Jurnal EKOBISTEK Fakultas Ekonomi, Volume 3, No. 2, Oktober 2014
ISSN : 2301-5268
PASAR BEBAS DAN KESIAPAN KITA MENGHADAPINYA Elva Susanti, MM, Fakultas Ekonomi, Universitas Putra Indonesia YPTK Padang e-mail :
[email protected]
Abstrak - Pasar bebas adalah pasar yang sudah banyak terdapat para penjual /pedagang ( antar negara, Aneka ragam produk perusahaan) yang sangat ketat persaingan yang akan terjadi seperti harga, mutu atau kualitas produk yang di jual di pasar bebas dan yang pasti adalah harus sesuai dengan Standar nasional, UUD atau peraturan yang ada dalam suatu Negara. Untuk kesiapan kita menghadapi hal tersebut adalah setiap Negara harus memberikan pengetahuan terhadap masyarakat khusunya di Indonesia agar masyarakatnya tidak berpengaruh dengan produk luar. Sebagai warga Indonesia kita tetap harus mencintai produk buatan Indonesia dan selalu membagakan buatan dalam negeri sendiri. Kata kunci : Pasar bebas, kesiapan untuk menghadapinya. 1.
PENDAHULUAN Tatkala kita saksikan kesepakatan GATT ( General Agreement on Tariffs and Trade ) masih belum kita ratifikasi, kita toh telah cepat tunduk melatih diri. Ibarat belum ditanya sudah mau, dan ikut menari atas gendangan orang lain dengan mudahnya. Tidak hanya mudah kagum atau lembek barangkali juga malah menghamba. Tetapi mengaku law profil. Wajah GBHN 1993 tidak anti proteksi ataupun anti subsidi. Secara demikian itulah kita harus menghadapi ketentuan GATT. Mestinya kita jangan terjebak dalam statika kesepakatan GATT yang kita tangani. Kekuatan – kekuatan ekonomi dunia akan masih bermain. Kesepakatan GATT saat ini belum final untuk waktu dekat mendatang. Adanya kekuatan antara Utara dan Selatan belum berakhir. Kita tidak menolak proses globalisasi ekonomi. Politik isolasi bukan lagi merupakn pilihan karena kita akan tertinggal dan ditinggalkan, disamping itu kita berkewajiban membangun dunia baru. Sejak semula kita bertekad ikut aktif berperan dalam membentuk dunia baru yang beradab dan berkeadilan. Sejak kita merdeka, kita telah menetapkan diri sebagai pelaku aktif global. Tentang keterbukaan perekonomian kita terhadap perekonomian dunia, sikap kita harus tegas dan eksplisit, minimal harus memperhatikan dengan sungguh – sungguh hal berikut ini sebagai sikap hati – hati dan waspada : 1. Dalam melibatkan diri secara aktif dalam proses globalisasi kita menolak terjadinya proses dominasi dari Negara ekonomi kuat terhadap Negara ekonomi lemah. Pasar Bebas dan Kesiapan Kita Menghadapinya . . .
2.
Kita harus mampu mentranformasi proses globalisasi menjadi proses interpedensi menangkis dependensi yang menjadi sumber neoeksploitasi.
3.
Dalam menghadapi/menerima keterbukaan internasional, baik liberalisasi perdagangan maupun liberalisasi investasi. Kita harus tetap tangguh dan sadar kedaulatan. Kepentingan nasional kita harus menjadi tolak ukur utama. Kita tidak boleh menjadi lembek sekedar agar Nampak rukun dalam hubungan antar Negara. Baik dalam menerima liberalisasi perdagangan dan investasi dari luar ataupun memanfaatkan liberalisasi perdagangan dan investasi dari luar. Kesemuanya harus berdasarkan syarat dan kepentingan kita, bukan syarat dan kepentingan mereka, berdasarkan ownterm, not ther term. Kita menolak keterbukaan berdasarkan liberalism. 2. KONSEP TEORI Menurut Prof. Widjojo Natisastro, beliau sangat uncasy terhadap pendekatan liberal atau liberalisasi. Untuk itu dipesankan agar hati – hati menggunakan perkataan itu ( liberal atau liberalisasi ). Liberal atau liberalism adalah istilah penuh noda (notorious), berkecondongan negatif. Ketua Bappenas, Ginanjar Kartasasmita, tegas – tegas menyatakan di depan komisi X DPR RI (15/2/95) bahwa sebenarnya ia tidak senang dengan istilah 49
Jurnal EKOBISTEK Fakultas Ekonomi, Volume 3, No. 2, Oktober 2014
liberalism yang bisa memberi konotasi lain yang kita tidak sukai. Istilah liberalisasi terpaksa kita pakai karena istilah itulah yang dimengerti dalam komunikasi dengan pihak luar. Jadi tergantung kita sendiri memberi makna dan isi pada perkataan liberalisasi ( konvensi baru kita liberalisasi bukan liberalism). Inilah yang harus menjadi prinsip kita dalam perekonomian global. Tanpa prinsip itu, kita akan terjebal dalam kesembronan. Tanpa hati – hati ikut mendukung pasar bebas, berarti yang lemah tertuntut membiayai efisiensi dunia, demi kesejahteraan si kuat. Selatan terbenam dalam scenario utara, ikut membiayai efisiensi global demi kemajuan utara. Dunia pasti akan terus dilanda proteksionisme dengan gaya baru dan terselubung. Kalau kita simak lebih lanjut sebetulnya proteksionisme baru itu dilakukan oleh Negara kuat ekonomi terhadap Negara miskin. Namun jangan sampai kita alfa, proteksi dan subsidi adalah sah – sah saja, terutama untuk yang lemah dan tertinggal, bukan si kuat dan si besar itu. Di Indonesia proteksi dan subsidi diperlukan sebagai upaya rekstrurisasi untuk menciptakan usaha menengah dan kecil yang tangguh mendorong majunya ekonomi rakyat. Proteksi dan subsidi tidak harus dihilangkan demi ekonomi pasar bebas. Tanpa sikap hati – hati dan waspada seperti dikemukakan diatas Indonesia akan ringkih menghadapi persaingan dunia. Penyakit utama “Ekonomi harga tinggi” ( high cost economy) bukanlah sekedar masalah teknis ekonomi yang relatif lebih mudah diatas, tetapi lebih merupakan masalah politik dan budaya. Diperlukan lebih dari sekedar rutinitas pembaharuan untuk mengatasi ketidakefisienan ekonomi nasional ( national economic inefficiency) yang sebenarnya terletak pada dasar kehidupan politik dan budaya kita. Penyalahgunaan kekuasaan, ketertutupan, komersialisasi jabatan, keangkuhan birokrasi, kolusi, supresi, pemerasan, culturstelism, survilisme, dan ketundukan terhadap barat adalah masalah politik dan budaya yang substansi pada “ekonomi biaya tinggi” itu yang tentu akan menurunkan daya saing. Dari sini ekonomi dunia menggerogoti perekonomian nasional kita melalui liberalisasi perdangan dan investasi. Dengan demikian di satu pihak impor Indonesia tentu akan terdorong semakin besar, lebih cepat dan menyedot daya beli nasional secara drastic. Di lain pihak, produk
Pasar Bebas dan Kesiapan Kita Menghadapinya . . .
ISSN : 2301-5268
ekspor kita akan berisi kandungan impor (foreign content) yang makin tinggi. Dengan kata lain, secara nasional keberhasilan kita menghadapi keterbukaan ekonomi kita tergantung pada retorika yang tekad politik (political wiil) seperti yang ada selama ini tetapi tergantung kepada keberanian untuk melakukan perombakan, baik di bidang teknis, ekonomis, politik maupun budaya. Ketiganya memerlukan suatu switc mental cultural, yang menuntut pula penggarisan strategi budaya nasional yang tegas. Keterbukaan dan liberalisasi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi global (global ecomonic efficiency). Kita tidak boleh begitu saja percaya pada hubungan antara utara dan selatan dan antar timur dan barat. Utara selalu berkehendak mendominasi selatan, utara selalu menempatkan selatan dalam hubungan ekonomi subordinasi, selatan untuk waktu yang panjang akan hanya menjadi perpanjangan ekonomi utara dengan segala akibat subordinasinya. Sementara itu dimasa depan kolusi barat-utara tidak mustahil terjadi untuk membentuk suatu kekuatan baru ekonomi yang akan mendominasi dunia. Ide Amerika bukanlah ide tanpa landasan ekonomi. Demikian pula hubungan ekonomi barat dan timur. Model yang mungkin terasa antagonistik ini sebenarnya bukan bermaksud menolak kerjasama internasional, menolak GATT,AFTA, APEC dan semacamnya. Ini adalah sikap waspada dan bukanlah tanpa alasan. Alasan itu adalah kenyataan yang masuk akal, bahwa setiap Negara, terutama Negara – Negara maju utara dan barat, akan berpedoman dan membela kepentingan nasional mereka masing – masing, penuh standardnees. Kita melihat dalam sesama anggota APEC, perang ekonomi antara Amerika Serikat dan Jepang sepenuhnya selesai. Saat ini kita sedang menyaksikan perang ekonomi baru dikawasan Asia pacific antara Amerika Serikat dengan Australia, tatkala Amerika Serikat memberi subsidi besar – besaran terhadap ekspor komoditi industry susu ke pasar – pasar penting Australia di Asia. Disamping itu dari berbagai sudut kita telah menyaksikan bahwa Meksiko telah menjadi korban AFTA. Dalam dimensi kerjasama, Meksiko sebagai pihak yang lemah tidak akan mungkin menikmati “kerja sama”AFTA tanpa yang kuat memberikan pengorbanan yang lebih banyak kepada yang
50
Jurnal EKOBISTEK Fakultas Ekonomi, Volume 3, No. 2, Oktober 2014
lemah. Semacam ini bukanlah moralitas bisnis dari economic animal. Oleh karena itulah dalam setiap tahap kerjasama internasional kita harus tetap rekasioner , pada setiap tahapnya harus siap dengan formulasi dan reformulasi kesepakatan, yang lemah dan serumpun harus tetap bersekutu, ASEAN harus tetap bersatu di dalam APEC dan didalam menghadapi dinamika GATT. Kesepakatan yang kita capai saat ini tidak terlepas dari peran dan dominasi kelompok Negara – Negara utara terhadap kelompok selatan yang masih lemah namun kaya bahan mentah dan merupakan potensi ladang pasar yang luas.
4. ANALISA DAN HASIL Sejak tahun 1993 di Blake island, USA Presiden Soeharto bersama kepala Negara lain yang tergabung dalam APEC telah menyepakati berbagai komitmen untuk : 1. Bekerjasama dalam menyelesaikan masalah – masalah ekonomi yang berskala regional dan global. 2. Mendukung upaya perluasan perekonomian dunia dan membuka system perdagangan multilateral. 3. Secara terus menerus berupaya mengurangi berbagai Kendala dalam investasi dan perdagangan sehingga, barang jasa dan modal dapat berjalan lancar dalam system perekonomian bersama dan 4. Meyakinkan semua bangsa betapa pentingnya membagi keuntungan bersama dari pertumbuhan ekonomi, peningkatan mutu pendidikan dan pelatihan, menjalin perekonomian melalui sarana telekomunikasi dan transportasi, serta mendayagunakan sumber daya manusia yang ada dengan memperhatikan kesinambungannya. Selanjutnya, pada tanggal 15 November 1994 yang lalu di Bogor, para pemimpin ekonomi Negara – Negara yang tergabung APEC menyepakati terwujudnya suatu pasar bebas Asia Pacifik menjelang tahun 2020. Penerapan ini diberlakukan berdasarkan kondisi perkembangan perekonomian Negara – Negara berdasarkan APEC. Bagi Negara industry maju, system perdagangan dan investasi bebas itu diharapkan akan dicapai menjelang tahun Pasar Bebas dan Kesiapan Kita Menghadapinya . . .
ISSN : 2301-5268
2010 dan bagi Negara – Negara berkembang paling lambat tahun 2020. Komitmen pemimpin dunia itu akan membawa proses tranformasi itu semakin diperkuat oleh kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Kemajuan IPTEK ini telah mendorong semakin kuatnya arus globalisasi yang disamping akan menimbulkan berbagai permasalahan atau dampak negatif terhadap keseluruhan pola kehidupan perekonomian kita, juga akan membuka berbagai peluang dalam era globalisasi dan pasar bebas itu hanya dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa kita terhadap kesadaran yang kuat dalam kehidupan kemasyarakatan kita untuk lebih mencintai penggunaan hasil karya bangsa sendiri. Pengalaman banyak Negara membuktikan peningkatan efisiensi industry dapat dicapai melalui kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi produk bangsa sendiri, sebab kalau produksi dalam negeri mahal, kurang bagus dan kurang bermutu kemudian tidak dibeli maka industry itu makin tidak efisien, akibatnya harga semakin mahal dan mutu makin merosot. Hal ini terus berputar sehingga pada akhirnya industry dalam negeri itu akan mati. Dalam kondisi seperti itu, Negara kita akan sepenuhnya bergantung pada perekonomian Negara lain. Selanjutnya negara itu tertinggal dalam pencaturan dan kompetensi global dan seterusnya akan berada dalam keterbelakangan dan kemelaratan. Dulunya Jepang industrynya jelek, Namun karena didukung oleh kesadaran masyarakat untuk membeli produksi dalam negeri maka industrinya menjadi efisien dan secara bertahap dapat meningkatkan kualitas dan menurunkan harganya. Demikian pula pengalaman di beberapa Negara lain yang sudah maju, dengan kesadaran masyarakatnya untuk menggunakan produksi dalam negeri telah berhasil memperkokoh tata perekonomiannya. Bertolak dari dasar pikiran tersebut tampaknya suatu gerakan nasional tentang pengutaraan penggunaan produksi dalam negeri perlu dilaksanakan. Gerakan ini harus bertolak dari semangat patrionalisme yang akan di motori oleh generasi muda. Kalau generasi tahun 1928 telah tampil sebagai peletak dasar perjuangan menuju kemerdekaan. Generasi tahun 1945 yang bangkit sebagai perebut dan pencetus kemerdekaan, generasi tahun 1966 muncul sebagai salah satu komponen orde baru dalam rangka penumpasan usaha penghianatan cita – cita perjuangan bangsa dan Negara, maka generasi sekarang harus tampil dengan 51
Jurnal EKOBISTEK Fakultas Ekonomi, Volume 3, No. 2, Oktober 2014
semangat serupa dalam menghadapi era pasar bebas ASEAN dan pasar bebas Asia Pasifik tahun 2020. Dalam konteks penggunaan produksi dalam negeri, kepeloporan generasi muda dapat ditakar dari 2 aspek yaitu : 1. Kepeloporan mereka untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengutamakan penggunaan produksi bangsa sendiri. Kesadaran itu dapat diukur, misalnya dari kesediaan mereka berkorban menggunakan mutu yang kemungkinan belum setara dengan produksi bangsa lain, dan kesediaan mereka mengkonsumsi produksi bangsa sendiri dengan harga yang kemungkinan relatif lebih mahal dibanding produksi bangsa lain. Pengorbanan – pengorbanan seperti ini adalah takaran untuk penilaian terhadap tingkat kecintaan penggunaan produksi dalam negeri. Demikian pula sebaliknya apabila menggunakan produk bangsa lain, maka pada hakikatnya kebanggaan itu adalah wujud dari kecintan dan kekaguman mereka terhadap bangsa lain. 2.
Kepeloporan generasi muda untuk meningkatkan kesadaran dunia industry dalam menghadapi era pasar bebas. Kesadaran itu dapat ditakar, dari kesediaan industri meningkatkan mutu produksinya meskipun dengan keuntungan yang relatif kecil demi kepentingan masyarakat banyak. Takaran lain adalah kesediaan dunia industry menurunkan harga produksinya agar dapat terjangkau dengan kemampuan daya beli masyarakat.
Membina semangat kepeloporan itu dapat diupayakan melalui : a. Jalur pendidikan (TK sampai Perguruan Tinggi). b. Jalur di luar pendidikan. Pembinaan yang dilakukan melalui jalur pendidikan dapat dimulai dari jenjang pendidikan TK hingga perguruan Tinggi, pada jenjang TK, para siswa dapat dimulai diperkenalkan keunggulan – keunggulan bangsa sendiri secara amat elementer. Pasar Bebas dan Kesiapan Kita Menghadapinya . . .
ISSN : 2301-5268
Misalnya dengan menunjukkan poster kapal terbang CN250 dan memperkenalkan bahwa bangsa Indonesia sudah dapat membuat kapal terbang. Dengan begitu anak dapat mengenal secara dini keunggulan – keunggulan yang dimiliki bangsa sendiri. Demikian seterusnya secara bertahap dan secara integrative pendekatan itu dilakukan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Apabila pendekatan seperti ini dilakukan, terdapat 3 implikasi penting yang tampaknya perlu dikaji lebih jauh : 1. Sebagaimana materi pelajaran itu didapat diintegrasikan kedalam kurikuum yang ada. Pendekatan integrative ini disesuaikan menurut jenjang dan jenis pendidikan. Pada jenjang SD misalnya, materi penggunaan produksi dalam negeri dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran IPS( Sejarah ), Agama ( pada topik saling ketergantungan penggunaan bahan belajar dan alat bantu yang bersumber produksi sendiri). Dan Bahasa Indonesia ( melalui bacaan – bacaan dan mengarang sendiri dengan tema penggunaan produksi dalam negeri). 2.
Bagaimana mengkondisikan agar para guru pada saat ini menunaikan tugasnya diberbagai jenjang dan jenis pendidikan dapat sadar dan kompeten mengajarkan topic itu secara integrative dalam bidang – bidang studi yang diajarkannya. Harapan ini tidak akan terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu diprogramkan secara sistematis melalui program insrevise maupun preservise.
3.
Bagaimana menyiapkan buku teks atau buku pelengkap dan bahan - bahan bacaan yang dapat digunakan oleh guru atau siswa untuk meningkatkan pemahaman dan kecintaan mereka terhadap penggunaan produksi dalam negeri. Buku yang dipersiapkan ini seyogyanya lebih diorientasikan pada aspek perwajahan dan muatan dari buku dengan ilustrasi yang lebih memancing 52
Jurnal EKOBISTEK Fakultas Ekonomi, Volume 3, No. 2, Oktober 2014
sehingga mudah menyentuh misi untuk lebih mencintai produk negeri sendiri. Selanjutnya strategi yang dilakukan di jalur pendidikan di luar sekolah terletak pada 3 aspek : 1. Strategi yang diupayakan di jalur sekolah seyogyanya lebih fleksibel. Artinya, pendekatan ini dilakukan sedemikin rupa dalam berbagai bentuk dan tidak terikat oleh suatu pola tertentu. Ia disesuaikan dengan dimensi waktu, tempat dan kondisi social dan budaya masyarakat setempat. Dengan begitu kurikulum yang dikembangkan melalui jalur ini amat bervariasi bentuknya. Misalnya untuk kelompok – kelompok organisasi pemuda rasa kecintaan pada penggunaan produksi bangsa sendiri dapat dipupuk melalui kegiatan sepert lomba pidato, kampanye, karya wisata, kunjungan ke pusat – pusat industry, dan sebagainya. 2.
3.
Strategi yang diupayakan itu seyogyanya lebih realitas dan bercermin pada kenyataan yang ada. Ini berarti strategi yang dikembangkan itu dilakukan sedemikian rupa sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan generasi muda itu sendiri. Kebutuhan gerasi muda itu bervariasi menurut kondisi geografis, dan status social ekonomi dan nilai – nilai cultural mereka. Strategi yang dikembangkan ini seyogyanya lebih diorientasikan pada kepentingan kedepan dalam rentang waktu yang relatif lebih singkat. Dalam kegiatan ini pendekatan melalui jalur pendidikan luar sekolah lebih diarahkan pada pembekalan pengetahuan keterampilan dan sikap yang lebih praktis, transverable dalam kontek kehidupan social generasi muda itu sendiri. Misalnya informasi – informasi yang berkenaan dengan pasca APEC dan kehidupan mereka dalam era sesudah tahun 2020 suatu pasar
Pasar Bebas dan Kesiapan Kita Menghadapinya . . .
ISSN : 2301-5268
bebas Asia Pasifik, adalah informasi yang lebih sesuai dijenjang pendidikan sekolah. Di luar sekolah informasi yang lebih diperlukan adalah bagaimana pengangguran dapat diatasi melalui peningkatan penggunaan produksi sendiri. Implikasi – implikasi dari pendekatan ini adalah bagaimana menggerakan seluruh potensi yang ada dalam masyarakat untuk mendukung gerakan nasional penggunaan produksi dalam negeri. Gerakan nasional ini seyogyanya di dukung oleh dunia usaha. Badan pemerintah dan unsur – unsur masyarakat dan perorangan. Dalam setiap tahap kerjasama , international kita harus tetap reaksioner, dan pada setiap tahapnya harus ada siap dengan formulasi dan reformulasi kesepakatan, terutama dalam clausal – clausal perjanjian ( perangkat hukum ). ASEAN harus tetap bersatu di dalam APEC dan didalam menghadapi dinamika GATT. Kesepakatan yang kita capai saat ini tidak terlepas dari peran dan dominasi kelompok Negara – Negara utara terhadap kelompok selatan yang masih lemah namun mempunyai kekayaan alam termasuk didalamnya kelzautan yang merupakan potensi pasar dunia. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pasar bebas adalah pasar yang sudah banyak terdapat para penjual /pedagang ( antar negara, Aneka ragam produk perusahaan) yang sangat ketat persaingan yang akan terjadi seperti harga, mutu atau kualitas produk yang di jual di pasar bebas dan yang pasti adalah harus sesuai dengan Standar nasional, UUD atau peraturan yang ada dalam suatu Negara. Untuk kesiapan kita menghadapi hal tersebut adalah setiap Negara harus memberikan pengetahuan terhadap masyarakat khusunya di Indonesia agar masyarakatnya tidak berpengaruh dengan produk luar. Sebagai warga Indonesia kita tetap harus mencintai produk buatan Indonesia dan selalu membagakan buatan dalam negeri sendiri. Saran Kemajuan IPTEK ini telah mendorong semakin kuatnya arus globalisasi yang disamping akan menimbulkan berbagai permasalahan atau dampak negatif terhadap keseluruhan pola kehidupan perekonomian kita, juga akan membuka berbagai peluang dalam era globalisasi dan pasar bebas itu hanya dapat dimanfaatkan untuk kemajuan 53
Jurnal EKOBISTEK Fakultas Ekonomi, Volume 3, No. 2, Oktober 2014
dan kesejahteraan bangsa kita terhadap kesadaran yang kuat dalam kehidupan kemasyarakatan kita untuk lebih mencintai penggunaan hasil karya bangsa sendiri. 6. DAFTAR PUSTAKA
Pasar Bebas dan Kesiapan Kita Menghadapinya . . .
ISSN : 2301-5268
[1] Irwin Douglas. A. 1995. The GATT in Historical Perspective American Economi Review vol 85. No.2 [2] Mc.Kenzie, Francino.2008. GATT and The cold war. Journal of cold war studies.sumer.
54