HAK ASUH ANAK DALAM PERKARA CERAI TALAK KARENA ISTRI MURTAD (Studi Analisis Penetapan PA No. 447/Pdt.G/2003/PA.SAL)
Skripsi Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Disusun Oleh : MUHAMMAD IMAMUL UMAM 21106022
JURUSAN SYARI'AH PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2012
i
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Muhammad Imamul Umam
NIM
: 21106022
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi : Ahwal Al Syakhshiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang yang terdapat dari skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 4 Maret 2012 Yang Menyatakan
Muhammad Imamul Umam
iv
MOTTO
Setiap hari dimana terbit sang surya dan berlaku adil diantara manusia adalah sedekah (HR. Bukhori)
v
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Abah dan Ummi
vi
KATA PENGANTAR Assalamu‟alaikum Wr. Wb Pujian bagi Allah Tuhan semesta alam, atas limpahan rahmat dan nikmat serta segalanya kepada mahluk-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada panutan seluruh umat, Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya. Berkat rahmat Allah Yang Maha Pengasih, skripsi ini dapat penulis selesaikan meskipun masih banyak kesalahan dan kekurangan. Dalam kesempatan inilah penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan selanjutnya, dan akhirnya penulis mendapat ilmu yang bermanfaat bagi penulis di dunia dan akhirat. Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengakhiri program studi tingkat sarjana (S1) pada Jurusan Syari’ah di STAIN Salatiga, maka penulis mengajukan skripsi yang berjudul : HAK ASUH ANAK DALAM PERKARA CERAI TALAK KARENA ISTRI MURTAD (Studi Analisis Penetapan No. 447/Pdt.G/2003/PA.Sal.) Dalam pengerjaan dan penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bimbingan dan arahan dari Dosen Pembimbing serta Bapak/Ibu Dosen lainnya, oleh sebab itu penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada yang terhormat :
Bapak. Dr. Imam Sutomo, M. Ag. Selaku Ketua STAIN Salatiga.
Bapak Drs. Mubasirun, M. Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah.
vii
Bapak Ilyya Muhsin, SHI, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah.
Ibu Dra. Siti Muhtamiroh yang telah tekun dan telah bersedia membimbing penulis dari awal hingga terselesainya skripsi ini.
Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staff STAIN Salatiga.
Ibu Muhlisoh, MH selaku Hakim Pengadilan Agama
Bp. Agus Ahmad Su’aidi, Lc. MM Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas amal
kebaikannya. Penulis menyadari masih banyaknya kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik, saran dan masukan yang membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Salatiga, 4 Maret 2012 Penulis
Muhammad Imamul Umam
viii
ABSTRAK
Umam, Muhammad Imamul. 2012. Hak Asuh Anak dalam Perkara Cerai Talak karena Istri Murtad (Studi Analisis Penetapan PA No. 447/Pdt.G/2003/PA.Sal.). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Muhtamiroh.
Kata Kunci : Hak asuh anak, cerai, murtad
Hak asuh anak adalah pemeliharaan dan mendidik seorang anak laki-laki maupun perempuan yang belum mumayyiz dan belum bisa berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Ibunyalah yang berhak untuk mengasuhnya. Mengenai persoalan pemeliharaan anah (hadanah), seringkali menjadi persoalan oleh kedua orang tuanya untuk mengasuh anak sebagai korban dari perceraian. Rumusan utama dalam penelitian ini adalah mengenai hak asuh anak jika seorang ibu murtad. Dalam aturan hukum positif yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama ternyata belum ada aturan jelas mengenai hak asuh anak akibat ibu murtad. Temuan penelitian ini akan menggambarkan bagaimana hakim dalam memposisikan diri sebagai pengadil yang harus memutuskan sesuatu yang dapat diterima oleh hukum dan hak-hak dari pencari keadilan. Dalam pandangan hukum Fikih, para Ulama’ berbeda pendapat mengenai hak asuh anak bagi ibu yang murtad yang semuanya berdasarkan ijtihad para Ulama’. Disisi lain pertimbangan Hakim atas dasar-dasar hukum yang kuat dapat menghasilkan keputusan yang diterima oleh pencari keadilan.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................ii PENGESAHAN KELULUSAN .........................................................................iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..........................................................iv MOTTO ..............................................................................................................v PERSEMBAHAN ...............................................................................................vi KATA PENGANTAR ........................................................................................vii ABSTRAK ..........................................................................................................ix DAFTAR ISI .......................................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xiii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................1 B. Penegasan Istilah ..................................................................7 C. Rumusan Masalah ................................................................8 D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ............................................9 E. Telaah Pustaka ......................................................................10 F. Kerangka Teori .....................................................................12 G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian ...................................15 2. Kehadiran Peneliti .........................................................16 3. Lokasi Penelitian ...........................................................16 4. Sumber Data ..................................................................16 5. Tehnik Pengumpulan Data ............................................17
x
6. Analisis Data .................................................................18 7. Pengecekan Keabsahan Data .........................................19 8. Tahap Penelitian ............................................................19 H. Sistematika Penulisan ...........................................................19 BAB II
KONSEP HAK ASUH ANAK A. Konsep Hak Asuh Anak dalam Perspektif Fikih..................21 B. Konsep Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia 1. Hak Asuh Anak dalam UU No.1 Tahun 1974 ..............27 2. Hak Asuh Anak dalam Kompilasi Hukum Islam ..........28 3. Hak Asuh Anak dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ...........................................30 4. Konsep Hak Asuh Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ..................................30
.BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga ....................34 B. Tugas Hakim ........................................................................37 C. Gambaran Umum Penetapan Perkara Cerai Talak No. 447/Pdt.G/2003/PA.SAL ......................................................38 D. Penetapan Hak Asuh Anak dalam Perkara Perkara Cerai Talak
karena
Istri
Murtad
(Penetapan
No.
447/Pdt.G/2003/PA.SAL.) ...................................................43 BAB IV
ANALISIS HAK ASUH ANAK DALAM PERKARA CERAI
TALAK
KARENA
ISTRI
MURTAD
(PENETAPAN NO. 447/PDT.G/2003/PA.SAL) A. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Penetapan No. 447/Pdt.G/2003/PA.Sal Tentang Hak Asuh Anak dalam Perspektif Fikih ....................................................................49
xi
B. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Penetapan No. 447/Pdt.G/2003/PA.Sal tentang Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia 1. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Perspektif KHI dan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 ...........................54 2. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Perspektif UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak .........................58 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ...........................................................................63 B. Saran .....................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................65 LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Salinan Penetapan PA No. 447/Pdt.G/2003/PA.Sal. Lampiran 2. Surat Tugas Pembimbing Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian Lampiran 4. Lembar Konsultasi Skripsi Lampiran 5. Daftar SKK Lampiran 6. Daftar Riwayat Hidup
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang didalamnya berisi hukum yang mengatur baik hubungan manusia dengan Allah maupun hubungan manusia dengan manusia. Dengan kata lain disebutmuamalah,yaitu aturan mengenai hubungan antar manusia satu dengan lainnya, dengan kata lain adalah hubungan sosiologis. Karateristik dari Al-Qur’an adalah ajaran yang akomodatif terhadap permasalahan yang hidup di tengah masyarakat. Sesuai dengan keadaan zaman dan tempat. Suatu contoh ringan, bahwa keadaan sosiokultural bangsa arab dan bangsa Indonesia sangatlah jauh berbeda. Maka dari itu, hal yang wajar jika ajaran Islam berasimilasi dan berakulturasi dengan keadaan sisiokultural asli bangsa Indonesia. Dengan demikian sering kita jumpai adanya persimpangan ajaran dan budaya asli. Misal timbulnya hal-hal baru dalam kehidupan bermasyarakat, Islam dapat menjawab segala persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Diberlakukannya syari‟at Islam dalam kehidupan manusia adalah untuk menciptakan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu diantaranya ialah menuntun dan membimbing umat manusia dalam menegakkan dan membangun kehidupan masyarakat, yang berawal dari
masyarakat kecil atau rumah tangga yang penuh dengan berkah dan rahmah dari Allah(Pasha, 2003:253). Perkawinan merupakan jalan untuk mewujudkan masyarakat yang paling kecil. Perkawinan merupakan suatu hal yang mempunyai nilai keluhuran tinggi yang harus dijaga agar tercipta tujuan perkawinan. Adapun tujuan perkawinan itu sendiri tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 1, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, maka untuk mencapai tujuan tersebut, sudah seharusnya ada ikatan positif antara suami dan istri. Kita melihat bagaimana Al-Qur’an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami-istri
suatu
perasaan
bahwa
masing-masing
mereka
saling
membutuhkan satu sama lain. Seperti dalam Firman Allah surat Al-A’raf ayat 189 yang berbunyi :
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia
2
merasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". Ikatan perkawinan seperti yang disebutkan di atas harus dibangun berdasarkan nilai-nilai kasih penulisng dan kekeluargaan. Namun untuk memadukan dua unsur manusia dengan karakter yang berbeda bukan merupakan suatu hal yang mudah, sehingga seringkali timbul percekcokan dalam kehidupan berumah tangga karena gagalnya memadukan dua karakter tersebut, baik disebabkan oleh beberapa hal. Jika hal ini terjadi secara terus menerus, maka hanya akan mendatangkan madlorot dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Demi menghindari adanya madlorot yang lebih besar, maka perceraian merupakan jalan untuk menghindari madlorot tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah Ushul Fikih yang terdapat dalam Kitab Al-Asybah wa An-Nadloir fil Furu‟, karangan Jalaluddin Abdurrahman (1965:60)yang berbunyi :
َ صا ِل ِ لَٔ َج ْل َ ةَال َو َ َدَ َْس َُءَال َوفا َ ِط ِِدَِ ُهمَذ ََِّ ٌمَ َع ِح “Menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan.” Dalam Islam perceraian diperbolehkan, namun sangat tidak dianjurkan. Seperti sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (t.t:255) dalam “Sunan Abi Dawud,Kitab Thalaq, Bab Fi Karohiyyati Thalaq” Hadis No. 2178, bahwa Nabi Muhammad bersabda :
َق َُ َل َ الط ََّ َٔللاَِذَعَال َ َٔلََلَال َح ََ ضَاَل َُ َََا ََْتغ “Perbuatan halal yang dibenci oleh Allah ialah thalaq”
3
Setelah terjadinya perceraian, maka diantara pihak suami dan istri harus menerima dan melaksanakan kewajiban akibat-akibat dari perceraian tersebut. Salah satu akibat dari perceraian adalah pengasuhan anak yang secara otomatis tidak mungkin diasuh lagi secara bersamasama oleh kedua orang tua (Depag, 1998:13). Mengenai hal tersebut telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Antara lain dijelaskan dalam pasal 149 (d), yang isinyasalah satu dari hak dan kewajiban suami istri yang sudah bercerai wajib memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.Dalam pasal 105 KHI, menyebutkan bahwa hak asuh(hadanah) anak berada diampuan ibu ketika anak itu belum mencapai usia mumayyiz, sedangkan untuk anak yang sudah mencapai umur mumayyiz, maka anak diperbolehkan untuk memilih kepada siapa anak itu ikut ataukah kepada ibunya atau bapaknya. Kemudian dalam pasal 156 KHI, menyebutkan kepada siapa anak itu akan diasuh ketika ibunya meninggal dunia. Permasalahan yang muncul adalah ketika kepada siapakah anak itu diasuh, jika status ibu tersebut kembali ke agama sebelumnya (murtad). Dalam KHI ada dua pasal yang mengatur tentang pengasuhan anak (hadanah). Pasal 105 KHI mengatur mengenai kepada siapa anak itu diasuh ketika anak itu mumayyiz atau belum mumayyiz. Sedangkan pasal 156 KHI mengatur tentang hak asuh anak ketika ibunya tidak ada (meninggal). Dalam kedua pasal tersebut, kiranya belum menjawab
4
permasalahan di atas.Bahkan dalam pasal 116 (h) KHI menyebutkan bahwa salah satu tentang alasan perceraian adalah peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan. Dalam pemahaman terbalik
bisa
dikatakan
jika
kemurtadan
tidak
menimbulkan
ketidakrukunan, maka ibu yang murtad tadi boleh tidak bercerai dan berhak mengasuh anaknya dalam suatu perkawinan yang sah (Permana, 2008:5). Berdasarkan keterangan diatas, penulis berpendapatkurangnya aturan dalam perundang-undangan yaitu dalam KHI yang mengatur tentang hal tersebut dengan jelas. Menurut Zaenuddin(2006:88) dalam buku Hukum Islam Pengantar Ilmu HukumIslam di Indonesia, KHI adalah ijtihad paraUlama’ Indonesia dalam menciptakan hukum yang sesuai dengan keadaan situasi Indonesia.
Sehingga boleh dikatakan
bahwa KHI merupakan ijma‟Ulama’ Indonesia yang diakui keabsahan sebagai dasar hukum dan diharapakan menjadi pedoman masyarakat Indonesia. Dalam
putusan
Pengadilan
Agama
SalatigaNo.447/Pdt.G/2003/PA.SAL mengenai kasus ceraitalak suami terhadap istri dikarenakan sang istri kembali ke agama sebelumnya (murtad) dan sudah tidak ada kecocokan lagi. MakaHakim memberikan putusan PA No. 447/Pdt.G/2003/PA.SALdengan mengabulkan pengajuan talak tersebut dengan memberikan hak asuh anak pada suami yang sesuai
5
dengan dasarfikih. Sedangkan dalam KHI pasal 105 dan 156 tidak cukup alasan untuk menjawab permasalahan tersebut. Memperhatikan kasus cerai talak ada hal yang menarik unuk dikaji lebih lanjut tentang hak asuh anak dalam perkara cerai talak karena istri murtad, khususnya dalam Putusan Pengadilan Agama PA No. 447/Pdt.G/2003/PA.SAL. Dimana dalam putusan tersebut seorang ibu karena kemurtadannya telah kehilangan hak untuk mengasuh anak yang mana anak tersebut merupakan darah daging dia sendiri. Di sisi lain kedua belah pihak berhak untuk mengasuh anak dan mendidik anaknya walaupun mereka sudah berpisah. Ketentuan dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 51 ayat 2 menyebutkan, bahwa setelah putusnya perkawinan seorang wanita mempunyai hak dan tanggungjawabyang sama dengan mantan suaminya atas
semua
hal
yang
berkenaan
dengan
anak-anaknyadengan
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.Peraturan ini sudah jelas menyebutkan bahwa ibu juga mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya dalam hal untuk menentukan masa depan anak. Putusan Pengadilan di atas, hak asasi ibu terhadap anaknya seolaholah hilang. Karena kebanyakan dari perceraian awalnya adalah timbul dari percekcokan kedua belah pihak. Ketika salah satu pihak mendapatkan hak atas anaknya, dimungkinkan bahwa pihak yang tidak mendapatkan hak
atas
anak
tersebut
sulit
6
sekali
untuk
ikut
berperan
menumbuhkembangkan anak. Di sisi lain, anak juga kehilangan kasih penulisng dari ibunya dimana tidak akan ia dapatkan dari seorang ayah. Pembahasan lebih lanjut menganalisa dasar dan pertimbangan hukum yang digunakan Hakim dalam memutuskan perkara tersebut untuk mencari keputusan yang lebih mendekati nilai keadilan bagi seluruh pihak yang dalam perkara tersebut lebih-lebih anak sebagai objek yang diperebutkan. Untuk itu, peneliti akan menganalisa perkara tersebut dengan judul “HAK ASUH ANAK DALAM PERKARA CERAI TALAK KARENA ISTRI MURTAD (Studi Analisis Penetapan PA No. 447/Pdt.G/2003/PA.SAL.)”. B. Penegasan Istilah Untuk membantu memahami dalam penjelasan serta analisis yang penulis
paparkan
berikutnya,
maka
perlulah
kiranya
penulis
menjelaskan/mempertegas judul yang penulis angkat. Dari judul diatas dapat penulis jelaskan beberapa definisi atau pengertian secara umum yang berkaitan dengan pokok bahasan. Hak adalah kebenaran atau yang benar, baik dalam arti tertulis maupun praktis (Nasution, 1992:280). Dalam hal ini penulis akan membahas kepada siapa anak itu akan diasuh setelah terjadinya perceraian. Dalam ilmu Fikihdisebut Hadanah, yaitu kegiatan merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri (Nuruddin, 2004:293).
7
Cerai merupakan pisahnya perkawinan antara suami istri. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fikih Sunnah mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri perkawinan itu. Dalam hal ini talak merupakan pengajuan putusnya perkawinan atas inisiatif suami, sedangkan atas inisiatif istri dinamakan khulu‟ (Nuruddin, 2004:208). Sedangkan murtad diartikan keluar dari iman dan kembali lagi kepada kekafiran (Haroen, 2001:1233) Berdasarkan penegasan istilah tersebut yang dimaksud dengan judul “Hak Asuh Anak dalam Perkara Cerai Talak Karena Istri Murtad” adalah pembebanan hidup anak akibat perceraian yang disebabkan oleh ibu yang keluar dari agama Islam. C. Rumusan Masalah Masalah adalah sesuatu hal yang membutuhkan penyelesaian, oleh karena itu dalam skripsi ini penulis mencoba memaparkan apa saja yang menjadi masalah mengenai hak asuh anak dalam perkara cerai talak karena istrimurtad di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Analisis Putusan PA No. 447/Pdt.G/2003/PA.SAL) . Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti memfokuskan pada beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah tinjauan hak asuh anak dalam Fikih danHukum Positif di Indonesia?
8
2. Apakah dasar hukum dan pertimbangan Hakimdalam memutuskan masalah hak asuh anak dalam putusan cerai talak karena istri murtad (PenetapanNo. 447/Pdt.G/2003/PA.SAL.)? 3. Bagaimanakah analisis terhadap putusan tersebut dalam tinjauan Fikih dan Hukum Positif di Indonesia ? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun Tujuanyang ingin dicapai oleh peneliti adalah : 1. Mengetahui pembahasan permasalahan hak asuh anak dalam perspektifFikih dan Hukum Positif di Indonesia. 2. Mengetahui
dasar
hukum
dan
pertimbangan
Hakim
dalam
memutuskan masalah hak asuh anak dalam perkara cerai talak karena istri murtad (Penetapan No. 447/Pdt.G/2003/PA.SAL) 3. Mengetahui kesesuaian antara putusan Hakim dengan tinjauan Fikih dan Hukum Positif di Indonesia. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Secara Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikansumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum perkawinan. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dipergunakan oleh alat-alat penegak hukum dan
9
pihak-pihak lain yang berhubungan dengan penyelesaian kasus-kasus yang berkaitan dengan perceraian. E.Telaah Pustaka Penyusun telah mengadakan penelusuran karya ilmiah yang ada kaitannya dengan hak asuh anak karena istri murtad. Adapun karya-karya ilmiah tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, skripsi Laila Miftahul Jannah, Mahasiswi STAIN Salatiga dengan judul “Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Sebagai Penyebab Dicabutnya Hak Asuhnya (Studi Komparasi antara Kompilasi Hukum Islam dan KUHPerdata). Skripsi ini membahas tentang pencabutan hak asuh anak akibat kekerasan yang dilakukan
oleh
pemegang hak asuh anak. Dalam skripsi ini, pembahasan hak asuh anak setelah pengadilan menjatuhkan putusan dalam tinjauan komparasi antara KHI dan KUHPerdata. Perbedaan dengan Skripsi yang penulis teliti adalah hak asuh anak ketika pemegang hak tersebut dinyatakan tidak mampu untuk menerima hak asuh anak. Kedua, skripsi Umi Azizah, Mahasiswi STAIN Salatiga dengan judul “Hak Asuh Anak Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Analisis Kompilasi Hukum Islam). Skripsi ini membahas secara umum
bagaimana
pandangan
Kompilasi
Hukum
Islam
dalam
memutuskan hak asuh anak ketika terjadi perceraian. Adapun dalam penelitian yang penulis teliti lebih difokuskan dalam hal hak asuh anak jika ibu murtad.
10
Ketiga, skripsi M. Khoirul Muanam Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang dengan judul, “Akibat Peceraian Terhadap Hak Asuh Anak (Studi Perbandingan Antara Perspektif Fiqh Islam dan Hukum Positif). Skripsi ini membahas perbandingan mengenai hak asuh anak dalam fikih dibandingkan dengan hak asuh anak yang diatur dalam hukum positif untuk mencari persamaan dan perbedaan didalamnya. Secara khusus mengenai hak asuh anak akibat ibu murtad tidak dibahas lebih lanjut. Keempat, skripsi Farida Nur Hayati mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul, “Hak Asuh (hadanah) Anak Angkat Akibat Perceraian Orang Tua”. Dalam skripsi ini membahas mengenai hak asuh anak angkat setelah terjadi perceraian apakah sama dengan anak kandung ditunjau dari hukum islam dan perundang-undangan di indonesia. Skripsi ini juga tidak membahas jika ibu dinyatakan murtad. Kelima, skripsi David Idris Habibie Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul “Tinjauan Makasid Asy Syariah Imam Asy Syatibi Terhadap Hak Asuh Anak (hadanah) Bagi Ibu Yang Murtad”. Skripsi ini membahas hak asuh anak bagi ibu yang murtad ditinjau dari maqosid asy syari’ah mengenai maslahat dan mafsadat jika pengasuhan anak ada pada ibu yang murtad. Sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan para Hakimdalam istinbat hukum hak asuh anak bagi ibu yang murtad. Adapun penelitian ini lebih ke studi pustaka sedangkan
11
penelitian penulis lebih ke studi kasus atas dengan menganalisis pertimbangan Hakim ketikamemutuskan hak asuh anak jika ibu murtad. F. Kerangka Teori Adapun landasan toeritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Al-Qur’an Surat At-Tahrim Ayat 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
2. Hadis
Rosulullah
SAW
dalam
“As
Sunannul
Kubra”Hadis
No.18089Hadis Riwayat Al-Baihaqi (t.t:126):
َ،ٍََّ َّلَ ِذَُا َ َّا ِلذَج َ َ َه ْيَفَ َّشقَ َتَيْي:َسوعدَسسْلَللاَملسو هيلع هللا ىلصَيمْل:عيَأتيَأيْبَلال ْ َاَّللَُ َت ْيٌََ ََُّتَيْيَ َأ َ ِحثَّرِ ََِيَ ْْ َم َّ َفَ َّشق َ َال ِم َيا َه َِح “Dari Abi Ayyub berkata: Penulis mendengar Rosulullah SAW bersabda: barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah SWT akan memisahkan orang tersebut dengan orang-orang yang dicintainya di hari kiamat.
12
3. Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 41 huruf a dan b : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata
berdasarkan
kepentingan
anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. 4. Kompilasi Hukum Islam pasal 105 dan 156. Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf a dan b. Dalam hal terjadinya perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya Kompilasi Hukum
Islam pasal
156. Akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah : a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
13
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 2. Ayah 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya; c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula; d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
14
5. Perbedaan Pendapat Para Ulama’ Tentang Syarat Islam Bagi Pemegang Hak Asuh Anak. Ulama’ berbeda pendapat mengenai syarat Islam bagi penegang hak asuh anak. Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, mensyaratkan Islam bagi pemegang hak asuh atas anak yang beragama Islam. Sedangkan Imam Maliki dan Imam Hanafi tidak mensyaratkan Islam bagi pemegang hak asuh atas anak muslim. Akan tetapi Imam Hanafi menambahkan syarat tambahan yaitu kecuali bagi orang kafirmurtad (Juzairi, 1996:519). G. MetodePenelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis. Peneliti ingin memahami masalah yang diteliti berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia (Ibrahim, 2006:310). Jenis penelitian yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah studi kasus (Suryabrata, 1995:26).Hal tersebut dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dihadapi dalam putusan pengadilan dan putusan itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisakan alasan dan pertimbangan Hakim dalam memutuskan masalah hak asuh anak dalam perkara cerai talak
15
karena istri murtad, yang didasarkan pada penetapan Pengadilan Agama Salatiga No 447/Pdt.G/2003/PA.SAL. 2. Kehadiran Peneliti Kehadiran peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul
data.
Peran
peneliti
sebagaipengamat
penuh.Karenakehadiran peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh subjek atau informan. 3. Lokasi Penelitian Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian di Pengadilan Agama Salatiga. Di mana di Pengadilan itulah kasus mengenai judul yang penulis angkat yaitu “Hak Asuh Anak Dalam Perkara Cerai Talak
Karena
Istri
Murtad
447/Pdt.G/2003/PA.SAL)
(StudiAnalisis
berlangsung
dan
Penetapan diputuskan
No. oleh
Pengadilan Agama Salatiga. 4. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah: a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni berkas penetapan PA Salatiga No. 447/Pdt.G/2003/PA.SAL. b. Sumber data sekunder, yaitu mencakup dokumen-dokumen, buku-buku dan hasil penelitian yang lain yang menyangkut permasalahan hak asuh anak.
16
5. TehnikPengumpulan Data a. Wawancara(interview) Wawancara
(interview)adalah
sebuah
dialog
yang
dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 1998:145). Wawancara dirasakan perlu karena untuk mengetahui alasan dan dasar hukum serta pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara. Dalam penelitian ini, terwawancara menjadi sumber data primer, dalam hal ini ialah Hakim yang memutuskan perkara tersebut, yaitu Drs. Supangat, Dra. Muhlisoh, MH (Hakim Anggota), Drs. Zaenal Hakim, SH (Hakim Ketua), selaku Hakim dalam
penetapan
Pengadilan
Agama
Salatiga
No
447/Pdt.G/2003/PA.SAL. b. Dokumentasi Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya(Arikunto, 1998:236). Dalam penelitian ini dokumentasi yang dimaksud adalah data-data yang berhubungan dengan hak asuh anak, terutama dalam perkara cerai talak karena istri murtad. c. Studi Pustaka Dalam penelitian ini, metode studi pustaka adalah dengan mengumpulkan berbagai literatur baik dari buku maupun media
17
karya tulis lainnya, sebagai sumber data sekunder, untuk dijadikan referensi dan acuan dalam menganalisa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. 6. Analisis Data Penelitian ini akan penulis paparkan secara deskriptif analitis berdasarkan logika induktif.. Analisis dilakukan terhadap data berdasarkan logika induktif, analisa berawal dari suatu hal khusus (data di lapangan) kemudian arah suatu temuan yang bersifat umum lewat analisis data.. Dalam menganalisis data, penulis akan memaparkan secaradeskriptif analitis, merupakan metode yang digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penulisan dilakukan dan memeriksa segala sebabsebab dari gejala tertentu (Sevilla, 1993: 71). Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan tinjauan hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia mengenai masalah hak asuh anak secara umum dan khususnya dalam perkara cerai talak karena
istri
murtad.
Metode
ini
juga
digunakan
untuk
mendeskripsikan alasan dan pertimbangan hakim dalam memutuskan masalah hak asuh anak dalam perkara cerai talak karena istri murtad yang ada dalam putusan tersebut. 7. Pengecekan Keabsahan Data Dalam hal pengecekan keabsahan data, penulis menggunakan tehnik Triangulasi dengan sumber, yaitu dengan cara membandingkan
18
serta mengecek derajat kepercayaan suatu informasi dengan jalan membandingkan hasil dokemen pengamatan dengan hasil wawancara (Moloeng, 2004:331). 8. Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap. Tahap pertama adalah tahap pra lapangan, kemudian menentukan topik dan mencari informasi mengenai putusan hak asuh anak akibat istri murtad tepatnya di Pengadilan Agama Salatiga. Tahap selanjutnya peneliti melakukan penelitian lanjutan, dokumentasi dan wawancara terhadap obyek penelitian. Tahap akhir yaitu penyusunan laporan dengan cara menganalisis data temuan tersebut. H. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam memahami penulisan penelitian ini, maka penulis akan memberikan gambaran singkat mengenai permasalahan yang akan dibahas dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan; Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian yang berisi tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Sumber Data, Tehnik Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
19
Bab II KonsepHak Asuh Anak; bab ini berisi pembahasan tentang: KonsepHak
Asuh
Anak
dalam
PerspektifFikih,KonsepHak
Asuh
AnakdalamPerspektif Hukum Positif di Indonesia yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Bab III Data Hasil Penelitian; bab ini berisi tentang Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga, TugasHakim, Gambaran Umum Perkara Cerai Talak(PenetapanNo. 447/Pdt.G/2003/PA. SAL.),Penetapan Hak Asuh Anak dalam Perkara Cerai Talak karena Istri Murtad(Penetapan No. 447/Pdt.G/2003/PA. SAL.) Bab IV Analisis Hak Asuh Anak dalam Cerai Talakkarena Istri Murtad (Penetapan No.447/Pdt.G/2003/PA. SAL); bab ini berisiAnalisis Pertimbangan
Hakimdalam
Penetapan
No.
447/Pdt.G/2003/PA.Sal
Tentang Hak Asuh Anak dalam PerspektifFikih,Analisis Pertimbangan Hakimdalam Penetapan No. 447/Pdt.G/2003/PA.Sal tentang Hak Asuh Anak dalam PerspektifHukum Positif di Indonesia, yaitu UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bab V Penutup; bab ini berisi Kesimpulan dan Saran.
20
BAB II KONSEP HAK ASUH ANAK
A. Konsep Hak Asuh Anak dalam PerspektifFikih 1. Pengertian Hak Asuh Anak Dalam Hukum Fikih, hak pengasuhan anak dikenal dengan hadanah (Nuruddin, 2004:292). Dalam Islam telah diatur bagaimana aturan dalam pengasuhan anak. Sehingga dapat mengantisipasi hal-hal yang ditimbulkan akibat terputusnya perkawinan serta menimbulkan dampak yang buruk bagi anak itu sendiri disamping beban psikologis yang harus ditanggung si anak akibat perceraian orang tuanya. Didefinisikan oleh para ahli Fikih bahwa kata “hadanah” adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum mumayyiz, tanpa perintah
daripadanya,
menyediakan
sesuatu
yang
menjadikan
kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggungjawabnya (Sabiq, 1990:173). Islam memberlakukan hak asuh sebagai wujud untuk memberikan yang terbaik untuk anak. Karena, jika anak akibat perceraian itu dibiarkan serta tidak diberi perlindungan dan pemeliharaan, maka kondisi anak akan terganggu. Suatu hal wajib bagi orang tua untuk menjaganya walaupun sudah terpisahkan dengan
21
perceraian. Anak merupakan karunia Allah SWT yang sangat mulia, yang keberadaannya sangat diharap-harapkan oleh orang tua. Hadanah berbeda maksudnya dengan pendidikan (tarbiyah). Dalam hadanahterkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani disamping pula pengertian mengenai pendidikan, sedangkan tarbiyah hanya mengandung pendidikan saja. Demikian halnya mengenai pemegang hadanah maupun tarbiyah. Jika hadanah dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali jika si anak sudah tidak mempunyai keluarga. Sedangkan tarbiyah boleh dilakukan oleh siapapun (Tihami, 2010:216). 2. Hukum dan Dasar Hukum Hadanah Para ulama’ menetapkan bahwa hadanah (pemeliharaan anak) hukumnya wajib sebagaimana wajib memeliharanya selama belum terjadi perceraian. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah SWT untuk memelihara keluarga,dalam Firman Allah Surat AlTahrim ayat 6 disebutkan:
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
22
Kewajiban pemeliharaan anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian (Syarifuddin, 2006:328). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga anak agar tetap terjamin kebutuhan, terjaga dari hal-hal yang dapat membahayakan anak. 3. Rukun dan Syarat Mendapatkan Hadanah Dalam buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia tulisan Syarifuddin (2006:328) dua unsur penting rukun dalam hal pengasuhan atau pemeliharaan anak adalah orang tua yang mengasuh (hadin) dan anak yang di asuh (mahdun). Keduanya dalam tugas hadanah haruslah memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas hadanah tersebut. Adapun syarat hadin atau pemegang hadanah adalah sebagai berikut (Sabiq, 1990:179) : a. Berakal sehat b. Dewasa c. Mampu mendidik d. Amanah dan berbudi e. Islam Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 141 Allah SWT berfirman :
23
… “…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orangorang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” f. Ibunya belum kawin lagi. g. Merdeka. Sedangkan siapa yang berhak untuk mengasuh, dalam hal ini para ulama sepakat bahwa hadanah adalah hak ibu. Dalam Kitab “Bidayatul
Mujtahid
wa
Nihayatul
Muqtasid”,
Ibnu
Rusyd
(t.t:43)mengatakan :
َ َّالجوِْسَعلَٔأىَالحضاًحَلألمَإراَطلمِاَالضّجَّكاىَالْلذَصغيشا "Jumhur Ulama‟ sepakat bahwa hak hadanah itu atas ibu ketika suami menceraikannya dan anak itu masih kecil”
Sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (t.t:283) dalam Kitab “Sunan Abi Dawud, Bab Man Ahaqqu bil walid”, Hadis No.2276:
َ َيا َسسْل َللا:ع ي َعثذ َللا َاتي َعوش َسضي َللا َعٌَ َأى َاهشأج َلالد ََ َسمَََا َ ٌَء َِ َ ََُ َََح ََْا ٌَء َ َََّث َ َِذئ َل َِ َج َِشٓ َل ََ ّح َِ َ عا ٌَء ََ َِّ َ ََُ ََطٌَِٔ َل َْ ملسو هيلع هللا ىلص َإًََّإَْتٌَِٔ َُزا َكاى َََت َ َُُ إىَأََتا َٔح َِ حكََت َََِهاَل َْنََذ ٌََْ َِك ََ َأًدَأ:ع َََُ َِهٌََِّٔفمال ََ أسادََأىََيٌَُ ِ َّض َْ ّ َ َّٔ َ ٌِ َطلَّم "Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa seorang perempuan bertanya "ya Rasulullah, sesungguhnya anakku ini adalah perutku yang mengandungnya dan susuku yang menjadi minumnya dan pengkuanku yang memeluknya sedang bapaknya telah menceraikan aku dan ia mengambilnya dariku" lalu Rasulullah Saw., bersabda kepadanya
24
"Engkau yang lebih banyak berhak dengan anak itu selama engkau belum menikah" Jika ibunya atau bapaknya tidak mampu dalam pengasuhan maka, yang lebih utama mengasuhnya adalah bibinya. Seperti hadits riwayat Imam Bukhori (t.t:1551) dalam “Shohih Bukhori Bab Umrotil Qodlo‟”, hadis No. 4005 :
َعيَالثشاءَاتيَعاصبَسضيَللاَعٌََأىَالٌثيَملسو هيلع هللا ىلصَلضَٔفَٔاتٌحَحوضج )ٓاألمَ(سّاٍَالثخاس َِ َخال َحَُت ََوٌَْ َِضَلَ َِح ََ َال:لخالرِاَّلال "Dari al-Barra' bin Azib r.a. bahwasanya Nabi Saw., telah memutuskan dalam perkara anak perempuan oleh Hamzah (dalam perkara mengasuh) untuk bibinya (adik permpuan bibinya), dan beliau bersabda "Bibi itu yang mengambil tempat ibunya" (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari pada kerabat ayah. Hal ini berlaku juga baik masih dalam perikatan perkawinan atau masa iddahthalakraj‟i, bain atau telah habis masa iddah (Depag, 1984:209). Seperti umum diketahui bahwa ibu lebih banyak kasih sayang, sabar, lebih dekat dan terpercaya memelihara anaknya. Menurut Tihami (2010:220) dalam buku “Fikih Munakahat” menyebutkan dasar urutan orang yang paling utama untuk mengasuh anak adalah dengan : a. Kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak jika tingkatannya dalam kerabat adalah sama.
25
b. Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan karena saudara perempuan merupakan bagian dari nenek, karena itu nenek lebih berhak dibanding dengan saudara perempuan. c. Kerabat sekandung didahulukan dari kerabat yang bukan sekandung dan kerabat seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah. d. Dasar urutan ini adalah urutan kerabat yang ada hubungan mahram, dengan ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu didahulukan atas pihak bapak. e. Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada, maka hak jatuh pada kerabat yang tidak ada hubungan mahram. 4. Masa Hadanah Ukuran yang dipakai dalam Islam adalah tamyiz yaitu kemampuan anak untuk berdiri sendiri, ketika si anak itu sendiri bisa menjamin keperluan yang berkaitan dengan dirinya baik itu yang berkaitan dengan jasmani dan rohani. Ketika anak tersebut sudah baik dalam mengurus dirinya sendiri, maka masa hadanah boleh dihentikan. Usia tamyiz merupakan usia dimana anak sudah bisa memilih mana yang dicocoki antara ayah atau ibunya. Sebab, pada usia ini anak sudah mempunyai kecenderungan untuk memilih (Rasjid, 1976:403).
26
B. Konsep Hak Asuh Anak dalamPerspektif Hukum Positif di Indonesia 1. Hak asuh anak dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal-pasal yang mengatur mengenai hak asuh anak yang tercantum dalam UU No.1 Tahun 1974 terdapatpada pasal 41. Pasal 41 UU No.1 Tahun 1974 tentang akibat putusnya perkawinan karena perceraian menerangkan kewajiban kedua belah pihak orang tua menjaga kepentingan anak yang meliputi penghidupan dan pendidikan dan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak ditanggung oleh pihak ayah, yang berbunyi akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: c. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata
berdasarkan
kepentingan
anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. d. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. e. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Dalam PP. No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 pembahasan mengenai hak asuh anak tidak diatur. Akan
27
tetapi, dalam pasal 24 ayat 2 berbunyi : Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat : a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung suami. b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barangbarang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri. Hal
tersebut
menerangkan
bahwa,
pengadilan
dapat
menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya anak, walaupun masih dalam proses persidangan. Sehingga dapat menjamin kesejahteraan dan terpeliharanya anak, meskipun kedua orang tuanya sedang menjalani proses sidang perceraian. Tidak bisa dipungkiri bahwa, perceraian merupakan sesuatu yang tidak diinginkan oleh anak, maka keadaan jiwa soarang anak pastilah terganggu dengan perceraian kedua orang tuanya, sudah barang tentu di antara kedua orang tua wajib menjaga keadaan jiwa maupun raga anak dalam rangka terpeliharanya si anak. 2. Konsep Hak Asuh Anak dalam Kompilasi Hukum Islam Suatu perceraian menimbulkan kewajiban yang harus diterima oleh pihak suami dan istri disamping mendapatkan hak-hak yang harus
28
diterima oleh keduanya yang telah diatur oleh Undang-Undang. Persoalan mengenai hak asuh anak, dalam KHI terdapat 2 pasal yaitu pasal 105 dan pasal 156. Dalampasal 105 KHI, berbunyi: Dalam hal terjadinya perceraian: c. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya d. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; e. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Atas dasar pasal di atas penguasaan anak akibat perceraian bagi anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun jatuh ke asuhan ibunya. Akan tetapi setelah umur 12 tahun, anak diberi kekuasaan untuk memilih kepada siapa akan tinggal. Adapun jika pihak ibu tidak ada atau meninggal, maka kekuasaan atas anak telah diatur sesuai pasal 156 KHI (a). Yaitu dengan urutan sebagai berikut : 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu. 2. Ayah. 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah. 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan. 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
29
Adapun jika terjadi perselisihan tentang pengasuhan anak, pengadilan dapat memutuskan berdasarkan pertimbangan pasal 156 (a) tentang pengasuhan anak jika ibunya tidak ada atau meninggal, pasal 156 (b) tentang hak hadanah anak yang sudah mumayyiz untuk memilih ikut ayah atau ibunya dan pasal 156 (d) tentang kewajiban ayah untuk menanggung biaya hadanah dan nafkah anak sampai umur 21 tahun. 3. Konsep Hak Asuh Anak dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Mengenai pentingnya hak asuh anak guna mencapai tujuan yang diinginkan yaitu perkembangan anak yang baik, maka UU No. 39 Tahun 1999 yang diatur dalam pasal 51 (2) menyebutkan bahwa setelah putusnya perkawinan seorang wanita mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya dengan memperhatikan kepentingan terbaik anak. Hal di atas begitu pentingnya peran orang tua dalam pengasuhan sebagai usaha untuk menumbuhkembangkan anak. Sehingga peran orang tua dalam hal ini tidak boleh dikesampingkan. 4. Konsep Hak Asuh Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perwujudan adanya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan usaha negara dalam melindungi anak untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak untuk hidup. Anak merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dimana di dalamnya terdapat potensi sebagai
30
generasi muda bangsa yang memiliki peran yang sangat penting untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, seperti yang diperjuangkan para pahlawan terdahulu. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 disebutkan dalam pasal 26 mengenai begitu pentingnya peran orang tua terhadap kesejahteraan anak. Hal tersebut tercantum dalam pasal 26 dan pasal 30. Disebutkan dalam pasal 26,pada prinsipnya orang tua adalah sebagai subjek penting dalam pencapaian tumbuh kembang yang baik bagi anak. Sedangkandalam pasal 30 mengenai kuasa hak asuh orang tua terhadap anak dapat dicabut kuasa asuhnya, jika sebagai orang tua melalaikan tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan anak sebagaimana yang dimaksud pasal 26. Akan tetapi hal tersebut tidak menghapuskan hubungan darah antara anak dan orang tua serta tidak menghapuskan kewajiban orang tua untuk membiayai penghidupan anak sesuai dengan kemampuannya sebagaimana yang disebut dalam pasal 32. Mengenai Hak dan Kewajiban Anak, diatur dalam UndangUndang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 pasal 4 sampai dengan pasal 18 dimana semua pasal itu menerangkan hak-hak yang harus diterima sebagai anak. Diantara hak-hak anak itu antara lain adalah : 1. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
31
2. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa setiap anak berhak beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya, dalam bimbingan orang tua. 3. Dalam pasal 8 disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhanfisik, mental, spiritual, dan sosial. 4. Dalam pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh
pendidikan
dan
pengajaran
dalam
rangka
pengembanganpribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. 5. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikaninformasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengannilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. 6. Dalam pasal 13 disebutkan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan danperlakuan salah lainnya. Mengenai Perlindungan Agama anak, diatur dalam Pasal 42 dan pasal 43 UU No. 23 Tahun 2002tentang Perlindungan Anak. Pasal 42 (1)berbunyi bahwa setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah
32
menurut agamanya. Sedangkan dalam Pasal 42 (2) menyebutkan bahwa sebelum anak dapat menentukan pilihannya maka agama anak tersebut ikut orang tuanya. Sedangkan UU No. 23 Tahun 2002 pasal 43 (1)menyebutkan Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam menjalankan agamanya. Pasal 43 (2) menyebutkanperlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputipembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
33
BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga 1. Profil Pengadilan Agama Salatiga Nama
: Pengadilan Agama Salatiga Kelas 1-B
Alamat
: Jl. Lingkar Selatan, Dusun Jagalan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Jawa Tengah ,Telp. / Fax. ( 0298 ) 322853 / 325243 Website : www.pa-salatiga.go.id
2. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga Pengadilan Agama Salatiga dibentuk berdasarkan staastblad tahun 1882 no. 152 (nama Pengadilan Agama disebutkan sebagaimana adanya pada saat itu Raad Agama). Kemudian pada tahun 1951 terjadi perpindahan lokasi Pengadilan Agama Salatiga dari halaman/serambi Masjid Jami' Kauman Salatiga di tempatsekarang ini di jl. Diponegoro no. 72 salatiga, berdasarkan keputusan Menteri Agama RI No. 303 tahun 1990 dan keputusan ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/010/SK/III/1996 tanggal 06 maret 1996 terjadi perubahan wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga sampai sekarang ini. Selanjutnya, Pengadilan Agama Salatiga pindah ke gedung baru pada tanggal 1 mei 2009 di Jl. Lingkar Selatan, Jagalan, Cebongan,
34
Argomulyo, Salatiga. Kemudian kantor lama digunakan sebagai arsiparsip dan rumah dinas. 3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Salatiga a. Visi Mewujudkan Pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu pelaku kekuasaan keHakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan berwibawa. b. Misi 1) Mewujudkan
rasa
keadilan
masayarakat
sesuai
dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati nurani. 2) Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain. 3) Meningkatkan pelayanan di bidang peradian kepada masyarakat sehingga tercapai peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan. 4) Meningkatkan kwalitas sumber daya manusia aparat peradilan sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara profesional dan proposional. 5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan bermartabat dalam melaksanakan tugas.
35
4. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Salatiga Wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga yang ada sekarang tinggal 13 Kecamatan yaitu : a. Yang masuk wilayah Kota Salatiga ada 4 Kecamatan ; 1) Kecamatan Sidorejo 2) Kecamatan Sidomukti 3) Kecamatan Argomulyo 4) Kecamatan Tingkir b. Yang masuk wilayah
Kabupaten Semarang ada 9
Kecamatan ; 1) Kecamatan Bringin 2) Kecamatan Bancak 3) Kecamatan Tuntang 4) Kecamatan Getasan 5) Kecamatan Tengaran 6) Kecamatan Susukan 7) Kecamatan Suruh 8) Kecamatan Pabelan 9) Kecamatan Kaliwungu 5. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Salatiga melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan pasal 2 jo. pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
36
tentang
Peradilan
Agama
adalah
memeriksa,
memutus,
dan
menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan b. Waris c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infaq h. Shadaqah i. Ekonomi syari'ah. B. Tugas Hakim Kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk mengambil suatu kebijaksanaan dalam memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan : “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Menurut Riza Tholib dalam artikelnya “Kebijakan Hakim Dalam Menetapkan Suatu Perkara Guna Terwujudnya Rasa Keadilan” mengatakan terdapat norma hukum “mewajibkan Hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
37
dalam masyarakat. Untuk memenuhi norma tersebut, maka Hakim harus mengambil kebijaksanaan hukum”. Penentuan atas tuntutan rasa keadilanlah yang harus diterapkan oleh Hakim dalam memutus suatu perkara. Hal ini sesuai dengan pasal 2 UU
Nomor 48 Tahun 2009
mengenai asas penyelenggaraan dan kekuasaan kehakiman yang berisi peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Atas dasar itulah kiranya Hakim dalam menetapkan sesuatu perkara diperlukan pertimbangan-pertimbangan hukum yang hidup dalam masyarakat selain pertimbangan undang-undang yang berlaku di peradilan. Sehingga Penetapan yang dihasilkan sedapat mungkin memberi rasa keadilan dan unsur maslahah bagi pihak yang berperkara dapat tercapai. C. Gambaran
Umum
Penetapan
Perkara
Cerai
Talak
No.
447/Pdt.G/2003/PA.SAL. 1. Pihak yang Berperkara Kasus perceraian ini didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 16 Oktober 2003 dengan no. register : 447/Pdt.G/2003/PA.SAL dengan pihak-pihak yang berperkara antara lain sebagai pihak Pemohon yaitu Syam Setiabudi Rahayu SE bin Soesilo Tjiptadi yang berumur 34 tahun, beragama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Jl. Cemara II/27, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidoarjo, Kota Salatiga. Selanjutnya, sebagai pihak Termohon adalah Hersi Andayani SH binti Herman Prayitni yang
38
berumur 35 tahun, beragama Kristen, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal Jl. Cemara II/27, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidoarjo, Kota Salatiga. 2. Tentang Duduk Perkaranya Syam
selaku
Pemohon
menyebutkan
dalam
surat
permohonannya beberapa posita diantaranya, bahwa awal rumah tangganya berjalan baik layaknya suami istri selama 3 tahun 7 bulan dan telah dikaruniai seorang anak bernama Shahraz Risang Rzi Kusuma yang lahir pada tanggal 28 Oktober 2000. Akan tetapi, sejak anaknya berumur sekitar 4 bulan antara Pemohon dan Termohon sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang sulit didamaikan yang terjadi karena Termohon tidak mau melaksanakan janjinya. Pada awalnya, Termohon beragama Kristen, ketika mau menikah, Termohon telah berjanji ikut memeluk agama Islam dengan segala konsekuensinya. Akan tetapi Termohon malah secara sembunyi-sembunyi
maupun
terang-terangan
pergi
ke
gereja.
Pemohon juga sudah menasehatinya dengan baik, tetapi tidak berhasil dan justru yang terjadi adalah perselisihan. Puncaknya yaitu ketika Termohon kedapatan memberi pengetahuan yang tidak baik terhadap anaknya. Sehingga Pemohon merasa tidak tahan dengan perilaku Termohon dan menetapkan untuk pindah tinggal di rumah oarng tuanya.
39
Berdasarkan hal di atas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan Penetapan dalam perkara ini sebagai berikut : a. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya b. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak atas Termohon. c. Menetapkan anak Pemohon dan Termohon dalam asuhan Pemohon. Dari posita dalam permohonan tersebut pihak Termohon memberikan jawaban dalam Konpensi, yaitu bahwa Termohon menolak dalil Pemohon seluruhnya, kecuali untuk hal-hal yang diakui kebenarannya. Selain itu, menurut Termohon kondisi rumah tangga tidak pernah terjadi perselisihan dan pertengkaran dan rumah tangga masih dapat dirukunkan kembali. Sedang menurut Termohon, perbedaan agama bukanlah merupakan alasan untuk melakukan perceraian. Adapaun menurut Termohon, alasan Pemohon mengajukan perceraian adalah karena Pemohon telah hidup satu atap dengan seseorang tanpa ikatan yang sah. Kemudian dalam Rekonpensi, oleh karena anak ikut penggugat sebagai ibunya, maka penggugat mohon dinyatakan bahwa anak di bawah asuhan penggugat. Bahwa penggugat menuntut biaya hidup dan pendidikan anak sebesar serta jaminan nafkah setelah perceraian sebesar masing-masing 1/3 dari penghasilan tergugat.
40
Dari jawaban Termohon, Pemohon memberikan replik yang pada pokoknya tetap pada permohonannya, dan terhadap gugat balik Termohon, Pemohon menyatakan keberatan. Atas replik tersebut pihak Termohon telah mengajukan duplik secara lisan yang pada pokoknya tetap pada jawabannya. Dihadirkan dalam persidangan saudara sepupu Pemohon dan memberikan keterangan antara lain bahwa antara Pemohon dan Termohon
adalah suami istri yang telah menikah dan dikaruniai
seorang anak yang ikut Termohon. Kemudian keduanya berpisah sejak empat bulan karena Pemohon tinggal di rumah orang tuanya di Semarang. Selain tu, Termohon telah kembali ke agamanya semula dan keluarga sudah menasehati agar Pemohon dan Termohon tidak bercerai namun gagal. Dihadirkan juga dalam persidangan paman Termohon dan memberikan keterangan bahwa antara Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang telah menikah dan diakruniai seorang anak yang ikut Termohon. Kemudian keduanya berpisah sejak empat bulan karena Pemohon tinggal di rumah orang tuanya di Semarang. Selain tu, Termohon sejak dulu sampai sekarang agamanya Kristen dan melakukan pernikahan secara Islami dan keluarga sudah menasehati agar Pemohon dan Termohon tidak bercerai namun tidak berhasil. Atas keterangan dari keluarga tersebut Pemohon dan Termohon membenarkannya.
41
Sebagai penguat permohonannya, Pemohon mengajukan buktibukti diantaranya fotokopi duplikat Kutipan Akta Nikah No. K.01/PW.01/217/X/2003 tanggal 13 Oktober 2003 yang diterbitkan oleh KUA Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, telah dilegalisir dan dinasegelen. Selain itu, Pemohon juga mengajukan saksi-saksi yaitu Joko Suryono bin Slamet Rohadi dan Triwiyanto O bin Sarwedi Wiyono. Sedangkan
Termohon hanya menghadapkan saudara
Termohon yaitu Totok Setiadi bin Soesilo Tjiptadi. Keterangan saksi dari pihak Pemohon, Joko Suryono bin Slamet Rohadi dan Triwiyanto O bin Sarwedi Wiyono kenal dengan Pemohon dan membenarkan bahwa keduanya telah menikah dan dikaruniai seorang anak. Kemudian setalah itu, kedua belah pihak telah pisah rumah sjak 4 bulan karena Pemohon tinggal di rumah orang tuanya di Semarang. Kedua saksi juga membenarkan bahwa Termohon telah kembali ke agama Kristen. Keterangan saksi dari pihak tergugat, Totok Setiadi bin Soesilo Tjiptadi membenarkan bahwa kedua belah pihak telah menikah dan dikarunaia seorang anak yang ikut Termohon. Kemudian kedua belah pihak pisah sejak 2 bulan karena Pemohon tinggal di rumah orang tuanya di Semarang. Saksi juga membenarkan bahwa Termohon telah kembali ke agamanya semula yaitu Kristen.
42
D. Penetapan Hak Asuh Anak dalam Perkara Perkara Cerai Talak karena Istri Murtad (PenetapanNo. 447/Pdt.G/2003/PA.SAL.) Dalam
perkara
perceraian
ini,
PA
Salatiga
menetapkan
sebagaimana berikut dalam Konpensi: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon. 2. Menetapkan memberi izin kepada Pemohon (Syam Setiabudi Rahayu SE bin Soesilo Tjiptadi) untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon (Hersi Andayani SH binti Herman Prayitno) dihadapan siding Pengadilan Agama Salatiga. 3. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon mut’ah berupa uang sebesar Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). 4. Menetapkan hak asuh anak yang bernama Syahraz Risang Rzi Kusuma diserahkan kepada Pemohon. 5. Menghukum Termohon untuk menyerahkan anak tersebut kepada Pemohon. Dalam Rekonpensi Pengadilan Agama Salatiga menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Dalam Konpensi dan Rekonpensi, membeban biaya perkara sebesar Rp. 146.000 (seratus empat puluh enam ribu rupiah) dibebankan kepada PemohonKonpensi/Tergugat Rekonpensi. Adapun beberapa pertimbangan hukum yang dijadikan dasar oleh Hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan perkara cerai gugat dimaksud di atas adalah sebagai berikut dalam Konpensi :
43
1. Bahwa bukti surat P.1 berupa foto kopi duplikat kutipan akta nikah adalah merupakan akta autentik, karena dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan
oleh
pejabat
yang
berwenang,
sehingga
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna selama tidak dibuktikan kepalsuannya (pasal 165 HIR) 2. Bahwa Termohon telah ternyata kembali memeluk agama Kristen sehingga tidak ada harapan lagi untuk mewujudkan tujuan rumah tangga. 3. Bahwa Pemohon dalam persidangan menunjukkan sikap dan tekadnya untuk menceraikan Termohon walaupun telah diusahakan perdamaian, hal itu menunjukkan bahwa Antara Pemohon dan Termohon tidak ada lagi ikatan lahir batin sehingga rumah tangga telah pecah. 4. Bahwa apabila suatu rumah tangga (perkawinan) telah pecah sebagaimana rumah tangga Pemohon dan Termohon, maka mawaddah dan rohmah sebagai tujuan perkawinan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dapat diwujudkan, sehingga perkawinan tersebut tidak bermanfaat lagi dan apabila dipertahankan akan mendatangkan penderitaan lahir batin bagi Pemohon dan Termohon, oleh karena itu sudah saatnya perkawinan itu diakhiri dengan perceraian. 5. Bahwa sehubungan dengan petitumPemohon tentang hak asuh anak, secara normatif dijelaskan dalam pasal 156 KHI. Tetapi karena faktanya Termohon bukan beragama Islam, maka dalam hal ini Majelis
44
Hakim sependapat dengan ibrata dalam Kitab “KifayatulAkhyarJuzII”, karangan Imam Taqiyyuddin (t.t:94) yang berbunyi :
العقل والحرٌة والدٌن الحفة واألمانة: وشرائط الخضانة سبع فإن اخت ّل شرط منها أي, واإلقامة فى بلد الممٌز والخلّو من زوج .السبع فى األم سقطت حضانتها “Syarat-syarat bagi orang yang akan melaksanakan tugas hadanah ada 7, yaitu : berakal sehat, merdeka, beragama Islam, sederhana, amanah, menetap, dan tidak bersuami baru. Apabila kurang satu dari syarat-syarat tersebut, maka gugur hak asuh anak.” 6. Bahwa selama perkawinan Pemohon dan Termohon telah ternyata mempunyai soerang anak. 7. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka hak asuh anak yang bernama Shahraz Risang Rzi Kusuma diserahkan kepada ayah in casu Pemohon. 8. Bahwa oleh karena anak tersebut saat ini berada dalam penguasaan Termohon, maka kepada Termohon dihukum untuk menyerahkan anak tersebut kepada Pemohon 9. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata permohonan Pemohon telah cukup alasan karena telah memenuhi pasal 116 huruf (h) KHI. Oleh karena itu permohonan Pemohon harus dikabulkan. 10. Bahwa berdasarkan pasal 41 huruf (c) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Majelis Hakim karena jabatannya (ex officio) dapat mewajibkan
45
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istrinya. 11. Bahwa tentang kewajiban bekas suami terhadap bekas istrinya secara rinci diatur dalam pasal 49, 152, 158 Kompilasi Hukum Islam. 12. Bahwa oleh karena ada sebagian dari kewajiban tersebut dijadikan Rekonpensi maka akan dipertimbangkan dalam Rekonpensi, kecuali tentang mut‟ah karena percerain ini atas kehendak Pemohon. 13. Bahwa meskipun Termohon telah keluar dari agama Islam namun menurut pertimbangan Majelis Hakim hal tersbut tidak menghalangi Termohon untuk menerima mut‟ah dari Pemohon, oleh karena itu Pemohon akan dihukum untuk membayar mut‟ah berupa uang sebesar Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Adapun mengenai pertimbangan Hakim dalam Rekonpensi : 1. Bahwa sehubungan dengan tuntutan Penggugat agar hak asuh anak diserahkan kepada Penggugat, ternyata menjadi salah satu petitum Pemohon Konpensi dan telah dipertimbangkan dalam Konpensi, oleh karena itu gugat Rekonpensi dalam hal ini harus dinyatakan tidak dapat diterima. 2. Bahwa sehubungan dengan tuntunan nafkah anak sebesar 1/3 penghasilan Tergugat, maka hal ini sangat berkaitan dengan tuntutan hak asuh anak. Oleh karena tuntutan hak asuh anak dinyatakan tidak dapat diterima maka tuntutan nafkah anakpun harus dinyatakan tidak dapat diterima.
46
3. Bahwa sehubungan dengan tuntutan jaminan nafkah setelah terjadi perceraian dihubungkan dengan fakta bahwa penggugat telah keluar dari agama Islam, maka berdasarkan pasal 84 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, penggugat tergolong nusyuz dan tidak berhak atas nafkah, oleh karena itu tuntutan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. 4. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima. Adapun pertimbangan Hakim dalam Konpensi dan Rekonpensi bahwa berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maka kepada Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi akan dibebani untuk membayar biaya perkara. Adapun mengenai Hak Asuh Anak dalam Penetapan tersebut, penulis juga telah melakukan wawancara dengan Hakim PA Salatiga yang menangani perkara tersebut, yaitu Dra. Muhlisoh, MH. Dari hasil wawancara denganHakim (3 Maret 2012) diantaranya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dalam hal hak asuh anak pada dasarnya pihak ibu adalah yang berhak mendapatkan hak asuh. Akan tetapi karena ibu keluar dari agama Islam, maka hak itu otomatis gugur. 2. Walaupun dalam undang-undang tidak ada hukum yang berkaitan dengan pengasuhan anak bagi ibu yang murtad, maka Hakim disini berijtihad berdasarkan hukum yang lain.
47
3. Dasar Hakim dalam menentukan hak asuh ini berpegangan dengan dasar hukum secara hukum Islam, yaitu dengan dasar untuk mempertahankan aqidah anaktidak lain untuk menjaga kelangsungan kepentingan dan perlindungan aqidah agama anak. Di sisi lain karena dikhawatirkan ibu diyakini tidak dapat memelihara aqidah anak sesuai agama anak tersebut. 4. Dalam hal ibu yang kehilangan hak asuh bukan berarti kehilangan hak dan tanggungjawabnya terhadap anak tersebut. Sehingga tetap boleh mencurahkan kasih sayangnya kepada anak. Beberapa jawaban di atas merujuk pada Hukum Fikih, Pasal 41 Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, Pasal 105 dan 156 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 42 Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002.
48
BAB IV ANALISIS HAK ASUH ANAK DALAM PERKARA CERAI TALAK KARENA ISTRI MURTAD (PENETAPAN NO. 447/PDT.G/2003/PA.SAL.)
A. Analisis
Pertimbangan
Hakim
dalam
Penetapan
No.
447/Pdt.G/2003/PA.Sal Tentang Hak Asuh Anak dalam Perspektif Fikih. Dalam perkara perceraian ini, PA Salatiga (2003:8) menetapkan sebagaimana berikut : a. Mengabulkan permohonan Pemohon. b. Menetapkan memberi izin kepada Pemohon (Syam Setiabudi Rahayu SE bin Soesilo Tjiptadi) untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon (Hersi Andayani SH binti Herman Prayitno) di hadapan sidang Pengadilan Agama Salatiga. c. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon mut‟ah berupa uang sebesar Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). d. Menetapkan hak asuh anak yang bernama Syahraz Risang Rzi Kusuma diserahkan kepada Pemohon. e. Menghukum Termohon untuk menyerahkan anak tersebut kepada Pemohon. Dalam hal penentuan hak asuh anak mengenai dasar hukumnya yang diambil oleh Pengadilan Agama Salatiga adalah kutipan dari Kitab
49
“KifayatulAkhyarJuzII”, karangan Imam Taqiyyuddin (t.t:94) yang berbunyi :
العقل والحرٌة والدٌن الحفة واألمانة واإلقامة: وشرائط الخضانة سبع فإن اخت ّل شرط منها أي السبع فى األم, فى بلد الممٌز والخلّو من زوج سقطت حضانتها “Syarat-syarat bagi orang yang akan melaksanakan tugas hadanah ada 7, yaitu : berakal sehat, merdeka, beragama Islam, sederhana, amanah, menetap, dan tidak bersuami baru. Apabila kurang satu dari syarat-syarat tersebut, maka gugur hak asuh anak.” Dalam kutipan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama (3 Maret 2012), dalam menetapkan hak asuh anak karena istri murtad, Hakim Pengadilan Agama merujuk pada madzhab Syafi’i yang berpendapat bahwa hak asuh anak tidak diperkenankan bagi orang kafir. Sama halnya dimana seorang ibu dalam hal ini telah keluar dari agama Islam. Ulama’ berbeda pendapat mengenai syarat Islam bagi pemegang hak asuh anak (hadanah). Ulama’ Syafi’iyah mensyaratkan Islam sebagai syarat
bagi
pengasuh
atas
anak
Islam.
Dalam
Kitab
“Raudlatut Tholibin Wa 'Umdatul Muftin” Karya Yahya bin Syarf AnNawawi (1991:302) disebutkan:
َ فلَحضاًحَلكافشجَعلَٔالوسلن ”Maka tidak berhak hak asuh (hadanah) bagi orang kafir atas anak muslim”
50
Ulama’ Hanabilah juga mensyaratkan Islam sebagai syarat mutlak bagi pemegang hak asuh (hadanah) atas anak muslim. Dikarenakan barangkali mengakibatkan fitnah atas agama anak tersebut. Dalam Kitab “Iqna‟ fi Fiqh Al-Imam Ahmad bin Hanbal” Juz II karya Imam Musa AlHijawi (t.t:150) disebutkan :
َ ٌَفلَحضاًحَلكافشجَعلَٔالوسلنَإرَالَّاليحَلََعليََّألًََستواَفرٌحَفَٔدي “Maka tidak berhak hak asuh (hadanah) bagi orang kafir atas anak muslim karena tidak ada wilayah bagi orang kafir atas anak muslim dan karena dimungkinkan mengakibatkan fitnah atas agama anak” Sedangkan Ulama’ Hanafiyah tidak mensyaratkan Islam bagi pemegang hak asuh (hadanah) bagi anak muslim. Dalam Kitab “AlIkhtiyar li Ta‟lil Al Mukhtar”Juz IV dalam“Fasl fil Hadanah” karya Mahmud bin Mawdud Al-Musilli(t.t:70) disebutkan :
والذمٌة أحق بولدها المسلم مالم ٌخف علٌه الكفر “Kafir dzimmi lebih berhak atas anaknya muslim selama tidak ditakutkan kekafiran anaknya” Akan tetapi dalam hal ini Imam Hanafi mensyaratkan bahwa yang dimaksudkan bukanlah kafirmurtad. Dalam Kitab “Ad Durr Al Mukhtar”dalam bab “Hadanah” Juz 3 karya Ibnu Abidin Al-Hanafi (1966:20) disebutkan :
(تثبت لألم) النسبٌة (ولو) كتابٌة أو مجوسٌة (بعد الفرقة إال أن تكون )مرتدة
51
"(Hadanah tetap untuk ibu) yang senasab (meskipun) ibu itu kafir kitabi atau majusi (setelah pisah kecuali apabila ibu itu murtad)” Adapun Menurut Ulama’ Malikiyah juga tidak mensyaratkan Islam bagi pemegang hak asuh (hadanah) atas anak muslim. Dalam Kitab “Syarh Al-Kabir”Juz II karya Abu Barakat Ahmad Ad Dardir (t.t:526) menyebutkan :
(ال (ٌشترط) إسالم) فلٌس شرطا فى الحاضن ذكارا أو أنثى “Tidak disyaratkan Islam untuk seorang pengasuh baik laki-laki maupun perempuan” Akan tetapi, Ulama’ Malikiyah berpendapat jika dikhawatirkan kerusakan pada anak yang diasuh, hak asuh (hadanah) anak tidak lantas pindah bagi pemegang hak asuh yang Islam akan tetapi hak asuh itu tetap pada Ibu yang murtad tadi selama dalam proses pengasuhannya berada dilingkungan orang Islam. Disebutkan juga dalam Kitab “Syarh AlKabir”Juz II karya Abu Barakat Ahmad Ad Dardir (t.t:529) :
َ(ّضود) َالزاخ َالحضاًح َ(إى َخيف) َعلٔ َالوخضْى َهٌِا َفساد َكأى َذغزيح َتلحن َخٌضيش َأّ َخوش َ(لوسلويي) َليكًْْا َسلثاء َعليِا َّال َيٌضع هٌِاّالٌَشترط الجمع بل المسلم الواحد كاف فً ذلك “Harus tinggal (bersama orang muslim) jika dikhawatirkan kerusakan pada anak tersebut seperti makan daging babi atau khamr, supaya orangorang muslim tadi mengawasi orang yang mengasuh anak tersebut dan tidak boleh mengambil anak tersebut dari pengasuh. Dan tidak disyaratkan dilingkungan mayoritas muslim, akan tetapi, satu orang muslim sudah cukup”
52
Ulama’ Malikiyah tetap memberikan hak asuh (hadanah) anak kepada ibu yang kafir. Akan Tetapi, jika hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif terhadap anak, maka disyaratkan untuk pengasuh (hadin)tinggal bersama orang muslim dan satu orang muslim cukup untuk mengawasinya agar tidak mengajarkan hal-hal yang buruk bagi anak(mahdun). Ibnu Rusyd (t.t:43) dalam Kitab “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid” mengatakan bahwa Jumhur Ulama’ sepakat mengenai hak asuh (hadanah) adalah hak ibu, hal ini berangkat atas dasar hadis Nabi Muhammad SAW :
اَّلل ُ َب ٌْنَه ُ َوبٌَ َْن أ َ ِحبَّ ِت ِه ٌَ ْو َم ْال ِق ٌَا َم ِة َّ َ فَ َّرق، َم ْن فَ َّرقَ َبٌ َْن َوا ِلدَةٍ َو َولَ ِد َها “Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah SWT akan memisahkan orang tersebut dengan orang-orang yang dicintainya di hari kiamat” Menurut analisa penulis, tidak disyaratkannya Islam sebagai syarat pengasuh (Hadin) adalah berdasarkan kemungkinan keumuman hadis tersebut. Dalam hadis itu kata
َوا ِلدَةtidak dibatasi apakah ibu muslim atau
kafir. Jadi dalam pengasuhan diperbolehkan baik pengasuh muslim atau kafir. Sedangkan
yang
mensyaratkan
Islam
kemungkinan
besar
membatasi keumuman hadis tersebut dengan pertimbangan menutup bagi kemungkinan munculnya kemadlorotan (saddudz dzari‟ah). Dalam Kamus Ushul Fikih, secara istilah saddudz dzari‟ah adalah mencegah sesuatu yang
53
menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan (2005:294). yaitu dengan memahami kata
َوا ِلدَة
dalam hadist tersebut dengan batasan
muslimah. Artinya sorang anak kecil yang iktu bersama ibunya yang kafir akan sangat besar kemungkinannya untuk mengikuti agama ibunya. Supaya hal itu tidak terjadi maka hadist di atas perlu diartikan secara khusus yaitu al walidah muslimah. Dari beberapa pendapat di atas, menurut penulis, pendapat Ulama’ Malikiyah adalah yang sesuai dengan kontekstual yang ada dalam masyarakat sekarang. Dimana ibu yang murtad tetap boleh mengasuh anaknya karena maksud dalam pengasuhan hanya berkaitan dengan memelihara anak (hifdlul) dan merawat anak (ri‟ayah). Apalagi jika anak itu masih balita yang sangat butuh sekali kasih sayang ibu. Namun apabila dikhawatirkan
tidak
menjamin
agama
anak,
Ulama’
Malikiyah
berpendapat bahwa ibu yang murtad tetap berhak mengasuh anaknya selagi ibu yang murtad harus tinggal dengan orang muslim (1 muslim cukup) supaya orang tersebut dapat mengawasinya. B. dalam Penetapan No. 447/Pdt.G/2003/PA.Sal tentang Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia 1.
Analisis Pertimbangan Hakim dalam Perspektif KHI dan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. Berkaitan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dari hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama
54
Salatiga yang menangani perkara tersebut. Dra. Muhlisoh, MH (3 Maret 2012) mengatakan : a. Dalam hal hak asuh anak pada dasarnya pihak ibu adalah yang berhak mendapatkan hak asuh. Akan tetapi karena ibu keluar dari agama Islam, maka hak itu otomatis gugur. b. Walaupun dalam undang-undang tidak ada hukum yang berkaitan dengan pengasuhan anak bagi ibu yang murtad, maka Hakim disini menggunakan ijtihad berdasarkan hukum yang lain. c. Dasar Hakim dalam menentukan hak asuh ini berpegangan dengan dasar hukum secara hukum Islam, yaitu dengan dasar untuk mempertahankan aqidah anaktidak lain untuk menjaga kelangsungan kepentingan dan perlindungan aqidah agama anak. d. Dalam hal ibu yang kehilangan hak asuh bukan berarti kehilangan hak dan tanggungjawabnya terhadap anak tersebut. Sehingga tetap boleh mencurahkan kasih sayangnya kepada anak. Beberapa hukum yang digunakan Hakim dalam menetapkan perkara Hak asuh anak adalah merujuk pada Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 41 huruf a, Pasal 105 dan 156 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 41 huruf a Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 berbunyi : “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
55
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan” Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “Dalam halterjadinya perceraian: f. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. g. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya. h. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.” Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam huruf a berbunyi : “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : (a) anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkanhadanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh : Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; Ayah; Wanitawanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. Bunyi ketiga pasal di atas menunjukkan bahwa kiranya permasalahan hak asuh anak ketika ibu murtad belum bisa dipecahkan. Karena pasal-pasal tersebut hanya mengatur hak asuh anak ketika belum mumayyiz dan setelah mumayyiz, dan hak asuh anak ketika ibu meninggal dunia.
56
Berdasarkan gambaran di atas, menurut hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Dra. Muhlisoh, MH (3 Maret 2012) mengatakan dalam menetapkan perkara tersebut, Hakim berpegangan pada pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketika dasar hukum yang biasanya digunakan di Pengadilan Agama belum diatur, maka Hakim disini sebagai penegak hukum dan keadilan di wilayah hukum Indonesia wajib menggali berdasarkan hukum yang berlaku di masyarakat Indonesia. Menurut Hakim, yang perlu digaris bawahi bahwa hukum yang berlaku di masyarakat ini adalah hukum masyarakat Islam. Karena sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Berdasarkan hal tersebut, maka Hakim harus berpijak pada Hukum Islam yang digali dari Al-Qur’an, Hadist, serta ijtihad para Ulama’ yang secara faktual telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dalam masyarakat Islam di Indonesia. Hal itu diperkuat lagi dengan keputusan Rapat Kerja Mahkamah Agung, Departemen Agama dan ketua-ketua Pengadilan Tinggi Agama se-Indonesia II (RAKER MAHDEPAG & PTA II),
57
bagi Pengadilan Agama, sejauh hukum tertulis belum ada, dapat menggunakan aturan-aturan yang bersumber pada Al-Qur’an, Hadist, Fikih dan Kaedah Fikih. Maka, untuk merealisasikan itu diperlukan ijtihad dari para Hakim Pengadilan Agama, sehingga hukum yang termuat dalam Al-Qur’an, Hadist dan himpunan ijtihad para Ulama’ dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan perkembangan dan kesadaran hukum masyarakat (Zarkasyi, 1983:iii) 2. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Perspektif UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak a.
Analisis dalam Perspektif UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pengadilan dalam menetapkan tiap perkara harus wajib menjunjung keadilan. Sesuai dengan namanya bahwa pengadilan merupakan tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat yang berperkara. Tentang wajibnya pengadilan untuk berbuat adil tercantum dalam pasal 2 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan
KeHakiman
yang
menyatakan
bahwa
Pengadilan dilakukan “demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Mengenai hak dan tanggungjawab orang tua, beranjak dari Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana dalam pasal 51 (2) disebutkan bahwa setelah putusnya perkawinan seorang wanita mempunyai hak dan tanggungjawab
58
yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan
anak-anaknya
dengan
memperhatikan
kepentingan terbaik anak. Berdasarkan PenetapanHak Asuh Anak Dalam Perkara Cerai Talak No. 447/Pdt.G/2003/PA.Sal yang dimana Hakim menjatuhkan hak asuh atas anak kepada pihak Ayah dan hasil dalam pemeriksaan persidangan telah menunjukkan terjadinya perselisihan antara Pemohon dan Termohon yang bersumber dari perpindahan Agama (PA, 2003:2). Bahwa kebanyakan perceraian yang timbul akibat dari perselisihan
antara
ketidakrukunan
itu
kedua berlanjut
belah setalah
pihak,
dimungkinkan
Penetapan
perceraian
dijatuhkan. Hal ini bisa saja menghalangi ibu untuk bertemu dengan anaknya dalam mencurahkan kasih sayang. Dengan kata lain menyalahi hak asasi ibu untuk bertemu atau mencurahkan kasih sayang kepada anaknya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama (3 Maret 2012). Tentang hak asuh anak bila dikaitkan dengan pasal di atas yaitu mengenai UU HAM No. 39 Tahun 1999 Hakim Pengadilan Agama berpendapat : Pertama, mengenai penafsiran Hakim atas pasal tersebut, bahwa dengan jatuhnya pengasuhan ke ayah, tidak boleh menghapuskan hak dan kewajiban pihak ibu untuk tetap menjaga
59
dan mendidik anak demi kelangsungan kepentingan terbaik anak. Jika hal tersebut terjadi maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Kedua, bahwa yang dimaksud dengan “hak dan kewajiban yang sama” sebagaimana yang tertulis dalam pasal 51 (2) adalah bukan dalam arti apa yang harus diterima pihak ayah harus juga diterima pihak ibu dalam hal ini mengenai pengasuhan. Ketiga, pihak ibu yang dalam hal ini kehilangan hak asuh terhadap anaknya tetap boleh mencurahkan kasih sayangnya terhadap anak. Bagaimanapun anak itu juga masih berumur 3 Tahun sehingga kasih sayang ibu masih sangat dibutuhkan anak. Tinggal bagaimana kesepakatan antara kedua belah pihak untuk mengaturnya. Dari hasil wawancara di atas bisa penulis simpulkan, bahwa Hakim dalam menyikapi masalah hak asuh anak tetap menjunjung nilai kemanusiaan walaupun terhadap orang yang dibuktikan keluar dari agama Islam. Dan ini tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Dimana dalam penjelasan UU HAM, Negara dan pemerintah termasuk juga dalam hal ini Pengadilan Agama sebagai aparatur
pemerintah
bertanggungjawab
untuk
menghormati,
melindungi, membela dan menjamin hak asasi manusia setiap warga Negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.
60
b. Analisis dalam Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak anak merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan guna tumbuh kembang anak secara baik. Sehingga Undang-Undang dipandang perlu untuk melindungi hal-hal yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak. Dalam hal ini secara khusus mengenai perlindungan yang berkaitan dengan agama anak. Dari hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Salatiga, Dra Muhlisoh (3 Maret 2012) mengatakan bahwa pertimbangan mengenai aqidah anak adalah yang terpenting untuk menjamin agar anak itu tetap pada agamanya. Jika hak pengasuhan diberikan kepada pihak yang telah keluar dari agama Islam, maka dikhawatirkan hak-hak mengenai agama anak akan terbengkalai. Hal ini didasarkan kaidah Ushul Fikih yang terdapat dalam Kitab Al-Asybah
wa
An-Nadloir
fil
Furu‟,
karangan
Jalaluddin
Abdurrahman (1965:60)yang berbunyi :
ِ لى َج ْل َ ب ال َم َ دَ ْر ُء ال َمفا َ ِس ِِ ِد ُمقَد ََِّ ٌم َع ِصا ِلح “Menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan.” Bahwa kekhawatiran Hakim terhadap aqidah anak ketika diasuh
oleh
ibunya
yang
murtad
lebih
dijadikan
pertimbangandaripada maslahatyang diperoleh anak itu ketika bersama ibunya. Karena ibu yang murtad diyakini dapat membawa dampak buruk pada aqidah anak.
61
Pertimbangan Hakim di atas juga berdasarkan atas pasal 42 (2) bagaimana mengenai agama anak yang belum bisa menentukan pilihannya, maka agama anak adalah ikut orang tuanya. Walapun dalam pemeriksaan persidangan ditemukan perbedaan agama dari kedua orang tua anak, maka Hakim Pengadilan Agama berpendapat bahwa anak hasil perkawinan Islam maka dianggap sebagai anak Islam dan wajib menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya. Inilah yang digunakan Hakim dalam memandang penentuan agama anak. Dari gambaran di atas jelas bahwa pertimbangan Hakim mengenai hak asuh anak tetap mengupayakan untuk menjunjung hak anak dalam perlindungan agamanya.
62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya penulis menarik beberapa kesimpulan bahwa : 1. Kebolehan orang kafir dalam mengasuh anak Islam, para Ulama’ berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat salah satu syarat pemegang hak asuh anak adalah Islam. Sedangkan Ulama’ Malikiyah dan Hanafiyah tidak mensyaratkan Islam bagi pemegang hak asuh dengan pertimbangan harus tetap mempertimbangan agama anak. Adapun dalam hukum positif di Indonesia mengenai hak asuh anak akibat murtadnya ibu, belum ada aturan yang jelas. Walaupun tidak ada aturan yang jelas, usaha untuk melindungi kesejahteraan anak baik secara jasmani dan rohani adalah tugas pokok orang tua dan aparatur pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. 2. Dalam menetapkan masalah hak asuh anak, Hakim mengacu pada kitab Fikih Syafi’i dengan dasar untuk mempertahankan aqidah anak dantidak
lain
untuk
menjaga
kelangsungan
kepentingan
dan
perlindungan aqidah agama anak. 3. Tindakan Hakim dalam menetapkan masalah hak asuh anak berdasarkan hukum Islam sesuai dengan RAKER MAHDEPAG &
63
PTA yang isinya sejauh belum ada undang-undang yang mengatur, maka dasar hukum diambil dari Al-Qur’an, Hadist, Fikih, dan Kaedah Fikih. Selain itu,Hakim tidak lepas dari undang-undang lain dalam hal ini UU Hak Asasi Manusia dan UU Perlindungan Anak, supaya tercapai keadilan dan mewujudkan maslahatyang diharapkan oleh seluruh masyarakat. B. Saran 1. Kiranya Hakim dalam menetapkan perkara hak asuh anak dapat meninjau pendapat Ulama’ Malikiyah sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hak asuh anak . 2. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap anak, lebih baik dibicarakan secara musyawarah keluarga. Sehingga lebih jernih dalam menetapkan kemana anak itu tinggal dan bagaimana menjaga kesejahteraannya. 3. Pengasuhan anak akan menjadi baik jika masing-masing memegang prinsip untuk kebaikan anak. Benar-benar mempedulikan kepentingan anak sehingga tidak ada sedikitpun usaha untuk kepentingan diri sendiri.
64
DAFTAR PUSTAKA Abdurrohman, Jalaluddin. 1965. Al-Asybah wa An-Nadloir fil Furu‟. Surabaya : Hidayah. Abidin, Ibnu. 1966. Ad Durr Al Mukhtar Juz III. Kairo : Mustofa Al Bab AlHalaby. Ad Dardir,Ahmad. t.t. Syarh Al-Kabir Juz II. Beirut : Darul Ma’rifah. Al-Hijawi, Musa. t.t. Iqna‟ fi Fiqh Al-Imam Ahmad bin Hanbal Juz II. Beirut : Darul Ma’rifah. Al-Musilli, Mahmud bin Mawdud. t.t.Al-Ikhtiyar li Ta‟lil Al Mukhtar. Damaskus : Darul Risalah Al Alamiah Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. An-Nawawi, Yahya bin Syarf . 1991. Raudlatut Tholibin Wa 'Umdatul Muftin. Beirut : Al Maktab Al Islami Arikunto,Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Dawud, Abu. t.t. Sunan Abi Dawud Juz I. Indonesia : Maktabah Dahlan Departemen Pendidikan dan Budaya. t.t. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta : Balai Pustaka. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. 1984/1985. Ilmu Fiqh Jilid II. Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama. Direktorat Urusan Agama Islam. 1997. Himpunan Peraturan Perundangundangan Perkawinan, Jakarta. Haroen, Nasrun. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve Ibrahim, Johnny. 2006. Teorid dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : Bayu Media Publishing. Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Amzah Juzairi, Abdurrahman. 1996. Kitabul Fiqh „ala Madzahib Al Arba‟ah juz IV. Beirut, Lebanon : Darul Fikr. Moleong, Lexy J. 2008 Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Islam. Jakarta : Jambatan. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, Uu No 1/1974 Sampai KHI.Jakarta : Kencana.
65
Pasha, Mustafa Kamal. 2003. Fiqh Islam Sesuai Dengan Majlis Tarjih, Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri. Permana, Sugiri. 2008. Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama. (http://www.badilag.net/artikel/1302paradigma-baru-dalam-penyelesaian-sengketa-hak-asuh-anak-padaperadilan-agama/ diakses 10 Desember 2011) Rasjid, Sulaiman. 1976. Fiqh Islam. Jakarta : Attahiriyah. Rusyd, Ibnu. t.t. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Surabaya : Hidayah. Sabiq, Sayyid. 1990. Fikih Sunnah 8. Bandung : Al-Ma’arif. Sevilla, Consuelo G, dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : UI Press Suryabrata, Sumadi. 1995. Metodologi Penelitian. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta : Prenada Media. Taqiyyuddin, Al-Imam. t.t. Kifayatul Akhyar. Surabaya : Hidayah Thalib, Riza. t.t. Kebijakan Hakim Dalam Menetapkan Suatu Perkara Guna Terwujudnya Rasa Keadilan. (http://www.dilmiltijakarta.go.id/home/tambahan/artikel/86/ diakses 12 Desember 2011) Tihami, M.A. dan Sohari Sahrani. 2010. Fikih Munkahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta : Rajawali Pres. Zarkasyi, Muchtar. 1983. Himpunan Nash dan Hujjah Syari‟ah. Jakarta : Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan KeHakiman
66