. 2000. Laboratory and Field Evaluation of Beauveria bassiana Against Sugarcane Stalkborer (Lepidoptera: Pyralidae) in the Lower Rio Grande Valey of Texas. J. Econ. Entomol. 93(1):54-59.
342
36. Milner, R. J., J. A. Staples, T. R. Hartley, G.G. Lutton, F. Driver, and J. A. L. Watson. 1998. Occurrence of Metarhizium anisopliae in Nests and Feeding Sites of Australian Termites. Mycol. Res. 102:216-220. 37. Nankinga C.M. and W.M. Ongenga-Latigo. 1996 a. Effect of Method of Application on the Effectiveness of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae to the Banana Weevil, Cosmopolites sordidus Germar. African J. Plant Protection 6:12-21. 38. ______________________________________. 1996 b. Effect of Method of Application on the Effectiveness of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae to the Banana Weevil, Cosmopolites sordidus Germar. African J. Plant Protection 6:12-21. 39. Neuman, P and P.J. Elzen, 2004. The Biology of the Small Hive Beetle, Aethina tumida Muray; (Coleoptera: Nitidulidae) Gaps in Our Knowledge of an Invasive Species. J. Apidologie 35:229-247. 40. Poprawski, T.J., R.I. Carruthers, J. Speese, D.C. Vacek, and L.E. Wendel, 1997. Early Season Applications of the Fungus Beauveria bassiana and Introduction of the Hemipteran Predator Perillus bioculatus for Control of the Colarado Potato Beetle. Bio. Control. 10:48-57. 41. Prayogo, Y., Tengkano, W., dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura pada Kedelai. J. Litbang Pertanian. 24(1):19-26. 42. Rath, A.C, . P.L. Guy, and U.Y. Webb. 1996. Metarhizium anisopliae Surface Antigens are Correlated with Pathoginicity. Mycol. Res. 100(1):57-62. 43. Rice, C.W. and R.R. Cogburn. 1999. Activity of the Entomopathogenic Fungus B. bassiana (Deuteromycotina: Hypomycetes) Against Three Coleopteran Pests of Stored Grain. J. Econ. Entomol. 92(3):691-694. 44. Rombach, M.C., R.M. Aguda, B.M. Shepard, and D.W. Roberts, 1986. Infection of Rice Planthopper, Nilaparvata lugens (Homoptera: Delphacidae) by Field Application of Entomopathogenic Hyphomycetes (Deuteromycotina). Environ. Entomol. 15:1070-1073. 45. Sajap, A. S., A. B Atim,. H. Husin, and Y. A. Wahab,.1997. Isolation of Conidiobolus coronatus (Zygomycetes: Entomophthorales) from Soil and Its Effect on Coptotermes curvignathus (Isoptera Rhinotermes). Sociobiol. 30:257-62. 46. Samuel, R.I., D.L.A. Coracini, C.A. Martins dos Santos, and C.A.T. Gava. 2002. Infection Blissus antillus (Hemiptera: Lygaeidae) Eggs by the Entomopathogenic Fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana. J. Biological Control. (23):269-273. 47. Sauche H., F. Dori, and H. Schmutterer. 2000. Biological and Integrated Control of Plutella xylostella (L.) and C. pavonana in Brassica Crops in Papua New Guienea. Biol. Control Sci. and Technol. 10(5):595-606. 48. Smyth, R. R., M.P Hoffmann, and M.A. Shelton. 2003 a. Effect of Host Plant Phenology on Oviposition Preference of C. pavonana (F.) (Lepidoptera:Pyralidae). Environ. Entomol. 32(4):756-764.
Hasyim, A. et al.: Patogenisitas Jamur Entomopatogen thd. Stadia ... 49. ______________________________________. 2003 b. Larval Performance in Relation to Labile Oviposition Preference of C. pavonana (F.) (Lepidoptera:Pyralidae) Among Phonological Stage of Cabbage. Environ. Entomol. 32(6):765-770. 50. Sosa-Gomez, D.R., and F. Moscardi, 1994. Effect of Till and No-Till Soybean Cultivation on Dynamics of Entomopathogenic Fungi in the Soil. Florida Entomol. 77(2):284-287. 51. Sun. J., J.R. Fuxa and G. Henderson. 2003. Effect of Virulence, Sporulation and Temperature on Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana Laboratory Transmission in Coptotermes formosanus. Interveteb. Pathol. 84:38-46.
53. ______________, M. Ramos, and J.A. Altre. 1998. Dose Response and Age and Temperature Related Susceptibility of the Diamondback Moth Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae) to Two Isolated of Beauveria bassiana (Hypomycetes: Monoliaceae). Environ. Entomol. 27:1017-1021. 54. Vey A., J. Fergues and P.H. Robert. 1982. Histological and Ultrastructural Studies of Factor Determining the Specifity of Pathotypes of the Fungus Metarhizium anisopliae for Scrabeid larvae. Entomophaga 27(4); 387-397. 55. Zimmermann, G. 1986. The Galleria Bait Method for Detection of Entomopathogenic Fungi in Soil. J. Appl. Entomol. 102:213-215.
52. Vandenberg, J.D. 1996. Standardized Bioassay and Screening of Beauveria bassiana and Paecilomyces fumocoroseus against the Russian Wheat Aphid (Homoptera: Aphididae). J. Econ. Entomol. 89:14181423.
343